PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU DI KABUPATEN TEMANGGUNG
DESLAKNYO WISNU HANJAGI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Deslaknyo Wisnu Hanjagi NIM I34100067
ABSTRAK DESLAKNYO WISNU HANJAGI. Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lokasi lahan garapan di dataran tinggi dan dataran rendah terhadap moda produksi yang berkembang pada masyarakat petani tembakau. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuisioner, dan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa terjadi dominasi moda produksi kapitalis di daerah dataran rendah, sedangkan dataran tinggi dominasi terjadi pada penggunaan moda produksi komersil. Di dataran tinggi, moda produksi kapitalis juga sudah digunakan oleh sebagian petani. Informasi yang diperoleh dari hasil studi kasus menyatakan bahwa penggunaan moda produksi kapitalis semakin banyak digunakan. Fakta ini menyimpulkan bahwa masyarakat petani tembakau di dataran tinggi menggunakan moda produksi komersil dengan kecenderungan kapitalis atau dapat disebut sebagai moda produksi prakapitalis. Perbedaan moda produksi yang berkembang di dua daerah ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pola pertanian dan orientasi produksi, tingkat pendidikan, kebutuhan tenaga kerja, dan aksesibilitas pasar. Kata kunci: lokasi lahan, moda produksi, tembakau.
ABSTRACT DESLAKNYO WISNU HANJAGI. The Effect of Arable Land Locations to The Tobacco Farmers Mode of Production in Temanggung Regency. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN. This research aims to determine the effect of the arable land locations in the highlands and lowlands to the mode of production that develops on tobacco farming communities. This research was conducted using quantitative research approach, namely the use of instruments such as questionnaires, and qualitative research approach using case study method. These results explained that there are dominations of the capitalist mode of production in the lowlands, while in the highlands, the dominations occurred in the use of commercial mode of production. In the highlands, the capitalist mode of production has also been used by some farmers. Information obtained from the results of the case study states that the use of the capitalist mode of production in highlands is being increasingly used. This fact concludes that tobacco farming communities in the highlands using commercial mode of production with capitalist tendencies or can be referred to pre-capitalist mode of production. The differences between the mode of productions that develops in the two locations is caused by several factors, including the cultivation pattern and orientation of production, education level, labor requirements, and market accessibility. Keywords: location of land, mode of production, tobacco.
PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU DI KABUPATEN TEMANGGUNG
DESLAKNYO WISNU HANJAGI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung : Deslaknyo Wisnu Hanjagi : I34100067
Disetujui oleh
Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
Judul Skripsi Nama NIM
Pengalllh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung Deslaknyo Wisnu Hanjagi 134100067
Disetujui oleh
Fredian Tonn Nasdian MS Pembimbing
Tanggal Lulus:
2 0 JAN
2014
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih memberikan nikmat waktu yang bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi dengan judul “Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung“ dapat diselesaikan tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada: 1. Bapak, Ibunda, dan Adik tercinta, sumber motivasi utama yang mendukung segala sesuatu pilihan penulis, hingga dapat menjadi mahasiswa program akselerasi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. 2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing penulis di sela-sela kesibukan beliau. 3. Dikti danKemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan IPB yang telah membantu kelancaran kuliah serta atas semangat dan motivasi untuk berprestasi. 4. Trio Macan (Mbak Maria, Mbak Icha, dan Mbak Dhini) serta Bu Lusi yang selalu membantu penulis dalam urusan akademik selama menjadi mahasiswa. 5. BPH Forsia 1434 H, tim Ribath, dan seluruh pengurus yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan pengertian dalam kerja-kerja organisasi dakwah di Fakultas Ekologi Manusia. 6. Sahabat AQSHO dan SABIL, teman bergerak dalam dakwah yang selalu mendukung dan memberikan perhatian serta pengertian kepada penulis. 7. Rifqie, Hafizh, dan Ajron sahabat dan saudara tercinta dalam dekapan ukhuwah yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk berkembang. 8. Hermin, Saefihim, Mila, dan seluruh keluarga SKPM 47, sahabat berbagi rasa pahit dan manis selama belajar di IPB dan memberikan semangat untuk memotivasi diri. 9. Ustadz Dr. Alfan Gunawan, M.Si, Ustadz Ery Kurnia W, A.Md, Ustadz Angga Sutawijaya, S.Pi, Ustadz Dedi Mulyono, SP, Ustadz Dr. Ir. Rudi Hartono, M.Si, dan Ustadz Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc beserta semua teman satu halaqoh yang memberikan banyak semangat untuk segera menyelesaikan dan mendahulukan tujuan akademik. 10. Penghuni kosan Badut, Andalusia 11, dan basecamp Bidik Misi, yang telah memberikan semangat ruhiyah dan tempat menulis yang nyaman. 11. Praktikan Sosiologi Umum, Ilmu Penyuluhan, Pengantar Ilmu Kependudukan, dan PAI yang memberikan kebersamaan mencerdaskan kehidupan bangsa. 12. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan, dan kerja sama selama ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Bogor, Januari 2014 Deslaknyo Wisnu Hanjagi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Teknik Pengambilan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data PROFIL DESA Kondisi Geografis Kondisi Ekonomi Kondisi Pendidikan Struktur Sosial Masyarakat Pola Kebudayaan Masyarakat Pola-pola Adaptasi Ekologi Masyarakat Ikhtisar MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU Kekuatan Produksi Hubungan Sosial Produksi Moda Produksi Ikhtisar FAKTOR-FAKTOR PEMBEDA MODA PRODUKSI Dataran Rendah Dataran Tinggi Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
vi vi vi 11 11 2 3 4 5 5 11 11 13 13 13 14 15 16 17 17 19 20 21 23 24 25 26 27 36 40 41 44 45 49 51 53 53 53 55
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
57 69
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan kapitalis Jadwal pelaksanaan penelitian skripsi tahun 2013 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari, Kecamatan Bulu berdasarkan pekerjaan Jumlah dan persentase penduduk angkatan kerja Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung berdasarkan pekerjaan Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan 2013 Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan tingkat pendidikan 2013 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan agama 2013 Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan agama 2013 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan luas lahan garapan Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan lahan Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan alat produksi non-lahan Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan unit produksi Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan penggunaan hasil produksi Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan kekuatan produksi Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan hubungan sosial produksi Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan moda produksi Perbandingan dataran rendah dan dataran tinggi berdasarkan faktor-faktor pembeda moda produksi
8 13 19 20 20 21 22 22 27 29 30 33 34 36 37 40 51
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6
Kerangka pemikiran Lokasi Desa Bansari Lokasi Kelurahan Jampirejo Grafik persentase luas penguasaan lahan garapan berdasarkan lokasi lahan garapan Grafik persentase status penguasaan lahan garapan berdasarkan lokasi lahan garapan Grafik persentase status penguasaan alat produksi non-lahan berdasarkan lokasi lahan garapan
10 17 18 28 30 31
Gambar 7
Grafik persentase unit produksi petani tembakau menurut lokasi lahan garapan Gambar 8 Grafik persentase penggunaan hasil produksi tembakau menurut lokasi lahan garapan Gambar 9 Grafik persentase penggunaan kekuatan produksi tembakau menurut lokasi lahan garapan Gambar 10 Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan hubungan sosial produksi Gambar 11 Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan moda produksi
34 35 36 38 41
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kerangka sampling Lampiran 2 Tabel Anova hasill pengolahan data statistik Lampiran 3 Kuisioner penelitian
57 63 65
PENDAHULUAN Latar Belakang Transformasi sosial dan ekonomi di tengah perkembangan masyarakat Indonesia terjadi sangat pesat. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui proses rekayasa sosial seperti menggalakkan transmigrasi pada periode setelah proklamasi. Program revolusi hijau yang diwadahi dalam program BIMAS dimulai pada tahun 1967 dengan tahap pertama meliputi penanaman bibit unggul di daerah Jawa juga dilakukan pada periode pemerintahan orde baru. Selain itu, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian juga digalakkan untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama beras, dengan sistem ekonomi pasar yang mulai dikenalkan kepada masyarakat petani di pedesaan. Proses pengenalan ini selanjutnya mendorong masyarakat petani di pedesaan yang sebelumnya subsisten, kemudian berusaha bertransformasi menjadi kapitalis dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya keuntungan dari hasil pertaniannya (Munthe 2007). Pengarusutamaan perubahan sosial di masyarakat pedesaan semakin jelas terlihat. Proses perubahan ini menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat hebat, namun pada saat yang hampir bersamaan melahirkan polarisasi yang tajam, yaitu orang kaya berjumlah sedikit di satu sisi, dan orang yang melarat berjumlah banyak di sisi lain. Kesenjangan sosial mulai tampak jelas dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Beberapa tradisi di masyarakat semakin tergerus, seperti tradisi patron-client dan gotong royong. Permasalahan ini menempatkan uang atau bentuk keuntungan lainnya sebagai tujuan utama. Jika masuknya kapitalisme ke pedesaan dan transformasi yang terjadi hanya diserahkan pada penetrasi pasar, maka diperkirakan akan memberikan gambaran yang suram bagi masyarakat pedesaan (Pranadji dan Hastuti 2004). Perubahan yang terjadi membuat perubahan pula pada jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat. Moda produksi dijelaskan oleh Shanin (Fadjar et al. 2008a) adalah sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi, sehingga moda produksi terdiri yang dari: (1) kekuatan produksi atau daya produksi dan (2) hubungan sosial produksi akan membentuk posisi struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Kekuatan moda produksi di dalamnya terdapat berbagai faktor seperti lahan, tenaga kerja, dan modal (jika dilihat dalam kacamata kapitalis), sedangkan hubungan sosial mencakup faktor struktur sosial dan pembagian peran dalam kegiatan produksi (seperti buruh dan majikan dalam sistem kapitalis). Kahn (1999) mengelompokkan moda produksi yang berkembang dalam masyarakat dalam tiga tipe, yaitu moda produksi subsisten, komersil, dan kapitalis. Tiga tipe moda produksi ini kemudian saling memberikan ciri khusus yang berbeda satu sama lain. Perkembangan jenis moda produksi di masyarakat pedesaan juga dipengaruhi oleh program yang diperkenalkan oleh pemerintah. Pada masyarakat pedesaan yang berbeda lokasi, berbeda pula program pemerintah untuk meningkatkan kapasitas petani sebagai bagian terbesar dari masyarakat pedesaan.
2 Tahun-tahun awal hingga pertengahan orde baru seperti yang telah dijelaskan pada awal pendahuluan, pemerintah memberikan program khusus BIMAS hanya kepada petani yang menanam padi. Padahal jika dilihat dari lokasi penanaman padi, program ini kemudian terkonsentrasi pada lahan di daerah dataran rendah hingga menengah. Lahan pertanian bukan padi di daerah dataran tinggi sama sekali tidak tersentuh program pengembangan pangan nasional ini. Hal ini diduga menjadi faktor penyebab perubahan moda produksi petani di daerah dataran rendah sehingga terjadi perbedaan dengan moda produksi petani yang berada di daerah dataran tinggi. Sistem pertanian tembakau di Kabupaten Temanggung menggunakan sistem satu musim tanam selama satu tahun. Di luar musim tanam tembakau, petani menanam komoditas lain untuk menopang kehidupan mereka. Petani tembakau di daerah dataran rendah menanam padi atau cabai, sedangkan petani tembakau di daerah dataran tinggi menanam jagung atau palawija. Perbedaan jenis komoditas lain yang ditanam ini disebabkan oleh ketersediaan fasilitas irigasi yang berbeda. Jika ditinjau dari segi kultural, perbedaan mendasar dari sistem pertanian tembakau antara dua daerah tersebut adalah pada penggunaan tenaga produksi dan hubungan sosial produksi yang berkembang. Di daerah dataran tinggi, petani tembakau masih menggunakan keluarga sebagai tenaga kerja. Berbeda jauh dari masyarakat di dataran rendah, petani cenderung membayar buruh upah harian sebagai tenaga kerja. Hubungan sosial kekeluargaan yang masih bertahan di dataran tinggi di Kabupaten Temanggung membuat saling tergantungnya antara petani pemilik lahan pertanian tembakau dengan petani pekerja yang membantu menggarap lahan. Masih ada rasa guyub antara dua kelompok petani ini. Lain halnya dengan petani tembakau di dataran rendah, bahkan mereka dapat tidak mengenal siapa yang bekerja di lahan yang mereka punya. Perbedaan pengelolaan juga terdapat pada mekanisme pengelolaan hasil tembakau. Mekanisasi pengolahan yang mulai dikenal oleh petani membuat perbedaan kembali pada jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat dua dataran ini. Banyak penelitian telah meneliti jenis moda produksi yang berkembang di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Purnomo (2005) telah memetakan perkembangan dan perubahan jenis moda produksi dalam masyarakat perkebunan teh di daerah dataran tinggi di Kota Malang. Penelitian lain pula banyak membahas tentang moda produksi yang berkembang dalam masyarakat petani padi sawah di daerah dataran rendah, namun ada penelitian mengenai moda produksi yang berkembang dalam masyarakat petani tembakau dan perbedaannya antara daerah dataran rendah dengan dataran tinggi belum ditemukan, padahal sejak zaman kolonial tembakau telah dikenal sebagai komoditas bernilai tinggi. Oleh karena itu, penting untuk diteliti jenis-jenis moda produksi, perbedaan, dan faktor yang mempengaruhinya pada komunitas petani tembakau di dua lokasi lahan yang berbeda. Rumusan Masalah Tembakau sebagai komoditas bernilai tinggi sejak zaman kolonial telah diusahakan oleh petani di Kabupaten Temanggung. Pengusahaan penanaman tanaman ini dilakukan oleh petani dalam satu musim tanam setiap tahunya oleh
3 petani di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi di sekitar lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Di luar musim tanam tembakau, petani memilih untuk mengusahakan tanaman lainnya tergantung pada wilayah dan ketersediaan fasilitas irigasi. Di daerah dataran rendah dengan fasilitas irigasi yang memadai, petani memilih untuk menanam padi, sedangkan petani di daerah dataran tinggi lebih memilih untuk menanam palawija dan jagung. Sama halnya dengan masyarakat di daerah lain, semestinya masyarakat petani tembakau ini memiliki kekhasan kenis moda produksi yang berkembang. Namun hingga saat ini, penulis belum menemukan hasil penelitian yang memetakan jenis-jenis moda produksi petani tembakau di dua dataran ini. Oleh karena itu, menarik bagi penulis untuk menganalisis dan mengidentifikasi jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung. Terdapat perbedaan hubungan sosial produksi dalam kehidupan masyarakat petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Perbedaan ini memicu munculnya perbedaan jenis moda produksi yang berkembang. Hubungan sosial produksi yang lebih menekankan kekeluargaan di daerah dataran tinggi sangat berbeda dengan hubungan sosial produksi di daerah dataran rendah yang menghubungkan antara petani pemilik lahan dengan buruh upah harian. Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk menganalisis dan mengidentifikasi perbedaan antara jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung. Perbedaan yang terjadi sangat kontras jika dibandingkan, padahal jarak tempuh daerah dataran rendah dan dataran tinggi di kabupaten ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Padahal, jika dipikirkan secara logika, seharunya jenis moda produksi yang berkembang di dua daerah ini sama. Perbedaan ini dipicu oleh beberapa faktor yang belum diidentifikasi hingga saat ini. Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk mengidentifiaksi faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan jenis-jenis moda produksi antara petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi di Kabupaten Temanggung. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis dan mengidentifikasi jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung. 2. Menganalisis dan mengidentifikasi perbedaan antara jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan jenis-jenis moda produksi antara petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.
4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau, perbedaan antara masyarakat petani tembakau di daerah dataran tinggi dan dataran rendah, serta faktorfaktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membuat regulasi mengenai pola pengembangan masyarakat disesuaikan dengan moda produksi masyarakat. 3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi mengenai strategi-strategi ekonomi yang dapat digunakan untuk meningkatkan status ekonomi masyarakat.
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Perubahan Sosial Kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat bukan merupakan kehidupan yang statis, berjalan di tempat tanpa dinamika sosial dalam kegiatannya berhubungan dengan orang lain sebagai fungsi dari status makhluk sosial yang disandangnya (Soemardjan dan Soelaeman 1964). Kehidupan manusia yang terus berubah akan memberikan perbedaan antara kehidupan di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Perubahan sosial yang terjadi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung, baik dalam kerangka analisis mikro maupun makro. Secara sederhana, perubahan sosial dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan perbedaan dalam suatu sistem sosial yang dapat diukur dan terjadi dalam kurun waktu tertentu (Mashud 2011). Pengertian ini juga disampaikan oleh Sztompka (2011) yang mendefinisikan bahwa perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi dalam atau mencakup sistem sosial, lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Sistem sosial yang dimaksud adalah seluruh kegiatan antara beberapa orang yang berhubungan timbal balik (Mashud 2011). Sistem sosial selalu ada dalam sistem kehidupan masyarakat, sehingga perubahan sosial selalu terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Definisi mengenai perubahan sosial yang telah disampaikan mengerucutkan pada konsep dasar perubahan sosial yang mencakup tiga gagasan, yaitu: (1) perbedaan, (2) pada waktu yang berbeda, dan (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 2011). Perubahan sosial sebagai sebuah peristiwa dapat dianalisis di berbagai tingkat kehidupan manusia sebagai subjek perubahan, mulai dari level individu hingga level dunia. Perubahan sosial dalam masyarakat dapat bergerak maju maupun mundur. Secara lebih khusus, Sztompka (2011) memperlihatkan bahwa perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat. Masyarakat pada hasil akhir perubahan sosial akan terlihat semakin kompleks dan dinamis. Penyebab dari gerak perubahan ini berasal dari faktor internal dan eksternal. Rahardjo (2004) mendefinisikan faktor internal dan eksternal dalam sebuah konsep. Faktor internal terdiri dari pertambahan dan penyusutan penduduk, penemuan-penemuan baru, dan konflik atau pemberontakan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, sedangkan faktor eksternal terdiri dari peristiwa fisik (bencana-bencana alam yang besar), peperangan, dan kontak dengan atau pengaruh dari kebudayaan lain. Mashud (2011) dalam tulisannya mengenai perubahan sosial menjelaskan mengenai mekanisme perubahan. Terdapat tiga perspektif penting sebagai sumber dalam menjelaskan mekanisme secara benar, yaitu: (1) perspektif materialis, (2) perspektif idealis, dan (3) perspektif mekanisme interaksional. Perspektif materialis menempatkan budaya material (seperti teknologi) sebagai pendorong utama mekanisme perubahan (Mashud 2011). Beberapa tokoh menyetujui preposisi bahwa perilaku manusia mencerminkan perkembangan teknologi dan
6 ekonominya (Lauer dalam Mashud 2011). Preposisi ini menempatkan teknologi dan ekonomi sebagai sumber perubahan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Pengaruh yang kuat dari teknologi dan ekonomi disebabkan oleh nilai yang dibawa dua sumber perubahan ini. Teknologi yang terus berkembang mengubah masyarakat sama sekali baru, sangat berbeda dengan masyarakat pada waktu lampau. Teknologi mempengaruhi perubahan melalui dua cara, yaitu meningkatkan alternatif-alternatif baru bagi masyarakat, mengubah pola interaksi, dan menimbulkan konflik yang membawa permasalahan baru (Lauer dalam Mashud 2011). Dalam perspektif ini kemudia dikenal istilah cultural lag atau ketertinggalan budaya, yaitu ketika masyarakat tidak dapat mengikuti perubahan teknologi yang terjadi. Perspektif ideologi merupakan lawan dari perspektif material. Perspektif ideologi menjelaskan bahwa perubahan sosial justru bermula dari ide (Mashud 2011). Ide yang muncul dalam masyarakat akan mengubah interaksi sosial antarmasyarakat di dalamnya. Sebagai contoh adalah agama sebagai ide secara umum. Konsep etika protestan yang diangkat oleh Weber menjelaskan bahwa kehidupan beragama kaum protestanis mendorong mereka mencari sebanyakbanyaknya modal kapital untuk kehidupannya (Sudrajat 1994). Kapitalisme mulai berkembang dengan adanya ide dalam norma yang ada pada masyarakat protestan. Perspektif ketiga, yaitu perspektif mekanisme interaksional menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah hasil dari dinamisasi proses sosial dalam masyarakat (Mashud 2011). Proses sosial di dalam masyarakat terdiri dari proses sosial yang asosiatif dan disosiatif. Proses asosiatif akan mendekatkan antaranggota masyarakat dalam proses berinteraksi, sedangkan proses disosiatif sebaliknya. Proses asosiatif setidaknya ditunjukkan dengan kerjasama hingga terjadinya asimilasi dan akomodasi antarmasyarakat, sedangkan proses disosiatif mensyaratkan adanya konflik dan kompetisi. Dalam menganalisis permasalahan perubahan sosial di masyarakat desa, perubahan terjadi dalam dua dimensi besar, yaitu dimensi kultural dan dimensi struktural (Raharjo 2004). Secara garis besar, perubahan masyarakat desa pada dua dimensi ini merujuk pada akibat sistem ekonomi uang dan modernisasi, sehingga terjadi pergeseran sektor pekerjaan masyarakat desa. Penjelasan dari dua dimensi tersebut adalah sebagai berikut: a. Dimensi Kultural Perubahan pada dimensi kultural atau kebudayaan adalah perubahan kebudayaan masyarakat pedesaan dari pola tradisional menjadi bersifat modern (Raharjo 2004). Raharjo (2004) juga menjelaskan bahwa ada dua penyebab perubahan dalam dimensi ini, yaitu semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin masuknya sisten ekonomi uang (kapitalisme modern). Meningkatnya jumlah penduduk berhubungan dengan ketersedian lahan bagi masyarakat desa yang bekerja di sektor pertanian. Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin sempit lahan yang dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian digarap menjadi lahan pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian memaksa masyarakat desa untuk beralih ke sektor selain pertanian karena sektor pertanian dengan lahan sempit bahkan tanpa lahan tidak akan meningkatkan tingkat pendapatan mereka. Masyarakat desa kemudian beralih ke sektor industri dan jasa yang notabene merupakan bentuk dari perwajahan modernisasi.
7 Semakin masuknya sistem ekonomi uang (kapitalisme modern) membuat orientasi produksi petani berubah, dari yang awalnya subsisten kini menjadi komersil. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh Pranadji (2004) yang menjelaskan tentang transformasi ekonomi pertanian yang berciri budaya agribisnis tradisional atau subsisten ke agribisnis modern atau komersial disebabkan oleh respon dan antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik dalam globalisasi pasar atau sistem ekonomi uang. Tidak sebatas pada perubahan orientasi produksi petani, namun masyarakat akan menganggap bahwa sektor pertanian kemudian tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat dituntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mekanisme uang secara terus menerus, sedangkan hasil pertanian hanya didapatkan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini menyebabkan masyarakat desa cenderung beralih kepada sektor lain yang dapat memberikan hasil setiap hari. Masuknya sistem ekonomi uang juga memacu tingkat adopsi teknologi. Derasnya arus informasi melalui teknologi membuat perubahan secara kultural masyarakat desa yang kemudian beralih menganut mazhab kehidupan kota. b. Dimensi Struktural Perubahan pada dimensi struktural sangat erat kaitannya dengan mekanisme penguasaan lahan sebagai salah satu moda produksi pertanian di desa. Perubahan sistem penguasaan lahan di desa menjadi corong bagi polarisasi struktur kehidupan masyarakat semakin kuat. Fadjar et al. (2008b) dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa polarisasi terjadi dan melahirkan bentuk stratifikasi masyarakat baru, yaitu status tunggal (pemilik, penggarap, dan buruh tani) dan status kombinasi (petani pemilik + penggarap, pemilik + penggarap + buruh tani, pemilik + buruh tani, dan penggarap + buruh tani). Masyarakat desa pada awalnya merupakan kelompok yang berdiam secara komunal dan cenderung egaliter kemudian berubah menjadi masyarakat dengan pengelasan sosial yang nyata. Struktur masyarakat desa yang berubah menjadi semakin kompleks merupakan akibat dari sistem ekonomi uang yang berkembang. Raharjo (2004) berpendapat bahwa gejala pecahnya desa sebagai suatu unit kesatuan komunitas kecil seiring dengan perkembangan yang terjadi perlu mendapatkan perhatian lebih. Masyarakat desa semakin lama akan berubah menjadi masyarakat yang individualis, menyesuaikan dengan perkembangan modernisasi yang melanda desa. Kajian penting yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana memurnikan kembali struktur sosial di masyarakat pedesaan seperti semula, namun bukan hanya tertuju pada sektor pertanian, akan tetapi pada sektor lain seperti industri dan jasa. Moda Produksi Shanin (Fadjar et al. 2008a) mendefinisikan moda produksi sebagai sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi, sehingga moda produksi terdiri dari: (1) kekuatan atau daya produksi; (2) hubungan sosial
8 produksi yang akan membentuk posisi superior atau subordinat sehingga hubungan sosial yang berjalan akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Dua hal ini saling bergantung satu sama lain. Hingga saat ini menurut pengalaman empiris dan dari berbagai sumber pustaka, moda produksi di wilayah pedesaan telah, sedang, atau bahkan akan bertransformasi dari moda produksi nonkapitalis menjadi moda produksi kapitalis karena pengaruh sistem ekonomi uang. Sebagai contoh penelitian di suku Bajo (Wianti et al. 2012) menunjukkan masyarakat yang pada awalnya menggunakan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya, kemudian berubah menjadi masyarakat yang cenderung kapitalis akibat masuknya modernisasi yang membawa sistem ekonomi uang atau pasar. Sjaf (2006) menyarikan hasil penelitian Kahn dalam Sitorus (1999) mengenai artikulasi tiga moda produksi yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis dalam sebuah matriks sebagai berikut: Tabel 1
Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan kapitalis
Moda Produksi Subsisten
Komersil
Kapitalis
Artikulasi Moda Produksi Kekuatan Produksi Hubungan Produksi Tanah sebagai alat Terbatas keluarga inti, produksi, keluarga hubungan antara sebagai unit produksi, pekerja bersifat anggota egaliter. keluarga/kerabat sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan padi sebagai produk utama. Tanah dan non-lahan Hadirnya gejala sebagai alat produksi, eksploitasi suplus individu sebagai unit melalui ikatan kerabat produksi, individu dekat, hubungan sosial dan anggota keluarga antara pekerja bersifat sebagai tenaga kerja egaliter, tetapi utama (buruh upahan kompetitf (dimana langka), dan komoditi pekerja memiliki hasil ekspor/konsumsi kerjanya untuk lokal sebagai produk dipertukarkan sebagai utama. komoditi). Modal sebagai alat Majikan-buruh, dimana produksi, perusahaan majikan sebagai sebagai unit produksi, pemilik modal buruh upahan sebagai sedangkan buruh tidak tenaga kerja utama, memiliki alat produksi dan komoditi (kecuali menjual tenaga ekspor/konsumsi yang menghasilkan domestik sebagai nilai), surplus nilai produk utama. diserap pemilik modal.
Orientasi Usaha Subsisten
Pasar
Pasar
9 Tiga tipe moda produksi yang ada dalam mayarakat ini kemudian dapat saling bertransformasi menjadi moda produksi yang lainnya secara linear maupun siklikal. Transformasi moda produksi ini menyebabkan perubahan sosial pada dimensi kultural maupun struktural. Transformasi moda produksi menjadi lebih modern dengan sistem pembagian kerja yang spesifik dan beraneka ragam memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi, sehingga dapat menimbulkan pola hubungan memeras terhadap para massa pemproduksi oleh pemilik modal (Giddens 1986). Istilah yang lazim digunakan adalah kekuasaan kelas. Munculnya kelas sosial yang dominan terhadap kelas sosial lain yang lebih besar berakibat pada ketimpangan terhadap akses sumber daya. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik antarkelas. Ini terjadi pada tipe moda produksi komersil dan kapitalis. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul (1992) memberikan contoh nyata tentang kondisi ini. Penelitian itu mengungkapkan bahwa transformasi moda produksi yaitu pembangunan perkebunan di daerah penelitian, seperti yang difasilitasi oleh kebijakan negara dan kekuatan internal, telah mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah di tangan beberapa kapitalis, perampasan tanah antara Maguidanaons, dan munculnya persewaan dan sistem upah. Hal ini disertai dengan perubahan pada organisasi sosial desa dan munculnya bentuk baru dari bentuk kelas sehingga menimbulkan konflik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Purnomo (2005) menyimpulkan bahwa moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat pegunungan di Jawa dengan komoditas utama tanaman teh dalam sektor perkebunan yang telah diusahakan sejak zaman kolonial. Kemiripan lokasi dan komoditas yang diusahakan oleh subjek penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menentukan moda produksi yang berkembang pada petani tembakau di daerah pegunungan di Kabupaten Temanggung, dilihat dari dua sisi lokasi yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Perubahan terhadap kelembagaan moda produksi menimbulkan banyak konflik jika tidak terdapat keadilan dalam mendapatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Dominasi kelas jelas sangat terlihat di dalam kelembagaan moda produksi yang bersifat kapitalis. Minimalisasi dampak negatif transformasi kelembagaan moda produksi harus dilakukan dengan memberikan kesejahteraan lebih kepada masyarakat dan membantu masyarakat dalam mengelola masingmasing moda produksi yang mereka miliki. Upaya ini dapat dilakukan dengan efektif apabila terjalin kerjasama yang baik dari masyarakat dengan pihak yang membantu sehingga terjalin sebuah pola kolaborasi partnership yang mapan dan tidak saling merugikan.
10 Kerangka Pemikiran
Moda Produksi Kapitalis Dari Luar
Program Intensifikasi Pertanian
X. LOKASI Dataran Tinggi
Dataran Rendah
Usaha Produksi Pertanian
Y. MODA PRODUKSI
Kekuatan Produksi
Hubungan Sosial Produksi
: Saling berhubungan : Berpengaruh pada Gambar 1 Kerangka pemikiran Pertanian tembakau di Kabupaten Temanggung mempunyai peran penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Perkembangan komoditas ini dimulai sejak zaman kolonial Belanda yang secara langsung mengenalkan tembakau sebagai tanaman perkebunan yang banyak dibutuhkan oleh pasar Eropa dan Amerika. Petani tembakau di Kabupaten Temanggung menggunakan sistem penanaman satu musim setiap tahunnya. Hal ini disebabkan tembakau hanya bisa diproduksi dengan baik ketika musim kemarau. Di luar pengusahaan tembakau sebagai komoditas pertanian, petani kemudian menanam komoditas lain sesuai dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan fasilitas irigasi. Hal ini diperkuat juga dengan perbedaan lokasi pengusahaan komoditas, yaitu daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Daerah dataran rendah biasanya ditanami dengan
11 komoditas padi. Komoditas pangan ini ditanam sebagai selingan dari komoditas tembakau karena fasilitas irigasi yang memadai. Ditanamnya komoditas padi di lahan sawah dataran rendah menyebabkan program intensifikasi pertanian juga dirasakan oleh masyarakat di daerah dataran rendah. Berbeda dengan dataran tinggi yang setiap musim tanam selain tembakau masyarakat petani menanam tanaman pangan yang tidak banyak membutuhkan banyak air sebab kondisi fasilitas irigasi yang tidak memadai. Perbedaan cara pengelolaan lahan ini, ditambah fenomena masyarakat daerah dataran rendah dengan program intensifikasi pertanian dalam jangkauan BIMAS, membuat perbedaan dalam jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat. Sentuhan moda produksi dari luar juga mewarnai jenis-jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini akan memetakan jenis-jenis moda produksi petani tembakau di dua lokasi, yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Peneliti akan melihat perbedaan jenis moda produksi di antara dua masyarakat petani tembakau ini dan faktor menyebabkan terjadinya perbedaan. Hipotesis Penelitian 1. Moda produksi yang berkembang di daerah dataran tinggi akan berbeda dengan moda produksi yang berkembang di daerah dataran rendah. 2. Bersentuhannya moda produksi lokal di dua lokasi penelitian dengan moda produksi dari luar akan menimbulkan dominasi penggunaan moda produksi dari luar yang dikenalkan kepada masyarakat. Definisi Operasional X. Lokasi lahan didefinisikan sebagai lokasi lahan garapan petani tembakau ditentukan dari ketinggian di atas permukaan laut. Lokasi lahan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Kategori dataran tinggi didefinisikan sebagai lokasi lahan pertanian tembakau yang tidak dapat ditanami komoditas padi sebagai komoditas sampingan sebelum musim kemarau tiba untuk kembali menanam tembakau. Sedangkan dataran rendah adalah lokasi lahan pertanian tembakau yang dapat ditanami komoditas tanaman padi sebagai komoditas sampingan sebelum musim kemarau tiba untuk kembali menanam tembakau. Dalam analisis data, lokasi lahan di dataran rendah diberikan skor 1, sedangkan lokasi lahan di dataran tinggi diberikan skor 2. Y. Moda produksi merupakan sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi yang akan dikelompokkan menjadi moda produksi subsisten, komersial, atau kapitalis. Jenis moda produksi dapat ditentukan menggunakan dua variabel, yaitu kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi. Y.1 Kekuatan produksi dapat diukur menggunakan luas lahan garapan, status penguasaan lahan, penguasaan alat produksi non-lahan, unit produksi, dan penggunaan hasil produksi. Jawaban pertanyaan penelitian akan diberi skor menggunakan tiga pilihan jawaban yang
12 masing-masing jawaban mengacu pada setiap jenis moda produksi, yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis. 1. Luas lahan garapan ditentukan dengan kategori sempit (0-0,5 ha), sedang (0,5-1 ha), dan luas (>1 ha). 2. Status penguasaan lahan ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan kategori keluarga besar (skor 1), keluarga kecil (skor 2), dan penggarap (skor 3). 3. Penguasaan alat produksi non-lahan ditentukan dengan pertanyaam langsung dengan kategori keluarga besar (skor 34), keluarga kecil (skor 5-7), dan juragan (skor 8-9). 4. Unit produksi ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan kategori keluarga sendiri (skor 7-10), tetangga dekat (skor 1117), dan buruh harian (skor 18-21). 5. Penggunaan hasil produksi ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan kategori konsumsi sendiri (skor 1), konsumsi pengusaha lokal (skor 2), dan konsumsi perusahaan (skor 3). Masing-masing kategori kemudian diberikan skor 1-3 untuk menentukan jenis kekuatan produksi yang digunakan. Skor 1 diberikan untuk kategori sempit, keluarga besar, keluarga sendiri, dan konsumsi sendiri. Skor 2 diberikan untuk kategori sedang, keluarga kecil, tetangga dekat, dan konsumsi pengusaha lokal. skor 3 diberikan untuk kategori luas, penggarap, juragan, buruh harian, dan konsumsi perusahaan. Untuk menentukan jenis kekuatan produksi yang digunakan maka dibuah kategori dari kumulatif skor masing-masing variabel, yaitu kategori subsisten (skor 12-19), kategori komersil (skor 20-28), dan kategori kapitalis (skor 29-36). Y.2 Hubungan sosial produksi dapat diukur dengan pola hubungan antarpekerja dalam kegiatan produksi masyarakat. Jawaban pertanyaan penelitian akan diberi skor menggunakan tiga pilihan jawaban yang masing-masing jawaban mengacu pada setiap jenis moda produksi, yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis. Pemberian kategori ditentukan oleh skor kumulatif dari masing masing jawaban, yaitu subsisten (skor 5-7), komersil (skor 8-12), dan kapitalis (skor 1315).
13
PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai moda produksi masyarakat petani tembakau di Kabupaten Temanggung dilakukan di dua tempat yang berbeda, yaitu Desa Bansari, Kecamatan Bulu sebagai desa contoh dari daerah dataran tinggi dan Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung sebagai desa contoh dari daerah dataran rendah. Pemilihan tempat di dua desa ini dilakukan secara sengaja oleh penulis dengan pertimbangan akses dan kedekatan penulis dengan masyarakat. Penulis berasumsi akan mendapatkan kemudahan dalam menggali informasi mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat karena penulis telah menjadi bagian dari komunitas petani tembakau di dua desa tersebut. Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Juni hingga Januari 2013 yang meliputi kegiatan penyusunan proposal penelitian, kolokium untuk memaparkan proposal penelitian, studi lapangan, penyusunan dan penulisan laporan, ujian skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Kegiatan dan waktu penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jadwal pelaksanaan penelitian skripsi tahun 2013 Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi
Juni
September
Oktober
November
Desember
Januari
Perbaikan skripsi Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus didukung dengan metode kuantitatif menggunakan instrumen kuisioner. Strategi studi kasus dipilih karena dapat menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam (Babie 2004). Stake (1995) menjelaskan bahwa strategi studi kasus dalam metode penelitian kualitatif terdiri dari dua jenis, yaitu intrinsik dan instrumental. Studi kasus intrinsik menunjuk pada penelitian dimana objek telah ada dan ditentukan, sedangkan studi kasus instrumental digunakan pada penelitian dengan pertanyaan penelitian dibangun dari rumusan masalah, sehingga perlu dipilih kasus tertentu untuk dianalisis. Dengan demikian,
14 karena pertanyaan penelitian ini dibangun secara jelas dari rumusan masalah mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau pada dua daerah dataran yang berbeda untuk menganalisis fakta-fakta sosial, maka penelitian ini dapat dikategorikan dalam strategi studi kasus instrumental. Pada pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan metode penelitian survai dengan mengambil contoh dari populasi masyarakat. Instrumen yang digunakan dalam metode ini adalah kuisioner yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian dan studi data sekunder dokumen terkait. Penelitian ini bertujuan menjelaskan hubungan antarvariabel yang ada di dalamnya melalui uji hipotesa. Variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lokasi lahan dan jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau tersebut.
Teknik Pengambilan Informan Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari informan (subjek kasus) sebagai subjek penelitian. Informan merupakan pihak yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan yang dipilih pada penelitian ini adalah disesuaikan dengan poin-poin kasus yang diangkat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai kehidupan sosial masyarakat dan perubahan yang telah terjadi dalam kaitannya dengan moda produksi masyarakat petani tembakau dari masa ke masa. Informan ditentukan menggunakan metode snowball sampling untuk mengetahui informasi yang banyak dan akurat. Pada penelitian yang dilakukan di Desa Bansari sebagai representasi dari dataran tinggi, sebanyak lima orang informan kunci didapatkan untuk mencari informasi mengenai praktik moda produksi di daerah ini. Penentuan informan pertama kali dilakukan ketika pelaksanaan wawancara menggunakan instrumen kuisioner untuk melengkapi data kuantitatif dengan cara menanyakan kepada responden terpilih secara acak mengenai informasi orang yang dapat memberikan informasi secara akurat. Informan pertama yang didapatkan adalan Bapak EKO, Kepala Dusun Dari, Desa Bansari. Dari informan pertama kemudian diperoleh informasi mengenai informan selanjutnya yang dapat memberikan informasi lebih banyak, yaitu Bapak PNS, petani tembakau dan mantan anggota BPD Bansari yang merupakan tetua desa dan menjadi rujukan setiap ada kegiatan masyarakat di desa tersebut. Informasi banyak didapatkan dari informan kedua ini. Informan kedua mengusulkan untuk menggali informasi mengenai pendidikan dari Bapak SYM, petani tembakau yang juga menjadi guru dan ketua beberapa LSM. Selanjutnya untuk mengetahui perkembangan moda produksi yang digunakan oleh petani besar atau juragan, informan kedua mengusulkan untuk menggali informasi kepada Bapak MJN, juragan tembakau terbesar di Desa Bansari. Setelah menggali informasi kepada informan keempat, kemudian informasi mengenai hubungan sosial produksi secara lebih lengkap pada petani besar atau juragan ditanyakan kepada informan terakhir, yaitu Ibu WSN, istri juragan tembakau. Dari informan terakhir ini diperoleh informasi mengenai hubungan sosial produksi secara lengkap sebagai bahan untuk menyimpulkan moda produksi yang dominan digunakan.
15 Pada penelitian yang dilakukan di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi dari dataran rendah, informan juga didapatkan setelah melakukan wawancara kepada responden terpilih secara acak untuk melengkapi data kuantitatif. Dari hasil wawancara tersebut, didapatkan informasi bahwa informan yang pertama kali dapat dihubungi adalah Ibu MSN, istri Ketua Gabungan Kelompok Tani. Ibu MSN dipilih karena dianggap memiliki informasi sama seperti suaminya, Ketua Gabungan Kelompok Tani, mengenai kehidupan masyarakat petani tembakau di daerah ini. Selain itu informan yang juga ditemui adalah Bapak BBS, ketua Gabungan Kelompok Tani. Dari informan pertama dan kedua, diketahui bahwa informasi secara lengkap dapat diperoleh dari Bapak SKN, petani tembakau dan pensiunan PNS. Bapak SKN adalah tetua desa dan ketua salah satu kelompok tani di desa ini. Informasi secara lengkap diperoleh dari hasil wawancara terhadap Bapak SKN. Informan terakhir yang diperoleh adalah Ibu NKI, istri juragan tembakau, untuk mengetahui kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi secara lebih rinci pada petani besar atau juragan. Pemilihan Ibu NKI ini didasarkan pada usulan yang diberikan oleh Bapak SKN. Teknik Pengumpulan Data Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari informan dan responden sebagai subyek penelitian. Informan merupakan pihak yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan yang dipilih pada penelitian ini adalah aparatur desa, juragan tembakau, dan tokoh masyarakat setempat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat. Sedangkan responden adalah orang yang dipilih dalam populasi untuk mewakili data dari seluruh populasi. Dalam penelitian ini, informan akan difokuskan untuk melengkapi data pada pendekatan kualitatif dan responden akan difokuskan untuk melengkapi data pada pendekatan kuantitatif. Pendekatan metode kuantitatif dilakukan menggunakan unit analisa adalah individu petani tembakau. Unit observasi adalah individu petani tembakau dengan asumsi dia mengetahui keadaannya dan keluarganya. Sebanyak 30 responden diambil dari seluruh populasi (2.370 jiwa) di Desa Bansari sebagai representasi dataran tinggi, dan sebanyak 15 responden diambil dari seluruh populasi (199 jiwa) di Kelurahan Jampirejo. Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Jampirejo difokuskan pada kawasan Dusun Nglarangan karena petani tembakau terkonsentrasi di daerah ini. Keterangan mengenai kerangka sampling dapat dilihat pada Lampiran 1. Jumlah responden ini ditentukan dengan harapan dapat merepresentasikan seluruh populasi yang ada. Perbedaan jumlah responden yang dipilih antara dataran tinggi dan dataran rendah dilakukan karena jumlah populasi yang berbeda di dua daerah penelitian tersebut. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling sebab masyarakat dianggap mempunyai status yang setara.
16 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Terdapat dua data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan secara tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen terkait. Pereduksian data bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Penyajian data merupakan tahap setelah reduksi yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Terakhir adalah tahap verifikasi yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Analisis data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS. for windows 17.0. Aplikasi Microsoft Excell 2007 berfungsi untuk membuat tabel frekuensi dan tabulasi silang, sedangkan SPSS. for windows 17.0 digunakan untuk membantu dalam uji statistik yang akan menggunakan uji regresi linier (tabel anova) dengan taraf nyata 5% (0,05) digunakan untuk uji korelasi yang menghubungkan antara variabel terkait.
17
PROFIL DESA Penelitian ini membandingkan moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau dari dua daerah yang berbeda, yaitu daerah dataran tinggi yang direpresentasikan oleh Desa Bansari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, dibandingkan dengan moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau di dataran rendah yang direpresentasikan oleh Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung. Kondisi Geografis Desa Bansari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung terletak di ketinggian 1.150 m dari permukaan laut. Desa ini berjarak 7 km atau dapat ditempuh dalam waktu 30 menit menggunakan kendaraan bermotor dari ibu kota kecamatan dan 9,3 km atau dapat ditempuh dalam waktu 45 menit menggunakan kendaraan bermotor dari ibu kota kabupaten. Desa Bansari dapat ditempuh menggunakan segala jenis alat transportasi dengan kondisi jalan yang belum di aspal atau disebut sebagai jalan trasahan. Alat transportasi umum dari dan menuju desa ini hanya sebuah angkutan pedesaan yang berangkat menuju ibu kota kabupaten pada pukul 06.30 WIB dan pulang pada pukul 10.00 WIB. Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan alat transportasi pribadi untuk bepergian.
Gambar 2 Lokasi penelitian dataran tinggi di Desa Bansari (www.temanggungkab.go.id)
18 Desa Bansari memiliki luas wilayah sebesar 371,99 ha yang berbatasan langsung dengan: 1. Sebelah utara : Desa Wonosari, Kecamatan Bulu 2. Sebelah selatan : Desa Pagersari, Kecamatan Tlogo 3. Sebelah timur : Desa Malangsari, Kecamatan Bulu 4. Sebelah barat : Gunung Sumbing Secara administratif, Desa Bansari terbagi atas empat dusun yang terdiri dari empat rukun warga (RW) dan 20 rukun tetangga (RT), serta terdapat 873 rumah tangga. Jumlah penduduk desa ini mencapai 2.964 jiwa, terdiri dari 1.516 jiwa penduduk Laki-laki dan 1.448 jiwa penduduk perempuan. Kelurahan Jampirejo sebagai desa contoh di daerah dataran rendah terletak di ketinggian 570 m dari permukaan laut. Desa ini berjarak 0 km dari ibu kota Kecamatan Temanggung dan tiga km dari ibu kota kabupaten yang dapat ditempuh selama lima belas menit menggunakan alat transportasi umum atau pribadi. Kondisi jalan telah diaspal dan beberapa titik menggunakan paving block. Dengan luas 208 ha, Kelurahan Jampirejo dibagi dalam 8 dusun yang terdiri dari enam rukun warga (RW) dan 33 rukun tetangga (RT), serta terdapat 1.733 kepala keluarga. Jumlah penduduk desa ini adalah 606 jiwa, terdiri dari 125 jiwa penduduk laki-laki dan 2.281 jiwa penduduk perempuan. Desa ini berbatasan langsung dengan 1. Sebelah utara : Kelurahan Jampiroso, Kecamatan Temanggung 2. Sebelah selatan : Kelurahan Madureso, Kecamatan Temanggung 3. Sebelah timur : Kelurahan Kertosari, Kecamatan Temanggung 4. Sebelah barat : Kelurahan Jampiroso, Kecamatan Temanggung
Gambar 3 Lokasi penelitian dataran rendah di kelurahan Jampirejo (www.temanggungkab.go.id)
19 Kondisi Ekonomi Mayoritas penduduk di Desa Bansari bermatapencaharian sebagai petani seperti yang terlihat pada Tabel 3, yaitu 54,1 persen dengan buruh tani 18,1 persen. Setiap tahunya, masyarakat petani di desa ini menanam komoditas tanaman tembakau pada musim kemarau sebagai komoditas unggulan yang dapat dihasilkan di desa ini. Masyarakat Desa Bansari banyak memanfaatkan kelebihan alam sebagai sumber daya yang dapat mereka gunakan. Air misalnya, mereka menggunakan air langsung dari mata air pegunungan Sumbing yang terletak tidak jauh dari ladang tempat mereka bercocok tanam. Sebagian besar wilayah desa ini adalah lahan pertanian kering atau sering disebut tegalan dengan komoditas utama tembakau yang dibudidayakan setiap tahunya, dengan beberapa tanaman sela seperti jagung, singkong, dan cabai di luar musim tanam tembakau untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut data monografi Desa Bansari tahun 2013, disebutkan bahwa dari hasil pemahaman pedesaan secara partisipatif tentang kajian kemiskinan diperoleh gambaran bahwa dari 873 KK yang termasuk dalam kategori miskin 264 KK yang tersebar pada 4 pedukuhan yaitu Dukuh Dari terdiri dari 87 KK miskin dari 302 KK; Dukuh Gedangan terdiri dari 52 KK miskin dari 227 KK; Dukuh Prangkokan terdiri dari 56 KK miskin dari 236 KK; dan Dukuh Balong terdiri dari 69 KK miskin dari 108 KK. Kondisi kemiskinan sebagian masyarakat desa ini diperparah dengan harga jual komoditas tembakau sebagai komoditas utama pertanian desa mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tabel 3
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari, Kecamatan Bulu berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Jumlah % Petani 1.624 54,1 542 18,1 Buruh Tani Pengrajin 3 0,1 Buruh bangunan 145 4,8 Pedagang 32 1,1 Pegawai Negeri dan Pensiunan 4 0,1 Lain-lain (termasuk bukan angkatan kerja) 650 21,7 Jumlah 3.000 100,0 Sumber: Data Monografi Desa Bansari 2013 (diolah) Lain halnya dengan Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung yang memiliki masyarakat dengan jumlah yang bekerja di sektor pertanian lebih sedikit dan terpusat di Dusun Nglarangan serta Dusun Jampirejo Timur. Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih menduduki urutan pertama seperti terlihat pada Tabel 4 Data yang ditampilkan belum diperbaharui hingga peneliti mendapatkan data tersebut dari kantor kelurahan, sehingga presentase terbanyak adalah pada penduduk yang belum terdata. Setiap tahunya pada saat musim kemarau, masyarakat petani di Kelurahan Jampirejo selalu menanam tembakau sebagai komoditas utama pada masa tersebut. Selebihnya, petani lebih sering menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti padi, serta tanaman
20 hortikultura. Dari data monografi Kelurahan Jampirejo tahun 2013 diketahui bahwa 14,33 % atau 248 keluarga berada pada status keluarga prasejahtera. Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk angkatan kerja Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Jumlah % Petani 576 20,5 Buruh Tani 190 6,8 Pengrajin 4 0,1 Buruh bangunan 12 0,4 Pedagang 185 6,6 Pegawai Negeri dan Pensiunan 228 8,1 TNI dan Polri 17 0,6 Wiraswasta 63 2,2 Belum terdata 1.533 54,6 Total 2.808 100,0 Sumber: Profil Desa 2013 (diolah) Kondisi Pendidikan Dalam bidang pendidikan, banyaknya penduduk Desa Bansari di atas 5 tahun yang tamat perguruan tinggi sebanyak 3 orang, tamat akademi sebanyak 6 orang, tamat SLTA sebanyak 75 orang, tamat SLTP sebanyak 214 orang, tamat SD sebanyak 1.359 orang, belum atau tidak tamat SD sebanyak 930 orang dan belum atau tidak sekolah sebanyak 413 orang. Jumlah dan persentase tertinggi terdapat pada jenjang pendidikan tamatan SD dengan persentase 45,3 persen seperti diperlihatkan pada Tabel 5. Tingkat pendidikan di desa ini cukup rendah karena akses yang cukup jauh dari sekolah dan faktor orang tua. Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan 2013 Jenjang Pendidikan Jumlah % Belum atau tidak sekolah 413 13,8 Tidak tamat SD 930 31,0 Tamat SD 1.359 45,3 Tamat SLTP 214 7,1 Tamat SLTA 75 2,5 Akademi 6 0,2 Perguruan Tinggi 3 0,1 Jumlah 3.000 100,0 Sumber: RPJMDES 2013 (diolah) Berbeda dengan penduduk di Kelurahan Jampirejo yang memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi. Banyaknya penduduk di atas 5 tahun yang tamat perguruan tinggi sebanyak 334 orang, tamat akademi sebanyak 149 orang, tamat SLTA sebanyak 1.124 orang, tamat SLTP sebanyak 1.091 orang, tamat SD sebanyak 902 orang, belum atau tidak tamat SD sebanyak 267 orang, dan belum
21 atau tidak sekolah sebanyak 211 orang. Jumlah dan eprsentase tertinggi terdapat pada jenjang pendidikan tamanan SLTA dengan persentase 27,6 persen seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Hal ini dipengaruhi oleh dekatnya jarak termpat tinggal dengan sekolah di berbagai jenjang. Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan tingkat pendidikan 2013 Jenjang Pendidikan Jumlah % Belum atau tidak sekolah 211 5,2 Tidak tamat SD 267 6,5 Tamat SD 902 22,1 Tamat SLTP 1.091 26,8 Tamat SLTA 1.124 27,6 Akademi 149 3,7 S1 334 8,2 Jumlah 4.078 100,0 Sumber: Profil Desa 2013 (diolah) Struktur Sosial Masyarakat Desa Bansari memiliki 99,9 persen penduduk beragama Islam seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 7 dan seluruhnya bersuku Jawa, sehingga masyarakat hidup dalam suasana mono-religi dan mono-etnik. Tokoh agama dan tokoh adat merupakan pemimpin informal yang menjadi cermin bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari. Tokoh agama yang dimaksud dalam kehidupan masyarakat Desa Bansari adalah guru mengaji dan imam masjid yang disegani oleh masyarakat, sedangkan tokoh adat adalah para tetua desa yang sering mengadakan upacara-upacara adat jawa serta menjadi juru kunci makam keramat di desa ini. Masyarakat Desa Bansari mengenal pelapisan sosial masyarakat berdasarkan pada kekayaan, pekerjaan, dan pendidikan. Pelapisan sosial di desa ini dapat digolongkan menjadi tiga lapisan, yaitu atas, menengah, dan bawah. Pelapisan sosial masyarakat berdasarkan kekayaan misalnya, melihat kekayaan seseorang yang dimiliki seperti lahan, kendaraan, dan tempat tinggal untuk menentukan golongan seseorang dalam masyarakat. Begitu pula dengan pekerjaan, masyarakat melihat pekerjaan selain petani dan buruh tani sebagai pekerjaan golongan atas, seperti bekerja sebagai guru, PNS, dan juragan, sedangkan masyarakat yang bekerja sebagai pedagang dan petani biasa dengan lahan sendiri termasuk dalam golongan menengah. Buruh tani dan bekerja serabutan kemudian digolongkan menjadi masyarakat lapisan bawah. Pelapisan sosial berdasarkan pendidikan juga dilakukan oleh masyarakat, sebab hanya sedikit masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi. Seseorang yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dianggap berada di golongan masyarakat yang lebih tinggi, terlebih jika seseorang tersebut adalah sarjana atau lulusan akademi meskipun berasal dari keluarga golongan menengah atau bawah menurut kekayaan dan pekerjaan.
22 Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan agama 2013 Agama Jumlah % Agama Islam 2.998 99,9 Agama Kristen 0 Agama Katholik 0 Agama Hindu 0 Agama Budha 2 0,1 Jumlah 3.000 100,0 Sumber: RPJMDES 2013 (diolah) Struktur sosial masyarakat serupa juga ditemukan di Kelurahan Jampirejo. Di kelurahan ini penduduk bergama Islam menduduki persentase terbesar yaitu 85,8 persen dibandingkan dengan penganut agama lainnya. Sebagian masyarakat juga berasal dari suku Jawa dan sebagian kecil berasal dari suku Sunda, Betawi, dan Cina. Beberapa pemimpin informal ditemukan di wilayah ini, diantaranya adalah tokoh agama dan tokoh adat. Tokoh agama yang diakui sebagai pemimpin informal oleh masyarakat adalah kaum (sebutan bagi imam masjid) dan kyai yang memimpin pondok pesantren di Kelurahan Jampirejo, sedangkan tokoh adat adalah orang yang diakui mengetahui seluk beluk wilayah Kelurahan Jampirejo secara magis. Tokoh adat yang diakui oleh masyarakat misalnya juru kunci makam dan pemimpin upacara-upacara adat jawa seperti upacara menjelang masa panen (disebut upacara wiwit). Pelapisan sosial dalam masyarakat Kelurahan Jampirejo digolongkan pula menjadi tiga tingkat, yaitu masyarakat golongan atas, menengah, dan bawah. Penggolongan ini berdasarkan pada kekayaan, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Kekayaan pada masyarakat Kelurahan Jampirejo dapat dilihat dari luas penguasaan lahan, kendaraan, dan tempat tinggal, serta pendapatan bagi masyarakat bukan petani. Pekerjaan juga menjadi dasar pelapisan sosial. Biasanya orang yang bekerja di sektor publik dan menjadi juragan atau pengusaha sukses menempati pelapisan sosial golongan atas. Selain itu, pendidikan juga menjadi acuan pelapisan sosial. Orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan dianggap mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Tabel 8
Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan agama 2013 Agama Jumlah % Agama Islam 4.186 85,8 Agama Kristen 400 8,2 Agama Katholik 293 6,0 Agama Hindu 0,0 Agama Budha 0,0 Jumlah 4.879 100 Sumber: Profil Desa 2013 (diolah)
23 Pola Kebudayaan Masyarakat Mayoritas masyarakat Desa bansari yang berasal dari suku Jawa mempengaruhi pola kebudayaan masyarakat. Meski kebudayaan modern sudah mulai terintroduksikan dalam kehidupan masyarakat, seperti penggunaan telepon seluler dan maraknya televisi kabel, namun kehidupan masyarakat adat jawa masih kental dipegang oleh masyarakat. Berbagai upacara adat yang sudah terinjeksi oleh budaya Islam sering dilakukan oleh masyarakat desa. desa ini setidaknya memiliki tujuh kelompok kesenian kuda lumping, empat kelompok kesenian tari lengger, dan empat kelompok kesenian tari sandhul, serta satu kelompok kesenian kethoprak. Pementasan kesenian-kesenian ini selalu dilakukan setiap tahunya pada musim-musim panen atau saat hajatan besar. Selain dipentaskan untuk kalangan desa sendiri, kelompok-kelompok kesenian ini juga sering mendapatkan undangan untuk mengisi acara kesenian serupa di desa lain. Bahasa Jawa menjadi bahasa utama yang digunakan dalam berinteraksi. Bahasa Indonesia di desa ini belum banyak digunakan, bahkan banyak orang tua yang tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Aksen bahasa Jawa yang digunakan berbeda dengan aksen yang digunakan di wilayah dataran rendah, misalnya penggunaan kata enyong untuk menyebut aku di wilayah dataran rendah atau saya dalam bahasa Indonesia. Dalam interaksi sosial, masyarakat masih memiliki romantisme pedesaan dengan jiwa gotong royong, meski semakin terdegradasi dengan aliran kapitalis. dalam satu wilayah desa, masyarakat dapat merasa bahwa tetangga-tetangga mereka adalah keluarga. Saling berbagi makanan adalah salah satu ciri romantisme pedesaan yang tetap dijaga oleh masyarakat. Di bidang pertanian pula masyarakat memperlihatkan interaksi yang sangat dekat dengan sistem sambatan. Kekerabatan masyarakat yang sangat tinggi dibuktikan dengan banyaknya tetangga yang saling menikah atau ketika ada tetangga dari beda dusun menikah, masyarakat dusun lain akan berduyun-duyun ikut merayakannya karena mereka telah mengenal satu sama lain dalam satu desa. Hal yang sama juga terjadi di Kelurahan Jampirejo. Budaya jawa yang begitu kental membuat masyarakat berpegang teguh pada adat budaya jawa meski arus modernisasi juga mendominasi. Beberapa upacara dilakukan sebagai adat kebiasaan masyarakat Islam-jawa, misal nyadran dan acara selametan lainnya. Budaya jawa yang lebih komples sangat terlihat di sektor pertanian dengan berbagai upacara adat untuk memulai menanam (disebut labuh) dan memulai memanen (disebut wiwit). Perhitungan tanggal dalam menanam dan memanen juga masih digunakan dengan tarikh saka (kemudian dikenal dengan tibo jowo atau bleg). Hal serupa terjadi juga di Desa Bansari. Di Kelurahan Jampirejo, kehidupan masyarakat sudah lebih modern karena dekat dengan pusat kota. Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia digunakan secara bersama dalam kehidupan masyarakat. Bahasa Jawa biasanya digunakan lebih dominan, sedangkan bahasa Indonesia digunakan khusus dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, tidak ada kelompok kesenian budaya jawa yang terlembaga di masyarakat. Ada beberapa kelompok kesenian musik dangdut dan kesenian bernafas Islam seperti rebana dan diba’. Keterbatasan kelompok kesenian ini membuat masyarakat beberapa kali mengundang kelompok kesenian dari desa lain. Dalam interaksi sosial, masyarakat cenderung mengenal masyarakat di satu wilayah saja. Misalnya, masyarakat Dusun
24 Nglarangan hanya mengenal dekat dengan masyarakat di sekitarnya dan mengenal sedikit orang di luar wilayahnya. Begitu pula dengan masyarakat di wilayah lain, sehingga dalam beberapa acara seperti hajatan, masyarakat di wilayah lain dalam atu desa tidak akan datang jika tidak diundang. Dalam mekanisme gotong royong, masyarakat Kelurahan Jampirejo lebih menekankan pada solidaritas organik dengan sistem pembagian kerja yang jelas. Pola-pola Adaptasi Ekologi Masyarakat Masyarakat Desa Bansari yang bermatapencaharian sebagai petani di lahan kering atau tegalan mempunyai pola-pola pengelolaan sendiri terhadap budidaya tanaman yang mereka usahakan. Pertanian yang mereka usahakan adalah pertanian tanpa irigasi, yang berarti mereka hanya mengandalkan air hujan saja untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Hal ini meyebabkan masyarakat memilih tanaman yang dapat hidup tanpa suplai air yang tinggi. Tanaman dengan ciri tersebut misalnya tembakau yang diusahakan sebagai komoditas utama yang menguntungkan. Tembakau biasanya ditanam di musim kemarau, karena tembakau adalah tanaman yang akan rusak (lomot dalam bahasa masyarakat setempat) jika terkena banyak air. Pengusahaan tanaman lain seperti cabai dan jagung juga dilakukan. Daerah ini memang memiliki ketinggian yang hampir sama dengan kawasan Dieng, namun lereng gunung Sumbing termasuk Desa Bansari tidak dapat membudidayakan tanaman seperti kentang dan kol karena ketidakadaan air. Jika diamati secara sekilas, daerah Desa Bansari yang berbatasan langusng dengan gunung Sumbing akan tampak seperti padang pasir dari kejauhan. Hal ini dilatarbelakangi karena intensitas menanam tembakau oleh masyarkat terlalu sering. Gunung yang tampak gundul ternyata adalah lahan masyarakat. Meski tampaknya merusak lingkungan, namun masyarakat Desa bansari tetap mengusahakan budidaya tembakau dengan alasan mereka dapat memperoleh keuntungan yang banyak. Hasil tembakau dari daerah lereng gunung Sumbing, khususnya Desa Bansari merupakan jenis tembakau srinthil, tembakau dengan kadar nikotin yang sangat tinggi dan digunakan sebagai campuran rokok serta cerutu. Harga tembakau jenis ini sangat mahal di pasaran dan konon menjadi primadona di dunia. Tekstur tembakau yang basah dan berat. Salah satu upaya masyarakat untuk meminimalkan dampak buruk tersebut, masyarakat sudah memulai menggunakan pupuk organik yang dapat mengembalikan performa tanah. Kelurahan Jampirejo yang memiliki wilayah dekat dengan pusat kota masih memiliki sawah untuk budidaya tanaman oleh masyarakatnya. Tembakau menjadi komoditas utama ketika musik kemarau, atau diusahakan juga tanaman seperti cabai dan jagung pada waktu-waktu tertentu. Persawahan di wilayah ini memiliki irigasi yang baik. Setiap musim hujan, masyarakat petani di kelurahan ini menanam tanaman pangan seperti padi atau berbagai tanaman hortikultura dengan sistem polikultur. Irigasi yang dimiliki oleh masyarakat diatur sedemikan rupa untuk mencukupi kebutuhan air bagi tanaman. Jika di dataran tinggi dalam awal masa tanam tembakau masyarakat harus rela menyiram satu per satu, masyarakat dataran rendah termasuk di Kelurahan Jampirejo cukup menggenangi
25 tanah dengan air irigasi atau disebut leb oleh masyarakat setempat. Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida banyak dilakukan masyarakat karena akses yang dekat dengan pusat kota membuat hasil tanaman akan menurun saat masyarakat ingin beralih cara budidaya secara organik. Hal ini menyebabkan unsur hara tanah alami menurun dan bergantung pada input dari luar yang tinggi (dalam istilah pertanian disebut sebagai high external input agriculture atau HEIA). Ikhtisar Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan penggunaan jenis moda produksi pada komunitas petani tembakau di dataran tinggi dan dataran rendah. Desa Bansari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung merupakan representasi dari daerah dataran tinggi. Desa ini berbatasan langsung dengan lereng Gunung Sumbing. Desa Bansari memiliki penduduk dengan persentase jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 72,2 persen. Tenaga kerja di sektor ini adalah yang terbanyak. Dalam segi tingkat pendidikan, desa ini memiliki penduduk dengan rataan pendidikan setingkat SD. Masyarakat Desa Bansari masih menganut tradisi jawa karena 100 persen penduduknya bersuku Jawa. Desa ini juga menunjukkan nilai-nilai Islam yang kuat karena 99,9 persen masyarakat memeluk agama Islam. Masyarakat desa ini masih memegang teguh budaya, telebih dalam penyelenggaraan sektor pertanian, misalnya kegiatan sedekah bumi. Dalam pola adaptasi ekologi, masyarakat Desa Bansari yang bermatapencaharian sebagai petani menggunakan tegalan yang tidak mempunyai irigasi dan menanam tanaman yang tidak membutuhkan banyak air, seperti cabai, jagung, ketela, bawang, dan tembakau. Air memang susah didapatkan di daerah ini untuk mengairi lahan pertanian mereka. Air yang mereka gunakan setiap hari untuk kebutuhan rumah tangga adalah ait gunung yang langsung dialirkan dari mata air. Salah satu tanaman yang dibudidayakan masyarakat yang tidak membutuhkan banyak air adalah tembakau. Masyarakat di desa ini dapat menghasilkan tembakau kretek berkualitas nomor satu di dunia, yaitu tembakau srinthil yang dihargai sepuluh hingga lima belas kali lipat harga tembakau biasa kualitas terbaik. Kelurahan Jampirejo dipilih sebagai daerah yang merepresentasikan dataran rendah. Kelurahan Jampirejo terletak dekat dengan ibukota kabupaten. Kelurahan ini memiliki penduduk mayoritas beragama Islam dan bersuku Jawa. Terdapat 27,3 persen masyarakat di kelurahan ini bekerja di sektor pertanian. Pendidikan masyarakat Kelurahan Jampirejo rata-rata adalah SLTP. Dalam hal budaya, masyarakat masih menganut kebiasaan adat jawa, seperti mengadakan upacara wiwitan ketika akan memulai bercocok tanam. Dalam pola adaptasi ekologi, masyarakat yang bekerja di sektor pertanian menggunakan sistem sawah untuk bercocok tanam. Pengairan dan sistem irigasi di kelurahan ini memang sangat teratur. Air untuk pengairan mudah didapatkan oleh petani. Penggunaan sistem sawah dengan irigasi yang teratur membuat masyarakat juga menanam tanaman yang memerlukan banyak air, misalnya padi dan tanaman hortikultura lainnya. Ketika musim kemarau karena dibit air dalam sistem irigasi menurun, maka masyarakat petani di kelurahan ini menanam tembakau yang tidak memerlukan banyak air. Air hanya digunakan di awal penanaman untuk memberikan kebutuhan air tembakau yang sangat sedikit.
26
27
MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis moda produksi yang berkembang di antara petani tembakau di dua wilayah yang berbeda, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Pengukuran mengenai moda produksi dilakukan menurut ciri-ciri tiga jenis moda produksi di masyarakat yang disampaikan oleh Kahn (1974), yaitu moda produksi subsisten, komersial, dan kapitalis yang ditentukan menurut kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi. Kekuatan Produksi Kekuatan produksi dapat ditentukan dengan mengetahui terlebih dahulu luas lahan garapan, status penguasaan lahan, status penguasaan alat produksi nonlahan, unit produksi, dan penggunaan hasil produksi. Pada subbab ini akan dipaparkan hasil penelitian pada variabel-variabel tersebut dan menyimpulkan jenis kekuatan produksi yang berkembang di Desa Bansari dan Kelurahan Jampirejo. Hasil penelitian memberikan data pengenai jumlah penguasaan lahan oleh masyarakat dua wilayah dataran ini. Masyarakat Desa Bansari, representasi dari dataran tinggi, memiliki rataan luas penguasaan lahan seluas satu hektar. Namun pada kenyataannya, 43 persen masyarakat berada pada golongan pemilik lahan sempit (menduduki persentase terbanyak) karena terdapat satu orang pencilan yang memiliki luas lahan garapan hingga dua puluh hektar. Data sebaliknya ditunjukkan pada hasil penelitian pada dataran rendah, yaitu di Kelurahan Jampirejo. Banyak masyarakat mengusahakan budidaya pertanian dengan lahan sedang dengan persentase empat puluh persen dari jumlah responden seperti diperlihatkan pada Tabel 9. Sebaran luasan lahan garapan ini dapat menentukan jenis moda produksi yang digunakan dalam budidaya tembakau. Tabel 9 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan luas lahan garapan Lokasi Lahan Garapan Luas Lahan Garapan Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Sempit 13 43 4 27 Sedang 8 27 6 40 Luas 9 30 5 33 Total 30 100 15 100 Pada Gambar 4 dipaparkan grafik mengenai perbandingan persentase luas penguasaan lahan berdasarkan lokasi lahan garapan di dataran tinggi (Desa Bansari) dan dataran rendah (Kelurahan Jampirejo). Rata-rata luas penguasaan lahan garapan di Desa Bansari adalah satu herktar, sedangkan di Kelurahan Jampirejo mencapai 1,29 hektar. Luasan ini tersebar tidak merata karena beberapa orang di dua daerah tersebut merupakan pencilan atas yang memiliki lahan sangat
28 luas sehingga data masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan lebih kecil akan tertutupi.
Gambar 4
Grafik persentase luas penguasaan berdasarkan lokasi lahan garapan
lahan
garapan
Luas penguasaan lahan tersebut kemudian dilihat kembali menggunakan variabel status penguasaan lahan garapan di Desa Bansari dan Kelurahan Jampirejo. Masyarakat Desa Bansari sebagian besar memiliki lahan garapan dalam lingkup keluarga kecil atau individu meski luasan lahan yang dimiliki lebih kecil. Hal berbeda terjadi di masyarakat Kelurahan Jampirejo, sebagian besar lahan garapan yang mereka miliki adalah menyewa, dengan kata lain mereka hanya petani penggarap. Hal ini disebabkan oleh semakin sedikitnya penguasaan lahan di daerah dekat dengan perkotaan. Sebagain besar lahan yang dulu masyarakat miliki dijual atau digunakan sebagai lahan pemukiman. Salah seorang informan dari Kelurahan Jampirejo, Bapak SKN, menyebutkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai lahan kemudian menyewa tanah bengkok milik kelurahan yang dilelang setiap tahun. ”Wong kene mbiyen duwe sawah akeh, ning pada didol, dituku wong njaba. Biasane sawah sing dituku dienggo mbangun omah apa tetep dienggo tandur. Akeh-akehe wong kene saben tahun melu lelang sawah bengkok nang kelurahan. Sawah bengkoke ono nang mburi omah kae, karo nang cedhak klapa siji.” (Orang sini dulu banyak memiliki sawah, tapi banyak yang dijual, dibeli oleh orang luar. Biasanya sawah yang dibeli digunakan untuk membangun rumah atau tetap digunakan untuk menanam. Kebanyakan orang sini setiap tahun mengikuti lelang sawah bengkok di kelurahan. Sawah bengkoknya ada di belakang rumah dan di dekat Klapa Siji.) – Bapak SKN (petani tembakau dan pensiunan PNS). Tabel 10 memaparkan bahwa penguasaan lahan masyarakat di Desa Bansari 83 persen merupakan lahan yang dimiliki oleh keluarga kecil atau individu, sedangkan di Kelurahan Jampirejo, persentase terbanyak yaitu 67 persen masyarakat hanya sebagai petani penggarap saja. Salah seorang informan di Desa
29 Bansari, Bapak PNS, petani tembakau dan mantan BPD Bansari menyebutkan bahwa masyarakat memiliki lahan tersebut secara turun temurun dan beberapa mendapatkan lahan dengan cara membeli. Selanjutnya, meski masyarakat memiliki lahan pribadi, beberapa masyarakat juga masih memiliki lahan keluarga besar yang digarap bersama. Pada tahun-tahun sebelumnya Perhutani menyewakan lahan dekat dengan hutan konservasi di Gunung Sumbing atau sering disebut ndeles oleh masyarakat, namun mulai tahun 2013, pihak Perhutani menghentikan kerjasama tersebut. “Tiyang mriki biasane gadhah tegalan piyambak. Tani ingkang mboten gadhah tegal lajeng ngewangi tani ingkang gadhah tegal. Tepa slira niku sampun biasa. Taun niki ndeles sampun mboten disewaake malih kalih perhutani”. (Orang sini biasanya memiliki tegalan sendiri. Petani yang tidak mempunyai tegal akan membantu petani yang memiliki tegal. Rasa kekeluargaan sudah menjadi kebiasaan. Tahun ini ndeles sudah tidak disewakan lagi oleh perhutani.) – Bapak PNS (petani tembakau dan mantan BPD Bansari).
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan lahan Lokasi Lahan Garapan Status Penguasaan Lahan Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Keluarga Besar 3 10 0 0 Keluarga Kecil 25 83 5 33 Penggarap 2 7 10 67 Total 30 100 15 100
Kekuatan produksi ditentukan salah satunya dengan status penguasaan lahan oleh petani. Penguasaan lahan oleh keluarga besar merepresentasikan kekuatan produksi yang cenderung subsisten atau untuk kebutuhan sendiri, penguasaan lahan oleh keluarga kecil atau individu merepresentasikan kekuatan produksi yang cenderung komersial, sedangkan penguasaan lahan oleh orang lain atau dapat diartikan bahwa petani hanya menggarap saja merepresentasikan kekuatan produksi yang cenderung kapitalis. Masyarakat petani tembakau di Desa Bansari memang cenderung memiliki lahan yang dapat digunakan dalam budidaya tembakau dan mereka juga memiliki lahan-lahan keluarga untuk memulai budidaya tembakau. Lain halnya dengan masyarakat di Kelurahan Jampirejo, masyarakat yang memiliki lahan sendiri lebih sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat yang menjadi penggarap lahan. Petani penggarap yang banyak terjadi karena desakan kapitalis yang membeli lahan-lahan pertanian warga untuk kegiatan jasa atau kegiatan pertanian yang lebih menguntungkan. Perbandingan antara dua daerah ini dapat merepresentasikan hasil bahwa masyarakat petani tembakau di daerah dataran rendah memiliki lahan sendiri yang lebih sedikit dibandingkan masyarakat petani tembakau di daerah dataran tinggi. Penyebab utamanya adalah dekatnya masyarakat petani dataran rendah dengan pusat kota dan mudahnya akses membuat kapitalisme mudah masuk kedalam komunitas tersebut.
30
Gambar 5
Grafik persentase status penguasaan lahan garapan berdasarkan lokasi lahan garapan
Variabel lain yang harus diteliti untuk menentukan jenis kekuatan produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau selanjutnya adalah status penguasaan alat produksi non-lahan. Dalam menentukan jenis status penguasaan kemudian ditentukan dengan kriteria keluarga besar, keluarga kecil, dan juragan. Hasil penelitian kuantitatif memaparkan bahwa masyarakat di dataran tinggi hampir semua memiliki alat produksi non-lahan dalam aras keluarga kecil atau individu, yaitu sebanyak 97 persen. Sebanyak 3 persen sisanya memiliki alat produksi non-lahan dalam aras keluarga besar. Di dataran rendah hal yang sama terjadi, bahkan semua responden menyatakan bahwa mereka mempunyai alat produksi non-lahan dalam aras keluarga kecil atau individu. Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan alat produksi non-lahan Lokasi Lahan Garapan Status Penguasaan Alat Produksi NonDataran Tinggi Dataran Rendah lahan n % n % Keluarga Besar 1 3 0 0 Keluarga Kecil 29 97 15 100 Juragan 0 0 0 0 Total 30 100 15 100 Perhitungan secara kuantitatif tatu penguasaan alat produksi non-lahan yang pada akhirnya mengerucutkan pada status penguasaan keluarga kecil atau individu bukan berarti tidak ada sama sekali masyarakat yang berurusan dengan juragan atau aktor-aktor kapitalis lain. ”Kula piyambak menawi badhe nanem sata nggih ngampil-ngampil arta mrika-mriki. Kadang wonten bank, kadang wonten juragan. Lha mangkih hasil sata kula lajeng dirajang piyambak napa dirajang sareng juragan wonten desa mriki. Juragan kula mriki nggih Pak Lurah nika. Mangkih menawi sampun nglumpuk wonten gudhang,
31 lajeng mbako ingkang ampun dimot disade ting gudang garam.” (Saya sendiri ketika akan menanam tembakau meminjam uang kesana-kemari. Kadang di bank, kadang di di juragan. Lha nanti hasil tembakau saya lalu dirajang sendiri atau dirajang bersama juragan di desa ini. juragan saya di sini ya Pak Lurah itu. Nanti ketika sudah terkumpul di gudang kemudian tembakau yang sudah disusun dijual kepada gudang garam.) – Bapak EKO (kepala Dusun Dari)
Gambar 6
Grafik persentase status penguasaan alat produksi nonlahan berdasarkan lokasi lahan garapan
Hal serupa mengenai kedekatan aktor-aktor kapitalis dalam budidaya tanaman tembakau disampaikan pula oleh informan di Kelurahan Jampirejo. Meski seratus persen responden memiliki alat produksi non-lahan dalam aras keluarga kecil atau individu melalui kategorisasi data kuantitatif, namun beberapa di antara mereka bersentuhan langsung dengan aktor-aktor kapitalis dari luar dalam memperoleh alat produksi non-lahan. Hal ini disampaikan oleh Ibu NKI, istri seorang petani tembakau yang mengaku bahwa keluarganya menggunakan sistem kemitraan dengan perusahaan rokok untuk mendapatkan alat produksi nonlahan. Sistem kemitraan adalah sistem kerjasama perusahaan langsung bersama petani, yaitu perusahaan akan menyediakan alat dan bahan produksi dengan catatan hasil olahan tembakau harus dijual kepada perusahaan tersebut dengan potongan harga di akhir sesuai besar biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan kepada petani. ”Nek kula ndherek kemitraan kalih gudang garam. Mes kalih obat semprot disukani gudang garam. Modal nggih kadang diampili. Mung mangkih kedah nyade kasilipun ting gudang garam. Lumrahe ingkang damel biaya mes kalih obat semprot mangkih dipotong saking pembayaran gudang garam. Ting Nglarangan mriki mung kula kalih Pak Yanto ingkang ndherek kemitraan.” (Kalau saya ikut kemitraan dengan gudang garam. Pupuk dan obat semprot diberikan oleh gudang garam. Modal juga kadang dipinjami. Tapi nanti harus menjual hasilnya ke gudang garam. Biasanya yang dipakai untuk biaya pupuk dan obat semprot nanti dipotong dari pembayaran
32 gudang garam. Di Nglarangan sini hanya saya dan Pak Yanto yang ikut kemitraan.) – Ibu NKI (istri petani tembakau) Introduksi kapitalisme ke dalam masyarakat petani tembakau di dua daerah ini lebih gencar terjadi di bagian dataran rendah, padahal hasil tembakau yang lebih bermutu berada di dataran tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kemudahan aksesibilitas dari pusat pasar ke lokasi tempat tinggal petani. Petani di daerah dataran rendah akan dengan mudah menuju gudang perusahaan rokok yang ingin menjalin kerja sama atau kemitraan. Di lain pihak, aktor-aktor kapitalis lokal dari dalam mulai mempengaruhi masyarakat petani di dataran tinggi. Salah seorang informan dari Desa Bansari menyebutkan hal tersebut. ”Nek enyong biasane nyilih bank gawe modal. Nek wis oleh modal, enyong njuk njupuk mbako seka wong liya. Enyong yo nyilih-nyilihake dhuwit nggo modal tani-tani kene. Mengko dibalekake nek wis ngrajang. Lha rajangane tani-tani kene didol nang nggon nyong. Ning nyong dudu bank plecit. Nang kene yo ono bank plecit. Yo wong kene sing dadi bandare. Ning nyong ora ngono, nyong ana beban sosial wong dadi tokoh masyarakat kene.” (Kalau saya biasanya meminjam bank untuk modal. Kalau sudah dapat modal, saya lalu membeli tembakau dari orang lain. Saya juga meminjamkan uang untuk modal kepada petani di sini. Nanti dikembalikan jika sudah ngrajang. Lha rajangan dari petani-petani di sini dijual di tempat saya. tapi saya bukan bank plecit. Di sini juga ada bank plecit. Ya orang sini juga yang menjadi bandarnya. Tapi saya tidak begitu, saya ada beban sosial karena menjadi tokoh masyarakat di sini.” – Bapak MJN (juragan tembakau). Kekuatan produksi petani tembakau semakin didesak oleh aktor-aktor kapitalis. Mulai dari penguasaan lahan hingga alat produksi non-lahan, masyarakat harus mendapatkannya dari orang lain. Hasil wawancara banyak meyebutkan bahwa aktor-aktor kapitalis dari luar lebih terkonsentrasi di wilayah dataran rendah, sedangkan ‘murid’-nya banyak masuk dalam masyarakat sekitar mereka di dataran tinggi. Hal ini ditunjukkan pula pada unit produksi yang digunakan oleh petani tembakau di dua daerah tersebut. Tabel 12 menunjukkan persentase responden dari dua daerah tersebut dalam menggunakan unit produksi. Sebanyak 43 persen responden dari dataran tinggi dalam pengusahaan tanaman tembakau menggunakan unit produksi dari keluarga sendiri. Pada urutan kedua, sebanyak 37 persen responden di daerah ini menggunakan unit produksi tetangga dekat. Hal ini mereka lakukan karena tenaga kerja yang mereka miliki cukup dan masih terjadi mekanisme guyub dan sambatan dalam kehidupan masyarakat. Hasil focus group discussion (FGD) bersama masyarakat di Desa Bansari memperlihatkan bahwa sistem sambatan saat ini masih digunakan, meski tidak semurni dahulu. Sambatan yang dilakukan bersama tetangga dekat yang sudah dianggap sebagai saudara saat ini sudah mulai menghargai tenaga sambatan menggunakan upah berupa uang. Jika dahulu masyarakat hanya saling bertukar tenaga dan makanan saja, namun saat ini sistem tersebut sudah mulai musnah. Hal ini disebabkan karena masyarakat desa telah mengalami perubahan menjadi ingin
33 memenuhi kebutuhan pribadi terlebih dahulu. Sistem ini juga dinilai merugikan oleh beberapa pihak, misalnya adalah ketika masa menanam tembakau. Jumlah luasan lahan dan jarak yang berbeda menjadi alasan masyarakat untuk tidak lagi menggunakan sistem ini, terlebih masyarakat yang mendapatkan giliran paling akhir yang merasa rugi karena sering mengalami terlambat tanam. Selain hal tersebut, beberapa peserta FGD menyebutkan bahwa kinerja orang dengan sistem sambatan ini lebih buruk. Banyak hal dari sistem ini yang hilang pada kurun tiga tahun terakhir, namun masih ada satu pekerjaan yang sistem sambatan ini tetap berlaku, yaitu pada saat nganjang. Nganjang atau pekerjaan menata hasil tembakau yang telah dirajang ke rigen (tempat menjemur) untuk kemudian dijemur di bawah terik matahari adalah pekerjaan para wanita. Sambatan pada pekerjaan ini masih tetap dilakukan karena hubungan yang dekat antara istri-istri petani tersebut. Nganjang dengan sistem sambatan tetap digunakan kecuali oleh para juragan yang memiliki produksi berkali lipat dibandingkan dengan petani biasa. Romantika kehidupan desa sangat terasa ketika para istri petani ini mulai bekerja sama dan hanya diberikan makanan saja. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan unit produksi Lokasi Lahan Garapan Unit Produksi Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Keluarga 13 43 0 0 Tetangga Dekat 11 37 4 27 Buruh Harian 6 20 11 73 Total 30 100 15 100 Hasil lain ditunjukkan pada rataan jawaban responden di Kelurahan Jampirejo. Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 73 persen, menyebutkan bahwa mereka mendapatkan tenaga kerja untuk pekerjaan budidaya tanaman tembakau dan pengelolaannya oleh buruh harian yang mereka dapatkan tenaganya dari luar desa. selebihnya, mereka menggunakan bantuan tetangga dengan upah sama dengan buruh harian dari luar untuk bekerja di lahan mereka. hal ini dilakukan karena keterbatasan sumber daya pekerja di dalam desa. “Nek nang kene angel le lek arep nggolek tenaga. Kerepe aku njupuk tenaga seka njaba desa. Jane wong kene yo ana sing iso, tapi sithik tur gaweane akeh kon ngendi-ngendi. Aku biasane borongan njupuk tenaga njaba desa.” (Kalau di sini susah nak kalau mau mencari tenaga kerja. Seringnya saya mengambil tenaga kerja dari luar desa. sebetulnya orang sini ya ada yang bisa, tapi hanya sedikit apalagikerjaan mereka banyak disuruh kemana-mana. Saya biasanya borongan mengambil tenaga kerja dari luar desa.) -Bapak SKN (petani tembakau dan pensiunan PNS). Sistem yang digunakan oleh petani tembakau di Kelurahan Jampirejo untuk mencari tenaga kerja dari luar adalah sistem borongan. Sistem ini
34 merupakan sistem pencarian tenaga kerja yang terstruktur oleh koordinator pekerja. Petani tembakau yang sedang mencari tenaga kerja dapat langsung menemui koordinator kelompok pekerja dari luar desa. Setelah menemukan kesepakatan waktu kerja dan jumlah orang yang bekerja, mereka kemudian mendiskusikan upah dan fasilitas yang didapatkan oleh tenaga kerja. Pembayaran oleh petani tembakau yang mempekerjakan orang pada akhir masa kerja diserahkan kepada koordinator tenaga kerja saja untuk kemudian dibagikan kepada pekerja yang lainnya. Petani tembakau biasanya mengenal koordinator tenaga kerjanya saja, tidak mengenal semua tenaga kerja borongan yang ia bayar.
Gambar 7
Grafik persentase unit produksi petani tembakau menurut lokasi lahan garapan
Variabel terakhir yang diukur dalam penelitian ini untuk mengetahui jenis kekuatan produksi yang berkembang adalah penggunaan hasil pertanian tembakau. Tabel 13 memaparkan hasil penelitian mengenai penggunaan hasil produksi tembakau. Tabel tersebut memaparkan bahwa 93 persen responden di dataran tinggi menjual langsung ke perusahaan atau dititipkan kepada juragan untuk dijual kepada perusahaan. Hanya 7 persen responden yang mengaku menjual hasil tembakaunya ke tengkulak dengan cara menjual daun hijauannya. Cara menjual daun hijauan ini adalah menjual daun tembakau yang baru dipetik dan belum diperam serta diolah menjadi tembakau siap konsumsi. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan penggunaan hasil produksi Lokasi Lahan Garapan Penggunaan Hasil Produksi Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Konsumsi Pribadi 0 0 0 0 Dijual ke Tengkulak 2 7 10 67 Dijual ke Perusahaan 28 93 5 33 Total 30 100 15 100
35 Hasil lain didapatkan dari responden di Kelurahan Jampirejo. Sebanyak 67 persen responden menyatakan bahwa mereka menjual hasil budidaya tembakau kepada tengkulak dengan sistem daun hijauan. Hal ini disebabkan masyarakat tidak ingin repot mengolah tembakau karena tenaga kerja yang sedikit. Mereka lebih memilih untuk menjual daun hijauan, dan setelah itu mereka menjadi buruh di tempat petani lain yang mengolah hasil produksi menjadi tembakau siap konsumsi. Masyarakat petani ini tidak ingin berspekulasi dan takut rugi jika harga tembakau siap konsumsi anjlok. “Nek kula ben taun nanem sata nggih didol godhongan napa ditebas uwong mawon. Kula mboten wantun spekulasi regi sata. Nek sampun pajeng, biasane kula njuk ndherek dados buruh ting wong liya. Lumayan, mpun angsal dhuwit saking tebasan, angsal dhuwit malih saking buruh. Mboten usah mumet-mumet spekulasi dagang.” (Kalau saya setiap tahun menanam tembakau ya dijual daun hijauan atau ditebas orang saja. Saya tidak berani spekulasi harga tembakau. Kalau sudah terjual, biasanya saya lalu ikut menjadi buruh di orang lain. Lumayan, sudah dapat uang dari tebasan, dapat uang lagi dari menjadi buruh. Tidak usah pusing-pusing spekulasi dagang.) – Ibu MSN (istri Ketua Kelompok Tani Rejo Tani)
Dalam penelitian ini tidak ditemukan responden yang menggunakan hasil produksi tembakau untuk konsumsi pribadi. Masyarakat dari dua daerah ini telah berpikir untuk mendapatkan keuntungan dari hasil produksi tembakau dengan menjualnya agar dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat petani di dataran tinggi memiliki keberanian untuk memainkan spekulasi lebih tinggi daripada masyarakat di dataran rendah.
Gambar 8
Grafik persentase penggunaan hasil produksi tembakau menurut lokasi lahan garapan
Dari hasil penelitian dan analisis terhadap variabel yang ditentukan untuk mengukur kekuatan produksi yang berkembang di masyarakat dua daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa jenis kekuatan produksi yang berkembang di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi dari dataran rendah sebanyak 67 persen
36 adalah kekuatan produksi kapitalis dan sisanya adalah kekuatan produksi komersial. Data ini menunjukkan bahwa kekuatan produksi kapitalis lebih dominan berkembang di masyarakat dataran rendah. Sebaliknya, data kuantitatif menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Bansari, yaitu sebanyak 60 persen menggunakan kekuatan produksi yang cenderung komersial, 27 persen kapitalis, dan 7 persen sisanya masih menggunakan kekuatan produksi subsisten. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan kekuatan produksi Lokasi Lahan Garapan Kekuatan Produksi Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Subsisten 4 13 0 0 Komersil 18 60 5 33 Kapitalis 8 27 10 67 Total 30 100 15 100
Gambar 9
Grafik persentase penggunaan kekuatan tembakau menurut lokasi lahan garapan
produksi
Kesimpulan ini didukung dengan hasil analisis statistika menggunakan program SPSS untuk mengetahui tabel anova dengan signifikansi regresi sebesar 0,006. Angka signifikansi 0,006 lebih kecil dibandingkan dengan 0,05, sehingga terbukti bahwa lokasi lahan garapan berhubungan nyata dengan kekuatan produksi petani tembakau secara signifikan. Hubungan Sosial Produksi Hubungan sosial produksi adalah variabel kedua yang harus diketahui untuk menentukan jenis moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau di dataran rendah dan dataran tinggi. Hubungan sosial produksi adalah hubungan yang terjadi dalam interaksi sosial antara stakeholder produksi dalam
37 kegiatan produksi. Dalam penelitian ini, hubungan sosial produksi dibedakan atas tiga jenis, yaitu subsisten, komersil, dan kapitalis. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan hubungan sosial produksi Lokasi Lahan Garapan Hubungan Sosial Produksi Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Subsisten 0 0 0 0 Komersil 28 93 2 13 Kapitalis 2 7 13 87 Total 30 100 15 100 Hasil pengolahan data mengenai hubungan sosial produksi di Kelurahan Jampirejo dan Desa Bansari menunjukkan bahwa terdapat dua jenis hubungan sosial produksi yang berkembang di masyarakat. Tabel 15 menunjukkan hasil sebaran frekuensi dan persentase hasil penelitian tersebut. Tabel 15 menunjukkan bahwa hubungan sosial produksi petani tembakau di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi dataran rendah sebanyak 87 persen adalah hubungan sosial produksi kapitalis. Sebanyak 13 persen sisanya menunjukkan hubungan sosial produksi komersil. Hal ini banyak dipengaruhi karena sistem borongan yang banyak dilakukan oleh masyarakat petani tembakau di Kelurahan Jampirejo. ”Nek aku biasane mborongake tenaga. Aku njaluk tulung wong njaba desa. Nek aku mung kenal karo pemimpine wae. Aku ra pati kenal karo sing nyambut gawe. Biasane aku nek borongan nggo ngirim yo panganan sak anane. Paling tahu tempe. Paling karo ndog. Sing lumrah kaya wong liyane. Nek aku ana wektu biasane melu nyambut gawe. Nanging biasane nana wektu, njuk aku thok nglongok ndelok wis rampung gaweyane apa durung.” (Kalau saya biasanya memborongkan tenaga. Saya minta tolong orang luar desa. Kalau saya Cuma kenal dengan pemimpinnya saja. Saya tidak terlalu kenal dengan yang bekerja. Biasanya saya kalau borongan dengan mengirim makanan ya makanan seadanya. Paling tahu tempe. Paling dengan telur. Yang lumrah seperti orang lain. Kalau saya ada waktu biasanya ikut bekerja. Tapi biasanya tidak ada waktu, terus saya hanya melihat sudah selesai kerjaannya apa belum.) – Bapak SKN.
38
Gambar 10
Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan hubungan sosial produksi
Sistem borongan banyak dilakukan oleh masyarakat di dataran rendah karena sedikitnya tenaga kerja yang tersedia ketika kebutuhan tenaga kerja meningkat. Terkadang petani tembakau yang ingin membeli tenaga kerja harus mengantri dengan petani yang lainnya. Tenaga kerja yang dipekerjakan adalah buruh tani yang tidak mempunyai lahan atau petani yang mempunyai lahan sempit. Jika kebutuhan tenaga kerja yang berasal dari komunitas borongan di dalam desa kurang memadai, petani tembakau akan mengambil tenaga kerja borongan dari luar desa. Hubungan sosial produksi kapitalis menunjukkan perbedaan kelas yang nyata antara yang mempekerjakan dan tenaga kerjanya. Dari beberapa wawancara mendalam dengan informan di Kelurahan Jampirejo. Hubungan sosial produksi di dataran rendah menunjukkan persentase yang kecil karena hanya beberapa orang yang dapat mengelola lahan dengan tenaga sendiri dan keluarganya. Hal berbeda ditunjukkan pada hasil penelitian di Desa Bansari sebagai representasi dari dataran tinggi. Sebagian besar responden di Desa Bansari menunjukkan hasil hubungan sosial produksi komersil, yaitu sebesar 93 persen. Selebihnya adalah penggunaan hubungan sosial produksi kapitalis. Hal ini disebabkan petani di desa tersebut masih dapat mengakses tenaga kerja dari dalam desa. Selain itu, masyarakat masih memegang tinggi adat budaya jawa yang rukun dan gotong royong. Pola hubungan sosial produksi petani tembakau di Desa Bansari yang masih menjunjung tinggi kekeluargaan mencerminkan hubungan sosial produksi yang belum kapitalis. Hubungan sosial produksi ini dapat dilihat dari beberapa aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Pertama, tutur bahasa masyarakat yang tidak mencerminkan adanya stratifikasi sosial yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan bahasa yang sama kepada sesama petani, orang yang dianggap sebagai juragan, dan pemangku kepentingan di desa. Bahasa yang lebih halus (kromo inggil) hanya digunakan oleh roang-orang tertentu yang dianggap sebagai tetua di desa tersebut. Kedua, pola interaksi yang cenderung egaliter. Interaksi yang terjadi di desa ini masih sangat egaliter. Orang yang bekerja kepada orang lain dianggap sebagai keluarganya sendiri. Kedekatan yang terjadi bukan hanya sekadar majikan dan buruh, namun rasa kekeluargaan yang kental. Dalam hal makan misalnya, antara
39 orang yang bekerja dan yang mempekerjakan makan dalam satu ruangan dan meja yang sama dengan lauk pauk yang sama pula. “Nek kula kalih sing nyambut damel ting mriki nggih pun kaya sedulur mawon. Kula mboten mbeda-mbedaaken. Nek kula mangan kalih uyah, nggih sing nyambut damel nggih sami kalih uyah. Nek kula mangan kalih iwak, nggih sing nyambut damel nggih sami kalih iwak.” (Kalau saya sama yang bekerja di sini ya sudah seperti keluarga saja. Saya tidak membeda-bedakan. Kalau saya makan sama garam, ya yang bekerja juga sama garam. Kalau saya makan sama daging, ya yang bekerja juga sama daging.) – Ibu WSN (Istri juragan tembakau) Jika diperhatikan di Desa Bansari, kegiatan yang menunjukkan nilai patronclient masih digunakan dalam hubungan antara pekerja dengan tuannya. Tenaga kerja yang bekerja di salah satu petani dapat bekerja terus menerus di orang tersebut, bahkan hingga mengajak keluarganya. Hal ini ditemukan ketika FGD. Tenaga kerja yang diambil dari luar desa biasanya harus menginap selama berbulan-bulan di desa tersebut dan tinggal bersama yang mempekerjakan. Nilai patron-client ini ditunjukkan dengan bukti bahwa setiap orang yang menjadi tenaga kerja ketika membutuhkan bantuan selalu meminta kepada yang mempekerjakannya. Perbedaan mendasar dalam interaksi sosial pekerja dan yang mempekerjakan antara dataran tinggi dan dataran rendah disampaikan oleh Bapak Siyamin, S.Pd, seorang informan dari Desa Bansari yang saat ini menjadi staf ahli fraksi di DPRD Kabupaten Temanggung. Perbedaan tersebut adalah pada sistematika pengenalan antara pekerja dan yang mempekerjakan. Hal ini sangat terlihat pada sistem pembayaran pekerja. Di Desa Bansari, jika hasil olahan tembakau belum laku, maka juragan bisa berhutang terlebih dahulu kepada pekerjanya. Berbeda dengan di Kelurahan Jampirejo yang harus dibayar setiap kali bekerja dalam kondisi apapun. Perbedaan lain juga diungkapkan oleh Bapak PNS, petani tembakau dan mantan anggota BPD Bansari. Beliau menyatakan bahwa antara pekerja dan yang mempekerjakan di wilayah nggunung (dataran tinggi) biasanya akan bekerja bersama-sama dalam mengelola budidaya tembakau, sedangkan di wilayah ndeso (dataran rendah) juragan hanya menunggu hasil kerja para pekerjanya dan sering kali tidak bekerja bersama-sama. “Nek wonten nggunung mriki antarane juragan kalih buruh nggih nyambut damel sareng-sareng. Macul sareng, lan sapiturutipun. Nek wonten ndeso kan mung ditinggal turu mawon kalih juragane.” (Kalau di nggunung sini antara juragan dan buruh ya bekerja berama-sama. Mencangkul bersama, dan lain-lain. Kalau di ndeso kan hanya ditinggal tidur saja oleh juragannya.) – Bapak PNS (Petani tembakau, mantan anggota BPD) Analisis data hasil penelitian ini menggunakan uji statistik tabel anova dengan perangkat lunak SPSS menunjukkan signifikansi yang sangat tinggi dalam
40 pengujian hubungan antara variabel lokasi lahan garapan dengan variabel hubungan sosial produksi. Hasil analisis menggunakan tabel anova menunjukan angka signifikansi regresi 0,000 yang berarti lebih kecil dari angka taraf nyata 0,05 (5%). Analisis data ini menunjukkan bahwa lokasi lahan garapan berhubungan nyata dengan hubungan sosial produksi. Dapat disimpulkan dalam pengujian variabel ini bahwa hubungan sosial produksi yang dominan di daerah dataran rendah adalah hubungan sosial produksi kapitalis, sedangkan di daerah dataran tinggi adalah hubungan sosial produksi komersil. Moda Produksi Moda produksi yang berkembang di dalam komunitas petani tembakau di Kabupaten Temanggung sesuai dengan lokasi lahan garapan, yaitu dataran rendah yang direpresentasikan oleh Kelurahan Jampirejo dan dataran tinggi yang direpresentasikan oleh Desa Bansari, dapat ditentukan setelah mengetahui kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi yang berkembang. Tabel 14 dan 15 telah memaparkan hasil penelitian mengenai jenis kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi di dua daerah yang berbeda. Mengacu dari hasil analisis data dua variabel tersebut, Tabel 16 memaparkan moda produksi yang berkembang menurut lokasi lahan garapan dataran rendah dan dataran tinggi. Dari tabel ini, dapat diketahui bahwa moda produksi dominan yang berkembang dalam komunitas petani tembakau di dataran rendah adalah moda produksi kapitalis, yaitu sebesar 93 persen, 7 persen sisanya adalah moda produksi komersil. Aktoraktor kapitalis yang banyak berkembang di kota yang notabene dekat dengan wilayah dataran rendah menjadi salah satu pendukung berkembangnya moda produksi kapitalis di Kelurahan Jampirejo. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan moda produksi Lokasi Lahan Garapan Moda Produksi Dataran Tinggi Dataran Rendah n % n % Subsisten 0 0 0 0 Komersil 22 73 1 7 Kapitalis 8 27 14 93 Total 30 100 15 100 Hasil lain yang dipaparkan dalam Tabel 16 adalah jenis moda produksi yang berkembang di daerah dataran tinggi. Moda produksi dominan yang berkembang di daerah ini adalah moda produksi komersil, yaitu sebesar 73 persen. Moda produksi kapitalis menjadi moda produksi kedua yang berkembang yaitu sebesar 27 persen. Perkembangan moda produksi kapitalis di Desa Bansari semakin tinggi. Diprediksi bahwa moda produksi kapitalis akan terus berkembang dan menjadi moda produksi dominan dalam komunitas petani tembakau di daerah dataran tinggi. Dapat disimpulkan bahwa moda produksi petani tembakau di Desa Bansari sebagai representasi dari dataran tinggi adalah moda produksi komersil
41 menuju moda produksi kapitalis atau dapat disebut sebagai moda produksi prakapitalis.
Gambar 11
Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan moda produksi
Analisis data hasil penelitian ini menggunakan uji statistik tabel anova dengan perangkat lunak SPSS menunjukkan signifikansi yang sangat tinggi dalam pengujian hubungan antara variabel lokasi lahan garapan dengan variabel moda produksi. Hasil analisis menggunakan tabel anova menunjukan angka signifikansi regresi 0,000 yang berarti lebih kecil dari angka taraf nata 0,05 (5%). Analisis data ini menunjukkan bahwa lokasi lahan garapan berhubungan nyata dengan moda produksi. Ikhtisar Penelitian ini membandingkan jenis moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau di dataran tinggi yang direpresentasikan Desa Bansari, Kecamatan Bulu, dibandingkan dengan dataran rendah yang direpresentasikan Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung. Jenis moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau dapat ditentukan apabila telah mengetahui jenis kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi terlebih dahulu. Kekuatan produksi diukur menggunakan beberapa variabel, yaitu luas penguasaan lahan, status penguasaan lahan, status penguasaan alat produksi non-lahan, unit produksi, dan penggunaan hasil produksi. Dari hasil penelitian ini diperoleh data pada masing-masing variabel. Pada variabel luas lahan diperoleh data bahwa persentase terbanyak, yaitu 43 persen masyarakat dataran tinggi memiliki lahan sempit, sedangkan 40 persen mayarakat dataran rendah memiliki lahan sedang. Pada variabel status penguasaan lahan, masyarakat dataran tinggi memiliki lahan dalam keluarga kecil sebanyak 83 persen, sedangkan persentase terbanyak di dataran rendah yaitu 67 persen adalah petani penggarap.
42 Pada variabel status penguasaan alat produksi non-lahan, didapatkan data bahwa 97 persen masyarakat di dataran tinggi memilikinya dalam lingkup keluarga kecil, 3 persen sisanya memiliki alat produksi non-lahan dalam lingkup keluarga besar. Dominasi juga terjadi pada penguasaan alat produksi non-lahan di dataran rendah, yaitu 100 persen masyarakat di dataran rendah memilikinya dalam lingkup keluarga kecil. Variabel selanjutnya yang menjadi dasar penentuan jenis kekuatan produksi adalah unit produksi. Hasil penelitian di dataran tinggi menunjukkan bahwa 43 persen masyarakat menggunakan unit produksi keluarga dan 37 persen tetangga dekat. Berbeda dengan hasil yang diperoleh di dataran rendah yang menunjukkan bahwa 73 persen masyarakat menggunakan tenaga buruh harian. Variabel terakhir yang dilihat untuk menentukan jenis kekuatan produksi adalah penggunaan hasil produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 93 persen masyarakat dataran tinggi menjual tembakau mereka langsung ke perusahaan, sedangkan dominasi di dataran rendah yaitu sebesar 67 persen masyarakat dataran rendah menjual tembakaunya ke tengkulak atau juragan lokal. Dari variabel-variabel ini kemudian dapat diketahui bahwa persentase terbesar yaitu 60 persen masyarakat dataran tinggi menggunakan kekuatan produksi komersil, dan dominasi penggunaan kekuatan produksi kapitalis di dataran rendah cukup tinggi yaitu 67 persen. Dominasi kekuatan produksi komersil di dataran tinggi dan kekuatan produksi kapitalis di dataran rendah kemudian diuji menggunakan tabel anova dalam analisis regresi linear menggunakan SPSS dengan hasil signifikansi regresi 0,006 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan nyata antara lokasi lahan garapan dengan kekuatan produksi yang digunakan masyarakat petani tembakau, yaitu kecenderungan penggunaan kekuatan produksi komersil pada lokasi lahan garapan di dataran tinggi dan kecenderungan penggunaan kekuatan produksi kapitalis pada lokasi lahan garapan di dataran rendah. Setelah kekuatan produksi, untuk mengetahui jenis moda produksi yang berkembang maka harus diketahui jenis hubungan sosial produksi yang digunakan oleh masyarakat petani tembakau di dataran tinggi dan dataran rendah. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa dominasi hubungan sosial produksi komersil petani tembakau yaitu sebesar 94 persen terjadi di dataran rendah, sedangkan di dataran rendah terjadi dominasi hubungan sosial produksi kapitalis petani tembakau yaitu sebesar 87 persen. data ini kemudian diolah mengunakan analisis regresi dan memunculkan tabel anova dengan signifikansi regresi 0,000 (p<0,05) yang membuktikan bahwa terdapat hubungan nyata antara lokasi lahan garapan dengan hubungan sosial produksi petani tembakau yang berkembang, yaitu dominasi hubungan sosial produksi komersil di dataran tinggi dan dominasi hubungan sosial produksi kapitalis di dataran rendah. Penelitian sudah menunjukkan jenis kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi, sehingga dapat ditentukan jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau di dua lokasi lahan garapan yang berbeda. Dari hasil penilaian, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi dominasi penggunaan moda produksi komersil, yaitu sebesar 73 persen di dataran tinggi. Selebihnya petani tembakau di dataran tinggi menggunakan moda produksi kapitalis. Hal lain terjadi di dataran rendah. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 93 persen masyarakat petani tembakau di dataran rendah sudah menggunakan moda produksi kapitalis, sedangkan sisanya sebanyak 7 persen masih
43 menggunakan moda produksi komersil. Hasil ini kemudian dimasukkan dalam uji statistik regresi liner yang menghasilkan tabel anova dan menunjukkan signifikansi regresi sebesar 0,000 (p<0,05) yang ebrarti terdapat hubungan nyata antara lokasi lahan garapan dengan moda produksi yang berkembang di dalam masyarakat petani tembakau. Terjadi dominasi penggunaan moda produksi kapitalis pada petani tembakau di dataran rendah dan dominasi penggunaan moda produksi komersil pada petani tembakau di dataran tinggi. Hasil analisis ini kemudian dicocokkan dengan data kualitatif yang didapatkan dari metode studi kasus. Dari hasil penggabungan dua metode ini kemudian diketahui bahwa benar petani tembakau di dataran rendah hampir seluruhnya menggunakan moda produksi kapitalis, sedangkan pada petani tembakau di dataran tinggi ternyata masih terjadi pergeseran dari penggunaan moda produksi komersil ke moda produksi kapitalis. Hasil studi kasus yang dilakukan menyebutkan bahwa penggunaan moda produksi kapitalis semakin hari semakin banyak dilakukan. Hal ini menyimpulkan bahwa masyarakat petani tembakau di dataran tinggi saat ini menggunakan moda produksi komersil menuju kapitalis, atau dapat disebut sebagai moda produksi prakapitalis.
44
45
FAKTOR-FAKTOR PEMBEDA MODA PRODUKSI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor pembeda moda produksi petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Faktorfaktor ini dikelompokkan dari hasil studi kasus dengan beberapa informan di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi dari daerah dataran rendah dan Desa Bansari sebagai representasi dari daerah dataran tinggi. Dataran Rendah Pola pertanian di wilayah dataran rendah menggunakan sistem pertanian sawah karena air yang melimpah dan kontur lahan yang landai sehingga bisa menahan air. Masyarakat petani di dataran rendah yang sebagian besar menggunakan sistem pola pertanian sawah akan menunjukkan praktik moda produksi kapitalis yang tinggi. Hal ini disebabkan karena komoditas yang biasanya ditanam, yaitu padi, merupakan komoditas pokok yang setiap saat diperjualbelikan menggunakan mekanisme kapitalis. Fakta lain yang mendukung adalah sumbangan sejarah orde baru yang memperkenalkan revolusi hijau kepada petani padi sawah sehingga pemikiran-pemikiran kapitalis dapat terintroduksi secara besar-besaran. Penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2005) menunjukkan fakta bahwa revolusi hijau pada zaman orde baru mendorong perubahan moda produksi dari semi-kapitalis menjadi kapitalis pertanian. Terjadi kegiatan produksi padi besar-besaran pada zaman orde baru dengan janji kesejahteraan yang ditawarkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Revolusi hijau yang menuntut modal lebih dari masyarakat dan berhubungan dengan agenagen kapitalis, seperti perusahaan pupuk kimia, produsen benih unggul hibrida, penyedia mesin-mesin pertanian, serta penjual obat-obatan antihama, membuat masyarakat berpikir untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dengan menjual hasil produksi mereka. Pola pertanian seperti ini dilakukan oleh masyarakat petani di dataran rendah bukan hanya untuk komoditas padi saja, namun untuk komoditas lainnya, termasuk tembakau. “Saking zaman Pak Harto tiyang mriki sampun mikir adol-adol kasil sawahipun kudu angsal bathi gedhe. Alasane nggih ben kurup kalih usahane. Nanging biasane kasil sawah umpami pari enten sebagian disimpen kagem butuhane piyambak. Gabahe disimpen, lajeng nek butuh beras sek diselep.” (Dari zaman Pak Harto orang di daerah ini sudah berpikir untuk menjual hasil sawahnya untuk mendapatkan untung yang besar. Alasannya agar sebanding dengan usaha yang dilakukan. Tapi biasanya hasil sawah seperti padi ada sebagian yang disimpan untuk kebutuhan sendiri. Gabahnya disimpan, lalu jika membutuhkan beras baru digiling.) – Bapak BBS (Ketua Gapoktan) Informasi yang diperoleh dari para informan di dataran rendah menyatakan bahwa orientasi pasar pada seluruh komoditas, termasuk tembakau, yang mendasari kegiatan produksi petani membuat petani berusaha keras untuk
46 menghasilkan produk berkualitas terbaik. Selain orientasi, menurut para informan tingkat pendidikan juga dapat membedakan jenis moda produksi yang berkembang di dalam komunitas petani tembakau. Tingkat pendidikan tidak hanya menyebabkan perbedaan praktik moda produksi secara langsung. Ada beberapa faktor sistemik yang disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan. Pertama, kesempatan kerja yang didapatkan. Berbagai sektor di luar pertanian kini membutuhkan banyak tenaga kerja dengan persyaratan minimal tingkat pendidikan. Hal ini menyebabkan kesempatan kerja yang didapatkan oleh masyarakat di dataran rendah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat di dataran tinggi. Perbedaan kesempatan kerja ini membuat banyak pilihan kerja bagi masyarakat di dataran rendah. Masyarakat dataran rendah mencari pekerjaan yang lebih baik dan kompetitif. Apabila mereka bekerja menjadi buruh di petani tembakau, maka mereka menginginkan sistematika pembayaran yang minimal sama dengan pembayaran yang mereka akan dapatkan jika bekerja di sektor lain. Sistem kapitalisme kemudian berkembang pesat dan menjunjung tinggi profesionalisme pekerja. Kedua, masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi tentu mendapatkan doktrinasi kapitalisme lebih kuat. Hal ini didasarkan pada kegiatan belajar mengajar di kelas yang memberikan pengetahuan mengenai ekonomi semakin luas ketika tingkat pendidikan semakin tinggi. Pengetahuan mengenai ekonomi ini dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Tingkat pendidikan rata-rata di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi dari dataran rendah adalah sekolah menengah (SLTA dan SLTP). Hal ini dipengaruhi oleh mudahnya akses terhadap instansi pendidikan. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan kesempatan kerja di luar bidang pertanian yang semakin luas bagi masyarakat dataran rendah membuat berkurangnya tenaga kerja pertanian. Pekerjaan di sektor pertanian, terutama tembakau, mulai ditinggalkan oleh masyarakat sebab dianggap tidak lebih menguntungkan daripada bekerja di sektor lain yang mendapatkan pemasukan lebih besar dengan frekuensi yang lebih jelas. Kebutuhan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja membuat kompetisi antarpetani tembakau. Beberapa hal di atas yang membuat petani tembakau kemudian saling berkompetisi, bahkan bukan hanya antarpetani, namun juga dengan pencari pekerja dari sektor lain, agar kebutuhan tenaga kerja untuk mengelola pertanian tembakau dapat terpenuhi. ”Alhamdulillah tiyang mriki sampun sami melek pendidikan. Sakniki anak-anak tani mriki sampun sami SMA, malah kathah sing kuliah. Tani-tani mriki pun mboten remen nek anake mangkih nyambut damel dados tani, wong sampun sami ngrasaake mboten penake dados tani ngeten. Napa malih rata-rata mboten gadhah sawah piyambak sing ajeng diwarisake, wong sawah mawon sami nyewa.” (Alhamdulillah orang sini sudah melek pendidikan. sekarang anak-anak petani di sini sudah banyak SMA, malah banyak yang kuliah. Para petani sudah tidak ingin kalau anaknya nanti bekerja menjadi petani, karena sudah pernah merasakan tidak enaknya jadi petani seperti ini. apa lagi ratarata tidak punya sawah sendiri yang akan diwariskan, orang sawah saja pada menyewa.) – Bapak BBS (Ketua Gapoktan)
47 Orang tua yang bekerja sebagai petani di dataran rendah saat ini berlombalomba untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan lebih tinggi dengan harapan anaknya tidak bekerja di sektor pertanian. Masyarakat petani menganggap bahwa bekerja di sektor pertanian tidak akan mengangkat derajat keluarga seperti yang terjadi ketika orang lain bekerja di sektor selain pertanian. Masyarakat petani di Dusun Nglarangan, Kelurahan Jampirejo misalnya membandingkan diri mereka dengan warga di Lingkungan Margasari di kelurahan yang sama yang terpisah oleh lokasi pemakaman. “Wong Margasari uripe luwih kepenak. Do dadi pegawe, ora dadi tani. Wis jelas oleh gaji. Omahe apik-apik wong dadi guru, polisi, bidan ya ana.” (Orang Margasari hidupnya lebih enak. Menjadi pegawai, tidak menjadi petani. Sudah jelas mendapatkan gaji. Rumahnya bagus-bagus karena menjadi guru, polisi, bidan juga ada.) – Bapak SKN (petani tembakau dan pensiunan PNS). Masyarakat memandang ukuran materi yang didapatkan secara tetap setiap bulan sebagai hal yang lebih terhormat dibandingkan menjadi petani atau buruh tani dengan upah yang sama diberikan seperti pada sektor lain. Masyarakat dataran rendah kemudian berduyun-duyun untuk mengarahkan anggota keluarganya bekerja di sektor lain yang mereka anggap lebih menjanjikan. “Mugi-mugi anak kula sing sakniki kuliah mboten kados kula, dados tani, ben saget ngangkat derajat kulawarga.” (Semoga anak saya yang sekarang sedang kuliah tidak seperti saya, menjadi petani, agar dapat mengangkat derajat keluarga.) – Bapak BBS (Ketua Gapoktan). Kesempatan kerja di sektor lain yang tinggi karena kedekatan dengan pusat kota menjadikan sistematika pekerjaan dan pembayaran pekerja berusaha disamakan dengan sistematika di sektor lain. Padahal sektor lain, misal sektor industri, secara langsung mempraktikkan moda produksi kapitalis. Petani tembakau kemudian mengikuti jejak-jejak sektor lain dan menggunakan moda produksi kapitalis untuk mendapatkan tenaga kerja. Hal ini disampaikan oleh salah seorang informan dari Kelurahan Jampirejo. “Nek ting mriki riyen nggih ngagem guyub. Lha milai jaman Soeharto, sampun milai malih-malih. Nek ajeng mbayar buruh nggih kudu mbayar harian napa borongan. Nek harian biasane rong puluh ewu sak awan. Nek borongan tergantung ambane sawah. Pun kathah buruh sing mboten purun nyambut damel wonten sawah. Ting mriki mawon malah sami milih dados buruh ting pabrik kaya Tessa nika, wong jare ting mrika jelas angsal gaji ben seminggu pisan. Butuhane masyarakat kan pun mulai kathah, tur regi-regi sakniki jan larang. Mulane nika masyarakat sami kathah sing gantos gaweyan.” (Kalau di sini dulu menggunakan guyub. Lha, mulai zaman Soeharto, sudah mulai berubah-ubah. Kalau mau membayar buruh ya harus membayar harian atau borongan. Kalau harian biasanya dua puluj
48 ribu satu siang. Kalau borongan tergantung luasnya sawah. Sudah banyak buruh yang tidak mau bekerja di sawah. Di sini saja malah pada memilih menjadi buruh pabrik seperti Tessa, orang katanya di sana jelas dapat gaji setiap minggu sekali. Kebutuhan masyarakat kan sudah mulai banyak, apalagi harga-harga sekarang sangat mahal. Itulah penyebab masyarakat banyak yang ganti pekerjaan.) – Bapak BBS (Ketua Gapoktan) Petani tembakau di dataran rendah mulai mempraktikkan jual beli tenaga dengan patokan upah yang telah ditentukan seperti yang terjadi di sektor industri untuk membayar buruh upahan. Introduksi moda produksi kapitalis berjalan cepat dengan prinsip padat modal dan harus membeli tenaga kerja secara profesional. Hubungan guyub dan patron-client kini hampir tidak pernah dipraktikkan kembali. Di sisi lain, petani tembakau menganggap penggunaan moda produksi kapitalis lebih menguntungkan karena tanggung jawab sosial yang dulu harus dipenuhi oleh seorang patron untuk client yang ia miliki tidak lagi dilakukan. Hubungan antara masyarakat petani semakin renggang dengan hilangnya kerjakerja kolektif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat petani tembakau berubah menjadi individualis. Masyarakat petani tembakau di dataran rendah berlokasi dekat dengan pasar, baik secara fisik maupun substantif. Dekatnya masyarakat petani tembakau dengan pasar membuat aksesibilitas pasar semakin tinggi. Aksesibilitas pasar ini digunakan oleh mayarakat petani tembakau untuk menjual hasil pertanian tembakau, baik olahan atau hasil yang belum diolah kepada pasar secara terbuka. Pada beberapa kesempatan, petani tembakau di Kelurahan Jampirejo malah bukan mendatangi pembeli namun didatangi. Hal ini terjadi karena kompetisi yang sangat tinggi dari para perusahaan tembakau untuk mencari tembakau yang berkualitas, sehingga kecil kemungkinan bagi masyarakat petani untuk mengumpulkan dan menjual hasil pertaniannya secara kolektif. Seluruh perdagangan dilakukan oleh petani sebagai individu. Moda transportasi yang mudah dan fasilitas jalan yang nyaman juga mempengaruhi perbedaan penggunaan moda produksi. ”Nggih nek transportasi ting mriki nggih saking gampange. Kopata kathah. Dalan pun kepenak, mboten kaya nek ting nggunung. Biasane wong mriki adol sata ndhewe-dhewe. Nek enten sing nebas nggih ditebasake. Nek mboten didol godhongan. Nek dirajang dhewe nggih mangkih didol dhewe.’ (Ya kalau transportasi di sini ya sangat mudah. Angkot banyak. Jalan sudah enak, tdak seperti di gunung. Basanya orang sini menjual tembakau sendiri-sendiri. Kalau ada yang nebas ya ditebaskan. Kalau tidak dijual daunan. Kalau dirajang sendiri ya nanti dijual sendiri.) – Bapak BBS (Ketua Gapoktan). Masyarakat petani dataran rendah dapat mengakses pasar sewaktu-waktu untuk menjual hasil usaha pertanian mereka. Penjualan hasil biasanya dilakukan secara individu atau dijual di tengkulak yang sering datang. Kedekatan dengan lokasi pasar juga membuat sektor usaha perdagangan terbuka lebar sehingga menarik minat petani untuk beralih profesi atau bekerja sambilan sebagai pedagang.
49 Dataran Tinggi Masyarakat di daerah dataran tinggi tidak bisa menanam padi sebagai komoditas tanaman pangannya karena keadaan lahan yang tidak mendukung. Lahan pertanian yang tersedia di dataran tinggi adalah lahan kering (tegalan) tanpa ada saluran irigasi dan hanya mengandalkan hujan sebagai sumber pasokan air bagi tanaman yang dibudidayakan. Revolusi hijau pada zaman orde baru tidak menyentuh secara langsung pola pertanian di dataran tinggi yang tidak mengusahakan tanaman padi. Introduksi revolusi hijau di daerah ini terjadi dengan cara perembesan informasi dan teknologi dari wilayah dataran rendah ke dataran tinggi. Pada awalnya, produksi pertanian di dataran tinggi tidak terfokus pada bagaimana cara mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya karena alat produksi pertanian, seperti pupuk dan alsintan, dapat dipenuhi secara mandiri oleh masyarakat. Introduksi moda produksi kapitalis kemudian terjadi ketika masyarakat dataran tinggi berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dataran rendah dalam hubungan pasar, saling menjual dan membeli hasil produksi pertanian yang mereka hasilkan. ”Program pertanian pemerintah babar blas ora mlebu nggunung.” (Program pertanian pemerintah sama sekali tidak masuk ke dataran tinggi) – Bapak SYM (Petani tembakau). Masyarakat dataran tinggi menanam jagung untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok. Disamping memproduksi jagung, masyarakat dataran tinggi banyak membeli beras hasil produksi pertanian masyarakat dataran rendah. Hal ini juga dilakukan oleh masyarakat Desa Bansari. Setiap tahunnya mereka menanam jagung dan mengolahnya menjadi inthil (nasi jagung instan). Masyarakat mengakui bahwa dahulu mereka dapat hidup hanya dengan memakan olahan jagung yang mereka peroleh secara subsisten, namun saat ini ketergantungan terhadap nasi sanagt tinggi karena introduksi penyeragaman makanan pokok yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Saat ini sekitar 60 persen pangan masyarakat dataran tinggi berasal dari padi yang notabene bukan hasil pertanian asli masyarakat dataran tinggi dan mereka harus membelinya. Subsistensi masyarakat dataran tinggi dalam pemenuhan pangan menjadi berkurang, sedangkan sifat konsumerisme meningkat. Berbeda dengan rataan masyarakat petani tembakau di daerah dataran rendah yang berpendidikan sekolah menengah, baik pertama maupun atas, rataan masyarakat petani tembakau di daerah dataran tinggi adalah berpendidikan sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan di Desa Bansari juga disampaikan oleh salah seorang informan dalam wawancara mendalam yang dilakukan. ”Wong Bansari tingkat pendidikane rendah, rata-rata mung SD. Seje karo wong ndeso, wis pada melek karo pendidikan. Tur nang kene akses gawe sekolah yo angel tur adoh. Jajal nang kene sarjana mung wong pira bisa dietung. Wong lurahe wae lulusan SMA. Sing dadi pamong yo pada, malah luwih rendah pendidikane. Ana pamong sing SMP wae mutik, njuk saiki melu kejar paket.” (Orang Bansari tingkat pendidikannya rendah, rata-rata hanya SD. Berbeda
50 dengan orang ndeso, sudah melek dengan pendidikan. Apalagi di sini akses untuk sekolah susah dan jauh. Coba di sini sarjana hanya berapa orang bisa dihitung. Orang lurahnya saja lulusan SMA. Yang jadi pamong juga sama, bahkan lebih rendah pendidikannya. Ada pamong yang SMP saja keluar, lalu sekarang ikut kejar paket.) – Bapak SYM (Petani tembakau). Masyarakat dataran tinggi belum peduli terhadap pendidikan. Pendidikan yang cenderung rendah membuat kesempatan kerja di sektor lain juga rendah. Akses terhadap pekerjaan di sekitar masyarakat dataran tinggi juga sebatas pada sektor pertanian. Petani tembakau atau juragan dapat mencari tenaga kerja dengan sangat mudah. Romantisme pedesaan dan adat yang dijunjung tinggi membuat hubungan antara pekerja dan yang mempekerjakannya menjadi dekat seperti keluarga. Hal ini yang menyebabkan moda produksi kapitalis belum banyak digunakan oleh petani tembakau. Moda produksi kapitalis hanya digunakan oleh beberapa orang yang mengolah lahan besar. Pada praktik moda produksi kapitalis di Desa Bansari, hanya sedikit orang yang menggunakan moda produksi kapitalis, terbatas pada orang-orang yang dianggap sebagai juragan. Namun ciri khas di daerah ini, juragan yang mempraktikkan moda produksi kapitalis masih dapat mengenal dekat orang yang bekerja dengannya. Hal ini ditandai dengan tutur bahasa dan interaksi yang egaliter. Tutur bahasa yang digunakan oleh juragan dan buruh yang bekerja di dataran tinggi adalah bahasa ngoko. Jarang digunakan unggah ungguh kecuali kepada orang yang dianggap sesepuh. Interaksi yang egaliter juga terlihat, misalnya pada saat makan bersama antara juragan dan buruh, lauk yang disajikan sama saja. Masyarakat dataran tinggi jauh dari lokasi pasar secara fisik. Akses terhadap moda transportasi juga sulit sebab hanya sekali setiap hari kendaraan umum mengangkut penumpang dari desa ini. Sebenarnya masyarakat sangat mudah untuk pergi ke kota jika mereka memiliki kendaraan pribadi. Namun tidak semua rumah tangga mempunyai kendaraan pribadi. Terlebih jalan yang harus dilalui adalah jalan trasahan (terbuat dari batu) dengan kemiringan hingga 40 derajat. Masyarakat mengaku selalu mengumpulkan hasil olahan pertanian tembakau mereka dan dijual secara kolektif. “Kula adol mbako dikempalake riyin. Sareng-sareng kalih tangga teparo mangkih adol ting gudang.” (Saya menjual tembakau dikumpulkan dulu. Bersama-sama dengan tetangga nanti menjual ke gudang) – Bapak PNS (Petani tembakau dan mantan anggota BPD) Hasil FGD yang dilakukan di Desa Bansari menyebutkan aksesibilitas pasar ini merupakan salah satu faktor pembeda antara moda produksi yang digunakan oleh masyarakat di desa ini dibandingkan dengan masyarakat di daerah dataran rendah yang dekat dengan ibukota kabupaten. Mereka mengaku bahwa ketika mereka ingin memasukkan hasil olahan tembakau mereka ke perusahaan rokok, masyarakat harus menunggu agar terkumpul banyak dulu, dan mereka harus melakukannya mandiri, tidak seperti masyarakat di dataran rendah yang dijemput pedagang atau perusahaan rokok. Di daerah dataran tinggi juga tidak ada
51 sistem tebasan, atau hanya sedikit masyarakat petani yang menggunakan sistem penjualan daun hijauan seperti ini. Ini disebabkan tidak ada pihak perusahaan yang mau menjemput bola kepada masyarakat dataran tinggi disebabkan oleh akses yang susah, meski sering kali hasil olahan tembakau dari dataran tinggi dihargai berkali lipat dibandingkan dengan hasil olahan tembakau dari dataran rendah, yaitu tembakau srinthil yang hanya dapat dihasilkan di dataran tinggi. Ikhtisar Pembahasan hasil wawancara mendalam mengenai dataran rendah dan dataran tinggi dapat dirangkum menjadi matrik perbandingan faktor-faktor pembeda sebagai berikut: Tabel 17
Perbandingan dataran rendah dan dataran tinggi berdasarkan faktorfaktor pembeda moda produksi Lokasi Lahan Garapan Faktor Pembeda Dataran Rendah Dataran Tinggi Pola Pertanian Sawah irigasi Lahan kering (tegalan) Orientasi Produksi Pasar Subsisten (konsumsi) Tingkat Pendidikan Menengah Rendah Kebutuhan Tenaga Kerja Tinggi Rendah Aksesibilitas Pasar Dekat Jauh Faktor-faktor yang membuat perbedaan penggunaan moda produksi oleh petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi adalah pola pertanian, orientasi produksi, tingkat pendidikan, kebutuhan tenaga kerja, dan aksesibilitas pasar. Pola pertanian dan orientasi produksi berhubungan erat dengan introduksi revolusi hijau yang hanya dilakukan di dataran rendah, yaitu daerah yang dapat menghasilkan padi sebagai komoditas pertaniannya. Pemikiran kapitalis pertanian ditekankan oleh pemerintah kepada masyarakat dataran rendah. Masyarakat dituntut untuk menggunakan pupuk kimia, obat antihama, mesinmesin pertanian, dan benih dari varietas unggul yang notabene tidak bisa disediakan secara mandiri oleh masyarakat petani. Akhirnya mereka harus membeli kepada perusahaan (sebagai bentuk dari agen kapitalis) dan bergantung hingga saat ini. Masyarakat petani kemudian berpikir untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya agar dapat menutup biaya yang mereka keluarkan saat membeli alat produksi pertanian dari pasar. Praktik moda produksi kapitalis pertanian kemudian berkembang hebat di daerah dataran rendah. Berbeda halnya dengan masyarakat dataran tinggi yang tidak dapat menanam padi, mereka tidak mendapatkan program-program peningkatan produksi tanaman pangan oleh pemerintah orde baru. Namun pemerintah mengintroduksikan beras sebagai makanan pokok utama yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Awalnya masyarakat dataran tinggi dapat memenuhi kebutuhan pangannya secara subsisten dengan memproduksi jagung, pada akhirnya mereka harus bergantung pada produksi padi dari masyarakat dataran rendah. Masyarakat dataran tinggi awalnya tidak menggunakan moda produksi kapitalis pertanian, namun intensitas hubungan yang tinggi dengan masyarakat dataran rendah, masyarakat dataran
52 tinggi saat ini terus bergerak menuju penggunaan moda produksi kapitalis. Faktor pola pertanian ini adalah faktor pembeda dominan yang dapat dilihat pada petani di dataran tinggi. Faktor ketiga adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan di dataran rendah lebih tinggi apabila dibandingkan dengan di dataran tinggi. hal ini disebabkan karena aksesibilitas sekolah yang berbeda antara dua daerah ini. Selain itu, hal ini dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Pendidikan yang lebih tinggi yang didapatkan oleh masyarakat dataran rendah membuat akses terhadap pekerjaan di sektor selain pertanian semakin terbuka lebar. Masyarakat yang telah berorientasi ekonomi dan memandang bahwa kebutuhan hidup semakin tinggi, mendesak masyarakat dataran rendah yang dekat dengan lapangan kerja untuk bekerja di sektor lain yang dapat menghasilkan uang secara intensif dan tetap. Pendidikan mendukung dengan pengajaran mengenai ekonomi kapitalis. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula pengetahuan dan jumlah masyarakat yang mempraktikan ekonomi kapitalis. Faktor ketiga di atas berhubungan langsung dengan kebutuhan tenaga kerja oleh petani tembakau. Masyarakat di dataran rendah yang memandang bahwa bekerja di sektor selain pertanian akan lebih menguntungkan membuat petani tembakau berusaha untuk menciptakan suasana yang sama karena mereka juga membutuhkan tenaga kerja. Petani tembakau kemudian meniru sistem yang digunakan oleh sektor-sektor lain dalam merekrut tenaga kerja. Sektor pertanian kemudian semakin profesional karena petani tidak ingin kehilangan tenaga kerja mereka. Akhirnya petani mempraktikkan moda produksi kapitalis yang digunakan oleh sebagian besar sektor selain pertanian. Hal berbeda terjadi di daerah dataran tinggi. Masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan dan jauhnya masyarakat dari ibukota kabupaten membuat kesempatan kerja di sektor lain sangat kecil. Mau tidak mau masyarakat di daerah dataran tinggi harus bekerja di sektor pertanian. Petani tembakau di daerah dataran tinggi tidak mengalami kesulitan dalam mencari tenaga kerja, sehingga perubahan penggunaan moda produksi tidak secepat yang terjadi di daerah dataran rendah. Faktor ini yang dominan menjadi faktor pembeda moda produksi petani tembakau di dataran rendah. Faktor terakhir adalah aksesibilitas pasar. Masyarakat dataran rendah sangat dekat dengan pasar dalam arti fisik maupun substantif. Masyarakat petani tembakau dapat dengan mudah menjual hasil pertanian tembakau ke pasar. Bahkan masyarakat tidak harus mencari pembeli. Sebagian besar pembeli mencari sendiri hasil pertanian tembakau di daerah dataran rendah. Hal ini ditunjang juga dengan akses transportasi yang sangat mudah. Berbeda halnya dengan masyarakat petani di dataran tinggi. akses terhadap pasar yang cenderung kecil membuat masyarakat harus mengumpulkan hasil olahan tembakau secara kolektif. Jika sudah terkumpul maka mereka akan segera menjualnya ke gudang atau perusahaan rokok. Sedikit pembeli yang mau mencari sendiri hasil olahan tembakau dari dataran tinggi karena aksesibilitas transportasi yang kurang memadai. Padahal kualitas hasil olahan tembakau di dataran tinggi dapat melebihi kualitas hasil olahan tembakau di daerah dataran rendah. Misalnya adalah tembakau srinthil yang hanya bisa diproduksi oleh petani di dataran tinggi, dapat dihargai sepuluh hingga lima belas kali lipat harga tembakau biasa.
53
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil deskripsi profil desa, moda produksi yang berkembang, dan faktor-faktor pembeda moda produksi petani tembakau, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat dua jenis moda produksi yang berkembang dalam masyarakat petani tembakau di dataran rendah dan dataran tinggi di Kabupaten Temanggung, yaitu moda produksi kapitalis dan moda produksi komersial. 2. Terdapat perbedaan moda produksi yang digunakan oleh masyarakat petani tembakau berdasarkan lokasi lahan garapan, yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Pada dataran rendah, petani tembakau cenderung menggunakan moda produksi kapitalis, meski beberapa di antara petani tembakau masih ada yang menggunakan moda produksi komersial. Pada dataran tinggi, petani tembakau cenderung menggunakan moda produksi komersil. Ditemukan fakta bahwa masyarakat petani tembakau di dataran tinggi semakin banyak yang menggunakan moda produksi kapitalis. Pada penelitian ini ditemukan indikasi bahwa penggunaan moda produksi kapitalis akan menguat di dataran tinggi, sehingga moda produksi saat ini adalah moda produksi komersial menuju ke penggunaan moda produksi kapitalis, atau dapat disebut sebagai moda produksi prakapitalis. 3. Faktor-faktor pembeda moda produksi yang digunakan oleh petani tembakau di dataran rendah dan dataran tinggi adalah pola pertanian, orientasi produksi, tingkat pendidikan, kebutuhan tenaga kerja, dan aksesibilitas pasar. Saran Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh lokasi lahan terhadap moda produksi yang berkembang, dapat diberikan masukan bahwa: 1. Perlu dilakukan pendampingan pemerintah terhadap kegiatan produksi tembakau di dataran tinggi karena introduksi moda produksi kapitalis dari dataran rendah dapat membuat tingkat kemiskinan masyarakat dataran tinggi lebih banyak. Hal ini disebabkan karena mekanisme patron-client mulai ditinggalkan oleh masyarakat petani di dataran tinggi, sehingga tanggung jawab sosial juragan terhadap buruh yang dipekerjakan oleh aktor kapitalis lokal berkurang. 2. Perlu dilakukan pendampingan pemerintah terhadap tingkat pndidikan di dataran tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan dapat mempengaruhi penerimaan introduksi kapitalisme dari dataran rendah tanpa penyaring untuk mempertahankan bagian dari moda produksi lokal yang dapat membantu mempertahankan kesejahteraan masyarakat. 3. Perlu dilakukan penelitian kembali mengenai sejarah perbedaan moda produksi yang berkembang antara petani tembakau di dataran rendah dan
54 dataran tinggi untuk mengetahui proses perubahan moda produksi pada masing-masing dataran. 4. Perlu dilakukan penelitian kembali mengenai proses perubahan sosial pada penggunaan moda produksi petani tembakau di dataran tinggi untuk mengetahu perkembangan moda produksi petani tembakau di dataran tinggi secara lebih rinci dan perbedaannya dengan moda produksi dataran rendah yang berubah lebih cepat.
55
DAFTAR PUSTAKA Abdul PRM. 1992. Capital, The State and The Emergence of Class Relations: The Case of A Rural Community in Southern Philippines. [Disertasi]. Kuala Lumpur [MY]:Universiti Putra Malaysia. Babie E. 2004. The practice of social research 13th edition. Belmont [CA]: Wadsworh. Fadjar U, Sitorus MTF, Dharmawan AH, dan Tjondronegoro SMP. 2008a. Perubahan Sistem Pertanian dan Munculnya Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi. Sodality. [Internet]. [Dikutip 29 Maret 2013]. Vol. 02 No. 02: 133-150. Dapat diunduh dari: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi5-1.pdf. Fadjar U, Sitorus MTF, Dharmawan AH, dan Tjondronegoro SMP. 2008b. Transformasi Sistem Produksi Pertanian dan Struktur Agraria Serta Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam). Jurnal Agro Ekonomi. [Internet]. [Dikutip 14 April 2013]. Vol. 26 No. 2: 209-233. Dapat diunduh dari http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE26-2e.pdf. Giddens A. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap Karya tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Soeheba Kramadibrata). Jakarta [ID]: UI-Press. [Judul asli Capitalism nad Modern Social Theory: An Analysis of Writing of Marx, Durkheim, and Max Weber]. Kahn SJ. 1974. Economic Integration And The Peasant Economic: The Minangkabau (Indonesia) Blacksmith. [Disertasi]. London [UK]: University of London (London School of Economics). Mashud M. 2011. Bab 21 Perubahan Sosial. Dalam Harwoko JD dan Suyanto B, editor. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta [ID]: Kencana Grenada Media Group. Hal 361-385. Munthe HM. 2007. Modernisasi dan perubahan sosial masyarakat dalam pembangunan pertanian: suatu tinjauan sosiologis. Jurnal Harmoni Sosial [Internet]. [Diunduh 7 Maret 2013]. Vol II No.1. Dapat diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18660/1/harsep20072%20%286%29.pdf. Pranadji T dan Hastuti EL. 2004. Transformasi Sosio-budaya dalam Pembangunan Pedesaan. [Internet]. [Diunduh 24 Maret 2013]. Dapat diunduh dari: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART02-1e.pdf. Purnomo M. 2005. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa. [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Rahardjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press.
56 Sitorus MTF. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. [Disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Sjaf S. 2006. Transmigrasi Sebagai Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan). [Tesis]. Jakarta [ID]: Institut Pertanian Bogor. Soemardjan S dan Soelaeman S. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta [ID]: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Stake RE. 1995. The art of case study research. California [US]: SAGE Publications, Inc. Sudrajat A. 1994. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat: Relevansinya dengan Islam Indonesia. Jakarta [ID]: Bumi Aksara. Sztompka P. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Alimandan). Jakarta [ID]: Kencana Grenada Media Group. 383 hal. [Judul asli The Sociology of Social Change]. Wianti NI, Dharmawan AH, Kinseng RA, dan Wigna W. 2012. Kapitalisme Lokal Suku Bajo. Sodality. [Internet]. [Dikutip 29 Maret 2013]. Vol. 06 No.01. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5810/4484.
57 Lampiran 1 Kerangka sampling Kerangka sampling Kelurahan Jampirejo NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
NAMA SEPTIA RINA USWATUN KHASANAH WINARTONO RESMI SETIASIH AVISA SAHDA NIRMALA PRAWOTO WARSINAH DINDA INTAN SAPUTRI SULASIH AMINAH ISTISAROH PENDY PRADANA YULIANA KARTIKA SARI MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN SITI KOMARIYAH MUHAMAD ISHLAAKHUL UMAM MUHAMAD BAHRUL ULUM MUCH SULASI SUDJIJAH JOYO PRAYITNO SRI LULUT AMAT SUJARI MUJIYONO MUTAAT MUJIANTO BAMBANG SUBAGYO MISNI DESLAKNYO WISNU HANJAGI YUBADMUDO PANDU ARGANDIKA TRIYANTO AYEM BAGAS FEBRIAN RUDI SETYAWAN HERMAN WIBIANTO MARSUDI SRI KANTI SABAT NUGROHO NURHADI SRI MONAH YUNITA ARVIANY
ALAMAT Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV
58 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
HADI WALUYO SUMIYATI GALUH SEPTI SARI PURNOMO KOMARIYAH SUKAMTO NOK IMBUH DIMAS HANISTYA ANDREAWAN ENDAH SILVI CAHYANINGRUM DARMO SUWITO RONDIYAH ROBANI YASIR AL QOMAH NANDA SEPTIA NINGTYAS NURIYA CATUR RAHMAYANI AMIN SUYANTI ELVA YULIYANI ADI SUPRIYANTO RIYANTO TARMIYATI NIRMA ELINA TERI PAMELA RULIYA DEVISTA ALDAMA RUDINDA OJI MAULANA BUDI KAHONO SRI LESTARI NABILA DITA KHOIRUNNISA SUPRAPTO SUPINAH QURROTA A'YUN QURROTUL 'AIN BAYU RUJITO TRAMIYATI DUDY ADAM PRASETYO BUDI SANTOSO NINIK HANDAYANI KHANIFA LIDYA ARUM TRAMIYATI ISKANDAR SRI WIDYASSARI ROYHAN ZULKARNAIN PASCA R MUHAMMAD SULTON NAUFALDIEN SLAMET WAHYONO
Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV
59 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124
WARSITI KINANTI SEKAR MEGA KHALILA HANUM KINASIH GALUH SEPTI SARI SUPONO SAFINGAH FAHRUDIN NGIZAL AROBI DANI ARSIANTO SITI ISTATIK DINO NATA ALFIAN DINA PUSPITA SARI ARI WARSONO WIDODO NURUL ZAKIYAH JERMIA KRISTIAWAN ENI MUSLIKAH DEWA VIGO KRISTIAWAN ANI SOLIKAH VERA MARDHIA NINGRUM SUTARNI BENI ERMANTO ERNA FIATI NATASYA ALDILA FITRI SHAKIRA DAHONO SUSILAH MUTIARA SHINTA ADICHA KURNIAWAN DESI AULIA ANGGRAINI LUSI KURNIAWATI HARDOYO MARYATI ARBAKHUL SHOLECHAH MUBANDI BUDI SANTOSO WAWAN SULISTYO WAHYUDI SITI SRIYANTI ANDRASARI WAHYU ROSANI ANDRIA WAHYU ROSANI ANINDYA WAHYU ROSANI HARTONO RAHYUNI
Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV
60 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167
ANTON ADI SETIYAWAN DWI CAHYO NUGROHO NURUL LIAWATI SUMPENO ROKHAYANI ANGGA NOFE SEPTIAWAN ANGGRAENI DEWI FATMAWATI AHMAD DARODJI SEMI SUTARTO SUMARJI YAHMINI SURATMIN SIYAMI RANNI RISTIANI RENDI CHRISTIANTO HADI SUPRAPTO AL TRIYONO SUKANTI ERMA ZUANASARI SUPRIYADI SRI SUMARNI WAHYU PURNOMO AJI ALVA FAIRUZ BACHTIAR HARYANTO SRI MARYATI YUANDA PRASETYO WINDA HARIYANI SUKADAH KHOLIFAH KHOFIFAH ZUKYRIZKY YUSUF FIRDHAUS FAIZUN NUR HIDAYAH IMAM TAUFIK SOLECHAN MUHROZI MADIYONO MUJINAH SRI WAHYUNI HERI FEBRIAWAN SARDI MARSIYAH PAWIRO REJO AL WASIDI
Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV
61 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199
KASMINI NURCAHYONO AL NIRUN SAREHNINGSIH VALENSIA FITRI RAMADHANI BAYU NOVA SUSANTO NOVI SUSANTI DIVA PUTRA PAMUNGKAS ACHMAD FAUZIN SUWARNI AMIN FATONI MUJIONO SUHARTI SUPARJONO ASIDAH MEI DIAH ASTUTI DWI BUDIHARGO YOYOK ISMANTO MUJIANI ALISA SAFIRA APRILISTYANI ADIF RISQI SAPUTRA MUH KHOLIL PIPIT KURNIA WATI DIVANO CHOPILA SADAM MARKAMAH AGUNG PURNOMO MIRA FASHABIRNI MOCHOLIL SUTIKNYO ANIK SETIYANI NANDA RIFKI PRATAMA BISMA TEGAR PRAMUDYA AGUS SOIB
Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV Dusun Nglarangan, RW IV
Kerangka sampling Desa Bansari *) NO 1 2 3 4 5 6
NAMA SEPI ESRINO SRI MULYATI WARDI KIRNI PAIJEM
ALAMAT DARI RT.1 RW.1 DUSUN DARI RT.1 RW.1 DUSUN DARI RT.1 RW.1 DUSUN DARI RT.1 RW.1 DUSUN DARI RT.1 RW.1 DUSUN DARI RT.1 RW.1
62 7 WAHYONO KUWAT DUSUN DARI RT.1 RW.1 8 MURYANTI DUSUN DARI RT.1 RW.1 9 SUKRISNO DUSUN DARI RT.1 RW.1 10 PUSPITASARI DWIASTUTI DUSUN DARI RT.1 RW.1 11 SLAMET GAMPANG DARI RT.1 RW.1 12 MULYANI DARI RT.1 RW.1 13 PUJI ROHANI DUSUN DARI RT.1 RW.1 14 DINA LESTARI DUSUN DARI RT.1 RW.1 15 LILIK TUYANI DUSUN DARI RT.1 RW.1 16 KLIDI DUSUN DARI RT.1 RW.1 17 TURSIAM DUSUN DARI RT.1 RW.1 18 SASTRO WIYONO DUSUN DARI RT.1 RW.1 19 PONIDI DUSUN DARI RT.1 RW.1 20 PAILAH DUSUN DARI RT.1 RW.1 21 SURATNO DUSUN DARI RT.1 RW.1 22 CUNDUK ASIH DUSUN DARI RT.1 RW.1 23 MADIYO UTOMO DUSUN DARI RT.1 RW.1 24 KLIYEM DUSUN DARI RT.1 RW.1 25 PAIDI DUSUN DARI RT.1 RW.1 26 TOHARI DUSUN DARI RT.1 RW.1 27 MARMI DUSUN DARI RT.1 RW.1 28 WAHYUNINGSIH DUSUN DARI RT.1 RW.1 29 WALDI DUSUN DARI RT.1 RW.1 30 SRI LILIS DUSUN DARI RT.1 RW.1 31 JUMADI DUSUN DARI RT.1 RW.1 32 RESMI DUSUN DARI RT.1 RW.1 ........ ...................................................................... ................................................. ........ ...................................................................... ................................................. 2360 SIAMIN DS BALONG RT.20 RW.4 2361 WALSIDI DS BALONG RT.20 RW.4 2362 SRIYATI DS BALONG RT.20 RW.4 2363 BOTHOK DS BALONG RT.20 RW.4 2364 ISTIYAH DS BALONG RT.20 RW.4 2365 JUMADI DS BALONG RT.20 RW.4 2366 WALBIAH DS BALONG RT.20 RW.4 2367 RIYANTO LAREMO DS BALONG RT.20 RW.4 2368 BEJO NAIM DS BALONG RT.20 RW.4 2369 NGAHAD DS BALONG RT.20 RW.4 2370 BOTOK DS BALONG RT.20 RW.4 *) Kerangka sampling untuk Desa Bansari selengkapnya dilampirkan dalam bentuk soft file.
63 Lampiran 2 Tabel Anova hasil pengolahan data statistik
ANOVA Model 1
Sum of Squares
b
df
Mean Square
Regression
1.612
1
1.612
Residual
8.388
43
.195
10.000
44
Total
F 8.264
Sig. .006
a
a. Predictors: (Constant), Kekuatan_Produksi b. Dependent Variable: Lokasi_Lahan_Garapan
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
b
df
Mean Square
6.400
1
6.400
800
43
.084
10.000
44
F 76.444
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), Hubungan_Sosial_Produksi b. Dependent Variable: Lokasi_lahan_garapan
ANOVA Model 1
Sum of Squares
b
df
Mean Square
Regression
3.953
1
3.953
Residual
6.047
43
.141
10.000
44
Total
a. Predictors: (Constant), Moda_Produksi b. Dependent Variable: Lokasi_Lahan_Garapan
F 28.105
Sig. .000
a
64
65 Lampiran 3 Kuisioner penelitian Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2013
Nomor Responden Tanggal Survei Tanggal Entri Data
KUISIONER PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU DI KABUPATEN TEMANGGUNG Peneliti bernama Deslaknyo Wisnu Hanjagi, merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan studi tingkat sarjana. Peneliti berharap Bapak/Ibu/Saudara/i menjawab kuesioner ini dengan lengkap dan jujur. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Terima kasih atas bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu/ Saudara/i untuk menjawab kuisioner ini. IDENTITAS RESPONDEN Nama Jenis Kelamin Umur Alamat No. Telp/HP Lama Tinggal di Lokasi Pendidikan Terakhir Pekerjaan
( ) Tidak Tamat SD ( ) SD ( ) SMP
( ) SMA ( ) Universitas ( ) Lainnya.........
66 A. KEKUATAN PRODUKSI Lahan Garapan 1. Luas lahan garapan : ........ ha 2. Status Penguasaan Lahan : ( ) Keluarga Besar ( ) Individu / keluarga kecil ( ) Hanya menggarap / maro Alat Produksi Non-lahan Mohon pertanyaan ini dipilih dengan memilih salah satu dari pilihan keluarga besar, keluarga kecil, atau juragan pada masing-masing kegiatan dengan memberikan tanda silang (X) atau tanda lainnya. Pemilik No Jenis Alat Produksi Keluarga Keluarga Kecil Juragan Besar 1 Modal Saprotan (cangkul, 2 pupuk, dll) Alat pengolahan hasil 3 pertanian tembakau Unit produksi dan tenaga kerja utama Mohon pertanyaan ini dipilih dengan memilih salah satu dari pilihan keluarga, tetangga, atau buruh upahan pada masing-masing kegiatan dengan memberikan tanda silang (X) atau tanda lainnya. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kegiatan
Keluarga Sendiri
Dikerjakan oleh*) Tetangga Buruh Upahan Dekat dari Luar
Penanaman tembakau Pemeliharaan tanaman tembakau Pemanenan tembakau Pengrajangan tembakau Penataan tembakau rajangan di atas rigen (nanjang) Pengeringan tembakau rajangan (mepe) Proses Pemuatan (ngemot)
Penggunaan hasil produksi tembakau Hasil produksi tembakau Anda gunakan untuk: ( ) konsumsi sendiri. ( ) dijual kepada tengkulak atau pengusaha lokal. ( ) dijual kepada perusahaan besar (seperti Gudang Garam, dll).
67 B. HUBUNGAN SOSIAL PRODUKSI Mohon diisi dengan memberikan tanda silang (X) atau tanda yang lainnya pada kolom S jika Anda setuju dengan pernyataan atau pada kolom TS jika Anda tidak setuju dengan pernyataan. Subsisten No Pernyataan 1 Pekerjaan mengelola budidaya tanaman tembakau dan pengolahan hasilnya dilakukan mandiri oleh anggota keluarga sendiri saja. 2 Dalam budidaya tanaman tembakau, saya mencari pekerja dari keluarga sendiri. 3 Saya mengenal sangat dekat dengan buruh yang bekerja di lahan saya. 4 Saya menganggap bahwa buruh yang bekerja di lahan saya seperti keluarga dekat. 5 Saya menganggap bahwa buruh yang bekerja di lahan saya setara dengan kedudukan saya sebagai yang mempekerjakan. Komersil No Pernyataan 1 Pekerjaan mengelola budidaya tanaman tembakau dan pengolahan hasilnya dilakukan dengan bantuan tetangga dekat. 2 Tetangga dekat yang dipekerjakan mendapatkan upah sesuai dengan hasil pekerjaannya. 3 Saya mengenal sangat dekat dengan buruh yang bekerja di lahan saya. 4 Saya menganggap bahwa buruh yang bekerja di lahan saya seperti keluarga dekat. 5 Saya menganggap bahwa buruh yang bekerja di lahan saya setara dengan kedudukan saya sebagai yang mempekerjakan. Kapitalis No Pernyataan 1 Pekerjaan mengelola budidaya tanaman tembakau dan pengolahan hasilnya dilakukan oleh buruh harian. 2 Saya mencari buruh harian tidak terbatas di dalam lingkungan desa saya. 3 Saya tidak mengenal buruh yang bekerja di lahan saya. 4 Saya menganggap bahwa buruh yang bekerja di lahan saya hanya sebagai pekerja saja. 5 Saya menganggap bahwa buruh yang bekerja di lahan saya tidak setara dengan kedudukan saya sebagai yang mempekerjakan.
S
TS
S
TS
S
TS
68
69
RIWAYAT HIDUP Deslaknyo Wisnu Hanjagi dilahirkan di Temanggung, 10 Desember 1992 dari pasangan Bambang Subagyo dan Misni. Pendidikan formal dijalani penulis mulai dari TK Masyithoh Jampirejo Timur, Temanggung (1996-1998), SD N 2 Jampirejo, Temanggung (1998-2004), SMP N 2 Temanggung (2004-2007), dan SMA N 1 Temanggung (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa SMP penulis mendapatkan beasiswa prestasi penuh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, SMA mendapatkan beasiswa prestasi dari Bank BRI, dan Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Berprestasi (Bidik Misi) Dikti saat belajar di IPB. Selain aktif dalam kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti berbagai organisasi, yaitu sebagai sekretaris BP Hubungan Kelembagaan dan PJ Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (MPMKM) IPB periode 20102011, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPMKM) IPB periode 2010-2011, ketua Forum Syi’ar Islam (Forsia) Fakultas Ekologi Manusia IPB beriode 2011-2012 dan 2012-2013, sekretaris Forum Rohis Kelas (FRK) IPB periode 2013-2014 dan organisasi-organisasi lainnya. Pengalaman kerja penulis adalah sebagai asisten praktikum dan koordinator asisten MK. Sosiologi Umum tahun ajaran 2012-2013, asisten praktikum MK. Pendidikan Agama Islam tahun 2011-2013, asisten praktikum MK. Ilmu Penyuluhan tahun ajaran 2012-2013, asisten praktikum MK. Pengantar Ilmu Kependudukan tahun ajaran 2012-2013, staf pengajar mata pelajaran Fisika di SMA Kejar Paket C Terbuka Yayasan Cahaya Dhuafa Bubulak, staf pengajar MK. Landasan Matematika dan MK. Pengantar Matematika di Salam ISC, enumerator, event organizer, dan fasilitator di lingkungan Direktorat Kemahasiswaan IPB, mentor di Yayasan Rumah Bintang Bogor, dan menjadi enumerator pola elektabilitas Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 dari The Jakarta Institute. Prestasi yang pernah penulis raih semasa kuliah adalah Mahasiswa Berprestasi I Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dua tahun berturut-turut (2012 dan 2013), Mahasiswa Berprestasi IV dan II Fakultas Ekologi Manusia (2012 dan 2013), Mahasiswa Berprestasi Bidik Misi IPB (2011 dan 2012), 10 besar Visit Microbussinness Competition, dan PKM Pengabdian Kepada Masyarakat didanai oleh Dikti (2013). Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan penulisan ilmiah. Beberapa tulisannya telah diterima dan diterbitkan dalam prosiding konferensi internasional seperti 17th International Scientific Conference "Economics for Ecology" ISCS'2011 Ministry of Education and Science, Youth and Sports of Ukraine tahun 2011, International Conference of Ecology, Environment, and Chemical Sciences di Thailand tahun 2011, The 3rd Annual Indonesian Scholars Conference In Taiwan (AISC) tahun 2012 dan di beberapa media massa seperti harian Suara Merdeka dan okezone.com. Selain itu, melalui tulisannya penulis berkesempatan mendapatkan undangan untuk hadir dalam The 2nd International Conference on Sustainable Future for Human Security--SUSTAIN Kyoto tahun 2011 dan ASEAN Academic Society International Conference (AASIC) Hat Yai, Thailand tahun 2012.