BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan. Kelangsungan hidup tertinggi sebesar 100% pada akuarium dengan perlakuan 0 mL EM4 /L air dalam biofilter, perlakuan 9 mL EM4 /L air dalam biofilter dan 15 mL EM4 /L air dalam biofilter. Kelangsungan hidup terendah terjadi pada perlakuan 12 mL EM4 /L air dalam biofilter dan 18 mL EM4 /L air dalam biofilter, yaitu sebesar 97,67%. Tingkat kelangsungan hidup nilem tiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
100
Kelangsugan Hidup (%)
90 80 70
60 50 40 30
20 10 0
0
9
12
15
18
Konsentrasi Perlakuan (mL EM4/L air)
Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan
Kelangsungan hidup ikan nilem dapat dipengaruhi oleh
keberadaan
parasit, serangan penyakit, perubahan lingkungan dan ketersediaan makanan (Wicaksono, 2005). Pengamatan visual terhadap tingkah laku maupun tubuh ikan uji menunjukkan bahwa ikan uji berada dalam kondisi yang sehat. Tingkat
24
25
kelangsungan hidup yang tinggi pada akuarium kontrol maupun pada akuarium perlakuan yang ditambahkan EM4 pada media biofilter- nya ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang terkontrol, penelitian yang dilakukan didalam ruangan (indoor) memberikan proteksi kepada ikan dari ancaman penyakit dan parasit yang datang dari lingkungan luar. Sistem continuous flow yang digunakan dalam penelitian ini juga bekerja dengan baik dalam menjaga kualitas air sehingga berpengaruh positif terhadap kelangsungan hidup ikan nilem. Pengunaan sistem continous flow disertai dengan penggunaan media biofilter pada penelitian ini menekan peningkatan jumlah amonia dalam air. Fokus utama dalam sistem akuaponik adalah untuk menghilangkan amonia, yaitu produk limbah dari proses metabolisme ikan. Amonia masuk ke tubuh ikan melalui insang. Amonia akan terakumulasi dan mencapai tingkat beracun, kecuali jika amonia diubah melalui proses nitrifikasi. Dalam proses ini, amonia akan teroksidasi menjadi nitrit, yang besifat racun, dan kemudian diubah menjadi nitrat, yang bersifat tidak beracun oleh bakteri. Ada dua kelompok bakteri (Nitrosomonas dan Nitrobacter) yang secara alami melakukan proses ini. Bakteri nitrifikasi akan tumbuh membentuk lapisan (film) pada permukaan suatu benda atau akan melekat pada partikel-partikel organik (Rakocy et al. 2006). Konsentrasi nitrit yang tinggi dalam air menyebabkan brown blood disease. Nitrit masuk aliran darah melalui insang dan mengubah darah menjadi bewarna kecoklatan. Hemoglobin yang berperan mengangkut oksigen dalam darah, bergabung dengan nitrit membentuk methemoglobin, sehingga tidak dapat melakukan pengangkutan oksigen. Ketika ikan terserang bakteri maupun parasit, kepekaan terhadap nitrit menjadi besar. Ikan yang mempertahankan diri dari brown blood disease atau stres nitrit lebih mudah terkena infeksi bakteri, anaemia (bibir menjadi pucat atau tidak ada darah), dan penyakit
lain yang
berkaitan dengan stress. Serangan Aeromonas maupun infeksi Columnaris juga sering menyerang antara 1 sampai 3 minggu setelah brown blood disease terjadi. Pemeliharaan mutu pH air dapat mempercepat penyerapan nutrisi oleh tanaman, memaksimalkan proses nitrifikasi, memperkecil terjadinya keracunan ammonia,
26
memaksimalkan oksigenasi dan memelihara keseimbangan tingkat stres ikan dalam sistem (Burgess, 2009). Perlakuan penambahan EM4 menunjukkan kelangsungan hidup ikan yang tinggi dan mengindikasikan media hidup ikan yang sesuai kebutuhan ikan. Peran EM4 terhadap kelangsungan hidup terlihat pada 10 hari pertama dimana biofilter yang diberi EM4 mengalami peningkatan konsentrasi amonia lebih sedikit (0 mg/L – 0,83 mg/L) dibanding akuarium kontrol yang mengalami kenaikan konsentrasi amonia sampai 0,25 mg/L. Dengan melakukan penambahan EM4 pada biofilter, selain oleh bakteri nitrifikasi, kinerja penguraian juga dibantu oleh mikroorganisme yang terkandung dalam EM4 . EM4 mengandung bakteri photosynthetic yang dapat meningkatkan kapasitas fiksasi nitrogen (Kyan et al. 1999). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EM4 pada biofilter memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup nilem. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa pemberian 12 mL EM4 /L air pada media biofilter dapat memberikan kelangsungan hidup tertinggi. Pemberian EM4 pada media biofilter dalam penelitian ini menghasilkan tingkat kelangsungan hidup > 97% pada tiap perlakuan, sehingga masih sangat memungkinkan untuk dilakukan penambahan konsentrasi EM 4 pada media biofilter.
4.2. Laju Pertumbuhan Nilem Pertambahan panjang dan bobot nilem selama penelitian cukup baik. Pertumbuhan nilem dapat semakin ditingkatkan jika pakan yang diberikan cocok dengan kebiasaan makan nilem sehingga pakan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh tubuh ikan. Kandungan protein yang tinggi pada pakan (PF 1000) dengan persentase 40% ternyata tidak dapat diserap maksimal oleh tubuh nilem yang memiliki sifat herbivora. Wicaksono (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh padat tebar terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V) yang dipelihara dalam keramba jaring apung di waduk Cirata dengan pakan
27
perifiton. Ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V) yang digunakan berukuran 7,17,4 cm dengan berat 4,6-5,3 g dan dipelihara selama 48 hari. Hasil dari penelitian Wicaksono (2005) adalah pertumbuhan harian nilem di kepadatan 35 ekor/m3 , 70 ekor/m3 dan 105 ekor/m3 masing- masing menunjukkan nilai
sebesar 1,66%,
1,50% dan 0,88% dengan kelangsungan hidup bernilai > 90% pada tiap perlakuan. Dalam penelitian ini, rata-rata nilai pertumbuhan harian ikan nilem yang dihasilkan berkisar antara 2,36% – 2,83% dengan tingkat kelangsungan hidup > 97% pada tiap perlakuan. Jika dilakukan perbandingan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2005), hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi nilainya dalam hal pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup nilem. Pertumbuhan ikan nilem yang ditambahkan EM4 pada biofilternya lebih tinggi dari perlakuan yang tidak ditambahkan EM 4 (kontrol). Kandungan mikroorganisme pada EM4 terbukti dapat meningkatkan laju pertumbuhan nilem. Bakteri asam laktat (Lactobacillus spp) memiliki kemampuan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab penyakit. Ragi (Saccharomyces spp) berperan dalam pertumbuhan merupakan mikroorganisme dalam EM4 yang meningkatkan laju pertumbuhan nilem (Kyan et al. 1999). Mikroorganisme pada EM4 yang diintroduksi pada media air dapat masuk ke dalam tubuh ikan dikarenakan aktivitas ikan yang meminum air pada proses osmoregulasi, sehingga mikroorganisme tinggal dalam organ pencernaan. Pengukuran terhadap panjang nilem selama penelitian menunjukkan pertambahan panjang yang berbeda tiap perlakuan. Sistem akuaponik yang diberi EM4 pada media biofilter-nya menghasilkan pertambahan panjang yang lebih tinggi dibanding dengan sistem akuaponik tanpa pemberian EM4 pada media biofilter-nya. Pertambahan panjang tertinggi terjadi pada perlakuan 18 mL EM 4 /L air, sebesar 1,27 cm. Pertambahan panjang terendah terjadi pada perlakuan 0 mL EM4 /L air (kontrol), sebesar 0,83 cm. Rata-rata pertambahan panjang yang sama terjadi pada perlakuan 9 mL EM4 /L air dengan 15 mL EM4 /L air. Perlakuan 18 mL EM4 /L air memberikan pertambahan panjang rata-rata tertinggi, hasil ini membantah hipotesis awal yang menyatakan pertambahan panjang tertinggi
28
terjadi pada perlakuan 12 mL/L EM4 . Pertambahan panjang ikan nilem tiap perlakuan selama penelitian dilakukan dapat dilihat pada Gambar 5.
Panjang (cm)
7
6
0 mL EM4/L air 9 mL EM4/L air 12 mL EM4/L air
5
15 mL EM4/L air 18 mL EM4/L air 4
0
7
14
21
28
Waktu (Hari)
Gambar 5. Pertambahan Panjang Nilem tiap Pe rlakuan
Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EM 4 pada biofilter memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada terhadap pertambahan panjang nilem. Hasil penelitian menunjukkan pertambahan bobot yang berbeda pada tiap perlakuan. Dalam penelitian ini, sistem akuaponik yang diberi EM4 pada media biofilter-nya menghasilkan pertambahan bobot yang lebih tinggi dibanding dengan sistem akuaponik tanpa pemberian EM4 pada media biofilter-nya. Pertambahan bobot rata-rata tertinggi terjadi pada perlakuan 15 mL EM 4 /L air, yaitu sebesar 2,89 gr. Pertambahan bobot rata-rata terendah terjadi pada perlakuan 0 mL EM4 /L air (kontrol), yaitu sebesar 2.37 g. Pertambahan bobot ikan nilem tiap perlakuan selama penelitian dilakukan dapat dilihat pada Gambar 6.
29
3,5 3
Bobot (gr)
2,5 0 mL EM4/L air
2
9 mL EM4/L air
1,5
12 mL EM4/L air
1
15 mL EM4/L air
0,5
18 mL EM4/L air
0 0
7
14
21
28
Waktu (Hari)
Gambar 6. Pertambahan Bobot Nilem tiap Pe rlakuan
Hasil penelitian juga menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan spesifik lebih tinggi pada sistem akuaponik yang diberi EM4 pada biofilter-nya dibanding dengan sistem akuaponik tanpa EM4 . Rata-rata laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate) tertinggi terjadi pada perlakuan 15 mL EM4 /L air, yaitu sebesar 2,84%. Rata-rata laju pertumbuhan spesifik terendah terjadi pada perlakuan 0 mL EM4 /L air (kontrol). Laju pertumbuhan spesifik nilem selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
30
3,5
3
SGR (%)
2,5 0 mL EM4/L air
2
9 mL EM4/L air
1,5
12 mL EM4/L air
1
15 mL EM4/L air
0,5
18 mL EM4/L air
0 1
2
3
Ulangan
Gambar 7. Laju Pertumbuhan Spesifik Nilem tiap Perlakuan
Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EM 4 pada biofilter memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada terhadap pertambahan bobot nilem.
4.3. Pertumbuhan Kangkung Darat Metode continuous flow (Tezel, 2009) yang diterapkan pada sistem akuaponik dalam penelitian ini mampu melakukan resirkulasi air (Gambar 8) sebanyak 500 mL/menit. Air akan terus mengalir selama 24 jam sehingga menggenangi media tumbuh (Gambar 9). Air yang mengalir dari akuarium akan membawa nutrisi yang berguna untuk pertumbuhan kangkung darat.
Gambar 8. Resirkulasi Air
Gambar 9. Air Menggenangi Media Tanam
31
Pada penelitian yang dilakukan, pertumbuhan kangkung cenderung lambat, diduga kangkung darat tidak mendapat nutrisi yang cukup untuk menopang pertumbuhan yang optimal. Pada hari ke-1 sampai hari ke-7 kangkung tumbuh mencapai tinggi rata-rata 13 cm. Pada hari ke-8 sampai hari ke-15 pertumbuhan mengarah ke pertambahan volume batang dan jumlah daun. Pada hari ke-16 sampai hari ke-20 pertambahan tinggi kangkung cenderung stagnan. Pertumbuh kangkung saat penelitian dilakukan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pertumbuhan Kangkung Darat saat Penelitian
Lambatnya pertumbuhan kangkung dikarenakan sedang terjadi musim hujan dan sering terjadi mendung sehingga sinar matahari menjadi terhalang awan, kemudian intensitas cahaya yang masuk kedalam ruang hatchery berkurang. Lampu yang digunakan sebagai sumber pencahayaan ternyata tidak memberikan kebutuhan cahaya yang cukup untuk pertumbuhan kangkung. Untuk mendukung pertumbuhan kangkung dibutuhkan lampu dengan kekuatan pencahayaan yang lebih besar. Pada hari ke-21 sebagian tanaman terserang jamur yang menyebabka n bagian batang kangkung layu dan membusuk. Serangan jamur ini diperkirakan
32
terjadi karena keadaan lingkungan yang lembab, berlangsungnya musim hujan pada penelitian ini sangat mempengaruhi kelembapan ruangan. Kangkung yang mati karena serangan jamur dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kangkung yang Mati Karena Serangan Jamur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan tertinggi kangkung terjadi pada perlakuan 15 mL EM4 /L air, yaitu sebesar 17 cm. Rata-rata pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan 0 mL EM4 /L air, yaitu sebesar 16 cm. Pertambahan tinggi rata-rata kangkung tiap perlakuan selama penelitian dilakukan dapat dilihat pada Gambar 12. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EM 4 pada biofilter memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi kangkung darat.
33
18
16 14 Tinggi (cm)
12 0 mL EM4/L air
10
9 mL EM4/L air
8
12 mL EM4/L air
6
15 mL EM4/L air
4
18 mL EM4/L air
2 0 0
3
6
9
12 15 18 21 24 27 30 Waktu (Hari)
Gambar 12. Pertambahan Tinggi Kangkung Darat tiap Perlakuan
4.4. Kualitas Air 4.4.1. Suhu Hasil pengukuran terhadap suhu air selama penelitian berlangsung menunjukkan kisaran suhu sekitar 24°C-28°C. Pengukuran suhu dilakukan setiap 7 hari pada pukul 11.00 WIB. Suhu terendah terjadi saat sampling pertama dilakukan (hari ke-0), yaitu 24°C. Rendahnya suhu rata-rata pada awal penelitian ini terjadi karena pemasangan heater baru dilakukan. Pada sampling berikutnya, kisaran suhu sektar 27°C-28°C. Pengukuran terhadap suhu air tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13.
34
29 28
Suhu (°C)
27 0 mL EM4/L air
26
9 mL EM4/L air
25
12 mL EM4/L air 24
15 mL EM4/L air
23
18 mL EM4/L air
22 0
7
14
21
28
Waktu (hari)
Gambar 13. Suhu Air tiap Perlakuan
4.4.2. Amonia Total Pengukuran terhadap kadar amonia dalam air menghasilkan kisaran sekitar 0 – 0,67 mg/L. Peningkatan konsentrasi amonia mulai terlihat pada sampling ke-2 (hari ke-10), biofilter yang diberi EM4 mengalami peningkatan konsentrasi amonia lebih sedikit (0 mg/L – 0,83 mg/L) dibanding kontrol (0,25 mg/L). Kadar rata-rata amonia tertinggi terjadi pada sampling ke-4, yaitu pada perlakuan 12 mL EM4 /L air dan 18 mL EM4 /L air, sebesar 0,67 mg/L, pada perlakuan lainnya, kadar amonia total tetap pada 0,25 mg/L. Kondisi amonia total pada sistem akuaponik selama penelitian masih aman untuk nilem. Normalnya, ikan air tawar masih toleran terhadap total amonia sampai 1,0 mg/L (Molleda, 2007). Hasil pengukuran amonia rata-rata tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14.
35
0,7
Amonia (mg/L)
0,6 0,5
0 mL EM4/L air
0,4
9 mL EM4/L air
0,3
12 mL EM4/L air
0,2
15 mL EM4/L air
0,1
18 mL EM4/L air
0
0
10
20
30
Waktu (Hari)
Gambar 14. Konsentrasi Amonia dalam Air tiap Perlakuan
Kematian
pada
sebagian
tanaman
dikarenakan
serangan
jamur
menyebabkan peningkatan kadar amonia pada perlakuan 18 mL EM 4 /L air dan 12 mL EM4 /L air. Terjadi proses dekomposisi pada tanaman yang mati sehingga meningkatkan kandungan bahan organik pada air. Pengukuran amonia total pada biofilter (Gambar 15) selama penelitian berlangsung menunjukkan nilai 0 mg/L pada setiap perlakuan. Pada biofilter terlihat sedimen yang berasal dari proses filtrasi air (Gambar 16). Hasil ini membuktikan bahwa biofilter bekerja dengan baik dalam melakukan filtrasi air.
Gambar 15. Pengukuran Amonia dengan Menggunakan Test Kit
Gambar 16. Sedime n yang Tersaring oleh Biofilter
36
4.4.3. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxigen) Air Pengukuran terhadap DO air selama penelitian menunjukkan terjadinya fluktuasi. Kisaran DO air pada semua perlakuan sekitar 7,5 mg/L – 9,6 mg/L. Nilai DO air tiap sistem pada penelitian ini masih dalam batas normal untuk pertumbuhan nilem. Nilai DO air minimum untuk kebutuhan oksigen budidaya ikan air tawar sebaiknya lebih dari 5 mg/L (Summerfelt, 1998). Hasil pengukuran rata-rata DO air tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 17.
9,5 9 8,5
DO (mg/L)
8 0 mL EM4/L air
7,5
9 mL EM4/L air
7
12 mL EM4/L air 6,5
15 mL EM4/L air
6
18 mL EM4/L air
5,5 5 0
7
14
21
28
Waktu (Hari)
Gambar 17. DO Air tiap Pe rlakuan
4.4.4. Derajat Keasaman (pH) Air Pengukuran terhadap pH air menunjukkan kisaran antara 7,33 – 8,4. Terjadi penurunan nilai pH air tiap minggu. Penurunan pH terjadi karena degradasi kualitas air yang disebabkan oleh sisa pakan, feses, respirasi alga dan berkurangnya CO 2 dalam air (Molleda, 2007). Proses nitrifikasi adalah proses yang menghasilkan zat asam (acid producing process), sehingga berpengaruh terhadap pH air. Kisaran pH optimum air untuk proses nitrifikasi adalah 7.0 - 9.0. Adapun kisaran pH yang cocok untuk pertumbuhan tanaman hidroponik ada lah
37
5.5 - 6.5. Nilai pH dalam air akan mempengaruhi daya larut nutrisi. Nutrisi seperti besi (iron), mangan, tembaga (copper), seng (zinc) dan boron akan lebih sedikit diperoleh tanaman pada pH > 7.0. Daya larut fosfor, calsium, magnesium dan molybdenum akan sangat berkurang pada pH < 6.0. Kesesuaian antara proses nitrifikasi dan ketersediaan nutrisi akan didapat dalam sistem akuaponik jika pH air tetap dipelihara pada nilai pH sekitar 7.0 (Rakocy, 2006). Nilai pH air yang paling produktif normalnya berkisar antara 6.5 – 8.5 (Summerfelt, 1998). Dalam penelitian ini, nilai pH dalam tiap akuarium masih normal untuk menunjang pertumbuhan ikan, namun masih belum sesuai dengan pH yang cocok untuk kangkung darat sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kangkung. Hasil pengukuran pH air tiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 18.
8,6
8,4 8,2
pH
8 0 mL EM4/L air
7,8
9 mL EM4/L air
7,6
12 mL EM4/L air
7,4
15 mL EM4/L air
7,2
18 mL EM4/L air
7 6,8
0
7
14
21
28
Waktu (Hari)
Gambar 18. pH Air tiap Perlakuan