Ihsan Naufal
UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)
(Skripsi)
Oleh IHSAN NAUFAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
Ihsan Naufal
ABSTRAK UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung) Oleh IHSAN NAUFAL Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat dimana narapidana menjalani pembinaan atas tindak pidana yang telah dilakukan, Lapas merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas kebebasannya karena memang demikian pembinaan yang diterapkan dengan tujuan untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun dalam prakteknya tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas, sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai. Penyimpangan yang dimaksud adalah narapidana yang berada di dalam Lapas yang seharusnya telah dirampas kemerdekaannya, namun narapidana tersebut dapat berkomunikasi dengan orang di luar Lapas secara bebas dan bahkan bisa mengendalikan kejahatan dari dalam Lapas, antara lain adalah penipuan. Kejahatan penipuan yang dilakukan narapidana di dalam Lapas beredar dengan modus operandi dan media yang bervariasi contohnya adalah penipuan melalui telepon genggam. Permasalahan yang diteliti penulis adalah apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara identifikasi, klasifikasi, dan penyusunan data serta penarikan kesimpulan. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif dimana data tersebut dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian-uraian kalimat sehingga memudahkan interpretasi dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada.
Ihsan Naufal Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan adalah faktor ekonomi, faktor lingkungan dan peniruan, dan faktor kesempatan. Sedangkan upaya penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, Lapas lebih menekankan ke tindakan preventif sehingga tindakan represif dapat diminimalisir. Upaya preventif meliputi penyuluhan hukum kepada narapidana, melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan, dan melakukan razia rutin. Sedangkan upaya represif dilakukan dengan sanksi hukuman disiplin. Adapun saran yang diajukan penulis yaitu, dalam hal ini keluarga dan kerabat narapidana berperan penting dalam keberhasilan pembinaan narapidana di dalam Lapas, karena keluarga dan kerabat narapidanalah yang memiliki kedekatan emosional dengan narapidana sehingga diharapkan dapat mengarahkan narapidana untuk melakukan kegiatan positif di dalam Lapas. Selain itu perlu dilakukan penambahan waktu dalam melakukan razia rutin di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Kata Kunci : Penipuan, Telepon Genggam, Narapidana
UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)
Oleh IHSAN NAUFAL
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ihsan Naufal dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 10 Mei 1994. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan bapak Anshari Ilyas dan ibu Aini Hamzah. Penulis menyelesaikan pendidikannya di TK Amalia Tanjung Senang Bandar Lampung pada tahun 2000, Sekolah Dasar di SD Al-Azhar 1 Bandar Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas di SMA YP Unila Bandar Lampung pada tahun 2012. Pada Tahun 2012 Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan untuk lebih memahami pengetahuan di bidang Hukum, penulis memilih Bagian Hukum Pidana. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Pekon Way Harong, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus pada tahun 2016.
MOTTO
Man Jadda Wa Jada – Whoever strives shall succeed A man who doesn’t spend time with his family can never be a real man (Don Corleone) Kita tak pernah menanmkan apa-apa, kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa (Soe Hok Gie)
Bagi seseorang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup (Tan Malaka) Biarkan imajinasi membawamu berpetualang, hingga kebaikan pekerti memanggilmu untuk kembali pada jatidiri (Ihsan Naufal)
PERSEMBAHAN
Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan sebuah karya sederhana atas izin Allah SWT dan tetesan keringatku ini kepada :
Kedua orang tuaku Sebagai tanda bakti, hormat serta rasa terimakasih yang tiada terhingga telah membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih. Terimakasih atas segala kasih sayang, ketulusan, pengorbanan, motivasi serta doa yang selalu mengalir untukku.
Adikku Tersayang, (Alm) Dwi Raesita dan Risa Zata Lini yang senantiasa menemaniku dengan segala keceriaan dan kasih sayang.
Para guru serta dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepadaku Sahabat-sahabat dan teman-temanku yang selalu menemani untuk memberikan semangat.
Almamaterku Tercinta
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”Upaya penanggulangan terhadap kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1A Bandar Lampung), sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada: 1.
Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2.
Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3.
Ibu Dona Raisa Monica S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4.
Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.
5.
Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.
6.
Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H, selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.
7.
Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H, selaku Dosen Pembahas II yang juga telah memberikan waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.
8.
Bapak Abdul Muthalib, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan Penulis di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
9.
Bapak Giyono, A.Md.IP., S.H., M.H., Bapak Rizal Efendi, S.H., M.H., Bapak Prof. Dr. Sanusi Husin, S.H., M.H., dan Bapak Moch. Mansur, yang telah menjadi narasumber-narasumber, memberikan izin penelitian, membantu dalam proses penelitian untuk penyusunan skripsi ini.
10. Seluruh dosen, staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas bantuannya selama ini. 11. Terkhusus Untuk Ayahku Anshari Ilyas dan Ibuku Aini Hamzah yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada Penulis, serta menjadi pendorong semangat agar Penulis terus berusaha keras mewujudkan cita-cita dan harapan sehingga dapat membanggakan bagi mereka berdua. 12. Teristimewa pula kepada adik-adikku (Alm) Dwi Raesita dan Risa Zata Lini yang senantiasa mendoakanku, memberiku dukungan semangat dan motivasi,
nasehat serta pengarahan dalam keberhasilanku menyelesaikan studi maupun kedepannya. 13. Bapak Syamiri, Herliana Husein, S.H., dan Herlangga Husein, terima kasih telah membantu dalam proses penelitian untuk penyusunan skripsi ini. 14. Sahabat seperjuangan, Yaser R Sudarman , Khanif Faturahman, S.E., Rudeviansyah Muhammad, S.E., Muamar Maldi W, Gentry Suntrarise, Riki Tri Sanjaya. 15. Teman terbaikku, Dwi Winda DO, Indira Putri, S.P., Tiaranita AN, S.H., A. Fildan Fathia, S.Kom., Apriadi Triatmaji, Sokrat Dwi Putra, Riski A Tanjung, Loga Joenefa, yang telah menjadi tempat berbagi kebahagiaan dan mencurahkan keluh kesah yang ada. 16. Sahabat Keiko Bahabia, Ridhwan Dwi Meiyanto, S.E., Dito Dwi Novrizal, Wisnu Santoso Putro, S.Sos., Alfarendi, S.E., Adi Cahyadi, S.P., Afriadna, Joghel, Widiya Wirawan, S.P., Dini Marliana, Novalim Purlasyanko, S.P., Dery Fourbiko, S.H., Ari Wintardi, yang telah menjadi tempat berbagi kebahagiaan. 17. Seluruh sahabat GAZEBO, Achmad Julianto, S.H. , Achmad Tubagus, Ahmad Dempo Palindo, M. Andi Prakoso, Aulia Syawaludin S.H., Damba Putra, Dimas Satria Sanjaya, S.H., Dedy Ernadi, Dedyta Sitepu, Rizky Ediansyah, S.H., Endri Astomi, S.H., Erwin Rommy, Farid Al Rianto, S.H., Febri Badia, Genta Utama Putra S.H., January Prakoso, S.H., Jelang Rais, Komang Mahendra, S.H., M. Arafat, M. Bobby Pratama, M. Dwitya Agung, M. Ichsan Syahputra, S.H., M. Reza Saputra, M. Sasmi Say Murad, Mario Praja, Mohammad Refsanjani, Muhammad Gibran, S.H., Adhitya Dwi Kuncoro, S.H., Putu Aditya P, S.H., R.
Harry Mulia, Rama Adi Putra S.H., RB Pratama, S.H., Rizal Akbar, S.H., Robby Yendra, Rudi Arlansyah, Urshandy Jhonata, Wahyu Sempurnadjaya, Zaki Andrian, S.H.,
M. Fikri Haiqal, S.H. yang telah memberikan semangat dan
masukan dalam penulisan skripsi ini. 18. Saudara-saudara KKN Pekon Way Harong, Argi M Seto, Prabowo Agung Laksono, M Agus Sutiyono, S.E., Isal Riyandi , S.I.Kom., Sindya Nirwana , S.P., Fitri Mifdah Liyani, terimakasih atas 60 hari yang penuh kenangan, canda tawa, serta kebahagiaan yang sangat membekas. 19. Untuk Almamaterku Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Bandar Lampung, 10 Maret 2017 Penulis,
Ihsan Naufal
i
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ............................................................... 6 C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ................................................. 7 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ............................................................... 8 E. Sistematika Penulisan ................................................................................. 14
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Penipuan....................................................... 17 B. Tinjauan Mengenai Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan ................ 21 C. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Menurut Kriminologi ................. 27 D. Upaya Penanggulangan Kejahatan ............................................................. 36 E. Tinjauan Modus Operandi Penipuan .......................................................... 44
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ................................................................................... 47 B. Jenis dan Sumber Data ............................................................................... 47 C. Penentuan Narasumber ............................................................................... 49 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................................ 49 E. Analisis Data............................................................................................... 51
ii
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kejahatan Penipuan Melalui Telepon Genggam yang Dilakukan oleh Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung .......................... 52 B. Upaya Penanggulangan Terhadap Penipuan yang Dilakukan oleh Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung....... 60
V. PENUTUP A. Simpulan ..................................................................................................... 72 B. Saran ........................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum yang memiliki cita-cita sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, perlu dilakukan usaha agar masyarakat dapat mencapai cita-cita tersebut. Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, dalam usahanya mencapai hal tersebut negara menjumpai banyak rintangan yang ditimbulkan, antara lain adanya pelanggaran hukum atau pelaku kejahatan. Kejahatan itu akan ada dan muncul di tengah-tengah masyarakat, walaupun cara pencegahannya selalu dilaksanakan, bahkan negara telah mempunyai lembagalembaga yang diperuntukkan khusus untuk menangani kejahatan tersebut salah satunya adalah Lembaga Pemasyarakatan, yaitu tempat dimana narapidana menjalani pembinaan atas tindak pidana yang telah dilakukan, namun seiring berkembangnya zaman, kejahatan tetap saja muncul dengan gaya baru dan modus operandi yang baru. Narapidana merupakan seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Kehidupan seorang
2
narapidana berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya, ketika seseorang berada di Lapas hak - haknya dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di Lapas tersebut. Hal ini dikarenakan kebebasan yang dimiliki seorang narapidana telah hilang saat hakim sudah menjatuhkan hukuman dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut. Pemenuhan kebutuhan setiap para Narapidana sudah diatur melalui aturan- aturan yang ketat. Semua orang yang berstatus narapidana pada dasarnya memiliki hak yang sama dikarenakan mereka adalah sama-sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum. Sistem pemidanaan dari tahun ketahun selalu mengalami perubahan, sebelum adanya Sistem Pemasyarakatan narapidana dimasukan ke dalam penjara sebagai sarana balas dendam dari masyarakat dan negara, akan tetapi Sistem Pemasyarakatan tidak dijumpai lagi dan Lapas menjadi sarana pembinaan bagi narapidana, namun dalam kenyataannya tidak jarang Lapas menjadi tempat untuk narapidana melakukan kejahatan baru, antara lain adalah penipuan. Saat ini kejahatan penipuan sering sekali terjadi di masyarakat, dalam perkara penipuan terdapat pihak yang menipu dan pihak yang tertipu. Berdasarkan fakta yang dapat disaksikan ternyata penipuan banyak merambah kemana-mana tanpa pandang bulu, dikarenakan tuntutan ekonomi yang sangat mendesak, banyak kasus tindak pidana penipuan yang beredar dengan modus yang bervariasi, baik dengan modus yang rasional dan juga banyak juga yang irrasional. Praktik-praktik tersebut dirasa sangat merugikan salah satu pihak. Penipuan merupakan salah satu kejahatan yang mempunyai obyek harta benda. Di dalam Kitab Undang-Undang
3
Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana ini di atur dalam bab XXV BUKU II dan terbentang dari Pasal 378 s/d Pasal 395. Dalam Pasal 378 yang berbunyi: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”1 Pasal 378 terkandung unsur-unsur penipuan, dalam ketentuan Pasal 378, penipuan terdiri dari unsur-unsur obyektif yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang), dan cara menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai martabat palsu, memakai tipu muslihat, dan memakai serangkaian kebohongan. Selanjutnya adalah unsur-unsur subyektif yang meliputi meksud untuk menguntungkan diri seniri dan orang lain dan maksud melawan hukum. Selain penipuan dengan penggandaan uang palsu, gendam dan sekarang yang masih hangat adalah penipuan dengan modus dunia maya menggunakan telepon genggam, dan pelaku penipuan tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh narapidana yang masih menjalani proses hukuman di dalam Lapas. “Sebagai contoh, salah satu kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Rajabasa, Bandar Lampung, pada tahun 2015 lalu Kepolisian Daerah Lampung mengungkap kasus penipuan lewat telepon seluler yang dikendalikan narapidana bernama Mulyadi dari balik penjara. Penipuan yang dilakukan bersama seorang rekannya di luar penjara itu, merugikan korban hingga miliaran rupiah. Mendekam di dalam penjara dengan segala keterbatasan, tampaknya tak pernah membatasi kreativitas Mulyadi untuk melakukan penipuan. Dengan kecerdikannya, di balik jeruji kamar yang luasnya tak lebih dari 4×6 meter, narapidana kasus perkosaan ini berhasil menipu para korbannya hingga miliaran rupiah. Dengan bermodalkan telepon seluler, beberapa kartu sim dari berbagai operator, 20 buah kartu 1
Lihat Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
4
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan komputer tablet, Mulyadi alias Awong alias Ali Yusuf leluasa menjalankan operasinya. Sejak Agustus 2012 silam, Mulyadi berhasil mengumpulkan uang senilai Rp1,063 miliar. Dalam satu hari, Mulyadi pernah berhasil mengumpulkan uang haram senilai Rp80 juta. Sepak terjang Mulyadi mulai terungkap akhir Januari lalu. Diawali dengan ditangkapnya Windarto seorang sopir taksi rekan Mulyadi di luar penjara, oleh anggota Reserse dan Kriminal (Reskrim) Kepolisian Daerah Lampung. Windarto, tertangkap petugas saat melakukan penarikan uang tunai hasil penipuan di sebuah ATM yang terdapat di Rumah Sakit Immanuel Bandar Lampung. Warga Bandar Lampung ini bertugas sebagai eksekutor yang menarik uang dari ATM. Untuk melancarkan aksinya, Windarto menggunakan kartu ATM dari 10 rekening di berbagai bank dengan beberapa nama yang berbeda. Tak hanya itu, dia juga memiliki 5 KTP dengan identitas berbeda. Atas informasi tersebut, sehari kemudian petugas dari Reskrim Polda Lampung meringkus Mulyadi di dalam selnya. Selain itu, dari sel Mulyadi polisi berhasil menyita barang bukti berupa uang Rp2,5 juta, 2 unit telepon seluler, 6 chip kartu identitas ponsel, komputer tablet, dan 20 kartu ATM.”2 Melihat dari kejadian tersebut, Lapas yang seharusnya merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas kebebasannya karena memang demikian pembinaan yang diterapkan dengan tujuan untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun dalam prakteknya tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas, sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai. Penyimpangan yang dimaksud adalah narapidana yang berada di dalam Lapas yang seharusnya telah dirampas kemerdekaannya, namun narapidana tersebut dapat berkomunikasi dengan orang di luar Lapas secara bebas dan bahkan bisa mengendalikan kejahatan dari dalam Lapas. Narapidana yang seharusnya hak kemerdekaan dicabut sehingga harus tetap berada di dalam Lapas, namun narapidana dapat berkomunikasi dengan
2
http://www.jejakkasus.com/berita/di-balik-lapas-lampung-muliadi-napi-di-tangkap-polisigunakan-facebook-sebagai-m-ali-yusuf/
5
orang di luar Lapas. Narapidana di dalam Lapas yang seharusnya dibina agar berubah perilakunya dari yang jahat menjadi baik, namun sebaliknya narapidana tersebut menjadi semakin profesional dalam melakukan kejahatan. Lapas merupakan salah satu penyelenggara peradilan pidana yang bekerja untuk mencapai tujuan peradilan pidana berdasarkan wewenangnya. Peradilan Pidana adalah suatu proses yang bekerja dalam suatu jaringan yang melibatkan lembaga penegak hukum. Pencapaian tujuan pemidanaan berupa perbaikan terpidana sehingga ia tidak lagi mengulangi perbuatannya lagi.3 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan ini diselenggarakan dalam rangka narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukan. Hal tersebut adalah untuk menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan dibutuhkan keikutsertaan masyarakat baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya.4 Tujuan pembinaan
di dalam Lapas, yaitu agar seorang Narapidana yang
dimasukan ke dalam Lapas dapat dididik dan dibina supaya menjadi baik, namun dalam kenyataannya, seorang narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas lebih profesional dalam melakukan tindakan kriminal dibanding dengan perilakunya sebelum dimasukan ke dalam Lapas. Hal ini telah membuktikan adanya
3
Kadri Husin dan Budi Rizki..Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung, 2012, hlm. 67. 4 Adi Sujatno, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandir”i, Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham RI, 2004, hlm.22-23.
6
penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas, sehingga tujuan pembinaan dalam implementasinya tidak tercapai seratus persen. Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan dan penyadaran bagi para pelaku tindak pidana sehingga nantinya tidak akan kembali melakukan tindak pidana lainnya dan kembali diterima di masyarakat begitu keluar dari Lapas, tapi kenyataannya tidak sedikit para Narapidana yang masuk Lapas mendapatkan ilmu kejahatan yang baru, salah satunya adalah
menjadi penipu melalui teknologi telepon
genggam dengan bermodus dunia maya yang berdampak pada kerugian yang dialami korban yang berada diluar Lapas. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang “Upaya Penanggulangan Kejahatan Penipuan melalui Telepon Genggam yang Dilakukan oleh Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)”. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini yaitu: a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan penipuan
melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?
7
b. Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ? 2. Ruang Lingkup Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum pidana khususnya kajian dari aspek kriminologi yaitu analisis terhadap kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Ruang lingkup dalam penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung pada tahun 2016. C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. b. Untuk mengetahui
upaya penanggulangan terhadap penipuan
oleh
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan praktis:
8
a. Kegunaan teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan bagi penyelenggara peradilan pidana, aparat penegak hukum, pemerintah dan masyarakat, khususnya dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan hasil penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran
mengembangkan bagi pengemban ilmu pengetahuan hukum. b. Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang baik dan benar, dan juga diharapkan bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam masalah yang ditulis dalam skripsi ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penyelenggara peradilan pidana, aparat penegak hukum, pemerintah dan masyarakat khususnya dalam rangka penanggulangan kejahatan yang dilakukan Narapidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan serta sebagai acuan atau referensi bagi pendidikan hukum dan penelitian hukum lanjutan, praktisi hukum dalam mengemban tugas profesi hukum dan sebagai bacaan baru bidang hukum pidana khususnya dalam upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan Narapidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
9
relevan oleh peneliti5. Teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Teori Penyebab Kejahatan Kerangka teoritis pertama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori penyebab kejahatan. Wolfgang, dikutip oleh Wahju Muljono,6 membagi kriminologi sebagai perbuatan yang disebut sebagai kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi yang ditunjukkan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya. Adapun faktor penyebab terjadinya kejahatan menurut beberapa teori yaitu sebagai berikut : 1. Teori Ekonomi Menurut pendapat Bonger dalam buku Kartini Kartono, lebih menekankan dalam kondisi ekonomi dan kemiskinan sehingga menimbulkan demoralisasi pada individu serta membelenggu naluri sosialnya sehingga pada akhirnya membuat individu melakukan tindak pidana. G. Von Mayer dalam bukunya Criminology and Economic Condition berhasil mengumpulkan bahan-bahan dari 18 negara yang membuktikan adanya hubungan antara kejahatan dan kondisi ekonomi. Pengaruh dari harga kebutuhan
pokok
dan
rangkaiannya
tak
dapat
diabaikan
terhadap
meningkatnya kejahatan. Pengaruh kesengsaraan terhadap kejahatan ekonomi terutama kejahatan pencurian biasa pada masyarakat yang masih sederhana
5
Soekanto, Soerjono,“Pengantar Penelitian Hukum”. Jakarta. UI Press, 1986 hlm124. Wahju Muljono,“Pengantar Teori Kriminologi” Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012,.hlm. 35.
6
10
sedangkan penggelapan, penipuan, dan pemalsuan terdapat pada masyarakat yang lebih maju .7 2. Teori Lingkungan Individu
di
masyarakat
mempunyai
kecenderungan
yang
sama
kemungkinannya menjadi lebih baik atau menjadi lebih jahat. Berperilaku baik ataupun berperilaku jahatnnya seseorang sepenuhnya bergantung pada masyarakat lingkungannya. Ia menjadi baik kalau saja masyarakatnya membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila masyarakatnya membuat demikian.8 Teori ini menganggap bahwa lingkunganlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan. 3. Teori Kesempatan Teori kesempatan (opportunity theory) dari Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin,
menyatakan
bahwa
munculnya
kejahatan
dan
bentuk-bentuk
perilakunya bergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma, maupun kesempatan penyimpangan norma.9 4. Teori Anomi Teori anomi (strain theory) dari Emile Durkheim, menerangkan bahwa di bawah kondisi sosial tertentu, norma-norma sosial tradisional dan berbagai peraturan kehilangan otoritasnya atas perilaku. Sedangkan Robert K. Merton menganggap bahwa masyarakat menanamkan suatu hasrat untuk mencapai cita-cita tertentu pada anggotanya dan kemudian menggariskan cara-cara yang 7
Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, LaksBang PressIndo, Yogyakarta, 2016. hlm.111 8 Ibid, hlm. 128 9 Ibid, hlm 145
11
sah untuk mencapainya. Apabila seseorang dihalangi dalam usahanya, maka satu-satunya cara mencapai tujuan adalah melalui cara yang tidak legal.10 5. Teori Asosiasi Diferensial Teori asosiasi diferensial (differential association theory) dari Gabriel Tarde, menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang adalah hasil peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan Edwin H. Sutherland berhipotesis bahwa perilaku kriminal, baik meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap, dan rasionalisasi yang nyaman, dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat, termasuk norma hukum.11 b. Teori Penanggulangan Kejahatan Kerangka teoritis yang kedua yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori penanggulangan kejahatan. Upaya penanggulangan adalah usaha, ikhtiar guna mencapai suatu maksud dengan suatu proses atau menanggulangi suatu kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application). b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention Without Punishment). c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment). Upaya penaggulangan kejahatan yang dikemukakan oleh Barda Nawawi di atas, yang merupakan upaya penaggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada sifat represif adalah pada penerapan hukum pidana (Criminal Law Application). 10 11
Ibid, hlm 126 Ibid, hlm 122
12
Sedangkan pencegahan tanpa pidana (Prevention Without Punishment) lebih menitikberatkan pada upaya penanggulangan secara preventif. Upaya preventif upaya penaggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
sebelum
kejahatan
terjadi.
Upaya
penanggulangan lebih bersifat pencegahan terhadap terjadinya kejahatan, sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif mengenai terjadinya kejahatan. Faktor-faktor itu antara lain adalah berpusat pada masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung maupun tidak langsung yang dapat menimbulkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang kriminal makro dan global, maka upaya preventif menduduki posisi kunci dan strategis dari seluruh upaya politik kriminal. Upaya Preventif ini adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Dengan demikian dilihat dari sudut kriminal, seluruh kegiatan preventif melalui upaya itu mempunyai kedudukan strategis, memegang posisi kunci yang harus diintensifikasikan dan diefektifkan. 2. Konseptual Agar memberikan kejelasan yang mudah untuk dipahami sehingga tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan, maka akan dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan judul penulisan skripsi ini, yaitu:
13
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan, karangan dan sebagainya) untuk mendapatkan fakta yang tepat (asal usul, sebab, penyebab sebenarnya, dan sebagainya).12 b. Penyebab Kejahatan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moral kemanusiaan dan melanggar hukum serta undang-undang pidana c. Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah adanya peristiwa13 d. Penanggulangan adalah suatu proses, cara pembuatan untuk menanggulangi sesuatu hal14 e. Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merupakan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana15 f. Penipuan adalah suatu bentuk berkicau, sifat umum dari perbuatan berkicau itu adalah bahwa orang dibuat keliru, dan oleh karena itu ia rela menyerahkan barangnya atau uangnya.16 g. Telepon genggam adalah pesawat untuk bercakap-cakap jarak jauh yang dapat digenggam atau dibawa kemana saja, tanpa menggunakan kawat tetapi menggunakan listrik/daya yang disimpan di dalam baterei.17 h. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Terpidana adalah seseorang yang dipidana 12
Peter Salim dan Yenny Salim. “Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer”. Jakarta: Modern English Press, 2002. 13 Poerwardaminta, WJS. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Bahasa. Jakarta. hlm. 120 14 Poerwardaminta, WJS. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Bahasa. Jakarta 15 Kartini Kartono, “Patologi Sosial”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 126. 16 Sudrajat, “Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP”, Bandung : CV.Remaja Karya, 1986, hlm.81. 17 J.S Badudu, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm.1460
14
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.18 i. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.19
E. Sistematika Penulisan Sistematika yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu penulisan yang sistematis untuk membahas permasalahan yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui keseluruhan isi dari penulisan skripsi ini, maka dibuat suatu susunan sistematika secara garis besar sebagai berikut: I. PENDAHULUAN Pada bab ini berisikan tenteng latar belakang penulisan dari skripsi yang berjudul Analisis Kriminologis terhadap Kejahatan Penipuan melalui Telepon Genggam yang Dilakukan oleh Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung). Dari uraian latar belakang tersebut dapat di tarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan.
18
Lihat Pasal 1 ayat (7)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Lihat Pasal 1 ayat (3)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
19
15
II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertianpengertian umum mengenai tentang pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis, pengertian kriminologi, pengertian kejahatan, pengertian kejahatan penipuan, pengertian telekomunikasi, hak dan kewajiban narapidana, serta pengertian dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan. III. METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penelitian populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhirnya yaitu analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini memuat pokok bahasan berdasarakan hasil penelitian, gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung, dan karakteristik responden, apa sajafaktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan
penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Bagaimana tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
16
V. PENUTUP Bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas dalam penelitian skripsi ini.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Penipuan Pengertian dari Penipuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari kata dasar penipuan yaitu tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Sedangkan penipuan adalah proses, perbuatan, cara menipu.20 Seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan mengatakan yang tidak sebenarnya kepada orang lain tentang suatu berita, kejadian, pesan dan lain-lain yang dengan maksud-maksud tertentu yang ingin dicapainya adalah suatu tindakan penipuan atau seseorang yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat menipu untuk memberikan kesan bahwa sesuatu itu benar dan tidak palsu, untuk kemudian mendapat kepercayaan dari orang lain. Penipuan sangatlah sering terjadi di lingkungan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan atau keuntungan seseorang dapat melakukan suatu tindak pidana penipuan. Di Indonesia seringnya terjadi tindak pidana penipuan dikarenakan banyak faktor-faktor yang mendukung terjadinya suatu tindakan penipuan, misalnya karena kemajuan teknologi sehingga dengan mudah melakukan tindakan penipuan, keadaan ekonomi yang kurang sehingga memaksa seseorang untuk melakukan penipuan, terlibat suatu utang dan lain sebagainya.Kejahatan penipuan 20
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 952.
18
di dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya, atau memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.”21 Sifat dari tindak pidana penipuan adalah dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggerakan orang lain untuk menyerahkan atau berbuat sesuatu dengan mempergunakan upaya-upaya penipuan seperti yang disebutkan secara linitatif di dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan untuk mengetahui sesuatu upaya yang dipergunakan oleh si pelaku itu dapat menimbulkan perbuatan penipuan atau tindak pidana penipuan, haruslah diselidiki apakah orang yang melakukan atau pelaku tersebut mengetahui bahwa upaya yang dilakukannya bertentangan dengan kebenaran atau tidak. Perbuatan penipuan dalam pengertian bahwa seseorang telah berkata bohong atau dengan tipu muslihat untuk mendapatkan suatu keuntungan dan telah merugikan orang lain secara melawan hukum maka ia telah melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 378 tentang Tindak Pidana Penipuan. Menurut Moch. Anwar, penipuan adalah “membujuk orang lain dengan tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong, nama palsu, keadaan
21
Lihat Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
19
palsu agar memberikan sesuatu” serta unsus-unsur dari tindak pidana penipuan yang dibagi menjadi dua yaitu unsur objektif dan subjektif.22 Tujuan perbuatan dalam sebuah penipuan dibagi menjadi 2 (dua) unsur, yaitu : a. Menyerahkan benda, dalam hal ini pengertian benda dalam penipuan memiliki arti yang sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak. Pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pendapat ini didasarkan pada ketentuan bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu menjadi kenyataan, karena dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan untuk menambah kekayaan. b.
Memberi hutang dan menghapuskan piutang, dalam hal ini perkataan hutang tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutang adalah suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan. Oleh karenanya memberi hutang tidak dapat diartikan sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi pengertian yang lebih luas sebagai membuat suatu perikatan hukum yang membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan atau membayar sejumlah uang tertentu. Demikian juga dengan istilah utang, dalam kalimat menghapuskan piutang mempunyai arti suatu perikatan. Sedangkan menghapuskan piutang mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka, karena
22
Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP II), (Bandung: Percetakan Offset Alumni, 1979), hlm. 16.
20
menghapuskan piutang diartikan sebagai menghapuskan segala macam perikatan hukum yang sudah ada, di mana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain. Sedangkan upaya-upaya penipuan dibagi menjadi 3 unsur yaitu: a. Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam), dalam hal ini terdapat 2 (dua) pengertian nama palsu, antara lain: Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain (misalnya menggunakan nama seorang teman). Kedua, diartikan sebagai suatu nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya. b.
Menggunakan martabat atau kedudukan palsu (valsche hoedanigheid), dalam hal ini terdapat beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid yakni, keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan palsu. Adapun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut atau digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan atau memiliki hak-hak tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu. Jadi kedudukan palsu ini jauh lebih luas pengertiannya daripada sekedar mengaku mempunyai suatu jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, kepala, notaris, dan lain sebagainya. Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dari, atau sebagai seorang wali, ayah atau ibu, kuasa, dan
lain sebagainya. Perbuatan
menggunakan kedudukan palsu adalah bersikap secara menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa, seorang agen, seorang wali,
21
seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk memperoleh keperca-yaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat. c. Menggunakan
tipu
muslihat
(listige
kunstgreoen)
dan
rangkaian
kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels), dalam hal ini kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan atau kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun terdapat perbedaan, yakni pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa ucapan atau perkataan. Tipu muslihat diartikan sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar. Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya. Tergerak hati orang lain itulah yang sebenarnya dituju oleh si penipu, karena dengan tergerak hatinya atau terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana agar si korban berbuat menyerahkan benda yang dimaksud.
B. Tinjauan Mengenai Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan Kamus induk
istilah ilmiah menyatakan bahwa Narapidana adalah orang
hukuman; orang buaian. Selanjutnya berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut
22
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Melihat pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana sebagian kemerdekaannya hilang. Pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas adalah pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana adalah mentaati segala peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan yang layak, informasi dan sebagainya. Pemenuhan hak kebutuhan seksual narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan melalui mekanisme Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK bisa diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan pada Pasal 14 ditentukan bahwa Narapidana berhak : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
23
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 23 Terpenuhinya
hak-hak
narapidana
memiliki
dampak
positif
terhadap
perikehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya tata kehidupan yang aman dan tertib yang pada akhirnya mampu mewujudkan narapidana yang telah siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang bermartabat, siap menjalankan perannya di masyarakat dan berbakti terhadap bangsa dan negara. Disamping hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh narapidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal 15 yaitu: 1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu 2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.24 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk 23
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
24
24
melaksanakan pembinaan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai unit pelaksanaan teknis dibidang pembinaan narapidana berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Lembaga Pemasyarakatan didirikan disetiap ibukota kabupaten atau kotamadya, namun bila diperlukan dapat didirikan di tingkat kecamatan atau kota administratif. Hal tersebut dimaksudkan guna meningkatkan mutu pelayanan hukum dan pemerataan memperoleh keadilan bagi warga binaan pemasyarakatan dan keluarganya dengan memperhatikan perkembangan wilayah atau luar wilayah, pertambahan penduduk dan peningkatan jumlah tindak pidana yang terjadi di wilayah kecamatan atau kota administrasi yang bersangkutan. Lembaga Pemasyarakatan adalah wadah yang berfungsi sebagai tempat pembinaan terpidana guna menjalani apa yang telah diputuskan oleh pengadilan baginya. Lembaga Pemasyarakatan berfungsi sebagai akhir dari proses penyelesaian peradilan. Berhasil atau tidaknya tujuan peradilan pidana dilihat dari hasil yang telah ditempuh dan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam pidana.25 Lembaga Pemasyarakatan memiliki fungsi yaitu menyiapkan Narapidana/Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab.
Dalam
menjalankan
fungsinya
tersebut
Lembaga
Pemasyarakatan tugas yaitu memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana pemasyarakatan sebagai individu, anggota 25
Kadri Husin dan Budi Rizki, Op.Cit. hlm 151
25
masyarakat dan makluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia mandiri), yang dapat diwujudkan dengan melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan narapidana dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta perlindungan hak azasi manusia. Sasaran yang akan dicapai Lembaga Pemasyarakatan adalah menciptakan transparansi sistem pemasyarakatan dalam bentuk keterbukaan akan
masalah
yang sedang dihadapi terhadap pengawasan internal dan eksternal untuk mengurangi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, menciptakan ruang partisipasi
yang lebih
luas bagi
pihak-pihak luar
pemasyarakatan seperti memberikan bantuan hukum bagi
Narapidana
Pemasyarakatan, keterlibatan dalam proses pembinaan dan meningkatkan akuntabilitas pemasyarakatan melalui perbaikan dalam pengelolaan keuangan yang telah dianggarkan untuk kepentingan Narapidana Pemasyarakatan, perbaikan sistem administrasi serta pengelolaan sumber daya manusia Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan sistem pemasyarakatan berdasarakan asas : a. Pengayoman b. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan c. Pendidikan d. Pembimbingan e. Penghormatan harkat dan martabat manusia f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu
26
Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Repuplik Indonesia Nomor: M.01RP.07.03 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan pada pasal 2 bahwa: “Lembaga Pemasyakatan mempunyai tugas melaksanakan Pemasyaakatan Narapidana atau anak didik”. Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi: 1. Melakukan pembinaan narapiana/ anak didik 2. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja 3. Melakukan bimbingan sosial kerohanian Narapidana/ anak didik 4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan 5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pemidanaan juga berfungsi untuk melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana, dimana melalui program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah kembali ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu.
27
C. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Menurut Kriminologi Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi. Nama Kriminologi pertama kali ditemukan oleh Paul Topinard seorang ahli Antropologi Perancis.26 Secara etimologis, kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni crime yang berarti kejahatan dan logos berarti ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang kejahatan.27 Kriminologi adalah suatu ilmu yang mempelajari gejala kejahatan seluasluasnya.Pengertian seluas-luasnya mengandung arti seluruh kejahatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan.Hal yang berhubungan dengan kejahatan ialah sebab timbul dan melenyapnya kejahatan, akibat yang ditimbulkan, reaksi masyarakat,
pribadi
penjahat
(umur,
keturunan,
pendidikan,
cita-cita).
Keseluruhan ilmu yang membahas hal yang bersangkut-paut dengan kejahatan yang tadinya satu sama lain merupakan data yang terpisah digabung menjadi suatukebulatan yang sistematis disebut kriminologi.28 Adapun yang menjadi tugas kriminologi dalam mempelajari kejahatan adalah: a. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan apa dan siapa penjahatnya merupakan bahan penelitian para ahli kriminologi;
26
A.S. Alam.Pengantar Kriminologi.Makassar. Pustaka Refleksi. 2010. hlm. 1. Topo Santoso dan Eva Achajani Zulfa.Kriminologi.Jakarta.PT Raja Grafindo Persada. 2012.hlm.9. 28 B. Simanjuntak. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Parsito Bandung. 1981. hlm. 1. 27
28
b. Faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya atau dilakukannya kejahatan. Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang pengertian kriminologi, berikut Penulis akan kemukakan menurut pandangan beberapa sarjana hukum, antara lain: 1. W.A. Bonger menjelaskan bahwa Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan yang seluas-luasnya.29 2.
Menurut J. Costant kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.
3. Menurut Sutherland, kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurutnya kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum tersebut.30 4. Frij merumuskan kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan, bentuk, sebab dan akibatnya.31 5. Paul Mudigdo Mulyono memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia. Kriminologi dalam arti sempit ruang lingkupnya adalah mempelajari kejahatan, yaitu mempeajari bentuk tertentu perilaku kriminal, agar selalu berpegang pada batasan dalam arti yuridis. Dengan cara demikian diharapkan dapat dicapai tidak hanya keseragaman dalam mempelajari objek kriminologi dengan batasan yuridis yang berbeda-beda di tiap-tiap negara, akan tetapi juga diharapkan objek studi
29
B. Simanjuntak. Op.Cit. hlm.2. Topo Santoso dan Eva Zulfa.Op.Cit.hlm. 11 31 H. M. Ridwan dan Ediwarman.Azaz-azaz Kriminologi. Medan. USU Pers. 1994. hlm. 1. 30
29
kriminologi dapat dikembangkan dengan lebih mudah lagi, mungkin dengan atau tanpa terikat pada perumusan-perumusan yuridis.32 Kriminologi dalam arti luas ruang lingkupnya adalah mempelajari penologi (ilmu yang mempelajari tentang hukuman) dan metode-metode yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang bersifat non punitif.33 Ruang lingkup pembahasan kriminologi mencakup tiga hal pokok, yaitu sebagai berikut : a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws). b. Etiologi Kriminal, menjelaskan tentang teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of laws). reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap “calon” pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal prevention). Bagian ini membahas tentang perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum antara lain: 1. Teori-teori penghukuman 2. Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan, baik berupa tindakan pre-entif, preventif, represif, dan rehabilitatif.34 Martin L. Haskell menjelaskan bahwa kriminologi mencakup analisis-analisis mengenai: 1. Sifat dan luas kejahatan 32
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi. Jakarta. Rajawali Pers. 1984. hlm 22 Ibid, hlm 2. 34 A.S. Alam. Pengantar Kriminologi. Makassar. Pustaka Refleksi. 2010. hlm.16-24 33
30
2. Sebab-sebab kejahatan (etiologi) 3. Perkembangan hukum pidana dan peaksanaanya 4. Ciri-ciri pelaku kejahatan 5. Pola-pola kriminalitas dan perubahan sosial.35 Mengenai proses pembuatan hukum pidana (process of making laws) membahas hal-hal sebagai berikut : 1. Definisi Kejahatan Melihat dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view). batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana, perbuatan itu tetap sebagai perbuatan bukan kejahatan. Contoh konkrit dalam hal ini adalah perbuatan seorang wanita yang melacurkan diri. Dilihat dari definisi hukum, perbuatan wanita tersebut bukan kejahatan karena perbuatan melacurkan diri tidak dilarang dalam perundang-undangan pidana Indonesia. Sesungguhnya perbuatan melacurkan diri sangat buruk dilihat dari sudut pandang agama, adat istiadat, kesusilaan, dan lain-lainnya, namun perbuatan itu tetap bukan kejahatan dilihat dari definisi hukum, karena tidak melanggar perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan apabila melihat dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.
35
Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi. Bandung. Remaja Karya.1984. hlm 11
31
2. Unsur-Unsur Kejahatan Suatu perbuatan dapat disebut sebagai kejahatan apabila ada tujuh unsur pokok yang saling berkaitan yang harus dipenuhi, yaitu : a. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm). b. Kerugian yang ada tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Contoh : orang dilarang melakukan penipuan, dimana larangan yang menimbulkan kerugian tersebut telah diatur di dalam Pasal 378 KUHP (asas legalitas). c. Harus ada perbuatan (criminal act). d. Harus ada maksud jahat (criminal intent). e. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat. f. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP dengan perbuatan. g. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut. 3. Relativitas Pengertian Kejahatan Pengertian kejahatan sangat relatif (selalu berubah), baik ditinjau dari sudut pandang hukum (legal definition of crime), maupun ditinjau dari sudut pandang masyarakat (sociological definition of crime). 4. Penggolongan Kejahatan Kejahatan dapat digolongkan atas beberapa golongan berdasarkan beberapa pertimbangan. Bonger membagi kejahatan berdasarkan motif pelakunya sebagai berikut : a. Kejahatan ekonomi (economic crime) b. Kejahatan seksual (sexual crime)
32
c. Kejahatan politik (political crime) d. Kejahatan lain-lain (miscelianeaous crime) 5. Statistik Kejahatan Statistik kejahatan adalah angka-angka kejahatan yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu. Statistik kejahatan mengacu kepada angka-angka kejahatan yang dilaporkan kepada polisi (crime known to the police). Sebenarnya instansi-instansi penegak hukum lainnya seperti kejaksaan, kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan juga memiliki statistik kejahatan tetapi statistik kepolisianlah yang dianggap paling lengkap karena kepolisian merupakan tombak awal penanganan kejahatan. Meskipun telah disebutkan bahwa kejahatan yang diketahui oleh polisi adalah data yang paling lengkap mengenai kejahatan, namun kejahatan yang sesungguhnya yang terjadi di masyarakat jauh lebih banyak. Selisih antara jumlah kejahatan yang sebenarnya terjadi di masyarakat dengan jumlah yang diketahui polisi disebut kejahatan tersembunyi (hidden crime).36 Sedangkan etiologi kriminal (criminal aetiology) adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membahas asal-usul atau sebab-musabab kejahatan (kausa kejahatan). Lilik Mulyadi
mengemukakan bahwa kriminologi berorientasi pada hal-hal
sebagai berikut: 1.
Pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum.
36
A.S. Alam. Pengantar Kriminologi. Makassar. Pustaka Refleksi. 2010. hlm.17
33
2.
Pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi
pelanggaran
hukum
tersebut,
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. 3.
Reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat.
George B. Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang muncul saat seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti.
37
Adapun aliran-aliran atau mazhab-mazhab kriminologi yang sering dikenal dalam kriminologi menunjukkan pada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep
tentang kejahatan. Dalam perkembangan lahirnya teori-teori
tentang kejahatan, maka dapat dibagi dalam beberapa mazhab atau aliran, yaitu sebagai berikut : 1. Aliran klasik, adalah adanya pemikiran bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (free will), hidup menentukan pilihannya sendiri. Dalam bertingkah laku, ia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya (hedonisme). Dengan kata lain, manusia dalam berperilaku dipandu oleh dua hal, yaitu penderitaan dan kesenangan yang menjadi resiko dari tindakan yang dilakukan. Dalam hal ini, hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakannya, bukan kesalahannya. Berdasarkan pemikiran di atas, Cesare Bonesana Marchese de Beccaria menuntut adanya persamaan di hadapan hukum bagi semua orang dan keadilan dalam penerapan sanksi. Ia menginginkan kesebandingan antara tindakan dan hukuman yang dijatuhkan. Ini dapat 37
Topo Santoso dan Eva Zulfa.Op.Cit. hlm.19
34
diungkap secara tersirat dalam tulisannya “The Crimes and Punishment”. Beccaria bukan merupakan sarjana satu-satunya yang berbicara tentang free will dan hedonisme manusia. Jeremy Bentham, seorang sarjana Inggris yang berbicara mengenai hal yang diungkapkan oleh Beccaria tersebut di atas. Sebagai seorang ahli hukum ia menyatakan bahwa tujuan dari pemberian sanksi semata-mata berfungsi sebagai alat preventie bagi lahirnya kejahatan. Ide dari para sarjana ini mengilhami lahirnya Code Civil Napoleon1791 dan juga konstitusi Amerika pada masa itu. Adanya persamaan dihadapan hukum dan keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada masa itu. 2. Aliran positivis, terbagi atas dua bagian besar, yaitu determinisme biologis dan determinisme cultural. Determinisme biologis adalah teori-teori yang mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pengaruh biologis yang ada dalam dirinya. Sedangkan determinisme cultural adalah teori-teori yang mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, budaya dari lingkungan dimana seseorang hidup. Aliran ini mengakui bahwa manusia memiliki akalnya disertai kehendak bebas untuk menentukan pilihannya. Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak mereka itu tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungannya. Secara singkat, aliran ini berpegang teguh pada kenyakinan bahwa seseorang dikuasai oleh hukum sebab-akibat (cause-effect relationship). 3. Aliran kartografis atau geografis, berkembang di Perancis, Inggris dan Jerman pada tahun 1830-1880. Aliran ini sama dengan apa yang akhir ini disebut ajaran ekologis. Yang dipentingkan dalam aliran ini adalah distribusi
35
kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial. Dianggapnya kejahatan merupakan suatu ekspresi dari kondisi-kondisi sosial. 4. Aliran sosialis, dalam kriminologi didasarkan pada tulisan-tulisan Marx dan Engels pada tahun 1850-an. Yang menjadi pusat perhatian dari aliran ini adalah determinisme ekonomis. Aliran ini memandang kejahatan hanya sebagai hasil, sebagai akibat atau sebagai akibat lainnya. Aliran ini menghubungkan kondisi kejahatan dengan kondisi ekonomi yang dianggap memiliki hubungan sebab akibat. Walau demikian aliran ini dapat dikatakan bersifat ilmiah, sebab dimulai dengan sebuah hipotesa dan kumpulan bahanbahan nyata dan menggunakan cara yang memungkinkan orang lain untuk mengulangi
penyelidikan
dan
untuk
menguji
kembali
kesimpulan-
kesimpulannya. 5. Aliran tipologis, dalam kriminologis telah berkembang ajaran yang disebut ajaran tipologis atau bio tipologis. Ketiga-tiganya mempunyai logika dan metodologi yang sama dengan berdasarkan pada dalil bahwa pada dasarnya penjahat berbeda dengan bukan penjahat karena memiliki ciri-ciri pribadi yang mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa (menyimpang) untuk melakukan kejahatan. Kecenderungan ini mungkin diwariskan oleh orang tuanya atau mungkin merupakan ekspresi khusus dari ciri-ciri kepribadiannya yang lain dari orang kebanyakan. Di sini situasi sosial ekonomi penjahat tidak diperhitungkan. Namun demikian, ketiga ajaran ini memiliki perbedaan antara satu dan lainnya dalam membedakan penjahat dan bukan penjahat.
36
6. Aliran sosiologis, dalam kriminologi aliran ini paling banyak melahirkan variasi-variasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari aliran ini adalah bahwa kelakuan-kelakuan jahat dihasilkan dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya. Pada umumnya, analisa proses yang menghubungkan kejahatan dengan
perilaku
sosial
mendasari
2
bentuk,
yaitu
analisa
yang
menghubungkan kejahatan dengan organisasi sosial termasuk di dalamnya pada sistem-sistem institusi yang lebih luas, dan analisa yang menghubungkan proses-proses sosial seperti social learning dan menggunakan konsep-konsep seperti imitasi, attitude value, differential assosiation, kompensasi dan frustasi aggression.38 Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka garis besar dari pengertian kriminologi pada dasarnya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan, mempelajari tentang pelaku kejahatan, untuk mengetahui reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku serta upaya penanggulangannya. D. Upaya Penanggulangan Kejahatan Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara yuridis, kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undang-undang. Disini diperlukan suatu kepastian hukum, karena dengan ini orang akan tahu apa perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat. 38
Ibid, hlm, 21-31
37
Pengertian kejahatan menurut tata bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah “perbuatan atau tindakan yang jahat” yang lazim orang ketahui atau mendengar perbuatan yang jahat seperti pembunuhan, pencurian, pencabulan, penipuan, penganiyaan dan lain-lain yang dilakukan oleh manusia. Kalau kita perhatikan rumusan dari pasal-pasal pada kitab undang-undang hukum Pidana.39 Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda, itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Definisi kejahatan menurut Kartini Kartono bahwa: “Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merupakan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana”.40 Pandangan Moeljatno, kejahatan dalam bahasa Belanda disebut misdrijven yang berarti suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan hukum, berarti tidak lain dari pada perbuatan melanggar hukum. Mengenai definisi kejahatan adalah merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum atau delik.41 Menurut Bambang Poernomo menyatakan bahwa kejahatan adalah perilaku yang merugikan atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan-ikatan sosial (anti social) atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman masyarakat. Rumusan Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan manusia, yang merupakan palanggaran norma, yang dirasakan merugikan, menjengkelkan, 39
Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta. Balai Pustaka. 2003. hlm. 42. Kartini Kartono.”Patalogi Sosial.Jakarta”. PT Rajawali Pers.2001.hlm. 125. 41 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana-Edisi Revisi. Jakarta. Rineka Cipt,. 1993. hlm. 71. 40
38
sehingga tidak boleh dibiarkan. Kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan dilarang, apa yang baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan, dan adat istiadat. Berdasarkan beberapa definisi kejahatan menurut para ahli, penulis berpendapat bahwa definisi kejahatan adalah gambaran perilaku atau perbuatan manusia yang melanggar norma atau melanggar hukum sehingga menimbulkan sanksi hukuman. Menurut Kartini Kartono menyebutkan faktor pendorong yang menyebabkan timbulnya kejahatan adalah: 1.
Individu: seks atau jenis kelamin, status, pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan, konstitusi organis dan psikis.
2.
Fisik (natural/alami): ras, suku, iklim, pertilitas, musim, disposisi bumi, keadaan di waktu malam atau siang hari kondisi meteorik, kelembaban udara atau suhu.
3.
Sosial: kepadatan penduduk, susunan masyarakat, adat istiadat, agama, orde baru pemerintah, kondisi ekonomi dan industri, jaminan sosial, lembaga legislative dan lembaga hukum lainnya.42
Penentuan sebuah perbuatan sebagai kejahatan dalam undang-undang tidaklah terlepas dari proses pembuatan kebijakan dalam menentukan sebuah perbuatan itu sebagai tindak pidana atau sebuah delik. Dalam membuat atau merumuskan suatu kebijakan banyak faktor yang berpengaruh, sehingga harus diantisipasi agar mudah dan berhasil saat diimplementasikan. Permasalahan
42
Kartini Kartono. Op.Cit. hlm. 158.
akan menjadi
39
permasalahan kebijakan (policy problem), apabila problem-problem itu dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problemaproblema itu. Istilah kebijakan dalam hal ini ditransfer dari Inggris; ”Policy” atau dalam bahasa Belanda: ”Politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan satu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah ”kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah ”politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ”politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain ”penal policy”, ”criminal law policy” atau ”strafrechtspolitiek”. Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah ”politik” dalam 3 (tiga) batasan pengertian yaitu: a. pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti: sistem pemerintahan, dasardasar pemerintahan); b. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya); c. cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah), kebijaksanaan. Politik hukum pidana merupakan bagian yang yang saling terkait antara politik kriminal dan politik sosial (social policy) dalam kebijakan yang lebih luas. Politik kriminal merupakan suatu upaya penanggulangan kejahatan dengan perumusan
40
suatu kebijakan baik melalui hukum pidana maupun di luar hukum pidana. Sudarto membagi politik kriminal ini dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelangaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih luas politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, sedangkan dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.43 Banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Selanjutnya menurut Sudarto, pengertian kebijakan atau politik hukum pidana adalah; a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Dari definisi tersebut di atas 43
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 113-114.
41
sekilas nampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan ”pembaharuan perundang-undangan hukum pidana”, namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana tidak sama dengan pembaharuan perundang-undangan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: ”Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui perundang-undangan hukum pidana saja namun juga memperbaharui sektor-sektor lain seperti ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan pemikiran akademik”. Bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas dari pada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan oleh kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/ operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari; 1. kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana; 2. kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana; 3. kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana lebih banyak berkaitan dengan tahap perumusan atau pembuatan hukum pidana atau berkaitan dengan kebijakan formulatif. Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian pidana untuk menanggulangi kejahatan
merupakan salah
satu
upaya di samping upaya-upaya lain.
42
Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan kejahatan secara keseluruhan. Upaya melalui sistem peradilan pidana dikenal dengan istilah ”upaya penal” yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan pidana, di samping upaya ”non penal” yang penekanannya ditunjukkan pada faktor penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhan penanggulangan kejahatan ini merupakan politik kriminal. Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah suatu usaha rasional untuk menaggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum yang arti luas (Law Enforcement Policy) yang merupakan bagian dari politik social (Social Policy) yakni usaha dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa harus terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama tidak lain merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual terus meningkat. Upaya penanggulangan kejahatan yang dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief yang mengutip dari G.P. Hoefnagel dapat ditempuh dengan cara yaitu : a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application). b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention Without Punishment).
43
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment).44 Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian G.P. Hoefnagel di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal". Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventive” (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Upaya-upaya preventif atau pencegahan kejahatan dalam perkembangannya berkembang kearah tindakan proaktif yang ternyata lebih murah dan menjanjikan hasilyang lebih baik dalam memerangi kejahatan. Tanggung jawab pencegahan kejahatan diperluas mencakup lembaga-lembaga dan individu diluar peradilan pidana. Kejahatan dianggap permasalahan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kejahatan dapat berupa informal tribunal. Pencegahan kejahatan memfokuskan diri pada campur tangan sosial, ekonomi, dan berbagai area kebijakan public dengan maksud mencegah terjadinya kejahatan. Bentuk lain dari keterlibatan masyarakat, nampak dari upaya pencegahan kejahatan yang terfokus pada akar kejahatanatau pencegahan situasional dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam penggunaan sarana kontrol sosial informal.
44
Barda Nawawi Arief, Berbagai Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditia Bakti. 1998. hlm 59
44
Perkembangan terakhir terarah pada peningkatan keseimbangan pencegahan kejahatan yang berorientasi pada pelaku dan yang berorientasi pada korban 45 Tujuan utama dari usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kebijakan penanggulangan kejahatan, atau politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan atau upaya untuk perlindungan masyarakat. Tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.46 E. Tinjauan Modus Operandi Penipuan Modus operandi adalah cara operasi orang perorang atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya.47 Setiap penjahat memiliki modus operandi yang beragam, hal tersebut dilakukan untuk melancarkan tujuannya dalam melakukan kejahatannya. Saat ini telah banyak modus operandi yang telah diungkap penegak hukum, salah satunya adalah modus penipuan melalui telepon genggam. Modus penipuan melaui telepon genggam atau ponsel (HP) saat ini 45
Abintoro Prakoso. Op,Cit. hlm 181 Kartini Kartono. Op.Cit, hlm. 34. 47 https://id.wikipedia.org/wiki/Modus_operandi 46
45
sering terjadi. Korbannya mulai dari kalangan orang yang masih muda sampai dengan orang dengan usia lanjut. Korban juga dari kalangan orang dengan taraf ekonomi rendah sampai menengah keatas. Banyak modus penipuan melalui telepon genggam dengan menggunakan pesan singkat atau SMS, telepon, serta internet. Beberapa modus penipuan lewat SMS antara lain dengan meminta pulsa. Pelaku mengirim SMS kepada korban dengan meminta pulsa jika dirinya dalam keadaan darurat misal kena tilang polisi, kecelakaan, atau bahaya yang lain. Modus yang lain dengan mengirim SMS supaya korban mengirimkan uang ke rekening ke pelaku, nomor rekening sudah dicantumkan pada SMS lengkap. Modus yang lain adalah pelaku mengirim SMS kepada korban bahwa nomor ponsel (HP) korban mendapat hadiah dari operator yang dipakai korban. Pelaku mengirim SMS ke korban bahwa korban mendapatkan hadiah dari perusahaan terkenal, dari modus hadiah tadi korban disuruh menghubungi ke nomor tertentu. Dari situ korban dipandu untuk mentransfer sejumlah uang. Modus lain adalah pelaku pura-pura kenal dengan korban dan memberi tahu jika nomor HP nya ganti dan menyuruh korban untuk menyimpan nomor baru dan menghapus nomor lama dan pelaku tidak mengirim SMS, melainkan langsung menelpon korban. Modus operandi diatas merupakan beberapa modus operandi dengan cara mengirim SMS dan menelpon korban, selain itu ada pula modus operandi menggunakan internet, salah satunya adalah modus penipuan melalui dunia maya yang dilakukan oleh penjual atau pembeli online, biasanya penipu menjual barang-barang berharga yang sangat mahal, ketika sejumlah uang sudah ditransfer
46
ke pelaku, barang tersebut tidak sampai. Adapun modus lain yaitu modus mencari pasangan di laman Facebook atau media sosial lainnya, yang bermula pada perkenalan dan akhirnya meminta sejumlah uang kepada korban. Dalam melakukan modus operandinya, biasanya para penipu mengelabuhi korban dengan menggunakan nama palsu, alamat palsu, ataupun jabatan palsu untuk meyakinkan korban demi melancarkan kejahatannya.
47
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori dan konsepkonsep yang berhubungan dengan masalah. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara penelitian di lapangan. B. Jenis dan Sumber Data Metode penelitian yang dapat dipergunakan untuk memperoleh data guna menyusun skripsi ini sebagai berikut : 1. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Data yang dimaksud dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa Bandar Lampung. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Jenis data sekunder dalam skripsi
48
ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dalam studi dokumen, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui studi literatur. a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara umum atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihakpihak berkepentingan yang terdiri dari perundang-undangan dan peraturan lain yang berkaitan dengan permasalahan48. Bahan hukum primer pada penelitian ini yaitu: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUUKUHP) 3. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 4. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan cara menelusuri berbagai peraturan dibawah undang-undang yaitu berupa literaturliteratur ilmu pengetahuan hukum dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus, artikel atau berita serta berbagai keterangan media masa sebagai pelengkap. 48
Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: CV. Mandar Maju. hlm. 23.
49
Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan49. C. Penentuan Narasumber Narasumber adalah orang yang memberikan informasi/keterangan secara jelas atau menjadi sumber informasi. Keterangan atau jawaban tersebut dapat di sampaikan
dalam bentuk tulisan atau lisan ketika menjawab wawancara.
Narasumber dalam penelitian ini adalah Narapidana Pelaku Kejahatan Penipuan di dalam Lapas, Petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Berdasarkan sempel di atas maka yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Narapidana Kejahatan Penipuan di dalam Lapas Kelas 1A B.Lampung : 1 orang Petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung
: 2 orang
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
: 1 orang
Jumlah
: 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
49
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 2010. Penelitian Hukum Normatif.Jarkarta : Rajawali Pers.
50
a. Studi Pustaka (Library Research) Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan berupa membaca, mencatat, mengutip dari bukubuku literatur serta informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. b. Studi Lapangan (Field Research) Studi ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan metode wawancara (interview) secara langsung kepada responden yang telah ditentukan terlebih dahulu. 2. Pengelolahan Data Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data diproses melalui pengolahan data, pengolahan data dilakukan dengan cara: a. Identifikasi data, yaitu mencari materi data yang diperolah untuk disesuaikan dengan pokok bahasan yaitu buku-buku atau literatur-literatur dan instansi yang berhubungan. b. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data-data sesuai dengan ketetapan dan aturan yang telah ada. c. Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut tata urutan yang telah ditetapkan sesuai dengan konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah untuk dianalisis datanya.
51
E. Analisis Data Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dibaca dan diidentifikasikan50. Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan analiasis kualitatif dimana dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraianuraian kalimat, setelah data dianalisis dan ditarik kesimpulan dengan cara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilakukan pada fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian diambil kesimpulan dengan cara umum.
50
ibid. hlm. 213
72
V. PENUTUP A. Simpulan Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian yang penulis sampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini penulis menarik kesimpulan, yaitu: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon
genggam
yang
dilakukan
oleh
narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan adalah faktor ekonomi yaitu dikarenakan pelaku tidak memiliki sumber penghasilan ketika narapidana berada di dalam Lapas sehingga untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, pelaku melakukan tindak kejahatan penipuan di dalam Lapas. Selanjutnya adalah faktor lingkungan yaitu dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap modus-modus penipuan sehingga dengan mudah tertipu dan kurangnya kontrol dan tata tertib kunjungan yang dilakukan oleh Petugas Lapas serta tidak profesionalnya oknum petugas Lapas dalam menjalankan tugasnya sehingga barang yang seharusnya dilarang namun dapat masuk ke dalam kamar narapidana. Sedangkan faktor pendorong narapidana melakukan hal tersebut adalah pernah terjadinya kejahatan serupa di dalam Lapas
73
sehingga hal tersebut menjadi contoh bagi narapidana lainnya. Kejahatan penipuan di dalam Lapas terjadi tidak terlepas dari sistem birokrasi yang tertutup di dalam Lapas sehingga penegak hukum dibatasi kewenangannya untuk melakukan penindakan terhadap penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Faktor yang terakhir yaitu faktor kesempatan yang dapat dilihat dari waktu narapidana melakukan kejahatan penipuan yang terjadi saat diluar jam kerja Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung sehingga pengawasan terhadap narapidana menjadi berkurang. 2. Upaya penanggulangan terhadap kejahatan penipuan yang dilakukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan cara preventif dan represif. Upaya preventif yang dilakukan dengan melakukan pembinaan yaitu penyuluhan hukum kepada narapidana, hal tersebut dilakukan rutin untuk memberikan pengetahuan hukum kepada narapidana dan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan di dalam Lapas. hal tersebut bertujuan untuk mengisi waktu narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan dengan kegiatan yang positif sehingga meminimalisasi kejahatan penipuan yang terjadi di dalam Lapas. Selain itu Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung juga melakukan razia rutin delapan kali dalam sebulan, dengan kata lain razia tersebut dilakukan dua kali dalam seminggu. Serta lebih meningkatkan pengawasan terhadap narapidana disaat narapidana tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan oleh Lapas. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah masuknya telepon genggam dan barang-barang yang dilarang ke dalam kamar narapidana. Tidak hanya secara preventif, upaya penanggulangan kejahatan penipuan di Lapas
74
juga dilakukan secara represif dengan sanksi hukuman disiplin yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan yaitu jika narapidana melakukan pelanggaran memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau alat elektronik, dan atau penipuan dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat ataupun oleh instansi terkait yang berwenang menanangani dugaan adanya tindak pidana. B. Saran Adapun saran-saran yang penulis berikan berdasarkan dari pembahasan adalah sebagai berikut: 1. Perlunya keterlibatan keluarga dan kerabat narapidana, karena keluarga an kerabat narapidana berperan penting dalam keberhasilan pembinaan narapidana di dalam Lapas, karena keluarga dan kerabat narapidanalah yang memiliki kedekatan emosional dengan narapidana sehingga diharapkan dapat mengarahkan narapidana untuk melakukan kegiatan positif di dalam Lapas demi terciptanya keamanan dan ketertiban di dalam ataupun diluar Lembaga Pemasyarakatan. 2. Perlu ditingkatkannya waktu razia rutin di dalam Lapas, mengingat bahwa Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung hanya melakukan razia rutin delapan kali dalam sebulan, dengan kata lain razia tersebut dilakukan hanya dua kali dalam seminggu. Hal ini dirasa tidak cukup mengingat sering terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung. Upaya penal juga harus ditegakan dengan tegas dan baik sesaui dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sanksi hukum
75
harus dilaksanakan secara tegas dengan harapan agar narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
1
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Alam, A.S. 2010. Pengantar Kriminologi. Makassar: Pustaka Refleksi. Andrisman, Tri. 2011. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung: Universitas Lampung. Anwar, Moch. 1979. Hukum Pidana Bagian Khusus. Bandung: Percetakan Offset Alumni. Arief, Barda Nawawi.1998. Berbagai Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditia Bakti. Atmasasmita, Romli. 1984, Bunga Rampai Kriminologi, Jakarta: Rajawali Press. Badudu, J.S. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Ruang Lingkup Kriminologi. Bandung. Remaja Karya. Husin, Kadri & Budi Rizki. 2012. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Makarim, Edmon. 2014. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana-Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Muljono, Wahju. 2012. Pengantar Teori Kriminologi Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Mulyadi. 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus. Bandung: Alumni. Prakoso, Abintoro. 2016. Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: LaksBang Pressindo Ridwan, M dan Ediwarman. 1994.Azaz-azaz Kriminologi. Medan: USU Pers. Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: CV. Mandar Maju.
2
Simanjuntak, B. 1981 .Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial.Bandung: Parsito. Santoso, Topo dan Eva Achajani Zulfa. 2012. Kriminologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. ______ & Sri Mamudji. 2010. Penelitian Hukum Normatif. Jarkarta : Rajawali Pers. Sudarto. 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT. Alumni. Sudrajat. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, Bandung : CV. Remaja Karya. Sujatno, Aji. 2004. Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri, Jakarta :Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham RI. Tim Penyusun Kamus. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
B. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUUKUHP) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
C. Internet http://www.jejakkasus.com/berita/di-balik-lapas-lampung-muliadi-napi-ditangkap-polisi-gunakan-facebook-sebagai-m-ali-yusuf/, diakses pada 18 Juli 2016 pukul 20.18 WIB https://id.wikipedia.org/wiki/Modus_operandi, diakses pada 3 Oktober 2016 pukul 18.10 WIB