VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI
6.1. Pengujian Asumsi-Asumsi Klasik Regresi pada dasarnya adalah studi mengenai ketergantungan satu variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen (variabel penjelas / bebas), dengan tujuan untuk mengestimasi dan atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui. Uji asumsi-asumsi klasik dilakukan dengan pengujian asumsi OLS (Ordinary Least Square) untuk memastikan bahwa model penelitian memenuhi atau
tidak melanggar asumsi-asumsi klasik. Asumsi utama yang mendasari model regresi linier klasik dengan menggunakan metode OLS adalah :
1.
Linier dalam parameter, terspesifikasi dengan benar, dan memiliki error term yang bersifat additif
2.
Nilai rata-rata atau nilai yang diharapkan dari variabel disturbance atau error term adalah nol.
3.
Kovarians antara variabel disturbance dengan variabel Xi adalah nol.
4.
Varians dari variabel residu disturbance adalah sama (homoskedastisitas)
5.
Tidak ada korelasi antar variabel disturbance pada pengamatan satu dengan pengamatan lain (autokorelasi)
6.
Tidak ada korelasi sempurna antar variabel-variabel bebas (multikolinieritas)
7.
Variabel error term memiliki distribusi normal (asumsi ini bersifat optional, namun biasanya disertakan). Sedangkan hasil analisis regresi adalah berupa koefisien regresi untuk masing-
masing variabel independen. Variabel ini diperoleh dengan cara memprediksi nilai variabel dependen dengan suatu persamaan. Koefisien regresi dihitung dengan 2 (dua)
258 tujuan : pertama, meminimumkan penyimpangan antara nilai aktual dan nilai estimasi variabel dependen; kedua, mengoptimalkan korelasi antara nilai aktual dan nilai estimasi varaibel dependen berdasarkan data yang ada. Pengujian asumsi-asumsi klasik dalam penelitian ini dilakukan melalui uji multikolinieritas, uji autokorelasi, dan uji heterokedastisitas.
6.1.1. Uji Multikolinieritas Multikolinieritas
sempurna
(perfect
multicollinierity)
adalah
suatu
pelonggaran terhadap asumsi bahwa tidak ada hubungan sempurna antar variabel independen dalam sebuah persamaan regresi.
Multikolinieritas sempurna itu
jarang terjadi, yang sering dijumpai adalah multikolinieritas tidak sempurna dimana dua atau lebih variabel berkorelasi berat pada serangkaian data yang sedang diamati.
Walaupun tidak melonggarkan asumsi,
namun tetap menyebabkan
persoalan-persoalan yang serius. Apabila ada dua variabel independen berkorelasi secara signifikan dalam suatu rangkaian sampel tertentu, kapan saja satu variabel itu berubah, maka variabel independen lain akan cenderung berubah juga dan program komputer dengan OLS akan mengalami kesulitan untuk membedakan pengaruh dari satu variabel independen dengan pengaruh variabel independen yang lain terhadap variabel dependen. Oleh karena itu, dalam sebuah sampel variabelvariabel independen dapat lebih memiliki irama yang sama daripada dalam sampel yang lain, tekanan multikolinieritas dapat berubah sangat hebat. Sementara itu, konsekuensi dari suatu multikolinieritas adalah : 1.
Hasil-hasil estimasi tetap tidak bias.
Apabila sebuah estimasi persamaan
mengandung multikolinieritas, koefisien-koefisien estimasi regresi bi akan
259 tetap memusat di seputar i pada populasi yang benar apabila semua asumsi klasik dipenuhi oleh suatu persamaan yang terspesifikasi dengan benar. 2.
Varian dan standar error akan meningkat. Ini adalah konsekuensi yang pokok pada multikolinieritas. Oleh karena dua atau lebih variabel-variabel penjelas saling berkorelasi secara signifikan, akan menjadi sulit untuk mengidentifikasi secara tepat efek-efek terpisah dari variabel-variabel yang berkolinieritas. Ketika sulit membedakan efek dari satu variabel dengan efek dari variabel lain, maka kemudian ada kemungkinan membuat kesalahan-kesalahan besar dalam mengestimasi i sebelum menghadapi multikolinieritas. Akibatnya, koefisienkoefisien estimasi walaupun tetap tidak bias, tetapi berasal dari distribusi yang mengandung varian yang lebih besar dan demikian juga standar errornya.
3.
Nilai t akan turun.
Multikolinieritas cenderung menurunkan nilai t pada
koefisien-koefisien estimasi. 4.
Hasil-hasil estimasi akan menjadi sangat peka terhadap perubahan-perubahan spesifikasi.
Tambahan atau penghapusan sebuah variabel penjelas atau
beberapa observasi akan sering menyebabkan perubahan-perubahan besar pada nilai-nilai b jika ada multikolinieritas. Jika satu variabel dihapus, walaupun variabel itu nampaknya tidak signifikan, koefisien-koefisien dari variabelvariabel yang tertinggal di dalam persamaan seringkali akan berubah secara drastis. Satu cara untuk mendeteksi adanya multikolinieritas adalah dengan memeriksa koefisien-koefisien korelasi sederhana antar variabel-variabel penjelas. Apabila r adalah tinggi nilai absolutnya, maka diketahui bahwa ada dua variabel penjelas tertentu berkorelasi dan masalah multikolinieritas ada di dalam persamaan
260 itu. Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan indikasi multikolinieritas yang berat. Beberapa penelitian menentukan 0.8 dan menjadi semakin prihatin terhadap munculnya multikolinieritas apabila koefisien korelasi melebihi 0.8 (Sarwoko, 2005). Hasil analisis terhadap faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi permintaan menunjukkan bahwa korelasi antar variabel-variabel penjelas relatif kecil, di bawah nilai 0.8 seperti dapat dilihat pada Tabel 57 berikut ini. Dengan demikian, masalah multikolinieritas pada model regresi faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi permintaan relatif kecil atau tidak ada.
Tabel 57. Korelasi Antar Variabel Penjelas Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi Permintaan Variabel SHINVEST
SHINVEST SHEXPORT SHIMPNMIGAS Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) SHEXPORT
Pearson Correlation
0.135
Sig. (2-tailed)
0.617
SHIMPNMIGAS Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
0.378 0.149
0.135
0.378
0.617
0.149
1
-0.355 0.177
-0.355 0.177
1
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Sementara itu, hasil analisis terhadap faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi penawaran juga menunjukkan bahwa secara umum korelasi antar variabelvariabel penjelas relatif kecil di bawah nilai 0.8, kecuali untuk korelasi antara variabel UPAH dan HITECHN yang relatif besar yaitu 0.864 seperti dapat dilihat pada Tabel 58. Dengan demikian, secara umum masalah multikolinieritas pada model regresi faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi penawaran juga relatif kecil atau tidak ada.
261
Tabel 58. Korelasi Antar Variabel Penjelas Faktor-Faktor Penyebab dari Sisi Penawaran Variabel LISTRIK
Pearson Correlation
LISTRIK 1
Sig. (2-tailed) BBM UPAH HITECHN
BBM 0.290
UPAH HITECHN 0.463 0.327
0.243
0.053
0.217
1
0.761
0.693
0.000
0.003
1
0.864
Pearson Correlation
0.290
Sig. (2-tailed)
0.243
Pearson Correlation
0.463
0.761
Sig. (2-tailed)
0.053
0.000
Pearson Correlation
0.327
0.693
0.864
Sig. (2-tailed)
0.217
0.003
0.000
0.000 1
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Di samping menggunakan uji korelasi untuk melihat ada tidaknya masalah multikolinieritas, salah satu cara lain untuk mengukur multikolinieritas adalah dengan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF) yang merupakan suatu cara mendeteksi multikolinieritas dengan melihat sejauh mana sebuah varibel penjelas dapat diterangkan oleh semua varibel penjelas lainnya di dalam persamaan regresi. Terdapat satu VIF untuk masing-masing variabel penjelas di dalam sebuah persamaan regresi. VIF adalah suatu estimasi besar multikolinieritas meningkatkan varian pada suatu koefisien estimasi sebuah variabel penjelas. VIF yang tinggi menunjukkan bahwa multikolinieritas telah menaikkan sedikit varian pada koefisien estimasi, akibatnya menurunkan nilai t. Menganalisis derajat multikolinieritas dengan cara mengevaluasi nilai VIF(bi). Semakin tinggi VIF suatu variabel tertentu, semakin tinggi varian koefisisen estimasi pada variabel tersebut (dengan asumsi varian error term adalah konstan).
Dengan demikian, semakin tinggi VIF, semakin berat
dampak dari multikolinieritas. Pada umumnya, multikolinieritas dikatakan berat
262 apabila angka VIF dari suatu variabel melebihi 10. Sementara itu, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada model regresi faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi permintaan, nilai VIF dari variabel-variabel SHINVEST, SHEXPORT, dan SHIMPNMIGAS berturut-turut 1.28; 1.06; dan 1.31 dimana nilainya masih jauh di bawah 10. Hal ini menunjukkan bahwa masalah multikolinieritas pada model regresi faktor-faktor penyebab dari sisi permintaan relatif kecil atau dapat diabaikan. Di sisi lain, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada model regresi faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi penawaran, nilai VIF dari variabel-variabel LISTRIK, BBM, UPAH, dan HITECHN berturut-turut 2.27; 2.47; 9.35; dan 5.20 dimana nilainya masih jauh di bawah 10. Hal ini menunjukkan bahwa masalah multikolinieritas pada model regresi faktor-faktor penyebab dari sisi penawaran
relatif kecil atau dapat
diabaikan.
6.1.2. Uji Autokorelasi Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena residual tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Dengan kata lain masalah ini seringkali ditemukan apabila menggunakan data runtut waktu. Hal ini disebabkan karena “gangguan” pada individu / kelompok yang sama pada periode berikutnya; pada data cross secsional , masalah autokorelasi relatif jarang terjadi karena gangguan pada observasi yang berbeda berasal dari individu/ kelompok yang berbeda. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dilakukan uji Durbin-Watson (DW-Test) dengan ketentuan : 1.
Bila nilai DW lebih besar daripada batas atas (upper bound, U), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, artinya tidak ada autokorelasi positif;
263 2.
Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah (lower bound, L), maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, artinya ada autokorelasi positif.
3.
Bila nilai DW terletak diantara batas atas dan batas bawah, maka tidak dapat disimpulkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa model regresi untuk melihat faktor-faktor
penyebab deindustrialisasi dari sisi permintaan menghasilkan nilai DW sebesar 1.09, sehingga tidak dapat disimpulkan apakah ada masalah autokorelasi atau tidak. Sementara itu, model regresi untuk melihat faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi penawaran menghasilkan nilai DW sebesar 2.40, artinya tidak ada korelasi positif.
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah
autokorelasi yang serius pada model regresi linier faktor-faktor penyebab deindustrialisasi baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
6.1.3. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varian yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Artinya setiap observasi mempunyai reliabilitas yang berbeda akibat pertumbahan dalam kondisi yang melatarbelakangi tidak terangkumnya dalam spesifikasi model. Gejala heteroskedastisitas lebih sering dijumpai dalam data silang daripada data runtut waktu, namun juga sering juga muncul dalam analisis yang menggunakan data ratarata. Metode yang digunakan untuk mendeteksi masalah heterokedastisitas salah satunya dapat menggunakan metode Park. Metode Park mengandung prosedur dua tahap. Tahap pertama, melakukan estimasi suatu model persamaan regresi tanpa mempersoalkan apakah data mengandung heterokedastisitas atau tidak. Selanjutnya persamaan diestimasi dengan menggunakan metode OLS sehingga akan menghasilkan
264 nilai estimasi residual e. Karena umumnya nilai varian tidak diketahui, maka hal ini dapat ditaksir dengan menggunakan e2 sebagai proxy. prosedur kedua dari Metode Park.
Langkah ini merupakan
Selanjutnya dilakukan transpormasi logaritma
natural terhadap variabel-variabel penjelas dan nilai residual yang dikuadratkan. Koefisien-koefisien parameter yang baru jika ternyata signifikan secara statistik, maka hal ini akan mengindikasikan adanya kehadiran heterokedastisitas pada data yang digunakan. Sebaliknya jika tidak signifikan secara statistik, maka dapat disimpulkan bahwa
disturbance
error
bersifat
homoscedasticity.
Persamaan-persamaan
ekonometrika untuk menguji adanya heterokedastisitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil pengujian menggunakan metode Park untuk model regresi linier faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi permintaan menunjukkan bahwa koefisien-koefisien parameter tidak signifikan secara statatis seperti dapat dilihat pada Tabel 59. Hal ini menunjukkan bahwa disturbance error pada model regresi faktorfaktor penyebab deindustrialisasi dari sisi permintaan bersifat homoscedasticity sehingga masih memenuhi asumsi yang dipersyaratkan dalam metode OLS.
Tabel 59. Hasil Uji Heterokedastisitas Mengggunakan Metode Park untuk Model Regresi Linier Faktor Penyebab Deindustrialiasi dari Sisi Permintaan Penduga Parameter INTERCEPT 60.32264 LN_SHCREDIT -5.41261 LN_SHEXPORT -12.5804 LN_SHIMPNMIGAS 2.479466 Sumber : Hasil Analisis, 2011
Standar error
t-hitung
Peluang
89.78418 3.797712 18.95221 6.144147
0.67 -1.43 -0.66 0.40
0.5169 0.1845 0.5218 0.6950
Variabel
Sementara itu, berdasarkan hasil pengujian menggunakan metode Park untuk model regresi linier faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi penawaran menunjukkan bahwa koefisien-koefisien parameter tidak signifikan secara statistik
265 seperti dapat dilihat pada Tabel 60. Hal ini juga menunjukkan bahwa disturbance error pada model regresi faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi penawaran bersifat homoscedasticity sehingga masih memenuhi asumsi yang dipersyaratkan dalam metode OLS.
Tabel 60. Hasil Uji Heterokedastisitas Mengggunakan Metode Park untuk Model Regresi Linier Faktor Penyebab Deindustrialiasi dari Sisi Penawaran Penduga Parameter INTERCEPT 36.12160 LN_LISTRIK -5.93856 LN_BBM -1.16275 LN_UPAH 4.653973 LN_HITECHN 0.099864 Sumber : Hasil Analisis, 2011
Standar error
t-hitung
Peluang
Variabel
64.57299 6.124644 1.649667 8.620693 2.237193
0.56 -0.97 0.70 0.54 0.04
0.5871 0.3531 0.4956 0.6001 0.9652
Berdasarkan hasil pengujian terhadap asumsi-asumsi yang telah dilakukan di atas dapat disimpulkan bahwa model regresi linier faktor-faktor penyebab deindustrialisasi baik dari sisi permintaan maupun penawaran masih memenuhi asumsi-asumsi yang dipersyaratkan dalam metode OLS yaitu bahwa model-model regresi linier tersebut tidak terdapat masalah serius mengenai multikolinieritas, disturbance error tidak terjadi autokorelasi, dan disturbance error bersifat homoscedasticity.
Dengan demikian metode OLS dapat digunakan untuk
mengestimasi parameter faktor-faktor penyebab deindustrialisasi baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.
6.2. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri Indikator deindustrialisasi dalam penelitian ini dilihat dari perubahan pangsa output sektor industri. Sektor industri sendiri terdiri atas dua subsektor yaitu
266 industri minyak dan gas bumi (migas) dan industri non-migas. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa peranan industri migas dalam perekonomian nasional mengalami fluktuasi dari tahun 1993 sampai dengan 2001, dan terus mengalami penurunan mulai dari tahun 2001 sampai mencapai titik terendah pada tahun 2009 yaitu mencapai 2.14 persen seperti dapat dilihat pada Tabel 61 di bawah ini.
Tabel 61. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dari Tahun 1994 sampai dengan Tahun 2010 (Persen) Tahun Industri Industri Sektor Migas Non-Migas Industri 1994 2.75 20.78 1995 2.57 21.40 1996 2.65 22.29 1997 2.48 22.61 1998 2.91 22.62 1999 3.15 23.31 2000 2.96 23.83 2001 3.53 24.08 2002 3.47 24.24 2003 3.34 24.67 2004 3.11 25.26 2005 2.78 25.30 2006 2.60 25.25 2007 2.43 24.96 2008 2.29 24.50 2009 2.14 24.02 2010 2.10 21.55 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah)
23.53 23.97 24.94 25.10 25.54 26.46 26.79 27.60 27.71 28.01 28.37 28.08 27.84 27.39 26.79 26.16 25.76
Pada Gambar 34 di bawah ini, terlihat bahwa pangsa nilai tambah subsektor industri migas pada periode tahun 1993-2009 mencapai puncaknya pada tahun 2001 yang mencapai angka 3.53 persen. Pangsa nilai tambah subsektor industri
267 migas secara konsisten terus mengalami penurunan mulai tahun 2001 dan mencapai titik terendah pada tahun 2010.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (Diolah) Gambar 34. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Subsektor Industri Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tahun 1993-2010
Sementara itu, pangsa nilai tambah subsektor industri terus mengalami peningkatan dari 19.47 persen pada tahun 1993 dan mencapai puncaknya pada tahun 2004 yang mencapai angka 25.26 persen seperti dapat dilihat pada Gambar 35 berikut ini. Pangsa nilai tambah sektor industri non-migas pernah mengalami stagnasi pada periode krisis ekonomi yaitu tahun 1997-1998 karena sektor industri non-migas terkena dampak langsung dari krisis ekonomi tersebut. Sementara itu, secara keseluruhan pangsa nilai tambah sektor industri yang merupakan penjumlahan dari subsektor industri migas dan subsektor industri nonmigas mengikuti pola pangsa nilai tambah subsektor industri non-migas. Pangsa nilai tambah sektor industri non-migas secara konsisten terus mengalami
268 peningkatan dari tahun 1993 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2004 yang mencapai angka 28.37 persen.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (Diolah) Gambar 35. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Subsektor Industri NonMigas Tahun 1993 - 2010
Selanjutnya dari periode tahun 2004, pangsa nilai tambah sektor industri terus mengalami penurunan dan mencapai angka 26.16 persen pada tahun 2009 seperti dapat dilihat pada Gambar 36. Penurunan pangsa nilai tambah sektor industri tersebut mengarah pada kondisi yang disebut dengan deindustrialisasi. Pada pola yang normal yang ditemui pada negara-negara yang telah melewati fase industrialisasi, penurunan pangsa nilai tambah sektor industri umumnya terjadi pada angka sekitar 35 persen. Artinya, setelah pangsa nilai tambah sektor industri mencapai 35 persen, pangsa nilai tambahnya terus mengalami penurunan karena peranannya mulai digantikan oleh sektor jasa.
269
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (Diolah) Gambar 36. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri Tahun 1993 2010
Dalam penelitian ini, digunakan dua model regresi linier yang diestimasi dengan OLS untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pangsa output sektor industri sebagai variabel terikat (dependent variable) baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.
6.3. Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi Permintaan Untuk hasil estimasi persaman perilaku deindustrialisasi dari sisi permintaan, secara umum tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan walaupun terdapat hasil estimasi pangsa investasi sektor industri yang tidak signifikan sampai dengan = 0.10. Hal ini juga didukung oleh koefisien determinasi yang umumnya di atas 85 persen. Hasil analisis pada Tabel 62, menunjukkan bahwa pangsa investasi dan pangsa ekspor produk industri berpengaruh secara positif terhadap pangsa nilai
270 tambah sektor industri. Sementara itu, pangsa impor produk non-migas berpengaruh secara negatif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri.
Tabel 62. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Perilaku Deindustrialisasi dari Sisi Permintaan Variabel
Penduga Parameter 24.15190 0.06402 0.18874 -0.17137
INTERCEPT SHINVEST SHEXPORT SHIMPNMIGAS R2 = 0.8634 Sumber : Hasil Analisis, 2011
Standar error 7.12531 0.04136 0.08471 0.02537
t-hitung 3.39 1.55 2.23 -6.75
Peluang 0.0069 0.1527 0.0500 <0.0001
Untuk faktor investasi dalam penelitian ini diproksi dengan menggunakan data nilai pangsa kredit perbankan yang disalurkan pada sektor industri. Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor pangsa investasi, secara umum tanda koefisien parameter sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda positif dan signifikan
sampai dengan = 0.2 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 62.
Dalam jangka panjang pangsa investasi pada sektor industri, berpengaruh positif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Peningkatan pangsa investasi pada sektor industri akan mendorong peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri, demikian pula sebaliknya. Pangsa investasi untuk sektor industri mengalami fluktuasi sepanjang periode tahun 1991 sampai dengan 2006 seperti dapat dilihat pada Gambar 37. Pangsa investasi untuk sektor industri mencapai puncaknya pada tahun 2000 yang mencapai angka 39.70 persen. Penurunan pangsa investasi untuk sektor industri terjadi pada periode tahun 1993 sampai dengan 1996 dan tahun 2000 sampai dengan tahun 2006.
271
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 37. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa Kredit untuk Sektor Industri Tahun 1993 - 2009
Peningkatan pangsa investasi untuk sektor industri pada tahun 1996-2000 searah dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama. Sementara itu, penurunan pangsa investasi untuk sektor industri pada tahun 2003-2006 searah dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama. Dengan demikian, pangsa investasi sektor industri memegang peranan yang sangat penting dalam kontribusinya pada perubahan pangsa nilai tambah sektor industri.
272
Tabel 63. Perkembangan Pangsa Kredit yang Disalurkan Perbankan pada Berbagai Sektor Ekoomi Tahun 1993 – 2006 (Persen) Sektor Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa lainnya Jumlah
1993 8.02 34.23 0.52 25.15 23.84 8.24 100.00
1994 7.34 31.88 0.42 23.49 26.90 9.97 100.00
1995 6.62 30.73 0.39 23.12 28.39 10.75 100.00
1996 6.02 26.92 0.58 24.10 31.29 11.10 100.00
1997 6.88 29.53 1.41 21.76 30.03 10.39 100.00
1998 8.06 35.22 1.21 19.77 28.54 7.19 100.00
1999 10.56 37.43 1.64 19.23 19.17 11.97 100.00
Sektor Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa lainnya Jumlah
2000 7.25 39.70 2.48 16.39 16.47 17.70 100.00
2001 6.85 38.26 2.44 15.91 16.11 20.44 100.00
2002 6.11 33.12 1.67 18.06 16.69 24.35 100.00
2003 5.54 29.00 1.16 18.96 21.10 24.24 100.00
2004 5.85 25.94 1.40 20.06 19.48 27.27 100.00
2005 5.32 24.60 1.14 19.45 19.57 29.93 100.00
2006 5.72 23.18 1.77 20.63 20.03 28.68 100.00
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 (Diolah)
Sementara itu, jika dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan untuk sektor industri mengalami fluktuasi sepanjang periode tahun 1991 sampai dengan 2006 seperti dapat dilihat pada Gambar 38. Fluktuasi terjadi pada masa krisis ekonomi tahun 1998-1999 dimana kredit yang disalurkan untuk sektor industri menurun dari Rp 171.67 triliun menjadi Rp 84.26 triliun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 64. Peningkatan jumlah kredit yang disalurkan untuk sektor industri pada tahun 1993-1998 dan 1999-2004 searah dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama.
273 Tabel 64. Perkembangan Jumlah Kredit yang Disalurkan Perbankan pada Berbagai Sektor Ekoomi Tahun 1997 - 2006 (Rp Miliar) Sektor Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa lainnya Jumlah
1997 26 002 111 679 5 316 82 264 113 569 39 304 378 134
1998 39 308 171 668 5 909 96 364 139 124 35 053 487 426
1999 23 777 84 259 3 697 43 288 43 161 26 951 225 133
2000 19 503 106 782 6 680 44 099 44 316 47 620 269 000
2001 20 863 116 525 7 440 48 450 49 061 62 255 304 594
Sektor Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa lainnya Jumlah
2002 22 332 121 035 6 095 65 978 60 983 88 987 365 410
2003 23 950 125 349 5 012 81 941 91 191 104 787 432 230
2004 32 376 143 603 7 730 111 035 107 857 150 947 553 548
2005 36 678 169 678 7 874 134 109 134 944 206 390 689 673
2006 45 003 182 432 13 896 162 396 157 638 225 771 787 136
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 (Diolah)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 38. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Jumlah Kredit untuk Sektor Industri Tahun 1993 - 2009
274 Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor pangsa ekspor produk industri, secara umum tanda koefisien parameter sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda positif sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 62. Dalam jangka panjang pangsa ekspor produk industri, berpengaruh positif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Nilai ini berarti bahwa semakin tinggi pangsa ekspor produk industri akan meningkatkan pangsa nilai tambah sektor industri, demikian pula sebaliknya.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 39. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa Ekspor Produk Industri Tahun 1993 – 2009
Pangsa ekspor produk industri Indonesia pada periode 1991 sampai dengan 2006 mengalami fluktuasi yang cukup tajam sebagai imbas dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pada periode tersebut, pangsa ekspor produk industri
275 mencapai angka tertinggi pada tahun 1998
yang mencapai 83.88 persen dan
mencapai angka terendah pada tahun 1991 sebesar 62.61 persen seperti dapat dilihat pada Gambar 40. Peningkatan pangsa ekspor produk industri pada tahun 1993-2004 searah dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 40. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai Ekspor Non-Migas Tahun 1993 - 2009
Pada Gambar 40, terlihat bahwa untuk nilai ekspor produk industri terus mengalami peningkatan dari tahun 1993 sampai dengan 2006 dimana pada tahun 2006 ekspor produk industri mampu menyumbangkan devisa sebesar US $ 79.6 miliar. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa peningkatan nilai ekspor produk industri pada tahun 1993-2004 juga searah dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama. Dengan demikian, ekspor produk industri
276 memegang peranan yang sangat penting dalam kontribusinya pada perubahan pangsa nilai tambah sektor industri. Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor pangsa impor produk non-migas, secara umum tanda koefisien semua lag sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda negatif. Dalam jangka panjang pangsa impor produk non-migas, berpengaruh negatif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Nilai ini berarti bahwa semakin menurun pangsa impor produk non-migas akan meningkatkan pangsa nilai tambah sektor industri, demikian pula sebaliknya.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 41. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa Impor Produk Non-migas Tahun 1993 - 2009 Pangsa impor produk non-migas Indonesia pada periode 1991 sampai dengan 2006 terus mengalami penurunan. Pada periode tersebut, pangsa impor produk non-migas menurun dari 91.07 persen tahun 1991 menjadi hanya 68.95 persen
277 pada tahun 2006 seperti dapat dilihat pada Gambar 41. Penurunan pangsa impor produk non-migas pada tahun 1993-2004 searah dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama. Pada Gambar 42, terlihat bahwa untuk nilai impor produk non-migas terus mengalami fluktuasi dari tahun 1991 sampai dengan 2006 dimana pada tahun 2006 impor produk non-migas menyedot devisa sebesar US $ 42.1 miliar. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa penurunan impor produk non-migas pada tahun 19961999 dan 2000-2003 diikuti dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama. Dengan demikian, impor produk non-migas memegang peranan yang penting dalam kontribusinya pada perubahan pangsa nilai tambah sektor industri.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 42. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai Impor Produk Non-migas Tahun 1993 - 2009
278 6.4. Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi Penawaran Untuk hasil estimasi persamaan perilaku deindustrialisasi dari sisi penawaran, secara umum tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan walaupun terdapat hasil estimasi pengaruh harga riil energi listrik yang tidak signifikan
sampai
dengan = 0.10. Hal ini juga didukung oleh koefisien determinasi yang umumnya di atas 90 persen.
Hasil analisis pada Tabel 65, menunjukkan bahwa tingkat
teknologi yang dimiliki sektor industri berpengaruh secara positif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Sementara itu, upah riil tenaga kerja sektor industri dan harga riil BBM berpengaruh secara negatif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri.
Tabel 65. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Perilaku Deindustrialisasi dari Sisi Penawaran Variabel
Penduga Parameter 28.42484 -0.16538 -1.98919E-8 -0.00015305 3.67978E-10
INTERCEPT UPAH LISTRIK BBM TECH R2 = 0.9223 Sumber : Hasil Analisis, 2011
Standar error 1.13876 0.04430 0.00012852 0.00007615 1.57308E-10
t-hitung 24.96 -3.73 -0.00 -2.01 2.34
Peluang <0.0001 0.0039 0.9999 0.0722 0.0414
Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor upah tenaga kerja sektor industri, secara umum tanda koefisien parameter sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda negatif sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 65. Dalam jangka panjang upah riil tenaga kerja sektor industri, berpengaruh negatif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi upah riil tenaga kerja sektor industri akan menurunkan pangsa nilai tambah sektor industri, demikian pula sebaliknya.
279 Nilai upah riil tenaga kerja sektor industri pada periode 1991 sampai dengan 2007 terus mengalami penurunan seperti dapat dilihat pada Gambar 43. Penurunan upah riil tenaga kerja sektor industri pada tahun 1991-2004 diikuti dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 43. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai Upah Riil Sektor Industri Tahun 1993 - 2009 Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor harga riil energi listrik, secara umum tanda koefisien parameter sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda negatif walaupun secara statistik tidak signifikan. Tidak signifikannya harga riil energi listrik karena pangsa biaya energi listrik dalam struktur biaya produksi sektor industri non-migas relatif kecil, sehingga penurunan atau peningkatan harga energi listrik tidak terlalu mempengaruhi perubahan pangsa sektor industri. Hal lain yang terjadi karena peningkatan harga energi listrik, tidak
280 hanya berpengaruh pada output sektor industri, tetapi juga sektor-sektor yang lain. Perubahan pada output sektor industri dan sektor lainnya sebagai akibat dari perubahan harga energi listrik relatif berlangsung seimbang sehingga tidak mengubah pangsa output masing-masing sektor.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 44. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Harga Listrik Tahun 1993 - 2009
Harga riil energi listrik pada periode 1991 sampai dengan 2006 terus mengalami fluktuasi yang sangat tajam. Pada periode tersebut, harga riil energi listrik menurun dari Rp 9 354/Satuan Barrel Minyak (SBM) pada tahun 1993 menjadi Rp 5 506/SBM pada tahun 1999 seperti dapat dilihat pada Gambar 44. Penurunan harga riil
energi listrik pada tahun 1993-1999 diiringi dengan
peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama.
281 Sebaliknya peningkatan harga riil energi listrik pada tahun 1999-2003, tidak diikuti dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri, bahkan pangsa nilai tambah sektor industri justru meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada saat harga riil energi listrik turun pada tahun 2004-2009 yang tidak diikuti dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri. Hal ini terjadi karena pengaruh jangka panjang harga riil energi listrik terhadap pangsa nilai tambah sektor industri tidak terlalu signifikan, walaupun tandanya tetap negatif. Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor harga riil Bahan Bakar Minyak (BBM), secara umum tanda koefisien parameter sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda negatif sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 65. Dalam jangka panjang harga riil BBM, berpengaruh negatif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Nilai ini berarti bahwa semakin meningkat harga riil BBM maka akan menurunkan pangsa nilai tambah sektor industri, demikian pula sebaliknya. Harga riil BBM pada periode 1991 sampai dengan 2006 terus mengalami fluktuasi. Pada periode tersebut, harga riil BBM terendah adalah Rp 1 589/Satuan Barrel Minyak (SBM) pada tahun 1999 seperti dapat dilihat pada Gambar 45. Penurunan harga riil BBM pada tahun 1991-1999 diiringi dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode yang sama. Sebaliknya peningkatan harga riil BBM pada tahun 1999-2004, tidak diikuti dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri, bahkan pangsa nilai tambah sektor industri justru meningkat. Hal yang berbeda terjadi pada saat harga riil BBM naik pada tahun 2004-2009 yang diikuti dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri. Hal ini terjadi karena pengaruh jangka panjang harga riil BBM terhadap pangsa nilai tambah sektor industri tidak terlalu signifikan, walaupun tandanya tetap negatif.
282
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 45. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Harga Bahan Bakar Minyak Tahun 1993 - 2009
Hasil estimasi parameter model regresi untuk faktor teknologi yang diproksi dari data nilai ekspor produk-produk berteknologi tinggi, secara umum tanda koefisien sebagian besar lag sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda positif sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 65. Dalam jangka panjang faktor teknologi, berpengaruh positif terhadap pangsa nilai tambah sektor industri. Nilai ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat teknologi yang dimiliki sektor industri maka akan meningkatkan pula pangsa nilai tambah sektor industri, demikian pula sebaliknya. Nilai ekspor produk-produk berteknologi tinggi pada periode 1991 sampai dengan 2006 mengalami fluktuasi. Pada periode tersebut, nilai ekspor produk berteknologi tinggi yang terbesar adalah US $ 6.57 miliar pada tahun 2005 seperti dapat dilihat pada Gambar 46. Peningkatan nilai ekspor produk berteknologi tinggi pada tahun 1993-2005 diiringi dengan peningkatan pangsa nilai tambah sektor
283 industri pada periode yang sama.
Sebaliknya penurunan nilai ekspor produk
berteknologi tinggi pada tahun 2005-2009, diikuti dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri. Dengan demikian, tingkat teknologi yang diproksi dari nilai ekspor produk berteknologi tinggi memegang peranan yang penting dalam kontribusinya pada perubahan pangsa nilai tambah sektor industri.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah) Gambar 46. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai Ekspor Produk Teknologi Tinggi Tahun 1993 - 2009 6.5. Upaya Keluar dari Deindustrialisasi Melalui Reindustrialisasi Pada periode tahun 1991-2009, dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode pertama tahun 1991-2000 dan periode kedua tahun 2001-2009. Hasil analisis trend pada kedua periode tersebut yang ditampilkan pada Tabel 66, terlihat bahwa pada periode pertama, pangsa nilai tambah sektor industri mengalami trend positif sebesar 2.27 persen per tahun. Sementara itu, analisis trend pada periode kedua menunjukkan bahwa pangsa nilai tambah sektor industri mengalami trend
284 negatif yaitu -0.63 persen/tahun. Penurunan pangsa nilai tambah sektor industri pada periode kedua ini mengarah pada gejala deindustrialisasi. Untuk keluar dari kondisi deindustrialisasi tersebut, dibutuhkan upaya-upaya meningkatkan kembali peranan dan kontribusi sektor industri melalui reindustrialisasi.
Tabel 66. Trend Beberapa Variabel yang Digunakan dalam Penelitian No. Variabel 1 Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri 2 Jumlah Kredit untuk Sektor Industri 3 Nilai Ekspor Non-migas 4 Nilai Impor Non-migas 5 Pendapatan per Kapita 6 Harga Energi Listrik 7 Harga BBM 8 Nilai Upah Riil 9 Pangsa Kredit Sektor Industri 10 Pangsa Ekspor Produk Industri 11 Pangsa Impor Produk Non-migas 12 Nilai Ekspor Produk Teknologi Tinggi Sumber : Hasil Analisis, 2011 Sementara
itu,
pada
periode
tahun
1991-2000 2.27 15.80 7.12 0.23 -5.05 -4.39 -4.87 -8.12 2.43 2.24 -1.04 23.49
2003-2010,
(Persen) 2001-2009 -0.63 10.17 13.17 13.07 15.30 -1.57 17.63 -6.04 -9.54 0.14 -3.62 3.03
investasi
yang
direpresentasikan dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami peningkatan sebesar rata-rata 8.2 persen. Sementara itu, ekspor pada periode yang sama mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7.9 persen per tahun. Di sisi lain, impor mengalami peningaktan sebesar rata-rata 8.4 persen. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 67. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pangsa nilai tambah sektor industri sebagai indikator terjadinya deindustrialisasi, menunjukkan bahwa dari sisi permintaan deindustrialisasi dipengaruhi secara negatif oleh pangsa investasi dan pangsa ekspor produk industri serta dipengaruhi secara positif oleh pangsa impor produk-produk non-migas.
285
Tabel 67. Nilai PDB dan Trendnya Menurut Penggunaan Tahun 2003-2010 Penggunaan
2003
2004
2005
2006
(Triliun Rp) 2007 2008
1
Konsumsi Rumah Tangga
956.6
1.004.1
1.043.8
1.076.9
1.130.8
1.191.2
2
Konsumsi Pemerintah
121.4
126.2
134.6
147.6
153.3
169.3
3
PMTB
310.8
354.6
393.2
403.2
441.4
493.8
4
a. Perubahan Inventori
-4.7
23.5
18.7
29.0
-0.2
2.2
b. Diskrepansi Statistik
16.7
12.9
4.3
16.9
54.2
27.0
5
Ekspor
612.6
680.5
792.0
868.3
942.4
1.032.3
6
Dikurangi : Impor
433.8
545.0
635.9
694.6
757.6
833.3
PDB Penggunaan
1.579.6 2009
1.656.8 2010
1.750.7 1.847.3 Trend 2003-2010 (Persen)
1.964.3
2.082.5
1.249.0
1.306.8
4.5
1
Konsumsi Rumah Tangga
2
Konsumsi Pemerintah
195.8
196.4
7.8
3
PMTB
510.1
553.4
8.2
4
a. Perubahan Inventori
-2.1
7.5
0.0
b. Diskrepansi Statistik
1.1
6.1
-14.0
5
Ekspor
932.3
1.071.4
7.9
6
Dikurangi : Impor
708.5
830.9
8.4
2.177.7
2.310.7
5.6
PDB
Sumber : Badan Pusat Statistik, Diolah
Sementara itu, dari sisi penawaran deindustrialisasi dipengaruhi secara negatif oleh tingkat teknologi yang dimiliki oleh sektor industri dan dipengarui secara positif oleh upah riil tenaga kerja sektor industri dan harga riil bahan bakar minyak. Pada Tabel 67 ditampilkan nilai trend berbagai variabel yang mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi deindustrialisasi dan analisis trend pada Tabel 67, maka reindustrialisasi dapat dilakukan melalui serangkaian upaya berikut ini. 1. Walaupun jumlah kredit yang disalurkan untuk sektor industri terus mengalami peningkatan dengan trend positif 10.17 persen per tahun, namun jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang disalurkan untuk sektorsektor lain sehingga menyebabkan pangsa kredit yang disalurkan ke sektor
286 industri terus mengalami penurunan dengan trend negatif -9.54 persen per tahun. Untuk mendorong pangsa nilai tambah sektor industri, maka harus dilakukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan investasi baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing. 2. Walaupun nilai ekspor produk industri terus mengalami peningkatan dengan trend positif 13.17 persen, namun nilainya masih dapat terus didorong agar trend pangsa ekspor produk industri dapat ditingkatkan lebih dari trend yang saat ini terjadi sekitar 0.14 persen per tahun. Untuk meningkatkan pangsa nilai tambah sektor industri, maka harus dilakukan upaya-upaya untuk mendorong ekspor produk-produk industri. 3. Trend nilai impor produk-produk non-migas masih relatif tinggi yaitu 13.07 persen per tahun. Untuk mendorong pangsa nilai tambah sektor industri, maka trend nilai impor ini harus dapat dikurangi dengan mendorong upaya-upaya untuk penggunaan dan perlindungan produk-produk industri dalam negeri dengan pengenaan hambatan-hambatan non tarif yang tidak bertentangan dengan aturan organisasi perdagangan dunia (WTO). 4. Trend
penurunan
harga
riil
energi
listrik
pada
periode
terjadinya
deindustrialissi yang relatif rendah. Untuk mendorong pangsa nilai tambah sektor industri, maka perlu ada kebijakan mengenai harga energi listrik yang kondusif bagi pengembangan sektor industri baik dari sisi harga maupun kecukupannya. 5. Trend kenaikan harga riil bahan bakar minyak pada periode terjadinya deindustrialisasi yang relatif tinggi yaitu 17.63 persen per tahun. Untuk mendorong pangsa nilai tambah sektor industri, maka perlu ada kebijakan
287 mengenai harga bahan bakar minyak yang kondusif bagi pengembangan sektor industri baik dari sisi harga maupun kecukupannya. 6. Trend kenaikan ekspor produk-produk yang berteknologi tinggi yang mencerminkan tingkat teknologi dan produktivitas yang dimiliki sektor industri masih relatif rendah yaitu hanya 3.03 persen per tahun. Untuk meningkatkan pangsa nilai tambah sektor industri, maka harus dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan teknologi yang dimiliki sektor industri dan peningkatan produktivitas sektor industri. Berdasarkan analisis besaran-besara variabel di atas, maka simulasi kebijakan reindustrialisasi dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan kembali sektor industri sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional sehingga sektor industri tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan pangsa sektor industri meningkat kembali di masa-masa mendatang. Strategi reindustrialisasi disintesis berdasarkan faktor-faktor yang signifikan menyebabkan deindustrialisasi yaitu : 1. Peningkatan investasi di sektor industri non-migas sebesar 10 persen per tahun. 2. Peningkatan ekspor produk-produk industri non-migas sebesar 10 persen. 3. Penurunan impor produk-produk industri non-migas sebesar 5 persen. 4. Peningkatan produktivitas sektor industri non-migas sebesar 10 persen. 5. Subsidi harga bahan bakar minyak sebesar 1.57 persen. 6. Pengembangan kelompok industri prioritas seperti kelompok industri agro, kelompok industri basis manufaktur, dan kelompok industri alat angkut dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 10 persen dan peningkatan ekspor sebesar 10 persen pada kelompok industri yang dianalisis.