Urgensi Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang
A. Mengapa Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang Perlu? Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai evaluasi dan monitoring (monev) undang-undang, salah satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah apakah monev itu sendiri diperlukan atau tidak. Kalau diperlukan, apa manfaatnya bagi pihak-pihak yang diposisikan sebagai perencana dan pelaksana undangundang. Bagaimana pula kaitan antara monev dengan sistem manajemen yang secara umum membahas dan mengatur pula tentang kehadiran mekanisme monev. Secara umum, fungsi manajemen melekat pada proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Bila kita cermati bagaimana sebuah undang-undang dihasilkan, maka kita sebenarnya sedang mengamati roda manajemen produksi undang-undang yang sedang berjalan. DPR dan pemerintah sebagai pihak yang terlibat dalam proses legislasi memiliki dan menjalankan peran perencanaan dan pengorganisasian berbagai gagasan dan masukan terhadap Rancangan UndangUndang (RUU). Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan output dari peran perencanaan yang dilakoni oleh DPR dan pemerintah, sedangkan fungsi pengorganisasian muncul misalnya melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau konsultasi publik. Contoh lainnya yaitu pembentukan tim lintas departemen yang ditugaskan untuk merancang undang-undang usulan pemerintah yang bersifat muti sektoral atau pengelompokkan anggota DPR dalam alat-alat kelengkapan DPR seperti Badan Legislasi (Baleg), pembidangan komisi, Panitia Khusus (Pansus), Panitia Kerja (Panja), dan lain-lain. Bekerjanya peran pengorganisasian bertujuan untuk mematangkan substansi RUU. Sistem manajemen produksi undang-undang yang selama ini berlangsung ternyata cenderung tidak memberikan perhatian yang serius terhadap urgensi peran kontrol/monitoring dan evaluasi. Padahal, untuk mengetahui apakah perencanaan (dalam hal ini Prolegnas) sudah berjalan dengan efektif atau belum sangat tergantung sejauh mana ketepatan dan keseriusan prosedur monev diimplementasikan. Fungsi monev tidak dapat dipisahkan dari manajemen produksi undang-undang. Dengan kata lain, manajemen produksi undang-undang akan pincang bilamana peran monev terabaikan, mengingat kontribusinya terhadap pemeliharaan kualitas output (undang-undang) sangat besar. Beberapa manfaat dari pelaksanaan fungsi monev undang-undang antara lain: 1. Mewujudkan manajemen produksi UU yang lebih baik Hasil monev akan menginformasikan apakah tujuan dibentuknya suatu undangundang telah tercapai, sekaligus juga mengenai manfaat dan dampak dari pelaksanaan undang-undang. Informasi yang diperoleh dari hasil monev akan menjadi bahan yang sangat diperlukan dalam proses perencanaan berikutnya. 2. Sebagai perwujudan pelaksanaan fungsi legislasi secara transparan Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan transparansi proses legislasi adalah melalui monev. Dengan menghadirkan monev, informasi yang lengkap mengenai proses legislasi akan tersedia. Apabila kita menyepakati bahwa pelaksanaan monev akan diberi perhatian yang lebih dalam proses legislasi, maka yang menjadi persoalan selanjutnya agar
pelaksanaan monev dapat berjalan baik adalah menyangkut peningkatan kemampuan pelaksana monev undang-undang (capacity building) dan pengalokasian dana yang memadai.
B. Dasar Teori Menurut (Casely & Kumar, 1987), definisi monitoring bisa bervariasi tetapi pada dasarnya prinsip-prinsip yang digunakan adalah sama, yaitu “Monitoring adalah penilaian yang terus menerus terhadap fungsi kegiatan proyek di dalam konteks jadwal pelaksanaan dan terhadap penggunaan input proyek oleh kelompok sasaran di dalam konteks harapan-harapan rancangan. Monitoring adalah kegiatan proyek integral, bagian penting dari praktek manajemen yang baik dan karena itu merupakan bagian yang integral dari manajemen sehari-hari”. Monitoring yang dilakukan adalah dengan metode pengumpulan dan analisis informasi secara teratur. Kegiatan ini dilakukan secara internal untuk menilai apakah masukan sudah digunakan, apakah dan bagaimana kegiatan dilaksanakan, dan apakah keluaran dihasilkan sesuai rencana. Monitoring berfokus pada efisiensi. Sumber data yang penting untuk monitoring adalah alat verifikasi pada tingkat kegiatan dan keluaran yang umumnya merupakan dokumen internal seperti laporan bulanan/triwulan, catatan kerja dan perjalanan, catatan pelatihan, notulen rapat, dan sebagainya.1 Pengertian tentang konsep evaluasi – yang terkadang tak bisa dipisahkan dengan monitoring – sering dijumpai, bahkan terkesan saling menopang. Pengertian pakar mengenai arti eveluasi seperti (Casely & Kumar, 1987) yaitu “Penilaian berkala terhadap relevansi, penampilan, efisiensi, dan dampak proyek tentang waktu, daerah atau populasi.” 2 Sedangkan interpretasinya secara umum adalah evaluasi bagi banyak organisasi merupakan istilah umum yang digunakan bersama-sama dengan kaji ulang. Organisasi lain menggunakannya dalam pengertian yang lebih ketat sebagai penilaian yang komprehensif terhadap keluaran dan dampak proyek; apa sumbangannya terhadap pencapaian tujuan sasaran. Evaluasi biasanya dilakukan baik oleh orang dalam maupun orang luar untuk membantu pihak terkait dan pembuat keputusan belajar dan menerapkan pelajaran yang sudah dipetik. Evaluasi berfokus pada dampak dan sustainibilitas. Evaluasi berbeda dengan monitoring. Kedekatannya lebih dikarenakan kesamaan sebagai alat manajemen. Dalam konteks monitoring, informasi berguna untuk mengetahui kemajuan menurut yang disetujui sebelumnya di dalam rencana dan jadwal rutin yang dikumpulkan. Ketidakcocokan antara aktual dengan yang direncanakan haruslah diidentifikasi dan dikoreksi. Kebutuhan terhadap evaluasi dipermudahkan dengan adanya monitoring (menyediakan sumber informasi). Banyak sumber informasi didalami selama mengkaji ulang proyek terutama ketika ada kebutuhan untuk mengetahui mengapa input tidak berperan penting dalam perencanaan output. Fokus evaluasi relatif
1 Dikutip dari Proposal Implementasi Akselerasi Pencapaian IPM 80 Jabar melalui Pengembangan Kawasan Agropolitan Terdepan halaman 1. 2
Idem
spesifik kepada pertanyaan mengenai efektifitas dan dampak yang ditentukan untuk mempengaruhi pelayanan atau program mendatang. Saling mengisinya antara monitong dan evaluasi dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Item Frekuensi Dasar tujuan
Fokus
Monitoring Menjaga agar tidak terjadi kekeliruan/melenceng Meningkatkan efisiensi dalam mengatur rencana kerja Input, output, proses, outcome, dan rencana kerja
Evaluasi Penilaian Meningkatkan efektifitas, dampak, dan program mendatang Efektifitas, relevansi, dampak, dan efisiensi biaya.
C. Beberapa Isu Penting yang Harus Diperhatikan dalam Proses Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang Di tengah berjalannya peran monev terhadap undang-undang, ada beberapa isu penting yang harus diperhatikan antara lain: 1. Pembicaraan monev pada umumnya hanya bersifat parsial. Kalaupun ada, pihak yang melakukan fungsi monev cenderung berkutat pada tahap-tahap tertentu; 2. Selama ini pemahaman mengenai fungsi monev lebih ditujukan kepada proses pelaksanaan proyek, bukan (salah satunya) ditujukan pada level undang-undang; 3. Proses monev tidak memberikan hasil yang valid karena metode penentuan indikator yang bias pada kepentingan tertentu; 4. Dalam hal menentukan subyek yang melakukan fungsi monev, masih terjadi tarik-menarik apakah dilakukan secara internal (DPR dan pemerintah) ataukah eksternal (auditor independen); dan 5. Masih rendahnya pemanfaatan hasil-hasil penelitian monev terhadap proses perencanaan, pembahasan, perbaikan (amandemen) satu atau lebih undangundang.
D. Antara Evaluasi dan Monitoring (Pemantauan) Pada saat yang bersamaan, kita selalu mendengar bahwa monitoring selalu dikaitkan dengan evaluasi. Padahal keduanya memiliki perbedaan. Evaluasi memiliki spektrum kegiatan yang lebih luas dari pada monitoring. Monitoring ditekankan kepada kepentingan observasi dan penilaian terhadap suatu obyek atau kinerja pelaksanaan suatu kegiatan. Sedangkan evaluasi lebih dititikberatkan kepada penelaahan dan pengkajian terhadap suatu sasaran kegiatan, yakni sejak dari tahap perencanaannya hingga dampak dari output yang dihasilkan (substansial) maupun secara organisasional menyangkut kinerja pelaksanaan kegiatan itu sendiri. Evaluasi dapat dilakukan terhadap hasil monitoring dan laporan pelaksanaan kegiatan, dengan tujuan untuk menentukan sejauh mana tingkat kemajuan pelaksanaan suatu kegiatan telah dicapai. Pelaksanaan monev pada prinsipnya harus selalu didasarkan kepada obyektivitas penilaian. Untuk itu, diperlukan adanya persepsi yang sama mengenai obyek pengamatan. Kesamaan persepsi tersebut dapat diwujudkan melalui indikator-indikator yang disepakati bersama antara pihak perencana (RUU) dengan pelaksana monev.
Indikator-indikator tersebut harus dapat digunakan secara simultan dalam mengukur perbedaan antara harapan dan kinerja dari komponen-komponen perencanaan dan pelaksanaan fungsi legislasi. Evaluasi terhadap undang-undang, selain memberikan umpan balik bagi keperluan perencanaan berikutnya, juga dapat digunakan langsung bagi keperluan tindakan koreksi dalam rangka penegakan undang-undang (bahkan peluang ini semakin terbuka dengan kehadiran lembaga Mahkamah Konstitusi-MK).
E. Evaluasi Kebijakan: Dari Proses Sampai Dampak Secara umum, dalam studi kebijakan publik, evaluasi biasanya dikaitkan dengan tiga hal.3 Pertama, berkaitan dengan program monitoring/process, pertanyaan yang diajukan adalah: a. Apakah program mencapai sasaran individu, lembaga atau unit target lain sebagaimana yang telah disusun dalam program? b. Apakah program memberikan sumber daya, pelayanan atau keuntungan lain sebagaimana yang dimaksudkan dalam program? Kedua, analisis impact assessment berkaitan dengan isu-isu berikut: a. Apakah program tersebut cukup efektif untuk mencapai tujuan yang dimaksud? b. Dapatkah hasil-hasil program tersebut dijelaskan atau dilakukan melalui proses alternatif tertentu yang tidak termasuk dalam program? c. Apakah program memiliki efek-efek lain yang tidak direncanakan? Ketiga, kajian economic efficiency/cost effectiveness mengevaluasi hal-hal berikut: a. Seberapa besar biaya pemberian pelayanan dan apa manfaat terhadap peserta program? b. Apakah program tersebut menggunakan sumber daya secara efisien dibandingkan dengan penggunaan sumber daya untuk program lain? Menelusuri konteks evaluasi program tentu berbeda dengan proses legislasi. Perbedaan karakter objek evaluasi muncul di sini. Namun bukan berarti kita tidak menemukan sama sekali kemungkinan peluang pengadopsian antara evaluasi program dengan undang-undang. Adanya pemahaman bahwa proses legislasi juga memerlukan manajemen produksi, maka perbedaan karakter objek evaluasi bukan menjadi sebuah persoalan serius. Studi evaluasi proses apabila ditarik ke belakang memiliki kedekatan dengan studi proses implementasi. Dalam proses implementasi, pertanyaan yang ingin dijawab adalah apakah instrumen-instrumen kebijakan yang ditetapkan (UU, Peraturan Pemerintah, dst) benar-benar dilaksanakan oleh para aktor (eksekutif dan perangkatnya). Di sini, persoalan kepatuhan dari para aktor pelaksana kebijakan adalah hal penting yang dianggap sangat berpengaruh pada keberhasilan kebijakan itu sendiri. Selain itu, banyak penelitian yang menunjukkan berbagai variabel implementasi lain yang mungkin berpengaruh pada kinerja kebijakan antara lain seberapa besar komunikasi antar aktor, seberapa besar dukungan finansial, sikap personil, dan bagaimana fleksibilitas struktur organisasi yang mampu mendukung
Pengutipan bersumber dari tulisan lepas tentang Bagaimana Memahami Urgensi Monitorig dan Evaluasi Suatu Program (pelaksanaan Koordinasi, Monitoring, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 oleh oleh Lukman Sukarma MSE, MTQM, Asisten Deputi VII Bidang Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 3
pengambilan keputusan secara cepat apabila terjadi masalah dalam pelaksanaan kebijakan. Faktor-faktor implementasi adalah variabel yang bisa dimanipulasi untuk mengendalikan pelaksanaan kebijakan. Sedangkan yang lain adalah variabel lingkungan seperti kondisi alam, yang tidak mungkin dimanipulasi. Bisa terjadi sebuah kebijakan sebaik apapun dengan dukungan personil, keuangan, dan komunikasi yang baik gagal diimplementasikan karena faktor-faktor alam seperti kondisi lingkungan yang berubah secara cepat seperti halnya bencana alam. Evaluasi di atas hanya relevan dilaksanakan ketika proses implementasi sedang berjalan dan tidak menunggu kebijakan selesai.
F. Mengapa Muncul Kegiatan Evaluasi yang Tidak Komprehensif? Sejak bergulirnya orde reformasi, tidak pernah terdokumentasikan dan terpublikasikan apakah selama ini DPR atau pemerintah memiliki tools dalam memonitor dan mengevaluasi undang-undang. Kalau pun ada, evaluasi tidak dilakukan secara komprehensif (mengambil contoh atau model yang diterapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional-BPHN melalui pembentukan tim ad hoc). Persoalannya adalah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh dari evaluasi proses sampai dengan evaluasi dampak diperlukan pembiayaan yang cukup besar. Apalagi, setiap proses evaluasi tidak bisa dijalankan secara serentak mengingat masing-masing karakter evaluasi memerlukan desain evaluasi yang berbeda. Evaluasi proses tidak mungkin dilakukan di akhir kegiatan perumusan kebijakan karena situasi proses sendiri hanya mungkin diteliti ketika kegiatan itu sendiri masih berlangsung. Sebaliknya, studi evaluasi dampak hanya mungkin dilakukan setelah suatu undang-undang berjalan sekian tahun di mana diperkirakan dampak sudah muncul. Dengan demikian, melakukan evaluasi dampak dan evaluasi proses memerlukan proses yang terpisah. Persoalan lain yang dihadapi dalam evaluasi dampak yaitu keterbatasan data. Untuk melihat dampak pelaksanaan undang-undang, para evaluator hanya bisa mengambil kesimpulan secara benar apabila tersedia data yang memadai antara sebelum dan sesudah undang-undang diberlakukan. Hal-hal yang sering terabaikan dalam evaluasi dampak adalah apakah perubahan yang terjadi benar-benar disebabkan oleh undang-undang dimaksud atau faktor-faktor lain.
G. Praktek Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang yang Berjalan di Indonesia Bagaimana sebenarnya praktek monev yang telah dan sedang berjalan di Indonesia? Siapa saja yang terlibat dan bagaimana model mekanisme monev yang dipilih? Uraian berikut mencoba menjawab pertanyaan di atas sekaligus menginformasikan realitas terkini yang pada akhirnya menyadarkan kita terhadap urgensi kehadiran monev undang-undang. G.1. Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Tanpa kita sadari, sebenarnya terdapat tahapan/mekanisme atau bahkan sampai tingkat aktivitas yang masuk dalam ruang lingkup monev sebagai suatu sistem yang umum dipahami, yaitu kegiatan menilai atau kaji ulang. Pemahaman seperti inilah yang akan mengantarkan kita bahwa monev undang-undang pada level yang
sederhana tersebar dalam berbagai institusi perencana dan pelaksana undangundang, termasuk lembaga seperti Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua lembaga ini pun pada tingkatan tertentu, memainkan peranperan layaknya proses monev sebelum putusan (judicial review) dibacakan. Harus diakui, sebuah UU dihasilkan melalui proses politik, sehingga sedikit banyak kepentingan politik mewarnai substansi undang-undang yang dihasilkan. Namun, konstitusilah sebagai rambu yang bertugas memastikan apakah kepentingan politik dimaksud menciderai aspirasi dan kepentingan rakyat (sebagai pemegang kedaulatan tertinggi) atau tidak. Seorang narasumber yang menjabat hakim MK mengutarakan bahwa peran MK dalam menguji suatu undang-undang apakah berlawanan dengan konstitusi atau tidak, salah satunya dilihat pada benturan kepentingan politik terhadap undangundang. Dalam konteks monitoring undang-undang, sebenarnya MK memiliki badan sendiri (semacam litbang) yang mempelajari suatu undang-undang, namun sifatnya pasif. Dalam artian, menunggu permintaan yang diajukan oleh internal MK atau para hakim MK sendiri, selain memang tugas dan kewajiban Litbang sendiri adalah melakukan penelitian terhadap UU yang dianggap relevan dengan kerja MK. Hasil monitoring undang-undang dimaksud tidak dipublikasikan, semata-mata untuk kebutuhan internal (yang akan dibahas dan didiskusikan oleh para hakim MK, peneliti yang bernaung di litbang MK, atau pihak-pihak luar yang diundang dan turut mengkaji undang-undang tersebut). Alasannya agar publik tidak mempersepsikan hasil kajian dimaksud sebagai putusan MK sebelum dibacakan. Selain itu, guna memaksimalkan fungsi monitoring undang-undang, responden menganjurkan agar sebuah RUU yang masih dalam tahap pembahasan lantas mendapatkan perlawanan dari masyarakat dapat diuji atau dimintakan pendapat ke MK. Setelah memutuskan perkara permohonan judicial review, MK mencoba memastikan apakah kemudian putusan tersebut dikuatkan melalui Berita Negara atau belum, karena menurut responden, sebenarnya letak kekuatan mengikatnya ada di situ. Putusan MK menghilangkan daya ikat beberapa bab, pasal, atau ayat dalam suatu undang-undang. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memerintahkan MK memberitahukan hal demikian (supaya putusan MK tersebut dikuatkan dalam Berita Negara). Tidak hanya terfokus pada penguatan melalui Berita Negara, responden juga sepakat bahwa sudah seharusnya DPR menindaklanjuti putusan MK. Namun, responden mengakui bahwa MK tidak berwenang untuk memerintahkan lembaga lain menjalankan putusan MK. Pada saat pembahasan suatu RUU, responden menyatakan tidak perlu bagi MK untuk memberikan masukan misalnya ketentuan UU dimaksud dinyatakan tidak memenuhi syarat, karena responden bersandarkan pada UU bahwa MK sebatas menyampaikan putusannya kepada DPR. Adanya teori tentang sunset close dicermati pula oleh responden. Menurutnya, suatu UU menggambarkan situasi tertentu yang belum tepat di situasi berikutnya. Oleh karena itu, responden memandang perlu monev undang-undang, untuk menjawab apakah masih layak diberlakukan atau tidak. Lantas, siapa yang harus mendorong berjalannya mekanisme monev undang-undang? Kerjasama antara dunia kampus dengan litbang yang tersebar di berbagai institusi merupakan kelompok yang dianjurkan responden agar aktif melakukan pemantauan terhadap undang-undang. Bahkan masyarakat, melalui LSM turut pula berpartisipasi mendukung terlembagakannya sistem monev undang-undang.
Masih dari lingkungan MK, seorang responden yang berasal dari bagian litbang, mengutarakan pengalamannya dalam melakukan penelitian terhadap suatu undangundang, yang dilakukan bersama-sama dengan lembaga kajian di perguruan tinggi. Cuma memang seperti yang disampaikan oleh responden dari hakim MK, kajian dimaksud tidak dipublikasikan dan hanya untuk kebutuhan internal MK. Pada suatu kondisi, litbang MK juga dapat pula berperan sebatas memfasilitasi berbagai kajian yang terhadap undang-undang. Menurut responden, fungsi monitoring undang-undang merupakan tugas pemerintah, meskipun tidak tertutup kemungkinan ada lembaga lain yang melakukannya. Sedangkan DPR dalam posisi mengawasi apakah undang-undang dimaksud sudah mencapai tujuannya atau belum. MK sendiri, menurut responden tidak dalam lini memonitor dan mengevaluasi undang-undang. Seandainya suatu saat diperlukan monitoring terhadap suatu undang-undang, responden menyatakan hal demikian bisa saja terjadi namun tentunya bukan MK secara kelembagaan. Monitoring yang dipahami oleh responden lebih diarahkan kepada implementasi putusan MK. G.2. Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang oleh DPR Salah satu responden yang dianggap strategis dan merupakan sumber informasi paling handal ada di Bagian Pemantuan Pelaksanaan Undang-Undang (Panlak UU), mengingat struktur serta tugas pokok dan fungsi (tupoksi) responden yang langsung berhadapan dengan mekanisme monev undang-undang. Bagian Panlak UU berada di bawah Biro Hukum dan Pemantuan Pelaksanaan Undang-Undang yang bertanggung jawab kepada Deputi Bidang Perundang-undangan. Responden menginformasikan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh Bagian Panlak UU baru sebatas memantau peraturan pelaksana dari suatu undang-undang tiap semester. Dengan kata lain, memeriksa pasal-pasal dalam undang-undang yang harus ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden atau bahkan Keputusan Menteri. Di dalam menjalankan fungsi monitoring, responden berhadapan dengan berbagai departemen terutama yang langsung menjadi pelaksana undang-undang. Meskipun keberadaan Bagian Panlak UU terbilang baru, namun kajian yang dilakukan tidak dibatasi sejak kemunculan unit tersebut. Responden memaparkan bahwa Bagian Panlak UU telah mengidentifikasi UU yang diterbitkan sejak 1995 dan menemukan misalnya dalam suatu UU, ada sepuluh pasal yang mengamanatkan peraturan pelaksana, ternyata hingga saat ini baru dua yang berhasil dikeluarkan. Beragam alasan kenapa peraturan pelaksananya lambat sekali diterbitkan, mulai dari banyaknya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang harus dipersiapkan, kompleksnya koordinasi lintas departemen, adanya tim sinkronisasi di Departemen Hukum dan HAM sehingga memperlama proses pembuatan PP sampai persoalan anggaran, faktor penyebab yang menurut responden paling sering paling sering dikemukakan pemerintah. Tentang batasan waktu sejak 1995, diakui responden tidak ada patokan yang pasti karena hingga saat ini Bagian Panlak UU masih mencari pola monitoring yang ideal, termasuk batas waktu kapan suatu undang-undang harus dipantau. Secara umum, mekanisme kerja yang ditempuh Bagian Panlak UU adalah mengirimkan surat kepada instansi-instansi terkait yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan peraturan pelaksana undang-undang. Seandainya dalam waktu yang telah ditentukan belum keluar juga peraturan pelaksananya, Bagian Panlak UU melalui Deputi Bidang Perundang-undangan akan mengingatkan (anggota) DPR untuk menindaklanjutinya dalam konteks fungsi pengawasan.
Responden menginformasikan bahwa Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR melalui Deputi Bidang Perundang-undangan menyusun Daftar Hasil Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang. Perlu diketahui, berdasarkan Peraturan Sekjen DPRRI No. 400/SEKJEN/2005 tentang Organisasi Tata Kerja Sekretaris Jenderal DPR RI, dengan struktur organisasi yang baru, Setjen DPR dalam hal ini Deputi Perundang-undangan – dengan perangkatnya sebagai unsur pelayanan bagi (anggota) DPR – salah satu tugasnya adalah melakukan pemantauan terhadap peraturan pelaksanaan undang-undang yang ditindaklanjuti baik dengan UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden maupun Keputusan Menteri. Tugas yang diemban Deputi Bidang Perundang-undangan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana implementasi peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, apakah sudah diterbitkan atau belum oleh pemerintah. Salah satu wewenang/fungsi dari tugas DPR yang termuat dalam Keputusan DPR-RI No: 08/DPR-RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR-RI, Pasal 4 huruf g, diantaranya adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undangundang. Untuk dapat melaksanakan hak dan wewenang tersebut, DPR memerlukan data dan informasi dari instansi pemerintah dan instansi terkait berkaitan dengan diberlakukannya suatu undang-undang. Data dan informasi inilah yang sebenarnya disuplai oleh Deputi Bidang Perundang-undangan. Terkadang malah ada semacam request tersendiri dari individu anggota DPR maupun alat kelengkapan seperti Baleg atau Komisi yang meminta hasil fungsi monitoring yang dilakukan Bagian Panlak UU. Menghadapi kondisi seperti ini, responden sengaja lebih memprioritaskan permintaan semacam ini. Hasil pengawasan undang-undang tersebut selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengantisipasi dampak yang mungkin ditimbulkan maupun memperbaiki keadaan yang belum sesuai dengan keadaan yang diinginkan oleh pembentukan undang-undang. Selain itu, hasil pengawasan juga membantu dalam upaya mengajukan suatu RUU dari DPR maupun RUU usul Pemerintah, perubahan atau tambahan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Daftar Hasil Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang ini berformat tabel, dibagi dalam dua kelompok besar UU yaitu bidang Politik, Hukum, HAM, dan Kesejahteraan Rakyat (Polhukhamkesra) dan Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Perdagangan (Ekkuindag). Tabel tersebut terdiri atas: a) Keterangan lengkap UU (nomor, tahun, dan obyek pengaturan); b) Tanggal ditetapkan dan diundangkan; c) Pasal dan ayat yang ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana; d) Jenis peraturan-peraturan pelaksana (PP, Keppres, Perpres, dan Kepmen); e) Lingkup/Bidang dari alat kelengkapan DPR (misalnya Komisi/Baleg) Sampai dengan April 2006, Deputi Bidang Perundang-undangan melalui Bagian Panlak Undang-Undang telah berhasil mengidentifikasi dan memantau pelaksanan 15 UU bidang Polhukhamkesra dan 21 UU bidang Ekkuindang. Undang-Undang tersebut yang termuat dalam Buku I Daftar Hasil Pemantauan Pelaksanaan UndangUndang. Adapun 15 UU bidang Polhukhamkesra dimaksud yaitu: 1) UU No. 8 Tahun 1987 tentang Ptotokol 2) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3) UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia 4) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 5) UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat 6) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15)
UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Sedangkan daftar 21 UU bidang Ekkuindang meliputi: 1) UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun 2) UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian 3) UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil 4) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan 5) UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan 6) UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Komoditi 7) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 8) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 9) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 10) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 11) UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa 12) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 13) UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman 14) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang 15) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri 16) UU No. 23 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 17) UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten 18) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merk 19) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 20) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 21) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN
Untuk mempersiapkan dan menyusun Daftar Hasil Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Bagian Panlak UU telah menetapkan prosedur kerja sendiri. Serangkaian langkah ditempuh Bagian Panlak UU guna mempermudah mendapatkan data dan informasi dalam rangka mengawasi implementasi undangundang. Adapun prosedur kerja dimaksud adalah sebagai berikut: Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemantauan Analisis dan Evaluasi terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Tahap Persiapan
Pengadministrasian dan pendataan umum terhadap undangundang di bidang Polhukhamkesra dan Ekkuindag berdasarkan periode (dua tahun ke belakang) sejak undang-undang disahkan, yang selanjutnya menjadi daftar perundang-undangan yang akan dipantau peraturan pelaksanaannya. Mendata dan mencatat undang-undang yang akan dikaji/analisis dan dievaluasi dengan kriteria sebagai berikut: a. Undang-undang zaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku namun sudah tidak sesuai lagi dengan normanorma hukum yang berkembang dalam masyarakat; dan b. Undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemantauan Analisis dan Evaluasi terhadap Pelaksanaan Undang-Undang
Tahap Pelaksanaan
Tahap Penyelesaian
lain. Meminta informasi kepada bagian Baleg, Komisi, Gabungan Komisi maupun departemen atau instansi terkait. Menyiapkan surat yang akan ditujukan ke instansi/departemen terkait. Melaksanakan pemantauan maupun pendataan terhadap undang-undang yang mengamanatkan ketentuan-ketentuan untuk ditindaklanjuti dengan UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri. Menyampaikan surat ke Departemen atau instansi terkait dalam rangka mengumpulkan data dan informasi yang terkait dengan peraturan pelaksanaan undang-undang yang ditandatangani oleh Biro Hukum dan Panlak. Mengevaluasi data atau informasi yang diperoleh dari departemen atau instansi terkait terhadap undang-undang yang dipantau. Hasil pemantauan pelaksanaan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh Bagian Panlak UU kepada Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, kemudian dilanjutkan kepada Deputi Bidang Perundang-undangan untuk selanjutnya disampaikan kepada Pimpinan Baleg, Komisi, dan Gabungan Komisi.
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemantauan Undang-Undang ke Daerah oleh Tim Tahap Persiapan
Tahap Pelaksanaan
Menentukan daftar prioritas undang-undang bidang Polhukhamkesra dan Ekkuindag yang akan dipantau, dikaji/dianalisis, dan dievaluasi. Mempersiapkan konsep surat pembentukan Tim/Surat Tugas, yang disetujui oleh Biro atau Deputi; Mempersiapkan proposal berdasarkan undang-undang yang akan dipantau, dikaji/dianalisis, dan dievaluasi. Mempersiapkan surat/memo untuk mendapatkan persetujuan dari Sekjen/Wasekjen melalui Biro/Deputi. Tim mempersiapkan daftar pertanyaan berdasarkan materi/substansi undang-undang yang akan dipantau. Daftar pertanyaan yang disampaikan agar disesuaikan dengan instansi terkait. Mempersiapkan administrasi/konsep surat ke Pemerintah Daerah/Gubernur/Sekda, dan instansi terkait dengan melampirkan daftar pertanyaan. Menghubungi instansi Pemerintah Daerah setempat untuk membicarakan kesiapan jadwal pertemuan. Kepala Bagian Panlak UU menentukan undang-undang yang akan dipantau dengan cara pengumpulan data dari usulan daerah, mengikuti aktualisasi yang berkembang dalam masyarakat, daftar perpustakaan, kliping serta referensi lain dari instansi terkait maupun Baleg, Komisi, dan Komisi Gabungan. Tim mempersiapkan daftar pertanyaan dengan cara mengadakan rapat koordinasi untuk membicarakan substansi/materi terhadap undang-undang yang akan dipantau, disertai dengan pengumpulan data dari instansi terkait dan mengundang pakar/narasumber. Tim pemantauan menerima jawaban pertanyaan dari instansi terkait di daerah, baik secara tertulis maupun tidak tertulis dengan melakukan wawancara dengan pihak terkait, disertai data-data lain yang diperlukan. Tim pemantauan menyusun dan mengkompilasi laporan
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemantauan Analisis dan Evaluasi terhadap Pelaksanaan Undang-Undang
Tahap Penyelesaian
berdasarkan hasil yang diperoleh dari daerah yang dikunjungi. Terlebih dahulu laporan tersebut dikaji, dianalisis serta dievaluasi dengan cara mengundang pakar/narasumber disertai rekomendasi untuk diamandemen/revisi terhadap undangundang maupun peraturan pelaksananya dari undang-undang yang telah dipantau. Hasil data yang diperoleh dari kunjungan ke daerah disampaikan dalam bentuk laporan yang telah diberi rekomendasi, yang kemudian disampaikan kepada Pimpinan Baleg, Komisi, dan Gabungan Komisi sebagai masukan. Tim menyampaikan surat ucapan terima kasih kepada instansi terkait, yang telah memberikan dukungan serta kerjasama dalam rangka untuk mendapatkan data dan informasi.
Mengenai kriteria undang-undang yang dipantau, dari segi waktu, responden mengambil patokan antara dua-tiga tahun ke belakang (dalam satu tahun minimal 34 undang-undang). Selain itu, Bagian Panlak UU dapat pula mengambil muatan undang-undang dimaksud , karena faktor politis yang mengiringi kemunculan dan pembahasannya, menyangkut perubahan sistem ketatanegaraan, masuk dalam daftar undang-undang prioritas atau berawal dari aspirasi dan tuntutan masyarakat. Hasil fungsi monitoring undang-undang dikomunikasikan oleh Bagian Panlak UU kepada alat-alat kelengkapan DPR yang sedang mempersiapkan RUU Usul Inisiatif DPR atau membahas RUU bersama dengan pemerintah. Responden mengambil contoh misalnya pada saat pembahasan UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-undang apa saja yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji juga dipantau oleh responden melalui Bagian Panlak UU, sehingga dapat memberikan masukan pada saat itu juga. Fungsi monitoring undang-undang dipandang semakin penting terutama pada saat responden menemukan suatu peraturan yang mengacu pada PP No. 129 Tahun 2000, padahal PP ini merujuk pada UU yang sudah tidak berlaku lagi (No. 22 Tahun 1999 yang sudah digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004). Berbagai pendekatan ditempuh responden guna mengoptimalkan fungsi monitoring. Selain media korespondensi, responden juga melakukan pendekatan personal memastikan sejauh mana proses penyusunan peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh suatu undang-undang telah dilakukan. Responden mengakui di dalam kerja-kerja pemantauan pelaksanaan undang-undang, Bagian Panlak UU bekerja sama saling mendukung dengan Pusat Pengkajian dan Pelayanan Data dan Infromasi (P3DI). Selain itu, guna menajamkan hasil kajian monitoringnya, responden juga pernah mengundang para pakar dan ahli dalam bidangnya, contohnya pada saat memantau penegakan UU tentang Perlindungan Anak. G.3.
Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang oleh Departemen Hukum dan HAM Departemen Hukum dan Ham (Dephukham) merupakan poros penting dalam monev undang-undang terutama dilihat dari sisi kepentingan pemerintah. Apalagi posisi Dephukham merupakan mitra strategis Baleg (mewakili DPR) pada saat mempersiapkan usulan perubahan atau revisi undang-undang dari pemerintah yang tertuang dalam Prolegnas. Salah seorang responden yang berada di struktur Direktorat Perancangan Perundang-undangan Dephukham menyatakan bahwa peran Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) dan Dephukham telah memenuhi kebutuhan terhadap monev undang-undang. Inisiatif monev undang-undang pun bisa berawal dari departemen teknis-sektoral atau permintaan Dephukham atau BPHN. Kalau modelnya permintaan, maka Dephukham akan menyediakan alokasi dana tersendiri. Obyek monitoring yang ditempuh oleh Dephukham lebih kepada sisi penegakan undang-undang yang menemui banyak kendala. Artinya jika dari sisi substansi undang-undang sudah baik, namun ternyata dari sisi penegak hukumnya bermasalah, maka menurut responden kondisi seperti ini bukan sesuatu yang harus ditangani pula oleh Dephukham. Saat ini, undang-undang yang mendapatkan prioritas untuk dipantau dan dievaluasi adalah undang-undang warisan zaman kolonial (KUHPer, Hukum Acara Perdata dsb). Pada saat ditanyakan tentang kriteria undang-undang yang akan dimonev, responden menjelaskan ukurannya antara lain undang-undang dimaksud merupakan undang-undang yang diberlakukan sejak zaman penjajahan, undang-undang yang berpotensi melanggar HAM, undangundang yang mengabaikan keseimbangan gender, dan undang-undang yang tidak sejalan dengan semangat reformasi. Menurut responden, monitoring terhadap undang-undang tidak harus melalui pembuatan PP. Bisa saja inisiatif, desain umum, dan obyek pemantuannya ditemukan melalui forum-forum ilmiah yang fokus membahas hal tersebut. Untuk mendapatkan itu semua, seringkali responden merekrut gagasan dan masukannya melalui dengar pendapat dengan DPR, departemen sektoral, dan LSM. Untuk menindaklanjutinya, Dephukham membentuk tim (bisa pula lintas departemen) untuk mengevaluasi undang-undang yang telah ditentukan, minimal peran Dephukham menurut responden memfasilitasi berbagai pertemuan membahas perlu atau tidak suatu undang-undang direvisi/diganti. Untuk yang permanen, responden menginformasikan kalau di BPHN sudah ada unit tersendiri yang fokus terhadap monev undang-undang yaitu Tim Evaluasi Pengkajian Peraturan Perundangundangan. Di lingkungan Dephukham, meskipun klasik, problem anggaran selalu saja muncul dan menghambat kinerja tim pemantauan. Namun demikian, responden mengakui untuk mengantisipasinya, seringkali frekuensi pertemuan atau honor tim ahli dikurangi guna menutup pos pengeluaran yang lebih penting. Peran harmonisasi yang dijalankan oleh Dephukham menurut responden juga merupakan bagian dari fungsi monitoring karena dampaknya mencoba menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan yang diintrodusir oleh dua atau lebih undangundang. Pernyatan ini disampaikan responden pada saat merespon pertanyaan tentang ukuran harmonisasi suatu undang-undang. Fungsi harmonisasi ini dijalankan oleh satu unit tersendiri di lingkungan Dephukham dan biasanya memakan waktu kurang lebih satu tahun. Dephukham sendiri sebenarnya memiliki satu badan yang disebut Seksi Evaluasi Peraturan Perundang-undangan. Namun menurut penjelasan responden, unit ini ditujukan untuk kebutuhan internal Dephukham, khususnya dalam mempersiapkan dan menyajikan data tentang monev undang-undang. Tidak tertutup kemungkinan apa yang dihasilkan oleh Seksi Evaluasi Peraturan Perundang-undangan ini menjadi konsumsi lembaga lain misalnya apa yang selama ini telah berjalan setiap enam bulan sekali, DPR meminta perkembangan dan hasil kerja organ ini. Masih dari lingkungan Dephukham, responden yang berasal dari struktur Direktorat Harmonisasi, menyatakan perlu ada mekanisme monitoring terhadap undangundang. Namun responden tidak memastikan apakah mekanisme ini built in dalam
kerja-kerja Direktorat Harmonisasi atau instansi-instansi teknis. Responden mengamati selama ini hanya perguruan tinggi yang cukup sering melakukan kajian tentang monev undang-undang. Responden pun mengiyakan bahwa praktek selama ini menunjukkan perencanaan tidak mendapatkan input dari hasil monev. G.4. Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang oleh Departemen Sektoral Seperti yang diakui responden dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), umumnya monitoring undang-undang di lingkungan departemen teknis masih jauh dari ideal, dalam artian polanya sendiri tidak ada atau belum maksimal dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas untuk memantau penegakan undangundang. Responden berpandangan bahwa domain pemantauan sebenarnya ada di DPR melalui fungsi pengawasan. Meskipun demikian, pengalaman empiris responden sendiri menunjukkan kenyataan bahwa ada di beberapa sektor, operasionalisasi kebijakan berikut sistem monevnya berjalan cukup baik. Unit Bappenas tempat responden bekerja melakukan kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (sebagai mitra) dalam melakukan monev undangundang. Model monevnya pun tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak setelah sebelumnya melewati beberapa kali diskusi. Mengenai obyek pemantauan, responden mengakui tidak semua program, hanya mengambil satu dua program yang dianggap prioritas dan realistis untuk dilakukan monev, dengan durasi waktu kegiatan monev berselang antara dua sampai tiga tahun. Ketiadaan tools dalam menjalankan sistem monev diakui responden dan ini berdampak pada output yang dihasilkan. Praktek monev yang berjalan selama ini semata-mata didasarkan pada imajinasi dan improvisasi tim. Mengenai pemilihan dan pengkerucutan dua sampai tiga program sebagai obyek pemantauan didasarkan pada dinamika dan brainstorming saja dengan mitra, bukan karena serangkaian alat yang digunakan sebagai parameter monev. Problem anggaran yang biasanya berpotensi sebagai faktor penghambat kinerja monev undang-undang dianggap responden bukanlah masalah serius. Meskipun APBN tidak menyediakan dana khusus, namun pengalaman responden menunjukkan bahwa selama ini unit tempat responden bernaung masih dapat menemukan sumber alternatif pendanaan misalnya dari lembaga donor. Cara ini ditempuh responden bersama dengan mitra pada saat mengajukan permohonan diadakannya konsultasi publik UU Pengelolaan Sumber Daya Air. Di dalam melakukan monev undang-undang, responden memandang partisipasi publik sangatlah penting karena mamfaatnya yang strategis dalam rangka membangun awareness publik terhadap suatu undang-undang. Relatif tidak ada kesulitan berarti bagi responden dalam menggalang partisipasi publik untuk memonitor suatu undang-undang. Kendala yang muncul justru bukan berada di internal instansi responden bekerja, melainkan dengan departemen-departemen sektoral, terutama menyangkut aspek koordinasi dan pengendalian. Adanya mekanisme monev yang seharusnya melibatkan peran Bappenas ternyata seringkali diabaikan begitu saja. Departemen sektoral hanya menempatkan Bappenas pada saat penilaian kebijakan saja (evaluasi), tidak termasuk fungsi monitoringnya. Bagaimana dengan departemen sektoral yang memiliki Biro Hukum? Apakah unit ini selalu terdepan dalam melakukan monev undang-undang? Menurut pengakuan responden yang berada di lingkungan Biro Hukum Departemen Perdagangan, keberadaan Biro Hukum tidak lebih dari fasilitator dalam upaya mengkaji implementasi undang-undang yang terkait dengan wewenang dan tugas Departemen
Perdagangan (misalnya UU tentang Wajib Daftar Perusahaan). Seringkali data dan informasi tentang pemantauan undang-undang dihimpun oleh unit-unit yang berada di bawah Direktorat Jenderal, karena persoalannya sudah sedemikian teknis. Biro Hukum sendiri sebatas memberikan analisis singkat atau pernah hanya menerima laporannya. Khusus mengenai penerbitan PP, peran Biro Hukum sangat sentral karena perumusan dan pembahasannya dikoordinir langsung oleh Biro Hukum. Guna memantapkan proses monev undang-undang, responden pernah menempuh kerjasama dengan pihak luar misalnya dengan Lembaga Pengembangan Manajemen (LPM) Universitas Indonesia. Metode ini bisa saja terjadi karena sifat kepentingannya melekat pada tujuan monev itu sendiri. Pengalaman responden di Biro Hukum Departemen Perdagangan tidak menunjukkan persoalan yang serius terkait dengan anggaran pengawasan undangundang. Menurut responden, masing-masing Direktorat Jenderal memiliki anggaran tersendiri dan saat ini masih mencukupi, termasuk Biro Hukum sendiri.
H. Permasalahan Seputar Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang Beragam persoalan menghadang pelaksanaan monev undang-undang. Frekuensi dan bobot permasalahannya pun bervariasi dan ini tersebar di berbagai lingkungan lembaga perencana dan pelaksana undang-undang. Praktek pelaksanaan monev undang-undang yang telah dipaparkan oleh para responden dalam penelitian ini tidak selamanya menyuguhkan fakta keberhasilan. Daftar permasalahan yang muncul dapat terus menggerogoti kualitas output monev undang-undang jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Identifikasi terhadap sumber masalah akan membantu kita menjawab pertanyaan “Darimana kita harus memulai mendorong praktek monev dan bagaimana sistem yang ideal bekerja untuk konteks Indonesia?”. Uraian berikut mendeskripsikan potret problematika seputar pelaksanaan monev undang-undang yang sering dijumpai, yaitu: H.1. Ketiadaan Pola Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang Hampir semua responden menyatakan bahwa saat ini belum ada seperangkat alat (tools) monev undang-undang yang didesain secara sistematis dan solid. Responden dari Bagian Panlak UU, departemen sektoral, maupun Bappenas menyatakan hal demikian. Apa yang sudah mereka lakukan selama ini dalam konteks monev undang-undang masih sebatas uji coba (trial error), menemukan metode yang sesuai dan tepat dengan kebutuhan masing-masing institusi. Tidak adanya tools monev undang-undang yang solid dan terintegrasi mengakibatkan hasil dari monev sendiri tidak berkontribusi positif dengan perencanaan sebagaimana diakui oleh responden dari Dephukham. Bahkan untuk menghindari persoalan tentang dukungan anggaran penegakan undang-undang, pola monev undang-undang sebenarnya dapat dilengkapi dengan cost and benefit analysis. Sulit membayangkan bagaimana suatu undang-undang telah mencapai tujuannya secara efektif dan bertanggung jawab tanpa kehadiran seperangkat alat monev dan bagaimana pula idealnya seperangkat alat tersebut bekerja. Sebut saja, sebagai contoh UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang belum bisa dievaluasi karena belum ada indikator untuk menilai pelaksanaan UU tersebut.
Muncul pertanyaan, indikatornya berwujud apa? Memiliki gradasi tersendirikah indikator tersebut? Katakanlah salah satu indikator yang bisa dipergunakan untuk mengevaluasi UU Otonomi Khusus Papua adalah peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus, karena sampai saat ini baru ada satu Perda Provinsi yaitu Nomor 4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan anggotan Majelis Rakyat Papua (MRP). Perda provinsi atau perda khusus lainnya yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat Papua belum ada. Lantas kita menyimpukan tidak ada obyek yang mau dievaluasi dan belum ada juga alasan untuk merevisi UU Otonomi Khusus Papua. Sudah tepatnya penilaian kita? H.2.
Fungsi Monitoring dan Evaluasi Undang-Undang yang Belum Terlembagakan Meskipun timbul kesadaran pentingnya fungsi monev undang-undang, namun mekanisme yang diterapkan belum terlembagakan secara komprehensif dan memandu kerja-kerja monev. Kondisi ini sebenarnya merupakan konsekuensi belum disepakatinya pola monev undang-undang di Indonesia. Seperti yang diutarakan oleh responden dari Bagian Panlak UU bahwa hasil fungsi monitoring unitnya belum tentu dimamfaatkan oleh anggota DPR pada saat berhadapan dengan pemerintah dalam konteks menjalankan fungsi pengawasan. Bahkan, pada saat DPR menjalankan fungsi pengawasan, Bagian Panlak UU tidak dilibatkan. Fungsi monev undang-undang yang belum terlembaga nampak pada lamanya penelusuran data dan informasi (atau mungkin bisa juga data dimaksud tidak tersedia) di berbagai departemen terkait. Tidak ada patokan waktu yang jelas, kesadaran yang masih minim akan pentingnya mobilitas data dan informasi yang cepat dalam membantu kerja-kerja monev, ditambah dengan keruwetan sistem birokrasi yang melanda pelayanan instansi pemerintah menambah deretan persoalan pelembagaan fungsi monev undang-undang. Melembagakan fungsi monev tidak cukup hanya mengandalkan pembentukan semacam tim ad hoc. Dalam kondisi keterbatasan SDM, anggaran, atau penguasaan substansi undang-undang, pembentukan tim ad hoc masih dianggap wajar dilakukan. Namun jika kita ingin mendorong pelembagaan fungsi monev yang built in di setiap lembaga penegak undang-undang dan dengan tahapan perencanaan, keberadaan tim ad hoc tidak membantu. Bahkan menurut responden dari Departemen Perdagangan, pembentukan semacam tim ad hoc menunjukkan sisi lemah koordinasi karena sebenarnya pembagian kerja untuk urusan monev telah tuntas dan jelas siapa saja eksekutornya. Selama ini praktek monev undang-undang melalui pembentukan tim ad hoc cukup sering ditempuh sebagai metode alternatif. Salah satunya yang dilakukan oleh BPHN seperti yang dimuat dalam tabel berikut: No 1.
Sumber
Penjelasan
Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Fungsi Asuransi dalam Penanggulangan Pencemaran Lingkungan. Disusun oleh tim kerja yang diketuai oleh Sudarsono S.H. di bawah koordinasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Laporan dimaksud berisikan tentang kegiatan analisis dan evaluasi hukum untuk mengetahui sejauhmana fungsi asuransi dapat diterapkan dalam menanggulangi pencemaran lingkungan hidup. Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan tersebut adalah: a. Menginventarisasi peraturan perundangundangan yang ada kaitannya dengan fungsi asuransi dalam penanggulangan pencemaran
No
Sumber Tahun 1997/1998.
2.
Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Pungutan Daerah di Luar Ketentuan Pajak. Disusun oleh tim kerja yang diketuai oleh H. Rachmat Achyar S.H. di bawah koordinasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Tahun 1997/1998.
Penjelasan lingkungan; b. Menemukan permasalahan terhadap fungsi asuransi dalam menanggulangi pencemaran lingkungan yang belum tertuang dalam peraturan perundang-undangan; c. Memberikan saran-saran/rekomendasi yang bermamfaat bagi pembangunan hukum asuransi terhadap penanggulangan pencemaran lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan satu sistem hukum nasional. Ruang lingkup bahasan kegiatan analisis dan evaluasi ini berpedoman pada GBHN 1993 bidang hukum yang terdiri atas sektor-sektor materi hukum, aparat hukum dan sarana prasarana. Akan membahas segala permasalahan yang berkaitan dengan: a. Lembaga; b. Mekanisme; c. Prosedur; d. Tenaga ahli; dan e. Sarana fisik dan non fisik Metode pendekatan yang dipergunakan dalam kegiatan analisis dan evaluasi ini adalah studi kepustakaan yang didukung oleh pendapatpendapat para ahli di bidang asuransi dan lingkungan hidup dengan analisis kualitatif yang menitikberatkan pada formalitas hukum positif. Hal terpenting berisikan tentang maksud dan tujuan, ruang lingkup, metodelogi, identifikasi permasalahan. Maksud dari pembentukan tim Analisis dan Evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pungutan daerah di luar ketentuan pajak mampu meng-cover permasalahan dengan menganalisis dan mengevaluasi kelemahan, kendala, dan hambatan yang dihadapi. Adapun tujuannya sebagai masukan bagi perencanaan dan pembentukan serta pengembangan hukum nasional yang sesuai antara kebutuhan dan keinginan daerah dengan kepentingan nasional. Ruang lingkup pembahasan analisis dan evaluasi hukum tentang pungutan daerah di luar ketentuan pajak ini mencakup: a. Menginventarisasi permasalahan tentang semua jenis pungutan yang terdapat di daerah di luar ketentuan pajak daerah terutama pungutan yang mempunyai dasar hukum baik di tingkat nasional maupun daerah; b. Menginventarisasi peraturan perundangundangan yang mengatur pungutan daerah di luar ketentuan pajak daerah; c. Analisis dan evaluasi terhadap permasalahan dan materi peraturan perundang-undangan yang terkait; dan d. Merekomendasikan tentang langkah-langkah kegiatan berikutnya untuk pembangunan hukum yang meliputi: - aspek materi hukum - aspek kelembagaan/aparatur
No
Sumber
Penjelasan - aspek sarana dan prasarana Metodologi yang dipergunakan dalam kegiatan ini adalah berupa pengumpulan data yaitu: a. Data primer yang didapat dari instansi yang terkait; b. Data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan berupa ketentuan perundangundangan; c. Dengar pendapat dengan nara sumber; dan d. Kegiatan diskusi
H.3. Partisipasi Publik yang Minim Mengingat mekanisme monev masih merupakan barang langka, mengakibatkan partisipasi publik tidak mendapatkan perhatian yang terlalu besar. Pada level perencanaan undang-undang, metode pengolahan aspirasi belum menemukan track yang tepat. Kondisi ini tanpa disadari bisa menular pada tahapan monev undangundang. Pengolahan gagasan dan masukan masyarakat dalam konteks monev undangundang berbeda dibandingkan pada saat perencanaan. Masyarakat dipastikan lebih mempersiapkan argumentasi dan pandangannya berdasarkan pengamatan periodik dan kajian yang lebih mendalam karena aspirasi yang disuarakan merupakan rangkuman kegagalan sebuah undang-undang dan desakan perbaikan baik dari segi substansi maupun penegakannya. Jangan sampai pola monev undang-undang menyederhanakan atau merespon dangkal partisipasi publik. H.4. Keterbatasan Anggaran Anggaran yang terbatas acapkali dianggap persoalan klasik yang melanda hampir semua institusi pemerintah. Namun, kehadiran suatu badan baru yang diharapkan mampu menjalankan mekanisme monev undang-undang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari sisi anggaran. Bagaimana ekspektasi akan muncul dan terus terpelihara jika aspek penganggaran dibiarkan tidak terurus dengan baik. Kondisi inilah yang melanda Bagian Panlak UU Setjen DPR. Sebagian anggota DPR belum memahami bahwa Bagian Panlak UU memegang posisi strategis. Hal ini tercermin pada mata anggaran pemantauan pelaksanan undang-undang yang menurut pengakuan responden tidak sebanding dengan load kerja anggota Bagian Panlak UU. Jika anggarannya mencukupi, bisa saja fungsi pemantauan terhadap undang-undang yang tadinya empat undang-undang per tahun, dapat ditambah mengingat dalam waktu setahun DPR membahas lebih dari empat RUU.