BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama
30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila Nirwana dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran 4. Tabel 4.
Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan A (Kontrol) B ( 5 ppt) C (10 ppt) D (15 ppt) E (20 ppt)
Keterangan:
Kelangsungan Hidup (%) 93,33 ± 7,63 b 91,66 ± 10,40 b 66,66 ± 15,27 b 80,00 ± 5,00 b 13,33 ± 23,09 a
Nilai yang diikuti huruf kecil yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Jumlah persentase kelangsungan hidup benih ikan Nila Nirwana ukuran 3-5 cm pada media bersalinitas menunjukkan bahwa benih ikan Nila masih dapat bertahan hidup sampai dengan salinitas 20 ppt. Jumlah persentase kelangsungan hidup benih ikan Nila Nirwana pada salinitas 20 ppt sangat rendah yakni sebesar 13,33%, jika dibandingkan dengan tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan kontrol sesebar 93,33%. Perlakuan kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 5 ppt, 10 ppt dan 15 ppt, yang jumlah kelangsungan hidupnya rata-rata lebih dari 50%. Kematian ikan yang terjadi pada tiap perlakuan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ialah salinitas. Semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi pula tingkat kematian benih ikan, karena jika tingkat osmoregulasi tinggi sedangkan kemampuan ikan rendah maka akan berakibat pada kematian ikan. Namun jika membandingkan antara perlakuan 10 ppt dengan 15 ppt, tingkat kelangsungan hidup pada salinitas 15 ppt menunjukkan jumlah persentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah persentase pada salinitas 10 ppt
27
28
yaitu sebesar 80%. Faktor yang berpengaruh pada tinggi rendahnya persentase kelangsungan hidup benih ikan ialah kemampuan ikan. Selain itu faktor ukuran benih ikan pun berpengaruh terhadap kemampuan untuk bertahan hidup, selain sifat genetis yang dan kondisi ikan pada saat dimasukan kedalam media bersalinitas. Hal ini berkaitan dengan kematian yang terjadi selama masa pemeliharaan. Benih ikan pada salinitas 20 ppt banyak mengalami kematian secara bertahap. Semakin tinggi salinitas maka semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dengan lingkungannya. Dampak dari tingginya salinitas tersebut, benih ikan akan memerlukan lebih banyak energi untuk proses osmoregulasi sebagai upaya dalam penstabilan kondisi tubuh terhadap kondisi lingkungan yang baru (Fujaya 2004 dalam Leunufna 2012). Salinitas berperan cukup penting pada pembenihan ikan. Ikan Nila Nirwana dapat dimanfaatkan dalam usaha budidaya diperairan bersalinitas sedang. Spesies ikan nila dapat menyesuaikan diri terhadap salinitas yang tinggi. Pada media bersalinitas, kelangsungan hidup benih ikan Nila dipengaruhi oleh kemampuan osmoregulasi (Hepler dan Pruginin 1981 dalam Bestian 1996). Ikan nila bersifat euryhaline walaupun habitat aslinya adalah hidup di lingkungan air tawar. Benih ikan Nila dapat menyesuaikan diri terhadap kadar garam yang tinggi (Lim 1989 dalam Bestian 1996). Ikan Nila mampu mempertahankan hidupnya hingga salinitas 20 ppt. Proses pengkondisian ikan nila yaitu dengan meningkatkan salinitas garam secara bertahap tiap harinya hingga tidak melebihi dari 5 ppt setiap tahap kenaikan salinitas atau biasa disebut aklimatisasi (Leunufna 2012). Proses pengkondisian pada penelitian ini tidak melalui proses peningkatan salinitas secara bertahap sehingga berdampak pada kematian benih ikan Nila Nirwana yang memiliki jumlah kematian terbanyak pada perlakuan 20 ppt. Organ-organ yang berperan untuk mempertahankan tekanan osmosis meliputi: hati kulit, ginjal, usus, saluran pencernaan dan darah (Affandi dan Tang 2002). Proses kondisioning perlu dilakukan secara bertahap pada lingkungan baru ikan nila sehingga dapat menekan tingkat mortalitas ikan (Ismail 1993 dalam Ghufran 2011). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pada proses kondisioning adalah ukuran ikan. Semakin besar ukuran ikan pada saat
29
pengkondisian dengan lingkungan, maka ikan akan lebih sensitif dan sebaliknya semakin kecil ukuran ikan,
maka ikan akan lebih tahan pada proses
pengkondisian pada lingkungan yang baru (Suryanti 1993 dalam Ghufran 2011). Hasil penelitian Marsambuana dan Tahe (1995) mengenai pengamatan dan pengukuran pada ikan nila selama 50 hari memperoleh hasil bahwa kelangsungan hidup cukup tinggi, yaitu dengan rata-rata 98,4%. Perbedaan salinitas pada kisaran 0 ppt- 30 ppt memperlihatkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup. Hasil yang diperoleh pada penelitian Fariddudin (2010) pada salinitas 0-30 ppt memperlihatkan bahwa larva ikan nila dapat hidup dengan sintasan diatas 80%. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa benih ikan nila BEST dapat hidup dengan baik sampai dengan salinitas 15 ppt. Hasil penelitian dari Leunufna (2012) terhadap benih ikan nila yang dipelihara selama 5 minggu, menunjukkan bahwa benih ikan nila merah masih bisa hidup pada perlakuan 30 promil namun tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Tingkat kelangsungan hidup terbaik berada pada perlakuan kontrol. 4.2 Pertumbuhan Berdasarkan sampling yang dilakukan selama masa pemeliharaan maka diperoleh hasil bahwa pertumbuhan akan berkaitan dengan tingkat salinitas yang berbeda. Gambar 6, Tabel 5 dan Lampiran 5, menunjukkan hasil pertumbuhan benih ikan nila pada penelitian adalah sebagai berikut.
Gambar 6.
Pertumbuhan Rata-Rata Benih Ikan Nila Nirwana Setiap Periode Sampling (10 hari waktu sampling).
30
Tabel 5. Pertumbuhan ikan nila Nirwana selama masa pemeliharaan. Perlakuan Pertumbuhan Bobot (Gram) A (Kontrol) 1,68 ± 1,07 a B (5 ppt) 2,46 ± 0,38 a C (10 ppt) 2,06 ± 0,12 a D (15 ppt) 2,00 ± 0,33 a E (20 ppt) 0,71 ± 1,03 a Keterangan:
Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada perlakuan menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%
Berdasarkan pertumbuhan benih ikan Nila Nirwana, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ikan nila dapat tumbuh sampai dengan salinitas 20 ppt. Jumlah persentase pada salinitas 20 ppt menunjukkan pertumbuhannya sangat rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan bobot pada salinitas 5 ppt, 10 ppt, 15 ppt dan 20 ppt, menunjukkan bahwa hasil laju pertumbuhan bobot benih nila Nirwana memiliki kondisi semakin menurun. Oleh karena itu semakin tinggi salinitas maka akan semakin berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot benih ikan nila Nirwana. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor keturunan antara lain sex dan umur. Faktor luar meliputi kualitas air (pH, DO, suhu, amonia, dan salinitas) serta parasit dan penyakit (Effendi 1997). Pertumbuhan benih ikan terjadi akibat adanya asupan makanan yang masuk kedalam tubuh dan diubah menjadi energi untuk aktivitas dan metabolisme. Ukuran bukaan mulut akan menjadi salah satu faktor mudah tidaknya proses masuk makanan ke dalam tubuh. Ukuran makanan ikan yang lebih besar dari bukaan mulut akan menyebabkan kemampuan memakan makanan akan terhambat dan pertumbuhan pun akan terhambat (Effendi 1997). Salinitas dapat mempengaruhi proses osmoregulasi sehingga proses pertumbuhan ikan akan terhambat. Penyebab terhambatnya suatu pertumbuhan ikan nila pada media yang bersalinitas disebabkan oleh adanya proses osmoregulasi yang tinggi sehingga energi yang diperoleh difokuskan untuk menyeimbangkan kemampuan tubuh dengan lingkungan. Salinitas yang sesuai dengan kondisi fisiologis dan sistem osmoregulasi ikan dapat meningkatkan
31
pertumbuhan, sedangkan salinitas yang tinggi dapat mempengaruhi lambat atau tidaknya laju pertumbuhan (Bestian 1996). Hasil penelitian Fariduddin (1995), membuktikan bahwa salinitas pada perlakuan 10 ppt, 20 ppt, dan 30 ppt, berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan ikan nila. Laju pertumbuhan teroptimal pada salinitas 20 ppt. Hasil penelitian Leunufna (2012), membuktikan bahwa benih ikan nila merah pada tiap perlakuan memperoleh bobot 0 ppt (4,02 gram), 10 ppt (3,43 gram), 20 ppt (2,25 gram) dan 30 ppt (0,15 gram), menunjukkan pertumbuhan optimal benih ikan nila merah pada kontrol, namun benih ikan nila merah dapat tumbuh pada salinitas 20 ppt. Hasil penelitian Putri (2010), membuktikan bahwa nila GIFT pada perlakuan 0 ppt, 5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, dan 20 ppt, laju pertumbuhan teroptimal terdapat pada perlakuan 10 ppt sebesar 2,23%. 4.3 Efisiensi Pakan Persentase efisiensi pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan pada setiap perlakuan yang disesuaikan dengan bobot ikan dan jumlah kelangsungan hidup, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Efisiensi pakan selama masa pemeliharaan. Perlakuan Efisiensi Pakan (%) A (Kontrol) 92,26 ± 9,45 a B (5 ppt) 91,70 ± 0,17 a C (10 ppt) 94,83 ± 38,35 a D (15 ppt) 97,60 ± 5,97 a E (20 ppt) 60,30 ± 17,84 a Keterangan:
Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada perlakuan menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil analisis sidik ragam uji F menunjukkan bahwa perlakuan salinitas yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata (signifikan) terhadap efisiensi pemberian pakan untuk ikan Nila Nirwana. Oleh karena itu dilakukan uji lanjutan dikarenakan F hitung lebih besar dari F tabel. Uji statistik dan uji lanjutan Duncan dapat dilihat pada Lampiran 6. Data hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat salinitas pada perlakuan D (15 ppt) menghasilkan efisiensi pakan tertinggi dengan
32
persentase
sebesar 97,6%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A
(kontrol), B (5 ppt), dan C (10 ppt) yang memiliki jumlah efisiensi pakan diatas 90%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perlakuan A (kontrol), B (5 ppt), C (10 ppt), dan D (15 ppt), menghasilkan tingkat efisiensi pakan yang relatif sama yaitu di atas 90%. Perlakuan E (20 ppt) yang memiliki jumlah tingkat efisiensi pakan terendah sebesar (60,3%), dikarenakan tingkat kelangsungan hidupnya yang rendah. Tinggi rendahnya salinitas dapat berpengaruh secara langsung terhadap efisiensi pakan ikan dan jumlah makanan yang akan dikonsumsi (Andrianto 2005). Perlakuan D (15 ppt) memiliki nilai efisiensi pakan yang sangat tinggi yaitu sebesar 97,6%, namun jika dibandingkan dengan hasil pertumbuhan bobot perlakuan D yang terdapat pada Tabel 5 yaitu sebesar (2,00 gram) masih dibawah nilai pertumbuhan bobot perlakuan B (2,46 gram) dan C (2,06 gram). Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi oleh benih ikan Nila Nirwana pada perlakuan 15 ppt kurang efisien untuk proses pertumbuhan, karena sebagian besar energi yang diperoleh dari asupan makanan yang masuk dan dicerna digunakan untuk proses osmoregulasi dalam upaya menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang baru. Pertumbuhan organisme yang hidup di air dipengaruhi oleh parameter kualitas air, salah satunya ialah salinitas dimana organisme air mempunyai toleransi pada masing-masing salinitas pada suatu perairan (Asmawi 1983 dalam Leunufna 2012). 4.5 Kualitas Air Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air selama penelitian yang merujuk kepada Schmidt-Nielsen (1990) dalam Putri (2009), maka kualitas air selama penelitian masih dalam kondisi dapat ditolerir oleh benih ikan Nila Nirwana. Parameter kualitas air tertera pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, nilai suhu setiap perlakuan ialah A (27–29 °C), B (27–30°C), C (27–30°C), D (27–30°C), dan E (27– 0°C). Pertumbuhan biota air termasuk ikan sangat dipengaruhi oleh suhu air. Kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan diperairan tropis adalah antara 28-32°C. Pada kisaran tersebut,
33
konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/berat. Ikan mengkonsumsi oksigen pada kisaran suhu di bawah 25°C mencapai 1,2 mg/g berat. Ikan masih bertahan hidup pada suhu 18-25°C akan tetapi nafsu makan mulai menurun. Suhu air 12-18°C mulai berbahaya bagi kehidupan ikan dikarenakan tingkat kelarutan oksigen sangat rendah. Secara teoritis, ikan tropis masih akan hidup normal pada suhu 30-35°C, jika konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi (Ahmad 1998 dalam Ghufran 2011). Tabel 8. Kualitas air selama masa pemeliharaan Perlakuan Kontrol 5 ppt 10 ppt 15 ppt 20 ppt Standar untuk budidaya ikan nila
Suhu (ºC) 27-29 27-30 27-30 27-30 27-30 25-30
Kualitas Air pH DO (mg/L) 7,00-7,16 4,2-6,0 6,96-7,00 4,1-6,0 6,92-7,00 4,6-6,0 6,93-7,00 4,4-6,0 6,93-7,00 4,5-6,0 6,9-8,5
>4
Amonia 0,50-1,00 0,50-2,00 0,50-2,00 0,50-2,00 0,50-2,00 > 2,4
Sumber : Schmidt-Nielsen (1990) dalam Putri (2009)
Suhu merupakan salah satu variabel kualitas air yang bersifat fisika dan memiliki peran penting dalam kehidupan semua organisme air, terutama pada benih nila Nirwana. Suhu air sangat berpengaruh terhadap proses kimia, fisika dan biologi suatu perairan. Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan, peningkatan suhu dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme ikan, semakin tinggi suhu maka akan semakin cepat pula perairan tersebut mengalami kejenuhan akan oksigen (Asmawi 1983 dalam Leunufna 2012). Berdasarkan Tabel 8 kisaran pH yang diperoleh selama penelitian yaitu A (7,16-7,79), B (6,80–6,96), C (6,92-7,77), D (6,93-7,73), dan E (6,93-6,98). Kisaran tersebut masih sangat layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan Nila Nirwana dengan ukuran (3-5 cm). Nilai pH dapat menunjukkan kualitas suatu perairan sebagai lingkungan hidup bagi ikan yang merupakan salah satu parameter yang berperan dalam menentukan produktifitas primer, walaupun kualitas perairan itu bergantung pada faktor lainnya. Derajat keasaman (pH) yang
34
rendah akan menyebabkan keasaman meningkat, jika itu terjadi maka kondisi perairan
akan
menyebabkan
menurunnya
kualitas
air
sehingga
dapat
mengakibatkan menurunnya selera makan ikan (Putri 2009). Derajat keasaman (pH) merupakan suatu pembatas dalam pertumbuhan ikan bahkan kelangsungan hidup ikan (Kordi dan Tacung 2007). Derajat keasaman suatu perairan juga mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran aktivitas hidrogen dalam larutan (Saeni 1989 dalam Madyan 2011). Faktor yang mempengaruhi pH pada suatu perairan antara lain seperti suhu, aktifitas fotosintesis, dan keberadaan ion-ion di perairan (Arie 2009). Oksigen terlarut (DO) merupakan jumlah gas oksigen yang terlarut dalam air. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah suhu salinitas dan pergerakan air (Katamsi 2008 dalam Fajarwati 2010). Berdasarkan data dari Tabel 8, kisaran DO selama penelitian yaitu A (5,0-4,2 mg/L), B (5,4-4,1 mg/L), C (5,1-4,6 mg/L), D (5,4-4,4 mg/L), E (5,3-4,5 mg/L). Kisaran kandungan oksigen terlarut pada perlakuan 0 ppt-20 ppt masih dalam batas yang layak jika mengacu pada batas standar Schmidt-Nielsen yaitu lebih dari 4 mg/L (Schmidt-Nielsen 1990 dalam Putri 2009). Kebutuhan oksigen ikan terdiri dari dua aspek yaitu, kebutuhan lingkungan yang sangat dipengaruhi keadaan metabolisme ikan (Zonneveld et al. 1991 dalam Bestian 1996).
Nilai ambang batas kelarutan oksigen, ikan berjenis tilapia akan
menghemat energi dengan cara mengurangi aktivitas (Peer and Kuthy 1981 dalam Bestian 1996). Peningkatan suhu sebesar 40C pada perairan akan menyebabkan ikan untuk meningkatkan konsumsi oksigen. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan semakin tinggi suhu akan berakibat terhadap rendahnya oksigen yang terlarut dalam air, karena disebabkan oleh meningkatnya aktivitas ikan (Brown 1987; Gusrina 2008; Ghufran 2011). Amonia merupakan senyawa kimia hasil dari perombakan asam-asam amino oleh berbagai jenis reaksi aerob dan anaerob. Berdasarkan data dari Tabel 8 jumlah
amonia
yang
terkandung
pada
setiap
perlakuan
baik
itu
A (0,50–1,0 mg/L), B (0,50–2,0 mg/L), C (0,50–2,0 mg/L), D (0,50–2,0 mg/L)
35
dan E (0,50–2,0 mg/L). Amonia yang terkandung masih dalam keadaan layak dan dapat ditolerir oleh ikan nila sesuai dengan standar kualitas air pada ScmidtNielsen yaitu konsentrasi diatas 2,4 mg/L. Kandungan amonia yang berada dalam suatu perairan dapat disebabkan oleh sisa-sisa pakan yang mengendap dan kotoran biota budidaya. Pengaruh langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan ialah rusaknya jaringan insang, dimana lempeng insang akan membengkak sehingga dapat mengganggu sistem pernafasan yang mengakibatkan ikan dalam keadaan kronis bahkan ikan tidak lagi hidup normal (Ghufran 2011).