J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
AQUAWARMAN JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI AKUAKULTUR Alamat : Jl. Gn. Tabur. Kampus Gn. Kelua. Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
Studi Perkembangan Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) Study on Digestive Tract Development of Climbing Perch (Anabas Testudineus) larval Syaiful Akram1), Adi Susanto2), Sumoharjo3) 1), 2), 3)
Mahasiswa Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Staf Pengajar Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman e-mail :
[email protected]
Abstract Low survival rate of fish larva of climbing perch (Anabas testudineus) is a major obstacle in fish hatchery operations due to the lack of precise handling in the larvae nursering. Improper feeding the larvae mouth opening otherwise it delays provision and external feeding also be a cause of premature death of larval climbing perch. The study aims to figure out the development of the digestive tract of climbing perch larvae from hatching to death, so it can be known when the larvae readiness to get food from outside. This research was conducted in two stages where the spawning and nursery phase and histologycal analisys of its digestive track development. The results of the study showed that the climbing perch larvae were ready to get food from the outside on the third day, doe to its egg yolk were runing out on the third day. On the fifth day showing a drastic decline in larvae digestive tract. This is because of the lack of food supplies from outside taken into the body of larvae. Finally, on the eighth day occured of mass mortality. Shown a focal necrosis in liver tissue, intestinal villi were low and is lifting muscle fibers. Starved larvae will survive only in 8-10 days. Keywords : digestive tract, fish larvae, egg yolks, climbing perch, histology.
I.
LATAR BELAKANG
Ikan betok merupakan jenis ikan rawa, yaitu ikan yang memiliki ketahanan terhadap tekanan lingkungan. Ikan betok merupakan ikan asli Indonesia yang hidup pada habitat perairan tawar dan payau (Akbar dan Nur, 2008). Di samping itu, ikan ini umumnya ditemukan di rawa, sawah dan parit, juga pada kolam yang mendapatkan air atau
berhubungan dengan saluran air terbuka (Anonim, 2006). Salah satu kendala dalam pemeliharaan larva ikan betok adalah tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Hal ini disebabkan oleh belum diketahuinya periode kritis larva di mana larva siap beralih dari kuning telur kepakan dari luar. Periode kehidupan ikan betok dari setelah menetas sampai pada masa peralihan endogenous feeding ke exogenous feeding 7
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
merupakan periode kritis pada awal kehidupan ikan. Masa peralihan ini berkaitan erat dengan kemampuan larva dalam menerima makanan yang diberikan. Kemampuan larva menerima makanan dari luar sangat tergantung kepada bukaan mulut dan perkembangan morfologi dan fisiologi pencernaan larva, serta ketersediaan pakan yang sesuai (Kamler, 1992 dalam Marlinda, 2001). Satu di antara faktor kegagalan pembudidayaan ikan betok pada pembenihan disebabkan oleh pemeliharaan larva yang kurang tepat, yaitu pemberian pakan yang tidak sesuai dengan bukaan mulut larva. Selain itu, mayoritas pembudidaya belum mengetahui pasti kapan larva tersebut siap untuk mengambil makanan dari luar menyebabkan pemberian pakan alami untuk larva relatif lambat. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti berkeinginan untuk mengetahui perkembangan saluran pencernaan larva ikan betok, agar dapat memberikan informasi tentang saat yang tepat dalam rangka penyediaan pakan dari luar.
II. METODE PENELITIAN A.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi dan Laboratorium pengembangan ikan lokal (fish house) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman dari bulan Juli sampai Agustus 2013. B.
Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas dua tahap kegiatan yaitu: 1. Peralatan dan bahan untuk pemijahan ikan betok: 4 akuarium, selang aerasi, batu aerasi, pipa paralon, blower, jarum suntik 1 ml, timbangan analitik, induk betina ikan betok sebanyak 1 ekor dengan bobot 52 g, induk ikan jantan sebanyak 3 ekor dengan bobot rata-rata 24 g, telur ikan betok,
larva ikan betok, natrium klorida 0,9%, ovaprim. 2. Peralatan dan bahan untuk analisis histologi: objek glass, cover glass 20x20 mm, pipet tetes, tissu, botol kaca, beaker glass, jarum oase, spatula, kertas saring, kertas filter, karton blok, oven, microtome, dan mikroskop, kamera digital dan triport, , larutan bouin, alkohol 30%, alkohol 40%, alkohol 50%, alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, larutan xylol, parafin, larutan hematoxylin, larutan eosin, kuning telur, dan akuades. C. Pemeliharaan, Pemijahan Penetasan Telur
Induk
dan
Induk ikan betok dipelihara di wadah bak beton berukuran 1 x 2,5 m ketinggian air 60 cm dengan volume air 1,5 ton. Pemeliharaan dilakukan selama 30 hari dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan adalah pelet tenggelam produk CP Prima dengan kandungan protein 25%, lemak 3-5%, serat basah 4-6%, dan air 11-13%. Induk yang telah matang gonad jantan dan betina diseleksi dari bak induk pemeliharaan. Diperoleh satu ekor induk betina dengan berat 52 g dan 3 ekor induk jantan dengan berat masingmasing berkisar 24 g. Pelaksanaan pemijahan dilakukan dengan metode pijah rangsang melalui penyuntikan hormon ovaprim. Induk betina dan jantan disuntik hanya sekali pada waktu yang bersamaan. Dosis ovaprim yang digunakan 0,50 ml/kg berat badan ikan. Setelah memijah, induk segera diangkat dengan hati-hati dan dipindahkan ke akuarium yang telah dipersiapkan. Telur yang terbuahi akan berwarna transparan, dan telur yang tidak terbuahi akan berwarna putih susu dan harus segera dipisahkan. Telur akan menetas menjadi larva setelah 12 jam kemudian. D. Pemeliharaan Larva Larva yang telah menetas dipindahkan ke akuarium yang telah disiapkan. Akuarium berjumlah empat buah dengan ukuran masing-masing akuarium berukuran 24 x 24 x 8
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
25 cm dengan volume air 10 L, larva yang dipindahkan ke empat akuarium tersebut hanya sebagian kecil dari larva yang menetas, ini bertujuan agar menghindari jika terjadi kematian secara massal bertahap maupun serentak di satu wadah. Larva yang dipelihara baru diberi pakan setelah umur 3 hari. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali sehari, untuk aerasi diberikan dalam kondisi sedang. Bahan Campuran Xylol dan Parafin Parafin 1 Parafin 2 Parafin 3 E.
Waktu Selama 60 menit Selama 60 menit Selama 60 menit Selama 60 menit
Pengambilan Sampel
Larva yang akan diamati perkembangan saluran pencernaannya diambil sebanyak 15 sampai 20 ekor secara acak untuk preparasi histologi melalui metode mikroteknik. Pengambilan sampel dilakukan dari hari ke 1 hingga hari ke 8 menggunakan pipet tetes agar lebih memudahkan. F.
Pembuatan Preparat Histologi
1. Tahap Fiksasi Sampel larva dimasukkan ke dalam botol kecil yang berisi larutan fiksatif bouin dan dibiarkan selama 3 sampai 5 jam. 1. Tahap Pencucian Sampel larva kemudian masuk pada tahap pencucian dengan menggunakan alkohol 70% hingga warna kuning hilang. Pencucian dilakukan dengan mengoyanggoyangkan botol penyimpanan, selanjutnya dibiarkan selama 24 jam. kemudian akan masuk ke tahapan selanjutnya yaitu tahap Bahan Waktu Alkohol 70% 4 x 30 menit Alkohol 80% 2 x 30 menit Alkohol 90% 2 x 30 menit Alkohol 95% 1 x 30 menit Alkohol Absolut 1 x 30 menit dehidrasi.
Tahap Dehidrasi Untuk dehidrasi langsung menggunakan alkohol bertingkat. Langkah- langkah dan waktu yang digunakan untuk dehidrasi dapat dilihat pada tabel 1.
3. Tahap Penjernihan Untuk menjernihkan, spesimen dimasukkan ke dalam larutan Xylol dan dibiarkan selama 24 jam hingga terlihat transparan. 4. Tahap Infiltrasi Specimen dimasukkan ke dalam parafin cair secara bertahap pada suhu 63 0C. Adapun langkah-langkah, waktu dan bahan yang digunakan dalam infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 2. 5. Tahap Penanaman Penanaman dengan menggunakan parafin 113 ppm yang dicetak pada blok karton dan dibiarkan selama 24 jam sampai parafin kembali menjadi padat. 6. Tahap Pemotongan Preparat ditempelkan ke holderMicrotome kemudian dilakukan pemotongan dengan hati-hati dan perlahan (merata), ini bertujuan agar hasil pemotongan tidak terlalu tebal ataupun terlipat, hingga sesuai dengan hasil irisan yang diinginkan yaitu 4 mikron. 7. Tahap Afixxing Hasil potongan spesimen diletakkan di permukaan air hangat, ini bertujuan agar parafin yang tergulung bisa menjadi lurus. Selanjutnya potongan parafin ditempelkan pada objek glass yang telah diberi albumin telur + gliserol yang berguna sebagai perekat agar organ atau larva tidak hilang atau terlepas pada proses pewarnaan. Objek glass diletakkan di atas hot plate dengan suhu 63 0C guna mencairkan parafin.
2. Tahap Dehidrasi
9
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
8. Tahap pewarnaan Tahap pewarnaan rnaan menggunakan Hematoxylin dan Eosin (LEESON, C.Roland,2009). 9.
Tahap Pemotretan Preparat reparat yang dianggap baik di dokumentasikan dengan menggunakan metode mikrofotografi untuk melihat perkembangan saluran pencernaan ikan betok (A. testudineus).
(A)
G.
Pengumpulan ngumpulan dan Analisis data Preparat histologi yang telah dibuat, diamati di mikroskop dengan pembesaran 100x sampai 400x. gambar preparat yang dianggap baik didokumentasikan kemudian dianalisis secara deskriptif, untuk mengidentifikasi perkembangan saluran pencernaan larva ikan betok. Selanjutnya di lakukan perbandingan dengan jenis ikan lain sesuai literatur yang ada. (B) III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis histologi menunjukkan bahwa saluran pencernaan larva ikan betok pada hari ke -1 1 masih sederhana, ginjal masih berbentuk tabung lurus, lambung belum berbentuk, dan usus belum berbentuk villi. Kantung kuning telur berbentuk bulat besar, dan an larva masih mengambil sumber energi dari kuning telur tersebut. Dari hasil penelitian Usman dkk, 2003 pada larva ikan kerapu bebek pada 24 jam pertama (1 hari) setelah menetas larva belum aktif bergerak dan organ-organ organ tubuh lainnya belum berkembang, sumber mber nutrien dari kuning telur lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan araan dan pertumbuhan panjang (Gambar 1 A). Pada hari ke -2 2 saluran pencernaan mulai berkembang, lekukan usus bagian bag dalam mulai terbentuk villi.. Pada umur 2 hari ini larva sudah mulai siap p untukmendapatkan untuk makan dari luar, walaupun lambung belum terlihat dan sumber energi masih ada. Menurut Lauff dan Hofer (1984), struktur morfologis saluran pencernaan yang masih
(C) Gambar 1. Perkembangan saluran pencernaan larva ikan betok (Anabas Anabas testudineusi). testudineusi Larva umur hari ke 1 (A) saluran pencernaan masih sederhana. G : ginjal. YS : kantong kuning telur, NT : notochord, U : usus, M : mata, J :jantung, H : hati, A : anus. Larva umur hari ke 2 (B) Saluran pencernaan mulai berkembang dibandingkan hari ke 1. PM : pigmen mata, YS : kantung kuning telur dan butiran minyak, NT : notochord, GR : gelembung renang, U : usus, u G : ginjal, R :rektum, L: lumen, V : villi, SG : sel goblet. Larva umur hari ke 3 (C) Saluran pencernaan telah berkembang dengan sempurna. L : lambung, U : usus, GR : gelembung renang, H: hati, SO: serat otot, P: pylorus, ME: mucosal epithelium, V: vakuola, va NT: notochord, G: ginjal, PT: pankreas, PK: pembuluh kapiler.
10
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
sederhana berkolerasi dengan rendahnya produksi enzim proteolitik, seperti yang ya telah diteliti pada ikan Coregonus sp. Ketiadaan lambung dan rendahnya aktivitas proteolitik merupakan dua faktor penyebab sulitnya pemeliharaan dengan pemberian pakan buatan (Gambar 1 B). Pada hari ke-3 3 saluran pencernaan telah berkembang secara sempurna, lambung, usus, gelembung renang telah nampak jelas. Organ pankreas dan sel hati telah berkembang dengan baik dengan adanya vakuola, dan kuning telur telah terserap habis, dan mucosal epithelium elium sudah nampak jelas. Pada kondisi ini larva sudah harus mendapatkan suplai makanan dari luar. Tridjoko dkk, 1996 pada kerapu bebek (Cromileptes altivelis)) turunan pertama dan Anindiastuti dkk, 1999 pada kerapu macan (E. ( fuscoguttatus). ). Membuktikan bahwa bah kuning telur terserap habis pada umur 3 hari, ini berkaitan erat dengan pertumbuhan morfologi dan pencernaan makanannya. Selain itu perkembangan saluran pencernaan pada umur stadia 3 hari juga berkembang pesat mulai dari mulut, kerongkongan, perut, usus dan anus. Selain itu organ hati dan pankreas mulai terbentuk sehingga proses enzimatik dan penyimpanan energi sudah dimulai pada tahap ini (Gambar ambar 1 C). Pada hari ke-4 4 terjadi pada larva ikan betok untuk mendapatkan makan dari luar. Ini dibuktikan dari sampel mpel larva yang diambil ada beberapa larva yang memiliki villi usus dengan bentuk lekukan yang tinggi, dan ada larva yang lain memiliki villi usus dengan bentuk lekukan yang rendah. Namun dari semua sampel larva yang diambil dari hari keke 4 pada hasil histologi logi menunjukkan pada hati tidak memiliki vakuola, ini disebabkan karena tidak adanya atau hanya sedikit suplai makanan dari luar yang didapat. Asumsi tersebut juga diperkuat dari hasil penelitian Marlinda (2001), bahwa larva pada hari ke-4 ke dengan perlakuan n tanpa pemberian pakan organ hati tanpa adanya vakuola sedangkan untuk larva dengan perlakuan pemberian pakan alami menunjukkan adanya vakuola yang besar, dan villi usus memperlihatkan memperliha
(A)
(B)
(C) Gambar 2. Perkembangan saluran pencernaan larva ikan betok (anabas anabas testudineus). testudineus Larva umur hari ke 4 (A) [kiri] villi usus tinggi, organ hati tanpa vakuola [kanan] villi usus rendah, organ hati tanpa vakuola. U: usus, H: hati, SO: serat otot, NT: notochord, L: lambung, R: rektum, GG: kelenjar asam. Larva Lar umur hari ke 5 (B) Terjadi penurunan bentuk villi usus yang rendah dan serat otot yang mengkerut., dan hati tidak memiliki vakuola. NT: notochord, U: usus, H: hati. Larva umur hari ke 8 (C) jaringan hati mengerut, tanpa vakuola dan memiliki nuklei yang gelap dengan segmen hepatosit tidak jelas. Jaringan otot terlihat renggang dan villi usus rendah. U: usus, H: hati, G: ginjal, L: lambung, SO: serat otot, NT: notochord, JH: jaringan sel hati, GR: gelembung renang.
11
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
bentuk lekukan yang tinggi (Gambar 2 A). Pada lima hari pertama kehidupan ikan betok merupakan periode kritis karena terjadi proses adaptasi pada masa transisi menuju ‘exogenous feeding’. Mortalitas sebesar 83,70% juga terjadi pada Acipenser guldenstadti yang terjadi pada masa transisi menuju aktivitas pengambilan makanan (Vladimirov, 1975). Di hari ke-5 larva sama sekali tidak mendapatkan suplai makanan dari luar. Ini terlihat dari hasil histologi yang menunjukan terjadinya penurunan bentuk villi usus yang rendah dan serat otot yang mengerut dan hati tidak memiliki vakuola. Dari hasil tersebut larva hari ke-5 adalah awal mula terjadinya degenerasi pada semua organ hingga hari kematian (hari ke-8) (Gambar 2 B). Pada hari ke-8 terjadi kematian larva secara serentak pada semua akuarium pemeliharaan larva ikan betok. Dari hasil histologi menunjukkan bahwa larva tidak mau makan sehingga tidak adanya sumber nutrisi yang mendukung berkembangan saluran pencernaannya. Hal ini terlihat dari penampakan jaringan hati yang mengerut, tanpa vakuola dan memiliki nuklei yang gelap dengan segmen hepatosit tidak jelas. Jaringan otot juga terlihat renggang dan villi usus rendah. Hasil penelitian Marlinda (2001) juga memperlihatkan larva ikan betok yang kelaparan mengalami degerenasi jaringan hati seperti ditampilkan pada Gambar 2 C. Larva yang mengalami keadaan lapar hanya akan bertahan hidup 8 s/d 10 hari. Penelitian Marlinda (2001), juga membuktikan larva betok dengan perlakuan tanpa pemberian pakan hanya bertahan dalam delapan hari, dengan perlakuan pemberian pakan buatan larva bertahan hidup dalam tiga belas hari, sedangkan untuk perlakuan pemberian pakan alami larva dapat bertahan hidup sampai lima belas hari. Teori John Hjort yang dikenal dengan Critical Period Hypothese telah terbukti bahwa larva hanya dapat bertahan hidup dalam waktu yang pendek tanpa adanya makanan sesaat setelah suplai kuning telur dan gelembung minyak (yolk and oil globules) habis
sedangkan kelimpahan makanan di alam dapat berubah sesuai waktu dan ruang. Larva yang mengalami keadaan lapar yang berkepanjangan akan terjadi degenerasi pada semua organ tubuh, pertumbuhan akan terlihat stagnan. Untuk dapat bertahan hidup dari terbatasnya ketersediaan makanan, ikan dapat memetabolisme cadangan makanan dari dalam tubuh dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan energinya tanpa gangguan permanen (Black dan Love 1986 ; Wieser et al. 1992). Stroband dan Dabrowski (1983), menjelaskan bahwa pada larva yang kelaparan semua jaringan menyusut secara volumetric, karena cadangan energi dari jaringan digunakan sebagai nutrient dan energi setelah kuning telur habis, pada ikan yang kelaparan dalam beberapa minggu tidak terjadi proses mitosis. Hal ini disebabkan bahwa perkembangan jaringan pada larva ikan betok yang kelaparan terhambat atau terhenti sama sekali. Efek dari kelaparan dapat mengganggu dinamika pemanfaatan energi dari dalam tubuh larva (endogeneus) yang berkontribusi penting sebagai bahan bakar tubuh (Black dan Love 1986). Pulliainen dan Korhonen (1990) pada ikan burbot mengungkapkan bahwa suhu panas yang cukup tinggi berpengaruh pada penyerapan makanan pada larva sehingga menimbulkan pelaparan. IV. KESIMPULAN 1. Sumber energi larva ikan betok berupa kuning telur telah habis terserap pada hari ke – 3. 2. Dari hasil analisis histologi kesiapan larva untuk memperoleh makanan dari luar berada pada hari ke-2 hingga puncaknya pada umur hari ke -3. 3. Pada hari ke-5 terjadi penyusutan organ saluran pencernaan, seperti vili usus yang semakin rendah, dan jaringan otot yang mengerut. 4. Larva yang mengalami keadaan lapar akan mengalami degenerasi saluran pencernaan. Dan larva hanya akan bertahan hidup dalam waktu 8 s/d 10 hari 12
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
V. DAFTAR PUSTAKA Akbar, J dan A. Nur., 2008. Optimalisasi Perikanan Budidaya Rawa dengan Pakan Buatan Alternatif Berbasis Bahan Baku Lokal. Program I-MHERE B.1 Bacth II UnlamAsmawi S. 1986. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Jakarta: PT Gramedia. Anindiastuti, N. Rausin, Mustamin, and E. Sutrisno. 1999. Paket usaha budidaya kerapu macan, EpinepheIus fuscoguttatus. Depar-temen Pertanian, Dirjen. Perikanan, Balai Budidaya Laut Lampung. 35Hal. Anonim., 2006. Pemeliharaan Beberapa Jenis Ikan Lokal Air Tawar. Departemen Pertanian. Balai Informasi Penelitian, Banjarbaru. Ansyari., 2007. Pentingnya labirin bagi ikan rawa. Jurnal Bawal. Vol.1 No.5. Agustus 2007: 161-167. Black, D. and Love, M. (1986). The sequential mobilisation and restoration of energy reserves in tissue of Atlantic cod during starvation and refeeding. J. Comp. Physiol. 156, 469-479 Kamler, E. 1992. Early life history of fish, an energetics approach. Chapman and Hall. London. 267 pp. Lauff, M. & R. Hofer. 1984. Proteolytic enzymes in fish development and the importance of dietary enzymes. Aquaculture, 37: 335-346. Leeson,C.Roland.1996.Buku Ajar Histologi.Buku Kedokteran EGC.-ed.5.Jakarta : xi-622 hlm.
Marlinda. R., 2001. Kajian Fisiologi Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok (Anabas testudineus). Pulliainen, E. and K. Korhonen, 1990. Seasonal changes in condition indices in adult mature and non-maturing burbot, Lota lota (L.), in the north-eastern Bothnian Bay, northern Finland. J. Fish Biol. 36(2):251-259. Stroband HJW, Dabrowski KR. 1979. Morphological and Physiological aspect of the Digestive System and Feeding in Freshwater Fish Larvae. CNERNA, Paris Hal : 356 -376. Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu dan K. Sugama. 1996. Pengamatan pemijahan dan perkembangan telur ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, pada bak secara terkontrol. J. Penelitian Perikanan Indonesia, 2(2):55-62. Usman B, CR Saad, R Affandi, MS Kamarudin dan AR Alimon. 2003. Perkembangan Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes oltivelis), Selam Proses Penyerapan kuning telur. Vladimirov, V. I. 1975. Critical periods in development of fishes. Journal of Ichtyology, 15(6): 851-963. Walford, J. and T.J. Lam, 1993. Development of digestive tract and proteolytic enzyme activity in seabass (Lates calcarifer) larvae and juveniles. Aquaculture 109:187-205. Wieser, W., Krumschnabel, G. and OjwandOkwor, J. P. (1992). The energetics of starvation and growth after refeeding in juveniles of Three cyprinid species. Environ. Biol. Fishes. 33, 63-71.
13