IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL BENDUNGAN DI DAS CILIWUNG HULU
ALFIYATI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Identifikasi Lokasi Potensial Bendungan di DAS Ciliwung Hulu” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016
Alfiyati G24100041
ABSTRAK ALFIYATI. Identifikasi Lokasi Potensial Bendungan di DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN dan IDUNG RISDIYANTO. Sungai Ciliwung merupakan salah satu penyebab utama banjir yang terjadi di Jakarta. Hal ini dikarenakan limpasan air yang mengalir melebihi kapasitas, terutama air yang berasal dari hulu sungai sehingga perlu penanganan agar debit yang mengalir ke hilir berkurang. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi lokasi dan kapasitas tampungan bendungan potensial di hulu Sungai Ciliwung dengan menggunakan analisis hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool) pada software ArcGIS (Arc Geographic Information System). Didapatkan daerah yang berpotensi untuk bendungan adalah daerah pada elevasi rendah dengan anak sungai yang memiliki banyak cabang sungai (orde ke-4 atau orde ke-5) dan memiliki kemiringan maksimal 25%. Tiga titik lokasi yang potensial yaitu pada koordinat (1) 06°38'51.6" LS dan 106°53'15.7" BT, (2) 06°39'21" LS dan 106°53'36" BT, serta (3) 06°39'22" LS dan 106°52'15,5" BT. Lokasi 3 memiliki debit rata-rata bulanan tertinggi >30 m3/s sedangkan lokasi 1 memiliki debit ratarata bulanan terendah yaitu > 6 m3/s. Bendungan 1 memiliki luas 90.90 ha; bendungan 2 luasnya 25.74 ha; dan luas bendungan 3 yaitu 21.69 ha. Volume yang dapat ditampung oleh masing-masing bendungan adalah 49.739,330 m3, 8,813,621 m3 dan 8,106,605 m3. Sehingga ketiga lokasi tersebut potensial untuk bendungan. Kata Kunci : Analisis Hidrologi, ArcGIS, Bendungan, Ciliwung Hulu, SWAT
ABSTRACT ALFIYATI. Identification of potential location for dams in Upstream Ciliwung Watershed. Supervised by HIDAYAT PAWITAN and IDUNG RISDIYANTO. Ciliwung river is one of the main causes of flooding that occurred in Jakarta. Because the run off water flow exceed capacity, especially water from upstream rivers that need treatment in order discharge that flow downstream is reduced this research aims to identify the location and capacity of a potensial dam upstream ciliwung using hydrological analysis SWAT on ArcGIS software that has been equipped SWAT application. Found that the potential areas for the dam is on the lower elevation areas with creeks that have many branch rivers (4 th or 5th orde) and has a maximal slope of about 25%. 3 point of potential location is between 06°38'51.6" S and 106°53'15.7" E, 06°39'21" S and 106°53'36" E, and 06°39'22" S and 106°52'15,5" E. That 3 Discharge location average the lowest monthly average is > 6 m3/s. 1st dam has a broad 90.90 ha; 2nd dam breadth 25.74 ha; and 3rd dam breadth 21.69. Volume accommodated by each dam is 49,739,330 m3, 8,813,621 m3 dan 8,106,605 m3. So the three locations of dam potential to build that dam. Key words : ArcGIS, Dam, Hydrological analysis, SWAT, Upstream Ciliwung Watershed
IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL BENDUNGAN DI DAS CILIWUNG HULU
ALFIYATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ialah Identifikasi Potensi Pengembangan Bendungan di DAS Ciliwung Hulu dengan Analisis Model Hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan M.Sc.E dan Bapak Idung Risdiyanto, SSi, MSc selaku pembimbing skripsi. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi. 2. Bapak Ir. Heni Suharsono M.Si (Alm) selaku pembimbing akademik penulis. 3. Terima kasih untuk bapak H. Jalias, ibu Hj. Marga Widini, adik Muhammad Ihsan, Muhammad Fajri, dan Muhammad Nabil Rabbani, serta keluarga besar atas segala dukungan, semangat, doa, dan kasih sayang yang diberikan. 4. Dian Ardianingsih, terimakasih telah menjadi sahabat terbaik penulis. 5. Sepermainan (Aret, Ernat, Neni, Windita, Niki, Nani, Mue, Putri, Angga, Roni), terima kasih atas kebersamaan dan kenangan selama ini. 6. Teman-teman sebimbingan (Frimadi, Bayu, dan Hamzah), terima kasih atas motivasi dan kebersamaan selama pengerjaan tugas akhir ini. Ibu Dr Ir Tania June MSc selaku ketua departemen, serta seluruh dosen dan 7. staf departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 8. Teman-teman GFM 47, terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu 9. dan memberikan dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016
Alfiyati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Debit Aliran DAS Ciliwung Geographic Information System (GIS) Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Alat Prosedur Penelitian dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Kajian: DAS Ciliwung Hulu Penentuan Lokasi Bendungan Potensial di DAS Ciliwung Hulu Identifikasi Lokasi Potensial Bendungan Titik lokasi potensial bendungan Pembentukan Sub DAS dan HRU hasil deliniasi model pada lokasi potensial Karakteristik Hidrologi di Catchment Area Bendungan Kalibrasi model Catchment area dan volume bendungan Sedimentasi di area sub DAS lokasi bendungan SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
viii viii viii 1 1 2 2 3 4 5 5 5 5 9 10 10 13 14 16 16 18 19 20 20 20 22 31
DAFTAR TABEL Tabel 1 File data input pada SWAT untuk analisis hidrologi Tabel 2 Kriteria nilai statistic Nash-Sutcliffe (NS) Tabel 3 Formula volume bendungan Tabel 4 Formula umur bendungan Tabel 5 Kriteria lokasi potensial bendungan Tabel 6 Koordinat lokasi potensial bendungan Tabel 7 Luas SUB DAS lokasi bendungan hasil deliniasi model Tabel 8 Nilai luas area cakupan bendungan Tabel 9 Umur efektif bendungan
7 8 8 8 13 14 15 18 19
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Representsi siklus hidrologi model SWAT Gambar 2 Peta ketinggian DAS Ciliwung Hulu Gambar 3 Peta arah aliran DAS Ciliwung Hulu Gambar 4 Peta akumulasi aliran DAS Ciliwung Hulu Gambar 5 Peta orde sungai Ciliwung Hulu berdasarkan metode Strahler Gambar 6 Peta kelerengan DAS Ciliwung Hulu Gambar 7 Titik perkiraan lokasi potensial bendungan di DAS Ciliwung Hulu Gambar 8 Hasil deliniasi model DAS Ciliwung Hulu. Angka 1-60 menunjukkan nomor sud DAS Gambar 9 Grafik perbandingan debit Katulampa hasil observasi dan simulasi tahun 2004-2010 Gambar 10 Grafik sebaran debit bulanan hasil simulasi dan debit bulanan observasi Katulampa 2004-2010 Gambar 11 Grafik debit bulanan rata-rata hasil simulasi lokasi bendungan di Ciliwung Hulu tahun 2004-2010 Gambar 12 Peta luas area cakupan bendungan Gambar 13 Grafik sedimentasi sub-DAS 6, sub-DAS 12 dan sub-DAS 11 bulanan tahun 2004-2010
4 9 10 11 12 13 14 15 16 17 17 18 19
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel luas dan %DAS dari masing-masung Sub DAS Lampiran 2 Tabel volume tampungan bendungan 1 Lampiran 3 Tabel volume tampungan bendungan 2 Lampiran 4 Tabel volume tampungan bendungan 3
25 27 28 29
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai utama dengan luas daerah aliran sebesar 347 km2 dan panjang sungai utama 117 km (BP DAS CitarumCiliwung 2003). Perubahan fungsi lahan di kawasan ini mengalami peningkatan setiap tahun. Penyebab utamanya yaitu kegiatan eksploitasi hutan dengan mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian, persawahan, perkebunan, dan perumahan komersil seperti villa maupun resort. Perubahan lahan tersebut menyebabkan resapan air semakin sedikit dan lebih banyak melimpas (run-off) sehingga sungai Ciliwung mengalami peningkatan frekuensi, debit dan volume banjir yang terjadi di Jakarta (Pawitan 2002). Banjir Jakarta semakin memprihatinkan karena mengalami perubahan lahan di hulu sungai. Daerah tersebut mengalami penurunan debit rendah (base flow) pada saat musim kering dan mengalami kenaikan debit puncak pada saat musim hujan (PPE Jawa 2014). Perubahan lahan ini mengubah pola aliran dan distribusi debit pada sungai-sungai di bagian hilir. Banjir terparah Jakarta dalam enam tahun terakhir terjadi pada Januari 2013 dengan kerugian diperkirakan mencapai milyaran rupiah serta merenggut nyawa kurang lebih 20 orang dan sekitar 33.500 orang mengungsi (wartainfo.com). Penanggulangan banjir sudah dilakukan seperti pembuatan sumur serapan, relokasi masyarakat yang tinggal di tepi aliran sungai, dan pengerukan sungai. Selain itu proses pembuatan Green Water Front sudah dilakukan. Green Water Front ini berdasarkan prinsip menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai sehingga lahan di sepanjang sungai dijadikan ruang terbuka hijau. Namun, penanggulangan ini kurang efektif karena kesadaran masyarakat terhadap lingkungan kurang (Muchlison et al. 2015). Penanggulangan banjir tersebut harus disertai dengan adanya bendungan yang dapat menampung debit air yang ada. Namun, keterbatasan lahan untuk tampungan dan kurang tepatnya prediksi beban banjir serta kurang efektifnya pengelolaan sistem pengendalian menjadi hambatan dalam pembuatan bendungan tersebut (Martdianto dan Kadri 2012). Pembuatan bendungan di lokasi yang tepat akan mengatasi banjir secara efektif dan efisien. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi potensial bendungan dan kapasitas tampungan bendungan tersebut di hulu sungai Ciliwung serta simulasi debit dan sedimentasi dengan model hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Perhitungan umur bendungan juga dijadikan bahan kajian untuk mengetahui kekuatan bendungan dalam waktu yang lama.
2
TINJAUAN PUSTAKA Debit Aliran Keseimbangan air di bumi berkaitan erat dengan adanya siklus hidrologi. Air yang berasal dari lautan akan menuju atmosfer dan kembali ke bumi sehingga mengalami presipitasi. Penguapan air terjadi karena penyinaran matahari sehingga terbentuk awan yang membawa uap air, kemudian bergerak melalui daratan dan mengalami presipitasi seperti salju, butiran es, dan hujan (Wilson 1993). Salju dan es di daratan adalah air dalam simpanan sementara. Hujan yang terjadi di permukaan daratan dapat dihambat oleh tumbuhan dan menguap kembali ke udara. Air hujan masuk ke tanah dan bergerak melalui akuifer menuju sungai atau langsung ke laut. Sebagian air tersebut kembali menjadi uap ke atmosfir. Laut merupakan tempat berakhirnya aliran air yang mengalir. Sungai kecil maupun besar berperan penting dalam proses pergerakan air. Keberadaan sungai berfungsi agar pergerakan mengalir ke muara. Laju aliran air (volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu disebut debit aliran, dalam satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt) (Asdak 1995). Data debit merupakan informasi penting dalam mengelola sumberdaya air. Sehingga untuk menangani masalah yang disebabkan oleh luapan air sungai, data debit menjadi salah satu parameter yang diperhitungkan.
DAS Ciliwung DAS merupakan suatu titik tertentu sepanjang aliran dimana DAS dengan DAS yang lain dipisahkan oleh pembagi seperti punggung bukit/gunung. Aliran mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah dari tiap cabang DAS serta DAS utama yang dilaluinya (Linsley & Franzini 1989). DAS Ciliwung merupakan DAS yang terbentuk dari beberapa sungai besar dan termasuk DAS utama di Jakarta. DAS ini memiliki nilai positif dan negatif. Sungai ini memberikan ketersediaan air bagi DKI Jakarta, namun apabila sungai ini meluap akan terjadi banjir. DAS Ciliwung dengan luas areal sebesar 347 m2 dengan panjang sungai sekitar 117 km terbagi dalam 3 wilayah yaitu hulu, tengah dan hilir. Dengan rincian sebagai berikut : a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji). c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal
3 Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Parlindungan (2013) menganalisis jaringan sungai Ciliwung Hulu dengan menggunakan data SRTM 90 m x 90 m, didapatkan bahwa DAS Ciliwung Hulu memiliki 184 buah segmen sungai orde-1, 92 buah segmen sungai orde-2, 45 buah segmen sungai orde-3, dan 35 buah segmen sungai orde-4. Panjang segmen sungai rata-rata adalah 837.8 m dengan sungai terpanjang berukuran 4,757.9 m. Kecepatan rata-rata aliran DAS ini sekitar 1.3 m/s dengan waktu respon 60 menit. dengan rasio panjang segmen sungai (RL) 0.7 – 1.1 dan rasio percabangan segmen sungai (RB) 1.3 - 2. Karakteristik tersebut menyimpulkan bahwa DAS Ciliwung Hulu memiliki dimensi fraktal 1.7 dan kerapatan aliran sungai 1.84 km/km2. Nilai ini juga berarti bahwa DAS Ciliwung Hulu memiliki kapasitas penyimpanan air permukaan yang cukup banyak untuk setiap aliran di badan sungainya.
Geographic Information System (GIS) Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografi memiliki system yang saling berangkaian. BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didisain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi geografi. Basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi (Budiyanto 2002). Salah satu data yang biasa diolah dengan menggunakan GIS adalah data DEM SRTM. Digital Elevation Model (DEM) berisi Informasi tentang ketinggian suatu tempat (elevasi). Data Elevasi tersebut digunakan pada banyak aplikasi, seperti pemetaan luas genangan banjir, perencanaan wilayah, perencanaan jaringan jalan, jaringan irigasi, dan pembuatan peta jaringan sungai (Indarto 2014). Data DEM yang mudah didapatkan adalah DEM-SRTM. Data ini merupakan salah satu alternatif data DEM gratis yang mengkover seluruh wilayah permukaan bumi. Pencitraan ini didapat dari penginderaan jauh atau satelit dengan alat penghasil gelombang Syntetic Aperture Radar Interferometry (InSAR) yang diluncurkan pada tahun 2000. Data SRTM ini bisa menghasilkan DEM yang memiliki jenis datum WGS 84 dan ketinggian ellipsoidal. DEM SRTM yang dihasilkan beresolusi spasial 30 meter dan 90 meter. Penyesuaian koordinat peta harus dilakukan agar peta yang semula masih dalam koordinat meja digitasi, diubah ke dalam koordinat lintang dan meridian bumi yang sesungguhnya. Keuntungan menggunakan koordinat UTM adalah dapat menentukan luas dari ketampakan yang ada pada peta karena satuan dalam UTM adalah meter (Yani & Mamat 2007). Sehingga pada zona UTM, DAS Ciliwung Hulu terletak pada Zona 48 UTM bagian Selatan.
4 Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Soil and Water Assessment Tool (SWAT) merupakan model kejadian kontinyu untuk skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan kimia pertanian pada DAS yang tidak memiliki alat pengukuran. Model SWAT berbasis fisik, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang. Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu dan karakteristik tanah, pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan bakteri, dan pengelolaan lahan. Dalam SWAT, DAS dibagi menjadi beberapa SubDAS, yang kemudian dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi (Hydrologic Response Units = HRU) yang memiliki karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, dan tanah yang homogen. HRU menunjukkan persentase SubDAS yang teridentifikasi dan tidak teridentifikasi secara spasial dalam simulasi SWAT. Alternatif lainnya, sebuah DAS dapat dibagi ke dalam SubDAS yang memiliki karakteristik penggunaan lahan, jenis tanah dan pengelolaan yang dominan (Neitsch et al. 2011). Pembagian DAS mampu membuat model yang mencerminkan perbedaan evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang bervariasi. Aliran permukaan (surface runoff) diprediksi secara terpisah untuk masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran permukaan total (total runoff) suatu DAS. Hal ini dapat meningkatkan keakuratan dan memberikan gambaran fisik yang lebih baik untuk neraca air. Fase siklus hidrologi yang ditampilkan SWAT seperti pada Gambar 1 (Neitsch et al. 2011).
Gambar 1 Representasi siklus hidrologi model SWAT (Sumber : Swat 2012) Siklus hidrologi yang disimulasikan SWAT didasarkan pada perhitungan neraca air: ……………………….(1)
5 SWt adalah kadar air tanah akhir (mm H2O), SWo adalah kadar air tanah awal pada hari ke--i (mm H2O), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah hujan pada hari ke--i (mm H2O), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke--i (mm H2O), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari ke--I (mm H2O), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke zona vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke--i (mm H2O), Qgw adalah jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/groundwaterflow/returnflow) pada hari ke--i (mm H2O) (Neitsch et al. 2011).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan November 2014 di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Lokasi kajian di DAS Ciliwung Hulu yang secara geografis terletak pada 6°37'50" LS - 6°46'00" LS dan 106°46'00" BT - 107°05'00" BT. Bahan Bahan atau data yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Data DEM SRTM resolusi 30x30 m b. Data klasifikasi lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2013 c. Data klasifikasi jenis tanah DAS Ciliwung hulu d. Data iklim untuk SWAT dengan 5 parameter (Suhu, CH, Kelembaban, Angin, Solar) dari tahun 2001-2010 e. Data observasi debit katulampa Tahun 2001-2010 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perangkat lunak Microsoft office, ArcGIS 10.1 dan software SWAT (Soil and Water Assesment Tool).
Prosedur Penelitian dan Analisis Data Penentuan lokasi potensial dalam pembuatan bendungan dilakukan dengan analisis jaringan sungai sederhana pada analisis hidrologi ArcGIS. Analisis penentuan lokasi tersebut dilanjutkan dengan analisis model SWAT pada ArcGIS sehingga maenghasilkan data debit dan sedimentasi. Tahapan yang dilakukan untuk menentukan lokasi potensial bendungan adalah dengan mengolah Data DEM SRTM Zona 48 S (wilayah DAS Ciliwung Hulu) menggunakan analisis hidrologi dari kolom ArcToolBox pada ArcGis, sehingga menghasilkan beberapa peta berikut ini :
6 1. 2. 3. 4. 5.
Peta Elevasi atau Ketinggian Peta Flow Direction Peta Flow Accumulation Orde Sungai Peta Kemiringan lereng, untuk peta ini didapatkan pengolahan tahap awal SWAT.
Peta-peta yang dihasilkan kemudian dianalisis untuk ditentukan lokasi yang potensial untuk bendungan. Setelah itu dilakukan analisis lebih lanjut dengan model SWAT untuk mendapatkan data debit dan sedimentasi. Data input berupa tata guna lahan, karakteristik tanah, iklim dan hidrologi yang telah disiapkan pada proses pengumpulan data lalu disiapkan dalam sebuah folder data input. Tahapan kegiatan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1.Watershead Delineation Proses delineasi menggunakan data DEM SRTM dengan resolusi 30 meter yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcMap terlebih dulu, setelah itu digunakan pada perangkat lunak SWAT. Dengan menggunkan data dem tersebut daerah observasi akan didelineasi berdasarkan batas topografi alami DAS dari lokasi outlet yang dibutuhkan. Metode yang digunakan dalam proses delineasi adalah metode threshold, di mana besar kecil nilai threshold yang digunakan akan menentukan jumlah jaringan sungai yang terbentuk. Langkah ini akan menghasilkan layer Reach, Watershed, Longest Path dan Basin. 2.Pembentukan HRU (Hydrological Response Unit) HRU merupakan unit terkecil dalam skala analisis atau perhitungan yang di lakukan oleh SWAT. Setiap lokasi HRU bersifat unik dalam respon terhadap kondisi hidrologinya, seperti kondisi runoff, erosi, penyimpanan air tanah, aliran bawah tanah, neraca air dan lain sebagainya. Peta HRU tersusun atas kombinasi peta tutupan lahan, peta kelas lereng dan peta jenis tanah Selanjutnya dikelompokan pada setiap wilayah DAS/SubDAS. Dataset peta tutupan lahan dan peta jenis tanah dalam format vector shape file, Grid ESRI ataupun Feature Geodatabase sedangkan klasifikasi kelas lereng berasal dari dataset DEM yang digunakan untuk membuat deliniasi batas DAS. dataset yang digunakan ini harus menggunakan sistem proyeksi yang sama. HRU didapatkan dari overlay peta tanah, peta penggunaan lahan dan kelas lereng. 3.Input Database Langkah ini bertujuan untuk mengatur data iklim yang akan dipanggil ketika memasukkan data pada SWAT. Namun terlebih dulu data telah disiapkan dalam sebuah input file dengan format txt. Setelah semua data siap dipanggil, masukkan pada weather station hingga data telah masuk semua pada daerah observasi. 4.Running ArcSwat dan Output Simulation Data yang digunakan akan melakukan running pada tahap ini. Dimasukkan rentang tanggal dan tahun data yang akan disimdulasi. dari hari Penggabungan antara data iklim dan HRU akan memberikan hasil keluaran dari data SWAT.
7 Proses simulasi dilakukan setelah proses penggabungan HRU bdengan data iklim. Persamaan yang digunakan di dalam simulasi SWAT untuk melakukan prediksi aliran permukaan adalah metode SCS Curve Number. Tabel 1 File data input pada SWAT untuk analisis hidrologi Nama file CIO COD FIG BSN SUB HRU GW RTE CROP URBAN PCP TMP SLR HMD WGN SOL MGT
Fungsi File untuk mengontrol data input dan output Mengontrol file input dan output Mengidentifikasi jaringan hidrologi sungai Mengontrol keragaman parameter di tingkat DAS Mengontrol keragaman parameter di tingkat Sub DAS Mengontrol keragaman parameter di tingkat HRU File air bawah tanah File pergerakan air, sedimen, hara, dan pestisida File parameter tumbuh tanaman File data lahan terbangun atau urban area File data curah hujan harian File temperatur udara maksimum dan minimum harian File radiasi matahari harian File kelembaban udara harian File data generator iklim File data tanah File pengelolaan dan penutupan lahan
Sumber: Neitsch et al 2004 1. Kalibrasi dan Validasi Dalam input model SWAT, terdapat 500 parameter yang digunakan dalam simulasi. Tetapi parameter tersebut tidak seluruhnya dapat digunakan karena adanya keterbatasan waktu dan data. Pemilihan parameter yang dominan dilakukan hingga didapatkan hasil yang mendekati kondisi sebenarnya. Parameter yang dipilih hanyalah yang berhubungan dengan output yang diinginkan. Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi dan validasi adalah model koefisien determinasi (R2) dan model efisiensi NashSutcliffe (NS) (Ahl et al 2008). Persamaan model yang digunakan adalah persamaan berikut ini.
………….. (2) ..……………………………. (3) di mana Qobs,i adalah debit observasi (m3s-1), Qcal,i adalah debit simulasi (m3s-1), obs,i adalah debit rata-rata observasi (m3s-1), dan cal,i adalah debit rata-rata simulasi (m3s-1). Nilai R2 atau koefisien determinasi menunjukkan seberapa jauh kesalahan dalam memperkirakan besarnya variabel y yang direduksi dari variabel x. Nilai R 2 berkisar dari 0 sampai dengan 1. Dimana model persamaan regresi akan dianggap
8 sempurna apabila nilai R2=1. Sebaliknya, apabila nilai R2=0 maka tidak ada keterkaitan yang bisa dijelaskan antara variable Y dengan X (Asdak 1995). Sedangkan untuk nilai Nash-Sutcliffe (NS), kriteria nilai statistiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria nilai statistik Nash-Sutcliffe (NS) Kriteria Sangat baik Baik Memuaskan Kurang memuaskan
NS 0.75 < NS < 1.00 0.65 < NS < 0.75 0.50 < NS < 0.65 NS ≤ 0.50
Langkah selanjutnya setelah didapatkan lokasi yang poternsial untuk bendungan adalah menghitung volume tampungan bendungan menggunakan grid yang didapatkan dari peta DEM di dalam ArcGis. Dengan berasumsi tinggi spill way yang digunakan 5m dan luas resolusi tiap grid adalah 943.9457 m2 sehingga didapatkan : Tabel 3 Formula volume bendungan No 1 2…n
Elevasi A
Elev.max B
Bendungan Jumlah Spill way grid C D
Luas Resolusi E
Volume =((B-A)+C)*D*E Jumlah
Sebelumnya, dari analisis hidrologi dengan aplikasi SWAT telah didapatkan massa sedimen yang terdapat pada aliran sungai ciliwung hulu termasuk pada lokasi yang dianggap potensial untuk bendungan. Sehingga dengan memanfaatkan nilai volume dan nilai bendungan, dapat diprediksi setelah berapa tahun bendungan tersebut dapat tertutupi sepenuhnya oleh sedimen (umur bendungan). Asumsi bahwa bendungan sudah tidak bisa digunakan setelah 95% volume tampungan bendungan diisi oleh sedimen. Tabel 4 Formula umur bendungan Tahun Vmax Vsed Volume (i) % bendungan % sedimen 1 A B C=A-B D=(C/A)*100 E=100-D 2 A2=C B C2=A2-B D2=(C2/A2)*100 E2=100-D2 3 A3=C2 B C3=A3-B D3=(C3/A3)*100 E3=100-D3 N An=Cn-1 B Cn=An-B Dn=(Cn/An)*100 En=100-Dn Vmax Vsed Volume (i) % bendungan % sedimen
= Volume maksimal yang dapat ditampung bendungan = Bj x M Sedimen = Volume tersisa setelah diisi sedimen = persentase sisa volume bendungan = persentase sedimen yang mengisi bendungan
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Kajian : DAS Ciliwung Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu memiliki luas areal sebesar 347 km2 dengan panjang sungai utamanya adalah kurang lebih 117 km (BP DAS Citarum Ciliwung 2003). DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian yaitu hulu, tengah dan hilir dengan stasiun pengamatan arus sungai masing-masing. Bendung Katulampa untuk hulu sungai berada di Bogor, Ratujaya di Depok, dan Pintu Air Manggarai di Jakarta Selatan. Hilir sungai ini berada di DKI Jakarta yang bermuara di Jakarta Utara. Daerah aliran sungai Ciliwung Hulu secara geografis terletak pada ° 6 37'50" LS - 6°46'00" LS dan 106°46'00" BT - 107°05'00" BT dan termasuk zona 48S UTM. Daerah tersebut merupakan daerah pegunungan dengan nilai elevasi antara 348 sampai 2882 m dpl (hasil deliniasi DEM Gambar 2). Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan) (BP DAS Citarum-Ciliwung 2003).
Gambar 2 Peta Ketinggian DAS Ciliwung Hulu (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan ArGIS) Perbatasan antara ciliwung hulu dengan ciliwung tengah adalah bendung katulampa. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu,
10 Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kemiringan lereng yang tinggi. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan (PPE Jawa 2014). Siklus hidrologi secara umum dari DAS Ciliwung Hulu yaitu memiliki curah hujan rata-rata tahunan selama periode 2001-2011 sebesar 3650,6 mm dengan rata-rata nilai CN 71,49 dan surface runoff nya adalah 1287,37 mm. Penentuan Lokasi Bendungan Potensial di DAS Ciliwung Hulu Identifikasi lokasi potensial bendungan Lokasi yang berpotensi untuk pembuatan bendungan ditentukan dengan melakukan analisis hidrologi terhadap DAS Ciliwung Hulu. Analisis hidrologi sederhana yang dilakukan menggunakan ArcGis dengan mengolah data DEM memberikan hasil berupa arah aliran, akumulasi aliran, orde sungai dan catchment area jaringan sungai. Analisis hidrologi lanjutan dilakukan dengan menggunakan aplikasi SWAT yang sudah terdistribusi dalam perangkat lunak ArcGIS yang dapat memberikan informasi berupa kemiringan lahan, HRU yang terdeliniasi debit aliran daerah kajian dan sedimentasi.
Gambar 3 Peta Arah Aliran DAS Ciliwung Hulu (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan ArGIS) Arah aliran sebuah sel merupakan arah di mana air mengalir keluar dari sel tersebut. Jika sebuah sel mempunyai ketinggian lebih rendah dari delapan sel di
11 sekitarnya, maka diberikan nilai paling kecil dan aliran ditetapkan mengalir menuju sel tersebut. Jika sebuah sel mempunyai kemiringan (slope) yang sama di semua arah, maka arah aliran tidak terdefinisikan atau dapat dikatakan itu adalah sebuah genangan waduk (Asih 2009). Mendeteksi kemana arah aliran air suatu pixel sungai mengalir dilakukan dengan membuat peta arah aliran atau flow direction dari data DEM. Informasi dari Gambar 3 menunjukkan bahwa setiap air mengalir menuju ketempat yang memiliki elevasi lebih rendah pada daerah penelitian. Arah aliran akan terlihat jika diamati dari masing-masing sel atau grid dari data DEMnya. Sehingga dapat terakumulasi pada suatu sel yang menjadi arah tujuan dari beberapa sel aliran air lain. Air dalam sel-sel yang mengalir mengikuti arah aliran bergerak menuju sel target dan terakumulasi pada sel tersebut. Hasil akumulasi aliran ini dapat menentukan limpasan permukaan yang diterima oleh suatu titik dalam DAS. Jika titik tersebut dianggap sebagai suatu keluaran (outlet) dari suatu jaring-jaring aliran, maka sel tersebut akan mendapatkan jumlah aliran sel yang lebih besar dalam suatu DAS jika dibandingkan dengan sel yang lainnya (Mulyana 2012). Pemetaan dari akumulasi aliran DAS Ciliwung Hulu mulai dari daerah yang akumulasi aliran sel terkecil hingga terbesar (Gambar 4). Semakin pekat warna biru, berarti semakin besar akumulasi aliran di daerah tersebut. Daerah yang akumulasi alirannya besar ini potensial sebagai lokasi bendungan.
Gambar 4 Peta akumulasi aliran DAS Ciliwung Hulu (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan ArGIS) Menentukan titik dan jumlah orde percabangan segmen sungai Ciliwung Hulu dilakukan dengan analisis percabangan sungai menurut Metode Strahler dari
12 perangkat lunak ArcGIS. Metode ini juga dikenal sebagai metode Horton. Menurut Asdak (1995), sistem klasifikasi ini diurutkan dari urutan pertama, kedua dan seterusnya sejalan dengan peningkatan jumlah percabangan. Sehingga nomor urutan tertinggi menunjukkan daerah tersebut memiliki wilayah sub-DAS yang lebih luas dan percabangan sungainya semakin banyak. Sungai Ciliwung Hulu terbagi dalam 5 orde (Gambar 5). Orde 1 diberi tanda warna merah dengan jumlah 336 segmen, orde 2 ditandai dengan warna biru berjumlah 157 segmen, orde 3 ditandai dengan warna hijau berjumlah 89 segmen, orde 4 ditandai dengan warna kuning berjumlah 62 segmen dan orde 5 yang ditandai dengan warna hitam berjumlah 23 segmen. Karena semakin tinggi nomor urut orde menunjukkan semakin banyaknya jaringan atau cabang sungai yang terdapat dalam sub-DAS tersebut, maka lokasi bendungan potensial pada jaringan sungai ini terdapat pada orde 4 dan orde 5.
Gambar 5 Peta orde sungai Ciliwung Hulu berdasarkan metode Strahler (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan ArGIS) Kemiringan lahan mempengaruhi karakteristik aliran air karena dapat menentukan besarnya debit yang keluar dari outlet dan kecepatan volume runoff. Lahan dengan kemiringan yang curam memiliki potensi runoff dan erosi yang tinggi jika terjadi hujan. Data spasial kemiringan lahan dibuat secara otomatis oleh SWAT dari DEM sesuai dengan kelas interval yang ditetapkan sebanyak 5 kelas, yaitu 0-8% (landai), 8-15% (bergelombang), 15-25% (berbukit), 25-40% (curam), > 40% (sangat curam). Penetapan kelas kelerengan ini mengacu pada penetapan kelas kelerengan oleh Dirjen RLPS Kemenhut (2009). Semakin ke hulu, kelerengan yang dominan >40%. Sedangkan semakin ke hilir, kelerengan yang dominan berkisar antara 0% sampai 25%. Lokasi potensial bendungan lebih baik
13 memiliki kemiringan antara 0% sampai 25%. Karena resiko longsor dan erosi lebih rendah.
Gambar 6 Peta kelerengan DAS Ciliwung Hulu (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan SWAT) Titik lokasi potensial bendungan Penentuan titik bendungan pada tahap ini memperhitungkan analisis jaringan sungai Ciliwung sebelumnya yaitu elevasi DAS, arah aliran (Fdir), akumulasi aliran (Facc), orde sungai dan kelerengan (α) , sehingga ditentukan tiga titik yang dianggap lokasi potensial untuk bendungan di DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan analisis tersebut, didapatkan syarat untuk lokasi tersebut dikatakan potensial (Tabel 5) : Tabel 5 Kriteria lokasi potensial bendungan Parameter Ya Fdir Arah terbanyak dari aliran sungai (biasanya elevasi rendah) Facc Akumulasi aliran sel tersebesar Orde Orde 4 dan atau orde 5 α 0 – 25 %
Tidak Tidak terdefinisi, sedikit aliran ke sel tersebut Akumulasi aliran rendah < orde 4 > 25 %
14 Lokasi yang didapatkan mengacu pada kriteria dari Tabel diatas dan ditentukan dengan melihat ketinggian dari masing-masing lokasi, ada 3 titik yang potensial untuk dijadikan bendungan (Tabel 6). Tabel 6 Koordinat lokasi potensial bendungan Bendungan
Koordinat 06°'56.08" LS dan 106°40'64" BT 06°39'21" LS dan 106°53'36" BT 06°39'22" LS dan 106°52'15,5" BT
Lokasi 1 (Megamendung) Lokasi 2 (Gadog) Lokasi 3 (Ciawi)
1 3
2
Gambar 7 Titik perkiraan tiga lokasi potensial bendungan di DAS Ciliwung Hulu
Pembentukan Sub DAS dan HRU hasil deliniasi model pada lokasi potensial Model SWAT akan mendeliniasi DAS Ciliwung Hulu yang menghasilkan perhitungan topografi secara lengkap, peta jaringan sungai, peta batas DAS, peta Sub DAS, dan outlet. Das Ciliwung Hulu hasil deliniasi model terbagi menjadi 60 Sub DAS, seperti angka 1-60 yang terlihat pada Gambar 10. Luas total DAS Ciliwung Hulu yang terbentuk oleh deliniasi model adalah 15.030,92 ha. Berdasarkan pembentukan sub-DAS ini, dapat diketahui bahwa lokasi potensial bendungan ke-1 berada pada sub-DAS 6, lokasi potensial bendungan ke-2 berada pada sub-DAS 12, dan lokasi potensial bendungan ke-3 berada pada sub-DAS 11.
15 Hasil deliniasi DAS juga akan memberikan nilai unit lahan (HRUs) yang lengkap sehingga dapat dimanfaatkan untuk melihat detail sungai. HRUs yang terbentuk oleh model SWAT merupakan gabungan penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lereng yang terdapat pada DAS Ciliwung Hulu berjumlah 860 jenis. Secara umum terdapat 2 hal penting dalam hal ini yaitu luas catchment area masing-masing lokasi bendungan dan persentase sub DAS tersebut dari DAS Ciliwung hulu secara keseluruhannya. Sub DAS 6 menjadi titik lokasi bendungan 1 dengan catchment area meliputi Sub DAS 1, 2,7,8 dan 9. Titik lokasi bendungan 2 terdapat pada Sub DAS 12 dengan catchment area meliputi Sub DAS 14, 19, 16, 15, 17, 24, 27, 26, 22, 28, 31, 34, 40, 36, 38, 37, 43, 47, 52, 41, 44, 42, 30, 48, 54, 53, 56, 55, 60, 58. Sedangkan untuk titik lokasi bendungan 3 terdapat pada Sub DAS 11 dengan catchment area meliputi Sub DAS 49,50,59, 57,13, 20,21, 46,32, 45, 12, 14, 19, 16, 15, 17, 24, 27, 26, 22, 28, 31, 34, 40, 36, 38, 37, 43, 47, 52, 41, 44, 42, 30, 48, 54, 53, 56, 55, 60, 58. Bendungan 2 termasuk dalam catchment area bendungan 3 karena terdapat diatasnya, sehingga bendungan 3 memiliki catchment area yang lebih luas dari kedua bendungan lainnya yaitu 10,014.88 Ha.
Gambar 8 Hasil deliniasi model DAS Ciliwung Hulu. Angka 1-60 menunjukkan nomor sub DAS (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan SWAT) Tabel 7 Luas SUB DAS Lokasi bendungan hasil deliniasi model Sub DAS Luas Catchment Area (Ha) Hasil Deliniasi Model 2,259.23 Bendungan 1 6,927.52 Bendungan 2 10,014.88 Bendungan 3
16 Karakteristik Hidrologi di Catchment Area Bendungan Kalibrasi dan validasi model Stasiun Katulampa digunakan sebagai pembanding terhadap hasil simulasi keluaran model SWAT. Dari grafik perbandingan antara debit hasil simulasi dan debit observasi terlihat bahwa diantara keduanya memiliki pola fluktuasi yang sama (Gambar 9). Grafik sebaran hubungan antara debit bulanan observasi (nilai X) dan debit bulanan simulasi (nilai Y) (Gambar 10). Kesesuaian dari data yang digunakan dapat dilihat dari nilai R2 atau disebut koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa kesalahan dalam memperkirakan besarnya Y yang direduksi dari variable X. Dimana model persamaan regresi akan dianggap sempurna apabila R2=1. Sebaliknya, apabila nilai R2=0 maka tidak ada keterkaitan atau korelasi antara variable Y dengan X (Asdak 1995). Hasil statistik menunjukkan debit Katulampa memiliki nilai R2 sebesar 0,78 yang sudah mendekati angka 1 dengan nilai NS=0,65 termasuk dalam kategori baik. Dari gambar juga terlihat trend positif dari hubungan data. Apabila terjadi kenaikan pada hasil observasi, data simulasi juga mengalami kenaikan. Begitu pula apabila terjadi penurunan nilai observasi, nilai simulasi juga mengalami penurunan. Nilai Ini menunjukkan bahwa hasil simulasi dari model SWAT ini baik dan bisa digunakan.
Gambar 9 Grafik perbandingan debit katulampa hasil observasi dan simulasi tahun 2004-2010
17
Gambar 10 Grafik sebaran debit bulanan hasil simulasi dan debit bulanan observasi Katulampa 2004-2010 Grafik debit hasil simulasi dari ketiga lokasi potensial bendungan dapat dilihat pada gambar 13. Jika dilihat dari fluktuasi grafik, lokasi 3 memiliki nilai debit yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 1 dan 2. Karena lokasi ini memiliki jaringan subbasin yang lebih banyak dibanding titik yang lainnya.
Gambar 11 Grafik debit bulanan rata-rata hasil simulasi lokasi bendungan di Ciliwung Hulu tahun 2004-2010
18 Catchment area dan volume bendungan Lokasi bendungan potensial yang telah didapati sebelumnya dibuat luas batasan areanya. Luas dari masing bendungan dapat dilihat pada Tabel 8. Namun untuk menghitung berapa volume tangkapan bendungan tersebut dilakukan dengan menghitung manual dari jumlah luas grid data DEM yang masuk dalam cakupan bendungan.
Tabel 8 Nilai luas area cakupan bendungan Lokasi Bendungan 1 Bendungan 2 Bendungan 3
Luas Area Bendungan (ha) 90.90 25.74 21.69
Luas Genangan (m2) 954,329.10 269,968.47 227,490.91
Luas area cakupan masing-masing bendungan (Gambar 12) ditandai dengan warna biru untuk bendungan 1, warna hitam untuk bendungan 2 dan warna merah untuk bendungan 3. Volume tampungan bendungan dihitung dengan mengakumulasi volume dari masing-masing grid DEM yang menjadi area bendungan dengan luas 1 grid adalah 900 m2. Sehingga diperoleh volume tampungan bendungan 1 sebesar 49.739.330 m3, tampungan bendungan 2 yaitu 8.813.621 m3 dan tampungan bendungan 3 yaitu 8.106.605 m3.
Gambar 12 Peta luas area cakupan bendungan (Sumber: Hasil Analisis Data DEM dengan ArGIS)
19 Sedimentasi di area sub DAS lokasi bendungan Sedimen merupakan hasil dari proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, maupun jenis erosi tanah lainnya. Sedimen terlarut atau tidak terlarut yang sering terdapat di sungai berasal dari pelapukan batuan induk menjadi partikel-prtikel tanah yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kemudian terangkut ke tempat yang lebih rendah dan masuk ke sungai. Keberadaan sedimen ini harus diatasi karena dapat menyebabkan pendangkalan waduk, sungai, saluran irigasi, dan terbentuknya tanah-tanah baru di pinggir-pinggir dan di delta-delta sungai (Asdak 1995). Begitu pula untuk daerah yang terdapat bendungan, perlu ada pengendalian sedimen agar fungsi bendungan dapat berjalan dengan baik.
Gambar 13 Grafik sedimentasi Sub-DAS 6, Sub-DAS 12 dan Sub-DAS 11 bulanan tahun 2004-2010 Nilai sedimentasi DAS Ciliwung hulu tergolong tinggi. Puncaknya terjadi pada tahun 2007. Bila dibandingkan dengan grafik debit dapat terlihat bahwa jumlah debit berbanding lurus dengan nilai sedimentasi pada tahun yang sama. Sub-DAS 11 memiliki nilai sedimen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya (Gambar 13). Hal ini dapat terjadi karena sedimen bergerak ketempat yang lebih rendah yaitu mengarah kehilir mengikuti aliran sungai, subDAS 11 memiliki elevasi yang lebih rendah dan lokasinya lebih dekat dengan Katulampa. Sedimentasi tertinggi terjadi pada sub-DAS 11 tahun 2007 dengan nilai tertinggi mencapai 90.000 ton/tahun. Nilai sedimentasi tertinggi setiap tahunnya terjadi pada musim hujan yang puncaknya terjadi antara bulan Desember-Februari. Sedimentasi perhektar untuk setiap catchment area bendungan yang tertinggi pada bendungan 1 dengan nilai 77 ton/ha/tahun. Tabel 9 Umur efektif bendungan Nomer Sedimentasi Sub DAS (ton/ha/tahun) Bendungan 1 77 Bendungan 2 57 Bendungan 3 74
Volume Bendungan (m3) 27,019,501.72 4,960,434.65 7,021,068.12
20
Simpulan Daerah yang potensial bendungan ditentukan dengan menganalisis jaringan sungai berupa arah aliran, akumulasi aliran, ketinggian dan kemiringan lahan, serta orde sungai. Berdasarkan analisis tersebut, debit hasil simulasi divalidasi dengan membandingkan debit hasil simulasi dan observasi di stasiun Katulampa yang menunjukkan bahwa hasil simulasi dari model SWAT ini dapat digunakan karena memiliki nilai R2 sebesar 0,78 dengan nilai NS sebesar 0.65. Analisis debit untuk lokasi Sub DAS bendungan 3 memiliki rata-rata bulanan tertinggi yaitu >30 m3/s sedangkan debit rata-rata bulanan terendah yaitu pada lokasi 1 dengan debit >6 m3/s. Berdasarkan hasil analisis terdapat tiga bendungan potensial yang dibatasi luas area tangkapan. Luas bendungan 1 yaitu 90.90 Ha; luas bendungan 2 yaitu 25.74 Ha; dan luas bendungan 3 yaitu 21.69 Ha. Luas genangan masing-masing bendungan 1, 2 dan 3 adalah 954,329 m2, 269,968 m2 dan 227,490 m2. Volume yang dapat ditampung oleh bendungan 1 yaitu 49,739,330 m3 ; bendungan 2 yaitu 8,813,621 m3 ; dan bendungan 3 yaitu 8,106,605 m3. Analisis sedimentasi untuk setiap catchment area bendungan 1, bendungan 2 dan bendungan 3 adalah 77 ton/ha/tahun, 57 ton/ha/tahun dan 74 ton/ha/tahun.
Saran Efektivitas dari bendungan sebaiknya dilakukan. Sangat disarankan untuk peninjauan langsung ke lapangan melihat kondisi sungai sebenarnya. Data debit yang dihasilkan bisa digunakan untuk berbagai keperluan penelitian.
Daftar Pustaka Ahl RS, Woods SW, Zuuring HR. 2008. Hydrologic calibration and validation of SWAT in a snow-dominated rocky mountain watershed, Montana, U.S.A. J American Water Resources Association. 44(6):1411-1430.doi:10.1111/ j.1752-1688.2008.00233.x Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Pr. Budiyanto E. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ARCVIEW GIS. Yogyakarta : Penerbit Andi [Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID). Indarto. 2013. Pembuatan Digital Elevation Model resolusi 10m dari peta RBI dan survei GPS dengan algoritma ANUDEM. JTEP J Keteknikan Pertanian. 28(1) Linsley RK dan Franzini JB. 1989. Teknik Sumber Daya Air Jilid 1. Djoko S, Penerjemah. Jakarta (ID) : Erlangga
21 Martdianto R dan Kadri T. 2012. Prioritas Penentuan Lokasi Waduk pada DAS Ciliwung untuk Pengendalian Banjir Jakarta. J TI Undip. Vol VII (2). Muchlison HM, Naufal NR, Syah NM. 2015. Green Water Front Sebagai Upaya Penanggulangan Banjir dan Tata Lingkungan Kumuh Daerah Aliran Sungai Ciliwung. [internet]. [diunduh 2016 Juni 25]. Tersedia pada: http://www.artikel.dikti.go.id. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2011. Soil and Water Assessment Tool: Theoretical Documentation, Version 2009. Temple, Texas (US): Texas Water Resources Institute-Texas A&M University [Grassland, Soil and Water Research Laboratory-Agricultural Research Service; Blackland Research Center-Texas AgriLife Research] Parlindungan M. 2013. Analisis karakteristik jejaring sungai ciliwung hulu untuk menentukan pola hidrograf banjir [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Pawitan H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya Terhadap Banjir Jakarta 1. Di dalam: Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir Jakarta; 2002; Jakarta-Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Andersen Consulat. [PPEJ] Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa. 2014.DAS Ciliwung.[terhubung berkala]. http//www.ppejawa.com (diakses 25 Maret 2014) [Wartainfo.com]. 2015. Lima banjir besar di Jakarta paling terparah yang pernah terjadi. [terhubung berkala]. http//www.wartainfo.com/lima-banjir-besardi-Jakarta (diakses Oktober 2015) Wilson EM. 1993. Hidrologi Teknik. Purbohadiwidjoyo, Penerjemah. Bandung (ID): Penerbit ITB
22
23
LAMPIRAN
24
25 Lampiran 1 Tabel luas área dan %DAS dari masing-masung Sub DAS No. Sub DAS Luas Area (Ha) %DAS 1
165.568078
1,10
2
92.695472
0,62
3
205.591392
1,37
4
181.803946
1,21
5
596.573709
3,97
6
455.359439
3,03
7
83.539198
0,56
8
484.244165
3,22
9
977.833398
6,51
10
270.818028
1,80
11
96.660038
0,64
12
218.712227
1,46
13
118.370797
0,79
14
422.88767
2,81
15
334.156791
2,22
16
52.2002
0,35
17
91.185156
0,61
18
176.140281
1,17
19
212.199005
1,41
20
192.47054
1,28
21
25.203351
0,17
22
175.573921
1,17
23
152.541629
1,01
24
61.356465
0,41
25
2.26547
0,02
26
305.272054
2,03
27
15.103135
0,10
28
75.515651
0,50
29
791.498503
5,27
30
422.415731
2,81
31
194.169648
1,29
32
204.364254
1,36
33
6.230042
0,04
34
243.726792
1,62
35
9.439457
0,06
36
271.667586
1,81
37
103.64524
0,69
38
476.220632
3,17
39
212.954153
1,42
40
185.862914
1,24
26 Lanjutan tabel luas área dan %DAS dari masing-masung Sub DAS No. Sub DAS Luas Area (Ha) %DAS 41
325.189288
2.16
42
202.665167
1.35
43
77.59234
0.52
44
232.493829
1.55
45
589.588509
3.92
46
327.643567
2.18
47
227.302136
1.51
48
346.428085
2.3
49
726.177449
4.83
50
18.784514
0.12
51
150.936927
1
52
373.9913
2.49
53
209.933532
1.4
54
152.824816
1.02
55
31.244601
0.21
56
184.541393
1.23
57
456.397766
3.04
58
420.527828
280
59
331.702543
2.21
60
280.918259
1.87
27 Lampiran 2 Tabel volume tampungan bendungan 1 No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Value 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574
Elev.max
Bendungan 1 Count Luas Resolusi
Spill way 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591 591
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 1 1 4 3 1 2 4 3 7 10 9 13 16 8 5 13 8 14 11 11 10 9 11 17 15 11 21 12 21 10 15 17 23 23 23 34 30 27 32 45 21 46 32
943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457
Volume 184069.4115 60412.5248 59468.5791 234098.5336 172742.0631 56636.742 111385.5926 218995.4024 161414.7147 370026.7144 519170.135 458757.6102 650378.5873 785362.8224 385129.8456 235986.425 601293.4109 362475.1488 621116.2706 477636.5242 467253.1215 415336.108 365306.9859 436102.9134 657930.1529 566367.42 404952.7053 753268.6686 419111.8908 713622.9492 330380.995 481412.307 529553.5377 694744.0352 673033.2841 651322.533 930730.4602 792914.388 688136.4153 785362.8224 1061938.913 475748.6328 998694.5506 664537.7728
28 Lanjutan tabel volume tampungan bendungan 1 44 575 591 5 45 576 591 5 46 577 591 5 47 578 591 5 48 579 591 5 49 580 591 5 50 581 591 5 51 582 591 5 52 583 591 5 53 584 591 5 54 585 591 5 55 586 591 5 56 587 591 5 57 588 591 5 58 589 591 5 59 590 591 5 60 591 591 5 TOTAL
28 36 35 34 43 40 34 22 17 18 8 10 10 5 11 6 2
Lampiran 3 Tabel volume tampungan bendungan 2 No Waduk 2 Elevasi Elev.max Spill way Count 0 544 583 5 2 1 545 583 5 1 2 547 583 5 2 3 548 583 5 4 4 549 583 5 2 5 550 583 5 4 6 551 583 5 4 7 552 583 5 5 8 553 583 5 2 9 554 583 5 6 10 555 583 5 2 11 556 583 5 5 12 557 583 5 1 13 558 583 5 5 14 559 583 5 4 15 560 583 5 8 16 561 583 5 6 17 562 583 5 6 18 563 583 5 7 19 564 583 5 6 20 565 583 5 5 21 566 583 5 10 22 567 583 5 10
943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457
555040.0716 679640.904 627723.8905 577694.7684 690024.3067 604125.248 481412.307 290735.2756 208611.9997 203892.2712 83067.2216 94394.57 84955.113 37757.828 72683.8189 33982.0452 9439.457 49739330.77
Luas Resolusi 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457
Volume 83067.2216 40589.6651 77403.5474 151031.312 73627.7646 143479.7464 139703.9636 169910.226 66076.199 192564.9228 62300.4162 151031.312 29262.3167 141591.855 109497.7012 211443.8368 152919.2034 147255.5292 165190.4975 135928.1808 108553.7555 207668.054 198228.597
29 Lanjutan tabel volume tampungan bendungan 2 24 569 583 5 25 570 583 5 26 571 583 5 27 572 583 5 28 573 583 5 29 574 583 5 30 575 583 5 31 576 583 5 32 577 583 5 33 578 583 5 34 579 583 5 35 580 583 5 36 581 583 5 37 582 583 5 38 583 583 5
13 8 6 15 6 15 12 13 10 13 11 12 15 11 14
943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457
TOTAL
233154.5879 135928.1808 96282.4614 226546.968 84955.113 198228.597 147255.5292 147255.5292 103834.027 122712.941 93450.6243 90618.7872 99114.2985 62300.4162 66076.199 8813621.001
Lampiran 4 Tabel volume tampungan bendungan 3 No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Value 486 487 488 489 490 491 492 493 494 495 496 497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511
elev.max 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530 530
Spill way 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Waduk 3 Count Luas Resolusi 3 943.9457 5 943.9457 5 943.9457 4 943.9457 6 943.9457 3 943.9457 8 943.9457 5 943.9457 4 943.9457 5 943.9457 8 943.9457 6 943.9457 8 943.9457 10 943.9457 4 943.9457 14 943.9457 10 943.9457 9 943.9457 11 943.9457 11 943.9457 6 943.9457 5 943.9457 8 943.9457 11 943.9457 10 943.9457 5 943.9457
Volume 138760.0179 226546.968 221827.2395 173686.0088 254865.339 124600.8324 324717.3208 198228.597 154807.0948 188789.14 294511.0584 215219.6196 279407.9272 339820.452 132152.398 449318.1532 311502.081 271856.3616 321885.4837 311502.081 164246.5518 132152.398 203892.2712 269968.4702 235986.425 113273.484
30 Lanjutan tabel volume tampungan bendungan 3 26 512 530 5 27 513 530 5 28 514 530 5 29 515 530 5 30 516 530 5 31 517 530 5 32 518 530 5 33 519 530 5 34 520 530 5 35 521 530 5 36 522 530 5 37 525 530 5 38 528 530 5 39 529 530 5 40 530 530 5 TOTAL
6 8 5 7 3 7 5 5 2 1 3 1 2 1 1
943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457 943.9457
130264.5066 166134.4432 99114.2985 132152.398 53804.9049 118937.1582 80235.3845 75515.656 28318.371 13215.2398 36813.8823 9439.457 13215.2398 5663.6742 4719.7285 8106605.67
31 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan H. Jalias dan Hj. Marga Widini. Penulis lahir di Selatpanjang 9 September 1992. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 1 Selatpanjang, lulus pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Selatpanjang, lulus pada tahun 2007, dilanjutkan ke SMA Negeri 1 Selatpanjang dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI sebagai mahasiswa Program studi Geofisika dan Meteologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota HIMAGRETO, dan Komunitas Pejuang Lingkungan Hidup IPB. Pada Tahun 2012 penulis aktif sebagai panitia Metrik (Meterologi Interaktif) di bagian divisi Acara tahun 2012. Penulis melaksanakan magang di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau selama 1 bulan pada akhir semester 6.