Jurnal At-Tajdid
UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM (Telaah Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Transformasi IAIN Menuju UIN)
Umi Hanifah * Abstract: This writing aims to examine the dichotomy phenomenon of Islamic education system and perceptions in finding solution in reconstructing Islamic education system to be integral and holistic. And find new paradigm of Islamic education system which has guarantee for better future and relevant with its character of islam. This study conducted by reviewing intensively the essence of Islamic education and the result of research relating with islamization of knowledge and its operational form in facing the problem of the dichotomy of Islamic education system. From the investigation formulated that concept like paradigm of islamization of social knowledge has left over many complicated problem that can inhibit social knowledge establishment. One of the problems is the quantity of teachers, especially in State Islamic Institute (IAIN) who have enough knowledge about Islam. But their knowledge of the discipline of applied science is totally less. Because of that, islamization of knowledge through the transformation from State Islamic institute (IAIN) to State Islamic University (UIN) considered as the effort to integrate the variety of knowledge and eliminate the dichotomy between general science and religious science also to implement Islamic doctrine professionally in social life. Keywords: Dichotomy, Islamic Education System, Islamization of knowledge, Transformation from IAIN to UIN.
* Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
19
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
Pendahuluan Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih berserakan dan belum dirumuskan dalam suatu tipologi pemikiran yang khas, terstruktur, dan sistematis. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi keilmuan, termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi IAIN/STAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam, baik di Indonesia. Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dua sistem pendidikan tersebut sangat dikotomik. Dikatakan demikian, karena kedua-duanya mempunyai alur yang sangat berjauhan. Sistem yang pertama disebut sistem pendidikan yang tradisional. Sistem ini cenderung melahirkan golongan Muslim tradisional. Sedangkan sistem yang kedua disebut sistem pendidikan sekuler, yakni sistem pendidikan yang cenderung melahirkan golongan Muslim modern yang kebarat-baratan.1 Padahal hakekat nya, dalam ajaran agama Islam tidak mengenal dan mengakui adanya dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama.2 Tentu saja apabila iklim seperti ini dibiarkan, tidak akan mampu mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami. Jika kelemahan dalam bidang pendidikan tersebut dibiarkan terusmenerus, maka umat Islam akan senantiasa terbelakang dan menjadi bangsa kedua. Masyarakat Muslim hanya menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan peradaban Barat.3 Padahal sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa, umat Islam pernah menciptakan budaya gemilang dan bahkan mecapai supremasi kejayaannya yang sering diistilahkan dengan the golden age of science in Islam antara tahun 650 M-1250 M.4 Kemajuan teknologi yang dicapai oleh orang-orang Barat sesungguhnya digali dari pengetahuan yang dibangun oleh orang-orang Islam ketika umat Islam konsern dengan ajaran Islam yang tidak memi sahkan antara sains agama dan sains rasional.5 Bila kita menengok sejarah kita, ternyata Islamlah sebagai agama yang menjadikan cikal bakal 20
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
ilmu pengetahuan modern. Pernyataan tersebut dapat dibenarkan ka rena Islam mempunyai kitab ilmiah, di dalamnya termuat fenomena-fe nomena kemanusiaan dan kealaman yang terjadi di alam raya.6 Sedangkan dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi pendidikan -antara pendidikan umum dan pendidikan agama- telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern7. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya. Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan untuk melatih anak didiknya dengan sedemikian rupa, sehingga dalam sikap hidup, tindakan dan pendekatannya terhadap segala jenis pengetahuan banyak dipengaruhi nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etik Islam.8 Mentalnya dilatih sehingga keinginan mendapatkan pengetahuan bukan semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektualnya saja, atau hanya untuk memperoleh keuntungan material semata. Melainkan untuk mengembangkan dirinya menjadi makhluk rasional yang berbudi luhur serta melahirkan kesejahteraan spiritual, mental, fisik bagi keluarga, bangsa, dan seluruh umat manusia. Selain itu, Seseorang yang telah menempuh pendidikan Islam, akan percaya bahwa manusia bukan hanya seorang makhluk ciptaan Tuhan di bumi ini saja, melainkan juga sebagai sebagai makhluk spiritual yang dikaruniai kekuatan untuk mengontrol dan mengatur alam raya ini atas ijin Tuhan. Bakan dia juga sebagai makhluk yang kehidupannya berlangsung tidak hanya di dunia belaka, tetapi juga berlanjut hingga kehidup an akhirat.9 Sedangkan, jenis pendidikan yang dapat membuat manusia seperti itu tentu saja tidak mungkin bila hanya bersifat keagamaan belaka, dan tidak mungkin bila hanya bersifat keduniaan saja. Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan tersebut, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
21
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan ge nerasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di du nia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif me ngantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua. Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin. Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan pendidikan (baca: Pemerintah) yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, yang dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembagalembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana Departemen Pendidikan Nasional mengurusi lembaga-lembaga pen didikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif “melimpah”, sementara Departemen Agama mengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang “amat terbatas”. Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama10
22
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pe ngelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Adapun dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka filsafat keilmuan Islam. Kendati dikotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau, namun dampaknya terhadap kerangka filsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada masa-masa kemudian11. Salah satu kerangka keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerangka filsafat keilmuan “sekuler” adalah berkembangnya pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Di kalangan umat Islam berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama ilmu sembari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu. Di kalangan umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk menjadikan ayat-ayat qauliyah sebagai objek kajian pokok, tetapi mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang justru menyimpan begitu banyak misteri dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya.12 Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikotomi keilmuan Islam telah begitu besar, para pemikir Muslim mulai menggagas konsep integrasi keilmuan Islam, yang mencoba membangun suatu keterpaduan kerangka keilmuan Islam, dan berusaha menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain. Dalam hal ini, sejumlah pemikir Islam berupaya untuk mengajukan metode pengetahuan yang bertumpu pada ajaran Islam dengan mempelopori bangkitnya gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of Knowledge).13 Di antaranya adalah Isma’il Raji al-Faruqi, Sayyed Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Gerakan yang dihembuskan oleh para pemikir (pakar) Islam ini terus berkembang dan mendapat dukungan Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
23
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
dari para ilmuan Muslim yang memiliki keahlian sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Upaya ini dilatarbelangi oleh semangat mengembalikan ilmu pengetahuan dalam pangkuan Islam dan kaum Muslimin. Al-Faruqi adalah salah satu penggagas dan pencetus ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Dia secara tegas telah mengartikulasikan idenya tersebut dan memformulasikan secara sistematis dalam bukunya “The Islamization of Knowledge”. Al-Faruqi dikenal sebagai sarjana yang mampu menggabungkan antara pemikiran dengan aksinya. Sehingga dia tidak sekedar mengusulkan atau mencetuskan saja gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, tetapi juga sekaligus mengajak dan menganjurkan kepada umat untuk melakukan “gerakan” Islamisasi ilmu itu sendiri yang kini telah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam.14 Dewasa ini bahkan telah banyak universitas-universitas Islam maupun sekolah-sekolah yang kemunculannya diilhami oleh gerakan tersebut serta menjadikannya sebagai target yang ingin ditempuh.15 Bahkan dewasa ini pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesio nal di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan. Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Demikianlah bebarapa latar belakang persoalan yang mendorong penulis untuk mengangkat persoalan dikotomi sistem pendidikan, terutama di Indonesia yang sesungguhnya adalah persoalan klasik tetapi masih aktual dan menajam hingga saat ini.
24
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
Pengertian Dikotomi Sistem Pendidikan Islam Secara etimologi, “dikotomi” berasal dari bahasa Inggris “dichoto my” yang berarti pembagian dalam dua bagian, pembelahan dua, bercabang dalam dua bagian.16 Dalam bahasa Indonesia, “dikotomi” berarti pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.17 Secara termi nologi, “dikotomi” adalah pemisahan antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yang lain, seperti dikotomi ulama-intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri manusia Muslim itu sendiri (split personality).18 Sementara itu menurut al-Faruqi, “dikotomi” adalah dualisme relegius dan kultural.19 Bermula dari pemahaman dikotomi menurut dua aspek di atas20, maka dikotomi sistem pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran dien dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini bukan hanya terjadi pada dataran pemilahan, melainkan masuk dalam wilayah pemisahan. Kita kenal adanya sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan modern atau sistem pendidikan Islam yang tradisional-eks klusif (parsial) atau sistem pendidikan yang sekularistik, rasionalistik-em piristik, intuitif dan materialistik. Kondisi seperti ini tidak mendukung terciptanya kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami atau menampilkan Islam secara kaffah. Sebenarnya, persoalan dikotomi ini adalah persoalan klasik, tetapi selalu hangat untuk dipersoalkan dan masalahnya adalah pemisahan antara ilmu dan agama.21
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Dikotomi Sistem Pendidikan Islam Secara umum dikotomi sistem pendidikan di dunia Muslim disebabkan oleh beberapa faktor yakni: 1.
Stagnasi pemikiran Islam
Stagnasi yang melanda kesarjanaan Muslim banyak terjadi sejak abad XVI hingga abad XVII M. Masyarakat Muslim saat itu cenderung Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
25
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan, sehingga lupa kenyataan yang tengah terjadi di lapangan. Maka sarjana Barat mengatakan, rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangantantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut ditanggapi secara positif dan lebih arif, dunia Muslim dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, kemudian membe rinya arah baru.22 2.
Penjajahan Barat atas dunia muslim
Mayoritas penjajahan Barat atas dunia muslim menurut para sejarawan, berlangsung sejak abad XVIII hingga abad XIX M.23 Pada saat itu dunia muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imperialisme Barat. Dalam kondisi seperti itu tentu tidaklah mudah dunia muslim menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat mendominasi budaya “tradisional” setempat yang dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah menggantikan ilmu-ilmu aqliyah muslim dan derajat ilmu naqli yah. Ilmu “pengganti” Barat itulah yang kemudian didominasikan dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah di dunia muslim. Dengan demikian, integrasi kedua ilmu pengetahuan tidak di upayakan apalagi dipertahankan. Ini sebagai dampak mengalirnya gaya pemikiran sarjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara urusan ilmu dengan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan ha rus dipisahkan dari kajian keagamaan. Dan agaknya ini “meracuni” para penggemar kajian para sarjana Barat. Sehingga di dunia muslim juga berkembang hal yang sama, yakni kajian ilmu dan teknologi harus terpisah dari kajian agama. Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai mempengaruhi cabang ilmu lain terutama ilmu yang menyangkut masyarakat, seperti, ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik.24
26
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
3.
Faktor lain
Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi sistem pendidikan di dunia Muslim adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.25 Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut berkeyakinan, kemajuanlah yang penting bukan agama. Oleh karenanya, kajian agama dibatasi bidangnya, Agama hanya membicarakan hubungan individu de ngan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama. Pendidikan Barat modern yang nota-bene menempatkan tekan an yang berlebihan kepada akal rasional tentu saja menganggap sepele nilai spiritual dan lebih besifat antroposentris ketimbang teosentris. Dan ternyata kondisi seperti inilah yang banyak merembes ke dunia Islam (negara muslim).26 Hal itu dikarenakan banyaknya para pemikir Muslim yang dibesarkan, dididik, dicuci otaknya di dunia Barat. Ketika mereka kembali ke negaranya, pemikiran dan idenya bertentangan dengan tradisi masyarakatnya. Sebagai konsekuensi logis, pendidikan Islam di negeri-negeri muslim telah diungguli oleh sistem yang dipinjam dari Barat. Mengapa? Karena ide-ide Barat dipinjam dan diterapkan begitu saja, tanpa ada upaya mengadaptasi. Sehingga yang ada bukan harmonisasi, melain kan ekspansi. Pendidikan Islam yang mempunyai ciri khas ke-Islaman lenyap, dan yang ada pendidikan Islam berciri khas Barat. Hal itu dapat dilihat, buku-buku teks dan metode yang dikembangkan tidak berusaha meneguhkan keimanan dan keIslaman para siswa, tetapi malah membuatnya ragu-ragu terhadap agamanya sendiri. Menyikapi hal tersebut muncul dua kubu dikalang cerdik pandai. Kubu pertama menerima gagasan dari Barat, karena dipandang penting bagi kemajuan umat Islam. Sikap reseptif kelompok pertama ini agaknya berlebihan, sehingga yang muncul bukan harmonisasi antara ide Islam dan ide Barat. Melainkan ide Barat diterima untuk menggantikan ide Islam. Sehingga sistem pendidikan Islam berubah wajah menjadi seku ler. Sementara kubu kedua hanya mau merespon konsep-konsep spirit ual saja. Tantangan-tantangan agama yang berasal dari konsep-konsep Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
27
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
sekuler mereka tinggalkan. Kelompok ini memunculkan sistem pendi dikan Islam yang sangat berbeda dengan kelompok pertama, yakni sistem pendidikan Islam sentris.
Upaya-Upaya untuk Menghilangkan Dikotomi Sistem Pendi dikan Islam Melalui Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Transformasi Iain Menuju Uin Disadari atau tidak, persoalan dikotomi sistem pendidikan di dunia muslim itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dilihat di kalangan pakar pendidikan muslim, persoalan tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup serius. Mengapa? karena dualisme sistem pendidikan yang seharusnya tidak boleh ada, malah seolah telah menjadi “trend” pendidik an bagi masyarakat kita. Masyarakat muslim sendiri seolah mengiyakan dan menganggap bahwa model pendidikan dikotomi itulah yang sesuai dengan jaman. Secara operasionalnya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang terjadi selama ini adalah merupakan Islamic education for the moeslems, yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan modern, dan bukan Islamic education for Islamic education, yaitu pendidikan Is lam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam.27 Kondisi tidak kondusif seperti ini akhirnya mengundang para pakar muslim dari berbagai penjuru dunia. Tujuannya untuk memecahkan dan mencari jalan terbaik guna membangun kembali kebudayaan dan peradaban muslim yang pernah jaya di jaman klasik. Niat keras para pakar muslim tersebut ternyata benar-benar diwujudkan. Hal tersebut, dibuktikan dengan diadakannya berbagai pertemuan tingkat internasional (termasuk diadakannya sebuah konferensi internasional pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1997 M).28 Dari pertemuan itulah dihasilkan gagasan-gagasan baru, termasuk Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya integrasi dikotomi sistem pendidikan yang masih ditindak lanjuti oleh para pakar muslim hingga sekarang. Di antaranya adalah, perubahan IAIN menuju UIN. 28
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
Perubahan IAIN menuju UIN merupakan tanda sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN di anggap perguruan tinggi yang memproduksi guru-guru agama baru, pengganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian bahkan modin. Hal ini dikarenakan banyaknya alumni IAIN yang tidak bisa berkembang karena ijazah yang di hasilkan tidak memiliki standar yang diminta oleh pangsa pasar. Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri adalah keinginan di setiap kelulusan agar mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan layak. Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dari tahun 1957-1960. Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi salah satu bagian dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif Hidayatullah (yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya Keppres No. 31 tahun 2002. Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang selama ini terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas paradigma keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat menghambat perkembangan ilmu sosial. Di antara masalah tersebut adalah banyaknya tenaga pengajar terutama dari IAIN yang mempunyai pengetahuan cukup tentang Islam, tetapi pengetahuan Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
29
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
mereka akan disiplin-disiplin ilmu terapan kurang sama sekali.29 Karena itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata. Tetapi lebih dari itu. Pergeseran paradigma pemahaman agama mengarah pada keterbukaan dan transparan dalam pergaulan di dunia. Dengan demikian, transformasi IAIN menuju UIN bisa dikatakan sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang sangat dipengaruhi oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadikan ilmu agama sebagai media kritis dalam menpertanyakan hakikat “agama” sekaligus menjawab tantangan zaman. Sehingga transformasi IAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.
Penutup Islamisasi ilmu pengetahuan melalui transformasi IAIN menuju UIN adalah sebuah evaluasi atas kekalahan kita terhadap Barat. Transformasi ini merupakan bagian dari upaya mengintegrasikan dikotomi sistem pendidikan Islam. Selanjutnya, pembentukan UIN diharapkan mampu mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. [ ]
Endnotes 1
2
30
Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”, dalam Paradigma Pendidikan Islam, ed. Ismail SM, et. al., (Semarang: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 81. Karena pada hakekatnya dikotomi itu bertentangan dengan Islam yang fundamental visinya adalah tauhid, yang tidak mengenal adanya pemisahan antara
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
3
4
5
6
7
pendidikan agama dan pendidikan umum, keduanya merupakan kesatuan (tauhid) pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu dunia dan tujuan akhirat. Lihat Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam ( Jakarta: Logos, 1999), hlm.89. Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, ter. A.E. Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hlm. vi. Masa yang dikenal dengan the golden age of science in Islam dapat tercapai ka rena adanya penerapan konsep keterpaduan antara lapangan berpikir empirik dengan lapangan idiil normatif. Lebih jelasnya lihat Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Terj.), Alih Bahasa Mahnun Husain, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1989), hlm. 5-58. Dalam konteks sejarah, puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada era kejayaan masyarakat Muslim terjadi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Kemajuan itu secara nyata terimplementasikan dalam kehidupan riil masyarakat yang ditandai dengan tingginya peradaban, tertatanya kehidupan sosial dan pesatnya arus perputaran ekonomi. Lihat R.M. Savory, Introduction to Islamic Civilization (New York: Cambridge University Press, 1976), hlm. 20. Dewasa ini dunia mengakui dan terus terang menyatakan berhutang budi kepada para ilmuwan Muslim masa lampau. Utang ilmu pengetahuan modern kepada ilmu pengetahuan Islam (al-Quran) tidak pernah ditagih oleh ummat Islam, sehingga orang-orang pandai di Eropa sekarang malu dan meng akui bahwa kehidupan Eropa yang sebenarnya dibelit oleh ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, sedangkan untuk melepaskan diri tidaklah mungkin karena mereka sendiri telah mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sebagai miliknya sendiri. Di dalam keterlenaan mereka, orangorang non Muslim telah mengambil warisan-warisan dari ilmuwan-ilmuwan Muslim, mengintegrasikannya dalam pandangan mereka (world view mereka), memperkembangkan disiplin-disiplin tersebut, menambahi disiplin-disiplin tersebut dengan sumbangan-sumbangan mereka sendiri, dan memanfaatkan pengetahuan baru itu untuk kepentingan mereka. C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, ter. Hasan Basari ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hlm. 26-33. LIhat C.A. Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 2-3. Lihat juga Omar Amin Hoesin, Kultur Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 247. Bandingkan dengan Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 34. Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 375. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960), hlm. 237.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
31
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam 8
9 10
11
32
Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 79. Ibid, hlm. 80. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2004, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 21.585,1 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 6.690,5 milyar; berbanding 76,3% : 23,7%. Untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 26.991,8 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 7.017,0 milyar; berbanding 79,4% : 20,6%. Dan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2006, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 36.755,9 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 9.720,9 milyar; berbanding 79,1% : 21,9%. Lihat, Departemen Keuang an Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Depkeu RI, Jakarta, 2006, hlm. 8. Bila besaran anggaran dan prosentase tersebut dihubungkan dengan cakupan kerja kedua departemen tersebut, maka cakupan kerja Departemen Agama jauh lebih luas, dan tidak hanya mencakup bidang pendidikan, melainkan juga bidang-bidang agama yang lebih luas. Imam Al-Ghazali, misalnya membagi ilmu menjadi dua, yaitu: Pertama, ilmu pengetahuan yang berhubungan fardhu ‘ain. Menurut Imam Al-Ghazali: “Ilmu tentang cara awal perbuatan yang wajib. Jika orang yang telah mengetahui ilmu yang wajib dan waktu yang wajibnya, maka sesungguhnya ia telah mengetahui ilmu fardhu ‘ain. Yang dimaksud: “Al-Amal” di sini meliputi tiga amal perbuatan yaitu: I’tiqad, Al-Fi’li dan Al-Tark. Jadi ilmu pengetahuan baik yang berupa i’tiqad, Al-Fi’li maupun Al-Tark yang diwajibkan menurut syari’at bagi setiap individu muslim dan sesuai pula waktu diwajibkannya.Yang termasuk ilmu yang di hukum fardhu ‘ain dalam mencarinya itu ialah segala macam ilmu pengetahuan yang dengannya dapat digunakan untuk bertauhid (pengabdian, peribadatan) kepada Allah secara benar, untuk mengetahui eksistensi Allah, status-Nya, serta sifat-sifat-Nya, juga ilmu pengetahuan yang dengannya bagaimana mengetahui cara beribadah sebenar-benarnya lagi pula apa-apa yang diharapkan bermuamalah (bermasyarakat) lagi pula apa-apa yang dihalalkan. Kedua, ilmu pengetahuan fardhu kifâyah. Adapun ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah setiap ilmu pengetahuan manakala suatu masyarakat tidak ada orang lain yang mengembangkan ilmu-ilmu itu, sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan dan kekacauan-kekacauan dalam kehidupan Al-Ghazali menyebutkan: “....bidang-bidang ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah, ilmu kedokteran, berhitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb. Imam AlGhazali, Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 19
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah 12
13
14
15
16
17
18
19 20 21
22
23
24 25
26
27
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Quran, Cet. 2 (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 78-82. Gerakan ini dimaksudkan sebagai jawaban positif tehadap krisis pendidikan yang sudah terlanjur dualistik, dengan menyelenggarakan seminar internasional The First International Conference of Islamic Thought and Islamization of Knowledge (1982) di Islamabad, yang dimotori oleh The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang dipimpin oleh Isma’il Raji al-Faruqi. Al-Faruqi tidak hanya manusia pemikir (man of ideas), tetapi ia juga cendikia wan yang menuangkan langsung gagasannya dalam tindakan nyata (man of action). Lihat lagi Ahmed, Discovering Islam, hlm. 207. Yasein Mohamed, “Islamization: A Revivalist Response to Modernity”, dalam Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1, hlm. 22. John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 180. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 205. Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, hlm. 104. al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, hlm. 37. Yakni dilihat dari makna Etimologi dan Terminologi. Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah pendidikan Agama Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam., hlm. 104. Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan Oleh Rifyal Ka’bah ( Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 50. Namun, penjajahan atas bangsa Muslim Melayu (termasuk Indonesia) terjadi sejak abad XVI sampai abad XX. (pen). Pada abad XVI, Belanda, Inggris, Denmark dan Prancis datang ke Asia Tenggara. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Grafindo Persada, 1998), hlm. 174-177. Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 33. Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Terj.), diterjemahkan oleh Rahma Astuti (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 75. Parameter untuk menyebut negara Muslim adalah dilihat dari mayoritas penduduknya Muslim. Seperti, negara Mesir, sekalipun banyak penduduk yang beragama selain Islam, namun mayoritas dari jumlah penduduknya adalah Muslim. Oleh karenanya, negara Mesir termasuk negara Muslim. Ukuran seperti ini berlaku bagi sebutan negara Muslim lainnya. Noeng Muhajir, “Pendidikan Islami untuk Masa Depan Kemanusiaan”, dalam Lektur Seri IV (Cirebon: IAIN SGD, 1996), hlm. 30.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
33
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam 28
29
Tepatnya sejak tahun 1977 M telah empat kali dilaksanakan Konferensi Pendidikan Muslim Sedunia. Inti pertemuan tersebut membahas persoalanpersoalan pendidikan di negara Muslim se-dunia dan Islamisasi ilmu Pengetahuan. Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 105. Jurnalis Uddin, “Problems of Islamization of University Curriculum in Indonesia”, Muslim Education Quarterly, Vol.10. No. 3. hlm.6
Daftar Pustaka Abu Sulaiman, Abdul Hamid, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Rifyal Ka’bah. Jakarta: Media Dakwah, 1994. Al- Ghazali, Imam, Ihya` ‘Ulum ad-Dien, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1995. Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Mahnun Husain, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Jakarta: Bulan Bin tang, 1979. Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Jakarta, 2006. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo nesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut Al-Quran, Cet. 2, Bandung: Mizan,1989. Hoesin, Omar Amin, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Ismail SM, et. al, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001. Lektur Seri IV, Cirebon: IAIN SGD, 1996. Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1 dan Vol. X, No. 3. Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991. 34
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
__________, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam (Terj.), diterjemahkan oleh A.E. Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 1998. Savory, R.M, Introduction to Islamic Civilization, New York: Cambridge University Press, 1976. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1998. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
35