KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI, TEMANGGUNG
ALFIANA RACHMAWATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Alfiana Rachmwati NIM I34090006
ABSTRAK ALFIANA RACHMAWATI. Ketergantungan Petani Tembakau terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggun. Dibimbing oleh HERU PURWANDARI. Kemitraan adalah kerjasama yang dilakukan oleh petani tembakau dan pabrik rokok. Sosialisasi adalah salah satu bagian dari sistem kemitraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemitraan menimbulkan ketergantungan petani terhadap pihak mitra. Ketergantungan tersebut membuat petani sulit mengakses sumberdaya teknologi, finansial, dan pasar. Pada akhirnya, petani tembakau memilih tidak bermitra dan bekerjasama dengan tengkulak. Saat ini, petani lebih mudah mengakses kebutuhan produksi tembakau. Selain itu, petani juga memiliki posisi tawar yang lebih tinggi saat tidak bermitra dengan pabrik rokok. Kata kunci: Kemitraan, Ketergantungan, Sosialisasi, Tingkat Akses
ABSTRACT ALFIANA RACHMAWATI. Dependency Of Tobacco Farmers in Company Partnership System in Bansari Village, Temanggung. Supervised by HERU PURWANDARI. Partnership system is a collaboration by tobacco farmers and cigarette factory. Socialization is one of part in partnership system. The result showed that partnership system can raise the dependence of farmers on the partner. That dependence will make it difficult for farmers to access technological, financial, and market resources. Finally, the farmers choose to not partnering and make a collaboration with middleman. Currently, the farmers get easier to access tobacco production needs. In addition, the farmers also have higher bargaining position when not partnered with cigarette factory Keywords: Access Level, Dependency, Partnership, Socialization
KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI, TEMANGGUNG
ALFIANA RACHMAWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah Nama : Alfiana Rachmawati NIM : I34090006
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah : Alfiana Rachmawati Nama NIM : 134090006
Disetujui oleh
Hem Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing
Tanggal Lulus:
2 7 DEC 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah ketergantungan, dengan judul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan rasa hormat yang mendalam penulis ucapkan kepada Ibu Heru Purwandari selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, dukungan, dan selalu sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih mendalam juga penulis sampaikan untuk Bapak Rilus A. Kinseng selaku dosen penguji utama, dan Ibu Anna Fatchiya selaku dosen penguji akademik, yang telah memberi masukan selama proses ujian skripsi. Terima kasih untuk Bapak Zainal selaku Kepala Desa Bansari, Bapak Rofi’i selaku Kepala Dusun Banaran dan seluruh warga Dusun Banaran, Bansari yang telah membantu dan menerima penulis dengan sangat baik selama proses pengambilan data lapang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, ayahanda Alwi Romadlon, ibunda Afifah Nurhayati, Adik Alfian Hamam Akbar yang telah memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang besar kepada penulis. Tidak lupa kepada teman satu bimbingan, Firda Emiria Utami dan Yanitha Rahmasari yang telah banyak membantu, memberikan kritik dan saran untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman di SKPM 46, BEM KM IPB 2013 “Kreasi Untuk Negeri”, dan KOMINFO BEM KM IPB 2013 yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar opini serta pemberi semangat dengan sukarela. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang telah membacanya.
Bogor, Januari 2014 Alfiana Rachmawati NIM I34090006
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Pola-Pola Kemitraan
5
Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan
6
Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk
7
Posisi Petani dalam Kemitraan
9
Mekanisme Ketergantungan
10
Kerangka Pemikiran
12
Hipotesis Penelitian
12
Definisi Konseptual
13
Definisi Operasional
13
METODE PENELITIAN
15
Pendekatan Penelitian
15
Lokasi dan Waktu
15
Penentuan Responden dan Informan Penelitian
16
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
16
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
17
Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa
17
Kependudukan Desa Bansari
18
Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar
22
MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM KEMITRAAN 27 Stakeholder dan Peran yang dilakukan
27
Penerimaan terhadap Sosialisasi
28
Tingkat Akses Petani
29
Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani
31
Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani
33
KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU
37
Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan
37
Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau
38
Ketergantungan Petani pada Tembakau
40
SIMPULAN DAN SARAN
43
Simpulan
43
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
55
x
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah 9 Penggunaan lahan Desa Bansari 17 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 18 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 18 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian 19 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari 20 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra 21 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2011 22 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2012 22 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal 24 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi 28 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa Bansari 28 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari 29 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012 30 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani 31 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses 33 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra 37 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011) dan tidak bermitra (2012) 39 Jadwal Penelitian tahun 2013 48
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Kerangka pemikiran Rantai pemasaran tembakau Masa tanam lahan Desa Bansari Ketergantungan pada tembakau
12 35 40 41
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah Jadwal Penelitian Data Responden Kuesioner Dokumentasi
47 48 49 50 54
PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena ketergantungan dalam sejarah ekonomi Indonesia dapat ditelusuri dari kondisi perkebunan. Sejak kemunculannya pada masa kolonial, karakteristik perkebunan tampak khas karena disamping memiliki ciri struktur internal negara yang terkait dengan produksi dan tenaga kerja, juga terlibat dengan dunia luar dan terintegrasi dengan sistem ekonomi dunia (Purwandari 2011). Perkebunan sebagai salah satu sub-sektor pertanian, memainkan peranan penting bagi penerimaan devisa negara yaitu dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan rakyat, meningkatkan ekspor dan devisa negara, memperluas tenaga kerja, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya tanpa meninggalkan usaha-usaha pelestariannya (Heriyanto 2000). Sari (2008) menambahkan bahwa salah satu diantara komoditi perkebunan yang mempunyai peran penting tersebut adalah tembakau. Menurut data FAO (2002) dalam Widiyanto (2009) secara internasional, Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau. Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3% suplai dunia. Selain itu, industri tembakau juga mampu menyediakan lapangan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi sekitar 6,4 juta orang meliputi 2,3 juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh, serta 900.000 orang yang bekerja di sektor lembaga keuangan, percetakan, dan transportasi (Mukani dan Murdiyati (2003) dalam Mamat (2006). Industri tembakau memang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi petani. Tetapi, Hafsah (2003) dalam Latifah (2010) mengatakan bahwa budidaya tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah cposisi petani yang kerap kali lemah baik dalam hal manajemen, profesionalisme, akses terhadap permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran. Oleh karena itu, diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan. Kemitraan yang terjalin haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada. Hal ini dijabarkan dalam UU No.18 tahun 2004 pasal 22, yaitu perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Kemitraan usaha perkebunan polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Penjabaran lain juga dijelaskan dalam UU No.9 Tahun 1995 bahwa kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu bentuk pembinaan dan pengembangan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi (Hakim 2004).
2
Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah adalah salah satu desa dengan penduduk yang setiap tahunnya selalu menanam tembakau. Hubungan kemitraan dengan perusahaan juga pernah dialami oleh petani tembakau di desa ini, salah satunya pada tahun 2011 bersama PT. Djarum. Pola kemitraan yang terjalin adalah hubungan produksi, dimana petani hanya menjual hasil panen tembakau kepada pabrik. Harga jual daun tembakau pun sudah ditentukan pabrik. Sedangkan, semua kebutuhan selama proses produksi disiapkan secara mandiri oleh petani sesuai dengan ketentuan yang diinginkan mitra. Kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan bergantung pada bagaimana perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Tetapi, kemitraan yang terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam posisi yang lemah. Dimana petani hanya melakukan kegiatan produksi saja sesuai standar yang diinginkan oleh perusahaan sehingga petani tidak dapat mengelola sendiri kegiatan usahataninya (Susrusa dan Zulkifli 2009). Bachriadi (1995) menambahkan dalam model contract farmingnya ada hubungan produksi yang mengikat petani untuk menyediakan/menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah). Pada banyak kasus, petani tidak dapat terlibat di pasar bebas untuk kelebihan komoditi yang dimiliki, karena akses tersebut tidak mereka miliki. Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008) menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau. Para petani mencoba untuk tetap bertahan dalam kondisi dan situasi ini, karena pilihan untuk keluar mengharuskan diri untuk berhadapan dengan sejumlah kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar usaha produksi. Apabila melihat kepentingan setiap aktor yang terlibat dalam proses kemitraan, tampak bahwa posisi petani seperti terjepit dalam kondisi yang bergantung dengan setiap pemberian bantuan dari pihak mitra. Hal ini dapat dikarenakan dominasi pihak mitra dalam keterlibatan proses pengembangan usaha produksi petani tembakau. Bachriadi (1995) melanjutkan, secara psikologis pun sulit bagi petani untuk membebaskan diri dari struktur ini, kecuali jika ingin kembali ke kesulitan-kesulitan masa lalu. Akibatnya tentu saja posisi tawar menawar petani sangat rendah di hadapan pemberi kontrak. Oleh karena itu, diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus menerus tergantung secara teknologi, finansial dan pasar terhadap pihak mitra. Hal ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemitraan berpengaruh terhadap ketergantungan petani tembakau pada pilihan produksi dan hubungan yang terbentuk.
3
Perumusan Masalah Pola pengembangan tembakau yang kerap kali ditemui adalah menjalin kemitraan dengan pihak yang dianggap menguntungkan. Berbagai jenis pola kemitraan banyak berkembang di setiap daerah dengan ciri khas masing-masing. Setiap pola juga melibatkan berbagai macam pihak yang dapat membantu mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana mekanisme kemitraan terbentuk dan siapa saja stakeholder yang terlibat? Tanpa bantuan pihak mitra, petani sulit untuk masuk dan menembus pasar global. Faktor pembinaan, teknologi, finansial, dan akses pasar diduga menjadi alasan terciptanya pola kemitraan pada usaha produksi tembakau. Berbagai jenis bantuan dari mitra kerap kali diterima petani walau jumlahnya tidak banyak. Tetapi, dengan bantuan yang diterima, umumnya petani akan bergantung pada pihak mitra, karena penjualan dan harga jual biasanya sudah ditentukan oleh mitra. Melihat kondisi ini, timbul pertanyaan bagaimana posisi petani dalam hubungan kemitraan? Pada saat petani sudah bermitra, akan sulit bagi petani untuk keluar dari lingkaran kemitraan. Lingkaran ini biasanya dibuat dan dikondisikan oleh pihak mitra agar proses produksi dapat dikontrol dengan baik. Tetapi, saat kemitraan ini sudah berakhir masa kontrak dan tidak lagi diperpanjang, maka petani harus menyiapkan segala kebutuhan produksi tembakau secara mandiri. Hal ini menjadi menarik dengan timbulnya pertanyaan bagaimana perubahan yang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra? Tujuan Penelitian Merujuk pada perumusan masalah yang ada, tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui pembentukan mekanisme kemitraan dan stakeholder yang terlibat 2. Mengetahui posisi petani dalam hubungan kemitraan 3. Menganalisis perubahan yang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai kalangan, diantaranya: 1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai sejauh mana ketergantungan petani tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada. 2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama masyarakat sekitar untuk mengetahui ketergantungan petani tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada. 3. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk membuat regulasi mengenai pertanian terutama penanaman tembakau.
PENDEKATAN TEORITIS Pola-Pola Kemitraan Kemitraan menjadi salah satu solusi dalam pelaksanaan pengembangan usaha pertanian. Sebagai wujud dari keterkaitan usaha dalam rangka merealisasikan kemitraan, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1995. Pola ini dapat membantu perusahaan maupun petani dalam melakukan kerjasama kemitraan. Pola yang dimaksud, diantaranya: 1. Pola Inti Plasma Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan “pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.” 2. Pola Subkontrak Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa “pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.” Selanjutnya menurut Soewito (1992) dalam Hakim (2004), pola subkontraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar. 3. Pola Dagang Umum Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, “pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
6
4.
5.
Pola Keagenan Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 “pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya. Pola Waralaba Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 “pola waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen”. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba, pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan
Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan bersama. Bobo (2003) dalam Hakim (2004) menyatakan bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan. Hakim (2004) kembali menjelaskan bahwa yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses modal yang lebih besar, manajemen usaha, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), manajemen produksi, mutu produksi serta pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan dan fasilitas alokasi serta investasi. Menurut penjelasan UU No. 9 Tahun 2005 pasal 14 juga menjabarkan dalam hubungan kemitraan, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang pemasaran, sumber daya manusia, teknologi, produksi dan pengolahan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan skill petani tembakau menjadi salah satu bagian dari proses
7
kemitraan yang dilakukan dengan pihak mitra. Pembinaan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan proses sosialisasi berbagai faktor yang diperlukan dalam pengembangan produksi tanam tembakau. Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk Crosby (1992) dalam Iqbal (2007) mengatakan bahwa secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu: 1. Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2. Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal. 3. Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan. Stakeholder atau pemangku kepentingan menjadi pihak yang berperan dalam pelaksanaan pemasaran tembakau petani yang sudah dipanen. Menurut Iqbal (2007) dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak pihak terkait lainnya. Sedangkan dalam sistem perdagangan tembakau, menurut Fathorrahman dan Nasikun (2004) terdapat empat kelompok, yaitu tauke, juragan, bandol, dan petani. Sistem perdagangan yang melibatkan kelompok tersebut cenderung menampakkan hubungan superioritas struktural. Pola kemitraan perdagangan tembakau dapat menjadi salah satu cara merangkai stakeholder yang terlibat didalamnya. Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Harjono dalam Fadloli (2005) dalam Rochmatika (2006) menambahkan bahwa kemitraan diciptakan karena pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan dan outlet untuk pemasaran hasil produksi. Pola kemitraan ini dijelaskan oleh Santoso (2001) bahwa di Madura terdapat dua sistem perdagangan tembakau, yaitu sistem perdagangan tembakau pasaran, dan sistem perdagangan tembakau melalui juragan dan bandol. Sistem perdagangan tembakau pasaran adalah cara penjualan tembakau pada hari pasaran yaitu Minggu, Selasa dan Jumat dimana petani membawa hasil panen tembakaunya untuk dijual di pasar. Sistem perdagangan tembakau yang kedua
8
melalui juragan dan bandol. Juragan adalah orang yang dipercaya oleh pabrik rokok untuk membeli tembakau. Juragan ini biasanya dibantu oleh bandol yang bertugas untuk mendapatkan tembakau dari para petani. Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Rochmatika (2006) menjelaskan dalam tulisannya bahwa peran pengusaha besar dalam bermitra yaitu melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecil dalam hal (a) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengusaha kecil seperti pelatihan, permagangan, dan keterampilan teknis produksi, (b) menyusun rencana usaha dengan pengusaha mitra untuk disepakati bersama, (c) bertindak sebagai penyandang dana atau penjamin kredit, (d) memberikan pelayanan dan penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha, (e) menjamin pembelian hasil produksi pengusaha mitra sesuai kesepakatan, (f) promosi hasil produksi untuk mendapatkan pasar yang baik, dan (g) pengembangan teknologi yang mendukung pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan. Berbeda dengan kemitraan di Kabupaten Pamekasan daerah tegalan dan sawah yang dilakukan bersama pabrik rokok Gudang Garam. Pihak pabrik menyediakan input seperti pupuk, bibit, pestisida dan pembinaan untuk petani. Akan tetapi, jumlah petani yang terlibat dengan kemitraan ini sedikit karena jumlah tenaga kerja yang banyak dapat mengurangi inefisiensi produksi tembakau. Jika dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra, petani tembakau swadaya di daerah tegalan dan sawah jumlahnya jauh lebih besar hanya dengan mengandalkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar daerah (Fauziah et al. 2010). Lain halnya dengan hasil yang ditunjukkan Kertawati (2008) bahwa di Kabupaten Garut mengkategorikan tataniaga tembakau atas keterikatan modal kepada pembeli. Garut memiliki dua macam saluran tataniaga tembakau yaitu petani yang tidak terikat perjanjian modal dan petani yang terikat perjanjian modal. Petani yang terikat perjanjian modal adalah petani yang terikat ketentuan menjual hasil produksinya hanya pada pembeli tertentu saja. Biasanya petani menjual langsung kepada bandar/supplier dan kemudian langsung dikirim ke pabrik rokok (dalam saluran ini PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Uraian diatas menunjukkan bahwa terjadi pola hubungan antara stakeholder yang terlibat. Merujuk pada berbagai sumber, stakeholder yang terlibat dalam perdagangan tembakau adalah pabrik rokok/pembeli, juragan, bandol/bandar, lalu petani sebagai pihak penyedia tembakau. Pola hubungan yang terbentuk antar stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing daerah. Akan tetapi tidak semua petani melibatkan diri dalam proses kemitraan yang ditawarkan oleh pabrik rokok dengan alasan dapat menjualnya kepada siapapun.
9
Tabel 1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah Daerah Stakeholder Kategori Proses Mitra Proses Non-mitra Madura Pabrik rokok, Pemasaran Melalui bandol Penjualan juragan, juragan dilakukan secara bandol, petani pabrik rokok langsung di pasar Pameka Petani dan Tenaga Bekerjasama Swadaya keluarga san pabrik rokok kerja dengan PT Gudang Garam Garut Petani dan Pendanaan Petani terikat Petani tidak terikat pembeli perjanjian modal perjanjian modal Posisi Petani dalam Kemitraan Petani tembakau sebagai pihak yang menjalankan proses produksi tentunya menjadi ujung tombak bagi industri besar rokok. Bachriadi (1995) memberikan beberapa prasyarat agar petani dapat tetap berkembang (berkembang dalam ketergantungan) dalam sistem ini, yaitu: a. Stabilnya harga jual olahan pihak inti di pasar eksternal yang nilainya relatif lebih tinggi dibanding biaya produksi minimal yang telah ditetapkan pihak inti. b. Tersedianya manajemen usaha bagi pihak inti. c. Ada transfer teknologi dari pihak inti kepada petani yang berlangsung dengan lancar dan berkesinambungan d. Tersedianya modal usaha yang cukup untuk petani memulai usaha produktifnya Seluruh prasyarat tersebut pada akhirnya memang jatuh pada pihak inti, karena pada jalinan hubungan produksi ini mereka lebih dominan. Sifat dominan itulah yang menempatkan petani pada posisi pasif di dalam kerangka hubungan produksi. Kepasifan petani ini dapat terlihat melalui hubungan kemitraan yang terjalin dengan perusahaan rokok. Susrusa dan Zulkifli (2009) mencantumkan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kemitraan yang terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam kondisi yang sangat lemah. Dimana petani diharuskan untuk melaksanakan kegiatan usahatani sesuai analisa yang dibuat perusahaan, sehingga petani tidak dapat bertindak sebagai manajer dalam usahataninya melainkan hanya sebagai buruh tani yang memperoleh upah (bukan keuntungan). Kesan ini muncul karena kegiatan usahatani dilakukan oleh petani mitra, sedangkan evaluasi kinerja kemitraan hanya dilakukan pihak perusahaan terhadap petani mitra. Selain itu masih ada kesepakatan-kesepakatan dalam kemitraan yang dilaksanakan perusahaan mitra belum sesuai dengan harapan. Sebagai contoh pelayanan dan fasilitas yang diberikan perusahaan dalam kemitraan dinilai belum optimal, sehingga petani hanya merasa cukup puas selama proses kemitraan yang berlangsung. Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008) menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya
10
kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT Djarum) dan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau. Kepasifan petani yang lain dalam hubungan kemitraan adalah organisasi petani atau kelompok tani. Bachriadi (1995) mengatakan bahwa salah satu mekanisme yang diupayakan dalam penerapan contract farming adalah pengontrolan organisasi petani plasma. Petani plasma selalu diatur untuk berorganisasi hanya dalam batas-batas yang telah ditetapkan pihak inti. Pembatasan-pembatasan dalam organisasi petani selain untuk meredam keresahan petani juga diperlukan perusahaan untuk mempermudah operasionalisasi pengelolaan hubungan produksi. Pihak inti bersinggungan langsung dengan petani pada saat penyuluhan, penimbangan hasil, atau pengukuran mutu/nilai hasil produksi petani. Bahkan dalam penyuluhan pun pihak inti hanya memberikannya kepada ketua-ketua kelompok tani saja. Dengan kata lain model pengorganisasian petani lebih ditujukan untuk menunjang proses hubungan produksi antara pihak inti dan plasma dalam perspektif kepentingan pihak inti. Uraian diatas menunjukkan bahwa posisi petani dalam mekanisme kemitraan ini sebenarnya kurang diuntungkan. Petani cenderung pasif dalam setiap pengambilan keputusan produksinya. Penentuan harga dan evaluasi kemitraan pun hanya dilakukan oleh pabrik rokok. Bachriadi (1995) menambahkan bahwa dampak hubungan ketergantungan dalam contract farming cenderung negatif untuk pihak plasma, karena cenderung eksploitatif dan merampas hak berusaha dari plasma sepenuhnya, sehingga perkembangan sosial mereka pun terhambat. Pihak plasma yang dimaksud dalam hal ini adalah petani tembakau. Mekanisme Ketergantungan Purwandari (2011) mengatakan bahwa terkait dengan konteks hubungan ekonomi Indonesia dengan negara maju, pencapaian pertumbuhan sub-sektor perkebunan dilakukan dengan cara meningkatkan permodalan, bahan baku dan sistem produksi, serta sistem pemasaran. Dari perkembangannya, terlihat bahwa perkebunan menjadi sektor yang penting dalam menopang perekonomian Indonesia. Namun sayangnya, perkebunan memberi peluang bagi terciptanya ketergantungan negara produsen terhadap negara maju. Secara mikro, peluang terciptanya ketergantungan ini ditunjukkan dengan hubungan produksi antar pihak-pihak yang bermitra. Bachriadi (1995) menjelaskan bahwa, bagi petani hubungan produksi memang memberikan satu kesempatan dan ruang untuk berkembang. Namun, perkembangan yang dapat dinikmati ini bersifat bergantung. Artinya, petani memasuki satu kondisi dimana perkembangan tersebut sangat ditentukan oleh pihak lain, baik arah, orientasi, bentuk, maupun watak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
11
proses sosialisasi yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani tembakau. Sosialisasi yang diberikan ini pada akhirnya akan mengikat petani dalam memperoleh dan memilih faktor penentu proses produksi yang dibutuhkan selama penanaman tembakau. Kembali Bachriadi (1995) menjelaskan bahwa mengikat petani dalam situasi ketergantungan finansial dan teknologi bisa dianggap sebagai satu mekanisme yang mereka ciptakan untuk mengontrol proses produksi. Pengontrolan proses produksi ini sangat penting untuk mencapai hasil yang sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai bentuk pengontrolan proses produksi, pihak inti merencanakan menyediakan seluruh paket teknologi dan pembiayaannya. Proses pengontrolan produksi ini dapat terlihat melalui pola kemitraan Di Kabupaten Bojonegoro dimana PT Gudang Garam sebagai perusahaan yang melakukan kemitraan dengan petani tembakau dapat memberikan suplai barang produksi yang dibutuhkan petani. Latifah (2010) menjabarkannya dengan pemberian pinjaman modal yang diberikan tepat waktu dan tidak terlambat sesuai dengan kebutuhan petani. Selain itu, PT Gudang Garam juga menyiapkan pengadaan saprodi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang digunakan. Penyediaan berbagai sumberdaya ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan perasaan tergantung petani. Kotter (2001) mengungkapkan metode yang kerap kali digunakan oleh para manajer untuk menciptakan rasa ketergantungan orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara manajer mengidentifikasi serta menjamin (jika perlu) beraneka sumberdaya yang dibutuhkan orang lain untuk melakukan pekerjaannya, sumberdaya yang tidak dimilikinya, serta sumberdaya yang tidak tersedia dimana-mana. Menurut Latifah (2010) masalah modal awal, fluktasi harga, sarana produksi, harga jual hasil produksi, persaingan antar petani tembakau besar dan kecil, minimnya teknologi dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas dalam menyalurkan hasil panen tembakaunya adalah permasalahan sumberdaya yang sulit dijangkau oleh petani. Kertawati (2008) juga menjelaskan kesulitan akses sumberdaya ini menjadi alasan petani untuk melakukan kemitraan bersama dengan perusahaan rokok besar. Petani Garut yang terikat modal dapat menjual langsung kepada bandar/supplier dan langsung dikirim ke pabrik rokok. Cara penjualan ini dipilih sebagian besar petani karena petani telah meminjam modal untuk kegiatan usahataninya kepada pembeli dan hasil yang diperoleh diserahkan kepada pedagang tersebut sesuai dengan modal yang telah dipinjamnya dulu. Bandar/supplier dalam saluran ini menentukan harga berdasarkan informasi dari pabrik rokok. Dalam kondisi demikian petani tidak dapat menjual bebas kepada pembeli lain. Ketergantungan petani terhadap finansial dan teknologi juga dapat memberikan manfaat sesuai harapan jika pelaksanaan kemitraan berjalan semestinya. Santoso (2011) memberikan contoh bahwa Intensifikasi Tembakau Rakyat (ITR) Non-program ternyata memiliki program paling efektif. Selain produktivitasnya paling tinggi dibanding ITR lainnya yang dicapai karena pihak petani dan pabrik rokok bekerjasama secara timbal-balik dan saling menguntungkan.
12
Kerangka Pemikiran Menurut beberapa sumber rujukan, pola kemitraan adalah salah satu cara pengembangan usaha produksi tembakau. Hubungan kemitraan ini melibatkan berbagai stakeholder dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Salah satu diantaranya pembinaan dalam bentuk sosialisasi terkait pembudidayaan dan pilihan penggunaan faktor produksi yang diinginkan mitra. Proses inilah yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat akses petani terhadap faktor-faktor produksi tembakau. Penyedia sarana produksi, pengambil keputusan, perolehan modal, pasar penjualan tembakau, penentu harga jual, dan peluang terbukanya pasar alternatif menjadi hal yang diduga menentukan tingkat akses petani. Ketergantungan petani baru akan terlihat setelah kemitraan berjalan cukup lama. Secara sederhana dapat dijelaskan melalui Gambar kerangka analisis berikut: Sosialisasi
Kemitraan
Tingkat akses petani
Alur penjualan tembakau
Teknologi 1. Penyediaan sarana produksi 2. Pengambil keputusan
1. Tipe Kemitraan 2. Hubungan dengan stakeholder lain 3. Posisi petani
Finansial 1. Modal 2. Penentuan harga jual
Pasar alternatif
Tingkat ketergantungan Keterangan: : hubungan : dianalisis secara kuantitatif : dianalisis secara kualitatif
Gambar 1 Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat, maka hipotesis pada penelitian ini adalah: 1. Penerimaan sosialisasi (bagian dalam kemitraan) petani tembakau mempengaruhi tingkat akses petani terhadap sumber lain (teknologi, finansial, dan pasar) 2. Tingkat akses petani (teknologi, finansial, dan pasar) mempengaruhi tingkat ketergantungan petani
13
Definisi Konseptual Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tipe kemitraan adalah pihak yang melakukan kemitraan/kerjasama dengan petani tembakau. Tipe kemitraan ini dibagi dalam dua pihak yaitu bermitra dengan pabrik rokok atau dengan tengkulak 2. Hubungan dengan stakeholder lain adalah hubungan yang dijalin oleh pihak yang bermitra kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembudidayaan tembakau 3. Posisi petani adalah keadaan yang terjadi pada petani selama proses kemitraan 4. Alur penjualan tembakau adalah proses distribusi hasil panen tembakau dari petani hingga pihak mitra. Definisi Operasional Pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional, yaitu: 1. Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak mitra yang terkait dengan pembudidayaan tembakau. Sosialisasi yang diberikan berkaitan dengan bibit, pupuk, obat, pestisida, alat teknologi, pasar, harga, dan pendanaan. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi nilai sebagai berikut: - Nilai: 1 = tidak; 2 = ya - Skor 9-13 = penerimaan sosialisasi rendah - Skor 14-18 = penerimaan sosialisasi tinggi 2.
Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses ini akan diukur melalui tiga variabel yang dijabarkan sebagai berikut: a. Teknologi Penyediaan sarana produksi adalah adanya kebutuhan alat dan bahan untuk proses produksi tembakau. Penyediaan ini menggolongkan setiap kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik dengan melihat jenis alat dan bahan yang disediakan, yaitu bibit, pupuk organik, pupuk kimia, pestisida, obat dan teknologi. Pengambil keputusan adalah langkah yang diambil oleh para aktor kemitraan dalam setiap proses pengolahan dan pengelolaan produksi tembakau yang akan dilihat dalam hal pemilihan bibit, pupuk, pestisida, obat, teknologi, dan penentuan pasar penjualan. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi nilai sebagai berikut: - Nilai: 1 = tidak; 2 = ya - Skor 11-16 = tingkat akses rendah - Skor 17-22 = tingkat akses tinggi
14
b. Finansial Modal adalah biaya atau dana yang digunakan oleh petani tembakau terhadap seluruh pembayaran kebutuhan proses produksi tembakau. Penentu harga adalah ketetapan harga yang digunakan oleh para aktor dalam memberikan harga jual hasil produksi tembakau. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi sebagai berikut: - Nilai: 1 = tidak; 2 = ya - Skor 7-10 = tingkat akses rendah - Skor 11-14 = tingkat akses tinggi c. Pasar Pasar alternatif adalah peluang terciptanya proses pemasaran yang lebih luas oleh pihak petani terhadap hasil produksi berlebih. Jumlah nilai dari variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi sebagai berikut: - Nilai: 1 = tidak; 2 = ya - Skor 5-7 = tingkat akses rendah - Skor 8-10 = tingkat akses tinggi Tingkat ketergantungan petani terhadap tingkat akses petani akan diukur dan dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses yang dibagi atas dua kategori, yaitu: a. Tinggi: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat akses rendah b. Rendah: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat akses tinggi
METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan instrumen terstruktur (kuesioner) dan wawancara sampel penelitian yang telah ditentukan untuk mengetahui tingkat akses dan ketergantungan petani tembakau. Selain itu, perolehan data diinterpretasikan lebih mendalam menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus yang bersifat deskriptif. Metode ini digunakan untuk mengetahui tipe kemitraan yang terbentuk dan alur penjualan tembakau. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam dari pihak informan dan responden. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Bansari merupakan salah satu sentra penghasil tembakau terbaik di Kabupaten Temanggung. Desa yang berada di wilayah Gunung Sindoro ini, seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Hubungan kemitraan petani dilakukan bersama pabrik rokok Djarum sepanjang tahun 2011. Kemitraan ini hanya melibatkan petani yang menjadi anggota kelompok tani. Petani yang terlibat wajib menanam tembakau sesuai kesepakatan. Keadaan ini menimbulkan ketergantungan petani terhadap mitra, dan mengalami berbagai kesulitan dalam hal akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Sedangkan pada tahun 2012, seluruh petani Desa Bansari tidak lagi bermitra dengan pabrik rokok. Hal ini dikarenakan petani lebih memiliki kebebasan akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Melihat dua keadaan yang berbeda inilah, peneliti memilih Desa Bansari sebagai lokasi dalam penelitian ini. Penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan. Waktu penelitian lapang dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2013. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut adalah rentang waktu dimulainya masa tanam tembakau. Selama pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di lapangan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian. Kegiatan penelitian lainnya meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Jadwal pelaksanaan penelitian terdapat pada Lampiran 2.
16
Penentuan Responden dan Informan Penelitian Terdapat dua subyek dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan. Populasi yang dipilih adalah seluruh petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah. Kerangka sampling yang diambil adalah seluruh petani tembakau Desa Bansari. Responden penelitian ini adalah petani tembakau Desa Bansari (Lampiran 3). Unit analisis dari penelitian ini adalah individu. Peneliti memilih Dusun Banaran, Desa Bansari secara cluster dan responden secara sensus. Keadaan ini dilihat dari populasi penduduk yang bekerja sebagai petani tembakau murni. Selain itu, pemerintah Desa Bansari tidak memiliki data tertulis terkait nama penduduk yang bekerja sebagai petani dan petani tembakau khususnya. Pemerintah desa juga tidak memiliki data terkait dengan proses kemitraan yang terjadi di tahun 2011 bersama pabrik rokok Djarum. Pendataan petani tembakau oleh pihak desa baru dilaksanakan saat peneliti berada dilapang yang dilakukan oleh masing-masing kepala dusun. Dusun Banaran sengaja dipilihkan oleh pemerintah desa karena sudah mulai melakukan pendataan. Oleh karena itu, sebanyak 65 orang petani tembakau Dusun Banaran yang sudah terdaftar kemudian dipilih seluruhnya sebagai responden dalam penelitian ini. Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memahami perkembangan tembakau di Desa Bansari. Oleh karena itu, peneliti memilih perangkat dan sesepuh desa. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen yang berhubungan dengan tembakau, data potensi desa, serta berbagai dokumen dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik tabel frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu, dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung hasil penelitian dengan mengutip hasil wawancara mendalam. Analisis ini dilakukan kepada responden atau informan yang disampaikan secara deskriptif guna mempertajam hasil penelitian. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif kemudian disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Desa Bansari terletak di Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dengan luas wilayah 302.4 Ha. Desa Bansari memiliki sembilan dusun (Dusun Sawit, Dusun Tambahrejo, Dusun Srimulyo, Dusun Tegalsari, Dusun Banaran, Dusun Bangunsari, Dusun Pringapus, dan Dusun Malatan) dengan 10 Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Letak desa ini berada di lereng Gunung Sindoro sebelah timur dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut (dpl). Batas-batas wilayah Desa Bansari adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Candisari 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gentingsari 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mranggen Tengah 4. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah Perhutani Lahan seluas 302.4 Ha ini dibagi menjadi beberapa bagian penggunaan lahan seperti pada Tabel 3. Tabel 2 Penggunaan lahan Desa Bansari No Penggunaan lahan Luas lahan (Ha) Persentase (%) 1 Pemukiman 30.50 10.08 2 Bangunan fisik 0.06 0.01 3 Tanah sawah 24.50 8.10 4 Tanah tegalan 247.40 81.81 Total 302.40 100 *Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012 Berdasarkan data pada Tabel 2, mayoritas tanah Desa Bansari, yang terdiri dari sekitar 8% tanah sawah dan sekitar 82% tanah tegalan, digunakan sebagai lahan pertanian. Lokasi desa ini cukup dekat dengan lereng Gunung Sindoro, karena itu sebagian besar tanahnya adalah tanah tegalan. Tekstur tanah ini cenderung lebih kering dibandingkan dengan tanah sawah karena lokasinya yang berada di lereng atas Gunung Sindoro. Sedangkan, tanah sawah berada di bawah lereng Gunung Sindoro atau di sekitar pemukiman penduduk. Saat masa tanam tembakau tiba, maka semua tanah sawah dan tegalan hanya menanam tembakau. Periode tanam hingga panen tembakau dimulai pada bulan Mei sampai dengan September. Jika periode tanam tembakau selesai, maka tanah sawah Desa Bansari biasa ditanami tanaman pokok seperti padi, jagung, kacang panjang, dan kol putih. Sedangkan pada tanah tegalan hanya akan ditanami cabai merah dan bawang merah. Periode tanam ini berlangsung pada bulan Oktober hingga Maret. Sarana dan prasarana umum yang terdapat di Desa Bansari meliputi sarana pemerintahan, sekolah, pemukiman, dan tempat peribadatan. Sebagian besar masyarakat Desa Bansari sudah memiliki bangunan rumah atau pemukiman yang sangat layak huni dan permanen. Alat transportasi yang digunakan oleh masyarakat sekitar antara lain kendaraan bermotor roda dua, motor roda empat (mobil), dan pick-up terbuka. Prasarana transportasi darat seperti jalan raya pun sudah cukup baik dengan jalan-jalan yang menghubungkan antar dusun di Desa Bansari. Sarana lain yang terdapat di Desa Bansari meliputi 1 buah kantor desa, 1
18
buah balai pertemuan, 1 buah kantor LPMD, 1 buah kantor PKK, 2 buah gedung kesenian dan 4 gardu pos kamling. Sarana pendidikan terdapat 1 buah Taman Kanak-kanak (TK), dan 2 buah Sekolah Dasar (SD). Sarana kesehatan desa terdapat 1 buah posyandu, dan 1 buah puskesmas. Sementara itu, untuk sarana peribadatan di Desa Bansari terdapat 7 buah masjid, 6 buah mushola, dan 1 buah gereja. Kependudukan Desa Bansari Jumlah penduduk Desa Bansari pada tahun 2012 sebanyak 4 888 jiwa dengan rincian berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2 490 jiwa dan perempuan sebanyak 2 398 jiwa. Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar penduduk beragama Islam dengan jumlah 4 525 jiwa, Kristen sebanyak 361 jiwa, dan Budha sebanyak 2 jiwa. Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah No (tahun) (jiwa) (jiwa) (jiwa) 1 00 – 09 245 237 482 2 10 – 19 432 421 453 3 20 – 29 591 563 1154 4 30 – 39 572 558 1130 5 40 – 49 317 304 621 6 50 – 59 254 248 502 7 >60 79 67 146 Total 2 490 2 398 4 888 *Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012 Data pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah total 2 284 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia lainnya. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kepala Desa Bansari, penduduk dengan usia 30-50 tahun adalah pekerja aktif. Tetapi sebagian besar petani tembakau berada pada kisaran usia 40-60 tahun. Sedangkan kisaran usia yang lain masih berada dalam jenjang pendidikan SD hingga SLTA dan pensiunan. Kependudukan Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Universitas/Akademi 110 2.30 2 SLTA/Sederajat 702 14.30 3 SLTP/Sederajat 927 19.00 4 Sekolah Dasar (SD) 2 491 51.00 5 Belum Tamat SD 558 11.40 6 Tidak Sekolah 100 2.00 Total 4 888 100 *Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012
19
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Bansari belum memenuhi program wajib belajar 9 tahun karena sebanyak 2 491 penduduk desa hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Penduduk lebih memilih bekerja sebagai petani tembakau jika dibandingkan harus menyelesaikan jenjang pendidikannya. Keadaan ini dipengaruhi oleh tidak adanya sarana pendidikan lanjutan dan lokasi sekolah yang jauh dari desa. Warga yang tergolong dalam kategori ini berada pada kisaran usia 40-59 tahun. Pekerjaan yang ditekuni masyarakat Desa Bansari cukup beragam dengan pembagian jenis mata pencaharian seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian No Mata pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 1 Petani 720 41.9 2 Buruh tani 874 51.0 3 Buruh bangunan 51 2.9 4 Pedagang 45 2.6 5 Jasa angkutan 15 0.8 6 PNS 11 0.6 7 Pensiunan 4 0.2 Total 1 720 100 *Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012 Berdasarkan data pada Tabel 5, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh tani lebih banyak dibandingkan penduduk yang bekerja sebagai petani. Sebagian besar petani Desa Bansari biasanya sudah memiliki lahan sawah sendiri yang dikelola secara mandiri dengan melibatkan beberapa buruh tani. Pekerjaan sebagai petani atau buruh tani bukanlah satu individu petani yang mewakili dalam satu keluarga, melainkan dalam satu keluarga bisa saja terdapat tiga atau lebih individu yang berprofesi sama. Menurut keterangan kepala desa setempat, keadaan ini menyebabkan tidak dapat dipastikannya jumlah keluarga yang bekerja sebagai petani maupun buruh tani. Jika dikaitkan dengan data pada Tabel 4, menurut Kepala Desa Bansari, warga yang bekerja sebagai petani sebagian besar adalah tamatan SLTA, sedangkan yang bekerja sebagai buruh tani adalah warga dengan sebagian besar tamatan tingkat SLTP dan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai PNS dan seorang pensiunan biasanya tamatan universitas dan bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah maupun tenaga perawat di sarana kesehatan desa. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh bangunan dan jasa angkutan adalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai pedagang membuka kios warung di masing-masing teras rumahnya dan tidak terpatok pada kisaran tamatan tingkat pendidikan, karena berdagang adalah pekerjaan sampingan yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga lain yang tidak bekerja. Pada akhirnya kepala desa mengatakan bahwa sebenarnya setiap penduduk dapat memiliki pekerjaan lebih dari satu. Bekerja sebagai petani atau buruh tani hanya dilakukan pada pagi hari pukul 05.00 sampai 07.00 dan sore hari pukul 15.00 sampai 17.00, sehingga penduduk dapat melakukan pekerjaan lain diluar sebagai petani.
20
Mitra Petani Tembakau Kemitraan di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok Djarum. Akan tetapi kemitraan ini hanya berlangsung di sepanjang tahun 2011. Kontrak yang diberikan oleh pihak Djarum berlaku untuk satu tahun saja. Petani yang tidak bermitra, hanya melakukan kerjasama dengan tengkulak. Setelah masa kontrak selesai, petani memutuskan untuk tidak melanjutkan kemitraan, karena dianggap hanya menguntungkan pihak Djarum. Sejak tahun 2012 hingga saat ini petani hanya melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak. Mereka berperan sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Tengkulak juga kepanjangan tangan dari setiap pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2011 terlihat seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari 2011 2012 Pihak mitra Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Pabrik Rokok 18 28 0 0 Tengkulak 47 72 65 100 Total 65 100 65 100 Berdasarkan data pada Tabel 6, pada tahun 2011 sebanyak 18 responden melakukan kemitraan dengan pabrik rokok. Responden yang bermitra dengan pabrik rokok adalah perwakilan anggota dari setiap kelompok tani di Desa Bansari. Pada tahun tersebut, pihak pabrik hanya ingin melakukan hubungan kemitraan dengan kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Sedangkan, 47 responden yang tidak bermitra bukan anggota dari kelompok tani dan hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen. “...waktu itu pernah ada kemitraan mbak, dari djarum. Tahun 2011 dan itu cuma setahun, setelah itu gak ada. Tapi, lebih enak sendiri sih, daripada sama pabrik, hasilnya sama aja...” (Wyt, 48 tahun) Keuntungan saat kemitraan ini berjalan sebagian besar adalah milik pabrik rokok. Keuntungan ini berupa harga yang dipatok oleh pabrik untuk membeli daun tembakau petani, cenderung lebih rendah dibandingkan harga pasaran pada umumnya. Selain itu, pihak mitra hanya memberikan sosialisasi dan pengontrolan rutin terhadap daun tembakau yang ditanam petani. Pihak mitra juga hanya memberikan sedikit bantuan saprotan kepada petani. Tidak ada alokasi peminjaman dana dari pihak pabrik rokok. Keadaan ini dianggap merugikan petani, karena petani tidak memperoleh keuntungan dari harga yang dipatok pabrik. Selain itu, petani juga harus melengkapi kekurangan saprotan sesuai yang dibutuhkan pabrik secara mandiri dan menjual hasil panen hanya kepada pihak mitra saja. Berbeda hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2012. Seluruh petani memilih untuk tidak melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan hanya bekerjasama dengan tengkulak. Sama halnya dengan 47 petani yang ditunjukkan pada Tabel 6 yang memilih bermitra dengan tengkulak. Hubungan kemitraan ini hanya sebatas hubungan kerja sama jual beli daun tembakau petani. Setiap
21
tengkulak dapat dikatakan sebagai tangan kanan dari masing-masing pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli daun tembakau ketika musim panen. Bekerjasama dengan tengkulak dirasa tidak menyulitkan akses petani. Petani dapat dengan mudah memilih sarana produksi yang dibutuhkan, mencari dan menggunakan modal yang akan dikeluarkan. Selain itu, petani juga dapat melakukan penjualan kepada tengkulak manapun dengan proses tawar menawar harga yang sudah disepakati sebelumnya. Jika pada tahun tersebut terjadi perubahan harga, baik tengkulak maupun petani sudah mengetahui keadaan ini terlebih dahulu. Cara yang dilakukan adalah dengan melihat kondisi cuaca dan curah hujan saat masa tanam. Selain itu, bentuk, rasa, dan aroma daun tembakau ketika sudah dirajang juga menjadi salah satu penentu harga jual beli tembakau. Menurut penuturan responden, dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui dengan mudah mutu dan kualitas daun tembakau yang baik. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menjadi petani tembakau berkisar antara usia 40-59 tahun. Merujuk pada Tabel 6, terdapat 18 responden yang terikat kontrak dengan kemitraan di tahun 2011. Ketika kontrak ini habis pada tahun 2012, 18 responden tersebut tidak lagi melanjutkan kemitraan dan memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak, sama halnya dengan 47 responden yang memang tidak bermitra. Terdapat perbedaan kondisi saat 18 responden bermitra dengan pabrik rokok dan saat tidak lagi melanjutkan kemitraan. Perbedaan ini dilihat dari perolehan fasilitas yang diterima petani. Secara sederhana perbedaan tersebut digambarkan pada Tabel 7 Tabel 7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012) Mendapat sosialisasi × Bantuan alat teknologi × × Bebas mencari saprotan × Jaminan pinjaman modal dari × × mitra Bebas menentukan harga jual × Bebas memilih pasar × Melihat perbedaan pada Tabel 7 sesuai penuturan responden, alasan tidak lagi meneruskan kemitraan karena perolehan seluruh fasilitas selama produksi tembakau sulit didapat. Kemitraan ini menyulitkan petani untuk mencari saprotan yang diperlukan, karena jenis yang digunakan harganya lebih mahal dan sulit dicari disekitar wilayah Bansari. Jika saprotan yang diperlukan harganya lebih mahal, secara tidak langsung modal yang diperlukan pun juga jauh lebih besar. Tetapi, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga petani harus mencari kelebihan modal yang diperlukan secara mandiri. Sosialisasi memang diterima oleh petani, tapi menurut responden, sosialisasi yang diberikan hanyalah menjelaskan apa saja yang harus dilakukan petani sesuai dengan keinginan mitra. Kesulitan lainnya adalah saat menentukan harga dan memilih pasar jual yang sejak awal memang sudah ditentukan oleh mitra. Besar harga jual kualitas tembakau sudah ditentukan mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Pasar penjualan tembakau pun juga sudah ditentukan
22
hanya kepada mitra saja. Petani tidak diizinkan untuk menjual hasil panen kepada pihak lain atau pasar umum. Berbeda dengan kondisi saat 18 responden tidak lagi bermitra. Petani memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak. Sosialisasi dan jaminan pinjaman modal dari mitra memang tidak diterima. Tetapi petani lebih mudah dalam mencari dan memperoleh saprotan sesuai dengan modal yang dimiliki. Selain itu, petani juga dapat melakukan penawaran saat menentukan harga jual bersama tengkulak. Pasar penjualan petani pun lebih bebas karena petani dapat menjual kepada tengkulak manapun. Alat teknologi yang digunakan petani juga masih sama saat bermitra ataupun tidak bermitra, karena alat berat yang dibutuhkan petani hanya alat perajang yang biasanya masing-masing petani sudah memilikinya lebih dari 7 tahun. Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar Kemampuan akses petani terhadap finansial, teknologi, dan pasar diperlukan oleh petani selama penanaman tembakau. Akses ini akan memudahkan petani untuk memperoleh dan memenuhi sarana yang dibutuhkan. Akan tetapi, kemudahan akses petani pada tahun 2011 berbeda dengan akses petani pada tahun 2012. Perbedaan kemampuan akses petani tembakau Desa Bansari dapat terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2011 Tingkat akses Rendah Tinggi Total
Teknologi Persentase Jumlah (%) 18 28 47 72 65 100
Finansial Persentase Jumlah (%) 0 0 65 100 65 100
Pasar Persentase Jumlah (%) 18 28 47 72 65 100
Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan pasar tahun 2012 Teknologi Finansial Pasar Tingkat Persentase Persentase Persentase akses Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) Rendah 0 0 0 0 0 0 Tinggi 65 100 65 100 65 100 Total 65 100 65 100 65 100 Berdasarkan data pada Tabel 8, petani mengalami kesulitan akses terhadap teknologi dan pasar. Hal ini dikarenakan hubungan kemitraan yang mengikat 18 responden dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Akses terhadap teknologi berkaitan dengan ketersediaan kebutuhan produksi, seperti bibit, pupuk, obat, pestisida, alat perajang, dan alat penyemprot. Pihak mitra sudah menentukan jenis bibit, pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan petani. Sedangkan penggunaan alat perajang dan alat penyemprot tidak menyulitkan, karena setiap petani sudah memiliki alat tersebut. Selain itu, pihak pabrik hanya memberikan
23
bantuan pupuk sebanyak 15 persen dari yang dibutuhkan petani. Keadaan ini membuat petani harus menyiapkan seluruh kekurangan bahan dengan jenis yang sesuai. Menurut responden, jenis bahan yang digunakan oleh pihak pabrik cukup sulit dicari dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga yang biasa dikeluarkan petani. Sama halnya dengan kesulitan akses petani terhadap pasar. Responden tidak dapat memasarkan secara bebas hasil panen tembakau kepada pihak manapun, karena petani sudah dikontrak untuk menjualnya kepada pihak mitra. Akan tetapi, seluruh responden mampu mengakses finansial sesuai dengan jumlah yang diperlukan. Pada tahun 2011, hubungan kemitraan bersama pabrik tidak memberikan jaminan pinjaman modal awal, sehingga petani harus mencari sejumlah modal yang harus disiapkan. Selain itu, modal yang disiapkan lebih besar karena kebutuhan yang diperlukan juga lebih mahal dibanding yang biasa digunakan. Penentuan harga jual dilakukan oleh pihak mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan proses tawar-menawar. Proses ini terjadi ketika masa panen tiba, perwakilan pihak mitra akan mengambil hasil panen ke setiap rumah petani mitra dan memberikan harga sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Petani tidak diizinkan untuk menawar harga yang lebih tinggi dari harga yang sudah ditentukan. Ketentuan ini sudah ada dalam perjanjian yang telah disepakati. Walaupun petani tidak dapat menawar harga jual tembakau, keadaan ini tidak menyulitkan petani jika dibandingkan dengan menyiapkan modal yang lebih besar. Berbeda dengan 47 responden lainnya yang tidak bermitra dengan pabrik rokok. Mereka memiliki kemudahan pilihan akses lain terhadap teknologi, finansial dan pasar. Hal serupa juga terjadi pada 18 responden yang tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012 (Tabel 9). Perbedaan ini terlihat ketika petani lebih mudah menyiapkan semua kebutuhan produksi, tanpa harus terikat oleh ketentuan yang dibentuk oleh mitra. Pada akhirnya kebutuhan akan teknologi, finansial, dan pasar dapat ditentukan oleh masing-masing petani berbekal relasi yang dimiliki. Hanya ketika masa penjualan tembakau, petani bergantung kepada tengkulak sebagai pihak pembeli. Tidak dapat dipungkiri, selain karena tengkulak merupakan kepanjangantangan pabrik rokok, tembakau adalah bahan utama pembuat rokok di Indonesia. Selanjutnya, petani dapat memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak yang dapat memberikan harga tinggi. Selain itu, petani juga dapat memilih lebih dari satu tengkulak untuk menjual hasil panen yang dimiliki. Pada setiap tahunnya petani dapat merubah pilihan tengkulak yang akan membeli hasil panen. Menurut keterangan yang diperoleh, biasanya bukan petani yang mencari tengkulak, melainkan tengkulak yang mencari petani dengan kualitas daun tembakau terbaik. Jika tengkulak sudah menemukan petani dengan kualitas daun yang terbaik. Tengkulak cenderung tidak akan berpindah kepada petani lain dan siap memberikan harga tinggi atas hasil panen tersebut. Kebutuhan akan teknologi dalam hal penyediaan sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida, alat) dan pengambilan keputusan dilakukan secara mandiri oleh setiap responden. Ketersediaan bibit biasa disiapkan sendiri oleh petani dengan cara membuatnya. Bibit yang sudah dibuat ini kemudian disimpan untuk ditanam pada masa tanam berikutnya. Bibit ini dikenal dengan nama bibit tembakau mloko yang dibuat dari tunas biji tembakau yang sedang ditanam. Oleh
24
karena itu, petani tidak ada yang membeli bibit di warung ataupun toko pertanian. Penyediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk, obat, dan pestisida disiapkan oleh petani dengan memesan kepada distributor. Pemesanan biasa dilakukan dalam jumlah besar dengan menggunakan bantuan mobil pick-up terbuka. Selain itu, penyediaan alat teknologi pun juga dilakukan secara mandiri, karena yang dibutuhkan hanya mesin alat perajang dan alat penyemprot. Kedua alat ini biasanya sudah dimiliki petani bertahun-tahun dengan sedikit perbaikan. “...disini mah gak susah mbak kalo nyiapin bibit, pupuk, obat, sama alat. Semua bisa disiapin sendiri. Bibit kan tinggal buat, terus pupuk sama obat kan tinggal mesen, kalo alat juga udah punya sendirisendiri. Jadi gak kerepotan...” (Pwt, 49 tahun) Kebutuhan akan finansial, baik dalam hal penyediaan modal dan menentukan harga jual juga dilakukan secara mandiri oleh petani. Responden mengaku tidak mengalami kesulitan selama menyiapkan modal awal untuk membeli kebutuhan tanam tembakau. Seluruh modal diperoleh dengan cara yang berbeda, baik meminjam kepada pihak lain atau menggunakan dana pribadi, seperti yang terlihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal Petani tembakau Sumber modal Jumlah Persentase (%) Dana Pribadi 39 60 Pinjam Koperasi 15 23 Bank 11 17 Total 65 100 Pada Tabel 10 terlihat bahwa 39 responden menyiapkan modal dengan menggunakan dana pribadi. Dana ini dikumpulkan oleh responden dari keuntungan yang diperoleh saat masa panen sebelumnya. Responden yang menyiapkan modal produksi menggunakan dana pribadi adalah 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan 21 sisanya adalah responden yang tidak bermitra di tahun yang sama. Kemudian, sebanyak 15 dan 11 responden lainnya meminjam kepada pihak lain dengan masing-masing meminjam pada koperasi dan bank. Ketiga cara perolehan modal ini dipergunakan petani untuk membeli pupuk, obat, dan pestisida. Merujuk pada Tabel 8 dan 9, tingkat akses petani terhadap finansial tidak mengalami kesulitan, karena petani dapat dengan mudah mencari dan memperoleh modal awal yang diperlukan. Bagi petani yang melakukan kemitraan, dalam kontrak memang tidak mendapatkan pinjaman dana sebagai modal awal. Begitupun dengan petani yang tidak bermitra atau hanya bekerjasama dengan tengkulak juga harus mencari modal awal secara mandiri. Hal ini dikarenakan tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli tembakau. Proses melakukan pinjaman kepada koperasi dan bank tidak menyulitkan petani untuk memperoleh modal. Petani yang melakukan pinjaman ke koperasi atau bank cukup memenuhi persyaratan yang diminta oleh masing-masing instansi. Menurut penjelasan responden, nominal limit yang dapat diambil oleh petani yang meminjam ke koperasi biasanya sebesar Rp25 000 000. Petani yang sudah memperoleh dana ini,
25
dapat mengajukan kembali pinjaman kedua dan selanjutnya dengan jumlah nominal maksimal Rp15 000 000. Sedangkan responden lainnya mengatakan bahwa jumlah limit nominal dana usaha yang dapat dipinjam melalui bank biasanya sebesar Rp50 000 000. Sistem pengembalian pinjaman tersebut baru dilakukan setelah masa panen dan penjualan tembakau. “...kalo modal, ya nyiapin sendiri, pake duit sendiri. Tapi, kalo lagi gak ada duit, baru pinjem sama bank atau koperasi. Mudah kok, ngembaliinnya juga nanti, nek wes panen...” (Frl, 40 tahun) “...pinjem sama koperasi itu gampang, cuma isi kertas kasih copyan KTP sama KK, terus matur njaluke piro, dapet duite. Biasane niku, 20 sampe 25 yuto lah pas pinjem pisanan. Kalo kurang, ya pinjem lagi aja...”(Hsm, 55 tahun) Selain modal, menentukan harga jual juga dapat dilakukan petani dengan tengkulak. Selama proses menentukan harga, responden dapat melakukan proses tawar menawar. Harga yang ditawarkan pun beragam dan disesuaikan dengan kualitas daun tembakau. Harga daun tembakau bisa mengalami perubahan yang tidak dapat diprediksikan sesuai kualitas daun. Kondisi kualitas daun tembakau bergantung pada curah hujan dan cuaca selama proses penanaman, panen, hingga pengeringan. Menurut kepala Dusun Banaran, salah satu ciri daun tembakau yang memiliki kualitas baik dapat dilihat dari proses pengeringan setelah daun dirajang. Daun tembakau kualitas baik dan bagus memiliki tekstur yang kasar dan kaku, aroma tembakau juga menyengat dan langsung kering setelah satu hari dijemur di bawah sinar matahari. Daun juga tidak sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Jenis daun yang seperti ini biasanya memiliki harga tinggi dengan kisaran Rp150 000 per kg sampai Rp200 000 per kg. Berbeda dengan kualitas daun yang kurang baik. Teksturnya lembut dan sedikit masih basah, aroma tembakau dari daun jenis ini juga tidak menyengat. Hal ini dikarenakan daun tembakau yang tidak langsung kering setelah dijemur selama satu hari di bawah sinar matahari. Daun ini biasanya diberi harga yang jauh lebih rendah, berkisar antara Rp50 000 per kg sampai Rp90 000 per kg. Proses tawar menawar harga terjadi saat tengkulak mendatangi rumah petani dan melihat kualitas daun yang dihasilkan. Pada saat yang sama, tengkulak akan menawarkan harga terlebih dahulu kepada petani, kemudian petani yang juga sudah mengetahui kualitas daunnya dapat melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi. Selanjutnya tawar menawar akan berlangsung, dan setelah sepakat, tengkulak akan membayar petani setelah mengantarkan daun kering tersebut ke rumah tengkulak.
MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM KEMITRAAN Stakeholder dan Peran yang dilakukan Keberadaan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi salah satu komponen yang sangat diperlukan dalam suatu hubungan kerjasama. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pembagian tugas dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan. Berbeda lokasi maka berbeda pula pihak-pihak yang terlibat dalam pola kemitraan. Beberapa rujukan menyebutkan di Madura terdapat dua sistem perdagangan tembakau, dimana petani dapat menjualnya langsung ke pasar atau melibatkan juragan dan bandol. Lain halnya dengan di Pamekasan dan Garut yang hanya melibatkan petani dan pembeli (pabrik rokok) dalam proses kemitraannya. Hubungan yang terbentuk antar stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing daerah. Petani tembakau, pabrik rokok, kepala desa, dan kepala dusun adalah stakeholder yang terlibat dalam hubungan kemitraan di Desa Bansari. Proses awal kemitraan ini terjalin dengan pengajuan kerjasama oleh pabrik rokok melalui kepala desa. Pengajuan kemitraan ini hanya untuk perwakilan anggota setiap kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Selanjutnya kepala desa melakukan proses diskusi bersama seluruh kepala dusun mengenai penawaran tersebut. Selanjutnya, kepala dusun mengumpulkan perwakilan anggota kelompok tani yang dianggap mampu mengikuti program ini. Setelah itu, setiap perwakilan anggota kelompok tani akan dikumpulkan kemudian diberi penjelasan lebih lanjut. Jika seluruh pihak setuju, maka kepala desa dapat memutuskan kemitraan dari pabrik rokok dapat berjalan di wilayah tersebut atau tidak. Pemberian pembinaan (sosialisasi) mulai dilakukan pada awal pertemuan mitra dengan petani. Sebagai pihak mitra, pabrik rokok akan memberikan sosialisasi mengenai penggunaan bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang harus digunakan petani. Selain itu, mitra juga memberikan sedikit bantuan pupuk sebagai bentuk tanggung jawab yang sudah ada dalam kesepakatan. Keadaan ini membuat petani harus melengkapi kebutuhan lainnya secara mandiri. Selain itu, pengontrolan juga dilakukan secara berkala dengan memperhatikan kebersihan, cacat daun, dan perkiraan kualitas daun. Saat panen tiba, petani tidak perlu menjual hasil tembakau karena pihak pabrik langsung mengambil seluruh hasil panen. Harga daun tembakau sudah ditentukan sesuai kualitasnya. Disinilah posisi yang dianggap merugikan petani, karena petani tidak dapat menentukan harga lebih tinggi lagi dari harga yang ditetapkan. Berbeda dengan petani yang tidak melakukan kemitraan. Stakeholder yang terlibat hanya petani dan tengkulak saja. Petani dapat menentukan pilihan jenis modal dan saprotan yang akan digunakan, seperti bibit, pupuk, obat, dan pestisida. Bibit yang diperlukan petani dapat dengan mudah dibuat secara mandiri. Selain itu, cara memperoleh pupuk, obat, dan pestisida pun dapat disesuaikan dengan relasi yang dimiliki oleh masing-masing petani. Perawatan kesehatan dan kebersihan kebun juga dapat disesuaikan dengan pilihan waktu petani. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli hasil panen tembakau. Tengkulak maupun petani dapat sama-sama menentukan harga yang diinginkan. Petani dapat menawar harga yang lebih tinggi jika kualitas daun tembakau lebih baik.
28
Penerimaan terhadap Sosialisasi Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak mitra terkait dengan pembudidayaan tembakau. Penerimaan sosialisasi ini dikelompokkan pada penerimaan terhadap bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida, alat teknologi, perubahan harga alat teknologi, perubahan harga tembakau, pemilihan daun tembakau, potensi pasar alternatif, dan potensi pemberi modal. Penerimaan sosialisasi ini juga mengalami perbedaan ketika petani melakukan kemitraan tahun 2011 dan saat petani tidak lagi bermitra tahun 2012 Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi 2011 2012 Penerimaan sosialisasi Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 47 72 65 100 Tinggi 18 28 0 0 Total 65 100 65 100 Pada tahun 2011, penerimaan sosialisasi 18 responden tergolong tinggi, karena petani tergabung dalam hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Sosialisasi diberikan pihak mitra kepada petani yang bermitra dan pemberian sosialisasi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu bibit, pupuk, obat, dan pestisida. Menurut penuturan responden, sosialisasi yang diberikan mitra hanya terjadi dua kali selama kerjasama berjalan. Proses ini hanya diberikan pada awal pertemuan dan saat akan tiba masa panen. Selain itu, pemberian sosialisasi ini dimaksudkan agar petani menanam sesuai dengan yang diinginkan mitra. penjabaran aspek yang disosialisasikan oleh mitra seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa Bansari Menerima Tidak Menerima Jenis Sosialisasi 2011 2012 2011 2012 Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Bibit 18 28 0 0 47 72 65 100 Pupuk 18 28 0 0 47 72 65 100 Obat 18 28 0 0 47 72 65 100 Pestisida 18 28 0 0 47 72 65 100 Teknologi 0 0 0 0 65 100 65 100 Alternatif 0 0 0 0 65 100 65 100 modal Harga alat 0 0 0 0 65 100 65 100 Harga 0 0 0 0 65 100 65 100 tembakau Pasar 0 0 0 0 65 100 65 100 alternatif
29
Pemberian sosialisasi kepada 18 responden terbatas pada kebutuhan petani akan bibit, pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Hanya bantuan berupa pupuk yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani. Bantuan ini tidak diberikan dalam jumlah yang besar, hanya 15 persen dari kebutuhan tanam tembakau, sisanya petani harus mencari dan menyesuaikan dengan jenis dari bantuan yang diberikan mitra. Sedangkan, pada aspek teknologi, alternatif modal, harga alat, harga tembakau, dan alternatif pasar tidak termasuk dalam sosialisasi. Berbeda dengan 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan dan 18 responden yang memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Responden tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun sehingga penerimaan sosialisasinya tergolong rendah. Menurut responden, walau tidak menerima sosialisasi, petani dapat memilih jenis bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang ingin digunakan. Jenis yang digunakan petani memang memiliki kualitas sedikit lebih rendah dibandingkan dengan jenis yang digunakan oleh petani mitra. Petani yang tidak bermitra, memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Selama proses kerjasama dengan tengkulak, tidak terjadi proses pemberian sosialisasi secara formal dari pihak tengkulak. Hanya pertukaran informasi mengenai perubahan harga jual tembakau selama proses kesepakatan jual beli. Sebelumnya, masing-masing pihak sudah mengetahui perubahan harga jual dilihat dari cuaca dan curah hujan serta tampilan daun tembakau yang sudah dirajang. Sehingga kesepakatan harga dapat tercapai dengan mudah tanpa harus merugikan pihak manapun. Perbedaan penerimaan sosialisasi responden terlihat dari 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan tidak lagi bermitra di tahun 2012. Responden ini adalah petani yang terikat kemitraan dengan pabrik rokok Djarum. Petani menerima sosialisasi di tahun 2011 dari pihak mitra secara formal. Sedangkan di tahun 2012, responden tidak menerima sosialisasi secara formal dari tengkulak, tetapi hanya terjadi pertukaran informasi secara informal antara petani dengan tengkulak. Tingkat Akses Petani Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Kemudahan petani dalam mengakses faktor produksi akan mempengaruhi ketersediaan bahan yang baik selama tanam tembakau seperti yang terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari Petani Tingkat akses 2011 2012 Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 18 28 0 0 Tinggi 47 72 65 100 Total 65 100 65 100
30
Pada tahun 2011, sebanyak 18 responden memiliki kemampuan akses rendah dan responden tersebut bermitra dengan pabrik rokok Djarum. Pemenuhan terhadap akses berkaitan dengan pihak mitra, terutama dalam hal teknologi dan pasar. Akses petani pada teknologi yang dipenuhi oleh pihak mitra hanya sedikit bantuan pupuk. Sedangkan sisa kebutuhan lain yang belum terpenuhi harus dipenuhi secara mandiri oleh petani karena tidak terdapat dalan perjanjian. Akses petani pada pasar juga ditentukan oleh pihak mitra. Penjualan hasil tembakau hanya boleh dilakukan dengan pihak mitra. Sedangkan akses terhadap modal tidak diberikan oleh pihak mitra, sehingga petani harus mencari mandiri. Berbeda dengan penentuan harga jual tembakau yang memang sudah ditentukan oleh pihak mitra dan petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Menurut responden yang bermitra, keadaan ini sebenarnya merugikan petani, tetapi karena keanggotaan sebagai kelompok tani dan sebagai bentuk menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan pabrik, maka responden sepakat untuk bermitra dengan pabrik rokok. Keadaan yang berbeda terjadi pada 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan pada tahun 2011 dan 65 responden di tahun 2012 yang memutuskan tidak bergabung dengan kemitraan, termasuk 18 responden diantaranya yang memilih tidak melanjutkan hubungan kemitraan. Keduanya memiliki kemampuan akses yang tinggi. Tengkulak adalah pihak yang diajak kerjasama oleh petani yang tidak bermitra. Petani dapat dengan bebas memilih setiap jenis akses kebutuhan yang diperlukan dalam menanam tembakau. Akses dalam teknologi, pasar, dan finansial dapat dicari dan diperoleh secara mandiri oleh responden. Kebutuhan dalam hal teknologi bisa diperoleh dari relasi masingmasing petani. Kemudian, kebutuhan akan pasar dapat dilakukan dengan bantuan tengkulak. Penjualan tembakau biasa dilakukan petani bersama tengkulak. Selanjutnya, kebutuhan finansial, baik cara memperoleh modal maupun harga jual tembakau dapat dilakukan secara mandiri oleh petani. Modal yang dibutuhkan dapat diperoleh melalui dana pribadi yang sudah disiapkan oleh petani atau melakukan pinjaman kepada bank atau koperasi. Harga jual tembakau tidak ditentukan oleh pihak tengkulak, melainkan terjadi proses tawar-menawar antara petani dan tengkulak. Pertukaran informasi kerap terjadi antara petani dan tengkulak mengenai perubahan harga, sehingga petani berani menawar harga lebih tinggi jika kualitas daun tembakau yang dimiliki lebih baik. Perbedaan kemampuan akses petani dapat terlihat dari 18 responden yang bermitra di tahun 2011 dan tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Perbedaan tersebut terlihat pada Tabel 14 Tabel 14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012 Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012) Mudah akses teknologi × Mudah akses saprotan × Mudah akses modal × Mudah menentukan harga jual × Mudah menentukan pasar × Perbedaan akses petani lebih mudah saat tidak bermitra jika dibandingkan saat bermitra. Kemitraan yang terjalin membuat petani harus mengakses
31
kebutuhan akan teknologi, finansial dan pasar sesuai dengan perjanjian yang sudah ditentukan. Teknologi (bibit, pupuk, obat, dan pestisida) yang digunakan harus sesuai dengan jenis yang ada dalam kontrak. Kesulitannya karena jenis yang dipakai sulit diperoleh dan harganya pun lebih mahal dibanding dengan jenis yang biasa dipakai petani. Kemudian kesulitan dalam akses finansial ini dilihat dari kesiapan jumlah modal dan harga jual. Jika kebutuhan teknologi sulit untuk diakses, maka modal yang disiapkan pun juga harus lebih besar dibandingkan modal sebelumnya. Selain itu, harga jual daun tembakau petani juga sudah ditentukan oleh mitra sejak awal kemitraan, sehingga petani sulit menawar dengan harga yang lebih tinggi. Kesulitan petani dalam mengakses pasar karena tidak tersedianya pasar alternatif untuk menjual hasil panen, karena seluruh hasil panen harus dijual kepada mitra. Petani mengalami banyak kesulitan saat bermitra, karena seluruh proses akses terpusat hanya di pihak mitra. Petani sulit untuk mengakses sumber lain (teknologi, finansial dan pasar) di luar pihak mitra. Berbanding terbalik saat 18 responden memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan. Kemampuan akses petani jauh lebih mudah dan bebas karena biasanya petani sudah memiliki relasi yang baik. Petani juga bisa mengakses sumberdaya lain yang dianggap menguntungkan dan mempermudah petani selama proses produksi tembakau. Akses terhadap teknologi, finansial dan pasar bisa dilakukan petani bersama berbagai pihak. Keuntungan penjualan tembakau yang didapat petani juga jauh lebih besar saat tidak bermitra jika dibandingkan saat bermitra. Oleh karena itu, petani memilih tidak lagi melakukan kemitraan agar lebih mudah mengakses kebutuhan selama proses produksi. Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani Pemberian sosialisasi oleh pihak mitra dapat mempengaruhi kemudahan tingkat akses petani terhadap kebutuhan faktor produksi. Tabel 15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani Tingkat Akses Penerimaan 2011 2012 Sosialisasi Tinggi Rendah Tinggi Rendah f % f % f % f % Rendah 47 100 0 0 65 100 0 0 Tinggi 0 0 18 100 0 0 0 0 Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0 Berdasarkan perhitungan pada tabulasi silang Tabel 15, menunjukkan bahwa ada hubungan yang berbanding terbalik antara penerimaan sosialisasi dengan tingkat akses petani. Penerimaan sosialisasi yang rendah menunjukkan tingkat akses yang tinggi. Keadaan ini dikarenakan 47 responden tidak melakukan hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Kondisi ini serupa pada tahun 2012 yang tidak ada lagi kemitraan dengan pihak pabrik, termasuk 18 responden yang mulanya bermitra pada tahun 2011 memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Petani yang tidak bermitra memang tidak mendapatkan sosialisasi, karena sosialisasi hanya untuk petani mitra saja. Sosialisasi ini diberlakukan sebagai
32
bentuk pemenuhan kebutuhan kualitas tembakau yang diinginkan oleh pihak mitra. Jika dikaitkan dengan tingkat akses yang tinggi, petani yang tidak bermitra menuturkan bahwa mereka tidak menemui kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan pada teknologi, finansial, dan pasar. Bahkan petani dapat dengan mudah memperoleh kebutuhan tersebut dari pihak manapun. Lain halnya dengan 18 responden yang bermitra di tahun 2011. Selama proses sosialisasi diberikan, petani diminta untuk memproduksi tembakau sesuai dengan kriteria yang diinginkan pabrik. Bantuan yang sedikit dari pihak mitra pun dianggap tidak cukup membantu petani saat masa tanam, karena petani harus menanam tembakau sesuai perjanjian dan memenuhi kekurangan kebutuhan lain secara mandiri. “...mending gak dapet sosialisasi aja mbak. Bingung saya malahan kalo ngikut tuh, beda sama kenyataan. Ada kok yang ikut dulu, tapi gak pernah dipake, gak sesuai soale sama keadaan sawah. Lagian kalo dapet sosialisasi gitu kan cuma yang aktif aja. Kalo yang gak dapet malah bisa kemana-mana, bebas dadine mbak...” (Smn, 55 tahun) Menurut pengakuan 18 responden, mereka yang mengikuti kemitraan pasti akan mendapatkan sosialisasi, dan yang paling sulit dilepas adalah penggunaan jenis kebutuhan produksi, pemasaran dan harga saat panen tembakau. Petani yang bermitra dan mendapatkan sosialisasi, secara jelas terikat kontrak dengan pabrik rokok. Pemasaran hasil panen tembakau tentu tidak sebebas petani yang tidak bermitra. Petani yang bermitra akan menjual hasil tembakaunya kepada pihak mitra saja dan tidak diizinkan untuk dijual kepada pihak lain. Jumlah dan kriteria pencapaian panen pun juga ditentukan oleh pihak mitra. Sedangkan, petani yang tidak bermitra, hanya akan melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak saja. Tengkulak tidak berperan dalam pemberian sosialisasi, pemenuhan kebutuhan produksi, dan penentu harga jual. Peran tengkulak hanya sebagai pembeli hasil daun tembakau milik petani. Penjualan hasil panen ke tengkulak dapat dilakukan kepada lebih dari satu tengkulak. Pada penentuan harga jual tembakau, petani yang tidak bermitra dapat melakukan proses tawar menawar dan ikut serta menentukan harga bersama tengkulak. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti kemitraan bersama pabrik rokok. Petani tidak dapat menentukan harga jual tembakau yang sudah ditanam. Semua harga ditentukan oleh pihak pabrik sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Selain itu, petani juga tidak diizinkan untuk menjual kepada pihak lain selain pabrik mitra. Jika kualitas hasil panen tidak sesuai dengan perjanjian, maka harga yang diberikan pun akan sangat rendah dibandingkan harga normal. Keadaan ini tentu membuat petani mengalami kerugian dan kesulitan dalam mengakses pasar maupun harga yang dibutuhkan. Kebutuhan pada teknologi dan finansial dari segi modal tidak menjadi masalah bagi petani yang tidak bermitra. Semua kebutuhan teknologi dapat dipesan melalui distributor, dan modal dapat disiapkan dengan cara dari masingmasing petani. Sedangkan petani yang melakukan kemitraan dengan pabrik rokok, sebagian kebutuhan pada teknologi dibantu oleh pihak mitra, selanjutnya petani mencari sesuai jenis yang diminta oleh mitra. Bantuan yang diterima ini tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan petani harus membayar sesuai dengan
33
harga yang ada di pasaran. Selain itu modal awal yang diperlukan seluruhnya disiapkan oleh petani. Jadi dalam hubungan kemitraan dan suasana sosialisasi yang dibentuk merupakan salah satu cara penciptaan kondisi menanam tembakau sesuai dengan yang diinginkan oleh pabrik rokok. Melihat uraian diatas, hubungan penerimaan sosialisasi berbanding terbalik dengan tingkat akses petani. Hal ini dikarenakan, sebanyak 18 petani yang menerima sosialisasi terikat kontrak kemitraan dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Hubungan kemitraan yang terbentuk menghambat kemudahan akses petani dalam pemenuhan kebutuhan pada teknologi, finansial dan pasar, karena semua harus disesuaikan dengan kriteria pabrik. Sedangkan, 47 petani lainnya memang tidak menerima sosialisasi karena tidak bermitra dengan pabrik, sehingga tidak mengalami kesulitan akses pada teknologi, finansial dan pasar. Sejak tahun 2012 hingga saat ini, petani lebih memilih bekerja mandiri, tidak bermitra dan hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen, sehingga kemampuan akses mereka tetap berjalan dengan baik. Perbedaan hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani dapat terlihat pada 18 responden saat bermitra (2011) dan tidak lagi bermitra (2012). Pada tahun 2011, responden menerima sosialisasi dari mitra, karena keterlibatannya dalam kemitraan. Tetapi kemampuan akses petani lebih sulit, karena keharusan petani untuk menyesuaikan faktor produksi sesuai yang tercantum dalam kontrak. Keadaan yang berbeda terlihat ketika 18 responden ini tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Petani lebih mudah mengakses faktor produksi yang diinginkan sesuai dengan kemampuan, walaupun tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun secara formal. Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani Tingkat ketergantungan petani terhadap kemitraan ini akan diukur dan dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses petani. Ketergantungan terhadap mitra akan terlihat dari tinggi atau rendahnya kemampuan akses petani terhadap kebutuhan penanaman tembakau. Tabel 16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses Ketergantungan Tingkat 2011 2012 Akses Rendah Tinggi Rendah Tinggi f % f % f % f % Tinggi 47 100 0 0 65 100 0 0 Rendah 0 0 18 100 0 0 0 0 Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0 Berdasarkan data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkat akses petani berbanding terbalik dengan tingkat ketergantungan petani. Akses petani yang rendah menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap mitra. Hal ini dikarenakan sebanyak 18 responden terikat kontrak kemitraan dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Ketergantungan petani tersebut dalam hal akses terhadap teknologi dan pasar. Sedangkan akses terhadap finansial hanya terkait dengan penentuan harga jual yang sudah ditetapkan oleh pabrik. Petani mitra harus
34
menanam tembakau sesuai yang diinginkan pabrik. Dimulai dari jenis bibit, pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan selama masa tanam. Hal ini dianggap menyulitkan bagi petani, karena tidak dapat menggunakan jenis yang biasa dipakai. Responden menuturkan, jenis yang diminta pabrik diperoleh dari luar wilayah Kecamatan Bansari dengan harga yang lebih mahal. Sama halnya dengan akses pemasaran petani mitra yang terbatas hanya kepada pabrik mitra. Penentuan harga jual oleh pabrik juga tidak sesuai dengan yang sudah petani lakukan. Petani juga tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi atas hasil panen tembakaunya. Inilah alasan petani mitra cenderung sulit dalam mengakses kebutuhan secara bebas dan mandiri, karena bergantung pada pihak mitra yang menginginkan kriteria tertentu pada tembakau yang dibutuhkan. Sebagai pelaksana kemitraan, petani hanya dapat melakukan sesuai kesepakatan dalam kemitraan. Lain pihak dengan 47 responden yang memiliki ketergantungan rendah dengan kemampuan akses tinggi. Mereka adalah petani yang tidak bermitra dengan pabrik rokok. Akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar dapat dilakukan dengan mudah karena responden bebas menentukan setiap kebutuhan. Akan tetapi dalam hal penjualan hasil, petani membutuhkan tengkulak sebagai pihak yang akan membeli daun tembakau milik petani. Ketika petani tidak dapat menjualnya kepada tengkulak, maka akan dijual di pasar dengan harga yang lebih murah. Biasanya, tembakau yang dijual di pasar adalah daun tembakau yang memiliki kualitas lebih buruk dibandingkan dengan daun yang sudah terjual pada tengkulak. “...wah yo mending gak bermitra to mbak. Kalo bermitra ya gitu, kabeh kudu nganut pabrik, tergantung pabrike piye. Soale kalo ikut kemitraan, mau ngapa-ngapain itu susah, mau jual gak bebas, regane yo ora penak, udah gitu semuanya disiapin sendiri.” (Sbd, 51 tahun) Pada tahun 2012 seluruh petani memiliki tingkat akses tinggi. Hal ini karena 18 responden petani yang mulanya bermitra memutuskan tidak melanjutkan kemitraan dan hanya bekerjasama dengan tengkulak. Sedangkan, 47 responden lainnya tetap bekerjasama dengan tengkulak. Ketergantungan petani pun rendah dan dapat dengan bebas mengakses kebutuhan produksi tanpa harus terikat dengan pihak manapun. Secara mandiri, petani dapat menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat bekerjasama dengan prinsip saling menguntungkan. Modal yang diperlukan petani juga dapat disiapkan secara mandiri. Menurut responden yang bermitra, sama saja petani mitra dan tidak bermitra, karena untuk mempersiapkan modal awal memang harus dicari sendiri. Responden menjelaskan bahwa akses penjualan yang dimiliki oleh setiap petani berbeda-beda, bergantung pada relasi yang dimiliki, tetapi memiliki alur yang sama. Semua petani menjual kepada setiap tengkulak yang datang kerumah, lalu terjadi proses tawar menawar harga. Biasanya, pada proses ini terjadi pertukaran informasi mengenai pembudidayaan tembakau yang berkembang di daerah lain. Setelah tercapai kesepakatan, petani mengantarkan tembakaunya ke tempat tengkulak tersebut. Pembeda akses penjualan pada setiap petani adalah jumlah dan pihak tengkulak yang diajak bekerjasama. Secara ringkas alur penjualan tembakau seperti pada Gambar 2.
35
terjadi proses tawar menawar dan pembelian Petani Tembakau
Tengkulak
mengantarkan tembakau sesuai kesepakatan
Gambar 2 Rantai pemasaran tembakau Kemampuan akses petani dirasa tidak sulit ketika harus mencari bahan dan alat untuk menanam tembakau. Semua dapat diperoleh dari distributor langganan masing-masing petani. Biasanya petani melakukan pemesanan dalam jumlah besar, karena lahan yang akan digunakan juga besar. Menurut responden banyak yang menjadi distributor untuk kebutuhan semacam ini, tetapi berada di luar wilayah Desa Bansari. Petani tembakau Desa Bansari menggunakan pupuk kandang, ZA, dan fertila sebagai pupuk yang aman untuk tembakau. Sedangkan pestisida dan obat hanya untuk mengusir hama saja. Pada saat masa tanam tembakau berlangsung, seluruh lahan pertanian beralih fungsi untuk menanam tembakau. Setiap satu kali masa tanam, petani dapat menghasilkan 40 sampai 45 keranjang isi tembakau dengan masing-masing keranjang berkapasitas 35 sampai 40 kg. Jadi dalam satu kali masa tanam, petani dapat mengumpulkan sekitar 1 400 sampai 1 800 kg daun tembakau. Selain penjualan, penentuan harga jual tembakau pun juga tidak menyulitkan petani. Proses tawar menawar terjadi secara alami antara petani dengan tengkulak. Pada umumnya, tengkulak akan membeli dalam jumlah banyak pada petani dengan kualitas daun yang baik. Bagi petani, selama cuaca mendukung maka tidak akan merusak kualitas daun tembakau. Kondisi cuaca yang dibutuhkan petani adalah cuaca yang kering dengan curah hujan yang jarang. Kualitas daun tembakau di Desa Bansari terkenal selalu bagus dan baik, oleh karena itu petani dapat mematok harga tinggi untuk setiap penjualan tembakau mereka. Harga yang biasa ditawarkan dalam 1 kg tembakau berkisar antara Rp150 000 sampai Rp200 000. Jika kita jumlahkan dengan hasil yang diperoleh petani, maka dalam satu kali masa tanam petani dapat mengumpulkan hasil keuntungan berkisar antara Rp210 000 000 sampai Rp360 000 000. Ini adalah perhitungan yang diperoleh petani jika tidak melakukan kemitraan. Berbeda dengan petani yang melakukan kemitraan, dalam satu kali masa tanam petani hanya dapat mengumpulkan keuntungan sebesar Rp112 000 000 sampai Rp180 000 000. Asumsi yang digunakan adalah, panen daun tembakau berkisar antara 1 400 sampai 1 800 kg dengan harga dalam 1 kg daun tembakau yang diberikan pihak mitra berkisar antara Rp80 000 sampai Rp100 000. Perbedaan keuntungan inilah yang menyebabkan petani Bansari saat ini memilih tidak bermitra dengan pabrik rokok. Perbedaan kondisi ketergantungan dan akses petani dapat dilihat dari 18 responden yang mulanya bermitra (2011) kemudian memutuskan tidak bermitra (2012). Saat bermitra, akses petani sulit karena harus menyesuaikan dengan kontrak kemitraan, sehingga ketergantungan petani terhadap mitra pun tinggi. Berbeda ketika petani tidak lagi melanjutkan kemitraan. Petani dapat dengan
36
mudah mengakses seluruh kebutuhan produksi sesuai keinginan maisng-masing. Ketergantungan petani pun rendah, karena petani tidak lagi terlibat hubungan kemitraan dengan siapapun. Petani dapat dengan mudah menentukan sumberdaya pengganti ketika sumberdaya yang biasa digunakan tidak dapat dipakai. Namun, ketika bermitra, mau tidak mau petani harus mencari dan menyesuaikan dengan sumberdaya yang diinginkan oleh mitra. Sampai saat ini petani lebih memilih tidak lagi bermitra, karena selain mempermudah akses kebutuhan produksi, petani juga tidak perlu bergantung dengan pihak manapun. Selain itu, keuntungan hasil penjualan tembakau juga lebih menjanjikan untuk kesejahteraan hidup petani tembakau saat tidak bermitra.
KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan Kemampuan akses petani pada sarana produksi menjadi salah satu hal yang dapat melihat ketergantungan petani terhadap komoditas tertentu. Akses yang dimiliki oleh petani dapat dipengaruhi oleh penerimaan sosialisasi yang dibutuhkan. Sosialisasi ini dapat menambah wawasan pengetahuan bagi pihak yang mendapatkannya. Jika melihat hasil yang ditunjukkan pada Tabel 13 – 14, terjadi hubungan yang berbanding lurus antara penerimaan sosialisasi dengan tingkat ketergantungan. Sedangkan keduanya berbanding terbalik dengan tingkat akses. Sebanyak 18 responden menunjukkan penerimaan sosialisasi dan tingkat ketergantungan yang tinggi sedangkan kemampuan tingkat akses yang dimiliki rendah. Keadaan ini merujuk kepada petani yang bermitra dengan pabrik rokok Djarum. Hubungan antara penerimaan sosialisasi dan tingkat ketergantungan pada petani yang bermitra adalah sosialisasi diberikan oleh pihak mitra. Selama pemberian sosialisasi, pihak mitra meminta petani untuk menanam tembakau sesuai keinginan pabrik. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan petani tinggi terhadap mitra. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan mitra dari segi kualitas hasil tembakau, maka daun tembakau akan diberi harga rendah dari harga normal. Ini menyebabkan petani mengalami posisi yang sulit, karena keuntungan yang didapat juga akan semakin berkurang. Kemudian, tingkat akses petani yang rendah ini terbatasi oleh hubungan kontrak petani dengan mitra, sehingga petani tidak bebas menentukan pilihan dalam hal pemenuhan saprotan, teknologi, finansial, dan pemasaran. Sebaliknya, sebanyak 47 responden menunjukkan penerimaan sosialisasi dan tingkat ketergantungan yang rendah. Kategori ini merujuk pada petani yang tidak bermitra. Pada saat yang sama petani mitra mendapat sosialisasi, sedangkan petani yang tidak bermitra tentu tidak mendapatkan sosialiasi. Kondisi ini sama seperti pada tahun 2012, dimana 18 petani yang bermitra memilih tidak melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan 47 responden lainnya tetap tidak bermitra. Tetapi, petani memiliki kemampuan akses yang tinggi, karena bebas menentukan pilihan pemenuhan kebutuhan saprotan, teknologi, finansial, dan cara pemasaran yang diinginkan. Keadaan ini tentu membuat ketergantungan petani yang tidak bermitra rendah karena tidak terikat kontrak dengan siapapun dan bebas memilih. Secara sederhana perbedaan antara petani yang bermitra dan tidak bermitra digambarkan pada Tabel 15 Tabel 17 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra Petani bermitra Petani tidak bermitra Menerima sosialisasi × Bergantung pada pihak mitra × Kemampuan akses tinggi ×
38
Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau Kemitraan tembakau di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok Djarum. Hubungan ini melibatkan petani yang tergabung dalam keanggotaan kelompok tani. Melalui kepala desa dan kepala dusun, petani yang bergabung dalam kelompok tani akan diajak berdiskusi dengan pihak pabrik. Pengakuan beberapa responden yang bermitra, saat proses diskusi pihak pabrik akan menceritakan keuntungan yang diperoleh melalui kemitraan ini. Keuntungan tersebut berkaitan dengan bibit, hasil panen, relasi, dan penggunaan saprotan. Bibit yang digunakan dalam hubungan kemitraan ini adalah bibit Tembakau Temanggung. Ini adalah bibit unggul yang memang dibuat dengan bantuan teknologi canggih, sehingga memiliki kualitas dan harga bibit yang jauh lebih mahal daripada bibit mloko yang dibuat secara manual oleh petani. Memperoleh bibit ini biasanya berada di pusat Kota Temanggung. Keuntungan selanjutnya adalah penggunaan saprotan yang lebih unggul dibandingkan dengan yang biasa digunakan petani. Responden mengatakan bahwa pupuk, obat, dan pestisida yang digunakan oleh mitra lebih banyak mengandung zat kimia. Awalnya petani tidak yakin karena biasa menggunakan jenis yang alami dengan sedikit zat kimia, tetapi pihak mitra terus berusaha meyakinkan bahwa saprotan yang digunakan tetap aman untuk tanah dan tembakau. Kemitraan ini juga dirasa dapat menguntungkan petani dari segi relasi yang tercipta. Pihak mitra mengatakan kepada petani bahwa melalui hubungan ini, jika nantinya kontrak kerjasama habis dan petani tetap dapat menghasilkan kualitas daun yang terbaik, maka tidak menutup kemungkinan hasil panennya akan dibeli oleh pabrik dengan harga tinggi. Selain itu, pihak mitra juga memberi keyakinan kepada petani kalau hasil daun tembakau yang ditanam memiliki kualitas yang jauh lebih baik. Tak lupa, pihak pabrik juga akan memberikan sosialisasi lanjutan mengenai keuntungan-keuntungan lainnya dan kemudahan yang dapat diperoleh petani. Setelah proses diskusi berlangsung, salah seorang responden mengatakan bahwa petani yang hadir menyetujui untuk bergabung dengan kemitraan ini. Keputusan diambil secara mufakat bersama kepala desa dan kepala dusun setempat. Persetujuan didapat, perjanjian diterima, dan kemitraan berjalan sebagaimana mestinya dengan 18 petani sebagai pelaksana kemitraan yang harus menanam tembakau sesuai kriteria yang diminta pabrik. Setelah kemitraan mulai berjalan, kriteria yang diminta oleh pabrik dinilai memberatkan karena petani harus mencari sampai ke pusat Kota Temanggung untuk memenuhi keperluan tersebut. Tak jarang petani juga harus keluar kota Temanggung untuk mendapatkan pupuk dan obat yang sesuai. Selama perjalanannya petani beranggapan bahwa kerjasama kemitraan ini hanya akan menguntungkan pihak pabrik saja. Petani tidak dapat terlepas dari hubungan kemitraan ini, karena ikatan kontrak yang sudah disepakati. Penetapan kriteria dan persyaratan yang harus dilakukan petani membuat petani mengalami ketergantungan dengan pihak mitra. Secara umum, responden mengatakan bahwa kemitraan ini sulit untuk dilanjutkan karena petani tidak memiliki kebebasan memilih dan menentukan secara mandiri. Pada akhir tahun 2011 saat kontrak kerja berakhir, petani yang bermitra memutuskan untuk tidak melanjutkan dan memilih kembali kerjasama dengan tengkulak saja.
39
Perbedaan hubungan kerjasama antara pabrik rokok dan tengkulak terletak pada dua hal, yaitu perjanjian dan kemampuan akses petani. Bekerjasama dengan pabrik dikatakan sebagai kemitraan karena memiliki bukti perjanjian yang sah. Perjanjian tersebut mengatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh petani mitra dan pabrik mitra, berikut dengan keuntungan dan sanksi jika melanggar. Akan tetapi, kemampuan akses petani sulit karena petani tidak bisa menjadi mandiri dan harus bergantung pada kesepakatan yang ada. Berbeda dengan kerjasama petani dan tengkulak. Tidak ada perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Petani bebas memilih dan menentukan seluruh faktor produksi dan pemasaran yang dianggap baik dan menguntungkan. Kebebasan inilah yang memudahkan akses petani dalam segala kebutuhan selama masa tanam, panen, dan penjualan tembakau. Sampai saat ini, Desa Bansari tidak lagi menjalankan proses kemitraan dengan pihak manapun karena petani setempat sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni tentang usaha produksi tembakau. Perbedaan lainnya dapat dilihat dari 18 responden yang mulanya bermitra (2011) kemudian tidak lagi melanjutkan kemitraan (2012). Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, 18 responden ini mengaku lebih nyaman melakukan proses produksi tanpa adanya hubungan kemitraan. Kembali, secara sederhana perbedaan ini dijelaskan melalui Tabel 18 Tabel 18 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011) dan tidak bermitra (2012) Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012) Menerima sosialisasi × Mudah akses saprotan × Mudah akses teknologi × Mudah akses modal × Mudah akses pasar jual × Jaminan pinjaman modal dari × × mitra Mudah menentukan harga jual × Ketergantungan pada mitra × Berdasarkan perbedaan pada Tabel 18, terlihat alasan petani memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan. Jika melihat dari sisi petani, di tahun 2011, petani hanya memperoleh sosialisasi dari mitra dan bergantung pada pabrik rokok. Petani juga memperoleh kesulitan saat mengakses seluruh kebutuhan produksi, karena harus menyesuaikan dengan kriteria yang diinginkan mitra dalam kontrak kemitraan. Selain itu, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga petani harus mencari sendiri modal tambahan yang diperlukan untuk memenuhi kriteria kebutuhan produksi saat bermitra. Kondisi yang berbeda terjadi saat 18 petani tidak lagi melanjutkan kemitraan. Sosialisasi memang tidak diterima petani dari pihak manapun, tetapi tidak membuat petani kekurangan informasi mengenai tembakau. Pertukaran informasi kerap kali dilakukan petani bersama tengkulak, terutama mengenai perubahan harga jual tembakau di daerah lain. Petani juga tidak merasakan kesulitan saat mengakses kebutuhan produksi, karena dapat menyesuaikan dengan jenis yang biasa digunakan saat tidak bermitra. Oleh karena itu, petani memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan.
40
Ketergantungan Petani pada Tembakau Bagi petani Desa Bansari, menanam tembakau adalah pekerjaan utama jika dibandingkan dengan menanam tanaman lain. Biasanya petani akan menanam bawang merah, cabai, kacang panjang, jagung dan kol putih sebagai tanaman sampingan selain tembakau. Seluruh responden mengatakan bahwa proses penanaman dan perawatan tembakau jauh lebih mudah dilakukan. Cara penanaman tembakau sama seperti komoditas lainnya menggunakan tanah yang sudah digemburkan. Selanjutnya adalah perawatan tembakau yang tidak menyulitkan petani. Jika komoditas lain harus rutin diberi irigasi, pemupukan, pemberian obat dan pestisida antara 3 sampai 7 hari sekali, maka tembakau hanya perlu waktu 14 hari sekali untuk kembali diberi nutrisi. Perawatan tembakau juga tidak sulit karena petani hanya 3 hari sekali berkunjung ke ladang setelah masa tanam, sedangkan komoditas lain memerlukan waktu setiap hari untuk memastikan tanaman tetap sehat. Tembakau dapat ditanam di tanah sawah dan tanah tegalan. Tanah sawah memiliki tekstur tanah yang lebih basah dibandingkan tanah tegalan. Biasanya tanah sawah ditanami tanaman sejenis padi, jagung, kacang panjang, kol, dan tebu. Tembakau dapat ditanam di tanah sawah, tetapi hasil daun tembakau yang diperoleh memiliki kualitas yang jauh lebih buruk dibandingkan. Tembakau yang ditanam di tanah sawah, memiliki tampilan yang tidak terlalu kering, aroma tembakau kurang menyengat, dan tekstur yang lebih lembut. Tanah tegalan memiliki struktur tanah yang lebih kering. Selain itu, wilayah yang memiliki tanah tegalan merupakan wilayah berdataran tinggi dengan udara dingin, tetapi tidak kurang sinar matahari. Menurut pengalaman responden, inilah wilayah yang paling baik untuk menanam tembakau dengan hasil yang baik pula. Waktu yang baik untuk menanam tembakau di Desa Bansari saat memasuki bulan Mei dan akan panen pada bulan Agustus. Hal ini dikarenakan, pada bulan Mei merupakan waktu pergantian musim hujan menuju musim kemarau. Curah hujan mulai sedikit dengan temperatur udara yang masih lebih dingin dibandingkan saat kemarau. Memasuki bulan Juni dan seterusnya, suhu udara kemarau dan terik matahari dibutuhkan tembakau agar daun tidak terlalu basah. Terbukti dengan metode ini hasil panen petani tembakau Desa Bansari memiliki kualitas baik dengan harga yang tinggi. Masa tanam dibulan yang lain diisi dengan tanaman sejenis padi, jagung dan sayuran. Tembakau ditanam saat bulan Mei hingga Agustus, lalu pada bulan September hingga November tanah tegalan akan ditanam bawang merah dan tanah sawah ditanam padi. Selanjutnya pada bulan Desember hingga April akan ditanam padi, kol putih, dan kacang pada tanah sawah, sedangkan tanah tegalan ditanami jagung dan cabai. Secara sederhana masa tanam tembakau dan komoditi lain, digambarkan seperti Gambar 3.
1
2
3
4
Padi, jagung, kol putih, cabai, kacang panjang
5
Bulan tanam 6 7 8 Tembakau
9
10
11
Padi, bawang merah
Gambar 3 Masa tanam lahan Desa Bansari
12
41
Kondisi tanah yang menguntungkan dan perawatan yang mudah dilakukan menjadi salah satu alasan petani tetap menanam tembakau. Selain itu, keuntungan yang diperoleh petani pun jauh lebih besar menanam tembakau dibandingkan tanaman lain. Kepala Dusun Banaran mengatakan bahwa tembakau tetaplah tanaman yang juga bisa merugi, ditandai dengan menurunnya harga tembakau. Akan tetapi, kerugian ini tetap memberikan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan tanaman lain. Jika selama 2 tahun harga pasaran tembakau turun, maka pada tahun tanam berikutnya keuntungan yang diperoleh dapat menutupi kerugian 2 tahun sebelumnya. Keuntungan yang diperoleh petani digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tak jarang yang membuka usaha sampingan diluar Desa Bansari. Jika untung yang diperoleh masih berlebih, maka akan digunakan sebagai modal untuk membeli bibit tanaman lain. Jika digambarkan, maka ketergantungan terhadap tembakau seperti yang terlihat pada Gambar Pabrik rokok
Petani
Tembakau
Gambar 4 Ketergantungan pada tembakau Secara history, komoditas ini sudah ditanam sejak lama oleh penduduk desa. Mayoritas responden mulai menanam tembakau sejak tahun 1975 secara mandiri. Kepala Desa Bansari menceritakan bahwa tembakau ini sudah berada di Temanggung sejak jaman penjajahan. Tembakau yang saat itu juga diproduksi dan digunakan untuk bahan membuat cigar para petinggi penjajah. Potensi wilayah penanaman tembakau ini ditemukan oleh pihak penjajah. Selanjutnya, tembakau masih menjadi bahan utama pembuatan rokok, yang terus dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, tembakau juga salah satu pemasok devisa negara yang besar. Sampai saat ini, pabrik rokok masih membutuhkan suplai tembakau yang diproduksi oleh petani. Pada akhirnya sulit bagi petani tembakau untuk berpindah kepada komoditas lain. Jika melihat pada Gambar 4, terlihat bahwa tembakau yang sebenarnya membuat pihak-pihak seperti petani dan pabrik rokok bergantung. Penanaman tembakau sudah dilakukan secara turun menurun dan mampu memberikan jaminan keuntungan ekonomi yang lebih baik. Tembakau memang tidak dapat dihilangkan dari Temanggung dengan mudah dan sudah menjadi ciri khas setempat.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil dari penelitian ini menunjukkan: 1. Mekanisme kemitraan di Desa Bansari terbentuk atas pengajuan kerjasama oleh PT Djarum melalui kepala desa di tahun 2011. Petani yang dilibatkan dalam kemitraan ini adalah perwakilan anggota kelompok tani di Dusun Banaran sebanyak 18 orang. Pihak lain yang terlibat selama proses kemitraan ini adalah PT Djarum, kepala desa, kepala dusun, dan petani. Sedangkan pada tahun 2012, 18 petani memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan dan memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak saja. 2. Posisi petani dalam hubungan kemitraan yang terjalin dengan pabrik rokok di tahun 2011, cenderung menyulitkan petani. Hal ini dikarenakan petani harus memproduksi tembakau sesuai dengan kesepakatan dan keinginan mitra. Selain itu, petani juga sulit mengakses faktor produksi yang dibutuhkan. Jika, hasil daun tembakau tidak sesuai dengan kesepakatan, maka petani merugi karena daun akan dibayar jauh lebih rendah dibandingkan harga saat petani tidak bermitra. Oleh karena itu, pada tahun 2012, petani memilih tidak lagi bermitra dan hanya bekerjasama dengan tengkulak karena petani dapat dengan mudah menentukan faktor produksi tanpa harus terikat. Kemampuan akses petani juga lebih mudah, karena petani dapat memilih pihak manapun sesuai dengan relasi yang dimiliki. 3. Kemitraan di Desa Bansari berakhir pada akhir tahun 2011 dan petani sudah memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Bagi petani, perubahan kemampuan akses faktor produksi yang lebih mudah terjadi ketika tidak bermitra. Perubahan ini juga merubah perolehan keuntungan hasil panen daun tembakau yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan saat bermitra. Selain itu, ketergantungan petani terhadap pabrik pun berkurang karena petani hanya bekerjasama dengan tengkulak saat menjual hasil panen. Walaupun petani tidak memperoleh sosialisasi secara formal, tetapi pertukaran informasi dengan tengkulak sudah cukup mewakili kebutuhan petani mengenai pembudidayaan tembakau. Saran Melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, akan lebih baik jika petani tembakau di daerah lainnya tidak melakukan kemitraan jika pola kemitraan yang ditawarkan seperti di Desa Bansari. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat dengan mudah untuk mengembangkan usaha tembakaunya secara mandiri dan sesuai kebutuhan serta kemampuan petani. Pihak-pihak lainnya, seperti pemerintah kabupaten dan propinsi, dapat melihat setiap aset sumber daya yang menguntungkan pada setiap wilayah, sehingga dapat dimaksimalkan kebermanfaatannya seperti di Desa Bansari.
44
DAFTAR PUSTAKA Bachriadi D. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapitalis: Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming. Bandung [ID]: Yayasan Akatiga. 190 hal. Fathorrahman, Nasikun J. 2004. Sistem Perdagangan Tembakau di Sumenep Madura: Mengungkap Ketidakberdayaan Petani Terhadap Pedagang Tembakau. Sosiosains. 17(02): 247-255. [internet]. [dikutip tanggal 19 Januari 2013]. Dapat diunduh dari: http://madib.blog.unair.ac.id/files/2011/11/pemberdayaan-ekonomimasyarakat-madura.pdf Fauziah E, Hartoyo S, Kusnadi N, Kuntjoro SU. 2010. Analisa Produktivitas Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan. Organisasi dan Manajemen. 06(02): 119-131. [internet]. [diunduh 19 November 2012]. Dapat diunduh dari: http://lppm.ut.ac.id/JOM/JOM VOL 6 No 2 Sept 2010 PDF/03 JOM Elys_Analisis Produktivitas Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan_irul.pdf Hakim AR. 2004. Pola Hubungan Hukum Pada Program Kemitraan Usahatani Tembakau di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. [tesis]. Semarang [ID]: Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro. [internet]. [diunduh 30 Juni 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=289 Heriyanto A. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Produksi Tembakau Madura Program Intensifikasi Tembakau Rakyat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 105 hal. Mamat H.S. 2006. Analisis Mutu, Produktivitas, Keberlanjutan dan Arahan Pengembangan Usaha Tani Tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 93 hal. Iqbal M. 2007. Analisis Peran Pemangku Kepentingan Dan Implementasinya Dalam Pembangunan Pertanian. Litbang Pertanian. 26(3). [internet]. [diunduh 21 Februari 2013]. Dapat diunduh dari: http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3263071.pdf Kertawati SH. 2008. Analisis Sistem Tataniaga Tembakau Mole (Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 89 hal. Kotter JP. 2001. Kekuasaan, Ketergantungan, dan Manajemen Efektif. (Alih bahasa oleh Mulyadi JA). Dalam: Mahanani N, editor. What Leaders Really Do, Kepemimpinan dan Perubahan. Jakarta [ID]: Erlangga. Hal 81. Latifah HN. 2010. Sikap Petani Tembakau Terhadap Program Kemitraan PT. Gudang Garam di Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro. [skripsi]. [internet]. [diunduh tanggal 13 Desember 2012]. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dapat diunduh dari: http://eprints.uns.ac.id/269/1/161532508201003171.pdf Purwandari H. 2011. Sistem Ekonomi Perkebunan: Persistensi Ketergantungan Negara Dunia Ketiga. Agrisep. 10(01): 63-79 Rochmatika RL. 2006. Kajian Kepuasan Petani Tebu Rakyat Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Pabrik Gula XYZ. [skripsi]. [internet]. [dikutip
46
tanggal 20 Januari 2013]. Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1285/A06rlr.pdf Santoso T. 2001. Tata Niaga Tembakau di Madura. Manajemen dan Kewirausahaan. 03(02): 96-105. [internet]. [diunduh tanggal 29 November 2012]. Dapat diunduh dari: http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/viewFile/15612/156 04 Sari DM. 2008. Peramalan Harga dan Produksi Tembakau di Indonesia. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 86 hal Susrusa KB, Zulkifli. 2009. Efektivitas Kemitraan Pada Usahatani Tembakau Virginia di Kabupaten Lombok Timur. Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. 09(01): 73-80. [internet]. [diunduh tanggal 28 Desember 2012]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/91097380.pdf [UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung). [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 137 hal
47
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah
48
Lampiran 2 Jadwal Penelitian
Kegiatan Penyusuna n proposal skripsi Kolokium Pengambil an data lapangan Pengolah an dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian
Tabel 19 Jadwal Penelitian tahun 2013 Feb Maret April Mei Juni Juli Agustus 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
49
Lampiran 3 Data Responden Data Penduduk Dusun Banaran, Desa Bansari – Bermitra No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama Ihsaudin Tuwaryo Parwito Juwahno Sunarlan Suheru H. Ramin B. Rohyati Tauhid Slamet T Sumono Slamet K Purloto Tuwari Mukayat Tumari K Sukarjo T Sukarjo S
RT/RW 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 2/5 2/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5
Data Penduduk Dusun Banaran, Desa Bansari – Tidak Bermitra No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama B. Pawit Dedi Purwadi Sukiman Sutarno Santoso Slamet AR Fahrul Rozi Taufik Wahmin Suratman
RT/RW 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Senen B. Tugi Kadar Wasto Munir Wagito Sidiq Susanto H. Wiyanto Hasim B.H. Mujini Suwarno H. Akrom Purwanto Sumono Solihin Mudiyan Pujiono Purwo Ngatano Muhradin B. Sami Sugiyanto B. Sopiyah Sugito Sarno Kabul Tujiu Subadi Partugi Pariyanto Sukadar Tumari Juwalno Suparlan Nurutomo
1/5 1/5 1/5 1/5 2/5 2/5 2/5 2/5 2/5 2/5 2/5 2/5 2/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5 3/5
50
Lampiran 4 Kuesioner TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP SISTEM KEMITRAAN DI DESA BANSARI, TEMANGGUNG, JAWA TENGAH Diisi oleh peneliti Nomor Responden: Hari/tanggal wawancara : I.
II.
III.
/
IDENTITAS INDIVIDU 1. Nama :...................................................................................................... 2. Usia :........................ tahun 3. No. HP :...................................................................................................... 4. Pekerjaan:.......................................................................................... 5. Alamat : ..................................................................................................... PENGALAMAN BEKERJA 1. Lama bekerja Bapak/Ibu sebagai petani tembakau? ...............tahun 2. Pendapatan terbesar Bapak/Ibu selama bertani tembakau? Rp....................... 3. Ada kemitraan di desa ini? Ya/Tidak 4. Apakah Bapak/Ibu ikut kemitraan? Ya/Tidak 5. Kalau ya, sudah berapa lama ikut kemitraan? ...................tahun 6. Dengan siapa Bapak/Ibu menjalin kemitraan? a. Pabrik rokok b. Tengkulak SOSIALISASI Siapakah yang sering memberikan sosialisasi kepada Bapak/Ibu? a. Pabrik rokok b. Tengkulak c. Aparat desa No Pernyataan Ya 1. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan bibit yang digunakan untuk ditanam di Temanggung 2. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan pupuk yang baik untuk tembakau Temanggung 3. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan obat-obatan yang baik untuk tembakau Temanggung 4. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan pestisida yang baik untuk mengusir hama 5. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan alat/teknologi untuk menanam tembakau Temanggung 6. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi perubahan harga beli setiap sarana produksi 7. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi perubahan harga jual tembakau di setiap tahunnya 8. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi pihak-pihak yang dapat memberikan pinjaman dana untuk modal awal 9. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi pasar-pasar alternatif untuk menjual sisa hasil panen tembakau
Tidak
51
IV.
TEKNOLOGI Aspek teknologi diukur dari penyediaan sarana produksi dan pengambil keputusan Penyediaan Sarana Produksi Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai No Pernyataan Ya Tidak 1. Bapak/Ibu membuat sendiri bibit setiap mulai menanam tembakau 2. Bapak/Ibu membeli sendiri pupuk saat menanam tembakau 3. Bapak/Ibu membeli sendiri obat-obatan selama menanam tembakau 4. Bapak/Ibu membeli sendiri pestisida selama menanam tembakau 5. Bapak/Ibu membeli sendiri alat penyemprot selama menanam tembakau 6. Selama ini Bapak/Ibu mudah mencari sendiri semua sarana produksi tembakau Kemana Bapak/Ibu mencari sarana produksi tersebut: ....................................... Pengambil Keputusan Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai 7. Bapak/Ibu memilih sendiri jenis bibit yang akan ditanam 8. Bapak/Ibu memilih sendiri jenis pupuk yang akan digunakan 9. Bapak/Ibu memilih sendiri pestisida yang akan digunakan 10. Bapak/Ibu memilih sendiri obat yang akan digunakan 11. Bapak/Ibu memilih sendiri alat penyemprot yang akan digunakan
V.
FINANSIAL Aspek finansial akan diukur dari modal dan penentu harga jual Modal Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai No Pernyataan 1. Bapak/Ibu menyiapkan sendiri modal awal untuk menanam tembakau 2. Bapak/Ibu mudah mencari modal untuk menanam tembakau 3. Bapak/Ibu meminjam dana dari pihak lain sebagai modal awal dan bukan pada tengkulak/pabrik rokok
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Jika “ya”, darimana sumber dana yang Bapak/Ibu punya: a. Bank b. Koperasi c. Dana pribadi Penentu Harga Jual Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai No Pernyataan 4. Bapak/Ibu dapat menentukan harga jual tembakau
52
5. 6. 7.
VI.
Bapak/Ibu ikut serta dalam tawar-menawar harga tembakau Bapak/Ibu dapat mematok harta tinggi setiap penjualan tembakau Bapak/Ibu dapat memilih alternatif pembeli yang menawarkan harga paling tinggi
PASAR Aspek pasar diukur dari pasar alternatif Pasar Alternatif Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai No Pernyataan 1. Bapak/Ibu dapat menjual hasil panen tembakau kepada pabrik rokok/tengkulak manapun 2. Bapak/Ibu dapat menjual sisa hasil panen kepada pabrik rokok/tengkulak yang berbeda 3. Bapak/Ibu tidak membutuhkan waktu yang singkat untuk menjual hasil panen kepada pabrik rokok/tengkulak 4. Bapak/Ibu mudah menjual hasil panen/sisa hasil panen tembakau ke pasar lain 5. Bapak/Ibu sering menemui hambatan saat menjual hasil panen/sisa hasil panen tembakau ke pasar lain
Ya
Tidak
Hambatan apa yang sering dihadapi Bapak/Ibu ingin menjual ke tempat lain: a. Terikat kontrak dengan mitra b. Akses jalan sulit c. Tranportasi tidak ada d. Informasi terbatas Panduan Pertanyaan Mendalam 1. Responden Pertanyaan Umum: a. Bapak/Ibu kenapa mau menanam tembakau? b. Lebih sulit mana Bapak/Ibu menanam tembakau dibanding menanam tanaman lain? c. Bagaimana menurut Bapak/Ibu kualitas tembakau temanggung saat ini? d. Kalau bicara soal keuntungan, lebih untung tembakau atau tanaman lain? Pertanyaan Khusus: e. Mengenai kemitraan, menurut Bapak/Ibu sudah berapa lama kemitraan di desa ini ada? f. Alasan Bapak/Ibu ikut/tidak ikut kemitraan kenapa? g. Lebih baik mana ? Ikut/tidak ikut kemitraan? Kenapa? h. Sebenarnya apa yang Bapak/Ibu peroleh dari kemitraan ini? i. Sepengetahuan Bapak/Ibu, seberapa sering mendapatkan sosialisasi mengenai sarana produksi tembakau? j. Menurut Bapak/Ibu, siapa saja pihak yang berperan dalam penanaman tembakau selain pabrik rokok/tengkulak? Apa saja yang dilakukan? k. Seberapa sering pihak-pihak tersebut datang ke lahan petani? l. Selama Bapak/Ibu ikut kemitraan, penghasilan semakin baik atau buruk?
53
m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w. x. y. z. aa. bb.
Sebelum tanam tembakau, siapa yang menyediakan sarana produksi tembakau? Darimana Bapak/Ibu mendapatkan pasokan sarana produksi? Kalau pasokan dari mitra, seberapa banyak mitra menyediakan sarana produksi? Sarana produksi lebih baik dari mitra atau disediakan sendiri? Berapa kisaran modal yang Bapak/Ibu butuhkan untuk tanam tembakau? Pernah atau tidak mitra memberi pinjaman modal awal? Jika pernah kapan dan berapa banyak? Kalau tidak pernah, Bapak/Ibu cari modal kemana? Menurut Bapak/Ibu, berapa kisaran harga tembakau tahun ini? Tahun kemarin berapa? Kalau dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, kenapa harga tembakau tahun ini tinggi/rendah? Kenapa Bapak/Ibu tidak dapat ikut serta menawar harga tembakau? Bagaimana alur penjualan tembakau yang biasa Bapak/Ibu lakukan? Kemana dulu? Perlu waktu berapa lama Bapak/Ibu menjual tembakau? Apakah Bapak/Ibu dapat menjual dengan bebas hasil panen tembakau? Bapak/Ibu pernah menjual ke pasar mana saja untuk hasil/sisa hasil penen tembakau? Dalam kondisi seperti ini, kenapa Bapak/Ibu tetap menanam tembakau? Adakah keinginan Bapak/Ibu untuk menanam komoditas lain? Apa ?
2. Informan Pertanyaan Umum: a. Kenapa tembakau bisa masuk ke desa ini? b. Jenis tembakau apa yang digunakan? c. Sudah berapa lama tembakau ditanam oleh petani di Temanggung? d. Menurut Bapak/Ibu sejak kapan kemitraan masuk ke daerah ini? e. Kenapa sistem kemitraan saat itu berkembang? Pertanyaan Khusus:: f. Berapa jumlah petani yang ikut dalam hubungan kemitraan ini? g. Sekarang berapa banyak petani yang tetap melakukan hubungan kemitraan? h. Saat ini sulit atau tidak untuk tetap menerapkan sistem kemitraan ini? i. Apa saja kendala yang biasa terjadi selama sistem kemitraan ini berjalan? j. Apa saja yang biasanya diberikan mitra kepada petani? k. Pernah ada sosialisasi tidak terkait sarana produksi tembakau ke petani? Seberapa sering dan siapa yang memberikan sosialisasi? l. Saat ini petani lebih banyak akses sarana produksi dan modal ke mitra atau sudah mandiri? m. Bagaimana kondisi pasar tembakau di desa ini? n. Kemana saja biasanya mayoritas tembakau disetorkan oleh petani? o. Jika ada tengkulak, apa peran tengkulak? p. Bagaimana persaingan penjualan hasil tembakau dari setiap petani/desa? q. Adakah pihak lain yang turut berperan dalam penanaman tembakau? Siapa saja? r. Apa yang dilakukan pihak tersebut? Bentuk bantuan? Seberapa sering? s. Melihat hasil penjualan tembakau selama ini, tembakau memberikan pengaruh yang baik atau tidak bagi kehidupan petani? Seberapa besar? t. Menurut Bapak/Ibu, kenapa petani masih terus bertanam tembakau? u. Adakah keinginan bertanam komoditas lain? Apa?
54
Lampiran 5 Dokumentasi
Daun tembakau usia 3 hari
Daun tembakau yang sudah dirajang
Hamparan tanaman tembakau
Daun tembakau yang baik dan siap panen
Daun tembakau usia 3 minggu
55
RIWAYAT HIDUP Alfiana Rachmawati dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1991. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Alwi Romadlon dan Afifah Nurhayati. Penulis memulai pendidikannya di Taman KanakKanak Islam Al-Barkah pada tahun 1996-1997, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Kelapa Gading Barat 01 Pagi pada tahun 1997-2003, Sekolah Menengah Pertama Negeri 30 Jakarta pada tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 72 Jakarta pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM). Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event diantaranya Gebyar Nusantara 2010, Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia tahun 2011, dan Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2011. Selain itu, penulis juga pernah aktif sebagai penyiar di Radio Agri FM sejak tahun 2010-2012. Penulis juga tergabung dalam organisasi BEM KM IPB di Kementerian Pendidikan sebagai staff tahun 2010-2011, Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai staff tahun 2011-2012, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai Sekretaris Kementerian tahun 2012-2013.