Jurnal At-Tajdid
SINTESA ATAS DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM Muh. Tajab ∗ Abstract: Based on Islamic education traced from the initial establishment of Islamic education institutions such as boarding schools, madrasah to Modern Islamic education. The process of renewal and adaptation of Islamic education in Indonesia through its side a few changes follow the development demands of the times. While the goal of Islamic education is creating a whole person (insan kamil). On the other hand trying to filter out the Islamic educational development of Western education and seeks to elaborate on the pattern of Western education without losing identity of Islam. The complex problems of Islamic education is very diverse in terms of both internal and external factors. So far, The modernization of education of Islam continued in the following the times, such as the birth of the Trensains (Science boarding school). Keywords: Islamic education, boarding schools, madrasahs, Trensains
PENDAHULUAN Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien.1 Pada kenyataannya pendidikan merupakan bagian tidak terpisahkan di kehidupan manusia di dunia yang sudah menjadi salah satu tradisi umat manusia, sehingga tidak begitu mengherankan jika dari dulu sampai sekarang. Pendidikan menjadi tinjauan yang serius dengan manusia dan sangat diperhatikan. Pendidikan merupakan salah satu bentuk usaha manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan eksistensi kehidupan budaya untuk menyiapkan generasi penerus agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang ada.2 * Dosen Tetap STIT Muhammdiyah Pacitan
21
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dasar dan tujuan serta teori-teorinya dibangun untuk melaksanakan praktik pendidikan didasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis.3 Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.4 Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut: pertama, Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air. Menurut Muhamad Atiya Al-Ibrashi, tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan moral dan latihan jiwa tetapi tidak mengesampingkan latihan fisik, intelektualitas, emosi, perasaan, ketrampilan, lisan dan kepribadian.5 Dalam definisi di atas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik, didasarkan pada hukum-hukum Islam.6 Pengertian pendidikan Islam menurut Konferensi Islam Inter nasional di Jepang tahun 1977 seperti dikutip Chabib Thoha adalah: “The meaning of education in totally in the context of Islam is inherent in the coonotation of the term, tarbiyah, ta’lim and ta’dib taken together. What is each of this terms conveys concerning man and his society and environment in relation to Godis related to the others and together bot formal and non formal." 7 22
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
Tipe pendidikan Islam8 paling awal adalah pondok pesantren9 yang merupakan adaptasi dari lembaga sejenis yang ada sebelum pra Islam yaitu Hindu dan Budha.10 Metode pengajarannya adalah bandongan (kuliah) dan sorogan (belajar sendiri). Pada tahun 1920-an pesantren mulai mengembangkan pendidikan sendiri dengan metode pengajaran dan kurikulum baru. Sistem baru ini disebut madrasi (sistem kelas).11 Selain mengajarkan pengetahuan umum, pesantren juga mengajarkan ilmu agama. Sejarah pendidikan di Malaysia12 hampir sama dengan Indonesia. Namun masih mengalami problem dualisme antara pengetahuan umum dan agama. Jika pendidikan Islam di Malaysia dan Indonesia bersifat dualistik, berbeda dengan Thailand, yang bersifat kontradiktif. Di Thailand,13 sekolah agama cenderung disenangi daripada sekolah pemerintah. Dalam catatan sejarah, sebagian Founding Fathers mengajukan usulan agar pesantren yang memiliki ciri kental indigenous tersebut dijadikan alternatif perguruan nasional karena memiliki kelebihan dibandingkan perguruan Barat.14 Kelebihan pesantren dimaksud adalah pertama, sistem pemondokan, yang memungkinkan pendidik (Kiai) melakukan tuntunan dan pengawasan langsung kepada santri. Kedua, keakraban hubungan personal antara santri dan kiai yg kondusif untuk transmisi pengetahuan. Ketiga, kemampuan pesantren untuk mencetak lulusan yang memiliki kemandirian. Keempat, kesederhanaan pola hidup komunitas pesantren. Kelima, murahnya biaya pendidikan pesantren. Keunggulan tersebut sekarang mulai diadopsi oleh lembaga pendidikan umum. Munculnya TK Terpadu, SD terpadu, SMP terpadu, menjadi tolok ukur betapa pesantren cukup signifikan pengaruhnya di Indonesia. Selanjutnya, sistem madrasi tidak hanya ada di Indonesia bahkan di Asia Tenggara pun memakai sistem ini.15 Institusi ini lahir pada awal abad XX M yang dianggap sebagai awal pertumbuhan sejarah pendidikan Islam di Indonesia.Kesadaran ini muncul karena ada anggapan seJurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
23
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
bagian umat Islam bahwa pendidikan Barat positif.16 Karena itu sistem madrasi diterapkan dalam pendidikan Islam. Harun Nasution membagi periodisasi pendidikan Islam sebagai berikut: Periode pembinaan pendidikan Islam 1. Periode pertumbuhan pendidikan Islam; 2. Periode kejayaan Islam; 3. Tahap kemunduran pendidikan Islam; 4. Tahap pembaharuan pendidikan Islam.17 Dari periodisasi sejarah pendidikan Islam tersebut, yang menjadi masalah utama pendidikan di Indonesia adalah bagaimana agama dan ilmu bisa diintregasikan baik secara filosofis, akademis dan institusional.18 Sementara itu, problem pendidikan Islam juga menghadapi masalah yang sangat luas spektrumnya, baik faktor eksternalnya19 maupun internalnya.20 Disisi lain, pandangan miring yang menganggap pendidikan Islam sebagai pendidikan kelas dua, memacu para intelektual muslim untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam.
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim) dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah. al-Quran mensyaratkan agar fikir didahului oleh zikir (QS. Ali Imran (3):191). Fikir yang tidak berdasarkan pada zikir hanya akan menghasilkan cendekiawan yang luas ilmunya tapi tidak saleh amalnya. Ilmu saja tanpa amal, menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong. Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu pendidikan yang beradab. Objek pendidikan Islam adalah subjek didik yang dididik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, sedangkan objek dakwah Islam dalam
24
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
masyarakat adalah yang menyimpang dari ajaran Islam sehingga para rasul diutus untuk meluruskannya.21 Inti pendidikan Islam, menurut Jawwad Ridha adalah pemikiran yang memandang Islam sebagai “madrasah” (tempat belajar) bagi umat Islam. Dengan pengertian ini, pendidikan Islam memaksudkan sebagai usaha yang dilakukan Islam dalam rangka pembentukan masyarakat “baru” yang merupakan lawan dari masyarakat jahiliyah.22
Melihat aspek pendidikan Islam yang idealis di atas, maka problemnya apa sehingga mengalami kemunduran dibanding pendidikan umum? Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomi pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.23 Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lem baga pendidikan yang ada.24 Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup menggembirakan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
25
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam. Materi pendidikan Islam terlalu mendominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan, suatu cara di mana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu “meta narasi” yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.25 Disain pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendesain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya. Kedua, “pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni: (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk
26
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berarti pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati.26 Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, sebagai berikut: (1) pendidikan adalah proses pembebasan, (2) pendidikan sebagai proses pencerdasan, (3) pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, (4) pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, (5) pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia, (6) pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif, (7) pendidikan wahana membangun watak persatuan, (8) pendidikan menghasilkan manusia demokratik, (9) pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan, (10) sekolah bukan satu satunya instrumen pendidikan.27 Djamaluddin Ancok –mengutip Hartanto, Raka & Hendroyuwonomengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak mudah untuk menyelesaikannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat memenuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.28
MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh tujuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Modernisasi atau pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masyarakat kini.29 Latar belakang dan pola-pola pembaharuan dalam Islam, khususnya dalam pendidikan mengambil tempat sebagai: 1) golongan yang berJurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
27
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
orentasi pada pola pendidikan modern barat, 2) gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorentasi pada sumber Islam yang murni dan 3) pembaharuan pendidikan yang berorentasi pada nasionalisme.30 Menurut Rahman, pembaharuan pendidikan Islam dapat dilakukan dengan menerima pendidikan sekuler modern, kemudian berusaha memasukinya dengan konsep-konsep Islam. Secara detail, pembaharuan pendidikan Islam mendesak untuk segera dilakukan dengan cara: pertama, membangkitkan ideologi umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, mengikis dualisme sistem pendidikan Islam. Karena itu perlu integrasi keduanya. Ketiga, menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan.32 Keempat, pembaharuan di bidang metode pendidikan Islam.32 Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda pada tahun 1948. Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid. Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulai ada perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah (Adabiah School) di Padang.33 Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat dan SMP.
28
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
Selain respon yang diberikan oleh pesantren di Jawa, komunitas pesantren menolak asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat tertentu mereka pasti mengikuti langkah kaum reformis, karena memiliki manfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal. Pesantren yang mengikuti jejak kaum reformis adalah pesanteren Mambaul ‘Ulum di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Pondok tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan sebagainya. Respon K.H. Ahmad Dahlan berbeda, dengan menyerap pola pendidikan Belanda dan menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.34
SINTESIS INTEGRASI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM Metode sintesis K.H. Ahmad Dahlan untuk diterapkan dalam Trensains. Trensains35 adalah alternatif penyelesaian masalah dikotomi ilmu agama dan sains. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berkemajuan, sudah mulai menyatukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sains. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah (yang waktu itu dijabat oleh Din Syamsuddin) dalam acara peletakan batu pertama pembangunan gedung SMA Trensains Muhammadiyah Sragen, di desa Dawe, Banaran, Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.36 Trensain adalah kependekan dari Pesantren Sains yang merupakan sintetis dari pesantren dan sekolah umum bidang sains. Trensains meruJurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
29
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
pakan lembaga pendidikan setingkat SMA yang merupakan proyek baru di Indonesia, bahkan mungkin di dunia Islam Sunni, karena kegiatan utamanya adalah mengkaji dan meneliti ayat-ayat semesta yang terkandung di dalam al-Quranul Karim dan Hadis Nabawi. Trensain dengan kurikulum penggabungan antara al-Quran dan sains ini tergolong baru, berbeda dengan lainnya yang sekedar menghubungkan antara keduanya dengan garis persamaan atau sekedar pencocok-cocokan.37 Trensains lebih dari itu, karena menuntut lahirnya sains dari pemahaman ayat kauniyah dari al-Quran, menuntut adanya instrumen keilmuan alam yang terinspirasi langsung dari pemahaman struktur al-Quran, per-kosakata, munâsabah, dan semua dimensi kemukjizatan al-Quran. Saat ini sudah ada dua Trensains, pertama di SMA Trensains Darul Ihsan Sragen dan kedua Trensain Tebu Ireng.38 Menurut Agus Purwanto, sebagai inisiator trensains, “Trensains (Pesantren Sains) adalah konsep sekolah yang tidak menggabungkan materi pesantren dengan ilmu umum sebagaimana pesantren modern. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman al-Quran, al-Hadist dan Sains kealaman (natural science) dan interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains merupakan materi khas Trensains yang tidak ada pada pesantren modern.”
PENUTUP Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Potensi sumberdaya muslim sangat besar, namun belum berdaya maksimal terutama out put pendidikan Islam. Kendala internal dan eksternal pendidikan Islam dicari jawabannya dengan melakukan sintesa antara pesantren dan sekolah umum. Lahirlah Trensains yang mencoba menjawab dikotomi yang selama ini menjadi pokok soal perdebatan dalam pendidikan Islam. Trensains merupakan perpaduan antara pesantren dan sains, yang merupakan sintesis dari pesantren dan sekolah umum bidang sains. Sintesis yang juga pernah dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dengan menyerap pola pendidikan Belanda dan menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya. 30
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Saat ini sudah ada dua Trensains, pertama di SMA Trensains Darul Ihsan Sragen dan kedua Trensain Tebu Ireng. Yang pertama adalah lembaga pendidikan milik Muhammadiyah dan yang kedua adalah lembaga pendidikan NU. [ ]
ENDNOTES 1
2
3
4
5
6
7 8
9
10
Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008), hlm. 13. Imron Rossidy dan Bustanul Amari, Pendidikan yang Memanusiakan Manusia dengan Paradigma Pembebasan, (Malang: Pustaka Minna, 2007), hlm. 79. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 335. Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna (Terj.), diterjemahkan oleh Bustami A Gani dan Zainal Abidin Ahmad, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 157. M. Atiya Al-Ibrashi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Tasirun Sulaiman, (Ponorogo: PSIA IPD Gontor, 1991), hlm. 6. Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan,Cet. 1 (Semarang: Rasail, 2008), hlm. 34 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini., hlm. 335. Menurut Zakiyah Daradjat pendidikan sinonim dengan kata tarbiyah. Pendidikan Islam yang merupakan terjemahan dari tarbiyah islamiyah dipahami sebagai proses untuk mengembangkan Fitrah. Naquib al-Attas menekankan pendidikan Islam sebagai proses untuk membentuk kepribadian muslim. Lihat: Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 21. Baik pesantren tradisional maupun modern. Pesantren tradisional dikenal dengan pesantren salafy dengan keunggulan kajian kitab kuningnya, sementara pesantren modern dikenal dengan pondok modern dengan keunggulan penguasaan bahasa Arab dan Inggris.Tipe pertama seperti pondok Termas Arjosari Pacitan dan tipe kedua seperti Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Cet. 3 (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 57. Sejarah awal mula pesantren, dalam kenyataannya tidak banyak diketahui karena minimnya informasi yang merinci kapan lembaga tersebut pertama kali mucul. Dalam berbagai babak walaupun pesantren di
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
31
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
11
12
32
jelaskan seperti dalam Serat Centini, namun kurang akurat sebagai sumber karena tidak menyebutkan pesantren secara langsung. Lembaga pendidikan yang terdapat di sana hanya di namakan Paguron atau Padepokan. Beberapa pakar justru melihat pesantren sebagai hasil adopsi dari sistem pendidikan kutab yang berkembang dalam tradisi Islam klasik, mulai dari dinasti Umayyah hingga selanjutnya. Di mana model pendidikan kutab yanag terdapat dalam tradisi Islam abad tengah, dalam tradisi Islam-Indonesia kemudian dipopulerkan dengan nama “ Pondok Pesantren “ yaitu lembaga pendidikan Islam di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (pelajar) melalui sarana masjid digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan tersebut, dilengkapi pula dengan fasilitas pemondokan bagi para santri yang kebanyakan berasal dari luar daerah. Ciri-ciri awal pesantren adalah 1) Adanya kyai, 2) adanya santri sebagai pelajar, 3) adanya masjid sebagai sarana pembelajaran, 4) adanya pemondokan santri. (http://manajemenpendidikanislam.blogspot.com/2010/02/modernisasi-pendidikan-islam. html). Martin van Bruinessen dalam artikelnya berjudul “Divergent Paths From Gontor: Muslim Educational Reform and The Travails of Pluralism in Indonesia”, menyebutkan bahwa Karel Steenbrink “described in his dissertation the process by which many pesantren came to adopt ‘general’ subjects into their curriculum. In Indonesia, the term madrasah refers to religious schools with graded classes and a standardised curriculum including mostly general subjects. Government-supervised madrasah with 30 percent religious subjects and 70 percent general subjects offer diplomas that give an opening to employment as a religious teacher as well as access to state institutes of higher religious stu dies (IAIN) and thereby an avenue to a modern career. Many pesantren have adopted the madrasah system and have thus to some extent become part of the national education system (although not under the Ministry of Education but that of Religious Affairs)”. Hasan Mardman dalam Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Patrick Jory, Egypt’s Influence on the Education of Thai Muslims from the Nasser Era to the Present, (Malaysia: Yayasan Ilmuwan, 2011) menulis “Rosnani recounts the origin of the first madrasah in Malaysia, the Madrasah alHadi of Melaka, founded in 1917 by Shaykh Ahmad. Prior to this the first modern religious school, Madrasah Al-Iqbal, was founded in Singapore by the same Shaykh. Later he moved to Pulau Pinang where he established the Madrasah Masyhur Islamiah, which remains one of the most successful and best-known centers of Islamic education in the country. The Madrasah Al-Hamidiah was built in Kedah in the year 1908 Egypt’s Influence on the Education of Thai Muslims from the Nasser Era to the Present in honour of Sultan Abdul Hamid,
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
13
14
15
16 17 18 19
20
then ruler of Kedah. This school was expanded in 1935 and later on renamed Al-Maahad al-Mahmud after Tunku Mahmud who had laid the foundation stone. In Kelantan, Madrasah Muhammadiah was founded in 1915 by Majlis Agama dan Adat Istiadat Melayu. The Madrasah Alwiah Diniah of Arau, Perlis was established in 1937 through the efforts of Raja Sayyid Alwi. In Terengganu the first Madrasah was Madrasah al-‘Arabiah, founded in 1925. In Perak the Madrasah Al-Idrisiah was built in 1922. In all the above mentioned madrasahs, Malay language, Arabic and English were taught and used as the medium of instruction”. Rosnani mendata jumlah madrasah awal di Negara Malaysia mulai Melaka sampai Perak. Hasan Mardman dalam Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Patrick Jory, Egypt’s Influence on the Education of Thai Muslims from the Nasser Era to the Present, (Malaysia: Yayasan Ilmuwan, 2011), mencatat beberapa nama pendiri madrasah yang ada di Thailand. “Indeed, some of the early pioneers in the establishment of educational institutions on the madrasah model include Imron Makudee (Kongchok Pattani Witthaya) and Na‘im Kasem from Bangkok (Khlongsip Islam Witthaya); Haji Ahmad Bandakaseng from Yala (Ma’had Darul ‘Ulum), Senator Omar Tayib from Narathiwat (Ma’had Attarkiah Diniyah), Haji Nik Dir Waba (Saiburi Islam Witthaya) and Haji Abdul Wahhab Abdulwahhab from Pattani (Madrasah Aziz Sataan). Students graduating from these schools are qualified in both Thai and religious education”. Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 167. Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad dan Patrick Jory, “Islamic studies and Islamic education in contemporary Southeast Asia”, (Malaysia: Yayasan Ilmuan, 2011). Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformati.f, hlm. 201. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 343 Ibid, hlm. 62. Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek.Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global. Daoed Joesoef, “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto (ed.) Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta, Jakarta: Kompas, 2011, misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
33
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32 33
34
35
34
berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Ahmad Muhamad Jamal, Nahwa Tarbiyah Islamiyyah, Cet. 1 ( Jeddah: Tihamah, 1980), hlm. 7-8. Muhammad Jawwad Ridha, Al-Fikr al-Tarbawi al-Islami: Muqaddimah Fi Ushulih alijtima’iyyah wa al- Aqlaniyyah (Kuwait: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm. 7. Soroyo, “Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 45. Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, (ttp: tnp., 1985), hlm. 15. A. Malik Fadjar, “Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah”, dalam Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN Cirebon, 31 Agustus s/d 1 September 1995, hlm. 5. M.Irsyad Sudiro, “Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern”, dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, IAIN Cirebon, 30-31 Agusrus 1995, hlm. 2. Djohar, “Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89”, Koran Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Mei 1999, hlm. 12. Djamaluddin Ancok, “Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ketiga”, dalam Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor: 6 Tahun III, UII, 1998. http://manajemenpendidikanislam.blogspot.com/2010/02/modernisasi-pendidikan-islam.html Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Inilah mengapa Gontor menggunakan Bahasa Arab dan Inggris, karena bahasa merupakan pintu menuju pengetahuan. Di Gontor penguasaan kedua bahasa tersebut menjadi prioritas bagi santri. Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian terhadap Metode., hlm. 167. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1984), hlm. 10. https://insansalsabila.wordpress.com/2010/04/01/front-pembela-islam-cs-kekerasan-analisis-pendekatan-psikologi-agama-zakiah-daradjat/ Trensains lahir dari gagasan Agus Purwanto, lahir di Jember pada tahun 1964. Menyelesaikan pendidikan S1 (1989) dan S2 (1993) di jurusan fisika
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Muh. Tajab
36
37
38
Institut Teknologi Bandung (ITB), S2 (1999) dan S3 (2002) di jurusan fisika Universitas Hiroshima Jepang. Sejak mahasiswa S1 di kalangan teman-teman Salman, penulis disapa Gus Pur. Sedangkan teman-teman penulis di jurusan fisika kerap memanggil dengan sebutan Cak Laurin. Bidang minatnya adalah neutrino, teori medan temperatur hingga, dimensi ekstra dan kelahiran jagad raya asimetrik atau baryogenesis. Penelitiannya pernah dipublikasikan di Modern Physics Letter, Progress of Theoretical Physics, Physical Review, dan Nuclear Physics. Selama kuliah S1 aktif menjadi asisten Laboratorium Fisika Dasar, mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Matematika, Gelombang dan Mekanika Kuantum. Pernah mendirikan dan menjadi ketua kelompok diskusi Fisika Astronomi Teoritik (FiAsTe) ITB, 1987-1989. Aktif menulis di media massa seperti Kuntum, Suara Muhammadiyah, Mekatronika, Kharisma, Simponi, Surya, Republika dan Kompas. Sejak tahun 1989 menjadi staf pengajar di jurusan fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Saat ini mengepalai Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS dan juga menjadi anggota Himpunan Fisika Indonesia dan Physical Society of Japan. http://pdmsragen.or.id/berita-din-trensains-alternatif-penyelesai-dikotomi-ilmu-agama-dan-sains.html#ixzz3c18ZAKn6 Misalnya, SMA mengadopsi konsep pesantren dengan menerapkan fullday school. http://almuflihun.com/kyai-trensains-layak-jadi-pimpinan-pusat-muhammadiyah/
DAFTAR PUSTAKA Ali, Hasmiyati Gani, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, Ciputat Press Group, 2008. Al-Ibrashi, M. Atiya, Dasar-Dasar Pendidikan Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Tasirun Sulaiman, Ponorogo: PSIA IPD Gontor, 1991. al-Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna (Terj.), diterjemahkan oleh Bustami A Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Amari, Imron Rossidy dan Bustanul, Pendidikan yang Memanusiakan Manusia dengan Paradigma Pembebasan, Malang: Pustaka Minna, 2007. Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008. Bruinessen, Martin van, “Divergent Paths From Gontor: Muslim Educational Reform and The Travails of Pluralism in Indonesia”, ttp.: tnp., t.t. Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
35
Sintesa atas Dikotomi Pendidikan Islam
Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Semarang: Rasail, 2008. Jasin, Anwar, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, ttp.: tnp., 1985. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1991. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta Kencana, 2008. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor: 6 Tahun III, UII, 1998. Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Usa, Muslih (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984. Internet http://almuflihun.com/kyai-trensains-layak-jadi-pimpinan-pusat-muhammadiyah/ http://manajemenpendidikanislam.blogspot.com/2010/02/modernisasipendidikan-islam.html http://manajemenpendidikanislam.blogspot.com/2010/02/modernisasipendidikan-islam.html. http://pdmsragen.or.id/berita-din-trensains-alternatif-penyelesai-dikotomi-ilmu-agama-dan-sains.html#ixzz3c18ZAKn6 http://www.smatrensains.sch.id/ https://insansalsabila.wordpress.com/2010/04/01/front-pembela-islamcs-kekerasan analisis-pendekatan-psikologi-agama-zakiah-daradjat/
36
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014