FAKTOR – FAKTOR YANG MEMENGARUHI DEINDUSTRIALISASI DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2009
SUSI METINARA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia Tahun 2000-2009 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Susi Metinara NRP H151090214
ABSTRACT
SUSI METINARA. The Determinants of De-industrialization in Indonesia: 2000 – 2009. Under direction of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and TONY IRAWAN.
Indonesian manufacturing sector has shown signs of de-industrialization in recent years. It has experienced a decline in the share of manufacturing employment. The purpose of this study is to analyze the factors that affecting the de-industrialization in Indonesia. Panel data regression analysis was applied. The result indicate that each factor i.e national affluence, productivity growth, foreign direct investment, openness and unemployment gives significant contributions to de-industrialization except human capital. Furthermore, economic globalization also affects the de-industrialization, boths directly and indirectly through employment patterns. Keywords : De-industrialization, Openness, Foreign Direct Investment, Panel Data
RINGKASAN
SUSI METINARA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia Tahun 2000-2009. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan TONY IRAWAN.
Teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966) menyebutkan bahwa sektor manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam sistem perekonomian bagi suatu negara atau wilayah (Dasgupta dan Singh, 2006). Adanya teori tersebut memicu banyak negara untuk melakukan industrialisasi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi ternyata dalam beberapa tahun terakhir terjadi gejala deindustrialisasi (deindustrialization) pada negara-negara maju. Rowthorn dan Wells (1987) melihat gejala deindustrialisasi dari sisi proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja yang semakin menurun (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997). Sedangkan Blackaby (1979) melihat gejala deindustrialisasi dari penurunan proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) (Jalilian dan Weiss, 2000). Pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak seimbang dimana pertumbuhan hanya bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa (sektor non-tradeable). Sedangkan sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan (sektor tradeable) mengalami pertumbuhan yang cenderung menurun dan jauh dibawah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor non-tradeable. Selama periode 2000-2009, rata-rata pertumbuhan sektor non-tradeable sebesar 6,92 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,87 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan sektor tradeable sebesar 3,46 persen jauh dibawah rata-rata pertumbuhan sektor non tradeable dan pertumbuhan ekonomi (Basri, 2009). Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih banyak dipacu dari dalam sehingga sulit tumbuh di atas tingkat potensialnya. Pangsa output sektor manufaktur terhadap PDB beberapa tahun terakhir mengalami penurunan dari sekitar 28,72 persen pada tahun 2002 menjadi 26,38 persen pada tahun 2009. Selain itu pertumbuhan output sektor manufaktur sejak tahun 2005 mengalami perlambatan. Pada tahun 2005, sektor manufaktur tumbuh sebesar 4,60 persen dan terus menurun hingga mencapai pertumbuhan 2,11 persen pada tahun 2009. Sedangkan proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja beberapa tahun terakhir juga mengalami perlambatan. Pada tahun 2003, proporsi pekerja sektor manufaktur sebesar 12,40 persen menurun menjadi 12,07 persen. Keadaan ini merupakan salah satu gejala terjadinya deindustrialisasi. Perekonomian Indonesia saat ini sangat tergantung pada ekspor komoditas primer (ekspor non manufaktur). Pada tahun 2008, ekpsor non manufaktur tumbuh sebesar 29 persen. Sedangkan ekspor manufaktur hanya tumbuh sebesar 9 persen. Ketergantungan tersebut membuat pemerintah Indonesia terlena untuk mengembangkan industri manufaktur yang berdaya saing internasional. Gejala lain terjadinya deindustrialisasi adalah semakin melemahnya daya saing
ii
perekonomian Indonesia di kancah perekonomian dunia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun peringkat daya saing Indonesia mengalami kemerosotan. Pada tahun 2003, Indonesia berada di peringkat 49 dan pada tahun 2010 menjadi peringkat 35. Walaupun peringkat daya saing perekonomian Indonesia membaik, akan tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan negara Malaysia, Taiwan, dan China yang memulai industrialisasinya belum lama ini. Berdasarkan fakta yang terjadi, penelitian ini bertujuan mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia dan mengkaji apakah globalisasi ekonomi memengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Penelitian ini mencakup semua wilayah yang ada di Indonesia dengan tahun analisis 2000-2009. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Metode analisisnya menggunakan pendekatan model ekonometrik untuk data panel yang mencakup 26 provinsi selama periode 20002009. Estimasi model menggunakan pendekatan metode Fixed Effect-General Least Square (FE-GLS). Variabel yang digunakan untuk menggambarkan deindustrialisasi dalam penelitian ini (dependent variable) adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja, pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas. Sementara variabel yang digunakan untuk menjelaskan faktorfaktor yang memengaruhi deindustrialisasi (independent variable) adalah pendapatan per kapita, pertumbuhan produktivitas, keterbukaan ekonomi (openness), penanaman modal asing (PMA), jumlah tenaga kerja terampil (human capital), dan tingkat pengangguran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik (pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas) serta globalisasi ekonomi (keterbukaan ekonomi dan penanaman modal asing) berpengaruh terhadap deindustrialisasi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, human capital (jumlah tenaga kerja terampil) turut berpengaruh terhadap deindustrialisasi walaupun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian, memperlihatkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir merupakan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan melainkan akibat sejumlah guncangan (shock) dalam sistem perekonomian. Guncangan (shock) tersebut ditunjukkan dengan analisis faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah menurunnya investasi asing langsung (foreign direct investment) khususnya nilai realisasi penanaman modal asing (PMA) di sektor sekunder (manufaktur), dan menurunnya kinerja perdagangan luar negeri. Selain itu deindustrialisasi negatif yang terjadi di Indonesia ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat (stagnan) dan masih tingginya tingkat pengangguran. Secara tidak langsung tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing langsung mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia melalui peningkatan pendapatan per kapita dan produktivitas sektor manufaktur. Secara langsung dengan meningkatnya produktivitas maka produk manufaktur mampu bersaing di pasar global. Selain itu dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan demand produk manufaktur, sehingga output juga meningkat. Seiring dengan peningkatan output maka permintaan akan tenaga
iii
kerja juga akan meningkat. Saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlu adanya kerangka paket kebijakan ekonomi yang berimbang antara kebijakan fiskal dan moneter, menciptakan iklim investasi yang kompetitif, perbaikan infrastruktur terutama infastruktur perdagangan luar negeri serta peningkatan ketrampilan tenaga kerja melalui link and match antara pelaku industri dan akademisi. Keterbukaan ekonomi (openness) dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan meningkatkan ekspor yang mampu bersaing di pasar global. Untuk dapat meningkatkan daya saing global, pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menurunkan suku bunga kredit sehingga sektor manufaktur dapat bergairah serta mengurangi beban hutang luar negeri swasta.
Kata kunci: deindustrialisasi, keterbukaan ekonomi, penanaman modal asing, panel data
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang – undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMENGARUHI DEINDUSTRIALISASI DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2009
SUSI METINARA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Budiasih
Judul Tesis : Faktor – faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia Tahun 2000 – 2009 Nama : Susi Metinara NRP : H151090214
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS Ketua
Tony Irawan, SE, M.App.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian : 20 Mei 2001
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi Di Indonesia Tahun 2000 - 2009, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Budiasih atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Mei 2011 Penulis Susi Metinara
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Susi Metinara lahir pada tanggal 13 Oktober 1978, di Bogor. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Marsono dan Ibu Sukarsih. Pada tahun 1996 penulis menamatkan sekolah menengah atas pada SMUN 1 Purworejo, Jawa Tengah. Setelah tamat SMA, pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta dan tamat pada tahun 1999. Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2001 penulis berkesempatan melanjutkan ke jenjang Diploma IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dan tamat pada bulan September 2002. Sejak bulan April 2004 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, Propinsi D.I. Yogyakarta. Pada Januari 2007 penulis dipindah tugaskan sebagai staf Statistik Industri Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. DAFTAR TABEL …………………………………………………….….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………... I. PENDAHULUAN …….…………………………………….………. 1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………... II. TINJAUAN PUSTAKA ………….…………………………………. 2.1 Tinjauan Teori ………………………………………………….. 2.1.1 Definisi Industri Manufaktur …..………………….……... 2.1.2 Konsep Deindustrialisasi ………………………………… 2.1.3 Pertumbuhan Produktivitas (Productivity Growth) ……… 2.1.4 Globalisasi Ekonomi …………………………………….. 2.1.5 Pertumbuhan Kesejahteraan Konsumen (Growing Affluence of Consumers) …………..……………………. 2.2 Tinjauan Empiris ………………………………………………. 2.3 Kerangka Pemikiran …………………………………………… 2.4 Hipotesis Penelitian ……………………………………………. 2.5 Kerangka Pemodelan …………………………………………... III. METODE PENELITIAN ……………………………………………. 3.1 Jenis dan Sumber Data …………………………………………. 3.2 Definisi Operasional ………….………………………………... 3.3 Metode Analisis ………………………………………………... 3.3.1 Analisis Deskriptif ……………………………………….. 3.3.2 Regresi Data Panel ………………………………………. 3.3.2.1 Fixed Effect Model (FEM) ……………………….. 3.3.2.2 Random Effect Model (REM) …………………….. 3.4 Spesifikasi Model Ekonometrik ………………………………... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………….………………………... 4.1 Sejarah Kebijkan Industri dalam Perekonomian Indonesia ……. 4.2 Perkembangan Ekspor dan Impor di Indonesia ………………... 4.3 Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) di Indonesia ……… 4.4 Peranan Investasi Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia ……………………………………………………….. 4.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 5.1 Kesimpulan …………………………………………………….. 5.2 Implikasi Kebijakan ……………………………………………. 5.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ......……………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. LAMPIRAN ………………………………………………………………
xiii xiv xv xvi 1 1 4 8 8 11 11 11 11 15 16 17 18 27 28 29 31 31 31 32 32 33 35 38 40 45 45 49 54 57 60 73 73 74 75 77 81
xiv
DAFTAR GAMBAR
1. Pertumbuhan Ekonomi (PDB), Sektor Tradeable dan Non-Tradeable Indonesia, Tahun 2001-2009 …………………………………………... 2. Perkembangan Ekspor dan Impor (Juta US $) Tahun 2006-2008 .……. 3. Kerangka Pemikiran …………………………………………………… 4. Kerangka Pemodelan …………………………………………………... 5. Perkembangan Kebijakan Industri Nasional …………………………... 6. Rata-rata Pertumbuhan Ekspor-Impor menurut Provinsi Tahun 20012009 …………………………………………………………………..... 7. Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) Indonesia Tahun 20002009 ......................................................................................................... 8. Rata-rata Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) menurut Provinsi Tahun 2000-2009 .................................................................................... 9. Struktur Pembentuk PDB Indonesia Tahun 2005-2009 .......................... 10. Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) menurut Pulau Tahun 2000 – 2009 ............................................................................................. 11. Scatter Plot National Affluence dan Relative Manufacturing Employment, Tahun 2000-2009 ……………………………………….. 12. Scatter Plot Productivity Growth dan Relative Manufacturing Employment, Tahun 2000-2009 ……………………………………….. 13. Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Pengangguran di Indonesia Tahun 2001 – 2009 ..................................................................................
2 6 28 29 47 51 55 56 57 59 68 69 72
xv
DAFTAR TABEL
1. Dinamika Industrialisasi di Indonesia Tahun 2003-2009 (persen) ……. 2. Peringkat Daya Saing Perekonomian ………………………………….. 3. Peranan Sektor Manufaktur terhadap Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2004-2008 (persen) …………………………………………….. 4. Ringkasan Definisi Deindustrialisasi ………………………………….. 5. Ringkasan Beberapa Penelitian Terdahulu ……………………………. 6. Nama Variabel dan Satuannya yang digunakan dalam Penelitian …….. 7. Neraca Perdagangan Migas dan Tanpa Migas Tahun 2000– 2009 ......... 8. Perkembangan Eskpor dan Impor Indonesia Tahun 2005 – 2009 .......... 9. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$) Tahun 2005 – 2009 ............. 10. Impor Menurut Penggunaan Golongan Barang Tahun 2000 – 2009 ...... 11. Nilai Realisasi Investasi Asing menurut Sektor Tahun 2000 – 2009 ...... 12. Hasil Regresi Panel Data dengan Variabel Dependent Relative Manufacturing Employment …………………………………………… 13. Hasil Estimasi Panel Data untuk Indirect Effect Model ……………….. 14. Hasil Estimasi Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia .................................................................
3 6 7 12 22 31 49 50 51 52 58 62 64 66
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Beberapa Hasil Uji dalam Menentukan Metode Regresi ……. Lampiran 2. Output Stata Regresi Data Panel Model Pertama ……………. Lampiran 3. Output Stata Regresi Data Panel Model Kedua ……………… Lampiran 4. Output Stata Regresi Data Panel Model Ketiga ………..……. Lampiran 5. Output Stata Regresi Data Panel Model Keempat ………..….. Lampiran 6. Output Stata Regresi Data Panel Model Kelima ......................
82 83 84 85 86 87
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan Simon Kuznets), pada dasarnya menyatakan bahwa pembangunan ekonomi senantiasa terjadi dalam beberapa tahapan pergeseran peranan (stages of development) dari sektor primer ke sektor sekunder bahkan sektor tersier. Selain itu, munculnya teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966) yang menyebutkan bahwa sektor manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam sistem perekonomian bagi suatu negara atau wilayah (Dasgupta dan Singh, 2006). Oleh karena itu, perkembangan sektor manufaktur dari suatu negara dapat digunakan menjadi salah satu indikator dari tahap perkembangan perekonomian negara tersebut. Munculnya teori pertumbuhan wilayah memicu banyak negara untuk melakukan industrialisasi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi ternyata pada beberapa tahun terakhir terjadi gejala deindustrialisasi (deindustrialization) pada negara-negara maju. Rowthorn dan Wells (1987) melihat gejala deindustrialisasi dari sisi proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja yang semakin menurun (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997). Selain dilihat dari sisi pekerja, Blackaby (1979) melihat gejala deindustrialisasi dari penurunan proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) (Jalilian dan Weiss, 2000). Deindustrialisasi bagi suatu negara merupakan suatu masalah daripada sesuatu yang diharapkan. Menurunnya peran industri dalam perekonomian dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor manufaktur, turunnya produk manufaktur, serta turunnya sektor manufaktur dibanding sektor lain. Salah satu penyebab deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan kompetitif dari sektor manufaktur suatu negara. Apabila keunggulan kompetitif produk manufaktur suatu negara hilang, maka produk tersebut akan kalah di pasar internasional. Implikasinya, sektor manufaktur akan menurun dan pada akhirnya
2
membuat investor menarik investasinya dari sektor manufaktur ke sektor lain atau bahkan ke negara lain. Penyebab lain deindustrialisasi adalah terjadinya perubahan pola spesialisasi internasional. Apabila suatu negara menemukan sumber alam baru dan relatif besar cadangannya, maka kegiatan eksploitasi sumber alam tersebut akan meningkat pesat, dan sektor manufaktur akan menurun (Kuncoro, 2007). Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah, penurunan nilai tambah sektor manufaktur, penurunan tingkat investasi, proporsi nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, dan juga lemahnya hubungan antara sektor pertambangan dan penggalian dengan industri
pengolahannya.
Deindustrialisasi
seperti
ini
memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian (Ruky, 2008). 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 2001
2002
2003 TRADABLE
2004
2005
NON TRADABLE
2006
2007
2008
2009
PDBTANPA MIGAS
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Sektor Tradeable dan Non-Tradeable Indonesia, Tahun 2001-2009 Memacu pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan yang tidak mudah bagi negara seperti Indonesia, karena ada persoalan struktural yang terlewatkan beberapa tahun terakhir. Pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak seimbang dimana pertumbuhan hanya bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa (sektor non-tradeable). Sedangkan sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan (sektor tradeable) mengalami
pertumbuhan
yang
cenderung
menurun
dan
jauh
dibawah
3
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor non-tradeable. Selama periode 2000-2009, rata-rata pertumbuhan sektor non-tradeable sebesar 6,92 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,87 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan sektor tradeable sebesar 3,46 persen jauh dibawah rata-rata pertumbuhan sektor non tradeable dan pertumbuhan ekonomi (Gambar 1). Kontrasnya gambaran yang terjadi selama periode 2001-2009 sangatlah mengkhawatirkan, karena pada umumnya pertumbuhan ekonomi yang terlalu bertumpu pada sektor non-tradeable sangat berisiko. Secara umum sektor nontradeable pada umumnya padat modal, padat teknologi serta sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Sebaliknya sektor tradeable pada umumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Dalam mengatasi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang, bukan berarti dengan menghalangi pertumbuhan sektor nontradeable, melainkan dengan mengupayakan sektor tradeable dapat tumbuh lebih baik dan cepat agar tidak tertinggal dari sektor non-tradeable (Basri, 2009). Tabel 1.
Dinamika Sektor Manufaktur di Indonesia Tahun 2003–2009 (persen) Tahuna)
Indikator 2003
2004
2005
2006
2007
1. Proporsi pekerja sektor manu12.40 11.81 12.27 12.46 12.38 faktur terhadap total pekerja 2. Pertumbuhan pekerja sektor -6.06 -4.76 3.90 1.55 -0.64 manufaktur 3. Proporsi output sektor manu28.25 28.07 27.41 27.54 27.06 faktur terhadap PDBb) 4. Pertumbuhan output sektor 5.33 6.38 4.60 4.59 4.67 manufakturc) - Migas 0.82 -1.95 -5.67 -1.66 -0.06 - Bukan Migas 5.97 7.51 5.86 5.27 5.15 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Keterangan Tabel: a) Tahun 2008 dan 2009 merupakan angka sementara dan sangat sementara b) Berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku c) Berdasarkann PDB atas dasar harga konstan 2000
2008
2009
12.24
12.07
-1.13
0.53
27.87
26.38
3.66
2.11
-0.33 4.05
-2.21 2.52
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih banyak dipacu dari dalam sehingga sulit tumbuh di atas tingkat potensialnya. Pangsa output sektor manufaktur beberapa tahun terakhir mengalami penurunan dari sekitar 28,72 persen pada tahun 2002 menjadi 26,38 persen pada tahun 2009. Selain itu
4
pertumbuhan output sektor manufaktur sejak tahun 2005 mengalami perlambatan. Pada tahun 2005, sektor manufaktur tumbuh sebesar 4,60 persen dan terus menurun hingga mencapai pertumbuhan 2,11 persen pada tahun 2009. Sedangkan proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja beberapa tahun terakhir juga mengalami perlambatan. Pada tahun 2003, proporsi pekerja sektor manufaktur sebesar 12,40 persen menurun menjadi 12,07 persen. Keadaan ini merupakan salah satu gejala terjadinya deindustrialisasi (Tabel 1). Gejala deindustrialisasi yang mencuat dalam perekonomian Indonesia sejak beberapa tahun terakhir sesungguhnya telah sampai pada perwujudannya secara konkret. Pada tahun 2004, Bank Dunia melansir berita bahwa sejak tahun 2003, daya saing komoditi Indonesia memperlihatkan adanya paradoks dalam persaingan industri antar-bangsa. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya daya saing komoditas Indonesia di pasar dunia, akan tetapi di sisi lain banyak industri di Indonesia yang gulung tikar. Terutama industri padat karya, yang menyerap banyak tenaga kerja yaitu industri tekstil dan sepatu. Padahal, kedua industri tersebut merupakan salah satu sub sektor yang mampu menembus pasar ekspor. Berdasarkan fakta ini, kenyataan bahwa Indonesia menghadapi masalah pergeseran orientasi ekspor, yang pada awalnya bertumpu pada manufaktur menjadi terfokus pada komoditas primer (LP3ES, 2008).
1.2. Perumusan Masalah Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya sektor manufaktur dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988). Pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu ditandai dengan terjadinya perubahan struktur perekonomian. Proses perubahan struktur perekonomian itu sendiri ditandai dengan: (1) merosotnya pangsa sektor primer yaitu sektor pertanian, (2)
5
meningkatnya pangsa sektor sekunder yaitu sektor industri, dan (3) pangsa sektor tersier yaitu sektor jasa-jasa kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Proses perubahan struktur perekonomian di Indonesia dapat dilihat dari semakin menurunnya peran sektor pertanian dalam menyumbang PDB. Sedangkan peran sektor manufaktur dan sektor jasa-jasa mempunyai peran yang cukup besar dalam PDB. Akan tetapi selama terjadinya proses perubahan struktur perekonomian Indonesia, pada kenyataannya beberapa tahun terakhir sektor manufaktur mulai mengalami penurunan peranan dalam menyumbang PDB. Keadaan ini merupakan gejala terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa sektor manufaktur yang merupakan sektor tradeable perlu dipacu. Pertama, dengan pengalaman Indonesia pada tahun 1980an menunjukkan bahwa sektor manufaktur dapat tumbuh dua digit, sehingga mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pada saat itu, Indonesia memacu manufaktur padat karya sehingga mendorong pertumbuhan yang berkualitas. Artinya, jika ingin melaksanakan triple track strategy secara alamiah, maka sektor yang didorong untuk tumbuh lebih cepat adalah sektor manufaktur yang padat tenaga kerja. Kedua, sektor manufaktur merupakan sektor yang fleksibel dalam merespons perubahan permintaan. Pada saat permintaan dalam negeri dan ekspor meningkat, produksi mudah untuk ditingkatkan tanpa harus menambah investasi baru. Produksi dapat ditingkatkan melalui utilisasi kapasitas dan jika kapasitas terpasangnya sudah terpakai semua, produksi dapat ditingkatkan dengan lembur. Investasi baru dilakukan jika pengusaha yakin akan terjadinya peningkatan permintaan secara permanen. Apabila permintaan menurun, lembur dan utilisasi dapat dikurangi. Oleh karenanya, sektor manufaktur merupakan sektor yang fleksibel dan responsif dalam struktur perekonomian1. Thee Kian Wie mengatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini sangat tergantung pada ekspor barang mentah yang berasal dari sumber daya alam yaitu batu bara dan minyak sawit mentah (CPO). Dengan kata lain sumber utama penghasilan ekspor Indonesia adalah ekspor komoditas primer (ekspor non manufaktur). Pada tahun 2008, ekpsor non manufaktur tumbuh sebesar 29 persen. 1
Kompas, ”Memacu Pertumbuhan?”, 11 Januari 2011
6
90000.00 80000.00 70000.00 60000.00 50000.00 40000.00 30000.00 20000.00 10000.00 0.00 2006
Eks Manf
2007
Eks Non Manf
2008
Im Manf
Im Non Manf
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 2. Perkembangan Ekspor dan Impor (Juta US$), Tahun 2006-2008 Ekspor manufaktur hanya tumbuh sebesar 9 persen pada tahun 2008. Ketergantungan tersebut membuat pemerintah Indonesia terlena sehingga kurang cepat dalam mengembangkan industri manufaktur yang berdaya saing internasional. Selain itu, Indonesia juga tergantung pada sektor non-tradeable goods seperti telekomunikasi dan jasa-jasa. Keadaan ini merupakan salah satu gejala deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia (Gambar 2)2. Tabel 2. Peringkat Daya Saing Perekonomian Negara Singapura Cina Taiwan Malaysia India Korea (Selatan) Thailand Filipina Indonesia Venezuela Sumber Keterangan
2
2003 2004 4 2 27 22 17 12 21 16 42 30 32 31 28 26 41 43 49 49 51 51
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 3 3 2 2 3 29 18 15 17 20 11 17 18 13 23 26 22 23 19 18 33 27 27 29 30 27 32 29 31 27 25 29 33 27 26 40 42 45 40 43 50 52 54 51 42 51 53 55 55 57
2010 1 18 8 10 31 23 26 39 35 58
: International Institute for Management Development, World Competitiveness Yearbook, berbagai edisi. : mulai tahun 2009 jumlah responden ada 57 negara, sedangkan tahun-tahun sebelumnya jumlah responden ada 55 negara.
Kompas, ”Daya Saing: Industri Manufaktur seperti di Masa Kolonial”, 24 Januari 2011
7
Gejala lain terjadinya deindustrialisasi adalah semakin melemahnya daya saing perekonomian Indonesia di kancah perekonomian dunia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun peringkat daya saing Indonesia mengalami kemerosotan. Walaupun pada tahun 2010, peringkat daya saing perekonomian Indonesia membaik, akan tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan negara Malaysia, Taiwan, dan China yang memulai industrialisasinya baru-baru saja (Tabel 2). Tabel 3. Peranan Sektor Manufaktur Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2004 – 2008 (persen) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
2004 19.46 25.36 12.25 20.83 12.41 21.32 4.02 12.48 22.77 46.63 15.95 42.11 32.64 15.18 29.61 50.16 9.00 3.45 1.63 19.92 8.90 13.76 36.68 9.08 7.77 13.97 6.20 8.31 7.27 4.59 14.14 18.90 2.51
2005 18.01 25.47 11.38 20.06 12.02 21.91 3.96 12.86 22.38 46.32 15.97 44.46 33.71 14.16 29.99 49.75 8.69 3.38 1.80 19.03 9.32 12.83 36.60 8.44 7.47 13.78 5.79 7.18 7.35 4.50 13.75 19.97 1.62
Tahun 2006 12.30 25.68 11.42 19.34 11.94 23.23 4.00 12.51 22.28 47.36 15.94 45.28 32.85 13.86 29.26 49.70 8.70 3.32 1.76 18.53 8.50 11.68 35.98 8.76 7.26 13.54 6.85 5.90 7.57 4.47 13.77 19.47 1.78
2007 11.16 25.04 12.01 18.65 11.86 23.03 3.96 13.65 22.51 46.70 15.97 44.97 32.14 13.60 28.75 47.80 8.99 3.23 1.70 18.17 8.42 11.07 34.80 8.57 7.03 13.22 7.90 5.55 7.74 4.72 13.40 20.10 1.62
2008 11.14 24.14 12.11 18.15 11.13 23.07 3.93 13.06 22.44 45.56 15.73 44.92 33.08 13.30 28.49 45.25 9.34 3.63 1.59 18.33 8.39 10.31 34.25 8.08 7.49 12.99 7.63 4.92 7.53 4.71 12.11 22.74 1.82
8
Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi dan tercakup dalam lima pulau besar memiliki sumber daya alam dan karakteristik yang berbeda, tentunya juga memberikan peran yang berbeda terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) yang pada akhirnya mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda pula. Provinsi yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dapat digolongkan sebagai provinsi yang maju. Apabila kemajuan tersebut dihubungkan dengan fenomena deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia, maka dapat diduga telah terjadi pula fenomena deindustrialisasi pada provinsi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari peran sektor manufaktur yang mulai mengalami penurunan dalam produk domestik regional bruto (PDRB) beberapa tahun terakhir (Tabel 3). Berdasarkan fakta yang terjadi, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berdasarkan terjadinya gejala deindustrialisasi, ingin diketahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia ? 2. Apakah globalisasi ekonomi mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini sesuai dengan perumusan masalahnya, yaitu : 1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia.
2.
Mengkaji
apakah
globalisasi
ekonomi
mempengaruhi
terjadinya
deindustrialisasi di Indonesia. Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran tentang terjadinya gejala deindustrialisasi di Indonesia. 2. Memberikan saran kepada pembuat kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan industri di masa mendatang.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia dengan tahun analisis
selama periode 2000-2009. Beberapa
9
keterbatasan penelitian ini adalah menggunakan indikator Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, tetapi PDRB tidak dapat untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Maksudnya adalah pada beberapa wilayah terjadi pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk miskin dan pengangguran.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Definisi Industri Manufaktur Industri pengolahan (manufacture) adalah suatu unit (kesatuan) produksi yang terletak pada suatu tempat tertentu yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan untuk mengubah suatu barang secara mekanis, kimia, atau dengan tangan, sehingga menjadi benda/barang/produk baru yang nilainya lebih tinggi, dan sifatnya lebih dekat kepada konsumen akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah perusahaan yang melakukan kegiatan jasa industri dan pekerjaan perakitan (BPS, 2009).
2.1.2 Konsep Deindustrialisasi Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan kontribusi output sektor manufaktur dalam pendapatan nasional maupun penurunan pangsa (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja. Dalam penelitian ini, deindustrialisasi mengacu pada penurunan pangsa (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja seluruh sektor. Apabila produktivitas tenaga kerja meningkat dengan cepat, deindustrialisasi dapat terjadi meskipun
output
sektor
manufaktur
meningkat
atau
konstan.
Definisi
deindustrialisasi itu sendiri mempunyai banyak interpretasi (Tabel 4). Teori-teori yang menjelaskan tentang deindustrialisasi telah berkembang sejak lama. Rowthorn dan Wells (1987), membedakan deindustrialisasi menjadi dua macam yaitu deindustrialisasi positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif merupakan dampak yang terjadi karena perekonomian telah mengalami kedewasaan (maturity) dalam pembangunan ekonomi. Dengan pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan per kapita, peran pekerja sektor pertanian mengalami penurunan dan peran pekerja sektor manufaktur meningkat sampai pada tingkat tertinggi dalam pembangunan yang dicapai. Namun, di sisi lain terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari peningkatan peran sektor jasa seiring dengan peningkatan biaya dalam sektor manufaktur akibat kenaikan upah pekerja. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari tingkat
12
pertumbuhan produktivitas di sektor manufaktur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor jasa dan adanya perubahan dalam pola konsumsi yang terjadi selama pembangunan ekonomi. Perubahan pola konsumsi ini lebih disebabkan oleh perbedaan elastisitas pendapatan dari permintaan antar sektor. Tabel 4. Ringkasan Definisi Deindustrialisasi Sumber Definisi Deindustrialisasi a. Blackaby (1979) Penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau diacu dalam Jalilian penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam dan Weiss (2000) pendapatan nasional. b. Singh (1982) diacu Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan dalam Jalilian dan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai Weiss (2000) impor untuk mencapai kondisi full-employment dalam perekonomian c. Rowthorn dan Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor Wells (1987) diacu manufaktur terhadap total pekerja dalam IMF (1997) d. Bazen dan Thirwall Penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik (1989) diacu dalam secara absolut maupun relatif terhadap total pekerja. Jalilian dan Weiss (2000) e. World Bank (1994) Penurunan tidak sementara kontribusi sektor diacu dalam manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi Jalilian dan Weiss ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi (2000) berjalan lebih lambat. f. Rowthorn dan Penurunan kontribusi sektor manufaktur pada Coutts (2004) perekonomian nasional Sumber : Dewi (2010)
Sedangkan deindustrialisasi
negatif merupakan fenomena patologis
(pathological phenomenon) yaitu terjadi ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian yang mencegah suatu bangsa mencapai pertumbuhan yang full employment. Keadaan ini terjadi karena memburuknya kinerja sektor manufaktur dan melambatnya pertumbuhan output dan produktivitas sektor manufaktur yang mengakibatkan menurunnya daya saing sehingga perekonomian semakin memburuk. Pengangguran dari sektor manufaktur yang dihasilkan dari adanya deindustrialisasi negatif tidak dapat terserap di sektor jasa akibat situasi perekonomian yang melambat. Dengan demikian, deindustrialisasi positif dikaitkan dengan meningkatnya pendapatan riil dan lapangan kerja penuh (full
13
employment), sementara deindustrialisasi negatif dikaitkan dengan stagnasi pendapatan riil dan meningkatnya pengangguran (Alderson, 1999). Rowthorn dan Wells (1987) berpendapat bahwa adanya perdagangan dalam perekonomian internasional terkait dengan deindustrialisasi. Perdagangan mempengaruhi peran pekerja manufaktur baik secara makro maupun mikro ekonomi melalui pengaruhnya pada spesialisasi. Pertama, dalam economic maturity deindustrialisasi terkait dengan kinerja perdagangan yang kuat atau lemah. Pada saat neraca perdagangan manufaktur positif dan besar, kekuatan sektor manufaktur memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Keadaan ini tercapai pada saat sektor manufaktur mulai melimpahkan tenaga kerjanya yang dapat diserap oleh sektor jasa (melalui deindustrialisasi positif). Sebaliknya, ketika perdagangan manufaktur memburuk dan investasi di bidang manufaktur menurun, sektor manufaktur mulai melimpahkan tenaga kerjanya dan tidak dapat terserap oleh sektor jasa sehingga perekonomian stagnan atau semakin memburuk (melalui deindustrialisasi negatif). Teori Marx tentang penurunan keuntungan (profit) suatu industri dianggap sebagai awal mula dari munculnya teori deindustrialisasi (Rowthorn, 1992). Teori tersebut menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses produksi menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pada saat yang bersamaan, inovasi teknologi dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerja karena pekerja digantikan dengan mesin sehingga kapasitas penggunaan kapital meningkat. Apabila pekerja diasumsikan dapat memberikan nilai tambah baru, maka semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan surplus yang lebih kecil dibandingkan penambahan pekerja. Penambahan pekerja menyebabkan rata-rata profit industri akan menurun dalam jangka panjang. Oleh karenanya, sebuah industri perlu melakukan inovasi teknologi sebagai investasi kapital serta mengembangkan kemampuan pekerjanya sebagai investasi human kapital untuk mengantisipasi terjadinya deindustrialisasi negatif. Peningkatan produktivitas sektor manufaktur apabila diasumsikan ceteris paribus akan menyebabkan penurunan biaya relatif dalam memproduksi barang, sehingga harga barang manufaktur semakin murah. Hal ini menyebabkan proporsi nilai tambah sektor manufaktur menurun, dengan asumsi demand terhadap barang
14
manufaktur dan jasa bersifat inelastis. Implikasinya adalah pengurangan aktivitas sektor manufaktur dengan cara melakukan outsourcing atau dikontrakkan untuk sebagian proses produksinya sehingga turunnya proporsi nilai tambah sektor manufaktur tanpa memperburuk kondisi perekonomian. Deindustrialisasi ini memberikan dampak positif bagi sektor manufaktur karena produktivitasnya yang tinggi (Pitelis dan Antonakis, 2003). Deindustrialisasi juga dapat dilihat dari sisi pekerja. Bazen dan Thirlwall (1989) menyebutkan bahwa fokus terhadap pekerja sektor manufaktur ini dilakukan karena sangat berguna untuk melihat peningkatan pendapatan pada level produktivitas pekerja tertentu dan hubungan antara industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan pengertian deindustrialisasi yang dikemukakan (lihat Tabel 4) dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi positif tidak menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan sebaliknya deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran (Jalilian dan Weiss, 2000). Reisman (2002) menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal dan profit yang diharapkan menjadi berkurang. Selain itu, perubahan struktur perekonomian oleh peraturan pemerintah juga bisa menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Menurut Bluestone dan Harrison (1982) serta Logan dan Swanstrom (1990), terobosan di bidang transportasi, komunikasi dan teknologi informasi menyebabkan perusahaan manufaktur akan berpindah ke lokasi yang lebih murah dan lokasi sebelumnya (pusat kota) ditempati oleh sektor jasa dan aglomerasi finansial. Untuk menganalisis adanya industrialisasi dan deindustrialisasi dalam kasus perekonomian terbuka, tidak cukup hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan harus menganalisis juga interaksi dengan negara lainnya. Pada negara berkembang diawal tahap pertumbuhannya, kontribusi sektor pertanian pada balance of payment sama atau lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur. Pada saat pendapatan perkapita meningkat pada level middle-income countries, peranan sektor manufaktur menjadi sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya demand terhadap produk
15
manufaktur, dimana jika tidak dapat dipenuhi dari pasar domestik maka akan dipenuhi melalui impor sehingga akan mengubah kondisi neraca perdagangan. Sedangkan pada negara maju, kontribusi sektor manufaktur saat ini sangat kecil (baik terhadap GDP maupun terhadap total pekerja) dan sektor ekspor utama adalah knowladge-based services (Singh, 1977).
2.1.3 Pertumbuhan Produktivitas (Productivity Growth) Pertumbuhan produktivitas yang meningkat dengan cepat diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama deindustrialisasi. Clark (1957) berpendapat bahwa produktivitas sektor manufaktur yang melebihi produktivitas sektor jasa merupakan fenomena adanya pelambatan share pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja nasional. Dasar dari argumen ini adalah bahwa pertumbuhan produktivitas yang didefinisikan sebagai peningkatan output per pekerja pada dasarnya menurunkan permintaan tenaga kerja. Hal ini terjadi karena perusahaan yang sangat produktif, menggunakan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor-saving technologies) sehingga menghasilkan produksi yang tinggi dengan sedikit penggunaan tenaga kerja setiap tahunnya (Kollmeyer, 2009). Pada tingkat ekonomi makro, ini berarti bahwa jika salah satu sektor konsisten meningkatkan produktivitasnya dibandingkan sektor lain, dan jika pola permintaan diantara kedua sektor tersebut tetap konstan, maka pertumbuhan pekerja di sektor yang dinamis mengalami konstraksi. Hal ini menyebabkan permintaan pekerja di sektor yang dinamis mengalami penurunan sehingga terjadi peningkatan permintaan pekerja pada sektor yang kurang dinamis dimana permintaannya tetap tinggi. Perusahaan manufaktur seringkali meningkatkan produktivitasnya melalui penggunaan otomatisasi (automation), mekanisasi (mechanization), dan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor-savings technologies) (Kollmeyer, 2009). Argumen Clark (1957) tersebut banyak didukung oleh sejumlah penelitian empiris seperti Rowthorn dan Wells (1987), Krugman dan Lawrence (1993), Rowthorn dan Ramaswamy (1997, 1999) dan Rowthorn dan Coutts (2004). Mereka menggunakan data panel dari negara-negara OECD dalam menguji unbalaced productivity growth atau pola neraca perdagangan yang berperan besar
16
terhadap penurunan share pekerja sektor manufaktur (Kollmeyer, 2009). Rowthorn dan Ramaswamy (1997) menyimpulkan bahwa faktor yang paling berperan dalam deindustrialisasi adalah kecenderungan produktivitas sektor manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan produktivitas sektor jasa. Sedangkan faktor perdagangan North-South sangat berperan kecil terhadap deindustrialisasi.
2.1.4 Globalisasi Ekonomi Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin teintegrasi tanpa melihat batas wilayah suatu negara. Pada saat globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara perekonomian nasional dan internasional akan semakin erat hubungannya. Di satu pihak globalisasi membuka peluang produk dalam negeri bersaing dalam pasar internasional secara kompetitif. Sebaliknya, globalisasi juga membuka peluang masuknya produk-produk luar negeri ke dalam pasar domestik. Sejak tahun 1980-an, banyak ahli meneliti implikasi dari globalisasi dalam mempromosikan deindustrialisasi di negara-negara maju (Wood, 1995; Saeger 1997; Alderson 1997). Dalam awal analisis topik ini, Frobel, et.al dalam Kollmeyer (2009) mengemukakan suatu kerangka terkemuka untuk memahami hubungan antara globalisasi dan perubahan pola kerja yang terjadi di seluruh dunia. Frobel et.al menyatakan bahwa pola perdagangan dunia mengikuti suatu pola ”Classic International Division Labor” dimana negara-negara berkembang spesialisasi memproduksi dan ekstraksi bahan mentah sedangkan negara-negara maju spesialisasi dalam mengubah bahan mentah atau setengah jadi menjadi barang jadi. Adanya pola pembagian kerja tersebut, perekonomian dunia tercipta dan berkembang di negara-negara maju. Pada akhir tahun 1960-an, pola lama dalam perdagangan dunia mulai berubah dan menciptakan suatu pola baru yang disebut sebagai ”New International Division of Labor”. Selama waktu tersebut, banyak perusahaan multinasional mengurangi biaya produksi dengan memindahkan kegiatan produksi ke daerah/wilayah dengan upah rendah. Efek gabungan dari tren ini,
17
Forbel et.al berpendapat tentang menyelaraskan pembagian kerja internasional, yaitu dengan mempercepat negara-negara berkembang melakukan industrialisasi padat karya dan pekerjaan manufaktur dengan ketrampilan rendah serta menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara maju dan mengkhususkan negara-negara maju dengan kegiatan yang memerlukan ketrampilan tinggi seperti manajemen
strategis,
pengembangan
produk,
pemasaran
dan
keuangan
(Kollmeyer, 2009). Wood
(1995),
dengan
menggunakan
factor
content
analysis
memperkirakan bahwa banyaknya pekerja terampil dan tidak terampil yang digunakan suatu negara untuk memproduksi ekspor, sama dengan yang digunakan untuk
memproduksi
impor.
Pendapat
tersebut
mengasumsikan
bahwa
perdagangan global mengurangi permintaan tenaga kerja tidak terampil di negaranegara maju, akibat dari pekerjaan rutin manufaktur, yang sebelumnya dikerjakan pekerja domestik, sekarang dilakukan di luar negeri. Akan tetapi, penelitian lain dengan menggunakan metode regresi data panel (Alderson 1997, 1999; Rowthorn dan Ramaswamy 1997, 1999; Saeger 1997; Rowthorn dan Coutts 2004) menyimpulkan bahwa secara umum globalisasi hanya berkontribusi sedikit sekali dalam menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara maju.
2.1.5 Pertumbuhan
Kesejahteraan
Konsumen
(Growing
Affluence
of
Consumers) Meningkatnya kesejahteraan konsumen merupakan faktor penjelasan lain yang dapat menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Kesejahteraan konsumen dapat menggambarkan kesejahteraan suatu wilayah atau negara. Dalam Engel’s Law yang dikemukan oleh Engel (1857) berdasarkan penemuan empirisnya, menyatakan bahwa proporsi pengeluaran total yang ditujukan untuk makanan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan (Nicholson, 1995). Clark (1957) memperluas pendapat tersebut dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan suatu negara mempengaruhi permintaan relatif produk pertanian, barang-barang manufaktur dan jasa-jasa. Berdasarkan analisis crossnational data, diperoleh kesimpulan bahwa seiring dengan peningkatan pendapatan riil per kapita, permintaan relatif produk pertanian menurun sepanjang
18
waktu dan permintaan relatif barang-barang manufaktur pada awalnya meningkat dan kemudian menurun seiring dengan permintaan akan jasa-jasa (Kollmeyer, 2009). Beberapa tahun terakhir, banyak peneliti mendukung argument Clark (1957) dengan data empiris. Dalam penelitian-penelitian tersebut diperoleh bentuk kurva U-terbalik (inverted U-shape), dimana untuk negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, akan meningkatkan share relatif pekerja manufaktur, tetapi selanjutnya pada batas kemakmuran tertentu penambahan peningkatan pendapatan per kapita menurunkan share pekerja manufaktur. Sedangkan untuk negara-negara maju, peningkatan kesejahteraan mendorong konsumen menghabiskan porsi yang lebih besar untuk jasa-jasa yang pada gilirannya akan menyebabkan deindustrialisasi (Rowthorn dan Wells, 1987; Rowthorn dan Ramaswany, 1997,1999; Alderson, 1999; Rowthorn dan Coutts, 2004).
2.2 Tinjauan Empiris Studi empiris tentang deindustrialisasi baik di negara-negara maju maupun berkembang sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Sub bab 2.2 akan membahas penelitian-penelitian tentang deindustrialisasi baik di negara-negara berkembang dan negara-negara maju (negara-negara OECD) (Tabel 4). Suwarman (2006) dalam penelitiannya tentang proses deindustrialisasi di Indonesia bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut mencakup data triwulanan pada level nasional selama periode 1989-2005. Metode ekonometrik yang digunakan adalah analisis kointegrasi dengan metode Bounds Testing Cointegration pendekatan ARDL (Autoregressive Distributed Lag). Spesifikasi model yang digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia terdiri dari dua model yaitu LPNT t 0 1 LY t 2 LYK t 3 I t 4 XM t 5 MM t t
(2.1)
LPNTt 0 1LYt 2 LHRt 3 I t 4 NPM t 5 MBBt 6 MBM t t
(2.2)
19
Variabel dependen yang digunakan adalah pangsa nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB. Sedangkan variabel-variabel independennya adalah pendapatan per kapita, harga riil produk-produk manufaktur, pangsa pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) dalam PDB, pangsa nilai ekspor produkproduk manufaktur dalam PDB, pangsa nilai impor produk-produk manufaktur dalam PDB, pangsa neraca perdagangan produk-produk manufaktur dalam PDB, pangsa nilai impor bahan baku dalam PDB, dan pangsa nilai impor barang modal dalam PDB. Hasil estimasi dari kedua model memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang pendapatan per kapita, pangsa PMTDB dalam PDB, pangsa nilai ekspor produk manufaktur dalam PDB, pangsa neraca perdagangan produk manufaktur dalam PDB, dan pangsa nilai impor barang modal dalam PDB, berdampak positif terhadap kontibusi sektor manufaktur dalam PDB. Sedangkan harga riil produk manufaktur dan pangsa nilai impor produk manufaktur dalam PDB mempunyai dampak negatif terhadap kontibusi sektor manufaktur dalam PDB. Sementara itu, pangsa nilai impor bahan baku dalam PDB tidak mempunyai hubungan jangka panjang dengan kontribusi sektor manufaktur dalam PDB. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum mencapai tahap perekonomian sangat maju, yang dicirikan dengan belum tercapainya suatu tingkat pendapatan per kapita titik balik (turning point) yang menyebabkan peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya justru akan menurunkan kontribusi sektor manufaktur dalam PDB. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses deindustrialisasi di Indonesia beberapa
tahun
terakhir
bukanlah
dampak
alamiah
dari
keberhasilan
pembangunan ekonomi Indonesia, melainkan lebih disebabkan oleh berbagai goncangan (shock) terhadap sistem perekonomian. Dewi (2010) dalam penelitiannya, bertujuan mengkaji peran sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian, mengidentifikasi apakah Indonesia mengalami proses deindustrialisasi positif atau negatif, dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut mencakup data triwulanan
20
pada level nasional selama periode 1983-2008. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan model ekonometrik untuk data time series. Model yang digunakan sesuai dengan hasil uji stasioneritas dari masing-masing variabel. Model kointegrasi dan ECM/VECM (error correction model/vector error correction model) digunakan apabila minimal salah satu variabel dalam sebuah persamaan yang bersifat tidak stasioner. Akan tetapi, jika semua variabel dalam sebuah persamaan bersifat stasioner maka penggunaan model regresi linear sederhana ataupun regresi linear berganda sudah cukup memadai. Spesifikasi model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses deindustrialisasi di Indonesia terdiri dari dua model yaitu
Empshare 0 1 lnY 2 (lnY ) 2 1 I i 2 i Z i
(2.3)
Outshare 0 1 lnY 2 (lnY ) 2 1 I i 2 i Z i
(2.4)
Keterangan : Empshare : proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen) Outshare
: proporsi nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB (persen)
Y
: pendapatan per kapita yang didekati dengan PDB per kapita (rupiah)
I
: investasi yang didekati dengan persentase PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto)
Z
: variabel-variabel lain yang ditambahkan untuk melihat pengaruh perdagangan luar negeri
Variabel-variabel yang ditambahkan untuk melihat pengaruh perdagangan luar negeri dalam penelitian ini adalah trade balance (ekspor dikurangi impor), openness (ekspor ditambah impor), impor barang modal (MModal), impor bahan baku (MBaku), impor barang konsumsi (MKons), ekspor ke Amerika Serikat (X_USA), ekspor ke Jepang (X_Japan), ekspor ke Singapura (X_Sing) dan impor dari China (M_China). Semua variabel-variabel tersebut dalam bentuk persentase terhadap PDB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan analisis pendekatan Kaldorian ternyata sektor manufaktur merupakan mesin pertumbuhan ekonomi (engine of growth) di Indonesia selama tahap industrialisasi.
21
Pertumbuhan sektor manufaktur memicu pertumbuhan sektor selain manufaktur sehingga pada akhirnya pertumbuhan PDB akan tumbuh lebih pesat. Proses deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2002 cenderung menuju ke arah yang negatif. Deindustrialisasi negatif ini salah satunya ditandai dengan rendahnya trade balance ataupun openness. Hal ini menandakan bahwa secara umum proses deindustrialisasi di Indonesia bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan yang sangat maju melainkan lebih disebabkan oleh guncangan (shock) terhadap perekonomian Indonesia.
22
Tabel 5. Ringkasan Beberapa Penelitian Terdahulu No 1.
2.
Pengarang dan Judul
Data Set Rowthorn dan 21 Negara OECD Ramaswamy (1997), dari 23 Negara "Deindustrialization: OECD (tidak Causes and termasuk Implication" Luxemberg dan Iceland). Tahun 1963, 1970, 1975, 1980, 1985, 1990 dan 1994
Metodologi Variabel Metode Dependen: Regresi Data proporsi pekerja sektor Panel manufaktur terhadap total pekerja (persentase). Independen: pendapatan per kapita, persentase pangsa neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) terhadap PDB, pangsa investasi dalam PDB dan pengangguran
Kesimpulan/Hasil
Terdapat hubungan yang non linear antara pendapatan per kapita dan share pekerja manufaktur sehingga pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat justru menyebabkan proporsi pekerja di sektor manufaktur menurun. Deindustrialisasi memberikan implikasi terhadap pertumbuhan dan industri dalam kelangsungan ekonomi. Proses deindustrialisasi yang terus berlanjut, akan mempengaruhi produktivitas total dimana produktivitas total akan tumbuh berdasarkan pertumbuhan sektor jasa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan standar hidup selanjutnya akan dipengaruhi oleh pertumbuhan produktivitas sektor jasa. Implikasi lain dari deindustrialisasi adalah peranan serikat perdagangan (trade union) dapat berubah pada perekonomian yang telah maju. Perubahan peranan tersebut terjadi dalam hal penentuan standar upah pekerja. Saeger (1997), 23 Negara OECD. Dependen: Regresi Data Impor dari Selatan signifikan mempengaruhi kontribusi "Globalization and Tahun 1970, peran pekerja dan peran Panel pekerja dan nilai tambah (output) sektor manufaktur. Deindustrialization: 1975, 1980, 1985 nilai tambah sektor Meningkatnya integrasi North-South signifikan Myth and Reality in & 1990 manufaktur. menurunkan kontribusi pekerja sektor manufaktur. the OECD” Independen: Selain itu perdagangan North-South berhubungan pendapatan per kapita, dengan penurunan kontribusi pekerja sektor manufaktur. sumber daya alam Hal ini memperkuat pandangan bahwa integrasi Selatan (presentase nilai dalam ekonomi global mempunyai peran penting dalam produksi batu bara, membentuk perubahan struktural di Utara.
Lanjutan Tabel 5 No
3.
Metodologi Variabel Metode produksi batu bara, mineral & minyak terhadap PDB), sumber daya manusia (rata-rata pendidikan tertinggi di atas usia 25 tahun), perdagangan NorthSouth (ekspor & impor) Rowthorn dan 18 Negara OECD, Dependen: Regresi Data Ramaswamy (1999), Tahun 1963 - proporsi pekerja sektor Panel "Growth, Trade, and 1994 manufaktur terhadap Deindustrialization" total pekerja dan proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap PDB riil (persentase) Independen: pendapatan per kapita, persentase neraca perdagangan barang manufaktur terhadap PDB (nilai total ekspor dikurang nilai total impor), persentase nilai impor barang manufaktur dari negara berkembang terhadap PDB, dan persentase Pengarang dan Judul
Data Set
Kesimpulan/Hasil Sebaliknya, relatif kecil koefisien pada arus perdagangan intra-OECD menyiratkan bahwa perubahan neraca perdagangan intra-OECD sektor manufaktur hanya memiliki efek kecil pada struktur kerja dan produksi pada tingkat agregat. Hasil tersebut konsisten dengan prediksi model globalisasi, serta studi empiris sebelumnya akan peran perdagangan intra-OECD dan deindustrialisasi. Kesimpulan umum yang didapat dari penelitian tersebut adalah deindustrialisasi di negara-negara maju, lebih disebabkan oleh faktor internal perekonomian yaitu produktivitas dan struktur demand. Penurunan produktivitas sektor manufaktur dibanding sektor jasajasa terkait dengan penurunan relatif dalam harga barang manufaktur. Selain itu perdagangan North-South dan rasio investasi terhadap PDB mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap produktivitas pekerja sektor manufaktur.
23
24
Lanjutan Tabel 5 No
Pengarang dan Judul
4.
Alderson (1999), 18 Negara OECD, "Explaining Tahun 1968 Deindustrialization: 1992 Globalization, Failure, Or Success?"
5.
Rowthorn dan Coutts 23 Negara OECD, (2004), Tahun 1963 "Deindustrialization 2002 and The Balance Of Payments in Advanced Economies"
Data Set
Metodologi Variabel nilai bruto investasi modal tetap domestik terhadap PDB. Dependen: kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen) Independen: pendapatan per kapita, pertumbuhan pengangguran, net manufaktur (ekspor dikurangi impor) terhadap PDB, direct investmet outflow per capita, impor manufaktur dari negara selatan terhadap PDB Dependen: kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen) Independen: neraca perdagangan barangbarang manufaktur, nilai impor barang manufaktur dari negara berkembang, nilai
Metode
Kesimpulan/Hasil
Regresi Data Hasil penelitian mengindikasikan bahwa globalisasi Panel mempunyai peran penting dalam deindustrialisasi di negara-negara maju. Hasil regresi selanjutnya menetapkan bahwa (1) peran pekerja sektor manufaktur mengikuti suatu kurva yang berbentuk U terbalik (curvilinear inverted U-shaped) selama proses pembangunan, (2) deindustrialisasi negatif disebabkan oleh memburuknya kinerja industri, yang memainkan peran besar dalam deindustrialisasi di negara-negara OECD, dan (3) spesialisasi pola perdagangan suatu negara secara keseluruhan memberikan dampak penting terhadap struktur tenaga kerja.
Regresi Data Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor internal Panel yaitu pendapatan per kapita dan investasi mempunyai pengaruh lebih dominan dalam menjelaskan terjadinya deindustrialisasi. Peningkatan pendapatan per kapita berhubungan dengan elastisitas demand terhadap produk manufaktur, produktivitas dan perubahan relatif barang manufaktur. Pengaruh perdagangan luar negeri cukup signifikan tapi relatif kecil jika dibandingkan pengaruh faktor internal terhadap terjadinya deindustrialisasi.
Lanjutan Tabel 5 No
Pengarang dan Judul
6.
Dasgupta dan Singh (2006), "Manufacturing, Services, and Premature Deindustrialization in Developing Countries: A Kaldorian Analysis"
Metodologi Variabel Metode ekspor ditambah nilai impor barang manufaktur, nilai impor barang manufaktur dari China dan persentasi investasi modal tetap/bruto terhadap PDB. 14 Negara Dependen: kontribusi Regresi Data Berkembang, pekerja sektor Panel Tahun 1986 - manufaktur terhadap 2000 total pekerja (persen) Independen: pendapatan per kapita, proporsi gross fixed capital terhadap PDB, tingkat keterbukaan perdagangan, dummy negra Amerika Latin dan China Data Set
Kesimpulan/Hasil
Negara-negara berkembang dengan pendapatan perkapita pada level rendah dan menengah mempunyai income elasticity of demand terhadap barang-barang manufaktur tetap tinggi. Negara yang mengalami pathological deindustrialization seharusnya mengevaluasi kebijakan industrinya agar pertumbuhan ekonominya lebih terarah dan tepat sasaran. Sebaliknya negara yang mengalami deindustrialisasi positif, kebijakan industri yang ada tidak perlu direvisi kembali. Analisis deindustrialisasi dengan pendekatan Kaldorian pada negara berkembang memberikan fakta bahwa terdapat dua tipe deindustrialisasi yaitu deindustrialisasi positif terjadi karena sektor manufakturnya berkembang ke arah sektor yang bersifat informal sehingga tidak membawa dampak buruk pada perekonomian dan deindustrialisasi negatif lebih disebabkan arah pengembangan sektor manufaktur yang salah atau proses industrialisasinya mengalami kegagalan sehingga tidak mampu memberikan pertumbuhan ekonomi yang sustain.
25
26
Lanjutan Tabel 5 No 7.
Metodologi Data Set Variabel Kollmeyer, C (2009), 18 Negara OECD, Dependen: proporsi "Explaining Tahun 1970 - pekerja sektor Deindustrialization: 2003 manufaktur terhadap How Affluence, total pekerja. Productivity Growth, Independen: National and Globalization Affluence (pendapatan Diminish per kapita), Unbalaced Manufacturing Productivity Growth Employment" (pertumbuhan nilai tambah per pekerja manufaktur dikurangi nilai tambah per pekerja sektor jasa), North-South Trade (ekpsor & impor terhadap PDB), Northnorth trade (ekspor & impor thd PDB), net outflow of direct investment (investasi langsung yg keluar). Kontrol Variabel: pengangguran Pengarang dan Judul
Metode Regresi data panel, dengan tiga persamaan yang saling berkaitan
Kesimpulan/Hasil Masing-masing variabel signifikan mempengaruhi deindustrialisasi, perdagangan global mempunyai efek langsung dan tidak langsung dalam mempengaruhi pola pekerja di negara maju. Akan tetapi faktor tunggal terbesar berasal dari kesejahteraan konsumen di negara maju yang terus meningkat dalam mempengaruhi deindustrialisasi.
2.3 Kerangka Pemikiran Proses industrialisasi di Indonesia dimulai sejak akhir tahun 1980-an (Dasril, 1993). Perkembangan kondisi perekonomian sampai dengan tahun 2008 berdasarkan kriteria negara industri dan kriteria UNIDO menunjukkan bahwa proses industrialisasi di Indonesia belum selesai. Hal ini ditandai dengan belum masuknya Indonesia ke dalam kategori negara industri (Ruky, 2008). Seiring dengan proses industrialisasi di Indonesia dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, terjadi pergeseran peran sektor pertanian menuju sektor sekunder bahkan sektor tersier. Keadaan ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya peran sektor pertanian terhadap pembentukan PDB pada beberapa tahun terakhir. Sebaliknya terjadi peningkatan peran sektor manufaktur dan sektor jasa-jasa dalam menyumbang PDB. Akan tetapi seiring dengan terjadinya perubahan struktur ekonomi di Indonesia, juga terjadi gejala dimana peran sektor manufaktur mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Bertentangan dengan kenyataan tersebut, gejala yang terjadi pada perekonomian Indonesia saat ini memperlihatkan adanya gejala deindustrialisasi yang mengarah pada deindustrialisasi negatif. Hal tersebut ditandai dengan proporsi
pekerja
sektor
manufaktur
terhadap
total
pekerja
mengalami
pertumbuhan yang negatif sejak tahun 2002. Selain itu, pertumbuhan output sektor manufaktur dan komposisi sektor manufaktur dalam PDB terlihat menurun sejak tahun 2005. Analisis
deskriptif
digunakan
untuk
mendeteksi
terjadinya
gejala
deindustrialisasi di Indonesia. Setelah dilakukan analisis deskriptif atas terjadinya deindustrialisasi, maka ingin dilihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi. Variabel dependen yang digunakan sebagai proxy dari deindustrialisasi adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja. Sedangkan variabel independen yang digunakan adalah national affluence (tingkat kesejahteraan),
productivity
growth
(pertumbuhan
produktivitas
sektor
manufaktur dan sektor jasa), openness (tingkat keterbukaan), foreign direct investment, persentase pekerja dengan tingkat pendidikan SMA/SMK keatas dan tingkat pengangguran.
28
Proses industrialisasi di Indonesia dimulai tahun 1980-an
Terjadinya perubahan struktur ekonomi dalam memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia
3.
1. menurunnya peran sektor pertanian 2. meningkatnya peran sektor manufaktur sektor jasa kurang lebih konstan, namun kontribusinya meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
Sejak tahun 2002 terjadi gejala deindustrialisasi
Pertumbuhan Produktivitas Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses deindustrialisasi Pendapatan per kapita
Saran implikasi kebijakan yang tepat atas fenomena terjadinya gejala deindustrialisasi Keterangan: Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung
Gambar. 3 Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Pengaruh faktor-faktor
yang diduga menyebabkan terjadinya proses
deindustrialisasi di Indonesia sangat signifikan. 2. Globalisasi ekonomi mempercepat terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.
29
2.5 Kerangka Pemodelan Secara garis besar model yang dibangun dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor domestik dan fakor global. Faktor domestik yang memengaruhi deindustrialisasi adalah national affluence (pendapatan per kapita) dan productivity growth (pertumbuhan produktivitas). Adapun faktor global yang diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi adalah openness (keterbukaan ekonomi) dan foreign direct investment (penanaman modal asing). Faktor global memengaruhi deindustrialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut skema kerangka pemodelan yang dibangun untuk menemukan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian. Pendapatan per kapita (national affluence)
Pertumbuhan produktivitas (productivity growth)
Openness
Globalisasi ekonomi
PMA
Keterangan : Pangaruh Langsung Pengaruh tidak langsung
Gambar. 4 Kerangka Pemodelan
Deindustrialisasi
30
Halaman ini sengaja dikosongkan
3. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Data sekunder yang digunakan antara lain Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha, PDRB menurut penggunaan, jumlah penduduk, jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Sedangkan data penanaman modal asing diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Cakupan penelitian ini adalah seluruh wilayah Indonesia yang tercakup ke dalam 26 provinsi selama periode 2000-2009. Data yang digunakan merupakan data masing-masing provinsi selama kurun waktu tahun 2000-2009 dan berupa data riil atau sudah merujuk pada tahun dasar tertentu. Tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000. Provinsi yang mengalami pemekaran dikembalikan lagi ke provinsi induknya. Pengolahan data menggunakan software Stata 9.0.
3.2
Definisi Operasional Berdasarkan latar belakang, permasalahan, serta tujuan dan didukung
dengan tinjauan pusaka, maka ada beberapa variabel yang relevan digunakan dalam penelitian. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 6. Nama variabel dan satuannya yang digunakan dalam penelitian Nama Variabel
Keterangan
Sumber
Satuan
RME
Relative Manfacturing Employment
BPS
Persen
NA
National Affluence
BPS
-
PG
Productivity Growth
BPS
Persen
OPN
Openness
BPS
Persen
U
Unemployment
BPS
Persen
HC
Human Capital
BPS
Persen
PMA
Penanaman Modal Asing
BKPM
Persen
32
Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Relative Manufacturing Employment (RME) adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja. b. National Affluence (NA) adalah pendapatan per kapita, diukur dari pendapatan domestik regional bruto dibagi dengan jumlah penduduk. c. Productivity Growth adalah pertumbuhan produktivitas, dimana ukuran productivity growth dari nilai tambah (output) sektor manufaktur per pekerja dikurangi nilai tambah (output) sektor jasa per pekerja. d. Openness merupakan tingkat keterbukaan perdagangan internasional yang didekati dengan persentase ekspor ditambah impor terhadap produk domestik regional bruto. Impor barang dan jasa merupakan transaksi perdagangan barang dan jasa dari bukan penduduk (non residen) ke penduduk (residen). Ekspor barang dan jasa merupakan transaksi perdagangan barang dan jasa dari penduduk (residen) ke bukan penduduk (non residen). e. Unemployment (Pengangguran) atau sering disebut sebagai failure effect (Alderson, 1999) adalah tingkat rata-rata pengangguran merupakan persentase jumlah penduduk yang menganggur terhadap total pekerja. f. Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan fixed capital gross yang didekati dengan persentase realisasi foreign direct investment (penanaman modal asing) terhadap produk domestik regional bruto. g. Human capital merupakan proporsi pekerja terampil (pekerja dengan tingkat pendidikan sekolah menengah ke atas) terhadap total pekerja.
3.3 Metode Analisis 3.3.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan analisis sederhana yang bertujuan mendiskripsikan
dan
mempermudah
penafsiran
yang
dilakukan
dengan
memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini dapat menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk
33
memberikan suatu gambaran secara umum mengenai kondisi perekonomian di Indonesia dan karakteristik variabel-variabel yang terkait dalam penelitian.
3.3.2 Regresi Data Panel Dalam melakukan analisis ekonomterik, dapat digunakan data time series, data cross section, atau data panel. Data panel (longitudinal data) merupakan data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dengan kata lain, data panel merupakan unit-unit individu yang sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T periode waktu (t = 1,2,...,T) yang kecil dan n jumlah individu (i = 1,2,...,n) yang besar. Namun tidak menutup kemungkinan sebaliknya, yakni data panel terdiri atas periode waktu yang besar dan jumlah individu yang kecil. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Melalui analisis data panel, kita dapat menangkap perilaku sejumlah individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang waktu yang terdiri atas unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar individu maupun antar waktu digambarkan dalam model dengan intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda. Nilai intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda ini berasal dari pengaruh variabel yang tidak termasuk dalam variabel penjelas dalam persamaan regresi biasa.
34
Menurut Baltagi (2005), beberapa keuntungan penggunaan data panel adalah sebagai berikut : 1. Data panel mampu mengontrol heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogenity), 2. Data panel dapat memberikan data yang intensif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat kebebasan dan lebih efisien, 3. Data panel lebih baik untuk studi dynamics of adjustment, 4. Data panel mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja, 5. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak.
Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) (Baltagi, 2005). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan variabel bebas. Misalkan : yit i X it it
(3.1)
Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
it it uit
(3.2)
Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
it it it uit (3.3) Pada pendekatan one way, komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( i ). Pada two way telah dimasukkan efek dari waktu ( t ) ke dalam komponen error.
Komponen uit diasumsikan tidak
berkorelasi dengan X it . Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan t dengan X it . Uji yang digunakan dalam penentuan kedua metode ini adalah uji Hausman.
35
3.3.2.1 Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan ketika antara efek individu ( i ) dan efek dari waktu ( t ) memiliki korelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu ( i ) dan efek waktu ( t ) menjadi bagian dari intersep, yaitu: a. Untuk one way error component: yit i i X it uit
(3.4)
b. Untuk two way error component: yit it it it X it uit
(3.5)
Penduga FEM secara umum dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model: yit it X it uit
(3.6)
dimana i bersifat konstan untuk semua observasi, atau i , yang dirumuskan sebagai :
ˆ y ˆx
(3.7)
1 N T ~ ~ xit yit NT i 1 t 1 ˆ 1 N T ~2 xit NT i 1 t 1
(3.8)
N T Dengan x 1 NT .i 1 t 1 xit dan ~ xit xit x N T serta y 1 NT .i 1 t 1 yit dan ~ yit yit y
Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series, data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:
var
varuit N T ~2 x
i 1
t 1
(3.9)
it
Pendekatan dengan least square memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter
36
β yang dihasilkan dapat bersifat bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. Dugaan parameter β yang bersifat bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi (individu) yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi (individu) yang sama pada periode yang berbeda. 2. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana: T
T
t 1
t 1
yi T yit dan xi T 1 xit 1
dengan xit* xit xi dan yit* yit yi dan dengan membuat persamaan (3.6) dalam bentuk rata-rata, diperoleh: yi i xi' ui
(3.10)
Dengan mengurangi persamaan (3.6) dan (3.10), maka diperoleh yit yi i i xit xi ' uit ui
(3.11)
atau yit* xit*' uit* sehingga dapat dihitung penduga Within Group sebagai
ˆ WG
1 N T * * xit yit NT i 1 t 1 1 N T *2 xit NT i 1 t 1
(3.12)
Berdasarkan persamaan tersebut, FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki konstanta intersep. Kelebihan dari pendekatan WG adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien dibanding PLS. Kelemahan lain dari pendekatan WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant (efek individual) pada FEM sebagaimana terlihat dari tidak disertakannya konstanta intersep ke dalam model. 3. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini bertujuan merepresentasikan perbedaan intersep dengan membuat
37
dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable d git 1 (g=i).
yit i x'it uit 1d1it 2 d 2it .... N d Nit x'it uit (3.13) persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV. Kelebihan pendekatan LSDV adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome atau sulit menduga persamaan regresinya karena penggunaan peubah dummy yang terlalu banyak sehingga pada gilirannya dapat mengurangi derajat bebas. Selanjutnya untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak, atau untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS atau LSDV, dapat digunakan Ftest dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : 1 2 3 ... N H1 : minimal ada sepasang α yang tidak sama Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik yaitu: F
2 RDV RP2 NT N k . 2 1 RDV N 1
keterangan : 2 = koefisien determinasi LSDV RDV
RP2 = koefisien determinasi PLS k
= banyaknya peubah
Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. 4. Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari time-effect, sehingga
38
model dasar yang digunakan adalah: yit i t x'it uit
(3.14)
dengan γt merepresentasikan time-effect. Jika masing-masing pengaruh individu ( i ) dan time-effect ( t ) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah z sit 1 (s = t) peubah dummy yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan: yit 1d 1it 2 d 2it ... N d Nit g 2 z 2it ... g T zTit x'it uit
(3.15)
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.
3.3.2.2 Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana: a. Untuk one way error component: yit i X it uit i
(3.16)
b. Untuk two way error component: yit i X it uit i i
(3.17)
Beberapa asumsi yang digunakan dalam REM yaitu:
E uit i
E uit2 i
E i xit
E u E u u E E i2 xit
=0 = u2 = 0 for all i, t = 2
it
j
= 0 for all i, t , j
it
js
= 0 for i j or t s
i
j
= 0 for i j .
Untuk one way error component, i i dan untuk two way error component,
39
i i i . Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E i xit 0 . Untuk menguji asumsi ini yaitu dengan menggunakan Haussman Test. Karena berkaitan dengan ditolak atau tidak ditolaknya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas, maka Haussman Test dapat secara langsung digunakan untuk memilih antara FEM dan REM. Hipotesis yang digunakan dalam Haussman Test adalah sebagai berikut: H0 : E i xit 0 , tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (REM) H1 : E i xit 0 , ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (FEM) Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Haussman dan membandingkannya dengan Chi square. Statistik Haussman dirumuskan dengan : H REM FEM ' M FEM M REM REM FEM ~ (k2 ) 1
(3.18)
Keterangan : M = matrik kovarians untuk parameter β k = derajat bebas
Apabila nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 – tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Untuk menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimatror pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E xit , i 0 begitu juga dengan nilai ratarata error E xit , i 0 . 2. Pendekatan Generalized Least Square Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam
40
(between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai ratarata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi.
3.4 Spesifikasi Model Ekonometrik Berdasarkan pertimbangan dari beberapa penelitian terdahulu seperti Rowthorn dan Ramaswamy (1997,1999) dan Alderson (1997,1999), maka model faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia dengan merujuk pada penelitian Kollmeyer (2009) dan direpresentasikan ke dalam tiga persamaan adalah sebagai berikut: NAit 0 1Opnguna it 2PMAit 3HC it 4UN it it
(3.19)
PG it 0 1Opnguna it 2PMAit 3HC it 4UN it it
(3.20)
2
RME it 0 1NAit 2 (NA ) it2 3PG it 4 (PG ) it 5Opnguna it 6PMAit
7HC it 8UN it it
(3.21)
Keterangan : RME
i
: Proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen) : Pendapatan per kapita yang didekati dengan produk domestik regional bruto (PDRB) terhadap jumlah penduduk : Kuadrat pendapatan per kapita : Pertumbuhan produktivitas yang didekati dengan produktivitas sektor manufaktur dikurangi produktivitas sektor jasa : Kuadrat pertumbuhan produktivitas : Keterbukaan ekonomi (openness) yang diukur dengan ekspor ditambah impor terhadap produk domestik regional bruto (persen) : nilai realisasi penanaman modal asing terhadap produk domestik regional bruto (persen) : jumlah pekerja terampil yang ddiukur dengan jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SMA/SMK ke atas terhadap total pekerja (persen) : jumlah penduduk yang tidak bekerja terhadap total pekerja (persen) : Provinsi ke – i
t
: Tahun ke – t
NA NA2 PG PG2 Opnguna
PMA HC
UN
Sebelum melakukan estimasi ketiga persamaan diatas, ada dua hal yang harus dipertimbangkan terkait dengan multiple equation models. Salah satu hal yang mungkin muncul dalam multiple equation adalah terdapat hubungan dua
41
arah (timbal balik) dalam proses sebab akibat atau seringkali disebut dengan variabel bermasalah (problematic variable). Problematic variable ini akan berkorelasi dengan satu atau lebih dari disturbance terms dalam model, sehingga hasil dari estimasi dengan teknik regresi standar akan menghasilkan estimasi parameter yang bias dan tidak efisien. Untuk mengatasi problematic variable, kadangkala digunakan instrument variable (IV), seperti two-stage least squares (2SLS) atau three-stage least squares (3SLS) untuk menggantikan problematic variable dengan pendekatan (proxy) yang tepat. Akan tetapi model yang digunakan dalam penelitian ini tidak mempunyai pola sebab akibat atau hanya mempunyai hubungan yang searah, sehingga estimasi dengan menggunakan instrument variable (IV) tidak diperlukan. Model persamaan 3.21 merupakan model yang tidak mempunyai pola sebab akibat karena relative manufacturing employment hanya dipengaruhi oleh faktor domestik (domectic causes) dan faktor global (global causes), akan tetapi kedua faktor tersebut tidak memengaruhi terjadinya relative manufacturing employment. Hal ini berarti bahwa ketiga persamaan diatas (3.19 – 3.21) dapat diestimasi secara terpisah dengan menggunakan teknik regresi standar (Kollmeyer, 2009). Faktor domestik yang memengaruhi relative manufacturing employment merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri yang terdiri dari national affluence (pendapatan per kapita) dan productivity growth (pertumbuhan produktivitas) dari sektor manufaktur. Sedangkan faktor global merupakan faktorfaktor yang berkaitan dengan pengaruh global dalam memengaruhi relative manufacturing employment, yang diukur melalui tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing langsung (foreign direct investment) serta kontrol variabel yaitu human capital dan unemployment. Sehingga secara keseluruhan persamaan 3.21 dapat dipecah menjadi dua persamaan yang melihat hubungan tidak langsung (indirect model) dari faktor domestik dan faktor global dalam memengaruhi relative manufacturing employment yaitu sebagai berikut: 2
RME
it
0 1NA it 2 (NA ) it2 3 PG it 4 (PG ) it it
RME
it
0 1Opnguna
it
2 PMA
it
3 HC
it
4 UN
it
(3.22) it
(3.23)
Masalah lain yang mungkin timbul pada mulyiple equations adalah pada
42
saat disturbance terms dari masing-masing persamaan saling berkorelasi satu sama lain. Terjadinya korelasi antar disturbance terms dari masing-masing persamaan akan membuat estimasi parameter yang dihasilkan dengan teknik regresi standar menjadi tidak efisien. Terdapat dua uji untuk mengetahui ada tidaknya korelasi disturbance terms antara satu persamaan dengan persamaan lain, yaitu (1) uji Breusch-Pagan dimana hipotesis nolnya (H0) adalah disturbance terms antar persamaan independen dan (2) melihat matriks korelasi disturbance terms yang dihasilkan oleh masing-masing persamaan dengan menggunakan teknik regresi kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Pemilihan metode regresi yang tepat perlu dilakukan untuk mendapatkan model estimasi yang efisien, sehingga dalam penelitian ini digunakan data panel agar efisiensi dapat ditingkatkan. Data panel juga mampu mengontrol heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogenity). Heterogenitas dalam data panel dapat diatasi dengan penggunaan metode fixed effects maupun random effects. Pemilihan antara kedua metode tersebut juga untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara i (efek individu) dan
t (efek waktu) dengan X it . Uji yang digunakan dalam pemilihan antara metode fixed effect dan random effects adalah menggunakan uji Hausman. Menurut Hsiao (2003) ketika uji pemilihan fixed effect dan random effect tidak dapat ditentukan secara teoritis maka sebaiknya menggunakan metode random effect apabila data diambil dari sampel individu atau beberapa individu yang dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya. Namun apabila evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik menggunakan fixed effect model. Dikarenakan jumlah cross section dari persamaan yang akan diestimasi mencerminkan seluruh populasi (26 provinsi di Indonesia), maka secara teori dapat langsung digunakan fixed effects model. Regresi data panel juga harus memenuhi asumsi dasar bahwa estimasi parameter dalam model regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate), dimana var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas, tetapi apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan
43
heteroskedastisitas. Pendeteksian ada tidaknya autokorelasi pada model juga perlu dilakukan sehingga model regresi bersifat BLUE. Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Adanya autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari estimatornya, walaupun estimatornya tetap tidak bias. Penggunaan data panel dengan memasukan efek individu dan efek waktu tidak selalu dapat mengatasi masalah yang mungkin terkait dengan data panel. Masalah yang mungkin timbul dalam penggunaan data panel adalah adanya korelasi serial, korelasi spasial dan heteroskedastisitas. Untuk mengatasi adanya masalah tersebut, maka estimasi model dapat dilakukan dengan metode General Least Square (GLS) dengan kelemahan penduga estimasi GLS tidak memberikan nilai R-squared. Metode General Least Square (GLS) sebagai salah satu bentuk estimasi least
square
merupakan
bentuk
estimasi
yang
mampu
mengatasi
heteroskedastisitas dengan menghasilkan estimasi yang efisien serta masih bersifat unbiased dan konsisten. Sifat heteroskedastisitas potensial dimiliki oleh data cross-section. Terdeteksinya gejala heteroskedastisitas dalam data panel apabila menggunakan model estimasi Ordinary Least Square (OLS) akan mendapatkan hasil yang tidak efisien. Model estimasi GLS pada dasarnya melakukan transformasi error terms pada data dasar dan menerapkan model OLS terhadap data yang telah ditransformasi. Estimator fixed effects yang ditransformasi dapat ditulis dalam bentuk GLS dan tidak berhubungan dengan GLS dalam estimator random effects, yaitu
T ˆFE X iMX i 1
i
1
T
X i 1
i
My
i
dimana M I T
1 ee T
Estimator fixed effects menggunakan M sebagai matriks pembobot dibandingkan u2 2 2 2 2 2 u2 2 .. 2 E i i u2 I 2ee ' , i2 .. .. .. 2 2 .. u2 2 dimana i i 1 , i 2 ,...., iT
dan e 1
1 ... 1 . Transformasi error terms
44
dilakukan dengan data matriks X dikalikan dengan M menghasilkan data matriks baru yaitu X* yang merupakan deviasi dari rata-rata individu. Keakuratan dari estimasi model dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan akan keberadaan outlier dari data panel. Keberadaan outlier dalam penelitian ini dideteksi dengan menggunakan perintah hadimvo yang tersedia dalam software STATA. Nilai elastisitas memudahkan dalam menjelaskan peningkatan (penurunan) suatu variabel independent terhadap variabel dependent dalam kondisi ceteris paribus apabila data yang digunakan berbeda dalam penggunaan satuan antara satu variabel dengan variabel lain. Pengukuran nilai elastisitas dilakukan dengan cara nilai koefisien parameter suatu variabel independent dikalikan dengan rata-rata variabel independent tersebut terhadap rata-rata variabel dependent.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah Kebijakan Industri dalam Perekonomian Indonesia Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir tahun 1960-an merupakan starting point bagi pembangunan ekonomi dan industri yang berkelanjutan di Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno (orde lama) sampai dengan tahun 1966, pemerintah sangat mengintervensi dan memilih industri yang berorientasi ke dalam (inward looking) dalam mengembangkan strategi industrinya. Perhatian pemerintah terfokus pada pengembangan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang merupakan privatisasi perusahaan domestik dan nasionalisasi perusahaan asing serta bergerak di sektor manufaktur. Perusahaan BUMN tersebut didukung dengan kucuran kredit perbankan, subsidi, dan bantuan valuta asing (valas). Akan tetapi minimnya cadangan devisa nasional menyebabkan pemerintah menerapkan kontrol devisa, yang pada akhirnya menyebabkan kelangkaan bahan baku dan suku cadang impor (Kuncoro, 2007). Selama periode pemerintahan Soekarno sampai tahun 1966, Indonesia masih tergolong negara yang tertinggal dalam hal pembangunan (least developing country). Perekonomian mengalami stagnasi akibat inflasi yang sangat tinggi, ketidakstabilan politik, defisit anggaran yang tak terselesaikan serta campur tangan pemerintah dalam pasar yang sangat kuat menghasilkan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan industri nasional. Pada periode ini, investasi dalam sektor industri sangat kecil dan masih langkanya investasi asing (Kuncoro, 2007). Reformasi pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto (orde baru) dalam hal transformasi ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi industri dimulai pada awal tahun 1970. Dengan otoritas yang dimiliki pemerintah, maka program pembangunan lima tahun (PELITA) dilaksanakan. Pada tiga periode awal PELITA, pemerintah menyiapkan perubahan dari ekonomi yang berbasis pertanian ke ekonomi yang berbasis industri. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menggunakan surplus hasil minyak (oil booming) dan menarik investasi dari luar negeri (UU Penanaman Modal Asing No. I/1967). Sejarah industri manufaktur Indonesia, dapat dikatakan baru dimulai pada
46
era dimana harga minyak tinggi untuk pertama kalinya, yaitu sekitar tahun 1970. Sektor industri pada saat itu masih sangat terbelakang. Dari 14 negara di Asia Timur dan Asia Selatan, Indonesia adalah negara kedua yang paling tertinggal dalam hal pembangunan industri setelah Myanmar. Pada tahap awal perkembangan ini, industri di Indonesia sebagian besar berupa industri sederhana yang mengolah produk pertanian. United National Industrial Development Organization (UNINDO) membagi perkembangan industri Indonesia mejadi tiga fase, yakni fase stabilisasi dan pembaruan (1965-1975), fase industrialisasi yang didanai devisa minyak pada era oil bonanza (1975-1981), dan fase industrialisasi yang dimotori ekspor (1982-1997) (Gitaharie, et.al, 2007). Industrialisasi Indonesia baru dimulai pada fase kedua melalui kebijakan inward-looking yang ditekankan pada industri subtitusi impor (ISI), dimana barang-barang yang diproduksi dapat mengurangi atau meniadakan barang impor. Pada dasarnya strategi ini mirip dengan strategi perdagangan tertutup (autarky), yaitu melindungi industri pemula (the infant industry argument) dari pesaing melalui proteksi baik tarif maupun non-tarif. Proteksi diberikan agar industri dalam negeri dapat memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar sehingga dalam jangka panjang impor akan berkurang dan industri dapat bersaing di pasar global. Setelah industri mampu bersaing maka proteksi akan dicabut. Kebijakan ISI ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui proteksi terhadap sektor industri. Meningkatnya peranan sektor manufaktur selama tahun 1970-1984 menunjukkan rata-rata di atas 20 persen per tahun. Kondisi ekonomi yang tampak sehat, ternyata terhambat oleh jatuhnya harga minyak dimana pertumbuhan ekonomi pada tahun 1984-1989 yang mengalami pelambatan yaitu sekitar 4,1 persen per tahun. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi ekonomi yaitu mengganti kebijakan industri substitusi impor menjadi kebijakan promosi ekspor. Kebijakan promosi ekspor merupakan kebijakan yang menerapkan ekonomi terbuka (Tambunan, 2010). Adanya kebijakan liberalisasi ekonomi, ekspor mengalami peningkatan kembali dan perekonomian tumbuh dengan pesat. Pada periode 1981-1985 terjadi penurunan harga minyak, yang berdampak pada investasi, kebijakan pemerintah,
47
Periode Kebijakan
Periode Rehabilitasi dan Stabilisasi
Periode Periode Penurunan oil boom Harga Minyak (1972-1981) (1982-1985)
Periode Penurunan Harga Minyak (1986-1996)
Periode Krisis dan Pemulihan (1997-2004)
Pemulihan dan Pengembangan (2005-2009)
Prioritas Pengembangan Industri 2011
(1967-1972) Pengembangan Industri Substitusi Impor
Kebijakan Industri
Pengembangan industri Substitusi impor dengan pendalaman & pemantapan struktur industri Pengembangan industri melalui penguasaan teknologi di beberapa bidang (pesawat , mesin, perkapalan)
Orientasi
Inward-looking
Pengembangan industri substitusi impor dengan pendalaman & pemantapan struktur industri Pengembangan industri melalui penguasaan teknologi di beberapa bidang (pesawat , mesin, perkapalan) Pengembangan industri orientasi ekspor
Outward-looking
Revitalisasi, konsolidasi, dan restrukturisasi industri
Revitalisasi,
konsolidasi, dan restrukturisasi industri
Pengembangan industri berkeunggulan kompetitif dengan pendekatan kluster
Revitalisasi industri pupuk Revitalisasi industri gula Pengembangan kluster industri berbasis pertanian dan oleokimia Pengembangan kluster industri berbasis migas dan kondesat Pengembangan kawasan ekonomi khusus
Inward and Outward-looking
Sumber : Departemen Perindustrian (2006) diacu dalam Kuncoro (2007) dan Suplemen Bisnis Indonesia (Selasa, 11 Januari 2011)
Gambar 5. Perkembangan Kebijakan Industri Nasional
neraca pembayaran dan impor. Selanjutnya pemerintah menempuh kebijakan liberalisasi ekonomi dengan mempromosikan ekspor komoditi lain selain minyak atau produk non migas. Dalam mengganti kehilangan penerimaan dari minyak yang cukup besar, pemerintah melakukan devaluasi rupiah (26 persen pada tahun 1983 dan 45 persen pada tahun 1986). Kebijakan pemerintah tersebut dapat meningkatkan ekspor non migas. Pada tingkat makro selama periode 1983-1988, pemerintah menerapkan deregulasi sektor moneter dengan membuat kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan. Hasilnya banyak didirikan bank baru dan pemberian kredit meningkat. Anjloknya harga minyak dunia yang paling rendah terjadi pada tahun 1983. Keadaan ini memaksa pemerintah melakukan penyesuaian dalam hal kebijakan pajak dan moneter pada tahun 1984, sehingga mampu meningkatkan kembali masuknya investasi asing. Perubahan strategi industri substitusi impor (19701983) ke strategi promosi ekspor (1985) diakui sebagai langkah yang tepat dalam menghadapi krisis harga minyak yang semakin memburuk. Perubahan-perubahan mendasar di berbagai sektor seperti pinjaman lunak untuk kegiatan ekspor, penerapan kebijakan liberalisasi untuk menarik investasi asing, devaluasi rupiah, serta pengurangan aturan yang membebani swasta (debureaucratization package) merupakan kebijakan pengurangan proteksi sekaligus pintu bagi sistem ekonomi terbuka (Tambunan, 2010). Krisis ekonomi tahun 1997 memberikan dampak yang cukup besar pada sektor industri. Hal ini menyebabkan pemerintah menempuh kebijakan industri yang berorientasi pada inward dan outward looking dalam rangka pemulihan sektor industri. Strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis ini adalah revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri. Tahun 2005-2009 pemerintah fokus pada pemulihan dan pengembangan perekonomian. Salah satu prioritasnya adalah mengembangkan industri yang mempunyai keunggulan kompetitif dengan pendekatan kluster (Kuncoro 2007). Adapun prioritas pemerintah dalam hal pengembangan sektor industri pada tahun 2011, masih fokus pada revitalisasi industri yaitu industri gula dan pupuk, pengembangan klaster industri dan pengembangan kawasan ekonomi khusus. Selain itu, untuk mendorong tumbuhnya sektor industri pemerintah menyiapkan
49
paket insentif dan disinsentif untuk pengembangan industri prioritas. Kebijakan insentif yang dipersiapkan pemerintah yaitu tax allowance, tax holiday, kemudahan kredit, pembebasan PPnBM, pembebasan bea masuk barang modal, bahan baku dan komponen untuk peningkatan daya saing industri pertumbuhan tinggi.3 Uraian diatas menggambarkan dukungan pemerintah yang cukup banyak terhadap perkembangan industri di Indonesia. Pembangunan dan pengembangan industri terutama sektor manufaktur diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia.
4.2 Perkembangan Ekspor dan Impor di Indonesia Perekonomian Indonesia sampai saat ini masih sangat tergantung pada ekspor migas, karena sektor migas masih mempunyai peran penting sebagai surplus bagi neraca perdagangan luar negeri Indonesia. Hal ini terlihat dari ratarata neraca perdagangan (diukur dengan ekspor dikurangi impor) terhadap PDB selama periode 2000-2009. Selama periode tersebut rata-rata neraca perdagangan dengan migas sebesar 1,59 persen, lebih tinggi dibanding tanpa migas yaitu sebesar 1,36 persen (Tabel 7). Tabel 7. Neraca Perdagangan Migas dan Tanpa Migas, Tahun 2000 – 2009 Termasuk Migas
Tanpa Migas
Tahun Ekspor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Impor
Ekspor
Impor
62.124,00 33.514,80 47.757,40 27.495,30 56.320,90 30.962,10 43.684,60 25.490,30 57.158,80 31.288,90 45.046,10 24.763,10 61.058,20 32.550,70 47.406,80 24.939,80 71.584,60 46.524,50 55.939,30 34.792,50 85.660,00 57.700,90 66.428,40 40.243,20 100.798,60 61.065,50 79.589,10 42.102,60 114.100,90 74.473,40 92.012,30 52.540,60 137.020,50 129.197,30 107.894,20 98.644,40 116.510,00 96.829,20 97.491,70 77.848,50
Rasio Neraca Perdagangan Terhadap PDB Termasuk Tanpa Migas Migas 2,06 1,46 1,76 1,26 1,72 1,35 1,81 1,42 1,51 1,28 1,60 1,50 2,15 2,03 2,02 2,01 0,38 0,44 0,90 0,90
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah 3
Suplemen Bisnis Indonesia, ”Iming – iming itu bernama insentif”, 11 Januari 2011
50
Dapat dikatakan bahwa sejak berakhirnya oil boom pada awal dekade 80-an, pemerintah Indonesia berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi nasional pada migas, termasuk di dalam perdagangan luar negeri, khususnya ekspor. Sejak saat itu, pemerintah merubah kebijakan industrialisasinya dari substitusi impor ke promosi ekspor, khususnya ekspor produk-produk industri. Akan tetapi beberapa tahun terakhir kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekspor baik manufaktur maupun non manufaktur mengalami pertumbuhan yang negatif. Bahkan ekspor produk-produk industri manufaktur mengalami pertumbuhan yang negatif pada tahun 2009 yaitu sebesar -11,87 persen. Adanya krisis global pada 2008 turut memperburuk kinerja ekspor Indonesia (Tabel 8). Tabel 8. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Tahun 2005 – 2009 Uraian
2005
Nilai Ekspor (Juta US $) a. Manufaktur 42.769,20 b. Non Manufaktur 42.890,80 Laju Pertumbuhan Ekspor c. Manufaktur 13,74 d. Non Manufaktur 26,21 Nilai Impor (Juta US $) a. Manufaktur 32.495,20 b. Non Manufaktur 25.132,90 Laju Pertumbuhan Impor c. Manufaktur 19,61 d. Non Manufaktur 30,32
2006
Tahun 2007
2008
2009
47.898,70 52.899,90
52.878,40 61.222,30
58.028,30 78.992,10
51.137,50 65.372,50
11,99 23,34
10,40 15,73
9,74 29,03
-11,87 -17,24
33.394,90 27.584,80
40.704,40 33.685,60
82.600,80 46.469,10
64.949,50 31.765,70
2,77 9,76
21,89 22,12
102,93 37,95
-21,37 -31,64
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Dampak adanya krisis 2008 yang memengaruhi kinerja ekspor Indonesia menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Penyebab utama dari menurunnya kinerja ekspor Indonesia dikarenakan semakin menurunnya ekspor manufaktur Indonesia sehingga neraca perdagangan manufaktur menjadi defisit. Pada tahun 2008, neraca perdagangan manufaktur Indonesia defisit sebesar US $ 24.572,5 juta. Akan tetapi pada tahun 2009, neraca perdagangan manufaktur mengalami peningkatan walaupun masih defisit sebesar US $ 13.812,0 juta. Defisitnya neraca
51
perdagangan manufaktur menyebabkan neraca perdagangan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada beberapa tahun terakhir menjadi menurun. Walaupun pada tahun 2009 mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US $ 19.740,80 juta (Tabel 9). Tabel 9. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US $), Tahun 2005 – 2009 Tahun
Uraian
2005
Neraca Perdagangan Manufaktur Neraca Perdagangan Non Manufaktur Neraca Perdagangan (Trade Balance)
2006
2007
2008
2009
10.274,00 14.503,80 12.174,00
-24.572,50
-13.812,00
17.757,90 25.315,10 27.536,70
32.523,00
33.606,80
28.031,90 39.818,90 39.710,70
7.950,50
19.794,80
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Wie (2006) mengungkapkan bahwa kinerja ekspor hasil-hasil industri Indonesia sejak krisis ekonomi masih belum menggembirakan dan hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal (masalah dalam negeri) dibandingkan perkembangan faktor eksternal (pertumbuhan perdagangan dunia) yang kurang menguntungkan. 140
20
120
15
100
10
80
5
60
0
40
-5
20
-10
0
-15
Papua
Maluku
Sultra
Sulsel
Sulteng
Sulut
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
NTT
NTB
Bali
Jatim
DIY
Jateng
Jabar
DKI
Lam pung
Bengkulu
Sum sel
Jam bi
Riau
Sum bar
Sum ut
NAD
Im por
Ekspor
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 6. Rata-rata Pertumbuhan Ekspor – Impor menurut Provinsi, Tahun 2001 – 2009 Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan ekspor maupun impor di tingkat provinsi mengalami kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan ekspor selama periode tersebut sebesar 5,12 persen turun menjadi -1,17 persen.
52
Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor selama periode tersebut, mengalami penurunan dari 7,01 persen menjadi 2,86 persen. Apabila dilihat rata-rata pertumbuhan masing-masing provinsi, provinsi Sulawesi Barat mempunyai ratarata pertumbuhan ekspor tertinggi (17,29 persen) dan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai rata-rata pertumbuhan ekspor yang terendah (-9,99 persen). Selain itu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai rata-rata pertumbuhan impor tertinggi yaitu sebesar 126,64 persen. Adapun provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan rata-rata pertumbuhan impor terendah (Gambar 6). Tabel 10. Impor Menurut Golongan Penggunaan Barang, Tahun 2000 – 2009 TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Konsumsi 8,11 7,27 8,47 8,79 8,14 8,01 7,76 8,78 6,43 6,97
Bahan Baku 77,63 77,12 77,43 78,33 77,82 77,63 77,25 75,85 77,01 71,92
Barang Modal 14,25 15,60 14,10 12,88 14,04 14,36 14,99 15,37 16,56 21,11
Sumber : Badan Pusat Statistik , diolah
Apabila dilihat dari struktur impor non migas, Indonesia masih sangat tergantung pada impor barang-barang konsumsi dan industri (khususnya barangbarang modal) dan bahan baku serta penolong. Hal ini mencerminkan bahwa selama ini usaha pemerintah dalam industrialisasi belum berhasil mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor atas produk-produk tersebut. Terlihat pada Tabel 10, bahwa impor bahan baku dan penolong serta barang modal mempunyai porsi yang terbesar dibandingkan impor barang konsumsi. Selama periode 2000-2009, rata-rata impor bahan baku sebesar 76,80 persen, impor barang modal sebesar 15,33 persen, dan impor barang konsumsi sebesar 7,87 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor bahan baku sebesar 15,04 persen, impor barang modal sebesar 20,90 persen, dan impor barang konsumsi sebesar 12,41 persen selama periode 2001-2009. Ketergantungan Indonesia terhadap impor barang modal dan bahan baku mencerminkan bahwa industri pendukung
53
(middlestream) di Indonesia belum berkembang. Semakin ironis ketika bahan baku yang di impor Indonesia dalam bentuk sudah diolah setengah jadi merupakan bahan baku utama industri dalam negeri (Tambunan, 2006). Disisi lain dengan masih besarnya ketergantungan industri di Indonesia terhadap input impor, pada saat impor bahan baku dan barang modal menurun merupakan indikasi bahwa sektor industri di Indonesia sedang mengalami penurunan kinerja. Sektor manufaktur Indonesia mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap input impor. Hal ini mengindikasikan lemahnya keterkaitan industri dalam negeri. Selain itu, industri manufaktur terkonsentrasi di kota-kota besar terutama wilayah Jawa. Keadaan ini akan berdampak pada ketimpangan pendapatan regional dan menyebabkan urbanisasi. Selama ini pemerintah telah banyak melakukan usaha untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dengan membentuk Badan Ekspor Impor Indonesia. Akan tetapi, efektivitas langkah yang dilakukan pemerintah selama ini dalam upaya meningkatkan ekspor ternyata belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh para eksportir Indonesia. Menurut Word Bank (2004), penyebab utama lambannnya pertumbuhan ekspor adalah: 1. Daya saing biaya (cost competitiveness) yang merosot akibat apresiasi rupiah dan inflasi yang lebih tinggi dibanding inflasi mitra dagangnya. Menurut International Moneter Fund (IMF), biaya satuan pekerja di Indonesia saat ini 35 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Daya saing biaya dari industri-industri manufaktur Indonesia disebabkan oleh biaya transaksi domestik yang besar di Indonesia. 2. Investasi yang menurun. Iklim usaha Indonesia yang buruk menghambat pertumbuhan ekspor karena tidak bisa menarik investasi asing yang sebelum krisis justru merupakan pelaku utama dalam mendorong ekspor non migas, termasuk hasil-hasil industri. Langkanya investasi asing mengakibatkan tidak adanya penambahan kapasitas produksi, peremajaan mesin-mesin, perluasan jenis produk (diversifikasi) dan peningkatan mutu barang. Pengalaman pemerintahan orde baru menunjukkan betapa pentingnya investasi asing, yaitu PMA dalam peningkatan ekspor non-migas, khususnya ekspor hasil-hasil industri. Lonjakan ekspor yang menakjubkan dari China dalam 10 tahun
54
terakhir sebagian besar disebabkan oleh kegiatan yang berorientasi ekspor dari PMA di negara tersebut. 3. Persaingan internasional semakin tajam. China dan Vietnam merupakan pesaing yang kuat bagi Indonesia karena kedua negara tersebut bersaing dalam ekspor hasil-hasil industri padat karya yang sama dengan Indonesia. Misalnya industri tekstil, garmen, dan alas kaki, yang pada kenyataannya tumbuh lebih pesat dibanding ekspor Indonesia (Pangestu, 2005). 4. Fasilitasi perdagangan yang lemah. Berbagai hambatan di pelabuhan dan prasarana fisik merupakan salah satu faktor utama yang menambah biaya ekspor. Meskipun tarif penggunaan pelabuhan Indonesia relatif rendah, namun hampir semua ekspor Indonesia dalam kontainer disalurkan (transshippedi) melalui Singapura atau Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak mempunyai pelabuhan pendukung dan rendahnya efisiensi pelabuhan Indonesia.
4.3 Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) di Indonesia Pada akhir abad 19, aliran barang, modal, dan informasi lintas batas negara telah menciptakan suatu dinamika yang sangat kuat bagi terjalinnya integrasi global. Namun meletusnya perang dunia pertama yang diikuti dengan terjadinya depresi hebat (great depression) telah memperlambat proses integrasi dunia. Proses ini kembali berlanjut secara menyakinkan sejak 25 tahun yang lalu sebagaimana
ditandai
oleh kegairahan kegiatan perdagangan,
keuangan
internasional serta mobilitas manusia antar negara yang semakin tinggi. Kegiatan perdagangan merupakan pencetus awal terjadinya proses integrasi global dan kegiatan perdagangan antar negara telah memperlihatkan transformasi yang jelas, baik dari sisi komoditas yang diperdagangkan maupun dari sisi negara tujuan ekspor (UNDP, 2005). Keterbukaan ekonomi (openness) dapat dipandang sebagai kesempatan atau peluang untuk mengoptimalkan keuntungan yaitu keuntungan statis maupun dinamis dari perdagangan luar negeri serta dampak eksternal yang positif dari penanaman modal asing (Wie, 2002). Menurut UNDP (2005), ada tiga alasan yang mendorong semakin meningkatnya kegiatan perdagangan antar negara yaitu
55
1) perubahan kebijakan domestik yang dikombinasikan dengan berkembangnya teknologi, 2) hambatan impor seperti tarif dan investasi asing, semakin berkurang di negara berkembang, 3) turunnya biaya transportasi, komunikasi, dan teknologi informasi membuka kesempatan baru. Oleh sebab itu, semakin terbuka suatu daerah (dalam konteks ekspor dan impor) maka semakin tinggi pula tingkat investasi serta aliran barang dan jasa pada daerah tersebut. Hubungan khusus antara sumberdaya tenaga kerja, modal, dan sumberdaya daerah akan terkoordinasi secara sempurna oleh mekanisme pasar di mana perdagangan memainkan peran utamanya sebagai multiplier effect dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Pada saat multiplier effect tersebut mulai tersebar, akan tercipta insentif ekonomi untuk pembentukan investasi baru (Tambunan, 2010). Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan openness di tingkat provinsi mempunyai kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan openness di tingkat provinsi pada tahun 2001 sebesar 1,19 persen turun menjadi -5,25 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2009, openness Indonesia mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US $ 266.217,8 juta (0,86 persen) menjadi sebesar US $ 213.339,2 juta (0,82 persen). Selama periode 2000-2009, tingkat keterbukaan ekonomi (openness) Indonesia mencapai titik terendah pada tahun 2002 yaitu sebesar US $ 88.447,7 juta (Gambar 7). 0.90 0.85 0.80
0.82
0.75
0.75 0.73
0.70 0.65 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 7. Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) Indonesia, Tahun 2000 – 2009 Selama periode 2000-2009, provinsi Kalimantan Timur mempunyai rata-rata openness tertinggi yaitu sebesar 1,65 persen dan provinsi Sulawesi Tengah
56
merupakan wilayah dengan openness terendah yaitu sebesar 0,27 persen. Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi yang relatif terbuka dibandingkan dengan provinsi lainnya, diikuti oleh provinsi Papua, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah (Gambar 8). 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
KalTim Pap u a DKI Jaten g Jab ar R iau Jamb i Jatim DIY B ali KalSel KalTen g Su mu t NTT Lamp u n g Su msel Su lUt KalB ar NAD NTB Su lSel Su lTra B en g k u lu M alu k u Su mb ar Su lTen g
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 8. Rata-rata Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) menurut Provinsi, Tahun 2000 – 2009 Tingkat keterbukaan regional (daerah) sangat berkorelasi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tingkat keterbukaan ekonomi memberikan ruang terbuka bagi pemerintah daerah untuk tidak melakukan proteksi terhadap daerahnya yang ditandai dengan perdagangan tertutup. Sebab semakin tinggi tingkat keterbukaan suatu daerah maka investasi yang masuk semakin meningkat dan masyarakat semakin sejahtera, dengan ditandai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan meningkatkan keterbukaan ekonomi, setiap daerah harus dapat menentukan potensi ekonomi yang dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi daerahnya sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. China merupakan salah satu negara yang cukup berhasil dalam mendorong kegiatan perdagangan dan investasi berkat komitmennya untuk melakukan modernisasi dan membuka perekonomian yang mulai dilakukan sejak tahun 1970an (Drysdale, 2002). Begitu juga dengan Vietnam, merupakan salah satu negara yang berhasil dalam memanfaatkan keterbukaan ekonomi dan saat ini berada dalam tahap transisi menuju ekonomi pasar (market economy). Sejak reformasi ekonomi yang dilakukan pada tahun 1980-an, Vietnam secara bertahap
57
mengambil manfaat dari kegiatan perdagangan dan investasi.
4.4 Peranan Investasi Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia Investasi baik domestik maupun asing disinyalir mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi pengangguran. Fakta yang terjadi saat ini, rasio investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto) terhadap PDB di Indonesia masih sangat kecil. Selama periode 2005-2009, rata-rata rasio investasi terhadap PDB sebesar 24,38 persen. Sedangkan rata-rata rasio konsumsi terhadap PDb sebesar 66,13 persen. Oleh karenanya investasi harus didorong, sebab pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi, melainkan harus ditopang investasi (Gambar 9). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2005 K ons um s i
2006 P M TB
2007 E s kpor
2008
2009
Im por
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 9. Struktur Pembentuk PDB Indonesia (persentase), Tahun 2005 – 2009 Dalam konteks pembangunan ekonomi, investasi mempunyai peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya investasi baik domestik maupun asing membutuhkan iklim bisnis yang kondusif. Secara umum, masuknya aliran investasi sangat tergantung pada investment attractiveness dan iklim investasi serta iklim bisnis yang mendukung. Investasi asing (foreign direct investment/FDI) mempunyai peran penting dalam suatu pembangunan ekonomi, selain membawa unsur teknologi dan modal ekstra juga karena dalam banyak hal dapat membuka pasar baru bagi suatu perekonomian. Hal ini berarti kebijakan pemanfaatan pasar global dari pasar lokal sebagai suatu sumber investasi menjadi sangat strategis dalam menentukan peningkatan pendapatan. Suatu investasi asing (FDI) tergantung banyak pada tiga
58
hal agar berjalan efektif. Ketiga hal tersebut adalah (1) iklim ekonomi makro yang stabil baik harga, nilai tukar dan organisasi buruh, (2) kondisi fisik infrastruktur (jalan, listrik, air bersih, jembatan), dan (3) human research development, pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan. Kualitas dari ketiga hal tersebut akan menentukan produktivitas investasi termasuk investasi asing (FDI). Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat investasi dan lambatnya pertumbuhan ekspor Indonesia disebabkan oleh kendala-kendala di sisi penawaran yang pada akhirnya bermuara pada apresiasi nilai tukar, ekonomi biaya tinggi (termasuk kondisi infrastruktur yang buruk, pungutan liar, biaya logistik), serta perubahan pola investasi dari sektor tradeable (umumnya sektor komoditi ekstraktif) ke sektor non-tradeable (umumnya sektor konstruksi, transportasi, dan komunikasi) (Tambunan, 2010). Tabel 11. Nilai Realisasi Investasi Asing Menurut Sektor, Tahun 2000 - 2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Realisasi Investasi Asing Primer Sekunder Tersier 1,17 48,19 50,64 4,49 62,40 33,12 3,32 50,87 45,80 4,65 34,50 60,85 6,70 60,93 32,37 4,47 38,22 57,31 8,89 60,41 30,70 5,80 45,42 48,79 2,26 30,36 67,38 4,28 35,42 60,30
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diolah
Selama periode 2000-2009, nilai realisasi investasi asing (PMA) mengalami perkembangan yang fluktuatif. Selain itu, sebagian besar investasi asing ditanamkan pada sektor tersier (sektor konstruksi, transportasi, dan komunikasi). Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa sektor sekunder (sektor industri) cenderung menurun kinerjanya. Selama periode 2000-2009, investasi asing di sektor tersier sebesar 48,73 persen sedangkan di sektor sekunder sebesar 46,67 persen. Pada tahun 2009, proporsi investasi asing (PMA) di sektor sekunder sebesar 35,42 persen dan menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 30,36 persen. Sedangkan proporsi investasi asing (PMA) di sektor
59
tersier pada tahun 2009 sebesar 60,29 persen dan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 67,38 persen. Walaupun peranan investasi asing (PMA) di sektor sekunder lebih kecil dibandingkan dengan peranan investasi asing (PMA) di sektor tersier, tetapi investasi asing (PMA) di sektor sekunder mengalami peningkatan. Selama periode 2000-2009, laju pertumbuhan investasi asing (PMA) di sektor sekunder sebesar -54,32 persen meningkat menjadi 15,15 persen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sektor sekunder mempunyai kinerja yang membaik (Tabel 11).
Bali Nus a 1.08%
Kalimantan 4.03%
Sulawes i 1.22%
Malpapua 0.68%
Sumatera 11.83%
Jawa 81.17%
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diolah
Gambar 10. Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Pulau, Tahun 2000 – 2009 Pada Gambar 10, terlihat bahwa investor asing lebih senang menanamkan modalnya di pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Pulau Sumatera merupakan pulau kedua yang dilirik oleh investor asing dalam menanamkan modalnya. Rata-rata proporsi nilai investasi asing selama tahun 2000-2009 di pulau Jawa sebesar 81,17 persen, sedangkan pulau Sumatera sebesar 11,83 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pulau-pulau lain masih kurang atraktif dalam menarik minat investor asing. Apabila dilihat dari rata-rata nilai investasi asing yang masuk di tingkat provinsi selama periode 2000-2009, investor asing lebih banyak menanamkan modalnya di provinsi DKI Jakarta (US$ 3.233,04 juta), Jawa Barat (US$ 2.270,42 juta) dan Jawa Timur (US$ 811,73 juta). Sedangkan wilayah yang kurang menarik bagi investor asing adalah provinsi Sulawesi Tenggara (US$ 0,66 juta) dan Sulawesi Tengah (US$ 1,72 juta). Iklim usaha dan investasi yang selalu mengedepankan isu efisiensi dan
60
efektifitas kinerja daerah dipercaya menjadi faktor utama yang menentukan tinggi/rendahnya kinerja sektor industri (Tambunan, 2010). Studi World Bank mengenai persepsi iklim investasi di Indonesia tahun 2007 menemukan bahwa sampai saat ini sudah terjadi banyak perkembangan positif iklim investasi di Indonesia. Dari 22 indikator permasalahan investasi yang ditemukan para pelaku usaha di lapangan, 19 indikator menunjukkan perbaikan dan hanya 3 indikator (ketersediaan sarana pendukung/infrastruktur, akses keuangan, dan pertanahan) yang mengalami ”perburukan” kinerja. Hasil tersebut menunjukkan masih banyak persoalan yang harus dibenahi untuk dapat menarik investor melakukan investasi di Indonesia.
4.5 Faktor – faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia Analisis data panel untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia menggunakan data 26 provinsi selama periode 2000-2009. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang independen satu sama lain, sehingga untuk meyakinkan bahwa masing-masing persamaan dapat diestimasi secara terpisah maka perlu dilakukan uji independence. Uji independence yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Breusch-Pagan dan correlation matrix. Hasil uji Breusch-Pagan memperlihatkan bahwa hipotesis nol tidak ditolak, yang artinya bahwa persamaan 3.19 – 3.21 mempunyai disturbance terms yang independen (χ2(3) = 3,874; P = 0,275). Matriks korelasi (correlation matrix) memperlihatkan hasil bahwa persamaan 3.19 dan 3.20 yang melihat efek tidak langsung (indirect effect model), mempunyai korelasi yang cukup kuat (r = 0,1287). Akan tetapi persamaan utama (3.21) tidak berkorelasi (independen) dengan persamaan lainnya (r = -0,000 dengan persamaan 3.19 dan r = -0,000 dengan persamaan 3.20). Gabungan hasil dari uji Breusch-Pagan dan matriks korelasi disturbance terms memperlihatkan bahwa setiap persamaan dapat dilakukan estimasi secara terpisah. Pemilihan metode regresi perlu dilakukan sebelum menentukan model estimasi yang terbaik. Uji hausman dilakukan untuk mengetahui metode regresi yang terbaik antara metode fixed effects model dan random effects model dalam
61
model estimasi data panel. Statistik uji hausman yang mengikuti distribusi chi square (χ2) dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam model digunakan untuk mengetahui metode yang tepat antara fixed effects model dan random effecst model. Berdasarkan hasil uji hausman diperlihatkan bahwa random effects model ditolak ( P > χ2 = 0.000 ). Hal ini menunjukkan bahwa fixed effects model lebih konsisten untuk mengestimasi model yang mempengaruhi faktor-faktor deindustrialisasi. Regresi data panel juga harus memenuhi asumsi dasar bahwa estimasi parameter dalam model regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate), yaitu bebas dari heteroskedastisitas dan autokorelasi. Uji wald digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dimana hasilnya menunjukkan ada heteroskedastisitas dalam data yang digunakan (P > χ2 = 0,000). Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan uji Wooldridge. Hasil dari Wooldridge test menunjukkan bahwa ada autokorelasi dalam data panel (P > F = 0,1373). Berdasarkan hasil uji pemilihan metode regresi memberikan kesimpulan bahwa metode Fixed Effects Model lebih konsisten dan efisien untuk model estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia. Akan tetapi dalam data panel yang digunakan ternyata terdapat heteroskedastisitas dan autokorelasi sehingga keadaan ini perlu diatasi agar diperoleh model yang efisien tetapi bersifat unbiased dan konsisten. Adanya heteroskedatisitas dan autokorelasi dalam data panel dapat diatasi dengan menggunakan metode General Least Square dalam melakukan estimasi. Secara keseluruhan estimasi model yang digunakan setelah melakukan pemilihan metode regresi dan melihat keberadaan heteroskedastisitas serta autokorelasi maka metode Fixed Effecst Generalized Least Square (FE-GLS). Keakuratan dari estimasi model dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan akan keberadaan outlier dari data panel. Hasil dari pemeriksaan ternyata terdapat outlier yang berasal dari variabel pendapatan perkapita untuk tiga provinsi yaitu provinsi Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur, sehingga semua data ketiga provinsi tersebut dikeluarkan. Model yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia pada
62
akhirnya menggunakan data panel yang terdiri dari 23 provinsi selama periode 2000 sampai 2009. Metode regresi yang digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia adalah Fixed Effects General Least Square (FE-GLS). Tabel 12. Hasil Regresi Panel Data dengan Variabel Dependen Relative Manufacturing Employment Variabel Independen PDRB per kapita (NA) (PDRB per kapita)2 (NA2) Pertumbuhan produktivitas (PG) (Pertumbuhan produktivitas)2 (PG2)
Domestic Causes (Model 1) 4,16738*** (0,77555) -0,31214*** (0,06213) -0,13651*** (0,03363) 0,00095** (0,00043)
Openness (opnguna) PMA / Foreign Direct Investment Human Capital (HC) Unemployment (Un) Konstanta (C) Wald χ2
-3,04235 (2,18360) 46,13
Global Causes (Model 2)
0,05793*** (0,01083) 98,22012*** (27,70653) 0,07254 (0,04579) -0,03146 (0,08741) 1,41734 (1,55316) 61,11
Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0 Keterangan: Angka dalam kurung merupakan nilai standar error. Variabel dependen adalah relative manufacturing employment. * = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001
Berdasarkan Tabel 12, berikut ini diberikan ulasan untuk masing-masing model estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi dengan memisahkan antara faktor domestik (pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas) serta faktor global (keterbukaan ekonomi dan penanaman modal asing):
Model 1 : Domestic Causes Deindustrialization Model pertama merupakan model estimasi untuk melihat faktor domestik yang diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi. Berdasarkan dari hasil estimasi, diperlihatkan bahwa variabel pendapatan per kapita dan pertumbuhan
63
produktivitas secara statistik signifikan memengaruhi deindustrialisasi. Variabel pendapatan per kapita menunjukkan hubungan positif, artinya bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan share pekerja manufaktur. Tetapi kuadrat pendapatan per kapita mempunyai hubungan negatif, artinya bahwa peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya hingga mencapai tingkat tertentu akan menurunkan share pekerja manufaktur. Sedangkan pertumbuhan produktivitas mempunyai hubungan yang negatif tetapi kuadrat pertumbuhan produktivitas mempunyai hubungan yang positif. Seperti halnya pendapatan per kapita, peningkatan produktivitas pada awalnya akan menurunkan share pekerja manufaktur. Akan tetapi peningkatan produktivitas berikutnya akan meningkatkan share pekerja manufaktur. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur mempunyai hubungan jangka panjang dengan share pekerja manufaktur.
Model 2 : Global Causes Deindustrialization Model kedua merupakan model estimasi untuk melihat faktor globalisasi ekonomi yang diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi. Berdasarkan hasil estimasi dari model kedua, diperoleh bahwa faktor globalisasi ekonomi yang diwakili dengan tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing langsung (foreign direct investment) – selanjutnya disebut sebagai penanaman modal asing (PMA) mempunyai hubungan yang positif dan secara signifikan memengaruhi share pekerja manufaktur (relative manufacturing employment). Hal ini menandakan bahwa semakin terbuka suatu perekonomian daerah dan semakin banyak investasi asing masuk maka akan meningkatkan share pekerja manufaktur. Artinya faktor globalisasi ekonomi yaitu openness dan foreign direct investment memengaruhi terjadinya deindustrialisasi. Selain itu, variabel tenaga kerja terampil (human capital) mempunyai hubungan yang positif walaupun secara statistik tidak signifikan. Sehingga peningkatan jumlah tenaga kerja terampil akan meningkatkan share pekerja manufaktur. Sedangkan variabel pengangguran (unemployment) mempunyai hubungan negatif tetapi tidak signifikan, artinya peningkatan jumlah pengangguran akan diikuti dengan penurunan share pekerja manufaktur.
64
Sedangkan kedua model estimasi (indirect model) berikut untuk melihat pengaruh globalisasi ekonomi yang secara tidak langsung diduga memengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia (Tabel 13).
Model 3 Model 3 (indirect model) merupakan model estimasi untuk melihat hubungan antara globalisasi ekonomi dengan kesejahteraan daerah (yang didekati dengan PDRB per kapita). Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa variabel openness dan human capital mempunyai hubungan positif dan signifikan secara statistik dengan pendapatan per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kedua variabel tersebut maka akan meningkatkan kesejahteraan (pendapatan per kapita). Adapun variabel investasi asing langsung (PMA) dan variabel unemployment (pengangguran) mempunyai hubungan positif dengan pendapatan per kapita akan tetapi tidak signifikan secara statistik. Artinya bahwa
peningkatan
investasi
dan
pengangguran
akan
menyebabkan
kesejahteraan daerah (pendapatan per kapita) juga meningkat. Tabel 13. Hasil Estimasi Panel Data untuk Indirect Effect Model Variabel Independen Openness (opnguna) PMA / Foreign Direct Investment Human Capital (HC) Unemployment (Un) Konstanta (C) Wald χ2
Indirect Effect Model 3 (Y1) Model 4 (Y2) 0,02966*** 0,21073*** (0,00454) (0,05039) 5,89644 -58,98787 (11,62214) (128,86650) 0,09972*** 0,24594 (0,01921) (0,21298) 0,02183 2,10108*** (0,03666) (0,40654) 0,7636 -22,74487** (0,65151) (7,22395) 70,53 43,91
Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0 Keterangan: Angka dalam kurung merupakan nilai Standar Error. Variabel dependen masing-masing adalah Y1= national affluence; Y2= productivity growth. Variabel kontrol dimasukan ke dalam semua model. * = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001
65
Model 4 Adapun model 4 (indirect model) merupakan model estimasi yang ingin melihat hubungan antara pertumbuhan produktivitas dengan globalisasi ekonomi. Variabel openness dan unemployment mempunyai hubungan yang positif dan signifikan memengaruhi pertumbuhan produktivitas. Hal ini memperlihatkan bahwa keterbukaan ekonomi (openness) yang semakin meningkat
menyebabkan
peningkatan
dalam
produktivitas
di
sektor
manufaktur, artinya sektor manufaktur dapat mencapai efisiensi dalam proses produksi serta mampu bersaing di pasar global. Dan peningkatan pengangguran (unemployment) akan menyebabkan produktivitas sektor manufaktur juga meningkat, artinya bahwa sektor manufaktur lebih banyak pada aktivitas industri yang padat modal. Misal dengan menerapkan automation atau labor-saving technologies. Sedangkan variabel human capital menunjukkan hubungan yang positif tetapi tidak signifikan secara statistik. Dengan adanya labor-saving technologies maka diperlukan tenaga kerja yang terampil. Sehingga permintaan akan tenaga kerja tidak terampil menurun, keadaan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran. Adapun variabel investasi asing (PMA) menunjukkan hubungan yang negatif (tidak sesuai harapan) dan tidak signifikan secara statistik. Hal ini dapat dijelaskan dengan menurunnya investasi asing (PMA) yang masuk ke Indonesia. Selain itu proporsi investasi asing (PMA) yang masuk di sektor sekunder (industri) lebih kecil dibandingkan proporsi investasi asing (PMA) yang ditanamkan di sektor tersier (jasa).
Berdasarkan Tabel 14, merupakan model estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung (combined model):
Model 5 : Combined model Berdasarkan hasil estimasi terhadap model 5 (combined model), diperoleh bahwa hampir semua variabel independen menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik pada taraf nyata (α) 5 persen dan sejalan dengan penelitianpenelitian terdahulu (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997,1999; Alderson,
66
1997,1999; Saeger, 1997; Kollmeyer, 2009). Hanya variabel human capital mempunyai hubungan yang positif tetapi tidak signifikan berpengaruh terhadap
relative
manufacturing
employment.
Sedangkan
variabel
unemployment (pengangguran) mempunyai hubungan positif tetapi signifikan pada taraf nyata 5 persen dalam memengaruhi relative manufacturing employment. Hasil dari estimasi model menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi memengaruhi deindustrialisasi secara langsung dengan besaran koefisien yang cukup besar. Tabel 14. Hasil Estimasi Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia, Tahun 2000–2009 Variabel Independen PDRB per kapita (NA) (PDRB per kapita)2 (NA2) Pertumbuhan produktivitas (PG) (Pertumbuhan produktivitas)2 (PG2) Openness / (opnguna) PMA/ Foreign Direct Investment Human Capital (HC) Unemployment (Un) Konstanta (C) Wald χ2
Combined Model 3,72805*** (0,69528) -0,31598*** (0,05468) -0,17660*** (0,03035) 0,00146*** (0,00036) 0,08957*** (0,00994) 62,06371** (24,02833) 0,04541 (0,04265) 0,19477* (0,08208) -9,81584*** (2,11140) 186,98
Elastisitas 3,66 -4,9 -0,71 1,04 0,84 0,09 0,21 0,14 -
Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0 Keterangan : Angka dalam kurung merupakan nilai Standar Error. * = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001
Berikut ini akan diberikan ulasan untuk masing-masing variabel independen yang memengaruhi relative manufacturing employment berdasarkan pada estimasi combined model yaitu :
67
a. Pendapatan Per Kapita Berdasarkan hasil estimasi model 5 (combined model) diperoleh hubungan non linear antara pendapatan per kapita dengan proporsi pekerja manufaktur yaitu
membentuk
kurva
U-terbalik
(inverted
U-shape).
Hal
ini
mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur. Tetapi pada batas kemakmuran tertentu penambahan peningkatan pendapatan per kapita akan menurunkan proporsi pekerja manufaktur. Keadaan ini menandakan bahwa secara keseluruhan perekonomian di Indonesia mengalami perlambatan dikarenakan
mengalami
sejumlah
goncangan
(shock)
dalam
sistem
perekonomian. Hasil ini mendukung analisis deskriptif Aswicahyono (2004) yang menyatakan bahwa terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia bukanlah dampak dari keberhasilan pembangunan ekonomi melainkan disebabkan karena adanya sejumlah goncangan (shock) dalam sistem perekonomian. Berdasarkan hasil penelitian ini, sejumlah guncangan perekonomian terhadap sistem perekonomian yang mendorong terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia adalah turunnya investasi asing langsung (foreign direct investment) dan menurunnya kinerja perdagangan luar negeri. Langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kembali peranan sektor manufaktur adalah dengan mengatasi guncangan tersebut sehingga tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa beberapa provinsi di Indonesia selama periode 2000-2009 telah mencapai titik balik (turning point) dalam pendapatan per kapitanya. Selama periode penelitian, pendapatan per kapita masing-masing provinsi di Indonesia mencapai turning point sebesar 5,89 juta per kapita. Pada tahun 2000, terdapat tujuh provinsi yang telah mencapai turning point yaitu provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Dibandingkan pada tahun 2000, pada tahun 2009 terdapat dua belas provinsi yang mencapai turning point, sehingga terdapat lima provinsi baru yang mencapai turning point yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
68
Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali dan Sumatera Barat. Secara keseluruhan pendapatan per kapita masing-masing provinsi selama tahun 2000-2009 terus mengalami peningkatan, akan tetapi cukup banyaknya provinsi yang mencapai turning point menandakan bahwa perekonomian Indonesia secara keseluruhan mengalami perlambatan. Hal ini terlihat dari hubungan non linear antara proporsi pekerja sektor manufaktur dengan pendapatan per kapita (national affluence) yang membentuk kurva U-terbalik (Gambar 11).
RME
O b se rve d
2 0 .0 0
Q u a d ra tic
1 5 .0 0
1 0 .0 0
5 .0 0
0 .0 0 2 .0 0
4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
NA
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 11. Scatter Plot National Affluence Employment, Tahun 2000-2009
dan Relative Manufacturing
b. Pertumbuhan Produktivitas Seperti halnya pendapatan per kapita, variabel pertumbuhan produktivitas juga menunjukkan hubungan non linear antara pertumbuhan produktivitas dengan proporsi pekerja manufaktur dengan membentuk kurva U. Hal ini mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi dengan pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur yang rendah akan menurunkan proporsi pekerja manufaktur. Akan tetapi seiring dengan peningkatan produktivitas sektor manufaktur akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur. Relatif cepatnya
69
peningkatan pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur berhubungan dengan peningkatan value added (nilai tambah) sektor manufaktur, sehingga permintaan akan tenaga kerja sektor manufaktur juga meningkat.
RME
O bserved
20.00
Q uadratic
15.00
10.00
5.00
0.00 0.00
50.00
100.00
150.00
PG
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 12. Scatter Plot Productivity Growth dan Relative Manufacturing Employment, Tahun 2000-2009 Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa selama periode 2000-2009 Indonesia telah mencapai titik balik (turning point) dalam hal pertumbuhan produktivitas. Selama periode penelitian, pertumbuhan produktivitas masing-masing provinsi di Indonesia mencapai turning point sebesar 60,49 dan belum ada satupun provinsi yang telah mencapai turning point produktivitasnya (Gambar 12). Hal
ini membuktikan bahwa
produktivitas sektor manufaktur di Indonesia secara keseluruhan masih rendah yang menyebabkan proporsi pekerja sektor manufaktur juga rendah. Akan tetapi selama periode tersebut terdapat dua provinsi yang hampir mencapai turning point produktivitasnya yaitu provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebesar 60,22 pada tahun 2000 dan provinsi Sumatera Selatan sebesar 55,20 pada tahun 2009.
70
c. Keterbukaan Ekonomi (Openness) Tingkat keterbukaan ekonomi (openness) yang diukur dengan ekspor ditambah impor mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan proporsi pekerja sektor manufaktur. Nilai elastisitas variabel openness sebesar 0,84. Artinya bahwa peningkatan openness sebesar 1 persen, ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,84 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang lebih terbuka dalam perekonomiaannya akan lebih baik dibandingkan perekonomian yang tertutup. Semakin meningkat keterbukaan ekonomi (openness) suatu daerah atau negara mengindikasikan bahwa kinerja perdagangan daerah atau negara tersebut meningkat. Dengan meningkatnya kinerja perdagangan terutama ekspor manufaktur, secara tidak langsung mengindikasikan bahwa produkproduk manufaktur lokal dapat bersaing. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat seiring dengan meningkatnya demand produk manufaktur. d. Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment) Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) yang didekati dengan nilai realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan proporsi pekerja manufaktur. Nilai elastisitas PMA sebesar 0,09. Hal ini berarti bahwa peningkatan 1 persen pada investasi asing, ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,09 persen. Sehingga semakin banyak investasi asing yang masuk ke dalam
suatu
daerah
atau
negara,
terutama
di
sektor
manufaktur
mengakibatkan proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa investasi asing yang ditanamkan di sektor manufaktur memberikan efek yang positif dengan menyerap banyak tenaga kerja. e. Human Capital Variabel human capital mempunyai hubungan yang positif dengan proporsi pekerja manufaktur, akan tetapi tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkat ketrampilan tenaga kerja yang tersedia, maka proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat. Artinya bahwa tenaga kerja yang terampil mampu meningkatkan produktivitas, karena
71
efisiensi dapat tercapai dalam proses produksi sehingga output meningkat. Oleh karenanya meningkatkan ketrampilan tenaga kerja merupakan salah satu bentuk investasi jangka panjang. f.
Pengangguran (Unemployment) Hubungan variabel unemployment (pengangguran) dengan proporsi pekerja manufaktur menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen. Nilai elastisitas variabel unemployment sebesar 0,21 artinya bahwa apabila pengangguran meningkat sebesar 1 persen, ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,21 persen. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Alderson (1997,1999) dan
Kollmeyer
(2009),
yang
menyimpulkan
bahwa
peningkatan
pengangguran akan menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara maju. Akan tetapi hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Kassem (2010) dengan judul ”Premature Deindustrialization–The Case Of Colombia”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perlambatan kegiatan perekonomian tidak selalu diterjemahkan dengan pengangguran, karena peraturan atau hukum yang tidak fleksibel menyebabkan biaya tinggi bagi perusahaan untuk menyesuaikan perubahan permintaan tenaga kerja terhadap pengangguran. Bazen dan Thirlwall (1989) menyebutkan bahwa fokus terhadap pekerja sektor manufaktur sangat berguna untuk melihat peningkatan pendapatan pada level
produktivitas pekerja dan hubungan antara
industrialisasi dan penciptaan tenaga kerja. Sehingga deindustrialisasi positif tidak
menyebabkan
deindustrialisasi
bertambahnya
negatif
dapat
pengangguran
menyebabkan
dan
sebaliknya
bertambahnya
jumlah
pengangguran (Jalilian dan Weiss, 2000). Gambar 13 juga memperkuat argumen tersebut, bahwa sejak tahun 2004 laju pertumbuhan pengangguran cenderung mempunyai pola yang sama dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Selama periode 2004-2009, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri sebesar 2,76 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan jumlah angkatan kerja (2,44 persen) dan pengangguran (-1,35 persen). Hal ini menyiratkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor industri semakin meningkat akan tetapi peningkatan jumlah
72
tenaga kerja relatif konstan. Selain itu, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja sektor industri informal (3,87 persen) lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan tenaga kerja sektor industri formal (2,76 persen) selama periode 2004-2009. 40 30 20 10 0 -10
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
-20 Pengangguran
Naker Industri Formal
Naker Total
Naker Industri Informal
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 13. Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Pengangguran di Indonesia, Tahun 2001 – 2009
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir merupakan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan yang sangat maju melainkan lebih disebabkan oleh guncangan (shock) terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah turunnya investasi asing langsung (foreign direct investment) khususnya nilai realisasi penanaman modal asing (PMA) di sektor sekunder (manufaktur) dan menurunnya kinerja perdagangan luar negeri terutama ekspor manufaktur. Selain itu deindustrialisasi negatif yang terjadi di Indonesia ditandai dengan pendapatan per kapita yang stagnan (pertumbuhan ekonomi yang melambat) dan masih tingginya tingkat pengangguran. 2. Globalisasi ekonomi yang diwakili dengan tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing langsung (foreign direct investment) turut menyumbang deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing langsung mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia melalui peningkatan pendapatan per kapita dan produktivitas sektor manufaktur. Secara langsung dengan meningkatnya produktivitas maka produk manufaktur mampu bersaing di pasar global. Selain itu dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan demand produk manufaktur, sehingga output juga meningkat. Seiring dengan peningkatan output maka permintaan akan tenaga kerja juga akan meningkat. 3. Berdasarkan hasil regresi data panel, memperlihatkan bahwa human capital mempunyai pengaruh terhadap deindustrialisasi. Tenaga kerja yang diperlukan di sektor manufaktur merupakan tenaga kerja yang terampil sehingga dapat
74
meningkatkan efisiensi. Selanjutnya peningkatan human capital akan meningkatkan kesejahteran daerah, hal ini menandakan bahwa human capital merupakan investasi jangka panjang.
5.2. Implikasi Kebijakan Sejarah industrialisasi di
Indonesia memperlihatkan bahwa sektor
manufaktur mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya perlu diambil langkah-langkah kebijakan yang tepat sasaran dalam mengatasi sejumlah guncangan perekonomian yang berdampak pada terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang dituliskan sebelumnya, beberapa saran kebijakan dapat dituliskan sebagai berikut: 1. Keterbukaan ekonomi (openness) pada satu sisi dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, keterbukaan ekonomi dapat memperburuk kondisi ekonomi makro dan mikro. Agar keterbukaan ekonomi tidak memperburuk kondisi perekonomian, maka diperlukan suatu kerangka paket kebijakan ekonomi yang menyeluruh baik kebijakan fiskal maupun moneter. Sehingga perlu ada koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah terkait agar tercipta sinkronisasi dalam pelaksanaan paket kebijakan ekonomi tersebut. Menurunnya kinerja ekspor pasca krisis 1997 menandakan bahwa deregulasi yang tepat perlu segera dilaksanakan. Dalam hal ini kebijakan ekspor dan impor tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus dilaksanakan secara bersamaan dan berimbang. 2. Peran investor asing dalam kegiatan produksi nasional perlu mendapat perhatian karena mereka mempunyai peran yang sangat penting, tidak hanya menambah pemasukan devisa tetapi juga dalam hal meningkatkan efisiensi produksi. Iklim investasi yang kompetitif perlu terus ditingkatkan misal dengan pelayanan satu atap sehingga menyingkat waktu dan meminimalkan biaya atau memberikan informasi yang cepat dan mudah diakses dari lokasi manapun. 3. Perbaikan infrastruktur yang menyeluruh terutama infrastruktur perdagangan luar negeri perlu mendapat perhatian, karena hal ini dapat mempengaruhi daya saing produk di pasar global. Dimana perbaikan infrastruktur mempunyai
75
pengaruh timbal balik antara ekspor dan impor serta mengurangi faktor-faktor yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). 4. Peningkatan daya saing merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing misalnya dengan mendorong kreatifitas dan peningkatan kualitas produk, menghilangkan distorsi pasar tenaga kerja dan meningkatkan tenaga kerja terampil melalui link and match antara akademisi dan para pelaku industri. 5. Pemerintah melalui kebijakan moneter dan perbankan sebaiknya menurunkan suku bunga kredit acuan agar pelaku industri manufaktur tidak mengandalkan kredit dari bank luar negeri yang akan menambah beban hutang luar negeri swasta. Dengan suku bunga kredit acuan yang rendah diharapkan investasi di sektor manufaktur dapat bergairah.
5.3.Saran Penelitian Lebih Lanjut 1. Saran yang berkaitan dengan metodologi adalah menganalisis fenomena deindustrialisasi dengan metode Computable General Equilibrium (CGE) agar dampak deindustrialisasi yang terjadi terhadap semua variabel ekonomi yang saling berkaitan dapat diketahui secara langsung. 2. Saran yang berkaitan dengan substansi adalah menggunakan data sektor manufaktur yang dibagi menurut sub sektor, sehingga dapat dilihat sub sektor industri apa saja yang mengalami deindustrialisasi. Atau menambahkan variabel lain yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi.
76
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA Alderson, A. 1997. Globalization and Deindustrialization: Direct Investment and the Decline of Manufacturing Employment in 17 OECD Nations. Journal of World- Systems Research. Vol. 3 (1): 1-34. Alderson, A. 1999. Explaining Deindustrialization: Globalization, Failure, or Success? American Sociological Review. Vol. 64 (5): 701-721. Aswicahyono, H. 2004. De-industrialization. The Indonesian Quarterly. Vol. 32(1): 252-254. Basri F, Munandar H. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, Dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta. Penerbit: Kencana Pernada Media Group. Bluestone B, Harrison B. 1982. The Deindustrialization of American: Plant Closings, Community Abandonment and the Dismantling of Basic Industry. New York: Basic Books. [BPS] Badan Pusat Stastistik, 2009. Statistik Industri Besar dan Sedang 2009. BPS. Jakarta. Baltagi, B.H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons LTD. England. Clark C. 1957. The Conditions of Economics Progress. Third Editions. London: Macmillan. Dewi, D.A. 2010. Deindustrialisasi Di Indonesia 1983-2008: Analisis Dengan Pendekatan Kaldorian [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dasgupta S, Singh A. 2005. Will Service be the New Engine of Indian Economic Growth. Journal of Development and Change Institute of Social Studies. Vol. 36:1035-1057. Dasgupta S, Singh A. 2006. Manufacturing, Services and Premature Deindustrialization in Developing Countries: A Kaldorian Analysis. Research Paper United Nation University. No.2006/49:1-18. UNUWIDER. Drysdale, P. 2002. “China, the WTO and East Asian Economic Diplomacy”, in P. Drysdale and K. Ishigaki (eds.), East Asia Trade and Financial Integration: New Issues. Asia Pacific Press and The Australian National University, Canberra: 129-143.
78
Dasril ASN. 1993. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor Pertanian dalam Industrialisasi di Indonesia, 1971-1990 [disertassi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gitaharie, B. Y, et.al. 2007. Peningkatan Kinerja Industri Manufaktur di Indonesia Melalui Penurunan High Cost Economy Periode 1990-2003. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Vol. VIII (1): 91-211. Hsiao, C. 2003. Analysis of Panel Data. Second edition. Cambridge University Press. Cambridge. Jalilian H, Weiss J. 2000. De-industialization in Sub-Saharan: Myth or Crisis? Journal of American Economies. Vol. 9(1): 24-43. Knell M. 2004. Structural Change and The Kaldor-Verdoorn Law in the 1990s. Reveu D’Economie Industrielle. Vol. 105 (1): 71-83. Kassem, D. 2010. Premature Deindustrialization-The Case Of Colombia. Discussion Paper Series. Yokohama National University. No. 2010CSEG-06. Kollmeyer, C. 2009. Explaining Deindustrialization: How Affluence, Productivity Growth, and Globalization Diminish Manufacturing Employment. American Journal of Sociology. Vol. 114(6): 1644-74 Kuncoro M. 2007. Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara Industri Baru 2030?. Yogyakarta: Penerbit ANDI. LP3ES. 14 Januari 2008. Titik Nadir Deindustrialisasi. Analisis Berita. Volume I, (78). http://www.lp3es.or.id. [24 Desember 2010] Logan JR, Swanstrom T. 1990. Beyond City Limit: urban Policy and Economic Restructuring in Comparative Perspective. Philadelphia: Temple University Press. Pitelis C, Antonakis N. 2003. Manufacturing and Competitiveness: The Case of Greece. Journal of Economic Studies. Vol.30(5): 535-547. Pangestu, M. 2005. Developing the Trade Sector: Challenges and Strategy Towards Strengthening Industrial Competitiveness. Ceramah Symposium: Reinventing Indonesia’s Industrial Competitiveness. Jakarta, 1 Maret 2005. Reisman G. 2002. Profit Inflation by the US Government. http://www.capitalism.net/articles/Profit%20Inflation%20by%20the%20U S%20Goverment.html. [9 Januari 2011] Rowthorn R, R. Ramaswamy. 1997. Deindustrialization: Causes and Implications.
79
IMF Working Paper. WP/97/42. Washington D.C.
International Monetary Fund.
Rowthorn R, R. Ramaswamy. 1999. Growth, Trade, and Deindustrialization. IMF Staff Papers. Vol.46(1). International Monetary Fund.Washington D.C. Rowthorn R, Coutts K. 2004. De-industrialization and the balance of payments in advanced economies. Cambridge Journal of Economics. Vol. 28: 767-790. Ruky, IMS. 2008. Industrialisasi di Indonesia: Dalam Jebakan Mekanisme Pasar dan Desentralisasi. Di dalam: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Universitas Indonesia; Jakarta, 15 November 2008. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saeger, S. 1997. Globalization and Deindustrialization: Myth and Reality in the OECD. Weltwirtschaftliches Archiv. Vol. 133(4). Singh, A. 1977. UK Industry and the World Economy: A Case of DeIndustrialization? Cambridge Journal of Economics. Vol. 133(2): 113-136. Suwarman, W. 2006. Faktor-faktor Apakah Yang Mendorong Terjadinya Proses Deindustrialisasi di Indonesia. [tesis] Depok. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Tambunan, T. 2006. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia dan Permasalahannya. Pusat Studi Industri dan UKM. Jakarta. Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti. Tambunan, T. 2009. Perekonomian Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia. Tambunan, M. 2010. Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan: Menggerakkan Kekuatan Lokal dalam Globalisasi Ekonomi. Yogyakarta. Graha Ilmu. United Nations Development Programme (UNDP), 2005. Human Development Report 2005: International Cooperation at a Crossroads: Aid, Trade and Security in an Unequal World. New York. Weiss, J. 1988. Industry in Developing Countries: Theory, Policy and Evidence. London:Routledge. Wei, T. K. 2006. Apakah Landasan Pembangunan Industri di Indonesia Sudah Tepat? Prosiding: Meletakkan Kembali Dasar-dasar Pembangunan Ekonomi Yang Kokoh. Manado, 18-20 Juni 2006. Manado: Kongres XVI Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.
80
Wei, T. K. 2002. Ekonomi Indonesia dan Globalisasi: Suatu Perspektif Sejarah dalam M. Thoha (penyunting), Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Pustaka Quantum. Jakarta. Wood, A. 1995. How Trade Hurt Unskilled Workers. The Journal of Economic Perspectives. Vol. 9, No. 3. (Summer, 1995), p. 57-80.
LAMPIRAN
82
Lampiran 1. Beberapa Hasil Uji dalam Menentukan Metode Regresi Uji Breusch-Pagan dan Correlation Matrix
Correlation matrix of residuals: rme na pg rme 1.0000 na -0.0000 1.0000 pg -0.0000 0.1287 1.0000 Breusch-Pagan test of independence: chi2(3) =
3.874, Pr = 0.2753
Uji Hausman
. hausman fe
---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fe re Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------na | -.0377392 .3583452 -.3960844 .0605912 na2 | -.0035761 -.007372 .0037959 . pg | -.0517621 -.0546155 .0028534 . pg2 | .0000161 .0000289 -.0000128 . pma | -4.607136 -3.907063 -.7000722 . hc | -.0379453 -.055237 .0172917 . un | -.0520957 -.032365 -.0197307 . -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 36.05 Prob>chi2 = 0.0000 (V_b-V_B is not positive definite)
Uji Homoskedastisitas . xtreg rme na na2 pg pg2 opnguna pma hc un, fe Fixed-effects (within) regression Group variable (i): prov R-sq: within = 0.4062 between = 0.0181 overall = 0.0092 corr(u_i, Xb)
= -0.7247
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max F(8,226) Prob > F
= = = = = = =
260 26 10 10.0 10 19.32 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------rme | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------na | -.047856 .1740561 -0.27 0.784 -.3908363 .2951243 na2 | -.0035728 .0029279 -1.22 0.224 -.0093422 .0021966 pg | -.0523307 .0079388 -6.59 0.000 -.0679742 -.0366872 pg2 | .0000159 .0000168 0.95 0.343 -.0000171 .000049 opnguna | .0047324 .0068779 0.69 0.492 -.0088206 .0182853 pma | -4.963234 4.107127 -1.21 0.228 -13.05639 3.129927 hc | -.0418431 .0295806 -1.41 0.159 -.1001321 .0164459 un | -.0504524 .0319129 -1.58 0.115 -.1133374 .0124326 _cons | 12.10126 .970247 12.47 0.000 10.18938 14.01315 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 7.0795882 sigma_e | 1.0928948 rho | .97672378 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 226) = 110.63 Prob > F = 0.0000 . xttest3 (Uji homoskedastisitas) Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (26) Prob>chi2
= =
307.21 0.0000
Uji autokorelasi . xtserial rme na na2 pg pg2 opnguna pma hc un Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 25) = 2.357 Prob > F = 0.1373
83
Lampiran 2. Output Stata Regresi Data panel Model Pertama Model 1 : Domestic Causes . xtgls rme na na2 pg pg2 if ~odd2 Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: Panels : Correlation :
generalized least squares homoskedastic no autocorrelation
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
Log likelihood
1 0 5
= -629.9492
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max
= = = = =
222 23 8 9.652174 10
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
46.13 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------rme | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------na | 4.167381 .7755519 5.37 0.000 2.647327 5.687435 na2 | -.3121431 .0621308 -5.02 0.000 -.4339171 -.190369 pg | -.1365069 .0336316 -4.06 0.000 -.2024237 -.0705901 pg2 | .0009492 .000432 2.20 0.028 .0001024 .001796 _cons | -3.042352 2.183596 -1.39 0.164 -7.322121 1.237417 ------------------------------------------------------------------------------
84
Lampiran 3. Output Stata Regresi Data panel Model Kedua Model 2 : Global Causes . xtgls rme opnguna pma hc un if ~odd2 Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: Panels : Correlation :
generalized least squares homoskedastic no autocorrelation
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
Log likelihood
1 0 5
= -623.9153
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max
= = = = =
222 23 8 9.652174 10
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
61.11 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------rme | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------opnguna | .0579291 .0108341 5.35 0.000 .0366947 .0791634 pma | 98.22012 27.70653 3.55 0.000 43.91632 152.5239 hc | .072541 .045792 1.58 0.113 -.0172096 .1622917 un | -.0314561 .0874079 -0.36 0.719 -.2027723 .1398602 _cons | 1.417342 1.553163 0.91 0.361 -1.626801 4.461485 ------------------------------------------------------------------------------
85
Lampiran 4. Output Stata Regresi Data panel Model Ketiga Model 3: Indirect Model . xtgls na opnguna pma hc un if ~odd2 Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: Panels : Correlation :
generalized least squares homoskedastic no autocorrelation
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
Log likelihood
1 0 5
= -431.0513
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max
= = = = =
222 23 8 9.652174 10
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
70.53 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------na | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------opnguna | .029663 .0045446 6.53 0.000 .0207557 .0385702 pma | 5.896443 11.62214 0.51 0.612 -16.88253 28.67542 hc | .0997244 .0192085 5.19 0.000 .0620765 .1373724 un | .0218309 .0366652 0.60 0.552 -.0500317 .0936934 _cons | .7635974 .6515097 1.17 0.241 -.5133381 2.040533 ------------------------------------------------------------------------------
86
Lampiran 5. Output Stata Regresi Data panel Model Keempat Model 4:Indirect Model . xtgls pg opnguna pma hc un if ~odd2 Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients : Panels : Correlation :
generalized least squares homoskedastic no autocorrelation
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
Log likelihood
1 0 5
= -965.1535
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max
= = = = =
222 23 8 9.652174 10
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
43.91 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------pg | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------opnguna | .2107338 .0503905 4.18 0.000 .1119702 .3094974 pma | -58.98787 128.8665 -0.46 0.647 -311.5616 193.5859 hc | .2459438 .2129843 1.15 0.248 -.1714978 .6633854 un | 2.101084 .4065449 5.17 0.000 1.304271 2.897898 _cons | -22.74487 7.223953 -3.15 0.002 -36.90356 -8.586181 ------------------------------------------------------------------------------
87
Lampiran 6. Output Stata Regresi Data panel Model Kelima Model 5: Combined Model . xtgls rme na na2 pg pg2 opnguna pma hc un if ~odd2 Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: Panels : Correlation :
generalized least squares homoskedastic no autocorrelation
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
Log likelihood
1 0 9
= -583.0854
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max
= = = = =
222 23 8 9.652174 10
Wald chi2(8) Prob > chi2
= =
186.98 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------rme | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------na | 3.728053 .6952818 5.36 0.000 2.365325 5.09078 na2 | -.3159819 .0546787 -5.78 0.000 -.4231502 -.2088137 pg | -.1766053 .030349 -5.82 0.000 -.2360882 -.1171223 pg2 | .0014596 .0003651 4.00 0.000 .000744 .0021752 opnguna | .0895727 .0099376 9.01 0.000 .0700954 .1090501 pma | 62.06371 24.02833 2.58 0.010 14.96905 109.1584 hc | .0454089 .0426545 1.06 0.287 -.0381923 .1290101 un | .1947661 .0820806 2.37 0.018 .0338912 .355641 _cons | -9.815841 2.1114 -4.65 0.000 -13.95411 -5.677573 ------------------------------------------------------------------------------