ANALISIS SPASIAL KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI ASPEK JASA LINGKUNGAN PENGENDALI EROSI DAN SEDIMENTASI (HCV 4.2) DI DAS CILIWUNG HULU
NURAIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Spasial Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Aspek Jasa Lingkungan Pengendali Erosi dan Sedimentasi (HCV 4.2) Di DAS Ciliwung Hulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Nuraida NIM A155130061
RINGKASAN NURAIDA. Analisis Spasial Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Aspek Jasa Lingkungan Pengendali Erosi dan Sedimentasi (HCV 4.2) Di DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh LATIEF MAHIR RACHMAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan terbangun dalam suatu kawasan daerah aliran sungai (DAS) mengakibatkan berbagai dampak seperti menurunnya fungsi-fungsi hidrologi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya erosi tanah, longsor, banjir, kekeringan serta kebakaran hutan. Tingginya tingkat kerusakan lingkungan yang timbul akibat pengelolaan kawasan hutan yang tidak berkelanjutan, mengindikasikan perlunya suatu tindakan untuk mengurangi permasalahan tersebut. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai dan memetakan kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi (HCV) dan dianggap penting di luar kawasan lindung. Konsep HCV menjadi unsur penting dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dan pemantauan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi. Identifikasi kawasan HCV berguna dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kawasan hutan untuk pemanfaatan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya sehingga memberikan keseimbangan antara manfaat ekologis, ekonomi dan budaya. Penelitian ini dilakukan di DAS Ciliwung Hulu pada bulan Mei sampai November 2015 dan bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi aspek jasa lingkungan pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2), (2) Menganalisis konsistensi HCV 4.2 berdasarkan kemampuan lahan dan PP No. 26 Tahun 2008, (3) Menyusun arahan pengelolaan DAS untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan di kawasan HCV 4.2. Prediksi erosi potensial DAS dilakukan menggunakan kriteria HCV Toolkit untuk menentukan tingkat bahaya erosi. Area HCV 4.2 merupakan area dengan tingkat erosi berat dan sangat berat. Analisis kemampuan lahan menggunakan metode yang dideskripsikan dalam Klingibel dan Montgomary. Kelas kemampuan lahan ditentukan berdasarkan 2 parameter yaitu erosi dan kemiringan lereng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 13 630 ha (90%) dari total luas DAS Ciliwung Hulu teridentifikasi sebagai daerah HCV 4.2, yang ditandai dengan potensi erosi berat dan sangat berat. Analisis kemampuan lahan menunjukkan bahwa di DAS Ciliwung Hulu terdapat 7 kelas kemampuan lahan (kelas I, II, III, IV, VI, VII, dan VIII) di mana kelas IV (3 915 ha) dan VIII (3 960 ha) mendominasi daerah penelitian. Dari analisis konsistensi, diketahui bahwa 75% (10 236 ha) dari wilayah HCV 4.2 tidak konsisten dengan kelas kemampuan lahan dan PP No. 26 tahun 2008, sedangkan yang konsisten sebesar 25% (3 394 ha). Arahan pengelolaan DAS disusun berdasarkan kemampuan lahan dan PP No.26 Tahun 2008 adalah adalah 1). Peningkatan Luasan Hutan sesuai dengan Fungsi Kawasan mampu menurunkan aliran permukaan serta meningkatkan aliran dasar dan aliran lateral, 2). Penerapan agroteknologi pada lahan kering di luar kawasan hutan mampu menurunkan overlanflow dan meningkatkan baseflow, aliran lateral serta storage. Kata kunci: Kawasan bernilai konservasi tinggi, jasa lingkungan, erosi dan sedimentasi
SUMMARY NURAIDA. Spatial Analysis of High Conservation Environmental Services Aspects for Erosion and Sedimentation Control (HCV 4.2) in the Ciliwung Hulu Watershed. Supervised by LATIEF MAHIR RACHMAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO. Convertion of forest land into agricultural and constructed land in a watershed (DAS) may result in varying impacts such as environmental damage and declining of hydrological functions of the watershed as indicated by increased soil erosion, landslides, floods, droughts and forest fires. The high level of environmental damage suggests that an intact action to mitigate the damage is necessary. The actions can be initiated by identifying, assessing and mapping of high conservation value (HCV) areas and another considered important conservation areas. Identification of HCV areas are useful in spatial plan for forest areas utilization according to its function and can strike a balance between ecological, economic and cultural benefit. This research was conducted in Ciliwung Hulu watershed from May to November 2015 and aims to: 1) Identify the High Conservation Values areas base on environmental services aspects erosion and sedimentation control (HCV 4.2), 2) Analyze the consistency of HCV 4.2 based on land capability class and Government Regulation No. 26 Year 2008, 3) Develop direction of watershed management for controlling land use change in the area of HCV 4.2. The method use for identification of HCV 4.2 areas was USLE (Universal Soil Loss Equation). The equation was used to predict potential erosion of the watershed on which the HCV Toolkit criteria was applied to determined erosion hazard. HCV 4.2 area is the area with severe or very severe erosion hazard. Land capability analysis was done using the method described in Klingebiel and Montgomary. Land capability class was determined based on 2 parameters i.e. erosion and slopesteepness. The result showed that about 13 630 ha or 90% of the total Ciliwung Hulu watershed were identified as area of HCV 4.2, which were characterized by severe and very severe erosion hazard. Analysis of land capability showed that the Ciliwung Hulu comprises of 7 land capability classes, i.e. class I, II, III, IV, VI, VII, and VIII where class IV (3 915 ha) and VIII (3 960 ha) were dominant in the watershed. The result of consistency analysis showed that 75% (10 236 ha) of the HCV 4.2 areas were inconsistent with the land capability class and Government Regulation No. 26 Year 2008. Directives watershed management is based on land capability and Government Regulation 26-2008 are 1). Increasing forest area to a level in accordance with the regulation (Peta Fungsi Kawasan) to reduce runoff and increase base flow and lateral flow. 2). Application of agrotechnology on dry land in cultivated area to reduce overlandflow and improve baseflow, lateral flow and storage. Keywords: High conservation value area, environmental services, erosion and sedimentation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penuliasan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bnetuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SPASIAL KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI ASPEK JASA LINGKUNGAN PENGENDALI EROSI DAN SEDIMENTASI (HCV 4.2) DI DAS CILIWUNG HULU
NURAIDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan di sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS dengan judul Analisis Spasial Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Aspek Jasa Lingkungan Pengendali Erosi dan Sedimentasi (HCV 4.2) Di DAS Ciliwung Hulu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga November 2015. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Latief Mahir Rachman, MScMBA selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan motivasi sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua program studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc selaku penguji pada ujian tesis beserta segenap dosen dan manajemen program studi ilmu pengelolaan DAS yang telah memberikan ilmu paling berharga selama penulis mengikuti proses perkuliahan sebagai mahasiswa. Kedua orang tua tercinta (Bapak Alm. Usman Muhammad dan Ibu Safiah Abdullah) serta keluarga tercinta (Nuraini, Syamsiah, Rasyidi, Razali, Anwar, Jufri dan M.Yususf) atas segala pengertian serta kesabarannya yang senantiasa mendoakan dan selalu memberikan dukungan dari jauh. Teman-teman seperjuangan Ilmu Tanah 2013, DAS 2013 dan ForDAS IPB serta sahabat-sahabat terbaik (Kakak Sri Malahayati Yusuf, Nurmaranti Alim, Prilly Eka Putri, Mariana Lusia Resubun, Nirmala Juita, Najla Anwar Fuadi, Afri Fajar, Astrina Nur Inayah) atas semangat, kebersamaan dan kekeluargaan selama ini. Teman-teman kosan Ibu Roma, terima kasih untuk kebersamaan, dan kekeluargaan serta dukungan selama ini. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) atas kebersamaan selama ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam diskusi, saran, doa hingga tesis ini terselesaikan dengan baik. Semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang memerlukan. Terima Kasih.
Bogor, September 2016
Nuraida
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir Penelitian
i ii iii 1 1 2 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA High Conservation Value Area (HCVA) Identifikasi Kawasan HCVA Jasa Lingkungan Erosi Tanah Metode Prediksi Erosi Aplikasi SIG untuk Pemetaan Erosi Tanah Kebijakan dan Kriteria Kawasan Lindung Nasional
6 6 6 7 8 9 10 10
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Tahapan Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan Data Analisis Data
12 12 12 13 13 14 14
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis DAS Ciliwung Hulu Kondisi Fisik DAS Ciliwung Hulu Kualitas Air Sungai dan Sumberdaya Lahan Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan
19 19 19 26 26
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Aspek Jasa Lingkungan Pengendali Erosi dan Sedimentasi (HCV 4.2) Analisis Erosi Aktual DAS Ciliwung Hulu Evaluasi Kawasan HCV 4.2 Berdasarkan Kemampuan Lahan Evaluasi Kemampuan Lahan Analisis Konsistensi HCV 4.2 Berdasarkan Kemampuan Lahan Evaluasi Kawasan HCV 4.2 Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 Alokasi Lahan Menurut PP No. 26 Tahun 2008 Analisis Konsistensi HCV 4.2 Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008
28 28 33 37 37 40 41 41 45
Evaluasi konsistensi HCV 4.2 terhadap Kemampuan Lahan dan PP No.26 Tahun 2008 Penyusunan Arahan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu
47 47
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
49 49 49
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
51 56 60
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Matriks Jenis, Sumber serta Kegunaan Data Penilaian Tingkat Bahaya Erosi Berdasarkan Kedalaman dan Estimasi Erosi (Toolkit) Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan dan Faktor Pembatas Skor Erosi Berdasarkan Kelas Lereng Skor Erosi Berdasarkan Jenis Tanah Skor Erosi Berdasarkan Intensitas Hujan Kriteria Sub Zona Kawasan Berdasarkan Skor Luasan Sub DAS Ciliwung Hulu Luasan Satuan Peta Tanah DAS Ciliwung Hulu Luasan Kemiringan Lereng DAS Ciliwung Hulu Jenis Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hulu Luasan areal (ha) erosi dan kawasan HCV 4.2di DAS Ciliwung Hulu Luasan Areal TBE (ha) Berdasarkan Kemiringan Lereng Luasan areal (ha) Erosi Aktual di DAS Ciliwung Hulu Luasan areal Erosi Aktual (ha) Berdasarkan Kemiringan Lereng Luasan areal Erosi Aktual (ha) Berdasarkan Penggunaan Lahan Luasan Kelas Kemampuan Lahan DAS Ciliwung Hulu Luasan Kelas Kemampuan Lahan Berdasarkan TBE DAS Ciliwung Hulu Luasan Ketidaksesuaian Kawasan HCV 4.2 Berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan Luasan Kawasan Hutan Lindung DAS Ciliwung Hulu Luasan areal ketidaksesuaian HCV 4.2 Menurut PP No. 26 Tahun 2008 Luasan kawasan HCV 4.2 berdasarkan HCV Toolkit, Kemmapuan lahan, dan PP No.26 Tahun 2008
14 15 16 17 17 17 18 19 21 21 22 28 32 33 34 34 37 38 40 43 45 47
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kerangka Pikir Penelitian Lokasi Penelitian Diagram Alir Penelitian Grafik Curah Hujan Tahunan DAS Ciliwung Hulu Peta Satuan Tanah DAS Cliwung hulu Peta Kelas Kemiringan Lereng DAS Ciliwung Hulu Peta Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu Sebaran Kawasan Erosi Menurut Perhitungan Toolkit Sebaran Kawasan HCV Berdasarkan Penggunaan Lahan Sebaran Kawasan Erosi Aktual DAS Ciliwunh Hulu Sebaran Kemampuan Lahan DAS Ciliwung Hulu
5 12 18 20 23 24 24 30 31 35 38
12 13 14
Sebaran Kawasan HCV 4.2 dan Kemampuan Lahan Sebaran Kawasan lindung DAS Ciliwung Hulu Sebaran Ketidaksesuaian Kawasan HCV 4.2 Berdasarkan PP No.26 Tahun 2008
41 44 46
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3
Kelas dan Kode Struktur Tanah, Permeabilitas Tanah dan Klasifikasi Kepekaan Erosi Nilai faktor C dengan pertanaman tunggal Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) dan pengelolaan tanaman (C)
57 58 59
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan merupakan bencana rutin di Indonesia yang menimbulkan korban jiwa dan materi yang sangat merugikan. Penyebab utamanya karena berkurangnya luasan kawasan hutan yang dijadikan lahan pertanian dan pemukiman dalam suatu kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) (Sulistioadi 2010). Sebagai akibatnya adalah terjadinya kerusakan berbagai sumberdaya alam dan menurunnya fungsi-fungsi hidrologi yang ada di dalam kawasan DAS, seperti meningkatnya lahan kritis, erosi, longsor, runoff, dan menurunnya kualitas air sungai (Sinukaban 2007). Salah satu DAS yang mengalami permasalahan akibat berkurangnya luasan kawasan hutan, terutama karena adanya pertambahan areal non hutan adalah DAS Ciliwung Hulu. Hermansyah (2016) menyatakan bahwa tutupan lahan di DAS Ciliwung Hulu dari tahun 1983-2013 mengalami perubahan yang sangat signifikan, terutama perubahan hutan dan lahan terbangun. Hutan dan lahan terbangun memiliki laju perubahan yang sangat tinggi di DAS Ciliwung Hulu. Selama kurun waktu 31 tahun (1983-2013), hutan mengalami penurunan luas sekitar 1 816 ha. Sementara untuk lahan terbangun, laju perubahan terus bertambah luas sekitar 3 541 ha. Sedangkan untuk area tutupan lahan lainnya cenderung hanya mengalami perubahan lebih kecil dibanding area hutan dan lahan terbangun. Hal tersebut terjadi dikarenakan bertambahnya jumlah penduduk, maka alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman untuk kebutuhan tempat tinggal akan semakin luas. Wibawa (2010) menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berpenutup vegetasi (hutan, pertanian, dan perkebunan) menjadi lahan berpenutup non-vegetasi (pemukiman, kawasan industri dan sarana jalan) dalam jumlah besar dalam waktu yang cepat, mengakibatkan sebagian besar air hujan mengalir sebagai aliran permukaan, dan hanya sebagian kecil saja volume air yang masuk ke dalam tanah (water recharging) sebagai cadangan air tanah pada musim kemarau. Permasalahan meningkatnya laju erosi di DAS Ciliwung Hulu salah satunya diakibatkan oleh berkurangnya luasan maupun menurunnya kualitas hutan. Secara kumulatif laju erosi yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu sebesar 19.3 ton/ha/thn, dengan indeks erosi sebesar 1.29 (> 1) yang berarti bahwa DAS tersebut tergolong tidak baik ditinjau dari segi erosi (KLH 2003). Hasil penelitian (Irianto 2000; Fakhrudin 2003; Arifjaya & Prasetyo 2004; serta Lukman 2006) menyatakan bahwa perubahan berbagai pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu secara tidak langsung telah menimbulkan degradasi lahan. Hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya lahan kritis (Sabar 2004), erosi (Qadariah et al. 2004), longsor dan menurunnya kualitas air sungai (Taufik et al. 2004), serta meningkatnya direct runoff (Sawijo 2005). Suryadi (2011) menyatakan bahwa 53.98% dari seluruh luas wilayah DAS Ciliwung Hulu memiliki potensi erosi normal–rendah, paling luas terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu. Potensi erosi berat–sangat berat mencakup 31.61% dari total luas wilayah dan terbesar di Sub DAS Cibogo Cisarua.
2
Melihat semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan dalam suatu kawasan DAS yang diakibatkan oleh pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan, mengindikasikan perlu dilakukannya suatu tindakan untuk mengatasi permasalahan dan memperbaiki pengelolaan hutan. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, memetakan dan menilai suatu kawasan dengan batasan-batasan yang menyebabkan suatu kawasan dianggap penting untuk dilindungi di luar kawasan lindung. Sertifikasi hutan adalah salah satu Toolkit yang dikembangkan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Forest Stewardship Council (FSC) adalah organisasi pertama yang mengembangkan sertifikasi hutan di awal tahun 1990an. Maesano et al. (2014) menyatakan bahwa FSC memperkenalkan konsep hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) dengan mengidentifikasi kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi antara lain nilai jasa lingkungan, nilai-nilai sosial dan budaya, hewan langka, terancam atau hampir punah, serta ekosistem dan habitat. Konsep HCV menjadi unsur penting dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dan pemantauan kawasan hutan yang bernilai tinggi (Maesano et al. 2011). Mengidentifikasi nilai-nilai penting serta menjamin bahwa nilai-nilai tersebut dapat dipertahankan atau ditingkatkan fungsinya membantu untuk membuat keputusan pengelolaan yang rasional dan konsisten dengan pemeliharaan nilai-nilai lingkungan dan sosial yang penting (Daryatun et al. 2003). Konsep HCV dalam pengembangannya tidak hanya digunakan dalam pengelolaan hutan, tetapi juga sudah diterapkan pada perkebunan, pertambangan, dan Pemerintah daerah. Konsep HCV telah diterima secara global di berbagai bidang. Hal tersebut dikarenakan adanya keyakinan bahwa perlindungan pada kawasan HCV akan meningkatkan kualitas hidup manusia dan lingkungannya. Menjadikan HCV sebagai dasar penyusunan rencana tata ruang wilayah akan membuat perencanaan wilayah yang ramah secara ekologis dan jasa lingkungan serta diterima secara sosial. Namun penerapan konsep HCV di lapangan banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapang, sehingga dalam hal ini perlu dilakukan suatu kajian untuk menilai penerapan konsep HCV, dalam hal ini dilakukan di DAS Ciliwung Hulu. Dengan demikian, untuk menjadikan HCV sebagai dasar penyusunan tata ruang wilayah suatu kawasan DAS, maka perlu dilakukan kegiatan identifikasi pendekatan HCV untuk menentukan kawasan HCV. Kemudian hasil identifikasi tersebut diperbandingkan dengan penggunaan PP No.26 Tahun 2008 serta metode evaluasi kemampuan lahan agar penerapan konsep HCV di lapangan teruji untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan fungsi setiap kawasan. Perumusan Masalah DAS Ciliwung yang melintasi provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta merupakan salah satu DAS super kritis yang ada di Indonesia. Pengelolaan DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga wilayah pengelolaan yaitu Ciliwung Hilir, Ciliwung Tengah dan Ciliwung Hulu. DAS Ciliwung Hulu berada di Kabupaten Bogor yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (DTA). Berdasarkan PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), DAS Ciliwung Hulu merupakan kawasan strategis Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-
3
Bekasi-Puncak-Cianjur (Jabodetabekpunjur) yang harus dijaga fungsinya sebagai pengatur keseimbangan tata air. Namun fungsi wilayah hulu yang diharapkan untuk mencegah banjir pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau sudah tidak efektif lagi. Kerusakan di bagian hulu kawasan DAS Ciliwung menyebabkan menurunnya fungsi ekologi DAS. Hal ini diakibatkan oleh tidak terkendalinya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan non hutan, tersebarnya lahan bera yang kurang mendukung fungsi konservasi sumberdaya air, dan pengelolaan lahan garapan yang tidak konservatif. Kawasan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, pengendalian banjir, erosi, longsor dan sedimentasi telah dikonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman, mengakibatkan degradasi lahan di DAS Ciliwung Hulu. Semakin berkurangnya luasan lahan hutan di kawasan DAS mempengaruhi ketersediaan kawasan tangkapan air yang memberikan manfaat bagi pengendalian limpasan permukaan atau banjir sekaligus mengendalikan erosi longsor dan sedimentasi. Hal ini mempengaruhi keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup di kawasan DAS, sehingga nilai-nilai penting yang ada dalam kawasan DAS semakin berkurang. Identifikasi terhadap kawasan hutan bernilai konservasi tinggi merupakan upaya untuk meningkatkan fungsi dan menciptakan keseimbangan antara daya dukung lingkungan dengan aktivitas yang terjadi di dalam kawasan DAS. Kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi merupakan kawasankawasan yang harus dijaga fungsinya sebagai kawasan perlindungan. Kawasan bernilai konservasi tinggi terdiri atas kawasan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, kawasan penyedia jasa lingkungan dan sosial budaya. Permasalahan penetapan dan penerapan perhitungan potensi erosi untuk menentukan kawasan pengendali erosi dan sedimentasi tidak sesuai dengan kondisi lapang dan tata cara penilaian berbagai HCV. Perhitungan tingkat bahaya erosi untuk menentukan kawasan pengendali erosi dan sedimentasi menurut perhitungan Toolkit tidak memperhitungkan nilai faktor C (tanaman) dan P (tindakan konservasi)/nilai CP dianggap 1. Hal ini mempengaruhi hasil perhitungan erosi dalam penetapan kawasan HCV 4.2. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan kawasan bernilai konservasi tinggi di DAS Ciliwung Hulu: 1. Apakah di DAS Ciliwung Hulu terdapat Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2)? 2. Bagaimana pengelolaan Kawasan HCV 4.2 di DAS Ciliwung Hulu? 3. Apakah penetapan Kawasan HCV 4.2 menurut Toolkit masih efektif? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi aspek jasa lingkungan pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2) di DAS Ciliwung Hulu. 2. Mengevaluasi konsistensi HCV 4.2 berdasarkan kemampuan lahan dan PP No. 26 Tahun 2008. 3. Menyusun arahan pengelolaan DAS untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan di Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi.
4
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan diatas maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penentu kebijakan dalam pengelolaan kawasan DAS Ciliwung Hulu untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi areal yang teridentifikasi sebagai areal yang bernilai konservasi tinggi. Kerangka Pikir Penelitian Salah satu penyebab utama kerusakan lahan hutan di bagian hulu DAS Ciliwung adalah terjadinya alih fungsi berbagai pola penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman seiring bertambahnya jumlah penduduk. Akibatnya terjadi kerusakan berbagai sumberdaya alam dan fungsi-fungsi hidrologi yang ada di dalam kawasan DAS serta menurunnya kualitas jasa-jasa lingkungan yang ada di kawasan DAS. Kholik (2013) menyatakan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan areal terbangun di kawasan DAS Ciliwung Hulu pada dasarnya dipicu oleh faktor ekonomi. Hal tersebut menimbulkan kerugian berupa penurunan kualitas ekosistem DAS dan mengakibatkan bencana alam seperti erosi, longsor, banjir dan kekeringan. Erosi menyebabkan lahan menjadi tidak produktif dan menambah biaya produksi pertanian. Identifikasi dan penilaian terhadap kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (HCV) dalam suatu DAS merupakan hal penting yang harus dilakukan, agar pengelolaan DAS dapat dilakukan sesuai dengan fungsi-fungsi yang terdapat dalam kawasan tersebut. Penilaian tersebut bertujuan untuk mengetahui kawasan yang akan dilakukan pemulihan, baik yang sudah rusak maupun yang diperkirakan akan rusak sehingga nilai penting di kawasan DAS tetap terjaga dan pengembangan yang akan dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar lokasi yang memiliki nilai konservasi tinggi tersebut tetap dijaga fungsinya. Salah satu prinsip dasar konsep HCV adalah apabila dijumpai wilayah-wilayah yang mempunyai nilai konservasi tinggi, tidak selalu harus menjadi suatu kawasan yang tidak boleh ada pembangunan. Konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan menjamin pemeliharaan atau meningkatkan nilai HCV sehingga mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial dengan pembangunan ekonomi jangka panjang (Risdiyanto et al. 2011). HCV Toolkit Indonesia (2009) menyatakan bahwa penerapan Toolkit HCV dirasa semakin sulit untuk diaplikasikan karena penggunaan Toolkit oleh para praktisi dengan berbagai latar belakang menunjukkan masih banyak ketidak-konsistenan dalam konsep-konsep serta dalam tata cara penilaian berbagai HCV. Selain itu, penggunaan konsep HCV secara luas di Indonesia pernah menjadi isu kontroversial disebabkan kurangnya sosialisasi, serta Toolkit yang asli tidak pernah disahkan oleh para pihak yang terlibat dalam perencanaannya dan uji lapangan sehingga kredibilitasnya dalam mendefinisikan proses HCV dipertanyakan. Ketidaksesuaian penerapan konsep HCV salah satunya terjadi pada penetapan HCV 4.2 yang berkaitan dengan aspek jasa lingkungan pengendali erosi dan sedimentasi. Perhitungan tingkat bahaya erosi untuk menentukan kawasan pengendali erosi dan sedimentasi menurut perhitungan Toolkit tidak memperhitungkan nilai faktor C (tanaman) dan P
5
(tindakan konservasi)/nilai CP dianggap 1. Faktor C dan P merupakan faktor penting yang menyebabkan erosi pada suatu lahan pertanian, jika nilai tersebut tidak dihitung maka tidak bisa mewakili jenis tanaman yang mampu menghasilkan erosi yang besar. Melihat adanya ketidaksesuaian penerapan konsep kawasan bernilai konservasi tinggi aspek jasa lingkungan pengendali erosi dan sedimentasi, untuk itu perlu adanya kajian ilmiah agar prinsip HCV benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan kemampuan lahan dan daya dukung lingkungannya serta peraturan pemerintah terkait kawasan konservasi. Adapun secara ringkas, bagan alir kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.1. Kerusakan DAS Ciliwung Hulu
Alih Fungsi Kawasan hutan Penurunan fungsi hidrologi DAS: Lahan kritis Erosi Sedimentasi longsor
Penurunan Kualitas jasa lingkungan
Identifikasi dan Penilaian Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Dibandingkan Evaluasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Berdasarkan Kemampuan Lahan dan PP No 26 Tahun 2008
Arahan Pengelolaan DAS
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Hasil evaluasi konsistensi HCV 4.2
6
2 TINJAUAN PUSTAKA High Conservation Value Area (HCVA) HCVA adalah suatu kawasan atau areal hutan yang dianggap penting karena memiliki nilai konservasi tinggi. Nilai konservasi tinggi merupakan suatu nilai ekologis dan lingkungan, sosial ekonomi, budaya, keanekaragaman hayati, dan bentangan alam yang melekat pada skala nasional, global maupun internasional dianggap penting. HCVA dapat berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan iklim di tingkat lokal, sebagai daerah tangkapan air, habitat bagi spesies yang terancam punah, ataupun tempat bermukim dan tempat sakral bagi masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar hutan (HCV-RIWG 2009). Konsep High Conservation Value Area (HCVA) atau Kawasan bernilai konservasi tinggi muncul pada tahun 1999 sebagai “Prinsip ke-9” dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan Forest Stewardship Counci (FSC). Konsep HCV di Indonesia berkembang tahun 2003 mencakup komponen-komponen identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV di Indonesia. Konsep HCV dibangun untuk membantu para pengelola hutan dalam meningkatkan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup untuk memproduksi kayu (HCV Toolkit Indonesia 2009). Konsep HCVF saat ini telah digunakan di luar sektor kehutanan salah satunya adalah pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit. Konsep ini diharapkan mampu mensinergikan keberlangsungan pembangunan atau produksi dari suatu unit pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya, yaitu terjaganya nilai-nilai ekologi dan konservasi dari suatu kawasan (HCV-RIWG 2009). Tujuan utama konsep HCV untuk membantu para pengelola hutan dalam meningkatkan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup dengan menggunakan pendekatan dua tahap, yaitu: 1) mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan (UP) kayu yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan ekologis yang penting, dan 2) menjalankan sistem pengelolaan dan pemantauan untuk menjamin pemeliharaan serta peningkatan nilai-nilai tersebut (HCV Toolkit Indonesia 2009). Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah wilayah-wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan menjamin pemeliharaan dan peningkatan HCV tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat dan mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang (Risdiyanto et al. 2011). Identifikasi Kawasan HCV Kunci menuju konsep HCVA adalah identifikasi nilai konservasi tinggi (HCV), nilai-nilai inilah yang penting dan perlu dipertahankan. Hutan dengan nilai konservasi tinggi secara sederhana adalah kawasan hutan dimana nilai-nilai penting ini ditemukan. Setelah teridentifikasi HCV, pengelola hutan harus merencanakan dan melaksanakan pengelolaan agar dapat mempertahankan atau
7
meningkatkan fungsi kawasan yang teridentifikasi HCV serta menerapkan program pemantauan (monitoring) untuk memeriksa apakah tujuan pelaksanaan pengelolaan ini dicapai. Kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi adalah kawasan hutan yang memiliki satu atau lebih ciri-ciri berikut: HCV1 Kawasan hutan yang mempunyai konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal (misalnya spesies endemi, spesies hampir punah, tempat menyelamatkan diri (refugia)). HCV2 Kawasan hutan yang mempunyai tingkat lanskap yang luas dan penting secara global, regional dan lokal, yang berada di dalam atau mempunyai unit pengelolaan, dimana sebagian besar populasi species, atau seluruh species yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan alami. HCV3 Kawasan hutan yang berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam atau hampir punah. HCV4 Kawasan hutan yang berfungsi sebagai pengatur alam dalam situasi yang kritis (seperti perlindungan daerah aliran sungai, pengendalian erosi). HCV5 Kawasan hutan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (mis, pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan). HCV6 Kawasan hutan yang sangat penting untuk identitas budaya tradisional masyarakat lokal (kawasan-kawasan budaya, ekologi, ekonomi, agama yang penting yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal yang bersangkutan) (FSC 2002). Pendekatan HCV semakin banyak digunakan untuk pemetaan, pengelolaan lanskap dan pendekatan pengambilan keputusan untuk sumberdaya hutan. Konsep ini juga digunakan dalam kebijakan pembelian dan belakangan mulai muncul dalam diskusi-diskusi dan kebijakan-kebijakan berbagai kalangan pemerintahan. Jasa Lingkungan Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal masyarakat global adalah jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap. Menurut Sriyanto et al. (2012) menyatakan bahwa jasa lingkungan merupakan jasa yang diberikan oleh ekosistem alam maupun buatan dimana nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tersebut dapat membantu memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan. Kawasan yang dianggap penting untuk pengendalian limpasan permukaan yang menyebabkan banjir, pengendalian erosi, longsor dan sedimentasi harus dilakukan upaya-upaya konservasi agar memberikan manfaat. Upaya-upaya konservasi dapat memberikan hasil yang efektif jika dimulai dari pemahaman yang utuh terhadap konsep pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Risdiyanto et al. (2011) menyatakan bahwa pengelolaan DAS bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan menciptakan suatu harmoni yang seimbang antara daya dukung
8
lingkungan dengan aktivitas yang terjadi di dalamnya, sehingga pengelolaan DAS yang baik akan mampu mengurangi atau menghilangkan dampak-dampak negatif bagi lingkungan maupun bagi aktivitas yang terjadi di dalamnya, serta dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada di wilayah tersebut Kawasan jasa lingkungan alami dinilai berdasarkan kondisi fisiografi dan topografi kawasan, posisi geografis dalam DAS, iklim, geomorfologi, jenis tanah, kelompok hidrologi tanah, geohidrologi, morfometri jejarin aliran dan sifat hidrologi permukaan sehingga dapat ditentukan apakah kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan tangkapan air, pengendali banjir, pengendali erosi, longsor dan sedimentasi. Selanjutnya ditetapkan fungsi serta penilaian kemampuan berdasarkan pemanfaatan dan penutupan lahan di atasnya. Sehingga areal dalam kategori ini tidak harus selalu kawasan yang berhutan, melainkan apakah kawasan tersebut berfungsi seperti yang dimaksudkan diatas. Jika kawasan jasa lingkungan teridentifikasi pada areal hutan/vegetasi lain, maka kawasan tersebut akan mendapatkan prioritas utama dalam menjaga fungsifungsi jasa lingkungan. Selain itu, faktor jenis tutupan lahan merupakan salah satu instrumen pengelolaan kawasan dalam menjalankan fungsi-fungsi jasa lingkungan. Contoh-contoh kawasan kawasan penting untuk pengendalian limpasan air permukaan yang menyebabkan banjir, pengendalian erosi, longsor dan sedimentasi adalah sempadan badan air, kawasan resapan air, wilayahwilayah dengan TBE tinggi (curah hujan, jenis tanah, lereng dan panjang lereng), wilayah kerentanan longsor tinggi (jenis batuan induk, topografi, curah hujan, tutupan lahan), parkir air sementara (water retention), wilayah-wilayah yang dapat meningkatkan waktu konsentrasi aliran, tetapi secara lokal tidak menimbulkan banjir (Risdiyanto et al. 2011). Erosi Tanah Erosi merupakan proses terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat ke tempat lain yang disebabkan oleh media alam berupa air atau angin. Rahim (2003) menjelaskan bahwa terjadinya erosi pada lahan terbuka yang diikuti oleh hilangnya bahan organik dan pemadatan tanah menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi tanah. Akibatnya hujan yang terjadi akan dengan mudah terakumulasi di permukaan membentuk limpasan permukaan (runoff), hanya sedikit air yang masuk ke dalam tanah. Oleh sebab itu, daerah hulu akan mudah mengalami erosi berat dan mudah kekurangan air terutama di musim kemarau. Arsyad (2010) mengemukakan bahwa bahwa besarnya erosi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor ilkim yang sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi adalah intensitas hujan. Kemiringan dan panjang lereng merupakan faktor topografi yang sangat berpengaruh terhadap erosi. Faktor tanah yang berpengaruh terhadap erosi berhubungan dengan erodibilitas tanah. Erodibilitas tanah dipengaruhi oleh karakteristik tanah, meliputi tekstur, striktur, permeabilotas, kedalaman dan kendungan bahan organik tanah. Erosi dapat timbul akibat adanya aksi dispersi dan tenaga pengangkut oleh air hujan yang mengalir di permukaan tanah. Untuk mengetahui batapa seriusnya
9
masalah erosi, dapat digunakan beberapa pendekatan. Pendekatan yang umum digunakan adalah dengan mengukur luas lahan yang rusak, intensitas erosi, maupun akibat yang ditimbulkan oleh erosi. Proses erosi bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi yang lebih besar daripada daya tahan tanah. Hancuran dari tanah ini akan menyumbat pori-pori tanah, maka kapasitas infiltrasi tanah akan menurun dan mengakibatkan air mengalir di permukaan tanah disebut sebagai limpasan permukaan (Arsyad 2010). Erosi tidak hanya menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur tetapi juga menyebabkan kehilangan kemampuan tanah untuk menyerap air. Erosi menjadi salah satu permasalahan yang klasik dalam setiap kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Metode Prediksi Erosi Arsyad (2010), menyatakan bahwa metode prediksi erosi harus memenuhi persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu dapat diandalkan, secara universal dapat digunakan, mudah digunakan dengan data yang minimum, komprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan, dan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna tanah dan konservasi. Gregory & Walling (1979) menjelaskan bahwa terdapat tiga tipe model utama dalam prediksi erosi yaitu model fisik, analog, dan digital. Dalam prediski erosi yang umum digunakan saat ini adalah model parametik, terutama tipe kotak kelabu. Model parametik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah dinamai the Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE digunakan untuk menduga laju rata-rata erosi pada suatu bidang tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam penanaman dan tindakan pengelolaan yang sedang dilakukan. USLE merupakan model erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah keadaan tertentu (Arsyad 2010). Semakin banyaknya data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian dan percobaan, para ahli konservasi tanah Amerika serikat terus melakukan penyempurnaan terhadap USLE dengan dikembangkannya RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation). RUSLE merupakan model erosi untuk memprediksi besaran erosi tahunan (A) oleh aliran permukaan dari suatu lahan berlereng (field slope) dengan tanaman dan sistem pengelolaan tertentu. RUSLE dapat menghitung erosi rata-rata untuk suatu sistem pergiliran tanaman dalam satu tahun atau untuk suatu fase pertumbuhan tanaman. Erosivitas, erodibilitas, kemiringan lereng, panjang lereng, sistem penanaman dan faktor konservasi merupakan 6 parameter data yang dimasukan dalam pendekatan RUSLE. Analisis RUSLE digunakan untuk menghasilkan peta resiko erosi tanah, dan untuk mewakili hubungan antara berbagai faktor dan proses yang terjadi di lahan. Nilai-nilai kuantitatif RUSLE menunjukkan jumlah kehilangan tanah ton/ha/tahun, mulai < 1 untuk tingkat kerugian tanah sangat tinggi. Faktor topografi (LS) adalah faktor yang paling efektif mengendalikan proses erosi diikuti dengan faktor praktek konservasi (P). RUSLE dipilih untuk menilai tingkat erosi tanah karena 1) persyaratan data yang tidak terlalu kompleks atau
10
terjangkau, 2) model yang kompatibel dengan SIG, dan 3) mudah untuk menerapkan dan memahami dari perspektif fungsional (Milward & Mersy 1999). Aplikasi SIG untuk Pemetaan Erosi Tanah Kebutuhan teknologi sistem informasi geografis (SIG) untuk tujuan inventerisasi dan pemantauan penting terutama bila dikaitkan dengan pengumpulan data yang cepat dan akurat. Mengingat luas dan banyaknya variasi wilayah indonesia, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, maka aplikasi SIG sangat tepat. Pendekatan aplikasi SIG untuk deteksi perubahan penggunaan lahan khususnya kawasan hutan banyak digunakan oleh peneliti-peneliti di Indonesia saat ini. Kekuatan fungsi SIG memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan (Rahmi 2009). Mulyono (2009) menyatakan bahwa tingkat erosi tanah di sub DAS Besai telah diperkirakan sebagai dasar kuantitatif dalam merekomendasikan upaya mempertahankan, memulihkan, meningkatkan kesuburan dan fungsi tanah sebagai pengatur tata air. Perkiraan tingkat erosi tanah dilakukan dengan metoda RUSLE yang dilakukan secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak SIG. Prediksi erosi dengan metode RUSLE juga menggunakan SIG dalam perhitungannya. Larito et al. (2004) menyatakan bahwa pemanfaatan SIG berbasis pixel sebagai alat pemodelan spasial dalam memprediksi erosi bisa membantu keakuratan data yang dihasilkan khususnya pada lahan-lahan yang mempunyai keadaan topografi yang kompleks. Selain itu Amorea et al. (2004) menjelaskan bahwa SIG dapat memanejemen data yang bereferensi geografis dengan cepat sehingga membuat studi tentang erosi bisa lebih mudah, khususnya bila harus mengulang menganalisis data-data pada daerah yang sama. Aplikasi SIG memerlukan data Digital Elevation Model (DEM) untuk menghasilkan gambaran faktor LS yang lebih spesifik dalam setiap pixelnya. Dalam perkembangannya, ada beberapa formula untuk menentukan nilai faktor LS berbasis DEM dalam SIG yang mempertimbangkan heterogenitas lereng serta mengutamakan arah dan akumulasi aliran dalam perhitungannya (Blanco & Nadaoka 2006). Asumsi yang dipergunakan adalah nilai faktor LS akan berbeda antara lereng bagian atas dan bagian bawah. Nilai LS akan lebih besar ditempat terjadinya akumulasi aliran dari pada dilereng bagian atas walaupun mempunyai panjang lereng dan kemiringan lereng yang sama. Analisis TBE dalam hamparan lahan seluas DAS atau sub DAS akan sangat efektif jika memanfaatkan teknologi SIG. Remote Sensing dan SIG sangat efektif dalam menghasilkan informasi spasial dan kuantitatif pada studi erosi tanah dan pemetaan penilaian risiko. Kebijakan dan Kriteria Kawasan Lindung Nasional Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan) baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Artinya terjadi campur tangan pemerintah baik pusat ataupun daerah yang
11
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sektoral (magnitude dan arahnya) maupun lintas sektor dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan definisi kerja, makna kebijakan adalah keputusan suatu organisasi guna mengatasi permasalahan tertentu berupa keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam 1) pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan 2) penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun kelompok sasaran. Kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi: pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Adapun strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup seperti yang dijelaskan dalam PP No. 26 Tahun 2008 meliputi: a). menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, b). mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya, c). mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Dalam PP tersebut juga dijelaskan kawasan hutan lindung ditetapkan dengan kriteria: 1). kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih, 2). kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen), 3). kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2 000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut.
12
3 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di DAS Ciliwung Hulu yang terletak pada koordinat 106050'50''-107000'40'' BT dan 6036'10''-6047'00'' LS. Sebagian besar DAS Ciliwung Hulu berada di wilayah Kabupaten Bogor (30 desa) sisanya sebagian kecil berada di wilayah Kota Bogor (1 Kelurahan). Penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai November 2015. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Lokasi penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perlengkapan pengambilan sampel tanah (ring sampel, pisau lapang, plastik, kertas label, meteran), alat tulis, kamera digital, Global Positioning System (GPS), buku panduan pengamatan lapangan serta software ArcGis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data sekunder yang diperlukan untuk menilai jasa lingkungan (perlindungan DAS, erosi dan sedimentasi) yaitu berupa data spasial (peta dasar dan tematik) dan data non spasial (data dan laporan hasil penelitian, laporan statistik) yang diperoleh dari studi kepustakaan.
13
Tahapan Penelitian 1. Pengumpulan Data Penelitian dimulai dari tahap pra-penelitian, dengan melakukan kajian atas data sekunder baik di perpustakaan umum, ataupun instansi terkait dengan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu, yaitu: Balai Pendayagunaan Sumberdaya Air (BPSDA) Ciliwung-Cisadane, Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHLS) Citarum-Ciliwung dan melakukan survey lapang di DAS Ciliwung Hulu. Adapun bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 3.2. Mulai
Persiapan
Pengumpulan Data Awal (Studi)
Persiapan Observasi Lapangan Pengambilan Sampel tanah
Observasi Lapangan
Analisis Laboratorium
Pengumpulan data Primer dan Sekunder
Analisis Data
Identifikasi Kawasan HCV 4.2
Dibandingkan Evaluasi konsistensi Kawasan HCV 4.2 berdasarkan: Kemampuan Lahan dan PP No. 26 Tahun 2008
Arahan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu yang lestari
Gambar 3.2 Bagan alir penelitian
Hasil Evaluasi Konsistensi HCV 4.2
14
Pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan aspek jasa lingkungan erosi dan sedimentasi disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Matriks jenis, sumber serta kegunaan data No 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Jenis Data Peta administrasi Bogor skala 1:100 000 Peta Satuan Tanah skala 1:250 000 Kemiringan lereng Peta Penggunaan Lahan skala 1:250 000 tahun 2013 Curah hujan Karakteristis Fisik Tanah
Sumber Peta RBI Pusat Penelitian Tanah DEM/www.USGSSRTM.or.id Badan Planologi Kehutanan
BMKG Dramaga Pengambilan Sampel tanah dan Analisis Laboratorium
Kegunaan Membatasi DAS Ciliwung Hulu Titik pengambilan sampel tanah Penilaian tingkat erosi Penentuan indeks tanaman Erosivitas hujan Prediksi erosi tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode simple random sampling, sampel tanah diambil pada 9 (sembilan) titik berdasarkan peta satuan tanah. Pada tiap jenis tanah diambil 3 contoh tanah utuh sehingga keseluruhan sebanyak 27 sampel tanah, selain tanah utuh juga diambil sampel tanah terganggu sebanyak 500 g untuk masing-masing sampel. Kemudian sampel tanah dianalisis di laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Tanah dianalisis untuk diketahui kandungan tekstur, C-organik, permeabilitas, Bulk density, dan kadar air. 2. Pengolahan Data Pengolahan data sekunder dan pemetaan awal terhadap kawasan yang bernilai konservasi tinggi berkaitan dengan erosi menggunakan data yang sudah dikumpulkan pada tahap pengumpulan data. Ground check di lapangan dilakukan setelah pengolahan dan pemetaan awal. Pengambilan sampel tanah sebagai data primer untuk menganalisis erosi tanah dilakukan pada saat ground check kawasan DAS Ciliwung Hulu. Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis lanjutan berdasarkan hasil ground check dan menggunakan data primer untuk mengidentifikasi kawasan yang berfungsi sebagai penyedia jasa-jasa lingkungan pengendali erosi dan sedimentasi. Pengolahan data kuantitatif menggunakan software berupa ArcGIS. Hasil akhir dari pengolahan data yang dilakukan adalah beberapa variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini. Adapun variable tersebut antara lain Tingkat bahaya erosi, kawasan HCV 4.2, dan kemampuan lahan. 3. Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Adapun tahapan analisisnya adalah sebagai berikut: a. Analisis Kawasan Pengendali Erosi dan Sedimentasi (HCV 4.2) Berdasarkan Toolkit HCV Toolkit Indonesia (2009) menyatakan bahwa penetapan kawasan HCV 4.2 (pengendali erosi dan sedimentasi) dilakukan dengan menentukan TBE berat dan sangat berat. Prediksi erosi berat dan sangat berat dihitung
15
menggunakan persamaan USLE, kemudian hasilnya dipakai sebagai penunjuk (indicative map) daerah yang memiliki TBE tinggi. Klasifikasi dari TBE merupakan hasil perhitungan erosi yang terjadi dalam satu tahun (ton/ha/thn) berdasarkan kedalaman tanah (cm). Kawasan HCV 4.2 (pengendali erosi dan sedimentasi) merupakan kawasan yang teridentifikasi TBE berat dan sangat berat (warna merah), disajikan pada Tabel 3.2. TBE potensial menggunakan modifikasi rumus Universal Soil Loss Equation (USLE), tanpa mengikutsertakan faktor pengelolaan (P) atau tutupan lahan (C), yaitu: TBE = R*K*LS dimana TBE = prediksi tingkat bahaya erosi potensial, R = faktor erosivitas hujan, K = faktor erodibilitas tanah dan LS = faktor panjang dan kemiringan lahan (slope). Tabel 3.2 Penilaian tingkat bahaya erosi (TBE) berdasarkan kedalaman tanah dan estimasi erosi (Toolkit) Estimasi Erosi (ton/ha/thn) Kedalaman Tanah <15 15-60 60-180 180-480 >480 Dalam (> 90 cm) SR R S B SB Sedang (60-90 cm) R S B SB SB Dangkal (30-60 cm) S B SB SB SB Sangat Dangkal (< 30 cm) B SB SB SB SB Keterangan: SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang, B = Berat, SB = Sangat Berat Sumber: HCV Toolkit Indonesia 2009
b. Analisis Prediksi Erosi Aktual Menurut (Arsyad 2010), prediksi erosi diperoleh dari perkalian faktorfaktor yang berkaitan dengan curah hujan, jenis tanah, panjang dan kemiringan lereng, sistem tanam dan tindakan konservasi tanah dan air, dengan persamaan matematis USLE, sehingga persamaannya menjadi: A = R*K*LS*CP dimana: A=total erosi (ton/ha/thn), R= faktor erosivitas hujan, K=faktor erodibilitas tanah, LS= faktor kelerengan, C= faktor tanaman, P=faktor tindakan konservasi. Erosivitas hujan (R) Persamaan USLE menetapkan bahwa nilai R merupakan daya perusak hujan (erosivitas hujan) tahunan dapat dihitung dari data curah hujan otomatik atau dari data penakar curah hujan biasa. Erosivitas dihitung menggunakan persamaan yang dikembangkan Lenvain (1975) dalam Arsyad (2010) dengan rumus: R = 2.21 x CH1.36 dimana : R = indeks erosivitas hujan bulanan, CH = curah hujan rata-rata bulanan (cm).
16
Erodibilitas Tanah (K) Erodibilitas tanah (K) menunjukkan tingkat kepekaan tanah terhadap erosi yaitu mudah tidaknya tanah mengalami erosi. Erodibilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur (pasir sangat halus, debu dan liat), struktur tanah, permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik tanah. Erodibilitas tanah dihitung dengan persamaan Wischmeier & Smith (1978) dalam Arsyad (2010) yaitu: 100K = 2.1(M 1.14)(10 -4)(12-a) + 3.25(b-2) + 2.5(c-3) dimana: K M a b c
= nilai erodibilitas tanah, = ukuran partikel (%debu + %pasir sangat halus) x (100 - %liat), = kandungan bahan organik tanah (%), = kelas struktur tanah = kelas permeabilitas tanah (cm/jam).
Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Moore & Burch (1986) dalam Kinnell (2008) telah mengembangkan suatu persamaan untuk mencari nilai LS dengan memanfaatkan data DEM menggunakan SIG. Adapun persamaan yang digunakan adalah: LS = (X*CZ/22.13)0.4* (sin ɵ/0.0896)1.3 dimana: LS = Faktor lereng X = Akumulasi aliran CZ = Ukuran pixel ɵ = Kemiringan lereng c. Analisis Konsistensi HCV Berdasarkan Kemampuan Lahan Analisis kemampuan lahan dilakukan menurut metoda yang dideskripsi dalam Arsyad (2010, dengan modifikasi) dan Hardjowigeno &Widiatmaka (2007). Penentuan kelas kemampuan lahan didasarkan pada tujuh kriteria yang sudah ditetapkan yaitu tekstur tanah, lereng permukaan, drainase, kedalaman efektif, keadaan erosi, kerikil/batuan dan banjir. Namun dalam penelitian ini penentuan kelas kemampuan lahan hanya didasarkan pada kriteria lereng permukaan dan keadaan erosi (Tabel 3.3). Tabel 3.3 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan No 1. 2.
Faktor Pembatas/Penghambat Lereng Permukaan (%) Keadaan erosi
I i0 e0
II i1 e1
Kelas Kemampuan III IV V VI i2 i3 (*) i4 e1 e2 (*) e3
VII i5 e4
VIII i6 (*)
Keterangan: (*) = dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah Sumber: Arsyad (2010); Hardjowigeno & Widiatmaka (2007).
Analisis kesesuaian antara kawasan HCV 4.2 dan kemampuan lahan dilakukan dengan overlay peta HCV 4.2 dan peta kemampuan lahan. Hasil analisis dikategorikan sesuai jika teridentifikasi kawasan HCV 4.2 pada kemampuan lahan kelas VIII sebagai kawasan hutan. Dikategorikan tidak sesuai jika teridentifikasi kawasan HCV 4.2 pada kemampuan lahan kelas I sampai VII.
17
d. Analisis Konsistensi HCV Berdasarkan PP No. 26 tahun 2008 Peraturan pemerintah (PP) No 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional menyebutkan bahwa perencanaan tataguna lahan merupakan bagian dari rencana tataguna ruang, karena lahan merupakan bagian dari ruang yang berupa daratan. Penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi jasa lingkungan pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2), dijelaskan sebagai kawasan hutan lindung dalam PP No 26 Tahun 2008. Kriteria dan tata cara penetapan kawasan lindung menggunakan faktor penentu kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan yang menjadi kriteria dalam perhitungan. Adapun skor masing-masing faktor penentuan kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.4, 3.5, dan 3.6. Tabel 3.4 Skor Erosi Berdasarkan Kelas Lereng Fisiografi Kelas Lereng (%) Datar 0–8 Landai 8 – 15 Agak Curam 15 – 25 Curam 25 – 40 Sangat Curam >40
Skor 20 40 60 80 100
Sumber: SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Tabel 3.5 Skor Erosi Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah Kepekaan Terhadap Erosi Aluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Tidak Peka Kelabu, Literit Air Tanah Latosol (Oxisol) Agak Peka Brown Forest Soil (Inceptisol), Non Calcic Brown (inceptisol), Mediteran Kurang Peka (Alfisol) Andosol (Andisol), Laterit (Oxisol), Grumosol (Molisol), Podsol (Spodosol), Peka Podsolik (Ultisol) Regosol, Litosol, Organosol, Renzina Sangat Peka
Skor 15 30 45
60 75
Sumber: SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Tabel 3.6 Skor Erosi Berdasarkan Intensitas Curah Hujan Kriteria Intensitas Hujan (mm/hari hujan) Sangat Rendah < 13.6 Rendah 13.6 – 20.7 Sedang 20.7 – 27.7 Tinggi 27.7 – 34.8 Sangat Tinggi >34.8
Skor 10 20 30 40 50
Sumber: SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Perhitungan skor dilakukan dengan penjumlahan ketiga faktor di atas dan apabila nilai perhitungan akhir (total skor) ≥175, maka kawasan tersebut termasuk ke dalam kawasan lindung, dan jika nilainya < 175, maka kawasan termasuk kedalam kawasan penyangga (buffer zone). Pembagian kawasan berdasarkan skor dapat dilihat pada Tabel 3.7.
18
Tabel 3.7 Kriteria Sub Zona Kawasan Berdasarkan Skor No. Zona Kawasan 1. Kawasan Lindung 2. Kawasan Produksi Terbatas 3. Kawasan Produksi Bebas
Skor ≥175 125 - 174 ≤124
Sumber: SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
e. Penyusunan Arahan Pengelolaan DAS Penyusunan arahan pengelolaan dilakukan untuk mengendalikan praktek perubahan tataguna lahan atau alih fungsi lahan yang akan mempengaruhi tingkat erosi dan sedimentasi. Penyusunan arahan pengelolaan DAS dilakukan dengan mempertimbangkan faktor erosi dan lereng. Arahan pengelolaan DAS meliputi: 1. Peningkatan kawasan hutan sesuai dengan fungsi kawasan. Lahan dengan kelerengan > 40% dijadikan kawasan hutan lindung. 2. Penerapan agroteknologi pada lahan kering di luar kawasan lindung.
19
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis DAS Ciliwung Hulu DAS Ciliwung merupakan DAS yang melewati dua wilayah Provinsi yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta yang melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Jakarta bermuara di teluk Jakarta. DAS Ciliwung memiliki luas 34 700 ha dan memiliki panjang sungai utama 117 km (Pawitan 2006). Berdasarkan wilayah pengelolaannya, DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu bagian hilir, bagian tengah dan bagian hulu. Wilayah bagian hilir sampai dengan pintu air Manggarai termasuk dalam wilayah pemerintahan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, dan kemudian mengarah ke hilir lagi hingga masuk ke saluran buatan Kanal Barat. Bagian hulu DAS Ciliwung yang dicirikan dengan sungai pegunungan yang berarus deras terutama pada musim hujan merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 s/d 3 000 mdpl. DAS Ciliwung Hulu memiliki kemiringan lereng yang bervariasi yaitu mulai dari datar (0-3%) sampai dengan sangat curam (> 40%). Bagian hulu DAS Ciliwung meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cisarua, dan Sukaraja), dan Kota Bogor (sebagian kecil Kecamatan Bogor Timur). Berdasarkan hidrologis DAS Ciliwung Hulu dibagi ke dalam 6 Sub-DAS (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Luasan Sub DAS Ciliwung Hulua Luas No Sub DAS Ha % 1. Ciesek 2 505 17 2. Ciliwung Hulu 5 886 9 3.
Cibogo
1 375
40
4. 5. 6.
Cisarua Cisukabirus Ciseuseupan
2 219 1 697 1 178
15 11 8
a
Kecamatan Megamendung dan Cisarua Ciawi, Megamendung dan Cisarua Ciawi, Megamendung dan Cisarua Cisarua Ciawi dan Megemendung Ciawi dan Megamendung
Sumber: Hasil Analisis Peta Administrasi Sub DAS Ciliwung Hulu
DAS Ciliwung Hulu berbatasan dengan: a. Sebelah Utara: DAS Ciliwung Tengah dan DAS Citarum Hulu. b. Sebelah Selatan: DAS Cisadane Hulu. c. Sebelah Barat: DAS Cisadane Hulu. d. Sebelah Timur: DAS Citarum. Kondisi Fisik DAS Ciliwung Hulu Iklim Kawasan DAS Ciliwung Hulu dikenal sebagai daerah yang memiliki intensitas hujan yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar DAS Ciliwung Hulu merupakan wilayah perbukitan. Curah hujan diperoleh dari tiga
20
stasiun yang terdapat di lokasi penelitian yaitu Katulampa, Gadog, dan Gunung Mas. Sepanjang tahun 2003 sampai 2012, curah hujan di DAS Ciliwung Hulu sangat bervariasi dengan curah hujan tertinggi tahun 2010 sebesar 3 993 mm dan terendah pada tahun 2011 sebesar 2 540 mm. Curah hujan tahunan selama 10 tahun disajikan pada Gambar 4.1. Berdasarkan sistem klasifikasi Smith dan Ferguson yang mengacu pada intensitas curah hujan yaitu bulan basah (> 200 mm) dan bulan kering (< 100 mm), maka kawasan DAS Ciliwung Hulu termasuk Tipe Iklim A. Sedangkan berdasarkan klasifikasi Oldeman tipe iklim DAS Ciliwung Hulu termasuk tipe iklim B2 yang mempunyai 7-9 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering dan tipe iklim C1 yang mempunyai 5- 6 bulan basah berurutan dan kurang dari 2 bulan kering.
Gambar 4.1 Grafik curah hujan tahunan DAS Ciliwung Hulu Karakteristik Tanah Berdasarkan peta satuan tanah Kabupaten Bogor skala 1:250 000, kawasan DAS Ciliwung Hulu memiliki 10 (sepuluh) satuan tanah (Tabel 4.2). Klasifikasi tanah yang digunakan adalah sistem Soil Taxonomy (Soil Survey Staf 1992) sampai kategori Sub group (macam tanah). Berdasarkan Peta Tanah Semidetail Tahun 1992 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, jenis tanah di DAS Ciliwung Hulu terdiri dari order Inceptisol, Andosol Ultisol, dan sisanya Entisol. Sebarannya satuan tanah disajikan pada Gambar 4.2
21
Tabel 4.2 Luasan satuan tanah DAS Ciliwung Hulua No
Satuan Tanah
1
Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts Kompleks Typic Tropopsamments-Lithic Troporthents Kompleks Typic Troporthens-Typic Fluvaquents Konsosiasi Typic Dystropepts Konsosiasi Typic Eutropepts Konsosiasi Typic Hapludands Konsosiasi Typic Hapludults Konsosiasi Typic Humitropepts Jumlah
2 3 4 5 6 7 8 9 10 a
Luas Ha 2 807
% 19
3 453 43
23 0.3
13 270 1 828 2 524 2 302 1 640 293 15 173
0.1 2 12 17 15 11 2 100
Sumber: Hasil analisis peta satuan tanah DAS Ciliwung Hulu
Tabel 4.2 menunjukkan sebaran satuan tanah yang mendominasi DAS Ciliwung Hulu adalah Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments mencakup 23% dari luas total wilayah, Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts mencakup 19%, sedangkan jenis tanah yang memiliki luasan paling kecil adalah Kompleks Typic Tropopsamments-Lithic Troporthents mencakup 0.1% dari luasan wilayah penelitian. Kemiringan Lereng Berdasarkan bentuk topografinya, kemiringan lereng wilayah DAS Ciliwung Hulu bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Daerah-daerah dengan topografi curam dan tidak ada/jarang penutup lahan akan memudahkan tanah terdispersi akibat energi kinetik hujan. Luas kemiringan lereng disajikan pada Tabel 4.3 dan sebarannya disajikan pada Gambar 4.3. Tabel 4.3 Luasan kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulua Luas No Kemiringan Lereng (%) Ha 1 0-3 378 2 3-5 618 3 5-8 1 278 4 8-15 3 328 5 15-25 3 400 6 25-40 2 778 7 > 40 3 394 Jumlah 15 173 a
% 2 4 8 22 22 18 22
100
Sumber: Hasil analisis peta DEM
Peta kemiringan lereng diperoleh dari analisis kemiringan lereng dari peta DEM. Kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh lereng 8-15% sebesar 3 328 ha, lereng 15-25% sebesar 3 400 ha dan lereng > 40% sebesar 3 394
22
ha dengan proporsi masing-masing sekitar 22% dan paling kecil adalah lereng 03% sebesar 378 ha atau 2% dari luasan total DAS Ciliwung Hulu. Kondisi Penggunaan Lahan Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2013, penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu terdiri dari 9 (sembilan) jenis penggunaan lahan meliputi belukar, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering sekunder, dan tanah terbuka. Sebagian besar didominasi oleh penggunaan lahan berupa hutan tanaman sebesar 4 078 ha (27%) dan pertanian lahan kering sebesar 6 512 ha (43%). Luasan masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4.4 serta penyebarannya disajikan pada Gambar 4.4. Areal pemukiman pada daerah penelitian memiliki luas 1 755 ha (12%). Meningkatnya laju pemukiman menggambarkan bahwa kecenderungan konversi lahan untuk permukiman di DAS Ciliwung Hulu relatif tinggi. Bila hal ini terus berlanjut dikhawatirkan ekosistem kawasan lindung DAS menjadi terganggu, termasuk kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Tabel 4.4 Jenis penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulua
a
No
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Belukar Hutan Lahan kering Primer Hutan Lahan kering Sekunder Hutan Tanaman Pemukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campuran Tanah Terbuka Jumlah
Luas Ha 39 457 1 552 4 070 1 755 544 6 506 230 20 15 173
% 0.3 3 10 27 12 4 43 2 0.1 100
Sumber: Hasil analisis peta penggunaan lahan tahun 2013
Kawasan pemukiman tersebar di sepanjang jalan raya Puncak (Gambar 4.4). Kawasan perkebunan tersebar di Kecamatan Cisarua dengan jenis perkebunan didominasi oleh perkebunan teh dimana fungsinya tidak hanya sebagai perkebunan tetapi juga sebagai kawasan wisata. Kawasan pertanian di DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh pertanian lahan kering sebesar 6 506 ha (43%). Kawasan hutan di DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh jenis pohon Pinus, sehingga sering pula dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai kayu bakar. Perubahan fungsi lahan terutama terjadi didekat lahan budidaya pertanian dan budidaya non pertanian (berupa permukiman pedesaan) dengan hak kepemilikan perseorangan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan budidaya non pertanian berupa permukiman atau lahan untuk pariwisata.
23
Gambar 4.2 Sebaran satuan tanah DAS Ciliwung Hulu 23
24
24
Gambar 4.3 Sebaran kelas kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulu
25
25
Gambar 4.4 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu
26
Kualitas Air Sungai dan Sumberdaya Lahan Tingginya laju permukiman dan aktivitas masyarakat serta intensitas aktivitas pertanian dan permukiman di wilayah hulu mengakibatkan penurunan kualitas air sungai DAS Ciliwung. Perkembangan permukiman dan kegiatan wisata di wilayah hulu menyebabkan jumlah sampah organik padat dan cair yang dibuang/dialirkan ke dalam badan air Sungai Ciliwung semakin bertambah. Akitivitas pertanian dengan menggunakan pupuk kimia yang terlampau tinggi dan pemakaian pestisida untuk meningkatkan produksi dan kualitas sayuran memberikan dampak yang cukup besar terhadap pencemaran air dan tanah. Kualitas sumberdaya lahan dapat diketahui melalui tingkat degradasi yang terjadi. Tingkat degradasi lahan dinilai berdasarkan tingkat erosi tanah pada suatu lahan, semakin tinggi erosi yang terjadi maka akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara keseluruhan. Qodariah et al. (2004) menyatakan bahwa DAS Ciliwung Hulu telah mengalami degradasi lahan yang sangat tinggi ditandai dengan tingkat erosi yang mencapai 44 ton/ha/bulan tahun 2001 dan mencapai 74.7 ton/ha/bulan tahun 2002. Penurunan kualitas sumberdaya lahan dapat dilihat dari luasan lahan kritis yang tersebar di wilayah DAS Ciliwung Hulu. Kondisi ini menggambarkan bahwa DAS Ciliwung Hulu memerlukan upaya rehabilitasi dan konservasi lahan guna meningkatkan fungsinya sebagai lahan pertanian produktif dan sebagai wilayah resapan bagi wilayah hilir. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan Kegiatan ekonomi masyarakat lokal kawasan DAS Ciliwung Hulu umumnya di sektor pertanian yang tergantung pada lahan yang terbatas. Namun hal ini telah mengalami pergeseran, terlihat dari jenis pekerjaan yang dahulu di sektor pertanian (onfarm) beralih ke sektor non-pertanian, seperti jasa dan perdagangan. Dilihat dari perkembangan tingginya alih fungsi (konversi) lahan dan alih pemilikan lahan pada wilayah Ciliwung Hulu ada kecenderungan yang sangat kuat bahwa kegiatan ekonomi berbasis lahan tidak dapat dipertahankan lagi. Khususnya kawasan Puncak yang merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung mengalami proses komersialisasi lahan yang agresif dikarenakan faktor udara yang sejuk, kesuburan tanah yang baik serta lokasi yang strategis dilihat dari ibukota Jakarta, Bogor, dan Bandung. Keadaan ini mendorong petani lokal untuk melepaskan sebagian atau seluruh lahan milik mereka kepada orang kota yang bermodal kuat. Hal ini menyebabkan penguasaan lahan perorangan makin meningkat menggantikan status lahan yang semula adalah hak garap dari masyarakat petani lokal. Pembelian lahan seperti itu semakin mempersempit lahan usahatani masyarakat petani lokal. Kondisi seperti ini mengharuskan masyarakat mencari pekerjaan di sektor non-pertanian seperti menjadi tukang ojek sepeda motor, penjaga villa peristirahatan milik orang kota, karyawan rumah makan dan sebagainya. Sementara lahan yang telah mengalami perubahan kepemilikan (milik orang kota), biasanya mengalami konversi ke penggunaan lahan yang bersifat nonpertanian. Hal ini akan meningkatkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS
27
Ciliwung sebagai daerah tangkapan hujan (water catchment area) (Ruspendi 2014). Laju pertambahan penduduk yang terdiri dari laju kelahiran dan migrasi mempengaruhi perubahan lahan. Penduduk akan membutuhkan lahan untuk tempat tinggal serta sarana penunjang lainnya dengan merubah lahan-lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Perubahan ini tentunya akan berakibat terhadap fungsi ekologi/lingkungan DAS yang akan semakin menurun. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di kawasan DAS Ciliwung Hulu mengakibatkan masyarakat lokal hanya menjadi pekerja dan buruh kasar. Berdasarkan data tahun 2009, jumlah penduduk di Kecamatan Cisarua yang belum sekolah-tidak tamat SD-tamat SD mencapai 54.6%, dan di Kecamatan Megamendung mencapai 67.4%. Sementara jumlah penduduk dengan pendidikan mencapai jenjang perguruan tinggi hanya 1% untuk Kecamatan Cisarua dan 0.64% untuk Kecamatan Megamendung (Ruspendi 2014). Kondisi sosial ekonomi (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan) umumnya mempengaruhi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena pada dasarnya kualitas lingkungan hidup tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pendidikan memberikan pengetahuan dan mendidik serta merubah pola berpikir, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kesadaran terhadap lingkungan meningkat (Afifah et al. 2013). Partisipasi masyarakat dalam membayar iuran konservasi, yang ditunjukkan oleh nilai WTP (willingness to pay), cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang pendidikan dan penghasilannya lebih tinggi (Sabri 2004).
28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Aspek Jasa Lingkungan Pengendali Erosi dan Sedimentasi (HCV 4.2) Tanah yang dominan di hutan hujan tropis Indonesia adalah tanah yang sangat rentan terhadap erosi. Kawasan hutan penting untuk menjaga stabilitas tanah seperti mengendalikan erosi berlebihan yang dapat menyebabkan tanah longsor dan pendangkalan sungai (Sulistioadi 2010). Daerah yang mempunyai konsekuensi rentan terhadap erosi dianggap sebagai kawasan pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2). Dalam penelitian ini, estimasi risiko erosi potensial di daerah penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan risiko erosi yang tinggi. Berdasarkan hasil prediksi Tingkat Bahaya Erosi (TBE), kawasan penelitian mengalami potensi erosi sedang sampai sangat berat. Hal ini karena pengaruh dari faktor-faktor yang berkontribusi terhadap erosi tanah yang ditentukan dengan menggunakan data spasial berupa peta erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS). Identifikasi kawasan HCV 4.2 dilakukan pada berbagai tipe penggunaan lahan. Oleh karena itu peta penggunaan lahan dioverlay dengan peta tingkat bahaya erosi sehingga diperoleh kawasan dengan potensi erosi berat dan sangat berat, yang merupakan kawasan HCV 4.2. Sebaran kawasan yang berpotensi erosi berat dan sangat berat disajikan pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 menunjukkan bahwa potensi erosi tersebar di seluruh kawasan DAS Ciliwung Hulu. Potensi erosi sangat berat mendominasi hampir seluruh kawasan penelitian, diikuti potensi erosi berat dan sedang. Teridentifikasinya potensi erosi berat dan sangat berat pada kawasan penelitian sehingga dinilai kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2). Luasan areal (ha) potensi erosi dan kawasan HCV 4.2 disajikan apada Tabel 5.1 Tabel 5.1 Luasan areal (ha) potensi erosi dan kawasan HCV 4.2 di DAS Ciliwung Hulua Luas areal Erosi Kawasan No TBE % HCV 4.2b Ha % 1 Sedang 1 543 10 2 Berat 1 856 12 1 855 12 3 Sangat Berat 11 775 78 11 775 78 Jumlah 15 173 100 13 630 90 a
Sumber : Hasil analisis peta tingkat bahya erosi; bHasil perhitungan potensi erosi berat dan sangat berat
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebesar 13 630 ha (90%) dari total luasan DAS Ciliwung Hulu teridentifikasi sebagai kawasan HCV 4.2. Mengacu pada Toolkit bahwa kawasan yang teridentifikasi HCV 4.2 sebagai kawasan pencegah erosi harus ditingkatkan fungsinya dan pembangunan yang dilakukan sangat terbatas. Kawasan HCV 4.2 ditetapkan sebagai salah satu kawasan yang memiliki nilai jasa lingkungan dan berfungsi menyediakan jasa-jasa alam dan lingkungan
29
sehingg kawasan tersebut perlu ditetapkan sebagai areal konservasi. Tujuan areal konservasi adalah untuk dikelola guna menjamin kelangsungan/keberlanjutan dalam menyediakan jasa-jasa lingkungan seperti mencegah dan mengendalikan erosi, longsor dan sedimentasi. Risdiyanto et al. (2011) menyatakan bahwa apabila kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi untuk mencegah dan mengendalikan erosi dan longsor di lahan dan sedimentasi di badan air adalah areal yang berhutan atau vegetasi lainnya, maka kawasan tersebut akan mendapatkan prioritas utama dalam menjaga fungsi-fungsi tersebut. Hal ini dikarenakan faktor jenis tutupan lahan merupakan salah satu instrumen pengelolaan kawasan dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Potensi erosi berat dan sangat berat terjadi pada berbagai penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan hutan maupun penggunaan lahan non hutan yang teridentifikasi sebagai kawasan HCV 4.2 terdapat disebagian wilayah penelitian. Sebaran hasil overlay kawasan potensi erosi dengan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 5.2. Mario (2016) menyatakan bahwa hutan dalam kondisi yang baik dan tidak terganggu dapat mengendalikan erosi tanah dengan keberadaan serasah yang cukup dan banyaknya tumbuhan yang ada di bawah tegakan hutan. Serasah dan tumbuhan bawah tegakan dapat mengendalikan laju pergerakan air hujan di atas permukaan tanah dan limpasan air (runoff). Fungsi ini akan berkurang apabila kawasan hutan sudah terganggu akibat adanya kegiatan manusia sehingga terjadi perubahan kondisi lantai hutan dan tegakan hutan. Gambar 5.2 menunjukkan bahwa penyebaran kawasan HCV 4.2 pada berbagai penggunaan lahan. Jika dilihat dari fungsinya, penggunaan lahan hutan dengan tajuk yang rapat mampu mengurangi laju aliran permukaan dan mencegah erosi tanah. Maka kawasan hutan merupakan kawasan yang sesuai apabila ditetapkan sebagai kawasan HCV 4.2, karena kawasan HCV 4.2 berfungsi mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi di lahan. Penggunaan lahan non hutan seperti pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, perkebunan, tanah terbuka, pemukiman, dan belukar merupakan penggunaan lahan yang tidak sesuai jika ditetapkan sebagai kawasan HCV 4.2. Hal ini disebabkan kawasan non hutan tersebut merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya dengan fungsi utamanya untuk pertanian. Kawasan budidaya berupa wilayah yang boleh dimanfaatkan lahannya atau wilayah dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan. UU No 37 Tahun 2014 menyebutkan adanya pengendalian konversi penggunaan lahan prima yaitu upaya maksimal untuk mempertahankan lahan prima di kawasan budidaya agar tetap dipergunakan sebagai lahan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan budidaya tidak boleh dikonversikan sebagai kawasan HCV 4.2.
30
30
Gambar 5.1 Sebaran kawasan potensi erosi menurut perhitungan Toolkit
31
31
Gambar 5.2 Sebaran kawasan HCV 4.2 berdasarkan penggunaan lahan
32
Berdasarkan kemiringan lereng, kawasan HCV 4.2 teridentifikasi pada berbagai kemiringan lereng mulai dari lereng datar sampai kemiringan lereng sangat curam. Semakin curam lereng dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi dan intensitas hujan yang tinggi akan menghasilkan erosi yang semakin besar. Luasan areal erosi berdasarkan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Luasan Areal TBE (ha) Berdasarkan Kemiringan Lereng a TBE
SR R S B SB Jumlah a
0-3 0 0 262 115 0 377
3-5 0 0 411 207 0 618
Kemiringan Lereng (%) 5-8 8-15 15-25 0 0 0 0 0 0 870 0 0 408 1 125 0 0 2 203 3 400 1 278 3 328 3 400
25-40 0 0 0 0 2 778 2 778
> 40 0 0 0 0 3 394 3 394
Luas ha % 0 0 0 0 1 543 10 1 855 12 11 775 78 15 173 100
Sumber: Hasil analisis peta potensi erosi dan kemiringan lereng; Ket: S=Sedang, B= Berat dan SB=Sangat Berat.
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebesar 11 775 ha (78%) dari total luas DAS mengalami potensi erosi sangat berat dan mendominasi kawasan penelitian yang tersebar pada berbagai kemiringan lereng. Sedangkan sekitar 10% dari total luasan DAS mengalami potensi erosi sedang. Unsur topografi yang mempengaruhi erosi adalah kemiringan dan panjang lereng. Semakin besar kemiringan lereng, maka intensitas erosi akan semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan energi kinetik aliran limpasan yang semakin besar sejalan dengan semakin besar kemiringan lereng. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu didominasi lereng 8-15%, 15-25% dan > 40% dengan persentase masing-masing sekitar 22%. Kemiringan lereng berpengaruh besar terhadap kecepatan aliran permukaan. Seringkali, komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan menjadi faktor LS dalam prediksi erosi menggunakan persamaan USLE/RUSLE. Nilai faktor LS ini berbanding lurus dengan besarnya erosi. Arsyad (2010) menyatakan bahwa nilai faktor LS yang tinggi pada suatu lahan memungkinkan erosi yang terjadi juga tinggi. Asdak (2010) menyatakan bahwa semakin panjang lereng, volume kelebihan air yang terakumulasi di bagian atas akan menjadi lebih besar dan kemudian akan turun dengan volume dan kecepatan yang meningkat. Selain faktor kemiringan lereng, potensi erosi juga disebabkan oleh faktor iklim. Curah hujan merupakan faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap terjadinya erosi tanah. As-syakur (2010) menyatakan bahwa besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi. Konservasi tanah secara mekanik seperti pembuatan teras dapat digunakan untuk mengatasi dampak buruk panjang lereng tersebut. Pembuatan teras dapat mengurangi kecepatan dan volume aliran permukaan, pada akhirnya dapat mengurangi kekuatan merusak tanah.
33
Analisis Erosi Aktual DAS Ciliwung Hulu Teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Remote Sensing (RS) semakin banyak digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam (Andriyanto et al. 2015). Penggunaan data berbasis piksel melalui GIS dan RS digunakan sebagai alat pemodelan spasial untuk memprediksi erosi pada lahan dengan topografi kompleks (Lorito et al. 2004). Salah satu metode yang dikembangkan untuk memprediksi erosi adalah Universal Soil Loss Equation (USLE) (Renard et al. 1997). USLE adalah metode yang digunakan untuk memprediksi erosi yang terkait dengan limpasan, diperoleh dari lima parameter yaitu: erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang lereng (L), kemiringan lereng (S), dan tanaman serta pengelolaan lahan (CP). Hasil perhitungan bahaya erosi dibedakan dalam 5 kelas bahaya erosi, yaitu kelas I (< 15 ton/ha/thn), kelas II (15-60 ton/ha/thn), kelas III (60-180 ton/ha/thn), kelas IV (180-480 ton/ha/thn) dan kelas V (> 480 ton/ha/thn) dengan luasan masing-masing disajikan pada Tabel 5.3. Berdasarkan luasannya, DAS Ciliwung Hulu menunjukkan bahwa 17% dari total luasan DAS termasuk dalam kelas erosi sangat rendah, 39% termasuk kelas rendah, 19% termasuk kelas sedang, 12% kelas berat dan 13% kelas sangat berat. Potensi erosi rendah umumnya mendominasi kawasan DAS Ciliwung Hulu sebesar 5 868 ton/ha/tahun (39%) dari total luasan DAS. Sebaran potensi erosi aktual disajikan pada Gambar 5.3. Tabel 5.3 Luasan areal (ha) potensi erosi aktual DAS Ciliwung Hulua Luas Potensi Erosi No Bahaya Erosi ton/ha/thn Ha % <15 1 Sangat Rendah 2 570 17 15-60 2 Rendah 5 868 39 60-180 3 Sedang 2 811 19 180-480 4 Berat 1 891 12 >480 5 Sangat Berat 2 036 13 Jumlah 15 173 100 a
Sumber : Hasil analisis prediksi tingkat bahya erosi
Potensi erosi menyebar luas pada berbagai kemiringan lereng mulai dari kemiringan 0% sampai lebih dari 40% dan tersebar pada berbagai penggunaan lahan. Lahan dengan bahaya erosi berat termasuk kelas IV mengalami potensi erosi seluas 1 891 ha (12%) dan erosi sangat berat termasuk kelas V mempunyai sebaran erosi sebesar 2 036 ha (13%) yang menyebar pada lahan berlereng 0% sampai lereng lebih dari 40%. Luasan potensi erosi berdasarkan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 5.4. Faktor utama yang menyebabkan erosi sangat berat adalah penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan kondisi topografi lahan. Umumnya DAS Ciliwung Hulu berada pada wilayah yang memiliki topografi curam hingga sangat curam (lereng > 25%-40%), maka peluang terjadinya erosi sangat besar terutama jika pengelolaan dilakukan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Dewi et al. (2012) menyatakan bahwa kondisi kemiringan lereng yang curam tanpa dilakukannya tindakan konservasi akan menurunkan kapasitas infiltrasi tanah,
34
memperbesar jumlah aliran permukaan serta kecepatan aliran permukaan, dengan demikian memperbesar energi angkut aliran permukaan dan erosi menjadi berat. Tabel 5.4 Luasan areal TBE (ha) berdasarkan kemiringan lerenga TBE SR R S B SB Jumlah a
0-3 170 80 124 2 0 378
3-5 281 151 183 3 0 618
Kemiringan lereng 5-8 8-15 15-25 642 457 600 321 845 420 312 1 313 879 3 271 1 020 0 443 481 1 278 3 328 3 400
25-40 67 1 504 0 462 744 2 778
> 40 349 2 547 0 130 368 3 394
Luas Ha % 2 567 17 5 868 39 2 811 19 1 891 12 2 036 13 15 173 100
Sumber : Hasil Overlay peta erosi dengan kemiringan lereng; Ket: SR= Sangat Rendah, R= Rendah, S= Sedang, B= Berat dan SB= Sangat Berat
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa potensi erosi sangat berat terjadi pada kemiringan lereng mulai dari 8-15% sampai kemiringan > 40%, sedangkan potensi erosi berat terjadi pada kemiringan lereng dari 0% sampai kemiringan > 40%. Melihat begitu besar potensi erosi yang terjadi pada setiap kemiringan lereng, maka perlu adanya penerapan teknik konservasi untuk mencegah semakin luas dan besarnya erosi. Distribusi potensi erosi kelas sangat rendah sampai rendah sebagian besar ditemukan di kawasan hutan. Hutan merupakan daerah tangkapan air yang berfungsi untuk mengurangi erosi. Perubahan penggunaan lahan meningkatkan jumlah erosi (Fitzpatrick et al. 1999; Wibowo 2005; Murillo et al. 2011; Junaidi et al. 2011; Wijitkosum 2012). Hal ini karena vegetasi penutup tanah memainkan peran penting dalam melindungi permukaan tanah dari dampak air hujan secara langsung, serta menurunkan kecepatan dan volume air limpasan sehingga dapat menahan partikel tanah. Luasan potensi erosi menurut penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Luasan bahaya erosi aktual (ha) berdasarkan penggunaan lahan TBE
Penggunaan lahan
Luas
BL HP HS HT PM PK PLK PLC TT ha % SR 0 457 210 940 0 0 951 8 0 2 567 17 R 0 0 1 342 3 129 80 33 1 259 26 0 5 868 39 S 2 0 0 0 618 25 2 098 69 0 2 811 19 B 4 0 0 0 188 79 1 537 75 9 1 891 12 SB 33 0 0 0 870 407 661 53 12 2 036 13 Jumlah 39 457 1 552 4 070 1 755 544 6 506 230 20 15 173 100 a Sumber: Hasil overlay peta penggunaan lahan dan peta erosi; Ket: SR= Sangat Rendah, R= Rendah, S= Sedang, B= Berat, SB= Sangat Berat, BL=Belukar, HP=hutan primer, HS=hutan sekunder, Ht=hutan tanaman, PM=pemukiman, PK=perkebunan, PLK=pertanian lahan kering, PLC=pertanian lahan kering campuran, TT=tanah terbuka.
Berdasarkan Tabel 5.5, tingkat bahaya erosi yang terjadi sangat bervariasi mulai dari sangat rendah sampai sangat berat. Perbedaan tipe penggunaan lahan juga memberikan perbedaan pada tingkat erosi tanah. Penggunaan lahan hutan di DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh jenis hutan primer, sekunder dan hutan
35
tanaman yang berada pada kemiringan lereng > 40%, hutan di lokasi penelitian memiliki tajuk yang rapat sehingga mampu mengurangi laju air hujan yang jatuh ke permukaan tanah, sehingga ketika air hujan sampai di permukaan tanah maka kekuatan energi kinetik hujan yang menimbulkan erosi akan berkurang dan tidak akan menimbulkan erosi berat. Pada jenis tanah dan kemiringan lereng yang sama, hutan memberikan kontribusi terjadinya erosi lebih kecil dibandingkan dengan lahan pertanian atau semak/belukar. Hutan memiliki peran penting dalam mengatur sistem air, pengendalian erosi dan sistem pendukung kehidupan manusia. Oleh karena itu, menjaga fungsi hutan dengan mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan sangat penting. Hal ini karena fungsi hidrologis DAS tidak dapat digantikan dengan penggunaan lahan vegetasi selain pohon (Andriyanto 2015). Hutan dengan vegetasi dan penutupan lahan yang rapat mampu mengurangi laju erosi tanah. Bukhari et al. (2015) menyatakan bahwa faktor vegetasi penutup tanah (C) berperan sebagai pelindung tanah terhadap gaya-gaya erosi dengan memperkecil hempasan tetesan air hujan, menghambat laju aliran limpasan dan memperbaiki struktur tanah. Dengan mempertimbangkan erosi aktual (dengan faktor CP) juga masih ditemui potensi erosi berat dan sangat berat yang umumnya terjadi pada penggunaan lahan kebun/perkebunan dan tegalan/ladang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan di kawasan DAS Ciliwung Hulu telah menyebabkan degradasi lahan. Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Lokasi penelitian yang terletak di wilayah pegunungan dengan curah hujan tahunan > 2000 mm berpotensi besar terjadinya erosi. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi lahan yang didominasi oleh berbagai jenis tanah yang peka terhadap erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan As-syakur (2010) menyatakan bahwa hujan dengan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (< 1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (> 1 jam). Morgan (1978) dalam Arsyad (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi intensitas hujan, semakin tinggi pula tenaga pukulannya. Hal ini mengakibatkan semakin banyak partikel tanah yang terlepas kemudian terlempar bersama percikan air. Pengaruh energi air hujan ini dapat dikurangi atau dihilangkan dengan penutupan tanah serapat mungkin. Tindakan tersebut ditujukan untuk mencegah tumbukan air hujan terhadap tanah secara langsung, mengurangi aliran permukaan, sehingga dapat memperbesar kapasitas infiltrasi dan menjaga kemantapan struktur tanah. Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa kawasan DAS Ciliwung Hulu bisa mengalami potensi erosi berat maupun sangat berat. Hal ini disebabkan karena faktor curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan erosi tinggi.
36
36
Gambar 5.3 Sebaran kawasan erosi aktual DAS Ciliwung Hulu
37
Evaluasi Kawasan HCV 4.2 Berdasarkan Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan merupakan penilaian komponen lahan secara sistematis dan pengelompokan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan. Kemampuan lahan diklasifikasikan ke dalam 8 kelas yang ditandai dengan huruf romawi I-VIII. Dua kelas pertama (kelas I dan II) adalah lahan yang cocok untuk tanaman pertanian dan dua kelas terakhir (kelas VII dan VIII) adalah lahan yang harus dilindungi atau untuk konservasi, kelas III, IV, V, dan VI dapat dikembangkan untuk berbagai pemanfaatan lainnya. Hardjowigeno (2010) menyatakan bahwa pengelompokan lahan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat dari kelas I sampai kelas VIII, dimana resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dengan semakin tinggi kelasnya. Tanah kelas I–IV dengan pengelolaan yang baik sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman semusim dan tanaman tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan tingkat kelas dilakukan untuk mengetahui alokasi pemanfaatan ruang yang tepat sesuai dengan kemampuan lahan yang dimiliki. Evaluasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan hasil overlay antara peta kemiringan lereng dan peta potensi erosi. Hasil analisis kemampuan lahan menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki 7 (tujuh) kelas kemampuan lahan yaitu kelas I, II, III, IV, VI, VII dan VIII dimana setiap kelas mempunyai faktor pembatas lereng permukaan dan erosi tanah. Luasan kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Luasan Kelas Kemampuan Lahan DAS Ciliwung Hulua Luas No Kelas Kemampuan Lahan Ha 1 I 93 2 II 132 3 III 659 4 IV 3 915 5 VI 3 496 6 VII 2 918 7 VIII 3 960 Jumlah 15 173 a
% 1 1 4 26 23 19 26 100
Sumber: Hasil analisis kemampuan lahan DAS Ciliwung Hulu
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa kemampuan lahan kelas IV dan VIII mendominasi kawasan DAS Ciliwung Hulu dengan luasan masing-masing secara berurutan sebesar 3 915 ha dan 3 960 ha dengan persentase masing-masing sekitar 26%. Faktor lereng dan faktor erosi merupakan penghambat utama pada setiap kelas kemampuan lahan, dimana semakin curam lereng maka erosi yang dihasilkan juga akan semakin tinggi sehingga pilihan penggunaan lahan juga semakin terbatas. Peta sebaran kelas kemampuan lahan DAS Ciliwung Hulu
38
disajikan pada Gambar 5.4. Lahan kelas I sampai IV merupakan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya. Kawasan budidaya berupa wilayah yang boleh dimanfaatkan lahannya atau wilayah dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan. Gambar 5.4 menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan di DAS Ciliwung Hulu tersebar di seluruh kawasan DAS mulai kelas I, II, III, IV, VI, VII, hingga kelas VIII. Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan dan erosi tanah menunjukkan bahwa setiap kelas kemampuan lahan telah mengalami erosi dari erosi sangat rendah samapi erosi sangat berat. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai penggunaan lahan dengan berbagai tingkat kelas di kawasan DAS Ciliwung Hulu menyebabkan erosi. Luasan kelas kemampuan lahan menurut tingkat bahaya erosi (TBE) disajikan pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Luasan kelas kemampuan lahan berdasarkan TBE di DAS Ciliwung Hulua TBE SR R S B SB Jumlah a
Kemampuan lahan (ha) I 23 14 57 0 0 94
II 28 37 60 7 0 132
III 307 121 231 0 0 659
IV 299 947 1 692 362 614 3 914
VI 514 375 981 1 103 523 3 496
Luas VII 65 1 454 0 527 871 2 918
VIII 365 2 998 0 140 457 3 960
ha % 1 601 11 5 946 39 3 021 20 2 139 14 2 465 16 15 173 100
Sumber: Hasil overlay peta kemampuan lahan dan peta erosi tanah; Ket: SR= Sangat Rendah, R=Rendah, S=Sedang, B=Berat dan SB= Sangat Berat
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa kemampuan lahan kelas I sampai III mengalami potensi erosi sangat rendah sampai sedang, hanya kelas II mengalami erosi berat dengan luasan 7 ha. Sedangkan kemampuan lahan kelas VI sampai VIII mengalami erosi sangat rendah sampai sangat berat. Tabel 5.7 juga menunjukkan bahwa kawasan penelitian didominasi oleh erosi rendah sebesar 5 946 ha (39%) dari total luasan DAS. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kemampuan lahan kelas I, II, dan III umumnya mengalami erosi sangat rendah sampai sedang, hal ini menunjukkan penggunaan lahan di kelas I yang dikhususkan hanya untuk kawasan pertanian dengan penerapan teknik konservasi dapat meminimalkan erosi. Kemampuan lahan kelas VI juga diperuntukkan untuk kawasan pertanian, namun karena dalam penerapannya kurang memperhatikan teknik konservasi sehingga pada lokasi penelitian telah mengalami erosi berat maupun sangat berat.
39 39
Gambar 5.4 Sebaran kelas kemampuan lahan DAS Ciliwung Hulu
40
Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan HCV 4.2 merupakan lahan yang diprioritaskan sebagai kawasan yang mampu melindungi kawasan di bawahnya. Lahan yang ditetapkan sebagai kawasan HCV 4.2 umumnya lahan dengan kemiringan lereng > 40% dan tidak mungkin untuk dilakukan budidaya pertanian, lahan tersebut biasanya berada pada lahan kelas VIII. Pada lahan ini penggunaannya terbatas hanya untuk kawasan hutan, agar dapat melindungi tanah dari erosi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rustiadi et al. (2011), bahwa lahan kelas VIII pilihan peruntukannya sangat terbatas umumnya hanya untuk kawasan lindung atau sejenisnya. Analisis Konsistensi HCV 4.2 Berdasarkan Kemampuan Lahan Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan dan kawasan HCV 4.2, menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kawasan yang ditetapkan sebagai HCV 4.2 dengan kemampuan lahan. Dimana kemampuan lahan kelas I sampai IV merupakan lahan yang tidak sesuai apabila ditetapkan sebagai kawasan HCV 4.2, karena lahan pada kelas I sampai IV menurut kriteria kemampuan lahan merupakan lahan yang diprioritaskan untuk kawasan budidaya. Dengan demikian jika kawasan HCV 4.2 ditetapkan pada tanah kelas I sampai IV tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahannya. Luasan ketidaksesuaian kawasan HCV 4.2 menurut kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 5.8. UU No.37 Tahun 2014 menjelaskan bahwa kawasan budidaya sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya tersebut termasuk ke dalam lahan prima dimana setiap orang dilarang melakukan konversi penggunaan lahan prima di kawasan budi daya. Lahan prima adalah lahan yang berfungsi secara baik untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan. Tabel 5.8 Luasan ketidaksesuaian kawasan HCV 4.2 berdasarkan kemampuan lahana HCV (Toolkit) Kemampuan Lahan I II III IV Jumlah VI VII Jumlah Total KL 1-VII VIII Jumlah Jumlah Total a
Luas
Sedang
Berat
Sangat Berat
Ha
262 411 870 1 543 1 543 1 543
115 207 408 1 125 1 855 1 855 1 855
2 203 2 203 3 400 2 778 6 178 8 381 3 394 3 394 1 1775
115 207 408 3 328 4 058 3 400 2 778 6 178 10 236 3 394 3 394 13 630
%
30
45 75 25 100
Sumber: Hasil analisis kemampuan lahan dan peta bahaya erosi
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa ketidaksesuaian kawasan HCV 4.2 pada kemampuan lahan kelas I sampai VII sebesar 10 236 ha (75%) dari luasan
41
kawasan yang teridentifikasi HCV 4.2. Ketidaksesuaian ini terjadi karena teridentifikasinya HCV 4.2 pada kemampuan lahan I sampai VII. Menurut kriteria kemampuan lahan, tanah kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penanaman tanaman pertanian. Lahan pada kelas VI dan VII sesuai untuk padang rumput dan makanan ternak, di mana pada daerah penelitian teridentifikasi sebesar 6 178 ha (45%). Sedangkan lahan kelas VIII sebesar 3 394 ha (25 %) dari total kawasan HCV 4.2 merupakan lahan yang sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami, kawasan inilah yang harusnya dijadikan kawasan HCV pengendalian erosi dan sedimentasi. Sebaran kawasan HCV 4.2 berdasarkan kemampuan lahan disajikan pada Gambar 5.5. Evaluasi Kawasan HCV 4.2 Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 Persoalan penting dalam masalah kawasan konservasi adalah bukan sekedar memberikan informasi tentang apa itu kawasan konservasi tetapi juga bagaimana masyarakat umumnya serta semua pihak memahami fungsi kawasan tersebut dan bagaimana membangun kesadaran untuk memelihara dan memanfaatkan sebijak mungkin sesuai dengan fungsi masing-masing kawasan tersebut. Masyarakat kini sudah menganggap kawasan konservasi sebagai potensi besar untuk mendapatkan uang apalagi penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya (Wiryono 2003). Berbagai kebijakan pemerintah cukup jelas dan tegas mengatur tata ruang pengembangan wilayah baik dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten atau kota dengan memperhatikan aspek jasa lingkungan ke dalam penataan ruang wilayah yang harus dilindungi untuk kepentingan kelestarian fungsi lingkungan. Alokasi Lahan Menurut PP No. 26 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan keharusan penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional. Kawasan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen). Kawasan lindung termasuk di dalamnya kawasan resapan air dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan. Kriteria penetapan hutan lindung dijelaskan secara lengkap di Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2837/Kpts/Um/11/1908. Jika di dalam penggabungan atau tumpang tindih antara faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan memiliki nilai > 175 maka ditetapkan sebagai kawasan lindung. Berdasarkan hasil Overlay peta jenis tanah, kelerengan dan curah hujan menunjukkan bahwa beberapa kawasan di DAS Ciliwung Hulu berfungsi sebagai kawasan hutan lindung. Luasan kawasan lindung disajikan pada Tabel 5.9 dan sebarannya disajikan pada Gambar 5.6. Kawasan hutan yang memiliki topografi curam, seperti kawasan Gunung Gede Pangrango yang harusnya berfungsi sebagai hutan lindung, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Masyarakat banyak yang melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi berbagai penggunaan lahan pertanian atau pemukiman, sementara ancaman terhadap terjadinya bahaya longsor akan semakin tinggi.
42
42
Gambar 5.5 Sebaran kawasan HCV 4.2 dan kemampuan lahan
43
Tabel 5.9 Luasan kawasan hutan lindung DAS Ciliwung Hulua
a
No
Kriteria Kawasan
1 2 3
Kawasan Hutan Lindung Kawasan Produksi Bebas Kawasan Produksi Terbatas Jumlah
Luas Ha 3 213 5 368 6 592 15 173
% 21 35 43 100
Sumber: Hasil overlay peta jenis tanah, kemiringan lereng dan curah hujan
Pemanfaatan kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi akan menyebabkan terjadinya bencana yang lebih parah. Sejak dikeluarkannya Keppres No 32 tahun 1990, kawasan lindung sudah mulai diperhatikan. Namun dalam implementasinya tidak berjalan secara baik, hal ini berkaitan erat dengan keterbatasan pemahaman tentang fungsi kawasan lindung (Harimurti 2007). Gambar 5.6 menunjukkan bahwa kawasan yang termasuk kawasan lindung sebagian besar berada di kawasan Gunung Gede Pangrango yang memiliki kemiringan lereng > 40%. Luas kawasan lindung di lokasi penelitian sangat jauh dari syarat minimal luas hutan lindung dalam suatu kawasan DAS, yaitu hanya 21% dari total luasan DAS. Mengacu pada PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 7 ayat 2 butir (b) dijelaskan bahwa kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau merupakan kawasan dengan luas paling sedikit 30% dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan butir (c) mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air menjelaskan bahwa penyelenggaraan konservasi tanah dan air meliputi perlindungan, pemulihan, peningkatan dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan. Perlindungan fungsi tanah pada lahan di kawasan lindung dilakukan dengan metode manajemen berupa: a) pengendalian konversi penggunaan lahan prima, b) pengamanan, dan c) penetapan kawasan. Pengendalian konversi penggunaan lahan prima di kawasan lindung bertujuan untuk mempertahankan fungsi utama kawasan lindung. Kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu termasuk ke dalam kemampuan lahan kelas VII dan VIII, sehingga penggunaan lahan/pembangunan di kawasan tersebut sangat terbatas. Dengan demikian kawasan tersebut dapat di kategorikan sebagai kawasan HCV 4.2 yang berfungsi sebagai pengendali erosi dan sedimentasi.
44
44
Gambar 5.6 Sebaran kawasan lindung DAS Ciliwung Hulu
45
Analisis Konsistensi HCV 4.2 Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 Menurut Toolkit HCV, kawasan hutan lindung merupakan kawasan bernilai konservasi tinggi pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2). Berdasarkan hasil analisis, kawasan HCV 4.2 (erosi berat dan sangat berat) teridentifikasi pada lahan dengan kemiringan datar sampai kemiringan sangat curam. PP No 26 Tahun 2008 juga menjelaskan bahwa tanah pada lereng datar dikategorikan sebagai kawasan budidaya, dimana kawasan tersebut merupakan lahan prima. Undang-undang No 37 Tahun 2014 menyebutkan adanya pengendalian konversi penggunaan lahan prima yaitu upaya maksimal untuk mempertahankan lahan prima di kawasan budidaya agar tetap dipergunakan sebagai lahan pertanian. Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa peruntukan kawasan budidaya tidak boleh dikonversikan menjadi lahan kawasan hutan. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian HCV 4.2 dengan PP No. 26 Tahun 2008. Luasan areal ketidaksesuaian areal HCV 4.2 menurut peraturan pemerintah disajikan pada Tabel 5.10 dan sebarannya disajikan pada Gambar 5.7. Tabel 5.10 Luasan areal ketidaksesuaian HCV 4.2 menurut PP No. 26 Tahun 2008a HCV Toolkit PP No.26 tahun 2008 TBE KB KK KB KK Sedang 0 1 543 1 543 0 Berat 0 1 856 1 855 0 Sangat Berat 1 542 11 775 8 381 3 394 Jumlah 1 542 13 630 10 236 3 394 Total 15 173 15 173 a
Sumber : Hasil analisis kawasan hutan lindung; Ket: KB= Kawasan Budidaya, KK= Kawasan Konservasi
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa menurut PP No.26 Tahun 2008 yang termasuk kawasan HCV 4.2 (kawasan konservasi) hanya 3 394 ha atau 25% dari total hasil identifikasi kawasan HCV 4.2, sedangkan yang tidak sesuai sebesar 10 236 ha (75%) dari total kawasan HCV. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan hasil HCV Toolkit, dimana teridentifikasi kawasan konservasi seluas 13 630 ha. Hasil analisis prediksi erosi menunjukkan kawasan HCV 4.2 teridentifikasi pada lereng datar sampai lereng sangat curam dengan erosi sangat berat sebesar 1 542 ha terdapat pada kewasan bududaya. Jika berpedoman pada PP No. 26 tahun 2008, kawasan yang dikategorikan sebagai kawasan lindung adalah kawasan dengan kelerengan paling sedikit 40%. Teridentifikasinya HCV 4.2 pada lereng datar menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian antara hasil penetapan HCV dengan PP No.26 Tahun 2008, karena tanah pada lereng datar dipergunakan untuk kawasan pertanian. Berdasarkan hasil analisis kawasan HCV 4.2 menurut kemampuan lahan dan peraturan pemerintah, menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara hasil identifikasi kawasan HCV 4.2 dengan kemampuan lahan dan PP No. 26 Tahun 2008. Ketidaksesuaian tersebut terjadi karena dalam penetapan kawasan HCV 4.2 perhitungan prediksi erosi tidak mengikutsertakan faktor tanaman (C) dan tindakan konservasi (P), sehingga mempengaruhi hasil prediksi erosi dalam penetapan kawasan HCV 4.2. Hal ini menyebabkan hasil identifikasi kawasan HCV 4.2 tidak realistis dengan kondisi lapang.
46
46
Gambar 5.7 Sebaran ketidaksesuaian kawasan HCV berdasarkan PP No.26 Tahun 2008
47
Evaluasi konsistensi HCV 4.2 terhadap Kemampuan Lahan dan PP No.26 Tahun 2008 Analisis ini dilakukan untuk melihat sejauh mana konsistensi antara kawasan HCV 4.2 terhadap kemampuan lahan dan PP No.26 tahun 2008. Berdasarkan hasil analisis konsistensi kawasan HCV 4.2 menunjukkan bahwa terdapat kondisi tidak konsisten. Hal ini terlihat dari perbedaan luasan HCV 4.2 berdasarkan Toolkit, kemampuan lahan, dan PP No.26 Tahun 2008 (Tabel 5.11). Tabel 5.11 Luasan kawasan HCV 4.2 berdasarkan HCV Toolkit, Kemmapuan lahan, dan PP No.26 Tahun 2008a Luas Area HCV 4.2 Parameter Konsisten Ha % HCV Toolkit 13 630 90 Kemampuan lahan 3 394 25 PP No.26 Tahun 2008 3 394 25 a
Sumber: Hasil analisis HCV 4.2, kemampuan lahan dan PP No.26 Tahun 2008
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa luasan HCV 4.2 berdasarkan perhitungan Toolkit sebesar 13 630 ha (90%) dari total luasan DAS Ciliwung Hulu, sedangkan menurut kemampuan lahan dan PP No.26 Tahun 2008 kawasan HCV 4.2 di DAS Ciliwung Hulu hanya 25% (3 394 ha) dari total luasan DAS. Perbedaan luasan kawasan HCV 4.2 menurut Toolkit, kemampuan lahan, dan PP No.26 Tahun 2008 menunjukkan bahwa ada faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut. Hal ini terjadi karena pada Toolkit perhitungan prediksi erosi untuk menentukan kawasan pengendali erosi dan sedimentasi tidak mempertimbnagkan faktor CP, sehingga mempengaruhi hasil perhitungan prediksi erosi. Faktor pengelolaan lahan merupakan faktor penyebab kehilangan tanah yang berhubungan dengan aktivitas manusia, sehingga nilai CP inilah yang dapat direkayasa untuk diperbaiki. Faktor CP ditentukan oleh dua unsur yaitu faktor pengelolaan vegetasi penutup lahan (C) dan faktor pengelolaan tanah (P). Oleh karena itu, faktor CP sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perhitungan prediksi erosi tanah. Melihat begitu besar ketidaksesuaian antara hasil analisis HCV 4.2 menurut Toolkit dan kemampuan lahan serta PP No.26 tahun 2008. Maka diperlukan suatu penyempurnaan dalam perhitungannya, sehingga sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk menentukan prediksi erosi. Penyempurnaan dalam perhitungan penentuan kawasan HCV 4.2 Toolkit, sebaiknya dengan menghitung nilai faktor CP dalam prediksi erosi agar kawasan HCV 4.2 sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahannya. Penyusunan Arahan Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan dan mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam serta keberadaan jasa lingkungan (ecological services) bagi kehidupan manusia. Identifikasi HCV sangat berguna dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah
48
kawasan lindung kabupaten/propinsi sehingga penetapan ruang akan memberikan keseimbangan antara manfaat ekologis, ekonomi dan budaya (Ulum 2010). Penyusunan arahan pengelolaan DAS dilakukan untuk mendapatkan suatu arahan pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi DAS Ciliwung Hulu berdasarkan kondisi eksisting. Dalam hal ini diterapkan beberapa arahan yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa arahan pengelolaan DAS yang dapat dilakukan antara lain: 1. Peningkatan Luasan Hutan sesuai dengan Fungsi Kawasan Berdasarkan PP No 26 Tahun 2008 disebutkan bahwa strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi: a) menempatkan kawasan lindung di darat, laut dan udara, termasuk di dalam bumi. b) mewujudkan kawasan lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya dan c) mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. Arahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi dearah hulu sebagai penyangga/perlindungan bagi daerah di bawahnya. Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi penutupan lahan untuk meningkatkan daerah resapan. Penambahan luasan hutan dapat dilakukan pada lahan dengan kemiringan > 40% yang termasuk kemampuan lahan kelas VIII. Penelitian Suryani (2005) di DAS Cijalupang menggunakan model SWAT menunjukkan bahwa penambahan luasan hutan sebesar 23% mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 31.4% dan meningkatkan aliran dasar sebesar 7.43%. Penelitian Yusuf (2010) di DAS Cirasea menggunakan model MWSWAT melakukan skenario penambahan luasan hutan, mampu menurunkan aliran permukaan sekitar 14.32% dari kondisi eksisting, sedangkan aliran lateral dan aliran dasar meningkat masing-masing sebesar 8.79% dan 7.98%. Hal ini disebabkan penggunaan lahan pertanian dan semak yang dirubah fungsinya menjadi kawasan hutan mampu meningkatkan daerah resapan air. 2. Penerapan Agroteknologi pada Lahan Kering di Luar Kawasan Hutan Penerapan agroteknologi ditujukan untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air ke dalam tanah sehingga diharapkan air hujan yang jatuh ke dalam tanah tidak segera menjadi overlandflow. Skenario ini dimaksudkan agar tidak terjadi kelebihan air pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. Dengan demikian diharapkan penggunaan lahan yang diterapkan dapat berkelanjutan. Agroteknologi yang diterapkan hanya pada lahan kering di luar kawasan hutan yaitu lahan tegalan dan kebun campuran. Agroteknologi tersebut meliputi penanaman searah kontur pada lahan dengan kemiringan 0-8%, pembuatan teras gulud pada lahan dengan kemiringan 8-15% dan penerapan teras bangku pada lahan dengan kemiringan > 15%. Penelitian Atmaja (2012) menyatakan bahwa penerapan agroteknologi pada lahan eksisting mampu menurunkan overlandflow sebesar 0.46% dan meningkatkan baseflow sebesar 0.20% walaupun tidak sigifikan.
49
Agroteknologi yang diterapkan pada penggunaan lahan semak yaitu pemeliharaan padang rumput dengan keadaan baik. Penerapan agroteknologi tersebut diharapkan mampu menahan air lebih lama di permukaan sehingga memiliki kesempatan untuk meresap ke dalam tanah. Yusuf (2010) menyatakan bahwa penerapan agroteknologi pada penggunaan lahan eksisting mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 25.33 mm atau 9.47%. sedangkan aliran dasar, aliran lateral dan storage mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4.95%, 8.29% dan 2.35% dari kondisi eksisting. Sinukaban (2007) menyatakan bahwa penerapan agroteknologi atau teknik konservasi tanah mampu menekan jumlah aliran permukaan dan meningkatkan aliran dasar. Dengan demikian tidak ada kekhawatiran terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
50
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kawasan HCV 4.2 di DAS Ciliwung Hulu menurut Toolkit teridentifikasi sebesar 13 630 ha (90%), sedangkan menurut kemampuan lahan dan PP No.26 Tahun 2008 sebear 3 394 ha (25%) dari total luasan DAS. Hasil analisis konsistensi kawasan HCV 4.2 terhadap kemampuan lahan dan PP No.26 Tahun 2008 menunjukkan kondisi ketidak-konsistenan sebesar 10 236 ha (75%) dan sebesar 3 394 ha (25%) merupakan kondisi yang sesuai untuk dijadikan kawasan HCV 4.2 di DAS Ciliwung Hulu. Arahan pengelolaan DAS disusun berdasarkan kemampuan lahan serta PP No.26 Tahun 2008 adalah 1). Peningkatan luasan hutan sesuai dengan fungsi kawasan, 2). Penerapan agroteknologi pada lahan kering di luar kawasan hutan. Saran Berdasarkan hasil dan simpulan maka disusun saran sebagai berikut: Perlu dipertimbangkan/ditinjau kembali perhitungan prediksi erosi dalam Toolkit untuk penentuan kawasan bernilai konservasi tinggi pengendali erosi dan sedimentasi (HCV 4.2) yaitu dengan mempertimbangkan faktor CP. Karena hasil yang diperoleh dari Toolkit sering tidak relavan dengan kondisi lapang, sehingga pada akhirnya menggunakan cara lain untuk menentukan kawasan HCV 4.2 terutama PP No.26 tahun 2008. Pedoman Toolkit untuk perhitungan prediksi erosi menggunakan persamaan RUSLE. Hal ini harus diperhatikan kembali apakah dalam analisis faktor erosivitas hujan untuk prediksi erosi hanya menghitung nilai intensitas hujan saja atau menghitung intensitas hujan dan aliran permukaan. Apabila hanya menghitung nilai intensitas hujan maka persamaan yang digunakan adalah USLE, sedangkan jika menghitung intensitas hujan dan aliran permukaan maka menggunakan persamaan RUSLE.
51
DAFTAR PUSTAKA Afifah KN, Bambang AN, Sudarno. 2013. Analisis willingness to pay jasa lingkungan air untuk konservasi di Taman Wisata Alam Kerandangan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Amorea EC, Modicaa MA, Nearingb, Santoroa VC. 2004. Scale Effect in USLE and WEPP Application for Soil Erosion Computation from Three Sicilian Basins. Journal of Hydrology, 293. 100114. Andriyanto C, Sudarto, Suprayogo D. 2015. Estimation of soil erosion for a sustainable land use planning: RUSLE model validation by remote sensing data utilization in the Kalikonto watershed. Journal of degraded and mining lands management ISSN: 2339-076X, Volume 3, Number 1: 459- 468 DOI:10.15243/jdmlm.2015.031.459.
Arifjaya NM, Prasetyo LB. 2004. Dampak perubahan lahan terhadap perubahan aliran permukaann di setiap Kecamatan di DAS Ciliwung. Di dalam: Maryanto dan Ubaidillah, editor. Manajemen Bioregional Jabodetabek Profil dan Strategi Pengelolaan Sungai dan Aliran Air. Bogor (ID) LIPI: Pusat Penelitian Biologi, Hlm 61-71. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): GMU Pr. As-syakur AR. 2010. Pengaruh hujan terhadap erosi. [diunduh 2016 Agt 26]. Tersedia pada: https://mbojo.wordpress.com/2010/10/05/pengaruh-hujanterhadap-erosi/. Atmaja ISW. 2012. Kajian respon hidrologi DAS Keduang menggunakan model MWSWAT. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Blanco AC, Nadaoka K. 2006. A Comparative assessment and estimation of potential soil erosion rates and patterns in laguna lake watershed using three models: towards development of an erosion index system for integrated watershed-lake management. Symposium on Infrastructure Development and the Environment. Philippines (PH): SEAMEOINNOTECH University of the Philippines, Diliman, Quezon City. Bukhari I, Kemala SL, Alida L. 2015.Pendugaan erosi aktual berdasarkan metode USLE melalui pendekatan vegetasi, kemiringan lereng dan erodibilitas di hulu sub DAS Padang. Jurnal Online Agroekoteknologi. ISSN No. 23376597 Vol., No.: 160 – 167. Daryatun, Anne G, Sigit H, Jeffrey H, Marc H, Jim J, Ben J, Steve J, Neil J, Darrel K, Dwi RM, Edward P, Alan P, Diah R, Niken S, Tony S, Doug S, Sugardjito. 2003. Mengidentifikasi, mengelola dan memantau hutan dengan nilai konservasi tinggi: sebuah toolkit untuk pengelola hutan dan pihak–pihak terkait lainnya. Jakarta (ID): Rainforest Alliance dan Proforest kerjasama WWF dam IKEA untuk Proyek-Proyek Hutan. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 1980. Surat keputusan menteri pertanian no. 837/kpts/ii/1980 tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung: DEPTAN.
52
Dewi I. Utami GAS, Trigunasih NM, Kusmawati T. 2012. Prediksi erosi dan perencanaan konservasi tanah dan air pada Daerah Aliran Sungai Saba. EJurnal Agroekoteknologi Tropika.Vol.1 No. 1. Fakhrudin M. 2003. Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan dengan model Sedimot II [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fitzpatrick FA, Knox JC. Whitman HE. 1999. Effects of Historical Land-Cover Changes on Flooding and Sedimentation,North Fish Creek, Wisconsin. USGS Water-Resources Investigations Report 99. Wisconsin. FSC. 2002. FSC principles and criteria for forest stewardship. FSC-STD-01-001 (version 4-0) EN. Bonn: FSC International Center GmbH. Gregory KJ, Walling DE. 1979. Drainage basin form and process. A geomorphological approach. Edward Arnold, London (GB): 458 pp. Harimurti, Solichin, Adi FR, Heru S. 2007. Laporan Akhir Analisis Kawasan Lindung DAS Cisadane-Angke-Ciliwung. Asisten Deputi Urusan Data dan Informasi Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): KLH. Hardjowigeno S, Widiatmaka 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. [HCV Toolkit Indonesia] Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2009. Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Jakarta (ID): Tropenbos International Indonesia Programme. [HCV-RIWG] HCV RSPO Indonesian Working Group. 2009. Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) untuk Produksi Minyak kelapa sawit Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta (ID). Hermansyah RT. 2016. Pengaruh perubahan tutupan lahan terhadap debit sungai di Daerah Aliran sungai Ciliwung Hulu. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irianto S. 2000. Kajian hidrologi daerah aliran sungai ciliwung menggunakan model HEC-1[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Junaidi E, Tarigan SD. 2011. Pengaruh hutan dalam pengaturan tata air dan proses sedimentasi Daerah Aliran Sungai (DAS):Studi Kasus di DAS Cisadane. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 (2): 155-176. Kholik A. 2013. Analisis curah hujan, debit dan tutupan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kinnell PIA. 2008. The Miscalculation of The USLE Topographic Factors in GIS. Faculty of Science University of Canberra. Canberra Australia [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002. Jakarta (ID). Lukman H. 2006. Kajian kondisi hidrologi beberapa DAS sebagai masukan dalam pengembangan wilayah Jabodetabek-Punjur. Jendela Kota. J. Perencanaan Wilayah dan Kota 2 (1):13-24. Lorito S, Pavanelli D, Bigi A, Stanchi S, Vianello G. 2004. Introduction of GISbased RUSLE model for land planning and environmental management in three different italian ecosystems. Department of Environmental and Agricultural Science and Technology (DiSTA). Italy (IT): Bologna University.
53
Maesano M, Giongo AMV, Ottaviano M, Marchetti M. 2011. National-scale analysis for the identification of High Conservation Value Forests (HCVFs). Forest@ 8: 22–34. [diunduh 2016 Feb 17] Tersedia pada: http://www.sisef.it/forest@/. Maesano M, Lasserra B, Masiero M, Tonti D, Marchetti M. 2014. Fist mapping of the conservation value forests (HCVFs) at national scale: The case of Italy. Plant Biosystems - An International Journal Dealing with all Aspects of Plant Biology: Official Journal of the Societa Botanica Italiana, DOI: 10.1080/11263504.2014.948524. Mario. 2016. Identifikasi HCVF. [diunduh 2016 Jan 29]. Tersedia pada: http://www.grahasentosa.com/index.php?option=com_content&view=artic le&id=47&Itemid=211. Milward AA, Mersy JE. 1999. Adapting RULSE to model soil erosion potential in a mountainous tropical watershed. Catena 38: 109-129. Mulyono A. 2009. Perkiraan tingkat erosi tanah di Sub DAS Besai, Lampung Barat. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan 19(1): 35-47. Murillo JFM, López-Vicente M, Poesen J, Ruiz-Sinoga JD. 2011. Modelling the effects of land use changes on runoff and soil erosion in two mediterranean catchments with active gullies (South of Spain). Landform Analysis 17: 99–104. Pawitan H. 2006. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap hidrologi DAS. Bogor (ID): Laboratorium Hidrometeorologi FMIPA, IPB. [PP] Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Qadariah L, Arifjaya NM, Maryanto I. 2004. Analisis curah hujan, erosi dan sedimentasi akibat perubahan tata guna lahan di sub menggunakan simulasi answer. Di dalam: Maryanto dan Ubaidillah, editor. Manajemen Bioregional Jabodetabek Profil dan Strategi Pengelolaan Sungai dan Aliran Air. Bogor (ID) LIPI: Pusat Penelitian Biologi. Hlm 49-59. Rahmi J. 2009. Hubungan kerapatan tajuk dan penggunaan lahan berdasarkan analisis citra satelit dan sistem informasi geografis di Taman Nasional Gunung Leuser (Studi kasus kawasan hutan resort tangkahan, Cinta raja, Sei Lepan dan kawasan ekosistem Leuser (KEL). [skripsi]. Sumatera Utara (ID). Universitas Sumatera Utara. Rahim SE. 2003. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Edisi Pertama. Bumi Akasara. Renard KG, Foster GR, Weesies GA, McCool DK, Yoder DC. 1997. Predicting Soil Erosion by Water a Guide to Conservation Planning with the Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE). USDA: Handbook No. 703. 404. Risdiyanto I. Wibowo AD, Andri N, Ganip G. 2011. Konsep dasar HCV (High Conservatio Value). [diunduh 2015 Apr 20]. Tersedia pada: http://banyumilih.blogspot.com/2011/03/kawasan-bernilai-konservasitinggi.html. Ruspendi D. 2014. Kajian perubahan penutupan lahan pada dengan pendekatan spasial Dinamik.[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press.
54
Sabar. 2004. Analisis alih fungsi lahan dengan menggunakan penginderaan jauh dan kesediaan membayar di sub Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sawijo. 2005. Manfaat pengembangan Dam parit untuk pengendalian banjir dan kekeringan. Study kasus Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung, Bogor (ID): Bul. Balitklimat. Sinukaban N. 2007. Pengelolaan daerah aliran sungai. Bahan kuliah. Bogor (ID): Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Soil Survey Staff. 1992. Soil Taxonomy. A basic system of soil classification for making and interpreting soil surveys. USDA - Soil Conservation Service Agricultural Handbook #436, U.S. Gov. Print. Office, Washington, DC. Sriyanto RS, Sutrisno A dan Wahyu SH. 2012. Analisis Konservasi Tinggi 4 Taman Nasional Gunung Merapi Provinsi Jawa Tengah dan D.I.Jogyakarta. J Teknis (7) 2 Agustus: 65-69. Sulistioadi YB, Hussin YA, Sharifi A. 2010. Identification of high conservation value forest (HCVF) in natural production forest to support implementation of sfm certification in Indonesia using remote sensing and gis. [diunduh 2016 Mei 26] Tersedia pada: http://www.isprs.org/ proceedings/XXXV/congress/comm7/papers/32.pdf. Suryadi C. 2011. Wilayah prioritas konservasi tanah dan air di DA Ci Liwung Hulu. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Suryani E. 2005. Optimalisasi perencanaan penggunaan lahan dengan bantuan sistem informasi geografis dan soil and water Assessement tool: Studi kasus di DAS Cijalupang, Bandung. Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Taufik KLY, Wardianto S, Haradi, Ubaidillah. 2004. Kualitas air hulu dan tengah sungai ciliwung Kabupaten Bogor. Di dalam: Maryanto dan Ubaidillah, editor. Manajemen bioregional jabodetabek profil dan strategi pengelolaan sungai dan aliran air. Bogor (ID) LIPI: Pusat Penelitian Biologi:181-221. Ulum S. 2010. HCVF, Landasan penetapan kawasan hutan lindung [diunduh 2016 Jan 12]. Tersedia pada: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=HCVF%2C+Landas an+Penetapan+Kawasan+Hutan+Lindung&dn=20101117204245. [UU] Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Wibawa WD. 2010. Disain pengelolaan lahan berkelanjutan berbasis tanaman hortikultura tahunan di DAS Ciliwung Hulu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wibowo M. 2005. Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit sungai (studi kasus sub DAS Cikapundung Gandok-Bandung). Jurnal Teknik Lingkungan BP3TL-BPPT. 6 (1): 283-290. Wijitkosum S. 2012. Impacts of land use changes on soil erosion in Pa Deng Subdistrict, adjacent area of Kaeng Krachan National Park, Thailand. Journal of Soil and Water Research 7(1): 10–17. Wiryono. 2003. Klasifikasi Kawasan Konservasi Indonesia. Warta Kebijakan No. 11, CIFOR (ID): Bogor
55
Wischmeier W, Smith D. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses A Guide to Conservation Planning. US (ID): Department of Agriculture Hanbook No. 537. Yusuf SR. 2010. Kajian respon perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi pada DAS Cirasea menggunakan model MWSWAT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Kelas dan Kode Struktur Tanah, Permeabilitas Tanah dan Klasifikasi Kepekaan Erosi a. Tabel Kelas dan Kode Struktur Tanah Kelas Struktur tanah (ukuran diameter ) Granular sangat halus ( < 1 mm) Granular halus (1-2 mm) Granular sedang sampai kasar (2-10 mm) Berbentuk gumpal, lempeng, pejal
Kode Struktur 1 2 3 4
b. Tabel Kelas dan Kode Permeabilitas Tanah Kelas Permeabilitas Cepat (rapid) Sedang sampai Cepat (moderat to rapid) Sedang (Moderat) Sedang sampai lambat (moderat to slow) Lambat (slow) Sangat lambat (very slow)
Kecepatan (cm/jam) >25.4 12.7 – 25.5 6.3 – 12.7 2.0 – 6.3 0.5 – 2.0 <0.5
c. Tabel Klasifikasi Kepekaan Erosi Nilai K 0.0 – 0.10 0.11 – 0.20 0.21 – 0.32 0.33 - 0.43 0.44 – 0.55 0.56 – 0.64
Kode Struktur 1 2 3 4 5 6
Kode 1 2 3 4 5 6
58
Lampiran 2 Nilai faktor C dari berbagai tanaman dan pengelolaan atau penggunaan lahan No 1. 2. 3. 4. 5.
Tipe penggunaan lahan Nilai faktor C Tanah yang diberakan tapi diolah secara periodik 1.00 Semak Belukar 0.30 Sawah tadah hujan 0.05 Tanaman tegalan (tidak terspesifikasi) 0.70 Tanaman rumput Brachiaria : Tahun permulaan 0.30 Tahun berikutnya 0.02 6. Ubi kayu 0.80 7. Jagung 0.70 8. Kacang-kacangan 0.60 9. Kentang 0.40 10. Kacang tanah 0.20 11. Tebu 0.20 12. Pisang 0.60 13. Padang Penggembalaan 0.10 14. Kopi dengan tanaman penutup tanah 0.20 15. Cabe, jahe, dan lain-lain (rempah-rempah) 0.90 16. Kebun campuran : Kerapatan tinggi 0.10 Ubi kayu-kedele 0.20 Kerapatan sedang 0.30 Kerapatan rendah (kacang tanah) 0.50 17. Perladangan berpindah-pindah (shifting cultivation) 0.40 18. Perkebunan (penutup tanah buruk) Karet 0.80 Teh 0.50 Kelapa sawit 0.50 Kelapa 0.80 19. Hutan alam : Penuh dengan serasah 0.001 Serasah sedikit 0.005 20. Hutan produksi : Tebang habis (clear cutting) 0.50 Tebang pilih (selective cutting) 0.20 21. Belukar/rumput 0.30 22. 22 Ubi kayu + kedele 0.181 23. 23 Ubi kayu + kacang tanah 0.195 24. 24 Padi + sorgum 0.345 25. 25 Padi + kedele 0.417 26. 26 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0.049 27. 27 Padi + mulsa jerami 4 ton/ha 0.096 28. 28 Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha 0.128 29. 29 Kacang tanah + mulsa clotalaria 3 ton/ha 0.136 30. 30 Kacang tanah + mulsa kacang tunggak 0.259 31. 31 Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha 0.377 32. 32 Padi + mulsa clotalaria 3 ton/ha 0.387 33. 33 Padi tanam tumpang gilir + mulsa jerami 6 ton/ha 0.079 34. 34 Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman 0.347 Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1973 – 1981), diacu dalam Hardjowigeno (2007).
59
Lampiran 2 Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) dan pengelolaan tanaman(C) No
Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan
Nilai Faktor CP
Mulsa penahan air : Serasah atau jerami 6 ton/ha/thn 0.30 Serasah atau jerami 3 ton/ha/thn 0.50 Serasah atau jerami 1 ton/ha/thn 0.80 2. Teras bangku ditanami : Kacangtanah - kacang tanah 0.009 Jagung + mulsa jerami 4 ton/ha 0.006 Jagung 0.480 3. Penanaman strip rumput : Bahia (3 thn) dalam sereh wangi 0.00 Bahia (2 thn) + padi gogo + ubi 0.00 kayu, rotasi sorgum Bahia (1 thn) dalam kedelai 0.02 4. Penanaman clotalaria dalam : Kedelai 0.111 Padi gogo 0.340 Kacang tanah 0.389 5. Penanaman strip kacang tanah dalam pertanaman jagung, sisa tanaman 0.05 sebagai mulsa 6. Teras gulud Dengan rumput penguat 0.5 Padi gogo - jagung (rotasi) 0.013 Ubi kayu 0.041 Jagung - kacang tanah (rotasi), 0.006 mulsa sisa tanaman Kacang tanah - kedelai (rotasi) 0.105 Padi gogo – jagung - kacang 0.012 tunggak (rotasi), kapur 2 ton/ha 7. Teras bangku ditanami : Jagung - ubikayu/kedelai (rotasi) 0.056 Kacang tanah - kacang tanah 0.009 Tanpa tanaman 0.039 8. Penanaman strip clotalaria dalam : Kacang tanah - ubi kayu 0.405 Padi gogo - ubi kayu 0.193 9. Penanaman strip rumput dalam padi 0.841 gogo Sumber : 1. Hammer (1981) 2. Abdurachman, S. Abujamil dan U. Kurnia (1984) 3. Pusat Penelitian Tanah (1973-1981)
Sumber
1.
2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4
4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4
60
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bireuen, Aceh tanggal 27 September 1989, merupakan putri bungsu dari pasangan bapak (Alm.) Usman Muhammad dan Ibu Safiah Abdullah. Pendidikan menengah atas penulis tempuh di SMA Negeri 2 Bireuen lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Almuslim, Bireuen Aceh lulus tahun 2011 sebagai Sarjana Pertanian. Tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan jenjang strata 2 di program studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekolah Pascasarjana IPB melalui Program BPPDNDIKTI (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri-Direktorat Pendidikan Tinggi).