Utusan Damai di Kemelut Perang
Peran Zending dalam Perang Toba Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil RMG lain oleh Uli Kozok © 2009 Uli Kozok (
[email protected]) Hak Cipta dilindungi undang-undang
Daftar Isi
Prakata Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak. Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang disebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Tokoh
penginjilan
dari
Rheinische
Missions-Gesellschaft
(RMG),
lembaga
penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun. Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga. Nommensen memang seorang tokoh yang berkarisma tetapi dia juga hanya salah satu dari banyak penginjil Batakmission (zending Batak) yang ditugaskan untuk menyebarkan injil. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan memang sangat diutamakan dalam
kalangan
RMG,
dan
para
penginjil
sadar
bahwa
mereka
diharap
melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak dan kebijakan pimpinan RMG. Sebagai pelaksana, para penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan. Laporan-laporan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dinamakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG. Secara total ada sekitar 5.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah
Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting. Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya. Buku ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil, terutama Ludwig Ingwer Nomensen dan Wilhelm Metzler selama masa Perang Toba. Laporan Nommensen dan Metzler berbicara sendiri dan tidak perlu banyak dikomentari. Akan tetapi yang perlu dilakukan ialah mencari alasan mengapa para penginjil begitu rela membantu tentara Belanda menumpaskan perjuangan Si Singamangaraja XII. Sebagai didikan seminaris RMG para penginjil tentu dipengaruhi oleh para guru mereka, dan guru mereka
sendiri
dipengaruhi
oleh
aliran
teologi
dan
ideologi
yang
sedang
berkembang pada waktu itu. Oleh sebab itu buku ini tidak hanya mengulas latar belakang teologi di RMG pada pertengahan abad ke-19 melainkan juga ideologi yang sedang berkembang di Eropa, dan khususnya di Jerman. Hanya dengan adanya pengetahuan tentang latar belakang kehidupan para misionaris maka kita bisa memahami tindakan mereka. Pengetahuan
kita
tentang
tindakan
mereka
akan
juga
bermanfaat
untuk
menghindar agar jangan terjadi pembentukan mitos dan legenda yang tidak sehat. Sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari bahwa buku yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap “kontroversial”. Sesungguhnya buku ini hanya bisa menjadi “kontroversial” karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan yang berdiri di belakangnya. Honolulu, September 2010, Dr. Uli Kozok
Pendahuluan “Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.”
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda. Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka
berangkat
untuk
mematahkan
perjuangan
Singamangaraja.
Pihak
pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adatistiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa”. Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda: “Bantuan dan keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu untuk meyakinkan rakyat untuk menghentikan perlawanan mereka yang sia-sia dan mendesak mereka untuk menyerahkan diri.” Sementara yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar. Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi: Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.
Kerja sama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangaraja XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907. Secara resmi Perang Toba I hanya berlangsung selama dua bulan namun perlawanan dari pihak Singamangaraja tetap ada. Pada tahun 1880 misalnya pos zending dan gereja di Simorangkir dibakar oleh seorang raja yang berpihak pada Singamangaraja yang menaruh dendam terhadap pendeta Simoneit. Alasan pembakaran itu karena Simoneit “atas permintaan pemerintah, ikut pada sebuah ekspedisi militer kecil sebagai penerjemah.” Walaupun
peran
dan
tujuan
Rheinische
Missionsgesellschaft
(RMG)
dan
penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama (1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di zaman kemerdekaan:
1.
Peran
para
penginjil
dalam
menaklukkan
Onafhankelijke
Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII dengan Zending. Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang duaduanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema. Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII” berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka. Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan sebulan
sekali
(Berichte
der
Rheinischen
Missionsgesellschaft).
Daripada
menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang
ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L. Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 oleh Zendingsdrukkerij Laguboti setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah disadur dan diringkas. Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah
Batak
hingga
dirasakan
perlu
untuk
menerbitkan
ulang
catatan
Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik” (hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179). Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah.
Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke Silindung
sehingga
“Nommensen
hanya
bahan
pelengkap
saja
dan
bukan
merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama Kristen, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan
Nommensen,
tidak
benar”
bertolak
belakang
dengan
laporan
Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya: Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan. Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras bukan hanya oleh surat-kabar Hindia Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang “bengis dan keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut:
“Memang
benar
bahwa
mereka
[pasukan
bantuan
Kristen,
UK]
diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan.” (BRMG 1878 hal. 195) Sidjabat
mengakui
bahwa
tidak
semua
orang
Batak
berpihak
pada
Singamangaraja: ...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah semangat mereka yang mengkhianati perjuangan
mundur
kecuali
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda: Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus. Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang
kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”. Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda. Sangat
penting
bagi
Sidjabat
adalah
rekonsiliasi
zending
dengan
Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411). Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen” sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.” Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif. Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG. Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka: Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda]. Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak: Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini.
Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda: Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118) Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras. Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. (BRMG 1878:193) Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja. Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita? (BRMG 1878:94) Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan
memasuki
dan
menduduki
Bahal
Batu
yang
termasuk
wilayah
Singamangaraja - hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara. Menarik untuk dicatat di sini
bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung. Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III Humbang, disebutkan bahwa, ...selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja. Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak: Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral. Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah sering berbeda, tetapi di berbagai bidang kepentingan mereka sejajar, dan di bawah Fabri sebagai direktur RMG yang sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa kepentingan misi pada hakekatnya sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial. Fabri, yang notabene menjadi penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der Colonien? (Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?) malahan menganjurkan agar penginjilan dimanfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para misionaris maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik dengan membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab. Para
misionaris
juga
menekankan
bahwa
Belanda
senantiasa
dapat
mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia: Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. [...] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)
Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba
ia
secara
konsisten
menggunakan
kata
‘kami’.
Kata
‘kami’ malahan
digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara: •
Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.
•
Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 lakilaki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
•
Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera.
•
[...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami.
•
Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
•
Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.
•
Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin.
•
Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh.
•
Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya.
•
Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami yang jahat bergerak lagi.
•
Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh.
•
Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami.
•
Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang.
•
Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.
•
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya.
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya. Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak dapat diterima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan pelajaran mereka di seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati. Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda: Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. (BRMG 1882:202) Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat
dengan
bahasa
Belanda.
Selain
itu,
sesuai
dengan
pelajaran
yang
diperolehnya ketika belajar di seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan keturunan ras Germania yang sama. Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut: Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202) Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama. RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan politik, tidak hanya di Batakmission tetapi juga di wilayah kerja yang lain seperti di Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan kemerdekaan masyarakat hitam di Afrika Selatan. Demikian juga di Tanah Batak. Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh di kalangan orang Batak, dan ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sendiri nasib gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah menakdirkan orang putih sebagai pemimpin1. Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda: Berkat tangan Tuhan, [...] dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. (BRMG 1882:204) Perlu ditekankan bahwa Nommensen
membantu
pemerintah
dan
tentara
Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa. Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara: Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya, 1
Lihat Aritonang 1988.
kagum saja tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris. Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern.
Pada awal abad ke-21 paham
keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai kenyataan. Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara).
Ketika
ia berumur 14 tahun gerakan
demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal. Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi negara termaju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan. Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG.
Sejarah Masuknya Injil ke Tanah Batak “Gerakan penginjilan [...] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme, dan, sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Ph. Potter, Dewan Gereja Se-Dunia 2 Orang-orang yang memainkan peranan penting pada sejarah masuknya injil ke Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter Johannes Veth, Herman Neubronner van der Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang disebut dalam publikasi yang berkaitan dengan sejarah penginjilan di Indonesia. Ahli botani F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil dibawa ke Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemudian menarik perhatian direktur Serikat Penginjilan Belanda P. J. Veth. H.N. van der Tuuk menjadi orang pertama yang menerjemahkan injil kepada bahasa Batak, dan Friedrich Fabri menjadi 'otak' di balik penginjilan orang Batak. Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864) lahir di Mansfeld, Kerajaan Westfalia (sekarang menjadi bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia dipaksa menjadi seorang dokter namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia pindah ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menjadi warga negara Belanda. Karena ingin ke Hindia-Belanda maka ia mendaftar di tentara Belanda sebagai dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba di Jawa dan pada tahun 1840 ia ditugaskan ke Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang pejabat yang pada tahun 1841 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berkat bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka. Pada waktu itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk tidak memperluas wilayah Hindia Belanda melainkan membatasinya pada Jawa, Maluku, dan beberapa daerah di Sumatra. Karena politik tidak campur tangan dalam urusan raja-raja di Nusantara (onthoudingspolitiek) maka Belanda tidak mempunyai rencana konkret untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah ada beberapa raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada Belanda maka pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan daerah yang nantinya dapat dipergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk ke Tanah Batak. Informasi yang dicari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah. Mereka ingin mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan sungai, jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya 2
Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972-1984: “Die missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus, Imperialismus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist die missionarische Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des Rassismus verbunden.” [Dikutip dari Jura 2002:285].
alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb. Junghuhn juga diminta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan, adat, dan pemerintahan di Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga tentang kanibalisme. Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak terbatas sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki Junghuhn lama tinggal di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguhsungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama di daerah Batak. Sesudah menetap di Barus selama delapan belas bulan terpaksa Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspedisi
pertama
Junghuhn ke Tanah Batak merdeka dimulai pada pertengahan November 1840 dan membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit. Perjalanan kedua dimulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspedisi yang pertama Junghuhn didampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan pembantunya yang terdiri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sendiri menjadi pengawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya dipersenjatai dengan bedil yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25 orang (Angerler 1993: 6). Walaupun sakit-sakitan selama berada di Tanah Batak Junghuhn sempat menulis dua jilid dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battaländer auf Sumatra. Bukunya dibagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras, kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan, musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian, peternakan, dan irigasi. Sesuai dengan
permintaan
pemerintah
kolonial
yang
mempekerjakannya,
Junghuhn memberi rekomendasi bagaimana “orang Batta dapat dijadikan warga negara yang patuh” (die Battäer zu gehorsamen Unterthanen zu machen). Antara lain ia memberi saran agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menjadi kepala pemerintahan karena hal itu akan dimanfaatkan untuk memberontak melawan Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli tanpa pemerintahan pusat karena hal itu membantu menaklukkan orang Batak. Menurut Junghuhn daerah Batak lebih baik diperintah langsung oleh Belanda. Perlu dicatat di sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para
pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda biasanya tidak suka bila bangsa pribumi diperintah langsung oleh pegawai Belanda karena biayanya lebih tinggi.
Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan
nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menjadi salah satu dari tidak banyak wilayah di Indonesia yang diperintah secara langsung. Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat digolongkan liberal. Ia amat kecewa melihat keadaan tanah airnya: “Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan, kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang dihalalkan oleh gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa, pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat – perang! – kapal dan benteng pertahanan diledakkan, ribuan manusia dikorbankan dalam sedetik; orang saling mencurigai, benci...” Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk keadaan Eropa yang begitu menyedihkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya penginjilan di Jawa. Apa alasan maka dalam Die Battaländer auf Sumatra Junghuhn yang sendiri anti-Kristen menyarankan agar pemerintah
kolonial memperkenalkan agama
Kristen pada orang Batak? Ternyata untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam” (Junghuhn, 1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama Islam di Tanah Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”. Agar cepat orang Batak masuk Kristen dan jangan telanjur menjadi Islam maka ia tidak keberatan “bila konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal”. (Junghuhn, 1847b:83 catatan kaki). Dalam BAB 1 yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1 tentang watak, adat, dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang, ditinjau dari sudut pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat adanya kemiripan antara bangsa Batak dan bangsa Eropa! Tingkat budaya orang Batak tidak dapat dikatakan rendah walaupun tentu masih jauh dari bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun muka tampak bahwa orang Tobah yang belum bercampur [dengan bangsa lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras Mongoloid. Tubuhnya menunjukkan kemiripan dengan ras hindu-kaukasus (indo-eropa). Muka mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah daripada orang Melayu. (Junghuhn, 1847a:275) Warna kulit yang cokelat cenderung menjadi putih, terutama pada perempuan yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya kelihatan kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus, pada perempuan, cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang Melayu atau orang Jawa, hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan
proporsi tubuhnya seimbang.3” (ibid. hal. 7) Anehnya kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan Batak! Bentuk muka oval yang dapat disebut sub-Yunani lebih sering dapat ditemukan pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung memiliki wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.) Uraian Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth (1814-1895), guru besar pada Universitas di Leiden dan pendiri Indisch Genootschap, yang sejak 1843 menjadi anggota dewan pimpinan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga Alkitab Belanda) 4. Pada rapat tahunan NBG tahun 1847 Veth membacakan halaman 275 dari buku Junghuhn Die Battaländer auf Sumatra kepada anggota-anggota dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan bahwa penginjilan orang Batak perlu dilaksanakan. NBG langsung memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat muda, untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der Tuuk lahir di Melaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu yang separuh Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menjadi wilayah Inggris sebagai akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke Surabaya. Tahun 1836 Herman Neubronner van der Tuuk disekolahkan ke Belanda dan mulai tahun 1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, di Groningen dan di Leiden. Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta. Kerena bakatnya yang luar biasa – ia dikatakan bisa mempelajari sebuah bahasa dalam waktu hanya tiga bulan
–
maka ia dipekerjakan oleh Nederlandsch
Bijbelgenootschap untuk meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan alkitab
injil.
Selama
berada
di
daerah
Batak
(1851-1857)
Van
der
Tuuk
menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) – Belanda, menyusun tata bahasa Toba yang menjadi terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah di Hindia
3
4
Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so daß selbst ein schwaches Rosenroth der Backen hindurch schimmert. Dabei sind die Haare nicht schwarz, sondern gewöhnlich, und bei den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien und Javanen. Der Körper ist wohlgebaut, stark muskulös. NBG itu bukan lembaga zending dalam arti yang sebenarnya karena tidak menyediakan zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan terjemahan alkitab.
Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan Pakpak. Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van der Tuuk adalah seorang ateis namun di lain pihak NBG juga sadar akan kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina para penginjil sebagai “pengobral buku murahan” ia juga bersikap setia pada NBG sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang sama dengan Junghuhn:
Orang
Batak harus diinjilkan untuk membendung
pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatra. Upaya penginjilan di Tanah Batak dipelopori oleh Hermanus Willem Witteveen (1815–
1884)
yang
pada
tahun
1859
mendirikan
Jemaat
Zending 5
(Zendingsgemeente) dan Gereja Zending (Zendingskerk) di Ermelo . Seusai kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang seharian bekerja sebagai pengembala kambing
mendatangi Pastor Witteveen karena hendak
menjadi penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang bernama Gerrit van Asselt (1832–1910) itu berada di ladang ia tiba-tia mendengar Mazmur 96:2 “Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita.” Beberapa minggu kemudian ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.” Pemuda setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Ds Witteveen menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) menanyakan apa von Asselt bisa menjadi tukang pada zending NZG. Akan tetapi permintaan itu ditolak dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing. Selain itu van Asselt dianggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil untuk
meyakinkan
Persatuan
Pendukung
Zending
Perempuan
Amsterdam
(Amsterdamsche Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zendingszaak) yang dipimpin oleh Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Lalu Van Asselt berangkat ke Amsterdam untuk belajar di seminaris. Ia belajar bahasa Melayu dari Isaäc Esser (1818–1885) yang dari 1861–1864 menjadi residen di Timor. Esser sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan tujuan untuk mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar van Asselt menjadi penginjil di Sumatra untuk “menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk Tuhan.” Pada tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang 5
Pastor Witteveen menjadi salah seorang pendiri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat Injil Bebas) di Belanda.
menerjemahkan alkitab Injil ke dalam bahasa Belanda) ke Batavia. Setiba di sana ia minta izin pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar –sesuai dengan
amanat
Esser–
menyebarkan
injil
di
ranah
Minangkabau.
Namun
permintaannya ditolak karena daerah itu sudah menjadi Islam, dan ia ditawari gubernur menjadi administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil menyebarkan injil.6 (Groot 1984: 91-93) Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser ketika beliau berceramah tentang Sumatra di muka “Persatuan Pemuda Pekerja” di Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka ditahbiskan oleh Pastor Witteveen. Pada tahun 1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu Friedrich Wilhelm Betz (1832–1881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk mendampingi van Asselt di Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt di Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator kebun untuk bersama dengan Betz membuka pos zending di Silindung. Namun permintaan Asselt ditolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena pemerinta tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan zending ke Angkola. Betz bertugas di Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 18697 sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang ditahbiskan di Ermelo pada 21-10-186) membuka pos di Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara Van Asselt tetap di Parau Sorat (Sipirok).
Dammerboer lalu memutuskan untuk
meninggalkan zending. (BRMG 1910:253-257) (Groot 1984: 93-94) Pada tahun 1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft yang berkedudukan di Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan penginjil RMG dibunuh ketika Perang Banjar meletus di Kalimantan sementara penginjil yang lain diamankan ke Pulau Jawa. Ketika itu Friedrich Fabri (1824-1891) menjadi Direktur RMG (1857-1884). Ketika Fabri berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan untuk menempatkan para misionaris yang sedang berada di Jawa di tempat yang lain. Sewaktu berada di kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der Tuuk. Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan van der Tuuk yang 6
7
Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zending Batak diprakarsai oleh Van Asselt yang dianggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas yang sedemikian berat. Christian Philip Schütz (1838–1922) menjadi pengganti Betz di Bunga Bondar dari tahun 1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schütz hanya sekali berlibur ke Jerman (1893–1895).
pada saat itu sedang berada di Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zendingskerk Ermelo dengan RMG. Setelah dirundingkan dengan Pastor Witteveen maka diputuskan bahwa ketiga misionaris dari Domine Witteveen yang sudah ada di Sumatra, yaitu van Asselt, Betz, dan Dammerboer selanjutnya dipekerjakan oleh RMG dan diperbantukan oleh tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz, Heine dan
Klammer (Dammerboer sudah
meninggalkan
zending
sedangkan
Denninger masih berada di Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan kelanjutan penginjilan di Tanah Batak. Betz ditempati di Bunga Bondar, Klammer di Sipirok, dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru di Pangaloan. Tanggal 7-10-1861 kini dianggap sebagai hari jadi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak lama kemudian L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya Nommensen ditempatkan di Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk bergabung dengan keempat penginjil yang sudah berada di sana. Misi di daerah-daerah selatan (pos zending di Sipirok, Bunga Bondar, Prau Sorat) berada di wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak orang yang menganut agama Islam dan terutama pada periode sekitar 1867–1871 ada kemajuan yang pesat di daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah ada hampir 700 orang yang menganut agama Kristen. Pada tahun-tahun berikut tidak ada lagi kemajuan yang berarti. Tahun 1873 tidak ada lagi pertumbuhan di Bungabondar karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam kecuali 308 orang yang memilih agama Kristen (JB 1873:27). Keadaan yang sama juga dilaporkan dari Sipirok dan Parausorat (JB 1874:12). Ludwig Ingwer Nommensen L.I. Nommensen (kadang-kadang namanya juga ditulis I. L. Nommensen) dilahirkan pada 6 Februari 1834 di Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menjadi bagian dari Kerajaan Denmark. Setelah mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun ia berjanji akan menjadi penginjil. Ia diterima di seminaris RMG di Wuppertal-Barmen (1857–1861) dan setelah tamat Nommensen langsung pergi ke Belanda untuk naik kapal ke Sumatra bertepatan dengan malam Natal 1861. Di Amsterdam, Nommensen masih sempat belajar bahasa Batak pada H.N. van der Tuuk yang pada saat itu sedang berada di Belanda.
L. I. Nommensen umumnya dianggap sebagai salah seorang misionaris yang paling berhasil. Pada tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen Batak Protestant memiliki 500 paroki dengan 180.000 jemaah, 34 pastor (pandita Batak), hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940 HKBP menjadi mandiri, 1948 menjadi anggota Dewan Oikumene (ÖkumenischerRat der Kirchen), dan 1952 menjadi anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar 2,5 juta HKPB menjadi gereja terbesar di Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan menjadi Officier8 Ordo Oranye-Nassau. Kini nama Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama disebabkan bahwa malahan dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering dianggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap bangsa-bangsa “berwarna” dalam konteks imperialisme kolonial. Dalam Pengakuan Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-1971 secara resmi Vereinigte Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG mengakui: “Kami terlalu sering menyerah pada godaan bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari pribumi.” 9 Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah dikirim ke Sumatra, Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan disambut dengan baik, namun pemerintah melarangnya untuk menetap di sana. Pemerintah tidak bersikap anti-zending dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para penguasa
takut
bahwa
kehadiran
misionaris
akan
mengakibatkan
adanya
pemberontakan sebagaimana terjadi di Kalimantan tahun 1859 (Perang Banjar). Karena tidak dapat menetap di Toba terpaksa Nommensen ditempatkan dulu di Parausorat. Pada November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk melacak kemungkinan akan diterima di sana, namun sambutan penduduk tidak begitu hangat: “Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak beralasan) bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yang menetap di antaranya hal itu pasti akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah pemerintah Belanda.” (JB 1863:46) Baru pada bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas Lumbantobing, pindah ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan yang hebat dari penduduk, ia berhasil membaptis beberapa keluarga di bulan Agustus 1865. Setahun kemudian Nommensen didampingi oleh Peter Hinrich Johannsen (1839-1898) yang juga berasal dari Schleswig (tempat kelahiran Johannsen, 8 9
Weddingstedt
di
Holstein,
tidak
jauh
dari
kampung
halaman
Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah Ridder Grootkruis, diikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid. “Wir bekennen, daß wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den weltlichen Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brüder und Schwestern zusammenzuarbeiten”. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In die Welt für die Welt No. 12/1971, hal. 13).
Nommensen). Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan alkitab ke dalam bahasa Batak, mendirikan pos zending yang baru di Pansur na Pitu (1867) dan menjadi misionaris dan guru di sana hingga ia meninggal pada tahun 1898. Walaupun RMG mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan di Silindung mereka prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zending baru di Sipoholon (1870), Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang Kristen, walaupun masih minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun 1870an golongan Batak Kristen di Silindung sudah cukup besar untuk menjadi kekuatan sosial dan politik. Mulai tahun 1830 Belanda memutuskan untuk tidak lagi memperluas wilayah kekuasaan di Indonesia. Alasannya karena daerah di luar Jawa akan kurang menguntungkan bagi negara Belanda, dan juga karena administrasi kolonial tidak sanggup memerintah seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali lipat negara induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda di Nusantara dibatasi pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah di Sumatra. Masih pada tahun 1861 menteri untuk urusan penjajahan (minister van koloniën) mengatakan bahwa tiap upaya perluasan wilayah berarti “suatu langkah lagi menuju kehancuran kita”10. Kebijakan onthoudingspolitiek (politik tidak campur tangan) itu baru mulai ditinggal pada tahun 1870an sehingga pada tahun 1907 hampir semua wilayah di Nusantara sudah menjadi bagian dari Hindia Belanda. Suatu peristiwa yang sangat penting untuk sejarah Sumatra bagian utara adalah pembukaan terusan Suez pada tahun 1869. Sebelum terusan Suez dibuka kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez, laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang dikuasai Inggris, lebih pendek melalui Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut di perairan Aceh membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan Aceh dan menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda keleluasaan untuk berdagang di seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara Belanda berjanji untuk menjamin keamanan di Selat Melaka. Akibat Perjanjian Sumatra, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) di Singapura yang pada giliran dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Aceh. Kehadiran
para
zendeling
di
Tanah
Batak
tentu
tidak
disetujui
oleh
Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang
10
Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal
“een schrede nader tot onze ondergang.”
1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi yang
menjalankan
hukum
dan
keadilan
(Recht
und
adanya pemerintah
Gerechtigkeit)
(BRMG
1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi Silindung” 11. Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman. Pecahnya Perang Aceh di tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda yang mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang ternyata dipukul balik oleh pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler tewas. Pada ekspedisi berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki Banda Aceh sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi gerilya. Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang Aceh ternyata juga menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 dilaporkan bahwa ada sejumlah orang Aceh di Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja sudah memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh dan untuk mengusir para misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. memberi perintah agar para misionaris harus meninggalkan wilayahnya. Pada
bulan
Januari
1878
para
misionaris
diperintahkan
untuk
segera
meninggalkan wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris meminta bantuan tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu tentara Belanda: Ekspedisi itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula – dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspedisi itu begitu luar biasa berhasil karena Silindung menjadi pangkalan yang sangat aman [bagi tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan dinasihati oleh para misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya. Dukungan dan bantuan para misionaris yang ikut pada ekspedisi itu juga mempunyai tujuan yang satu lagi, yaitu untuk meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia dan supaya sebaiknya mereka menyerah. (JB 1878:31)
11
Immanuel Februari 1894 (dikutip dari Aritonang 1988:160)
Para Penginjil di Tanah Batak Siapa para misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah diperalat oleh tentara kolonial? Para misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus dibebaskan dari belegu “kekafiran” dan “kebarbaran”. Sebagai penganut aliran pietisme mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit kembali dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sesat. Seperti Aritonang (1988) menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris bukanlah sebuah perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris RMG adalah anak zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan pada keunggulan ras putih. Pada tahun 1878, ketika Silindung dan Toba dianeksi dalam Perang Toba I, ada enam penginjil di Silindung – Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit. Yang paling tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun sementara yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka mulai pendidikannya untuk menjadi misionaris di seminaris RMG di Barmen, mereka berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Püse). Sesuai dengan kebiasaan di RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah mereka tamat seminaris di Barmen dan menerima ordinasi yang hanya berlaku untuk penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk pertama kali menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan mereka semua belum kawin. Keputusan untuk menjadi seorang misionaris berarti bahwa mereka akan memasuki
kehidupan
yang
serba
berbeda.
Rata-rata
para
misionaris
RMG
berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada di Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang diharapkan untuk tetap berada di tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-satunya misionaris yang dipanggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang dibutuhkan sebagai guru di seminaris Barmen12. Misionaris yang paling lama tinggal di Tanah Batak adalah L.I. Nommensen yang berdiam di Tanah Batak selama 57 tahun, diikuti oleh M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33 tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap di Tanah Batak hingga mereka meninggal. Johannsen meninggal di Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,
12
Schreiber hanya tujuh tahun menjadi misionaris (1867-1873) di Prau Sorat.
Mohri di Purba pada usia 72 tahun, Nommensen di Sigumpar pada usia 84 tahun, dan Staudte di Sipirok pada usia 39 tahun. Jadi kebanyakan misionaris memilih masa pensiun di Jerman, tetapi ada juga di antaranya, seperti Nommensen, dan Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali ke Jerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schütz misalnya baru kembali ke Jerman pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas di Pearaja hingga mencapai umur 78 tahun. Para misionaris diperbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya. Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905, dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun lebih mengambil cuti ke Jerman. Setelah diutus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris diwajibkan untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting (misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya di wilayah kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka yang tidak mematuhi peraturan ini segera diberhentikan. Tabel 1 Data Misionaris RMG 1861–1878 A
B
C
D
E
Asselt, Gerrit von
1832
1856
1862
1875
1910
Betz, Friedrich Wilhelm
1832
1860
1858
1869
1881
Christiansen, Julius
1844
1871
1879
1906
1934
Heine, Carl Wilhelm
1833
1860
1866
1873
1897
Johannsen, Peter
1839
1865
1870
Klammer, Johann
1826
1855
1861
1883
1919
Leipoldt, Christian
1844
1869
1874
1879
1911
Metzler, Wilhelm
1847
1875
1877
1924
1935
Mohri, August
1835
1867
1871
1907
Nommensen, I.L.
1834
1861
1866
1918
Püse, Heinrich
1842
1874
1882
1905
1920
Schreiber, August
1839
1866
1866
1873
1903
Schütz, Christian
1838
1867
1870
1912
1922
Simoneit, August
1842
1873
1882
1886
1886
Staudte, Friedrich
1845
1873
1877
1898
1884
A Tahun Kelahiran, B Tahun Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun Kepulangan, E Tahun Kematian
Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah tamat dikirim ke luar negeri dan berada di wilayah kerjanya selama bertahun-tahun maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sendiri. Oleh sebab itu maka pilihan calon istri menjadi tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya, berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan pilihan RMG lain yang ditentukan bagi tiga penginjil di Borneo. Mereka satu rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer ditunjuk untuk menjaga ketiga calon istri itu. Setiba di Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan di antara kedua pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya dilaksanakan pada 22 Februari 1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuan lainnya dikawinkan dengan ketiga penginjil di Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya di Sibolga. Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun setelah mulai menetap di Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun sebelum diperbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai lima, dan penginjil Püse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun. Para calon istri misionaris juga belajar di RMG namun pendidikannya berfokus pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pendidikan teologi sangat
kurang.
Terutama
menjahit
dan
menyanyi
dilihat
sebagai
wahana
penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya diizinkan mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pendidikan sekolah anak-anak misionaris dikirim ke Jerman untuk diasuh pihak RMG. Mengingat bahwa para misionaris tiba di Tanah Batak sebagai bujangan berumur 20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa di antara misionaris itu yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi, tidak di zamannya Nommensen dan juga tidak di kemudian hari. Dari lebih dari seratus penginjil yang diutus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang memperistri seorang boru Batak. Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang penginjil dengan seorang gadis pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak
tertulis bahwa hal itu takkan boleh terjadi. Kendati demikian asmara tidak senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Müller yang menjadi penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft di Togo pada November 1900 mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang gadis Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya. Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: “Saya telah memberitahu penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara seorang penginjil dengan seorang Negro.” Permohonan Müller ditolak dan Müller meninggalkan zending NMG yang merupakan salah satu badan zending yang progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi dikhawatirkan bisa menjadi isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu harus dihindari. Kejadian serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang gadis Kristen Ewe. Permintaan ini pun ditolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank diputuskan (Altena 2003:148-149). Para penginjil senantiasa disadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para pendukung dan oleh karena itu mereka diharapkan untuk hidup lebih sederhana daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin di Nordstrand – sebuah kampung kecil dan terbelakang di daerah Schleswig yang pada tahun kelahiran Nommensen masih menjadi wilayah Denmark: “Saya anak dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang dibesarkan dengan roti tanpa isi, hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur gandum”13. Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa daripada duduk di bangku sekolah, pada usia delapan ia menjadi penggembala kambing, pada usia sembilan ia belajar menjadi tukang atap, pada umur sepuluh ia menjadi tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menjadi buruh tani, dan sebelum masuk seminaris RMG ia sempat menjadi guru bantu. Leipoldt dan Christiansen, teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menjadi guru bantu. Metzler menjadi
Lohgerber (tukang
yang
mengolah
kulit binatang),
Mohri menjadi
Eisenfabrikarbeiter (buruh pabrik besi), Püse menjadi Zimmermann (tukang bangunan), Klammer dan Simoneit menjadi Schreiner (tukang kayu), Schütz 13
Ich war ein Junge armer, kränklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz, Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei groß geworden. (Warneck 1950:9)
menjadi Anstreicher (tukang cat), Staudte menjadi Drechsler (tukang kayu), dan Heine menjadi Bauer (petani). Hanya satu di antara keenam penginjil di Silindung, Johannsen, menjadi guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah pun dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, dibandingkan dengan kehidupan di Jerman status sosial mereka di Sumatra jauh lebih tinggi.14 (Angerler 1993:56–57) August Schreiber berbeda dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sendiri yang berpendidikan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris di Barmen melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber menjadi guru di seminaris di Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan mulai tahun 1884 hingga tahun 1903 ia menjadi Inspektor (direktur) RMG.
Sikap terhadap pribumi Walaupun
kebanyakan
penginjil
berasal
dari
latar
belakang
sosial
yang
sederhana, mereka berkeyakinan menjadi “wakil peradaban yang begitu jauh lebih unggul daripada budaya kafir” (AMZ 6, 1879:352) 15. Masyarakat di wilayah penginjilan dianggap tidak memiliki peradaban sehingga diperlukan adanya transfer budaya dan peradaban Eropa. Untuk transfer budaya satu arah itu Warneck menggunakan istilah Culturkampf (perang budaya) yang dilaksanakan “di semua tempat pertemuan Cultur Kristen Eropa dengan kebarbaran dan Uncultur bangsabangsa di luar Eropa.” 16 Oleh karena masyarakat “primitif” tidak memiliki Cultur (budaya) melainkan Uncultur (non-budaya/kekacauan) maka sebagian besar unsur budaya yang sudah ada harus dihilangkan. Namun dalam praktek para penginjil, paling tidak di daerah Batak, melihat adanya unsur budaya Batak yang perlu dilestarikan, termasuk aksara Batak, sastra lisan, dan arsitektur. Namun sebagian besar budaya Batak dianggap tidak penting atau malahan bertentangan dengan agama Kristen sehingga perlu dihilangkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya untuk
14
15 16
Perlu diketahui bahwa kehidupan seorang tukang, buruh, atau petani pada pertengahan abad ke-19 jauh sekali berbeda dengan keadaan yang sekarang. Hampir semua misionaris berasal dari keluarga yang miskin. Majalah Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) didirikan oleh Gustav Warneck, direktur RMG. Überall wo unsere christliche, europäische Cultur und Civilisation mit der Uncultur und Barbarei der nicht europäischen Völker in Berührung getreten (dikutip dari Schubert 2003:126).
bermain
musik
(margondang),
menari
(manortor),
dan
malahan
sistem
kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkannya dengan
mengizinkan
perkawinan
antara
orang
sesama
marga.
Setelah
mendapatkan perlawanan dari orang Batak maka para penginjil bersedia untuk berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap dilarang dan diganti dengan musik tiup asal Jerman. Bukan saja di Batakmission tetapi juga di Afrika seni tari selain tari Eropa dianggap kegiatan yang berdosa (Paczensky, 1991:134). Perasaan unggul yang dimiliki oleh hampir semua orang Eropa terhadap bangsa “primitif” membuatnya cenderung untuk melihat masyarakat setempat dengan serba negatif. Dalam buku hariannya tahun 1853 Carl Hugo Hahn, misionaris pertama di Namibia, menyimpulkan watak suku Nama sebagai berikut: “Watak mereka sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala, tidak teguh pendirian, tamak, birahi, suka membunuh, dan pemabuk. Selain itu mereka teramat membenci bangsa kulit putih.”17 Prasangka yang serba negatif juga
dikemukakan
oleh
Junghuhn.
Menurutnya
orang
Batak
memiliki
sifat
pemabuk, takhyuli, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, keras kepala dan malas, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sifat positif pada orang Batak seperti berani, jujur, berterus-terang, baik hati dan mandiri (Junghuhn 1847a:240). Penilaian positif tersebut tentu juga berkaitan dengan keunggulan ras yang – menurut Junghuhn– dimiliki oleh orang Batak terhadap suku-suku lain di HindiaBelanda. Junghuhn menekankan bahwa “orang Batak malas seperti semua orang yang tinggal di daerah khatulistiwa.” (idem 237). Menurut bekas direktur RMG Gustav Warneck “kemalasan merupakan masalah terutama pada bangsa-bangsa primitif” dan bahwa “dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus dipaksa untuk bekerja. Kalau kita membiarkan mereka sendiri mereka akan tetap malas” (AMZ 6, 1879:430). Sesuai dengan semboyan ora et labora, ora (berdoa) dilihat sebagai budaya, dan labora (bekerja) sebagai inti peradaban dan budaya sekaligus (Schubert 2003:126). Oleh sebab itu maka zending memiliki tugas untuk mendidik masyarakat pribumi agar bisa bekerja dengan tekun dan rajin. Bagi masyarakat “kafir” di Afrika pekerjaan terutama yang diuntukkan bagi bangsa pribumi adalah sebagai kuli 17
Die hervorstechenden Züge ihres Charakters sind: unbegrenzter Hochmut, Treulosigkeit, Hinterlist, Misstrauen, Verschlagenheit und Unversöhnlichkeit und Hartnäckigkeit und doch auch Wankelmut, Mord- und Habsucht ... und Wollust und Trunkenheit. Dazu gesellt sich ein unauslöschlicher bitterer Hass gegen alle Weißen [...]. Buku Harian penginjil Carl Hugo Hahn, 1853. Dikutip dari http://de.wikipedia.org/wiki/Nama_(Volk).
perkebunan. Terutama Warneck berulang kali menekankan dalam AMZ betapa penting zending dalam pembentukan watak yang sesuai dengan kepentingan penjajah (Schubert 2003:125–131). Namun keadaan di Batakmission berbeda dengan Afrika. Afrika Barat Daya dijajah oleh Jerman sementara Tanah Batak menjadi bagian Hindia-Belanda. Jerman memang ada kepentingan ekonomi di Sumatra Timur karena ada sejumlah perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan Jerman, namun Deli, yang dijuluki Het Dollarland (Tanah Dolar), dengan kekayaan yang melimpah, cukup jauh dari Tapanuli. Dari segi ekonomi Tanah Batak kurang menarik bagi pemerintah HindiaBelanda – apalagi bagi pemerintah Jerman. Daerah Batak tidak memiliki kekayaan alam yang layak untuk dieksploitasi, dan juga tidak sesuai untuk membuka perkebunan. “Kemalasan” orang Batak yang dikeluhkan para penginjil (BRMG 1863:16) memang termasuk di antara sifat-sifat buruk yang perlu diperantas, tetapi terutama karena tuntutan etos Protestan dan bukan karena kebutuhan ekonomi. Selain sifat negatif seperti pendendam, keras kepala, dan susah dapat diatur, para misionaris juga melihat adanya sifat positif – terutama sesudah mereka telah bertahun-tahun tinggal di tengah-tengah masyarakat Batak. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah kedatangan Batakmission ada kemajuan pesat di Tanah Batak. Namun faktor utama kemajuan bukan Batakmission sendiri melainkan keadaan politik yang relatif stabil di bawah pemerintahan kolonial, dan kemajuan ekonomi sebagai akibat keadaan politik dan karena peningkatan prasarana selama masa penjajahan. Beda dengan orang Minangkabau atau orang Jawa yang teramat menderita di bawah sistem tanam paksa, zaman penjajahan bagi kebanyakan orang Batak membawa dampak yang positif, terutama dari segi ekonomi. Harga-harga turun drastis, terutama setelah dibuka jalan raya yang menghubungkan Tapanuli dengan Deli, Sibolga dan Padang. Barang-barang yang belum pernah dikenal tiba-tiba tersedia, terbuka lapangan untuk perdagangan dan segala macam pekerjaan yang sebelumnya tidak dikenal, adanya sistem pendidikan dan kesehatan modern juga mendorong kesejahteraan masyarakat. Namun tetap ada duri di dalam daging: orang Batak dikuasai oleh bangsa asing, dan
tidak
diberi
kesempatan
untuk
mengatur
kehidupan
sendiri;
tidak
di
pemerintahan dan juga tidak di gereja. Batakmission dikuasai oleh para misionaris Jerman dan mereka tidak bersedia untuk melepaskan kekuasaan mereka itu. Dalam buku Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jan S. Aritonang menulis: “Lambat laun sebagaian masyarakat Batak Kristen semakin jelas melihat bahwa para zendeling Batakmission itu sangat menonjolkan superioritas dan paternalisme mereka sebagai orang Kristen Barat, dan mereka mulai tidak betah
terhadap sikap yang demikian.” (Aritonang, 1988:440). Gerakan kemandirian dan nasionalisme di bahwa semboyan Hamajuon (kemajuan) dikecam keras oleh para penginjil yang dengan tegas menolak setiap upaya orang Batak mendirikan lembaga kemasyarakatan di luar zending. Lembaga seperti HKB dikecam keras apalagi setelah HKB menjadi semakin nasionalis dan malahan bekerja sama dengan organisasi politik nasional seperti Sarekat Islam: Sejak 1918 para zendeling berusaha membendung perkembangan HKB, antara lain dengan mengimbau masyarakat Batak Kristen agar menjadi anggota Christelijke Etische (sic!) Partij [...] atau dengan mengajukan HKB kepada pemerintah sebagai organisasi yang mengancam eksistensi Zending dan pemerintah di Tanah Batak. (Aritonang, 1988:296) 18 Mereka yang tidak betah dengan paternalisme para zendeling mendirikan gereja-gereja tandingan seperti Huria Christen Batak, Gereja Mission Batak, dan Punguan Kristen Batak, tetapi “tidak semua aktivis gerakan kemandirian itu memisahkan diri dari “gereja resmi” [...] walaupun sebagian dari mereka merasa diperlakukan kurang wajar atau merasa kurang dihargai oleh para zendeling” (Aritonang, 1988:300) Kritik yang dilontarkan HKB antara lain bahwa Batakmission kurang berhasil di bidang pendidikan. Ketersediaan lembaga pendidikan yang memadai memang sudah lama menjadi sengketa antara para zendeling dan masyarakat Batak. Karena takut atas pengaruh Islam maka lama sekali Batakmission menolak membuka sekolah yang mengajarkan bahasa Melayu. Karena para penginjil tetap ingin mempertahankan bahasa Batak sebagai media instruksi, mereka juga enggan untuk membuka sekolah berbahasa Belanda. Padahal lulusan sekolah yang berbahasa Melayu dan Belanda lebih mudah mendapatkan pekerjaan terutama di pemerintahan. Baru pada tahun 1908 dan atas desakan masyarakat Batakmission bersedia untuk membuka sekolah berbahasa Belanda, dan baru tahun 1914 Batakmission membuka sekolah berbahasa Melayu yang pertama. Bahkan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai mata pelajaran di semua sekolah dasar pun Batakmission tidak bersedia. Para penginjil memang menginginkan agar orang Batak tetap hidup terisolir dengan sesedikit mungkin hubungan ke luar dengan alasan agar kebatakannya lestari, agar jangan dipengaruhi agama Islam, dan agar jangan bersentuhan arus modernisasi
seperti
gerakan
nasionalisme.
Namun
di
belakang
perbedaan
kepentingan sesungguhnya terdapat konflik yang lebih mendasar: Batakmission
18
Christelijke Ethische Partij adalah partai politik yang dibentuk dan didominasi oleh orang Kristen Belanda.
bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat nasrani yang ideal sementara orang Batak lebih condong berpegangan pada filsafat mereka yang tradisional. Tujuan hidup menurut falsafat Batak ialah mencapai cita-cita tertinggi yaitu hamoraon
(kekayaan),
hagabeon
(banyak
keturunan),
dan
hasangapon
(kemuliaan). Ketiga cita-cita tersebut pernah disebut oleh penginjil Nommensen sebagai ketiga dosa H. Terutama di waktu sesudah perang dunia pertama ketiga ‘dosa’ H itu malahan ditambah lagi dengan ‘dosa’ keempat, yaitu hamajuon – gerakan kemandirian untuk menentukan sendiri nasib gereja, untuk berasosiasi secara bebas dengan suku bangsa lain dalam rangka menentukan nasib bangsa. RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian
bertentangan
dengan
kehendak
Tuhan
yang
memang
sudah
menakdirkan orang putih sebagai pemimpin. Dengan sikap yang demikian Batakmission akhirnya malahan dinilai masyarakat sebagai penghambat kemajuan sehingga bermunculan berbagai upaya untuk mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pendidikan alternatif, dan sekaligus untuk mendorong Batakmission agar bersikap lebih terbuka pada permintaan dan kebutuhan masyarakat, dan tidak lagi memperlakukan mereka seperti anak-anak.
Sikap terhadap agama lain Setelah Jerman bersatu sebagai Deutsches Reich (Kerajaan Jerman) pada tahun 1871 maka raja Prusia menjadi kepala negara dengan gelar kaisar sementara Austria yang Katolik tidak diikutsertakan. Tanpa Austria kaum Katolik menjadi minoritas (14 juta) dibandingkan dengan 24 juta Protestan. Kaum Protestan yang menganggap diri sebagai “Jerman sejati” (der wahre Deutsche) meragukan patriotisme kaum Katolik. Pada tahun berdirinya yang kedua Kerajaan Jerman yang didominasi oleh kaum Protestan, dan dengan kepala negara yang Protestan, sudah melarang Ordo Yesuit. Pada tahun ketika (1873) diterbitkan Maigesetze (undangundang Mei) yang mendiskriminasikan kaum Katolik dan membatasi ruang gerak gereja Katolik. Sikap anti-Katolik juga merasuki tubuh RMG dan zending Katolik di Tanah
Batak mendapatkan
perlawanan
yang
hebat dari pihak HKBP
yang
menganggapnya sebagai “musuh besar” (JB 1932/1933: h.33). Namun musuh yang terbesar adalah Islam yang mereka sebut sebagai “agama nabi yang palsu”, “ajaran sesat”, “ajaran Iblis yang harus diberantas” (Aritonang,
1988:151). Penginjil Batakmission Gottfried Simon menjadi spesialis agama Islam di RMG. Buku-bukunya tentu saja condong untuk menyudutkan agama Islam, tetapi ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan keobjektifan – berbeda dengan tokoh-tokoh lain di RMG seperti misalnya direktur RMG Spiecker yang pada tahun 1911 menyerukan agar “seluruh umat Kristen harus berjuang hingga penganut terakhir nabi yang palsu bertekuk lutut”19.
Teologi dan Ideologi RMG Karena latar belakang pendidikan yang terbatas dan usia yang masih muda maka para murid seminaris dengan mudah dapat dibentuk oleh guru-gurunya. Sudah jelas bahwa teologi serta Weltanschauung mereka rata-rata tidak jauh berbeda dari paham yang dianuti gurunya. Guru yang paling berpengaruh pada para misionaris adalah F. Fabri (1824–1891) dan G.L. Rohden (1815–1889) 20. Fabri menjadi guru dan sekaligus direktur RMG dari tahun 1857 hingga 1884 sementara Rohden menjadi guru dari 1846–1889 dan direktur RMG dari tahun 1884–1889 menggantikan Fabri yang meninggalkan RMG agar sepenuhnya dapat mengabdikan diri pada gerakan kolonial Jerman.21 Baik Fabri maupun Rohden adalah orang yang di spektrum politik dapat digolongkan konservatif, anti-demokrasi, dan pro-kerajaan. Kedua tokoh spiritual RMG ini juga dipengaruhi oleh paham yang pada saat itu sangat dominan, yaitu rasisme dan nasionalisme. Sebelum kita menguraikan secara terperinci teologi dan ideologi Rohden dan Fabri kedua paham yang tadi disebut perlu disoroti terlebih dahulu.
Berkembangnya Paham Rasisme “Karena tiada manusia yang bisa merampas, memperbudak, dan membunuh sesama manusia tanpa melakukan kejahatan maka bangsa yang dijajah dinyatakan bukan manusia.” Jean-Paul Sartre
19 20 21
Dikutip dari Jongeling 1966:116 Hanya tiga di antara keenam penginjil yang mendapat pendidikan, selain dari Fabri dan Rohden, juga oleh C. Wallmann yang masih mengajar hingga tahun 1865. Tentang alasan maka Fabri meninggalkan RMG lihat Bade (1995:369-384).
Asal usul kata ‘ras’ tidak diketahui dengan jelas. Ada kemungkinan kata tersebut berasal dari bahasa Latin ratio (alam/watak), radix (akar), atau generatio (pembuatan), namun ada pula teori yang mengatakan bahwa istilah ras berasal dari bahasa Slawonik, bahasa Germania, atau malahan bahasa Arab. Istilah ras pertama kali muncul dalam bahasa-bahasa Romawi sebagai razza (bahasa Itali), raza (Spanyol), raca (Portugal), dan race (Prancis) sejak abad ke-13. Menjelang abad ke-16 kata itu juga masuk dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Pada waktu itu kata ras belum punya konotasi biologis melainkan berarti “keturunan”, atau “bangsa” seperti dalam perkataan “bangsa tuan tanah”, atau “bangsa aristokrat”. Kata ras dalam arti “golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik” baru mulai digunakan pada abad ke-17 dan ke-18, dan baru pada abad ke-19 kata rasisme
masuk
dalam
perbendaharaan
kata
bahasa-bahasa
Eropa.
Dengan
demikian tampak bahwa sejarah rasisme sebagai ideologi masih relatif baru. Paham atau ideologi rasisme sebagai “ilmu” lahir pada zaman pencerahan dan mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20. Pada zaman pencerahan manusia melepaskan diri dari ideologi gereja yang melihat seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, dan para ilmuwan mulai dengan giat berusaha untuk memahami alam semesta secara rasional. Segalagalanya yang ada, terutama tumbuhan dan hewan dijadikan objek penelitian, diukur, ditimbang, dan dikelompokkan menurut kategori-kategori yang mereka ciptakan. Kalau tumbuhan dan hewan dapat dikategorikan menjadi kerajaan, divisi, kelas, ordo, famili, genus, dan spesies maka manusia pun dapat dikelompokkan. Demikianlah usul Franois Bernier (1620-1688) yang menyarankan di majalah ilmiah “Journal des Scavants” agar manusia dikategorikan menurut warna kulit, postur, dan bentuk muka. Beliaulah yang untuk pertama kali menggunakan istilah ras dalam arti yang sekarang. Ilmuwan
Jerman
Gottfried
Wilhelm
Leibniz
(1646-1716)
berusaha
untuk
memadukan agama dengan ilmu pengetahuan dan menekankan bahwa seluruh bangsa manusia berasal dari nenek moyang yang sama dan bahwa perbedaanperbedaan ras diakibatkan oleh pengaruh lingkungan hidup, terutama iklim. Carl von Linné (1707-1778), ahli botani dan zoologi asal Swedia untuk pertama kali meletakkan dasar tata nama biologi. Beliau juga mengelompokkan manusia modern (homo sapiens) pada puncak primata. Spesies manusia dikelompokkannya dalam empat kelas yang masing-masing memiliki bukan hanya ciri-ciri fisik tetapi juga ciri-ciri watak. Kelas orang Afrika misalnya disebut sebagai “jahat, malas, lalai”. Menurut Linné manusia dapat dibagi atas empat ras, yaitu ras putih (Eropa),
ras kuning (Asia), ras merah (Amerika), dan ras hitam (Afrika). Pembagian ini menggantikan pembagian non-rasional berdasarkan kitab Injil yang pada tahun 1666 dilakukan oleh Georgius Hornius, yang membedakan tiga golongan, yaitu ras keturunan Yafet (putih), ras keturunan Sem (kuning) dan ras keturunan Ham (hitam). Profesor kedokteran asal Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840) menjadi pelopor kraniometri (ilmu tengkorak). Ia percaya bahwa perbedaan antara ras dapat dilihat pada bentuk tengkorak, namun ia juga mengakui bahwa tidak ada batas antar-ras yang pasti. Blumenbach menambahkan ras kelima yaitu ras cokelat (Melayu). Sesudah Blumenbach ada sejumlah besar ilmuwan yang menekuni bidang kraniometri serta bidang-bidang ilmu yang mirip seperti frenologi, ilmu yang meneliti sikap-sikap kepribadian, dan fisiognomy yang mempelajari bentuk muka namun semua upaya ini tidak membuahkan hasil apa-apa kecuali memberi kesan bahwa rasisme memang memiliki dasar yang rasional. Kini diketahui bahwa pengelompokan ras berdasarkan warna kulit tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Bahan pewarna (pigmen) yang dikenali sebagai melanin yang didapati di dalam kulit menentukan warna kulit manusia. Kulit yang hitam melindungi manusia terhadap kerusakan yang dapat diakibatkan oleh sinar ultraungu. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa manusia di daerah tropis memiliki kulit yang lebih cokelat dibandingkan dengan manusia yang mendiami daerah berhawa dingin. Namun demikian, di dalam suatu populasi selalu terdapat variasi warna kulit yang signifikan sehingga klasifikasi manusia menurut warna kulit tidak akurat. Baik di Eropa, di Amerika dan di Asia Timur ada spektrum warna dari putih hingga cokelat, tergantung pada individu, dan juga tergantung pada daerah. Ternyata dalam sejarah evolusi manusia, warna kulit hitam (atau cokelat) adalah warna kulit yang asli sementara warna putih di Eropa dan Asia merupakan perkembangan di kemudian hari.22 Di dalam zaman imperialisme Eropa rasisme menjadi salah paham yang secara ‘ilmiah’ membenarkan penjajahan bangsa berwarna oleh bangsa putih. Tentu saja kaum
penjajah
tak
ingin
dikenang
sepanjang
sejarah
sebagai
“penjarah”.
Karenanya, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya ini. Mereka berdalih dengan menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa terbelakang yang hanya dapat mencapai tingkat peradaban bila dibantu oleh ras putih. Dengan demikian 22
penjajahan
dapat
dibenarkan
sebagai
tindakan
yang
sebetulnya
Lihat juga Sweet, Frank W. 2002. The Paleo-Etiology of Human Skin Tone: Essays on the Color Line and the One-Drop Rule. http://backintyme.com/essays/?p=4
bermaksud untuk membantu kaum terjajah untuk mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi.
Nasionalisme dan Keunggulan Germania Sama dengan kata ‘rasisme’, kata ‘nasionalisme’ pun masih belum dikenal pada abad ke-18. Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara
dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama
untuk sekelompok manusia. Dalam Theories of Nationalism Anthony D. Smith (1971) menyebut empat keyakinan yang menandai seorang penganut paham nasionalisme: •
Keyakinan bahwa umat manusia secara alamiah dibagi atas bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok etnik yang masing-masing memiliki karakter nasional, sejarah nasional, serta takdir sendiri-sendiri. Perdamaian dan keadilan global menuntut adanya dunia yang terdiri atas bangsa-bangsa yang otonom.
•
Keyakinan bahwa individu untuk bisa menjadi bebas harus menjadi bagian dari suatu bangsa, dan mengidentifikasikan diri dengan bangsanya. Hal itu menyebabkan seorang individu menjadi setia pada bangsanya dan kesetiaan kepada bangsa adalah prioritas utama baginya.
•
Keyakinan bahwa sebuah bangsa hanya dapat berkembang apabila memiliki negara dengan pemerintahan sendiri.
•
Keyakinan bahwa bangsa itu merupakan satu-satunya sumber kekuasaan politik.
Menurut penganut paham nasionalisme suatu bangsa harus memiliki otonomi yang utuh, dan bisa mengatur diri sendiri, memiliki kesatuan wilayah, dan memiliki identitas nasional yang dalam bahasa Jerman disebut Volkscharakter
‘watak
bangsa’. Nasionalisme sering disebut sebagai sejenis “agama politik” karena memang ada banyak kemiripan antara agama dan nasionalisme. Keduanya melibatkan emosi atau semacam getaran jiwa, keduanya memiliki sistem kepercayaan, doktrin, dan ajaran yang tertentu, keduanya memiliki upacara dan ritual, dan keduanya memiliki kelompok penganutnya. Baik nasionalisme maupun rasisme mempunyai landasan ideologis yang berakar pada ide-ide zaman pencerahan dan zaman romantik yang secara ekonomi ditandai oleh oleh perubahan dari masyarakat pertanian kepada lahirnya sistem kapitalis dan komersial dengan munculnya kaum borjuis, dan secara ideologis ditandai oleh
munculnya perhatian pada individu dan berkurangnya perhatian pada teologi dan metafisika. Zaman pencerahan itu juga zaman rasionalisme yang ditandai oleh berkembangnya ilmu pengetahuan. Istilah nasionalisme untuk pertama kali digunakan oleh Johann Gottfried von Herder (1744–1803). Namun pengertian ‘nasionalisme’ baginya bukan dalam arti sempit sebagaimana dipakai oleh kebanyakan nasionalis. Nasionalisme Herder bukan chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan) yang menempatkan bangsanya sendiri di atas bangsa yang lain. Lain dengan banyak nasionalis Jerman di kemudian hari yang yakin akan keunggulan bangsa Germania 23 membenci menghargai
Perancis
dan
bangsa-bangsa
budaya
dan
Volkscharakter
24
Slavia . Slavia,
Herder
dan
dan amat
malahan
mengilhami
sangat
timbulnya
nasionalisme Slavia. Nasionalisme yang berlebihan sering diiringi oleh rasisme. Di Jerman, kebencian terhadap kaum Yahudi yang oleh sebagian orang dianggap sebagai ras inferior berakibat pada pembantaian terhadap kaum Yahudi. Di berbagai negara bagian di Amerika Serikat perkawinan antar-ras malahan dilarang dan larangan itu berlaku hingga tahun 1967. Tergantung pada negara bagian, peraturan-peraturan itu berbeda-beda, tetapi selalu dimaksud untuk ‘melindungi’ bangsa putih agar tidak ‘tercemar’ oleh darah yang bukan murni Eropa. Di Arizona, misalnya, mengeluarkan undang-undang pada tahun 1865 yang melarang perkawinan antara orang putih dengan orang hitam, namun pada tahun 1931 laragan itu diperluas mencakup bangsa India dan bangsa Melayu: “The marriage of a person of Caucasian blood with a Negro, Mongolian, Malay or Hindu is null and void.” 25 Apabila ada anak yang lahir dari hubungan antara seorang putih dengan seorang yang non-putih maka secara otomatis keturunan itu dianggap hitam. Peraturan tersebut menjadi terkenal sebagai one-drop rule yang berarti apabila seorang memiliki hanya setetes darah hitam ia tetap dianggap hitam. Melalui pendidikan yang mereka peroleh di seminaris maka para misionaris RMG tidak hanya dipengaruhi oleh teologi kebangkitan yang dipupuk oleh nasionalisme Herder, tetapi juga oleh rasisme yang dibalut dalam kemasan keagamaan. Oleh sebab itu mustahillah seorang pemuda misionaris akan mengawini seorang perempuan Batak karena perbuatan yang tercela itu akan mengancam kemurnian
23 24 25
Bangsa Germania biasanya didefinisikan berdasarkan bahasa. Rumpun bahasa Germania termasuk Jerman, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, Islandia, dan Inggris. Bahasa-bahasa Slavia yang terbesar termasuk Rusia, Polandia, Ukraina, Serbia, Ceko, Bulgaria, Belarus, dan Slowakia. Sejak 1967 semua undang-undang yang melarang perkawinan antar-bangsa dibatalkan.
darah Jerman, dan perkawinan campur dianggap akan menghasilkan keturunan yang rendah derajatnya.
Teologi RMG di bawah Rohden dan Fabri Gerakan misi diprakarsai oleh serikat pengijnjilan Inggris pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1792 Baptist Mission Society didirikan disusul oleh London Mission Society (1795) dan Mission Society for Africa and the Orient (1797). Pada tahun yang sama berdiri Nederlandsche Zendelinggenootschap, dan ketika itu di Jerman pun bermunculan beberapa serikat penginjilan. Gerakan misi itu merupakan akibat langsung dari zaman penjajahan karena ekspansi Eropa ke daerah-daerah yang hingga itu belum dikenal membuka lahan penginjilan pada bangsa-bangsa yang memiliki agamanya sendiri yang pada waktu itu dicap sebagai kekafiran. Demikian pun halnya di tanah Batak. Agama mereka yang sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan
agama
Bali
yang
di
kemudian
hari
menjadi
Hindu
dicap
sebagai
kepercayaan kafir yang perlu diberantas. Serikat Penginjilan Kawasan Sungai Rhein atau Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) didirikan pada tahun 1828 ketika tiga serikat penginjilan bergabung.26 Basis RMG terutama di Rheinland dan di Westfalen (kedua daerah kini mencakup negara bagian
Nordrhein-Westfalen
dan
negara
bagian
Rheinland
Pfalz).
Di
situ
bermunculan kelompok-kelompok pendukung yang menyumbangkan dana yang menjadi tulang punggung operasional RMG. Medan zending RMG terutama di Afrika (mulai tahun 1829), Cina (mulai 1846)
Kalimantan (1836-1859), dan Sumatra
(mulai 1861). Pimpinan RMG terdiri dari seorang presiden (Präses) yang biasanya merupakan orang kaya yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan besar yang turut menyumbangkan dana operasional RMG, dan seorang direktur yang memiliki latar belakang teologi dan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan misi. Para misionaris berada langsung di bawah direktur, dan mereka diharapkan untuk senantiasa patuh pada direktur dan melaksanakan perintahnya. Johann Christian Wallmann (1811-1865) menjadi direktur RMG dari 1848 hingga 1857.
Menurut Schreiner (1972:35) Wallmann meletakkan dasar untuk
teologi RMG yang merupakan “teologi penebusan yang berasal dari gerakan kebangkitan” yang menekankan kebutuhan orang akan penebusan, pertobatan dan 26
Pada tahun 1971 RMG bergabung dengan Bethel Mission di bawah nama Vereinigte Evangelische Mission (Persatuan Penginjilan Evangelis) yang pada tahun 1996 menjadi Vereinte Evangelische Mission (Penginjilan Evangelis Bersatu)
keselamatan (Aritonang, 1988:101). Berbeda dengan penggantinya, Rohden dan Fabri, Wallmann “tidak terlalu mengagungkan peradaban Eropa” dan mengimbau kepada muridnya agar menyebarkan injil tanpa memaksakan nilai-nilai Eropa (ibid.).
Namun untuk periode yang disoroti dalam buku ini Wallmann tidak
seberapa berpengaruh karena sudah meninggal pada tahun 1865. Selama empat tahun belajar di seminaris para misionaris terutama dipengaruhi oleh heilsgeschichtliche Theologie (Teologi Sejarah Keselamatan) yang juga dikenal sebagai Teologi Kerajaan Allah (Reich-Gottes-Theologie) sebagaimana diajarkan oleh Friedrich Fabri dan Ludwig von Rohden.
Baik teologi von Rohden maupun
Fabri kuat dipengaruhi oleh paham nasionalisme yang menekankan keunggulan bangsa Germania serta paham rasisme yang menegaskan keunggulan ras putih. Ludwig von Rohden (1815-1889) mengajar sejarah, geografi, antropologi, dan teologi. Bagi Rohden sejarah dunia adalah sejarah kerajaan Allah dan satu-satunya sumber yang menurutnya dapat diandalkan dan yang tidak boleh dipertanyakan adalah alkitab injil. Rohden menjadi pengarang buku sejarah yang dipakai di seminaris RMG dan menjadi pegangan utama bagi para misionaris. Buku teks yang berjudul Leitfaden der Weltgeschichte (Pedoman Sejarah Dunia) bertolak belakang tidak hanya dengan ilmu sejarah modern tetapi juga dengan teologi Kristen mana pun yang ada dewasa ini. Bagi pembaca masa kini Leitfaden der Weltgeschichte adalah buku yang sering tidak masuk akal karena mengandung pernyataan yang acap bertolak belakang, dan penuh dengan asumsi yang dipengaruhi oleh kedua paham ideologi
yang sangat laku di Jerman pada abad ke-19 yaitu nasionalisme
dan rasisme yang dipadukan oleh Rohden dengan peristiwa “sejarah” yang diambilnya dari alkitab injil. Bagi Rohden seluruh manusia adalah keturunan nabi Nuh karena hanya nabi Nuh beserta keluarganya selamat pada air bah yang menurut Rohden melanda dunia 5000 tahun yang lalu.27 Rohden berpedoman pada kisah dalam Kitab Kejadian ketika nabi Nuh mengutuk Kanaan. 9:18
Anak-anak Nuh yang keluar dari kapal itu ialah Sem, Yafet dan Ham. (Ham adalah ayah Kanaan.)
9:19
Ketiga anak Nuh itu adalah nenek moyang semua orang di dunia.
9:20
Nuh seorang petani, dan dialah yang pertama-tama membuat kebun anggur.
27
Kini diperkirakan bahwa air bah terjadi sekitar 5600 SM ketika zaman es berakhir dan permukaan lau naik sehingga Laut Tengah meluap ke dalam Laut Hitam yang sebelumnya merupakan sebuah danau air tawar yang dangkal dan jauh lebih kecil dan yang dikelilingi oleh dataran yang subur. Air yang mengalir melalui Bosporus selama 300 hari dengan kecepatan 96 km/jam melepas volume air 200 kali lipat dari air terjun Niagara, dan membanjiri daratan seluas 155.000 km2.
9:21
Setelah Nuh minum anggurnya, ia menjadi mabuk. Dilepaskannya segala pakaiannya lalu tidurlah ia telanjang di dalam kemahnya.
9:22
Ketika Ham, yaitu ayah Kanaan, melihat bahwa ayahnya telanjang, ia keluar dan memberitahukan hal itu kepada kedua saudaranya.
9:23
Kemudian Sem dan Yafet mengambil sehelai jubah dan membentangkannya pada bahu mereka. Mereka berjalan mundur memasuki kemah itu dan menyelimuti ayah mereka dengan jubah itu. Mereka memalingkan muka supaya tidak melihat ayah mereka yang telanjang itu.
9:24
Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mengetahui apa yang diperbuat anak bungsunya terhadap dirinya,
9:25
ia berkata, "Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya.
9:26
Pujilah TUHAN, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem.
9:27
Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet."
9:28
Sesudah banjir itu, Nuh masih hidup 350 tahun lagi.
9:29
Ia meninggal pada usia 950 tahun.
Bagian dari Kitab Kejadian ini menimbulkan berbagi kesulitan: 1. Tidak jelas mengapa justeru Kanaan (anak Ham yang tidak melakukan apa-apa) dikutuk, 2. Tidak semua nama tempat yang disebut diketahui keberadaannya. 3. Tidak jelas apa yang terjadi dengan bagian dunia yang tidak disebut dalam alkitab seperti bagian selatan Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika. Masalahnya
pada
waktu
Kitab
Perjanjian
ditulis
kawasan-kawasan
tersebut
memang belum diketahui keberadaannya. Rohden tidak menyinggung masalah yang disebut di bawah butir 1 dan 2, tetapi persoalan yang ketiga ia pecahkan dengan menggunakan interpretasinya sendiri: Keturunan Yafet tersebar di seluruh belahan utara bumi terkecuali Amerika, dan keturunan Ham di belahan selatan. Di antara kedua wilayah, tempatnya kedua keturunan mulai bercampur baur, menetap keturunan Sem.” (Rohden, 1867:12) Walaupun alkitab injil sama sekali tidak menyebut kawasan Asia Tenggara, Rohden membuat interpretasi sendiri bahwa bangsa-bangsa Asia Tenggara adalah keturunan Ham dan dengan demikian mereka ditakdirkan menjadi budak: Di dalam kitab suci disebut sebagai kenyataan yang tidak dapat diragukan bahwa Mesir atau Mizraim merupakan keturunan Ham: Mizrain menjadi putra Ham dan saudara Kush (Tanah Negro, Etiopia) dan Put (Libia). Ketiga bangsa yang masih bersaudara itu menduduki seluruh bagian selatan Asia dan Afrika. Mereka menempati kawasan di sekitar Samudera India, Laut Persia, bagian selatan semenanjung Arabia hingga ke negaranegara di belakang sungai Nil arah ke gurun Afrika dan Samudera Atlantik.
Termasuk juga pulau-pulau di Samudera Pasifik serta semenanjungsemenanjung di Asia Tenggara dari dahulu dan sebagaian besar masih hingga kini didiami oleh keturunan yang sama. (Rohden, 1867:25) Rohden
mengaitkan
interpretasinya
dengan
paham
rasisme
yang
mengidentifikasikan lima ras menurut warna kulit: putih, kuning, merah, cokelat, dan hitam. Menurut Rohden warna kulit keturunan nabi Nuh ditentukan oleh derajat dosa yang dipikulnya: Semakin berdosa sebuah bangsa, semakin berubah bentuk dan warna kulitnya. Semakin hitam warna kulit sebuah bangsa semakin berdosa bangsa itu: Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri semakin merosot moral dan kecerdasan seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh, dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan kulit yang paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.28 Menurut Rohden bangsa yang berkulit hitam malahan bisa saja menjadi putih kembali melalui pengaruh agama Protestan! Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata, dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, dan bahkan warna kulitnya, secara turun-temurun, bisa menjadi lebih putih.29 Karena
Rohden
percaya
pada
keunggulan
bangsa
Germania
maka
ia
menyimpulkan bahwa keturunan Yafet sesungguhnya adalah bangsa Germania. Untuk membenarkan asumsinya Rohden menggunakan argumentasi bahwa semula memang bangsa Israel menjadi bangsa yang terpilih, namun di kemudian hari 28
29
Die Menschen aber haben sich in verschiedener Stufenfolge bald weniger, bald mehr von ihrem göttlichen Lebensquell losgerissen, und in dem Maße wie das geschehen ist, hat sich zugleich mit ihrem sittlichem Bewusstsein und ihren geistigen Fähigkeiten auch ihre Gestalt, ihre Körperform, ihre Farbe verändert. Die am meisen ausgearteten sind auch am tiefsten (schwarz) gefärbt, und in ihrer Erscheinung den Thieren am ähnlichsten geworden. Der himmelsweite Unterschied zwischen Mensch und Thier bleibt immer noch bestehen, das ist die vernünftige menschliche Seele, die den Menschen von Gott eingehaucht ist als Theil und Stück göttlichen Lebens in ihm (Rohden 1867:4) Auch der am tiefsten heruntergekommene Neger kann durch zweckmäßige Anleitung unter dem heiligenden Einfluß des Christenthums auf die Höhe menschlicher Bildung gehoben werden, und in dem selben Maße, als das geschieht, wird seine thierische Gesichtsbildung schwinden, der Ausdruck seines Auges und die weicheren Theile seiner Gestalt sich veredeln, ja seine Farbe, wenigstens in der Folge der Geschlechter, von ihrer Dunkelheit verlieren. (ibid.)
pusat sejarah dunia bergeser ke barat, mula-mula ke Roma, dan sesudah zaman reformasi ke Jerman sehingga “Jerman adalah jantung yang mengalirkan darah tubuh Kristen Eropa. Sebagaimana bangsa Israel dipilih Tuhan dari keturunan Sem maka sekarang Jerman menjadi bangsa terpilih dari keturunan Yafet.” Interpretasi
alkitab
sebagaimana
dilakukan
oleh
Rohden
tidak
hanya
membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan: “Juga di Amerika keturunan Ham dan Yafet bertemu, dan di situ pun terwujud kutukan bahwa Ham harus menjadi budak bagi saudara-saudaranya”30. Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan mereka supaya mereka menjadi lebih beradab dan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sesat. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, bangsa keturunan Ham tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet. Dr. Friedrich Fabri (1824–1891) mempunyai latar belakang teologi dan ideologi yang tidak jauh berbeda dengan Rohden, dan yang telah ia bukukan dalam Die Entstehung des Heidenthums und die Aufgabe der Heidenmission (Munculnya Kekafiran dan Tugas Misi Kafir, 1859). Fabri juga meyakini keunggulan bangsa putih, dan terutama bangsa Germania yang menjadi “penyokong baru sejarah dunia”31. Menurutnya kiamat semakin mendekat sehingga penginjilan memiliki tugas untuk menyebarkan agama Kristen sebelum kiamat tiba sehingga para penginjil menjadi alat Tuhan yang memberitahu kedatangan kerajaan Allah. Dalam hal ini ia merujuk pada Matius 24,14 “Dan Kabar Baik tentang bagaimana Allah memerintah akan diberitakan ke seluruh dunia, supaya semua orang mendengarnya. Sesudah itu barulah datang kiamat.” Sama dengan von Rohden, Fabri juga dipengaruhi oleh paham rasisme: Kalau kita berhadapan dengan seorang negro, berkulit hitam pekat, berambut keriting, dengan kepala gepeng berdahi rendah sementara bagian belakang kepala dan bagian bawah muka terlalu besar, dengan bibir lebar dan hidung pesek, kalau kita memperhatikannya betapa ia tak mampu menahan birahinya, lalu tenggelam dalam ketidakpedulian, lamban, tidak mengindahkan apa-apa, acuh tak acuh terhadap siksaan, [...] maka kita mendapat kesan – ini bukan hanya manusia purba yang menjadi rusak oleh dosa, di sinilah terbenam sebuah rahasia yang belum tercatat dalam sejarah manusia. (Fabri 1859:8–9)
30
31
Auch in der neuen Welt (America) sind Ham’s und Japhet’s Söhne zusammengetroffen, und auch da erfüllt sich das alte Fluchwort, daß Ham’s Nachkomme ein Knecht sein soll unter seinen Brüdern (Rohden 1867:12). Die neuberufenen Träger der Weltgeschichte (Fabri 1859:7).
Fabri menganggap peristiwa pembangunan menara Babel sebagai peristiwa yang menentukan, dan bahwa adanya kekafiran berkaitan langsung dengan peristiwa tersebut. Pada awal sejarah manusia masih menjadi satu keluarga besar dan seluruh umat manusia memiliki satu bahasa yang sama, dan mereka memuja Tuhan yang maha esa. Terdorong oleh kesombongan dan keangkuhan, manusia menjauhkan diri dari Tuhan dan malahan berusaha melebihi Tuhan. Untuk itu mereka mulai membangun menara setinggi langit. Pembangunan menara ini diprakarsai oleh Nimrod, anak cucu Nabi Nuh. Orang tua Nimrod adalah Cush, putra Ham. Bahkan, demikian menurut cerita, Kota Babilon dan Niniwe juga mula pertama dibangun oleh Nimrod. 11:1 11:2 11:3
11:4 11:5 11:6
11:7 11:8 11:9
Semula, bangsa-bangsa di seluruh dunia hanya mempunyai satu bahasa dan mereka memakai kata-kata yang sama. Ketika mereka mengembara ke sebelah timur, sampailah mereka di sebuah dataran di Babilonia, lalu menetap di sana. Mereka berkata seorang kepada yang lain, "Ayo kita membuat batu bata dan membakarnya sampai keras." Demikianlah mereka mempunyai batu bata untuk batu rumah dan ter untuk bahan perekatnya. Kata mereka, "Mari kita mendirikan kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, supaya kita termasyhur dan tidak tercerai berai di seluruh bumi." Maka turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh manusia. Lalu Ia berkata, "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa, dan ini baru permulaan dari rencana-rencana mereka. Tak lama lagi mereka akan sanggup melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Sebaiknya Kita turun dan mengacaukan bahasa mereka supaya mereka tidak mengerti lagi satu sama lain." Demikianlah Tuhan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Lalu berhentilah mereka mendirikan kota itu. Sebab itu kota itu diberi nama Babel, karena di situ Tuhan mengacaukan bahasa semua bangsa, dan dari situ mereka diceraiberaikan oleh Tuhan ke seluruh bumi.
Dalam
alkitab
dikatakan
bahwa
Tuhan
menghukum
manusia
dengan
mengacaukan bahasa dan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Fabri mengaitkannya
dengan
konsep
ras:
“Ras,
kebangsaan,
yang
menggantikan
32
keluarga manusia” . Menurut Fabri Nimrod (cucunya Ham yang bagaimana pun sudah terkutuk) serta keturunannya mendapatkan hukuman yang paling keras karena ia memprakarsai baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan menara Babel: Semakin besar keterlibatan suatu keturunan [pada pembangunan menara 32
Die Rasse, die Nationalität, ist an die Stelle der Menschheitsfamilie getreten (Fabri 1859:52).
Babel] semakin jelek tubuhnya dan semakin miskin bahasanya, dan semakin banyak dewa pujaan mereka. Semakin kecil keterlibatan semakin indah tubuhnya, semakin kaya bahasanya, semakin berkembang keesaan Tuhan. Kalau kita memahami ini maka menjadi jelas mengapa bangsa Hamit hingga kini menjadi bangsa yang paling hina di muka bumi ini. Sekarang kita mengerti betapa kejahatan yang mereka lakukan ribuan tahun yang lalu menghancurkan tubuh mereka, termasuk warna kulit dan bentuk tubuhnya.33 Oleh sebab itulah maka bangsa putih berhak untuk menjadi pemimpin, dan bangsa
yang
berkulit
berwarna
tidak
perlu
mengharapkan
mendapatkan
kemerdekaan sampai pada akhir dunia. Kalau pun mereka memeluk agama Kristen kaum berwarna akan tetap lebih rendah daripada bangsa putih. Karena bangsa berwarna (keturunan Nimrod) merupakan bangsa yang sejak pembangunan menara Babel tidak lagi mengenal keesaan Tuhan dan menjadi bangsa yang kafir sementara pada keturunan Sem dan Yafet masih ada unsur keesaan Tuhan maka bangsa putih pun memiliki kewajiban untuk menyebarkan injil kepada bangsa yang berwarna. Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri– dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek. Namun di antara ras berwarna kulit cokelat yang dianggap serba dekaden itu ternyata ada satu bangsa yang tingkat kerusakannya tidak terlalu parah. Dalam majalah
Berichte
der
Rheinischen
Missionsgesellschaft
Fabri,
yang
ternyata
dipengaruhi oleh Junghuhn, melaporkan bahwa: Dibandingkan orang Melayu orang Batak jauh lebih mirip dengan ras IndoGermania baik dari segi bentuk kepala, tubuh, atau warna kulit. Warna kulitnya sedemikian cokelat muda sehingga malahan ada yang pipinya kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lebat dan lebih lembut daripada rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras Eropa dan Melayu.34 33
34
Je mehr sich ein Geschlecht daran betheiligte, desto ärmer die Sprache, desto polytheistischer das Gottesbewusstsein; je weniger Betheiligung, desto edler die Gestalt, desto reicher die Sprache, desto mehr Anklänge an den ursprünglichen Monotheismus in der Mythologie. Nun begreifen wir einigermaßen, warum die Hamiten die in jeder Beziehung am meisten zertretenen Völker der Erde bis auf den heutigen Tag sind, und ahnen nun auch, wie das Geheimniß der Bosheit, zu dessen Hauptträgern sie sich vor Jahrtausenden gemacht, seine furchtbaren und entstellenden Wirkungen sebst in Farbe und Körpergestalt bis auf den heutigen Tag ausgrprägt hat. (Fabri 1859:93-40) Weit mehr als die Malaien nähern sie sich dem indogermanischen Völkerstamme, sowohl in der Schädelform, als auch in der Gestalt und Körperfarbe. Ihre Farbe ist so
Berdasarkan dugaan Junghuhn, yang tentu sama sekali tidak beralasan, Fabri menganggap bangsa Batak lebih unggul dari bangsa-bangsa Melayu, tetapi tentu tetap di bawah ras putih karena menurutnya dosa yang dipikul oleh keturunan Ham abadi dan tidak berkurang bahkan kalau mereka memeluk agama Kristen. Fabri juga melihat adanya kemiripan antara bangsa Germania dan bangsa Batak karena kedua-duanya dikepung oleh bangsa yang hendak memusnahkannya. Jerman diancam dari barat oleh musuh bebuyutan Prancis
yang hendak
membinasakan bangsa Germania dengan bisa kemerosotan moralnya, dan diancam dari timur oleh bangsa Slawonik yang sangat
rendah derajatnya. Demikian juga
keadaan orang Batak yang menurut Fabri dikepung oleh bangsa Melayu. Berdiri sendiri secara kokoh dalam keadaan dikepung oleh musuh adalah gambaran yang sering dikemukakan oleh para nasionalis Jerman, dan hal yang sama juga diungkapkan oleh Junghuhn: “Batak merupakan bangsa kecil yang berdiri sendiri dikelilingi oleh bangsa Melayu” (II: 13). Selain daripada rasisme dan chauvinisme tentu ada juga unsur agama karena bangsa yang “mengancam” Jerman beragama Katolik (Prancis dan Polandia) atau Ortodoks (Rusia), dan bangsa Melayu yang “mengancam” orang Batak beragama Islam. Selama Fabri menjadi Direktur RMG ia semakin tertarik pada penjajahan dan tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman.
Fabri dan Paham Penginjilan Kolonial Kepentingan misi pada hakikatnya sejajar dengan kepentingan ekonomi dan politik dan penginjilan seharusnya dijadikan alat untuk merintis penjajahan. Hal ini diyakini Fabri, dan
teorinya ia
Penginjilan Eropa Daratan
35
simpulkan dalam
ceramah pada
Konferensi
yang berjudul Die Bedeutung geordneter politischer
Zustände für die Entwicklung der Mission (Keadaan Politik yang Stabil sebagai Faktor Pendukung Penginjilan). Bersama mantan misionaris RMG C.G. Büttner dan
35
lichtbräunlich, daß man oftmals rothen Wagen unter ihnen begegnet. Sie haben auch ein reicheres und weicheres Haar als die Malaien, öfters von brauner Farbe, und sind stark und muskulös gebaut. Im Ganzen kann man sagen, daß sie zwischen der kaukasischen und malaiischen Race eine gewisse Mittelstellung einnehmen. (Fabri BRMG 1862:12) 6. Kontinentale Missionskonferenz (Bremen 20 Maret 1884).
superintenden misionaris Merensky36 Fabri menjadi salah seorang perintis paham penginjilan kolonial (koloniale Missionsauffassung). Fabri percaya bahwa Jerman memerlukan daerah jajahan untuk mengatasi masalah
sosial
yang
melanda
Jerman.
Kepadatan
penduduk
dan
angka
pengangguran yang tinggi mengakibatkan kemiskinan massal sehingga timbul berbagai masalah sosial yang nantinya dapat menjurus ke sosialisme dan komunisme. Oleh sebab itu masalah sosial (die soziale Frage) merupakan masalah utama abad ke-19 dan “masalah hidup atau mati bagi masa depan” (Lebensfrage für die Zukunft). Oleh sebab itu Jerman perlu daerah jajahan yang tidak hanya dapat menampung kaum miskin Jerman tetapi juga meningkatkan kekayaan Jerman sehingga Fabri melihat kolonialisme sebagai satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah sosial. Di samping itu, demikian penjelasan Fabri,
kolonialisme juga bermanfaat bagi
mereka yang dijajah. “Karakter dasar” para pribumi daerah tropis yang “kurang lebih lemas, lalai, dan malas” dapat diubah kalau mereka didik oleh orang Eropa untuk berkerja keras. Oleh karena itu “kekuasaan Eropa menjadi syarat mutlak” untuk membudayakan kaum pribumi. Karena berkecimpung di bidang penginjilan luar Eropa maka Fabri menjadi tertarik pada politik kolonial, tetapi keyakinan akan perlunya penjajahan terutama ia dasarkan pada alasan sosial-politik, dan bukan penginjilan. Menurut Fabri para penginjil perlu mendukung pihak penjajah sementara pemerintah kolonial diharapkan membantu para penginjil dengan menaklukkan daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (Bade 2005:104). 37 Pengalaman Fabri sebagai direktur RMG membuatnya menjadi makin tertarik pada politik kolonial
sehingga tahun 1884 ia keluar dari RMG untuk mengabdikan diri
sepenuhnya pada gerakan kolonial Jerman yang dipeloporinya. Fabri juga amat dekat dengan para industrialis, terutama sejak pada tahun 1869 ia mendirikan Wuppertaler Aktien-Gesellschaft für Handel in den Arbeitsgebieten der Rheinischen Mission (Perseroan untuk Perdagangan di Wilayah Kerja RMG, Wuppertal) yang biasanya disingkat Missions-Handelsgesellschaft (Serikat Dagang Misi) atau MHG dengan modal awal 50.000 Taler yang didapatkannya dari 36
37
Lihat publikasi A. Merensky: Was lehren uns die Erfahrungen, welche andere Völker bei Kolonisationsversuchen in Afrika gemachten haben? (Kita bisa belajar apa dari upaya penjajahan bangsa lain di Afrika?), Berlin 1880; dan Wie erzieht man am besten den Neger zur Plantagenarbeit? (Bagaimana cara terbaik mengajar si Negro menjadi buruh perkebunan?), Berlin 1912. Fabri sendiri pda tahun 1880 pernah meminta perlindungan untuk para penginjil di Teluk Paus (Walfischbai, Afrika Barat Daya) dari kementerian luar negeri Jerman, namun kanselir Bismarck menolak permintaan Fabri. (Bade 2005: 335)
pengusaha-pengusaha di sekitar Wuppertal. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1879, Fabri menawarkan kepada pemerintah Kerajaan Jerman agar para penginjil merintis jalan untuk mendirikan daerah jajahan baru di Afrika Tengah. Melalui MHG para penginjil diharapkan merintis perdagangan yang nantinya akan berujung pada penjajahan. Para penginjil juga diharapkan untuk merintis perkebunan dengan hasil bumi yang menguntungkan. Untuk tujuan itu Fabri mengusulkan untuk mendirikan pos-pos zending pada pantai barat dan pantai timur Afrika Tengah dengan menekankan bahwa para penginjil
“akan
bermanfaat
merintis
jalan
untuk
perusahaan-perusahaan
perdagangan dan aneksasi kolonial yang akan menyusul”. Oleh sebab itu ia menegaskan bahwa sudah tiba saatnya agar pemerintah Jerman menyadari bahwa penginjilan ‘sangat bermanfaat, dan malahan bisa menjadi syarat mutlak’ (höchst nützlich, unter Umständen sogar unentbehrlich) untuk ekspansi kolonial. (Bade 2005:145) Tidak semua orang di RMG setuju dengan kebijakan Fabri yang pro-industri, dan kecenderungan Fabri untuk bersekongkol dengan para industriawan, apalagi kegagalan usaha-usaha Fabri yang diharapkan akan mendatangkan dana bagi RMG akhirnya menjadi penyebab bahwa Fabri terpaksa mengundurkan diri dari jabatan sebagai direktur Rheinische Mission.
w Penginjil sebagai Penjajah Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813– 1873) yang pada masanya di tanah airnya Inggris dianggap sebagai pahlawan nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk “perdagangan dan kekristenan”. Mengabdi pada Tuhan menjadi tujuan utama para misionaris, tetapi sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengabdi pada Tuan Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menjadi penjajah. (Paczensky 1991: 262) Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap di “Großnamaqualand” – 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang dikenal sebagai Namibia menjadi daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme,
dan tanpa disuruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan Jerman baru berdiri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan. Ketika para misionaris tiba di Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand dihuni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai perselisihian. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan dan konflik semakin berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka dianeksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman. Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero, dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa yang terdiri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang, mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band. hal. 245) Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan Jerman. Pada awal tahun 1880an konflik antara Herero dan Naman semakin menjadi, dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni 1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122, band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa menurutnya seyogyanya kawasan itu dijajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris karena dianggapnya lebih sesuai “bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa yang sama” (ibid., hal.123). Kali ini juga Bismarck menolak permintaan RMG, namun sikap Bismarck terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan terutama di Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menjadi Namibia sebagai jajahan Jerman terjadi dengan dukungan dan bantuan para misionaris RMG. Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada hakikatnya, dan tanpa pengetahuan mereka, mengatur perampasan wilayahnya. Misionaris
Büttman, Heidmann, dan Judt membantu pemerintah kolonial dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Setelah Afrika Barat Daya resmi menjadi wilayah penjajahan Jerman para misionaris berperilaku layak tuan kolonial. Mereka lama mendukung Hendrik Witbooi (?1830–1905), kepala suku Orlam yang memeluk agama Kristen. Ketika Witbooi ingin memperluas wilayah kekuasaan ke arah utara maka suku Herero yang mendiami daerah itu meminta perlindungan kepada Jerman. Witbooi tidak lagi memperhatikan nasihat para penginjil dan malahan melarang mereka untuk masuk ke wilayahnya. Ketika pada tahun 1893 Witbooi berdamai dengan suku Herero, pemerintah khawatir Witbooi menjadi terlalu kuat dan menyerang markasnya dengan membunuh 78 perempuan dan anak-anak dan 10 laki-laki. Witbooi sendiri lepas. Di BRMG 1893 para penginjil menulis bahwa “Kalau pengacau keamanan yang sudah bertahun-tahun mengacaukan negerinya itu dimusnahkan, baru ada harapan maka negerinya bisa berkembang.” Mereka menyesal Wittboi sendiri yang “berangan-angan secara kegilaan bisa melawan kekuasaan Jerman” lepas. Tahun 1894 tentara kolonial Jerman berhasil menangkap Wittboi. Dalam Lembaran Negara Kolonial (Deutsches Kolonialblatt) peranan para misionaris pada penangkapannya diakui secara resmi dan Kementrian Luar Negeri malahan mengucapkan terima kasih pada penginjil RMG “atas jasa yang berharga dan nasihat yang sangat berguna” (Paczensky 1991:267). Pada 12 Januari 1904 suku Herero di bawah pimpinan Samuel Maharero memberontak terhadap kekuasaan kolonial Jerman. Pada pertempuran Waterberg pasukan Herero mengalami kekalahan dan dipaksa mundur ke gurun Namib. Jenderal von Trotha memerintah pasukannya untuk membasmi suku Herero. Mereka yang mau menyerah langsung dibunuh. Dalam keadaan terkepung para Herero dibiarkan mati kehausan di gurun Namib, dan sisanya mati karena meminum air sumur yang diracuni oleh pasukan Jerman. Pada bulan Oktober 1904 terjadi pemberontakan lagi – kali ini dari suku Nama. Nasib mereka tidak lebih baik daripada nasib suku Herero. Di sini juga dengan sengaja pasukan Jerman berusaha untuk membunuh sebagian besar rakyat. Diperkirakan bahwa sekitar separuh dari seluruh populasi Nama dibunuh pada waktu itu sementara jumlah korban pada suku Herero lebih tinggi lagi; diperkirakan bahwa 50% hingga 70% rakyat Herero, termasuk anak-anak dan perempuan, mati. Peristiwa ini kemudian menjadi terkenal sebagai genosida Nama dan Herero. Seluruh tanah mereka dirampas dan mereka yang bertahan hidup dipaksa bekerja untuk tuan tanah orang putih.
Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa “keadaan menjadi tenang sekali” dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen. Sesudah masyarakat tradisional mereka dihancurkan secara total oleh para penjajah maka mereka tiada lagi pegangan untuk dapat bertahan di bahwa orde baru sehingga terpaksa mereka andalkan satu-satunya lembaga yang masih berfungsi yaitu lembaga Kristen (Paczensky 1991:262-268).
Penginjil sebagai Pedagang Gustav Warneck direktur RMG dari tahun 1871–1874 dan pendiri majalah zending Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) pernah menyebut zending sebagai “satuan pengaman untuk perdagangan internasional” (AMZ 5, 1878, hal.67) dan menambahkan bahwa jasa itu disediakan dengan cuma-cuma. Para misionaris memang sering menjadi perintis dan hampir selalu diikuti oleh para pedagang. Yang paling penting bagi para pedagang adalah kenyataan bahwa dengan adanya para penginjil mereka bisa melaksanakan kegiatan dengan lebih aman. Adapun kalanya para misionaris ikut berdagang. Untuk tujuan ini pada tahun 1869 RMG mendirikan perseroan terbatas “Missions-Handels-Aktien-Gesellschaft zu Barmen” yang diprakarsai oleh Fabri. Sama dengan pedagang lainnya mereka menjual pakaian, berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, terutama yang dari besi, dan bahan pangan. Hanya alkohol, yang menjadi barang dagangan yang sangat laku, tidak mereka jual. Barang dagangan mereka ditukar dengan ternak, bulu burung unta, dan gading (Rohden 1888:327). Awalnya menguntung, lamakelamaan P.T. Dagang Zending Barmen merugi, terutama karena hewan itu sudah mulai punah: Semua orang ikut berburu. Hewan apa saja yang dapat dibunuh, mereka tikam atau tembak. Baik yang jantan maupun yang betina, dan bahkan anak hewan dibinasakan sehingga tiada lagi yang dapat diburu (Rohden 1888:330).38 Lalu mereka berupaya untuk memperdagangkan kawanan lembu milik suku Ova Herero, tetapi usaha itu pun gagal karena terlalu banyak hewan mati selama perjalanan panjang di gurun pasir. (ibid.). Lalu ketika pada tahun 1880 pecah
38
Alles, was auf die Beine zu bringen war, zog aus auf die Jagd. Da wurde totgeschlagen und totgeschossen alles, was zu erreichen war, männlich und weiblich. Von Schonung des Nachwuchses war keine Rede. Die Folge war, dass in der Nähe bald nichts Jagdbares mehr zu finden war.
perang antara suku Naman dan Herero maka terpaksa P.T. Dagang Zending gulung tikar. Sesudah kepergian Fabri kebijakan RMG berubah drastis, dan pada tahun 1884 para penginjil diimbau: Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa [tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya diri, ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol, Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-dapatnya melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh bangsa putih. [...]. Jauhkan diri dari segala masalah politik.39 August Schreiber yang menggantikan Fabri berupaya untuk menjaga jarak dengan pemerintah kolonial: Kolonisasi bertujuan untuk menambah kekuasaan dan kehormatan tanah air kita yang tercinta sedangan penginjilan demi kebesaran kerajaan Allah dan demi kehormatan raja kita di surga Yesus Kristus. Oleh sebab itu kedua urusan itu jangan dicampur karena bermanfaat bagi kedua belah pihak bila ada pemisahan yang jelas antara kedua urusan tersebut. Dari sejarah kita mengetahui betapa buruknya bila penginjil berupaya untuk menjadi penjajah, dan sama buruk hasilnya bila pemerintah berupaya untuk menyebarkan injil.40 Namun Schreiber pun tetap berkeyakinan bahwa perampasan wilayah adalah hal yang wajar, dan bahwa para pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah, dan ia mengeluh bahwa “sayang sekali hal ini jarang disadari oleh bangsa yang ditaklukkan”.
39
40
“Eure Aufgabe ist es, Christum zu predigen und die Seele Eures Volkes zu retten; jene aber wollen sich selbst bereichern, wollen Handel, Gewerbe, Industrie, unbekümmert, ob das Volk darüber zugrunde geht. Noch nirgend ist in der Heidenwelt eine europäische Kolonie entstanden ohne die schwersten Ungerechtigkeiten. Portugiesen und Spanier, Holländer und Engländer haben darin ziemlich gleichen Schritt gehalten. Die Deutschen werden es schwerlich viel besser machen, und Ihr werdet die Aufgabe haben, Euer Volk vor Mißhandlungen und Vergewaltigung der Weißen zu schützen, solange Ihr könnt [...]. Haltet Euch von allen politischen Fragen fern.” Deputation Rheinische Mission kepada Namakonferenz, 29-12-1884, ARM M SWA, hal. 86–89. Dikutip dari Bade 205:225-226. Kolonisation dient zur Ausbreitung der Macht und des Ansehens unseres lieben deutschen Vaterlandes, die Mission dagegen will dienen zur Ausbreitung des Reiches und der Ehre unseres himmlischen Königs, Jesus Christus. So wolle man auch hier nicht verschiedenartige Dinge durcheinandermischen oder miteinander verwechseln; es wird beiden zugute kommen, wenn man sie reinlich und deutlich auseinander hält, denn die Geschichte kann uns lehren, dass noch niemals gute Resultate dabei herausgekommen sind, wenn die Missionare Kolonien gründeten, noch wenn die Kolonialmacht missionierte.
w
Terjemahan Artikel BRMG Berikut kami sajikan secara kronologis terjemahan enam artikel dari Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) yang berkaitan dengan Perang Toba I, termasuk artikel dari dua saksi mata. Artikel BRMG 1878 hal. 193-202 yang pertama berjudul Perang di Toba memuat laporan penginjil Metzler dari Bahal Batu dan Silindung. Artikel di BRMG 1878 (12): 361-381 yang berjudul Laporan Terakhir tentang Perang di Toba (Endgültiger Bericht über den Krieg auf Sumatra) mengandung laporan L.I. Nommensen ketika ia mendampingi tentara Belanda dalam Perang Toba I dari Bahal Batu sampai ke Bangkara dan Balige. Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat di Paranginan. Akhir 1877 17/12/1877 Jan. 1878 Akhir Jan. ‘78 01/02/1878 06/02/1878 15/02/1878 16/02/ 1878 17/02/1878 19/02/1878 Feb. 1878 01/03/1878 14/03/1878 15/03/1878 16/03/1878 17-20/03/1878 Maret 30/04/1878 01/05/1878 02/05/1878
Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang Kristen Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung Pengumuman perang dari pihak SSM Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler diantar suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi ke Silindung Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu. Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga. Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari Sibolga. Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda. Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda. Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang. Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan. Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda. Lintong ni Huta ditaklukkan. Bangkara diserang Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang.
03/05/1878 04/05/1878 05/05/1878 8 Mei 1878 11/05/1878 12/05/1878 akhir Mei 27/12/1878
Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui kedaulatan Belanda. Pasukan maju ke Paranginan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan. Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Gurgur. Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Panghodia dan Tara Bunga. Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi, Parik Sabungan dan Lobu Siregar. Nommensen membantu Residen di Bahal Batu. Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah Belanda
Sumber primer dan sekunder: Catatan Metodologi Artikel-artikel yang kami terjemahkan berasal dari majalah Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG). Sebagian dari artikel BRMG merupakan sumber primer karena ditulis langsung oleh pihak RMG di Barmen namun nama pengarang biasanya tidak disebut. Di antara keenam artikel yang diterjemahkan terdapat dua yang bisa dianggap sebagai sumber sekunder yaitu “Perang di Toba” yang merupakan salinan dari sepucuk surat yang ditulis oleh penginjil Metzler (153-1878 Nomor arsip RMG 1.937 Bd.1), dan “Laporan Terakhir tentang Perang di Toba” yang ditulis berdasarkan surat Nommensen (20-6-1878, No. arsip RMG 1.926 Bd.1). Surat asli dari para misionaris dicetak di BRMG setelah disunting oleh para editor. Proses penyuntingan itu biasanya hanya sekadar meluruskan salah ejaan dan gaya bahasanya tanpa mengubah isinya. Namun demikian, sekali-sekali para editor
melakukan
pengeditan
bila
para
misionaris
terlalu
kuat
mengecam
pemerintah kolonial. Hal itu terjadi pada surat penginjil Pilgrim yang pada 25-111887 menulis tentang Perang Toba Kedua: Para serdadu telah kembali dari Dolok Sanggul. Baru tadi Kontelir Welsink datang kemari. Mereka membakar 60 kampung yang indah. Para musuh mengungsi ke hutan dengan membawa harta karun mereka dan tidak kembali selama enam minggu. Melalui seorang pengantara mereka dipaksa untuk membayar denda 1500 Gulden. Bangkara dan Lintong akan dihukum dari Danau Toba karena pemerintah akan mengirim kapal ke Danau Toba. Mudah-mudahan hal itu akan berakibat positif terhadap Si Gaol dan Samosir sehingga kita dengan aman bisa menyebarkan injil. Beberapa hari yang lalu kami diberitahu oleh Nommensen bahwa Sarbet (?) dan 15 orang Aceh berada di Samosir. Maunya dengan bantuan Tuhan
injil dapat juga dibawa kepada orang Aceh yang selama ini berada di kemelut perang. Sampai sekarang yang mereka dapatkan dari kita orang Eropa hanyalah peluru dan mesiu. Tidak mengherankan kalau mereka membalas dengan menyerang kita seperti harimau. (RMG 1.941 tertanggal 25-11-1887) Cuplikan dari surat asli Pilgram di atas diterbitkan dalam BRMG dalam versi yang lebih pendek dan lebih moderat: Para serdadu sudah kembali dari Dolok Sanggul. Mereka membakar sejumlah kampung, dan musuh didenda 1500 Gulden, tetapi itu pun hanya melalui seorang pengantara karena sejak enam minggu mereka tidak kelihatan lagi. Bangkara dan Lintong direncanakan akan dihukum dari Danau Toba melalui kapal yang akan diluncurkan. (BRMG 1888:42-43) Jadi ekspresi simpati dengan korban perang tidak dimuat oleh pihak RMG. Penulis buku ini telah membaca kedua surat yang asli yang kini berada di arsip RMG
di
Wuppertal
dan
membandingkannya
dengan
salinannya
di
BRMG.
Nommensen dan Metzler menulis suratnya dengan tangan dan tentu terdapat beberapa kesalahan dalam ejaan atau tata bahasa. Oleh sebab itu semua surat diperiksa dulu untuk memastikan tiada kesalahan yang sempat masuk ke edisi cetakan. Proses penyuntingan yang dilakukan oleh staf editorial RMG sama sekali tidak
mengubah
arti
surat
asli
melainkan
hanya
meralat
kesalahan
atau
menambahkan informasi waktu bilamana dianggap perlu. Berikut ini foto halaman pertama surat Nommensen yang ditujukan kepada “Lieber Herr Inspektor” (Tuan Direktur yang terhormat).
Tampaknya
surat
Nommensen dicetak ulang dalam BRMG dengan sangat akurat. Satu-satunya perbaikan yang dibuat oleh para pengedit ialah penambahan “im Juni 1877” (pada bulan 1877) Demikian
pula
pada
halaman-halaman
berikut
pihak
RMG
hampir
tidak
melakukan penyuntingan apa-apa melainkan menyalin teks tanpa mengubahnya sama sekali. Berikut ini kami sajikan halaman terakhir surat Nommensen yang dicetak di BRMG 1878 (12) pada halaman 364:
Gambar 1Surat Nommensen 20-6-1878; RMG 1.926 Bd.1 Bila dibandingkan dengan surat asli hanya terdapat satu perbedaan kecil. Para editor di RMG menambahkan kata “natūrlich” (tentu saja) pada baris ke-10 (kata terakhir pada baris ke-7 pada edisi cetakan):
“Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka sekiranya mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa menjaminnya.”
w
BRMG 1878 115-118
Desas-desus yang Memprihatinkan Sudah di bulan Januari kami mendengar dari Belanda desas-desus yang memprihatinkan dari Sumatra, yang awalnya tidak begitu jelas, tetapi di kemudian hari menjadi semakin jelas. Terdengar orang Aceh telah menjalin persekutuan dengan orang Toba melawan pemerintahan Belanda, dan semua penginjil beserta keluarganya berada dalam keadaan bahaya, atau bahkan telah dibunuh. Setelah kami melacak asal-usul desas-desus itu, ternyata bersumber dari surat seorang sahabat kita yang bermukim di Padang. Karena itu kami yakin bahwa desas-desus itu bukan khayalan belaka. Kami sendiri sudah mengetahui dari surat-surat penginjil kami yang dikirim pada bulan November [tahun 1877] bahwa ada kabar angin
tentang
adanya
persiapan
perang,
namun
penginjil
kita
tidak
menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus itu –sebagaimana layak terjadi– semakin jauh dari tempat asalnya, menjadi semakin heboh. Selain itu kami yakin bahwa apabila terjadi hal yang paling buruk, atau apabila penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah dikabari melalui telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba di sini –yang terakhir kami menerima
pada tanggal 15 Januari [1878]– sehingga keadaan menjadi semakin jelas, dan ada harapan bahwa masalah ini tidak menjadi lebih daripada sekadar berita angin. Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba, berdiam
seorang
tokoh
yang
bergelar
Singamangaraja,
yang
berarti,
bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang awalnya Islam kini menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan Singamangaraja – yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol, misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada rohroh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris. Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya, entah wabah cacar atau perang di Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya di Silindung. Suatu hari dia malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan dijamu di rumahnya. Akan tetapi kini ia tidak begitu dihormati lagi di Silindung karena dia membawa lari istri seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya. Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguhsungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu – tentu saja dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50 laskar dari Singkel atau Terumon yang di antaranya termasuk sejumlah orang Aceh. Adanya orang Aceh di antaranya membuatnya menjadi berita karena paling laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini disebabkan karena ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan musuhnya yang dapat menjadi penghalang dalam pekerjaan berdarah mereka. Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan di Sibolga pasukan sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari pihak musuh. Jika hal itu terjadi maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan Pangaloan dianeksasi menjadi bagian daerah jajahan Belanda.
Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang tadi kami sebut perlu
kami
mengemukakan
kenyataan
bahwa
1)
Silindung
secara
hukum
bagaimana pun sudah termasuk wilayah jajahan Belanda. Namun penyelenggaraan pemerintahan tidak pernah dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian yang telah dijalin dengan para raja yang, antara lain, melarang adanya perang di antara mereka, tidak pernah ditindaklanjuti. 2) Banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi – maka tuduhan penindasan dari pihak zending tidak beralasan sama sekali. Daerah-daerah itu [Silindung] secara hukum sebelum kedatangan zending sudah menjadi bagian jajahan
Belanda,
dan
kalau
Belanda
sekarang
hendak
menyelenggarakan
pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri [yang ada di tanah Batak]. Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [di tanah Batak] adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta – Tuhan tentu akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.
w
BRMG 1878 hal. 153–154
Perang di Toba (Sumatra) Pada bulan Januari 1878 muncul utusan Singamangaraja yang menghasut orang agar membunuh para misionaris dan semua orang beragama Kristen. Ketika mau ditangkap oleh para raja yang sudah memeluk agama Kristen maka utusan itu melarikan diri. Sebagai akibat dari ini serta gelagat buruk lainnya maka pasukan 100 tentara yang telah siaga di Sibolga disuruh naik ke Silindung. Kontrolir yang mendampingi pasukan tersebut diberi tugas untuk mengadakan perundingan damai yang tidak berhasil karena raja-raja di Silindung tidak mau sekali lagi bersumpah setia kepada pemerintah Belanda yang selama ini tidak pernah peduli dengan perjanjian-perjanjian yang dahulu dijalinnya. Raja-raja dari Toba, khususnya
Singamangaraja,
sama sekali tidak datang
kecuali satu yang berpura-pura
bersahabat namun kemudian ketahuan bermusuhan. Maka pasukan maju sampai Bahal Batu, pos paling utara, lalu mendirikan benteng pertahanan di sana. Singamangaraja dan para raja dari Toba secara resmi mengumumkan perang terhadap Belanda. Penginjil Metzler menuruti nasihat Kontrolir untuk datang ke Silindung sementara penginjil Püse, Simoneit dan Staudte serta seluruh orang Batak yang Kristen bergabung dengan pasukan di benteng. Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing dengan sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. Serangan yang lebih dahsyat diperkirakan akan dilangsungkan pada 2 Maret. Pasukan tambahan sebanyak 200 atau 300 tentara direncanakan berangkat 1 Maret dari Sibolga. Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. Kolonel Engel yang memimpin pasukan ini malah diberi tugas untuk melancarkan serangan bahkan sampai ke Danau Toba. Tampaknya jelas bahwa Silindung tidak lagi dapat dibiarkan tanpa pemerintahan. Selain itu perlu dipikirkan apakah bukan lebih baik bagi pemerintah Belanda untuk langsung saja menaklukkan seluruh Toba dan sekaligus menjaga agar orang Aceh yang beragama Islam jangan menguasai Toba dan mengislamkan ratusan ribu kafir Toba. Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.
w
BRMG 1878 hal. 170-171
Berita Lain dari Sumatra Semua sahabat zending yang membaca tentang peristiwa di Sumatra pada edisi yang lalu, tentu sudah penasaran ingin mengetahui kelanjutan ceritanya. Belum banyak yang sejak itu kami ketahui, tetapi berita yang kami dengar adalah berita yang penting, dan insya Allah, baik. Pasukan tambahan di bawah Kolonel Engels yang awal Maret dikirim dari Sibolga untuk membantu pasukan yang bertempur di Bahal Batu tiba tepat pada waktu. Sebelum kedatangannya serangan Batak ketiga juga berhasil ditangkis. Sesudah pasukan tambahan tiba maka Belanda merasa cukup kuat untuk melancarkan serangan. Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh. Pada waktu itu pasukan juga datang ke kampung kawan kita yang lama, Ompu Baliga Bosi, yang dahulu pernah memberi perlindungan kepada penginjil Heine dan Johannsen namun selanjutnya pindah ke kubu musuh. Kampungnya diserang dan dibumihanguskan. Dari situ mereka maju ke arah timur ke Lobu Siregar yang letaknya di utara dari Bahal Batu. Di situ mereka, pada tanggal 20 Maret, membakar beberapa kampung. Bersama dengan pasukan datang pula Residen dari Sibolga ke Silindung yang meresmikan aneksasi Silindung, dan, tidak bisa diragukan lagi, Pangaloan dan Sigompulan, dan Silindung dinyatakan menjadi wilayah taklukan Belanda. Kejadian selanjutnya dapat kita menanti dengan tenang. Yang penting, mara bahaya yang belakangan dihadapi oleh penginjil dan zending kita kini sudah berlalu, dan dapat diharapkan agar perang yang sudah dimulai pihak Belanda dengan penuh kemenangan dapat diselesaikan penuh kemenangan pula. Mengingat kondisi yang sekarang, para penginjil setuju dengan kita bahwa sebaiknya seluruh Toba ditaklukkan saja. Untuk zending kita hal itu berarti akan adanya perubahan secara mendasar dan kita perlu mengerahkan semua tenaga untuk memanfaatkan ketika yang mujur ini. Pada tahun yang kita merayakan hari ulang tahun zending ini barangkali misi Batak bisa mengalami kemajuan yang sama besar yang telah dialami zending Basel dengan penginjilan di Tiongkok.
w
BRMG 1878 (7) hal. 193-202
Perang di Toba Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung di Toba maka sejumlah surat kabar
Hindia-Belanda
melontarkan
berbagai
tuduhan
kepada
penginjil
kita.
Tuduhan bahwa kita memilih wilayah penginjilan ini untuk memperkaya diri sendiri tidak perlu dihiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita di Silindung berada di kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah. Jadi apa salahnya kalau mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita diberi tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakekatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan [194] agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau
pemerintah
Belanda,
berdasarkan
laporan
penginjil
kita,
mengirim
pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita? Pada surat kabar yang lain diberitakan bahwa penginjil kita mendukung kependudukan Bahal Batu dan penyerangan terhadap kerajaan Singamangaraja. Mereka mengabsahkan bantuan Belanda terhadap penginjil kita, tetapi mereka tidak setuju bahwa pasukan maju sampai ke Bahal Batu karena hal itu merupakan provokasi sehingga
Singamangaraja memang punya alasan untuk membela
kerajaannya dengan mengumumkan perang karena Bahal Batu merupakan bagian dari kerajaannya. Namun tuduhan itu tidak beralasan karena Bahal Batu berada di dalam kawasan yang sudah menjadi milik pemerintahan Belanda. Jelas Bahal Batu bukan bagian kerajaan Singamangaraja karena Singamangaraja hanya berkuasa di Bangkara. Di luarnya, di Toba, Silindung, dan Bahal Batu Singamangaraja hanya diakui sebagai raja imam. Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab
atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195] Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda sedapat-dapatnya dilindungi. Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya. Tidak ada seorang tahanan pun yang dibunuh, melainkan semua dilepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar tebusannya. Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu memang sangat penting demi mengukuhkan kekuasaan mereka di Sibolga dan Deli. Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur, Pintu Bai dan Lintong ni Huta sudah dapat ditaklukkan. Suatu hal yang sangat menguntungkan bagi zending kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zending kita secara langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita. Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu membawa istrinya yang masih muda ke pos zending. Surat yang dikirim pada bulan Maret berbunyi sebagai berikut: Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan mereka akan mendapatkan uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat kami cemas sekaligus sedih. Banyak yang dulu menghadiri misa kini tidak datang lagi. Para raja yang paling parah karena baju hadiah istri saya ternyata tidak cukup bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin, kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras, susu, dsb. [196] yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung datang untuk mencari pos buat penginjil Püse di Butar. Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil
Püse ditempatkan di situ sehingga hal itu langsung dikonfirmasikan. Lalu para penginjil
dari
Silindung
memanggil
Portaon
Angin
bertanya
mengapa
ia
menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos zending
ditarik
kembali
dan
hanya
seorang
guru
sekolah
ditempatkan
di
kampungnya. Mendengar ini ia menyesal dan meminta maaf. Hari berikut kami ke Silindung, dan hanya Püse yang tinggal di Bahal Batu. Pedoman kami untuk hari ini adalah Kejadian 45:5 “Jangan takut atau menyesali dirimu karena kalian telah menjual saya. Sebenarnya Allah sendiri yang membawa saya ke sini mendahului kalian untuk menyelamatkan banyak orang.” Di Silindung kami berada selama sekitar enam minggu, dan keadaan kesehatan saya pulih sepenuhnya. Kami sangat berterima kasih atas kasih sayang saudara kami di sana. Kepergian kami ternyata berdampak baik pada Portaon Angin dan raja lainnya. Mereka sering menulis surat dan minta supaya kami kembali. Tanggal 19 November tahun yang lalu kami kembali ke Bahal Batu dan disambut hangat oleh saudara Püse. Portaon Angin beserta anak laki-lakinya dan raja-raja lain menyalami kami dan berjanji akan bersikap lebih ramah terhadap kami. [197] Sampai sekarang raja tua itu menepati janjinya dan setiap hari Minggu ia datang menghadiri misa bersama dengan keluarganya. Hari kedua setelah kedatangan kami dikejutkan dengan kisah di bawah ini: Seorang anak raja yang saya berikan baju minta supaya diberi celana. Karena saya tidak punya celana yang bisa saya berikan padanya maka ia menyuluti atap rumah kami. Kami sedang makan siang ketika kami mendengar jeritan anak kecil dan salah satu di antara anak buah kami memanggil kami. Bersama dengan bantuan orang kampung kami naik ke atap. Püse dan istri saya membawa air cuci pakaian dan anak-anak lain membawa air dari sawah. Dengan bantuan Tuhan Allah kami berhasil memadamkan api walaupun angin bertiup kencang dari timur. Pelaku yang melarikan diri ditangkap dan para raja mau langsung memotong orang itu. Atas permohonan kami dia tidak dibunuh tetapi didenda seekor babi yang mereka makan bersama pada malam hari. Pada kesempatan itu mereka bersumpah akan mendenda barang siapa yang hendak berbuat jahat pada kami. Tanpa bantuan Tuhan rumah kami sekarang tinggal abu saja. Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. Kami dikabari Tuan Residen adanya 40 ulubalang (laskar) asal Aceh dari Singkel menuju ke sini, dan supaya kami waspada. Beberapa minggu yang lalu raja imam Batak datang ke Lobu Siregar melarang penduduk menampung para zendeling dan menyuruh mereka mengusir kami dari Bahal Batu dan dari
Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menjadi Kristen. Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan. Kala itu Singamangaraja [198] telah diam-diam menjalin perjanjian dengan raja Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa dialah biang keladi kerusuhan. Desas-desus makin menjadi. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara yang berjarak hanya satu hari jalan kaki dari sini, dan kami disuruh untuk segera berangkat. Maka kami berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zending kami serahkan kepada raja tua. Sedang di perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk sementara kami tetap tinggal di Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar. Lalu datanglah penginjil Nommensen, Püse, Simoneit, dan Israel. Sebagian besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika diserang. Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin malahan
mengatakan
musuh
terlebih
dahulu
harus
membunuh
kalau
mau
mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalaukalau pos diserang musuh. Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan. Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat saling mendukung satu sama lain Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada zending pemerintah menyediakan 50 bedil beserta amunisi serta menjamin adanya bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana yang terjadi tahun 1859 di Kalimantan. Penginjil Nommensen menyuruh orang bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil, namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang memanggil ulubalang itu. [199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut orang untuk memusuhi kami. Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru para penginjil meninggalkan kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen di Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyelidikinya. Awal Februari datang 80
tentara Belanda dengan seorang Komisaris (Kontrolir) untuk menyelidiki lebih lanjut perkara itu. Selama tentara berada di Silindung suasana menjadi tenang. Lalu datang surat dari Singamangaraja. Katanya kalau tentara pergi dia akan datang mengusir kami bersama dengan raja dari Bahal Batu. Raja-raja lain dari arah pegunungan secara umum memberitahu di pasar-pasar akan menyembilih kami. Lalu Residen mengirim surat kepada Singamangaraja menanyakan apa tujuan dia yang sebenarnya. Dia membalas dia tidak keberatan dengan keberadaan zending, dia hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia bersedia untuk datang dan berbicara dengan kami. Surat balasan Residen dirobeknya dan mau memakan pengantar surat itu, namun ada seorang raja menghalanginya. Tanggal 15 Februari [1878] pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung. Selama dua hari keadaan tenang. Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami dan bahwa mereka tidak tinggal diam sampai kepala-kepala Tuan Belanda itu ada di tangan mereka. Pada surat bambu itu mereka ikat ubi rambat yang ditusuk sebagai tanda akan menusuk serdadu dan tuan-tuan dan memakannya seperti ubi. [200] Pada pagi hari tanggal 17 Tuan Kontrolir menjelaskan bahwa saya harus segera membawa istri saya ke Silindung karena dia tidak bisa tinggal di sini kalau perang sudah pecah. Raja tua hendak menghalanginya tetapi Kontrolir memerintah seorang perwira berpangkat letnan untuk mengawal kami sampai pertengahan jalan ke Silindung. Pada jam 10:00 kami berangkat dengan saudara Johannsen dan menjelang malam hari kami tiba, dalam hujan deras, di Pansur na Pitu. Pada hari Selasa tanggal 19 saya sendirian kembali ke Bahal Batu. Tuan-tuan sudah tinggal di kamp dan mendesak kami agar meninggalkan pos zendingnya. Pada tanggal 20 Tuan Kontrolir menyuruh kami meninggalkan pos zending. Penginjil lain pun mendesak agar saya pergi dari sana sehingga saya kembali ke Silindung. Atas keputusan para penginjil dan atas permintaan saudara Simoneit yang baik hati maka saya menempati pos Simorangkir hingga penginjil Simoneit kembali dari Toba. Dia secara rela memutuskan mendampingi penginjil Püse hingga perang selesai dan saya bisa kembali ke Bahal Batu bersama istri saya. Sementara itu pertempuran di Bahal Batu telah dimulai. Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang, tetapi setiap kali hanya sebagian dari ulubalang ikut berperang dan selalu serangan mereka dapat ditangkis dengan berjatuhan korban di pihak mereka. Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. Seorang yang
tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau dibunuh dan dimakan oleh penduduk Bahal Batu, tetapi mereka dihalangi oleh Simoneit dan Püse dan beberapa orang serdadu. Orang itu dibawa ke pos zending dan kemudian ke huta [kampung] Portaon Angin lalu ia ditebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden. Setelah kami tinggalkan pos zending dijaga oleh orang Bahal Batu. Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat diketahui dan para pelaku diusir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol yang kira-kira sama dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zending. Hal itu dilakukan karena balas dendam untuk keponakannya yang gugur di Bahal Batu. Berkat pertolongan Allah pos zending hingga kini selamat, dan di Bahal Batu belum ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada. Pada 14 Maret Bapak Residen datang sendiri dari Sibolga bersama 250 tentara dan Kolonel Engels yang telah
membuktikan keberaniannya di Aceh. Tanggal 15
Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda, dan pada tanggal 16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan Residen berusaha untuk, bersama dengan para penginjil, meyakinkan musuh untuk menyerah, akan tetapi usaha tersebut ditolak. Setelah itu Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda dan para raja harus melakukan sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai penerjemah. Orang Butar pun disuruh menyerah bila mau selamat. Setelah penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan membakarnya. Penduduknya tidak ditangkap tetapi ada beberapa orang yang mati dan cedera di antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal di Bahal Batu. Kampung-kampung lain di Butar lalu menyerah; 11 raja ditangkap dan dibawa ke Bahal Batu, dan masing-masing diwajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200–300 dolar Spanyol atau 600–900 Gulden. Kini mereka sudah dilepaskan. Atas permintaan para penginjil maka Butar diperlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung yang dibakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para penginjil yang ditahan di Butar kini menjadi pemimpin musuh. Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak dibakar, hal mana semoga akan membuat dia merenungkan peristiwa yang berlalu. Semua perundingan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ diserang. Lima kampung dibakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja
dan tidak menuruti pemimpinnya yang hanya mencelakakan mereka. Bagaimana pun mereka akan kalah. Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya, zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya. Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya, zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.
w
BRMG 1878 (12): 361-381
Laporan Terakhir tentang Perang di Toba oleh I.L. Nommensen Sepanjang tahun ini kita sudah berulang kali menyajikan berita tentang perang di Toba, tetapi baru sekarang kami bisa mencetak laporan lengkap oleh saudara kita Nommensen yang dengan mata sendiri melihat peristiwa yang terjadi. Perang ini dan perubahan yang terjadi akibat perang itu betapa penting sehingga dirasakan perlu untuk menulis ulang sejarah peristiwa itu sekali lagi walaupun sebagian yang sudah pernah ditulis sebelumnya diulang lagi. Penulisan sejarah perang dari penginjil Nommensen yang sesuai dengan fakta dapat kiranya membantah segala tuduhan yang dilontarkan kepada pihak zending Kristen Batak. Para penginjil kita tidak perlu merasa malu atas peranan mereka dalam perkara ini. Di tengah-tengah kemelut perang mereka menjadi malaikat perdamaian. Kami yakin bahwa perang itu akan bermanfaat bagi mereka untuk membuka jalan bagi injil dan memenangkan hati orang. Untuk memahami kisah berikut tentang berlangsungnya perang kiranya berguna bila pembaca melihat peta Toba yang terdapat di edisi ke-8 tahun ini
Berikut ini surat Nommensen: [362] Badai yang mulai melanda kami segera sesudah konferensi terakhir dengan segala kekacauan dengan bantuan Tuhan kini sudah berlalu. Keadaan di sini berubah total, tetapi sekarang akhirnya saya punya waktu untuk menceritakan kembali rangkaian peristiwa tahun yang lalu. Segera sesudah konferensi Juni 1877 musim pesta bermula bagi orang Batak yang jatuh bertepatan dengan mulai musim tanam yang baru, dari 1 Juli hingga bulan September. Itulah musim pesta. Banyak marga mengadakan pesta horja; yang langsung memengaruhi kami ialah pesta dua marga yang tinggal dekat sini sehingga banyak anggota paroki kami mempunyai hubungan keluarga dengan mereka. Pada malam hari mereka memukul gendang, meniup serunai, makan dan minum. Pada siang hari mereka membunyikan bedil dan menari. Kemeriahan itu tentu menarik perhatian orang, terutama muda-mudi. Beberapa muda-mudi, dan juga orang-orang yang mempunyai talian saudara dengan pihak pelaksana pesta, tergoda menghadiri pesta itu. Hal mana yang tiap kali disambut kaum kafir sebagai kemenangan mereka. Tahun yang lalu paroki saya menghadapi banyak percobaan. Karena pergaulan laki-laki
[umat
paroki
Nommensen]
dengan
tentara
maka
mereka
banyak
dihadapkan percobaan karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya sebagai kuli, dan, karena mereka lebih mengetahui keadaan setempat, mereka juga menjadi calo untuk perbekalan [tentara] sehingga ada di antara mereka yang imannya
menjadi
rusak.
Namun
kesetiaan
penggembala
Tuhan
kita
yang
menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang jatuh sakit, hal mana dilakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan disiplin di antara umatnya. Namun tahun yang lalu juga dianugerahi rahmat Allah. Banyak orang meninggal karena {5} tifus dan disentri. Hampir semua orang Batak yang berjalan dari Silindung ke Bahal Batu kena salah satu dari penyakit itu. [363] Banyak orang yang terpaksa ditandu pulang, lain orang membawa kumannya ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang yang meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat menyedihkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang dibaptis pada 14 Oktober 1866. [Berikut ini laporan saya tentang perang.] Menurut saya dalam sejarah HindiaBelanda belum pernah ada ekspedisi militer yang begitu cepat dan begitu berhasil seperti Ekspedisi Toba, dan saya yakin pemerintah tidak akan melarang usaha kita untuk secepatnya menetap di Toba. Untuk sementara waktu para penginjil terpaksa meninggalkan Bahal Batu karena Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak
termasuk wilayah Silindung. Namun sekarang sudah terbukti sehingga Gubernur tidak ada pilihan lain, ia harus mempercayainya. Dulu penginjil Püse hanya minta izin untuk bertugas di Pangaloan sementara penginjil Metzler hanya ada surat izin untuk menetap di Hindia-Belanda. Keduanya sekarang sudah minta izin untuk bertugas di Tapian Na Uli sehingga tidak lama lagi Püse bisa kembali ke situ. Penginjil Metzler mungkin tidak akan kembali ke sana karena keadaan kesehatan fisik maupun mental. Sekarang kita kembali pada cerita perang: Pada akhir musim gugur [akhir November–pertengahan Desember] 1877 terdengar bermacam-macam desasdesus. Orang Batak yang kembali dari pesisir membawa kabar bahwa Raja Stambul (Raja Konstantinopel) bersama dengan rakyatnya akan datang ke Sumatra untuk bersekutu dengan orang Aceh kalau Kerajaan Ottoman tidak lagi bisa bertahan menghadapi Rusia. Harinya bendera hijau nabi berkibar sudah ditetapkan dan umat Islam akan bangkit dan membunuh semua orang kafir dan Kristen. Setiap hari ada kabar angin baru. Terdengar orang Belanda tidak lagi mempunyai tentara dan akan kalah dalam perang Aceh. [364] Khotbah kami tidak dipercayai oleh kaum kafir, mereka percaya pada cerita bohong itu dan saling menakuti satu sama lain. Bahkan beberapa orang Kristen meminta nasihat kepada kami. Kabar bahwa ada 40 orang Aceh masuk ke Toba membuat keadaan menjadi lebih parah lagi. Masyarakat menjadi makin resah dan mulai menggali harta bendanya. Lalu datang utusan Singamangaraja ke Silindung mengumumkan di pasar-pasar bahwa Singamangaraja akan datang bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang Eropa dan orang Kristen. Kaum kafir tidak perlu khawatir asal bersikap netral. Raja yang beragama Kristen berunding
dan
mempertimbangkan
menyerang
utusan
Singamangaraja
dan
membawanya ke Sibolga. Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka sekiranya mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja
kami
tidak
bisa
menjaminnya.
Waktu
mereka
berunding
utusan
Singamangaraja ternyata sudah pergi, barangkali karena rencana mereka tidak berhasil atau karena mereka mendengar para raja Kristen hendak menangkapnya. Beberapa raja memperlihatkan kepada mereka keuntungan yang mereka peroleh dari adanya para penginjil: 1) tiada lagi Bonjol (Melayu) yang datang mengganggu sejak kedatangan para penginjil, 2) para penginjil hanya berbuat baik seperti memberi obat, dan 3) sangat tolol kalau Singamangaraja sekarang mau bersekutu dengan mereka yang membunuh neneknya. Mereka juga mengatakan akan menjaga keselamatan para penginjil. Setelah utusan Singamangaraja kembali
mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan menyerang lagi, dan bahwa orang Silindung sudah bersekutu dengan orang Bonjol. [365] Maka terjadilah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba di Naga Saribu mereka ditangkap dan dipasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya. Setelah kejadian itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke Toba; orang Toba juga masih marah pada orang Silindung karena desas-desus tadi. Akibatnya makin banyak kabar angin yang tidak jelas atau dilebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh di Toba yang masih tetap ada di Bangkara dan di Muara. Beberapa orang kelahiran Toba yang menetap di Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu. Dalam keadaan seperti itu kami sendiri tidak mungkin ke sana dan kami juga tidak berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena menurut adat Batak kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak mungkin kami lakukan. Dari Barus dan Singkel dikonfirmasi memang ada 40 orang Aceh yang berangkat ke Toba. Seorang raja di Silindung mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari Padang Bolak ke Huta Tinggi, dan bahwa raja-raja di Huta Tinggi kembali dengan mereka ke Padang Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya ke Toba juga sudah diketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke Toba, tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu ke Huta Tinggi karena sudah ada serdadu di sekitar Silindung Keresahan makin menjadi dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap siaga dengan memegang senjata, dan penginjil di Bahal Batu saking ditakuti oleh orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa pada malam itu juga orang Aceh dan sekutunya akan datang. [366] Surat dengan berita tadi tiba di sini pada jam 1:30 malam. Pada keesokan hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada di sini, kami berangkat ke Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Israel yang juga ikut dengan kami. Setiba di Bahal Batu kami mendapatkan penduduk kampung duduk di luar kampungnya dengan membawa lembing dan bedil. Setiba di pos zending datanglah Partaon Angin yang sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa kami datang untuk menjemput Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan Israel tetap di situ dengan penginjil Püse. Namun orang tua yang cerdas itu menjawab: “Lebih baik aku mati dibunuh daripada saya membiarkan Saudari Metzler pergi karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu akan pergi pula. Biarkan saja dia di sini bersama suaminya. Mereka tidak perlu
khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler di sini maka Bahal Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak jelas bahwa dia hanya ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler. Dalam pikirannya, selama masih ada perempuan Eropa di sini mereka pasti akan berusaha agar Bahal Batu selamat, kalau dia pergi mereka tidak peduli. Sebentar kemudian ia berkata lagi: “Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa dijaga, pada malam hari mereka pergi.” – Walaupun demikian cara pikirannya kami tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap di Bahal Batu karena jelas bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau mereka pergi, dan juga karena kami percaya keadaan masih agak aman. Namun demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral dan beberapa di antara mengatakan [367] akan berpihak pada pihak mana yang menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya selamat. Hal mana, demikian penjelasannya, juga dilakukan oleh Mangkali Bonar dari Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menjadi kaya dan terkenal. Pendapat yang sedemikian menjadi makin populer apalagi karena orang-orang tua masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak bersaudara dengan, dan pernah membayar upeti kepada Aceh dan . Sampai sekarang pun orang masih memanjatkan doa kepada Soripada di Anse. Maka dengan demikian mereka sudah membiasakan diri bakalan berada di bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah begitu baik hati untuk mengirim 50 bedil lengkap dengan amunisi bagi umat Kristen supaya mereka bisa membela diri kalau diserang. Minggu demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba berita bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas dibunuh di Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari Bahal Batu. Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta Tinggi Simamora menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula kelompok 40 orang Aceh ternyata dipimpin oleh Willem Daut, anak seorang perempuan Eropa, dan Said Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang dulu sudah pernah mengancam Singkel. Oleh sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh menetap di Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya. Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel sudah berangkat pada 1 Februari ketika permintaan [untuk mengirim tentara] kami
sampaikan dari sini. Pada tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba di Pearaja. Kontrolir van Hoevel dan Upas [368] Bartolemy bermalam di tempat kami, laki-laki yang lain tinggal bersama tentara. Rumah di kampungnya Obaja sudah disediakan untuk tentara dan dilengkapi dengan tikar. Kayu api disediakan oleh anak buah Obaja. Para perwira tinggal di pusat kampung di antara tentara, di rumahnya Jesaia supaya dekat tentara kalaukalau ada sesuatu yang terjadi. Soalnya ada beberapa raja yang pada acara musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang lain malahan tidak menghadiri musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada seorang yang berhak menyuruh kami. Seusai musyawarah dan setelah upacara penaikan bendera Belanda maka tentara masuk ke Sipoholon, kampung yang letaknya dekat dengan pos zending. Di situ pun diadakan musyawarah dan maksud kedatangan tentara dijelaskan kepada para raja, dan sesudah dilakukan pengamatan maka diputuskan pergi ke Bahal Batu. Waktu itu tiba surat dari Singamangaraja membalas surat Residen. Katanya dia tidak datang karena ada tentara tetapi bersedia bertemu dengan saya di Pintu Bosi dengan syarat saya tidak ditemani lebih dari dua orang. Permintaannya ditolak oleh Kontrolir. Katanya karena ia sudah berjalan jauh dari Sibolga maka pantas Singamangaraja datang ke Bahal Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat balasan Kontrolir ia hendak memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak mungkin karena pembawa surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu dirobek-robek dan mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perundingannya. Sementara itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara dikirim ke Bahal Batu. Tidak lama kemudian tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari Balige membawa kabar soal perobekan surat [369] serta pengumuman perang asli Batak yang dinamakan pulas. Pulas itu terdiri dari sebuah kentang yang agak panjang yang diukir hingga menyerupai manusia dan ditusuk dengan beberapa lembing kecil dan disertai tiga surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta sebuah sumbu yang bekas disulut. Pulas itu digantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa kali tembakan. Hal itu terjadi pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang namanya tertera pada surat tadi memang menggantungkan pengumuman perang itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang namanya tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang memanggil orang Aceh, namun menurut hasil penyelidikan di kemudian hari mereka ternyata tidak bersalah dan menjadi korban tipu muslihat musuh mereka. Dengan demikian tetap tidak jelas pengumuman perang itu berasal dari pihak mana.
Beberapa hari kemudian seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika mereka lebih dekat kami dihujani peluru. Ketika berada pada jarak sekitar 200m mereka menjerit secara mengerikan sambil menembak dan bertari perang; di situlah Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak serta meniupkan trompet yang menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang Batak berdiam sejenak lalu lari. Mereka berkumpul di luar jangkauan peluru di atas bukit-bukit sampai ada granat yang meledak (yang mendarat jauh di belakang mereka) yang mengakibatkan mereka mundur. Sepertinya pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan kedua dan ketiga [370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang mati namun jumlahnya susah ditentukan. Pada awalnya kami tinggal di pos zending, juga sesudah pengumuman perang, tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zending dan dengan membawa harta benda kami pindah ke benteng. Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah Butar dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang tewas; lima kampung dibakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang lain mengibarkan bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak dibumihanguskan. Sekitar 50–60 kampung di Butar yang tidak dibakar namun raja-rajanya ditahan di Bahal Batu sampai mereka membayar denda yang ditetapkan oleh Residen Boyle. Sesudah beberapa hari Lobu Siregar diserang. Setelah bertempur selama 1½–2 jam lima kampung dibakar. Kampung pertama sudah dikosongkan namun makan waktu 1 jam sebelum pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya. Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal Batu
dan
juga
Pagar
Sinondi
bersumpah
setia
pada
pemerintah
dengan
menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara maka bunyi sumpah tentu berbeda.
Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal Batu
dan
juga
Pagar
Sinondi
bersumpah
setia
pada
pemerintah
dengan
menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara maka bunyi sumpah tentu berbeda. Setelah acara sumpah setia masih ada enam kampung di Naga Saribu yang menolak untuk menyerah. Pagi-pagi keesokan hari kami berangkat dari Bahal Batu melewati ujung timur laut Butar dan tiba di Naga Saribu pada sekitar jam 11:30. Penduduk keenam kampung tidak mengadakan perlawanan karena sadar bahwa hal itu akan sia-sia. Ternyata mereka percaya bahwa tidak mungkin tentara bisa sampai ke kampungnya dalam tempo satu hari, dan di samping itu mereka juga berharap bahwa pemerintah tidak akan datang hanya gara-gara enam kampung mengingat bahwa kebanyakan kampung sudah menyerah dan membayar denda. Ketika mereka menyadari bahwa kampung-kampung lain selamat maka mereka sangat menyesal, tetapi terlambat sudah. Dengan sangat lelah kami tiba kembali di Bahal Batu pada jam 19:30. Sebagai misionaris kami memang tidak perlu memikul senjata dan perbekalan akan tetapi tugas kami tidak lebih ringan dibanding tugas serdadu. Pada waktu tentara istirahat – ketika pembakaran berlangsung – kami harus berjalan dari kampung ke kampung di sekitar Naga Saribu untuk mendatangi raja-raja yang sudah tunduk tetapi belum melunasi denda. Harinya panas dan kering. Pasir diterbangkan angin sehingga mata menjadi perih. Menjelang malam, ketika kami masih harus menempuh jalan selama 2½ jam lagi, hawa berubah menjadi dingin lalu turun hujan disertai halilintar dan gemuruh sehingga kami basah kuyup. Lalu ada berita dari Padang akan ada pasukan tambahan sebanyak 300 tentara dan 100 narapidana karena pemerintah bermaksud untuk maju sampai ke Danau Toba untuk mendenda mereka yang datang menyerang dari jauh. Hal itu memang perlu karena sewaktu dilakukan persiapan ekspedisi ke Toba datang pula orang Toba dari Balige, Gurgur, Si Anjur dan lain-lain tempat untuk sekali lagi menyerang Bahal Batu. Kali ini Kolonel tidak menunggui orang Batak di benteng, melainkan menyuruh pasukannya menyerang dan [372] berkubu di balik sebuah bukit
Orang Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa di bukit sebelah utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan mencederai seorang di antara mereka maka mereka langsung lari karena takut akan dikejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek Simokmok. Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana dan menembak mati seorang. Sesudah semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat ke Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni Huta dan Si Hombing. Negeri itu yang terdiri atas sekitar 70 kampung sudah bersumpah setia di Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Bangkara. Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni Huta kami bertemu dengan Ompu ni Chordopang dari Bangkara, raja yang memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura seolah-olah menjadi sahabat lama. Karena saya berjalan paling depan dan saya langsung mengenalnya maka saya melaporkannya kepada Residen. Lalu dia ditangkap. Ketika kami mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah. Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang terletak 550–600 meter di bawah. Ketika kami tiba di kompleks kampung yang salah satu di antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin granat ditembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai jatuh di kampung. Lalu kami turun. Tiba di bawah, kami melihat pertahanan kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung dikelilingi tembok setinggi 4 meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu kokoh dan terjal sehingga orang bisa kagum melihat kesabaran mereka membuat tembok. Di atas [373] tembok tumbuh tanaman rambat yang berduri yang tidak dapat dipegang dengan tangan telanjang. Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang berusaha memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari atas kami bisa melihat kejadian di kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut. Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera. Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan. Tentara menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung satu kampung. Kampung-kampung yang lain ditempati oleh mereka dari Bahal Batu, Butar, dan dari lain tempat di Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang
ditangkap, diserahkan kepada kami. Anak-anak dan perempuan ditahan di sebuah rumah besar dan laki-laki di rumah yang satu lagi. Kami menghibur mereka dan berbuat baik kepada mereka sehingga mereka cepat menaruh kepercayaan pada kami dan mereka tenang-tenang saja dan tidak berusaha untuk melarikan diri. Mereka ditahan selama dua hari dua malam karena Residen ingin mengetahui apa di
antaranya
ada
istri
dari
raja-raja
yang
terkemuka.
Maksudnya
supaya
meyakinkan para raja melalui istrinya agar mereka mau menyerah. Keesokan hari serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampungkampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung dibakar. Bapak Residen meminta bantuan saya untuk mendampinginya. Tugas saya untuk berbicara dengan para raja yang ingin menyerah dan untuk membawa mereka kepadanya. Namun ketika api mulai berkobar di kampung-kampung yang paling dekat maka penduduk berlari-lari kepanikan berusaha memanjat tebing bukit yang tingginya sekitar 550 meter. [374] Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema di seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan ayah sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda. Bersama dengan beberapa orang yang kenal dengan penduduk kampung saya mengejar mereka yang memanjat tebing – hal mana berlangsung dengan sangat lambat karena banyaknya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Kepala raja yang mengibarkan bendera putih berteriak “Patu ma hami!” (Kami menyerah!). Ketika melihat saya ia turun menghampiri saya dan lalu bersedia untuk dibawa kepada Kapten. Waktunya memang sudah mendesak karena kampungnya sudah dikepung tentara dan orang Batak yang suka merampas sudah mulai mengangkat padi agar tidak hangus, dan juga sudah mulai memotong ternak babi. Lalu saya beritahu kepada Kapten bahwa raja itu hendak menyerah. Ketika para serdadu pergi maka jerit-tangis semakin berkurang. Raja yang masih sangat muda itu lalu dijaga oleh tentara dan saya menyuruh Si Daut, seorang Kristen, untuk mendampinginya. Habis itu saya pergi ke kompleks kampung yang lain lagi, tetapi penduduk sudah naik ke atas dan kampung-kampung mereka dibakar semua. Saya berjalan terus dan bertemu beberapa orang yang bersedia untuk memanggil rajanya. Karena mereka langsung datang masih ada waktu untuk meyakinkan mereka agar mau tunduk pada pemerintah sebelum tentara datang. Sesudah para raja itu saya serahkan kepada Kapten saya meneruskan perjalanan dan kampung mereka tidak dibakar. Ketika kami tiba di atas bukit kami melihat sungai yang deras yang tidak
sangat dalam, tetapi cukup dalam untuk menghalang kami karena arus yang deras. Para serdadu juga sudah lelah seusai melewati [375] sawah-sawah di terik matahari maka kami istirahat dulu. Lalu kami melihat penginjil Simoneit yang di seberang sungai menyemaikan bibit perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Kapten menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk surat kepada Kolonel meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah pasukannya untuk kembali karena
kampung-kampung
di
ujung
selatan
lembah
Bangkara
juga
sudah
menyerah. Raja itu didenda dan diwajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan semua tawanan dilepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara sesudah kampung-kampung yang kami tempati dibakar oleh serdadu. Makan waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya sampai di dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 20–30 kuli yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal sehingga kami menjadi basah. Karena cuaca di atas jauh lebih dingin maka Simoneit dan saya tidak mau duduk-duduk kedinginan. Kami jalan-jalan arah ke utara untuk bisa melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang. Setelah kami berjalan sekitar satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka kami melihat sekelompok orang bersenjata menuju kami. Di antara kami dan mereka ada lembah yang lumayan dalam. Mereka mempercepat langkah untuk bisa menyergap kami dan kami memutuskan untuk selekasnya kembali. Ternyata mereka bukan pemberani karena mereka mendaki bukit dengan sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu tempat kami tadi berdiri untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah agak jauh baru mereka berani naik ke kubu itu. Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami di sana kami langsung bergerak arah ke timur. [376] Melintasi wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang jalan itu dipasang bambu runcing yang pasti dilakukan pada hari sebelumnya. Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka tampak ketakutan. Hanya satu dua di antara mereka nekad menodongkan laras senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak. Mereka lebih kaget lagi melihat di antara kami orang Silindung yang mereka kenal. Orang Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan laras bedilnya. Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain di pasar. Rupanya mereka
tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat untuk bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal di Paranginan selama beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah mereka melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka mereka mulai menaruh kepercayaan pada kami. Dari Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun orang Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang di tengah jalan yang di dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira kami datang pada malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta Ginjang kami berhenti di pasar untuk berbicara dengan para raja, kemudian kami turun ke Meat, sebuah lembah seperti Bangkara tetapi lebih kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan diteruskan ke Gurgur. Jalan ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi – hampir sama keadaan
seperti di Bangkara.
Orang
Batak sudah
berkumpul di atas dan
menggulingkan batu arah ke tentara. Di sinilah paling besar kerugian tentara. [377] Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. Sesudah beberapa serdadu berhasil naik ke atas mereka lari. Kami istirahat selama dua hari di Gurgur dan raja-raja di Huta Ginjang, Meat dan Tangga Batu diwajibkan melakukan sumpah setia pada Belanda. Pada hari ketiga pasukan menuju Lintong ni Huta Pohan, Panghodia, dan Tara Bunga. Hampir semua kampung di Gurgur dibakar karena membiarkan musuh menembaki kami di wilayahnya sementara mereka berpura-pura menjadi sahabat dan mengatakan takluk pada kami dan menjadi pemandu jalan kami. Namun setelah kami sampai di atas, mereka tidak kelihatan lagi. Rupanya mereka yakin tentara tidak mungkin naik ke atas melainkan harus berjalan kembali. Setelah itu mereka berencana agar semua bangkit [melawan Belanda]. Namun sekarang, ketika mereka lihat bahwa teman-temannya lari mereka menjadi ketakutan. Setelah pembakaran diselesaikan kami menuju Lintong ni Huta. Orang Batak sudah berkumpul di situ dan keluar dari persembunyiannya menyerang kami dengan menembak, menjerit, dan menari. Ketika berjarak sekitar 250 m tentara menyerang dan mereka lari bersembunyi di kampung-kampung. Setelah beberapa granat ditembakkan ke arah kampung-kampung itu mereka lari menurun tebing ke pantai danau dan menyelamatkan diri naik perahu. Tentara tetap menembaki mereka dan salah satu perahu kena peluru sehingga orang yang duduk di dalam terpaksa lompat ke air dan berenang ke darat. Lalu kampungnya dibakar. Hanya beberapa kampung tidak dibakar karena beberapa anak raja dari Tangga Batu yang
sudah takluk minta kepada residen agar kampung-kampung itu tidak dibakar karena mereka memiliki rumah di situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah orang Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [378] orang Gohan terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu, dan kuda keluar dari tempat persembunyiannya ke arah tentara. Sementara Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung di tanjung Tara Bunga bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap di sini, di jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di mana-mana terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya bersembunyi di jurang-jurang
pegunungan
dan
langsung
lari
apabila
ada
yang
mendekati
persembunyiannya. Itulah saat yang paling menyedihkan bagi kami yang datang sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk diusir dari rumahnya. Ketika kami sampai kami disambut raja Balige yang dua tahun yang lalu menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami di Gurgur dia datang ke sana meminta
agar
kami
menyampaikan
kepada
Residen
permohonannya
agar
wilayahnya tidak diganggu namun karena Residen saat itu sangat marah karena kerugian yang dideritanya di Gurgur maka kami tidak menyampaikan permohonan itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi menjadi agak jengkel ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung pertama dalam keadaan tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya keliling selama kira-kira satu jam sampai pada pinggir danau di pasar Balige, dan ia puas karena pintu kampung di sana terbuka semua. Serdadu yang datang 30 menit kemudian langsung mandi sampai ke lutut di danau karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau termasuk Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena rendah letaknya. Tiga kampung dipilih sebagai tempat tentara dan setelah mereka merasa nyaman di tempat barunya semua terjun ke danau untuk mandi. Pertama kali di Danau Toba kata mereka semua. Banyak di antaranya mengungkapkan perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang begitu indah. [379] Pada malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi saya tidak ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada acara berperang dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 50–60 kampung dibakar. Awalnya musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari juga. Menjelang siang saya
berjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di tempat itu Raja Deang mendirikan kubu dan pertempuran berlangsung. Di Lumban Atas, Paninduan, saya duduk di bawah pohon besar dan menonton hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan pergi untuk menjarah kampung-kampung yang dibakar. pada sore hari sekitar jam 3 pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur dan Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan bersengketa di tanjung. Mereka menyerahkan diri kepada Residen. Setelah senjatanya dirampas mereka dijebloskan di sebuah rumah dan dijaga. Pada keesokan hari raja-raja yang menyatakan diri takluk didenda dan diambil sumpah setia. Karena mereka tidak begitu cepat bisa mengumpulkan uang untuk membayar denda maka mereka dibawa ke Bahal Batu untuk di kemudian hari ditebus oleh keluarganya. Pada hari keempat
kami
berjalan
ke
Onan
Geang-Geang
tempat
tinggal
mertua
Singamangaraja. Kampung-kampung di sana pun dibakar karena penduduknya mengungsi. Masih pada hari yang sama kami pergi ke Pintu Bosi yang kampungnya besar-besar. Di sini pun penduduk mengungsi sehingga kampung-kampung mereka dibakar. Parik Sabungan, yang dekat dengan Pintu Bosi, menyerah, didenda, dan [raja-rajanya] dibawa ke Bahal Batu untuk diambil sumpahnya. Perjalanan kami lewat Lobu Siregar dan pada jam lima sore kami tiba di Bahal Batu. [380] Ekspedisi telah selesai. Tiada yang merasa lebih lega daripada saya. Namun saya masih harus tinggal di Bahal Batu selama delapan hari lagi untuk membantu Residen sebagai penerjemah. Berangsur-angsur tentara kembali, dan tentu lewat Pearaja untuk singgah di gereja kita. Saya sangat menyesal tidak bisa berada di rumah membantu istri saya dalam masa yang kacau seperti ini. Namun dengan bantuan Tuhan mereka semua selamat dan sehat sentosa. Pada hari sesudah kami tiba diadakan musyawarah umum di Sipoholon. Para raja diberi tahu bahwa wilayah mereka telah dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda. Mereka diharuskan bersumpah setia dan diperingatkan bahwa mereka harus mematuhi perintah Kontrolir. Di Sipoholon, sekitar setengah jam di atas pos penginjil Mohri, dibangun benteng tempat tinggalnya 80 tentara yang akan menetap di sini. Rumah Kontrolir Pluggers membangun rumah di dekat Pearaja dalam jarak sekitar 20 menit dari sini. Seluruh 306 kampung di Silindung telah tunduk pada pemerintah dan kini mereka sudah mulai membangun jalan ke Sibolga. Untuk itu setiap kampung harus menyediakan satu orang. Kontrolir adalah orang yang rajin dan cukup diberi kesempatan untuk menunjukkan kecakapannya karena begitu banyak perselisihan yang harus diselesaikannya. Perang sudah berakhir dan kami meneruskan pekerjaan sehari-hari dengan semangat baru. Hasil dari ekspedisi sangat menguntungkan pemerintah. Boleh
dikatakan seluruh Toba ditaklukkan, dan hanya di Toba Humbang masih diperlukan beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan di sana. Namun hal itu tidak terjadi karena pemerintah tidak tertarik akan Toba Humbang. Mereka terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zending kita pun bagus begitu karena kami kurang tenaga untuk menempatkan cukup banyak penginjil sehingga kami malahan bisa didahului Islam. Sekarang kami punya cukup waktu untuk menggarap Silindung dulu sebelum kami masuk ke Toba dalam waktu beberapa tahun mendatang. Pemerintah tidak akan melarang karena orang Toba [381] akan makin dekat dengan pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya datang, kita bisa menuruti petunjuk Tuhan. Sejak Silindung menjadi wilayah Hindia-Belanda dan perang telah berakhir maka datanglah
ratusan
orang
Toba
berbondong-bondong
kemari.
Banyak
orang
berimigrasi ke sini termasuk di antaranya mereka yang kehilangan rumah yang dibakar tentara, dan banyak lagi yang akan datang. Dengan demikian maka injil pun akan lebih diketahui di Toba Humbang. Sekarang saja, karena keadaan di Toba, pengaruh kita sudah mulai terasa di sana. Semoga Singamangaraja pun mau datang untuk menyerah dan tunduk pada pemerintah. Tidak lama lagi terbukalah lahan yang sangat luas. Tenaga dan dana perlu digandakan untuk, sebagai contoh, membuka pos penginjilan di Balige karena di Deli misi Katolik sudah mulai beroperasi, dan mereka sudah menjelajah sampai ke Bila. Belum tentu mereka langsung ke Balige karena masih berada jauh di utara, namun semboyan kita harus tetap: Maju! Di Silindung sudah banyak yang mendaftar mau menjadi Kristen, kian hari kian banyak orang, namun berapa di antaranya yang bersungguh-sungguh hanya akan diketahui di kemudian hari. Kami senang bahwa paling tidak mereka bisa mendengar berita yang baik namun dalam musim pancaroba seperti ini kesungguhan mereka masih perlu dipertanyakan. Banyak yang datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai penengah dalam perkara pengadilan. Masalah yang sama yang dulu dihadapi penginjil di Sipirok kini kami hadapi di sini. Hanya kami di sini lebih beruntung karena agama Islam belum ada dan agama Kristen sudah berakar di sini. Dapat diharapkan dalam dasawarsa yang akan datang seluruh Silindung menganut agama Kristen.
w
BRMG 1879 (6) 169-170
Surat Penghargaan
dari Pemerintah Belanda Penginjil Nommensen menulis pada 26 Februari: Dari pihak pemerintah kami menerima dokumen berikut: Atas nama Gubernur Pantai Barat Sumatra kami ingin mengucapkan terima kasih atas jasa Tuan-Tuan selama Ekspedisi Militer ke Toba. Keputusan Pemerintah No. 8 tertanggal 27 Desember tahun yang lalu [1878] berbunyi sebagaimana berikut: [170] Melalui Gubernur [Pantai Barat Sumatra] pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. Dengan keputusan ini pemerintah memberi ganti rugi sebesar 1000fl. Jumlah tersebut dapat diambil setiap saat. Residen Tapanuli.
w
BRMG 1882 (7) 202–205
Menaklukkan Toba Setelah mengadakan perjalanan ke Danau Toba para penginjil berniat untuk menetap dan membuka pos zending di sana. Kemungkinan itu dulu sudah pernah disinggung oleh penginjil Nommensen dalam laporan tahun 1876. Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Singamangaraja yang dulu maupun dari Singamangaraja yang sekarang.
Karena
sudah
kehilangan
sebagian
besar
kekuasaan
dua-duanya
berusaha untuk memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Singamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapi
karena ia bersekutu dengan orang Aceh di utara maupun dengan orang Batak Islam di timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaan mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari menjadi makin ketat dan luas. Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [1.] Secara formal Silindung sudah lama termasuk wilayah kolonial Belanda walaupun mereka memang jarang sekali melaksanakan pemerintahannya. Karena status hukum Silindung sebagai wilayah kekuasaan Belanda maka penginjil kita mendapatkan izin untuk menetap, dan berhak untuk meminta perlindungan pemerintah. [203] [2.] Mengingat hubungan Silindung dan Toba yang begitu erat maka upaya pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan di Silindung hanya dapat dilakukan dengan sekalian menaklukkan Toba. Hal itu penting karena Toba, yang padat penduduk, terletak di antara wilayah perkebunan yang subur di pantai timur dan Tapanuli dengan pelabuhannya yang penting di pantai barat. [3.] Penaklukan Toba menjadi begitu penting dan tidak dapat diundurkan lagi karena adanya unsur Aceh. Selain itu kita tidak boleh melupakan bahwa Belanda sudah lama merencanakan dan mengupayakan penaklukan seluruh bagian utara pulau Sumatra. Aceh menjadi musuh yang bertahun-tahun sangat merepotkan mereka, dan malahan sampai sekarang masih sering merepotkan pemerintah. Aceh di dahulu kala pernah menguasai hampir seluruh kawasan pesisir Sumatra. Orang Batak juga pernah berada di bawah kekuasaan Aceh dan bagian utara daerah Batak hingga kini masih berada di bawah pengaruh Aceh. Pada masa kekacauan menjelang ekspedisi terhadap Toba, orang-orang tua menceritakan bahwa mereka dengar dari orang tuanya bahwa dahulu mereka membayar upeti pada orang Aceh. Dalam doa sampai sekarang pun mereka masih menyembah Partuan Soripada di Atse. Oleh sebab itu maka Belanda harus secara tegas mematahkan tiap upaya Aceh untuk memperluas pengaruh atau malahan mempersatukan suku-suku yang ada di pedalaman pulau Sumatra untuk melawan Belanda. Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik Islam, Aceh, maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan
masuknya agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang di sana menjadi hampir sirna. Pada masa kekacauan menjelang perang Toba banyak orang kafir di Silindung dan di kawasan arah utara dari Silindung mempertimbangkan untuk masuk Islam. [204] Waktu itulah para penginjil menyadari betapa sedikit mereka peduli pada kekafirannya
dan
betapa
mudah
mereka
mempertimbangkan
langkah
yang
sedemikian menyesatkan. Puji Allah hal itu tidak terjadi. Kemenangan Belanda dalam ekspedisi yang amat cepat dan perluasan kekuasaan mereka hingga ke Danau Toba membawa berkat kepada zending kita, dan sangat penting dalam tiga hal: 1. Pemerintahan di Silindung dilaksanakan secara semestinya sehingga para penginjil dapat beroperasi tanpa ancaman. Pemerintahan Belanda yang ditetapkan di bawah kondisi yang begitu unik, mestinya – di mata penduduk – kelihatan seperti pemerintah yang Kristen atau paling tidak ramah terhadap agama Kristen. Hal itu merupakan faktor yang begitu menentukan di Silindung yang juga akan berpengaruh di Toba. 2. Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. “Berkat tangan Tuhan”, demikianlah tulisnya penginjil Nommensen waktu itu, “dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. Kalau kejadian berlanjut sebagaimana sekarang maka di dalam beberapa tahun terbukalah lahan yang luas bagi zending kita. [205] Kalau situasi menjadi tenang kembali maka kita bisa masuk, apalagi karena kita dilihat sebagai pelindung terhadap pemerintah. Mereka melihat bahwa siapa saja yang menuruti nasihat kami tidak akan menderita, dan tidak perlu khawatir. Mereka yang menderita salah sendiri karena mereka tidak menerima nasihat kita. Usahakanlah agar sebanyak-banyaknya penginjil bisa datang ke Toba karena sekarang masa penginjilan mulai di Toba.” Dengan demikian juga terucap butir ketiga:
3. Akibat perang Toba maka orang makin percaya pada penginjil dan sudah ada yang minta agar kita datang.
w
Daftar Pustaka Altena, Thorsten. 2003. Ein Häuflein Christen mitten in der Heidenwelt des dunklen Erdteils.
Zum
Selbst-
und
Fremdverständnis
protestantischer
Missionare
im
kolonialen Afrika 1884–1918. Waxmann. Münster. Angerler,
Hans.
“Mission,
Kolonialismus
und
Missionierte:
Über
die
deutsche
Batakmission in Sumatra.” Beiträge zur historischen Sozialkunde 2 (1993): 53-61. Aritonang, Jan S. 1988. Sejarah pendidikan Kristen di Tanah Batak: suatu telaah historis-teologis atas perjumpaan orang Batak dengan zending (kususnya RMG) di bidang pendidikan, 1861–1940. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Bade, Klaus J. Friedrich Fabri und der Imperialismus in der Bismarckzeit: Revolution Depression - Expansion. Osnabrück, 2005. Fabri, Friedrich. Die Entstehung des Heidenthums und die Aufgabe der Heidenmission. Barmen, 1859. Fabri, Friedrich. 1884. Die Bedeutung geordneter politischer Zustände für die Mission. Rede vor der 6. Kontinentalen Missionskonferenz am 20.3.1884 in Bremen. Allgemeine Missions-Zeitschrift 11. Hal. 97-112 Groot, A. de. 1984. Hermanus Willem Witteveen en zijn Zendingsgemeente te Ermelo. G.F. Callenbach. Nijkerk. Jongeling, Maria Cornelia. 1966. Het Zendingsconsulaat in Nederlands-Indië 1906-1942. Van Loghum Slaterus. Arnhem. Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 2.Theil: Völkerkunde. Berlin: G. Reimer, 1847.
Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 1.Theil: Chorographie. Berlin: G. Reimer, 1847. Jura, Guido. 2002. Deutsche Spuren in der Kirchen- und Gesellschaftsgeschichte Namibias:
Eine
Analyse
Emanzipationsprozesses eigenstä! ndigen
unter
einer
Partnerkirche
ehemals im
besonderer
Berü! cksichtigung
kolonialen
Missionskirche
heutigen
Namibia
des
zu
einer
sowie
der
Interessenwahrnehmung der deutschsprachigen Minderheit innerhalb einer eigenen lutherischen Kirchengemeinschaft. Fakultät für Sozialwissenschaft. Ruhr-Universitä# t Bochum. http://www-brs.ub.ruhr-uni-bochum.de/netahtml/HSS/Diss/JuraGuido/diss.pdf Menzel, Gustav. 1978. Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: Die Rheinische Mission. Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission. Wuppertal. Rohden, Ludwig von. 1867. Leitfaden der Weltgeschichte für die höheren Classen evangelischer Gymnasien und Realschulen, sowie zum Privatgebrauch für Lehrer und für Gebildete überhaupt. Von Rohden’sche Buchhandlung. Lübeck. Rohden, Ludwig von. 1888. Geschichte der Rheinischen Missions-Gesellschaft. Wiemann. Barmen. Schreiner,
Lothar.
Adat
und
Evangelium:
Zur
Bedeutung
der
altvölkischen
Lebensordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra. Vol. Gütersloh, 1972. Schubert, Michael. 2003. Der schwarze Fremde: Das Bild des Schwarzafrikaners in der parlamentarischen und publizistischen Kolonialdiskussion von den 1870er bis in die 1930er Jahre. Franz Steiner Verlag. Stuttgart. Smith, Anthony D. 1971. Theories of Nationalism. Harper & Row. New York. Steinmetz, George. 2007. The devil’s handwriting: precoloniality and the German colonial state in Quingdao, Samoa, and Southwest Africa. University of Chicago Press. Chicago. Warneck, Johannes. D. Ludwig J. Nommensen. Ein Lebensbild 1834 + 1934, WuppertalBarmen 1934, 4. erg. Aufl., 7-17; Wilhelm Landgrebe: Ludwig Nommensen. Kampf und Sieg eines Sumatra-Missionars, Zeugen des gegenwärtigen Glaubens 77/78, Gießen und Basel 1963; Gottlob Mundle: Der Gänsejunge von Nordstrand, Wuppertal-Barmen 1950, 3-10; Erika Hellmann: Ein Mann kann warten, WuppertalBarmen 19582, 6f.