PENGELOLAAN LINGKUNGAN PASCA-AMDAL, UKL/UPL ATAU ISO 14001 PADA INDUSTRI KIMIA DI KABUPATEN BOGOR
AGUS DWI WAHYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengelolaan Lingkungan Pasca-AMDAL, UKL/UPL atau ISO 14001 pada Industri Kimia di Kabupaten Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir dari tesis ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Januari 2009
Agus Dwi Wahyono (P 051064154)
ii
ABSTRACT Agus Dwi Wahyono, 2009. The Environmental Management of Post AMDAL, UKL/UPL or ISO 14001 for Chemical Industry in Bogor Regency. Under direction of Imam Santosa and Surjono H.Sutjahjo. Chemical industrial existence in Bogor Regency can support economic activities and region original income it self. On the other hand these activities can also make some problems to the environment especially for nature and environment resources degradation. The government has been made some instruments to prevent and handle the environmental impact there are mandatory rule names “AMDAL” (environmental impact assessment) or UKL/UPL (environmental management and monitoring effort) and voluntary rule names environmental management system (ISO 14001). The environmental management and monitoring implementation that had been reported routinely by the industries is still low (6 % from total industry). This research is aimed to know the environmental management performance, regulation compliance fidelity and formulating the environmental management strategic after implementation of AMDAL, UKL/UPL or ISO 14001 rules. The methods of the research are: 1) trend analysis 2) descriptive analysis and 3) analytical hierarchy process. Result of the research indicated that the environmental performance for 50% sampling industries includes in “blue-” criteria, 37.5% includes in “red+” criteria and 12.5% includes in “blue+“ criteria which is ISO 14001 certified industry. Based on the environmental compliance criteria by Proper, generally the uncertified chemical industries have been followed the environmental management but not all of environmental aspect complied with the regulation of environmental standard. The periodically environmental monitoring indicated that the industries have been fulfilled the environmental compliance, but some environmental parameter still exceed the standard such as BOD, COD, TSS, fenol, total particulate and noise. The implementation report still not fulfilled the technical guidance that mentioned on the Decree of Regional Planning and Environmental Office Head of Bogor Regency number 03C year 2007. The result of analytical hierarchy process show that the highest priority strategy of environmental management is environmental management follow up with 0.496 score, the implementation mechanism of environmental management reporting with 0.289 score and increasing communication forum on environmental management with 0.215 score. Key words : environmental performance, environmental degradation, environmental management system, environmental monitoring program, chemical industry.
iii
RINGKASAN Agus Dwi Wahyono, 2009. Pengelolaan Lingkungan Pasca-AMDAL, UKL/UPL atau ISO 14001 pada Industri Kimia di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Imam Santosa dan Surjono Hadi Sutjahjo. Keberadaan industri kimia di Kabupaten Bogor dapat menunjang kegiatan perekonomian dan pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten. Namun di lain pihak kegiatan tersebut juga menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan hidup yaitu degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Permasalahan lingkungan yang dimaksud adalah degradasi sumberdaya alam dan lingkungan seperti pencemaran air, polusi udara, degradasi lahan, dan keterbatasan sumberdaya alam serta masalah sosial. Dokumen yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan lingkungan ini adalah AMDAL/UKL-UPL yang sifatnya wajib (mandatory) dan sertifikasi SML ISO 14001 yang sifatnya sukarela (voluntary). Meskipun telah disusun kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup, namun hingga saat ini masih terdapat permasalahan lingkungan yang muncul. Kondisi tersebut disebabkan oleh karena masih belum optimalnya kegiatan implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait baik dari segi pelaku industri, instansi pengawas kegiatan pasca-AMDAL, UKL/UPL maupun instansi lainnya serta masyarakat. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor (2007), tercatat bahwa kuantitas implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilaporkan secara rutin dari industri masih sangat kecil (6%). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja lingkungan industri kimia terhadap pengelolaan lingkungan hidup terutama pasca-AMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001, mengetahui tingkat ketaatan perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang tertera pada dokumen AMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001 dan merumuskan strategi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pasca-AMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001 pada sektor industri kimia. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Desember 2008. Metode pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder, data primer berupa hasil wawancara dengan responden karyawan perusahaan, masyarakat di sekitar industri penelitian dan pihak pemangku kepentingan (stakeholder). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 1) analisis kecenderungan menggunakan software SPSS versi 15 dan dilanjutkan dengan penilaian skoring berdasarkan modifikasi kriteria proper (KLH, 2008), 2) analisis ketataan menggunakan analisis deskriptif terhadap baku mutu lingkungan dan 3) analisis kebijakan menggunakan analisis hirarki proses dengan software expert choice versi 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan lingkungan industri secara umum (50%) termasuk dalam kriteria ”biru-”; 37,5% perusahaan termasuk ”merah+” dan 12,5% perusahaan yang telah bersertifikat ISO 14001 termasuk dalam kriteria ”biru+”. Berdasarkan kriteria tersebut dapat dikatakan
iv
bahwa perusahaan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan kriteria ketaatan lingkungan dari Proper, maka sebagian besar perusahaan penelitian yang belum bersertifikat ISO 14001 telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Hasil pemantauan lingkungan kualitas air secara berkala mengindikasikan bahwa sebagian industri telah memenuhi persyaratan ketaatan lingkungan, namun masih ada beberapa parameter yang melebihi baku mutu sesuai SK Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999 yaitu parameter BOD, COD, TSS dan fenol. Pemantauan kualitas udara ambien menunjukkan bahwa parameter debu masih ada yang melebihi baku mutu PP 41 tahun 1999 dan kebisingan masih ada yang melebihi baku tingat kebisingan yang tertuang dalam Kep 48/MENLH/II/1996. Dilihat dari sistematika pelaporan masih belum memenuhi petunjuk teknis sesuai SK Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (DTRLH) Kabupaten Bogor No. 03C tahun 2007. Hasil analisis hirarki proses menunjukkan bahwa sebagai aktor yang lebih berperan di dalam penentuan kebijakan pengelolaan lingkungan adalah instansi pembina dalam hal ini DTRLH Kabupaten Bogor (0.542), dibandingkan dengan kedua aktor lainnya yaitu industri kimia (0.238) dan masyarakat (0.219). Sedangkan prioritas tertinggi strategi kebijakan pengelolaan lingkungan adalah tindak lanjut pengelolaan lingkungan dengan skor 0.496, penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan dengan skor 0,289 dan peningkatan peranan forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan dengan skor 0,215. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar perusahaan penelitian yang belum bersertifikat ISO 14001 telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kinerja yang belum tercapai dengan baik adalah dokumentasi lingkungan dan masalah sosial terutama terkait dengan keterlibatan tenaga kerja dan pemberdayaan masyarakat. Aktor yang lebih berperan di dalam penentuan kebijakan pengelolaan lingkungan adalah DTRLH Kabupaten Bogor, sedangkan strategi kebijakan yang menjadi prioritas utama adalah tindak lanjut pengelolaan lingkungan. Saran dalam penerapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup adalah 1) perlu perhatian lebih dari industri terhadap masyarakat sekitarnya untuk dapat terlibat di dalam kegiatan operasional perusahaan dan melaksanakan program sosial yang lebih bermanfaat seperti pemberdayaan masyarakat, 2) perlu dilakukan sosialisasi lanjut tentang petunjuk teknis sesuai SK Kepala DTRLH Kabupaten Bogor No. 03C tahun 2007, 3) upaya tindak lanjut berupa sanksi (punishment) dan penghargaan (reward) bagi perusahaan perlu mulai diterapkan oleh DTRLH Kabupaten Bogor untuk lebih meningkatkan tercapainya pembangunan yang berwawasan lingkungan 4) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama bagi sektor kegiatan lainnya di luar industri kimia yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
v
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipam hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
PENGELOLAAN LINGKUNGAN PASCA-AMDAL, UKL/UPL ATAU ISO 14001 PADA INDUSTRI KIMIA DI KABUPATEN BOGOR
Oleh : Agus Dwi Wahyono (P 051064154)
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
vii
Penguji Luar Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS
viii
Judul Tesis
: Pengelolaan Lingkungan Pasca AMDAL, UKL/UPL atau ISO 14001 pada Industri Kimia di Kabupaten Bogor
Nama
: Agus Dwi Wahyono
NRP
: P 051064154
Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Imam Santosa, MS Ketua
Prof.Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS
Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, atas dielesaikannya tesis ini yang berjudul ”Pengelolaan Lingkungan Pasca AMDAL, UKL/UPL atau ISO 14001 pada Industri Kimia di Kabupaten Bogor”. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.Ir. Imam Santosa MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan dan penyusunan tesis ini, semoga amal ibadahnya mendapat ridho dari Allah swt.
Bogor, Januari 2009
Agus Dwi Wahyono
x
RIWAYAT HIDUP
Agus Dwi Wahyono. Penulis lahir di Banjarnegara - Jawa Tengah pada tanggal 04 Agustus 1963. Penulis mengenyam pendidikan dasar di SD Taman Maluku Semarang diselesaikan pada tahun 1976, kemudian dilanjutkan di SMPN 2 Semarang dan selesai pada tahun 1979 serta lulus dari SMAN 1 Semarang pada tahun 1982.
Gelar sarjana diperoleh pada tahun 1987 dari Institut Pertanian
Bogor, Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian dan pada tahun 2007 mengikuti pendidikan Magister (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga telah mengikuti pendidikan informal antara lain : Kursus DasarDasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (tipe A) yang dilaksanakan di PSL UNILA Lampung pada tahun 1988, Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan bidang PU di Jakarta pada tahun 1991, Kursus Pemodelan / Simulasi Hydrodinamika yang dilaksanakan di ITB Bandung pada tahun 1993, Kursus Penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (tipe B) yang dilaksanakan di PPLH-LP IPB Bogor pada tahun 1994, Pelatihan Pengenalan ISO 14001 yang dilaksanakan di Jakarta tahun 1997 dan Pelatihan Audit Internal Sistem Manajemen Mutu 9001 : 2000 yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2006. Riwayat pekerjaan penulis yaitu sebagai Kepala Pabrik PT Umas Jaya Farm di Lampung dari tahun 1987 sampai 1990. Sejak tahun 1990 sampai saat ini penulis bekerja di perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konsultansi PT Wiratman & Associates di Jakarta, dan saat ini menjabat sebagai Kepala Divisi Teknik Lingkungan. Bogor, Januari 2009 Agus Dwi Wahyono
xi
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ix DAFTAR TABEL................................................................................................xii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 3 1.3. Perumusan Masalah ................................................................................... 6 1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................................8
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................9 2.1. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup .............................................. 9 2.2. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 ........................................... 11 2.3. Studi Lingkungan.....................................................................................15 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu.......................................................................16
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ..............................................18 3.1. Geografis Kabupaten Bogor ....................................................................18 3.2. Perkembangan Kondisi Industri di Kabupaten Bogor ............................. 18 3.2.1. Industri Nonfasilitas ..................................................................... 20 3.2.2. Industri dengan Fasilitas................................................................20 3.3. Permasalahan Industri di Kabupaten Bogor............................................. 21 3.4. Deskripsi Singkat Perusahaan Penelitian................................................. 24
xii
Halaman IV. METODE PENELITIAN .............................................................................32 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 32 4.2. Lingkup Penelitian ................................................................................... 32 4.2.1. Industri yang Diteliti ..................................................................... 32 4.2.2. Wilayah Studi ................................................................................ 33 4.2.3. Obyek Penelitian ........................................................................... 33 4.2.4. Populasi Sampel ...........................................................................35 4.3. Rancangan Penelitian............................................................................... 36 4.3.1. Studi Kinerja Pengelolaan Lingkungan ........................................36 4.3.2. Studi Tingkat Ketaatan Pengelolaan Lingkungan .........................42 4.3.3. Perumusan Strategi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan..............44 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................47 5.1. Kinerja Pengelolaan Lingkungan Industri Kimia .................................... 47 5.1.1. Dokumentasi Lingkungan ............................................................. 47 5.1.2. Kinerja Pengendalian Limbah Cair ...............................................52 5.1.3. Kinerja Pengendalian Kualitas Udara ........................................... 66 5.1.4. Kinerja Pengendalian Limbah Padat B3........................................77 5.1.5. Masalah Sosial............................................................................... 79 5.1.6. Rangkuman Penilaian Kinerja Lingkungan Perusahaan ............... 83 5.2. Ketaatan Lingkungan Organisasi ............................................................. 87 5.2.1. Pengendalian Limbah Cair ............................................................ 87 5.2.2. Pengendalian Kualitas Udara ........................................................89 5.2.3. Sistematika Pelaporan Implementasi..................... ........................90 5.3. Strategi Kebijakan Implementasi Pengelolaan Lingkungan .................... 91 5.3.1. Hasil Analisis Kebijakan ..............................................................92 5.3.2. Tindak Lanjut Pengelolaan Lingkungan ......................................95 5.3.3. Penyempurnaan Mekanisme Pelaporan Implementasi Pengelolaan Lingkungan ...............................................................98 5.3.4. Peningkatan Peranan Forum Komunikasi dalam Pengelolaan Lingkungan.............................................................100
xiii
Halaman VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................102 6.1. Kesimpulan ...........................................................................................102 6.2. Saran.......................................................................................................103 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................104 LAMPIRAAN ....................................................................................................107
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Teks
Halaman
Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kinerja lingkungan dan implementasi AMDAL/UKL-UPL dan ISO 14001................................ 17
2. Frekuensi pelaporan dokumen pasca-AMDAL atau UKL/UPL ....................23 3.
Distribusi responden masyarakat di sekitar industri....................................... 36
4.
Kategori penilaian kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan .................... 42
5.
Responden stakeholder...................................................................................44
6.
Penilaian kriteria berdasarkan skala perbandingan Saaty (1993)...................46
7.
Hasil penilaian kinerja berdasarkan dokumentasi lingkungan ....................... 51
8.
Kecenderungan konsentrasi pH...................................................................... 54
9.
Kecenderungan konsentrasi TSS....................................................................55
10. Kecenderungan konsentrasi BOD .................................................................. 57 11. Kecenderungan konsentrasi COD .................................................................. 59 12. Kecenderungan konsumsi energi listrik dan air ............................................. 62 13. Hasil penilaian kinerja berdasarkan pengelolaan limbah cair ........................ 65 14. Kecenderungan konsentrasi CO ..................................................................... 67 15. Kecenderungan konsentrasi NO2 ...................................................................69 16. Kecenderungan konsentrasi SO2.................................................................... 70 17. Kecenderungan konsentrasi debu ................................................................... 71 18. Kecenderungan tingkat kebisingan................................................................. 73 19. Hasil penilaian kinerja berdasarkan pengelolaan polusi udara....................... 76 20. Hasil penilaian kinerja berdasarkan pengelolaan limbah B3 dan masalah sosial .......................................................................................... 78 21. Hasil penilaian kinerja lingkungan perusahaan ..............................................84
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Teks
Halaman
1.
Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ................................................... 5
2.
Diagram alir perumusan masalah .................................................................... 7
3.
Perkembangan jumlah industri kimia di Kabupaten Bogor .......................... 20
4. Kondisi kualitas BOD Sungai Cileungsi (2005-2007) ................................... 22 5. Kondisi kualitas COD Sungai Cileungsi (2005-2007) ................................... 22 6.
Peta lokasi penelitian......................................................................................32
7.
Kecenderungan konsentrasi pH pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001).....................................................................................54
8.
Kecenderungan konsentrasi pH pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001)...............................................................................54
9. Kecenderungan konsentrasi TSS pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001)....................................................................................56 10. Kecenderungan konsentrasi TSS pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001)...............................................................................56 11. Kecenderungan konsentrasi BOD pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001).....................................................................................57 12. Kecenderungan konsentrasi BOD pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001)...............................................................................58 13. Kecenderungan konsentrasi COD pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001)......................................................................................59 14. Kecenderungan konsentrasi COD pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001)................................................................................59 15. Kecenderungan pemakaian listrik (sertifikat ISO 14001) ...............................61 16. Kecenderungan pemakaian listrik (nonsertifikat ISO 14001) .........................62 17. Kecenderungan pemakaian air (sertifikat ISO 14001) .................................... 63 18. Kecenderungan pemakaian air (nonsertifikat ISO 14001) .............................. 64 19. Kecenderungan konsentrasi CO (sertifikat ISO 14001) .................................. 67 20. Kecenderungan konsentrasi CO (nonsertifikat ISO 14001)............................68
xvi
Gambar
Teks
Halaman
21. Kecenderungan konsentrasi NO2 (sertifikat ISO 14001).................................69 22. Kecenderungan konsentrasi NO2 (nonsertifikat ISO 14001)...........................69 23. Kecenderungan konsentrasi SO2 (sertifikat ISO 14001)..................................70 24. Kecenderungan konsentrasi SO2 (nonsertifikat ISO 14001)............................71 25. Kecenderungan konsentrasi debu (sertifikat ISO 14001)................................72 26. Kecenderungan konsentrasi debu (nonsertifikat ISO 14001)..........................72 27. Kecenderungan tingkat kebisingan (sertifikat ISO 14001)..............................73 28. Kecenderungan tingkat kebisingan (nonsertifikat ISO 14001)........................74 29. Distribusi bantuan sosial kepada masyarakat...................................................80 30. Jenis dampak yang dirasakan masyarakat sekitar............................................81 31. Persentase penilaian kinerja pengelolaan lingkungan (ISO14001)..................86 32. Persentase penilaian kinerja pengelolaan lingkungan (nonISO14001)............86 33. Strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan industri kimia .......94
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Teks
Halaman
1. Daftar industri kimia yang melakukan implementasi pengelolaan lingkungan .....................................................................................................106 2. Panduan penilaian kinerja lingkungan industri kimia di Kabupaten Bogor.. 108 3. Hasil penilaian kinerja perusahaan................................................................115 4. Data hasil pemantauan air limbah periode 2004-2007 PT SU ...................... 118 5. Hasil analisis regressi pemantauan kualitas air PT SU ................................. 120 6. Hasil pemantauan kualitas air PT DW ........................................................ 124 7. Hasil analisis regressi pemantauan kualitas air PT DW............................... 125 8. Hasil pemantauan kualitas air PT IND .......................................................... 129 9. Hasil analisis regressi pemantauan kualitas air PT IND ............................... 130 10. Hasil Pemantauan kualitas air PT AG ........................................................... 133 11. Hasil analisis regressi pemantauan kualitas air PT AG................................. 134 12. Hasil pemantauan kualitas air PT M3 ........................................................... 138 13. Hasil analisis regressi pemantauan kualitas air PT M3 ................................. 139 14. Penilaian pengetahuan karyawan tentang lingkungan (sertifikat ISO 14001)) ..................................................................................143 15. Penilaian pengetahuan karyawan tentang lingkungan (nonsertifikat ISO 14001)..............................................................................149 16. Hasil pemantauan kualitas udara (sertifikat ISO 14001)...............................153 17. Hasil pemantauan kualitas udara (nonsertifikat ISO 14001).........................154 18. Hasil analisis regresi kualitas udara (sertifikat ISO 14001) ..........................153 19. Hasil analisis regresi kualitas udara (nonsertifikat ISO 14001) ....................160 20. Hasil analisis AHP kinerja pengelolaan lingkungan .....................................165 21. Kuesioner kinerja dan ketaatan lingkungan ..................................................167 22. Daftar isian karyawan....................................................................................171 23. Kuesioner masyarakat sekitar industri........................................................... 175 24. Panduan pelaksanaan AHP............................................................................179
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sumberdaya alam beserta lingkungan merupakan suatu kesatuan sistem
ekologis atau ekosistem yang mempunyai manfaat langsung dan tak langsung bagi manusia. Dalam ekosistem sumberdaya alam ini manusia merupakan konsumen yang berperan aktif dalam proses produksi dan pendayagunaan sumberdaya alam. Seiring dengan peningkatan perkembangan penduduk secara langsung maupun tidak langsung akan diiringi dengan peningkatan kegiatan pembangunan. Pembangunan pada hakekatnya adalah gangguan terhadap keseimbangan lingkungan, yaitu usaha sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang dianggap kurang baik ke keseimbangan baru pada tingkat kualitas yang dianggap lebih tinggi. Di sisi lain, pembangunan juga akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam ekosistem sehingga dapat berpengaruh terhadap sumberdaya lainnya. Kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kualitas hidup disertai peningkatan konsumsi sumberdaya alam serta degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagian kalangan bisnis masih melihat bahwa lingkungan sebagai sesuatu yang tidak terbatas, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa degradasi lingkungan dapat disebabkan karena pola pendekatan yang tidak ramah lingkungan. Dalam tatanan sosial sekarang, kerusakan lingkungan dan degradasi mutu lingkungan terjadi antara lain karena adanya pelanggaran implementasi hukum lingkungan oleh kalangan bisnis, walupun tidak semuanya harus dilimpahkan ke pihak industri karena individu, masyarakat bahkan negara juga punya andil dalam kerusakan lingkungan. Meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup juga disebabkan adanya egosentris daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam. Degradasi sumberdaya alam dan lingkungan juga telah terjadi di wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Bogor (2007), disebutkan bahwa isu utama degradasi sumberdaya alam dan lingkungan adalah rendahnya mutu air sungai, pencemaran air limbah, penurunan kualitas udara, kerusakan lahan akibat penambangan dan tingginya perusahaan yang
2
belum mengelola limbah B3nya dengan baik. Salah satu kontribusi terbesar yang mempengaruhi terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan tersebut adalah meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah industri di Kabupaten Bogor. Untuk mengatasi masalah degradasi sumberdaya alam dan lingkungan diperlukan instrumen untuk pencegahan dan penanggulangan yang didukung oleh mekanisme berupa perangkat peraturan perundang-undangan. Untuk mencegah dan mengurangi pengaruh negatif dan resiko yang mungkin terjadi perlu dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang telah diatur di dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982. Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986. Kedua peraturan tersebut menyebutkan bahwa semua rencana kegiatan yang diprakirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib disertai dengan studi AMDAL. Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1986 disebutkan bahwa bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak ada dampak pentingnya harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).
Peraturan tersebut kemudian direvisi
menjadi Undang-Undang No. 23 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1999. AMDAL atau UKL & UPL merupakan suatu kebijakan pemerintah yang sifatnya wajib (mandatory) dalam upaya pencegahan dampak lingkungan dan sekaligus merupakan bagian dari dokumen perijinan mendirikan bangunan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup pada perusahaan dapat dilakukan dengan penerapan sistem manajemen lingkungan (SML). Standar sistem manajemen lingkungan merupakan standar yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh berbagai perusahaan, diantaranya adalah standar ISO seri 14001 (SML ISO 14001). Sebagaimana telah dipahami bersama oleh segenap pemangku kepentingan (stakeholder), perolehan sertifikat ISO 14001 tentunya bukan merupakan tujuan akhir dari penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, namun merupakan langkah awal yang baik untuk senantiasa meningkatkan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan prinsip continual improvement oleh suatu perusahaan. SML ISO 14001 merupakan suatu perangkat pengelolaan
3
lingkungan hidup yang sifatnya sukarela (voluntary) yang bertujuan untuk mencapai perbaikan pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan yang mengutamakan ketaatan terhadap peraturan (Hadiwiardjo, 1997). Kedudukan RKL dan RPL dalam proses AMDAL atau UKL/UPL sangat penting, terutama pada saat operasional. Dari sudut hukum, RKL dan RPL merupakan sarana pengelolaan, pemantauan dan pengawasan atas ditaatinya ketentuan perundang-undangan yang bertalian dengan baku mutu lingkungan dan prosedur administratif untuk kepentingan inspeksi (inspection procedure) oleh instansi yang bertanggung jawab setelah ijin dikeluarkan. Apabila suatu industri telah menerapkan hasil studi AMDAL terutama yang tertuang dalam dokumen RKL dan RPL atau UKL & UPL dan telah mendapatkan sertifikat SML ISO 14001, mengindikasikan bahwa kinerja manajemen lingkungan industri tersebut dapat dikatakan baik. Berbagai perusahaan telah mempunyai dokumen AMDAL atau UKL & UPL, bahkan sudah ada yang mendapatkan sertifikat SML ISO 14001, namun dalam kenyataan di lapangan seringkali masih terjadi masalah lingkungan diantaranya berupa penurunan kualitas air sungai, pencemaran air limbah, penurunan kualitas udara, dan kerusakan lahan seperti yang tejadi di Kabupaten Bogor. Meskipun beberapa perusahaan di Kabupaten Bogor telah memiliki sertifikat SML ISO 14001 dan telah melaksanakan implementasi pengelolaan lingkungan, namun sampai saat ini belum ada suatu informasi dan data mengenai kinerja pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan pada industri kimia. Agar program konservasi sumberdaya alam dan pencegahan terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan dapat terlaksana dengan baik, maka perlu dilakukan evaluasi tentang kinerja pengelolaan lingkungan hidup pasca-AMDAL, UKL/UPL dan sertifikasi ISO 14001, sehingga diharapkan akan diperoleh informasi tentang kinerja pengelolaan lingkungan hidup industri kimia terutama di wilayah Kabupaten Bogor. 1.2.
Kerangka Pemikiran Keberadaan industri kimia di Kabupaten Bogor merupakan kegiatan yang
sangat menunjang kegiatan perekonomian dan pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten. Namun di lain pihak kegiatan tersebut juga menimbulkan
4
permasalahan terhadap lingkungan hidup setempat seperti pencemaran air, polusi udara, degradasi lahan, dan keterbatasan sumberdaya alam serta masalah sosial. Dokumen operasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan lingkungan ini adalah RKL dan RPL atau UKL-UPL yang sifatnya wajib (mandatory) dan sertifikasi SML ISO 14001 yang sifatnya sukarela (voluntary). Dengan demikian implementasi RKL dan RPL atau UKL-UPL dan SML ISO 14001 merupakan instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang bijaksana untuk dapat mengatasi permasalahan lingkungan yang ada sehingga dapat dicapai sinergitas lingkungan antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Prosedur pengelolaan lingkungan hidup melibatkan seluruh unsur dalam perusahaan baik mulai dari pihak manajemen puncak (top management), pelaksana di lapangan serta instansi yang berwenang sebagai pengawas pelaksanaan di lapangan. Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup telah dicanangkan sejak disyahkannya Undang-Undang No 4 Tahun 1982 hingga Undang-Undang No 23 Tahun 1997 dan implementasinya ditunjang oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Pemerintah Kabupaten Bogor telah melengkapi kebijakan tersebut melalui Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor No. 03.C Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Meskipun telah disusun kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup, namun hingga saat ini masih terdapat permasalahan lingkungan yang muncul. Kondisi tersebut disebabkan oleh karena masih belum optimalnya kegiatan implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait baik dari segi pelaku industri kimia, instansi pengawas kegiatan pasca-AMDAL, UKL/UPL maupun instansi lainnya serta masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan analisis kinerja pengelolaan lingkungan hidup terutama pasca-AMDAL, UKL/UPL dan penerapan SML ISO 14001 dalam upaya penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
5
pengendalian lingkungan hidup. Hasil studi ini diharapkan dapat mengetahui sejauh mana kinerja pengelolaan dilakukan dan bagaimana merumuskan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang efektif sehingga tercapai sistem pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan prinsip-prinsip perbaikan secara terus menerus (continual improvement). Diagram kerangka pemikiran penelitian ini secara sistematis seperti tertera pada Gambar 1 berikut.
Kegiatan Industri Kimia
Proses Produksi
Permasalahan Lingkungan
Pencemaran Air
Keterbatasan Sumberdaya Alam
Degradasi Lahan
Polusi Udara
Masalah Sosial
Pengelolaan Lingkungan Hidup
AMDAL/ UKL UPL
SML ISO 14001
Kebutuhan Stakeholder Implementasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengawasan
Review Dokumen Implementasi
Review Kebijakan
Analisis Kinerja Lingkungan
Rumusan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Industri Kimia
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
6
1.3.
Perumusan Masalah Implementasi RKL & RPL atau UKL & UPL dan SML ISO 14001 di
beberapa industri merupakan dokumen operasional dalam pengelolaaan lingkungan hidup. Implementasi tersebut dapat melihat sejauh mana dampak lingkungan terjadi, bagaimana pengelolaan yang telah dilakukan dan sejauh mana pemantauan dampak lingkungan hidup telah dilakukan.
Sehingga dengan
implementasi diharapkan akan dapat mengendalikan dan mencegah dampak negatif yang akan terjadi selanjutnya. Dalam pelaksanaannya kedua instrumen pengelolaan lingkungan hidup tersebut juga menimbulkan permasalahan di tingkat manajemen perusahaan yaitu bagaimana mengukur kinerja pengelolaan lingkungan hidup setelah penerapan RKL dan RPL atau UKL/UPL dan SML ISO 14001 dalam menjamin tercapainya peningkatan efektivitas pengelolaan lingkungan hidup secara berkesinambungan. Kinerja pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan melakukan review terhadap kebijakan dan dokumen implementasi pengelolaan lingkungan hidup. Review kebijakan dilakukan terhadap produk yang dihasilkan oleh pemerintah yang telah ada baik pada tingkat nasional maupun regional seperti tentang baku mutu lingkungan hidup, pelaksanaan/penerapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Sedangkan review dokumen implementasi merupakan telaah terhadap pelaporan yang telah dibuat oleh industri kimia dalam rangka mengukur dampak yang terjadi, pengelolaan dan pemantauan yang telah dilakukan selama operasional. Dengan melakukan review terhadap dokumen implementasi maka dapat
diukur
kinerja
pengelolaan
yang
telah
dilakukan
oleh
suatu
perusahaan/industri kimia. Dengan mengetahui kinerja perusahaan/industri kimia dan kebutuhan stakeholder akan pengelolaan lingkungan hidup yang berprinsip pada perbaikan secara terus menerus (continual improvement), maka rumusan kebijakan lingkungan pasca AMDAL/UKL-UPL dan sertifikasi ISO 14001 dapat diformulasikan sesuai dengan kondisi yang ada.
7
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah sebagai berikut : a) Sejauh mana kinerja pengelolaan lingkungan hidup pada industri kimia terutama pasca-AMDAL, UKL/UPL dan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 ? b) Bagaimana tingkat ketaatan industri kimia terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang tertera dalam dokumen RKL/RPL, UKL/UPL dan/atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001 ? c) Bagaimana strategi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pada sektor industri khususnya industri kimia pasca-AMDAL, UKL/UPL dan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 ?
Kegiatan Industri Kimia
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Review Kebijakan
Pengawasan
Review Dokumen Implementasi
Analisis Kinerja Lingkungan
Rumusan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Industri Kimia
Gambar 2. Diagram alir perumusan masalah
8
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengkaji kinerja
pengelolaan lingkungan hidup setelah implementasi AMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001 dikaitkan dengan kebijakan pengelolaan lingkungan pada suatu industri kimia. Adapun tujuan khusus penelitian yang akan dicapai adalah : a) Mengetahui kinerja lingkungan industri kimia terhadap pengelolaan lingkungan hidup terutama pasca-AMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001. b) Mengetahui tingkat ketaatan perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang tertera pada dokumen AMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001. c) Merumuskan strategi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pascaAMDAL, UKL/UPL atau sistem manajemen lingkungan ISO 14001 pada sektor industri kimia.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya (UU No. 23 Tahun 1997). Lingkungan hidup sebagai suatu sistem yang terdiri atas lingkungan alam (ecosystem), lingkungan buatan (technosystem) dan lingkungan sosial (sociosystem), dimana ketiga sub sistem ini saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang dinamis. Ketahanan masing masing sub sistem akan memberikan jaminan berkelanjutan yang tentunya akan memberikan peningkatan kualitas hidup setiap mahluk hidup didalamnya (Hendartomo, 2001). Masalah lingkungan hidup pada dasarnya muncul karena dinamika penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana serta kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Dampak negatif yang sering muncul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif dan memberikan manfaat yang besar terhadap manusia sering kali terjadi sebaliknya, manusia menjadi korban akibat dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang paling banyak timbul, sebagai dampak dari kegiatan ekonomi dan pembangunan. Berdasarkan implementasi UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mendefinisikan tiga konsep dalam pembangunan berkelanjutan yaitu : kondisi sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan faktor demografi. Agar upaya pelestarian lingkungan dapat berjalan dengan baik secara efektif dan efisien serta berkelanjutan dibutuhkan kebijakan untuk mewujudkan hal tersebut.
Dalam skenario politik ekonomi yang rumit saat ini, amatlah
penting untuk menetapkan kebijakan lingkungan dan sosial yang kuat pada seluruh tingkatan.
Demikian juga penegakan hukum harus berjalan dengan
secara efektif agar pelestarian keanekaragaman hayati dapat berjalan dengan baik.
10
Menurut Marcus and Willig (1997), manajemen lingkungan berdasarkan orientasi kebijakannya secara umum dapat dibagi 2 yaitu manajemen berorientasi pemenuhan (regulation compliance) dan orientasi setelah pemenuhan (beyond compliance): a). Orientasi pada pemenuhan (regulation compliance). Kebijakan ini merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan di perusahaan. Berangkat dari pemikiran akan akibat yang ditimbulkan oleh aktifitas
perusahaan
yang
dapat
merugikan
keberlangsungan
bisnis
perusahaan maka ketaatan terhadap peraturan pemerintah perlu diterapkan semaksimal mungkin untuk menghindari penalti atau denda lingkungan, klaim dari masyarakat sekitar, dan lain lain. Kebijakan yang dimaksud adalah penerapan metoda reaktif, ad-hoc, dan pendekatan end-of-pipe dalam pengelolaan lingkungan seperti menanggulangi masalah polusi udara dengan peralatan penyaring udara (bag filter) dan limbah cair teknologi pengolah air limbah. b). Orientasi setelah pemenuhan (beyond compliance). Berangkat dari pemikiran bahwa cara tradisional menangani isu lingkungan dalam cara reaktif, adhoc, pendekatan end-of-pipe telah terbukti tidak efisien. Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan standar baru bagi sektor bisnis di seluruh bagian dunia. Terdapat pendapat bahwa kinerja lingkungan yang baik tidak hanya masalah hukum dan moral. Pengurangan polusi berarti juga peningkatan efisiensi sumberdaya dan peningkatan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja sehingga tenaga kerja dapat lebih produktif. Sesuai dengan perkembangan pemahaman manajemen lingkungan, orientasi setelah pemenuhan juga bermacam tahapnya, namun umumnya bermuara pada tahap pencapaian kondisi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sekaligus integrasi bisnis lingkungan dalam konsep 'triple bottom line', sesuai prinsip yang dinyatakan dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Orientasi kebijakan lingkungan tersebut saat ini telah diteliti oleh beberapa ahli diantaranya adalah oleh Kwon, et al. (2000) dari Korea. Penelitian tersebut
11
menyebutkan bahwa terdapat tiga hal yang menjadikan motivasi dari suatu perusahaan untuk mengimplementasikan sistem manajemen lingkungan, yaitu tekanan internasional, peraturan perundang-undangan nasional, dan tekanan pasar bebas. Namun orientasi kebijakan ini harus dilihat secara menyeluruh, dan tidak pada pendekatan isu lingkungan tunggal. Akan terdapat pendekatan yang berbeda karena satu perusahaan dapat bersikap reaktif, antisipatif, atau proaktif pada isuisu lingkungan yang berbeda tergantung pada sentralitasnya pada bisnis, masyarakat, minat penegak hukum, dan lain-lain. Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Kebijakan dapat dikatakan efektif apabila penerapan kebijakan dan instrumennya dapat menghasilkan perubahan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Sanim (2003), menyebutkan bahwa
tahapan kebijakan terdiri dari fase formulasi kebijakan dan fase implementasi kebijakan, sedangkan analisis kebijakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan. 2.2. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 Manajemen lingkungan saat ini telah banyak mengalami perubahan yang cukup berarti terutama dimulai sejak awal 1990an. Penelitian mengenai efek dan akibat penerapan manajemen lingkungan telah banyak dilakukan terutama sejak munculnya ISO 14001 di tahun 1996. Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengendalikan usaha-usaha anggota perusahaan dan proses penggunaan sumber daya perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan yang sudah ditetapkan. Sedangkan menurut Terry & Franklin (1999), manajemen diartikan sebagai proses tertentu yang terdiri atas kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lingkungan menurut definisi umum yaitu segala sesuatu di sekitar subyek manusia yang terkait dengan aktifitasnya. Elemen lingkungan adalah hal-hal yang terkait dengan: tanah, udara, air, sumberdaya alam, flora, fauna, manusia, dan hubungan antar faktor-faktor tersebut. Titik sentral isu lingkungan adalah manusia. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dalam istilah manajemen adalah
12
upaya terpadu yang dilakukan oleh manusia dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup (Satriago, 1996). Manajemen lingkungan selama ini sebelum adanya ISO 14001 berada dalam kondisi terpecah-pecah dan tidak memiliki standar tertentu dari satu daerah dengan daerah lain, dan secara internasional berbeda penerapannya antara negara satu dengan lainnya. Praktek manajemen lingkungan yang dilakukan secara sistematis, prosedural, dan dapat diulang disebut dengan sistem manajemen lingkungan (SML).
Menurut ISO 14001
(Kuhre, 1996), SML adalah 'that part of the overall management system which includes organizational structure planning, activities, responsibilities, practices, procedures, processes, and resources for developing, implementing, achieving, reviewing, and maintaining the environmental policy'. Jadi disimpulkan bahwa menurut ISO 14001, SML adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang berfungsi menjaga dan mencapai sasaran kebijakan lingkungan. Sehingga SML memiliki elemen kunci yaitu pernyataan kebijakan lingkungan dan merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan yang lebih luas. Berdasarkan cakupannya, terdapat pendapat yang membagi manajemen lingkungan dalam 2 macam yaitu: - Lingkungan internal, yaitu di dalam lingkungan pabrik/lokasi fasilitas produksi termasuk didalamnya kondisi lingkungan kerja, dampak yang diterima oleh karyawan dalam lingkungan kerjanya, fasilitas kesehatan, alat perlindungan diri (APD), asuransi pegawai, dll. - Lingkungan eksternal, yaitu lingkungan di luar lokasi pabrik/fasilitas produksi meliputi segala hal yang dapat menimbulkan dampak pada lingkungan di sekitarnya, termasuk masyarakat di sekitar lokasi pabrik, dan pihak yang mewakilinya (pemerintah, pelanggan, investor/pemilik). Aktifitas yang terkait yaitu komunikasi dan hubungan dengan masyarakat, usaha-usaha penanganan pembuangan limbah ke saluran umum, perhatian pada keseimbangan ekologis dan ekosistem di sekitar pabrik, dll. SML merupakan bagian integral dari sistem manjemen perusahaan secara menyeluruh yang terdiri dari satu set pengaturan-pengaturan secara sistematis
13
yang meliputi struktur perusahaan, tanggung jawab, prosedur, proses, serta sumberdaya dalam upaya mewujudkan kebijakan lingkungan yang telah digariskan oleh perusahaan. Pada dasarnya ISO 14001 adalah standar manajemen lingkungan yang sifatnya sukarela tetapi konsumen menuntut produsen untuk melaksanakan program tersebut. Pelaksanaan program sertifikasi ISO 14001 dapat dikatakan sebagai tindakan proaktif dari perusahaan yang dapat mengangkat citra dan memperoleh kepercayaan dari konsumen. Dengan demikian, maka pelaksanaan SML berdasarkan standar ISO seri 14001 bukan merupakan beban tetapi seharusnya merupakan kebutuhan bagi produsen (Kuhre, 1996). Praktek manajemen lingkungan perusahaan ditujukan agar menyatu dengan praktek manajemen bisnis umum, seperti telah dinyatakan oleh ISO 14001. Praktek manajemen lingkungan perusahaan sendiri perkembangannya banyak diinspirasikan oleh evaluasi implementasi ISO 14001. Seperti saat ini banyak bermunculan unit-unit belajar di perguruan tinggi seluruh dunia yang khusus mempelajari corporate environmental management, seperti di MIT, Harvard University, Lund University, dan berbagai kampus ternama lainnya.
Alasan
manajemen lingkungan banyak dipelajari adalah karena perkembangan keilmuan manajemen lingkungan yang dianggap banyak kalangan akademisi ternyata sangat penting dalam ikut menentukan perkembangan bisnis dunia dimasa mendatang. Aspek manajemen lingkungan yang berfokus fisik seperti definisi lingkungan secara tradisional, ternyata berpengaruh pula secara non-fisik dalam hal moralitas dan aspek modal spiritual manusia pelakunya. Praktek manajemen lingkungan selama ini berfokus pada perlindungan lingkungan dan berakar dari sasaran fisik lingkungan tersebut. Namun pada prakteknya, pada perusahaan yang telah mengimplementasikan ISO 14001, bila melakukannya dengan baik, akan ditanggapi karyawan dengan lebih banyak menyebutkan dampak intangiblenya yaitu peningkatan motivasi kerja (karena keamanan dan keselamatan kerja diperhatikan perusahaan), peningkatan kepercayaan
karyawan
terhadap
kebijakan
yang
ditempuh
manajemen,
peningkatan citra perusahaan di kalangan karyawan, dan seterusnya (Purwanto, 2002). Aspek-aspek peningkatan citra dan kepastian kelangsungan bisnis inilah
14
yang juga menjadi sebab utama banyak perusahaan mencari sertifikasi ISO 14001, dan memang terbukti berpengaruh demikian. Jadi praktek manajemen lingkungan yang baik akan selalu terkait dengan aspek intangible misalnya citra perusahaan dan kepercayaan karyawan. Dalam hal lain justru inilah yang diperlukan bila perusahaan dituntut untuk menjadi sistem perusahaan belajar (learning organization) yang diperlukan sistem perusahaan era informasi masa depan. Pengelolaan lingkungan hidup dalam sertifikasi ISO hanya merupakan satu langkah kecil, namun demikian proses ini akan berkembang dan meningkat sejalan dengan bertambahnya pengalaman, penciptaan, pencatatan, dan pemeliharaan dari sistem yang diperlukan untuk sertifikasi yang diharapkan dapat membantu menjaga kondisi lingkungan.
Besarnya manfaat yang diperoleh
perusahaan setelah penerapan SML ISO 14001 tergantung dari standar ISO 14001 tersebut. Sertifikasi diberikan bila lembaga sertifikasi setelah melalui rangkaian penelitian dan audit terhadap proses serta dokumentasi terhadap perusahaan tersebut dapat dipastikan sesuai terhadap pemenuhan persyaratan standar ISO 14001 dan menerapkan dalam kegiatan sehari-hari yang menyangkut aspek teknis maupun non teknis. Berdasarkan hasil survei penerapan standar ISO 14001 di Indonesia yang dilakukan oleh Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementrian Lingkungan Hidup (2003), menunjukkan bahwa pelaksanaan SML dianggap masih belum efektif. Hal ini disebabkan oleh : - Implementasi SML pada beberapa perusahaan belum sesuai dengan teori yang telah dikembangkan di Indonesia. - Kondisi lingkungan di beberapa perusahaan yang menerapkan SML belum terlihat peningkatan perbaikan kondisi lingkungannya. - Belum optimalnya pemenuhan terhadap peraturan perundang-undangan oleh beberapa perusahaan yang telah memperoleh sertifikat ISO 14001. Keuntungan dari penerapan ISO 14001 menurut Fredericks dan McCallum (1995) adalah adanya peningkatan pentaatan pada peraturan perundangundangan, pengurangan biaya yang berkaitan dengan audit konsumen, kemampuan menawarkan kontrak kerja, kekuatan pasar, pengembalian nilai
15
ekonomi dan adanya efisiensi sumberdaya dan kemampuan untuk beradaptasi pada perubahan yang terjadi.
Kwon, et al. (2000) dari Korea menyebutkan
bahwa terdapat tiga hal yang menjadikan motivasi dari suatu perusahaan untuk mengimplementasikan
sistem
manajemen
lingkungan,
yaitu
tekanan
internasional, peraturan perundang-undangan nasional, dan tekanan pasar bebas. Disamping itu dijelaskan bahwa ISO 14001 merupakan SML yang unik karena sistem tersebut dapat mengidentifikasi dampak, menilai penting atau tidaknya dampak, terdapat penetapan tujuan dan sasaran, dan dari sisi manajemen mempunyai fungsi mengadaptasikan sistem agar terjadi kesesuaian dengan standar yang telah ditetapkan. 2.3. Studi Lingkungan Analisis mengenai dampak lingkungan yang sering disebut dengan AMDAL lahir dengan diberlakukannya Undang Undang tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat pada tahun 1969. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa semua usulan legislasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan harus disertai dengan laporan Environmental Impact Assessment (Analisis dampak lingkungan) tentang usulan tersebut (Soemarwoto, 2001). Penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Indonesia telah diatur dalam Undang Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam undang undang ini, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dimaksudkan sebagai alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin timbul oleh suatu kegiatan yang sedang direncanakan (Soemarwoto, 2001). Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Jika suatu kegiatan tidak termasuk dalam daftar wajib
AMDAL yang tecantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 tahun 2006, maka perlu dilengkapi dengan studi UKL & UPL.
16
Dokumen AMDAL/UKL-UPL memuat studi mengenai dampak lingkungan yang mungkin timbul dari suatu kegiatan yang direncanakan, baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi maupun pascakonstruksi. Dokumen ini harus mendapat persetujuan dari otoritas pemerintah sebagai salah satu persyaratan ijin bagi perusahaan untuk menjalankan aktivitasnya. Persyaratan-persyaratan yang dituangkan dalam dokumen merupakan suatu ikatan hukum bagi perusahaan terkait sehingga AMDAL/UKL-UPL harus menjadi bagian dari sistem manajemen lingkungan perusahaan (Hariadi, 2003). Tujuan penerapan AMDAL/UKL-UPL adalah untuk menjamin tetap terpeliharanya kemampuan lingkungan hidup guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan (Supardi, 2003).
Dengan demikian AMDAL/UKL-UPL
merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang bijaksana terutama dokumen RKL/RPL dan UKL/UPL yang merupakan dokumen yang bersifat operasional dan dapat diimplementasikan untuk memantau kondisi lingkungan. Hadi (2007) mengemukakan bahwa sampai saat pengelolaaan lingkungan hidup masih dipandang sebagai beban oleh beberapa pihak. Terdapat ciri-ciri lingkungan yang menyebabkan para pengambil keputusan dan kalangna bisnis tidak begitu mudah terdorong untuk menginternalisasikan aspek lingkungan dalam kebijakkannya. Ciri-ciri tersebut meliputi 1) bahwa lingkungan itu bersifat intangible artinya sulit untuk dikuantifikasi dalam nilai moneter; 2) dampak lingkungan terjadi dalam jangka panjang; 3) dampak lingkungan bersifat eksternalitas negatif dan 4) bahwa lingkungan sebagai ruang dan sumberdaya alam dianggap sebagai milik publik. 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan berhubungan dengan masalah kinerja lingkungan dan implementasi AMDAL/UKL-UPL dan ISO 14001 adalah seperti tertera pada Tabel 1.
17
Tabel 1. Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kinerja lingkungan dan implementasi AMDAL/UKL-UPL dan ISO 14001 No
Peneliti
1
Musafir Kumar (1999)
2
Rustiawan Anis (2000)
3
Romatio Wulandari (2002)
4
Joehar B. Simanjuntak (2004)
Judul Penelitian Kinerja Lingkungan Perusahaan yang Telah dan Belum Menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO 14001 (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil di Jawa Barat) Evaluasi Perkembangan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 (Studi Kasus : Tiga Industri di Jabotabek)
Kinerja Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 Pusat Metalurgi Mentok PT Tambang Timah - Bangka Efektivitas Pengelolaan Lingkungan Fisik Kimia Pasca-AMDAL pada Lapangan Minyak Lepas Pantai
Hasil Penelitian - Kinerja perusahaan yang telah bersertifikat ISO14001 lebih baik dibandingkan dengan yang belum bersertifikat. - Faktor utama yang dominan dalam pengelolaan adalah Kebijakan Lingkungan Perusahaan
- Penerapan SML ISO 14001 telah berkembang lebih baik dari persyaratan minimum standar SML ISO 14001. - Pola kinerja perusahaan belum menunjukkan kecenderungan membaik - Penerapan SML ISO 14001 belum dapat sepenuhnya menjamin tingkat ketaatan yang lebih baik terhadap peraturan yang berlaku. - Manfaat nyata adalah dari segi kebersihan dan kepedulian karyawan terhadap lingkungan. - Penerapan dan pemeliharaan SML ISO 14001 masih belum menjadi bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan. - Efektivitas pengelolaan kualitas air semakin membaik dari waktu ke waktu. - Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan meningkat nyata setelah perusahaan menerapkan SML ISO 14001
18
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Geografis Kabupaten Bogor Wilayah Kabupaten Bogor sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten terbagi dalam tiga wilayah pembangunan yaitu Wilayah Bogor Barat, Tengah dan Timur yang masing-masing memiliki struktur wilayah serta arah, strategi dan potensi pembangunan yang berbeda.
Secara geografis wilayah
Kabupaten Bogor terletak antara 6°19’ – 6°47’ lintang selatan dan 106°01’ – 107°103’ bujur timur. Secara administratif Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan, 15 kelurahan dan 428 desa. Wilayah kabupaten Bogor berbatasan langsung dengan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Lebak. Dengan mempertimbangkan perkembangan penduduk beserta peningkatan beban kegiatan pembangunan di Kabupaten Bogor yang semakin tinggi, diperlukan
keseimbangan
pembangunan
di
seluruh
wilayah
dengan
mempertimbangkan aspek ekologis wilayah untuk mengendalikan perubahan lingkungan yang terjadi. Pembangunan perekonomian Kabupaten Bogor juga tidak bisa lepas dari perkembangan sektor perindustrian dan perdagangan. Sampai dengan tahun 2007, tercatat adanya peningkatan jumlah unit usaha industri kecil dan menengah menjadi 3.829 unit usaha yang menyerap tenaga kerja sebanyak 21.292 orang. 3.2. Perkembangan Kondisi Industri di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten terluas di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan seluas sekitar 299.990 Ha yang berbatasan langsung sebelah timur dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang, sebelah utara dengan Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kotamadya Depok, dan Provinsi Banten (Kabupaten Tangerang), sebelah selatan dengan Kabupaten Sukabumi, serta sebelah barat dengan Provinsi Banten (Kabupaten Lebak). Sedangkan Kotamadya Bogor berada di tengah-tengah Kabupaten Bogor. Dengan wilayah seluas 299.990 Ha tersebut, tidak heran jika Kabupaten Bogor mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar yaitu sekitar 4.215.585 jiwa
19
(Bappeda Kabupaten Bogor, 2007). Dengan kombinasi luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut, maka Kabupaten Bogor merupakan provinsi yang cukup besar, terutama di bidang industri dan perdagangan. Industri kecil adalah salah satu potensi strategis yang mampu memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga pengembangan sektor ini perlu ditempuh melalui pengembangan sentra industri. Kabupaten Bogor cukup kaya akan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia terutama pada sektor industri kecil dan kerajinan. Kelompok industri kecil mempunyai peran strategis dalam peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha serta membantu mengatasi kemiskinan. Pembangunan industri juga telah mampu mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi serta menjadi penggerak perkembangan pembangunan daerah. Disamping terdapat industri kecil yang tersebar di seluruh kabupaten, terdapat sebagian industri menengah dan industri besar. Oleh karena itu Dinas Perindrustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor mempunyai tanggung jawab serta ruang lingkup pekerjaan yang sangat besar berkaitan dengan sektor industri dan perdagangan ini. Sesuai dengan Keputusan Bupati Bogor Nomor 42 tahun 2004 Wilayah Kabupaten Bogor telah dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Teknik Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Wilayah Cibinong, Ciawi dan Leuwiliang yang memiliki strategi dan potensi pembangunan yang berbeda. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perkembangan penduduk beserta peningkatan beban kegiatan pembangunan di Kabupaten Bogor yang semakin tinggi, diperlukan keseimbangan pembangunan di seluruh wilayah dengan mempertimbangkan aspek ekologis wilayah untuk mengendalikan perubahan lingkungan yang terjadi. Perubahan tersebut selalu tergambarkan demi kelangsungan hidup manusia karena pada hakekatnya manusia tidak akan lepas dari lingkungan. Berdasarkan kemudahan dan perijinannya, industri di Kabupaten Bogor dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu industri yang memperoleh fasilitas dari pemerintah dalam hal perijinan (industri dengan fasilitas) dan industri yang tidak mendapatkan kemudahan tersebut (industri nonfasilitas). Total jumlah industri di Kabupaten Bogor baik yang mendapatkan fasilitas maupun tidak adalah sebesar
20
2.444 industri. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang cukup besar yaitu sekitar 51,11% bila dibandingkan dengan jumlah industri di seluruh Provinsi Jawa Barat yang mencapai 4.782 industri. 3.2.1. Industri Nonfasilitas Kondisi industri nonfasilitas di Kabupaten Bogor sampai dengan tahun 2007 terdiri dari dua sektor, yaitu a) sektor industri kecil dan b) sektor industri menengah dan besar.
Sektor industri kecil berjumlah 1291 unit usaha dan
menyerap tenaga kerja 17.452 orang, sedangkan sektor industri menengah dan besar sebanyak 578 unit usaha yang menyerap tenaga kerja 51.845 orang. 3.2.2. Industri dengan Fasilitas Catatan dari Kantor Penanaman Modal Daerah (KPMD) Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa total industri dengan fasilitas pemanaman modal dalam negeri (PMDN) berjumlah 187 perusahaan dan penanaman modal asing (PMA) berjumlah 388 perusahaan. Kecenderungan perkembangan industri di Kabupaten Bogor berdasarkan jenis industrinya seperti terlihat pada Gambar 3. Industri nonfasilitas yang termasuk dalam klasifikasi industri kimia dan sampai saat ini masih beroperasi di Kabupaten Bogor berjumlah 117 industri (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2008). Lokasi industri tersebut sebagian besar tersebar di wilayah UPTD Cibinong yaitu Kecamatan Citeureup, Gunung Putri dan Cileungsi. 140
117
120 106 97
Jumlah industri (unit)
100 83 80
60
54
40
20
0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 3. Perkembangan jumlah industri kimia di Kabupaten Bogor
21
3.3. Permasalahan Industri di Kabupaten Bogor Permasalahan lingkungan sangat terkait dengan keberadaan industri di dalam suatu wilayah, demikian pula yang terjadi di Kabupaten Bogor. Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup atau State of the Environmental Report (SoER)(2007), disebutkan bahwa isu utama lingkungan hidup di Kabupaten Bogor diantaranya adalah rendahnya mutu air sungai, penurunan muka air bawah tanah dan zona rawan air bawah tanah, angka kejadian penyakit bawaan air (diare) tinggi dan kasus pencemaran air limbah dan tanah. Pemantauan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor pada tahun 2005 - 2007 telah dilakukan pada beberapa lokasi di Sungai Ciliwung, Sungai Cikeas, Sungai Cileungsi, Sungai Cisadane dan Sungai Cikaniki. Secara umum kondisi sungai di sekitar wilayah penelitian (Sungai Cikeas dan Cileungsi) yang merupakan badan air terakhir penerima limbah cair yang dihasilkan oleh perusahaan penelitian menunjukkan bahwa perairan tersebut telah melampaui nilai ambang batas sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 Kelas II. Parameter yang telah melebihi ambang batas pada Sungai Cikeas adalah BOD sebesar 15,62 mg/l (BM = 3 mg/l), COD sebesar 34,58 mg/l (BM = 25 mg/l), DO hanya sebesar 2,4 mg/l (BM > 4 mg/l), amonia sebesar 1,438 mg/l (BM = 0,5 mg/l), nitrit sebesar 0,412 mg/l (BM = 0,06 mg/l), besi sebesar 5,37 mg/l (BM = 0,3 mg/l) dan seng sebesar 0,127 mg/l (BM = 0,05 mg/l). Sedangkan parameter kualitas air Sungai Cileungsi yang telah melampaui ambang batas adalah BOD sebesar 32,32 mg/l (BM = 3 mg/l), COD sebesar 64,15 mg/l (BM = 25 mg/l), DO hanya sebesar 2,9 mg/l (BM > 4 mg/l), total fosfat sebesar 0,439 mg/l (BM = 0,2 mg/l), nitrit sebesar 0,199 mg/l (BM = 0,06 mg/l), klorin bebas 4,4 mg/l (BM = 0,03 mg/l), seng sebesar 0,561 mg/l (BM = 0,05 mg/l), minyak dan lemak pernah tercatat 8 mg/l (BM = 1 mg/l). Secara grafis konsentrasi BOD dan COD pada Sungai Cileungsi tersebut seperti tertera pada Gambar 4 dan Gambar 5. Hasil pemantauan tersebut menunjukkan bahwa kondisi sungai-sungai di Kabupaten Bogor berada pada kondisi yang cukup memprihatinkan dan memerlukan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh dan terpadu baik dari pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan yang terlibat dalam kegiatan dan usaha di Kabupaten Bogor. Perlu diketahui bahwa
22
sungai-sungai tersebut merupakan badan air penerima air limbah kegiatan industri baik secara langsung maupun tidak langsung melalui anak-anak sungainya. 35
30
Konsentrasi (mg/l)
25
20
15
10
BM BOD = 3 mg/l 5
0 Agst 05
Des 05
Juli 06
Nov 06
Nov 07
Periode pengukuran Tajur
Gn Putri
Bj Kulur
Gambar 4. Kondisi kualitas BOD Sungai Cileungsi (2005 – 2007) 70
60
Konsentrasi (mg/l)
50
40
30
BM COD = 25 mg/l
20
10
0 Agst 05
Des 05
Juli 06
Nov 06
Nov 07
Periode pengukuran Tajur
Gn Putri
Bj Kulur
Gambar 5. Kondisi kualitas COD Sungai Cileungsi (2005 – 2007)
23
Laporan Tahunan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Bogor (2007) disebutkan bahwa jumlah kegiatan industri di Kabupaten Bogor yang wajib dilengkapi dengan studi lingkungan adalah sebanyak 678 perusahaan (Tabel 2). Diantaranya sejumlah 61 perusahaan wajib AMDAL dan 617 perusahaan wajib UKL & UPL. Perusahaan yang wajib UKL dan UPL tersebut diantaranya adalah merupakan industri kecil dan menengah yang termasuk kategori industri kimia. Dari jumlah perusahan tersebut yang masih konsisten melaksanakan pelaporan implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan seperti yang tertuang dalam dokumen UKL dan UPL hanya 284 perusahaan (41,89% dari total perusahaan yang wajib). Implementasi tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh perusahaan, dalam hal ini tercatat bahwa secara total hanya 5,90% atau sekitar 40 perusahaan yang secara kontinyu dan konsisten melaksanakan implementasi sejak disyahkan/disetujui dokumen UKL & UPL oleh instansi yang berwenang. Tabel 2. Frekuensi pelaporan dokumen pasca-AMDAL atau UKL/UPL No Status Kepemilikan Dokumen 1. Perusahaan wajib AMDAL / UKL-UPL Dokumen AMDAL Dokumen UKL-UPL 2. Perusahaan yang melapor Implementasi RKL-RPL Implementasi UKL-UPL 3. Pelaporan >80% Dokumen AMDAL Dokumen UKL-UPL Total
Jumlah
%
61 617
9.00 91.00
37 247
5.46 36.43
6 34 678
0.88 5.01 100.00
Sumber : Laporan Tahunan (2007), DTRLH Kabupaten Bogor.
Dari total industri yang tercatat di Kabupaten Bogor (678 industri), yang termasuk dalam jenis industri kimia adalah sebesar 91 industri. Dari jumlah industri kimia tersebut yang pernah melakukan pelaporan implementasi 26 industri atau sekitar 28,57% dari total industri kimia yang ada (Lampiran 1). Sebanyak 24 industri diantaranya memiliki dokumen UKL/UPL dan hanya dua industri kimia yang memiliki dokumen AMDAL dan melaporkan implementasi RKL/RPL.
24
3.4. Deskripsi Singkat Perusahaan Penelitian Deskripsi singkat tentang beberapa perusahaan di Kabupaten Bogor yang tergolong dalam industri kimia dan dijadikan sebagai industri sampel dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut : a. PT Sigma Utama PT Sigma Utama terletak di Kelurahan Karang Asem Barat, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut telah berdiri sejak tahun 1932 dan telah dinasionalisasikan sebagai Pabrik Cat Indestins Corp pada tahun 1957. Pada tahun 1980, PT Sigma Utama telah menjalin kerjasama lisensi untuk produk protective & marine dengan Sigma Coating BV (Holland). Perusahaan ini telah terdaftar di Departemen Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merk pada tahun 1995.
Pada saat ini perusahaan tersebut berada dibawah
Holding PT PUSRI, sehingga pada saat ini PT Sigma Utama merupakan satusatunya industri cat milik negara di Indonesia. Izin usaha industri telah diperoleh sejak tahun 1989 dengan Nomor 58/DJAI/IUT-D IV/NON PMA-PMDN/II/1989 dengan status penanaman modal nonfasilitas PMA-PMDN. Perusahaan tersebut beroperasi di atas lahan seluas 19.630 m2 yang telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut seluas 8.293 m2 (42,24%) merupakan lahan tertutup bangunan dan 11.337 m2 (58,50%) merupakan lahan terbuka. Kapasitas produksi berdasarkan izin yang diperoleh adalah berupa decorative paint adalah sebesar 3.600 ton/tahun, marine & protective paint sebesar 1.800 ton/tahun dan thinner sebesar 600 ton/tahun. Sebagai bahan penolong dalam proses produksi adalah berupa resin (binder), pigment, extender atau filler, solvent dan additive. Jumlah karyawan keseluruhan adalah 89 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. PT Sigma Utama senantiasa terus menerus mengembangkan riset pada produk yang lebih sesuai dengan perlindungan untuk daerah tropis dan aplikasi di Indonesia serta lebih mengarah kepada produk yang ramah lingkungan. Perusahaan ini telah memiliki sertifikat ISO 9001 : 2000 sejak tahun 1997 dan sertifikasi ISO 14001 pada tahun 2001. Disamping itu perusahaan ini telah memiliki dokumen UKL/UPL yang telah disyahkan dan mendapatkan
25
rekomendasi dari Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 660/236/PDL-DTRLH tanggal 06 Maret 2003. Sesuai dengan data yang tersimpan di Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Sigma Utama adalah sebesar 1 m3 dan volume limbah bulanan 26 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 130 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 44/Olim/Kpts-KL/DTRLH/05 tanggal 22 Maret 2005. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran tertutup menuju Sungai Kali Gudang. b. PT Djasula Wangi PT Djasula Wangi terletak di Desa Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut merupakan industri minyak atsiri dan telah berdiri sejak tahun 1994. Lahan yang digunakan untuk kegiatan industri minyak atsiri tersebut sesuai dengan Perda Kabupaten Bogor No. 8 tahun 1995 diarahkan untuk konsentrasi industri dengan status penanaman modal PMDN. Perusahaan tersebut beroperasi di atas lahan seluas 8.500 m2 yang telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut seluas 3.571 m2 (42,11%) merupakan lahan tertutup bangunan dan 4.929 m2 (57,99%) merupakan lahan terbuka. Kapasitas produksi berdasarkan izin yang diperoleh adalah berupa eugenol sebesar 500 ton/tahun, iso eugenol sebesar 83 ton/tahun dan CLO redist sebesar 69 ton/tahun. Jumlah karyawan keseluruhan adalah 40 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. Sebagai bahan penolong dalam proses produksi adalah berupa minyak daun cengkeh dengan kapasitas 654.900 kg/tahun dalam bentuk cair, asam sitrat 483 kg/tahun dalam bentuk kristal dan bentonit 1.250 kg/tahun dalam bentuk bubuk. PT Djasula Wangi senantiasa terus menerus mengembangkan riset pada produk yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Perusahaan ini belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yang telah disyahkan dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala
26
Kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor Nomor 359/Jabar.03/IKAH/LI.00.03/V/2000 tanggal 02 Mei 2000. Sesuai dengan data yang tersimpan di Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Djasula Wangi adalah sebesar 6 m3 dan volume limbah bulanan 180 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 300 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 536/51/Kpts-PPL/ DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 51/Olim/Kpts-KL/DTRLH/07 tanggal 26 Juli 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran terbuka menuju Sungai Cileungsi. c. PT Indesso Aroma PT Indesso Aroma terletak di Desa Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut merupakan industri minyak atsiri dan operasional dimulai sejak tahun 2000. Lahan yang digunakan untuk kegiatan industri minyak atsiri tersebut sesuai dengan Perda Kabupaten Bogor No. 8 tahun 1995 diarahkan untuk konsentrasi industri dengan status penanaman modal Nonfasilitas PMA-PMDN. Perusahaan tersebut beroperasi di atas lahan seluas 51.300 m2 yang telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut seluas 11.850,75 m2 (23,10%) merupakan lahan tertutup bangunan dan 39.449,25 m2 (76,90%) merupakan lahan terbuka. Kapasitas produksi berdasarkan izin yang diperoleh adalah berupa eugenol sebesar 540 ton/tahun (riil 450 ton/tahun), caryophyllene sebesar 160 ton/tahun (riil 100 ton/tahun). Jumlah karyawan keseluruhan adalah 100 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. Sebagai bahan baku dalam proses produksi adalah berupa crude eugenol dengan kapasitas 470 ton/tahun dalam bentuk cair, ethyl alkohol sebanyak 2.500 kg/tahun dalam bentuk cair dan propylene glical sebanyak 2.500 kg/tahun dalam bentuk cair. PT Indesso Aroma senantiasa terus menerus mengembangkan riset pada produk yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Perusahaan ini belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun telah dilengkapi dengan dokumen
27
UKL/UPL
yang
telah
disyahkan
dan
mendapatkan
rekomendasi
dari
Kapuslitbang Sumberdaya, Wilayah Industri dan Lingkungan Hidup Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI No.1148/UKPL/ SDW-3/III/1999 tanggal 01 Maret 1999. Sesuai dengan data yang terscatat di Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Indesso Aroma adalah sebesar 30 m3 dan volume limbah bulanan 750 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 750 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 533/31/Kpts-PPL/ DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 31/Olim/Kpts-KL/DTRLH/07 tanggal 24 April 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran tertutup menuju Sungai Cileungsi. d. PT Agricon PT Agricon terletak di Kampung Parung Dengdek, Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut merupakan industri formulasi pestisida dan telah berdiri sejak bulan Desember tahun 1993 dengan Ijin Usaha Industri No. 061/M/SK/ILMK/V/1997. Lahan yang digunakan untuk kegiatan industri formulasi pestisida tersebut adalah seluas 23.778 m2 yang telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut seluas 9.500 m2 (40%) merupakan lahan tertutup bangunan dan 14.278 m2 (60%) merupakan lahan terbuka.
Jarak lokasi kegiatan dengan industri lain adalah
sekitar 500 m, sedangkan dengan Sungai Cileungsi berjarak sekitar 2 km. Produksi yang dihasilkan adalah insektisida (water base), insektisida (solvent base), fungisida, rodentisida, dan herbisida. Jumlah karyawan keseluruhan adalah 40 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. PT Agricon senantiasa terus menerus mengembangkan riset pada produk yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Perusahaan ini belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yang telah disyahkan dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 660/542.1/PDL-DTRLH tanggal 31 Juli 2002.
28
Sesuai dengan data yang tersimpan di Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Agricon adalah sebesar 2 m3 dan volume limbah bulanan 60 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 5 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 536/35/Kpts-PPL/DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 45/Olim/Kpts-KL/DTRLH/07 tanggal 10 Juli 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran terbuka menuju Sungai Cileungsi. e. PT Millenium Massa Manunggal PT Millenium Massa Manunggal terletak di Desa Cicadas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut merupakan industri cairan pembersih dan pewangi ruangan dan telah berdiri sejak bulan Desember tahun 1996 dengan Ijin Usaha Industri No. 105/M/SK/ILMK/011/1996. Lahan yang digunakan untuk kegiatan industri cairan pembersih dan pewangi ruangan tersebut adalah seluas 18.250 m2 yang telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut seluas 12.560 m2 (68.83%) merupakan lahan tertutup bangunan dan 5.690 m2 (31,17%) merupakan lahan terbuka. Kapasitas produksi berupa cairan pembersih adalah sekitar 36.500 ton/tahun dan berupa cream sebesar 6.000 ton/tahun. Jenis produksi yang dihasilkan adalah carbol wangi (230 ton/minggu), pelembut pakaian (60 ton/minggu), pelicin pakaian (45 ton/minggu), sabun cuci piring (60 ton/minggu) dan sabun cream (150 ton/minggu). Jumlah karyawan keseluruhan adalah 741 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. PT Millenium Massa Manunggal senantiasa terus menerus mengembangkan riset pada produk yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Perusahaan ini belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yang telah disyahkan dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala Bidang Rencana dan program Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat Nomor 158/Kanwil.10/Prog/Li.00.02/III/2001 tanggal 01 Maret 2001.
29
Sesuai dengan data dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Millenium Massa Manungal adalah sebesar 2 m3 dan volume limbah bulanan 60 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 5 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 533/21/Kpts-PPL/ DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 29/Olim/Kpts-KL/DTRLH/07 tanggal 16 April 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran tertutup menuju Sungai Cileungsi. f. PT Lemindo Abadi Jaya PT Lemindo Abadi Jaya terletak di Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut merupakan industri lem (perekat) yang terletak tepat di tepi Sungai Cileungsi.
Lahan yang digunakan untuk
kegiatan industri tersebut telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut sekitar 60% merupakan lahan tertutup bangunan dan 40% merupakan lahan terbuka.
Jumlah karyawan keseluruhan adalah sekitar 200
orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. PT Lemindo Abadi Jaya belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL. Sesuai dengan data dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Lemindo Abadi Jaya adalah sebesar 6 m3 dan volume limbah bulanan 160 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 20 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 536/10/Kpts-PPL/ DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 54/Olim/Kpts-KL/DTRLH/07 tanggal 13 Agustus 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran terbuka menuju Sungai Cileungsi. g. PT Murni Cahaya Pratama PT Murni Cahaya Pratama terletak di Desa Sanja, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Perusahaan tersebut merupakan industri cat besi, thinner, dempul dan pengecatan kendaraan dan telah berdiri sejak bulan Desember tahun 2002, sedangkan diperluas tahun 2004 dengan Ijin Usaha Industri No. 31/04/IUI-
30
KIMIA/B/IX/2005.
Lahan yang digunakan untuk kegiatan industri tersebut
adalah seluas 80.153 m2 yang telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut seluas 44.856,50 m2 (55.96%) merupakan lahan tertutup bangunan dan 35.296,50 m2 (44,04%) merupakan lahan terbuka dan penghijauan. Sesuai dengan ijin, kapasitas produksi berupa cat besi sekitar 4.000 ton/tahun dan berupa cream sebesar 6.000 ton/tahun, dempul 300 ton/tahun, thinner 5.000 ton/tahun, dan pengecatan komponen kendaraan sebesar 200.000 set/tahun. Jumlah karyawan keseluruhan adalah sekitar 280 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu. PT Murni Cahaya Pratama belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun dalam perluasannya telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yang telah disyahkan sesuai persetujuan No.660/2870/BA-DTRLH pada tanggal 02 Januari 2006. Sesuai dengan data dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Murni Cahaya Pratama adalah sebesar 3,3 m3 dan volume limbah bulanan 99 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 5 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 533/69/Kpts-PPL/DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 74/Olim/Kpts-KL/DTRLH/07 tanggal 30 Oktober 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran terbuka menuju Sungai Cileungsi. h. PT Sika Indonesia PT Sika Indonesia terletak di Desa Limusnungal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Status permodalan perusahaan tersebut adalah penanaman modal asing (PMA) dan merupakan industri kimia untuk bahan bangunan. Lahan yang digunakan untuk kegiatan industri tersebut telah diperuntukkan sebagai lahan industri. Sebagian besar lahan tersebut sekitar 60% merupakan lahan tertutup bangunan dan 40% merupakan lahan terbuka.
Jumlah karyawan
keseluruhan adalah sekitar 200 orang terdiri dari manager, staf dan karyawan yang bekerja dalam satu shift selama lima hari kerja dalam seminggu.
31
PT Sika Indonesia belum memiliki sertifikat ISO 14001, namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL. Sesuai dengan data dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor tercatat bahwa volume limbah harian yang dihasilkan oleh PT Sika Indonesia adalah sebesar 18,4 m3 dan volume limbah bulanan 460 m3. Perusahaan tersebut telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan kapasitas 500 m3 dan telah dilengkapi dengan Surat Ijin Pembuangan Air Limbah No. 533/25/Kpts-PPL/DTRLH/04 dan telah diperpanjang dengan surat No. 31/Olim/Kpts-KL/DTRLH/06 tanggal 15 Agustus 2007. Pembuangan limbah dilakukan setiap hari melalui saluran terbuka menuju Rawahingkik dan Sungai Cileungsi.
32
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 4 (empat) bulan yaitu pada bulan September 2008 sampai dengan Desember 2008. Lokasi penelitian adalah pada beberapa instansi dan industri sampling yang terletak di Kecamatan Citeureup, Gunung Putri dan Cileungsi - Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan review kebijakan AMDAL/UKL-UPL, analisis kualitas dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan atau SML, serta analisis kinerja lingkungan kegiatan industri kimia dilakukan di Kabupaten Bogor. 4.2. Lingkup Penelitian 4.2.1. Industri yang Diteliti Berdasarkan tujuan penelitian keragaman populasi target, dan pertimbangan praktis penelitian (aksesibilitas/izin, waktu dan biaya), maka lingkup penelitian hanya pada industri tertentu. Sampel badan usaha ini didasarkan pada tujuan tertentu (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa perusahaan yang diteliti memiliki dokumen yang menjadi sasaran penelitian (Arikunto, 2006). Jenis industri ditentukan berdasarkan lokasinya dan kelengkapan dokumen implementasi pengelolaan lingkungan, sehingga terbatas pada perusahaan industri kimia tertentu yang terletak di dalam wilayah UPTD Cibinong dan telah memiliki dan mengimplementasikan dokumen studi lingkungan atau telah memiliki sertifikat ISO 14001 selama 3 (tiga) tahun. Data Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa industri kimia yang wajib UKL/UPL adalah sebesar 91 industri. Dari jumlah industri kimia tersebut yang pernah melakukan pelaporan implementasi RKL/RPL atau UKL/UPL sebanyak 26 industri. Jumlah sampel industri kimia ditentukan dengan ketentuan 10-20%, sehingga dengan jumlah 8 perusahaan masih mewakili industri kimia yang ada di Kabupaten Bogor. Kriteria lainnya adalah implementasi dokumen studi lingkungan serta sertifikat ISO 14001 selama 3 (tiga) tahun adalah merupakan waktu yang cukup untuk melihat sejauh mana evaluasi dapat dilakukan, sehingga jenis industri yang menjadi obyek penelitian dipilih dengan pertimbangan :
33
a) mewakili industri kimia yang telah memiliki dokumen lingkungan dan melaksanakan kegiatan implementasi pengelolaan lingkungan namun tidak memiliki sertifikat SML ISO-14001 adalah PT Djasula Wangi (PT DW), PT Indesso Aroma (PT IND), PT Agricon (PT AG) dan PT Millenium Massa Manunggal (PT M3), PT Lemindo Abadi Jaya (PT LA), PT Murni Cahaya Pratama (PT MC) dan PT Sika Indonesia (PT SI). b) mewakili industri kimia yang telah memiliki dokumen lingkungan dan melaksanakan kegiatan implementasi pengelolaan lingkungan serta menerapkan SML ISO-14001 adalah PT Sigma Utama (PT SU). 4.2.2. Wilayah Studi Pemilihan wilayah studi di UPTD Cibinong terutama di Kecamatan Citeureup, Gunung Putri dan Cileungsi karena wilayah tersebut merupakan sentra industri, dimana lebih dari 50% industri yang ada di Kabupaten Bogor terdapat di wilayah ini (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2007). Disamping itu wilayah kajian ini dikaitkan dengan kondisi hidrologi diantara Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi, sehingga wilayah studi yang menjadi kajian adalah : a) Desa Sanja dan Kelurahan Karang Asem Barat (Kecamatan Citeureup) b) Desa Wanaherang (Kecamatan Gunung Putri) c) Desa Limusnunggal dan Desa Cileungsi (Kecamatan Cileungsi) Lokasi penelitian pada ketiga kecamatan tersebut seperti tertera pada Gambar 6. 4.2.3. Obyek Penelitian Obyek penelitian ditekankan pada aspek kualitas udara (CO, SO2, NO2 dan debu), kualitas air (pH, TSS, BOD dan COD) dan limbah padat serta masalah sosial sesuai dengan isu dampak yang ditimbulkan oleh industri kimia yang tertuang dalam dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL/UPL) yang telah disusun sebelumnya.
Parameter tersebut di atas merupakan parameter yang
dipantau oleh seluruh perusahaan yang diteliti, sehingga dapat dibandingkan kinerja antar perushaan dengan menggunakan indikator yang sama.
34
Kab. Bogor
Gambar 6. Peta lokasi penelitian
35
4.2.4. Populasi Sampel Wawancara terhadap karyawan industri dilakukan untuk menggali informasi (persepsi pekerja tentang lingkungan dan limbah) terkait dengan kinerja perusahaannya. Populasi penelitian ini mempunyai unsur yang heterogen, tersebar dalam beberapa departemen atau sub populasi, sedangkan setiap departemen mempunyai jumlah karyawan yang berbeda. Oleh karena itu peneliti menggunakan teknik pengambilan sample proportional random sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel secara acak dengan jumlah yang proporsional untuk setiap sub populasi sesuai dengan ukuran populasinya (Arikunto, 2006). Adapun rumus pengambilan sampel pada perusahan yang diteliti adalah :
ni = ∑
Ni x n N
Keterangan : ni n Ni N
= Jumlah sampel menurut departemen = Jumlah sampel seluruhnya = Jumlah populasi menurut departemen = Jumlah populasi seluruhnya Perusahaan penelitian pada umumnya merupakan industri kecil-menengah
dengan jumlah karyawan bervariasi antara 50-100 orang. Sehingga populasi sampel karyawan ditentukan berjumlah 20 orang yang mewakili masing-masing perusahaan penelitian. Adapun distribusi responden mewakili karyawan pabrik pada bagian produksi yang banyak berhubungan dengan masalah lingkungan. Wawancara terhadap masyarakat di sekitar industri juga dilakukan untuk menggali informasi (persepsi masyarakat) terkait dengan kinerja perusahaan di sekitarnya. Berdasarkan Arikunto (2006), untuk populasi lebih besar dari 100 orang maka jumlah responden sampelnya diambil 10-20% secara acak (random sampling). Rata-rata penduduk yang bermukim di sekitar perusahaan penelitian (industri kimia) adalah merupakan kelompok masyarakat dalam wilayah administratif rukun tetangga (RT) berjumlah antara 100 – 200 warga, sehingga distribusi responden yang mewakli lima perusahaan penelitian adalah seperti tertera pada Tabel 3.
36
Tabel 3. Distribusi responden masyarakat di sekitar industri No 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
Perusahaan
Wilayah Administratif
PT Djasula Wangi (PT DW) PT Indesso Aroma (PT IND) PT Agricon (PT AG) PT Millenium Massa Manunggal (PT M3)
Desa Limusnunggal, Kec. Cileungsi Desa Cileungsi, Kec. Cileungsi Desa Wanaherang, Kec. Gunung Putri Desa Cicadas, Kec. Gunung Putri
PT Sigma Utama (PT SU) PT Lemindo Abadi Jaya (PT LA) PT Murni Cahaya Pratama (PT MC) PT PT Sika Indonesia (PT SI)
Kelurahan Kr. Asem Barat, Kec. Citeureup Desa Wanaherang, Kec. Gunung Putri Desa Sanja, Kec. Citeureup Desa Limusnunggal, Kec. Cileungsi
Total responden
Jumlah Sampel 20 20 20 20
20 20 20 20 160
Sedangkan penetapan responden dalam rangka menggali informasi dan pengetahuan (akuisisi pendapat) pakar dalam rangka perumusan kebijakan adalah dengan cara tertentu (purposive sampling). Dasar pertimbangan penentuan pakar yang dijadikan responden adalah dengan kriteria 1) keterjangkauan dan kesediaan responden untuk diwawancarai; 2) mempunyai reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti dan 3) telah berpengalaman dalam bidangnya.
Responden yang akan dipilih berdasarkan
representasi sebagai stakeholder tersebut terdiri dari unsur Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang relevan dengan kegiatan ini. 4.3. Rancangan Penelitian 4.3.1. Studi Kinerja Pengelolaan Lingkungan a. Jenis dan Sumber Data 1) Data Primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan langsung dari lokasi penelitian melalui kuisioner yang diberikan kepada para responden tingkat manajemen perusahaan dan pelaksana produksi tentang
37
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan pasca-AMDAL/UKLUPL dan implementasi ISO 14001 dan masyarakat. Sedangkan instrumen penelitian yang digunakan untuk keperluan pengumpulan data terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu daftar periksa (checklist) dan daftar isian kinerja lingkungan dan pedoman wawancara persepsi masyarakat. a). Daftar Periksa (checklist) Daftar periksa (checklist) ini merupakan instrumen yang disusun dengan tujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan penerapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan SML perusahaan. Checklist berbentuk seperangkat pernyataan yang menyediakan respon/jawaban yang menggambarkan kondisi aktual penerapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan SML ISO-14001. b). Daftar Isian Kinerja Lingkungan Penggunaan instrumen daftar isian kinerja lingkungan dilakukan untuk mengetahui pola kinerja lingkungan perusahaan.
Data dan
informasi yang direkam mencakup kinerja operasional dan kinerja manajemen serta pengetahuan/sikap terhadap lingkungan. c). Pedoman Wawancara Penggunaan pedoman wawancara untuk masyarakat di sekitar perusahaaan dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap perusahaan. 2) Data Sekunder Data sekunder yang dibutuhkan tersebut bersumber dari perusahaan yang diteliti dan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor meliputi : -
Informasi umum tentang perusahaan dan data produksi serta pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan
-
Laporan AMDAL atau UKL/UPL yang telah disusun dan disyahkan oleh instansi terkait
-
Laporan implementasi RKL/RPL atau UKL/UPL yang telah disusun dan disampaikan ke instansi terkait selama 3 (tiga) tahun terakhir
38
b. Metode Pengumpulan Data dan Informasi Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1)
Kuisioner dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pengelolaan lingkungan pasca-AMDAL atau UKL/UPL dan ISO 14001.
2)
Teknik dokumentasi dari dokumen yang ada di perusahaan yang berkaitan dan diperlukan dalam penelitian ini.
3)
Observasi/pengamatan langsung ke lapangan mengenai pelaksanaan pengelolaan dan pengendalian lingkungan.
c. Metode Analisis Data 1) Analisis Deskriptif Data-data yang telah dikumpulkan di lapangan dari hasil wawancara akan diolah dengan cara pendekatan analisis deskriptif. Dalam hal lain analisis data yang disusun dapat mengetahui tingkat persepsi karyawan terhadap implementasi pengelolaan lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh perusahaan. 2) Analisis Kecenderungan (Trend Analysis) Data-data hasil pemantauan selama periode 3 tahun yang telah dikumpulkan akan diolah dengan cara tabulasi data serta ditampilkan dalam bentuk tabel dan/atau grafik untuk selanjutnya dianalisis kecenderungan (trend analysis). Data yang terkumpul secara berurutan (time series) juga akan dianalisis variansi regressi kurva linear (linear curve estimation) dan korelasi (Walpole, 1995) dengan menggunakan perangkat lunak komputer (software) program SPSS versi 15. Formula dasar regressi linear adalah sebagai berikut : Y = bo + b1 X + e Keterangan : Y X bo b1 e
= = = = =
peubah penjelas (predictor variable) peubah respons (response variable) intersep slope galat (observed error)
39
Hasil analisis akan dapat memberikan gambaran dan informasi tentang pola kinerja perusahaan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pasca-AMDAL atau UKL/UPL dan sertifikasi ISO 14001. Perlu diketahui bahwa penggunaan regressi linear di dalam bahasan kinerja lingkungan adalah untuk mengetahui kecenderungan hasil pemantauan yang dilakukan oleh suatu perusahaan tersebut naik (positif) atau turun (negatif). Jadi bukan untuk mencari formulasi hubungan antara perubahan parameter lingkungan terhadap waktu pemantauan. Untuk analisis signifikasi kecenderungan pemantauan lingkungan dilakukan dengan menggunakan uji F antara Fhitung dengan Ftabel pada tingkat keyakinan 5% (α=0,05).
Jika nilai Fhitung > Ftabel, maka dapat
dikatakan kecenderungannya signifikan. Rumus Fhitung adalah sebagai berikut : 2
F hitung =
R /k 2
(1 - R )/(n - k - 1)
Keterangan : R2 k n F
= koefisien determinasi = jumlah variabel bebas = jumlah sampel = uji hipotesis
3) Analisis Kinerja Penilaian kinerja pengelolaan lingkungan terhadap variabel-variabel yang diteliti disesuaikan dengan acuan kriteria penilian Proper (program penilaian peringkat kinerja perusahan) yang dikeluarkan oleh KLH (Juni, 2008) yang dilakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kriteria tersebut seperti tertera pada Lampiran 2 yang meliputi penelaahan terhadap : a) dokumentasi lingkungan (1) pelaporan, terdiri dari : kepemilikan dokumen AMDAL/UKLUPL, kelengkapan pelaporan implementasi, kelengkapan dokumen SML ISO 14001 & Sistem Manajemen Mutu.
40
(2) kualitas dan kelengkapan dokumen, terdiri dari : kesesuaian format laporan dengan petunjuk teknis. (3) sumberdaya manusia, terdiri dari : ketersediaan personil/unit kerja yang menangani masalah lingkungan, program pelatihan karyawan dan sikap serta pengetahuan karyawan terhadap lingkungan b) pengelolaan limbah cair (1) perijinan dan kepemilikan pengendali limbah cair, terdiri dari : kepemilikan dokumen IPLC (ijin pembuangan limbah cair), kepemilikan IPAL, kelengkapan flowmeter pada IPAL. (2) kesesuaian parameter dan titik pantau, terdiri dari : ketaatan titik pantau dan parameter pemantauan limbah cair terhadap IPLC atau dokumen UKL/UPL. (3) hasil pengelolaan limbah cair, terdiri dari : kecenderungan hasil pemantauan limbah cair (pH, TSS, BOD dan COD) (4) pelaporan implementasi limbah cair (5) konsumsi energi terdiri dari : kecenderungan pemakaian energi listrik dan air (6) pengetahuan karyawan tentang limbah cair c) pengelolaan polusi udara/gas (1) kepemilikan pengendali kualitas udara (2) kesesuaian parameter dan titik pantau, terdiri dari : ketaatan titik pantau dan parameter pemantauan polusi udara dan kebisingan terhadap dokumen UKL/UPL. (3) hasil pemantauan kualitas udara dan kebisingan, terdiri dari : kecenderungan hasil pemantauan polusi udara (CO, NO2, SO2, debu dan kebisingan) (4) pelaporan implementasi kualitas udara dan kebisingan (5) pengetahuan karyawan tentang polusi udara dan kebisingan
41
d) pengelolaan limbah B3 (1) perlakukan terhadap limbah padat B3, terdiri dari : kepemilikan sarana pengolah limbah B3 dan perlakuan sementara limbah B3. (2) pengetahuan karyawan tentang limbah padat B3 e) masalah sosial (1) kontribusi CD/CSR perusahaan terhadap masyarakat sekitar. (2) dampak yang terjadi, terdiri dari : persepsi masyarakat terhadap dampak kualitas udara dan kualitas air. (3) keterlibatan tenaga kerja lokal (4) permasalahan sosial yang pernah terjadi
Kriteria
penilaian
kinerja
pengelolaan
lingkungan
diukur
menggunakan skala linkert terhadap sejumlah pertanyaan. Skala linkert yang digunakan sebagai tolok ukur meliputi ”tidak baik” dengan skor (1), ”belum baik” dengan skor (2), ”cukup baik” dengan skor (3), ”baik” dengan skor (4), dan ”sangat baik” dengan skor (5). Sedangkan rumusan penilaian secara keseluruhan dilakukan dengan formula sebagai berikut (Hadiwiardjo, 1997) : Xi = (Σ Yi : M) x 100% Keterangan : Xi i
Σ Yi M
= variabel ke i, 0 < Xi < 1 = 1, 2, ....., 5 = jumlah nilai yang dapat dicapai oleh variabel ke-i = jumlah nilai maksimum dari masing-masing variabel, yaitu perkalian antara jumlah parameter dengan nilai skor tertinggi
Jumlah parameter yang diajukan untuk kriteria penilaian kinerja berdasarkan modifikasi dari penilaian Proper adalah 36 parameter, maka jumlah skor maksimum adalah 5 x 36 = 180 dan jumlah skor minimum adalah 1 x 36 = 36.
Adapun untuk menentukan nilai kinerja suatu
perusahaan baik yang telah menerapkan SML ISO 14001 maupun yang
42
belum secara menyeluruh dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 4. berikut. Tabel 4. Kategori penilaian kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan No
Kategori Kinerja
Nilai Kinerja (%)
Kesetaraan Proper
1
Sangat baik
81 – 100
”biru +”1)
2
Baik
61 – 80
”biru -”2)
3
Cukup baik
41 – 60
”merah +”3)
4
Belum baik
21 – 40
”merah -”4)
5
Tidak baik
1 - 20
”hitam” 5)
1)
Telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dan melakukan upaya 3R (Reuse, Recycle, Recovery). 2) Melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan (80% memenuhi persyaratan). 3) Melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan (70% memenuhi persyaratan) 4) Melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian kecil mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan (50% memenuhi persyaratan) 5) Belum melakukan upaya pengelolaan lingkungan berarti, secara sengaja tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan sebagaimana yang dipersyaratkan, serta berpotensi mencemari lingkungan
4.3.2. Studi Tingkat Ketaatan Pengelolaan Lingkungan a. Jenis dan Sumber Data 1) Data Primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan langsung dari lokasi penelitian melalui kuisioner yang diberikan kepada para responden tingkat manajemen perusahaan tentang ketaatan terhadap peraturan perundangan dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan pasca-AMDAL/UKLUPL dan implementasi ISO 14001. 2) Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari perusahaan dan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (DTRLH) Kabupaten Bogor diantaranya meliputi :
43
-
Produk peraturan yang relevan dengan pengelolaan lingkungan yang dikeluarkan oleh instansi baik tingkat nasional maupun regional seperti : -
Pedoman pengelolaan
penyusunan
laporan
lingkungan
hidup
pelaksanaan
rencana
(RKL)
rencana
dan
pemantauan lingkungan hidup (RPL) -
Peraturan yang memuat tentang baku mutu kualitas lingkungan baik udara, air dan limbah padat
-
Laporan AMDAL atau UKL/UPL yang telah disusun dan disyahkan oleh instansi terkait.
-
Laporan implementasi RKL/RPL atau UKL/UPL yang telah disusun dan disampaikan ke instansi terkait selama 3 (tiga) tahun terakhir.
b. Metode Pengumpulan Data dan Informasi Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: -
Kuesioner dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pengelolaan lingkungan pasca-AMDAL atau UKL/UPL dan ISO 14001.
-
Teknik dokumentasi dari dokumen yang ada di perusahaan yang berkaitan dan diperlukan dalam penelitian ini.
c. Metode Analisis Data Data-data yang telah dikumpulkan di lapangan dari hasil wawancara akan diolah dengan cara pendekatan analisis deskriptif. Pengumpulan data hasil pengukuran yang telah dilakukan tersebut kemudian dibandingkan dengan baku mutu lingkungan yang berlaku secara regional maupun nasional untuk melihat tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan. Hasil tersebut diharapkan akan dapat memberikan gambaran dan informasi tentang ketaatan perusahaan terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pascaAMDAL atau UKL/UPL dan sertifikasi ISO 14001.
44
4.3.3. Perumusan Strategi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan a. Jenis dan Sumber Data 1) Data Primer Data primer berupa pendapat dari beberapa stakeholder tentang pelaksanaan studi lingkungan (AMDAL/UKLUPL) dan implementasi ISO 14001 pada industri kimia yang dicatat dengan menggunakan kuesioner. Sebagai responden stakeholder adalah seperti tertetra pada Tabel 5. Tabel 5. Responden stakeholder No 1
2
3 4 5 6 7 8 9 10
Stakeholder Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KLH) - Kepala Bidang Pengembangan - Kepala Bidang Tindak Lanjut Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor - Kasie Implementasi RKL/RPL dan UKL/UPL - Kasie Pengawasan dan Pengendalian Bappeda Kabupaten Bogor - Kabid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor - Kasie Industri Kimia (IKAH) LSM Camat Citeureup Pakar Lingkungan PPLH IPB Industri Kimia 1 (PT Sigma Utama) Industri Kimia 2 (PT Djasula Wangi) Total
Jumlah
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12
2) Data Sekunder Data sekunder berupa peraturan tentang kebijakan lingkungan yang dikeluarkan oleh instansi baik tingkat nasional maupun regional (KLH, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Bappeda, dan instansi terkait di Kabupaten Bogor seperti : - Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL/RPL atau UKL/UPL. - Peraturan yang memuat tentang baku mutu kualitas lingkungan baik udara, air dan limbah padat. - Peraturan daerah dan instansi lainnya yang terkait dengan kebijakan pengelolaan lingkungan di lingkungan Kabupaten Bogor.
45
b. Metode Pengumpulan Data dan Informasi Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1) Studi pustaka, review kebijakan pengelolaan lingkungan terhadap perundang-undangan dan peraturan tentang kebijakan lingkungan yang dikeluarkan oleh instansi baik tingkat nasional maupun regional. 2) Expert judgement, melalui wawancara terhadap stakeholder kunci yang berperan dalam proses pelaporan dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan. c. Metode Analisis Data 1) Analisis Deskriptif Untuk melihat kebijakan pengelolaan lingkungan industri kimia dilakukan dengan melakukan review terhadap perundang-undangan dan peraturan tentang pengelolaan lingkungan dan dianalisis secara deskriptif. 2) Analytical Hierarchy Process (AHP) Metoda ini dimaksudkan untuk dapat mengperusahaankan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai (Saaty di dalam Eriyatno dan Sofyar, 2007). Metode ini dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian
masalah
dimaksud
dalam
kerangka
berfikir
yang
terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metoda ini memiliki keunggulan tertentu karena mampu membantu menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi persoalan yng terstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu persoalan kompleks dan tidak terstruktur, serta bersifat strategis dan dinamis melalui upaya penataan rangkaian variabelnya dalam suatu hirarki.
Pengolahan data
berbasis komputer menggunakan aplikasi perangkat lunak expert choice 2000.
Expert choice merpakan perangkat lunak sistem pendukung
keputusan berdasarkan metodologi pengambilan keputusan AHP (analytical hierarchy process).
46
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis kebijakan dengan menggunakan metoda AHP ini adalah sebagai berikut : a) Penyusunan hirarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsurunsur dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hirarki. b) Penyusunan kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang dilengkapi dengan uraian subkriteria, dan bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah. c) Penilaian kriteria dan alternatif, untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian sasaran, yang dinilai melalui perbandingan berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan skala perbandingan Saaty (1993) adalah seperti disajikan pada Tabel 6. berikut. Tabel 6. Penilaian kriteria berdasarkan skala perbandingan Saaty (1993) No
Nilai
Keterangan
1
1
A sama penting dengan B
2
3
A sedikit lebih penting dari B
3
5
A jelas lebih penting dari B
4
7
A sangat jelas lebih penting dari B
5
9
A mutlak lebih penting dari B
6
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber : Eriyatno dan Sofyar (2007)
d) Penentuan prioritas, menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya
dilakukan
perhitungan
untuk
melihat
konsistensi
penilaian dengan menggunakan cara perhitungan CR (consistency ratio).
47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Pengelolaan Lingkungan Industri Kimia Kinerja lingkungan perusahaan pada penelitian ini dibatasi pada kinerja operasional yang berkaitan dengan pengendalian aspek lingkungan penting, pencapaian tujuan dan sasaran lingkungan serta prinsip perbaikan berkelanjutan (continual improvement). Kinerja operasional diperoleh dari hasil pemantauan dan pengukuran kegiatan operasional perusahaan, dan dalam penelitian ini dibatasi pada kinerja pengelolaan limbah cair, gas dan padat serta identifikasi kegiatan sosial di masyarakat sekitar. Analisis data kinerja operasional menggunakan indikator kinerja yang didasarkan pada satuan pembanding tertentu, yaitu satuan produk dengan mempertimbangkan kriteria yang dipergunakan untuk penilaian Proper atau Superkasih oleh KLH.
Hasil
pengolahan data kinerja perusahaan secara lengkap tertera pada Lampiran 3. 5.1.1. Dokumentasi Lingkungan 5.1.1.1. Pelaporan Dari hasil inventarisasi dokumen AMDAL atau UKL/UPL kegiatan industri kimia pada Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, tercatat bahwa dari 91 industri yang telah memiliki dokumen AMDAL hanya dua industri (2,20%) dan yang memiliki dokumen UKL/UPL sebanyak 24 industri (26,37%), sedangkan sisanya (71,43%) tidak dilengkapi dengan dokumen lingkungan. Kedelapan perusahaan penelitian telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yang telah disyahkan dan mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang. Dengan demikian ditinjau dari kepemilikan dokumen lingkungan, secara umum perusahaan sampling tersebut memiliki skor tertinggi 5 (nilai 2,78%). Supardi (2003), menyebutkan bahwa AMDAL/UKL-UPL merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang bijaksana terutama dokumen RKL/RPL dan UKL/UPL yang merupakan dokumen yang bersifat operasional dan dapat diimplementasikan untuk memantau kondisi lingkungan. Pelaporan penerapan UKL/UPL pada industri kimia di Kabupaten Bogor telah dilakukan secara rutin oleh masing-masing industri kepada Dinas Tata Ruang dan
48
Lingkungan Hidup, namun demikian hal ini tidak diikuti oleh seluruh industri yang memiliki kewajiban menyampaikan laporan. Dari segi frekuensi pelaporan, hanya PT M3 yang menyampaikan 100% dari seluruh kewajibannya setiap enam bulan, empat perusahaan melaporkan sekitar 50 – 80% dan lima perusahaan lainnya hanya memenuhi kewajibannya lebih kecil dari 50%. Kelengkapan dokumen ISO 14001 belum dimiliki oleh seluruh perusahaan penelitian, namun demikian terdapat perusahaan yang telah memiliki dokumen sistem mutu (ISO 9001 : 2000). PT SU telah dilengkapi dengan dokumen ISO 14001 dan ISO 9001 : 2000, sedangkan perusahaan lainnya masih dalam pengurusan (PT AG) atau hanya memiliki dokumen sistem mutu, bahkan terdapat beberapa perusahaan yang belum memiliki dokumen. 5.1.1.2. Kualitas dan Kelengkapan Dokumen Pelaporan dokumen pengelolaan pasca-AMDAL atau UKL/UPL yang diterima oleh Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor dapat dijadikan sumber untuk memberikan gambaran ketaatan dan kesadaran industri di bidang lingkungan. Selain itu dokumen ini dapat dijadikan kontrol untuk melakukan pembinaan dan pamantauan terhadap industri tersebut. Pelaporan implementasi diharapkan bisa membangun kesadaran pihak pengusaha melalui aspek legal yang berlaku, karena pada dasarnya penetapan hukum yang diberlakukan dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 03.C tahun 2007 tanggal 22 Mei 2007 dilatarbelakangi oleh dasar pemikiran untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan. Untuk mengetahui sejauhmana kualitas dokumen penerapan UKL/UPL pada industri kimia, maka dilakukan tinjauan ulang (review) terhadap dokumen tersebut dengan acuan Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 03.C tahun 2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Berdasarkan telaah substansi pelaporan yang telah disampaikan oleh kelima organisasi baik yang belum maupun telah memiliki dokumen SML
49
ISO 14001, sebagian besar belum terpenuhi sesuai petunjuk teknis tersebut. Penilaian
terhadap
substansi
dokumen
menunjukkan
bahwa
kedelapan
perusahaan penelitian hanya terpenuhi sekitar 80 %, sehingga memiliki skor 3 (nilai 1,67%). Kekurangan yang ada adalah belum mencantumkan identitas dan deskripsi perusahaan secara lengkap serta belum menggambarkan perkembangan lingkungan sekitar termasuk permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat sekitarnya. 5.1.1.3. Sumberdaya Manusia Kriteria kinerja lainnya adalah lebih bersifat operasional dan ketersediaan sumberdaya manusia yang terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara langsung di dalam opersional industri.
Sebagian besar
perusahaan penelitian tidak membentuk bagian/bidang yang khusus menangani masalah lingkungan, namun masih merupakan sub bagian lainnya. Seperti di PT SU yang telah memiliki sertifikat ISO 14001pun meskipun telah ditunjuk personil yang bertanggung jawab dalam bidang lingkungan yaitu environmental management
representative
(EMR),
namun
secara
operasional
masih
membebankan permasalahan lingkungan pada bagian lainnya yaitu bagian umum (general affairs), sedangkan pada perusahaan yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 pemasalahan lingkungan tersebut masih merupakan tanggung jawab Bagian Produksi. Program pelatihan karyawan tentang lingkungan akan dapat meningkatkan pengetahuan tentang lingkungan dan akibat yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan.
Hasil wawancara terhadap karyawan PT SU menunjukkan bahwa
sebagian besar (65%) menyatakan pernah mendapatkan pelatihan (training) tentang lingkungan.
Pelatihan tersebut terutama diberikan kepada tingkatan
Kasie ke atas, yaitu meliputi pelatihan SML ISO 14001, kepedulian lingkungan, pelatihan tentang B3 dan tentang keselamatan kerja. Berdasarkan informasi dari pihak manajemen juga terungkap bahwa sebagian besar karyawan (>30%) telah memperoleh pelatihan dalam bidang lingkungan. Hal ini juga terungkap pada saat pengisian daftar isian tentang lingkungan, secara menyeluruh hasil penilaian pengetahuan dan sikap karyawan perusahaan memiliki sertifikat ISO 14001 tentang sumberdaya alam dan lingkungan
50
dikategorikan ”sangat baik” dengan nilai 82,28%. Sedangkan pada perusahaan lainnya seperti PT DW tercatat pengetahuan dan sikap karyawan tergolong ”baik”, namun tidak ditunjang oleh pelatihan di bidang lingkungan. Dari jawaban responden hanya 10% karyawan yang telah memperoleh pelatihan di bidang lingkungan, hal ini senada dengan yang telah diinformasikan pihak manajemen PT DW dan perusahaan lainnya yang belum memiliki sertifikat ISO 14001. Hasil penilaian secara menyeluruh terhadap perusahaan yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 tentang pengetahuan karyawan menunjukkan bahwa sebanyak 50% perusahaan penelitian tergolong belum baik.
Rendahnya
tingkat pengetahuan karyawan terhadap implementasi UKL/UPL tersebut adalah karena dalam pelaksanaannya laporan UKL/UPL hanya dikerjakan oleh salah satu departemen, dan kurangnya sosialisasi kepada karyawan tentang kegiatan pengelolaan dan pemantauan yang telah dibuat dan tercantum dalam laporan UKL/UPL tersebut. Dengan demikian penilaian pengetahuan karyawan tentang lingkungan untuk perusahaan yang telah mendapatkan sertifiat ISO 14001 lebih baik dibandingkan dengan yang belum memperoleh sertifikat tersebut. Tingkat pengetahuan karyawan terhadap lingkungan karena SML terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan. Sehingga prosedur operasi standar (SOP) yang dibuat dalam SML sudah mencakup SOP di masing-masing unit lingkungan kerja di pabrik. Mulai dari tingkat pelaksana, supervisor dan manager semuanya terlibat langsung dalam pelaksanaan SML, dimana tingkat pelaksana selalu bertanggungjawab terhadap hal-hal teknis yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan dalam setiap pekerjaan mereka. Begitu juga dengan manager yang bertanggungjawab penuh terhadap pencapaian target yang tercakup dalam SOP setiap unit kerja. Hal ini juga didukung oleh adanya internal audit dan pelatihan yang secara rutin dilakukan sekali 6 bulan, sehingga mereka mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam mengatasi dampak penting terhadap lingkungan yang ada di unit kerjanya.
51
Tabel 7. Hasil penilaian kinerja berdasarkan dokumentasi lingkungan
NO
INDIKATOR KINERJA
Dokumentasi Lingkungan 1 Kepemilikan dokumen AMDAL/UKL UPL yang telah disyahkan oleh Instansi 2 Kelengkapan pelaporan dokumen AMDAL/UKL UPL 3 Kesesuaian format laporan dengan Petunjuk Teknis 4 Kelengkapan dokumen Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 & Sistem Manajemen Mutu 5 Ketersediaan personil/unit kerja yang menangani masalah lingkungan 6 Program pelatihan karyawan tentang Lingkungan 7 Pengetahuan karyawan terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan 8 Sikap/kepedulian karyawan terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sub Total Keterangan : S = Skor N = Nilai
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
PT DW
PT IND
PT AG
PT M3
PT SU
PT LA
PT MC
PT SI
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
4
2.22
4
2.22
3
1.67
5
2.78
4
2.22
2
1.11
2
1.11
2
1.11
3
1.67
3
1.67
4
2.22
3
1.67
3
1.67
3
1.67
3
1.67
3
1.67
1
0.56
2
1.11
3
1.67
3
1.67
4
2.22
1
0.56
1
0.56
1
0.56
2
1.11
2
1.11
2
1.11
2
1.11
2
1.11
2
1.11
2
1.11
2
1.11
3
1.67
3
1.67
3
1.67
2
1.11
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
4
2.22
3
1.67
2
1.11
2
1.11
4
2.22
1
0.56
1
0.56
3
1.67
4
2.22
3
1.67
2
1.11
2
1.11
5
2.78
1
0.56
1
0.56
3
1.67
26
14.44
25
13.89
24
13.33
24
13.33
32
17.78
18
10.00
18
10.00
22
12.22
52 5.1.2. Kinerja Pengendalian Limbah Cair 5.1.2.1. Perijinan dan Kepemilikan Pengendali Limbah Cair Kinerja pengendalian limbah cair kedelapan perusahaan penelitian dapat diindikasikan oleh kepemilikan ijin pembuangan limbah cair (IPLC), adanya instalasi pengolahan air limbah (IPAL), kesesuaian parameter pemantauan, hasil pemantauan terhadap baku mutu air limbah dan pelaporannya. Berdasarkan inventarisasi data yang ada di Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (DTRLH) Kabupaten Bogor (2007), tercatat sekitar 38% industri yang telah memiliki IPLC. Kelima perusahaan penelitian sudah memiliki IPLC, sehingga dalam penilaian kinerja ini tergolong kategori baik dengan skor 5. Namun demikian berdasarkan hasil observasi kondisi fisik di lapangan untuk PT SU dan PT IND dapat dikatakan kondisi IPALnya masih baik dan memenuhi persyaratan teknis, sedangkan perusahaan penelitian lainnya masih terdapat oveflow, sehingga nilai kinerja lebih kecil. Secara fisik terlihat bahwa pada perairan umum di sekitar industri tersebut terlihat adanya perubahaan warna cairan yang keluar dari saluran pembuang. 5.1.2.2. Kesesuaian Parameter dan Titik Pantau Hasil verifikasi titik pantau kualitas air limbah pada laporan implementasi setiap 6 bulan yang dilakukan berdasarkan data yang ada di DTRLH Kabupaten Bogor, dapat dikatakan bahwa secara umum kelima perusahaan penelitian baik yang belum maupun telah memiliki sertifikat ISO 14001 telah sesuai dengan yang tertera pada dokumen UKL/UPL yang telah disusun sebelumnya. Sedangkan parameter titik pantau terdapat perbedaan pada sebagian perusahaan penelitian. PT SU, PT AG, PT MC dan PT SI, telah menyesuaikan dengan jenis dan jumlah parameter yang tercantum di dalam dokumen UKL/UPL termasuk dalam kategori sangat baik dengan skor 5, sedangkan ketiga perusahaan lainnya tidak sesuai dengan ang tercantum dalam dokumen UKL/UPL. PT DW hanya melakukan pemantauan terhadap empat parameter kunci dari total tujuh parameter kunci yang seharusnya dipantau, sedangkan tiga parameter lainnya (Mg, amoniak dan minyak) tidak dilakukan pemantauan. Sedangkan PT IND
53 yang memiliki nilai terrendah (skor 2), hanya melakukan pemantauan terhadap lima parameter dari enam belas parameter yang tertera pada dokumen UKL/UPL. Parameter yang tidak dipantau adalah TDS, logam berat (Fe, Mn, Cu, Zn, Cd, Hg dan F), serta phenol. Demikian halnya dengan PT LA yang hanya memantau parameter BOD dan COD saja. 5.1.2.3. Hasil Pengelolaan Limbah Cair Hasil pengukuran kualitas limbah cair, dan untuk penelitian ini digunakan parameter utama kualitas air sebagai indikator kinerja, yaitu : pH, TSS (total suspended solid), BOD (biological oxygen demand), COD (chemical oxygen demand). Parameter-parameter tersebut merupakan parameter kunci limbah cair dari industri yang diteliti. Hasil pemantauan kualitas limbah cair dan hasil analisis data (output) kecenderungan masing-masing perusahaan terlihat pada Lampiran 4 sampai dengan Lampiran 13. a. pH pH merupakan derajat keasaman dari suatu perairan yang berpengaruh terhadap kualitas air, semakin rendah nilai pH, maka semakin tinggi derajat keasamannya. Perubahan pH atau konsentrasi ion hidrogen merupakan salah satu indikator bahwa air lingkungan telah tercemar (Wardana, 2004). Hasil pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan industri kimia (swa pantau) yang dilakukan secara rutin setiap bulan selama beroperasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan konsentrasi kandungan pH yang menurun dan konstan pada industri yang telah memiliki sertifikat ISO 14001.
Dengan
menggunakan uji F seperti terlihat pada tabel 8, ternyata berdasarkan nilai Fhitung pada seluruh perusahaan baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001, ternyata perubahan konsentrasi pH cenderung tidak signifikan (Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel). Seperti terlihat pada Gambar 7 dan 8, nampak bahwa hanya perusahaan PT SU yang telah bersertifikat ISO 14001 saja yang perubahannya cukup tinggi dibandingkan dengan perusahaan lainnya dengan nilai Fhitung = 3,885, namun pada periode berikutnya pH cenderung konstan antara 6 - 9.
Hal ini berarti bahwa pengelolaan limbah cair untuk
menurunkan pH dari perusahaan tersebut cukup baik dibandingkan dengan perusahaan lainnya.
54 Tabel 8. Kecenderungan konsentrasi pH No
Perusahaan
1.
Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
2.
Industri
Fhitung
Ftabel
PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = -0,0068x + 7,5717
3,885
F(1,40)=4,09
PT DW
y = 0,0125x + 7,3204
0,129
F(1,13)=4,67
PT IND
y = 0.0064x + 8,1272
0.133
F(1,32)=4,18
PT AG
y = 0,0323x + 6,6637
1,678
F(1,18)=4,41
PT M3
y = 0,0098x + 7,2136
1,228
F(1,34)=4,13
PT LA PT MC PT SI
data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis)
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008 10 BM pH : 6 - 9
9 8
y = -0.0068x + 7.5717
Konsentrasi (pH)
7 6 5 4 3 2 1
N ov
Ju li Se pt 07
M ei
Ja n0 7 M ar et
N ov
i Se pt
Ju l
Ja n0 6 M ar et M ei 06
N ov
i Se pt
Ju l
M ei
Ja n0 5 M ar et
N ov
Ju li0
4 Se pt
0
Waktu pemantauan
Gambar 7. Kecenderungan konsentrasi pH pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001) 10
10 BM pH : 6 - 9
BM pH : 6 - 9
9
9
8
8
7 Konsentrasi pH
7 Konsentrasi pH
6 5 4
6 5 4 3
3
2
2
1 0
No
v D n i es 20 05 Ju li Ag st Se pt Ok t No v D Ja es n2 00 Fe 6 b 06 M ar t Ap ril M ei D Ja es n2 00 Fe 7 b 07 M ar t Ap ril M ei Ju ni Ju li Ag st Se pt Ok t No v
1
O kt
A gs t
pr il
Ju ni
A
07 Fe b
es D
pr il
Ju
Waktu pemantauan
A
es
06 Fe b
O kt
D
A gs t
Se pt
li
ei
Ju
M
M ar t
N ov Ju ni 20 05
Ja n
20 04
0
Waktu pemantauan PT DW
PT IND
PT SI
PT M3
Gambar 8. Kecenderungan konsentrasi pH pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001)
55 b. TSS Hasil pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan industri kimia (swa pantau) secara rutin setiap bulan selama beroperasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan positif terhadap konsentrasi TSS pada air limbah yang telah diolah pada PT SU yang telah memiliki sertifikat ISO 14001. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang telah dilakukan cenderung tidak mengalami perubahan yang lebih baik dari waktu ke waktu, meskipun secara nominal masih memenuhi baku mutu kualitas air limbah (SK Gubernur Jawa Barat No 6 tahun1999). Dengan menggunakan uji F seperti terlihat pada tabel 8, ternyata berdasarkan nilai Fhitung pada seluruh perusahaan baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001, ternyata perubahan konsentrasi TSS cenderung tidak signifikan (Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel). Seperti terlihat pada Gambar 9 dan 10, nampak bahwa hanya perusahaan PT AG dan PT M3 yang mengalami perubahan cukup tinggi dibandingkan dengan perusahaan lainnya.
Kecenderungan perubahan konsentrasi TSS pada outlet
IPAL cenderung menurun (negatif) dengan nilai Fhitung = 10,663, walaupun perusahaan tersebut belum bersertifikat ISO 14001. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa pengelolaan limbah cair untuk menurunkan TSS dari perusahaan tersebut cukup baik walupun pada awalnya kandungan TSS pada perusahan tersebut cukup tinggi (115 mg/l pada bulan Mei 2004), namun pada periode bulan Juni 2008 terus menurun hingga mencapai 3 mg/l. Tabel 9. Kecenderungan konsentrasi TSS No 1. 2.
Perusahaan Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
Industri
Fhitung
Ftabel
PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = 0,1791x + 13,273
2,074
F(1,40)=4,09
PT DW
y = -1,0857x + 26,019
2,456
F(1,13)=4,67
PT IND
y = -0,548x + 22,898
3,726
F(1,32)=4,18
PT AG
y = -2,8112x + 44,068
10,664
F(1,18)=4,41
PT M3
y = -0,9072x + 43,2
7,004
F(1,34)=4,13
PT LA PT MC PT SI Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis)
56
60
BM TSS : 50 mg/l
Konsentrasi TSS (mg/l)
50
40
30
20 y = 0.1791x + 13.273 10
N ov
Ju li Se pt 07
M ei
07 M ar et
N ov
Ja n
i Se pt
Ju l
06 M ar et M ei 06
N ov
Ja n
Ju li Se pt
M ei
05 M ar et
Ja n
N ov
Ju li0
4 Se pt
0
Waktu pemantauan
Gambar 9. Kecenderungan konsentrasi TSS pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001)
140
120
BM TSS : 60 mg/l
120
100
Konsentrasi TSS (mg/l)
Kosentrasi TSS (mg/l)
100 80
60
40
80
60
40 20
BM TSS : 15 mg/l
20
Waktu pengukuran
M ei
Ju ni
M ei
Ju ni 20 08 Fe b 08 M ar et A pr il Ja n
D es 20 07 Fe b 07 M ar et A pr il Ja n
ov
Ju ni
N
Ju M ni ar et 20 06
20 04 Ja n 20 05 M ar et
PT M3
M ei
t
kt
gs
O
Ju ni
0 A
il
07
A pr
Fe b
il
D es
06
Waktu pemantauan
Ap r
Fe b
D es
t
kt
gs
O
A
N ov Ju ni 20 05
i Ju l
Se pt
ei M
M ar t
Ja n
20 0
4
0
PT AG
Gambar 10. Kecenderungan konsentrasi TSS pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001) c. BOD BOD (biochemical oxygen demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air (Srikandi, 1992). Hasil pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan industri kimia (swa pantau) yang dilakukan secara rutin setiap bulan selama beroperasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan konsentrasi kandungan BOD yang menurun pada limbah industri sampling baik yang telah ataupun belum memiliki sertifikat ISO
57 14001.
Dengan menggunakan uji F seperti terlihat pada tabel 10, ternyata
berdasarkan nilai Fhitung pada seluruh perusahaan baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001, ternyata perubahan konsentrasi BOD cenderung tidak signifikan (Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel). Seperti terlihat pada Gambar 11 dan 12, nampak bahwa hanya perusahaan PT AG dan PT M3 yang mengalami perubahan cukup tinggi dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Kecenderungan perubahan konsentrasi BOD pada outlet IPAL PT AG adalah negatif dengan nilai Fhitung = 12,977, walaupun perusahaan tersebut belum bersertifikat ISO 14001. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa pengelolaan limbah cair untuk menurunkan BOD dari perusahaan cukup baik. Tabel 10. Kecenderungan konsentrasi BOD No 1. 2.
Perusahaan Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
Industri
Fhitung
Ftabel
PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = -0,1998x + 35,296
1,080
F(1,40)=4,09
PT DW
y = -1,0178 x + 56,076
0,194
F(1,13)=4,67
PT IND PT AG PT M3 PT LA PT MC PT SI
y = 0,2936 x + 22,689 0,795 F(1,32)=4,18 y = -0,5262 x + 10,323 12,978 F(1,18)=4,41 y = -0,8858x + 59,527 11,747 F(1,34)=4,13 data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis)
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008 90 BM BOD : 80 mg/l
80
Konsentrasi BOD (mg/l)
70
60
50
40 y = -0.1998x + 35.296 30
20
10
N ov
Ju li Se pt 07
M ei
N ov Ja n0 7 M ar et
Ju li Se pt
N ov Ja n0 6 M ar et M ei 06
i Se pt
Ju l
M ei
N ov Ja n0 5 M ar et
Ju li0
4 Se pt
0
Waktu pemantauan
Gambar 11. Kecenderungan konsentrasi BOD pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001)
58
120
160
140 100
120 Konsentrasi BOD (mg/l)
Konsentrasi BOD (mg/l)
BM BOD : 75 mg/l
80
60
40
100
80
60
BM BOD : 50 mg/l
40 20
20
N
t
kt O
A gs
pr il
Ju ni
A
es
07 Fe b
pr il
D
A
es
06
D
Fe b
t
kt O
A gs
ov
00 5
N
Ju n
i2
Ju li
Se pt
M ei
M ar t
4 20 0 Ja n
Waktu pemantauan
ov Ju Des ni 20 05 Ju li Ag st Se pt O kt N ov D Ja es n 20 0 Fe 6 b 06 M ar t Ap ril M ei D Ja es n 20 0 Fe 7 b 07 M ar t Ap ril M ei Ju ni Ju li Ag st Se pt Ok t N ov
0
0
PT M3
Waktu pemantauan PT DW
PT IND
Gambar 12 . Kecenderungan konsentrasi BOD pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001) d. COD Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) menunjukkan kandungan bahan organik dan anorganik yang dapat diuraikan dan dinyatakan dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses degradasinya. Makin tinggi nilai COD suatu perairan dan air limbah, maka kualitas air tersebut semakin buruk. COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi oleh kalium bichromat menjadi gas CO2 dan H2O (Wardhana, 2004). Hasil pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan industri kimia (swa pantau) yang dilakukan secara rutin setiap bulan selama beroperasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan konsentrasi kandungan COD yang menurun pada limbah industri yang telah memiliki sertifikat ISO 14001. Dengan menggunakan uji F seperti terlihat pada tabel 11, ternyata berdasarkan nilai Fhitung pada seluruh organisai baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001, ternyata perubahan konsentrasi COD cenderung tidak signifikan (Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel). Nampak bahwa hanya perusahaan PT M3 saja yang perubahannya signifikan dengan nilai Fhitung = 10,469.
59 Tabel 11. Kecenderungan konsentrasi COD No
Perusahaan
1.
Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
2.
Industri PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = -0,6861x + 93,441
1,010
F(1,40)=4,09
PT DW
y = -3,143x + 167,05
0,198
F(1,13)=4,67
PT IND PT AG PT M3 PT LA PT MC PT SI
y = 1,1976x + 50,486 3,746 F(1,32)=4,18 y = -1,2126x + 34,024 2,525 F(1,18)=4,41 y = -2,4625x + 166,56 10,469 F(1,34)=4,13 data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis) data terbatas (tidak dapat dianalisis)
Fhitung
Ftabel
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008 200 180 160
Konsentrasi COD (mg/l)
140 120 100 80 60
y = 0.1307x + 70.028
40 20
N ov
Ju li Se pt 07
M ei
Ja n0 7 M ar et
N ov
i Se pt
Ju l
Ja n0 6 M ar et M ei 06
N ov
i Se pt
Ju l
M ei
Ja n0 5 M ar et
Ju li0
N ov
4 Se pt
0
Waktu pemantauan
Gambar 13. Kecenderungan konsentrasi COD pada outlet IPAL (sertifikat ISO 14001) 350
500 450
300
400 350 Konsentrasi COD (mg/l)
BM COD : 180 mg/l
200
150
300 250 200 150
100
BM COD : 100 mg/l
100 50
50
Waktu pemantauan
PT M3
D Ja es n 20 0 Fe 6 b 06 M ar t A pr il M ei D Ja es n 20 0 Fe 7 b 07 M ar t A pr il M ei Ju ni Ju li A gs t Se pt O kt N ov
ov Ju Des ni 20 05 Ju li A gs t Se pt O kt N ov
N
kt O
gs
t
i A
il pr
Ju n
A
07 Fe b
il
es
pr
D
A
es
06
D
Fe b
t
kt
gs
O
A
05
N ov
20 ni
Ju
li
Se pt
Ju
M
ei
0 M ar t
20
04
0
Ja n
Konsentrasi COD (mg/l)
250
Waktu pemantauan PT DW
PT IND
Gambar 14. Kecenderungan konsentrasi COD pada outlet IPAL (nonsertifikat ISO 14001)
60 Berdasarkan hasil penilaian kinerja terhadap pengelolaan limbah cair secara umum dapat disimpulkan bahwa 50% perusahaan yang diteliti cenderung negatif (mengalami peningkatan kualitas limbah yang dipantau). Hal ini berarti ada indikasi pengelolaannya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, namun dilihat dari perubahannya ternyata cenderung tidak signifikan yang dibuktikan dengan uji F (Fhitung < Ftabel). Sehingga perlu lebih diperketat di dalam pengelolaannya, karena ada peluang untuk berubah menjadi kecenderungan positif (kualitas limbah semakin menurun).
Kondisi kualitas limbah cair pada perusahaan
penelitian lainnya adalah cenderung lebih buruk (12,5%) dan yang tidak tercatat kecenderungan pengelolaan limbah cairnya sebesar 37,5%, sehingga kinerja pengelolaan limbah cair pada perusahaan ini perlu lebih diperhatikan secara baik. 5.1.2.4. Pelaporan Implementasi Limbah Cair Hasil inventarisasi laporan implementasi UKL/UPL industri kimia yang diteliti menunjukkan bahwa sebagian besar tergolong kategori “baik” (frekuensi 80-99%) dalam pemantauan limbah cair yaitu PT M3, PT DW, PT IND dan PT SU. Sedangkan PT AG termasuk “cukup baik” (frekuensi 50-79%) dan PT LA, PT SI dan PT MC termasuk kategori “belum baik” (frekuensi <50%). 5.1.2.5. Konsumsi Energi a. Listrik Sumberdaya energi utama pada perusahaan penelitian adalah listrik, yang bersumber dari PLN atau generator diesel. Analisis data konsumsi listrik dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja dalam satuan kWh/satuan produk, yang merupakan indikasi berapa jumlah konsumsi listrik untuk menghasilkan satu satuan produk. Konsumsi energi dinyatakan oleh perusahaan penelitian sebagai salah satu aspek lingkungan penting, dan ditetapkan sebagai tujuan dan sasaran lingkungan perusahaan yang telah memiliki dokumen SML ISO 14001 (PT SU).
Sedangkan pada perusahaan penelitian yang belum
memiliki sertifikat ISO 14001 merupakan salah satu indikator produktifitas industri. Analisis kecenderungan konsumsi listrik pada perusahaan penelitian yang telah mempunyai sertifikat ISO 14001 disajikan pada Gambar 15. Hasil analisis
61 kecenderungan menyeluruh konsumsi listrik industri cat selama periode 2004 – 2007 dengan menggunakan metode regresi kurva linier (linier curve estimation) menunjukkan pola kecenderungan mengarah negatif atau menurun (y = -0,0006x + 0,036). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi listrik untuk produksi cat pada perusahaan yang telah memiliki sertifikat ISO 14001 cenderung menurun dari waktu ke waktu, meskipun tidak signifikan dengan rata-rata konsumsi energi listrik 0,28 kWh/ton produk. Hal ini berbeda dengan perusahaan yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 seperti terlihat pada Gambar 16. Berdasarkan hasil analisis kecenderungan konsumsi listrik dengan menggunakan metode regresi kurva linier (linier curve estimation) menunjukkan bahwa pola kecenderungan mengarah positif atau meningkat (y = 2,7687x + 637,78). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi listrik per satuan produk pada perusahaan yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 cenderung meningkat dari waktu ke waktu dengan rata-rata konsumsi energi listrik 689 kWh/ton produk. Sehingga efisiensi energi listrik cenderung menurun dari waktu ke waktu.
Kecenderungan konsumsi listrik dan air pada kedua
perusahaan terlihat pada Tabel 12. 0.60
0.40
0.30
0.20
0.10
Ju li O kt ob er
M ei
M ar et
be r N ov em be Ja r nu ar i2 00 7
Ju li
pt em
Se
M ei
M ar et
Ju li N ov em be Ja r nu ar i2 00 6
M ei
M ar et
ua ri 20 05
0.00
Ja n
Konsumsi (kWh/ton)
0.50
Bulan
Gambar 15. Kecenderungan pemakaian listrik (sertifikat ISO 14001)
62 1200.00
Konsumsi (kWh/ton)
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
Ju li Se pt em be r N ov em be r
M ei
M ar et
Ju li Se pt em be r N ov em b Ja er nu ar i2 00 7
M ei
M ar et
Ju li Se pt em be r N ov em b Ja er nu ar i2 00 6
M ei
M ar et
Ja nu ar i
20 05
0.00
Bulan
Gambar 16. Kecenderungan pemakaian listrik (nonsertifikat ISO 14001) Tabel 12. Kecenderungan konsumsi energi listrik dan air No
Perusahaan
1.
Sertifikat ISO 14001
2.
Non Sertifikat ISO 14001
Indikator Kinerja Konsumsi listrik (kWh/t) Konsumsi air (m3/t) Konsumsi listrik (kWh/t) Konsumsi air (m3/t)
Regresi Kurva Linear Persamaan y = -0,0006x + 0,3036
Fhitung
Ftabel
0,124
F(1,34)=4,13
y = -0,0001x + 0,0146
1,710
F(1,34)=4,13
y = 2,7687x + 637,78
1,974
F(1,34)=4,13
y = 0,0257x + 87,917
0,069
F(1,34)=4,13
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
b. Sumberdaya Air Kebutuhan air untuk produksi pada perusahaan penelitian menggunakan air tanah dengan melalui ijin penggunaan air tanah (SIPA). Konsumsi air ini dinyatakan oleh satu perusahaan penelitian (PT SU) sebagai salah satu aspek lingkungan penting, dan ditetapkan sebagai tujuan dan sasaran lingkungan SML perusahaan. Sedangkan bagi perusahaan yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 kebutuhan air tersebut merupakan suatu tolok ukur produktifitas penggunaan air terhadap produksi. Analisis kecenderungan konsumsi air pada perusahaan penelitian yang telah sertifikat ISO 14001 disajikan pada Gambar 17. Dari gambar tersebut terlihat
63 bahwa kecenderungan konsumsi air PT SU untuk produksi cat setelah penerapan SML relatif menurun. Rata-rata konsumsi air perusahaan ini adalah 0,01 m3/ton produk. Hasil analisis kecenderungan secara menyeluruh konsumsi air PT SU untuk periode 2004-2007 dengan menggunakan metode regresi kurva linier menunjukkan penurunan (y = -0,0001x + 0,0146).
Hal ini berarti bahwa
konsumsi air untuk produksi cat per satuan produk pada perusahaan yang telah memiliki sertifikat ISO 14001 cenderung menurun dari waktu ke waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa efisiensi energi listrik cenderung meningkat dari waktu ke waktu namun tidak signifikan yang ditunjukkan oleh nilai uji F (Fhitung < Ftabel). 0.03
Konsumsi (m3/ton)
0.02
0.02
0.01
0.01
be r
D es em
i Ju l
ob er
O kt
M ei
M ar et
i em be r N ov em be Ja r nu ar i2 00 7
Ju l
Se pt
M ei
M ar et
00 6
be r Ja n
ua ri 2
i Ju l
M ei
M ar et
ov em
N
Ja n
ua ri 2
00 5
0.00
Bulan
Gambar 17. Kecenderungan pemakaian air (sertifikat ISO 14001) Hal ini berbeda dengan perusahaan yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 seperti terlihat pada Gambar 18. Berdasarkan hasil analisis kecenderungan konsumsi air dengan menggunakan metode regresi kurva linier (linier curve estimation) terlihat bahwa pola kecenderungan mengarah positif atau terjadi peningkatan (y = 0,0257x + 87,917). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi air per satuan produk pada perusahaan penelitian yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 cenderung meningkat dari waktu ke waktu. perusahaan ini adalah 88,39 m3/ton produk.
Rata-rata konsumsi air
64 120.00
100.00
Konsumsi (m3/ton)
80.00
60.00
40.00
20.00
be r
be r
em N ov
Ju li
em
Se pt
M ei
Ju li Se pt em be r N ov em be Ja nu r ar i2 00 7 M ar et
M ei
M ei
Ju li Se pt em be N r ov em Ja be nu r ar i2 00 6 M ar et
Ja n
ua ri 2
00 5 M ar et
0.00
Bulan
Gambar 18. Kecenderungan pemakaian air (non sertifikat ISO 14001) 5.2.2.6. Pengetahuan Karyawan tentang Limbah Cair Pengetahuan karyawan tentang limbah cair terungkap pada saat pengisian daftar isian tentang lingkungan, hasil penilaian pengetahuan dan sikap karyawan tentang limbah cair terhadap industri yang telah memiliki sertifikat ISO 14001 yaitu PT SU dikategorikan ”sangat baik”. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar (>30%) karyawan telah mendapatkan pelatihan dalam bidang lingkungan hidup. Sedangkan pada perusahaan yang belum memiliki sertifikat namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yaitu PT AG, PT IND dan PT DW tercatat pengetahuan dan sikap karyawan tergolong ”baik” dan PT M3 tergolong ”cukup baik”. Dari jawaban responden hanya 10% karyawan yang telah memperoleh pelatihan di bidang lingkungan, hal ini senada dengan yang telah diinformasikan pihak manajemen. Berdasarkan hal tersebut maka penilaian pengetahuan karyawan tentang limbah cair untuk perusahaan yang telah mendapatkan sertifikat ISO 14001 lebih baik dibandingkan dengan yang belum memperoleh sertifikat tersebut. Hasil penilaian pengetahuan karyawan terhadap lingkungan tertera pada Lampiran 14 dan 15. Secara menyeluruh, penilaian kinerja pengelolaan kualitas limbah cair pada beberapa industri penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.
65 Tabel 13. Hasil penilaian kinerja berdasarkan pengelolaan limbah cair NO
INDIKATOR KINERJA
PT DW
PT IND
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
1.67
5
2.78
5
2.78
3
1.67
5
2.78
3
1.67
5
2.78
5
2.78
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
1.67
2
1.11
5
2.78
4
2.22
5
2.78
2
1.11
3
1.67
4
2.22
1.11
4
2.22
3
1.67
4
2.22
4
2.22
2
1.11
3
1.67
3
1.67
2.22
4
2.22
3
1.67
5
2.78
4
2.22
2
1.11
2
1.11
2
1.11
1.67
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
2.22
4
2.22
2
1.11
2
1.11
5
2.78
2
1.11
2
1.11
3
1.67
17.78
37
20.56
34
18.89
34
18.89
43
23.89
27
15.00
31
17.22
33
18.33
Pengelolaan Limbah Cair 1 Kepemilikan IPLC (Ijin Pembuangan Limbah 5 Cair) 2 Kepemilikan sarana pengolah limbah cair dan 3 teknis pengelolaan kualitas air terhadap ketentuan teknis yang berlaku 3 Kelengkapan flowmeter pada IPAL 3 4 5 Ketaatan titik pemantauan sesuai UKL/UPL 5 Kesesuaian parameter pemantauan limbah cair 3 terhadap IPLC atau dokumen UKL/UPL 6 Hasil pengelolaan kualitas air terhadap BMAL 2 (Baku Mutu Air Limbah) 7 4 Penyampaian laporan implementasi pemantauan limbah cair kepada Instansi terkait 8 Upaya efisiensi penggunaan air per satuan 3 produk 9 Pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan 4 limbah cair 32 Sub Total Keterangan : S = Skor N = Nilai
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
PT AG
PT M3
PT SU
PT LA
PT MC
PT SI
66 5.1.3. Kinerja Pengendalian Kualitas Udara 5.1.3.1. Kepemilikan Pengendali Kualitas Udara Rata-rata industri kimia tergolong industri yang tidak menghasilkan pencemaran terhadap kualitas udara. Kinerja pengendalian kualitas udara kelima perusahaan penelitian dapat diindikasikan oleh kepemilikan unit pengendali kualitas udara dan kesesuaian parameter pemantauan, hasil pemantauan terhadap bku mutu air limbah dan pelaporannya. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, tercatat bahwa sebagian besar industri/perusahaan penelitian tidak dilengkapi dengan alat pengendali tersebut. Dari kelima perusahaan penelitian yang sudah dilengkapi dengan pengendali kualitas udara adalah PT SU, sehingga dalam penilaian kinerja ini tergolong kategori dengan skor 5, sedangkan perusahaan lainnya tidak dilengkapi dengan alat tersebut, hal ini sesuai dengan yang tertera dalam dokumen UKL/UPL yang telah disusun bahwa kualitas udara tidak merupakan dampak yang berpotensi merugikan terhadap lingkungan. 5.1.3.2. Kesesuaian Parameter dan Titik Pantau Hasil verifikasi titik pantau kualitas udara pada laporan implementasi setiap 6 bulan yang dilakukan berdasarkan data yang ada di DTRLH Kabupaten Bogor, dapat dikatakan bahwa secara umum kelima perusahaan penelitian baik yang belum maupun telah memiliki sertifikat ISO 14001 telah sesuai dengan yang tertera pada dokumen UKL/UPL yang telah disusun sebelumnya. Parameter kualitas udara yang dipantau secara rutin tersebut adalah CO, SO2, NO2 dan debu serta kebisingan. Sehingga keseluruhan perusahaan penelitian termasuk dalam kategori ”sangat baik” dengan skor 5. 5.1.3.3. Hasil Pemantauan Kualitas Udara dan Kebisingan Parameter utama kualitas udara ambien sebagai indikator kinerja, yaitu : CO, SO2, NO2 dan debu serta kebisingan.
Parameter-parameter tersebut
merupakan parameter kunci kualitas udara ambien dari industri penelitian. Hasil pemantauan kualitas udara ambien dan kebisingan serta hasil analisis data (output) kecenderungan masing-masing perusahaan penelitian terlihat pada Lampiran 16 sampai dengan Lampiran 19.
67 a. CO Hasil pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan industri kimia (swa pantau) yang dilakukan secara rutin setiap enam bulan selama beroperasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan konsentrasi kandungan gas CO yang positif. Hal ini berarti cenderung masih terjadi peningkatan gas CO di sekitar industri baik yang telah memiliki sertifikat ISO 14001 maupun tidak. Dengan menggunakan uji F seperti terlihat pada tabel 14, terlihat bahwa perubahan konsentrasi gas CO cenderung tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Fhitung yang lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel. Seperti terlihat pada Gambar 19 dan 20, nampak bahwa hasil pemantauan gas CO di sekitar perusahaan PT M3 mengalami penurunan dan perubahannya signifikan dengan nilai Fhitung = 10,088.
Hal ini berarti bahwa pengelolaan lingkungan untuk
menurunkan gas CO cenderung menunjukkan perubahan yang berarti. Tabel 14. Kecenderungan konsentrasi gas CO No 1. 2.
Perusahaan Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
Industri PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = 8.33 x + 958.33
Fhitung
Ftabel
0.079
F(1,7)=5,59
PT IND
y = 101,825x + 50,093
4,2038
F(1,5) = 6,61
PT M3
y = -57,593x + 523,048
10,088
F(1,4) = 7,71
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008 1400 BM CO = 30000 ug/m3
1200
Konsentrasi (ug/m3)
1000
800
600
400
200
0 Smt I 2001 Smt II 2001
Smt I 2002
Smt I 2003 Smt II 2004
Smt I 2005
Smt II 2006
Smt I 2007 Smt II 2007
Waktu pemantauan
Gambar 19. Kecenderungan konsentrasi gas CO (sertifikat ISO 14001)
68
900 BM CO = 30000 ug/m3
800
Konsentrasi CO (mg/m3)
700 600 500 400 300 200 100 0 Smt I 2005
Smt I 2006
Smt I 2007
Smt II 2007
Smt I 2008
Waktu pemantauan PT IND
PT M3
Gambar 20. Kecenderungan konsentrasi CO (non sertifikat ISO 14001) b. NO2 Hasil pemantauan menunjukkan bahwa secara umum terjadi penurunan konsentrasi gas NO2 di sekitar industri penelitian. Dengan menggunakan uji F seperti yang tertera pada tabel 15, terlihat bahwa perubahan hasil pemantauan konsentrasi gas NO2 cenderung tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Fhitung yang lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel pada seluruh perusahaan penelitian baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001. Seperti terlihat pada Gambar 21 dan 22, nampak bahwa di sekitar PT AG perubahannya lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lainnya yang ditunjukkan dengan nilai Fhitung = 5,418. Hal ini berarti bahwa pengelolaan lingkungan untuk menurunkan gas NO2 dari perusahaan tersebut cukup baik dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Terdapat kecenderungan yang positif (meningkat) pada kualitas udara ambien sekitar perusahaan yang telah bersertifikat ISO 14001 yang ditunjukkan oleh slope regressi yang positif. Walaupun secara nominal tidak melebihi baku mutu, namun kecenderungan peningkatan konsentrasi gas NO2 perlu diperhatikan.
69 Tabel 15. Kecenderungan konsentrasi NO2 No
Perusahaan
1.
Industri
Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
2.
PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = 1,2793x + 1.0933
2.747
F(1,7)=5,59
PT IND
y = -19,919x + 139,62
3,614
F(1,5)=6,61
PT AG
y = -9,197x + 57,56
5,418
F(1,4) = 7,71
PT M3
y = -2,2549x + 48,499
0,322
F(1,4) = 7,71
Fhitung
Ftabel
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008 25 BM NO2 = 400 ug/m3
15
10
5
0 Smt I 2001
Smt II 2001
Smt I 2002
Smt I 2003
Smt II 2004
Smt I 2005
Smt II 2006
Smt I 2007
Smt II 2007
Waktu pemantauan
Gambar 21. Kecenderungan konsentrasi NO2 (sertifikat ISO 14001) 180 BM NO2 = 400 ug/m3
160 140 120 Konsentrasi (ug/m3)
Konsentrasi (ug/m3)
20
100 80 60 40 20 0 Smt II 2004
Smt I 2005
Smt I 2006
Smt II 2006
Waktu pemantauan PT IND PT M3
Smt I 2007
Smt II 2007
Smt I 2008
PT AG
Gambar 22. Kecenderungan konsentrasi NO2 (nonsertifikat ISO 14001)
70 c. SO2 Hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dilakukan di sekitar perusahaan penelitian (swa pantau) selama beroperasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan konsentrasi gas SO2 yang menurun pada industri yang telah memiliki sertifikat ISO 14001. Perusahaan lainnya yang belum bersertifikat cenderung mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut relatif tidak signifikan.
Dengan menggunakan uji F seperti tertera pada tabel 16, terlihat
bahwa pada perusahaan penelitian baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001, ternyata perubahan konsentrasi gas SO2 cenderung tidak signifikan (Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel). Seperti terlihat pada Gambar 23 dan 24, nampak bahwa hanya perusahaan PT SU saja yang mengalami sedikit penurunan dengan nilai Fhitung = 0,501. Hal ini berarti bahwa pengelolaan lingkungan untuk menurunkan SO2 tidak signifikan. Tabel 16. Kecenderungan konsentrasi SO2 No 1. 2.
Perusahaan Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
Industri PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = -0,3823x + 6,0917
Fhitung
Ftabel
0.437
F(1,7)=5,59
PT AG
y = 0,6014x + 2,42
0,221
F(1,4) = 7,71
PT M3
y = 9,175x + 12,525
11,591
F(1,4) = 7,71
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008 16 BM SO2 = 900 ug/m3
14
Konsentrasi (ug/m3)
12
10
8
6
4
2
0 Smt I 2001
Smt II 2001
Smt I 2002
Smt I 2003
Smt II 2004
Smt I 2005
Smt II 2006
Smt I 2007
Smt II 2007
Waktu pemantauan
Gambar 23. Kecenderungan konsentrasi SO2 (sertifikat ISO 14001)
71
70 BM SO2 = 900 ug/m3 60
Knsentrasi SO2 (mg/m3)
50
40
30
20
10
0 Smt II 2004
Smt I 2005
Smt I 2006
Smt II 2006
Smt I 2007
Smt II 2007
Waktu pengukuran PT M3
PT AG
Gambar 24. Kecenderungan konsentrasi SO2 (nonsertifikat ISO 14001) d. Debu Seperti terlihat pada Gambar 25 dan 26, nampak bahwa seluruh konsentrasi debu ambien pada perusahaaan penelitian cenderung positif. Hal ini berarti bahwa konsentrasi debu yang dipantau mengalami peningkatan kecuali di sekitar PT AG yang mengalami sedikit penurunan namun tidak signifikan dengan nilai Fhitung = 0,888. Dengan menggunakan uji F seperti terlihat pada tabel 17, dapat dikatakan bahwa perubahan konsentrasi debu cenderung tidak signifikan (Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel).
Hal ini dapat dikatakan bahwa
pengelolaan lingkungan untuk menurunkan kadar debu dari perusahaan yang diteliti belum menunjukkan hasil yang maksimal. Tabel 17. Kecenderungan konsentrasi debu No 1. 2.
Perusahaan Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
Industri PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = 11,244x + 46,779
6,297
F(1,7)=5,59
PT IND
y = 0,034x -1,989
9,531
F(1,5) = 6,61
PT AG
y = -19,961x + 241,7
0,719
F(1,4) = 7,71
PT M3
y = 32,533x + 89,989
2,755
F(1,4) = 7,71
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
Fhitung
Ftabel
72
300 BM Debu = 260 mg/m3
250
Konsentrasi (mg/m3)
200
150
100
50
0 Smt I 2001
Smt II 2001
Smt I 2002
Smt I 2003
Smt II 2004
Smt I 2005
Smt II 2006
Smt I 2007
Smt II 2007
Waktu pemantauan
Gambar 25. Kecenderungan konsentrasi debu (sertifikat ISO 14001)
400
350
300 Konsentrasi (mg/m3)
BM Debu = 260 mg/m3
250
200
150
100
50
0 Smt II 2004
Smt I 2005
Smt I 2006
Smt II 2006
Waktu pemantauan PT IND PT M3
Smt I 2007
Smt II 2007
Smt I 2008
PT AG
Gambar 26. Kecenderungan konsentrasi debu (nonsertifikat ISO 14001)
73 e. Kebisingan Hasil pemantauan kebisingan (swa pantau) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan tingkat kebisingan yang meningkat pada industri yang diteliti baik yang telah memiliki sertifikat ISO 14001 maupun belum. Hal ini ditunjukkan oleh kurva regresi dengan slope positif seperti terlihat pada Gambar 27 dan 28. Hasil uji F seperti terlihat pada tabel 18, menunjukkan bahwa seluruh perusahaan penelitian baik yang telah maupun yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 cenderung tidak signifikan (Fhitung < Ftabel). Tabel 18. Kecenderungan tingkat kebisingan No 1.
Perusahaan Sertifikat ISO 14001 Non Sertifikat ISO 14001
2.
Industri PT SU
Regresi Kurva Linear Persamaan y = 0,525x + 63,797
Fhitung
Ftabel
0,519
F(1,7)=5,59
PT IND
y = 0,180x – 6,924
2,240
F(1,5) = 6,61
PT AG
y = -1,193x + 71,143
0,608
F(1,4) = 7,71
PT M3
y = 2,9114x + 55,093
3,054
F(1,4) = 7,71
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
80 BM Kebisingan = 70 dBA
70
Tingkat kebisingan (dBA)
60
50
40
30
20
10
0 Smt I 2001
Smt II 2001
Smt I 2002
Smt I 2003
Smt II 2004
Smt I 2005
Smt II 2006
Smt I 2007
Smt II 2007
Waktu pemantauan
Gambar 27. Kecenderungan tingkat kebisingan (sertifikat ISO 14001)
74
90 80 BM Kebisingan = 70 dBA
Tingkat kebisingan (dBA)
70 60 50 40 30 20 10 0 Smt II 2004
Smt I 2005
Smt I 2006
Smt II 2006
Waktu pemantauan PT IND PT M3
Smt I 2007
Smt II 2007
Smt I 2008
PT AG
Gambar 28. Kecenderungan tingkat kebisingan (nonsertifikat ISO 14001) Berdasarkan hasil penilaian kinerja terhadap pengelolaan kualitas udara secara umum dapat disimpulkan bahwa 27,5% perusahaan yang diteliti cenderung negatif (mengalami peningkatan kualitas udara yang dipantau). Hal ini berarti ada indikasi pengelolaannya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, namun dilihat dari perubahannya ternyata cenderung tidak signifikan yang dibuktikan dengan uji F (Fhitung < Ftabel).
Sehingga perlu lebih diperketat di dalam
pengelolaannya, karena ada peluang untuk berubah menjadi kecenderungan positif (kualitas udara semakin menurun). Sedangkan kondisi kualitas udara di sekitar perusahaan penelitian lainnya adalah cenderung lebih buruk (17,5%) dan yang tidak tercatat kecenderungan pengelolaan kualitas udaranya sebesar 55%, sehingga kinerja pengelolaan kualitas udara pada perusahaan ini perlu lebih diperhatikan secara baik. 5.1.3.4. Pelaporan Implementasi Kualitas Udara dan Kebisingan Hasil inventarisasi laporan implementasi UKL/UPL industri kimia yang diteliti menunjukkan bahwa sebagian besar tergolong kategori “baik” (frekuensi 80-99%) dalam pemantauan limbah cair yaitu PT M3, PT DW, PT IND dan PT
75 SU. Sedangkan PT AG termasuk “cukup baik” (frekuensi 50-79%) dan PT LA, PT SI dan PT MC termasuk kategori “belum baik” (frekuensi <50%). 5.1.3.5. Pengetahuan Karyawan tentang Polusi Udara dan Kebisingan Pengetahuan karyawan tentang polusi udara dan kebisingan terungkap pada saat pengisian daftar isian tentang lingkungan, hasil penilaian pengetahuan dan sikap karyawan tentang polusi udara dan kebisingan terhadap industri yang telah memiliki sertifikat ISO 14001 yaitu PT SU dikategorikan ”sangat baik”. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar (>30%) karyawan telah mendapatkan pelatihan dalam bidang lingkungan hidup. Sedangkan pada perusahaan yang belum memiliki sertifikat namun telah dilengkapi dengan dokumen UKL/UPL yaitu PT DW tercatat pengetahuan dan sikap karyawan tergolong ”baik” dan PT AG, PT IND dan PT M3 tergolong ”cukup baik”. Dari jawaban responden hanya 10% karyawan yang telah memperoleh pelatihan di bidang lingkungan, hal ini senada dengan yang telah diinformasikan pihak manajemen. Dengan demikian penilaian pengetahuan karyawan tentang polusi udara dan kebisingan untuk perusahaan yang telah mendapatkan sertifiat ISO 14001 lebih baik dibandingkan dengan yang belum memperoleh sertifikat tersebut.
Secara menyeluruh,
penilaian kinerja pengelolaan kualitas udara pada beberapa industri penelitian dapat dilihat pada Tabel 19.
76 Tabel 19. Hasil penilaian kinerja berdasarkan pengelolaan polusi udara NO
INDIKATOR KINERJA
Pengelolaan Polusi Udara/Gas 1 Kepemilikan sarana pengolah polusi udara dan teknis pengelolaan kualitas udara terhadap ketentuan teknis yang berlaku 2 Kesesuaian parameter pemantauan limbah udara terhadap dokumen UKL/UPL 3 Hasil pemantauan kualitas udara terhadap BMU (Baku Mutu Udara) 4 Kesesuaian parameter pemantauan kebisingan terhadap dokumen UKL/UPL 5 Hasil pemantauan kebisingan terhadap BM (Baku Kebisingan) 6 Penyampaian laporan implementasi pemantauan kualitas udara dan kebisingan kepada Instansi terkait 7 Pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan limbah gas/udara 8 Pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan kebisingan Sub Total Keterangan : S = Skor N = Nilai
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
PT DW
PT IND
PT AG
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
3
1.67
3
1.67
3
1.67
1
0.56
5
2.78
1
0.56
1
0.56
1
0.56
3
1.67
5
2.78
5
2.78
5
2.78
5
2.78
4
2.22
4
2.22
4
2.22
3
1.67
4
2.22
3
1.67
4
2.22
5
2.78
3
1.67
4
2.22
4
2.22
3
1.67
4
2.22
4
2.22
5
2.78
5
2.78
4
2.22
4
2.22
4
2.22
3
1.67
4
2.22
3
1.67
4
2.22
4
2.22
3
1.67
4
2.22
4
2.22
4
2.22
4
2.22
3
1.67
5
2.78
4
2.22
2
1.11
2
1.11
2
1.11
4
2.22
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
4
2.22
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
2
1.11
2
1.11
3
1.67
27
15.00
30
16.67
27
15.00
30
16.67
38
21.11
22
12.22
24
13.33
25
13.89
PT M3
PT SU
PT LA
PT MC
PT SI
77 5.1.4. Kinerja Pengendalian Limbah Padat B3 5.1.4.1. Perlakukan terhadap Limbah Padat B3 Analisis pengendalian limbah padat dari kelima perusahaan penelitian dilihat dari kepemilikan unit pengolah dan perlakukan terhadap limbah B3. Hasil observasi lapangan menunjukan bahwa pada kelima perusahaan penelitian yang dilengkapi dengan unti pengolah limbah B3 hanya satu yaitu PT AG sehingga dapat dikategorikan dengan nilai 5, sedangkan perusahaan lainnya tidak dilengkapi dengan unit pengolah limbah. PT AG yang memproduksi bahan pestisida menghasilkan limbah yang berkategori B3, yang pengelolaan akhirnya dikirim ke PPLI (pusat pengolahan limbah industri) Cileungsi, Bogor. Disamping itu, PT SU juga menghasilkan limbah padat B3 lainnya, yaitu campuran dari berbagai bahan kimia cat. Limbah padat ini juga dikirim ke PPLI untuk pengelolaan akhirnya. Ditinjau dari segi ketaatan terhadap peraturan pengelolaan limbah B3, maka PT SU telah melakukan penanganan, penyimpanan, dan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, yakni dengan menyediakan ruangan khusus penyimpanan B3, sistem pengamanan, bentuk kemasan, simbol dan tanda petunjuk B3, sehingga dalam kriteria ini termasuk baik dengan skor 5. Sedangkan untuk ketiga perusahaan lainnya yang belum bersertifikat ISO 14001 belum dilengkapi dengan sarana penampungan sementara yang memadai sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga dinilai dengan skor 3. 5.1.4.2. Pengetahuan Karyawan terhadap Limbah Padat B3 Penggalian pengetahuan karyawan terhadap limbah padat B3 dimaksudkan untuk melihat sejauh mana karyawan industri mengetahui dan memahami tentang linbah pada dan limbah yang siftanya berbahaya (B3). Berdasarkan hasil analisis terhadap pendapat responden dapat disarikan bahwa pada industri yang telah bersertifikat ISO 14001, pemahaman karyawan terhadap limbah padat dan B3 dinilai sangat baik dengan nilai 88,67%, sedangkan industri yang belum bersertifikat mencapai nilai 82,67% termasuk baik.
Hasil penilaian kinerja
berdasarkan pengelolaan limbah B3 dapat dilihat pada Tabel 20.
78 Tabel 20. Hasil penilaian kinerja berdasarkan pengelolaan limbah B3 dan masalah sosial PT DW NO
INDIKATOR KINERJA
Pengelolaan Limbah B3 1 Kepemilikan sarana pengolah limbah B3 2 Perlakuan terhadap limbah B3 yang dihasilkan 3 Pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan limbah B3 4 Pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan limbah padat (sampah) Sub Total Masalah Sosial 1 Kontribusi CD/CSR berupa pemberian bantuan ataupun sumbangan untuk pelaksanaan kegiatan sosial 2 Dampak kualitas udara 3 Dampak kebisingan 4 Dampak kualitas air 5 Dampak kuantitas air 6 Keterlibatan tenaga kerja lokal dalam industri 7 Permasalahan sosial perusahaan dengan masyarakat di sekitar lokasi Sub Total Keterangan : S = Skor N = Nilai
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
PT IND
PT AG
PT M3
PT SU
PT LA
PT MC
PT SI
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
1
0.56
1
0.56
5
2.78
1
0.56
1
0.56
1
0.56
1
0.56
1
0.56
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
3
1.67
3
1.67
3
1.67
14
7.78
10
5.56
16
8.89
10
5.56
16
8.89
10
5.56
10
5.56
10
5.56
2
1.11
2
1.11
3
1.67
4
2.22
2
1.11
2
1.11
3
1.67
3
1.67
3 5 4 3
1.67 2.78 2.22 1.67
1 5 5 5
0.56 2.78 2.78 2.78
1 5 2 5
0.56 2.78 1.11 2.78
3 2 3 4
1.67 1.11 1.67 2.22
5 5 5 5
2.78 2.78 2.78 2.78
4 4 4 4
2.22 2.22 2.22 2.22
3 3 4 4
1.67 1.67 2.22 2.22
3 3 3 3
1.67 1.67 1.67 1.67
1
0.56
1
0.56
4
2.22
3
1.67
1
0.56
2
1.11
3
1.67
3
1.67
3
1.67
5
2.78
5
2.78
5
2.78
4
2.22
3
1.67
4
2.22
3
1.67
21
11.67
24
13.33
25
13.89
24
13.33
27
15.00
23
12.78
24
13.33
21
11.67
79 5.1.5. Masalah Sosial Menurut pendapat Armour (1988) di dalam Hadi (2007), dalam makalahnya yang berjudul New Direction in Impact Management menyebutkan bahwa salah satu komponen dari pengelolaan dampak adalah community relation atau membina hubungan baik dengan masyarakat. Hubungan ini termasuk merekam dan menampung keluhan penduduk sekitar, sehingga dampak negatif dapat dieliminasi. Salah satu indikator keefektifan pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan oleh suatu industri adalah mengidentifikasikan masalah sosial yang terjadi di masyarakat sekitar kegiatan.
Masalah tersebut dapat ditinjau dari
bagaimana kontribusi CD/CSR kepada masyarakat di sekitar lokasi, bagaimana dampak dirasakan oleh masyarakat, keterlibatan tenaga kerja lokal dalam industri dan bagaimana permasalahan sosial perusahaan kepada masyarakat di sekitar lokasi. 5.1.5.1. Kontribusi CD/CSR Di dalam The Handbook for Corporate Action, yang diterbitkan oleh Internatinal Union for Conservation Nature (IUN) pada tahun 2002 yang dikutip dalam Hadi (2007), tanggung jawab sosial perusahaan diartikan sebagai pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, ikut menegakkan aturan-aturan hukum yang berlaku, melindungi hakl azasi manusia, masyarakat serta melestarikan lingkungan dan sumber daya alam. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di sekitar perusahaan penelitian, teridentifikasi bahwa sebagian besar industri belum melaksanakan kontribusi CD/CSR. Sekitar 56% responden menyatakan tidak pernah menerima sumbangan dari industri yang ada di sekitarnya, sedangkan sebagian masyarakat (44%) telah menerima berupa pemberian bantuan ataupun sumbangan untuk pelaksanaan kegiatan sosial berupa sumbangan pendidikan, pembangunan sarana ibadah dan pemberian sembako kepada masyarakat di sekitar lokasi (Gambar 29). Namun bentuk kontribusi CD/CSR ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat sekitar karena mereka cenderung mengandalkan pemberian sumbangan dari perusahaan tanpa merubah kondisi ke arah kemandirian dalam aktivitas sosial dan ekonomi.
80 60.0 56.0
50.0
Presentase (%)
40.0
37.0
30.0
20.0
10.0 5.0 2.0 0.0 Pendidikan
Srn ibadah
Lain2
Tidak pernah
Jenis bantuan sosial
Gambar 29. Distribusi bantuan sosial kepada masyarakat Karena keterbatasan dana, maka masing-masing perusahaan mempunyai kebijakan yang berbeda.
Berdasarkan frekuensi pemberian sumbangan yang
telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh industri yang diteliti memberikan kontribusi jarang/sekali-kali dilakukan dengan frekuensi > 1 tahun sekali, sehingga dikategorikan dalam skor 2. Sumbangan tersebut biasanya berupa sembako yang dilakukan pada saat hari besar agama islam seperti saat perayaan Idul Fitri. Sedangkan PT M3 lebih sering memberikan sumbangan lainlain berupa sembako dan sisa sabun yang masih dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, disamping sumbangan untuk peristiwa keagamaan lainya. Frekuensi pemberian sumbangan tersebut biasa dilakukan dalam setiap dua bulan sekali. Tidak ada perbedaan antara perusahaan yang telah dan belum memiliki sertifikat ISO 14001 dalam pemberian sumbangan tersebut. 5.1.5.2. Dampak yang Terjadi Masalah pencemaran lingkungan menyebabkan masyarakat merasa terganggu. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden masyarakat industri seperti yang terlihat pada Gambar 30, dapat diketahui bahwa 66% masyarakat menyatakan terganggu oleh pencemaran udara (bau) yang dihasilkan dari pabrik,
81 dan hanya 17% dari masyarakat yang menyatakan adanya gangguan kebisingan. Sedangkan masalah pencemaran air tanah dirasakan oleh sekitar 16% responden. 70 66
60
Presentase (%)
50
40
30
20
17
16
10
1 0 Udara (bau)
Kebisingan
Kualitas air tanah
Lainnya
Jenis Dampak
Gambar 30. Jenis dampak yang dirasakan masyarakat sekitar Persepsi masyarakat yang tinggal sekitar lokasi pabrik terhadap kualitas lingkungan diperoleh dari wawancara terhadap responden pada beberapa orgnisasi penelitian.
Pada dasarnya lokasi pemukiman di Kelurahan Karang
Asem Barat relatif jauh dari lokasi industri PT SU, sehingga tidak dapat merasakan dampak yang diakibatkan oleh operasional PT SU yang telah memiliki sertifikat ISO 14001. Hal ini tercermin dari pendapat responden yang menyatakan bahwa mereka tidak merasakan dampak dari kegiatan PT SU. Demikian halnya yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar PT DW, PT LA, PT MC, PT SI dan PT M3. Sedangkan pada perusahaan penelitian lainnya menyatakan bahwa di sekitar PT AG yang memproduksi pestisida dan PT IND yang memproduksi minyak atsiri, sejumlah 65% responden merasakan dampak terhadap kualitas udara (bau) yang cukup mengganggu dan 35% menggangap gangguan tersebut kecil. Sehingga dampak terhadap kualitas udara berupa bau pada masyarakat sekitar PT AG lebih dominan dibandingkan dampak kualitas air dan kebisingan.
82 Gangguan yang relatif kecil adalah adanya gangguan kualitas air tanah terutama bagi masyarakat yang berbatasan langsung dengan batas lokasi industri. Persepsi masyarakat di sekitar PT DW dan M3 menyatakan bahwa dampak kualitas udara (bau) lebih dominan (66%) dibandingkan dengan dampak lainnya. Kemudian disusul dengan dampak terhadap kuantitas air tanah.
Dampak
terhadap kuantitas tanah ini telah diantisipasi oleh industri dengan melalui koordinasi dengan instansi yang berwenang. PT M3 dan PT DW memberikan kontribusi
kepada
masyarakat
yang
terkena
dampak
tersebut
dengan
mengalokasikan sebagian air tanah yang dipergunakan untuk produksi, sehingga gejolak masyarakat akibat operasional industri dapat diatasi. Berdasarkan data yang ada PT DW mengalokasikan air tanah kepada beberapa permukiman yang berada di sebelah timur lokasi sebesar 5 m3/hari, sedangkan PT M3 mengalokasikan berdasarkan kondisi saat musim kemarau dengan batasan waktu 3 jam setiap hari. 5.1.5.3. Keterlibatan Tenaga Kerja Lokal Keterlibatan tenaga kerja yang berasal dari masyarakat yang tinggal sekitar lokasi pabrik terhadap kualitas lingkungan diperoleh dari wawancara terhadap responden pada beberapa orgnisasi penelitian. Pada dasarnya masyarakat lokal di sekitar PT SU tidak dapat merasakan dampak yang diakibatkan oleh operasional PT SU yang telah memiliki sertifikat ISO 14001, namun pada beberapa responden pernah bekerja pada saat pembangunan PT SU dilaksanakan (masa konstruksi). Berdasarkan identifikasi responden karyawan PT SU, 13 % dari reponden berasal dari satu kecamatan (Kecamatan Citeureup) dan sisanya sebagian besar (54%) berasal dari luar kecamatan bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Bogor (33%). Sehinga berdasarkan keterlibatan tenaga kerja lokal, PT SU tergolong dalam kriteria ”tidak baik” dengan skor 1. Hal ini juga terjadi pada PT IND, PT DW, PT LA, PT MC dan PT SI yang tidak melibatkan tenaga kerja lokal dari satu kecamaan untuk terlibat di dalam operasional industri. Menurut alasan yang dikemukakan oleh pihak manajemen, bahwa untuk operasional industri tersebut sangat diperlukan tenaga kerja yang memerlukan ketelitian dan keahlian khusus sehingga tidak dapat terpenuhi dari potensi tenaga kerja lokal yang tersedia.
83 Sedangkan pada perusahaan penelitian lainnya menyatakan bahwa sebagian tenaga kerja yang bekerja dalam operasional industri adalah berasal dari tenaga kerja lokal. PT AG yang memproduksi pestisida dan PT M3 yang memproduksi bahan pewangi dan sabun, melibatkan tenaga kerja lokal sebesar 30-50% dari total tenaga kerja selama tahap operasional.
Sehingga berdasarkan keterlibatan
tenaga kerja lokal PT M3 termasuk dalam kriteria ”cukup baik” dengan skor 3 dan PT AG termasuk dalam kriteria ”baik” dengan skor 4. 5.1.5.4. Permasalahan Sosial Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, tercermin bahwa hampir seluruh perusahaan penelitian tidak pernah terjadi permasalahan sosial dengan masyarakat yang tinggal sekitar lokasi pabrik. Satu-satunya permasalahan yang pernah muncul adalah terhadap masyarakat di sekitar lokasi PT DW (Kp. Rawahingkik, Desa Limusnunggal).
Menurut klaim dari salah satu tokoh
masyarakat sekitar permasalahan tersebut berawal dari tercemarnya air sumur penduduk yang terletak di sebelah timur industri. Pada akhirnya dicapai suatu kesepakatan bahwa PT DW harus memasok sebagian dari air tanahnya untuk keperluan MCK warga sekitar dan disepakati oleh pihak industri untuk mengalokasikan air bersih sebesar 5 m3/hari. Berdasarkan permasalahan sosial tersebut, maka kinerja PT DW termasuk dalam kriteria ”cukup baik” dengan skor 3 dan lainnya (PT AG, PT SU, PT IND, PT LA, PT MC, PT SI dan PT M3) termasuk dalam kriteria ”sangat baik” dengan skor 5. Hasil penilaian kinerja berdasarkan identifikasi masalah sosial dapat dilihat pada Tabel 20. 5.1.6. Rangkuman Penilaian Kinerja Lingkungan Perusahaan Hasil penelitian terhadap delapan perusahaan penelitian menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan sesuai dengan penilaian Proper.
Penilaian yang dimaksud baru sebatas untuk memenuhi
kriteria Proper sampai tingkat ketaatan terhadap peraturan yang ada di Indonesia dan rangkuman penilaian kinerja dapat terlihat pada Tabel 21.
84 Tabel 21. Hasil penilaian kinerja lingkungan perusahaan PT DW NO
INDIKATOR KINERJA
A. B. C. D. E.
Dokumentasi Lingkungan Pengelolaan Limbah Cair Pengelolaan Polusi Udara/Gas Pengelolaan Limbah B3 Masalah Sosial Total Nilai Kategori Kinerja Keterangan : "Tidak Baik" "Belum Baik" "Cukup Baik" "Baik" "Sangat Baik"
SKOR
NILAI
26 14,44 32 17,78 27 15,00 14 7,78 21 11,67 120 66,67 "Cukup Baik"
PT IND SKOR
NILAI
25 13,89 37 20,56 30 16,67 10 5,56 24 13,33 126 70,00 "Baik"
PT AG SKOR
NILAI
24 13,33 34 18,89 27 15,00 16 8,89 25 13,89 126 70,00 "Baik"
PT M3 SKOR
NILAI
24 13,33 34 18,89 30 16,67 10 5,56 24 13,33 122 67,78 "Baik"
PT SU SKOR
NILAI
32 17,78 43 23,89 38 21,11 16 8,89 27 15,00 156 86,67 "Sangat Baik"
PT LA SKOR
NILAI
18 10,00 27 15,00 22 12,22 10 5,56 23 12,78 100 55,56 "Cukup Baik"
PT MC SKOR
NILAI
18 10,00 31 17,22 24 13,33 10 5,56 24 13,33 107 59,44 "Cukup Baik"
PT SI SKOR
NILAI
22 12,22 33 18,33 25 13,89 10 5,56 21 11,67 111 61,67 "Baik"
Nilai 1-20 % : Belum melakukan upaya pengelolaan lingkungan berarti, secara sengaja tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan sebagaimana yang dipersyaratkan, serta berpotensi mencemari lingkungan 21-40 % : Melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian kecil mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan 41-60 % : Melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan 61-80 % : Melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan 81-100 % : Telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dan melakukan upaya 3R
Sumber : Pengolahan Data Primer, 2008
85 Pada Tabel 21 terlihat bahwa kedelapan perusahaan secara umum (50%) tergolong dalam kriteria ”biru-”, 37,5% tergolong ”merah+” dan 12,5% perusahaan yang telah bersertifikat ISO 14001 termasuk dalam kriteria ”biru+”. Jika dibandingkan dengan kriteria Proper, maka kriteria ”biru+” sama artinya dengan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dan melakukan upaya 3R. Kriteria ”biru-” sama artinya dengan melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kriteria ”merah+” sama artinya dengan melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
pengelolaan yang telah dilakukan oleh 87,5% perusahaan penelitian belum sepenuhnya mencapai hasil sesuai dengan yang dipersyaratkan. Berdasarkan tinjauan dari kelima indikator kinerja pada perusahaan yang telah bersertifikat ISO14001, ternyata indikator kinerja pengelolaan lingkungan terrendah yang belum terpenuhi adalah dokumentasi lingkungan (4,44% dari total 22,22%), dan masalah sosial (4,44% dari total 19,44%) seperti terlihat pada Gambar 31. Hal ini menunjukkan bahwa pada perusahaan penelitian meskipun telah memperoleh sertifikasi ISO14001, namun di dalam implementasi pengelolaaan lingkungan perlu diperhatikan perbaikan yang terus menerus (continual improvement) terutama terhadap kedua indikator tersebut. Berbeda dengan indikator kinerja pada perusahaan yang belum bersertifikat ISO14001, indikator kinerja pengelolaan lingkungan terrendah yang belum terpenuhi adalah dokumentasi lingkungan (9,76% dari total 22,22%), pengelolaan limbah cair (6,76% dari total 25,00%), dan masalah sosial (6,59% dari total 19,44%) seperti terlihat pada Gambar 32. Hal ini menunjukkan bahwa pada perusahaan penelitian perlu diperhatikan terhadap ketiga indikator tersebut.
86 30.00
25.00
1.11 1.11
Persentase (%)
20.00
4.44 4.44
15.00 23.89 21.11
10.00
2.22
17.78 15.00 5.00
8.89
Dokumentasi Lingkungan
Pengelolaan Limbah Cair
Pengelolaan Polusi Udara/Gas
Pengelolaan Limbah B3
Masalah Sosial
Indikator Kinerja Telah tercapai
Belum tercapai
Gambar 31. Persentase penilaian kinerja pengelolaan lingkungan (ISO 14001)
30.00
25.00 6.90
Persentase (%)
20.00 7.54 9.76 6.59 15.00
10.00 18.10
4.76 14.68
12.86
12.46 5.00 6.35 Dokumentasi Lingkungan
Pengelolaan Limbah Cair
Pengelolaan Polusi Udara/Gas
Pengelolaan Limbah B3
Masalah Sosial
Indikator Kinerja Telah tercapai
Belum tercapai
Gambar 32. Persentase penilaian kinerja pengelolaan lingkungan (nonISO 14001)
87 5.2. Ketaatan Lingkungan Perusahaan 5.2.1. Pengendalian Limbah Cair a. Perusahaan yang bersertifikat ISO 14001 Bila ditinjau dari tingkat ketaatan terhadap baku mutu limbah cair (BMLC), nilai rerata bulanan dan tahunan (2004 – 2007) periode tahun ketiga setelah penerapan PT SU yang bersertifikat ISO 14001 masih lebih baik dari BMLC sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 06 tahun 1999 khusus untuk baku mutu industri cat.
Namun bila ditinjau lebih lanjut dari segi hasil setiap
pengukuran, ternyata terdapat parameter yang telah mendekati BMLC yaitu parameter BOD (80 mg/l) dan fenol (0,2 mg/l).
Parameter BOD pernah
mencapai 80 mg/l pada bulan November 2004 dan setelah itu terpenuhi sesuai dengan BMLC, sedangkan parameter fenol telah mendekati BMLC yaitu sebesar 0,2 mg/l, yang semuanya terjadi pada penerapan SML tahun ketiga dan keempat. Bahkan pada bulan Desember 2005, parameter fenol pernah mencapai 0,312 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa secara menyeluruh pengendalian limbah cair PT SU masih belum konsisten dan belum dapat menunjukkan pola kecenderungan penyempurnaan atau peningkatan kinerja pada periode ketiga setelah sertifikasi ISO 14001, sedangkan parameter lainnya masih memenuhi BMLC. b. Perusahaan yang belum bersertifikat ISO 14001 Bila ditinjau dari tingkat ketaatan terhadap baku mutu limbah cair (BMLC), nilai rerata bulanan dan tahunan (2004 – 2007) periode tahun keempat setelah penerapan UKL/UPL menunjukkan bahwa beberapa parameter utama kualitas limbah cair pada perusahaan yang belum bersertifikat ISO14001 masih belum memenuhi baku mutu yang berlaku di Provinsi Jawa Barat yaitu SK Gubernur Jawa Barat No. 06 tahun 1999. Bila dilihat dari hasil setiap pemantauan pada outlet IPAL yang telah dilakukan oleh PT DW, masih terdapat beberapa parameter yang telah mendekati BMLC yaitu parameter BOD (50 mg/l), TDS (2.000 mg/l) dan fenol (0,5 mg/l). Parameter BOD pernah melampaui baku mutu secara berulang yaitu mencapai 61 mg/l pada bulan Januari 2004, 87 mg/l pada bulan Juli 2004, 82 mg/l pada bulan
88 Oktober 2004, 54 mg/l pada bulan November 2004, 148 mg/l pada bulan September 2005 dan 64 mg/l pada bulan Desember 2005 terpenuhi sesuai dengan BMLC.
dan setelah itu
Sedangkan parameter fenol juga pernah
melebihi BMLC (0,5 mg/l) yaitu antara 1,01 mg/l pada bulan Januari 2004, dan mencapai 0,74 mg/l pada bulan Mei-Agustus dan Oktober 2004, kemudian berulang meningkat lagi pada bulan Desember 2005 dan Mei 2006 sebesar 0,59 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa secara menyeluruh pengendalian limbah cair PT DW masih belum konsisten dan belum dapat menunjukkan pola kecenderungan penyempurnaan atau peningkatan kinerja pada periode ketiga setelah penerapan UKL/UPL. Hal ini juga terjadi pada pemantauan kualitas limbah cair PT IND, dimana telah memenuhi BMLC sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 06 tahun 1999 (Gol I). Namun bila ditinjau lebih lanjut dari segi hasil setiap pengukuran, ternyata terdapat parameter yang telah mendekati BMLC yaitu parameter pH (6,0 – 9,0) dan BOD (50 mg/l). Parameter pH pernah berada di luar batas BMLC, yang terjadi pada bulan November 2004 sampai Januari 2005 yang mencapai 9,3 dan 9,5. Sedangkan parameter BOD pernah melebihi BMLC mencapai 56 mg/l pada bulan Januari 2007 dan 53 mg/l pada bulan Februari 2007 dan setelah itu terpenuhi sesuai dengan BMLC. Hal ini menunjukkan bahwa secara menyeluruh pengendalian limbah cair PT IND masih belum konsisten pada periode kelima setelah penerapan UKL/UPL. Limbah cair PT AG juga pernah melampaui BMLC sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 06 tahun 1999 (Gol I untuk formulasi pengawetan pestisida). Hasil pemantauan parameter limbah cair yang telah melebihi BMLC yaitu parameter COD (50 mg/l) dan TSS (15 mg/l). Parameter COD pernah berada di atas BMLC (> 50 mg/l), yang terjadi pada bulan Desember 2006 yang mencapai 87,04 mg/l.
Sedangkan parameter TSS pernah melebihi BMLC
mencapai 115 mg/l pada bulan Mei 2004 dan 56 mg/l pada bulan Januari 2005 dan setelah itu berulang kembali pada bulan Juni 2005 sebesar 26 mg/l dan bulan Juni 2006. Hal ini menunjukkan bahwa secara menyeluruh pengendalian limbah cair PT AG juga masih belum konsisten pada periode kedua setelah penerapan UKL/UPL.
89 Bila ditinjau dari tingkat ketaatan terhadap baku mutu limbah cair (BMLC), nilai rerata bulanan dan tahunan (2004 – 2007) periode tahun ketiga setelah penerapan UKL/UPL menunjukkan bahwa beberapa parameter kualitas limbah cair PT M3 telah memenuhi BMLC sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 06 tahun 1999 (Gol I untuk industri sabun deterjen). Namun bila ditinjau lebih lanjut dari segi hasil setiap pengukuran, ternyata terdapat parameter yang telah mendekati BMLC yaitu parameter BOD (75 mg/l), COD (180 mg/l) dan TSS (60 mg/l).
Parameter BOD pernah sedikit melebihi BMLC (>75 mg/l) yaitu
mencapai 88 mg/l terjadi pada bulan Januari 2004 dan pada April 2005 yang mencapai 105 mg/l. Sedangkan parameter COD pernah melebihi BMLC (mg/l ) mencapai 323 mg/l pada bulan Januari 2004 dan 222 mg/l pada bulan April 2004 dan setelah itu terpenuhi sesuai dengan BMLC. Hal ini menunjukkan bahwa secara menyeluruh pengendalian limbah cair PT M3 masih belum konsisten pada periode ketiga setelah penerapan UKL/UPL. 5.2.2. Pengendalian Kualitas Udara a. Perusahaan yang bersertifikat ISO14001 Ditinjau dari kataatan terhadap peraturan perundangan tentang kualitas udara ambien, ternyata seluruh hasil pemantauan yang telah dilakukan selama periode 2003-2008 oleh peruasahaan yang telah bersertifikat ISO14001 (PT SU), menunjukkan bahwa seluruh parameter baik CO, NO2, SO2, maupun debu masih memenuhi BMU sesuai yang tetera pada Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999. Sedangkan tingkat kebisingan di luar bangunan industri pernah melampaui Baku
Tingkat
Kebisingan
sesuai
dengan
Kep.
No.48/MENLH/II/1996.
Kebisingan yang tercatat melebihi Baku Tingkat Kebisingan (70 dBA) adalah pada pemantauan semester II tahun 2003 sebesar 70,9 dBA dan semester I tahun 2005 sebesar 74,8 dBA. Namun selanjutnya hingga pemantauan tahun 2007 telah memenuhi tingkat kebisingan yang diharapkan. b. Perusahaan yang belum bersertifikat ISO14001 Ditinjau dari kataatan terhadap peraturan perundangan tentang kualitas udara ambien, ternyata seluruh hasil pemantauan yang telah dilakukan selama periode 2003-2008 oleh perusahaan yang belum bersertifikat ISO14001 (PT DW) menunjukkan bahwa seluruh parameter masih memenuhi BMU sesuai yang tetera
90 pada Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 kecuali parameter debu. Namun demikian hasil pemantauan pada periode selanjutnya tidak pernah dipantau sampai tahun 2008. Demikian juga dengan parameter debu yang dipantau oleh PT IND, terdapat pemantauan yang masih melebihi BMU debu (230 mg/m3) yang mencapai 254 mg/m3 pada pemantauan periode I tahun 2007. Pemantauan lainnya yang melampaui baku mutu adalah yang dilakukan oleh PT AG yang mencapai 281 mg/m3 pada pemantauan periode pada periode II tahun 2005 dan mencapai 258 mg/m3 pada pemantauan periode II tahun 2006. Sedangkan pemantauan oleh PT M3 tercatat 271 mg/m3 pada pemantauan periode I tahun 2006 dan mencapai 358 mg/m3 pada pemantauan periode I tahun 2007. Pemantauan tingkat kebisingan di luar bangunan industri oleh perusahaan yang belum bersertifikat ISO14001 (PT DW) menunjukkan bahwa masih memenuhi Baku Tingkat Kebisingan (70 dBA) sesuai dengan Kep. No. 48/MENLH/II/1996.
Namun
demikian
hasil
pemantauan
selanjutnya tidak pernah dipantau sampai tahun 2008.
pada
periode
Beberapa tingkat
kebisingan yang masih melampaui baku kebisingan adalah yang dilakukan sekitar PT IND dan PT M3 pada periode II tahun 2008 yang mencapai 72 dB(A), serta pemantauan di sekitar PT AG pada periode I tahun 2005 yang mencapai 81,6 dB(A). 5.2.3. Sistematika Pelaporan Implementasi Pada dasarnya pelaporan dokumen pengelolaan pasca-AMDAL atau UKL/UPL telah ditetapkan sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 03.C tahun 2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Untuk mengetahui sejauhmana kualitas dokumen penerapan UKL/UPL pada industri kimia, maka dilakukan tinjauan ulang (review) terhadap dokumen tersebut dengan acuan Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 03.C tahun 2007 tanggal 22 Mei 2007.
Berdasarkan telaah substansi pelaporan yang telah disampaikan oleh
91 kedelapan perusahaan penelitian baik yang belum maupun telah memiliki dokumen SML ISO 14001, sebagian besar belum terpenuhi sesuai petunjuk teknis tersebut. Penilaian terhadap substansi dokumen menunjukkan bahwa kedelapan perusahaan penelitian hanya terpenuhi sekitar 80 %. Kekurangan yang ada adalah belum mencantumkan identitas dan deskripsi perusahaan secara lengkap serta belum menggambarkan perkembangan lingkungan sekitar termasuk permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat sekitarnya. 5.3. Strategi Kebijakan Implementasi Pengelolaan Lingkungan Dari kondisi yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan seperti yang tertuang dalam dokumen UKL dan UPL yang disampaikan ke Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup hanya 26 industri kimia (28,57% dari total industri kimia yang wajib).
Implementasi tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh
perusahaan, dalam hal ini tercatat bahwa secara total hanya sekitar 4 industri atau 4,40% yang secara kontinyu (frekuensi >80%) dan konsisten melaksanakan implementasi sejak disyahkan/disetujui dokumen UKL & UPL oleh instansi yang berwenang. Dilihat dari hasil penilaian kinerja dari kedelapan perusahaan penelitian tersebut di atas dapat diambil suatu garis besar rangkuman kondisi kinerja dan ketaatan industri kimia. Indikator terrendah yang belum terpenuhi sepenuhnya adalah dokumentasi lingkungan (9,76% dari total 22,22%), pengelolaan limbah cair (6,76% dari total 25,00%), dan masalah sosial (6,59% dari total 19,44%). Dari segi pengelolaan terhadap kualitas air dan efisiensi konsumsi air secara umum baik pada perusahaan yang telah bersertifikat ISO 14001 maupun yang tidak bersertifikat, pengelolaan kualitas air cenderung lebih baik terutama parameter pH, BOD dan COD dalam arti bahwa konsentrasi masing-masing parameter tersebut pada outlet limbah cair dari waktu ke waktu semakin menurun, namun tidak signifikan. Hal ini berbeda dengan hasil pengelolaan terhadap kualitas udara dan kebisingan, yang secara umum cenderung lebih buruk meskipun tidak signifikan baik untuk parameter CO, NO2, debu dan kebisingan. Ditinjau dari aspek ketaatan perusahaan terhadap lingkungan kualitas air masih belum konsisten karena hasil pemantauan masih terdapat beberapa
92 parameter yang melebihi ambang batas SK Gubernur Jawa Barat No. 06 tahun 1999 yaitu BOD, COD dan fenol, meskipun frekuensinya tergolong kecil. Sedangkan lingkungan kualitas udara terutama debu dan kebisingan juga belum konsisten karena masih terdapat beberapa kali pemantauan yang melebihi ambang batas yang tercantum pada Kep. No.48/MENLH/II/1996. Pada dasarnya penaatan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan harus dilakukan dengan sukarela oleh para penanggung jawab pabrik, namun kenyataannya masih banyak yang belum taat (Hamid dan Pramudyanto, 2007). Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa meskipun secara umum penilaian kinerja pada perusahaan termasuk dalam kategori ”Cukup Baik” yang berarti telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, namun beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memaksimalkan upaya pengelolaan lingkungan dapat berjalan dengan baik, perlu dirumuskan strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan. Perumusan strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan industri kimia telah dilakukan dengan pendekatan expert judgement dimana wawancara secara mendalam terhadap pakar/ahli dan stakeholder dilakukan untuk menggali dan merumuskan strategi implementasi kebijakan pengelolaan lingkungan industri kimia di masa mendatang. Tujuan yang akan dicapai dalam pengembangan kebijakan tersebut adalah pencapaian konsistensi pelaporan implementasi dan peran serta kelembagaan dalam pengelolaan maupun pemantauan lingkungan pasca AMDAL/UKLUPL atau sertifikasi ISO 14001. Dari hasil wawancara secara mendalam terhadap stakeholder tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) aktor yang berperan terhadap strategi kebijakan implememtasi pengelolaan lingkungan yaitu (1) instansi pembina bidang lingkungan hidup dalam hal ini adalah (1) Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, (2) industri kimia dan (3) masyarakat. Adapun
alternatif
strategi
kebijakan
yang
berpengaruh
terhadap
pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan pasca AMDAL/UKLUPL dan sertifikasi ISO 14001 adalah penyempurnaan mekanisme pelaporan, peningkatan peranan forum komunikasi, dan tindak lanjut pengelolaan lingkungan.
93 Penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan meliputi kesesuaian dengan dokumen UKL/UPL yang telah disetujui sebelumnya dan konsistensi terhadap petunjuk teknis tentang pelaporan pengelolaan maupun pemantauan lingkungan. Peningkatan peranan forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan meliputi pemberdayaan forum yang telah terbentuk sebelumnya. Sedangkan tindak lanjut pengelolaan lingkungan meliputi mekanisme berupa sanksi (punishment) dan penghargaan (reward) bagi industri. 5.3.1. Hasil Analisis Kebijakan Kajian strategi pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan industri kimia dalam mencegah kerusakan lingkungan dilakukan terhadap beberapa pemangku kepentingan (stakeholder) yang mewakili instansi terkait di bidang lingkungan, industri kimia, perguruan tinggi, ahli lingkungan, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode AHP dapat dilihat pada Lampiran 20 sedangkan hirarki strategi kebijakan pengelolaan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 33. Hasil sintesis menunjukkan bahwa yang berperan utama dalam penentuan kebijakan pengelolaan lingkungan industri kimia di Kabupaten Bogor adalah instansi pembina (0.542), dibandingkan dengan kedua aktor lainnya yaitu industri kimia (0.238) dan masyarakat (0.219). Instansi pembina dalam hal ini adalah Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor merupakan aktor utama dalam pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan. Hasil penentuan prioritas strategi pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan industri kimia berturut turut adalah tindak lanjut pengelolaan lingkungan (0,496), penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan (0,289) dan peningkatan peranan forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan (0,215). Berdasarkan hasil analisis, peran serta kelembagaan lebih penting di dalam hal pemantauan lingkungan (0,289) sedangkan untuk pengawasan pengelolan lingkungan memperoleh skor (0,257). Hal ini dapat dipahami karena birokrasi di dalam industri yang ada di Kabupaten Bogor yang menyebabkan pihak luar tidak dapat senantiasa leluasa untuk melakukan pengawasan upaya pengelolaan yang sedang/telah dilakukan.
94
STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN INDUSTRI KIMIA DI KABUPATEN BOGOR
Level1 Fokus
Level 2 Aktor
Instansi Pembina (DTRLH) 0.542
Tujuan
Sub Tujuan
Kelengkapan Administrasi 0.184
Level 5 Alternatif Pilihan
Masyarakat
0.238
0.219
Konsistensi Pelaporan Implementasi 0.454
Level 3
Level 4
Industri Kimia
Distribusi Pelaporan 0.147
Penyempurnaan Mekanisme Pelaporan Implementasi Pengelolaan Lingkungan 0.289
Peran Serta Kelembagaan 0.546
Frekuensi Pelaporan 0.123
Pemantauan Lingkungan
Pengelolaan Lingkungan 0.257
Peningkatan Peranan Forum Komunikasi dalam Pengelolaan Lingkungan
0.289
Tindak Lanjut Pengelolaan Lingkungan
0.215
Gambar 33. Strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan industri kimia
0.496
95 Tindak lanjut pengelolaan lingkungan menjadi prioritas strategi utama dalam pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan industri kimia pascaAMDAL atau UKL/UPL mengingat alternatif tersebut merupakan bagian dari dokumen manajemen lingkungan, dokumen publik dan dokumen hukum. Strategi kedua upaya pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan kaitannya dengan mencegah kerusakan lingkungan pada suatu kegiatan adalah dengan penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan. Pelaporan yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam dokumen RKL/RPL atau UKL/UPL yang telah disusun sebelumnya dan disepakati oleh pelaku kegiatan/industri di atas materai yang mempunyai kekuatan hukum. Strategi ketiga adalah peningkatan peran forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan. Strategi ini juga merupakan hal yang penting, mengingat salah satu permasalahan yang umumnya dihadapi dalam investasi pembangunan adalah aspek prosedural yang seringkali membutuhkan waktu yang lama. Forum komunikasi ini merupakan suatu wadah yang anggotanya terdiri dari elemenelemen instansi pemerintah, industri kimia, masyarakat dan perguruan tinggi. Sehingga peranan forum komunikasi penting dalam hal menjembatani kesenjangan informasi antara instansi pemerintah, industri, dan masyarakat. 5.3.2. Tindak Lanjut Pengelolaan Lingkungan Hasil analisis menggunakan AHP menunjukkan bahwa tindak lanjut pengelolaan lingkungan yang merupakan prioritas utama strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan (skor 0,496). Dalam hirarki prosesnya hal ini akan tergantung dari peran instansi Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor (bobot 0,542) dan di dalam upaya pencapaian tujuan kebijakan ini lebih menekankan pada peran serta kelembagaan yang ada melalui kegiatan pemantauan lingkungan (bobot 0,289). 5.3.2.1. Langkah Operasional Tindak lanjut yang dimaksudkan adalah berupa pemberian sanksi (punishment) dan penghargaan (reward) bagi industri kimia yang telah melakukan pengelolaan dan pelaporan pemantauan dengan semestinya.
96 Pemberian sanksi dalam rangka pelaporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan, kecuali jika telah terjadi pencemaran lingkungan seperti yang tertuang pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu instrumen hukum yang berperan adalah sanksi administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang hanya diterapkan setelah ada kejadian
dan
masih
bisa
dilakukan
tawar-menawar,
serta
langkah
penyelesaiannya juga bermacam-macam, yang tidak ditemukan dalam hukum pidana (KLH, 2009). Dengan demikian, sanksi administrasi merupakan langkah awal dalam penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan sarana sanksi pidana (ultimum remedium). Langkah awal operasional tindak lanjut implementasi pengelolaan lingkungan adalah berupa terbitnya surat teguran administratif kepada perusahaan yang tidak melakukan pelaporan implementasi sesuai dengan kewajibannya yang tertera di dalam dokumen RKL/RPL atau UKL/UPL. Di dalam laporan tersebut terdapat ketentuan tentang komponen lingkungan yang terkena dampak, sumber dampak, periode dan pelaporan yang harus dikelola dan dipantau serta terdapat surat pernyataan di atas materai tentang kesanggupan melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Apabila tidak dilaksanakan dapat dikenakan sanksi yang paling keras berupa pencabutan izin usaha perusahaan yang terbukti membuang limbah ke perairan umum. Pemerintah saat ini juga masih menyiapkan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berpotensi menjerat pejabat publik yang melakukan kesalahan dan dianggap bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan hidup.
Pejabat publik yang dimaksud adalah
pejabat daerah dan pusat yang melakukan kesalahan antara lain dalam hal penerbitan surat izin operasional, pembuatan persyaratan perizinan, dan ketidakpatuhan terhadap analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Dalam RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru tersebut, akan memasukkan pasal yang mengatur pelanggaran oleh pejabat publik. Ini
97 merupakan langkah maju karena UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang ada sekarang ini belum mengatur hal tersebut (KLH, 2009). Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum meliputi : -
Regulasi/Peraturan daerah tentang lingkungan.
-
Penguatan kelembagaan lingkungan hidup dan peningkatan kualitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders.
-
Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
-
Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
-
Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
-
Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
-
Formulasi bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
-
Formulasi bentuk dan macam penghargaan (reward) bagi yang taat terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku. Salah satu kabijakan daerah berupa penghargaan bagi perusahaan yang taat
terhadap
peraturan
lingkungan
adalah
berupa
penghargaan
(reward).
Penghargaan yang dimaksud adalah menilai dan mengumumkan hasil kinerja pengelolaan lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Wang, et al. (2004), menyatakan bahwa dampak program pengungkapan penerapan peringkat kinerja perusahaan pada beberapa negara dalam periode tetentu telah meningkatkan pemenuhan ketaatan terhadap peraturan lingkungan hidup. Penambahan persentase ketaatan perusahaan di Indonesia 24% (1995-1997), Philipina 50% (1997-1998), Vietnam 14% (2001-2002) dan China 39% (1999-2000). Pada tanggal 12 Juni 2008 telah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pembentukan Lembaga Teknis Daerah. Dalam peraturan tersebut telah diputuskan pembentukan Badan Lingkungan Hidup yang merupakan Lembaga Teknis Daerah yang mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Di dalam struktur perusahaan Badan Lingkungan Hidup telah ditetapkan Sub Bidang Penerapan AMDAL,
98 RKL/RPL dan UKL/UPL pasca-AMDAL atau UKL/UPL yang bertugas untuk memonitor penerapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan terhadap suatu kegiatan setelah studi AMDAL atau UKL/UPL. 5.3.2.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Hal-hal yang dapat menjadi faktor pendukung dan penghambat strategi kebijakan tindak lanjut pengelolaan lingkungan ini adalah : -
Ketetapan peraturan pemerintah Kabupaten Bogor yang mengatur segala sanksi dan penghargaan bagi industri yang mentaati maupun yang melanggar ketentuan yang ada
-
Ketersediaan
sumberdaya
manusia
yang
sesuai
dengan
bidang
keahliannya -
Ketersediaan dana yang memadai
5.3.3. Penyempurnaan Mekanisme Pelaporan Implementasi Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan
AHP,
diperoleh
bahwa
penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan merupakan prioritas kedua strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan (skor 0,289). 5.3.3.1. Langkah Operasional Langkah
operasional
dalam
penyempurnaan
mekanisme
pelaporan
implementasi pengelolaan lingkungan pasca-AMDAL atau UKL/UPL dan ISO 14001 yang perlu ditekankan adalah (1) melakukan sosialisasi yang lebih intensif kepada industri kimia (2) evaluasi kesesuaian laporan implementasi terhadap dokumen RKL/RPL atau UKL/UPL dan pedoman penyusunan laporan sesuai dengan kondisi yang aktual (3) evaluasi secara berkala untuk melihat kecenderungan hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh industri kimia. Sosialisasi merupakan solusi untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan pelaku kegiatan/usaha dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Program yang telah dilaksanakan dan perlu terus ditingkatkan pada masa yang akan datang oleh Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor adalah :
99 -
Sosialisasi petunjuk teknis penerapan RKL/RPL dan UKL/UPL kepada pelaku kegiatan/usaha.
-
Pembinaan penerapan AMDAL dan UKL/UPL yang dilakukan pada pelaku kegiatan/usaha yang berlokasi di seluruh kecamatan yang merupakan
basis
lokasi
industri
seperti
Kecamatan
Cileungsi,
Klapanunggal, Gunung Putri, dan Citeureup. Evaluasi kesesuaian laporan implementasi terhadap dokumen RKL/RPL atau UKL/UPL dan pedoman penyusunan laporan sesuai dengan kondisi yang aktual perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana ketaatan industri terhadap peraturan yang ada. Sistematika penyusunan laporan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Di dalam implementasi Pemerintah Kabupaten Bogor telah menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Nomor 03.C tahun 2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Keputusan tersebut dibuat dengan
pertimbangan untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum mengenai pedoman, ruang lingkup, substansi pelaporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) dan upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) untuk pemrakarsa kegiatan termasuk sektor industri. Evaluasi secara berkala untuk melihat kecenderungan hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh industri kimia. Evaluasi tersebut perlu dilakukan untuk menguji efektivitas kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang ada. Disamping itu untuk mengetahui secara dini dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan/usaha, baik dampak negatif maupun dampak positif. Masukan yang disampaikan oleh industri kimia adalah selain penyampaian laporan implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan, diharapkan ada umpan balik dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor berupa
100 saran teknis tentang pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan yang telah disampaikan. Saran teknis tersebut diantaranya adalah menilai apakah sarana pengelolaan limbah (IPAL) yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan masih efektif dan layak untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan. 5.3.3.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Hal-hal yang dapat menjadi faktor pendukung dan penghambat strategi kebijakan penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan ini adalah : -
Ketersediaan sumberdaya manusia sesuai dengan bidang keahlian.
-
Ketersediaan dana yang memadai.
5.3.4. Peningkatan Peranan Forum Komunikasi dalam Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan
AHP,
diperoleh
bahwa
peningkatan peranan forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan merupakan prioritas ketiga strategi kebijakan implementasi pengelolaan lingkungan (skor 0,215). 5.3.4.1. Langkah Operasional Salah satu butir rekomendasi Laporan Kegiatan Tahunan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor (2007) adalah perlu dibentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari beberapa kegiatan dalam radius km2 tertentu yang bertanggung jawab terhadap lingkungan kegiatannya masingmasing.
Rekomendasi lainnya adalah menindaklanjuti keinginan masyarakat
tentang keberlanjutan kegiatan dengan merencanakan kegiatan pemantapan kader lingkungan hidup. Berdasarkan hasil wawancara yang mendalam dengan instansi DTRLH Kabupaten Bogor, di kabupaten tersebut telah terbentuk suatu forum komunikasi yang dikenal dengan forum peduli lingkungan. Tetapi forum tersebut sudah sekitar 2 tahun tidak berlanjut, sehing perlu diberdayakan kembali sesuai dengan visi dan misi terbentuknya forum tersebut. Forum komunikasi ini merupakan suatu wadah yang anggotanya terdiri dari elemen-elemen instansi pemerintah, industri, masyarakat dan perguruan tinggi. Sehingga peranan forum komunikasi
101 penting dalam hal menjembatani kesenjangan informasi antara instansi pemerintah, industri, dan masyarakat. Langkah tersebut sekaligus sebagai sarana untuk peningkatan edukasi dan komunikasi masyarakat di bidang lingkungan hidup. Salah satu program yang telah berjalan dalam rangka peningkatan edukasi dan peran serta masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup adalah pemantapan kader lingkungan. Metode yang dilakukan yakni melalui penyampaian materi dan diskusi. Peserta diberikan materi oleh para narasumber yang berasal dari Dinas/Instansi terkait, Perguruan tinggi dan LSM. Di akhir penyampaian materi, para peserta diberi kesempatan untuk mendiskusikan materi yang telah disampaikan oleh narasumber. 5.3.4.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Hal-hal yang dapat menjadi faktor pendukung dan penghambat strategi kebijakan peningkatan peranan forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan ini adalah : -
Ketersediaan
sumberdaya
manusia
keahliannya -
Ketersediaan dana yang memadai
yang
sesuai
dengan
bidang
102
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Kesimpulan penelitan pada delapan perusahaan industri kimia pascaAMDAL/ UKL-UPL atau sertifikasi ISO 14001 adalah sebagai berikut : a.
Kinerja pengelolaan lingkungan secara umum (50%) termasuk dalam kriteria ”biru-”; 37,5% perusahaan termasuk ”merah+” dan 12,5% perusahaan yang telah bersertifikat ISO 14001 termasuk dalam kriteria ”biru+”. Jika dibandingkan dengan kriteria Proper, maka sebagian besar perusahaan yang belum bersertifikat ISO 14001 telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Kinerja yang belum tercapai dengan baik adalah dokumentasi lingkungan, masalah sosial dan pengelolaan limbah cair. Dilihat dari kecenderungan pada beberapa komponen lingkungan yang diamati ternyata masih terdapat kecenderungan bahwa pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan belum konsisten. Hal ini dapat terlihat dari analisa kecenderungan yang rata-rata perubahan dari waktu ke waktu yang tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Bahkan pada beberapa
komponen lingkungan pada perusahaan penelitian terutama yang belum memiliki sertifikat ISO 14001 masih terdapat kecenderungan perubahan yang meningkat, yang berarti kualitas lingkungannya semakin menurun terutama komponen kualitas udara (debu dan kebisingan) serta kualitas air (pH, BOD dan COD). Demikian juga halnya yang terjadi pada perusahaan yang telah menerapkan ISO 14001, masih terdapat kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terutama komponen kualitas udara (debu dan kebisingan) dan kualitas air seperti TSS (total suspended solid). b.
Ketaatan perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen AMDAL atau UKL/UPL, secara umum telah terpenuhi. Beberapa parameter yang tercatat masih melebihi baku mutu kualitas air adalah BOD, COD, TSS dan fenol, sedangkan kualitas udara yang masih melebihi baku mutu adalah parameter debu dan kebisingan.
103 Dilihat dari sistematika pelaporan masih belum memenuhi petunjuk teknis sesuai SK Kepala DTRLH Kabupaten Bogor No. 03C tahun 2007. c.
Strategi kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan industri kimia sesuai dengan prioritasnya berturut turut adalah tindak lanjut pengelolaan lingkungan (0,496), penyempurnaan mekanisme pelaporan implementasi pengelolaan lingkungan (0,289) dan peningkatan peranan forum komunikasi dalam pengelolaan lingkungan (0,215).
6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka dapat diajukan saran-saran guna perbaikan dan penyempurnaan dalam penerapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagai berikut : a.
Perlu perhatian lebih dari industri terhadap masyarakat sekitarnya untuk dapat terlibat di dalam kegiatan operasional perusahaan dan melaksanakan program sosial yang lebih bermanfaat seperti pemberdayaan masyarakat.
b.
Perlu dilakukan sosialisasi kepada perusahaan industri tentang petunjuk teknis sesuai SK Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor No. 03C tahun 2007 terutama substansi yang harus dicantumkan dalam setiap pelaporan pemantauan.
c.
Upaya tindak lanjut berupa sanksi (punishment) dan penghargaan (reward) bagi perusahaan perlu mulai diterapkan oleh Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor untuk lebih meningkatkan tercapainya pembangunan yang berwawasan lingkungan.
d.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama bagi sektor kegiatan lainnya di luar industri kimia yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
105
DAFTAR PUSTAKA
Anis, R. 2000. Evaluasi Perkembangan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 (Studi Kasus : Tiga Industri di Jabotabek). [Tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Anonim. 2008. Laporan Kegiatan Tahun Anggaran 2007. Dinas Perindustrian dan Perdagangan - Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor. Anonim. 2006. Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Bogor - Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor. Anonim. 2007. Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor Semester I. Badan Pusat Statistik - Kabupaten Bogor. Bogor. Anonim. 2007. Laporan Kegiatan Tahun Anggaran 2007. Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup - Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor. Anonim. 2007. Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Bogor - Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta. Jakarta. Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk Pasca Sarjana. IPB Press. Bogor. Fredericks, I. and D. McCallum. 1995. International Standards for Environmental Management System: ISO 14000. http://www.mgmt14k.com/ems.htm. Hadi, S.P. 2007. Dimensi Lingkungan Dalam Bisnis, Kajian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hamid, H. dan B. Pramudyanto. 2007. Pengawasan Industri dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Granit. Jakarta. Hariadi, A. 2003. SML ISO 14001 Interpretasi, Dokumentasi dan Implementasi. Paradigma Pustaka. Jakarta. Hendartomo, T. 2001. Permasalahan dan Kendala Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan. www.freewebs.com/mastomi. Hui, I.K., A.H.S. Chan, and K.F.Pun. 2001. A Study of The Environmental Management System Implementation Practice. Journal of Cleaner Production, 9(20):269-276. Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Survei Penerapan Standar Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 di Indonesia. Deputy Bidang Pembinaan Sarana Teknis KLH. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup. 2007. Database Industri yang Telah Memiliki Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 di Indonesia. Deputy Bidang Pembinaan Sarana Teknis KLH. Jakarta. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. Jakarta.
106 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Keputusan Bupati Bogor No. 42 tahun 2004 tentang Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Lingkungan di Kabupaten Bogor. Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor No. 03C tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Kuhre, W.L. 1998. Sertifikat ISO 14001 Sistem Manajemen Lingkungan (terjemahan). Prenhalindo Jakarta. Kumar, M. 1999. Kinerja Lingkungan Perusahaan yang Telah dan Belum Menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO 14001 (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil di Jawa Barat). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Kwon, M.D. 2000. A Study of Compliance with Environmental Regulations of ISO 14001 Certified Companies in Korea. Journal of Environmental Management, 65, 347353. Marcus, P.A., and J.T. Willig. 1997. Moving Ahead with ISO 14000: Improving Environmental Management and Advancing Sustainable Development. John Wiley & Son, Inc. New York. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Janis Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Purwanto, A.T. 2002. Analisa Pengaruh Implementasi ISO 14001 terhadap Indikator Kinerja Lingkungan Kuantitatif dan Kualitatif Menggunakan Pengembangan Model EPE ISO 14031. [Tesis]. Institut Teknologi Bandung. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin (Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks). Terjemahan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sanim, B. 2003. Environmental Protection and Regional Development. The 16th General Conference Conference of IFSSO on Environmental Protection and Regional Development. Satriago, H. 1996. Istilah Lingkungan Untuk Manajemen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Simanjuntak, J.B. 2004. Efektivitas Pengelolaan Lingkungan Fisik Kimia PascaAMDAL pada Lapangan Minyak Lepas Pantai. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Soemarwoto, O. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada University Pers. Jogjakarta. Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri - Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Pers. Jogjakarta.
107 Statistik Indonesia. 2007. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Supardi, I. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. PT Alumni. Bandung. Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo. Jakarta. Terry, G.R., and S.G. Franklin. 1999. Principles of Management. Richard Irwin, Inc. Homewood. Undang Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara Sekretaris Negara. Jakarta. Undang Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara Sekretaris Negara. Jakarta. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistik Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wang,H.,Bi,J.,Wheeler,D.,Wang,J., Cao,D., Lu,G., and Wang,Y. 2004. Environmental Performance Rating and Disclosure : China’s Green Watch Program. Journal of Environmental Management, 123-133. Wardana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI. Jogjakarta. Wulandari, R. 2002. Kinerja Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 Pusat Metalurgi Mentok PT Tambang Timah – Bangka. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.