Upaya Administratif
363
UPAYA ADMINISTRATIF PADA MAJELIS PERTIMBANGAN PAJAK DALAM KAITANNYA DENGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh : Anna E. Syafrin
Upaya administratif merupakan suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau Badan Hukum Perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu putusan tata usaha negara. Upaya ini memang ditentukan dalam peraturan perundang-undanganuntuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang dilaksanakan dalamlingkungan pemerintah sendiri. Tulisan ini menyoroti prosedur kebertan di bidang perpajakan, yang merupakan manifestasi nyata hubungan penguasa - warganegara.
1#'",11<'
Pendahuluan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) merupakan satu diantara pelaksana kekuasaaan kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara. Sesuai dengana maksudnya, maka sengketa itu haruslah merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antaara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata.
Agustus 1992
364
Hukum dan Pembangunan
Dalam hubungan ini perlu kiranya disadari bahwa disamping adanya hak-hak perseorangan, masyarakat juga mempunyai hak tertentu. Hak masyarakat didasarkan pada kepentingan bersama dari orang yang hidup dalam masyarakat tersebut. Kepentingan-kepentingan tersebut tidak selalu sejalan, bahkan kadang-kadang saling berbenturan. Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap benturan kepentingan antara kepentingan yang berbeda itu, saluran hukum merupakan suuatu jalan. terbaik dan sesuai dengan prinsip dalam falsafah negara kita, Pencasila. PengadiJan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha ·negara, kecuali : a.
sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya; dalam hal ini PengadiJan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai PengadiJan tingkat pertarna dan terakhir;
b.
upaya sengketa yang terhadapnya telah digunakan administratif; dalam hal ini PengadiJan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai Pengadilan tingkat pertama.
Di dalam sistem peraturan perundang-undangan kita dikenal adanya penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif contohnya dibidang perpajakan dikenal dengan Mejelis Petimbangan Pajak
Pengertian Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau Badan Hukum Perdata apabiJa ia tidak puas terhadap suatu Keputusana Tata Usaha Negara. Majelis Pertimbangan Pajak adalah Majelis yang mempertimbangkan untuk memutuskan keberatan penetapan pajak terhutang, karena adanya perbedaan pendapatJperselisihan argumentasi antara Fiskus dan Wajib Pajak. Upaya Administratif merupakan prosedur yallg ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk
Nomor 4 Tahun XXII
365
Upaya Administratif
menyelesaikan suatu sengketa TUN yang dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri -- bukan oleh badan peradilan yang bebas -- ., yang terdiri dari ; prosedur keberatan, dan prosedur banding administratif. Apabila menurut peraturan perundang-undangan bersangkutan, seseorangan yang terkena keputusan TUN yang tidak ia setujui, maka ia dapat mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut. Contohnya adalah pasal 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan : Wajib pajak dapa! mengajukan keberatan kepada DiIjen Pajak alas suatu Surat Pemberitahuan, Sural Ketetapan Pajak, Ketetapan Pajak Tambahan, Sural Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak atau pemungutan hak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan-alasan secara jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan, atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh Pejabat Ditjen Pajak yang ditunjuk untuk ilu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan kebertan, Ditjen Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak. Apabila penyelesaian sengketa TUN harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan, maka prosedur tersebut dinamakan banding administratif. Agustus 1992
366
Hukum dan Pembangunan
Contohnya, prosedur-prosedur penyelesaian sengketa TUN melalui Majelis Pertimbangan Pajak. Perbedaan Penyelesaian Sengketa TUN Melalui Prosedur Upaya Administratif Dengan Prosedur melalui Pengadilan. Pada upaya administratif oleh instansi pemutus sengketa dilakukan penilaian yang lengkap terhadap keputusan TUN yang disengketakan, baik dari segi penerapan hukum maupun segi kebijaksanaa yang diterapkan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan TUN bersangkutan. Pada prinsipnya instansi banding tidak membedakan anatara persoalan- persoalan hukum dengan persoalan kebijaksanaan. Instansi banding administratif memeriksa seperti kalau ia sendiri harus mengambil keputusan yang dibanding itu. Kalau ia sampai pada kesimpulan yang serupa dengan Badan atau Pejabat TUN , yang mengeluarkan keputusan TUN yang dibanding, maka banding administratif yang diajukan kepadanya akan ditolak. Tetapi sebaliknya kalau banding administratif itu mempunyai dasar yang kuat, maka ia dapat membatalkan seluruhnya atau sebagian daari keputusan yang dibanding tersebut. Dalam hal ini maka kepumsan TUN tersebut harus diganti dengan keputusan TUN yang seluruhnya atau sebagian baru, atau memerintahkan hal itu dilakukan oleh instansi semula yang mengambil keputusan TUN tersebut. Hal serupa juga dilakukan pada prosedur keberatan oleh instansi yang mengeluarakan keputusan itu sendiri. Berbeda pada prosedur administratif maka pengadilan TUN pada waktu memeriksa, memutus suatu sengketa TUN hanya melakukan pengujian dari segi hukumnya saja. Ada kalanya dalam peraturan perundang-undangan yang sarna, ditentukan bahwa terhadap keputusan TUN tertentu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan maupun banding administratif. Contohnya pasal 25 UU No.6 1983 membuka prosedur keberatan. Apabila hasilnya belum memuaskan maka Wajib Pajak menurut pasal 27 undang-undang yang sarna, dapat mengajukan banding administraatif kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Setelah upaya melalaui MPP ini
Nomor 4 Tahun XXII
Upaya Administratif
367
ditempuh, dapatlah dikatakan bahwa sengketa tersebut telah diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
Tenggang Waktu Untuk Menggugat Setelah seseorang yakin, bahwa untuk menggugat suatu keputusan TUN yang merugikannya, menurut peraturan dasar tidak tersedia upaya administratif, atau tersedia upaya administratif dan ia sudah menempuh tapi tidak puas akan hasilnya, maka ia-harus memperhatikan apakah gugatan yang akan ia ajukan itu masih berada dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1986, yaitu: a. Untuk keputusan TUN yang telah melewati upaya administratif, maka 90 hari dihitung sejak diterimanya keputusan TUN yang diputus dari instansi upaya administratif yang bersangkutan; b. Untuk keputusaan TUN biasa (positif) berwujud yang tertuju kepada alamat yang dituju maka saat dimulainya hitungan 90 hari adalah menurut _bunyi rumusan pasal 55 yaitu sejak hari diterimannya keputusan TUN yang bersangkutan, atau sejak hari diumumkannya kalau hal ini diharuskan oleh peraturan dasarnya. c. Untuk keputusan TUN fiktif(negatif) atau penolakan, maka perhitungan 90 hari adalah sebagai berikut ; - kalau ada ketentuan tenggang waktu harus mengeluarkan keputusan, maka tenggang waktu 90 hari dihitung sejak habisnya kesempatan mengambil suatu keputusan TUN; - kalau tidak ada ketentuan tenggang waktu untuk mengambil suatu keputusan TUN yang dimohon maka tenggang waktu
Agustus 1992
3(:8
Hukum dan Pembangunan 90 hari itu dihitung setelah lewat empat bulan sejak permohonan diterima. Apabila tenggang waktu 90 hari tidak digunakan oleh penggugat, maka keputusan TUN tersebut walaupun mengandung cacat fatal, tidak dapat diganggu gugat lagi dengan sarana hukum apapun, kecuali atas kemauan sendiri dari instansi pemerintah yang berwenang.
Rasio diadakannya tenggang waktu untuk mengajukan gugatan adalah untuk menjaga agar kekuatan hukum dari keputusan TUN yang digugat jangan terlalu lama dalam keadaan yang tidak pasti. Dengan diajukannya gugatan terhadap keputusan tersebut dapat menyebabkan hilangnya kekuatan hukum dari keputusan itu. Jadi badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan -- yang digugat itu -- harus menyadari bahwa selama berlakunya tenggang waktu untuk menggugat dan selama berlangsungnya pemeriksaan keputusan oleh pengadilan, maka keputusan tersebut masih dalam keadaan tidak pasti apakah di kernudian hari ia masih tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak lagi mempunyai kekuatan hukum· seperti semula. Selama gugatan dalam proses pemeriksaan maka keputusan yang digugat tetap mempunyai kekuatan hukum sepenuhnya. Setelah ada keputusan pengadilan yang membatalkan maka arti hukum dari keputusan tersebut menjadi hilang. Jadi batas wwaktu 90 hari dalam batas mana gugatan TUN harus diajukan, memang sengaja dibuat oleh pembuat undang- undang demi kepentingan umum dan kepastian hukum dari jalannya pemerintahan yang sudah berlaku. Jadi eksistensi peradilan ini memang diarahkan untuk hari depan pelaksanaan pemerintahan.
Kepentingan Pihak Ketiga Pihak ketiga yang berkepentingan juga berhak untuk rnenggugat, tapi kesulitannya bahwa keputusan yang dikeluarkan tidak secara langsung ditujukan kepadanya dan namanyapun tidak
Nomor 4 Tahun XXII
Upaya Administratif
369
disebutkan di dalam keputussan tersebut, namun tidak terkena akibat hukum dari keputusan itu baik -- yang menguntungkan maupun merugikannya --. Kalau akibat keputusan TUN itu merugikannya maka ia dapat menggugat agar keputusan itu batal atau menjadi tidak sah, -- gugatan semacam ini terkena peraturan tenggang waktu seseuai ketentuan pasal 55 diatas --. Kita dapat berasumsi bahwa pasal 55 itu dimaksudkan tertuju bagi orang atau badan Hukum Perdata yang alamatnya tersebut didalam keputusan TUN. Dengan demikian, kalau keputusan itu-tidak selalu - mengenai kepentingan atau hak-hak pihak ketiga, maka pihak ketiga ini harus juga tunduk pada ketentuan mengenai tenggang waktu yang berlaku bagi alamat yang dituju oleh keputusan TUN, kecuali kalau ia tidak menggugat sendiri maka ia tidak terikat pada ketentuan tenggang waktu 90 hari. Sebab ia dapat memasuki suatu proses yang sedang berjalan dan bertindak sebagai intervenient berdasarkan pasal 83. Dalam proses ini, pemegang keputusan TUN yang menggugat Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan. Sebagai intervienent pihak ketiga ini dapat bergabung dengan penggugat atau bertindak sendiri sebagai penggugat yang mandiri mempertahankan hak-haknya baik terhadap penggugat maupun tergugat.
Mejelis Pertimbangan Pajak Pengertian Raad van Beroep voor Belastingzaken, diterjemahkan menjadi Majelis Pertimbangan Pajak adalah Majelis yang mempertimbangkanuntuk memutusakan keberatan penetapan· pajak terhutang, karena adanya perbedaan pendapat atau perselisihan argumentasi antara Fiskus dan Wajib Pajak. Majelis ini terdiri dari unsur-unsur Kehakiman, Kadin, Pejabat ahli perpajakan dari Departemen Keuangan (Ditjen Pajak). Sifat majelis ini adalah merupakan instansi tertinggi peradilan perpajakan, yang kewenangannya hanya menyelesaiakn dan memberikan keputusan atas permohonan banding mengenai keputusan Fiskus atas keberatan penetapan pajakterhutang, bukan mengenai penentuan ketetapan (beschikking) berupa keputusan Agustus 1992
370
Hukum dan Pembangunan
Fiskus mengenai penentuan penafsiran perpajakan, penerapan peraturan perpajakan, ketentuan mengenai penggunaan norma hukum, penentuan tarif pajak, penentuan tata cara perhitungan pajak (deemed profit, deemed royalty, tarif pajak praktisasi, penetuan dasar pengenaan pajak pengenaan pajak (tax base). 01eh karena itulah maka tidak semua masalah permohonan keadilan perpajakan dapat ditempung dalam kewenangan MPP. Keputusan MPP merupakan keputusan akhir karena tidak ada kasasi mengenai keputusan banding atas kebertana penetapan pajak terhutang -- geen cassatierechten--, hal tersebut sesuai dengan amar keputusan Mahkamah Agung dalam keputusannya nomor 01lRUP/PDT/1986 tanggal 4 September 1986 yang ringkasannya adalah sebagai berikut : Mahkamah Agung RI dalam putusannya kasasi telah mengadili bahwa permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Caltex Pacific Indonesia atas putusan Mpp dinyatakan tidak: dapat diterima dengan pertimbangan juridis pada pokoknya sebagai berikut : Bahwa atas permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung perlu memutuskan lebih dahulu, apakah permohonan kasasi tersebut dapat diterima sebagai permohonan 'kasasi biasa' menurut ketentuan pasal 29 Undang-undang nomor 14 tahun 1985 jo pasal 10 (3) undang-undang nomor 14 tahun 1970. (1)
bahwa baik karena ketentuan dalam Stb. 1927/29 maupun Undang Undang No. 14 Tahun 1985 tidak menyatakan dengan tegas MPP merupakan badan peradilan dari salah satu lingkungan peradilan yang ada.
(2)
Bahwa di samping itu ketentuan dalam Stb. 1927/29 tidak menentukan bahwa kemungkinan terbuka saluran hukum lebih lanjut terhadap putusan MPP. Dewasa 1m persyaratan formal untuk permohonan kasasi. terhadall putusan MPP belum terbuka.
Nomor 4 Tahun XXII
Upaya Administratif (3)
371
Bahwa dengan alasan-alasan tersebut di atas, permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima.
Dari putusan MA tersebut timbul pertanyaan: bagaimanakah status MPP dalam lingkungan Peradilan Perpajakan, dan bagaimana status seJanjutnya setelah berlakunya Peratun ? MPP merupakan suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas menyelesaikan dan memberikan keputusan mengenai adanya perselisihan pendapat atau argumentasi antar Fiskus dan Wajib Pajak mengenai Keputusan Pajak Terutang (karena adanya kekeliruan identitas, kesalahan data, kekeliruan penghitungan atau karena adanya ketidak-benaran penerapan peraturan perpajakan yang berlaku). Dengan demikian MPP merupakan lembaga organisasi perpajakan yang diberi wewenang untuk memberikan keputusan akhir tindakan administrasi perpajakan atas keputusan penetapan pajak yang dipersengketakan. Oleh karena itu. Oleh karena itu unsur keadilan belum sepenuhnya tercermin dalam pelaksanaan tugas MPP. Ordonansi Keadilan (Billijkheidsordonantie atau Regeling van de bevoegdheid tot terruggave en vrijstelling van belasting in bijzondere gevallen, Ordonantuie 27 Mei 1928, Stb. 28: 187). Pokok ketentuan ordonantie itu adalah bahwa dalam hal-hal yang istimewa ,peraturan perpajakan pelaksanaannya akan bertentangan dengan kepentingan umum, atau akanb menyebabkan ketidakadilan yang besar, maka sepanjang peraturan perpajakan yang bersangkutan tidak termasuk kekuasaan pembuat Undang- undang yang lebih tinggi daripada pembuat ordonansi akan diberikan pengembalian atau pembebasan pajak.
Hubungan MPP dengan Ordonansi Keadilan. Karena kewenangan MPP hanya terbatas mengenai penyelesaian keberatan penetapan pajak (grondsJag van let beroep Agustus 1992
372
Hukum dan Pembangunan
is de aanslag ennitet de beschikking), maka hal-hal mengenai keputusan perpajakan yang dipersengkatan oleh Wajib Pajak dapat ditampung penyelesaiannya oleh Ordonansi Keadilan tersebut. Dapatlah disimpulkan bahwa MPP sejak semula tidak berperan sebagai lembaga peradilan perpajakan yang mumi, akan tetapai sebagai lembaga administrasi perpajkan yang bertugas memberi keputusan akhir mengenai penetapan pajak terhutang (aanslag bilj etten).
Peradilan Perpajakan dalam Peratun.
Dalam kaitan ini ada dua pertanyaan, yaitu : (1) Apakah keputusan-keputusan perpajakan seperti : Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Yang dikeluarkan oleh Fiskus (aparat perpajakan) termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Peratun ? (2) Bagaimana status Bagian Keberatan dalam unit organisasi DitJen Pajak, demikian juga status MPP, apakah masih tetap ada dengan berfungsinya Peratun ? Apabila diperhatikan diktum pasal 2 jo. pasal 1 ayat 3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang mengatur mengenai pengecualian pengertian Keputusan TUN yang tidak menjadi wewenang Peratun untuk mengadili, serta memperhatikan definisi "Keputusan TUN", maka semua Keputusan yang diterbitkan aparat perpajakan, baik berupa surat Ketetapan Pajak (annslag biljet), maupun keputusan administratif teknis perpajakan lainnya (besluit, beschikking) termasuk dalam ruang lingkup Peratun. Menyimak rumusan pasal 48 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986, tidaklah akan merubah status bagian keberatan di dalam jajaran Ditjen Pajak dan MPP akan tempi dalam kerangka
Nomor 4 Tahun XXII
Upaya Administratif
373
effisiensi dan produktivitas administrasi perpajakan, untuk tercapainya sasaran pelaksanaan pelayanan keadilan perpajakan dalam memnuhi kewajiban perpajakan bagi anggota masyarakat dan aparat perpajakan, maka perlu diadakan penyesuaian dengan ketentuan teknis dan prosedural pelaksanaan Peratun. Kehadiran Peratun bagi organ lembaga keberatan pajak, merupakan penunjang dan pelengkap dalam proses pelayanan permohonan keadilan perpajakan yang selama ini hanya berupa ketentuan administrasi fiskal semata, kini dapat dituntaskan sampai tingkat ketentuan putusan yuridis dan dilakukan dalam forum peradilan perpajakan mumi. Dengan adanya ketentuan pasa1 48, berarti membuka seluas-Iuasnya kesempatan bagi para pemohon keadilan di bidang perpajakan untuk masih dapat mempergunakan hak hukumnya guna mengajukan gugatan ke tingkat peradilan yang lebih tinggi. Dengan demikian MPP yang selama ini merupakan penentu keputusan terakhir mengenai masalah sengketa perpajakan akan berakhir. Sehubungan dengan masalah Lembaga Pertimbangan Adrninistrasi Pajak (MPP) dan lembaga Peratun (peradilan Mumi) , Mr. A.M. Donner dalam ulasannya mengenai Administratief Beroep en Administratief Reshtspraak, memberikan rumusan perbedaan antara keduanya, sebagai berikut: (I) Permohonan banding administratief membawa dampak, bahwa semua permasalahan di mana perselisihan timbul maka instansi yang bersangkutan membuat keputusan banding administratifnya. Masa1ah ditekankan pada upaya administratif yang dimasukkan dalam penyelesaian pekerjaan tingkat golongan organisasi pemerintahan; (2) Pada lembaga peradilan administrasi, hakim da1am memberikan pertimbangarmya berada di luar lingkungan
Agustus 1992
374
Hukum dan Pembangunan
Pejabat TUN, jadi bukan pejabat yang dibebani pertanggungan-jawab jabatan atas tindakan administrasi.
ACUAN BACAAN TERBATAS
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peratun, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1991. Sutomo, Pelayanan Permohonan Keadilan Perpajakan, Ungkapan ]uridis-Administratij Berkenaan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peratun, Jakarta: Bidang Kajian H. Fiskal FHUI, 1991.
Nomor 4 Tahun XXll