UPAYA PEMBERDAYAAN APARAT HUKUM DALAM MENANGGULANGI PENEBANGAN LIAR
Oleh : T o n i, SH. MH.1 Abstract Illegal logging can be interpreted as logging in the forests illegally. In terms of distribution of forest products that are identified with undocumented wood or fake documents, the volume and type of wood is different papers. Community Based Forest Management is a system of forest management carried out by individuals or groups in a community on state land, communal land, customary land or land owned (individual / household) to meet the needs of individuals and society and cultivated commercially or just for consistency. Model of Community Based Forest Management (CBFM) can be an alternative solution to the problem of illegal logging in the handling of the increasingly rampant these days, at least can be minimized at the lowest level Keyword : illegal logging, Community Based Forest Management.
A. Pendahuluan Penebangan liar (illegal logging) dapat diartikan sebagai penebangan kayu di hutan secara tidak sah. Sedangkan dari segi peredaran hasil hutan dapat diindikasikan dengan kayu tidak berdokumen atau dokumen palsu, volume dan jenis kayu berbeda dengan dokumennya. Disamping itu penebangan liar harus dikaji dari perspektif yang komprehensif dengan segala aspeknya, yakni : 1
Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung dan Pemerhati Lingkungan.
1. Aspek legal, yang berhubungan dengan peraturan perundangan-undangan, termasuk kebijakan di dalam perizinan dan pengusahaan hutan yang dalam pelaksanaannya
hanya
menguntungkan
beberapa
konglomerat
serta
memungkinkan terjadi peluang penebangan illegal. 2. Aspek ketidak-seimbangan antara kemampuan produksi kayu (supply) dari hutan alam dan hutan tanaman dengan kapasitas terpasang industri perkayuan dan pemanfaatan domestik. 3. Aspek sosial-ekonomi, yang berhubungan dengan masalah-masalah kurangnya lapangan kerja, tingkat sosial ekonomi masyarakat, akses masyarakat terhadap sumber daya hutan dan fasilitas seperti permodalan, pendidikan, dan sebagainya. 4. Aspek politik, terutama setelah digulirkannya reforrmasi telah menimbulkan euphoria yang berdampak negatif dalam prilaku masyarakat yang berubah negatif pula sehingga kaidah-kaidah hukum seringkali diabaikan. 5. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang telah mengakar terutama dalam tatanan sistem birokrasi dan masyarakat terhambat dalam usaha penegakan hukumnya, karena kecilnya usaha kesungguhan untuk menuntaskan prilakuprilaku tersebut yang banyak melibatkan oknum aparat termasuk disini dalam bisnis perkayuan baik oknum militer, sipil baik yang ada di pusat maupun di daerah yang berada di badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Informasi resmi menunjukan bahwa penebangan liar diduga telah mencapai 17-30 juta m3 per tahun. Jumlah ini ekivalen dengan 400.000-800.000 ha hutan yang ditebang secara liar tiap tahun. Bahkan laporan TELAPAK, LSM nasional yang
bekerja sama dengan Environment Investigation Agency (EIA) telah mengidentifikasi bahwa penebangan liar telah mencapai 52 persen dari total produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam. Industri perkayuan pada saat ini diperkiraan mampu menerima pasokan kayu bulat sampai 80 juta m3 per tahun. Sedangkan hutan alam secara resmi hanya dapat memasok sekitar 29,5 juta m3 per tahun. Kekurangan yang besar dari pasokan resmi tersebut telah menciptakan celah bagi para penebang liar. Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, yang menempati urutan ketiga dari tujuh Negara yang disebut biodiversity country. Lahan hutan merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna yang banyak yang banyak diantaranya adalah endemic di Indonesia, namun akibat laju penebangan hutan telah memperpanjang daftar jenis-jenis yang masuk dalam kategori kepunahan (endangered) lingkungan hayati. Penebangan liar telah mencapai jantung-jantung kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Tanjung Puting menunjukan fakta betapa parahnya situasi penebangan liar. Disamping itu penebangan liar juga banyak terjadi di belahan nusantara lainya. Hutan-hutan produksi sudah tidak mampu lagi memasok bahan baku, hal ini diperparah lagi oleh kenyataan bahwa sebenarnya gelombang penebangan liar tidak hanya dipicu oleh reaksi terhadap krisis ekonomi dan politik baru-baru ini yang merupakan akselerasi dari kegiatan illegal terhadap sumber daya hutan dari akibat praktek KKN yang telah terjadi selama tiga dekade belakang ini. Pada sidang Consultative Group Indinesia (CGI) di Jakarta bulan Februari 2000 yang lalu, pemerintah Indonesia telah menetapkan komitmen untuk
melaksanakan koordinasi dan kerja sama antar departemen untuk melakukan tindakan yang keras melawan penebangan liar. Serta menutup sawmill (penggergajian) illegal khususnya yang beroperasi di kawasan Taman Nasional. Komitmen tersebut segera ditindaklanjuti dengan “action plan dan implementasi” dengan strategi pencegahan dan penanganan. Metode pencegahan dan penanganan tersebut dapat bersifat edukatif, preventif dan represif. Kegiatan operasional yang bersifat edukatif ditempuh dengan telah dimasukannya pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan kedalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Langkah-langkah preventif/pencegahan dilakukan melalui pendekatan sosial budaya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan ini meliputi hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, padat karya, HPH desa binaan, dan penempatan pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, serta patroli secara rutin dan penghadangan di sungai-sungai tertentu. Sedangkan penanganan secara represif terhadap pelanggaran-pelanggaran penebangan liar dan peredaran hasil hutan illegal dilakukan secara selektif dan prioritas dengan mempertimbangkan tingkat kerusakan, faktor-faktor penyebab dan dampaknya terhadap aspek-aspek sosial budaya,ekonomi, politik, keamanan dan hukum serta reaksi internasional. Satu hal yang perlu dipahami bahwa penertiban dalam arti penanganan penebangan liar akan sangat sulit apabila hanya dilakukan oleh satu departemen saja
tanpa keterlibatan para pihak terkait. Untuk menghentikan penebangan liar dan sekaligus membangun komitmen pelestarian sumber daya hutan.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian fakta-fakta di atas, maka permasalahan pokok yang perlu dijawab adalah : “Bagaimanakah
upaya
peningkatan
pemberdayaan
aparat
hukum
dalam
menanggulangi penebangan liar ?”
C. Pembahasan Pembangunan memiliki arti ganda, makna pertama adalah pembangunan yang lebih memberikan perhatian pada pertumbuhan ekonomi, memfokuskan pada jumlah (kuantitas) produksi dan penggunaan sumber-sumber. Makna kedua adalah bahwa pembangunan itu lebih memusatkan perhatian kepada perubahan dalam distribusi barang-barang dalam esensi hubungan sosial, dalam persfektif fokus perhatian pembangunan sosial (social development) pada perubahan distribusi kualitatif dalam struktur masyarakat melalui penghapusan diskriminasi, dan eksploitasi untuk penciptaan jaminan memperoleh kesempatan yang sama dan distribusi yang adil dari manfaat pertumbuhan ekonomi di antara masyarakat.2 Pengertian kehutanan menurut Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, kehutanan merupakan sistem pengurusan yang
2
Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gajah Mada Universitas Press : 2001, hlm. 1.
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan dalam pasal 1 butir (2) disebutkan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan dua pengertian tersebut pembangunan kehutanan, serta dalam hubungannya dengan kebijakan sektor kehutanan, Barber mengatakan bahwa tiga unsur mempengaruhi bagaimana birokrasi kehutanan membuat kebijakan mencakup 3 sifat dan fungsi hukum di Indonesia; gaya pengelolaan birokratis yang bertentangan; dan kaidah pengandaian, serta prioritas profesional kehutanan yang berlaku untuk menjadi pegawai birokrasi tersebut. Dikatakan selanjutnya bahwa hukum di Indonesia juga memiliki wajah yang lain realitas empiris hukum sebagai kebiasaan, sebuah kumpulan yang rumit, saling tumpang tindih dan terus menerus berubah dan terdiri
atas
undang-undang,
keputusan-keputusan
dan
peraturan-peraturan
administrasi yang seringkali diterapkan secara sembarangan. Pengelolaan hutan dan kebijakan kehutanan dikuasai oleh suatu inti otoritas yang eksklusif dan menyeluruh tidak dapat tergoyahkan untuk dipegang oleh negara, tetapi dengan kelemahan sekumpulan besar peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan seringkali bertentangan dengan cara mendelegasikan wewenang atas banyak segi pengelolaan
3
Barber, Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia Dan Amerika Serikat, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm. 143.
maupun kebijaksanaan kehutanan kepada sektor swasta, sementara secara efektif melepaskan kekuasaannya sama sekali dalam segi-segi lainnya. Badan Litbang Departemen Kehutanan (Makalah Strategi Pengelolaan Hutan di Kawasan Perbatasan, 2002), mengemukakan bahwa strategi pengelolaan hutan di kawasan perbatasan terdiri dari komponen berikut : 1. Penyempurnaan tata ruang wilayah perbatasan secara lintas sektoral ; 2. Penyelamatan kawasan lindung dan kawasan konservasi melalui pendekatan Productive-Conservation (konservasi yang produktif) ; 3. Pembentukan unit-unit pengelolaan hutan secara partisipatif (dengan konsultasi publik) ; 4. Penerapan pendekatan social forestry dalam penyelenggaraan pengelolaan ; 5. Penerapan upaya-upaya khusus untuk menghentikan penebangan liar dan penyelundupan hasil hutan. Menurut
Manik
dalam
bukunya
pengelolaan
lingkungan
hidup,
menyebutkan bahwa berdasarkan fungsinya hutan di Indonesi dibagi menjadi 4 (empat) kegunaan yaitu :4 1. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta mempertahankan kesuburan tanah. 2. Hutan suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas serta khusus diperuntukkan untuk perlindungan dan pelestarian sumber daya plasma nutfah dan penyanggah kehidupan.
4
Manik, S. Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Djembatan : Jakarta, 2003), hlm. 74.
3. Hutan wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan wisata, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. 4. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukan guna memproduksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat, industri dan ekspor. Hutan produksi terdiri dari : a. Hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap ; b. Hutan produksi yang dapat dikonversikan atau biasa disebut sebagai hutan konversi.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Soemarwoto, bahwa hutan merupakan bagian lingkungan hidup yang sangat vital.5 Hutan merupakan sumber daya ekonomi sebagai pemasok kayu dan nir-kayu, hutan sebagai sumber daya ekonomi-lah yang menonjol dalam kehidupan masyarakat terutama kayunya, sedangkan hasil nir-kayu masih disepelekan. Lahan hutan merupakan sumber daya yang banyak dimanfaatkan, misalnya untuk transmigrasi dan pembangunan perkebunan. Demikian juga banyak terdapat pertambangan mineral dan non-mineral di dalam kawasan hutan. Sementara itu fungsi ekologi hutan diabaikan, meskipun sering dibicarakan dan ditulis. Hutan di Indonesia, hutan lebih banyak dikenal oleh masyarakat sebagai penghasil kayu, karena hasil kayu telah memberikan manfaat yang langsung dapat dirasakan sedangkan fungsi-fungsi lainnya masih banyak diabaikan. Menurut 5
Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Djembatan : Jakarta, 2001), hlm. 27.
Suparmoko, bahwa selain sebagai sumber produksi kayu hutan juga mempunyai berbagai fungsi sebagai berikut :6 1. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan tanah ; 2. Menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan pada khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi nasional pada umumnya ; 3. Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik ; 4. Memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka marga satwa, taman perburuan, taman wisata serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata ; 5. Merupakan salah satu unsur strategis pembangunan nasional.
Istilah kerusakan yang dimuat berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang berlaku ditafsir bahwa perusakan hutan mengandung pengertian yang bersifat dualisme, di satu sisi perusakan hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan perbuatan yang melawan hukum, di sisi lain perusakan hutan yang berdampak negatif (merugikan) merupakan suatu tindakan nyata melawan hukum dan
6
Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam Dan Lingkungan (Suatu Pandangan Teoritis), edisi 3, (BPFE : Yogyakarta, 1997), hlm 239.
bertentangan dengan kebijakan atau tanpa adanya persetujuan pemerintah. Berbagai faktor penyebab timbulnya kerusakan hutan diantaranya yaitu :7 1. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum meliputi manusia dan/atau badan hukum ; 2. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum meliputi manusia dan/atau badan hukum ; 3. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam misalnya gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, dan sebagainya. 4. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon.
Sedangkan istilah perusakan hutan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana adalah : 1. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan hukum yang bertentangan dengan aturan di dalam hukum perundang-undangan yang berlaku. 2. Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah dirumuskan dalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana. Menurut Manik8, kerusakan hutan di Indonesia terutama di sebabkan oleh : 1. Sistem peladangan berpindah, sistem ini dilakukan oleh penduduk yang tinggal di kawasan atau di pinggir hutan ;
7 8
Alam ,S Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan (Rineka Cipta : Jakarta, 1997), hlm. 27. Manik, S. Op. cit, hlm. 78
2. Perambahan hutan, perambahan hutan adalah pemanfaatan kawasan hutan secara illegal oleh masyarakat untuk digunakan sebagai lahan usaha tani dan atau pemukiman ; 3. Pengusaha HPH (Hak Pengusaha Hutan), pengusaha HPH merupakan penyebab kerusakan hutan terbesar karena hanya mengejar keuntungan materi semata. 4. Bencana alam, kerusakan hutan akibat bencana alam relatif kecil kecuali terjadi kebakaran hutan karena petir. Namun kebakaran hutan karena petir jarang terjadi yang banyak terjadi adalah ulah manusia.
Kependudukan merupakan penyebab penting kerusakan dan menyusutnya luas hutan, nampak dari adanya korelasi negatif yang kuat antara kepadatan penduduk dan luas hutan. Diperkirakan untuk setiap pertambahan penduduk 1 %, luas hutan menyusut 0,3 %. Disamping itu dengan pembangunan, terjadi banyak kegiatan yang merambah hutan, misalnya transmigrasi, pembalakan dan pertambangan.9 Sedangkan penyebab kerusakan hutan di Indonesia menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) adalah faktor-faktor sebagai berikut: 1. Pertumbuhan penduduk yang penyebarannya tidak merata. 2. Konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan. 3. Pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam. 4. Program transmigrasi. 9
Soemarwoto, Otto. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta : Gajah Mada Press, 2001), hlm. 30.
5. Pencemaran industri dan pertanian pada lahan basah. 6. Degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak. 7. Pemungutan spesies hutan secara berlebihan. 8. Introduksi spesies ekostik. Kerusakan hutan akan meningkatkan aliran permukaan bumi, erosi dan sedimentasi. Erosi mengakibatkan penurunan kesuburan tanah di tempat terjadinya erosi. Erosi akan mengakibatkan pendangkalan sungai dan pantai, serta pencemaran perairan oleh bahan-bahan yang terbawa aliran permukaan sungai. Sebagai indikasi bahwa hutan telah rusak adalah :10 1. Tingginya kandungan lumpur atau sedimentasi di sungai, waduk, danau, atau pantai. 2. Banjir pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. 3. Fluktuasi debit air sungai yang besar antara musim hujan dan musim kemarau. 4. Makin seringnya gangguan satwa liar terhadap permukiman dan usaha tani penduduk sekitar hutan.
Pelaksanaan pembanguna kehutanan yang semakin pesat akan mampu menimbulkan implikasi terhadap lingkungan. Perubahan tersebut menyebabkan struktur dan fungsi dasar ekosistem hutan berubah total terjadinya beban sosial dan pada akhirnya masyarakat dan pemerintah yang menanggung akibatnya.11
10
Manik, S. Op. cit, hlm. 80. Arief Arifin, Hutan : Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 12. 11
Mengenai
penebangan
liar
(illegal
logging),
menurut
pengertian
administrasi (peraturan) yang dimaksud dengan penebangan liar adalah pungutan kayu di luar yang telah direncanakan oleh Departemen Kehutanan melalui Rencana Kerja Tahunan.12 Sebagi contoh kasus masalah penebangan liar yang terjadi di Kalimantan Barat bahwa illegal logging merupakan sebuah bentuk aktivitas manusia dalam mengeksploitasi sumber daya hutan di luar sistem pengelolaan hutan lestari yang berlaku yang dilakukan oleh kelompok orang/oknum tertentu secara sistematis baik dalam sebuah jaringan maupun cara-cara lain untuk kepentingan kelompok dan atau orang/oknum tertentu secara illegal.13 Oleh karena itu dalam setiap aktivitas illegal logging proses yang terjadi umumnya meliputi pencurian, penebangan, pengangkutan dan perdagangan kayu secara illegal atau penyelundupan. Tetapi batasan-batasan yang ada mengandung kelemahan karena yang dikategorikan dengan tindakan illegal logging hanya merupakan tindakan yang dilakukan secara sistematis, padahal tindakan-tindakan yang dilakukan secara tidak sistematispun termasuk tindakan illegal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan14. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Nurmahmudi, bahwa penebangan liar dapat diartikan sebagai penebangan kayu di hutan secara tidak sah. Sedangkan dari 12
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, World Bank And World Wildlife Fund Alliance, Prosiding Seri Lokakarya II “Penebangan Kayu Secara Liar (illegal)”, 2000. 13 Budhijaja, Wayan. Makalah Illegal Logging di Kalimantan Barat Dalam Suatu Persepsi, Permasalahan dan Tindakan (Kalimantan Barat, 2002), hlm. 3. 14 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
segi peredaran hasil hutan yang diidentifikasikan dengan kayu tidak berdokumen atau dokumen palsu, volume dan jenis kayu berbeda dengan dokumennya.15 Pada dasarnya ada 2 (dua) jenis penebangan liar (pembalakan illegal). Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak memiliki hak untuk menebang pohon. Pembalakan illegal terjadi dalam berbagai bentuk dan bukan hanya sekedar penebangan pohon di hutan saja. Daerah-daerah yang banyak memiliki sumber daya alam salah satunya sumber daya hutan merupakan modal dasar dalam pembangunan baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Apalagi dalam era otonomi daerah sumber daya yang ada dijadikan modal untuk membangun kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan tanpa harus melupakan aspek pelestariannya. Pemanfaatan terhadap sumber daya hutan yang melebihi dari daya dukungnya dan berkurangnya upaya reboisasi dan rehabilitasi, menyebabkan kondisi hutan telah mengalami degradasi dan kondisi penutupan hutan di atas lahan hutan (land covering) telah jauh menurun dari kondisi sebelumnya. Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan yang berhubungan dengan lahan hutan, dapat dikelompokan 5 (lima) macam permasalahan, yaitu :
15
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalimantan, Quo Vadis Penertiban Illegal Logging (Prosiding Lokakarya Penertiban Penebangan Liar di Kalimantan Selatan : 2001), hlm. 30.
1. Sebagian pemegang HPH kurang memperhatikan kelestarian fungsi ekologi dan sosial. Salah satu buktinya beberapa HPH tidak dapat izin perpanjangan . 2. Perladangan berpindah dan perambah hutan. 3. Penebangan hutan tanpa izin (illegal logging). 4. Kebakaran hutan yang mengakibakan kerusakan ekosistem hutan dan gangguan asap, dan 5. Lahan hutan yang terlantar akibat tidak digunakan (lahan tidur). Kasus kehutanan di Indonesia yang sering dibicarakan dan dipermasalahkan belakangan ini adalah penebangan hutan tanpa izin atau tebang liar yang tanpa memperhatikan kelestarian hutan (konservasi) bahkan pelaksanaannya secara berani dan terbuka. Di era sekarang ini, oknum masyarakat tertentu berani dan berupaya melakukan berbagai cara keluar dari jerat hukum, tak terkecuali dalam aktivitasnya melakukan penebangan liar. Dalam usaha pengendaliannya yang sering terkendala pada fenomena sosial yang menjadi alternatif pemecahan masalah ekonomi masyarakat dalam usaha pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
dan
sangat
dilematis
dalam
pemberantasannya. Pengendalian penebangan liar yang diuraikan di atas memerlukan kebijakan yang arif dan bijaksana serta pola penanganannya menggunakan pendekatan secara holistik (menyeluruh)/sistematis. Model pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk membantu mencari solusi yang dapat diterima oleh masyarakat dan berbagai pihak terkait
dengan penebangan liar. Model pengelolaan ini menguraikan tentang alternatif solusi penanganan penebangan liar dengan memperhatikan kesimbangan antara kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi, dan fungsi sosial melalui pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sehingga masalah-masalah tersebut di atas diharapkan dapat terselesaikan. PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individu/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta diusahakan secara komersil ataupun sekedar untuk konsistensi. Pola pendekatan dengan sistem ini memerlukan koordinasi semua pihak yang terkait dengan masalah penebangan liar. Koordinasi tersebut harus tercermin dalam perencanaan penyusunan program, operasionalisasi di lapangan dan pengawasan agar didapatkan hasil yang optimal. Kebijakan membuat suatu organisasi yang berusaha dalam pemanfaatan hutan untuk masyarakat (para penebang liar) merupakan langkah awal yang baik agar pembinaan yang memperhatikan keseimbangan antara kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial dapat dilakukan. Selanjutnya pemberian izin areal pemanfaatan hutan dengan luas tertentu yang sesuai dengan peraturan daerah (Perda) baik kabupaten maupun propinsi dan pusat untuk mendapat kepastian kawasan untuk berusaha. Penebangan liar telah menjadi sistem yang sangat sulit untuk diberantas, di sisi lain penebangan liar telah berkembang menjadi bagian integral dari saaw mill
liar yang tumbuh dan berkembang dari industri pengelolaan kayu tradisional yang telah ada sebelumnya. Apabila kelestarian fungsi produksi diabaikan akan menimbulkan dampak negatif terhadap perusahaan, jika kelestarian fungsi ekologi tidak diperhatikan tentu akan menimbulkan implikasi terhadap kerusakan lingkungan yang akhirnya akan menyebabkan bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Sedangkan kelestarian fungsi sosial akan menimbulkan kesenjangan antara masyarakat sekitar hutan yang tidak mampu dengan “pengusaha hutan”. Jadi secara keseluruhan apabila ketga kelestarian tersebut diabaikan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang tidak diinginkan. Karakter penting dalam PHBM adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan status lahannya secara legal formal (Undang-undang No. 41 Tahun 1999) PHBM dapat ditemukan pada lahan milik, lahan adat, dan lahan Negara ; 2. Praktek-praktek PHBM dapat ditemukan pada kawasan hutan produksi terbatas, hutan lindung, hutan konservasi, dan non hutan ; 3. Struktur dan komposisi kebanyakan menunjukan bentuk agroforestry dengan beragam jenis tumbuhan dan strata tajuk ; 4. Pada umumnya PHBM menghasilkan beragam produksi (kayu, non-kayu) dan beragam waktu panennya ; dan 5. Berdasarkan organisasi sosial yang menjalankannya, PHBM dapat ditemukan pola komunal atau kolektif dan perorangan.
Pengelolaan suatu unit manajemen PHBM pada dasarnya mempunyai 2 (dua) dimensi, yaitu: pertama, “dimensi hasil” terdiri dari kelestarian fungsi produksi dan fungsi ekologi, serta fungsi sosial dan kedua “dimensi manajemen” meliputi manajemen kawasan hutan dan manajemen kelembagaan. Manfaat ekonomi dari PHBM yang berada pada hutan negara harus menjadi hak publik. Mekanisme alokasi dan distribusi manfaat ekonomi dari PHBM ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu manajemen keuangan harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh pemegang hak (pengelola) dan pemerintah kepada publik. Kelestarian manfaat ekonomi dari PHBM harus dipertahankan dan ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang meningkat terhadap hasil hutan tetap dapat dipenuhi. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang terkait dengan izin pemanfaatan seperti provisi sumber daya hutan, dana reboisasi, dan dana lainya tetap diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah. Pemasaran hasil hutan dari model PHBM diperlukan kejelasan dari perusahaan/industri yang menjadi mitra kerja badan usaha tersebut. Hal ini untuk memutus jaringan peredaran kayu gelap/illegal dan sekaligus dapat meningkatkan keuntungan bagi masyarakat yang berkerja. Pengawasan dalam kegiatan PHBM ini sebaiknya melalui koordinasi dan konsolidasi dalam melibatkan berbagai instansi terkait untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak sesuai dengan prinsip kelestarian produksi, fungsi
ekologis (konservasi) dan fungsi sosial yang pada akhirnya akan menimbulkan degradasi hutan seperti terjadi pada masa orde baru. Pelanggaran dari ketentuan-ketentuan dalam penerapan model PHBM ini harus ditindak tanpa memandang status subjek pelaku sesuai dengan hukum, sebagai wujud penegakkan hukum (law enforcement). Ketegasan penegak hukum dalam menindak setiap setiap pelanggaran sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengelilaan sumber daya hutan yang lestari.
D. Penutup Upaya peningkatan pemberdayaan aparat hukum dalam menanggulangi penebangan liar adalah; dengan selalu melibatkan aparat terkait dalam usaha Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan apabila ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan di atas dapat diaplikasikan secara konsisten oleh berbagai pihak terkait (masyarakat dan stakeholder terkait), maka diharapkan model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dapat menjadi solusi alternatif dalam penanganan masalah penebangan liar yang semakin marak dewasa ini, paling tidak dapat diminimalisir pada tingkat terendah. Disadari bahwa kendala yang dihadapi pasti ada baik yang bersifat internal maupun eksternal, namun sebagai salah satu upaya mulia perlu untuk dilaksanakan dengan komitmen baik (good will).
DAFTAR PUSTAKA
Alam ,S. Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan , Rineka Cipta : Jakarta, 1997. Arief Arifin, Hutan : Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994. Barber, Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia Dan Amerika Serikat, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999. Budhijaja, Wayan. Makalah Illegal Logging di Kalimantan Barat Dalam Suatu Persepsi, Permasalahan dan Tindakan, Kalimantan Barat, 2002. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, World Bank And World Wildlife Fund Alliance, Prosiding Seri Lokakarya II “Penebangan Kayu Secara Liar (illegal)”, 2000. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalimantan, Quo Vadis Penertiban Illegal Logging, Prosiding Lokakarya Penertiban Penebangan Liar di Kalimantan Selatan : 2001. Manik, S. Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djembatan : Jakarta, 2003. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gajah Mada Universitas Press : 2001. Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djembatan : Jakarta, 2001. Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam Dan Lingkungan (Suatu Pandangan Teoritis), edisi 3, BPFE : Yogyakarta, 1997. Soemarwoto, Otto. Atur Diri Sendiri Paradigm Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta : Gajah Mada Press, 2001.