UPAYA PENINGKATAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BETOK, Anabas testudineus Bloch MELALUI STUDI ONTOGENI SISTEM PENCERNAAN, KEMAMPUAN BIOSINTESIS HUFA DAN PENGKAYAAN ASAM LEMAK ESENSIAL
YULINTINE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
3
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Upaya Peningkatan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok, Anabas testudineus Bloch melalui Studi Ontogeni Sistem Pencernaan, Kemampuan Biosintesis HUFA dan Pengkayaan Asam Lemak Esensial” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2012
Yulintine NIM C161070011
4
5
ABSTRACT YULINTINE. Effort of Survival Rate Improvement of Climbing Perch Anabas testudineus Bloch Larvae through Study on Digestive System Ontogeny, HUFA Biosynthesis Ability and Essential Fatty Acid Enrichment. Under direction of ENANG HARRIS, DEDI JUSADI, RIDWAN AFFANDI, and ALIMUDDIN. Climbing perch Anabas testudineus (Bloch) is commercially valuable fish species and representing a great of interest for aquaculture in Kalimantan, Indonesia. However, limited success on larval rearing of the fish has been obtained. Thus, the aim of the study was to increase survival rate of the larvae through evaluations on: ontogeny of digestive system, ability of HUFA biosynthesis, and enrichment of essential fatty acid. Development of digestive system was evaluated in larvae reared from hatching to 30 days after hatching using histological and morphological methods, and biochemical techniques. PUFA to HUFA biosynthesis ability was evaluated in fish using analysis of gene expression encoding enzymes involved in HUFA biosynthesis, and fatty acid profile. Development of the digestive tract in climbing perch followed the general pattern described for other species. At hatching (D0), it consisted of an undifferentiated straight tube laying dorsally to the yolk sac. At first feeding (D2), the digestive tract was fully differentiated into buccopharynx, esophagus, intestine and rectum with opened mouth and anus, and almost digestive enzymes were detected. The activities of all the enzymes remained stable from D25 onwards, coinciding with the formation of pyloric caecum. The enzymatic equipment of the larvae was completely efficient up to D25 and since then formulated feed could be offered. Moreover, the results showed that the fatty acid elongase and desaturase genes expression level was increased in the 12-day larvae fed on corn and the candle nut oil-enriched rotifers. This suggested that the elongase and desaturase enzymes were involved in HUFA biosynthesis. Results also indicated that the larvae fed by enriched rotifer with vegetable oil emulsions had higher survival rate than that of fed by non-enriched in control treatment. The highest survival rate of larvae was obtained in treatment D with ratio 1:1 of the corn and candle nut oils. In this treatment, concentration of docosahexaenoic acid (DHA; 10.33%) and arachidonic acid (ARA; 6.20%) was higher compared to the other treatments. It is most likely that DHA and ARA play important role on survival of the larvae. Therefore, the corn oil and the candle nut oil with a ratio 1:1 could be used to provide high performance of climbing perch larvae. Keywords: effort, survival rate, digestive system, ontogeny, fatty acid, biosynthesis, enrichment, climbing perch larvae
6
7
RINGKASAN YULINTINE. Upaya Peningkatan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok, Anabas testudineus Bloch melalui Studi Ontogeni Sistem Pencernaan, Kemampuan Biosintesis HUFA dan Pengkayaan Asam Lemak Esensial. Dibimbing oleh ENANG HARRIS, DEDI JUSADI, RIDWAN AFFANDI, dan ALIMUDDIN. Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) merupakan ikan perairan tawar yang menjadi salah satu ikan ekonomis penting terutama di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang memiliki peluang untuk dikembangkan. Ikan betok sudah dapat dipijahkan dan dibesarkan pada wadah budidaya. Namun demikian, kelangsungan hidup larva ikan ini yang dipelihara selama satu bulan masih sangat rendah. Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi sebagai dasar dalam upaya peningkatan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva agar produksi benih ikan betok meningkat. Penelitian ini meliputi 4 tahap penelitian yakni tentang perkembangan saluran pencernaan, aktivitas enzim saluran pencernaan sampai ikan berumur 30 hari setelah menetas, kloning gen penyandi enzim yang terlibat biosintesis HUFA, dan gambaran biosintesis asam lemak HUFA pada larva ikan betok. Sampel larva sebanyak 100 ekor diambil dari akuarium pemeliharaan pada hari ke-0 sampai hari ke-5 setiap hari (D0-D5), kemudian hari ke-8 (D8), 12 (D12), 16 (D16), 20 (D20), 25 (D25) dan 30 (D30) setelah menetas untuk melakukan pengukuran panjang total dan pengukuran lebar bukaan mulut larva menggunakan mikroskop yang dilengkapi kamera sehingga dapat melakukan pemgambilan gambar. Sebanyak 10 ekor digunakan untuk analisis struktur histologis saluran pencernaan. Contoh ikan untuk analisis aktivitas enzim diambil pada umur yang sama seperti pada pengamatan struktur histologis dan morfologis larva. Aktivitas enzim spesifik yang diukur meliputi aktivitas enzim α-amilase, lipase, tripsin, kimotripsin dan pepsin. Informasi yang diharapkan dari kedua penelitian ini adalah informasi tentang waktu pertama kali makan dari luar (eksogenus) dan waktu pertama kali mampu memakan pakan buatan sehingga mendapat gambaran pakan yang sesuai untuk ikan betok pada awal pemeliharaan. Penelitian tentang kloning gen penyandi enzim biosintesis HUFA dilakukan untuk memperoleh sekuens nukleotida gen elongase dan desaturase spesifik ikan betok. Sekuens ini digunakan untuk mendesain primer spesifik uji ekspresi gen pada Penelitian 4 tentang ekspresi gen elongase dan desaturase, serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok yang diberi rotifera hasil pengkayaan. RNA total yang digunakan untuk kloning gen diisolasi dari hati ikan betok untuk memperoleh cDNA utuh gen elongase dan desaturase. Pada penelitian terakhir, larva ikan betok diberi makan rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 0:0 (kontrol), 1:0, 0:1, 1:1, 1:3, dan 3:1 dari hari ke-2 sampai hari ke-12 setelah menetas. Parameter yang diukur meliputi ekspresi gen elongase dan desaturase, komposisi asam lemak tubuh larva, kelangsungan hidup dan pertumbuhan mutlak larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Penelitian 1, larva ikan betok saat baru menetas mempunyai saluran pencernaan yang masih sederhana dan
8
belum berdiferensiasi. Seiring meningkatnya umur larva, saluran pencernaan larva ini juga berkembang dan pada D2 bersamaan larva mulai mengkonsumsi pakan dari luar (eksogenus), saluran ini sudah terdiferensiasi tetapi belum sempurna. Pada D25, lambung sudah berkembang dengan sangat baik, hal ini menunjukkan bahwa lambung telah berfungsi dan pada hari yang sama sudah terbentuk filorik kaeka yang berarti bahwa proses diferensiasi saluran pencernaan sudah selesai dan sejak itu dapat dilakukan pendederan dan diberi pakan buatan. Informasi ini juga didukung oleh informasi dari Penelitian 2. Hampir semua enzim pencernaan yang diukur ketika larva berumur 25 hari sudah relatif stabil. Hal ini mencerminkan bahwa pada saat itu sistem saluran pencernaan telah berfungsi dan siap mendukung proses pencernaan. Berdasarkan informasi dari Penelitian 1 dan 2, ikan betok dapat mulai makan pada umur 2 hari. Rotifera air tawar yang mempunyai ukuran rata-rata 125-200 µm merupakan pakan awal yang cocok untuk larva ikan betok pada saat pertama makan eksogenus tersebut karena bukaan mulut maksimum larva pada saat itu sekitar 380 μm. Selain rotifera air tawar cocok untuk pakan awal ikan betok, upaya peningkatan nutrisi rotifera juga perlu dilakukan. Salah satu nutrien yang perlu untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan betok adalah asam lemak esensial. Adapun sumber asam lemak linoleat (LA) dan linolenat (LNA) yang digunakan adalah minyak jagung dan minyak kemiri. Larva ikan betok diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 1:1 dan dosis 3 g/L media pengkayaan memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Berdasarkan analisis ekspresi gen elongase dan desaturase serta komposisi asam lemak tubuh larva, larva ikan betok juga diduga dapat mendesaturasi dan mengelongasi asam lemak C18 seri n-6 dan n-3 menjadi asam lemak C20 seri n-6 dan n-3 dan C22 seri n-3. Selain itu, pada larva ikan betok, enzim elongase dan desaturase yang terlibat dalam biosintesis HUFA ini lebih aktif pada substrat n-3 daripada n-6 sehingga proses biosintesis HUFA n-3 lebih tinggi daripada n-6. Hal ini terjadi karena afinitas enzim elongase dan desaturase pada larva ikan betok lebih tinggi terhadap n-3 daripada n-6. Selanjutnya, keseimbangan n-6/n-3 dalam pakan juga menentukan proses biosintesis HUFA. Pada larva ikan betok, rasio LA:LNA yang optimal adalah sekitar 1,03:1,00. Hasil penelitian tentang kloning gen elongase dan desaturase pada ikan betok menunjukkan bahwa cDNA utuh gen elongase dicirikan dengan satu kotak histidin (HXXHH), 5 wilayah transmembran, dan beberapa motif lain yang terkonservasi seperti residu lisin (K) dan arginin (R) di ujung gugus karboksil (KXRXX), sedangkan cDNA utuh gen desaturase dicirikan dengan 3 kotak histidin (HXXXH, HXXHH, QXXHH), 2 wilayah transmembran, dan domain sitokrom b5-like. Berdasarkan uji kekerabatan, elongase dan desaturase ikan betok dekat kepada elongase, dan desaturase ikan gabus dan ikan nila, dan agak jauh dengan kelompok ikan cyprinid, dan ikan salmonid. Sementara itu, sekuens βaktin parsial sebagai kontrol internal pada uji ekspresi gen juga dikloning. Berdasarkan uji kekerabatan, β-aktin ikan betok dekat β-aktin ikan kerapu dan ikan nila. Hasil uji ekspresi dari beberapa jaringan tubuh ikan betok menunjukkan bahwa ekspresi gen elongase dan desaturase pada ikan betok tertinggi di jaringan hati. Gen elongase juga diekspresi di jaringan usus dengan kadar yang lebih rendah.
9
Kesimpulan, larva ikan betok mengalami diferensiasi alat pencernaan yaitu bukofaring, esofagus, usus dan rektum pada hari kedua setelah menetas, dan mengalami perubahan dari fase larva menjadi juvenil ditandai dengan munculnya filorik kaeka dan stabilnya enzim-enzim pencernaan pada hari ke-25 setelah menetas. Ikan betok memiliki kemampuan mendesaturasi dan mengelongasi n-3, tetapi kemampuan mendesaturasi dan mengelongasi n-6 sangat rendah atau tidak ada ketika substrat n-3 sedikit. Kelangsungan hidup larva ikan betok yang diberi rotifera diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 1:1 hampir dua kali lipat dari yang diberi rotifera tanpa pengkayaan.
10
11
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
12
13
UPAYA PENINGKATAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BETOK, Anabas testudineus Bloch MELALUI STUDI ONTOGENI SISTEM PENCERNAAN, KEMAMPUAN BIOSINTESIS HUFA DAN PENGKAYAAN ASAM LEMAK ESENSIAL
YULINTINE
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
14
Penguji pada Ujian Prakualifikasi
: 1. Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Staf Pengajar dan Ketua Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB 2. Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si Staf Pengajar pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Staf Pengajar dan Ketua Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB 2. Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si Staf Pengajar pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si Staf Pengajar pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB 2. Dr. Ir. Wartono Hadie, M.Si Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, KKP, Jakarta Jl. Ragunan 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12540
15
Judul Disertasi: Upaya Peningkatan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok, Anabas testudineus Bloch melalui Studi Ontogeni Saluran Pencernaan, Kemampuan Biosintesis HUFA dan Pengkayaan Asam Lemak Esensial Nama : Yulintine NIM : C161070011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Ketua
Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota
Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : ………………
Tanggal Lulus : ……………………
16
17
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini adalah peningkatan kelangsungan hidup larva, dengan judul “Upaya Peningkatan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) melalui Studi Ontogeni Sistem Pencernaan, Kemampuan Biosintesis HUFA dan Pengkayaan Asam Lemak Esensial”. Disertasi ini memuat dua bab pertama yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 3 berjudul “Developments of digestive tract in larvae of climbing perch Anabas testudineus (Bloch)”, telah diterbitkan di Indonesian Aquaculture Journal 5 (2):109-116), dan Bab 4 berjudul “Perkembangan Aktivitas Enzim Pada Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok, Anabas testudineus (Bloch)” sedang menunggu penerbitan di Jurnal Bionatura pada Volume 14, Nomor 1, Maret 2012. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Enang Harris, Bapak Dr. Dedi Jusadi dan Bapak Dr. Ridwan Affandi
serta Bapak Dr.
Alimuddin yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta memberikan saran selama ini, baik dalam penulisan proposal dan disertasi maupun dalam melaksanakan penelitian.
Demikian juga ucapan terima kasih disampaikan
kepada Bapak Dr. Odang Carman dan Bapak Dr. Nur Bambang Priyo Utomo atas saran yang telah diberikan untuk perbaikan proposal. Di samping itu ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada Bapak Prof. Goro Yoshizaki beserta staf pada Laboratory of Physiology, Tokyo University of Marine Science and Technology, Japan yang telah membantu penulis melakukan penelitian kloning gen. Ungkapan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Haryuni, S.Pi, M.Si, Bapak Suriansyah, S.Pi , M.Si dan Bapak Ir. Hendri Bugar, M.Si atas bantuan induk ikan betok.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu
Dian Anggraeni dari Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, atas pendampingan selama analisis enzim. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Lina Mulyani dan Ibu Anna Octavera, S.Pi, M.Si dari Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik BDP IPB, atas bantuan dan
18
pelayanannya di laboratorium.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak
Manawan dari Kolam Percobaan Perikanan IPB, yang telah membantu dalam pemeliharaan induk dan larva.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. Y Sulistiyanto selaku Direktur Program I-MHERE UNPAR beserta Staf yang telah mengelola beasiswa IMHERE dari DIKTI sehingga penulis diberi kesempatan memperoleh beasiswa tersebut.
Selanjutnya, terima kasih
disampaikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah atas bantuan dana penelitian, dan kepada DIKTI atas kesempatan untuk mengikuti Program Sandwich Tahun 2011 ke Tokyo University of Marine Science and Technology, Tokyo, Japan dalam rangka melakukan penelitian.
Terima kasih juga
disampaikan kepada Ibu Wawat Kurniawati, SE dan keluarga, dan kepada keluarga Bapak Ir. Suherti Redy GT, Bapak Tulus Tumang, Bapak Dr. Rilus Kinseng, dan Bapak Sukarius Nyumai atas kebersamaan dan persaudaraan selama ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan satu angkatan mayor AKU 2007 : Bapak Dr. Andi Parengrengi, Ibu Dr. Roro Raden Sri Pudji Sinarni Dewi, Ibu Ilmiah, M.Si, Ibu Hesti Wahyuningsih, M.Si, Bapak Ir. O.D. Subhakti Hasan, M.Si, Bapak Ir. Usman, M.Si, Bapak Ir. Ahmad Ghufron Mustofa, M.Si, Bapak Ir. Mulyana, M.Si, atas kebersamaan dan persahabatan selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman anggota Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik BDP IPB atas kebersamaan dan berbagi informasi selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Helena A. S., S.Pi, M.Si, Ibu Ir. Rini Marlida, M.Si, Bapak Ir. Muhammad, M.Si, Ibu Ir. Heni Syawal, M.Si, Ibu Hernawati, M.Si, atas persahabatan selama ini. Terima kasih disampaikan kepada Ibu Linda Wulandari, MS atas segala bantuan yang diberikan selama ini. Terima kasih juga disampaikan Ketua Laboratorium Limnologi Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya beserta staf atas bantuan dana dan fasilitas.
Terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan
kepada bapak, ibu, dan seluruh keluarga besar, atas segala doa, kasih sayang dan bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012 Yulintine
19
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Buntok pada tanggal 23 Juli 1970 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara pasangan Yustinus Liwat, BA dan Karlimin. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus tahun 1995. Pada tahun 2002, penulis diterima di program studi Environmental Management, Graduate School of Geography, Nottingham University, England dan menamatkannya tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan Pascasarjana Program Doktor diperoleh dari IMHERE-Universitas Palangka Raya yang berasal dari DIKTI dan bantuan dana penelitian melalui Program Sandwich 2011 dari DIKTI, serta bantuan dana penelitian dari Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Setelah lulus sarjana pada tahun 1995, penulis bekerja sebagai tenaga honor pada Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya. Selanjutnya, sejak tahun 1998 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada instansi yang sama. Karya ilmiah dengan judul “Developments of digestive tract in larvae of climbing perch Anabas testudineus (Bloch)”, telah diterbitkan pada Indonesian Aquaculture Journal. Artikel lain yang berjudul “Perkembangan Aktivitas Enzim Pada Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok, Anabas testudineus (Bloch)” akan diterbitkan pada jurnal Bionatura (LPPM Universitas Padjadjaran) Volume 14 (1), Maret 2012. penulis.
.
Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3
20
21
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... xxiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxix PENDAHULUAN ............................................................................................... Latar Belakang ................................................................................................ Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... Hipotesis Penelitian ......................................................................................... Tingkat Kebaruan (Novelty) ...........................................................................
1 1 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 7 Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) .......................................................... 7 Plankton dan Bentos sebagai Pakan Alami ..................................................... 8 Rotifera Brachionus sp. ................................................................................... 9 Saluran Pencernaan dan Proses Pencernaan Ikan ........................................... 10 Kebutuhan Nutrien Ikan .................................................................................. 13 Kloning dan Ekspresi Gen Desaturase dan Elongase pada Ikan ..................... 18 PERKEMBANGAN SALURAN PENCERNAAN LARVA IKAN BETOK Anabas testudineus (Bloch) ..................................................... 21 Abstrak ............................................................................................................ 21 Abstract ........................................................................................................... 22 Pendahuluan .................................................................................................... 22 Bahan dan Metode ........................................................................................... 23 Hasil ................................................................................................................ 25 Pembahasan ..................................................................................................... 30 Simpulan ......................................................................................................... 35 PERKEMBANGAN AKTIVITAS ENZIM PADA SALURAN PENCERNAAN LARVA IKAN BETOK, Anabas testudineus (Bloch) ........ 37 Abstrak ............................................................................................................ 37 Abstract ........................................................................................................... 38 Pendahuluan .................................................................................................... 38 Bahan dan Metode ........................................................................................... 40 Hasil ................................................................................................................ 42 Pembahasan ..................................................................................................... 46 Simpulan ......................................................................................................... 49
22
KLONING DAN KARAKTERISASI GEN PENYANDI ENZIM DESATURASE DAN ELONGASE YANG BERPERAN DALAM BIOSINTESIS HUFA, SERTA GEN β-AKTIN PADA IKAN BETOK Anabas testudineus (Bloch) ............................................................... Abstrak ............................................................................................................ Abstract ........................................................................................................... Pendahuluan .................................................................................................... Bahan dan Metode .......................................................................................... Hasil ................................................................................................................ Pembahasan .................................................................................................... Simpulan .........................................................................................................
51 51 52 52 56 62 72 76
EKSPRESI GEN ELONGASE DAN DESATURASE, SERTA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BETOK YANG DIBERI ROTIFERA HASIL PENGKAYAAN ...... Abstrak ............................................................................................................ Abstract ........................................................................................................... Pendahuluan .................................................................................................... Bahan dan Metode .......................................................................................... Hasil ................................................................................................................ Pembahasan .................................................................................................... Simpulan .........................................................................................................
77 77 78 78 80 84 87 91
PEMBAHASAN UMUM .................................................................................. 93 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 99 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 101
23
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perkembangan struktur alat pencernaan ikan betok ......................................... 33 2 Perkembangan enzim pencernaan ikan betok .................................................. 46 3 Profil asam lemak (% dari total asam lemak) pada minyak jagung (J), minyak kemiri (K), dan pakan kontrol ............................................................. 81 4 Perlakuan pemberian minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio yang berbeda pada rotifera untuk larva ikan betok selama 10 hari pemeliharaan .................................................................................................... 82 5 Kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan mutlak (G) larva ikan betok yang dipelihara selama 10 hari dengan pemberian minyak jagung dan minyak kemiri .................................................................. 85 6 Komposisi asam lemak (% dari total asam lemak) larva ikan betok pada awal dan umur 12 hari yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri ................................................................... 86
24
25
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Klasifikasi lemak ............................................................................................. 14 2 Jalur biosintesis asam lemak HUFA C20 dan C22 dari prekursor C18 n-3, n-6 dan n-9 pada tumbuhan dan hewan (e: elongase; s: β-oksidasi; terjadi pada hewan, tumbuhan dan jamur ( ); terjadi pada hewan ( ); terjadi pada tumbuhan dan avertebrata ( ); terjadi pada avertebrata dan protista ( ) (Sargent et al. 2002; Tocher 2003; Scrimgeour & Harwood 2007) .............................................................. 15 3 Jadwal pemberian pakan pada larva ikan betok .............................................. 24 4 Panjang total rata-rata (mm) larva A. testudineus. Tanda panah menunjukkan waktu pertama makan eksogenus (pada hari ke-2 setelah menetas) ..................................................................... 25 5 Larva ikan betok Anabas testudineus yang baru menetas dengan panjang total rata-rata 2,12±0,16 mm, n=100 A. Tampak ventral; B. Tampak dorsal; y = yolk; 100X .................................................................. 26 6 Bukaan mulut maksimum rata-rata (mm) larva A. testudineus ....................... 26 7 Potongan sagital dari saluran pencernaan larva ikan betok pada hari ke-2 setelah menetas (D2) menunjukkan diferensiasi rongga mulut (oc), faring (ph), usus anterior (ai) dan usus posterior (pi), HE, 100X; kuning telur (ys), mata (E), tapis insang (ga), hati (li), gelembung renang (sb) ....................................................................................................... 27 8 (A) Detail epitel faring pada hari ke-2 menetas larva ikan betok (panah putih); HE, 400X. (B) Detail epitel faring pada hari ke-12 menetas larva yang memperlihatkan sel goblet fungsional (kepala panah); PAS, 200X. (C) Detail epitel faring pada hari ke-25 menetas larva memperlihatkan sel goblet (kepala panah) dan taste bud (panah); PAS, 200X; rongga mulut (oc), tapis insang (ga), faring (ph), esofagus (o) ..................................................................................................... 28 9 Potongan sagital lambung larva ikan betok pada (A) hari ke-16 setelah menetas. (B) hari ke-20 setelah menetas memperlihatkan perkembangan yang lebih baik; HE, 200X; lambung (s), hati (li), esofagus (o) ..................................................................................................... 29 10 Detail usus larva ikan betok pada (A) hari ke-12 setelah menetas memperlihatkan pelipatan mukosa berkembang dengan baik pada usus anterior dan usus posterior; HE, 200X. (B) hari ke-30 setelah menetas memperlihatkan pelipatan mukosa yang sangat nyata; HE,
26
200X. (C, D) hari ke-30 setelah menetas dengan beberapa sel goblet fungsional (kepala panah); PAS, 400X dan 600X; hati (li), usus anterior (ai), usus posterior (pi), lambung (s), pilorik kaeca (pc) ................... 31 11 Potongan sagital hati larva ikan betok pada (A) hari ke-2 setelah menetas memperlihatkan kantong empedu; HE, 100X. (B) hari ke-12 setelah menetas memperlihatkan hepatosit poligonal yang terdapat banyak vakoula; granula eosinophilik positif uji PAS; vakuola transparan negatif uji PAS, 400X. Potongan sagital pankreas larva ikan betok pada (C) hari ke-2 setelah pertama makan eksogenus memperlihatkan adanya sel-sel endokrin (pulau Langerhans); HE, 400X, dan (D) hari ke-20 setelah menetas makin berkembang; HE, 200X; kantong empedu (gb), usus (in), hati (li), kuning telur (ys), pulau Langerhan (il), pankreas (p), gelembung renang (sb) .................................................................................. 32 12 Aktivitas spesifik α-amilase pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari ................................................................................ 43 13 Aktivitas spesifik lipase pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari ................................................................................ 44 14 Aktivitas spesifik tripsin pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari ................................................................................ 44 15 Aktivitas spesifik kimotripsin pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari ................................................................................ 45 16 Aktivitas spesifik pepsin pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari ................................................................................ 45 17 Hasil elektroforesis produk PCR awal. A. β-aktin dengan target pita 500 bp, B. elongase dengan target pita 770 bp (1) dan 660 bp (2), C. desaturase dengan target pita 840 bp (1) dan 950 bp (2) ........................... 63 18 DNA yang sudah dipurifikasi, diligasi dan ditransformasi. A. Bakteri E.coli yang berwarna putih membawa DNA yang terinsersi pada vektor kloning pGEM-T Easy, B. Hasil cracking bakteri E.coli yang berwarna putih (1-20) dengan koloni 5, 6, 7, 9, 10 dan 11 yang membawa plasmid DNA, dengan kontrol negatif (C) .................................... 63 19 Sekuens nukleotida gen β-aktin ikan betok dibandingkan dengan β-aktin ikan lainnya (b-act_A testu: β-aktin ikan betok; b-act_C fasci: β-aktin ikan colisa (no. akses bank gen: GU363348.1); b-act_R cana: β-aktin ikan cobia (no. akses bank gen: EU266539.1); b-act_T moss: β-aktin ikan mujair (no. akses bank gen: AB037865.1)) ................................ 65 20 Dendrogram nukleotida β-aktin ikan betok dan ikan lainnya (b-act_C fasci: β-aktin ikan colisa (no. akses bank gen: GU363348.1);
27
b-act_D labr: β-aktin ikan European sea bass (no. akses bank gen: AJ537421.1); b-act_A testu: β-aktin ikan betok; b-act_E coio: β-aktin ikan kerapu (no. akses bank gen: AY510710.2); b-act_T moss: β-aktin ikan mujair (no. akses bank gen: AB037865.1); b-act_R cana: β-aktin ikan cobia (no. akses bank gen: EU266539.1); b-act_C carp: β-aktin ikan mas (no. akses bank gen: M24113.1); b-act_O myki: β-aktin ikan rainbow trout (no. akses bank gen:AF157514.1); b-act_S sala: β-aktin ikan Atlantic salmon (no. akses bank gen:AF012125.1); b-act_D reri: β-aktin ikan zebra (no. akses bank gen: AF057040.1) .............. 66 21 Sekuens nukleotida, dan deduksi asam amino yang mengkode gen elongase ikan betok (nomor akses bank gen: JQ690757). Garis bawah: kotak histidin; bintang merah: residu asam amino yang sangat terkonservasi ........................................................................................ 67 22 Sekuens asam amino residu elongase PUFA ikan betok dibandingkan dengan elongase pada ikan lainnya. Wilayah transmembran : garis putus-putus (----); domain yang ada kotak histidin: garis tak putus ( ); Elovl5_L calc: elongase ikan kakap (no. akses bank gen: GQ214180.1); Elovl5b_S sala: elongase ikan Atlantic salmon (no. akses bank gen: FJ237531.1); Elovl_A testu: elongase ikan betok (no. akses bank gen: JQ690757); Elovl_C gari: elongase ikan lele (no. akses bank gen: AY660880.1); Elovl_D reri: elongase ikan zebra (no. akses bank gen: AF532782.2); Elovl_N mits: elongase ikan nibe (no. akses bank gen: FJ952143.1); Elovl_O nilo: elongase ikan nila (no. akses bank gen: AY170326.2); Elovl_S aura: elongase ikan gilthead seabream (no. akses bank gen: AY660879.1); Elovl_S chua: elongase ikan mandarin (no. akses bank gen: EU683736.1) ................. 69 23 Dendrogram asam amino residu elongase asam lemak PUFA ikan betok dan elongase dari ikan lain; Elovl5_L calc: elongase ikan kakap (no. akses bank gen: GQ214180.1); Elovl5b_S sala: elongase ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen: FJ237531.1); Elovl_A testu: elongase ikan betok (no. akses bank gen: JQ690757); Elovl_C gari: elongase ikan lele (no. akses bank gen: AY660880.1); Elovl_D reri: elongase ikan zebra (no. akses bank gen: AF532782.2); Elovl_N mits: elongase ikan nibe (no. akses bank gen: FJ952143.1); Elovl_O nilo: elongase ikan nila (no. akses bank gen: AY170326.2); Elovl_S aura: elongase ikan gilthead seabream (no. akses bank gen: AY660879.1); Elovl_S chua: elongase ikan mandarin (no. akses bank gen: EU683736.1) ... 70 24 Sekuens nukleotida (huruf kecil), dan deduksi asam amino (huruf besar) yang mengkode gen desaturase ikan betok (kode akses bank gen: JQ690756). Huruf miring dan garis bawah: heme-binding pada N-terminal sitokrom b5-like; garis bawah: kotak histidin ................................................. 72 25 Sekuens asam amino residu desaturase PUFA ikan betok dibandingkan dengan desaturase pada ikan lainnya. Domain sitokrom b5-like :
28
tanda titik-titik; wilayah transmembran : garis putus-putus (-----); domain yang ada kotak histidin: garis tak putus ( ); D5_S sala: D5D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : AF478472.3); D6-D5_D reri: D6/D5D ikan zebra (no. akses bank gen : AF309556.1); D6_A testu: D6D ikan betok (no.akses bank gen : JQ690756); D6_C stri: D6D ikan gabus (no.akses bank gen : EU570220.2); D6_N mits: D6D ikan nibe (no.akses bank gen : GQ996729.1); D6_O nilo: D6D ikan nila (no.akses bank gen : AB069727.1); D6_S sala: D6D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : NM_001172281.1) ......................................................... 74 26 Dendrogram asam amino residu desaturase PUFA ikan betok dan desaturase dari ikan lain; D6_R cana: D6D ikan cobia; D6_T macc: D6D ikan tuna; D6_G morh: D6D ikan Atlantic cod; D6_N mits: D6D ikan nibe; D5_S sala: D5D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : AF478472.3); D6_S sala: D6D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : NM_001172281.1); D5_O maso: D5D ikan salmon masu; D6_O nilo: D6D ikan nila (no.akses bank gen : AB069727.1); D6_A testu: D6D ikan betok (no.akses bank gen : JQ690756); D6_C stri: D6D ikan gabus (no.akses bank gen : EU570220.2); D6_C carp: D6D ikan mas; D6-D5_D reri: D6/D5D ikan zebra (no. akses bank gen : AF309556.1) .................................................................................................... 75 27 Ekspresi gen elongase (1), desaturase (2) dan β-aktin (3) ikan betok pada beberapa jaringan. Grafik persentase rasio ekspresi mRNA elo ( ) dan des ( ) dengan β-aktin (4); M: marker; Ht: hati; Us: Usus; Ot : otot; Mt: mata; Si : sirip, K- : kontrol negatif ......................................................... 76 28 Ekspresi gen elongase (1), desaturase (2) dan β-aktin (3) serta rasio ekspresi mRNA elongase ( ) dan desaturase ( ) dengan β-aktin (4) pada larva ikan betok pada beberapa kombinasi minyak jagung dan minyak kemiri yang diberi pada rotifera. M: marker; A: 0,0; B: 1,0; C : 0,1; D: 1:1; E : 3:1; F: 1,3; K- : kontrol negatif ......................................... 87
29
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data panjang total (mm) larva ikan betok sampai berumur 30 hari ................. 113 2 Data kelangsungan hidup (SR, %) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri ............................ 116 3 Analisis ANOVA kelangsungan hidup (SR, %) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri .................. 117 4 Data pertumbuhan mutlak (G, mm) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri ............................ 119 5 Analisis ANOVA pertumbuhan mutlak (G, mm) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri .................. 120 6 Data konsentrasi ekspresi gen (ng/µL) dan rasio DNA gen elongase atau desaturase dan β-aktin (%) pada beberapa organ ikan betok ................... 122 7 Data konsentrasi ekspresi gen (ng/µL) dan rasio DNA gen elongase atau desaturase dan β-aktin (%) pada larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri ............................ 123 8 Analisis asam lemak ......................................................................................... 124
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang berasal dari perairan rawa dan sungai. Harga ikan ini relatif mahal dibandingkan dengan harga ikan-ikan introduksi lain seperti ikan mas, patin, nila dan bawal air tawar terutama di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Menurut Kottelat et al. (1993) ikan betok ini dapat hidup di perairan umum termasuk danau, sungai dan rawa-rawa, serta di perairan payau. Daerah penyebaran di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi. Upaya pemijahan dan pemeliharaan larva ikan betok telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Widodo et al. (2007) melakukan pemijahan ikan betok dengan penyuntikan ovaprim dosis 0,5 mL/kg ikan. Kelangsungan hidup larva yang ditebar di kolam sampai berumur 1 bulan dan diberi pellet yang dihaluskan masih rendah yakni sekitar 10-30% dengan ukuran 1-3 cm. Sementara itu, Trieu & Long (2001) melaporkan bahwa pemeliharaan larva betok selama 45 hari pada suhu 27,0-29,8 oC dan oksigen terlarut 3,12-4,60 mg/L menghasilkan tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%. Morioka et al. (2009) melaporkan tingkat kelangsungan hidup larva ikan betok yang dipelihara pada suhu 27,6-28,2 oC relatif sama dengan Trieu & Long (2001). Derajat pembuahan dan penetasan telur relatif tinggi, yaitu masing-masing sekitar 100% (Morioka et al. 2009). Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya kelangsungan hidup larva ikan betok adalah karena kurang tersedianya ukuran pakan yang tepat yakni zooplankton berukuran kecil. Hal ini berhubungan erat dengan ukuran larva yang sangat kecil dengan panjang standar sekitar 2 mm pada saat menetas (Marlida 2001; Morioka et al. 2009) sehingga bukaan mulut larva betok sangat kecil yang berasal dari telur yang berukuran relatif kecil yaitu sekitar 375-875 μm (Mustakim 2008). Setelah pemeliharaan selama 1 minggu, ukuran larva dapat mencapai 4-5 mm (Marlida 2001; Widodo et al. 2007; Morioka et al. 2009). Selanjutnya, ukuran bukaan mulut larva menentukan preferensi pakan yang dikonsumsi selain karakteristik spesifik spesies sehingga dapat menjadi acuan dalam pemberian
2
makanan yang optimal untuk larva (Hagiwara et al. 2001).
Informasi tentang
bukaan mulut larva ikan betok sampai berumur 30 hari belum ada. Oleh sebab itu penelitian tentang bukaan mulut larva betok perlu dilakukan supaya dapat diketahui ukuran makanan yang cocok untuk larva betok.
Sementara itu,
pembesaran larva ikan pada umumnya bertumpu pada penggunaan pakan alami selama periode beberapa minggu perkembangannya. Rotifera seperti Brachionus dengan ukuran 100-340 μm yang mengandung protein dan lipid masing-masing sekitar 28-72% dan 4,5-28,5% dari berat kering (Lubzens et al. 1989) merupakan salah satu pakan alami yang cocok sebagai pakan awal untuk larva ikan dan udang yang berukuran sangat kecil (Lubzens et al. 1989; Yoshimura et al. 2003). Kemungkinan lain penyebab rendahnya kelangsungan hidup larva ikan betok adalah kurangnya kemampuan larva ikan betok untuk mencerna pakan yang tersedia sehingga pakan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal yang menyebabkan perkembangan dan kelangsungan hidup larva rendah.
Hal ini
kemungkinan juga terkait erat dengan ukuran larva ikan betok yang relatif kecil seperti pada larva ikan altricial gastric yaitu larva ikan berukuran kecil lainnya yang secara umum mempunyai saluran pencernaan yang belum sempurna dan lambung belum ada ketika pertama kali makan eksogenus.
Pada larva yang
demikian sebagian besar pencernaan protein terjadi pada sel epitel saluran pencernaan bagian belakang (Rust 2002), sehingga belum mampu mencerna makanan eksogenus dengan baik dan menyebabkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ini lebih rendah (Bengtson 2003). Sementara itu, mengembangkan teknik akuakultur yang efektif untuk larva ikan betok merupakan salah satu upaya domestikasi ikan betok yaitu dengan memfokuskan pada stadia awal larva.
Mengingat sulitnya melakukan studi
kecernaan pada larva ikan maka pendekatan yang paling umum dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan larva untuk mencerna makanan adalah mempelajari saluran pencernaan yang difokuskan pada pengamatan aktivitas enzim pencernaan larva seiring stadia perkembangan larva dan perkembangan saluran pencernaan (Alvarez-Gonzalez et al. 2008). Selanjutnya, aktivitas berbagai enzim pencernaan yang berbeda dapat digunakan sebagai indikator perkembangan dan sebagai dasar untuk menentukan waktu awal untuk pemberian pakan buatan.
3
Dewasa ini studi tentang ontogeni saluran pencernaan dan enzim pencernaan pada larva ikan telah banyak dilakukan terutama pada kelompok larva atricial gastric.
Adapun tujuan studi ontogeni ini adalah untuk mengetahui
kemampuan larva dalam memanfaatkan pakan buatan.
Studi perkembangan
sistem pencernaan ini termasuk perkembangan enzim pada larva ikan betutu (Effendi 1995), ikan spotted sand bass (Pena et al. 2003), ikan California halibut (Gisbert et al. 2004), ikan yellowtail kingfish (Chen et al. 2006a,b), ikan common pandora (Micale et al. 2006), ikan dourado (Vega-Orellana et al. 2006), dan ikan percula clownfish (Onal et al. 2008), tetapi studi ontogeni ini sampai larva berumur 30 hari belum dilakukan pada ikan betok. Karena pada umumnya pola aktivitas enzim pencernaan larva/postlarva ikan terkait dengan organogenesis termasuk saluran pencernaannya maka penelitian tentang ontogeni saluran pencernaan ini perlu dilakukan pada larva/benih ikan betok. Pada penelitian ini juga dilakukan verifikasi ukuran telur dan ukuran larva ikan betok. Di samping itu, lipid bersama dengan protein juga merupakan nutrisi penting untuk ikan termasuk larva. Asam lemak sebagai penyusun utama lipid berperan penting sebagai sumber energi pada ikan untuk pertumbuhan dan bergerak (Sargent et al. 1999a; Sargent et al. 2002; Tocher 2003). Asam lemak pada lipid ikan kaya asam lemak sangat tak jenuh rantai panjang, highly unsaturated fatty acid (HUFA) dengan C20 dan C22 terutama asam eikosapentanoat (EPA; 20:5n-3), asam dokosaheksanoat (DHA; 22:6n-3) dan asam arakidonat (ARA; 20:4n-6), berperan penting dalam proses-proses fisiologis (Tocher 2003).
HUFA merupakan komponen utama penyusun fosfolipid
membran sel yang penting dalam menjaga fluiditas dan fleksibilitas membran sel, karena memiliki titik lebur yang lebih rendah sehingga pada lingkungan yang ekstrim asam lemak ini tidak membeku (Castell 1979).
Selanjutnya, DHA
merupakan penyusun sel jaringan syaraf otak dan retina mata ikan sehingga larva ikan yang kekurangan DHA akan terganggu kemampuannya untuk menangkap mangsa (Sargent et al. 2002). Demikian pula asam lemak arakidonat juga penting untuk larva karena
merupakan prekursor utama pembentukan hormon
prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan yang berperan dalam proses inflamasi (Tocher 2003).
4
Asam lemak esensial yang terdapat dalam pakan alami sebagai pakan larva akan menentukan nilai gizi dari pakan alami tersebut (Watanabe et al. 1983) dan menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva (Sargent et al. 1999a). Profil asam lemak rotifera (Brachionus sp.) sebagai pakan larva akan menentukan profil asam lemak larva ikan tersebut. Hal ini dilaporkan pada larva ikan Senegal sole (Villalta et al. 2008), dan ikan bandeng (Chanos chanos) (Ogata et al. 2006) sehingga diasumsikan bahwa profil asam lemak Brachionus sp. juga akan menentukan profil asam lemak larva ikan betok. Selanjutnya, untuk mempertegas pengaruh asam lemak pada larva ikan betok, maka Brachionus sp. diberi pakan ragi roti sebelum diperkaya dengan asam lemak esensial (Sargent et al. 1997; Sargent et al. 1999a,b; Hamza et al. 2008). Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan dapat ditingkatkan dengan memberikan pakan alami yang diperkaya dengan PUFA/HUFA. Faulk et al. (2005) melaporkan bahwa larva ikan yellowtail snapper (Ocyurus chrysurus) yang diberi pakan alami yang diperkaya asam lemak n-3 HUFA dapat ditingkatkan kelangsungan hidupnya hingga mencapai 5,9% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (1,1%). Demikian pula, larva ikan turbot (Scophthalmus maximus) yang diberi pakan alami (rotifera dan Artemia) yang diperkaya dengan HUFA dapat ditingkatkan kelangsungan hidup sampai 36% (Estevez et al. 1999). Yunus et al. (1996) juga melaporkan hal yang sama, larva kepiting bakau yang diberi rotifera yang diperkaya minyak hati ikan cod yang kaya asam lemak n-3 HUFA dapat ditingkatkan sintasannya sampai 74% dibandingkan kontrol (48%). Oleh karena itu, pada umumnya larva ikan laut lebih memerlukan asam lemak n-3 HUFA. Sementara larva dan juvenil ikan mas, tilapia, mola sebagai ikan perairan tawar lebih memerlukan n-6 PUFA (polyunsaturated fatty acid) (Sargent et al. 2002) sehingga pada penelitian ini dilakukan penelitian tentang kebutuhan asam lemak n-6 dan n-3 untuk larva ikan betok sebagai salah satu ikan air tawar. Perbedaan asam lemak esensial antar jenis ikan mungkin berhubungan dengan aktivitas enzim yang terlibat dalam biosintesis HUFA. Oleh karena itu, untuk menyediakan informasi pendukung penelitian kebutuhan asam lemak larva ikan betok, pada penelitian ini juga dilakukan analisis ekspresi gen penyandi enzim yang bekerja dalam biosintesis HUFA.
5
Mengingat ikan sebagai salah satu hewan vertebrata tidak dapat membiosintesis asam lemak linoleat (LA; 18:2n-6) dan asam lemak linolenat (LNA; 18:3n-3) dari asam lemak oleat (OLE; 18:1n-9) karena tidak mempunyai enzim D12 desaturase (D12D) dan D15 desaturase (D15D) sehingga kedua asam lemak ini merupakan asam lemak esensial untuk ikan.
Pada umumnya ikan
perairan tawar mampu membiosintesis asam lemak ARA dari asam lemak LA, dan EPA dan DHA dari asam lemak LNA (Sargent et al. 1999a) sehingga asam lemak LA dan asam lemak LNA merupakan asam lemak esensial untuk ikan-ikan perairan tawar (Watanabe et al. 1983; Sargent et al. 1999a). Sebaliknya ikan air laut tidak mampu menbiosintesis EPA dan DHA dari asam lemak LNA dan tidak mampu membiosintesis ARA dari asam lemak LA karena ikan laut tidak mempunyai salah satu atau lebih enzim yang bekerja dalam biosintesis EPA, DHA dan ARA yaitu enzim D6/D5 desaturase (D6/D5D) dan elongase. Dengan demikian ketiga asam lemak tersebut adalah esensial untuk larva ikan laut sehingga harus diperkaya supaya dapat memenuhi kebutuhannya (Sargent et al. 1999a, b).
Karena ikan betok merupakan salah satu ikan air tawar maka
diasumsikan bahwa asam lemak LA dan LNA merupakan asam lemak esensial sehingga perlu diberikan pada ikan termasuk pada larva ikan betok. Adapun sumber asam lemak esensial ini berasal dari minyak jagung (57% LA dan 0,9% LNA (White 2008)) dan minyak kemiri (48,5% LA dan 28,5% LNA (Ketaren 2008)).
Tujuan dan Manfaat Penelitian Studi ini bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan betok supaya dapat memperoleh benih ikan betok dalam jumlah lebih banyak. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Untuk mengevaluasi perkembangan alat pencernaan larva dan benih ikan betok. 2. Untuk mengevaluasi perkembangan aktivitas enzim pencernaan larva dan benih ikan betok.
6
3. Untuk mengidentifikasi gen penyandi enzim yang terlibat dalam biosintesis asam lemak HUFA pada ikan betok 4. Untuk mengevaluasi kelangsungan hidup larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendukung pengembangan budidaya ikan betok. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam pemberian pakan pada larva ikan betok dan sebagai acuan dalam rekayasa genetik ikan untuk ikan lainnya, serta acuan dalam peningkatan kandungan nutrisi pakan alami larva ikan betok.
Hipotesis Penelitian Apabila waktu pemberian pakan sesuai dengan perkembangan struktur alat pencernaan dan enzim pencernaan maka kelangsungan hidup larva ikan betok dapat ditingkatkan.
Apabila ikan betok dapat membiosintesis HUFA, maka
pemberian minyak jagung dan minyak kemiri dapat meningkatkan kadar HUFA pada larva ikan betok.
Ketika kelangsungan hidup larva meningkat, maka
produksi benih ikan betok dapat meningkat pula.
Tingkat Kebaruan (Novelty) Kajian struktur anatomi alat pencernaan dan aktivitas enzim pada saluran pencernaan larva/benih ikan betok sampai berumur 30 hari merupakan hal yang baru seperti halnya sekuens gen desaturase ikan betok (nomor akses Bank Gen: JQ690756) dan elongase ikan betok (nomor akses Bank Gen: JQ690757), serta upaya peningkatan kelangsungan hidup larva ikan betok dengan pemberian rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri rasio 1:1.
7
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) Klasifikasi menurut Bloch, ikan betok dikelompokkan pada filum Chordata, kelas Actinopterygii, ordo Perciformes, famili Anabantidae, genus Anabas, spesies Anabas testudineus. Ikan betok merupakan ikan perairan tawar seperti rawa, sawah, sungai dan parit-parit. Beberapa nama yang diberikan pada ikan ini adalah bethok (Jawa), puyu (Melayu), papuyu (Banjar), climbing perch (Inggris) yang mengacu pada kemampuan ikan ini memanjat daratan (Kottelat et al. 1993). Ikan betok dapat mencapai panjang total 25 cm, mempunyai kepala yang besar dan sisik yang kaku, sisi belakang tutup insang bergerigi tajam, sisi dorsal berwarna gelap agak kecoklatan atau kehijauan dan sisi lateral kekuningan terutama sebelah bawah dengan garis gelap yang samar, bintik hitam pada ujung belakang tutup insang tetapi kadang tidak kelihatan. Ikan ini bernafas dengan insang dan mempunyai organ labirin sebagai alat pernafasan tambahan sehingga dapat bertahan hidup selama 1-2 bulan pada kondisi konsentrasi oksigen yang sangat rendah terutama ketika habitatnya mengalami kekeringan atau berpindah tempat. Ikan betok memangsa serangga dan hewan air yang berukuran kecil. Menurut Mustakim (2008) ikan betok tergolong ikan omnivora yang cenderung ke karnivora. Menurut Binoy & Thomas (2004) ikan betok hidup berkelompok. Sementara itu, ikan betok dapat tumbuh normal pada perairan dengan kisaran pH antara 4–8. Menurut Widodo et al. (2007) induk betok memijah pada malam hari dengan mengeluarkan telurnya yang melayang dan mengapung di permukaan air dengan derajat pembuahan lebih dari 90%.
Telur ikan betok diinkubasi di
o
akuarium pada suhu 26–7 C akan menetas antara 20-24 jam setelah pembuahan. Pembenihan ikan betok masih mengalami kendala yaitu sintasan larva yang masih sangat rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Trieu & Long (2001) dan Morioka et al. (2009), mengungkapkan bahwa sintasan larva pada pemeliharaan 45 hari masih kurang dari 20%, sedangkan Widodo et al. (2007) melaporkan bahwa pada pemeliharaan larva umur 3 hari yang langsung ditebar di kolam selama 1 bulan, kelangsungan hidup larva sekitar 10–30% dengan ukuran
8
panen benih 1–3 cm.
Kelangsungan hidup larva ikan betok yang rendah
kemungkinan karena larva ikan yang baru menetas tersebut belum dapat mencerna pakan buatan dengan baik
yang disebabkan aktivitas enzim saluran
pencernaannya masih rendah dan lambung belum berfungsi dengan baik. Dengan demikian pakan alami tetap berperan penting sebagai pakan awal untuk stadia awal larva seperti halnya terjadi pada larva ikan lainnya (Dhert et al. 2001).
Plankton dan Bentos sebagai Pakan Alami Pakan alami merupakan organisme yang hidup di dalam air yang tersedia secara terus menerus bagi larva ikan dan karena pergerakan pakan alami ini di dalam air dapat merangsang respon larva untuk mengejar dan memakannya. Pakan alami adalah pakan hidup bagi larva ikan tersebut dapat berupa fitoplankton (mikroalga), zooplankton, dan bentos. Pakan alami seperti rotifera dan Artemia merupakan makanan alami yang penting sehingga sangat baik diberikan untuk larva ikan (Dhert et al. 2001; Lubzens 1987) karena mempunyai beberapa kelebihan seperti bentuk dan ukurannya relatif kecil dan sesuai dengan bukaan mulut larva, warna, tinggi kandungan nutrisinya dan dapat diperkaya sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva ikan, dan gerakannya relatif lambat sehingga dapat merangsang ikan memangsanya. Beberapa jenis sudah mudah dibudidayakan dengan kepadatan tinggi dan berkembang biak dengan cepat karena umurnya relatif singkat sehingga dapat diperoleh dalam jumlah yang besar untuk kebutuhan larva (Lubzens et al. 2001). Rotifera juga dapat menjadi biokapsul untuk mentransfer agen terapi ke larva ikan (Lubzens 1987; Lubzens et al. 1989).
Pakan alami juga tidak
mencemari lingkungan perairan pada wadah pemeliharaan ikan sehingga angka mortalitas larva akibat kondisi air kurang bagus menjadi lebih kecil. Hal-hal tersebut
memungkinkan
ketersediaan pakan
alami
terjamin
dan
biaya
pembudidayaan relatif murah. Jenis pakan alami yang dapat dimakan oleh ikan tergantung pada jenis dan umur ikan. Plankton yang bersel tunggal dan berukuran kecil merupakan pakan ikan dari luar tubuhnya yang pertama kali dimakan, tetapi terjadi perubahan pakan alami seiring dengan pertumbuhan ikan. Pakan alami yang sudah umum dan
9
berkembang budidayanya adalah dari kelompok mikroalga untuk budidaya ikanikan laut antara lain: Chaetoceros calcitrans, Chaetoceros gracilis, Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Isochrysis galbana, Tetraselmis suecica, Dunaliella sp, Nannochloropsis occulata (Muller-Feuga et al. 2003), dan Chlorella sp. (Hagiwara et al. 2001). Jenis zooplankton yang telah dibudidayakan antara lain: Artemia sp. (Dhont & Van Stappen 2003), rotifera (Brachionus plicatilis dan Brachionus rotundiformis) (Hagiwara et al. 2001; Lubzens & Zmora 2003), copepoda (Acartia spp., Eurytemura spp., Pseudocalanus elongates, dan Centropages spp.), Daphnia sp. dan Moina sp. (Stottrup 2003). Sementara jenis bentos yang umum dibudidayakan untuk budidaya ikan air tawar antara lain: Chironomus spp. dan Tubifex sp. Jenis-jenis organisme pakan alami yang dibudidayakan tersebut di atas dapat diperoleh dengan cara menangkap dari alam ataupun dengan cara membeli di panti benih, peternak ikan, atau agen pemasok benih pakan alami.
Rotifera Brachionus sp. Rotifera merupakan pakan alami yang bergizi untuk pemeliharaan larva ikan. Beberapa karakteristik rotifera yang mendukung sebagai pakan awal ikan antara lain : berukuran sangat kecil, pergerakan relatif lambat sehingga sangat cocok untuk pakan larva ikan yang aktif (Lubzens et al. 1989), hidup tersuspensi pada kolom air, laju reproduksi yang tinggi, kepadatan tinggi dan hidup pada suhu kisaran 15–31 oC, serta pH optimal antara 6-8 pada suhu 25 oC (Ludwig 1993). Brachionus sebagai salah satu jenis rotifera yang telah umum dikultur massal sebagai pakan larva ikan dan udang.
Brachionus calyciflorus dan
Brachionus rubens merupakan rotifera perairan tawar yang paling umum dibudidayakan pada suhu yang berkisar antara 15-31 oC yang diberi makan fitoplankton seperti Scenedesmus sp., Chlorella dan Phacus sp. (Dhert 1996) yang dapat diberikan sebagai pakan untuk larva ikan dan udang air tawar (Arimoro 2006) yang mempunyai bukaan mulut yang kecil seperti larva-larva ikan hias air tawar (Lim & Wong 1997; Lim et al. 2003). Selanjutnya, rotifera yang dikultur dengan ragi roti dan Chlorella air tawar memperlihatkan kecenderungan rendah kandungan n-3 HUFA (Watanabe et al. 1983; Watanabe 1988). Sementara itu,
10
klasifikasi Brachionus menurut Edmondson (1959) adalah filum Rotifera, kelas Monogononta, ordo Ploima, famili Brachionus sp.
Brachionidae, genus Brachionus, spesies
Menurut Ruttner-Kolisko (1974) tubuh rotifera terdiri atas 3
bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Kepala mempunyai korona bersilia yang berputar untuk alat gerak dan menarik makanan, organ pendeteksi dan bukaan mulut. Badan berisi cairan tubuh dan mempunyai organ-organ seperti saluran pencernaan
terdiri atas mastax dan kelenjar saliva, esofagus, lambung dan
kelenjarnya, dan usus; organ ekskresi; organ kelamin; otak dan syaraf menuju antena dorsal dan lateral; otot sirkular dan longitudinal.
Saluran Pencernaan dan Proses Pencernaan Ikan Pada umumnya saluran pencernaan ikan terbagi atas beberapa segmen antara lain : mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pilorik kaeka, usus, rektum dan anus, sementara kelenjar pencernaan yang terlibat adalah hati dan pankreas (Chen et al. 2006a; Affandi et al. 2009). Struktur alat pencernaan ikan secara anatomis berkaitan dengan bentuk tubuh, kebiasaan makanan, kebiasaan makan dan umur ikan sehingga ikan yang berbeda memiliki struktur alat pencernaan yang berbeda pula seperti halnya berbeda umur. Ikan berdasarkan fisiologis makanannya dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) kelompok ikan tanpa lambung seperti ikan mas yang dapat juga dikategorikan sebagai ikan non-predator, dan (2) kelompok ikan yang mempunyai lambung seperti ikan salmon, catfish dan sidat yang dapat dikategorikan sebagai ikan predator (Steffens 1989). Sedangkan ikan berdasarkan kebiasaan makanan dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu ikan herbivora merupakan ikan pemakan tumbuhan, ikan karnivora merupakan ikan pemakan hewan dan omnivora merupakan ikan pemakan tumbuhan dan hewan, serta ikan detritivora merupakan ikan pemakan detritus (Rust 2002). Proses pencernaan merupakan suatu kombinasi terorganisir dari aktivitasaktivitas fisik seperti menangkap makanan, merobek-robek, mencampurnya; aktivitas kimia seperti memproduksi asam lambung untuk menghidrolisis dan menguraikan senyawa; dan aktivitas enzimatik yaitu memproduksi enzim-enzim untuk menguraikan lebih lanjut senyawa protein, lemak dan karbohidrat, yang
11
segera bekerja ketika makanan masuk ke mulut sampai menjadi feses yang keluar lewat anus. Enzim dan proses selular juga secara aktif dan pasif melalui proses transportasi aktif, pinositosis, difusi sederhana atau pertukaran ion mentransfer semua jenis nutrien dari lumen ke enterosit melalui mikrovilli (Steffens 1989; Rust 2002). Enzim yang terlibat dalam proses pencernaan termasuk kelompok enzim hidrolase yaitu senyawa protein yang mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis yang larut dalam air (Steffens 1989). Menurut Steffens (1989) dan Rust (2002) enzim pencernaan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu (1) protease (enzim proteolitik), (2) esterase (enzim lipolitik) dan (3) karbohidrase (enzim amilolitik). Tingkat aktivitas masing-masing kelompok enzim berbeda antar spesies ikan. Sementara itu, pada umumnya larva ikan mulai makan sebelum sistem pencernaannya sempurna, masih berupa pipa lurus yang sederhana dan belum berdiferensiasi, pilorik kaeka belum terbentuk, kelenjar pencernaan belum ada dan organ pendukung pencernaan seperti pankreas, kantung empedu dan hati belum sempurna dibandingkan dengan ikan dewasa (Micale et al. 2006; Onal et al. 2008) sehingga mempengaruhi kemampuan mencerna makanan. Saat larva mengalami perubahan makanan dari pakan alami menjadi pakan buatan merupakan masa yang kritis dan terjadi ketika lambung mulai berfungsi (Segner et al. 1993; Kolkovski 2001). Terbentuknya fundik lambung dan munculnya pilorik kaeka merupakan saat yang tepat untuk penyapihan larva (Micale et al. 2006). Larva ikan dalam hal makan sangat berbeda dibandingkan dengan ikan dewasa.
Larva setelah menetas dari telur berukuran sangat kecil dan belum
berkembang kebiasaan makan dan kebiasaan makanannya. Periode larva meliputi dua tahap yaitu (1) stadia kuning telur: masa antara menetas dan habis kuning telur, dan (2) stadia kuning telur telah diserap sampai dengan sebelum metamorfosis menjadi juvenil terjadi (Gerking 1994). Pada stadia larva ini ikan mengalami proses pencernaan baik pencernaan intraseluler maupun ekstraseluler walaupun mekanisme pencernaan berbeda antar spesies ikan dan berubah selama perkembangan larva (Gisbert et al. 2004; Chen et al. 2006a; Onal et al. 2008). Makin bertambahnya umur larva, proses pencernaan intraseluler makin berkurang sementara proses pencernaan ekstraseluler makin
12
meningkat seiring makin berkembangnya sistem pencernaan. Di samping itu, vakoula yang membantu proses pencernaan juga makin berkurang baik ukuran dan jumlah seiring makin munculnya kelenjar pencernaan pada lambung (Pena et al. 2003; Santamaria et al. 2004). Larva ikan akan menerima pakan buatan ketika secara fisiologis larva dapat mencerna pakan buatan tersebut yaitu ketika terdapat aktivitas enzim protease yang menunjukkan lambung telah berfungsi (Chen et al. 2006b). Aktivitas enzim protease yang bersifat asam (pepsin) yang rendah pada stadia larva merupakan salah satu alasan utama yang menyebabkan kegagalan larva untuk mencerna mikropelet (Segner et al. 1993; Kolkovski 2001).
Aktivitas
pepsin pada larva ikan Asian seabass (Lates calcarifer) (Walford & Lam 1993), gilthead seabream (Sparus auratus) (Moyano et al. 1996) terlihat setelah hari ketiga.
Demikian pula aktivitas enzim pepsin pada larva dourado (Salminus
brasiliensis) terjadi setelah hari ketiga walaupun aktivitas enzim ini meningkat secara signifikan terjadi pada hari keempat (Vega-Orellana et al. 2006). Sementara itu, aktivitas tripsin dan kimotripsin pada larva ikan Asian seabass (Walford & Lam 1993), gilthead seabream
(Moyano et al. 1996),
Senegal sole (Ribeiro et al. 1999), European seabass (Zambonino-Infante & Cahu 2001), diskus (Chong et al. 2002), European perch (Cuvier-Peres & Kestemont 2002), dan dourado (Vega-Orellana et al. 2006) sudah terlihat hari pertama sebelum mulut larva terbuka tetapi pada ikan turbot tripsin dan kimotripsin aktif setelah mulut larva terbuka (Munilla-Moran & Stark 1990). Menurut Drossou et al. (2006) aktivitas tripsin dapat digunakan sebagai indikator dalam evaluasi kualitas pakan dan kondisi nutrisi larva ikan nila (Oreochomis niloticus). Pada larva ikan nila ini pemberian makanan yang tidak sesuai menyebabkan meningkatnya produksi enzim tripsin. Hal ini terjadi untuk mengimbangi kualitas pakan yang tidak baik supaya mendapatkan nutrisi yang lebih banyak. Demikian pula, pada umumnya pola aktivitas enzim pencernaan berhubungan erat dengan organogenesis dan tipe pakan yang dimakan pada stadia perkembangan yang berbeda sehingga perubahan aktivitas enzim menunjukkan juga kebutuhan nutrien yang berbeda ( Ribeiro et al. 2008).
13
Kebutuhan Nutrien Ikan Asam Lemak Lemak merupakan senyawa organik yang meliputi berbagai kelas lipid yang dapat larut pada pelarut organik seperti kloroform, heksana dan dietil eter. Klasifikasi lemak dapat dilihat pada Gambar 1 (Jobling 2001). Adapun lemak dari kelompok gliserol dapat dikelompokkan menjadi lemak netral terutama dalam bentuk triasilgliserida walaupun diasilgliserida dan monoasilgliserida juga ada, dan lemak polar seperti fosfolipid yang merupakan komponen penting membran sel yang membentuk komplek lipoprotein. Sedangkan kelompok lemak dengan penyusun non gliserol dapat dikelompokkan menjadi ester lilin, steroid dan terpen. Ester lilin dibentuk oleh esterifikasi asam lemak dengan alkohol rantai panjang yang banyak ditemukan pada permukaan buah dan daun, dan pada cangkang insekta serta sebagai cadangan lemak utama pada beberapa zooplankton krustasea dan ikan. Fosfolipid dibentuk dari ester gliserol dengan dua gugus alkohol yang teresterifikasi dengan asam lemak dan gugus alkohol yang ketiga teresterifikasi dengan asam fosforik dan kemudian teresterfikasi dengan basa nitrogen atau fosfat gliserol. Famili spesifik fosfolipid sesuai dengan senyawa penyusunnya seperti fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin, fosfatidilserin dan fosfatidilinositol. Fosfatidilkolin dan fosfatidiletanolamin merupakan komponen utama membran sel, sementara fosfatidilinositol berperan penting dalam signal transduksi antar membran. Asam lemak adalah molekul penyusun lemak selain molekul gliserol. Struktur asam lemak tersusun oleh gugus alkil (R) dan gugus karboksilat (COOH) yang termasuk ke dalam kelompok asam karboksilat (Wilbraham & Matta 1992). Struktur asam lemak dilihat dari panjang rantai karbon (C) dan jumlah ikatan ganda serta posisi ikatan ganda menentukan reaktivitas biologis molekul asam lemak. Makin panjang rantai C dan makin jenuh maka makin tinggi titik didihnya. Oleh sebab itu, asam lemak dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh dan tak jenuh.
14
Lemak
Gliserol sebagai penyusun
Lemak sederhana (netral)
Lemak senyawa
Glikolipid
Asilgliserol (cadangan lemak dan minyak)
Non-gliserol sebagai penyusun
Lilin
Steroid
Terpen
Fosfolipid
Lipid membran sel struktural : fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin Gambar 1 Klasifikasi lemak.
Asam lemak dikatalisis oleh sekelompok enzim yaitu fatty acid synthetase pada sitosol dengan produk akhir sintesis adalah asam palmitat (16:0) dan asam stearat (18:0). Organ yang sangat penting dalam biosintesis asam lemak adalah hati dan jaringan adiposa. Jalur biosintesis asam lemak tak jenuh berikatan ganda (PUFA) C20 dan C22 dari prekursor C18 n-3, n-6 dan n-9 pada semua organisme dapat dilihat pada Gambar 2 (Sargent et al. 2002; Tocher 2003; Scrimgeour & Harwood 2007). Semua hewan termasuk ikan mampu mendesaturasi 16:0 dan 18:0 masing-masing menjadi 16:1n-7 (asam palmitoleat) dan 18:1n-9 (asam oleat; OLE) dengan menggunakan enzim D9 desaturase (D9D atau stearoyl CoA desaturase-SCD), tetapi tidak mempunyai enzim D12D dan D15D untuk mengkonversi asam lemak OLE menjadi asam lemak LA dan asam lemak LNA sehingga tidak mampu untuk membiosintesis HUFA seperti ARA, EPA dan DHA. Oleh sebab itu, untuk memperoleh HUFA, asam lemak LA dan asam lemak LNA harus diberikan lewat pakan untuk hewan supaya hewan mendapatkannya karena kedua asam lemak ini merupakan asam lemak esensial untuk hewan (Tocher 2003).
15
Δ6 desaturase 18:3n-3 18:4n-3 e 20:4n-3
Δ5 desaturase 20:5n-3 (EPA) e
Δ4 desaturase 22:5n-3 22:6n-3 (DHA) e s Δ6 desaturase 24:5n-3 24:6n-3
Δ15 desaturase
Δ6 desaturase 18:2n-6 18:3n-6 e
Δ5 desaturase 20:3n-6 20:4n-6 (ARA) Δ12 desaturase Δ6 desaturase 18:1n-9 18:2n-9 e Δ9 desaturase Δ5 desaturase 18:0 20:2n-9 20:3n-9 Gambar 2 Jalur biosintesis asam lemak HUFA C20 dan C22 dari prekursor C18 n-3, n-6 dan n-9 pada tumbuhan dan hewan (e: elongase; s: β-oksidasi; terjadi pada hewan, tumbuhan dan jamur ( ); terjadi pada hewan ( ); terjadi pada tumbuhan dan avertebrata ( ); terjadi pada avertebrata dan protista ( ) (Sargent et al. 2002; Tocher 2003; Scrimgeour & Harwood 2007). Menurut Castell (1979) fungsi asam lemak pada ikan adalah sebagai cadangan dan produksi energi, komponen struktural membran sel tubuh, berperan dalam aktivitas enzim, produksi prostaglandin, transpor lemak yang lain, komponen mata dan otak serta berperan dalam aktivitas syaraf. Lemak, baik yang jenuh maupun yang tak jenuh dimanfaatkan oleh ikan untuk memproduksi energi. EPA dan DHA yang terdapat pada fosfolipid ikan berperan dalam menjaga fleksibilitas struktur membran pada suhu yang lebih rendah karena asam lemak ini
16
mempunyai titik lebur yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak n-6 dan n-9. Menurut Castell (1979) bahwa hanya fosfatidilserin atau fosfatidilgliserol berperan sebagai lokasi kation-spesifik untuk K+ dari sistem enzim Na+ + K+ATPase, dan fosfolipid efektif mengaktivasi sistem enzim ini hanya ketika rantai asam lemak dalam kondisi cairan karena aktivasi oleh dipalmitoil fosfatidilgliserol aktivitas sistem enzim (Na+ + K+)-ATPase terkait dengan suhu untuk transisi gel menjadi cairan sehingga keberadaan asam lemak HUFA menjadi penting terutama dalam sistem enzim yang terkait dengan transportasi ion Na + + K+ pada membran. Asam lemak tak jenuh juga berperan dalam transportasi jenis lemak lainnya. Pemberian asam lemak tak jenuh rantai panjang dapat menurunkan level kolesterol pada hewan yang mempunyai level lemak darah dan kolesterol di atas normal. Minyak ikan lebih efektif menurunkan kolesterol dibandingkan lemak makanan lainnya. Penyerapan utama asam lemak terjadi pada mukosa usus yang ditransportasikan oleh komplek lipoprotein yang distabilisasikan oleh fosfolipid. Oleh sebab itu, ikan yang mempunyai suhu tubuh lebih rendah memerlukan asam lemak tak jenuh lebih banyak daripada hewan berdarah panas. DHA dan EPA juga berfungsi dalam perkembangan organ reproduksi dan kualitas telur.
Secara khusus DHA berperan penting tidak hanya dalam
pertumbuhan tetapi juga berperan dalam perkembangan jaringan syaraf dan ketahanan stres pada stadia larva sehingga akan mempengaruhi proses-proses fisiologis dan tingkah laku. Di samping itu, ikan juga mempunyai keterbatasan mengkonversi asam linoleat LA menjadi n-6 HUFA termasuk asam arakidonat (ARA; 20:4n-6) sehingga termasuk asam lemak esensial untuk ikan. ARA merupakan asam lemak prekursor utama eikosanoid yang dikonversi menjadi senyawa aktif secara biologis seperti prostaglandin, thromboksan, leukotrien atau dapat berfungsi untuk merangsang stimulasi hormon. Oleh karena itu, keberadaan DHA, EPA dan ARA dalam pakan penting untuk larva ikan (Sargent et al. 1999a), tetapi ikan air tawar memerlukan asam lemak LNA dan/atau LA sebagai asam lemak esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Sargent et al. 2002).
17
Sementara itu, semua ikan mempunyai komposisi lipid dengan asam lemak n-3 yang lebih besar dibandingkan n-6 walaupun kebutuhan spesifik ikan terhadap asam lemak terkait dengan adaptasi fisiologis terhadap lingkungan (Castell 1979; Ackman 2008) sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak pakan. Ikan air tawar mempunyai level n-6 yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan laut yang mempunyai level n-3 yang lebih tinggi dengan rasio n-6/n-3 rata-rata untuk masing-masing ikan air tawar dan ikan laut adalah 0,37±0,1 dan 0,16± 0,1 sehingga kebutuhan asam lemak esensial n-3 untuk ikan laut lebih tinggi dibandingkan untuk ikan air tawar. Pemberian asam lemak n-6 yang tinggi pada pakan yang berasal dari minyak nabati untuk ikan menyebabkan terjadinya perubahan rasio asam lemak tak jenuh rantai panjang yang nyata, sedangkan pemberian minyak ikan pada pakan menyebabkan perubahan yang kecil rasio n6/n-3 lemak tubuh ikan (Castell 1979). Kebutuhan asam lemak pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kebutuhan ikan terhadap asam lemak dipengaruhi oleh suhu air. Ikan daerah dingin seperti salmon mempunyai total asam lemak n-3 HUFA lebih tinggi sehingga rasio n-6/n-3 lebih rendah dibandingkan ikan yang hidup pada perairan yang lebih panas. Ikan-ikan daerah lebih panas seperti ikan mas, catfish dan nila membutuhkan campuran asam lemak n-6 dan n-3 (Castell 1979). Selain suhu, salinitas juga mempengaruhi kebutuhan asam lemak HUFA. Ikan yang mendiami perairan bersalinitas tinggi kebutuhan asam lemak n-3 HUFA lebih besar untuk mengimbangi proses osmotik yang terjadi. Kebutuhan n-3 HUFA untuk larva ikan gilthead seabream berkisar antara 1,5-5,5% dari berat kering pakan (Sargent et al. 2002). Berbeda dengan larva ikan air laut, larva ikan mas sebagai salah satu ikan air tawar lebih memerlukan n-6 PUFA sekitar 1,0% tetapi kebutuhan asam lemak n-3 PUFA lebih kecil sekitar 0,05%. Seperti halnya pada larva, kebutuhan asam lemak esensial n-3 HUFA untuk juvenil ikan laut dan ikan laut dewasa seperti ikan turbot, red sea bream, sea bass, red drum dan rockfish kurang dari 1% dari berat kering pakan, tetapi untuk ikan silver bream, striped jack dan yellowtail flounder lebih dari 1% yaitu mencapai 2,5% dari berat kering pakan (Sargent et al. 2002). Suwirya et al. (2003) juga melaporkan kebutuhan asam lemak n-3 HUFA pada juvenil kerapu macan lebih dari 1%.
Sementara itu,
18
kebutuhan asam lemak n-6 PUFA dan n-3 PUFA masing-masing 1,0% dan 0,51,0% untuk juvenil ikan mas (Sargent et al. 2002), dan 1,85% dan 0,56% untuk induk ikan lele (Mokoginta 1992), serta 1,53-1,56% dan 0,60-0,75% untuk juvenil ikan lele (Mokoginta 1986). Sementara itu, penambahan asam lemak pada pakan ikan dapat memberikan pengaruh yang negatif karena asam lemak tak jenuh rantai panjang sangat rentan teroksidasi. Produk oksidasi lemak dapat bereaksi dengan nutrien lain seperti protein dan vitamin, dan dapat mengurangi ketersediaan level pakan, serta produk oksidasi lemak dapat bersifat toksik. Oksidasi lemak dapat dicegah dengan penambahan vitamin E. Asam lemak lain yang berbahaya adalah asam lemak siklopropenoid yang terdapat pada minyak biji kapas dan minyak nabati lainnya dari ordo Malvales karena bersifat agak karsinogenik dan mengganggu sistem enzim desaturase asam lemak sehingga mengganggu metabolisme lemak yang normal dan kemudian mempengaruhi metabolisme protein (Castell 1979).
Kloning dan Ekspresi Gen Desaturase dan Elongase Pada Ikan Sekarang ini gen elongase dan desaturase ikan baik ikan tawar maupun ikan laut yang telah banyak dikloning dan dikarakterisasi (Hasting et al. 2001, 2005; Seiliez et al. 2001, 2003; Zheng et al. 2005a, 2009; Li et al. 2008; Morais et al. 2009; Gonzalez-Rovira et al. 2009; Yamamoto et al. 2010; Monroig et al. 2010). Hasil sekuensing cDNA gen desaturae asam lemak pada ikan zebra terdiri atas 1590 pasang basa dengan 444 asam amino yang berisi 3 kotak histidin dan domain N-terminal sitokrom b5 yang terdapat motif pengikatan heme : H-P-G-G seperti motif desaturase asam lemak lainnya. Gen delta-6 desaturase (D6D) dan delta-5 desaturase (D5D) pada ikan zebra ini adalah homolog dan bifungsional (Hasting et al. 2001).
Sementara, cDNA gen desaturase asam lemak pada ikan
Atlantic salmon (Salmo salar) mempunyai 1362 pasang basa yang mengkode 454 asam amino yang terdiri atas 3 kotak histidin dan 2 wilayah transmembran serta domain N-terminal sitokrom b5 yang terdapat motif pengikatan heme : H-P-G-G (Hasting et al. 2005). Asam amino gen desaturase pada salmon ini mempunyai identitas dan similaritas yang tinggi dengan asam amino gen desaturase pada ikan trout masing-masing sebesar 92 dan 95%, tetapi lebih rendah dibandingkan
19
dengan asam amino gen desaturase pada ikan zebra masing-masing sebesar 64 dan 80%. Pada ikan Atlantic cod (Gadus morhua L.), cDNA desaturase mengandung 1344 pasang basa yang mengkode 447 asam amino yang mempunyai semua ciri desaturase asam lemak mikrosomal. D6D pada ikan cod ini lebih mirip dengan D6D pada ikan tilapia, sea bream dan turbot, tetapi kurang mirip dengan D6D pada ikan mas, zebra dan salmon. Asam amino D6D ikan cod 82% identitasnya mirip dengan asam amino D6D ikan gilthead sea bream (Tocher et al. 2006b). Pada ikan cobia, cDNA desaturase mengandung 1.329 pasang basa yang mengkode 442 asam amino yang terdapat semua ciri desaturase asam lemak. Asam amino D6D ikan cobia ini sama dengan asam amino D6D ikan sea bream, turbot, Atlantic cod dan Atlantic salmon masing-masing sebesar 87, 85, 79, dan 75% (Zheng et al. 2009). Sebaliknya, hasil sekuensing cDNA gen elongase (Elovl) asam lemak yang mengkode asam amino antara 291-295 sangat terkonservasi pada banyak jenis ikan (Tocher 2003). Pada ikan salmon, cDNA Elovl mengandung ORF 888 pasang basa yang mengkode 295 asam amino yang berisi 1 kotak histidin dan 2 wilayah transmembran. Asam amino Elovl pada ikan salmon ini identitasnya 75% sama dengan asam amino Elovl pada ikan zebra (Hasting et al. 2005). Pada ikan cobia, cDNA Elovl mengandung ORF 884 pasang basa yang mengkode 294 asam amino yang mengandung semua ciri Elovl asam lemak seperti 1 kotak histidin dan banyak transmembran. Elovl ikan cobia dekat dengan Elovl ikan sea bream, turbot dan tilapia, tetapi agak jauh dengan Elovl ikan salmon, Atlantic cod, catfish dan zebra (Zheng et al. 2009). Gen D6D dan D5D serta Elovl pada ikan salmon terekspresi tinggi pada organ usus, hati dan otak. Ketiga gen tersebut konsisten terdeteksi. Level D6D lebih tinggi di organ hati daripada di organ otak, tetapi D5D di organ hati sama dengan di organ otak. Ekspresi gen D6D dan D5D di usus, daging merah dan jaringan adifosa lebih tinggi pada ikan salmon yang diberi pakan mengandung minyak nabati dibandingkan pakan yang mengandung minyak ikan (Zheng et al. 2005b). Sementara pada ikan Atlantic cod, ekspresi D6D tinggi pada organ otak dan semakin kecil di organ hati, ginjal, usus, daging merah dan insang, tetapi sedikit pada daging putih, limfa dan jantung, tetapi aktivitas D5D pada ikan cod
20
tidak ada (Tocher et al. 2006a). Demikian pula pada ikan cobia, aktivitas D6D dan Elovl ada, tetapi aktivitas D5D sangat kecil/tidak ada (Zheng et al. 2009).
21
PERKEMBANGAN SALURAN PENCERNAAN LARVA IKAN BETOK Anabas testudineus (Bloch) Abstrak Ikan betok merupakan salah satu ikan yang potensial untuk dibudidayakan di wilayah Kalimantan, Indonesia dan ikan ini yang termasuk dalam famili anabantidae. Perkembangan saluran pencernaan diteliti pada larva ikan betok yang dipelihara pada 6 akuarium 100-L dengan suhu 28-30 oC dari menetas sampai umur 30 hari setelah menetas dengan cara histologi dan morfologi. Larva diberi pakan berupa rotifer dan mikroalga dari umur 2-10 hari setelah menetas, diberi naupli Artemia dari umur D7–D15, diberi meta-naupli Artemia dari umur D15-D20, dan diberi cacing Tubifex dari D20 sampai akhir percobaan. Perkembangan saluran pencernaan ikan betok mengikuti pola umum perkembangan saluran pencernaan pada ikan-ikan yang lain. Pada saat menetas (D0), saluran pencernaan larva masih belum terdiferensiasi yang berupa tabung lurus yang sederhana yang terletak di atas kantong kuning telur. Pada saat pertama makan eksogenus (D2) mulut dan anus telah membuka serta saluran pencernaan sudah terdiferensiasi menjadi bukofaring, esophagus, usus dan rektum. Terdapat dua filorik kaeka pada D25 yang mengindikasikan proses transisi dari stadia larva menjadi stadia juvenil dengan sistem pencernaan yang sudah mirip pada ikan dewasanya. Kata kunci : saluran pencernaan, larva, perkembangan, ikan betok
22
DEVELOPMENTS OF DIGESTIVE TRACT IN LARVAE OF CLIMBING PERCH Anabas testudineus (BLOCH) Abstract Climbing perch Anabas testudineus (Bloch) is a reasonable potential aquaculture species in Kalimantan, Indonesia belonging to anabantidae family. Development of digestive tract was evaluated in larvae reared under culture conditions at 2830oC, from hatching to 30 days after hatching using histological and morphological methods. The larvae were kept in six 100-l tanks. They were fed with rotifers and microalgae from D2 to D10; Artemia nauplii from D7 to D15; Artemia meta-nauplii from D15 to D20; and Tubifex worm from D20 onwards. Development of the digestive tract in climbing perch followed the general pattern described for other species. At hatching (D0), it consisted of an undifferentiated straight tube laying dorsally to the yolk sac. At first feeding (D2), both the mouth and anus had opened and the yolk sac was partially absorbed. On the day, the digestive tract was fully differentiated into buccopharynx, esophagus, intestine and rectum. The two pyloric caeca appeared on D25, indicating the transition from larval to juvenile stage and acquisition of an adult type of digestion. Keywords : digestive tract, larvae, development, climbing perch
Pendahuluan Kajian tentang nutrisi larva telah mendapat perhatian yang sangat besar karena pemahaman tentang perubahan yang terkait proses makan, pencernaan dan penyerapan makanan merupakan langkah awal dalam menentukan kemampuan larva untuk memanfaatkan pakan yang dimakan (Martinez et al. 1999). Tingkat kematian yang tinggi selama pemeliharaan larva ikan yang kecil terkait dengan suplai nutrisi yang kurang untuk larva. Perubahan sumber nutrisi yang akan terjadi selama perkembangan larva adalah sebagai berikut: pada hari-hari pertama, sumber makanannya adalah makanan endogenous yang berasal dari kuning telur dan globul minyak.
Ketika sumber makanan endogenous ini habis, maka
makanan harus diperoleh dari luar. Pada saat pertama kali memakan makana dari luar (eksogenus), saluran pencernaan larva belum berkembang dengan sempurna (Micale et al. 2006) sehingga pemeliharaan larva yang berukuran kecil ini bertumpu pada penggunaan pakan alami yaitu selama dua hari atau selama beberapa minggu. Pemahaman yang baik tentang perkembangan saluran pencernaan larva ikan dapat berperan dalam menetapkan manajemen pemberian pakan untuk
23
meningkatkan keberhasilan pemeliharaan larva ikan. Kajian tentang ontogeni saluran pencernaan ini merupakan tahap awal dalam identifikasi dan penerapan pakan alternatif yang lain selain pakan alami untuk larva ikan yang berukuran kecil.
Kajian perkembangan saluran pencernaan ini bersama dengan kajian
enzimatik saluran pencernaan akan menentukan waktu terbaik untuk melakukan pergantian pakan alami dengan pakan buatan untuk larva sehingga dapat menghemat biaya produksi pakan alami. Beberapa jenis ikan ekonomis penting telah diteliti terutama ikan-ikan laut yang mempunyai larva yang berukuran sangat kecil seperti ikan seabass (Lates calcarifer) (Walford & Lam 1993), ikan gilthead seabream (Sparus aurata) (Sarasquete et al. 1995), ikan spotted sand bass (Palalabrax maculatofasciatus) (Pena et al. 2003), ikan California halibut (Paralichthys californicus) (Gisbert et al. 2004), ikan yellowtail kingfish (Seriola lalandi) (Chen et al. 2006a), ikan goldlined seabream (Rhabdosargus sarba) (Ibrahim et al. 2006), ikan common pandora (Pagellus erythrinus) (Micale et al. 2006) dan ikan percula clownfish (Amphiprion percula) (Onal et al. 2008). Tetapi masih sedikit informasi yang ada tentang perkembangan saluran pencernaan pada larva ikan-ikan air tawar tropis. Ikan betok (A. testudineus) adalah anggota ikan-ikan kelompok anabantoid yang merupakan ikan potensial untuk dibudidayakan di wilayah Kalimantan. Ikan ini telah berhasil dipelihara sampai ukuran dewasa pada wadah terkontrol (Phuong et al. 2001; Widodo et al. 2007), tetapi masih tinggi tingkat kematiannya (Trieu & Long 2001; Morioka et al. 2009). Oleh karena itu, tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh gambaran perkembangan saluran pencernaan larva ikan betok di bawah kondisi terkontrol dengan maksud untuk meningkatkan strategi pemberian pakan selama stadia perkembangan larva ikan betok.
Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari – Agustus 2010 di Kolam Percobaan Perikanan, dan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen BDP, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Larva yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari pemijahan induk ikan betok, A. testudineus, secara buatan menggunakan 3 ekor betina (75-100
24
g/ekor) dan 6 ekor jantan (50-70 g/ekor) yang diberi pakan komersil F-999 dengan protein 38%, lipid 2%, serat kasar 3%, kadar air 12%. Telur hasil pemijahan ini ditempatkan pada akuarium 100-L dengan temperatur air berkisar
28-30 oC
hingga larva menetas. Larva pertama kali diberi makan pada hari ke-2 setelah menetas sampai larva berumur 10 hari setelah menetas diberi rotifera (Brachionus calyciflorus) dan mikroalgae. Dari umur ke-7 sampai ke-15 setelah menetas, larva diberi naupli Artemia yang baru menetas dan dilanjutkan diberi meta-naupli Artemia sampai berumur 20 hari setelah menetas.
Cacing Tubifex diberikan
sebagai pakan dari hari ke-20 sampai hari ke-30 setelah menetas (Gambar 3).
Artemia Cacing Tubifex
Gambar 3 Jadwal pemberian pakan pada larva ikan betok. Sampel larva sebanyak 100 ekor diambil dari akuarium pemeliharaan setiap jam 09.00 WIB satu jam setelah diberi pakan pada hari ke-0 sampai hari ke5 setiap hari (D0-D5), kemudian hari ke-8 (D8), 12 (D12), 16 (D16), 20 (D20), 25 (D25) dan 30 (D30) setelah menetas untuk melakukan pengukuran panjang total dan pengukuran bukaan mulut larva menggunakan mikroskop yang terdapat kamera sehingga dapat melakukan pemgambilan gambar.
Sebanyak 10 ekor
difiksasi menggunakan larutan Bouin sebelum dianalisis lebih lanjut. Setiap kali sampling larva yang telah difiksasi tersebut didehidrasi secara bertingkat dengan alkohol 70% sampai alkohol 100%.
Kemudian larva tersebut ditanam dalam
parafin dan selanjutnya dipotong dengan mikrotom secara melintang dan membujur dengan ketebalan 3-5 µm.
Potongan tersebut diwarnai dengan
hematoksilin-eosin untuk melihat gambaran histologi asam-basa secara umum. Spesimen juga diwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) untuk melihat substansi mukus yang netral. Pengamatan preparat kemudian dilakukan di bawah
25
mikroskop dengan beberapa pembesaran untuk melihat perkembangan saluran pencernaan larva ikan betok.
Hasil Pertumbuhan Panjang total larva ikan betok sampai berumur 30 hari setelah menetas dapat dilihat pada Gambar 4 dan Lampiran 1. Pertumbuhan larva ikan betok mengikuti pola kurva eksponensial.
Panjang total (mm)
25 y = 2,515e0,068x R² = 0,979
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Umur (hari setelah menetas)
Gambar 4
Panjang total rata-rata (mm) larva A. testudineus. Tanda panah menunjukkan waktu pertama makan eksogenus (pada hari ke-2 setelah menetas).
Sesaat setelah menetas (hari ke-0, D0) (Gambar 5), panjang total larva adalah 2,12±0,16 mm (n = 100).
Ukuran diameter telur rata-rata adalah
0,86 ±0,06 mm (n = 387) dan larva mencapai panjang 17,64±3,79 mm (n = 100) pada hari ke-30 setelah menetas.
Perkembangan Alat Pencernaan Morfologi Pada saat D0, saluran pencernaan larva berupa pipa lurus yang terletak di atas kuning telur. Pada saat itu mulut dan anus masih tertutup.
Pada hari ke-1
sampai ke-2 setelah menetas, penyerapan kuning telur sangat cepat dan sistem
26
pencernaan ikan betok mengalami diferensiasi lebih lanjut serta saluran pencernaan yang awalnya sangat sederhana dapat dibedakan menjadi empat bagian yaitu : bukofaring, esophagus, usus dan rektum. Semua larva membuka mulut sekitar 34-36 jam setelah menetas dengan bukaan mulut sekitar 0,38±0,03 mm (Gambar 6). Pada hari ke-2 setelah menetas (D2) dengan panjang total larva 3,03±0,30 mm, n =100, mulut telah membuka dan larva mulai melakukan konsumsi pakan eksogenus.
Pada hari yang sama, mata mulai mengalami
figmentasi.
A
0.15 mm
B
0.15 mm
Bukaan mulut maksimum (mm)
Gambar 5 Larva ikan betok Anabas testudineus yang baru menetas dengan panjang total rata-rata 2,12±0,16 mm, n=100 A. Tampak ventral; B. Tampak dorsal; y = yolk; 100X. 3 y = 0,297e0,074x R² = 0,969
2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Umur (hari setelah menetas)
Gambar 6 Bukaan mulut maksimum rata-rata (mm) larva A. testudineus.
27
Sejak hari ke-2 setelah menetas, gelembung renang mulai membesar. Pada hari ke-5 setelah pertama makan, kuning telur hampir habis diserap. Pada hari ke-12 setelah menetas dengan panjang total berukuran 5,46±0,89 mm, morfologi larva mulai berubah menjadi bentuk menyerupai induknya dan proses metamorfosis sempurna pada hampir semua larva sekitar hari ke-25 setelah menetas. Demikian pula, filorik kaeka sebanyak 2 buah muncul pada hari ke-25 setelah menetas, yang menunjukkan transisi dari fase larva menjadi fase juvenil dan pencernaan seperti pada ikan dewasanya.
Histologi Bukofaring Antara hari ke-1 dan ke-2 setelah menetas, mulut telah membuka. Epitel bukofaring tersusun oleh satu lapis sel-sel squamous. Kondrosit tapis insang yang masih kecil sudah tampak jelas di bawah epitel bukofaring posterior (Gambar 7).
0.04 mm
Gambar 7
Potongan sagital dari saluran pencernaan larva ikan betok pada hari ke-2 setelah menetas (D2) menunjukkan diferensiasi rongga mulut (oc), faring (ph), usus anterior (ai) dan usus posterior (pi), HE, 100X; kuning telur (ys), mata (E), tapis insang (ga), hati (li), gelembung renang (sb).
Pada hari ke-12 setelah menetas sel-sel goblet yang ditandai positif dengan pewarnaan PAS juga telah tampak (Gambar 8B).
Taste bud pada mulut dan
lidah seperti halnya dengan sel goblet sangat jelas tampak pada sel-sel epitel pada hari ke-25 setelah menetas (Gambar 8C). Taste bud and sel goblet makin banyak sejalan dengan tumbuhnya larva.
28
A
0.02 mm
B
0.05 mm
C
0.05 mm
Gambar 8 (A) Detail epitel faring pada hari ke-2 menetas larva ikan betok (panah putih); HE, 400X. (B) Detail epitel faring pada hari ke-12 menetas larva yang memperlihatkan sel goblet fungsional (kepala panah); PAS, 200X. (C) Detail epitel faring pada hari ke-25 menetas larva memperlihatkan sel goblet (kepala panah) dan taste bud (panah); PAS, 200X; rongga mulut (oc), tapis insang (ga), faring (ph), esofagus (o).
29
Esofagus dan lambung Pada hari ke-2 setelah menetas, bukofaring terhubung dengan usus anterior melalui esofagus yang pendek dan lumennya agak sempit (Gambar 8A). Pada hari ke-16 setelah menetas lambung nampak berbentuk seperti teko (Gambar 9A) dan lambung mulai berkembang dengan baik pada hari ke-20 setelah menetas (Gambar 9B). Pada hari ke-30 setelah menetas dengan ukuran panjang total sekitar 17,64±3,79 mm, 2 pilorik kaeka juga terlihat.
A
0.05 mm
B
0.05 mm
Gambar 9 Potongan sagital lambung larva ikan betok pada (A) hari ke-16 setelah menetas. (B) hari ke-20 setelah menetas memperlihatkan perkembangan yang lebih baik; HE, 200X; lambung (s), hati (li), esofagus (o). Usus Bersamaan dengan makan eksogenus lumen usus anterior membesar tapi masih kecil. Pada hari ke-12 setelah menetas lipatan mukosa berkembang dengan baik pada usus anterior dan usus posterior (Gambar 10A). Pada hari ke-30 setelah menetas lipatan mukosa baik pada usus anterior maupun posterior sangat nyata
30
terlihat (Gambar 10B). Sel goblet yang positif dengan uji PAS tersebar di antara enterosit baik pada usus anterior maupun usus posterior dari hari ke-30 setelah menetas (Gambar 10C dan 10D).
Hati, pankreas dan kantong empedu Pada saat menetas, organ asesoris pencernaan masih belum ada. Ukuran hati setelah menetas meningkat
dan makin meluas seiring dengan makin
berkurangnya kuning telur. Hepatosit makin berbentuk polyhedral dan terjadi proliferasi sinusoid (Gambar 11A). Terdapat dua tipe inklusi sitoplasma tampak di dalam hepatosit pada hari ke-12 setelah menetas yaitu :
berupa granula
eosinofilik adalah positif dengan uji PAS, dan berupa vakoula yang jernih adalah negatif dengan uji PAS (Gambar 11B). Ukuran vakoula makin meningkat di dalam sitoplasma seiring dengan pertumbuhan larva.
Pada hari ke-2 setelah
menetas, bakal pankreas terlihat antara hati dan usus, tetapi kantong empedu terlihat antara hati dan dinding kuning telur (Gambar 11A). Pada hari ke-3 setelah menetas, sel endokrin yang tidak teratur bentuknya dengan sitoplasma yang pucat warnanya dan nukleus besar dapat lihat di dalam pankreas endokrin yang dikenal sebagai pulau Langerhan (Gambar 11D) dan berkembang dengan baik dari hari ke-20 setelah menetas (Gambar 11D).
Pembahasan Perubahan yang nyata terjadi pada saluran pencernaan larva ikan betok selama beberapa hari awal perkembangan. Pada saat menetas, saluran larva ini masih belum terdiferensiasi yang berupa pipa lurus dan kecil sama seperti pada ikan-ikan lainnya antara lain larva-larva ikan betutu (Wahyuningrum 1991), ikan seabass (Walford & Lam 1993), ikan gilthead seabream (Sarasquete et al. 1995), ikan spotted sand bass (Pena et al. 2003), ikan California halibut (Gisbert et al. 2004), ikan yellowtail kingfish (Chen et al. 2006a), ikan goldlined seabream (Ibrahim et al. 2006) dan ikan common pandora (Micale et al. 2006).
31
A
0.08 mm
B
0.08 mm
C
0.02 mm
D
0.07 mm
Gambar 10 Detail usus larva ikan betok pada (A) hari ke-12 setelah menetas memperlihatkan pelipatan mukosa berkembang dengan baik pada usus anterior dan usus posterior; HE, 200X. (B) hari ke-30 setelah menetas memperlihatkan pelipatan mukosa yang sangat nyata; HE, 200X. (C, D) hari ke-30 setelah menetas dengan beberapa sel goblet fungsional (kepala panah); PAS, 400X dan 600X; hati (li), usus anterior (ai), usus posterior (pi), pilorik kaeca (pc).
32
A
0.02 mm
B
0.02 mm
C
0.02 mm
D
0.03 mm
Gambar 11 Potongan sagital hati larva ikan betok pada (A) D2 memperlihatkan kantong empedu; HE, 100X. (B) D12 memperlihatkan hepatosit poligonal yang terdapat banyak vakoula; granula eosinophilik positif uji PAS; vakuola transparan negatif uji PAS, 400X, (C) pankreas D4 memperlihatkan adanya sel-sel endokrin (pulau Langerhans); HE, 400X, dan (D) pankreas D20 makin berkembang; HE, 200X; kantong empedu (gb), usus (in), hati (li), kuning telur (ys), pulau Langerhan (il), pankreas (p).
Tabel 1 Perkembangan struktur alat pencernaan ikan betok Umur (hari) 0 1 2
Organ Mulut/Rongga mulut
Terbuka
Esofagus
Lambung
Filorik Kaeka
Mulai berdiferensiasi
Usus
Mulai Mulai berdiferensiasi berdiferensiasi /Terbuka
3 4
5 : 8 : 12 : 16 : 20 : 25 : 30
Rektum/Anus
Hati
Pankreas
Bakal Bakal
Mulai tampak pulau langerhan
Sel goblet mulai tampak
Mulai pelipatan Mulai berkembang
Terbentuk 2 buah
34
Diferensiasi saluran pencernaan larva ikan betok yang dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu bukofaring, esofagus, usus dan rektum, terjadi dalam hari ke-2 setelah menetas yang bertepatan dengan waktu pertama makan eksogenus. Menurut Micale et al. (2006), saluran pencernaan ikan common pandora juga mengalami diferensiasi bertepatan dengan pertama makan eksogenus. Dari sejak menetas sampai larva berumur 2 hari, larva ikan betok ini sangat bergantung
pada sumber nutrisi endogenus.
Menurut Heming and
Buddington (1988), nutrisi endogenous pada larva ikan terjadi oleh proses endositosis kuning telur dan butir minyak melalui suatu syncytium di sekitar kuning telur. Sementara itu, makan eksogenus pada larva ikan betok terjadi sebelum habis kuning telurnya yang terlihat dengan keberadaan rotifera dan mikroalga pada saluran pencernaannya sejak hari ke-2 setelah menetas. Penggunaan mikroalga dan rotifera adalah esensial selama fase-fase awal pemeliharaan larva ikan betok seperti halnya pada larva yang berukuran kecil pada umumnya.
Selanjutnya fitoplankton dapat berperan sebagai komponen
pakan dan/atau faktor yang merangsang sintesis enzim pencernaan yang memberikan pengaruhi yang positif terhadap larva (Reitan et al. 1993). Hati dan pankreas pada ikan betok sudah berdiferensiasi pada awal perkembangan larva. Dua atau tiga hari setelah makan eksogenus, keberadaan pankreas dengan sel-sel endokrin (pulau-pulau Langerhans) pada larva dapat menyekresikan hormon-hormon yang terlibat dalam proses pencernaan. Selanjutnya, keberadaaan sel-sel eksokrin yang menyekresikan enzim-enzim pankreas seperti protease yang alkalin, lipase, amilase yang berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan protein, lipid dan karbohidrat.
Pada hari ke-12
setelah menetas menunjukkan bahwa suatu reaksi positif uji PAS pada granula eosinofilik sebagai tanda penyimpanan glikogen yang mengindikasikan hepatosit fungsional, tetapi hati menunjukkan suatu reaksi negatif uji PAS pada vakula transparan sebagai tanda penyimpanan lipid. Boulhic & Gabaudan (1992) menyatakan bahwa kehadiran granula pada enterosit terkait dengan penyerapan glikogen pada ikan Dover sole (Solea solea). Sel mukus fungsional yang positif dengan uji PAS pada saluran pencernaan terdeteksi pada epitel faring dan epitel esophagus larva pada hari ke-
35
12 setelah menetas, yaitu beberapa hari setelah pertama makan eksogenus. Sekresi mukus yang agak lambat ini juga dilaporkan pada beberapa ikan seperti pada ikan gilthead seabream (Sarasquete et al. 1995), dan ikan California halibut (Gisbert et al. 2004). Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel goblet berperan penting sebagai pelumas pada mukosa bukofaring dan esofagus karena tidak adanya kelenjar air liur pada ikan. Mukosubstansi ini dapat berperan penting dalam melindungi mukosa saluran pencernaan dari serangan virus dan bakteri (Gisbert et al. 2004). Usus mulai membentuk kumparan (pada hari ke-3 setelah menetas) dan mukosa usus mulai melipat (pada hari ke-12 setelah menetas) terjadi agak awal dan tampak makin nyata baik pada usus anterior maupun posterior sejak hari ke30 setelah menetas, yang menunjukkan bahwa saluran pencernaan berfungsi lebih baik dengan meningkatnya panjang usus dan luas penyerapan.
Demikian pula,
dua filorik kaeka terdeteksi sejak hari ke-25 setelah menetas yang menunjukkan proses diferensiasi sudah selesai dan lambung sudah fungsional. Berdasarkan data histologi dan morfologi yang diperoleh, larva ikan betok dapat dilakukan pendederan dan dapat diberi pakan buatan pada hari ke-25 setelah menetas. Perkembangan saluran pencernaan dan asesorisnya secara skematik dapat dilihat pada Tabel 1.
Simpulan Pada saat menetas, saluran pencernaan larva ikan betok berupa tabung lurus yang sederhana yang terletak di atas kantong kuning telur seperti pada saluran pencernaan ikan-ikan lainnya, kemudian mengalami perkembangan. Pada saat pertama makan eksogenus saluran pencernaan sudah terdiferensiasi menjadi bukofaring, esophagus, usus dan rektum.
Pada hari ke-25 setelah menetas
terdapat dua filorik kaeka yang mengindikasikan proses transisi dari stadia larva menjadi stadia juvenil sehingga pada saat itu pendederan dan pemberian pakan buatan untuk larva ikan betok dapat dilakukan.
36
37
PERKEMBANGAN AKTIVITAS ENZIM PADA SALURAN PENCERNAAN LARVA IKAN BETOK, Anabas testudineus (Bloch) Abstrak Dewasa ini, pembenihan ikan betok Anabas testudineus telah mulai berkembang, tapi masih banyak menemui kendala, terutama masih rendahnya kelangsungan hidup larva (<20%). Oleh karena itu, kajian tentang perkembangan fisiologis selama fase perkembangan awal larva perlu dilakukan untuk memperoleh informasi dasar dalam mengatasi rendahnya kelangsungan hidup. Dalam studi ini, pengujian aktivitas enzim saluran pencernaan pada larva ikan betok dilakukan, dimulai sejak larva menetas (D0) sampai ikan berumur 30 hari (D30) menggunakan teknik biokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua aktivitas enzim pencernaan terdeteksi sejak mulut larva terbuka pada D2 walaupun aktivitas maksimum bervariasi antar masing-masing enzim. Enzim amilase dan lipase keduanya terdeteksi sejak larva ikan menetas. Enzim protease yang alkalin (tripsin dan kimotripsin) dengan aktivitas yang maksimum terdeteksi sejak D2 sampai D4 dan pada D12. Aktivitas enzim protease yang asam (pepsin) baru terdeteksi sejak D16, menunjukkan dimulainya stadia juvenil dan sempurnanya sistem pencernaan ikan betok. Aktivitas semua enzim relatif stabil sejak D25, yang bersamaan dengan terdeteksinya filorik kaeka, dan sejak itu direkomendasi untuk diberi pakan buatan. Kata kunci : enzim pencernaan, perkembangan larva, ikan betok
38
DIGESTIVE ENZYME ACTIVITY OF EARLY DEVELOPMENT OF CLIMBING PERCH, Anabas testudineus (BLOCH) LARVAE Abstract Recently, larval rearing of Climbing perch Anabas testudineus has been developed, but there were many problems especially very low survival rates of larvae (<20%). Therefore, the study of the development of physiology during the initial ontogeny should be carried out to obtain basic information in overcoming the low larval survival rate. In this study, digestive activities of several enzymes were evaluated in larvae, from hatching (D0) to D30 by using biochemical techniques. Almost digestive enzyme activities were detected from mouth opening stage; however, the maximum activities varied among different digestive enzymes. Both amylase and lipase enzymes were detected on D0. For alkaline protease (trypsin and chymotrypsin), the maximum activities were detected from D2 to D4 and on D12. Acid protease activity was observed from D16 onwards, indicating the beginning of the juvenile stage and the maturation of the digestive system. The activities of all the enzymes remained stable from D25 onwards, coinciding with the formation of pyloric caecum. Finally, the enzymatic equipment of A. testudineus larvae became complete between D16 and D20, and that it was totally efficient up to D25 and since then formulated feed could be offered. Keywords : digestive enzyme, larval development, climbing perch Pendahuluan Pemijahan secara buatan ikan betok (Anabas testudineus) pada kondisi terkontrol di laboratorium dapat dilakukan hampir sepanjang tahun. Pemberian pakan alami maupun pakan buatan untuk pembesaran larva juga telah dicoba oleh Trieu & Long (2001), Widodo et al. (2007), dan Morioka et al. (2009), tetapi tingkat kelangsungan hidup larva masih rendah yaitu di bawah 20%. Sementara itu, pemeliharaan juvenil ikan betok dengan pemberian Artemia atau pun pakan buatan jauh lebih berhasil kelangsungan hidupnya, dapat mencapai 100% (Van & Hoan 2009; Chotipuntu & Avakul 2010).
Oleh karena itu, upaya-upaya
peningkatan kelangsungan hidup larva perlu dilakukan. pengetahuan/informasi
dasar
mengenai
perkembangan
Namun di sisi lain, ontogenik
enzim
pencernaan untuk ikan betok belum ada. Pengetahuan
rinci
tentang perkembangan
ontogenik
enzim-enzim
pencernaan pada larva ikan merupakan hal yang sangat penting dalam memahami
39
mekanisme pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada larva ikan, karena saluran pencernaan ikan pada umumnya mengalami perubahan yang sangat cepat, baik morfologi
maupun
fungsinya
selama
ontogeni
kelangsungan hidup larva selama kondisi budidaya.
sehingga
mempengaruhi
Perkembangan ontogenik
enzim pencernaan juga merefleksikan perkembangan saluran pencernaan dan kemampuan pencernaan suatu spesies tersebut sehingga dapat digunakan sebagai indikator pencernaan dan status nutrisi pada awal-awal perkembangan larva (Alvarez-Gonzalez et al. 2006; Comabella et al. 2006; Chen et al. 2007). Studi perkembangan enzim dapat memberikan informasi dalam penentuan waktu yang paling tepat untuk pemberian pakan buatan dalam budidaya ikan (Hamza et al. 2007). Aktivitas enzim-enzim pencernaan yang tinggi secara umum menunjukkan bahwa larva ikan telah siap secara fisiologis untuk memproses pakan eksogenus (Gawlicka et al. 2000). Studi nutrisi larva telah banyak mendapat perhatian karena pemahaman tentang perubahan yang terkait dengan proses-proses makan, pencernaan dan penyerapan makanan merupakan langkah awal dalam penentuan kemampuan larva dalam memanfaatkan makanan yang diberikan (Martinez et al. 1999). Pemeliharaan larva yang berukuran kecil sangat tergantung pada penggunaan pakan alami selama awal perkembangan larva sampai dua atau beberapa minggu. Karena sulitnya melakukan studi kecernaan pada larva, maka pendekatan yang paling banyak dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan potensial larva untuk mencerna makanan dengan cara mempelajari biokimia pencernaannya. Studi-studi ini telah memfokuskan pada perhitungan secara kuantitas terhadap aktivitas enzim-enzim pencernaan yang utama dan pengkajian variabilitas enzimenzim tersebut selama perkembangan larva.
Beberapa spesies yang telah
dipelajari antara lain ikan-ikan betutu (Effendi 1995), gilthead seabream (Moyano et al. 1996), European seabass (Zambonino-Infante & Cahu 2001), diskus (Chong et al. 2002), European perch (Cuvier-Peres & Kestemont 2002), dourado (Vega-Orellana et al. 2006), tilapia (Drossou et al. 2006), Cuban gar (Comabella et al. 2006), yellowtail kingfish (Chen et al. 2006b), blackspot seabream (Ribeiro et al. 2008; Savona et al. 2011), miiuy croaker (Shan et al. 2009).
40
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan informasi di atas, maka tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan ontogenetik dan pola utama aktivitas enzim-enzim pencenaan pada larva ikan betok A. testudineus yang diberi pakan alami selama awal perkembangan larva dengan menggunakan teknik-teknik biokimia, yang bermanfaat sebagai kontribusi terhadap formulasi suatu protokol nutrisi yang tepat untuk larva ikan betok.
Bahan dan Metode Pemeliharaan Larva dan Sampling Penelitian ini dilakukan dari bulan September – Desember 2010 di Kolam Percobaan Perikanan, dan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen BDP, Fakultas Perikanan dan Kelautan, serta di Laboratorium Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Larva diperoleh dari pemijahan buatan induk betok (50-100 g/ekor) yang diberi pakan komersil F-999 dengan protein 38%, lipid 2%, serat kasar 3%, kadar air 12% di Kolam Percobaan Perikanan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Larva diberi makan rotifera (Brachionus calyciflorus) dan mikroalga untuk pertama kalinya pada D2 setelah menetas sampai D10. Ikan diberi makan naupli Artemia yang baru menetas dari D7 sampai hari D15, dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian meta-nauplii Artemia sampai D20. Cacing sutera diberikan sebagai pakan alami dari D20 sampai D30 setelah menetas. Parameter kualitas air dalam percobaan ini adalah oksigen terlarut (6,5-7,0 mg/L), pH (6,9-7,1), dan suhu (28-30 oC). Penimbangan bobot kumpulan larva dengan menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,01. Sampel larva diambil dari akuarium pemeliharaan setiap jam 09.00 WIB satu jam setelah diberi pakan pada D0 sampai D5, kemudian D8, D12, D16, D20, D25, dan D30. Semua sampel disimpan pada freezer -80 oC sebelum dianalisis lebih lanjut.
Pengujian Enzim Sampel ditimbang (berkisar antara 1,5–2,5 g) dan dihomogenisasi (1 g/10 mL) selama beberapa menit dalam buffer yang dingin yang mengandung Tris-HCl
41
50 mM, CaCl2 20 mM dengan pH 7,5. Supernatan yang diperoleh setelah disentrifugasi 12000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC, kemudian disimpan pada freezer -80 oC yang akan digunakan untuk analisis enzim.
Konsentrasi
protein terlarut dalam sampel ditentukan dengan metode Bradford (1976) dengan menggunakan albumin bovine serum sebagai standar. Aktivitas enzim pencernaan dinyatakan sebagai mU/mg protein. Aktivitas amilase diukur menggunakan larutan pati 1% sebagai substrat dalam buffer natrium fosfat 20 mM, pH 6,9, dan mengandung NaCl 6,0 mM mengikuti metode Worthington (1993).
Sebanyak 0,5 mL larutan substrat
ditambahkan ke dalam 0,5 mL sampel ekstrak enzim kasar, dan kemudian diinkubasi selama 3 menit pada suhu 95 oC. Setelah itu dilakukan penambahan 0,5 mL asam dinitrosalisilat
(DNS) dan diinkubasi kembali di dalam bak air
mendidih selama 5 menit. Nilai absorbansi campuran tersebut diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Jumlah maltosa yang dilepas dari pengujian ini ditentukan dari kurva standar. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah amilase yang diperlukan untuk menghidrolisis 1 μg maltosa per menit. Aktivitas lipase dihitung menggunakan emulsi minyak zaitun sebagai substrat dan Tris-HCl sebagai buffer sesuai dengan metode Borlongan (1990). Uji enzim ini dilakukan dengan penambahan 1 mL sampel ekstrak enzim kasar ke dalam 1 mL substrat enzim lipase stabil dalam 1,5 mL buffer yang mengandung Tris-HCl 0,1 M pada pH 8,0. Campuran tersebut diinkubasi selama 6 jam pada suhu 37oC, setelah itu hidrolisis dihentikan dengan melakukan penambahan 3 mL etil alkohol 95%. Campuran kemudian dititrasi dengan 0,01 N NaOH menggunakan 0,9% (w/v) thymolphthalein dalam etanol sebagai indikator. Untuk perlakuan blanko dilakukan dengan cara yang sama kecuali sampel ekstrak enzim kasar dimasukkan ke dalam sistem uji setelah inkubasi 6-jam dan segera sebelum titrasi. Satu unit aktivitas enzim lipase (U) didefinisikan sebagai volume 0,01 N NaOH diperlukan untuk menetralkan asam lemak yang dilepas selama inkubasi 6jam dari substrat dan setelah dikoreksi dengan blanko yang sesuai. Aktivitas tripsin diuji menggunakan benzoil-DL-arginin-p-nitroanilida (BAPNA) sebagai substrat menurut metode Erlanger et al. (1961). BAPNA
42
sebanyak 43,5 mg (Sigma) dilarutkan dalam 1 mL dimetilsulfoksida (DMSO) dan ditambahkan sampai 100 mL dengan buffer 0,05 M Tris-HCl yang mengandung 0,02 M CaCl2.2H2O, pH 7,5.
Sebanyak 25 μL sampel enzim ekstrak kasar
dicampur dengan 1,25 mL larutan substrat BAPNA yang masih baru dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu 37 oC sebelum dilakukan penambahan 250 μL asam asetat 30% untuk menghentikan reaksi. Absorbansi campuran yang dihasilkan kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.
Perhitungan aktivitas tripsin amidase (unit BAPNA /mg protein)
dilakukan dengan menggunakan Erlanger et al. (1961). Aktivitas kimotripsin juga diuji menurut metode Erlanger et al. (1961) menggunakan suksinil-(Ala) 2-Pro-phe-p-nitroanilida (SAPNA) sebagai substrat. Sebanyak 0,59 mL larutan substrat yang baru disiapkan dari campuran SAPNA 0,1 mM dalam 50 mM Tris-HCl dan 20 mM CaCl2 pada pH 8,5, kemudian dicampur dengan 10 μL sample enzim ekstrak kasar pada suhu reaksi 25 oC. Peningkatan nilai absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
410 nm setiap menit selama 5 menit.
Perhitungan aktivitas
kimotripsin (unit SAPNA/mg protein) dilakukan dengan menggunakan Erlanger et al. (1961). Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai 1 μg nitroanilida yang dilepas per menit. Aktivitas pepsin diuji menggunakan 2% hemoglobin dalam 0,06 N HCl sebagai substrat dan aktivitas ini ditentukan berdasarkan Worthington (1993). Sebanyak 100 μL sampel enzim ekstrak di dalam 500 μL substrat diinkubasi pada suhu 37 oC dengan selama 10 menit. Reaksi dihentikan menggunakan 1 mL TCA 5% dan dibiarkan selama 5 menit. Campuran kemudian disentrifugasi selama 5 menit
pada
12000
rpm.
Absorbansi
diukur
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Untuk perlakuan blanko, TCA ditambahkan ke dalam substrat sebelum penambahan enzim ekstrak. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai 1 μg tirosin dilepas per menit.
Hasil Variasi aktivitas spesifik dari setiap enzim sepanjang perkembangan larva dapat dilihat pada Gambar 12-16. Aktivitas enzim pankreas dan usus sudah
43
tampak sejak larva menetas. Untuk semua enzim, kecuali lipase, aktivitas enzim meningkat pada pemberian pakan eksogenus pertama kalinya dan kemudian menurun tajam setelah D12. Aktivitas spesifik α-amilase (Gambar 12) sudah terdeteksi pada D0 dan meningkat berfluktuasi sampai D8.
Setelah itu, aktivitas spesifik amilase
menurun secara perlahan sampai akhir penelitian.
Sementara itu, aktivitas
spesifik lipase (Gambar 13) tinggi pada beberapa hari setelah menetas, yang diikuti dengan penurunan bertahap dengan fluktuasi sampai D20, dan kemudian meningkat untuk mencapai puncak kedua pada D30. Aktivitas spesifik tripsin (Gambar 14) dan aktivitas spesifik kimotripsin (Gambar 15) menunjukkan pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan hingga D2 dan D3, kemudian diikuti terjadinya penurunan secara bertahap dan berfluktuasi sampai akhir penelitian. Sementara itu, aktivitas spesifik pepsin (Gambar 16) pertama kali terdeteksi pada D16 terkait dengan pembentukan lambung
dan
kemudian terjadi sedikit peningkatan sampai D20. Setelah itu, aktivitas spesifik pepsin meningkat secara signifikan sampai akhir penelitian. Perkembangan aktivitas enzim pada saluran pencernaan ikan betok secara skematik dapat dilihat pada Tabel 2.
Amilase (mU/mg protein)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 0
5
10
15
20
25
30
Umur ikan (hari setelah menetas)
Gambar 12 Aktivitas spesifik α-amilase pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari.
44
700 Lipase (mU/mg protein)
600 500 400 300 200 100 0 0
5
10
15
20
25
30
Umur ikan (hari setelah menetas)
Gambar 13 Aktivitas spesifik lipase pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari.
Tripsin (mU/mg protein)
16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
5
10
15
20
25
30
Umur ikan (hari setelah menetas)
Gambar 14 Aktivitas spesifik tripsin pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari.
45
Kimotripsin (mU/mg protein)
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
5
10
15
20
25
30
Umur ikan (hari setelah menetas)
Gambar 15 Aktivitas spesifik kimotripsin pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari.
Pepsin (mU/mg protein)
120 100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
Umur ikan (hari setelah menetas)
Gambar 16 Aktivitas spesifik pepsin pada saluran pencernaan ikan betok yang dipelihara selama 30 hari.
46
Tabel 2 Perkembangan enzim pencernaan ikan betok Aktivitas Enzim Spesifik Umur (hari) α-amilase lipase tripsin kimotripsin Pepsin 0 Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi Belum tinggi tinggi terdeteksi 1 Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi 2 Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi tinggi tinggi 3 Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi tinggi 4 Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi tinggi tinggi 5 Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi tinggi 8 Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi 12 Terdeteksi Terdeteksi Terdeteksi tinggi tinggi tinggi 16 Mulai terdeteksi 25 Terdeteksi tinggi 30 Terdeteksi tinggi
Pembahasan Proses pencernaan pada larva ikan biasanya dimulai dalam lingkungan alkalin yaitu proses pencernaan karena kontribusi enzim pankreas dan sitosol usus (Yufera & Darias 2007). Selain itu, tahap-tahap perkembangan pada saluran pencernaan terjadi pada beberapa jenis ikan laut yaitu aktivitas protease alkali terdeteksi sangat awal, sebelum larva membuka mulut, tetapi aktivitas pepsin terdeteksi jauh lebih lambat (Moyano et al. 1996). Pada studi ini, aktivitas enzim pencernaan larva ikan betok terdeteksi sejak menetas seperti pada beberapa spesies ikan lain yaitu larva ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) (Effendi 1995), Eurasian perch (Perca fluviatilis) (Cuvier-Peres & Kestemont 2002), yellowtail kingfish (Seriola lalandi) (Chen et al. 2006b), haddock (Melanogrammus aeglefinus) dan Atlantic cod (Gadus morhua) (Perez-Casanova et al. 2006), ikan pikeperch (Sander lucioperca) (Hamza et al. 2007), spotted sand bass (Paralabrax maculatofasciatus) (Alvarez-Gonzalez et al. 2008) dan sharpsnout
47
sea bream (Diplosus puntazzo) (Kamaci et al. 2009) dengan aktivitas enzim pencernaan langsung meningkat pada hari-hari berikutnya terutama setelah makan makanan eksogenus. Hal ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Yulintine et al. (2010) bahwa berdasarkan studi histologi, pada saat pertama kali makan makanan eksogenus, saluran pencernaan ikan betok sudah terdiferensiasi kecuali lambung.
Aktivitas amilase Aktivitas spesifik amilase pada larva A. testudineus menunjukkan peningkatan penyerapan kuning telur dari hari ke-2 setelah menetas sampai hari ke-8 setelah menetas dan kemudian menurun secara bertahap sampai akhir penelitian. Aktivitas amilase yang tinggi diikuti dengan penurunan juga telah dilaporkan untuk spesies lainnya (Effendi 1995; Cuvier-Peres & Kestemont 2002; Peisong 2003; Ma et al. 2005; Ribeiro et al. 2008). Selanjutnya, dikatakan bahwa ekspresi awal amilase dapat ditentukan secara genetik (Zambonino Infante & Cahu 2001; Peisong 2003) tetapi dapat dipertahankan apabila komposisi makanan yang diberikan sesuai (Munilla-Moran & Saborido-Rey 1996). Selain itu, ikan betok memperlihatkan aktivitas spesifik amilase yang tinggi ketika pertama kali makan makanan eksogenus, kemudian terjadi penurunan yang signifikan pada umur larva yang lebih tua.
Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap awal
kehidupan, ikan betok ini memiliki kemampuan untuk menggunakan karbohidrat seperti yang terjadi pada spesies lainnya (Moyano et al. 1996; Zambonino Infante & Cahu 2001). Namun, tidak adanya karbohidrat dalam makanan akan menyebabkan penurunan sekresi amilase pada larva ikan spotted sand bass (Paralabrax maculatofasciatus) (Alvarez-Gonzalez et al. 2008).
Aktivitas lipase Beberapa studi tentang aktivitas lipase selama fase larva pada ikan telah dilakukan (Effendi 1995; Chen et al. 2006b; Lazo et al. 2007; Suzer et al. 2007; Ribeiro et al. 2008; Alvarez-Gonzalez et al. 2008; Shan et al. 2009). Pada studi ini, aktivitas lipase larva ikan betok meningkat secara bertahap selama periode kuning telur (D0 sampai D5) dan kemudian menurun sampai D20 tetapi
48
meningkat lagi sampai akhir penelitian. Aktivitas lipase tinggi selama periode kuning telur pada larva ikan betok menunjukkan bahwa larva ikan betok siap untuk mencerna makanan sebelum mulutnya terbuka. Penurunan aktivitas lipase ketika rotifera dan Artemia diberikan dari D5 sampai D20 diduga disebabkan rendahnya lemak pada pakan alami tersebut. Sedangkan, meningkatnya aktivitas lipase yang signifikan pada D25 setelah menetas kemungkinan karena pengaruh pemberian cacing Tubifex yang mengandung lemak yang tinggi. Pada larva miiuy croaker, awalnya aktivitas lipase yang tinggi selama periode kuning telur dan mencapai puncaknya pada D4, pada saat pertama kali makan eksogenus, kemudian diikuti penurunan yang dilaporkan oleh Shan et al. (2009). Selain itu, Alvarez-Gonzalez et al. (2008) melaporkan pada larva spotted sand bass (P. maculatofasciatus), aktivitas enzim lipase terdeteksi sejak D0 sampai D7, setelah itu menurun secara signifikan.
Selanjutnya, Martinez et al. (1999) menyatakan
bahwa aktivitas lipase maksimum pada D10 pada larva ikan sole (Solea senegalensis) dan pada D12 pada larva ikan betutu (O. marmorata) (Effendi 1995), dan hal ini terkait dengan perkembangan pankreas, sedangkan Cousin et al. (1987) menyatakan bahwa aktivitas lipase hanya pada D15 pada larva ikan turbot (Scophthalmus maximus).
Aktivitas protease Pola aktivitas spesifik kimotripsin mirip dengan tripsin meskipun tingkat aktivitas kimotripsin jauh lebih rendah. Tampaknya tripsin yang lebih bertanggung jawab atas aktivitas protease total alkali karena baik tripsin dan tripsinogen telah teridentifikasi pada tahap awal perkembangan larva spesies lain (Cuvier-Peres & Kestemont 2002; Alvarez-Gonzalez et al. 2006; Kvale et al. 2007).
Selain itu, rendahnya tingkat kimotripsin dibandingkan dengan tripsin
juga dilaporkan oleh Vega-Orellana et al. (2006) pada larva dourado (Salminus brasiliensis). Kehadiran aktivitas protease basa (contohnya tripsin dan kimotripsin) terdeteksi ketika larva menetas dan terus ada pada hari-hari berikutnya pada ikan betok, yang mirip dengan spesies lainnya seperti yellowtail kingfish (Chen et al. 2006b), diskus (Chong et al. 2002), gilthead seabream (Moyano et al. 1996). Hal ini menunjukkan bahwa protease basa bertanggung
49
jawab dalam pencernaan protein sampai lambung berkembang dengan sempurna (Ribeiro et al. 2002). Selain itu, penurunan aktivitas protease basa kemungkinan terkait dengan peningkatan fungsi lambung (Cahu & Zambonino-Infante 1994; Vega-Orellana et al. 2006; Kvale et al. 2007). Berdasarkan studi histologi saluran pencernaan ikan betok, lambung ikan ini sudah fungsional sejak hari ke-16 hari setelah menetas (Yulintine et al. 2010), bertepatan dengan aktivitas pepsin pertama kali terdeteksi yang terkait dengan pertama kali lambung beraktivitas. Pada saat itu, aktivitas enzim ini meningkat dan sangat tinggi pada D25 yang bertepatan dengan waktu pembentukan pilorik kaeka, sebagaimana dilaporkan pada studi histologi ikan ini (Yulintine et al. 2010).
Oleh karena itu, maka
direkomendasikan bahwa ikan betok dapat diberi pakan buatan pada D25.
Simpulan Hampir semua aktivitas enzim pencernaan terdeteksi sejak mulut larva terbuka pada hari kedua setelah menetas walaupun aktivitas maksimum bervariasi antar masing-masing enzim. Enzim amilase dan lipase keduanya terdeteksi sejak larva ikan menetas. Enzim protease basa antara lain tripsin dan kimotripsin dengan aktivitas yang maksimum terdeteksi sejak hari ke-2 sampai hari ke-4 dan pada hari ke-12 setelah menetas. Aktivitas enzim protease asam yaitu pepsin terdeteksi secara nyata pada hari ke-16 setelah menetas menunjukkan dimulainya stadia juvenil dan sempurnanya sistem pencernaan ikan betok. Aktivitas hampir semua enzim relatif stabil sejak hari ke-25 setelah menetas, yang bersamaan dengan terdeteksinya filorik kaeka, sehingga pemberian pakan buatan untuk ikan betok dapat dilakukan sejak hari ke-25 setelah menetas.
50
51
KLONING DAN KARAKTERISASI GEN PENYANDI ENZIM DESATURASE DAN ELONGASE YANG BERPERAN DALAM BIOSINTESIS HUFA, SERTA GEN β-AKTIN PADA IKAN BETOK Anabas testudineus (Bloch) Abstrak Studi ini bertujuan mengkloning gen penyandi enzim yang berperan dalam biosintesis asam lemak HUFA, dan gen β-aktin. Primer didesain dari daerah yang terkonservasi hasil pensejajaran sekuens nukleotida elongase dan desaturase beberapa ikan di Bank Gen. Primer ini digunakan untuk mengisolasi cDNA utuh dengan rapid amplification of cDNA ends (RACEs). Berdasarkan analisis asam amino residu penyusun protein, karakter gen penyandi enzim elongase, dan desaturase asam lemak HUFA pada ikan betok mirip dengan karakter gen penyandi enzim elongase, dan desaturase pada ikan-ikan lain. Sekuens protein elongase untuk biosintesis asam lemak HUFA pada ikan betok memiliki satu kotak histidin dengan ciri HXXHH, 5 wilayah transmembran, dan beberapa motif lain yang terkonservasi seperti residu lisin, dan arginin di ujung gugus karboksil, KXRXX. Sementara itu, sekuens protein desaturase ikan betok memiliki 3 kotak histidin dengan ciri HXXXH, HXXHH, QXXHH, 2 wilayah transmembran, dan domain sitokrom b5-like. Berdasarkan uji kekerabatan, elongase dan desaturase ikan betok dekat kepada elongase, dan desaturase ikan gabus dan ikan nila, dan agak jauh dengan kelompok ikan cyprinid, dan ikan salmonid. Demikian pula βaktin ikan betok dekat dengan β-aktin ikan kerapu yang merupakan kelompok yang sama dengan ikan nila. Berdasarkan uji ekspresi gen pada beberapa jaringan, gen elongase terekspresi pada hati, usus dan sirip, sedangkan desaturase ikan betok hanya terekspresi pada hati, sementara pada jaringan usus, otot, mata dan sirip tidak terdeteksi. Kata kunci: kloning, karakterisasi, gen, elongase, desaturase, ikan betok
52
CLONING AND CHARACTERIZATION OF ELONGASE AND DESATURASE GENES INVOLVED IN HIGHLY UNSATURATED FATTY ACID BIOSYNTHESIS, AND β-ACTIN GENE OF CLIMBING PERCH Anabas testudineus (Bloch) Abstract The aim of this study was to clone elongase and desaturase genes involved in highly unsaturated fatty acid (HUFA) biosynthesis from liver tissues of climbing perch, Anabas testudineus. Primers were designed in conserved motifs of elongase and desaturase nucleotide sequence from several fish in GenBank and used to isolate full length cDNA by Rapid Amplification of cDNA Ends (RACEs). Based on sequencing analysis, all characteristic of microsomal fatty acid of elongase and desaturase of climbing perch are similar to those of other fishes. The protein sequence of climbing perch elongase included characteristic features of microsomal fatty acid elongases including a single histidine box (HXXHH), five transmembrane regions and other conservated motifs. However, the protein sequence of climbing perch desaturase included three histidine boxes, namely HXXXH, HXXHH, QXXHH; two transmembrane regions, and an Nterminal cytochrome b5-like domain. The phylogenetic analysis clustered elongase and desaturase sequences of climbing perch most closely with tilapia and snakehead fish group and more distantly with cyprinid and salmonid. Likewise, the climbing perch β-actin nucleotide sequence was most closely with grouper belonging to tilapia group. Gene expression of elongase was detected in liver, intestine and fin tissues, while desaturase from several tissues was only detected in liver tissue, but was not detected in intestine, muscle, eye, fin tissues. Keywords: cloning, characterization, elongase, desaturase, climbing perch Pendahuluan Ikan merupakan sumber utama asam lemak n-3 HUFA, seperti asam eikosapentanoat (EPA; 20:5n-3) dan asam dokosaheksanoat (DHA; 22:6n-3) untuk manusia. Seiring dengan menurunnya produksi ikan dari penangkapan, maka peran ikan budidaya makin meningkat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kandungan n-3 HUFA dalam daging ikan budidaya laut diakumulasi dari pakan yang mengandung minyak ikan, dan minyak ikan tersebut berasal dari ikan-ikan laut tangkapan.
Sementara itu, ikan air tawar mampu melakukan biosintesis
HUFA, tetapi kadarnya relatif rendah. Dewasa ini produksi minyak ikan dari ikan hasil penangkapan cenderung menurun, sehingga dapat menjadi penghambat perkembangan akuakultur. Oleh sebab itu, substitusi minyak ikan merupakan hal yang penting untuk dilakukan,
53
dan minyak nabati adalah alternatif utama. Minyak nabati kaya asam lemak polyunsaturated fatty acid (PUFA), tetapi kandungan n-3 HUFA sangat kurang atau tidak ada (Sargent et al. 2002). Kadar asam lemak PUFA pada daging ikan laut yang diberi minyak nabati adalah meningkat, sedangkan asam lemak n-3 HUFA berkurang (Izquierdo et al. 2003; Regost et al. 2003). Meskipun demikian seperti hewan vertebrata lainnya, asam lemak PUFA merupakan asam lemak esensial untuk ikan, dengan tingkat kebutuhan bervariasi antar spesies ikan. Asam lemak HUFA dapat dibiosintesis dari PUFA oleh reaksi yang dikatalisis oleh enzim desaturase, dan elongase asam lemak.
Sintesis EPA
melibatkan proses desaturasi oleh delta 6 desaturase (D6D) dari asam linolenat (LNA; 18:3n-3) menjadi 18:4n-3, dan dilanjutkan proses elongasi oleh Elovl menjadi 20:4n-3, kemudian proses desaturasi dilanjutkan oleh delta 5 desaturase (D5D). Biosintesis DHA dari EPA memerlukan 2 tahap elongasi lagi menjadi 24:5n-3, 1 tahap desaturasi oleh D6D menjadi 24:5n-3, dan tahap pemendekan oleh β-oksidase di peroksisoma (Sprecher 2000). Enzim Elovl asam lemak PUFA merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk memperpanjang asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 18. Enzim ini termasuk famili gen yang memiliki 7 anggotanya pada tikus, dan manusia (Elovl1 sampai Elovl7), dengan masing-masing anggota berbeda kekhususan substrat asam lemaknya. Elovl2, dan Elovl5 merupakan enzim yang berperan dalam mengelongasi PUFA.
Pada mamalia, Elovl2 berperan dalam
pemanjangan C20 dan C22, sementara Elovl5 berperan sangat aktif dalam pemanjangan C18 (Jakobsson et al. 2006). Sementara itu, pada ikan Elovl asam lemak PUFA dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama, yaitu kelompok 1 meliputi catfish dan ikan zebra (Ostariophysi; siluriformes dan cypriniformes), kelompok 2 meliputi ikan trout dan salmon (Salmoniformes; salmonidae), kelompok 3 meliputi ikan nila, sea bream dan turbot (Acanthopterygii; perciformes/chichlids dan pleuronectiformes) dan ikan cod (Paracanthopterygii; gadiformes) (Nelson, 1994).
Selanjutnya,
semua cDNA Elovl pada ikan adalah terutama untuk memperpanjang asam lemak monounsaturated fatty acid (MUFA) dan PUFA dengan panjang rantai karbon dari C18 sampai C22, dan sedikit untuk C22 sampai C24 (Agaba et al. 2005;
54
Hasting et al. 2005). Sementara pada ikan rainbow trout, Elovl5 berperan untuk memperpanjang C18 dan C20, tetapi tidak untuk C22 dan C24 (Meyer et al. 2004). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Morais et al. (2009) pada ikan Atlantic salmon, Elovl5 terutama berperan untuk memperpanjang C18 dan C20, tetapi sedikit berperan untuk memperpanjang C22, sementara Elovl2 untuk memperpanjang C20 dan C22, tetapi sedikit berperan untuk memperpanjang C18. Selanjutnya, Elovl cDNA ikan telah banyak dikloning dan dikarakterisasi dari sejumlah ikan baik ikan tawar seperti ikan zebra (Hasting et al. 2001), mas, lele, nila, salmon (Hasting et al. 2005; Morais et al. 2009) dan mola, atau pun ikan laut seperti ikan tuna, cod, turbot, seabream, sea bass, cobia (Zheng et al. 2009), dan ikan nibe (Nibea mitsukurii) (Yamamoto et al. 2010). Bahkan, pada elongase (MELO) dari ikan salmon masu (Oncorhynchus masou) telah dikloning dan diover-ekspresi pada ikan zebra (Alimuddin et al. 2008). Sekuens asam amino dari Elovl asam lemak PUFA ikan betok mempunyai karakter yang khas untuk enzim yang terikat di membran mikrosom seperti yang dilaporkan pada ikan lain dan semua vertebrata antara lain terdapat kotak histidin, lisin/arginin pada terminal karboksil, dan beberapa wilayah transmembran, serta beberapa motif lain yang sangat terkonservasi (Meyer et al. 2004; Jakobsson et al. 2006). Kloning dan karakterisasi cDNA desaturase ikan juga telah banyak dilakukan dari sejumlah ikan baik ikan tawar seperti ikan zebra untuk D6/D5D dan ikan mas untuk D6D (Hasting et al. 2001), ikan rainbow trout untuk D6D (Seiliez et al. 2001), ikan salmon untuk D6D (Zheng et al. 2005a; Hasting et al. 2005; Morais et al. 2009; Monroig et al. 2010), atau pun ikan laut seperti ikan gilthead seabream (Sparus aurata) untuk D6D (Seiliez et al. 2003), ikan beronang (Siganus canaliculatus) untuk D6D (Li et al. 2008), ikan European sea bass (Dicentrarchus labrax) untuk D6D (Gonzalez-Rovira et al. 2009), ikan cobia untuk D6D (Zheng et al. 2009), ikan cod (Gadus morhua) untuk D6D (Zheng et al. 2009), ikan nibe (N. mitsukurii) untuk D6D (Yamamoto et al. 2010). Ikan air tawar pada umumnya mampu membiosintesis HUFA seperti DHA, EPA dan asam arakidonat (ARA; 20:4n-6) dari asam lemak LNA dan asam lemak linoleat (LA; 18:2n-6) karena mempunyai semua enzim untuk biosintesis termasuk D6D dan/atau D5D, serta Elovl (Tocher 2003). Pada ikan zebra D6D
55
homolog dengan D5D (Hasting et al. 2001) dan satu Elovl dengan spesifisitas yang luas yaitu untuk memperpanjang C18-20, C20-22 dan C22-24 (Agaba et al. 2004). Ikan salmon memiliki D6D, D5D, dan satu Elovl (Hasting et al. 2005), tetapi pada tahun Morais et al. (2009) telah melaporkan bahwa elongase pada Atlantic salmon terdapat 2 jenis yaitu Elovl5 dan Elovl2. Sementara itu, ikan laut tidak dapat membiosintesis HUFA karena terbatas enzim-enzim tertentu. Menurut Tocher & Ghioni (1999), ikan seabream aktivitas D5D tidak ada. Pada ikan turbot, aktivitas Elovl yang terbatas (Ghioni et al. 1999). Ikan betok dapat ditemukan di seluruh Indonesia, tetapi di Kalimantan ikan ini merupakan salah satu ikan ekonomis penting. Oleh karena itu, ikan betok merupakan salah satu kandidat ikan budidaya yang sangat baik karena harganya relatif tinggi. Ikan ini juga sudah dapat dipijahkan dan dibesarkan pada wadah budidaya (Phuong et al. 2001; Trieu & Long 2001; Widodo et al. 2007; Morioka et al. 2009; Yulintine et al. 2010). Pengembangan budidaya ikan betok masih menghadapi kendala rendahnya kelangsungan hidup larva (Trieu & Long 2001; Widodo et al. 2007; Morioka et al. 2009) sehingga memerlukan beberapa informasi tentang pakan baik untuk nutrisi induk,
nutrisi larva atau pun
pemanfaatan minyak nabati sebagai pengganti minyak ikan. Pemanfaatan minyak nabati oleh ikan memerlukan informasi tentang jalur biosintesis HUFA dari PUFA yang banyak terdapat pada minyak nabati sehingga perlu dilakukan kloning gen enzim yang terlibat dalam biosintesis asam lemak tersebut.
Desaturase dan elongase asam lemak HUFA telah dikloning dari
beberapa ikan baik ikan laut ataupun ikan tawar. Kloning gen desaturase dan elongase dari ikan betok dilakukan sebagai langkah awal untuk mempelajari dan merekayasa jalur biosintesis asam lemak HUFA. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkloning, dan mengkarakterisasi gen penyandi enzim yang terlibat dalam biosintesis asam lemak HUFA pada ikan betok sebagai langkah awal dalam memahami mekanisme pengaruh pemberian minyak nabati untuk ikan betok.
56
Bahan dan Metode Ikan Ikan betok yang digunakan berasal dari pemijahan buatan di Kolam Percobaan Perikanan Departemen BDP, FKIP IPB. Ada beberapa tahap yang dilakukan untuk mengkarakterisasi gen-gen penyandi enzim untuk biosintesis asam lemak HUFA, yaitu: desain primer awal, ekstraksi RNA total, sintesis cDNA, amplifikasi DNA dengan PCR, elektroforesis dan purifikasi DNA, kloning DNA, dan sekuensing DNA. Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari 2011 sampai Februari 2012 di Laboratorium Reproduksi dan Genetik Organisme Akuatik, Departemen BDP, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB, dan di Laboratorium Fisiologi, Tokyo University of Marine Science and Technology, Japan.
Desain Primer Awal Untuk mendesain primer gen-gen desaturase dan elongase yang berperan dalam biosintesis asam lemak HUFA untuk ikan betok, serta gen β-aktin sebagai kontrol internal, data sekuens masing-masing gen dari beberapa spesies ikan yang terdapat di Bank Gen disejajarkan (alignment) dengan menggunakan program Genetyx versi 7.0.
Daerah dengan homologi yang tinggi pada terminal 5’
digunakan sebagai primer forward, sedangkan pada terminal 3’ digunakan sebagai primer reverse. Primer yang didesain ini disebut degenerate primer. Primer elongase didesain berdasarkan sekuens gen elongase
Thunnus
thynnus (no. akses Bank Gen: HQ214237.1), ikan rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (no. akses Bank Gen: AY605100), Nibea mitsukurii (no. akses Bank Gen: FJ952143.1), Salmo salar (no. akses Bank Gen: NM_001123567), ikan nila (no. akses Bank Gen: AY170326.2). Primer elongase yang didesain tersebut 2 pasang, yaitu forward (Elo-Fw1) 5’-ATG GAG ACY TTY AAT YAT AAA CT-3’ (23 pb) dan (Elo-Fw2) 5’-TTT GCA CTM ACA GTC ATG TAC CT-3’ (23 pb), sedangkan primer reverse tersebut 2 pasang adalah (Elo-Rv1) 5’-AYC CAG TTC ATR ACR AAC CAC CAG AT-3’ (26 pb) dan (Elo-Rv2) 5’-TTS TTG TAA GTC TGA AYR TAG AAG-3’ (24 pb). Sementara itu, primer untuk desaturase didesain berdasarkan sekuens gen desaturase ikan mas (no. akses Bank Gen:
57
AF309557), Nibea mitsukurii (no. akses Bank Gen: GQ996729), ikan zebra (no. akses Bank Gen: AF309556), Oncorhynchus masou
(no. akses Bank Gen:
EU098126), Salmo salar (no. akses Bank Gen: NM_001123542 dan NM_001172281).
Primer yang didesain tersebut terdiri atas 2 pasang, yaitu
forward (Des-Fw1) 5’-CAC TWT GCT GGA GAR GAY GCC ACG GA-3’ (26 pb) dan (Des-Fw2) 5’-CAC TGG TTT GTD TGG GTS ACH CAR ATG A-3’ (28 pb) , sedangkan primer reverse 2 pasang (Des-Rv1) adalah 5’-TCA TYT GDG TSA CCC AHA CAA ACC AGT G-3’ (28 pb) dan (Des-Rv2) 5’-CCR STG AAC CAG TCG TTG AAG-3’ (21 pb). Primer β-aktin didesain dari beberapa ikan berdasarkan database yang ada di Bank Gen, yaitu: ikan medaka (no.akses Bank Gen : S74868), ikan rainbow trout (O. mykiss) (no. akses Bank Gen: AF157514.1), ikan zebra (no. akses Bank Gen: AF057040.1), ikan red seabream (no. akses Bank Gen: AB199890.1), dan ikan mujair Tilapia mossambica (no. akses Bank Gen: AB037865). Primer yang digunakan adalah forward (F) 5’-ACT ACC TCA TGA AGA TCC TG-3’ (20 pb), dan primer reverse (R) adalah 5’-TTG CTG ATC CAC ATC TGY TG-3’ (20 pb).
Ekstraksi RNA Total Ikan betok yang digunakan merupakan ikan hasil pemijahan induk yang berasal dari Rawa Bengaris, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
RNA
diekstraksi dari hati, dan usus ikan betok berukuran 5 gram menggunakan Isogen (Nippon Gene, Tokyo, Japan). Masing-masing jaringan dimasukkan ke dalam tabung mikro yang telah berisi 200 µL Isogen yang disimpan on-ice. Untuk meminimalkan pengaruh RNase, semua alat dan bahan isolasi RNA diperlakukan dengan air yang mengandung dietilpirokarbonat (DEPC).
Jaringan digerus
sampai hancur dengan menggunakan grinder, lalu ditambahkan Isogen sampai volume akhir 800 µL. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 5 menit agar sel lisis sempurna.
Setelah itu ke dalam suspensi sel yang telah terlisis
ditambahkan 200 µL kloroform, dihomogenasikan dengan vorteks selama 15 detik pada kecepatan sedang, lalu disimpan pada suhu ruang selama 2-3 menit. Selanjutnya tabung mikro disentrifugasi pada 12000 rpm, pada suhu ruang selama 5 menit. Supernatan yang terbentuk dimasukkan ke dalam tabung mikro yang
58
telah berisi 400 µL isopropanol, dihomogenasi menggunakan vorteks kecepatan rendah sampai homogen dan selanjutnya disimpan pada suhu ruang selama 5-10 menit. Tabung disentrifugasi pada 12000 rpm pada suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan dibuang, lalu ditambahkan 1 mL etanol 70% dingin dan disentrifugasi pada 12000 rpm, suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet RNA dikering udarakan sebelum ditambahkan DEPC sebanyak 50 µL. Konsentrasi RNA total hasil isolasi diukur menggunakan alat pengukur konsentrasi RNA/DNA (merek mesin: Gen-Quant).
Sintesis cDNA Sintesis cDNA dilakukan menggunakan kit Ready-To-Go You-Prime First-Strand Beads (GE Healthcare).
Konsentrasi RNA dibuat 3 mikrogram
dalam 30 µL DEPC, kemudian dihomogenasi menggunakan vorteks dengan kecepatan rendah. Larutan RNA diinkubasi pada suhu 65 oC selama 10 menit. Selanjutnya tabung mikro berisi larutan RNA dimasukkan ke dalam es selama 2 menit. Larutan RNA dipindahkan ke dalam tabung ”First Strand Reaction Mix Beads” (white tube) yang telah berisi 2 butir bola putih. Kemudian 3 µL primer ”dT3`RACE-VECT” (5`-GTA ATA CGA CTC ACT ATA GGG CAC GCG TGG TCG ACG GCC CGG GCT GGT TTT TTT TTT TTT TTT TTT-3`) dengan konsentrasi 1 µg/3 µL ditambahkan ke dalam tabung tersebut lalu dibiarkan selama 1 menit. Setelah itu larutan dihomogenasi dengan cara digoyang bagian bawah tabung sebanyak 5 kali, kemudian dilakukan spin down. Tabung mikro dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37 oC, diinkubasi selama 1 jam. Hasil sintesis cDNA sebanyak 33 µL ditambahkan dengan 50 µL air destilasi, kemudian disimpan pada freezer -20 oC sebelum digunakan.
Amplifikasi DNA dengan PCR Gen Parsial Proses amplifikasi DNA masing-masing gen menggunakan primer yang telah didesain.
Satu mikrogram cDNA (1 µL) digunakan sebagai cetakan
(template) untuk PCR, kemudian dicampur dengan 1 µL primer forward dan reverse (10 pmol/µL); 1,6 µL dNTPs; 1 µL MgCl2; 1 µL bufer LA Taq; 0,1 µL
59
LA Taq polymerase (TAKARA), kemudian ditambahkan SDW (3,3 µL) sampai volume akhir menjadi 10 µL. Proses PCR untuk gen elongase dijalankan pada suhu 95 oC selama 3 menit; (95 oC selama 30 detik; 50 oC selama 30 detik; 72 oC selama 1 menit) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit; dan 4 oC (tak terhingga). Proses PCR untuk gen desaturase dijalankan pada suhu 95 oC selama 3 menit; (95 oC selama 30 detik; 58 oC selama 30 detik; 72 oC selama 1 menit) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit; dan 4 oC (tak terhingga), sedangkan untuk gen β-aktin dijalankan pada suhu 94 oC selama 3 menit; (94 oC selama 30 detik; 62 oC selama 30 detik; 72 oC selama 30 detik) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit; dan 4 oC (tak terhingga). Gen Terminal 3 (3’-RACE) Proses amplifikasi DNA untuk 3’-RACE desaturase, dan elongase dilakukan menggunakan 2 jenis primer spesifik (GSP) masing-masing sebagai primer forward, yaitu des-3RFw1 (5’- TAA TTG GTG CTA CTG CTC TTC TCT T-3’), dan des-3RFw2 (5’- TCA CTG GTT TGT GTG GGT GAC TCA GAT GA-3’) untuk desaturase, elo-3RFw1 (5’-TAA CTG CAA CCC AGA CGT TCT GTG CAG T-3’) dan elo-3RFw2 (5’- TAA GTT ACA TGT TCA CGT TCA TTA TCC T-3’) untuk elongase yang didesain dari sekuens gen parsialnya masingmasing. Sebagai primer reverse digunakan primer universal, yaitu AP1 (5’-TAA TAC GAC TCA CTA TAG GG-3’), dan AP2 (5’- CTA TAG GGC ACG CGT GG-3’). Untuk PCR pertama, satu mikrogram cDNA (1 µL) digunakan sebagai cetakan (template) untuk PCR, kemudian dicampur dengan 1 µL primer forward (GSP1) dan reverse (AP1) (10 pmol/µL); 1,6 µL dNTPs; 1 µL MgCl2; 1 µL bufer LA Taq, kemudian ditambahkan SDW (4,4 µL) sampai volume akhir menjadi 10 µL. Proses PCR untuk gen elongase dijalankan pada suhu 95 oC selama 3 menit; (95 oC selama 30 detik; 58 oC selama 30 detik; 72 oC selama 3 menit) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit dan 4 oC selama tak terhingga. Proses PCR untuk gen desaturase dijalankan pada suhu 95 oC selama 3 menit; (95 oC selama 30 detik; 58 oC selama 30 detik; 72 oC selama 3 menit) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit dan 4 oC selama tak terhingga.
60
Untuk PCR kedua, satu 1 µL dari produk PCR pertama yang diencerkan 100X digunakan sebagai cetakan (template) untuk PCR, kemudian dicampur dengan 1 µL primer forward (GSP2) dan reverse (AP2) (10 pmol/µL); 1,6 µL dNTPs; 1 µL MgCl2; 1 µL bufer LA Taq, kemudian ditambahkan SDW (4,4 µL) sampai volume akhir menjadi 10 µL. Proses PCR untuk gen elongase dijalankan pada suhu 95 oC selama 3 menit; (95 oC selama 30 detik; 60 oC selama 30 detik; 72 oC selama 3 menit) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit dan 4 oC selama tak terhingga. Proses PCR untuk gen desaturase dijalankan pada suhu 95 oC selama 3 menit; (95 oC selama 30 detik; 60 oC selama 30 detik; 72 oC selama 1,5 menit) sebanyak 35 siklus; 72 oC selama 3 menit dan 4 oC selama tak terhingga. Gen Terminal 5 (5’-RACE) Sintesis cDNA 5’-RACE menggunakan kit GeneRacerTM (Invitrogen TM Life Technologies, USA). Proses amplifikasi DNA untuk 5’-RACE desaturase, dan elongase menggunakan 2 jenis primer GSP, masing-masing sebagai primer reverse, yaitu des-5Rv1 (5’- TCC GTT GCT GCC AGC TCT CCG ATC TGC A3’), dan des-5Rv2 (5’- TTG ATC AGG ATG AAA CGC ACT GAA T-3’) untuk desaturase, elo-5Rv1 (5’- TTC ATG TAC TTC GGC CCC ATC CAT ACG AT3’) dan elo-5Rv2 (5’- TCT GCA GGA GTA CGG CTG CCT GT-3’) untuk elongase yang didesain dari sekuens gen parsialnya masing-masing. Sebagai primer forward adalah primer universal.
Elektroforesis, dan Purifikasi DNA Produk PCR dielektroforesis menggunakan gel agarosa 2,0%. Purifikasi DNA dari gel dilakukan menggunakan kit Mobio Ultra CleanTM 15 DNA Purification (MoBio Laboratories, CA, USA). Gel dipotong pada bagian yang terdapat pita DNA, gel ditimbang, dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf. TBE Gel Melt sebanyak setengah dari berat gel dan sodium iodida sebagai ULTRA SALT sebanyak 4,5 kali gel ditambahkan ke dalam Eppendorf. Sampel diinkubasi pada suhu 55 oC selama 5 menit setelah dibolak-balik 2-3 kali. Tabung ULTRA BIND diambil dari refrigerator 4 oC, digoyang dengan vorteks kencang selama 1 menit sebelum diambil sebanyak 6 μL, dan dimasukkan ke dalam Eppendorf.
61
Tabung Eppendorf divorteks kencang, dan dibolak-balik beberapa kali, kemudian diinkubasi kembali pada suhu ruang selama 5 menit. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 1 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang dan ditambahkan 1 mL ULTRA WASH dan disentrifugasi kembali pada kondisi yang sama selama 1 menit, kemudian semua supernatan dibuang dengan aspirator sampai bersih. Pelet DNA pada tabung dibiarkan kering udara selama 10 menit dengan ditutup kertas tisu. SDW sebanyak 12 μL (2 kali volume ULTRA BIND) ditambahkan, diaduk dengan pipet sampai pelet DNA hancur dan homogen, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 13200 rpm selama 1 menit pada suhu ruang, supernatan 10 µL dipindahkan ke dalam Eppendorf yang baru dan disimpan pada freezer -20 oC, dan sisanya sebanyak 2 µL digunakan untuk pengecekan DNA menggunakan elektroforesis.
Kloning DNA Fragmen DNA hasil purifikasi dari gel diligasi dengan vektor kloning ke pGEM-T Easy (Promega, Madison, WI, USA). Reaksi ligasi menggunakan 5 µL larutan DNA hasil purifikasi; 0,5 µL pGEM-T Easy; 6,5 µL buffer ligasi, dan 1 µL enzim T4 DNA ligase (Promega). Reaksi diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang, dan dilanjutkan semalam pada suhu 4 oC. Hasil reaksi ligasi dimasukkan ke dalam Eppendorf yang berisi sel kompeten Escherichia coli, dan selanjutnya dilakukan transformasi. Plasmid pGEM-T Easy yang mengandung gen β-aktin (pT-act), gen desaturase (pT-des), dan elongase (pT-elo) diisolasi dari bakteri E. coli, kemudian plasmid dipurifikasi. Purifikasi plasmid dilakukan menggunakan kit IllustraTM plasmidPrep Mini Spin (GE Healthcare, UK) sesuai prosedur dalam manual.
Sekuensing Pembacaan sekuens nukleotida hasil kloning dilakukan dengan metode dideoxy-nucleotide chain-termination menggunakan mesin otomatis ABI PRISM 3100 dengan sistem big dye (Amersham Pharmacia Biotech, USA). PCR untuk sekuensing menggunakan primer PUC1 dan PUC2 untuk β-aktin dan desaturase,
62
primer SP6 dan T7 untuk elongase. Volume reaksi untuk PCR 10 μL yang terdiri atas 1 μL ready reaction premix (fluoresceninated enzyme); 1 μL big dye sequencing buffer (5X); 3,2 μL primer (10 pmol); 0,7 μL pT-act atau pT-des atau pT-elo (300 ng) dan 4,1 μL SDW.
Analisis Data Data hasil sekuensing DNA dianalisis menggunakan program Genetyx version 7, dan program BLAST untuk membandingkan dengan sekuens masingmasing gen pada Bank Gen, kemudian diinterpretasi secara deskriptif. Dendogram untuk β-aktin dibuat menggunakan nukleotida, sedangkan dendogram untuk elongase dan desaturase menggunakan asam amino residu. Ketebalan pita DNA produk PCR dikuantifikasi menggunakan program UN-SCAN-IT gel 6.1, untuk menentukan tingkat ekspresi gen elongase, dan desaturase.
Hasil Hasil elektroforesis dari produk PCR awal yang menggunakan primer dari hasil penyejajaran (alignment) dari ikan lain sebagai langkah awal kloning gen parsial untuk gen β-aktin (A), elongase (B), dan desaturase (C) dapat dilihat pada Gambar 17.
Pita tunggal pada β-aktin didapat dari penggunaan satu primer
forward dan reverse saja dengan panjang gen target 500 bp (Gambar 17A). Pada elongase dan desaturase, primer yang digunakan adalah 2 pasang dengan panjang gen target yang berbeda. Panjang gen target pasangan primer 1 dan 2 untuk elongase masing-masing 770 bp (kode 1) dan 660 bp (kode 2) (Gambar 17B), sementara panjang gen target pasangan primer 1 dan 2 untuk desaturase masingmasing 840 bp (kode 1) dan 950 bp (kode 2) (Gambar 17C). DNA yang sudah dipurifikasi dari gel agarosa, kemudian diligasi dengan vektor kloning dan ditransformasi ke bakteri E. coli. Bakteri hasil ligasi mungkin berwarna putih diduga membawa vektor kloning atau berwarna biru diduga tidak membawa vektor kloning (Gambar 18A). Bakteri E.coli yang membawa vektor kloning berwarna putih yang ditandai (Gambar 18A), dan verifikasi koloni bakteri yang berwarna putih dilakukan menggunakan metode cracking, dan hasilnya dari
63
koloni yang berwarna putih (1-20) terdapat koloni membawa plasmid DNA yaitu koloni 5, 6, 7, 9, 10 dan 11 (Gambar 18B).
M
M
1
2
M
M
1
2
M
1,0 kb 0,5 kb
A B C Gambar 17 Hasil elektroforesis produk PCR awal. A. β-aktin dengan target pita 500 bp, B. elongase dengan target pita 770 bp (1) dan 660 bp (2), C. desaturase dengan target pita 840 bp (1) dan 950 bp (2).
M C 1 2 3 4 5 C 6 7 8 9 10 C 11 12 13 14 15 C 16 17 18 19 20
A B Gambar 18 DNA yang sudah dipurifikasi, diligasi dan ditransformasi. A. Bakteri E.coli yang berwarna putih membawa DNA yang terinsersi pada vektor kloning pGEM-T Easy, B. Hasil cracking bakteri E.coli yang berwarna putih (1-20) dengan koloni 5, 6, 7, 9, 10 dan 11 yang membawa plasmid DNA, dengan kontrol negatif (C). Hasil sekuensing gen parsial β-aktin sebagai kontrol internal pada uji ekspresi gen pada beberapa jaringan, disejajarkan dengan gen β-aktin ikan lain seperti pada Gambar 19. Sekuens nukleotida dari open reading frame (ORF) βaktin ikan betok menunjukkan bahwa 98% identitasnya sama dengan β-aktin ikan kerapu (Epinephelus coioides), dan ikan nila (Oreochromis niloticus).
Pada
cDNA ikan betok juga menunjukkan bahwa 97% identitasnya sama dengan β-aktin pada ikan gabus (Channa striata), ikan mujair (T. mossambica), dan 95%
64
identitasnya sama dengan β-aktin pada belut (Monopterus albus). Berdasarkan filogenetik analisis, β-aktin ikan betok juga menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan β-aktin ikan kerapu dan mujair serta ikan-ikan laut, tetapi agak jauh dengan kelompok ikan mas dan ikan salmon (Gambar 20). Sementara itu, berdasarkan hasil analisis sekuens, sekuens full-length dari cDNA elongase ikan betok yang diperoleh (Gambar 21) dengan PCR 5’- dan 3’-RACE adalah 1210 bp dengan sekuens 5’-untranslated region (UTR) adalah 174 bp, dan sekuens 3’UTR adalah 151 bp. Kodon awal (ATG) pada 175-177 bp dan kodon akhir (TGA) pada 1060-1062 bp. Hasil sekuensing ini juga menunjukkan bahwa cDNA mengandung sekuens ORF 885 bp yang mengkode 295 asam amino (Bank Gen akses no. JQ690757).
Sementara itu, sekuens protein mengandung semua
karakteristik struktural dari elongase asam lemak PUFA, termasuk 1 motif kotak histidin (HXXHH), residu lisin (K), dan arginin (R) yaitu KXRXX pada ujung gugus karboksilnya (Gambar 22), serta motif-motif yang sangat terkonservasi lainnya. Sekuens protein ini juga mengandung 5 wilayah transmembran. Karakter-karakter ini sama dengan gen elongase asam lemak PUFA dari ikan-ikan lainnya seperti ikan mandarin (Siniperca chuatsi), ikan kakap (Lates calcarifer), ikan nibe (N. mitsukurii), ikan gilthead seabream (Sparus aurata), ikan nila (Oreochromis niloticus). Sekuens asam amino dari ORF elongase asam lemak pada ikan betok ini menunjukkan bahwa 89% identitasnya sama dengan Elovl pada ikan cod (G. morhua), dan ikan kakap (L. calcarifer). Pada cDNA ikan betok juga menunjukkan bahwa 88% identitasnya sama dengan Elovl pada ikan red sea bream, Pagrus major, ikan nibe (N. mitsukurii), dan ikan gilthead seabream (S. aurata), dan 86% identitasnya sama dengan Elovl pada ikan nila (O. niloticus), serta 79 dan 78% identitasnya sama dengan Elovl pada ikan salmon masu (O. masou) dan ikan zebra (Danio rerio). Berdasarkan pohon filogenetik dari hasil alignment antara elongase asam lemak PUFA ikan betok dengan beberapa jenis ikan lainnya (Gambar 23), menunjukkan bahwa kekerabatan paling dekat adalah dengan elongase ikan-ikan laut, dan ikan nila (O. niloticus), tetapi agak jauh dengan kelompok ikan lele dan ikan zebra, serta dengan kelompok ikan salmon.
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
0 421 421 421
-----------------------------------------------------------TCCCTGTATGCCTCTGGTCGTACCACCGGTATTGTCATGGACTCCGGTGATGGTGTGACC TCCCTGTATGCCTCTGGTCGTACCACCGGTATCGTCATGGACTCCGGTGATGGTGTGACC TCCCTGTACGCCTCTGGTCGTACCACTGGTATCGTCATGGACTCCGGTGATGGTGTGACC
0 480 480 480
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
0 481 481 481
-----------------------------------------------------------CACACAGTGCCCATCTACGAGGGTTATGCCCTGCCCCACGCCATCCTGCGTCTGGATTTG CACACAGTCCCCATCTATGAGGGCTATGCTCTGCCCCACGCCATCCTGCGTCTGGACTTG CACACAGTGCCCATCTACGAGGGTTATGCCCTGCCCCACGCCATCCTGCGTCTGGACCTG
0 540 540 540
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
1 541 541 541
-------------------ACTACCTCATGAAGATCCTGACAGAGCGTGGCTACTCCTTC GCTGGCCGTGACCTCACAGACTACCTCATGAAGATCCTGACAGAGCGTGGCTACTCCTTC GCCGGCCGCGACCTCACAGACTACCTCATGAAGATCCTGACAGAGCGTGGTTACTCCTTC GCTGGCCGTGACCTCACAGACTACCTCATGAAGATCCTGACAGAGCGTGGCTACTCCTTC
41 600 600 600
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
42 601 601 601
ACCACCACAGCCGAGAGGGAAATCGTGCGTGACATCAAGGAGAAGCTGTGATATGTCGCC ACCACCACAGCCGAGAGGGAAATCGTGCGTGACATCAAGGAGAAGCTGTGCTACGTCGCC ACCACCACAGCCGAGAGGGAAATTGTGCGTGACATCAAGGAGAAGCTGTGCTACGTCGCC ACCACCACAGCCGAGAGGGAAATCGTGCGTGACATCAAAGAGAAGCTGTGCTACGTCGCC
101 660 660 660
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
102 661 661 661
CTGGACTTCGAGCAGGAGATGGGCACTGCTGCCTCCTCCTCCTCCCTGGAGAAGAGTTAC CTGGACTTCGAGCAGGAGATGGGCACTGCTGCCTCCTCTTCTTCCCTGGAGAAGAGCTAC CTGGACTTCGAGCAGGAGATGGGTACTGCTGCCTCCTCCTCTTCCCTGGAGAAGAGCTAC CTGGACTTCGAGCAGGAGATGGGCACCGCTGCCTCCTCCTCCTCCCTGGAGAAGAGTTAC
161 720 720 720
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
162 721 721 721
GAGCTGCCCGACGGACAGGTCATCACCATTGGCAATGAGAGGTTCCGTTGCCCAGAGGCC GAGCTGCCCGACGGACAGGTCATCACCATCGGCAATGAGAGGTTCCGTTGCCCTGAGGCC GAGCTGCCTGACGGACAGGTCATCACCATTGGCAATGAGAGGTTCCGTTGCCCAGAGGCC GAGCTGCCTGACGGACAGGTCATCACCATTGGCAATGAGAGGTTCCGTTGCCCCGAGGCC
221 780 780 780
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
222 781 781 781
CTCTTCCAGCCTTCCTTCCTTGGTATGGAGTCCTGCGGAATCCACGAGACCACCTACAAC CTCTTCCAGCCTTCCTTCCTCGGTATGGAGTCCTGCGGAATCCACGAGACCACCTACAAC CTCTTCCAGCCTTCCTTCCTCGGTATGGAGTCTTGCGGAATCCATGAGACCACCTACAAC CTCTTCCAGCCTTCCTTCCTTGGTATGGAATCCTGCGGAATCCACGAAACCACCTACAAC
281 840 840 840
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
282 841 841 841
AGCATCATGAAGTGCGACGTCGACATCCGTAAGGACCTGTACGCCAACACCGTGCTGTCT AGCATCATGAAGTGCGACGTCGACATCCGTAAGGACCTGTACGCCAACACTGTGCTGTCT AGCATCATGAAGTGTGATGTTGACATCCGTAAGGACCTGTACGCCAACACTGTGCTGTCT AGCATCATGAAGTGCGACGTCGACATCCGTAAGGACCTGTACGCCAACACCGTGCTGTCT
341 900 900 900
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
342 901 901 901
GGAGGTACCACCATGTACCCCGGCATCGCTGACAGGATGCAGAAGGAGATCACAGCCCTG GGTGGTACCACCATGTACCCCGGCATCGCCGACAGGATGCAGAAGGAGATCACAGCCCTG GGAGGTACCACCATGTACCCTGGCATCGCTGACAGGATGCAGAAGGAGATCACAGCCCTT GGAGGTACCACCATGTACCCTGGCATCGCTGACAGGATGCAGAAGGAGATCACAGCCCTG
401 960 960 960
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
402 961 961 961
GCCCCATCCACCATGAAGATCAAGATCATCGCCCCACCAGAGCGTAAATACTCTGTCTGG GCCCCATCCACCATGAAGATCAAGATCATTGCCCCACCTGAGCGTAAATACTCCGTCTGG GCCCCATCCACCATGAAGATCAAGATCATTGCCCCACCAGAGCGTAAATACTCTGTCTGG GCCCCATCCACCATGAAGATCAAGATCATTGCCCCACCTGAGCGTAAATACTCCGTCTGG
461 1020 1020 1020
b-act_A b-act_C b-act_R b-act_T
testu.txt fasci.txt cana.txt moss.txt
462 1021 1021 1021
ATCGGAGGCTCCATCCTGGCCTCCCTGTCCACCTTCCAACTGATGTGGATCAGCAA---ATTGGAGGCTCCATCCTGGCCTCTCTGTCCACCTTCCAGCAGATGTGGATCAGCAAGCAG ATTGGAGGCTCCATCCTGGCTTCCCTGTCCACCTTCCAGCAGATGTGGATCAGCAAGCAG ATCGGAGGCTCCATCCTGGCCTCCCTGTCCACCTTCCAGCAGATGTGGATCAGCAAGCAG
517 1080 1080 1080
b-act_A testu.txt
517 ------------------------------------------------
65
517
Gambar 19 Sekuens gen β-aktin ikan betok dibandingkan dengan1128 βb-act_C fasci.txt 1081 nukleotida GAGTACGATGAGTCCGGCCCATCCATCGTCCACCGTAAATGCTTCTAA b-act_R cana.txt 1081 GAGTACGATGAGTCCGGCCCCTCCATCGTCCACCGCAAATGCTTCTAA 1128 aktin ikan lainnya (b-act_A testu: β-aktin ikan betok; b-act_C fasci: b-act_T moss.txt 1081 GAGTACGATGAGTCCGGCCCCTCCATCGTCCACCGCAAGTGCTTCTAA 1128 β-aktin ikan colisa (no. akses bank gen: GU363348.1); b-act_R cana: β-aktin ikan cobia (no. akses bank gen: EU266539.1); b-act_T moss: β-aktin ikan mujair (no. akses bank gen: AB037865.1)).
Date : 2012.1.19 Method: UPGMA
66
0.0158
b-act_C fasci
0.0006
0.0158
b-act_D labr
0.0027 0.0097
b-act_A testu
0.0032
0.0097
b-act_E coio
0.0035 0.0129
b-act_T moss
0.0259
0.0191
b-act_R cana
0.0073
b-act_C carp
0.0450 0.0087 0.0181
b-act_O myki
0.0342 0.0181
0.0610
b-act_S sala
b-act_D reri
Gambar 20 Dendrogram nukleotida β-aktin ikan betok dan ikan lainnya (b-act_C fasci: β-aktin ikan colisa (no. akses bank gen: GU363348.1); b-act_D labr: β-aktin ikan European sea bass (no. akses bank gen: AJ537421.1); b-act_A testu: βaktin ikan betok; b-act_E coio: β-aktin ikan kerapu (no. akses bank gen: AY510710.2); b-act_T moss: β-aktin ikan mujair (no. akses bank gen: AB037865.1); b-act_R cana: β-aktin ikan cobia (no. akses bank gen: EU266539.1); b-act_C carp: β-aktin ikan mas (no. akses bank gen: M24113.1); b-act_O myki: β-aktin ikan rainbow trout (no. akses bank gen:AF157514.1); b-act_S sala: β-aktin ikan Atlantic salmon (no. akses bank gen:AF012125.1); b-act_D reri: β-aktin ikan zebra (no. akses bank gen: AF057040.1).
67
cactattttccacttagcgacaaggctgcacattgtgctcagaccgagccaaccagccca ggctacagtcggtttctctccccgcctcagaaggaaggcagtccgctgcatatcctcatc cccacacagcgtttcgctctctgcccaacgccatcggacactttatggtgacaaatggag M E acactcaatcataaactgaacgctcactttgaggaatggattggtcctcgagatcagcgg T L N H K L N A H F E E W I G P R D Q R ataaaaggatggctactgctcgacaactacccaccaacctttgcactcacagtcctgtac I K G W L L L D N Y P P T F A L T V L Y cttctgatcgtatggatggggccgaagtacatgaaacacaggcagccgtactcctgcaga L L I V W M G P K Y M K H R Q P Y S C R ggccccatggtgctctacaatctgggccttacactcttgtccttctacatgttctatgag G P M V L Y N L G L T L L S F Y M F Y E cttattgctgcagtttggcatggtggctacaacttctactgccaggacactcacagttca L I A A V W H G G Y N F Y C Q D T H S S gaggaagcagataataaggtcatgaacgtcctgtggtggtactatttctccaagctcatc E E A D N K V M N V L W W Y Y F S K* L I gagttcatggacacctttttcttcatactacgaaagaataatcaccagatcacgtttctt E* F M D* T* F F F I L* R K N N H Q I T F L cacgtctaccaccacgccagcatgctaaatatctggtggttcgttatgaactggataccc H V Y H* H* A S M L N I W W F V M N W I P tgtggccattcatactttggcgcctccctaaacagcttcgtccacgttgtaatgtattct C G H S Y F G A S L N* S F V H* V V M* Y* S tactactgcctctcagccatcccagccatccggccgtacctctggtggaagaaatacatc Y* Y* C L S A I P A I R P Y L W W K K Y I acacagttacagctgatccagttcgttttaactgcaacccagacgttctgtgcagtcgtt T* Q L Q L I Q F V L T A T Q T F C A V V tggccgtgtggcttccccataggatggctctggttccaaataagttacatgttcacgttc W P C G F P I G W L W F Q I S Y M F T F attatcctcttctcaaacttctacattcagacttacaagaagcgccgaggtctaaagaag I I L* F* S N F* Y I Q T Y K K R R G L K K gagaaggagcaccagaatggctctcctgcatcaacaaacggacatgcaaatgggacgccg E K E H Q N G S P A S T N G H A N G T P tctatggagcacaatgcacacaagaaactgagggtggattgacatttgagatactgtcac S M E H N A H K K L R V D * ccaggtctcaccgtagcatattagctaatgctgctaggggttatatgtatcttcttctta tctacaacagtttagccttcacttgacttaaataaaagccatagtcacataaaaaaaaaa aaaaaaaaaa
60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720 780 840 900 960 1020 1080 1140 1200 1260
Gambar 21 Sekuens nukleotida (huruf kecil), dan deduksi asam amino (huruf besar) yang mengkode gen elongase ikan betok (nomor akses bank gen: JQ690757). Garis bawah: kotak histidin; bintang merah: residu asam amino yang sangat terkonservasi.
Sementara itu, full-length dari cDNA desaturase ikan betok (Gambar 24) dengan cara PCR 5’- dan 3’-RACE diperoleh sekuens 1880 bp dengan sekuens 5’UTR adalah 134 bp dan sekuens 3’-UTR adalah 411 bp. Kodon awal (ATG) pada 135-137 bp dan kodon akhir (TGA) pada 1470-1472 bp. Hasil sekuensing
68
juga menunjukkan bahwa pada cDNA terdapat sekuens ORF 1335 bp yang mengkode 445 asam amino (Bank Gen akses no. JQ690756). Sekuens protein ini mengandung semua karakteristik dari desaturase asam lemak mikrosomal antara lain terdapat 3 kotak histidin, 1 domain N-terminal sitokrom b5 yang terdapat heme-binding HPGG (Gambar 25).
Sekuens protein ini juga mengandung 2
wilayah transmenmbran. Karakter-karakter ini sama dengan gen desaturase asam lemak dari ikan-ikan lainnya seperti ikan gabus (Channa striata), ikan cobia (Rachycentron canadum), ikan European seabass (Dicentrarchus labrax) dan ikan nila (O. niloticus). Sekuens asam amino dari ORF desaturase asam lemak pada ikan betok ini menunjukkan bahwa 83% identitasnya sama dengan D6D pada ikan gabus (C. striata) dan ikan-ikan laut seperti ikan cobia (R. canadum) dan ikan kakap (L. calcarifer).
Pada cDNA ikan betok juga menunjukkan bahwa 82% dan 81%
identitasnya sama dengan D6D pada ikan European seabass (D. labrax) dan ikan nila (O. niloticus), dan 75% identitasnya sama dengan D6D pada ikan Atlantic salmon (S. salar) dan ikan rainbow trout (O. mykiss), dan dengan D5D pada ikan Atlantic salmon (S. salar). Berdasarkan pohon filogenetik dari hasil alignment antara desaturase asam lemak ikan betok dengan beberapa ikan (Gambar 26). Hasil ini menunjukkan bahwa kekerabatan paling dekat adalah dengan D6D ikan gabus (C. striata), dan kelompok ikan nila, cod, turbot, cobia dan seabream, tetapi agak jauh dengan kelompok ikan Cyprinidae (ikan mas dan ikan zebra). Uji ekspresi gen menunjukkan bahwa gen elongase diekspresikan tinggi pada jaringan hati (106%), menyusul pada jaringan usus dan sirip (Gambar 27-1). Pada jaringan lain seperti otot dan mata ekspresi gen elongase tidak terdeteksi (Gambar 27-1). Demikian pula gen desaturase terekspresi tinggi pada jaringan hati (107%, Gambar 27-2 dan 27-4), sedangkan pada jaringan lain tidak terdeteksi. Ekspresi gen β-aktin terekspresi pada semua jaringan sebagai kontrol internal (Gambar 27-3) dengan konsentrasi sekitar 10 ng/µL (Lampiran 5).
69
Gambar 22 Sekuens asam amino residu elongase PUFA ikan betok dibandingkan dengan elongase pada ikan lainnya. Wilayah transmembran : garis putus-putus (---); domain yang ada kotak histidin: garis tak putus ( ); Elovl5_L calc: elongase ikan kakap (no. akses bank gen: GQ214180.1); Elovl5b_S sala: elongase ikan Atlantic salmon (no. akses bank gen: FJ237531.1); Elovl_A testu: elongase ikan betok (no. akses bank gen: JQ690757); Elovl_C gari: elongase ikan lele (no. akses bank gen: AY660880.1); Elovl_D reri: elongase ikan zebra (no. akses bank gen: AF532782.2); Elovl_N mits: elongase ikan nibe (no. akses bank gen: FJ952143.1); Elovl_O nilo: elongase ikan nila (no. akses bank gen: AY170326.2); Elovl_S aura: elongase ikan gilthead seabream (no. akses bank gen: AY660879.1); Elovl_S chua: elongase ikan mandarin (no. akses bank gen: EU683736.1).
Method: UPGMA
70
0.0948
Elovl_A testu
0.0042
Elovl_O nilo
0.0948 0.0270 0.0301
Elovl5_L calc
0.0112
0.0301
Elovl_N mits
0.0340
0.0413
Elovl_S aura
0.0237 0.0753
Elovl_S chua
0.0268
0.1260
0.1184
Elovl5b_S sala
Elovl_C garie
0.0344 0.1184
Elovl_D reri
Gambar 23 Dendrogram asam amino residu elongase asam lemak PUFA ikan betok dan elongase dari ikan lain; Elovl5_L calc: elongase ikan kakap (no. akses bank gen: GQ214180.1); Elovl5b_S sala: elongase ikan Atlantic salmon (no. akses bank gen: FJ237531.1); Elovl_A testu: elongase ikan betok (no. akses bank gen: JQ690757); Elovl_C gari: elongase ikan lele (no. akses bank gen: AY660880.1); Elovl_D reri: elongase ikan zebra (no. akses bank gen: AF532782.2); Elovl_N mits: elongase ikan nibe (no. akses bank gen: FJ952143.1); Elovl_O nilo: elongase ikan nila (no. akses bank gen: AY170326.2); Elovl_S aura: elongase ikan gilthead seabream (no. akses bank gen: AY660879.1); Elovl_S chua: elongase ikan mandarin (no. akses bank gen:EU683736.1).
71
aatatgaacctggacgacaaataaagtcagccagagtgttactgtgactgaaatccgggg agagtggccataatctggatactgtctcagtcacttgcaaaggaggttgatcgaggccag agagagcagtgaggatgggaggtggaggccaacagagagaggaaggaaagacggacagcg M G G G G Q Q R E E G K T D S G gcaaagctggaggtgtttacacctgggaagatgtgcagagccactgcaccaagaccgatc K A G G V Y T W E D V Q S H C T K T D Q agtgggtggtcatcaatagaaaggtctacaacgtcacccagtgggccaagaggcacccag W V V I N R K V Y N V T Q W A K R H P G gagggtttcgagtcctctaccactatgctggagaggatgctacggagccattcagtgcgt G F R V L Y H Y A G E D A T E P F S A F ttcatcctgatcaaaagtttgtgcagaagtacatgaaggccctgcagatcggagagctgg H P D Q K F V Q K Y M K A L Q I G E L A cagcaacggagcccagccaggaccgaaacaaaaatgcagcagttatgaaggatttccaag A T E P S Q D R N K N A A V M K D F Q D atttatatgtgaaggccgagagccaggggatgtttcgaacccggcctttgttcttcatcc L Y V K A E S Q G M F R T R P L F F I L tccacctgggccacatcatactgctggaggttcttgttttgctgatggtccgatactttg H L G H I I L L E V L V L L M V R Y F G ggacaaactggatcgtgacacttttgtgcgcggtcatgctggcaaccgctcagtcgcagg T N W I V T L L C A V M L A T A Q S Q A ctgggtggctgcagcacgacttcggccacctgtctgtcttcaagaaatcctactggaatc G W L Q H D F G H L S V F K K S Y W N H acgtggtgcacaagtttgtcatcggccatataaagggagcttctgccaactggtggaatc V V H K F V I G H I K G A S A N W W N H atcgacatttccagcatcacgcaaaacccaacgtcgtcctcaaggacccagatatcaaca R H F Q H H A K P N V V L K D P D I N M tgctgaacctgtttgtacttggagacaaccaaccggtggagtatggcataaaaaagacca L N L F V L G D N Q P V E Y G I K K T K aaaatatgccgtataatcatcaacacaagtacttcttccttgtgggaccaccgctgctca N M P Y N H Q H K Y F F L V G P P L L I ttccgattttcttccacttacaaatcattcaaaccatgatctcccgccgttactgggtgg P I F F H L Q I I Q T M I S R R Y W V D atctggtttggttcatgtcgttctacattcgctacttctactgttatgtacccctgtatg L V W F M S F Y I R Y F Y C Y V P L Y G gtctaattggtgctactgctcttctcttctttgtcaggttcatggagagtcactggtttg L I G A T A L L F F V R F M E S H W F V tgtgggtgactcagatgaatcacataccgatggaaatagactacgagaagcaccaggact W V T Q M N H I P M E I D Y E K H Q D W ggttaaccatgcagctgcagtccacctgtaacgttgagcagtccttcttcaacgactggt L T M Q L Q S T C N V E Q S F F N D W F tcagtggacatctcaactttcagattgaacaccatctgtttccaaggatgccgcgacaca S G H L N F Q I E H H L F P R M P R H N actactacctggtggccccacacgtcgaagcactttgcaagaaacatggcattccttacc Y Y L V A P H V E A L C K K H G I P Y Q agacgaaaaccttgtggcaggcctttgctgacatcgtcacgtcactgaaatcctcagggg T K T L W Q A F A D I V T S L K S S G D acctctggcttgatgcatatctcaataaatgatcaatttcatcctcaatatctacaagga L W L D A Y L N K * ctgatgtttttctcatcttctgtgtgatatattcactgtgtctgtttggtttcataatcg agaatagtctctgatgttaaatcatgctttacttctctcaccctgtgtagcatttattta ggggctcatacagttcctcagcagtagtgaggtatcaaaaatgcaattattaaaactgat
60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720 780 840 900 960 1020 1080 1140 1200 1260 1320 1380 1440 1500 1560 1620 1680
72
tatgagttatttaaagtgatgtttttttctttatcatgtgatacagtttttaataattct gctaacaaatgactcattttgtgtaacttagggtttaaaatgttccaaacgtgtaacttc ctatcaaacctaacattttcttctttaaccacaacaataaagtactgtgttgaccttttc tccaaaaaaaaaaaaaaaaa
1740 1800 1860 1880
Gambar 24 Sekuens nukleotida (huruf kecil), dan deduksi asam amino (huruf besar) yang mengkode gen desaturase ikan betok (kode akses bank gen: JQ690756). Huruf miring dan garis bawah: heme-binding pada N-terminal sitokrom b5-like; garis bawah: kotak histidin. Pembahasan Berdasarkan pengelompokkan elongase menurut Nelson (1994), elongase (Elovl) ikan betok termasuk dalam kelompok 3 yaitu kelompok acanthopterygii/ paracanthopterygii, perciformes/chichlids, pleuronectiformes dan gadiformes dan dikategorikan Elovl5. Berdasarkan sekuens asam amino residu, karakter elongase ikan betok sama dengan karakter elongase ikan lain yang memiliki 1 motif kotak histidin dan 5 wilayah transmembran, serta residu lisin dan arginin pada ujung gugus karboksilnya. Hal ini dibuktikan oleh hasil alignment elongase ikan betok dengan ikan-ikan lain (Gambar 22). Hasil ini juga didukung oleh Agaba et al. (2005) dan Alimuddin et al. (2008) yang menyatakan Elovl cDNA kelompok 3 ini mempunyai tingkat kesamaan yang sangat tinggi dengan Elovl5 pada mamalia (Agaba et al. 2005; Alimuddin et al. 2008; Zheng et al. 2009). Elovl5 pada mamalia merupakan salah satu elongase yang berperan untuk mengelongasi pada biosintesis HUFA selain Elovl2 (Jakobsson et al. 2000). Selanjutnya, berdasarkan hasil filogenetik analisis bahwa desaturase hasil kloning dari ikan betok adalah D6D dan termasuk dalam kelompok 3 dari kelompok desaturase menurut kategori Nelson (1994). Karakter desaturase ikan betok antara lain terdapat tiga kotak histidin meliputi HXXXH, HXXHH dan H/QXXHH, satu domain N-terminal sitokrom b5 yang terdapat motif hemebinding, H-P-G-G, dan 2 wilayah transmembran. Desaturase cDNA ikan-ikan kelompok ini mempunyai tingkat kesamaan yang sangat tinggi dengan D6D dan D5D pada mamalia (Zheng et al. 2004a, 2005a; Agaba et al. 2005). Hal ini juga dibuktikan dari hasil alignment desaturase ikan betok dengan ikan-ikan lain (Gambar 25).
73
Berdasarkan uji ekspresi gen dalam penelitian ini, elongase (Elolv5) pada ikan betok terekspresi pada hati, usus dan sirip, dengan ekspresi paling tinggi pada hati. Hasil ini relatif berbeda dibandingkan pada ikan lain. Contohnya, ekspresi gen elongase sangat tinggi pada otak, tetapi agak rendah di hati dan jantung pada ikan cobia (Zheng et al. 2009). Sementara itu, ekspresi gen desaturase (D6D) ikan betok hanya terekspresi pada hati saja.
Hasil ini juga relatif berbeda
dibandingkan pada ikan lain. Zheng et al. (2009) melaporkan bahwa tertinggi ekspresi gen desaturase pada otak diikuti pada jantung dan hati ikan cobia. Demikian pula, Tocher et al. (2006b) melaporkan bahwa D6D ikan cod banyak terekspresi pada otak diikuti di hati, ginjal, usus, daging merah dan insang. Sebaliknya, gen D6D pada ikan salmon paling tinggi terekspresi pada usus, hati, otak, dan lebih rendah terekspresi pada jaringan jantung, insang, otot putih dan merah, ginjal, limfa, dan adifosa (Zheng et al. 2005b). Demikian pula, Seiliez et al. (2001, 2003) melaporkan bahwa D6D pada ikan rainbow trout dan ikan gilthead seabream terekspresi di jaringan usus. Selanjutnya, berdasarkan pengelompokkan β-aktin ikan betok hasil kloning termasuk dalam kelompok ikan-ikan bersisik stenoid antara lain ikan kerapu, nila, gabus dan mujair. Hasil ini dibuktikan dari hasil alignment β-aktin ikan betok dengan ikan-ikan lain (Gambar 21). Hasil kloning gen lengkap elongase dan desaturase dikategorikan Elovl5 dan D6D.
masing-masing
Kedua gen ini dapat digunakan untuk
meningkatkan jalur biosintesis asam lemak HUFA pada ikan-ikan yang tidak memiliki gen Elovl5 dan/atau D6D. Melalui teknik transgenik, jalur metabolism biosintesis asam lemak HUFA pada ikan yang tidak mempunyai Elovl5 dan/atau D6D dapat dimodifikasi.
Hal ini telah dilakukan pada ikan zebra dengan
menggunakan gen D6D-like dan gen D5D-like dari salmon masu untuk meningkatkan jalur biosintesis HUFA dengan teknik transgenik (Alimuddin 2005; Alimuddin et al. 2007). Selanjutnya, teknik transgenik yang sama digunakan elongase-like dari ikan salmon masu pada ikan zebra (MELO) untuk meningkatkan elongasi biosintesis HUFA (Alimuddin et al. 2008).
74
Gambar 25 Sekuens asam amino residu desaturase PUFA ikan betok dibandingkan dengan desaturase pada ikan lainnya. Domain sitokrom b5-like : tanda titik-titik; wilayah transmembran : garis putus-putus (------); domain yang ada kotak histidin :garis tak putus ( ); D5_S sala: D5D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : AF478472.3); D6-D5_D reri: D6/D5D ikan zebra (no. akses bank gen : AF309556.1); D6_A testu: D6D ikan betok (no.akses bank gen : JQ690756); D6_C stri: D6D ikan gabus (no.akses bank gen : EU570220.2); D6_N mits: D6D ikan nibe (no.akses bank gen : GQ996729.1); D6_O nilo: D6D ikan nila (no.akses bank gen : AB069727.1); D6_S sala: D6D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : NM_001172281.1).
Date : 2012.1.19 Method: UPGMA
75
0.0668
D6_R cana
0.0367
0.0668
D6_T macc
0.0269
D6_G morh
0.1035 0.0294
D6_N mits
0.1304 0.0179 0.0395
D5_S sala
0.0033
0.0395
D6_S sala
0.1170 0.0428
D5_O maso
0.0061
D6_O nilo
0.1777 0.0423 0.1281
D6_A testu
0.0557 D6_C stri
0.1281
0.0571
D6-D5_D reri
0.1690 0.0571
D6_C carp
Gambar 26 Dendrogram asam amino residu desaturase PUFA ikan betok dan desaturase dari ikan lain; D6_R cana: D6D ikan cobia; D6_T macc: D6D ikan tuna; D6_G morh: D6D ikan Atlantic cod; D6_N mits: D6D ikan nibe; D5_S sala: D5D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : AF478472.3); D6_S sala: D6D ikan Atlantic salmon (no.akses bank gen : NM_001172281.1); D5_O maso: D5D ikan salmon masu; D6_O nilo: D6D ikan nila (no.akses bank gen : AB069727.1); D6_A testu: D6D ikan betok (no.akses bank gen : JQ690756); D6_C stri: D6D ikan gabus (no.akses bank gen : EU570220.2); D6_C carp: D6D ikan mas; D6-D5_D reri: D6/D5D ikan zebra (no. akses bank gen : AF309556.1).
76
Gambar 27 Ekspresi gen elongase (1), desaturase (2) dan β-aktin (3) ikan betok pada beberapa jaringan. Grafik persentase rasio ekspresi mRNA elongase ( ) dan desaturase ( ) dengan β-aktin (4); M: marker; Ht: hati; Us: Usus; Ot : otot; Mt: mata; Si : sirip, K- : kontrol negatif. Simpulan Karakter gen enzim elongase dan desaturase asam lemak HUFA pada ikan betok sama dengan karakter gen enzim elongase dan desaturase pada ikan-ikan lain. Gen elongase dan desaturase ikan betok memiliki kekerabatan sangat dekat dengan elongase dan desaturase dari ikan nila dan ikan gabus. Gen parsial β-aktin ikan betok memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan β-aktin dari ikan kerapu dan ikan nila. Tingkat ekspresi gen elongase dan desaturase tertinggi terdapat di organ hati.
77
EKSPRESI GEN ELONGASE DAN DESATURASE, SERTA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BETOK YANG DIBERI ROTIFERA HASIL PENGKAYAAN Abstrak Studi ini bertujuan mempelajari pengaruh rotifera yang diperkaya dengan minyak jagung dan minyak kemiri sebagai sumber asam lemak linoleat (LA) dan linolenat (LNA) terhadap ekspresi gen elongase, dan desaturase yang terlibat dalam biosintesis asam lemak highly unsaturated fatty acid (HUFA), kelangsungan hidup, pertumbuhan larva ikan betok Anabas testudineus. Rotifera diperkaya dengan minyak jagung dan minyak kemiri rasio 0:0 (A; kontrol), 1:0 (B), 0:1 (C), 1:1 (D), 1:3 (E), dan 3:1 (F), masing-masing selama 2 jam. Rotifera, sesuai perlakuan, diberikan ke larva ikan mulai umur 2 hari sampai 12 hari. Rotifera diberikan ke larva dengan frekuensi 3 kali per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva umur 12 hari yang diberi makan rotifera yang diperkaya dengan minyak nabati memiliki kelangsungan hidup lebih tinggi daripada rotifera di perlakuan kontrol (0:0). Namun kelangsungan hidup tertinggi diperoleh larva ikan betok di perlakuan D (1:1). Di perlakuan D ini, komposisi asam lemak dokosaheksanoat (DHA) dan asam lemak arakidonat (ARA) yang sangat tinggi dibandingkan perlakuan lain, yakni masing-masing sebesar 10,33% dan 6,20%. Hal ini menunjukkan DHA dan ARA berperan penting terhadap kelangsungan hidup larva. Selanjutnya, ekspresi gen elongase dan desaturase asam lemak HUFA pada larva ikan betok meningkat dengan pemberian rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa enzim elongase dan desaturase terlibat dalam proses biosintesis HUFA pada larva ikan betok. Penggunaan rasio minyak jagung dan minyak kemiri rasio 1:1 memberikan performa larva ikan betok yang terbaik. Oleh sebab itu, minyak jagung dan minyak kemiri dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial LA dan LNA untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan betok. Kata kunci: ekspresi gen, elongase, desaturase, asam lemak, rotifera, larva ikan betok
78
FATTY ACID ELONGASE AND DESATURASE GENES EXPRESSION, GROWTH AND SURVIVAL RATE OF CLIMBING PERCH LARVAE FED ON ENRICHED ROTIFER Abstract The aim of this study was to evaluate the effect of rotifer enriched with corn and candle nut oils as sources of linoleic and linolenic acids on elongase and desaturase genes expression involved in highly unsaturated fatty acid biosynthesis, growth and survival rate of the climbing perch Anabas testudineus larvae. Rotifer was enriched with corn oil and candle nut oil ratios, namely 0:0 (A; control), 1:0 (B), 0:1 (C), 1:1 (D), 1:3 (E), and 3:1 (F), during 2 hours. Rotifer, according to each treatment, fed to the larvae was from days 2 to 12 after hatching, three times a day. The results showed that the fatty acid elongase and desaturase gene expression level was increased in the 12-day larvae fed on corn and the candle nut oil-enriched rotifers. This suggested that the elongase and desaturase enzymes were involved in DHA and ARA biosynthesis. Results also indicated that the larvae fed by enriched rotifer with vegetable oil emulsions had higher survival rate than that of fed by non-enriched in control treatment. The highest survival rate of larvae was obtained in treatment D. In this treatment, concentration of docosahexaenoic acid (DHA; 10.33%) and arachidonic acid (ARA; 6.20%) was higher compared to the other treatments. It is most likely that DHA and ARA play important role on survival of the larvae. Therefore, the corn oil and the candle nut oil with a ratio 1:1 could be used to provide high performance of climbing perch larvae. Keywords: gene expression, elongase, desaturase, fatty acid, rotifer, climbing perch larvae Pendahuluan Ikan air tawar pada umumnya memiliki enzim desaturase dan elongase untuk biosintesis HUFA. Ketika diberi asam lemak linoleat (LA) dan asam lemak linolenat (LNA), ikan air tawar mampu memperbanyak ikatan ganda dan memperpanjang rantai C, masing-masing menjadi asam lemak arakidonat (ARA), atau asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) (Sargent et al. 1999a; Corraze 2001; Sargent et al. 2002; Tocher 2003). Oleh sebab itu, pada ikan air tawar, LA dan LNA perlu ditambahkan dalam pakan (Okuyama et al. 1996; Corraze 2001). Selanjutnya, keseimbangan antara n-6 dan n-3 juga penting untuk menunjang kehidupan ikan air tawar (Sargent et al. 1999a; Corraze 1991). Sekitar 60% produksi minyak ikan dunia digunakan untuk akuakultur (Barlow 2000).
Sementara itu, produksi minyak ikan cenderung menurun
(Sargent & Tacon 1999; Barlow 2000; FAO 2004). Oleh karena itu, penggunaan
79
minyak nabati dewasa ini merupakan salah topik yang banyak dibahas dalam rangka mengurangi penggunaan minyak ikan dalam dunia akuakultur. Pada umumnya minyak nabati kaya akan asam lemak 16:0, 18:1, LA, dan beberapa minyak nabati kaya LNA, tetapi kandungan HUFA rendah (Menoyo et al. 2005; Gunstone & Harwood 2007). Kandungan LA dan LNA minyak jagung (corn oil) masing-masing sekitar 57,0%, dan 0,9% dari total lemak (White 2008), tetapi minyak kemiri (candle nut oil) memiliki kandungan LNA yang lebih tinggi dari minyak jagung, dengan kandungan LA dan LNA masing-masing sekitar 48,5% dan 28,5% (Ketaren 2008). Dewasa ini penelitian tentang pemanfaatan minyak nabati telah banyak dilakukan seperti pada ikan Atlantic cod (Gadus morhua) (Bell et al. 2006), ikan gilthead seabream (Sparus aurata) (Benítez-Santana et al. 2007), ikan Atlantic salmon (Salmo salar) (Bell et al. 2001, 2003a; Miller et al. 2008), dan ikan Arctic charr (Salvelinus alpines) (Tocher et al. 2006a), serta pada kerang abalon (Haliotis) hibrida (Mateos et al. 2011).
Pada umumnya ikan yang diberi minyak
nabati mengalami penurunan kandungan n-3 HUFA (Tocher et al. 2003; Bell et al. 2003b; Torstensen et al. 2004; Benítez-Santana et al. 2007), sedangkan asam lemak n-3 HUFA sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia (Brouwer et al. 2006). Namun demikian, penelitian tentang pemanfaatan minyak nabati pada larva ikan air tawar masih terbatas. Di samping itu, penentuan kebutuhan asam lemak esensial untuk larva merupakan salah satu tahap yang penting dalam budidaya ikan (Watanabe 1988). Sumber utama asam lemak esensial untuk larva adalah pakan alami. Oleh karena itu, pemberian pakan alami yang umum seperti rotifera pada fase-fase awal kehidupan larva perlu dilakukan.
Mengingat pentingnya keseimbangan asam
lemak esensial n-6 dan n-3 untuk larva ikan betok seperti halnya untuk ikan laut maupun ikan tawar dalam menunjang kehidupan (Sargent et al. 1999b), maka perlu penelitian tentang pemberian minyak jagung dan minyak kemiri untuk larva ikan betok melalui rotifera air tawar dengan asumsi komposisi asam lemak rotifera awal sama.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengkaji pengaruh
pengkayaan minyak jagung dan minyak kemiri (sebagai sumber LA dan LNA) pada rotifera terhadap kelangsungan hidup, laju pertumbuhan larva ikan betok,
80
komposisi asam lemak larva, dan ekspresi gen penyandi enzim desaturase dan elongase yang berperan dalam biosintesis ARA, EPA, dan DHA.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2011 sampai April 2012. Tempat penelitian di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik dan Laboratorium Nutrisi, Departemen BDP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, dan di Laboratorium Seafast IPB, serta di Laboratorium Fisiologi, Tokyo University of Marine Science and Technology, Japan.
Rotifera Rotifera dikultur secara massal di dalam bak ukuran 1 m 3. Inokulan awal rotifera berasal dari kolam pembesaran nila di Kolam Percobaan Perikanan, Departemen BDP, FPIK, IPB. Selama itu rotifera diberi pakan berupa ragi roti (Fermipan, GBI Holland) sebanyak 0,2 g/106 rotifera (Cho et al. 2001). Hal ini dilakukan untuk memperoleh rotifera dengan asam lemak n-3 dan n-6 yang rendah (Watanabe et al. 1983; Izquierdo et al. 2008), selanjutnya digunakan sebagai pakan kontrol. Profil asam lemak pakan kontrol, minyak jagung dan minyak kemiri dapat dilihat pada Tabel 3. Rotifera hasil kultur massal dipadatkan dengan menggunakan plankton net ukuran 40 µm, dan dimasukkan ke dalam wadah sebanyak 2 L dengan kepadatan 150-500 ind/mL (Mourente et al. 1993; Haga et al. 2006; Villalta et al. 2008). Pengkayaan rotifera dengan menggunakan 2 jenis minyak, yaitu minyak jagung (J) dan minyak kemiri (K) sebagai sumber asam lemak LA dan/atau LNA sesuai dengan perlakuannya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap
dengan 6 perlakuan, masing-masing terdiri atas 4 ulangan.
Perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Dosis pengkayaan rotifera adalah 3 g/L media pengkayaan (Yunus et al. 1996).
Minyak sebagai bahan pengkayaan dicampur dengan kuning telur
sebanyak 0,1 g dalam 100 mL air (Jusadi et al. 1995; Jusadi 1997). Campuran tersebut dihomogenkan dengan mixer selama 2 menit (Jusadi 1997) dan dimasukkan ke dalam media pengkayaan volume 2 L yang diaerasi. Rotifera
81
diberi pengkaya selama 2 jam (Yunus et al. 1996). Rotifera yang telah diperkaya dengan minyak nabati sebagai sumber asam lemak diberikan sebagai pakan larva ikan betok.
Untuk perlakuan A(0:0), rotífera dari kultur massal langsung
diberikan ke ikan, tanpa melalui proses pengkayaan. Tabel 3 Profil asam lemak (% dari total asam lemak) pada minyak jagung (J), minyak kemiri (K), dan pakan kontrol Asam lemak J K Pakan kontrol 12:0
0,02
tt
0,24
14:0
0,10
0,04
3,19
15:0
0,01
tt
tt
16:0
10,63
4,49
17,84
17:0
0,07
0,02
tt
18:0
2,10
2,00
3,67
20:0
0,27
0,06
tt
21:0
0,02
tt
tt
22:0
0,15
0,01
tt
23:0
0,01
tt
tt
14:1
tt
tt
1,05
16:1
0,07
0,03
8,53
18:1
20,03
17,60
17,15
20:1
0,13
0,03
tt
24:1
0,01
tt
tt
18:2n-6
34,92
32,88
12,15
18:3n-3
2,20
23,00
31,90
20:2n-9
0,06
0,06
tt
20:3n-6
tt
0,01
tt
20:4n-6
tt
tt
1,65
20:5n-3
tt
tt
2,09
22:6n-3
tt
tt
0,53
Keterangan : tt = tidak terdeteksi Tabel 4 Perlakuan pemberian minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio yang berbeda pada rotifera untuk larva ikan betok selama 10 hari pemeliharaan
82
Kode Perlakuan
LA:LNA
Perlakuan
Dosis Pengkayaan (g dalam 1 L media)
A (0:0) B (1:0) C (0:1) D (1:1) E (1:3) F (3:1)
1,00: 2,63 1,38:1,00 1,00:1,22 1,03:1,00 1,00:1,09 1,18:1,00
Kontrol J (100%) K (100%) J(50%) + K (50%) J(25%) + K (75%) J(75%) + K (25%)
0 3 (J) 3 (K) 1,5 (J) + 1,5 (K) 0,75 (J) + 2,25 (K) 2,25 (J) + 0,75 (K)
Pemeliharaan Larva Larva ikan betok berumur 2 hari setelah menetas diperoleh dari induk (75-100 g/ekor) melalui pemijahan buatan dengan induk yang diberi pakan komersil F-999 dengan protein 38%, lipid 2%, serat kasar 3%, kadar air 12% dan dipelihara di akuarium 100 L. Ovulasi telur, dan sperma diinduksi menggunakan ovaprim dengan dosis 0,3 ml/kg induk ikan.
Larva berumur sehari setelah
menetas ditempatkan pada akuarium pemeliharaan ukuran 30X30 cm dengan kepadatan 25 ekor/L. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari dengan kepadatan rotifera berkisar antara 10–15 ind/mL dari hari ke-2 sampai ke-12 setelah menetas.
Kualitas air pemeliharaan dijaga tetap baik meliputi suhu berkisar
o
27-28 C, oksigen terlarut berkisar 3,95-5,10 mg/L, pH berkisar 6,4–7,0 dan amoniak berkisar 0,020-0,045 mg/L, dengan ganti air setiap 2 hari sekali pada enam hari pertama dan setelah itu, ganti air setiap hari sebanyak 30%. Analisis Ekspresi Gen Elongase, Deaturase dan β-aktin Desain Primer Spesifik Untuk mendesain primer gen desaturase dan elongase yang berperan dalam biosintesis asam lemak HUFA untuk ikan betok, serta gen β-aktin sebagai kontrol internal, data sekuens masing-masing gen dari beberapa klon dari penelitian tahap ketiga tentang kloning tersebut dilakukan alignment dengan menggunakan program Genetyx versi 7.0. Daerah dengan homologi yang tinggi pada terminal 5’ digunakan sebagai primer forward, sedangkan pada terminal 3’ digunakan sebagai primer reverse.
83
Primer yang didesain untuk elongase adalah forward (Elo-Fw) 5’-ACA CAG GCA GCC GTA CTC CTG CAG A-3’ (25 pb) dan reverse (Elo-Rv) 5’TGG GAT GGC TGA GAG GCA GTA GT-3’ (23 pb), sedangkan primer untuk desaturase adalah forward (Des-Fw) adalah 5’-ACT GGT GGA ATC ATC GAC ATT TCC A-3’ (25 pb) dan reverse (Des-Rv) 5’-GGA AGA AGT ACT TGT GTT GAT GAT T-3’ (25 pb).
Untuk kontrol internal, primer β-aktin yang
didesain dari gen parsial β-aktin ikan betok adalah forward (Act-Fw) adalah 5’TGC GTG ACA TYA AGG AGA AGC TGT -3’ (24 pb) dan reverse (Act-Rv) 5’-AGA CAG CAC GGT GTT GGC GTA CA-3’ (23 pb).
Ekstraksi RNA Total dan Sintesis cDNA RNA diekstraksi dari 3-4 ekor ekor larva ikan betok yang berumur 12 hari menggunakan Isogen (Nippon Gene, Tokyo, Japan). Sintesis cDNA larva ikan betok dilakukan menggunakan kit yang sama dengan dalam kloning gen elongase dan desaturase.
Amplifikasi DNA dan Kuantifikasi Tingkat Ekspresi Proses amplifikasi gen elongase dan desaturase dilakukan menggunakan primer spesifik yang telah didesain. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi tingkat ekspresi sama dengan dalam kloning gen elongase dan desaturase.
Parameter Pengamatan Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan larva, komposisi asam lemak larva, dan ekspresi gen elongase dan desaturase. Kelangsungan hidup larva dihitung berdasarkan jumlah larva yang hidup pada akhir percobaan. Larva dari tiap perlakuan diambil sebanyak 20 ekor untuk pengamatan pertumbuhan, dan sebanyak 3-4 ekor untuk pengamatan ekspresi gen desaturase-like, serta elongase pada akhir perlakuan. Komposisi asam lemak larva diperoleh dari analisa kumpulan larva dari tiap perlakuan yang sama dan larva sebelum perlakuan (umur 2 hari setelah menetas). Analisis Data
84
Untuk mengetahui pengaruh rotifera yang diperkaya minyak nabati sebagai sumber asam lemak terhadap tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan betok, data dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka dilanjutkan dengan uji Fisher. Nilai P lebih kecil dari 0,05 dikategorikan secara statistik berbeda. Analisis statistik dilakukan dengan program Minitab 16. Kandungan total lemak dianalisis dengan metode Folch (1957), sedangkan asam lemak dianalisis dengan gas chromatography (GC). Komposisi asam lemak larva dan ekspresi gen elongase, dan desaturase dianalisis secara deskriptif.
Hasil Kelangsungan hidup larva ikan betok yang dipelihara selama 10 hari dipengaruhi oleh jenis pengkayaan kepada rotifera. Pengkayaan rotifera dengan minyak jagung dan/atau minyak kemiri dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva (Tabel 5).
Kelangsungan hidup larva tertinggi terjadi ketika larva
memangsa rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri rasio 1:1 (perlakuan D; 72,2%), tidak berbeda dengan rasio 1:3 (66,6%), dan 3:1 (65,5%). Selanjutnya, kelangsungan hidup larva perlakuan 1:0 (57,3%), dan 0:1 (58,6) tidak berbeda dengan perlakuan 1:3, dan 3:1.
Kelangsungan hidup terendah
diperoleh pada perlakuan tanpa pengkayaan minyak jagung dan minyak kemiri (40,9%). Sementara itu, pertumbuhan mutlak larva ikan betok yang dipelihara selama 10 hari tidak dipengaruhi oleh jenis pengkayaan kepada rotifera (Tabel 4). Pertumbuhan mutlak larva berkisar 2,49–2,99 mm. Pengkayaan minyak jagung dan minyak kemiri berpengaruh terhadap kandungan total lemak (Tabel 6), yaitu terjadi peningkatan 2-4 kali pada larva yang diberi minyak (12,9–24,3%) dibandingkan dengan kontrol (5,6%). Kandungan lemak tertinggi diperoleh pada perlakuan 3:1 (24,3%), diikuti oleh perlakuan 1:0 (20,3%), 1:1 (19,1%), 0:1 (12,9%), dan terendah pada perlakuan 0:0 (5,6%). Demikian pula komposisi asam lemak larva ikan betok dipengaruhi oleh kandungan rotifera yang diberi pengkayaan minyak jagung dan minyak kemiri, walaupun kadar HUFA bervariasi antar perlakuan (Tabel 6). Total n-3 (14,18%), kadar ARA (6,20%), EPA (0,99%), dan DHA (10,33%) tertinggi diperoleh pada
85
perlakuan 1:1, diikuti oleh perlakuan 0:1, 1:3, 3:1, 1:0, dan terendah pada perlakuan 0:0. Tabel 5 Kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan mutlak (G) larva ikan betok yang dipelihara selama 10 hari dengan pemberian minyak jagung dan minyak kemiri Perlakuan SR (%) G (mm) (jagung:kemiri) A (0:0) 40,9±6,3a 2,49±0,25a B (1:0) 57,3±9,2b 2,81±0,66a C (0:1) 58,6±7,9b 2,82±0,13a D (1:1) 72,2±4,9c 2,83±0,18a E (1:3) 66,6±7,5bc 2,99±0,19a F (3:1) 65,5±3,1bc 2,83±0,40a Keterangan : *) huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Nilai merupakan rerata dari 4 ulangan.
Kandungan DHA tertinggi terdapat pada larva perlakuan 1:1, sementara kandungan DHA terendah pada perlakuan kontrol (0:0). Selanjutnya, rasio DHA/EPA tertinggi pada perlakuan 1;1, tetapi terendah pada perlakuan 1:0 dengan pemberian minyak jagung saja (Tabel 6).
Demikian pula, kandungan
ARA larva cenderung meningkat ketika memangsa rotifera baik yang diberi pengkayaan atau pun tidak dibandingkan kandungan ARA pada larva awal. Sebaliknya, pemberian rotifera baik yang diperkaya maupun tidak, cenderung menurunkan kandungan total n-6 larva.
Ekspresi Gen Desaturase dan Elongase Ekspresi gen penyandi enzim elongase, dan desaturase setelah diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri sebagai sumber LA dan LNA pada larva ikan betok yang berumur 2-12 hari dapat dilihat pada Gambar 28(1-3). Berdasarkan hasil kuantifikasi ketebalan pita (Gambar 28(4)), ekspresi elongase tertinggi terdapat pada larva dari perlakuan 0:1 (8 ng/µL), diikuti perlakuan 1:1 (7,7 ng/µL), dan terendah pada larva perlakuan 1:0 dan kontrol (0:0), paling rendah ekspresi gennya. Demikian pula ekspresi gen desaturase tertinggi pada larva perlakuan 0:1 (18,9 ng/µL), dan 1:1 (19,4 ng/µL), sedangkan yang terendah pada larva dari perlakuan 1:0, dan 0:0.
86
Tabel 6 Komposisi asam lemak (% dari total asam lemak) larva ikan betok pada awal dan umur 12 hari yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri Perlakuan Larva Asam lemak awal A(0:0) B(1:0) C(0:1) D(1:1) E(1:3) F(3:1) 12:0
0
0
0
0,10
0
0
0
14:0
0,32
0,65
0,53
0,48
0,00
0,47
0,49
16:0
5,38
17,52
17,50
16,26
21,45
14,19
17,53
18:0
1,66
8,51
8,19
11,34
17,81
8,82
9,85
20:0
0,07
1,18
0
0,47
0
0,75
1,35
14:1
0
0,31
0,24
0,23
0
0,23
0,25
16:1
5,90
3,56
3,49
3,28
1,62
4,60
3,63
18:1
56,05
49,80
50,72
41,62
29,25
49,48
49,26
20:1
0
0,36
0
0
0
0
0
18:2n-6
20,77
14,03
15,62
13,32
9,49
14,51
12,23
18:3n-3
1,09
1,81
1,17
3,99
2,86
2,66
2,03
20:4n-6
0,53
0,82
0,93
2,77
6,20
1,53
1,21
20:5n-3
0,19
0,33
0,38
0,87
0,99
0,36
0,32
22:6n-3
2,92
1,12
1,23
5,27
10,33
2,40
1,85
Total n-3
4,20
3,26
2,78
10,13
14,18
5,42
4,20
Total n-6
21,30
14,85
16,55
16,09
15,69
16,11
13,44
n-3/n-6
0,20
0,23
0,17
0,63
0,90
0,34
0,31
DHA/EPA
15,37
3,39
3,24
6,06
10,43
6,67
5,78
Total lemak
42,3
5,6
20,3
12,9
19,1
10,7
24,3
87
Gambar 28 Tingkat ekspresi gen elongase (1), desaturase (2), dan β-aktin (3) serta rasio ekspresi mRNA elongase ( ) dan desaturase ( ) dengan βaktin (4) pada larva ikan betok pada beberapa kombinasi minyak jagung dan minyak kemiri yang diberi pada rotifera. M: marker; A: 0,0; B: 1,0; C : 0,1; D: 1:1; E : 3:1; F: 1,3; K- : kontrol negatif. Pembahasan Pemberian minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 1:1 melalui rotifera untuk larva ikan betok dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva sekitar 1,8 kali lipat dari kontrol. Hasil perlakuan ini juga sekitar satu setengah kali lebih tinggi dari pemeliharaan larva ikan betok selama 2 minggu dipelihara di kolam yang diberi pakan alami tanpa pengkayaan (Widodo et al. 2007). Dengan demikian, produksi benih ikan betok dapat ditingkatkan melalui pengkayaan pakan alami yang diberikan. Peningkatan kelangsungan hidup larva yang lebih tinggi pada perlakuan yang diberi pengkayaan tanpa memperhatikan komposisi asam lemak esensialnya diduga terkait dengan kandungan total lemak yang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan kontrol.
Kandungan lemak yang lebih tinggi ini dapat digunakan
sebagai sumber energi bagi ikan untuk berenang dan hidup selain untuk tumbuh dan berkembangbiak (Tocher 2003).
Selanjutnya, Garcia et al. (2008) yang
menyatakan bahwa pengkayaan rotifera dan Artemia untuk larva ikan Atlantic cod akan meningkatkan kandungan total lemak larva untuk tumbuh dan hidup. Selain itu, kelangsungan hidup larva yang lebih tinggi pada perlakuan yang diberi pengkayaan juga diduga terkait dengan komposisi asam lemak n-3 dan n-6 tubuh larva terutama kandungan ARA dan DHA. Menurut Tocher (2003), kandungan DHA dan EPA berfungsi sebagai komponen utama fosfolipid
88
membran yang membantu fluiditas membran sel. Meningkatnya kandungan asam lemak tersebut menyebabkan peningkatan fluiditas membran sel dan pada akhirnya meningkatkan kelangsungan hidup larva. Oleh sebab itu, HUFA yang tinggi memberikan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang lebih tinggi pula seperti halnya ketika rasio DHA:EPA yang tinggi. Contohnya, rasio DHA:EPA yang tinggi pada larva Atlantic cod diduga mempunyai hubungan yang erat dengan tingginya kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva (Garcia et al. 2008). Buzzi et al. (1997) juga melaporkan bahwa rasio DHA:EPA yang tinggi menyebabkan suksesnya pigmentasi pada ikan turbot selain kelangsungan hidup dan pertumbuhan ketahanan stres pada larva ikan seperti yang dilaporkan oleh Izquierdo (1996), dan Sargent et al. (1999a).
Selain itu, rasio DHA:EPA yang
tinggi menyebabkan suksesnya pigmentasi pada ikan turbot (Buzzi et al. 1997) dan daya tahan terhadap stres pada larva (Sargent et al. 1999a). Selanjutnya, kelangsungan hidup yang tinggi pada perlakuan 1:1 juga diduga karena asam lemak mono tak jenuh telah digunakan sebagai sumber energi oleh larva. Hal ini terlihat dari kandungan mono tak jenuh yang lebih rendah dibandingkan perlakuaan lainnya (Tabel 6). Tocher (2003) menyatakan bahwa asam lemak mono tak jenuh merupakan sumber energi yang potensial untuk ikan. Pada Tabel 3 minyak jagung dan minyak kemiri tidak mengandung ARA, EPA dan DHA. Pada perlakuan 0:0 (Tabel 6), tubuh larva mengandung ARA, EPA, DHA, karena pakan kontrol yang diberikan juga mengandung asam lemak tersebut. Hal ini didukung oleh Watanabe et al. (1983) yang menyatakan bahwa profil asam lemak pakan menentukan komposisi asam lemak tubuh ikan. Walaupun demikian, kandungan ARA, EPA dan DHA larva pada perlakuan 1:1 lebih tinggi daripada kandungan asam lemak ini pada rotifera. Dengan demikian, diduga bahwa larva ikan betok dapat membiosintesis asam lemak tersebut dari substrat LA dan LNA, tetapi ketika sedikit atau tanpa adanya n-3 kemampuan larva ikan betok membiosintesis ARA dari LA menjadi sangat rendah atau tidak ada.
Hal ini dibuktikan juga pada perlakuan pengkayaan yang mengalami
peningkatan kandungan ARA dan DHA yang lebih tinggi (0:1, 1:1, dan 1:3) dibandingkan pakan kontrol atau pun larva pada perlakuan kontrol.
89
Pemberian minyak jagung dan minyak kemiri untuk larva ikan betok dapat juga meningkatkan ekspresi gen penyandi enzim elongase, dan desaturase. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi gen tersebut diinduksi oleh minyak jagung, dan minyak kemiri. Ekspresi gen elongase dan desaturase lebih tinggi pada larva ikan betok yang memangsa rotifera yang diperkaya minyak dengan kandungan n-3 yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa larva ikan betok yang memangsa rotifera yang diperkaya minyak dengan kandungan n-3 yang lebih banyak memiliki aktivitas elongase dan desaturase yang tinggi pula, terlihat jelas pada perlakuan 0:1, 1:1, 1:3 dan 3:1, dibandingkan perlakuan 1:0 dan kontrol (0:0). Hal ini didukung oleh Corraze (2001), Hasting et al. (2001), Tocher (2003) dan Zheng et al. (2004a) yang menyatakan bahwa afinitas enzim desaturase lebih tinggi terdapat n-3 daripada n-6. Oleh sebab itu, aktivitas enzim untuk jalur desaturasi lebih tinggi untuk substrat n-3 daripada n-6. Demikian pula, aktivitas elongase pada ikan umumnya lebih tinggi terhadap substrat n-3 daripada n-6 (Hasting et al. 2001; Agaba et al. 2005; Morais et al. 2009) sehingga biosintesis n-3 lebih aktif daripada n-6 pada ikan tawar ataupun ikan laut.
Oleh sebab itu, larva pada perlakuan 0:1, 1:1, 1:3, 3:1
mengakumulasi DHA lebih tinggi, dibandingkan perlakuan 1:0 dan kontrol. Bukti lainnya bahwa afinitas enzim terhadap n-3 lebih tinggi adalah kandungan ARA lebih kecil walaupun kandungan LA yang tinggi atau dengan kata lain biosintesis ARA dari LA jauh lebih kecil daripada biosintesis DHA dari LNA (Tabel 6). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas desaturase dan elongase lebih tinggi pada substrat n-3 daripada n-6. Demikian pula, peningkatan ekspresi gen desaturase dan elongase terjadi secara signifikan pada pemberian minyak nabati lain seperti minyak linseed sebagai sumber LNA untuk ikan Atlantic salmon (Zheng et al. 2004b) dan ikan rainbow trout (Seiliez et al. 2001), dan minyak flaxseed sebagai sumber LNA/LA untuk kerang abalon (Mateos et al. 2011) karena aktivitas desaturase dan elongase dipengaruhi oleh asam lemak esensial pakan sebagai substrat (Zheng et al. 2004b; 2005b). Pada penelitianpenelitian ini juga terlihat bahwa afinitas aktivitas enzim biosintesis HUFA lebih tinggi pada substrat n-3 daripada n-6.
90
Selanjutnya, peningkatan ARA, EPA dan DHA juga diduga terkait pada enzim D6D dan/atau D5D, serta enzim elongase yang bekerja pada semua level. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kandungan ARA dan DHA yang meningkat tajam pada perlakuan 1:1 dibandingkan dengan 1:0, 0:1, 1:3 dan 3:1. Diduga bahwa rasio pada perlakuan 1:1 merupakan rasio n-6/n-3 optimal untuk larva ikan betok dengan rasio LA:LNA adalah 1,03:1,00 (Tabel 4). Menurut Takeuchi & Watanabe (1977) bahwa rasio LA:LNA yang optimal untuk benih ikan mas adalah 1:1 yang memberikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan terbaik, relatif sama seperti yang dilaporkan pada penelitian ini.
Sedangkan
perlakuan 0:1 dengan rasio LA:LNA yakni 1,00:1,22, dan perlakuan 1:3 dengan rasio LA:LNA yakni 1,00:1,09 (Tabel 4) terjadi kelebihan LNA tetapi kekurangan LA, sebaliknya perlakuan 1:0 dengan rasio LA:LNA yakni 1,38:1,00, dan perlakuan 3:1 dengan rasio LA:LNA yakni 1,18:1,00 (Tabel 4) terjadi kekurangan LNA tetapi kelebihan LA sehingga pada kandungan ARA dan DHA lebih rendah pada perlakuan-perlakuan tersebut karena ketidakseimbangan antara LA dan LNA. Selanjutnya, menurut Corraze (2001), perlu keseimbangan antara n-3 dan n-6.
Ketika ketidakseimbangan terjadi terlalu lama, maka pengaruh negatif
terjadi. Kelebihan n-3 akan mempengaruhi pemanfaatan n-6 atau sebaliknya sehingga membahayakan ikan.
Contohnya, kelebihan n-3 pada ikan trout
menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan dan efisiensi pakan, selain penurunan ukuran hati tetapi peningkatan kadar air tubuh.
Selanjutnya,
kekurangan asam lemak HUFA pada larva ikan dapat mengakibatkan rendahnya aktivitas makan dan berenang, rendahnya pertumbuhan dan meningkatnya mortalitas, pembengkakan hati, abnormalitas pigmentasi, disgregrasi epitel insang, rendahnya kekebalan tubuh, dan peningkatan level kortisol (Izquierdo 1996; Izquierdo et al. 2008). Hal ini juga didukung oleh Tocher (2003) menyatakan bahwa rasio n-3/n-6 pada pakan juga memacu enzim untuk mendesaturasi dan mengelongasi LNA dan LA berjalan dengan baik, dan pada akhirnya kandungan DHA dan ARA menjadi tinggi seperti pada perlakuan 1:1.
91
Simpulan Ikan betok mampu melakukan desaturasi dan elongasi PUFA n-3 menjadi HUFA n-3, tetapi kurang atau tidak mampu melakukan desaturasi dan elongasi PUFA n-6 menjadi HUFA n-6 ketika substrat n-3 sedikit atau tidak ada. Minyak jagung dan minyak kemiri dapat digunakan sebagai sumber asam lemak linoleat dan asam lemak linolenat dalam pengkayaan rotifera untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan betok. Kelangsungan hidup larva, kadar ARA, EPA, DHA tertinggi diperoleh pada pengkayaan minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 1:1. Kelangsungan hidup larva yang tinggi terkait dengan kandungan EPA, ARA dan DHA yang tinggi.
92
93
PEMBAHASAN UMUM Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) adalah ikan perairan tawar yang dikelompokkan ke dalam famili Anabantidae, sekelompok dengan ikan gurami (Osphronemus goramy) dan ikan sepat (Trichogaster sp.). Ikan ini merupakan salah satu ikan ekonomis penting terutama di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang memiliki peluang untuk dikembangkan.
Ikan ini
terdapat pula di daerah Sumatera, Jawa dan Sulawesi, serta di Asia Tenggara daratan (Kottelat et al. 1993). Ikan betok sudah dapat dipijahkan dan dipelihara pada wadah budidaya (Trieu & Long 2001; Phuong et al. 2001; Widodo et al. 2007; Morioka et al. 2009; Yulintine et al. 2010), tetapi kelangsungan hidup larva yang dipelihara selama satu bulan masih rendah di bawah 20% (Trieu & Long 2001; Morioka et al. 2009). Pada studi ini, kelangsungan hidup larva ikan betok yang dipelihara selama 2 minggu dapat meningkat menjadi lebih dari 70%, hampir 2 kali lebih tinggi daripada yang telah dilaporkan oleh Widodo et al. (2007). Meskipun demikian, tahapan pendederan dalam rangka mencapai tingkat produksi benih yang tinggi dengan kualitas yang tinggi pula masih mengalami beberapa kendala karena masih banyak informasi yang belum dikaji, dan ada beberapa informasi telah diperoleh. Upaya peningkatan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan betok merupakan fokus penelitian ini yang meliputi 4 bagian penelitian. Pada Penelitian 1, larva ikan betok saat baru menetas mempunyai saluran pencernaan yang masih sederhana dan belum berdiferensiasi. Seiring meningkatnya umur larva, saluran pencernaan larva ini juga berkembang dan pada hari kedua setelah menetas bersamaan larva mulai makan eksogenus saluran ini sudah terdiferensiasi tetapi belum sempurna. Pada hari ke-20 setelah menetas, lambung sudah berkembang dengan baik.
Hal ini menunjukkan
lambung telah berfungsi terutama pada hari ke-25 setelah menetas sudah terbentuknya filorik kaeka. Fungsi filorik kaeka adalah meningkatkan pencernaan dan penyerapan tanpa meningkatkan ukuran usus yang menandakan lambung sudah fungsional selain adanya kelenjar pencernaan pada lambung (Stroband & Kroon 1981) karena filorik kaeka muncul berarti proses diferensiasi saluran
94
pencernaan sudah selesai. Perkembangan saluran pencernaan ikan betok yang demikian adalah seiring perkembangan stadia ikan seperti perkembangan larva ikan-ikan yang berukuran kecil lainnya yang mempunyai kuning telur yang sedikit (Walford & Lam 1993; Pena et al. 2003; Gisbert et al. 2004; Chen et al. 2006a; Ibrahim et al. 2006; Micale et al. 2006; Onal et al. 2008). Selanjutnya, larva ikan betok dapat dikategorikan pada kelompok larva atricial gastric karena larva ini dapat makan eksogenus jauh sebelum lambungnya fungsional (Rust 2002). Oleh sebab itu, diduga bahwa masa antara pertama makan eksogenus dengan lambung sempurna merupakan masa yang kritis untuk kelangsungan dan pertumbuhan ikan betok. Berdasarkan informasi perkembangan saluran pencernaan ini pula, ikan betok berumur 25 hari sudah dapat disapih untuk dibesarkan lebih lanjut. Informasi ini juga didukung oleh informasi dari Penelitian 2. Hampir semua enzim pencernaan yang diukur ketika umur larva 25 hari sudah relatif stabil. Hal ini mencerminkan bahwa pada saat itu sistem saluran pencernaan telah berfungsi dan siap mendukung proses pencernaan baik dilihat dari segi morfologi maupun aktivitas enzim yang terlibat. Selanjutnya, aktivitas enzim α-amilase terdeteksi tinggi pada awal-awal fase larva sebelum larva memangsa rotifera. Hal ini menunjukkan bahwa enzim α-amilase merupakan enzim endogenus larva ikan betok. Seiring meningkatnya umur larva, terjadi penurunan aktivitas enzim α-amilase. Hal ini juga menunjukkan bahwa kontribusi enzim eksogenus dari rotifera yang diberikan diduga sangat rendah.
Hal ini didukung oleh Muskita (2006) yang menyatakan
bahwa aktivitas enzim amilase pada rotifera sangat rendah yakni 0,0010 unit/menit/gram atau 0,0010 mU/menit/mg. Demikian pula, aktivitas enzim lipase terdeteksi tinggi pada awal-awal fase larva sebelum larva memangsa rotifera. Hal ini menunjukkan bahwa enzim lipase merupakan enzim endogenus larva ikan betok, dan diduga kontribusi enzim eksogenus dari rotifera juga kecil pada fasefase awal hidup larva. Menurut Muskita (2006), aktivitas enzim lipase pada rotifera juga rendah yakni 0,4974 unit/menit/gram atau 0,4974 mU/menit/mg. Di samping itu, perkembangan saluran pencernaan dengan aktivitas enzim terlihat juga memiliki keterkaitan. Larva ikan betok memiliki enzim α-amilase yang tinggi pada awal-awal fase larva sehingga diduga kandungan gula darah tinggi dan
95
diduga proses regulasi gula darah oleh hormon insulin juga berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan adanya pulau Langerhan pada pankreas larva ikan betok umur 4 hari setelah menetas (Penelitian 1) sebagai penyedia insulin. Berdasarkan informasi dari Penelitian 1 dan 2, ikan betok dapat makan eksogenus pada umur 2 hari. Rotifera air tawar yang mempunyai ukuran rata-rata 125-200 µm merupakan pakan awal yang cocok diberikan untuk larva ikan betok pada saat pertama makan eksogenus tersebut karena bukaan mulut maksimum larva pada saat itu sekitar 380 μm. Selanjutnya, ikan betok sudah dapat makan pakan buatan pada umur 25 hari. Namun demikian, ada beberapa informasi belum sepenuhnya diketahui. Informasi tentang enzim lain yang terlibat dalam proses pencernaan selain α-amilase, lipase, tripsin, kimotripsin dan pepsin belum ada. Enzim-enzim kunci lainnya dalam proses pencernaan juga perlu diketahui dalam rangka lebih memahami pencernaan larva ikan betok lebih dalam lagi. Informasi lainnya juga perlu diketahui adalah keberadaan hormon-hormon yang terlibat dalam proses pencernaan larva/juvenil ikan betok. Setelah diketahui bahwa rotifera air tawar cocok untuk pakan awal ikan betok, maka perlu upaya peningkatan kandungan gizi pakan alami tersebut. Salah satu nutrien yang perlu untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan betok adalah asam lemak esensial yaitu asam lemak n-6 dan n-3 karena ikan seperti halnya hewan vertebrata lainnya tidak dapat membiosintesis kedua seri asam lemak ini. Namun, ikan bervariasi kemampuannya untuk membiosintesis asam lemak n-6 dan n-3 dari C18.
Pada umumnya ikan air tawar dapat
membiosintesis asam lemak tersebut menjadi HUFA yang sangat diperlukan terutama pada fase larva. Oleh sebab itu, penelitian tahap 4 untuk mengetahui kemampuan larva ikan betok untuk mengkonversi asam lemak C18 seri n-6 dan n3 dalam rangka meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva. Adapun sumber asam lemak LA dan LNA yang digunakan adalah minyak jagung dan minyak kemiri. Kedua jenis minyak ini diberikan kepada larva ikan betok melalui rotifera selama fase larva memangsa rotifera dari hari ke-2 sampai hari ke-12 setelah menetas. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian jenis pakan pasca pemberian rotifera sampai ikan dapat diberi pakan buatan, serta uji lebih lanjut pakan buatan untuk ikan berumur lebih dari 25 hari.
96
Untuk mengetahui kemampuan ikan betok dalam membiosintesis LA dan LNA menjadi HUFA seri n-6 dan n-3 seperti ARA, EPA dan DHA, aktivitas enzim yang terlibat dalam biosintesis HUFA ini perlu dikaji tetapi cara ini agak sulit dilakukan sehingga pada penelitian ini dilakukan pendekatan secara molekuler yaitu dengan melihat ekspresi gen penyandi enzim yang terlibat dalam biosintesis tersebut. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan Penelitian 3, maka dilakukan penelitian kloning gen penyandi enzim biosintesis HUFA untuk mendapatkan sekuens spesifik ikan betok. Pada Penelitian 3 ini, pemberian rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 1:1 untuk larva ikan betok dapat meningkatkan ekspresi gen desaturase dan elongase yang terlibat dalam biosintesis HUFA.
Berdasarkan ekspresi gen, komposisi asam lemak
pakan kontrol, komposisi asam lemak larva ikan betok bahwa gen desaturase hasil isolasi memiliki aktivitas D6D dan D5D. Namun demikian, kemiripan sekuen nukleotida D6D dan D5D sangat tinggi, dan berdasarkan dendrogram, sekuens gen desaturase hasil isolasi lebih mirip ke D6D. Oleh sebab itu, pengujian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan bahwa gen desaturase hasil isolasi termasuk D6D atau D5D atau memiliki aktivitas keduanya seperti pada ikan zebra (Hasting et al. 2001). Demikian pula, gen elongase hasil isolasi memiliki aktivitas pada semua level dan berdasarkan dendrogram, sekuens gen elongase hasil isolasi lebih mirip ke Elovl5.
Oleh sebab itu, pengujian lebih lanjut diperlukan pada ikan
betok untuk membuktikan bahwa elongase hasil isolasi termasuk satu jenis atau dua jenis (Elovl5 dan Elovl2) seperti pada ikan Atlantic salmon (Morais et al. 2009). Gen desaturase lain yang juga berperan dalam biosintesis HUFA yaitu D4 desaturase (D4D) yang mendesaturasi langsung 22:5n-3 menjadi DHA (Gambar 3) masih belum diketahui sehingga perlu dikaji juga. D4D dilaporkan terdapat pada mikroalga Thraustochytrium sp. (Qiu et al. 2001) dan ikan beronang (Siganus canaliculatus) (Li et al. 2010). Pengkajian tentang enzim-enzim yang belum diketahui pasti perlu dilakukan supaya dapat mempelajari jalur biosintesis HUFA dengan lebih baik (Hasting et al. 2005). Di samping itu, gen-gen penyandi enzim untuk biosintesis HUFA ini dapat digunakan pada akuakultur melalui teknologi transgenik dengan cara menyisipkan gen-gen tersebut kepada ikan-ikan yang tidak mampu membiosintesis HUFA sehingga substitusi minyak ikan
97
dengan minyak nabati menjadi lebih efisien dan kualitas daging ikan tetap tinggi HUFA yang bermanfaat untuk kesehatan manusia (Bell et al. 2003a; Alimuddin 2005; Brouwer et al. 2006).
98
99
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Pada hari kedua setelah menetas larva ikan betok mengalami diferensiasi alat pencernaan yaitu bukofaring, esofagus, usus dan rektum, pada hari ke-25 setelah menetas terjadi transisi fase larva menjadi juvenil ditandai dengan munculnya filorik kaeka dan stabilnya enzim-enzim pencernaan.
2.
Ikan betok memiliki kemampuan mendesaturasi dan mengelongasi n-3, tetapi kemampuan mendesaturasi dan mengelongasi n-6 sangat rendah atau tidak ada ketika substrat n-3 sedikit.
3.
Pemberian rotifera yang diperkaya dengan minyak jagung dan minyak kemiri dengan rasio 1:1 menghasilkan kelangsungan hidup larva ikan betok hampir dua kali lipat dibanding kontrol (rotifera tanpa pengkayaan).
Saran 1.
Larva ikan betok sebaiknya diberi rotifera diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri mulai hari kedua setelah menetas.
2.
Perlu diteliti pakan juvenil yang memiliki komposisi mirip rotifera yang diperkaya.
3.
Perlu diteliti pemanfaatan gen elongase dan desaturase untuk rekayasa genetik.
100
101
DAFTAR PUSTAKA Ackman RG. 2008. Fatty Acids in Fish and Shellfish. Di dalam: Chow CK, editor. Fatty Acids in Foods and their Health Implications. USA. 1296 pp. Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan: Pencernaan dan Penyerapan Makanan. Bogor: IPB Press. 240 hal. Agaba M, Tocher DR, Dickson CA, Dick JR, Teale AJ. 2004. Zebrafish cDNA encoding multifunctional fatty acid elongase involved in production of icosapentaenoic (20:5n-3) and docosahexaenoic (22:6n-3) acids. Marine Biotechnol 6:251-261. Agaba M, Tocher DR, Dickson CA, Zheng X, Dick JR, Teale AJ. 2005. Cloning and functional characterisation of polyunsaturated fatty acid elongases from marine and freshwater teleost fish. Comp Biochem Physiol 142B: 342–352. Alimuddin, Kiron V, Satoh S, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2008. Cloning and over-expression of a masu salmon (Oncorhynchus masou) fatty acid elongase-like gene in zebrafish. Aquaculture 282:13–18. Alimuddin, Yoshizaki G, Kiron V, Satoh S, Takeuchi T. 2007. Enhancement of EPA and DHA biosynthesis by over-expression of masu salmon Δ6desaturase-like gene in zebrafish. Transgenic Res 14:159–165. Alimuddin. 2005. Modification of fatty acid metabolic pathway by transgenic technology in fish [A thesis]. Tokyo : Department of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. Alvarez-Gonzalez CA, Cervantes-Trujano M, Tovar-Ramırez D, Conklin DE, Nolasco H, Gisbert E, Piedrahita R. 2006. Development of digestive enzymes in California halibut Paralichthys californicus larvae. Fish Physiol Biochem 31:83–93 Alvarez-Gonzalez CA, Moyano-Lopez FJ, Civera-Cerecedo R, Carrasco-Chavez V, Ortiz-Galindo JL, Dumas S. 2008. Development of digestive enzyme activity in larvae of spotted sand bass Paralabrax maculatofasciatus. 1. Biochemical analysis. Fish Physiol Biochem 34:373–384. Arimoro FO. 2006. Culture of the freshwater rotifer, Brachionus calyciflorus, and its application in fisf larviculture technology. African J Biotech 5(7): 536-541. Barlow S. 2000. Fishmeal and fish oil: sustainable feed ingredients for aquafeeds. Glob Aquac Adv 3:85–86. Bell JG, McEvoy J, Tocher DR, McGhee F, Campbell PJ and Sargent JR. 2001. Replacement of fish oilwith rape seed oil in diets of Atlantic salmon (Salmo salar) affects tissue lipid compositions and hepatocyte fatty acid metabolism. J Nutr 131:1535–1543. Bell JG, McGhee F, Campbell PJ and Sargent JR. 2003a. Rapeseed oil as an alternative to marine fish oil in diets of post-molt Atlantic salmon (Salmo salar) changes in flesh fatty acid composition and effectiveness of subsequent fish oil ‘wash out’. Aquaculture 218:515–528. Bell JG, Strachan F, Good JE, Tocher DR. 2006. Effect of dietary Echium oil on growth, fatty acid composition and metabolism, gill prostaglandin
102
production and macrophage activity in Atlantic cod (Gadus morhua L.). Aquac Res 37:606–617. Bell JG, Tocher DR, Henderson RJ, Dick JR, Crampton VO. 2003b. Altered fatty acid compositions in Atlantic salmon (Salmo salar) fed diets containing linseed and rapeseed oils can be partially restored by a subsequent fish oil finishing diet. J Nutr 133:2793–2801. Bengtson DA. 2003. Status of Marine Aquaculture in Relation to Live Prey: Past, Present and Future. Di dalam: Stottrup J, McEvoy LA, editor. Live Feeds in Marine Aquaculture. Oxford : Blackwell Publishing. 336 pp. Benítez-Santana T, Masuda R, Carrillo EJ, Ganuza E, Valencia A, Hernández Cruz CM, Izquierdo MS. 2007. Dietary n-3 HUFA deficiency induces a reduced visual response in gilthead seabream Sparus aurata larvae. Aquaculture 264: 408–417. Binoy VV, Thomas KJ. 2004. The climbing perch (Anabas testudineus Bloch) a freshwater fish, prefers larger unfamiliar shoals to smaller familiar shoals. Current Sci 86 (1) : 207-211. Borlongan IG. 1990. Studies on the digestive lipases of milkfish, Chanos chanos. Aquaculture 89:315–325. Boulhic M, Gabaudan J. 1992. Histological study of the organogenesis of the digestive system and swim bladder of the dover sole, Solea solea (Linnaeus, 1758). Aquaculture 102:373-396. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal Biochem 72:248–254. Brouwer IA, Geelen A, Katan MB. 2006. Omega-3 (n-3) fatty acids, cardiac arrhythmia and fatal coronary heart disease. Prog Lipid Res 45:357–367. Buzzi M, Henderson RJ, Sargent JR. 1997. Biosynthesis of docosahexaenoic acid in trout hepatocytes proceeds via 24-carbon intermediates. Comp Biochem Physiol 116B (2):263–267. Cahu CL, Zambonino Infante JL. 1994. Early weaning of sea bass (Dicentrarchus labrax) larvae with a compound diet: effect on digestive enzymes. Comp Biochem Physiol 109A:213–222. Castell JD. 1979. Review of Lipid Requirements of Finfish. Di dalam: Halver JE, Tiews K, editor. Finfish Nutrition and Fishfeed Technology : Volume I. Canada. 593 pp. Chen BN, Qin JG, Carragher JF, Clarke SM, Kumar MS, Hutchinson WG. 2007. Deleterious effects of food restrictions in yellowtail kingfish Seriola lalandi during early development. Aquaculture 271:326–335. Chen BN, Qin JG, Kumar MS, Hutchinson W, Clarke S. 2006a. Ontogenetic development of the digestive system in yellowtail kingfish Seriola lalandi larvae. Aquaculture 256:489-501. Chen BN, Qin JG, Kumar MS, Hutchinson WG, Clarke SM. 2006b. Ontogenetic development of digestive enzymes in yellowtail kingfish Seriola lalandi larvae. Aquaculture 260:264–271. Cho SH, Hur SB, Jo JY. 2001. Effect of enriched live feeds on survival and growth rates in larval Korean rock®sh, Sebastes schlegeli Hilgendorf. Aquac Res 32:199-208.
103
Chong ASC, Hashim R, Chow-Yang L, Ali AB. 2002. Partial characterization and activities of proteases from the digestive tract of discus fish (Symphysodon aequifasciata). Aquaculture 203:321–333. Chotipuntu P, Avakul P. 2010. Aquaculture potential of climbing perch, Anabas testudineus, in brackish water. Walailak J Sci Tech 7(1): 15‐21. Comabella Y, Mendoza R, Aguilera C, Carrillo O, Hurtado A, Garcıa-Galano T. 2006. Digestive enzyme activity during early larval development of the Cuban gar Atractosteus tristoechus. Fish Physiol Biochem 32:147–157. Corraze G. 2001. Lipid Nutrition. Di dalam : Guillaume J, Kaushik S, Bergot P, Metailler R, editor. Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. Chichester:UK. 408 pp. Cousin JB, Baudin-Laurencin F, Gabaudan J. 1987. Ontogeny of enzymatic activities in fed and fasting turbot, Scophthalmus maximus L. J Fish Biol 30:15–33. Cuvier-Peres A, Kestemont P. 2002. Development of some digestive enzymes in Eurasian perch larvae Perca fluviatilis. Fish Physiol Biochem 24:279–285. Dhert P, Rombaut G, Suantika G, Sorgeloos P. 2001. Advancement of rotifer culture and manipulation techniques in Europe. Aquaculture 200 : 129146. Dhert P. 1996. Rotifers. Di dalam: P. Lavens P, Sorgeloos P, editor. Manual on the production and use of live food for aquaculture. Rome: FAO Fisheries Technical Paper No. 361. 295 pp. Dhont J, Van Stappen G. 2003. Biology, Tank Production and Nutritional Value of Artemia. Di dalam: Stottrup J, McEvoy LA, editor. Live Feeds in Marine Aquaculture. Oxford : Blackwell Publishing. 336 pp. Drossou A, Ueberschär B, Rosenthal H, Herzig K-H. 2006. Ontogenetic development of the proteolytic digestion activities in larvae of Oreochromis niloticus fed with different diets. Aquaculture 256:479–488. Edmondson WT. 1959. Freshwater Biology. New York : John Wiley & Sons, Inc. 1248 pp. Effendi R. 1995. Perkembangan enzim percernaan larva ikan betutu, Oxyeleotris marmorata (Blkr.) yang dipelihara pada cahaya normal dan teduh [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Erlanger BF, Kokorsky N, Cohen W. 1961. The preparation and properties of two new chromogenic substrates of trypsin. Arch Biochem Biophysics 96: 271-278. Estevez A, McEvoy LA, Bell JG, Sargent JR. 1999. Growth, survival, lipid composition and pigmentation of turbot (Scophthalmus maximus) larvae fed live-prey enriched in arachidonic and eicosapentanoic acids. Aquaculture 180: 321-343. FAO. 2004. The state of the world fisheries and aquaculture. Rome: FAO. Faulk CK, Holt GJ, Davis DA. 2005. Evaluation of fatty acid enrichment of live food for yellowtail snapper Ocyurus chrysurus larvae. J World Aquac Soc 36(3) : 271-281. Folch J, Lees M, Sloane-Stanley GH. 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissues. J Biol Chem 226: 497– 509.
104
Garcia AS, Parrish CC, Brown JA. 2008. Use of enriched rotifers and Artemia during larviculture of Atlantic cod (Gadus morhua Linnaeus, 1758): effects on early growth, survival and lipid composition. Aquacul Res 39: 406-419. Gawlicka A, Parent B, Horn MH, Ross N, Opstad I, Torrissen OJ. 2000. Activity of digestive enzymes in yolk-sac larvae of Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus): indication of readiness for first feeding. Aquaculture 184:303–314. Gerking SD. 1994. Feeding Ecology of Fish. Tokyo : Academic Press. 416 pp. Ghioni C, Tocher DR, Bell MV, Dick JR, Sargent JR. 1999. Low C18 to C20 fatty acid elongase activity and limited conversion of stearidonic acid, 18:4(n-3), to eicosapentaenoic acid, 20:5(n-3), in a cell line from the turbot, Scophthalmus maximus. Biochim Biophys Acta 1437: 170-181. Gisbert E, Piedrahita RH, Conklin DE. 2004. Ontogenetic development of the digestive system in California halibut (Paralichthys californicus) with notes on feeding practices. Aquaculture 232: 455-470. González-Rovira A, Mourente G, Zheng X, Tocher DR, Pendón C. 2009. Molecular and functional characterization and expression analysis of a Δ6 fatty acyl desaturase cDNA of European Sea Bass (Dicentrarchus labrax L.). Aquaculture 298: 90–100. Gunstone FD, Harwood JL. 2007. Occurrence and Characterisation of Oils and Fats. Di dalam : Gunstone FD, Harwood JL, Dijkstra AJ, editor. The Lipid Handbook 3rd . USA. 1472 pp. Haga Y, Tarui F, Ohta K, Shima Y, Takeuchi T. 2006. Effect of light irradiation on dynamics of vitamin A compounds in rotifers and Artemia. Fish Sci 72: 1020-1026. Hagiwara A, Gallardo WG, Assavaaree M, Kotani T, de Araujo AB. 2001. Live food production in Japan: recent progress and future aspect. Aquaculture 200: 111-127. Hamza N, Mhetli M, Kestemont P. 2007. Effects of weaning age and diets on ontogeny of digestive activities and structures of pikeperch (Sander lucioperca) larvae. Fish Physiol Biochem 33:121–133. Hamza N, Mhetli M, Khemis IB, Cahu C, Kestemont P. 2008. Effect of dietary phospholipid levels on performance, enzyme activities and fatty acid composition of pikeperch (Sander lucioperca) larvae. Aquaculture 275: 274-282. Hastings N, Agaba M, Tocher DR, Leaver MJ, Dick JR, Sargent JR, Teale AJ. 2001. A vertebrate fatty acid desaturase with Δ5 and Δ6 activities. Proc Natl Acad Sci U. S. A. 98:14304–14309. Hastings N, Agaba M, Tocher DR, Zheng X, Dickson CA, Dick JR, Teale AJ. 2005. Molecular cloning and functional characterization of fatty acyl desaturase and elongase cDNAs involved in the production of eicosapentaenoic and docosahexaenoic acids from α-linolenic acid in Atlantic salmon (Salmo salar). Marine Biotechnol 6:463–474. Heming TA, Buddington RK. 1988. Yolk absorption in embryonic and larval fishes. Di dalam: Fish Physiology. Vol. XI Part A. Eds. Hoar WS, Randall DJ, Brett JR, pp 407-466. Academic Press. London. 546 pp.
105
Ibrahim FS, Rana KJ, Goddard JS, Al Amri IS. 2006. Morphological development of post hatch larval goldlined seabream Rhabdosargus sarba (Forskal, 1775). Aquac Res 37 : 1156-1164. Izquierdo MS, Obach A, Arantzamendi L, Montero D, Robaina L, Rosenlund G. 2003. Dietary lipid sources for seabream and seabass : growth performance, tissue composition and flesh quality. Aquacul Res 9 : 397407. Izquierdo MS, Robaina L, Juarez-Carrillo E, Oliva V, Hernandez-Cruz CM, Afonso JM. 2008. Regulation of growth, fatty acid composition and delta 6 desaturase expression by dietary lipids in gilthead seabream larvae (Sparus aurata). Fish Physiol Biochem 34:117-127. Izquierdo MS. 1996. Essential fatty acid requirements of cultured marine fish larvae. Aquac Nutr 2:183–191. Jakobsson A, Westerberg R, Jacobsson A. 2006. Fatty acid elongases in mammals: their regulation and roles in metabolism. Prog Lipid Res 45:237–249. Jobling M. 2001. Feed Composition and Analysis. Di dalam : Houlihan D, Boujard T, Jobling M, editor. Food Intake in Fish. Oxford : Blackwell Publishing. 442 pp. Jusadi D, Takeuchi T, Seikai T, Watanabe T. 1995. Hypervitaminosis and safe levels of vitamin A for larval flounder (Paralichthys olivaceous) fed Artemia nauplii. Aquaculture 133: 135-146. Jusadi D. 1997. A study on the effect of overdoses of dietary vitamin A on larval Japanese flounder (Paralichthys olivaceous) [A thesis]. Tokyo : Department of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. Kamaci HO, Coban D, Suzer C, Saka S, Firat K. 2009. Development of the gastrointestinal tract in sharpsnout sea bream (Diplodus puntazzo) larvae: histological and enzymatic ontogeny. J Animals Vet Adv 8 (12): 25712579. Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi : Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 315 hal. Kolkovski S. 2001. Digestive enzymes in fish larvae and juveniles – implications and applications to formulated diets. Aquaculture 200: 181-201. Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi (ikan air tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi). Jakarta : Periplus Editions-Proyek EMDI. 293 pp. Kvåle A, Mangor-Jensen A, Moren M, Espe M, Hamre K. 2007. Development and characterisation of some intestinal enzymes in Atlantic cod (Gadus morhua L.) and Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus L.) larvae. Aquaculture 264: 457-68. Lazo JP, Dinis MT, Holt GJ, Faulk C, Arnold RA. 2000. Cofeeding microparticulate diets with algae: toward eliminating the need of zooplankton at first feeding in larval red drum (Sciaenops ocellatus). Aquaculture 188: 339-51. Li Y, Hu CB, Zheng YJ, Xia XA, Xu WJ, Wang SQ, Chen WZ, Sun ZW, Huang JH. 2008. The effects of dietary fatty acids on liver fatty acid composition and delta(6)-desaturase expression differ with ambient salinities in Siganus
106
canaliculatus. Comp Biochem Physiol B, Biochem Mol Biol 151 (2): 183190. Li Y, Monroig O, Zhang L, Wang S, Zheng X, Dick JR, You C, Tocher DR. 2010. Verebrate fatty acyl desaturase with Δ4 activity. PNAS 107 (39) : 16840-16845. Lim LC, Dhert P, Sorgeloos P. 2003. Recent developments in the application of live feeds in the freshwater ornamental fish culture. Aquaculture 227: 319-331. Lim LC, Wong CC. 1997. Use of the rotifer, Brachionus calyciflorus Pallas, in freshwater ornamental fish larviculture. Hydrobiologia 358 (1/3): 269273. Lubzens E, Tandler A, Minloff G. 1989. Rotifers as food in Aquaculture. Hydrobiologia 186/187: 387-400. Lubzens E, Zmora O, Barr Y. 2001. Biotechnology and aquaculture of rotifers. Hydrobiologia 446/447: 337-353. Lubzens E, Zmora O. 2003. Production and Nutritional Value of Rotifers. Di dalam: Stottrup J, McEvoy LA, editor. Live Feeds in Marine Aquaculture. Oxford : Blackwell Publishing. 336 pp. Lubzens E. 1987. Raising rotifers for use in aquaculture. Hydrobiologia 147: 245-255. Ludwig GM. 1993. Effects of Trichlorfon, Fenthion, and Diflubenzuron on the zooplankton community and on the production of the reciprocal-cross hybrid stripped bass fry in culture ponds. Aquaculture 110: 301-319. Ma HM, Cahu C, Zambonino Infante JL, Yu HR, Duan QY, Le Gall MM, Mai K. 2005. Activities of selected digestive enzymes during larval development of large yellow croaker (Pseudosciaena crocea). Aquaculture 245:239– 248. Marlida R. 2001. Kajian fisiologi pencernaan dan kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus Bloch) yang diberi pakan berbeda [Tesis]. Makassar : Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Martinez I, Moyano FJ, Fernandez C, Yufera M. 1999. Digestive enzyme activity during larval development of the Senegal sole (Solea senegalensis). Fish Physiol Biochem 21 : 317-323. Mateos HT, Lewandowski PA, Su XQ. 2011. Effects of dietary fish oil replacement with flaxseed oil on tissue fatty acid composition and expression of desaturase and elongase genes. J Sci Food Agric DOI 10.1002/jsfa.4594. Menoyo D, López-Bote CJ, Obach A, Bautista JM. 2005. Effect of dietary fish oil substitution with linseed oil on the performance, tissue fatty acid profile, metabolism, and oxidative stability of Atlantic salmon. J Anim Sci 83:2853-2862. Meyer A, Kirsch H, Domergue F, Abbadi A, Sperling P, Bauer J, Cirpus P, Zhank TK, Moreau H, Roscoe TJ, Zähringer U, Heinz E. 2004. Novel fatty acid elongases and their use for the reconstitution of docosahexaenoic acid biosynthesis. J Lipid Res 45:1899–1909. Micale V, Garaffo M, Genovese L, Spedicato MT, Muglia U. 2006. The ontogeny of the alimentary tract during larval development in common pandora Pagellus erythrinus L. Aquaculture 251:354-365.
107
Miller MR, Bridle AR, Nichols PD, Carter CG. 2008. Increased Elongase and Desaturase Gene Expression with Stearidonic Acid Enriched Diet Does Not Enhance Long-Chain (n-3) Content of Seawater Atlantic Salmon (Salmo salar L.). J Nutr 138: 2179–2185. Mokoginta I. 1986. Kebutuhan ikan lele (Clarias batrachus Linn.) akan asamasam lemak linoleat dan linolenat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mokoginta I. 1992. Essential fatty acid requirement of catfish (Clarias batrachus Linn.) for broodstock development [dissertation]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Monroig O, Zheng X, Morais S, Leaver MJ, Taggart JB, Tocher DR. 2010. Multiple genes for functional 6 fatty acyl desaturases (Fad) in Atlantic salmon (Salmo salar L.): gene and cDNA characterization, functional expression, tissue distribution and nutritional regulation. Biochim Biophys Acta 1801(9):1072-1081. Morais S, Monroig O, Zheng X, Leaver MJ, Tocher DR. 2009. Highly unsaturated fatty acid synthesis in Atlantic salmon: isolation of genes of fatty acyl elongases and characterisation of ELOVL5-and ELOVL2-like elongase cDNAs. Marine Biotechnol 11:627–639. Morioka S, Ito S, Kitamura S, Vongvichith B. 2009. Growth and morphological development of laboratory-reared larval and juvenile climbing perch Anabas testudineus. Icht Res 56 (2):162-171. Mourente G, Rodriguez A, Tocher DR, Sargent JR. 1993. Effects of dietary docosahexaenoic acid (DHA; 22:6n-3) on lipid and fatty acid compositions and growth in gilthead sea bream (Sparus aurata L.) larvae during first feeding. Aquaculture 112: 79-98. Moyano FJ, Dıaz M, Alarcon FJ, Sarasquete MC. 1996. Characterization of digestive enzyme activity during larval development of gilthead seabream (Sparus aurata). Fish Physiol Biochem 15:121–130. Muller-Feuga A, Robert R, Cahu C, Robin J, Divanach P. 2003. Uses of Microalgae in Aquaculture. Di dalam: Stottrup J, McEvoy LA, editor. Live Feeds in Marine Aquaculture. Oxford : Blackwell Publishing. 336 pp. Munilla-Moran R, Saborido-Rey F. 1996. Digestive activity in marine species:II. Amylase activities in gut from seabream (Sparus aurata), Turbot (Scophthalmus maximus) and redfish (Sebastes mentella). Comp Biochem Physiol 113B:827–834. Munilla-Moran R, Stark JR. 1990. Metabolism in marine flatfish VI. Effect of nutritional state of digestion in turbot, Scophtalmus maximus (L.). Comp Biochem Physiol 95B: 625– 634. Muskita WH. 2006. Pengaruh waktu pemberian pakan buatan terhadap kelangsungan hidup larva rajungan (Portunus pelagicus) : Hubungannya dengan perkembangan aktivitas enzim pencernaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mustakim M. 2008. Kajian kebiasaan makanan dan kaitannya dengan aspek reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada habitat yang berbeda di lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
108
Nelson JS. 1994. Fishes of the World. 3rd Ed. John Wiley and Sons, New York, USA. 416 pp. Ogata HY, Chavez DR, Garibay EE, Furuita H, Suloma H. 2006. Hatcheryproduced milkfish (Chanos chanos) fry should be fed docosahexaenoic acid-enriched live food: a case of difficulty in the transfer of improved aquaculture technology in the Philippines. JARQ 40: 393-402. Okuyama H, Kobayashi T, Watanabe S. 1996. Dietary fatty acids–the N-6/N-3 balance and chronic elderly diseases. Excess linoleic acid and relative N-3 deficiency syndrome seen in Japan. Prog Lipid Res 35:409–457. Onal U, Langdon C, Celik I. 2008. Ontogeny of the digestive tract of larval percula clownfish, Amphiprion percula (Lacepede 1802): a histological perspective. Aquac Res 39:1077-1086. Peisong M. 2003. Ontogeny and hormonal regulation of α-amylase gene expression in seabass larvae, Lates calcarifer [Thesis for the degree of Philosophy Doctor]. Department of Biological Sciences National University of Singapore. Singapore. Pena R, Dumas S, Villalejo-Fuerte M, Ortiz-Galindo JL. 2003. Ontogenetic development of the digestive tract in reared spotted sand bass Palalabrax maculatofasciatus larvae. Aquaculture 219:633-644. Perez-Casanova JC, Murray HM, Gallant JW, Ross NW, Douglas SE, Johnson SC. 2006. Development of the digestive capacity in larvae of haddock (Melanogrammus aeglefinus) and Atlantic cod (Gadus morhua). Aquaculture 251: 377–401. Phuong NT, Liem PT, Toan VT, Hien TTT, Van Tinh L. 2001. Study on the effects of feeding diets on growth of climbing perch (Anabas testudineus) cultured in garden ditches. pp 243-247. Di dalam: Proceeding of the 2000 annual workshop of JIRCAS Mekong Delta Project. Qiu X, Hong H, MacKenzie SL. 2001. Identification of a Δ4 fatty acid desaturase from Thraustochytrium sp. involved in the biosynthesis of docosahexanoic acid by heterologous expression in Saccharomyces cerevisiae and Brassica juncea. The J Biol Chem 276 (34) : 31561-31566. Regost C, Arzel J, Robin J, Rosenlund G, Kaushik SJ. 2003. Total replacement of fish oil by soybean or linseed oil with a return to fish oil in turbot (Psetta maxima). 1. Growth performance, flesh fatty acid profile, and lipid metabolism. Aquaculture 217:465-482. Reitan KI, Rainuzzo JR, Øie G, Olsen Y. 1993. Nutritional effects of algal addition in first-feeding of turbot (Scophtalmus maximus L.) larvae. Aquaculture 118:257-275. Ribeiro L, Couto A, Olmedo M, Alvarez-Blazquez B, Linares F, Valente LMP. 2008. Digestive enzyme activity at different developmental stages of blackspot seabream, Pagellus bogaraveo (Brunnich 1768). Aquac Res 39: 339-346. Ribeiro L, Zambonino-Infante JL, Cahu C, Dinis MT. 1999. Development of digestive enzymes in larvae of Solea senegalensis, Kaup 1858. Aquaculture 179: 465-473. Ribeiro L, Zambonino-Infante JL, Cahu C, Dinis MT. 2002 Digestive enzymes profile of Solea senegalensis post larvae fed Artemia and a compound diet. Fish Physiol Biochem 27:61-69.
109
Rust MB. 2002. Nutritional Physiology. Di dalam : Halver JE, Hardy RW, editor. Fish Nutrition. Ed ke-3. Singapore : Academic Press. 824 pp. Ruttner-Kolisko, A. 1974. Plankton Rotifers: Biology and Taxonomy. Stuttgart. 146 pp. Santamaria CA, de Mateo MM, Traveset R, Sala R, Grau A, Pastor E, Sarasquete C, Crespo S. 2004. Larva organogenesis in common dentex Dentex dentex L. (Sparidae): histological and histochemical aspects. Aquaculture 237: 207-228. Sarasquete MC, Polo A, Yufera M. 1995. Histology and histochemistry of the development of the digestive system of larval gilthead seabream Sparus aurata L. Aquaculture 130:79-92. Sargent JR, Bell G, McEvoy L, Tocher D, Estevez A. 1999a. Recent developments in essential fatty acid nutrition of fish. Aquaculture 177: Sargent JR, McEvoy L, Bell JG. 1997. Requirements, presentation polyunsaturated fatty acids larval feeds and sources of in marine fish. Aquaculture 155:117-127. Sargent JR, McEvoy L, Estevez A, Bell G, Bell M, Henderson J, Tocher D. 1999b. Lipid nutrition of marine fish during early development: current status and future directions. Aquaculture 179: 217-229. Sargent JR, Tacon AGJ. 1999. Development of farmed fish: a nutritionally necessary alternative to meat. Proc Nutr Soc 58: 377– 383. Sargent JR, Tocher DR, Bell JG. 2002. The lipids. In: Halver JE, Hardy RW, editors. Fish nutrition. San Diego: Academic Press. p. 181–257. Savona B, Tramati C, Mazzola A. 2011. Digestive enzymes in larvae and juveniles of farmed sharpsnout seabream (Diplodus puntazzo Cetti, 1777). The Open Marine Biol J 5:47-57. Scrimgeour CM, Harwood JL. 2007. Fatty acid and lipid structure. Di dalam: Gunstone FD, Harwood JL, Dijkstra AJ, editor. The Lipid Handbook. Ed ke-3. London : CRC Press. 1472 pp. Segner H, Rosch R, Verreth J, Witt U. 1993. Larval nutrition physiology: studies with Clarias gariepinus, Coregonus lavaretus and Scophthalmus maximus. J World Aquac Soc 24: 121 – 134. Seiliez I, Panserat S, Corraze G, Kaushik S, Bergot P. 2003. Cloning and nutritional regulation of a Δ6-desaturase-like enzyme in the marine teleost gilthead seabream (Sparus aurata). Comp Biochem Physiol 135B:449– 460. Seiliez I, Panserat S, Kaushik S, Bergot P. 2001. Cloning, tissue distribution and nutritional regulation of a Δ6-desaturase-like enzyme in rainbow trout. Comp Biochem Physiol 130B:83–93. Shan X-J, Huang W, Cao L, Xiao Z-Z, Dou S-Z. 2009. Ontogenetic development of digestive enzymes and effect of starvation in miiuy croaker Miichthys miiuy larvae. Fish Physiol Biochem 35:385–398. Sprecher H. 2000. Metabolism of highly unsaturated n−3 and n−6 fatty acids. Biochim Biophys Acta 1486:219–231. Steffens, W. 1989. Principles of fish nutrition. Chichester : Ellis Horwood Ltd. 384 pp.
110
Stottrup, J. 2003. Production and Nutritional Value of Copepods. Di dalam: Stottrup J, McEvoy LA, editor. Live Feeds in Marine Aquaculture. Oxford : Blackwell Publishing. 336 pp. Stroband HWJ, Kroon AG. 1981. The development of the stomach in Clarias lazera and the intestinal absorption of protein macromolecules. Cell Tissue Res 215: 397–415. Suwirya K, Giri NA, Marzuqi M. 2003. Pengaruh n-3 HUFA pakan terhadap pertumbuhan benih kerapu macan, Ephinepelus fuscoguttatus. J Penel Perik Indo 9(4) : 19-24. Suzer C, Kamaci HO, Coban D, Saka S, Firat K, Ozkara B, Ozkara A. 2007. Digestive enzyme activity of the red porgy (Pagrus pagrus, L.) during larval development under culture conditions. Aquac Res 38: 1778-1785. Takeuchi T, Watanabe T. 1977. Requirements of carp for essential fatty acids. Bull Japan Soc Sci Fish 43:541-551. Tocher DR. 2003. Metabolism and functions of lipids and fatty acids in teleost fish. Rev Fish Sci 11:107–184. Tocher DR, Bell JG, McGhee F, Dick JR, Fonseca-Madrigal J. 2003. Effects of dietary lipid level and vegetable oil on fatty acid metabolism in Atlantic salmon (Salmo salar L.) over the whole production cycle. Fish Physiol Biochem 29:193–209. Tocher DR, Dick JR, MacGlaughlin P, Bell JG. 2006a. Effect of diets enriched in Delta 6 desaturated fatty acids (18: 3n-6 and 18: 4n-3), on growth, fatty acid composition and highly unsaturated fatty acid synthesis in two populations of Arctic charr (Salvelinus alpinus L.). Comp Biochem Physiol B 144:245–53. Tocher DR, Ghioni C. 1999. Fatty acid metabolism in marine fish: Low activity of D5 desaturation in gilthead sea bream (Sparus aurata) cells. Lipids 34:433– 440. Tocher DR, Zheng X, Schlechtriem C, Hasting N, Dick JR, Teale AJ. 2006b. Highly unsaturated fatty acid synthesis in marine fish: cloning, functional characterization, and nutritional regulation of fatty acyl Δ6 desaturase of Atlantic cod (Gadus morhua L.). Lipids 41:1003–1016. Torstensen BE, Froyland L, Lie O. 2004. Replacing dietary fish oil with increasing levels of rapeseed oil and olive oil - effects on Atlantic salmon (Salmo salar L.) tissue and lipoprotein lipid composition and lipogenic enzyme activities. Aquac Nutr 10:175–192. Trieu NV, Long DN. 2001. Seed production technology of Climbing perch (Anabas testudineus): A study on the larval rearing. pp 199-202. Di dalam: Proceeding of the 2000 annual workshop of JIRCAS Mekong Delta Project. Van KV, Hoan VQ. 2009. Intensive nursing climbing perch (Anabas testudineus) in hapas using pellet feed at different protein levels. J Sci Dev 7 (Eng.Iss. 2): 239 – 242. Vega-Orellana OM, Fracalossi DM, Sugai JK. 2006. Dourado (Salminus brasiliensis) larviculture: Weaning and ontogenetic development of digestive proteinases. Aquaculture 252:484– 493. Villalta M, Estevez A, Bransden MP, Bell JG. 2008. Effects of dietary eicosapentanoic acid on growth, survival, pigmentation and fatty acid
111
composition in Senegal sole (Solea senegalensis) larvae during the Artemia feeding period. Aquac Nutr 14: 232-241. Wahyunigrum RD. 1991. Perkembangan larva ikan betutu, Oxyeleotris marmorata (Blkr.) yang dipelihara di kolam dan di tangki [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Walford J, Lam TJ. 1993. Development of digestive tract and proteolytic enzyme activity in seabass (Lates calcarifer) larvae juveniles. Aquaculture 109 : 187-205. Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Department of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. Japan. 233 pp. Watanabe T, Kitajina C, Fujita S. 1983. Nutritional value of live organisms used in Japan for the mass production of fish: a review. Aquaculture 34: 115143. White PJ. 2008. Fatty Acids in Oilseeds (Vegetable Oils). Di dalam : Fatty Acid in Food and their Health Implication. Di dalam: Chow CK, editor. Fatty Acids in Foods and their Health Implications. USA. 1296 pp. Widodo P, Bunasir, Fauzan G, Syafrudin. 2007. Kaji terap pembesaran ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch) dengan pemberian kombinasi pakan pelet dan keong mas dalam jaring tancap di perairan rawa. pp 1-26. Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Banjarmasin: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung : Penerbit ITB. 500 hal. Worthington V. 1993. Worthington Enzyme Manual. Enzymes and Related Biochemicals Worthington Chemical, New Jersey, US. 399pp. Yamamoto Y, Kabeya N, Takeuchi Y, Alimuddin, Haga Y, Satoh S, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2010. Cloning and nutritional regulation of polyunsaturated fatty acid desaturase and elongase of a marine teleost, the nibe croaker Nibea mitsukurii. Fish Sci 76:463–472. Yoshimura K, Tanaka K, Yoshimatsu T. 2003. A novel culture system for the ultra-high-density production of the rotifer, Brachionus rotundiformis- a preliminary report. Aquaculture 227: 165-172. Yufera M, Darias MJ. 2007. The onset of exogenous feeding in marine fish larvae. Aquaculture 268:53–63. Yulintine, Harris E, Jusadi D, Affandi R, Alimuddin. 2010. Developments of digestive tract in larvae of climbing perch Anabas testudineus (Bloch). Indo Aquacul J 5 (2): 109-116. Yunus, Suwirya K, Kasprijo, Setyadi I. 1996. Pengaruh pengkayaan rotifer (Brachionus plicatilis) dengan menggunakan minyak hati ikan cod terhadap sintasan larva kepiting bakau (Scylla serrata). J Penel Perik Indo 2 ( 3) : 38-45. Zambonino Infante JL, Cahu C. 2001. Ontogeny of the gastrointestinal tract in marine fish larvae. Comp Biochem Physiol 130C:477–487. Zheng X, Ding Z, Xu Y, Monroig O, Morais S, Tocher DR. 2009. Physiological roles of fatty acyl desaturases and elongases in marine fish: Characterisation of cDNAs of fatty acyl Δ6 desaturase and elovl5 elongase of cobia (Rachycentron canadum). Aquaculture 290: 122–131.
112
Zheng X, Seiliez I, Hastings N, Tocher DR, Panserat S, Dickson CA, Bergot P, Teale AJ. 2004a. Characterisation and comparison of fatty acyl Δ6 desaturase cDNAs from freshwater and marine teleost fish species. Comp Biochem Physiol 139B:269–279. Zheng X, Tocher DR, Dickson CA, Bell JG, Teale AJ. 2004b. Effects of diets containing vegetable oil on expression of genes involved in highly unsaturated fatty acid biosynthesis in liver of Atlantic salmon (Salmo salar). Aquaculture 236:467–83. Zheng X, Tocher DR, Dickson CA, Dick JR, Bell JG, Teale AJ. 2005a. Highly unsaturated fatty acid synthesis in vertebrates: new insights with the cloning and characterisation of a Δ6 desaturase of Atlantic salmon. Lipids 40:13–24. Zheng X, Torstensen BE, Tocher DR, Dick JR, Henderson RJ, Bell JG. 2005b. Environmental and dietary influences on highly unsaturated fatty acid biosynthesis and expression of fatty acyl desaturase and elongase genes in liver of Atlantic salmon (Salmo salar). Biochim Biophys Acta 1734:13– 24.
113
LAMPIRAN Lampiran 1 Data panjang total (mm) larva ikan betok sampai berumur 30 hari
No.
H0
H1
H2
H3
H4
H5
H8
H12
H16
H20
H25
H30
1
2
2,5
2,8
3,2
3,75
4,55
3,5
6
6,5
8
11
27
2
1,75
2,5
2,9
3,4
3,85
4,15
3,6
5,8
6,95
7,5
9
26
3
2
2,6
2,85
3,35
3,8
4,45
3,65
5
7
11
10
26
4
2
2,6
2,9
3,4
3,75
4,45
3,65
6
7
8.3
9
25
5
1,95
2,55
2,9
3,3
3,8
4,25
3,6
6
8
7,5
9
24
6
1,95
2,45
2,85
3,25
4,25
4,15
3,4
6
7,5
8
11
26
7
1,9
2,5
2,8
3,2
4,1
4,25
3,4
6,3
7,25
7,6
10
22
8
1,75
2,55
2,75
3,25
4,15
3,9
3,5
6,4
6,9
7,5
10
23
9
1,8
2,65
2,8
3,3
3,25
3,9
3,65
6,4
7
6,4
9
23
10
1,9
2,7
2,75
3,35
3,5
4,35
3,5
6,3
6,5
7,5
10
21
11
1,9
2,5
2,75
3,4
3,4
4,2
3,5
6,3
7
7,5
10
22
12
1,85
2,55
2,8
3,2
3,85
4,5
3,4
6,7
8
7,3
11
23
13
1,8
2,45
2,85
3,3
3,95
4,4
3,65
7,5
8
7,2
11
21
14
2
2,5
2,9
3,2
3,95
4,15
3,1
6,3
7
7,5
10
22
15
1,95
2,6
2,95
3,2
3,75
4
3,5
5
6,5
7,4
29
25
16
1,9
2,65
2,9
3,2
3,75
4,5
3,65
7,5
6,75
7
26
24
17
1,9
2,6
2,8
3,2
3,7
4,1
3,55
5,8
6,9
7,3
22
22
18
1,85
2,55
2,75
3,2
4
4,25
3,1
5,9
6,7
7,5
21
21
19
2,05
2,5
2,75
3,25
3,95
4,1
3,55
6
7
7
19
20
20
2,1
2,45
2,8
3,3
3,9
4,1
3,5
6,2
8,25
8
20
20
21
2,1
2,45
2,8
3,35
3,75
4,15
3,5
6,1
7,8
7,5
21
19
22
2,05
2,6
2,7
3,4
3,55
3,75
3,55
6,3
7,9
7,5
14
14
23
2,15
2,6
2,75
3,3
3,85
4,15
3,5
6
7,4
6,5
14
13
24
2,25
2,55
2,8
3,2
3
4,15
3,45
6
5,5
6,6
14
13
25
2,25
2,5
2,75
3,2
4
4,5
3,5
6,1
6,5
6,8
19
19
26
2,25
2,45
2,7
3,2
3,95
4
3,4
6,5
7,5
7
14
17
27
2,2
2,5
2,7
3,15
3,9
4,25
3,4
7,5
5,3
8
16
15
28
2,15
2,55
2,75
3,3
3,95
4,25
3,5
5,75
5,9
8,25
12
19
29
2,2
2,6
2,8
3,2
4
4,3
3,7
5,5
7,75
8
15
19
30
2,1
2,65
2,7
3,2
4
4,35
3,4
5,3
5,75
7,75
14
15
31
2,15
2,7
2,7
3,25
4,05
4,45
3,6
4,5
7,95
10
13
24
32
2
2,75
2,7
3,4
3,9
4,5
3,2
4,6
6
9
15
20
33
2
2,5
2,75
3,2
3,75
4,25
3,65
4,75
6
10
14
19
34
2,1
2,5
2,9
3,15
3,85
4,15
3,65
4,8
6,05
10
14
19
35
2,05
2,5
2,9
2,5
3,75
4,1
3,25
5,5
8
21
22
21
36
2,1
2,5
2,75
2,5
3,65
4,15
3,4
5
5,15
19
25
17
114
Lampiran 1 (Lanjutan) No.
H1
H2
H3
H4
H12
H16
H25
H30
37
H0 2,1
2,45
2,75
3,35
3,75
H5 4,1
H8 3,2
6
6
H20 19
25
20
38
2,25
2,5
2,7
3,4
3,65
4,3
3,4
4,3
5,5
15
25
17
39
2,15
2,55
2,75
3,15
3,75
4,2
3,6
4,25
6,05
16
17
19
40
2,1
2,55
2,7
3,2
3,8
4,15
3,7
4,35
7,75
14
22
24
41
2,1
2,6
2,8
3,2
4,1
4
3,65
4
6,25
9
22
16
42
2,25
2,6
2,8
3,2
3,9
4,1
3,65
5,75
5,5
12
23
20
43
2,1
2,65
2,8
3,3
3,85
4
3,75
4,75
6
11
21
16
44
2,15
2,6
2,8
3,35
3,7
4,3
3,5
4,5
6,35
11
17
15
45
2
2,55
2,8
3,35
3,8
3,8
3,5
4,25
6,5
16
17
14
46
2,1
2,5
2,75
3,4
3,8
4,15
4
4,25
6
15
14
15
47
2,1
2,55
2,75
3,3
3,95
3,7
3,25
4,7
6,25
14
16
18
48
2,15
2,5
2,85
3,15
3,65
4,25
3,6
4,35
11
15
20
17
49
2,1
2,55
2,85
3,3
3,85
4
3,5
4,4
6,5
11
19
17
50
2,1
2,6
2,7
3,25
3,75
3,9
3,35
4,5
7,5
12
17
19
51
2,15
2,6
2,75
3,2
3,5
4,3
3,50
5,5
8
11
21
14
52
2,1
2,65
2,75
3,15
3,9
4,25
5,06
5,25
8,25
12
17
14
53
2,1
2,6
2,75
3,25
4
4,25
5
4,5
5,5
11
20
14
54
2,15
2,55
2,9
3,25
4,15
4
5,15
5,2
6,5
14
17
17
55
2,25
2,5
2,9
3,35
3,4
4,2
5,4
4,35
6,75
11
20
15
56
2,2
2,5
2,85
3,15
3,5
4
4,9
4,4
6,75
13
19
14
57
2,25
2,5
2,85
3,2
3,75
4,3
5,3
4,35
6,25
7,5
20
17
58
2,1
2,5
2,7
3,3
3,75
4,4
5,1
5,25
6,4
8
18
20
59
1,95
2,55
2,95
3,35
3,4
4,15
5
5,5
6
10
19
18
60
2,15
2,6
2,85
3,25
3,65
4
5
4,5
9
11
20
16
61
2,1
2,65
3,25
3,5
3,4
3,5
4,85
4,25
5,7
10
21
12
62
2
2,5
3,25
3,6
3,5
3,5
5
5
5
10
23
15
63
2,05
2,6
3,25
3,45
3,5
3
4,85
5,25
5,9
11
16
15
64
1,85
2,65
3
3,4
3,5
3,4
5,15
4,75
6,5
9
14
18
65
1,8
2,5
3,4
3,6
3,25
3,25
5,1
5,5
5,9
9,5
17
19
66
2
2,55
3,4
3,4
3,3
3,45
5,15
5,5
6,25
8
17
18
67
2,05
2,8
3,1
3,45
3,2
3,5
4,7
6,25
7
8,8
13
18
68
2,1
2,45
3,45
3,5
3,1
3,35
5,55
6,25
7,75
10
13
14
69
2
2,7
3,5
3,5
3,65
3,25
5,1
5,75
6,35
12
19
14
70
1,95
2,6
3,4
3,5
3,5
3,5
4,8
4,25
7
11
16
14
71
2
2,55
3,45
3,35
3,6
3,4
4,9
4,5
8,25
10
17
14
72
2,15
2,5
3,45
3,5
3,45
3,35
4,95
7
6,35
10
20
15
73
2,375
2,8
3,5
3,4
3,6
3,5
5,2
6,5
5,75
10
15
15
74
2,325
2,5
3,1
3,45
3,6
3,4
5,15
6,25
6
10
15
16
115
Lampiran 1 (lanjutan) No.
H0
H1
H2
H3
H4
H5
75
2,425
2,75
3,35
3,55
3,5
3,5
76
2,125
2,75
3,35
3
3,5
77
2,425
2,8
3,35
3,25
78
2,25
2,1
3,35
79
2,225
2,8
3,4
H8
H12
H16
5
5,5
6,5
3,45
5
5,25
3,4
3,5
5,15
3,25
3,5
3,35
3,25
3,4
3,5
H20
H25
H30
12
20
16
5,5
13
20
14
5
7,5
13
16
14
4,9
4,5
7,25
12
17
14
4,9
4,25
6
10
14
20
80
2,2
2,5
3,6
3
3,5
3,25
5,1
7
6,25
7,5
14
16
81
2,25
2,65
3,5
3,6
3,25
3,45
5,15
6,75
6,75
8
14
16
82
2,25
2,8
3,5
3,4
3,6
3,45
5,05
6,25
6
8
15
17
83
2,425
2,55
3,6
3,6
3,25
3,5
5
4,5
6,5
9
15
17
84
2,45
2,8
3,5
3,25
3,45
3,5
4,9
4,5
7,5
10
13
19
85
2,25
2,9
3,4
3,6
3,4
3,5
5
5
6,75
10
14
20
86
2,375
2,75
3,2
3,35
3,45
3,5
5,2
5,25
6,5
10
15
17
87
2,325
2,9
3,6
3,35
3,3
3,1
5,15
6,25
7,25
10
17
15
88
2,25
2,9
3,55
3,35
3,5
3,25
4,95
6,5
7,3
12
20
14
89
2,375
2,75
3,35
3,35
3,25
3,4
5,1
7
7,5
11
17
14
90
2,2
2,75
3,4
3,5
3,4
3,25
4,95
5,5
9
11
14
14
91
2,325
2,65
3,45
3,35
3,25
3,25
4,9
5,25
6,5
14
15
14
92
2,225
2,75
3,25
3,5
3,5
3,5
5,3
6,25
7,3
12
13
14
93
2,25
2,75
3,25
3,6
3,5
3,25
5
6,25
8
12
20
13
94
2,3
2,65
3,65
3,5
3,25
3,5
5,25
4,25
7,5
11
15
12
95
2,375
2,8
3,35
3,55
3,35
3,5
4,6
4,25
7,25
10
14
12
96
2,375
2,7
3,25
3,6
3
3,5
4,75
4,25
6,75
10
16
11
97
2,25
2,75
3,3
3,5
3,35
3,35
4,5
5,5
6,25
10
15
11
98
2,275
2,7
3,5
3,5
3,25
3,5
4,5
5,5
6,3
12
15
17
99
2,25
2,7
3,2
3,7
3
3,45
3,75
5,75
6,25
12
16
18
100
2,425
2,75
3,25
3,7
3,35
3,4
3,95
6,25
6,6
10
23
16
Rata2
2,122
2,602
3,027
3,321
3,632
3,87
4,221
5,463
6,802
10,23
16,52
17,64
SD
0,165
0,125
0,304
0,187
0,282
0,42
0,774
0,887
0,941
2,848
4,253
3,789
116
Lampiran 2 Data kelangsungan hidup (SR, %) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri
Ulangan 1 2 3 4
A 47 43,7 32,3 40,7
B 69,7 54,3 47,7 57,3
Perlakuan C D 50 76,7 56,7 74,3 69 65,3 58,7 72,3
E 68 72,7 55,7 70
F 61,3 66,7 68,7 65,3
117
Lampiran 3 Analisis ANOVA kelangsungan hidup (SR, %) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri One-way ANOVA: SR (%) versus Kombinasi minyak Source Perlakuan Error Total
DF 5 18 23
S = 6.786
Level 0,0 0,1 1,0 1,1 1,3 3,1
N 4 4 4 4 4 4
SS 2380.8 829.0 3209.8
MS 476.2 46.1
R-Sq = 74.17%
Mean 40,917 58,583 57,250 72,167 66,583 65,500
StDev 6,280 7,871 9,211 4,888 7,525 3,097
F 10.34
P 0.000
R-Sq(adj) = 67.00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (----*-----) (-----*-----) --+---------+---------+---------+------36 48 60 72
Pooled StDev = 6.786 Grouping Information Using Fisher Method Perlakuan 1,1 1,3 3,1 0,1 1,0 0,0
N 4 4 4 4 4 4
Mean 72,167 66,583 65,500 58,583 57,250 40,917
Grouping C C B C B B B A
Means that do not share a letter are significantly different. Fisher 95% Individual Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Perlakuan Simultaneous confidence level = 67.02% Perlakuan = Perlakuan 0,1 1,0 1,1 1,3 3,1
0 subtracted from: Lower 7.585 6.252 21.168 15.585 14.502
Center 17.667 16.333 31.250 25.667 24.583
Upper 27.748 26.415 41.332 35.748 34.665
--+---------+---------+---------+----(----*----) (----*----) (----*----) (----*----) (----*----) --+---------+---------+---------+-----20 0 20 40
118
Perlakuan = Perlakuan 1,0 1,1 1,3 3,1
1 subtracted from: Lower -11.415 3.502 -2.082 -3.165
Center -1.333 13.583 8.000 6.917
Upper 8.748 23.665 18.082 16.998
--+---------+---------+---------+---(----*----) (----*----) (----*----) (----*----) --+---------+---------+---------+----20 0 20 40
Perlakuan = 10 subtracted from: Perlakuan 1,1 1,3 3,1
Lower 4.835 -0.748 -1.832
Center 14.917 9.333 8.250
Upper 24.998 19.415 18.332
--+---------+---------+---------+----(----*----) (----*----) (----*----) --+---------+---------+---------+-----20 0 20 40
Perlakuan = 11 subtracted from: Perlakuan 1,3 3,1
Lower -15.665 -16.748
Center -5.583 -6.667
Upper 4.498 3.415
--+---------+---------+---------+----(----*----) (----*----) --+---------+---------+---------+-----20 0 20 40
Perlakuan = 13 subtracted from: Perlakuan 31
Lower -11.165
Center -1.083
Upper 8.998
--+---------+---------+---------+----(----*----) --+---------+---------+---------+-----20 0 20 40
119
Lampiran 4 Data pertumbuhan mutlak (G, mm) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri Perlakuan A B C D E F 1 2,56 3,58 2,75 2,86 3,06 2 2,61 2,96 2,99 2,76 3,22 3 2,68 2,72 2,81 2,63 2,94 4 2,13 1,98 2,72 3,06 2,77
3,00 2,50 2,49 3,32
120
Lampiran 5 Analisis ANOVA laju pertumbuhan mutlak (G, mm) larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri One-way ANOVA: G mutlak versus Kombinasi minyak Sumber K minyak Error Total
DF 5 18 23
N 4 4 4 4 4 4
MS 0,108 0,125
F 0,87
R-Sq = 19,39%
S = 0,3535
Level 0,0 0,1 1,0 1,1 1,3 3,1
SS 0,541 2,249 2,791
Mean 2,4925 2,8181 2,8087 2,8256 2,9975 2,8288
StDev 0,2505 0,1255 0,6626 0,1826 0,1914 0,4029
P 0,523
R-Sq(adj) = 0,00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (---------*----------) (----------*---------) (---------*----------) (----------*---------) (----------*---------) (----------*---------) ---------+---------+---------+---------+ 2,45 2,80 3,15 3,50
Pooled StDev = 0,3535 Grouping Information Using Fisher Method K minyak 1,3 3,1 1,1 0,1 1,0 0,0
N 4 4 4 4 4 4
Mean 2,9975 2,8288 2,8256 2,8181 2,8087 2,4925
Grouping A A A A A A
Means that do not share a letter are significantly different. Fisher 95% Individual Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of K minyak Simultaneous confidence level = 67,02% K minyak = 0,0 subtracted from: K minyak 0,1 1,0 1,1 1,3 3,1
Lower -0,1995 -0,2089 -0,1920 -0,0202 -0,1889
Center 0,3256 0,3162 0,3331 0,5050 0,3363
Upper 0,8508 0,8414 0,8583 1,0302 0,8614
----+---------+---------+---------+--(----------*---------) (---------*----------) (----------*---------) (---------*----------) (----------*---------) ----+---------+---------+---------+---0,50 0,00 0,50 1,00
121
K minyak = 0,1 subtracted from: K minyak 1,0 1,1 1,3 3,1
Lower -0,5345 -0,5177 -0,3458 -0,5145
Center -0,0094 0,0075 0,1794 0,0106
Upper 0,5158 0,5327 0,7045 0,5358
----+---------+---------+---------+-(----------*---------) (---------*----------) (----------*---------) (---------*----------) ----+---------+---------+---------+--0,50 0,00 0,50 1,00
K minyak = 1,0 subtracted from: K minyak 1,1 1,3 3,1
Lower -0,5083 -0,3364 -0,5052
Center 0,0169 0,1888 0,0200
Upper 0,5420 0,7139 0,5452
----+---------+---------+---------+--(---------*----------) (----------*---------) (---------*----------) ----+---------+---------+---------+--0,00 0,50 1,00 -0,50
K minyak = 1,1 subtracted from: K minyak 1,3 3,1
Lower -0,3533 -0,5220
Center 0,1719 0,0031
Upper 0,6970 0,5283
----+---------+---------+---------+--(---------*----------) (---------*----------) ----+---------+---------+---------+---0,50 0,00 0,50 1,00
K minyak = 1,3 subtracted from: K minyak 3,1
Lower -0,6939
Center -0,1687
Upper 0,3564
----+---------+---------+---------+-(----------*---------) ----+---------+---------+---------+--0,50 0,00 0,50 1,00
122
Lampiran 6 Data konsentrasi ekspresi gen (ng/µL) dan rasio DNA gen elongase atau desaturase dan β-aktin (%) pada beberapa organ ikan betok
Gen Aktin Elongase Desaturase Rasio Elongase Desaturase
Mt 10,2 0 0 0 0
Organ/jaringan Si Ot 10,4 10,5 10,4 0 0 0 100 0
0 0
Us
Ht 10,2 10,4 0
10,0 10,6 10,7
102 0
106 107
123
Lampiran 7 Data konsentrasi ekspresi mRNA elongase dan desaturase (ng/µL) dan rasio ekspresi mRNA gen elongase atau desaturase dan β-aktin (%) pada larva ikan betok yang diberi rotifera yang diperkaya minyak jagung dan minyak kemiri
Gen Aktin Elongase Desaturase Rasio Elongase Desaturase
A 16,6 14,2 0
B 16,1 12,5 0
85,5 0
77,6 0
Perlakuan C D 16,3 17,2 17,9 16,6 18,9 19,4
E 17,3 14,8 18,1
F 17,8 15,0 18,2
110,0 116,0
85,5 104,6
84,3 102,2
96,5 112,8
124
Lampiran 8 Analisis asam lemak Asam lemak metil ester dianalisis dengan gas chromatography (GC 11-A Shimadzu) menggunakan DB-23 capillary column. Preparasi asam lemak metil ester dengan NaOH metanolik 0,5 N (AOCS official Method Ce 1-62 1990). Pembanding asam lemak standar 74 dan 84 (Nu-Chek-Prep. Inc) digunakan untuk mengidentifikasi asam lemak. Prosedur sebagai berikut : sebanyak 25 mg sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung, kemudian ditambahkan standar internal (17:0) sebanyak 0,5 mg. Campuran tersebut ditambahkan 1,5 ml NaOH metanolik 0,5N, kemudian tabung diisi dengan gas N2, ditutup rapat dan dikocok serta dipanaskan dalam penangas air suhu 100oC selama 5 menit.
Setelah
didinginkan, campuran ditambahkan 2 ml BF3-metanol (14% b/v) dan diisi dengan gas N2, kemudian tabung ditutup dan divorteks selama 30 detik. Campuran dalam tabung dengan segera ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh, diisi dengan gas N2, ditutup dan dikocok. Lapisan heksana dipisahkan dan dipindahkan ke dalam vial. Fase metanol/air diekstrak kembali dengan 1 ml heksana dan hasil ekstraksi digabung serta dilakukan penyaringan dengan Na 2SO4 anhidrid. Sampel metil ester asam lemak dikonsentratkan dengan hembusan gas N2 hingga volume 1 ml. Sampel siap diinjeksi ke alat kromatografi gas. Kondisi pemisahan asam lemak yaitu suhu injektor 250 oC, suhu detektor 260oC, suhu kolom awal 140oC yang dipertahankan selama 6 menit, peningkatan suhu kolom kemudian adalah 3oC per menit sehingga suhu akhir 230oC dan dipertahankan selama 20 menit. Gas pembawa digunakan helium dengan tekanan 1 kg/cm2, sedangkan tekanan gas hidrogen dan udara adalah 0,5 kg/cm2. Identifikasi asam lemak dilakukan menggunakan standar metil ester asam lemak dan kuantitasi dilakukan dengan perbandingan standar internal.