91
V KESESUAIAN KAWASAN UNTUK PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU
5.1. Pendahuluan Pembangunan berkelanjutan bertumpu pada kemampuan daya dukung lingkungan (Rees 1996; Khanna et al. 1999; Richard 2002). Lahan adalah salah satu sumber daya alam yang sering dipakai untuk menentukan daya dukung lingkungan (Rees 1996; Richard 2002). Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatkan kebutuhan lahan permukiman, sehingga luas lahan permukiman semakin membesar, sedangkan luas lahan yang sesuai untuk permukiman terbatas, akibatnya daya dukung lingkungan terlampaui Daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu berfungsi sebagai pengatur tata air bagi keseluruhan DAS. Sejalan dengan hal tersebut, tujuan pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan untuk menjamin berlangsungnya fungsi ekologi DAS. Berdasarkan karakteristik fisik lingkungan, diperkirakan daya dukung lingkungan DAS Ciliwung hulu untuk permukiman terbatas. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian Syartinilia et al.(2006) di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua luas lahan yang tidak potensial untuk dijadikan kawasan lindung (non potential protection area) atau kawasan yang dapat dijadikan kawasan budidaya sebesar 15,70% dari luas tiga kecamatan tersebut. Oleh karena itu sejalan dengan tujuan pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu, maka pengembangan kawasan permukiman harus diselaraskan dengan daya dukung lingkungan DAS untuk permukiman. DAS Ciliwung hulu mengalami perkembangan permukiman yang pesat, luas lahan permukiman meningkat 5 kali lipat dari 3,96% tahun 1992, menjadi 20,17% tahun 2006. Perkembangan permukiman di DAS Ciliwung hulu selain pesat juga cenderung kurang terkendali, permukiman tidak hanya berlokasi di kawasan permukiman, tetapi juga di kawasan yang seharusnya berfungsi lindung
92
yaitu di hutan lindung dan sempadan sungai. Perkembangan kawasan permukiman di DAS Ciliwung yang pesat dan kurang terkendali, dikhawatirkan akan melampaui
daya dukung lingkungan DAS. Pembangunan permukiman yang
melebihi daya dukung dapat menjadi pemicu terjadinya degradasi DAS. Salah satu penyebab terjadinya degradasi DAS adalah pemanfaatan lahan dari segi lokasi maupun alokasi tidak sesuai dengan daya dukung DAS (Weng 2002: Loi 2006). Degradasi DAS diperlihatkan oleh longsor, lahan kritis, erosi dan limbah permukiman. Longsor antara lain di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua tahun 2007, tahun 2009 terjadi longsor di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung dan tahun 2010 kembali terjadi longsor di Desa Megamendung dan Desa Cipayung Kecamatan Megamendung serta di Desa Leuwimalang Kecamatan Cisarua. Lahan kritis sebesar 4.119,90 ha di Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung tahun 2001 (Sabar 2004); erosi sebesar 247,28 ton/ha/tahun 2001 menjadi 443,21 ton/ha/tahun pada tahun 2002 (Qodariah 2004). Akibat mengalami degradasi, fluktuasi debit sungai Ciliwung membesar, dan sedimentasi meningkat. Fluktuasi debit sungai Ciliwung di Bendung Katulampa cenderung membesar dari 127,90 m3/detik tahun 1990, menjadi 518,82 m3/detik tahun 2002 (Kadar 2003). Sedimentasi 19,7 ton/ha/tahun (2001) menjadi 36,96 ton/ha/tahun (2002) (Qodariah et al. 2004). Dampak selanjutnya adalah banjir pada saat musim hujan dan pasokan air berkurang pada saat musim kemarau, serta kualitas air menurun akibat pencemaran oleh limbah permukiman. Kontribusi DAS Ciliwung hulu terhadap banjir di wilayah Jakarta sebesar 43,2% tahun 1981, meningkat menjadi 50,7% tahun 1999 (Irianto 2000). Kualitas air menurun dari 95 WQI tahun 1995 menjadi 70,65 WQI tahun 2005 (Fachrul et al. 2005). Konsep daya dukung sebagai operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan,
selain memperhitungkan seberapa besar
populasi yang dapat
didukung oleh suatu sumberdaya, juga memperhitungkan dimana mereka akan dialokasikan (Khanna et al. 1999).
Oleh karena itu, untuk mengetahui daya
dukung lingkungan DAS, perlu dianalisis alokasi lahan permukiman dan lokasi
93
kawasan yang sesuai untuk permukiman dan jumlah penduduk yang dapat ditampung oleh kawasan permukiman tersebut. Pengelolaan permukiman, selain menata juga mengendalikan dan mengawasi perkembangan kawasan permukiman. Pengendalian dan pengawasan, memerlukan evaluasi terhadap implementasi RTRW dan keselarasannya terhadap hasil analisa kawasan untuk permukiman; serta keselarasan pemanfaatan lahan eksisting terhadap hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dipakai untuk mengevaluasi kawasan permukiman (Ligtenberg et al. 2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006;). Kelebihan SIG adalah kemampuannya menangani kompleksitas dan volume basis data yang besar secara efisien, serta mampu memvisualisasikan hasil secara efektif sehingga mudah dimengerti oleh pengguna (Shasko dan Keller 1989; Mustafa et al. 2005). Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian adalah mengetahui kesesuaian kawasan untuk permukiman. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman; penilaian keselarasan antara RTRW dengan kesesuaian kawasan untuk permukiman; penilaian keselarasan antara tutupan lahan eksisting dengan kesesuaian kawasan untuk permukiman; serta penilaian keselarasan antara RTRW dengan tutupan lahan eksisting . 5.2.
Data Kawasan Permukiman
5.2.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa sampel data untuk mengecek hasil interpretasi citra sesuai atau tidak dengan kenyataan di lapangan. Data yang diambil sebanyak 49 titik diperoleh melalui observasi lapangan. Data sekunder berupa peta-peta digital diperoleh dari berbagai instansi, seperti Bakosurtanal, Bapeda Kabupaten Bogor, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Citarum-Ciliwung, dan Biotrop.
PPLH-IPB,
BP DAS
94
5.2.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer berupa sampel data dilakukan dengan cara mencatat koordinat tutupan lahan di lapangan dengan GPS. Titik-titik pengecekan berjumlah 49 titik, ditentukan secara purposive terdiri atas 6 klasifikasi tutupan lahan yang tersebar di Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung dan Sukaraja. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kunjungan ke instansi, telaah dokumen dan literatur, serta mengunduh dari media elektronik. Data sekunder terdiri atas peta-peta digital yaitu: Rupa Bumi Indonesia (RBI), jenis tanah, curah hujan, Koordinat DAS Ciliwung hulu, tutupan lahan tahun 1992, 1995, 2000, Citra tahun 2006, indeks konservasi alami, lahan kritis tahun 2006, rawan longsor, izin lokasi tahun 2005, RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 dan 2005-2025. Selanjutnya data yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Data Kawasan Permukiman, Sumber dan Kegunaan Data Jenis Data : Primer 1. Sampel data untuk pengecekan citra. Jenis Data : Sekunder 1. Rupa Bumi lembar 1209-141, 1209-142. Skala 1:10.000 2. Batas DAS Ciliwung hulu skala 1:100.000 3.Curah hujan, skala 1: 250.000 4. Kemiringan lereng, skala 1: 10.000 5. Ketinggian tempat, skala 1:10.000 6. Jenis tanah, skala 1:250.000 7. Bencana longsor, skala 1:100.000 8 Jaringan sungai, skala 1:10.000 9. RTRW Kabupaten Bogor 20002010 dan 2005-2025, 1:100.000 10. Citra landsat ETM 2006 path /raw 7112065-0.6520060627
11. Izin Lokasi tahun 2005 Skala 1:100.000
Sumber
Kegunaan
Observasi lapangan
Kesesuaian analisis citra di lapangan.
Bakosurtanal
Peta dasar bagi pembuatan peta analisis Deliniasi DAS Ciliwung hulu.
PPLH IPB/ Biotrop PPLH IPB RBI RBI BP DAS CitarumCiliwung BP DAS Citarum Ciliwung RBI Bapeda Kab Bogor Biotrop
Din. Tata Ruang & pertanahan Kab Bogor
Analisis kawasan budidaya Analisis kws budidaya dan tapak permukiman Analisis kws budidaya dan tapak permukiman Analisis kawasan budidaya Analisis permukiman berada di kws aman dari bencana Menentukan sempadan sungai Analisis keselarasan kws permukiman thd RTRW Analisis keselarasan tutupan lahan eksisting terhadap RTRW; analisis keselarasan tutupan lahan ekisting thd. kesesuaian kws permukiman. Analisis keselarasan izin lokasi terhadap RTRW
95
Data 12. Indeks konservasi Alami (IKa) Skala 1:100.000 13. Penyebaran lahan kritis 2006. Skala 1:100.000
Sumber Dinas Tata Ruang dan pertanahan Kab Bogor Dinas Tata Ruang dan pertanahan Kab Bogor.
Kegunaan Analisis kesesuaian kws permukiman terhadap IKa Analisis lokasi permukiman eksisting terhadap lahan kritis .
5.3. Metode Analisis 5.3.1. Analisis Kesesuaian Kawasan Permukiman 5.3.1.1. Kriteria dan Parameter Kawasan Sesuai Permukiman Analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman menggunakan kriteria kesesuaian lahan (Van der Zee 1990) dan standar serta peraturan yang berkaitan dengan penataan permukiman. Untuk menilai kawasan permukiman digunakan 3 kriteria, yaitu : berada di kawasan budidaya, aman dari bencana alam dan tapak permukiman. 1) Kriteria lokasi permukiman berada di kawasan budidaya : Kriteria lokasi permukiman dianalisis dengan menggunakan PP No 26/2008; Keppres No 32/1990; SK Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No 073/Kpts/1994 dan Perda Provinsi Jawa Barat No 2/2006. Berdasarkan PP No 26/2008, DAS Ciliwung hulu merupakan kawasan konservasi air dan tanah, maka hutan lindung yang ada perlu dilestarikan dan pemanfaatan lahan bukan hutan yang berada di kawasan dengan status hutan harus dihindari. Dengan demikian faktor yang dijadikan parameter penelitian adalah: jenis tanah, curah hujan, kemiringan lereng, sempadan sungai, ketinggian tempat dan status hutan. 2) Kriteria lokasi permukiman aman dari bencana alam: Berdasarkan penilaian terhadap kriteria aman dari bencana alam dengan menggunakan : PP No 26/2008 tentang RTRWN, data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi (ESDM 2008), bencana alam yang mungkin terjadi di DAS Ciliwung hulu adalah longsor, sehingga parameter yang digunakan adalah bencana longsor. Bencana gerakan tanah tidak dijadikan parameter, karena di kawasan penelitian, daerah gerakan
96
tanah yang dijumpai di kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung, berpotensi menengah (ESDM 2008), sehingga tidak menjadi faktor pembatas. Bencana gunung api juga tidak dijadikan parameter penelitian, karena bencana yang diakibatkan letusan gunung api, seperti aliran lava ataupun lahar, diprediksi tidak terjadi di kawasan penelitian. Hal tersebut disebabkan Gunung Pangrango sudah tidak aktif, dan aliran lahar/lava dari Gunung Gede mengalir kearah Kabupaten Cianjur, sehingga kawasan penelitian aman dari bahaya tersebut (Suhari et al. 1991). 3) Kriteria lokasi permukiman berdasarkan tapak permukiman: Berdasarkan SK Menteri PU No 20/1986; Van der Zee (1990); dan Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota ( Dep. PU 1979). Parameter yang digunakan untuk menilai tapak permukiman adalah ketinggian tempat (<1000 m) dan kemiringan lereng (0-15%). Faktor aksesibilitas dan ketersediaan air tidak dijadikan parameter karena : a) Kawasan penelitian berada dikaki gunung Gede-Pangrango, sumber air tersedia dalam bentuk air permukaan (sungai) dan air tanah. Sebagai kawasan DAS hulu, potensi air permukaan berasal dari Sungai Ciliwung dengan anak-anak sungainya tersebar di kawasan penelitian, sehingga tidak menjadi faktor pembatas. kaitannya dengan
Potensi air tanah erat
sistem akuifer endapan gunung api (G. Gede-
Pangrango). Jenis akuifer di kawasan G Gede-Pangrango adalah akuifer tak tertekan dengan jenis mata air dominan karena adanya rekahan. Zona resapan berada pada puncak gunung hingga elevasi 600 m dpl, selanjutnya zona resapan-keluaran dijumpai pada elevasi 1000 m - 400 m dpl (LPPM-ITB 1997). Tipologi akuifer endapan gunung api yang produktif mengandung air tanah yang bersumber dari infiltrasi air hujan. Air tanah mengalir secara gravitasional dan dikendalikan oleh topografi kearah kaki gunung lalu muncul sebagai mata air. Berdasarkan kondisi tersebut, maka faktor ketersediaan air tidak
97
merupakan faktor pembatas bagi kawasan permukiman di daerah penelitian. b) Kawasan penelitian berada di wilayah yang relatif sudah berkembang dan dilalui oleh jalan nasional, provinsi, kabupaten dan jalan desa/lokal, sehingga secara umum aksesibilitas kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu relatif baik. Berdasarkan kondisi tersebut, maka aksesibilitas tidak merupakan faktor pembatas kawasan permukiman. 5.3.1.2. Tahap Analisis Kesesuaian Kawasan Permukiman Analisis terhadap kriteria permukiman berlokasi di kawasan budidaya dilakukan melalui 5 tahap yaitu : 1) Tahap I memakai parameter kemiringan lereng, curah hujan dan jenis tanah, menghasilkan 3 klasifikasi yaitu: kawasan budidaya dengan skor ≤ 124; kawasan penyangga (kawasan budidaya non permukiman atau budidaya pertanian) dengan skor 125-175; dan kawasan lindung dengan skor >175. 2) Tahap II memakai parameter kemiringan lereng < 15 % dan jenis tanah regosol, litosol, organosol, renzina, untuk menyaring hasil analisis tahap I; 3) Tahap III memakai parameter sempadan sungai 50 m kiri kanan sungai untuk menyaring hasil analisis tahap II ; 4) Tahap IV memakai parameter status hutan untuk menyaring hasil analisis tahap III ; 5) Tahap V memakai parameter ketinggian tempat < 2000 m dpl untuk menyaring hasil analisis tahap IV (Tabel 23). Tabel 23 Kriteria Kawasan Budidaya Tahap
Parameter
I
Jenis tanah, curah hujan, lereng. (SK Dirjen RRL No 073/Kpts/1994)
Keterangan Klas Tnh
Skor 1 2 3 4 5
15 30 45 60 75
Klas Ch 1 2 3 4 5
Skor 10 20 30 40 50
Klas Lrg 1 2 3 4 5
Skor
Klasifikasi
20 40 60 80 100
≤ 124 Kws budidaya *1 125-174 Kws budidaya/ (penyangga*2) ≥ 175 Kws lindung
98
Tahap
Parameter
Keterangan
Jenis tanah, dan lereng (SK Dirjen RRL No 073/Kpts/1994; Keppres No 32/1990; PP No 26/2008. Sempadan Sungai (Keppres No 32/1990 ; Perda Prov Jawa Barat No 2/2006)
II
III
Status hutan (Keppres No 32/1990; PP No 26/2008; Perda Kab Bogor No 19/2008)
IV
Jenis Tanah
Lereng
Klasifikasi
Regosol, litosol,organo sol,dan renzina
< 15 % >15%
Kws budidaya Kws lindung
Sempadan Sungai
Klasifikasi
≥50 m
Kws budidaya
<50 m
Kws lindung
Status Hutan a. Hutan Lindung b. Hutan Konservasi
Kws lindung Kws lindung
c. Hutan Produksi
Kws budidaya
d. Bukan hutan
Kws budidaya
Ketinggian tempat (Keppres No 32/1990 ; Perda Prov Jawa Barat No 2/2006;SK Men PU No 20/KPTS/1986)
V Keterangan :
Klasifikasi
Ketinggian
Klasifikasi
< 2000 m dpl
Kws budidaya
*1
Budidaya terdiri dari permukiman dan pertanian tanaman semusim; *2 Penyangga merupakan kawasan budidaya untuk tanaman tahunan.
Selanjutnya hasil analisis tahap V disaring kembali dengan menggunakan parameter bencana alam longsor pada tahap VI. Bencana longsor
di DAS
Ciliwung hulu terdiri dari 4 klasifikasi yaitu normal, potensial, bahaya dan sangat bahaya (BP DAS Citarum-Ciliwung 2007). Klasifikasi longsor normal dan potensial digunakan untuk kawasan permukiman, sedangkan klasifikasi bahaya digunakan untuk kawasan budidaya non permukiman, dan klasifikasi sangat bahaya digunakan untuk kawasan lindung. Klasifikasi kawasan permukiman terdiri atas kawasan sesuai untuk permukiman (zona sesuai permukiman dan zona agak sesuai permukiman); dan kawasan tidak sesuai untuk permukiman (Zona budidaya non permukiman dan zona lindung) ( Tabel 24). Tabel 24. Penilaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Bencana Longsor Tahap
VI
Parameter Longsor (PP No 26/2008) 1. Normal 2. Potensial 3. Bahaya 4. Sangat bahaya
Klasifikasi Kws. sesuai permukiman (Zona sesuai permukiman) Kws. sesuai permukiman (Zona agak sesuai permukiman) Kws. tidak sesuai permukiman (Zona budidaya non permukiman) Kws. tidak sesuai permukiman (Zona lindung)
Selanjutnya hasil analisis tahap VI disaring menggunakan parameter ketinggian tempat pada tahap VII dan parameter kemiringan lereng pada tahap
99
VIII. Hal analisis
membagi DAS Ciliwung hulu menjadi 2 klasifikasi yaitu:
a).Kawasan sesuai untuk permukiman terdiri dari zona sesuai permukiman dan zona agak sesuai permukiman; b) Kawasan tidak sesuai untuk permukiman terdiri dari zona budidaya non permukiman dan zona lindung ( Tabel 25). Tabel 25 Penilaian Kesesuaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Tapak Permukiman Tahap VII
VIII
Parameter
Klasifikasi
Ketinggian Tempat (SK Menteri PU No 20/1986; Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota , Dep. PU 1979) a. <1000 m Kws. sesuai permukiman (Zona sesuai & agak sesuai permukiman) b. 1000 –2000 m Kws. tidak sesuai permukiman (Zona budidaya non permukiman) c. > 2000 m Kawasan tidak sesuai permukiman (Zona lindung) Kemiringan Lereng (SK Menteri PU No 20/1986; Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota , Dep. PU 1979) 0-8 % Kws. sesuai permukiman (Zona sesuai permukiman) 8-15 % Kws. sesuai permukiman (Zona agak sesuai permukiman 15- 40% Kws. tidak sesuai permukiman (Zona budidaya non permukiman) >40 % Kawasan tidak sesuai permukiman (Zona lindung)
Untuk menganalisis kawasan sesuai untuk permukiman digunakan sistem informasi geografis (SIG) (Ligtenberg et al. 2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006), melalui perangkat lunak Arcview GIS 3.3 dengan fasilitas geoprosessing (Nuarsa 2005). 5.3.2. Evaluasi Kawasan Permukiman Evaluasi kawasan permukiman dilakukan untuk menganalisis keselarasan atau penyimpangan yang terjadi antara: a) Kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan RTRW; b) Kesesuaian kawasan permukiman dengan tutupan lahan eksisting tahun 2006; c) RTRW dengan tutupan lahan eksisting tahun 2006; d) tutupan lahan eksisting tahun 2006, dengan RTRW dan kesesuaian kawasan untuk permukiman. Metode analisis yang digunakan adalah SIG melalui perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dengan fasilitas geoprocessing. Peta kesesuaian kawasan untuk permukiman, peta RTRW (2000-2010 dan 2005-2025), dan peta tutupan lahan tahun 2006 ditumpangsusunkan (overlay) satu terhadap yang lain. Peta tutupan lahan eksisting tahun 2006 dihasilkan dari analisis citra landsat
100
ETM 2006. Citra landsat diproses menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc View GIS 3.3. Penentuan sistem referensi (koordinat, proyeksi dan datum) menggunakan Word Geodetic System(WGS) 1984 dengan sistem proyeksi UTM-48. Data citra diklasifikasikan menjadi 6 yaitu:
lahan kering,
lahan
basah/badan air, kebun teh, permukiman, vegetasi lebat/hutan dan lain-lain (tertutup awan). Metode klasifikasi yang digunakan klasifikasi terbimbing, menggunakan band 5(red), band 4 (green) dan band 2(blue)(Weng 2002). Tingkat akurasi citra hasil klasifikasi diukur
dengan menggunakan matriks
kesalahan (Lillesand dan Kiefer 2000). Tingkat akurasi berdasarkan nilai Overall Accuracy dan Khat (Ќ ) statistik sebagai berikut: (∑Xii ) X 100 %
Overall Accuracy=
∑Xii = jumlah sampel kolom diagonal N = jumlah sampel keseluruhan
N N (∑Xii - ∑(Xi+ .X+i ) Khat (Ќ )statistik =
N2 - ∑(Xi+ .X+i )
Xi+ = total sampel baris ke i X+i = total sampel kolom ke i N = total sampel ∑Xi i= jumlah sampel kolom diagonal
Hasil perhitungan terhadap tingkat akurasi klasifikasi citra landsat tahun 2006, menunjukkan overall accuracy 84,14 % dan Khat Statistik 0,8215.
Artinya
tingkat keakurasian hasil klasifikasi mencapai lebih dari 80 %. 5.4. Hasil dan Pembahasan 5.4.1. Hasil 5.4.1.1. Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman Berdasarkan kriteria permukiman harus berlokasi di kawasan budidaya, diperoleh hasil sebagian besar (56,72%) DAS Ciliwung hulu sesuai untuk kawasan lindung, sedangkan sisanya sesuai untuk kawasan budidaya. Kawasan budidaya umumnya mempunyai jenis tanah latosol dengan karakteristik
kurang
peka
terhadap erosi, curah hujan berkisar antara 3000-3500 mm/tahun, kemiringan lereng < 15%, jarak dari sempadan sungai >50 m, tidak berstatus kawasan hutan dan terletak pada ketinggian <1000 m (Tabel 26).
101
Tabel 26. Kesesuaian Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dengan Kriteria Permukiman Berlokasi di kawasan Budidaya (Tahap I –V) No 1 2
Luas (ha) 6.439,89 8.436,47 14.876,37
Kesesuaian Kawasan Permukiman Kawasan Budidaya (permukiman dan non permukiman) Kawasan Lindung Jumlah
% 43,29 56,71 100
Sumber: hasil analisis menggunakan kriteria tahap I-V
Selanjutnya hasil penilaian Tabel 26 ditambahkan kriteria permukiman harus aman dari bencana tanah longsor. Hasil analisis menunjukkan kawasan budidaya permukiman menempati 23,16% luas DAS Ciliwung hulu, sisanya merupakan kawasan tidak sesuai permukiman yang terdiri dari zona budidaya non permukiman sebesar 20,13% dan zona lindung sebesar 56,71% (Tabel 27). Tabel 27 Kesesuaian Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dengan Penambahan Kriteria Permukiman Aman dari Bencana (Tahap VI) No 1
Kesesuaian Kawasan Permukiman
%
2.585,30
17,38
860,47
5,78
2.994,12 8.437,47 14.876,37
20,13 56,71 100
Kawasan Permukiman a. Zona sesuai permukiman b. Zona agak sesuai permukiman
2
Luas ha
Kawasan Tidak Sesuai Permukiman a. Zona Budidaya non Permukiman b. Zona Lindung Jumlah
Sumber: hasil analisis menggunakan kriteria VI
Zona sesuai permukiman terletak pada lokasi yang aman atau klasifikasi bahaya longsor normal. Pada zona ini sangat jarang atau tidak pernah terjadi longsor yang mengancam permukiman. Zona agak sesuai permukiman terletak pada lokasi yang jarang mengalami longsor akan tetapi berpotensi mengalami longsor apabila terjadi gangguan pada lereng dengan kemiringan 8-15%. Secara visual zona sesuai permukiman terletak di bagian tengah DAS, sedangkan zona agak sesuai permukiman terletak memanjang di utara bagian bawah dan tengah DAS Ciliwung hulu. Zona sesuai permukiman terletak pada ketinggian <1000 m dan kemiringan lereng antara 0-8 %, sedangkan zona agak sesuai permukiman terletak pada
102
ketinggian <1000 m dpl dan kemiringan lereng antara 8-15%. Oleh karena itu, apabila hasil penilaian pada Tabel 27 ditambahkan kriteria tapak permukiman, maka kawasan permukiman (zona sesuai dan agak sesuai permukiman) berkurang sebesar 3,27 %. Terjadi penambahan luas kawasan tidak sesuai permukiman yaitu di zona budidaya non permukiman sebesar 2,52 % di zona lindung sebesar 0,75 % Hasil analisis kesesuaian kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu tahap VII dan VIII menunjukkan luas kawasan sesuai untuk permukiman adalah 2.958,93 ha (19,89%) dari luas DAS Ciliwung hulu (Tabel 28). Tabel 28 Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dengan Penambahan kriteria Tapak Permukiman(Tahap VII -VIII) No
Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman
Luas ha
1 2
Kawasan Sesuai Untuk Permukiman a. Zona Sesuai permukiman b. Zona Agak sesuai permukiman Kawasan Tidak Sesuai Untuk Permukiman a. Zona Budidaya non Permukiman b.Zona Lindung Jumlah
%
1.580,80 1.378,13
10,63 9,26
3.369,82 8.547,62 14.876,38
22,65 57,46 100,00
Sumber: hasil analisis menggunakan kriteria VII dan VIII
Selanjutnya berdasarkan ketinggian tempat, DAS Ciliwung hulu dibagi menjadi bagian atas (ketinggian >1000 m), tengah (ketinggian 500-1000 m) dan bawah (ketinggian <500 m). Sebagian besar kawasan sesuai untuk permukiman yaitu zona sesuai permukiman (98,32%) dan zona agak sesuai permukiman (86,36%) berlokasi di DAS Ciliwung hulu bagian tengah. Bagian tengah DAS Ciliwung hulu merupakan kelompok morfologi pedataran tinggi (Suhari et al. 1991) dengan ketinggian antara 500-1000 m dpl dan kemiringan 0-8 %, kecuali pada lembah sungai kemiringannya >8%. Bagian tengah DAS Ciliwung hulu relatif aman dari bahaya longsor. Longsor terjadi di bagian yang kemiringan lerengnya curam (>25%) pada tebing sungai atau perbukitan. Sebagian besar kawasan tidak sesuai untuk permukiman yaitu zona lindung (75,26%) berlokasi di bagian atas (hulu) DAS Ciliwung hulu. Bagian atas DAS Ciliwung hulu
termasuk kelompok morfologi perbukitan terjal (Suhari et al.
1991) dengan kemiringan lereng curam (25-40%) sampai sangat curam (>40 %),
103
ketinggian tempat
antara 1000-2875 m dpl,
jenis tanah andosol yang peka
terhadap erosi, dan merupakan daerah rawan longsor terutama pada saat curah hujan tinggi (Gambar 19 Tabel 29).
Indarti KD
Gambar 19 Kesesuaian Kawasan Permukiman Di DAS Ciliwung Hulu Tabel 29 Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu di Bagian Atas, Tengah, dan Bawah LOKASI
Bagian Bawah Ciawi Megamendung Sukaraja Kota Bogor Jumlah Bagian Tengah Ciawi Megamendung Sukaraja Cisarua Jumlah Bagian Atas
Kawasan Sesuai Utk Permukiman Zona Sesuai Zona Agak Sesuai %
Kawasan Tidak Sesuai Utk Permukiman Zona Budidaya non Zona Lindung Permukiman ha % ha %
ha
%
ha
13.63 12.95 0 0 26.58
0.86 0.82 1.68
4.27 83.47 100.19 0 187.93
0.31 6.06 7.27 13.64
267.87 104.66 36.28 78.35 487.16
7.95 3.11 1.08 2.32 14.46
50.39 41.38 20.74 7.02 119.53
0.59 0.48 0.24 0.08 1.40
63.68 522.71 0 967.83 1,554.22
4.03 33.07 61.22 98.32
11.24 653.68 6.38 518.90 1,190.20
0.82 47.43 0.46 37.65 86.36
124.86 1,257.21 2.56 677.78 2,062.40
3.71 37.31 0.08 20.11 61.20
85.64 1,312.30 0.66 596.65 1,995.25
1.00 15.35 0.01 6.98 23.34
104
LOKASI
Kawasan Sesuai Utk Permukiman Zona Sesuai Zona Agak Sesuai
ha Ciawi 0 Megamendung 0 Cisarua 0 Jumlah 0 Total Luas 1,580.80 % Thd DAS Ciliwung hulu
%
ha
0 0 0 0 100 10,63
0 0 0 0 1,378.13
% 0 0 0 0 100 9,26
Kawasan Tidak Sesuai Utk Permukiman Zona Budidaya non Zona Lindung Permukiman ha % ha % 2.96 0.09 929.42 10.87 50.36 1.49 2,010.04 23.52 766.94 22.76 3,493.39 40.87 820.25 24.34 6,432.85 75.26 3,369.82 100 8,547.62 100 22,65 57,46
Sumber: Hasil analisis peta kesesuaian kawasan permukiman dengan peta sub DAS dan peta administrasi.
5.4.1.2 Evaluasi Kawasan Permukiman 1) Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor Terhadap Kawasan Sesuai untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu Sebagian besar DAS Ciliwung hulu berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor, oleh karena itu, maka RTRW yang dipakai adalah RTRW Kabupaten Bogor. Pada bulan Desember 2008, RTRW
Kabupaten Bogor tahun 2010 telah direvisi
menjadi RTRW tahun 2025 melalui Perda Kabupaten Bogor No 19/2008. Oleh karena itu, maka evaluasi keselarasan kawasan permukiman terhadap RTRW menggunakan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2010 dan 2025. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan lokasi dan alokasi kawasan permukiman antara hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan RTRW Kabupaten Bogor 2010 maupun 2025 sebagai berikut : a.Peruntukan permukiman berdasarkan RTRW 2010 maupun RTRW 2025, tidak hanya berlokasi di zona sesuai dan agak sesuai permukiman, tetapi juga di zona budidaya non permukiman, dan zona lindung. Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kesesuaian kawasan untuk permukiman dengan hasil analisis. b.Pada RTRW 2000-2010 peruntukan non permukiman sebesar 23,74% dan pada RTRW 2005-2025 sebesar 37,48% berlokasi pada zona sesuai dan agak sesuai untuk permukiman. Artinya terdapat ketidakkeselarasan antara RTRW dengan hasil analisis. c.Pada RTRW 2025
peruntukan permukiman di di zona lindung sebesar
12,79%, relatif menurun dibandingkan RTRW 2010 sebesar 17,82%. Hal ini
105
karena zona lindung (hutan lindung) pada RTRW 2025 sudah berpedoman pada Perpres No 58/2008 (Tabel 30). Tabel 30 Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 dan 2005-2025 Terhadap Kawasan Sesuai Untuk Permukiman Di DAS Ciliwung Hulu RTRW Kabupaten Bogor
Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman Kws Sesuai Permukiman Kws Tidak Sesuai Permukiman Zona Sesuai (%)
Permukiman RTRW 2010 RTRW 2025 Non Permukiman 1. Budidaya Non Pmk RTRW 2010 RTRW 2025 2. Lindung RTRW 2010 RTRW 2025 Kota Bogor
Zona Agak Sesuai (%)
Zona Budi daya non pmk(%)
Zona Lindung (%)
Jumlah ha
%
25,58 24,48
15,28 17,66
41,33 45,08
17,82 12,79
3.444,09 3.670,43
100 100
10,71 18,11
13,03 19,37
28,48 43,38
47,78 19,14
6.536,55 3.768,72
100 100
0 0 0
0 0 0
0,14 0,02 91,91
99,86 99,98 8,09
4.810,36 7.351,86 85,36
100 100 100
Sumber : Hasil analisis peta RTRWKab. Bogor 2000-2010 dan 2005-2025 dengan peta hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman Keterangan : Peruntukan Non Pmk : 1. Budidaya non permukiman terdiri atas: perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan tanaman tahunan; 2. Lindung terdiri atas : sungai, hutan konservasi dan hutan lindung
2) Keselarasan Tutupan Lahan Eksisting Tahun 2006 Terhadap Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu Kondisi pemanfaatan ruang secara tidak langsung dapat dideteksi dari keadaan tutupan lahannya. Hasil tumpang susun (overlay) antara peta kesesuaian kawasan untuk permukiman terhadap peta tutupan lahan eksisting 2006 menunjukkan ketidakselarasan antara lokasi kawasan yang sesuai untuk permukiman dengan tutupan lahan eksisting tahun 2006 sebagai berikut: a. Sebagian besar permukiman eksisting berlokasi di zona tidak sesuai untuk permukiman yaitu di zona budidaya non permukiman (41,21%) dan di zona lindung (16,70%). Hal tersebut menunjukkan perkembangan permukiman tidak terkendali. b. Permukiman eksisting yang berlokasi di zona sesuai permukiman 45,82% dari luas zona, dan permukiman eksisting di zona agak sesuai permukiman sebesar
106
39,05 % dari luas zona. Hal tersebut menunjukkan kawasan sesuai untuk permukiman belum dimanfaatkan secara optimal (Tabel 31). Tabel 31 Keselarasan Tutupan Lahan Tahun 2006 Terhadap Kesesuaian Kawasan Untuk Permukiman di DAS Ciliwung Hulu s· ·fi\‹?k\⁄\‹ ?s\⁄·‹?QOOU
j¡ ¡ ·\ \‹?j\•\ \‹?·‹ ·¤?o¡‒«·¤ «\‹ j\•\ \‹?r¡ ·\ ?o¡‒«·¤ «\‹ j\•\ \‹?s \¤?r¡ ·\ ?o¡‒«·¤ «\‹ y›‹\?r¡ ·\ y›‹\?`£\¤ y›‹\? · \„\?‹›‹ y›‹\?k ‹ ·‹£ GDH r¡ ·\ GDH fi¡‒«·¤ «\‹GDH GDH 0,39 0,19 12,19 87,23 18,55 15,40 37,29 28,75 14,24 14,05 30,18 41,53 0,71 1,04 4,10 94,15 0 0 0 100,00 24,14 17,94 41,21 16,70 (45,82) (39,06) (36,69) (5,86)
i·« \⁄ ⁄\
1.Kebun Teh 1.904,74 2.Lahan Basah 546,01 3.Lahan Kering 5.028,80 4.Veg. Lbt/hutan 4.396,46 5.Lain-lain 0,48 6.Permukiman 2.999,88 (% terhadap kesesuaian kws utk pmk) Sumber: hasil analisis peta kesesuaian kawasan permukiman dengan peta tutupan lahan tahun 2006
%
100 100 100 100 100 100
Keterangan : Luas permukiman eksisting (2006) adalah 2.999,88 ha. Lain-lain adalah tertutup awan
3) Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor Terhadap Tutupan Lahan Eksisting Tahun 2006 di DAS Ciliwung Hulu Analisis keselarasan antara tutupan lahan tahun 2006 terhadap RTRW Kabupaten Bogor bertujuan menilai sejauhmana keberhasilan penerapan RTRW di Kabupaten Bogor. Oleh karena RTRW 2005-2025 diperdakan bulan Desember 2008, maka belum dapat dievaluasi. Dengan demikian untuk menilai keberhasilan penerapan RTRW di Kabupaten Bogor, analisis menggunakan RTRW 2000-2010. Hasil analisis menunjukkan terdapat ketidakselarasan antara RTRW dengan pelaksanaan di lapangan sebagai berikut : a) Peruntukan kawasan lindung pada RTRW sebesar 0,25% telah ditempati permukiman. b) Peruntukan kegiatan budidaya non permukiman pada RTRW sebesar 20,22% telah ditempati permukiman. c) Peruntukan permukiman pada RTRW belum dimanfaatkan secara optimal hanya ditempati kegiatan permukiman sebesar 46,86% (Tabel 32).
107
Tabel 32. Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 Terhadap Tutupan Lahan Eksisting (2006) di DAS Ciliwung Hulu. RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 1. Kawasan Lindung a. Hutan Lindung b. Sungai Besar Jumlah Kawasan Lindung 2. Kawasan Budidaya A. Non Permukiman a. Lahan Basah b. Lahan kering c. Perkebunan d. Tanaman tahunan e. Pariwisata Jm Non Permukiman B. Permukiman a. Perdesaan b. Perkotaan Jumlah Permukiman C. Kota Bogor
Kebun Teh
Tutupan Lahan Tahun 2006 (%) Veg Lahan Lahan lebat/ Permu Basah kering kiman hutan
Lainlain
Jml
16,94 0
0,25 69,40
8,55 18,37
74,10 0,51
0,15 11,72
0,01 0
100 100
16,78
0,90
8,65
73,41
0,25
0,01
100
1,56 1,96 28,86 9,15 0 16,00
12,64 8,20 1,06 1,04 3,38 4,57
56,03 52,05 40,65 62,21 41,26 47,71
5,47 2,99 17,07 14,97 2,45 11,69
24,30 34,80 12.36 12,64 52,92 20,22
0 0 0 0 0 0
100 100 100 100 100 100
2,21 0,62 1,50 0
6,09 5,15 5,67 10,06
40,02 46,87 43,09 12,04
3,48 2,16 2,89 1,70
48,20 45,21 46,86 76,20
0 0 0 0
100 100 100 100
Sumber: hasil analisis peta RTRW Kab. Bogor 2000-2010 dan peta tutupan lahan tahun 2006; Keterangan : Lain-lain = tertutup awan.
4) Keselarasan Antara Tutupan Lahan Eksisting (2006) Dengan RTRW Kabupaten Bogor(2005-2025) dan Kesesuaian Kawasan Permukiman Analisis keselarasan antara tutupan lahan eksisting, dengan kesesuaian kawasan
untuk permukiman dan RTRW Kabupaten Bogor bertujuan untuk
mengetahui penyebaran lokasi permukiman eksisting terhadap RTRW dan kawasan sesuai permukiman hasil analisis. RTRW yang digunakan adalah RTRW tahun 2005-2025. Hasil analisis menunjukkan lokasi permukiman eksisting dengan klasifikasi sebagai berikut: a) Sesuai RTRW dan sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 25,45 % ; b) Sesuai RTRW tetapi tidak sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 35,30 %; c) Tidak sesuai RTRW tetapi sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 16,75 %; d) Tidak sesuai RTRW dan tidak sesuai dengan kawasan sesuai permukiman hasil analisis, sebesar 22,50 % (Gambar 20).
108
Indarti KD
Gambar 20 Keselarasan Antara Tutupan Lahan Permukiman Eksisting dengan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 dan Kawasan Sesuai Untuk Permukiman 5.4.2. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis terhadap kesesuaian kawasan untuk permukiman di DAS Ciliwung hulu, alokasi ideal kawasan sesuai untuk permukiman adalah 19,89%, dan kawasan tidak sesuai untuk permukiman adalah 80,11%. Temuan tersebut tidak berbeda jauh dari hasil penelitian Syartinilia et al.(2006), yang mengidentifikasi kawasan potensial untuk permukiman +16% dan kawasan potensial untuk lindung + 84% dari luas DAS Ciliwung hulu. Kawasan tidak sesuai untuk permukiman tersebut, terdiri dari zona lindung sebesar 57,46% dan Zona budidaya non permukiman sebesar 22,65%. Apabila berpedoman pada UUPR No 26/2007(ps 17:5) yang menyebutkan bahwa luas minimal kawasan hutan adalah 30 % dari luas daerah aliran sungai (DAS), maka luas zona lindung sebesar 57,46% harus berupa hutan agar memenuhi persyaratan tata ruang. Apabila hasil kesesuaian kawasan untuk permukiman dibandingkan dengan indeks konservasi alami (IKa) yaitu parameter kemampuan ideal kawasan
109
untuk konservasi air, hasilnya menunjukkan klasifikasi IKa sangat tinggi sebagian besar (94,55%) berlokasi di zona lindung. Klasifikasi IKa tinggi, kurang-lebih 70% berlokasi di zona tidak sesuai permukiman, yaitu 40,80% di zona lindung dan 29,12% di zona budidaya non permukiman. Artinya lokasi kawasan permukiman hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman menjamin keberlanjutan konservasi air karena kondisi hidrologi ideal dipertahankan (Tabel 33). Berdasarkan hal tersebut maka dari segi penataan ruang maupun fungsi DAS Ciliwung hulu sebagai daerah konservasi air dan tanah, alokasi dan lokasi kawasan sesuai untuk permukiman tersebut cukup ideal. Tabel 33 Keselarasan Indeks Konservasi Alami (Ika) Terhadap Kawasan Sesuai Untuk Permukiman Kesesuaian Kawasan untuk Permukiman
Indeks Konservasi Alami (Ika) Sangat Tinggi Tinggi
Sedang
⁄\
D
⁄\
D
⁄\
1. Zona Sesuai Pmk 34,26 2,69 1.325,58 14,38 18,30 2. Zona Agak Sesuai Pmk 46,82 3,68 1.448,33 15,71 85,64 3. Zona Tidak Sesuai 473,06 37,21 2.684,43 29,12 129.68 a. Budidaya non Pmk b. Lindung 717,20 56,41 3.761,35 40,80 4.040,98 Jumlah 1.271,34 100 9.219,69 100 4.274,60 Sumber: hasil analisis peta Indeks konservasi alami (IKa) dan peta kesesuaian kawasan permukiman Keterangan : Nd= tidak ada data.
0,43 2,00
Nd (ha) 0 0
3,03 94,55 100
82,65 28,08 110,73
D
Terdapat perbedaan lokasi permukiman antara RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 dengan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman. Hal tersebut disebabkan pada RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 maupun tahun 2000-2010, kawasan rawan longsor tidak/belum dimasukan sebagai salah satu faktor penentu kesesuaian kawasan untuk permukiman. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis antara RTRW Kabupaten Bogor dengan kawasan rawan longsor sebagai berikut (Tabel 34): a. Peruntukan permukiman pada RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 sebesar 20,63% dan pada RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 sebesar 18,78% berlokasi di kawasan rawan longsor dengan klasifikasi bahaya.
110
b. Peruntukan permukiman pada RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 sebesar 12,59% dan pada RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 sebesar 10,82% berlokasi di kawasan rawan longsor dengan klasifikasi sangat bahaya. Tabel 34 Keselarasan RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 dan 2005-2025 Terhadap Kawasan Rawan Longsor Di DAS Ciliwung Hulu Kawasan Rawan Longsor
RTRW Kab. Bogor 2000-2010 A B ha % ha %
RTRW Kab.Bogor 2005-2025 A B ha % ha %
1. Normal 2. Potensial 3. Bahaya 4. Sangat Bahaya Jumlah
1.920,02 54,34 2.953,28 26,04 1.914,42 52,16 2.999,24 439,70 12,44 2.677,24 23,60 669,67 18,25 2.487,89 728,72 20,63 5.515,53 48,62 689,36 18,78 5.604,09 444,79 12,59 197,10 1,74 396,97 10,82 114,72 3.533,22 100 11.343,16 100 3.670,43 100 11.205,94 Sumber: hasil analisis peta RTRW Kab. Bogor 2000-2010 dan 2005-2025, serta peta bencana longsor Keterangan : A = Peruntukan permukiman; B = peruntukan non permukiman dan lindung.
26,76 22.20 50,01 1,02 100
Tidak atau belum dimasukannya kawasan rawan longsor, terutama dengan klasifikasi bahaya dan sangat bahaya, dalam RTRW Kabupaten Bogor dapat menjadi masukan bagi pembuatan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua, khususnya yang berkaitan dengan peruntukan kawasan permukiman. Sesuai dengan PP 26/2008 tentang RTRWN, pembangunan di kawasan rawan bencana perlu dibatasi. Pembatasan perkembangan kegiatan budidaya terbangun di kawasan rawan bencana tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana. Penyebaran lokasi kawasan permukiman eksisting tidak terkendali, hal tersebut ditunjukkan oleh lokasi permukiman eksisting dikawasan peruntukan permukiman berdasarkan RTRW hanya 46,86%, sisanya sebesar 53,14% berlokasi diluar peruntukan kawasan permukiman berdasarkan RTRW. Selain itu terdapat permukiman eksisting sebesar 22,50% yang
berlokasi di kawasan
peruntukan non permukiman menurut RTRW dan kawasan tidak sesuai permukiman berdasarkan hasil analisis. Lemahnya pengendalian perkembangan permukiman diperlihatkan pula oleh permukiman eksisting di zona lindung dengan peruntukan hutan lindung yang berada pada kawasan rawan longsor dengan klasifikasi bahaya (Gambar 21).
111
Indarti KD
Gambar 21 Tutupan Lahan Permukiman Eksisting (2006) di Kawasan Rawan Longsor DAS Ciliwung Hulu 5.5. Kesimpulan Luas alokasi kawasan untuk permukiman adalah 19,89 % dari luas DAS Ciliwung hulu, sisanya sebesar 80, 11%
dialokasikan sebagai kawasan tidak
sesuai untuk permukiman. Kawasan tidak sesuai permukiman terdiri atas zona lindung 57,46% dan zona budidaya non permukiman 22,65 %. Kawasan tidak sesuai untuk permukiman (zona lindung) sebagian besar berlokasi DAS Ciliwung hulu bagian atas. Dari segi alokasi komposisi tersebut cukup ideal karena sudah sesuai dengan ketentuan kawasan lindung di DAS yaitu minimal 30 % dari luas DAS. Sementara itu dari segi lokasi, penyebaran zona lindung, zona budidaya non permukiman dan zona sesuai permukiman sudah memperhitungkan fungsi DAS Ciliwung hulu sebagai kawasan resapan air. Penyebaran lokasi kawasan permukiman
eksisting
tidak
terkendali,
hal
tersebut
diperlihatkan
oleh
ketidakselarasan (penyimpangan) antara lokasi permukiman eksisting dengan peruntukan permukiman berdasarkan RTRW dan kawasan yang sesuai untuk permukiman hasil analisis.