VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO
Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah mengalami berkali-kali respesifikasi. Hasil ini telah dianggap baik karena telah memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrik.
6.1.
Keragaan Umum Model Hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS terhadap persamaan
struktural menunjukkan indikator statistik yang relatif baik.
Nilai koefisien
determinasi (R2) umumnya lebih besar dari 0.70, kecuali persamaan struktural permintaan TK berpendidikan rendah sektor pertanian (DPRJ), pengeluaran pembangunan sektor pertanian (GEP), pengeluaran pembangunan sektor industri (GEI), pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur (GEIS), investasi sektor pertanian (IP) dan investasi sektor jasa (IJ).
Sebagian besar persamaan
menghasilkan nilai F-hitung lebih besar dari 8.00.
Ini mengindikasikan
sebahagian besar peubah penjelas memiliki hubungan relatif baik terhadap peubah endogen. Nilai Prob>F pada sebahagian besar persamaan bernilai <.0001 yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama semua variabel penjelas dapat menjelaskan variabel endogennya secara signifikan. Persamaan struktural nilai produksi sektor jasa (GDPJ) menghasilkan nilai Statistik Durbin-Watson 0.96 yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi banyak dijumpai dalam penelitian bidang ekonomi disebabkan keterkaitan antar variabel. Mempertimbangkan bahwa model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonomi dan untuk kepentingan
111
ekonomi, penulis memprioritaskan kriteria ekonomi di atas persyaratan statistik dan ekonometrika.
6.2.
Kinerja Pasar Tenaga Kerja
6.2.1. Penawaran Tenaga kerja Hasil pendugaan parameter pada persamaan penawaran TK berdasarkan tingkat pendidikan memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen. Artinya variasi penawaran TK peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah penawaran TK berdasarkan pendidikan. Peubah endogen dalam persamaan penawaran TK berpendidikan rendah, menengah dan berpendidikan tinggi dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, penawaran TK secara umum dipengaruhi oleh upah rata-rata (W) dan jumlah populasi penduduk (POP). Seluruh peubah penjelas berpengaruh positif dengan signifikansi yang bervariasi seperti pada Tabel 14. Hasil estimasi pada Tabel 14 memperlihatkan peubah jumlah populasi penduduk berpengaruh positip dan signifikan terhadap penawaran TK berependidikan rendah (SPR). Hal tersebut tercermin dari nilai parameter dugaan sebesar 0.18, artinya peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang akan meningkatkan jumlah SPR sebanyak 180 orang. Pada persamaan penawaran TK berpendidikan menengah (SPM), peubah upah rata-rata (W), Jumlah populasi penduduk (POP) dan lag pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan (LGEPK) berpengaruh positip terhadap SPM.
112
Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran TK* Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
SPR (penawaran TK berpend rendah) Intercept ∆W (perubahan upah rata-rata) ∆PHK (perubahan jumlah PHK) POP (jumlah populasi penduduk) LSPR (lag penawaran TK berpendidikan rendah)
7696.893 0.054218 0.006907 0.183286 0.381599
F-Hitung = 97.67
R2 = 0.95596
SPM (penawaran TK berpend menengah) Intercept W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPM (lag penawaran TK berpendidikan menengah)
-11854.5 0.149701 0.071511 24.39220 0.670890
F-Hitung = 487.33
R2 = 0.99085
SPT (penawaran TK berpend tinggi) Intercept W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPT (lag penawaran TK berpendidikan tinggi)
-3456.16 0.028160 0.019892 6.405164 0.715552
F-Hitung = 248.79
R2 = 0.98223
0.0117 0.3998 0.3106 0.0017 0.0095
0.5151
0.8330
DW = 2.059907 0.0450 0.0495 0.0633 0.0887 0.0003
0.1625 1.1831 0.0021
0.4937 3.5949 0.0063
DW = 2.468268 0.0326 0.2056 0.0486 0.1572 <.0001
0.1411 1.5193 0.0912
0.4961 5.3413 0.3208
DW = 2.263288
Catatan: * Penawaran TK menggunakan data angkatan kerja.
Apabila terjadi peningkatan jumlah populasi penduduk sebanyak 1000 orang maka SPM berpotensi meningkat 71 orang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap SPM adalah LGPK. Peningkatan LGPK satu milyar rupiah akan meningkatkan SPM sebanyak 24 ribu orang. Sementara pada persamaan penawaran TK berependidikan Tinggi (SPT) menunjukkan peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang maka SPT berpotensi meningkat 20 orang. Peubah W berpengaruh positif dan nyata terhadap SPM dengan elastisitas jangka pendek 0.16 persen dan jangka panjang 0.49 persen. Dapat dikatakan respon penawaran TK berpendidikan menengah terhadap perubahan upah rata-rata
113
bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya walaupun SPM Indonesia dipengaruhi oleh peubah upah rata-rata, tetapi pengaruhnya relatif kecil meskipun dalam jangka panjang.
6.2.2. Permintaan Tenaga Kerja a.
Berpendidikan Rendah
Hasil pendugaan parameter pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah (DPR) berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) bervariasi seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah Tahun 1980-2004 Peubah DPRP (permintaan TK berpend. rend sekt pertanian) Intercept WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKIP (jumlah TK informal sektor pertanian) LDPRP (lag permintaan TK berpend. rendah sekt pertanian) F-Hitung = 96.59 DPRI (permintaan TK berpend. rend sekt industri) Intercept WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JP (jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) TKII (jumlah TK informal sektor industri) LDPRI (lag permintaan TK berpend. rendah sekt industri) F-Hitung = 55.34 DPRJ (permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) Intercept ∆WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) PNSR (jumlah PNS berpendidikan rendah) LDPRJ (lag permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) F-Hitung = 6.51
Parameter Prob > |T| Estimasi 13996.67 -0.68812 0.017205 0.602612 0.175688
<.0001 0.0151 0.3749 <.0001 0.0175
R2 = 0.95549 1501.583 -0.03733 0.007087 0.048144 2.044707 1.126923 0.064549
R2 = 0.59122
-0.1186
-0.1439
0.5419
0.6574
DW = 1.706572 0.1106 0.2759 0.3137 0.1814 0.0321 <.0001 0.3456
R2 = 0.95403 310.3759 -0.01115 0.015119 2.319582 0.478377
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.4325 0.4598 0.2806 0.0514 0.0142
0.1188 0.0498 0.5555
0.1270 0.0533 0.5938
DW = 2.295689
0.3418
0.6553
DW = 1.784429
114
Pada persamaan DPRP dan DPRI mencapai 95 persen sementara pada persamaan DPRJ hanya mencapai 59 persen. Secara umum variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan DPR berdasarkan sektor mampu menjelaskan fluktuasi peubah DPR lebih baik (di atas 94 persen). Peubah endogen di dalam persaman DPR berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 15 memperlihatkan respon penurunan permintaan TK berpendidikan rendah akibat peningkatan upah rata-rata di masing-masing sektor tidak elastis dan signifikan hanya pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian (DPRP). Artinya peningkatan upah rata-rata sektor pertanian sebesar satu persen akan menurunkan DPRP 0.12 persen.
b.
Berpendidikan Menengah
Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan menengah (DPM) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 95 persen. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPM di setiap sektor. Peubah endogen di dalam persaman DPM berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 16 memperlihatkan bahwa DPMI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan menengah untuk sektor pertanian 0.32 persen, industri 0.46 persen dan sektor jasa 0.13 persen. Sebaliknya, permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian (DPMP) lebih responsif terhadap peningkatan GDP sektor pertanian (GDPP). Peningkatan GDP masing-masing
115
sektor sebesar satu persen akan meningkatkan DPM untuk sektor pertanian 1.29 persen, industri 0.37 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
DPMP (permint TK berpend. men sekt pertanian) Intercept -790.640 WP (upah rata-rata sektor pertanian) -0.06189 GDPP (nilai produksi sektor pertanian) 0.036499 TKMI (jumlah TK berpend. menengah sekt informal) 0.152310 LDPMP (lag permintaan TK berpend. Menengah sekt pertanian) 0.271813 F-Hitung = 220.69
0.0391 0.0853 0.0135 0.0037 0.0780
R2 = 0.98002
-0.3196 1.2927 0.4201
-0.4389 1.7753 0.5770
DW = 2.470703
DPMI (permint TK berpend. men sektor industri) Intercept LWI (lag upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPMI (lag permint. TK berpend. menengah sekt. industri)
491.7278 -0.06035 0.010516 0.040753 0.818900
F-Hitung = 394.76
R2 = 0.98873
0.0076 0.0018 0.0090 0.4508 <.0001
-0.4618 0.3717
-2.5497 2.0523
DW = 2.197437
DPMJ (permintaan TK berpend men sektor jasa) Intercept WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) TKFJ (jumlah TK formal sektor jasa) LDPMJ (lag permint. TK berpend. menengah sektor jasa)
-75.0290 -0.02904 0.022429 0.235430 0.366813
F-Hitung = 77.45
R2 = 0.94509
0.4466 0.2129 0.0808 0.0020 0.0081
-0.1287 0.2586 0.5333
-0.2033 0.4084 0.8422
DW = 1.473021
Secara umum dapat dikatakan bahwa elastisitas peningkatan kesempatan kerja bagi TK berpendidikan menengah akibat peningkatan GDP lebih tinggi (dan elastis) pada sektor pertanian. Hasil kajian tentang elastisitas kesempatan kerja akibat perubahan GDP yang telah dilakukan oleh Kalangi (2006) memperlihatkan nilai elastisitas rata-rata kesempatan kerja sektor pertanian (1999-2003) juga elastis, mencapai 1.49 persen.
116
c. Berpendidikan Tinggi Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan tinggi (DPT) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 95 persen seperti pada Tabel 17. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPT di setiap sektor. Peubah endogen di dalam persaman DPT dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
DPTP (permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) Intercept -53.4439 WP (upah rata-rata sektor pertanian) -0.00364 GDPP (nilai produksi sektor pertanian) 0.002483 TKTI (jumlah TK berpend. tinggi sektor informal) 0.016213 LDPTP (lag permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) 0.505083 F-Hitung = 79.58
R2 = 0.94648
DPTI (permintaan TK berpend tinggi sektor industri) Intercept WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPTI (lag permintaan TK berpend tinggi sektor industri)
39.20398 -0.00658 0.001347 0.067873 0.817348
F-Hitung = 104.40
R2 = 0.95868
0.0754 0.1623 0.0286 0.2863 0.0148
-0.3390 1.5860
-0.6850 3.2047
DW = 1.933074 0.2200 0.1029 0.0619 0.2267 <.0001
-0.4241 0.4011 0.0601
-2.3220 2.1958 0.3289
DW = 2.030049
DPTJ (permintaan TK berpend tinggi sektor jasa) Intercept ∆WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) LDPTJ (lag permintaan TK berpendidikan tinggi sektor jasa)
-279.070 -0.02304 0.014701 0.838590
F-Hitung = 157.86
R2 = 0.96143
0.0627 0.1600 0.0179 <.0001
-0.2614 0.4338
-1.6195 2.6875
DW = 2.723394
Tabel 17 memperlihatkan bahwa DPTI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan tinggi untuk sektor pertanian 0.34
117
persen, industri 0.42 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Yudhoyono (2004) juga menyimpulkan kenaikan upah rata-rata sektor pertanian sebesar 1 rupiah per bulan akan menurunkan penyerapan TK sektor pertanian sebanyak 5 ribu orang dan untuk TK non pertanian sebanyak 2 ribu orang. Di antara sektor yang diamati, elastisitas permintaan TK berpendidikan tinggi terhadap peningkatan GDP lebih elastis pada sektor pertanian yaitu 1.59 persen. Artinya peningkatan GDP sektor pertanian sebesar satu persen akan meningkatkan DPTP sebesar 1.59 persen. Hasil analisis ini sejalan dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan Kalangi (2006) yang menyimpulkan bahwa respon peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian akibat peningkatan nilai GDP pertanian mencapai 1.49 persen (1999-2003).
6.2.3. Upah Rata-rata Hasil pendugaan parameter persamaan upah rata-rata berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 84 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 84 persen fluktuasi peubah upah rata-rata berdasarkan sektor. Peubah endogen dalam persamaan upah rata-rata sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 18 memperlihatkan bahwa hasil pendugaan persamaan upah ratarata sektoral secara nyata dipengaruhi oleh upah minimum masing-masing sektor. Hal tersebut tercermin pada nilai parameter yang berarti peningkatan upah minimum rata-rata sektoral untuk pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 186 rupiah, industri 180 rupiah dan sektor jasa 261 rupiah.
118
Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Upah Rata-rata Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
WP (upah rata-rata sektor pertanian) Intercept UMP (upah minimum sektor pertanian) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) TKFP (jumlah TK formal sektor pertanian) S (jumlah penawaran TK total) LWP (lag upah rata-rata sektor pertanian)
4351.285 0.186011 0.235748 7.722205 0.026872 -0.07680 0.347304
F-Hitung = 32.31
R2 = 0.92375
WI (upah rata-rata sektor industri) Intercept UMI (upah minimum sektor industri) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFI (deflator GDP sektor industri) TKFI (jumlah TK formal sektor industri) S (jumlah penawaran TK total) LWI (lag upah rata-rata sektor industri)
5358.180 0.180116 1.007071 3.237797 2.135565 -0.28723 0.502053
F-Hitung = 22.11
R2 = 0.89239
WJ (upah rata-rata sektor jasa) Intercept UMJ (upah minimum sektor jasa) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFJ (deflator GDP sektor jasa) LTKF (lag jumlah TK formal) S (jumlah penawaran TK total) LWJ (lag upah rata-rata sektor jasa)
5380.282 0.260546 0.753300 15.60628 0.166095 -0.18927 0.454715
F-Hitung = 13.82
R2 = 0.83822
W (upah rata-rata) Intercept L∆UMR (lag perubahan upah minimum rata-rata) WP (upah rata-rata sektor pertanian) WI (upah rata-rata sektor industri) ∆WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) WL (upah rata-rata sektor lainnya) LW (lag upah rata-rata)
847.4541 0.062092 0.358429 0.461737 0.258188 0.059693 0.221975
F-Hitung = 67.97
R2 = 0.96225
0.0857 <.0001 0.0888 0.0014 0.4379 0.0131 0.0115
0.3311 0.3383 0.2532
0.5074 0.5183 0.3879
-0.9868
-1.119
DW = 2.147441 0.0414 0.0630 0.0046 0.1847 0.0002 0.0005 0.0003
0.2531 0.7616 0.0502 0.9223 -1.9448
0.5084 1.5294 0.1009 1.8523 -3.9057
DW = 2.354692 0.1585 0.0139 0.0483 0.0129 0.1718 0.0566 0.0084
0.2786 0.4369 0.2015 0.2603 -0.9828
0.5109 0.8012 0.3695 0.4774 -1.8023
DW = 1.583527 0.1545 0.3374 0.1767 0.0034 0.0438 0.0548 0.0703
0.1825 0.4461 0.3253 0.0971
0.2345 0.5734 0.4181 0.1248
DW = 2.34477
119
Fenomena
ini
juga
ditemui
dalam
studi
terdahulu
yang
menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum meskipun secara normatif ditargetkan pada buruh tanpa pengalaman, berpendidikan rendah dan mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, namun dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah bagi buruh secara keseluruhan atau dalam kajian ketenagakerjaan disebut upah sundulan (Wirahyoso, 2002). Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap upah rata-rata sektoral adalah KHM. Secara umum terlihat perbaikan pemenuhan upah rata-rata pada sektor industri relatif lebih baik dibandingkan sektor pertanian dan jasa. Artinya peningkatan KHM sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 236 rupiah, industri 1007 rupiah dan jasa 753 rupiah. Faktor tuntutan serikat pekerja yang diproksi dengan peubah jumlah TK formal di masing-masing sektor juga mempengaruhi nilai upah rata-rata sektoral. Secara umum upah rata-rata sektor industri lebih respon terhadap tuntutan serikat pekerja. Artinya peningkatan tuntutan serikat pekerja sebesar satu persen di masing-masing sektor akan meningkatkan upah rata-rata di sektor pertanian 0.02 persen, industri 0.92 persen dan jasa 0.26 persen. Hasil penelitian terdahulu juga menyimpulkan bahwa fenomena upah sundulan merupakan dampak dari kekuatan serikat pekerja untuk menaikkan upah buruh diluar target kebijakan upah minimum (Priyono,2002).
6.3.
Kinerja Fiskal Pendugaan
parameter
penerimaan
dan
pengeluaran
pemerintah
berdasarkan sektor pembangunan memberikan koefisien determinasi (R2) bervariasi antara 26 persen sampai 94 persen seperti pada Tabel 19.
120
Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
TAX (penerimaan pajak) Intercept AS (penawaran agregat) LTAX (lag penerimaan pajak)
-126.326 0.001324 0.197561
F-Hitung = 163.31
R2 = 0.94230
GEP (pengeluaran pemb sektor pertanian) Intercept ∆GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GDPP/AS (share GDP pertanian thd agregat suplai)
14.98551 0.034337 0.592019 17.57876
F-Hitung = 12.60
R2 = 0.66551
GEI (pengeluaran pemb sektor industri) Intercept ∆GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GRI (pertumbuhan sektor industri)
1.898281 0.007940 0.035231 0.100363
F-Hitung = 2.21
R2 = 0.25908
GEIS (pengeluaran pemb untuk infrastruktur) Intercept L∆GTR (lag perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEIS (lag pengeluaran pemb untuk infrastruktur)
8.594533 0.053636 0.074659 0.829220
F-Hitung = 13.70
R2 = 0.68383
0.0029 0.0004 0.1769
1.3413
1.6716
DW = 1.488553 0.0058 0.0495 <.0001 0.2689
0.0173 0.0080
-
DW = 1.738171 0.0052 0.1521 0.1839 0.0264
0.0207 0.0025 0.0061
-
DW = 2.347546 0.1708 0.1700 0.3928 <.0001
0.0214
0.1254
DW = 1.702487
GEPK (pengeluaran pemb pend dan kesehatan) Intercept LUT (lag tingkat pengangguran total) GTR (penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEPK (lag pengeluaran pemb untuk pendidikan dan kesehatan)
-0.48610 1.177960 0.011670 0.286771 0.676046
F-Hitung = 23.61
R2 = 0.83993
0.4636 0.1362 0.2659 0.0213 <.0001
0.1563
0.4852
0.0885
0.2732
DW = 1.090124
Peubah endogen di dalam persaman TAX, GEP, GEIS dan GEPK dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 sementara pada persamaan GEI nyata pada taraf 0.1.
121
Tabel 19 memperlihatkan bahwa penerimaan pajak (TAX) dipengaruhi secara postif oleh penawaran agregat (AS). Jika AS meningkat satu milyar rupiah maka TAX akan meningkat sebesar 1.3 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang penerimaan pajak responsif terhadap peubah AS. Faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran pembangunan pertanian, industri, infrastruktur serta pendidikan dan kesehatan adalah penerimaan pemerintah. Peningkatan penerimaan pemerintah satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran pembangunan sektor pertanian 34 juta rupiah, sektor industri 7.9 juta rupiah, sektor infrastruktur 53.6 juta rupiah serta sektor pendidikan dan kesehatan 11.7 juta rupiah. Besarnya pengaruh penerimaan pemerintah terhadap pengeluaran infrastruktur bisa dipahami karena merupakan salah satu faktor penting menggerakkan perekonomian. Lag inflasi juga berpengaruh nyata terhadap besarnya pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian serta pendidikan dan kesehatan. Artinya kenaikan laju inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan meningkatnya nilai peneluaran pembangunan sektor pertanian 590 juta rupiah dan sektor pendidikan dan kesehatan 290 juta rupiah dalam rangka mempertahankan nilai riil pengeluaran pemerintah.
6.4.
Kinerja Penawaran Agregat Hasil pendugaan parameter nilai produksi sektoral memberikan nilai
koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen seperti pada Tabel 20. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah nilai produksi sektor pertanian, industri maupun sektor jasa.
122
Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
GDPP (nilai produksi sektor pertanian) Intercept DP (permintaan TK sektor pertanian) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) ∆IP (perubahan investasi sektor pertanian) ∆GEP (perubahan pengeluaran pemb sektor pertanian) ∆GEIS (perubahan pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPP (lag nilai produksi sektor pertanian)
-1574.86 0.098317 0.323054 0.026704 8.215004 7.864306 0.973710
F-Hitung = 394.22
R2 = 0.99328
GDPI (nilai produksi sektor industri) Intercept DI (permintaan TK sektor industri) DEFI (deflator GDP sektor industri) II (investasi sektor industri) ∆GEI (perubahan pengeluaran pemb sektor industri) KUK (kredit usaha kecil) GEIS (pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPI (lag nilai produksi sektor industri)
464.9194 0.918193 38.69647 0.088450 164.7634 32.56100 15.05642 0.609806
F-Hitung = 222.99
R2 = 0.99048
GDPJ (nilai produksi sektor jasa) Intercept ∆DJ (perubahan permintaan TK sektor jasa) LDEFJ (lag deflator GDP sektor jasa) IJ (investasi sektor jasa) LGEIS (lag pengeluaran pemb sektor pertanian) LGDPJ (lag nilai produksi sektor jasa)
3889.881 0.265636 7.080491 0.142993 28.04410 0.861724
F-Hitung = 83.80
R2 = 0.96101
0.2489 0.0710 0.4287 0.3062 0.3054 0.2746 <.0001
0.0861
3.2743
DW = 2.028915 0.4706 0.2613 0.1513 0.2619 0.2949 0.0374 0.3786 0.0053
0.1300
0.3331
0.0711
0.1822
DW = 1.275885 0.0489 0.3275 0.1586 0.3540 0.2373 <.0001
0.0351
0.2542
0.7008
5.0685
DW = 0.96101
Peubah endogen dalam persamaan nilai produksi sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 20 memperlihatkan permintaan tenaga kerja sektor pertanian (DP) berpengaruh positip dan nyata terhadap nilai produksi sekroe pertanian (GDPP). Artinya peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 1 orang akan
123
meningkatkan nilai produksi sektor pertanian sebesar 98.3 juta rupiah. Jika dibandingkan dengan sektor industri dan jasa maka sektor pertanian menempati urutan terendah dalam hal produktivitas tenaga kerja sementara sektor industri menempati urutan teratas. Pada persamaan GDPI, kredit usaha kecil (KUK) berpengaruh nyata dalam meningkatkan GDPI. Artinya peningkatan KUK sebesar satu milyar rupiah akan meningkatkan GDPI 32.6 milyar rupiah.
6.5.
Kinerja Permintaan Agregat Pendugaan parameter persamaan konsumsi (C), ekspor (X) dan impor (M)
memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 88 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah C, 95 persen fluktuasi peubah X dan 88 persen fluktuasi peubah M. Peubah endogen di dalam persaman C, X, dan M dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 21 memperlihatkan bahwa faktor penawaran agregat per kapita (AS/POP) berpengaruh positif
terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan
AS/POP satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran konsumsi nasional 46 triliun rupiah. Sementara inflasi berpengaruh negatif
terhadap pengeluaran
konsumsi. Peningkatan inflasi sebesar satu persen akan menurunkan pengeluaran konsumsi nasional 225 milyar rupiah. Nilai ekspor dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan meningkatkan nilai ekspor 1.04 milyar rupiah rupiah. Demikian pula penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai ekspor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai ekspor 0.30 milyar rupiah.
124
Tabel 21. Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
C (konsumsi) Intercept AS/POP (pendapatan per kapita) INF (inflasi nasional) LC (lag konsumsi)
-19490.6 45985.72 -224.958 0.796406
F-Hitung = 1747.91
R2 = 0.99639
X (nilai ekspor) Intercept ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LX (lag nilai ekspor)
-9074.23 1.042679 0.300933 0.039729
F-Hitung = 133.87
R2 = 0.95483
M (nilai impor) Intercept ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LM (lag nilai impor)
-9694.45 -1.24392 0.220442 0.427867
F-Hitung = 48.29
R2 = 0.88405
0.0004 <.0001 0.0049 <.0001
0.3854 -0.0161
1.8929 -0.0791
DW = 1.447554 0.0578 0.0844 <.0001 0.4081
0.0547 1.0216
0.0569 1.0639
DW = 2.636538 0.1152 0.1093 0.0004 0.0063
-0.0695 0.7973
-0.1215 1.3936
DW = 2.127146
Nilai impor dipengaruhi secara negatif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan menurunkan nilai impor 1.25 milyar rupiah rupiah. Sebaliknya penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai impor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai impor 0.22 milyar rupiah. Tabel 22 memperlihatkan hasil pendugaan parameter pada persamaan nilai investasi berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) bervariasi yaitu sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan fluktuasi peubah investasi untuk sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen.
125
Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
IP (investasi sektor pertanian) Intercept ∆SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) LAS (lag penawaran agregat) ∆KP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIP (lag investasi sektor pertanian)
1321.929 -49.5038 -1.34291 0.025921 -5.32200 3653.718 0.614324
F-Hitung = 3.79
R2 = 0.58679
II (investasi sektor industri) Intercept ∆SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) AS (penawaran agregat) KP (jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LII (lag investasi sektor industri)
-7936.68 -82.6170 -2.26652 0.246194 -23.2645 -24116.6 0.139976
F-Hitung = 8.58
R2 = 0.76298
IJ (investasi sektor jasa) Intercept SB (suku bunga) LUMR (lag upah minimum rata-rata) AS (lag upah minimum rata-rata) LKP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIJ (lag investasi sektor jasa)
-254.735 -2.75548 -0.35560 0.012588 -0.94728 2692.560 0.091524
F-Hitung = 1.58
R2 = 0.37198
0.3778 0.3108 0.0880 0.1918 0.3379 0.1655 0.0029
-0.3045 0.9693
-0.7895 2.5133
DW = 1.562349 0.2417 0.3607 0.1589 0.0095 0.2405 0.0121 0.2821
-0.0796 1.4254 -0.0899
-0.0925 1.6574 -0.1045
DW = 2.380518 0.4438 0.4802 0.1294 0.1235 0.4196 0.0614 0.3576
-0.2794 1.6311
-0.3075 1.7954
DW = 1.539115
Peubah endogen dalam persamaan nilai investasi sektor pertanian dan industri dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 kecuali pada sektor jasa hanya 0.2. Persamaan investasi sektoral dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga nominal dan faktor ketidakpastian di pasar TK yaitu upah minimum rata-rata (UMR) dan jumlah kasus pemogokan (KP). Peningkatan suku bunga nominal sebesar satu persen akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 49.5 milyar
126
rupiah, industri 82.6 milyar rupiah dan jasa 2.8 milyar rupiah. Peningkatan UMR sebesar satu rupiah per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 1.3 milyar rupiah, industri 2.3 milyar rupiah dan jasa 0.4 milyar rupiah. Selanjutnya peningkatan jumlah kasus pemogokan satu kasus per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 5.3 milyar rupiah, industri 23.3 milyar rupiah dan jasa 1.0 milyar rupiah. Pada kenyataannya, sektor pertanian mempunyai rata-rata nilai investasi paling rendah di era otda yang telah lalu, yaitu 3.46 persen dari total investasi dibanding sektor lain tahun 2001-2004. Hasil penelitian Kalangi (2006) juga menyimpulkan hal serupa ( 2.04 persen), karena dianggap sektor pertanian kurang menguntungkan bagi investor asing. Namun, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB relatif besar, rata-rata di era otda yang telah lalu mencapai 15.73 persen tahun 2001-2004. Sumbangan terhadap peningkatan kesempatan kerja pada periode yang sama mencapai 44.42 persen.
6.6.
Kinerja Moneter Pendugaan parameter persamaan penawaran uang (MS), permintaan uang
(MD) dan suku bunga nominal (SB) memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 84 persen seperti pada Tabel 23. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah MS dan MD, dan 84 persen fluktuasi peubah SB. Peubah endogen di dalam persaman MS, MD dan SB dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
127
Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta Suku Bunga Tahun 1980-2004 Peubah
Parameter Estimasi Prob > |T|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
MS (penawaran uang) Intercept AD (permintaan agregat) SB (suku bunga) ∆ER (perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) LMS (lag penawaran uang)
-485.902 0.004305 3.060249 0.026827 0.454207
F-Hitung = 892.35
R2 = 0.99498
<.0001 <.0001 0.0555 0.0208
0.9622 0.0501 0.0926
1.7630 0.0919 0.1697
DW = 1.342731
MD (permintaan uang) Intercept AD (permintaan agregat) ∆SB (perubahan suku bunga) DKE (dummy krisis ekonomi) LMD (lag permintaan uang)
-341.791 0.003544 -1.63250 48.77867 0.554641
F-Hitung = 774.43
R2 = 0.99422
0.0002 <.0001 0.1065 0.1525 <.0001
0.7921 -0.0105
1.7786 -0.0236
DW = 1.192748
SB (suku bunga) Intercept ∆MS (perubahan penawaran uang) LAD (lag permintaan agregat) LINF (lag inflasi nasional) LSB (lag suku bunga)
3.015449 -0.00527 5.074E-6 0.630957 0.455050
F-Hitung = 23.22
R2 = 0.83765
0.1614 0.2581 0.2839 <.0001 0.0002
0.3829
0.7026
DW = 1.403858
Tabel 23 memperlihatkan permintaan agregat (AD) berpengaruh potitif terhadap penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal (SB). Peningkatan AD satu milyar rupiah akan meningkatkan MS 4.3 juta rupiah, MD 3.5 juta rupiah dan suku bunga nominal 0.00001 persen. Peningkatan SB satu persen menyebabkan peningkatan MS 3.1 milyar rupiah, sebaliknya terjadi penurunan MD 1.6 milyar rupiah. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap MS. Peningkatan selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun sekarang dan tahun lalu sebesar satu rupiah per dollar akan meningkatkan MS 26.8 juta rupiah.
128
Tingkat suku bunga juga dipengaruhi secara positif oleh lag inflasi. Peningkatan inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan suku bunga nominal 0.63 persen. Respon peningkatan suku bunga akibat peningkatan lag inflasi tidak elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
6.7.
Kinerja Keseimbangan Makro Hasil pendugaan parameter persamaan indeks harga konsumen (CPI)
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen seperti pada Tabel 24. Artinya variasi peubah penjelas dalam persamaan mampu menjelaskan 96 persen fluktuasi peubah CPI. Peubah endogen dalam persamaan CPI dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 24. Hasil Estimasi Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 19802004 Parameter Estimasi
Prob > |T|
Intercept LSB (lag suku bunga) LW (lag upah rata-rata) LCPI (lag indeks harga konsumen)
-55.1704 0.065295 0.006445 0.904354
0.0358 0.4584 0.0067 <.0001
F-Hitung = 143.18
R2 = 0.95764
Peubah
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
CPI (indeks harga konsumen)
0.5455
5.7031
DW = 2.469837
Tabel 24 memperlihatkan faktor lag upah (LW) berpengaruh positif terhadap peningkatan CPI. Peningkatan LW satu rupian per tahun akan meningkatkan CPI sebesar 0.007. Respon peningkatan CPI akibat peningkatan lag upah tidak elastis dalam jangka pendek tetapi elastis dalam jangka panjang.