NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KETIDAKJELASAN PERAN DAN KONFLIK PERAN DENGAN KETERLIBATAN KERJA
Oleh : BUDI SANTOSA HARYANTO FADHOLAN ROSYID
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA JOGJAKARTA
2005
1
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KETIDAKJELASAN PERAN DAN KONFLIK PERAN DENGAN KETERLIBATAN KERJA
Telah disetujui pada tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Drs. Haryanto Fadholan Rosyid MA)
HUBUNGAN ANTARA KETIDAKJELASAN PERAN DAN KONFLIK PERAN DENGAN KETERLIBATAN KERJA
3
Budi Santosa Haryanto Fadholan Rosyid
INTISARI
Keterlibatan kerja merupakan identifikasi psikologis seseorang terhadap pekerjaannya yang dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang dirasa penting (Kanungo, 1979). Ketidakjelasan peran merupakan kondisi dimana seseorang merasakan ketidakpastian terhadap tugas-tugasnya, tanggung jawab dan wewenangnya serta kurang jelasnya pemahaman terhadap penilaian atasan (Anastasi, 1997). Sementara itu konflik peran adalah suatu kondisi dimana harapan suatu peran tidak sesuai atau bertentangan dengan kenyataan dari peran itu sendiri (Rizzo, House, Lirtzman dalam Netemeyer, Johnston, dan Burton, 1990). Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan antara ketidakjelasan peran dan konflik peran dengan keterlibatan kerja. Selain itu juga untuk mengetahui seberapa besar sumbangan variabel bebasnya (ketidakjelasan peran dan konflik peran) terhadap variabel tergantung (keterlibatan kerja). Ada tiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu satu hipotesis mayor dan dua hipotesis minor. Hipotesis mayor yaitu ada hubungan antara ketidakjelasan peran dan konflik peran dengan keterlibatan kerja. Hipotesis minor yang pertama adalah ada hubungan negatif antara ketidakjelasan peran dengan keterlibatan kerja, sedangkan yang kedua adalah ada hubungan negatif antara konflik peran dengan keterlibatan kerja. Penelitian ini mengambil subyek pegawai atau karyawan yang bekerja di bagian administrasi baik itu laki-laki maupun perempuan yang telah bekerja minimal selama satu tahun. Skala yang digunakan adalah skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada teoriteori yang telah ada. Skala keterlibatan kerja mengacu pada teori Patchen (1970), Berry dan Houston (1993), Broke, Russel, dan Price (1988), Robbins (1996), dan Lawler dan Hall (1970). Skala ketidakjelasan peran mengacu pada teori Baron dan Greenberg (1990), Munandar (2001), Anastasi (1997) dan Bailey, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1991). Sementara untuk skala konflik peran mengacu pada teori Kritner dan Kinicki (2001), Miner (1992). Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisa data adalah teknik korelasi product moment dengan bantuan program SPSS 12.0 for Windows dalam proses komputasinya. Penelitian ini juga menyertakan variabel umur dan lama kerja sebagai variabel sertaan. Hasil penelitian ini adalah (a) ada hubungan yang sangat signifikan antara ketidakjelasan peran dan konflik peran dengan keterlibatan kerja; (b) ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara ketidakjelasan peran dengan keterlibatan kerja (r = -0,753 dengan p = 0,000; p < 0,01); (c) ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara konflik peran dengan keterlibatan kerja (r = -0,450 dengan p = 0,000; p < 0,01); (d) tidak ada hubungan antara umur dengan keterlibatan kerja (r = -0,018; dengan p = 0,870; p > 0,05); (e) tidak ada hubungan antara lama kerja dengan keterlibatan kerja (r = -0,54 dengan p = 0,626; p > 0,05).
Kata kunci
: keterlibatan kerja, ketidakjelasan peran, konflik peran, umur, lama kerja
4
Pengantar Bursa dunia kerja di Indonesia belakangan ini boleh dikatakan semakin maju dalam arti bahwa tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan tenaga kerja, akan mengakibatkan tuntutan otonomi terhadap pekerjaan yang lebih tinggi pula. Otonomi yang lebih besar, berarti harus memberikan keleluasaan atau kebebasan yang lebih tinggi terhadap para pekerja dan juga memberikan cakupan pekerjaan yang lebih luas (Hariandja, 2002). Ketika tuntutan yang diminta oleh pekerja diberikan oleh tempatnya bekerja, maka idealnya pekerja tersebut dalam bekerja akan semakin tinggi tingkat keterlibatannya, sehingga tujuan perusahaan untuk meningkatkan produktivitasnya akan tercapai. Berkaitan dengan keterlibatan kerja karyawan, faktor ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat tantangan-tantangan organisasi sekarang ini yang semakin meningkat. Salah satunya adalah tuntutan-tuntutan akan perubahanperubahan yang terjadi, misalnya perubahan akan kebijakan-kebijakan yang dilakukan. Kasus nyata adalah pelaksanaan otonomi daerah yang oleh pemerintah telah ditetapkan dilaksanakan per 1 Januari 2001 lalu. Otonomi daerah berarti bahwa tiap daerah mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berkaitan dengan hal di atas, banyak Daerah Tingkat II berbenah dan menyiapkan diri agar nantinya mampu untuk mandiri. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Pemerintah Dati II Kabupaten Temanggung dengan membenahi wilayah administratif yakni dengan memekarkan wilayah kecamatan menjadi 20 dari yang tadinya 13 kecamatan.
5
Selain pemekaran wilayah, urusan administrasi pemerintahan juga mengalami perubahan khususnya di dalam satu instansi. Ada beberapa “pengoperan” wewenang dan tanggung jawab atau tugas-tugas ke bagian lain. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di instansi pemerintahan yaitu kantor kecamatan. Ketika otonomi daerah belum dijalankan, urusan mengenai suratmenyurat dan khususnya perijinan menjadi tanggung jawab bagian Kesra, namun sekarang tanggung jawab itu menjadi bagian dari bagian Trantiblinmas. Pengalihan wewenang dan tanggung jawab seperti di atas berarti berkurangnya peran yang dimiliki oleh bagian yang tadinya bertanggung jawab melaksanakannya dan dari sisi lain berarti bertambahnya peran bagi bagian yang menerima tugas baru tersebut. Dengan kata lain, peran karyawan di kedua bagian tersebut juga berubah. Berdasarkan observasi penulis, pengalihan tugas di atas belum berjalan dengan baik. Masih ada beberapa tugas atau tanggung jawab yang seharusnya bukan merupakan kewajiban lagi bagi suatu bagian untuk dilaksanakan, namun tetap saja dilimpahkan ke bagian tersebut dan dilaksanakan. Kejadian seperti di atas mengindikasikan bahwa beberapa pegawai atau bahkan mungkin pimpinan merasakan kurangnya informasi tentang pelaksanaan tugas, tanggung jawab atau kurang jelasnya peran baru yang dimiliki. Di sisi lain, bagian yang seharusnya menangani tugas-tugas tersebut tidak bisa melaksanakannya dikarenakan sudah ditangani oleh bagian lain sehingga akan menyebabkan pegawai di bagian tersebut merasa bahwa wewenangnya telah diambil alih. Artinya bahwa apa yang oleh pegawai
6
diharapkan untuk dikerjakan kenyataannya tidak bisa dilakukan. Kondisi semacam ini menggambarkan terjadinya konflik peran. Selain pemekaran wilayah administratif, Pemkab Temanggung juga menggalakkan program Gerbang Dusunku yang merupakan akronim dari suatu program terpadu Gerakan Pembangunan Pedusunan. Program ini berdampak pada kerja Camat dan jajarannya sebagai pembantu pelaksana tugas Bupati disamping instansi-instansi terkait lainnya. Kecamatan bertangung jawab untuk melakukan pengawasan serta membantu pelaksanaan Gerbang Dusunku, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas pemerintah Kecamatan yang sekarang ini lebih banyak dibandingkan dengan sebelum program tersebut dijalankan. Hal ini menuntut pegawai-pegawai untuk bekerja lebih keras lagi dan terlibat agar program tersebut dapat berjalan dengan baik. Adanya program-program baru pemerintah seperti pada contoh kasus di atas memungkinkan munculnya pekerjan yang lebih kompleks bagi PNS khususnya yang bekerja di bagaian pemerintahan dan beberapa instansi terkait. Semakin
kompleks
pekerjaan
kemungkinan
timbulnya
masalah
yang
menyertainya juga semakin besar. Spector (1996) mengatakan bahwa ketika karyawan menerima permintaan yang begitu banyak dalam pekerjaannya, kemungkinan untuk terjadinya konflik peran semakin besar. Selain itu ketika pekerjaan yang kompleks tersebut bila tidak diimbangi dengan deskripsi tugas masing-masing bagian atau pegawai, kemungkinan lainnya lagi yang muncul adalah
kebingungan
pegawai
dalam
melakukan
suatu
pekerjaan
yang
disebabkan karena ketidakjelasan akan tanggung jawab, wewenang ataupun
7
hak. Ketidakjelasan akan hak, kewajiban, dan wewenang berarti adalah ketidakjelasan peran (Anastasi, 1997). Berkaitan dengan keterlibatan kerja, sebanyak 110 pejabat pemda, Sekda, dan 12 Camat di wlayah kabupaten Temanggung mengundurkan diri dari pekerjaannya karena merasa tidak bisa bekerja sama lagi dengan kepala daerahnya (www.kompas.com, 24/01/2005). Kasus di atas terjadi karena para PNS
tersebut
merasakan
harapan-harapan
yang
bertentangan
dengan
kenyataan yang dihadapi. Hal ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kerja mantan bawahannya atau rekan-rekan kerjanya. Bagi seorang bawahan, kehilangan pemimpin berarti juga kehilangan salah satu pegangan dalam menjalankan pekerjaan. Selain itu, mundurnya pimpinan juga akan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan di benak para bawahannya. Elloy, Everett, da Flynn (1994) mengatakan bahwa persepsi karyawan terhadap atasannya secara langsung memberikan kontribusi untuk mengembangkan keterlibatannya terhadap pekerjaan. Robbins
(1996)
mengatakan
bahwa
orang
yang
tinggi
tingkat
keterlibatan kerjanya maka kemungkinan untuk mengundurkan diri (resignation) rendah. Orang yang terlibat dengan pekerjaannya akan lebih peduli terhadap berbagai macam pekerjaan yang harus dikerjakannya. Selain itu keterlibatan kerja juga akan meningkatkan kualitas karyawan dan produktivitas karyawan. Sebaliknya, tidak adanya keterlibatan kerja berarti kurangnya rasa bangga, tanggung jawab dan kurangnya berpartisipasi dalam pekerjaan. Hal ini akan mengakibatkan karyawan menjadi kurang disiplin. Banyak dijumpai ketika jam kerja, pegawai-pegawai keluar dari kantornya untuk melakukan kegiatan di
8
luar pekerjaan seperti berbelanja atau tetap di kantor namun kegiatan yang dilakukan adalah bermain game komputer. Dengan
adanya
keterlibatan
kerja
produktivitas
karyawan
akan
meningkat (Nugroho, 2001). Selain itu karena orang yang terlibat dengan pekerjaannya adalah orang
yang mempunyai tanggung jawab yang besar
terhadap pekerjaannya, orang tersebut akan senantiasa melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan berpartisipasi aktif di dalamnya (Robbins, 1996). Berdasarkan hal tersebut ketika keterlibatan kerja itu terdapat pada diri seseorang, seseorang tersebut akan selalu berusaha hadir untuk bekerja sehingga tingkat absenteeism rendah. Hal ini tentunya berdampak positif bagi organisasi atau tempat kerja. Fakta ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Patchen (Rabinowitz dan Hall, 1977) yang menunjukkan korelasi negatif antara absenteeism dengan keterlibatan kerja. Ketika keterlibatan kerja pada diri seseorang tidak ada atau rendah, pada umumnya akan berdampak negatif. Salah satunya adalah tingkat turnover yang tinggi (Huselid dan Day, 1991). Tingginya tingkat turnover menurut Robbins (1996) berarti meningkatnya perekrutan, seleksi, dan biaya pelatihan. Selain itu dengan tidak adanya keterlibatan kerja maka berakibat pada kurang disiplinnya seseorang karena rendahnya disiplin seseorang berarti juga rendahnya tanggung jawab, kurang berpartisipasi aktif dengan pekerjaan dan menganggap pekerjaannya bukan merupakan bagian yang penting bagi kehidupannya. Keterlibatan karyawan atau ketidakterlibatan karyawan dalam suatu manajemen puncak organisasi merupakan faktor penting yang menentukan
9
kesuksesan ataupun kegagalan program-program saran dan yang menghasilkan perubahan pada tingkat energi para karyawan yang berpartisipasi di dalamnya. Berkaitan dengan penjelasan-penjelasan di atas baik itu tentang tantangan–tantangan organisasi yang semakin besar akibat tuntutan-tuntutan perubahan yang semakin kompleks dan dampak dari ada tidaknya keterlibatan kerja karyawan, bagi suatu organisasi tentunya ingin agar organisasi tersebut tetap bisa menjalankan fungsinya sebaik mungkin. Hal ini berarti membutuhkan karyawan-karyawan yang mampu menjalankan kewajibannya masing-masing sebaik mungkin dan tentunya adalah karyawan atau pegawai yang mempunyai keterlibatan kerja yang tinggi. Dengan demikian, program-program atau kebijakan-kebijakan yang diciptakan untuk menghadapai tantangan-tantangan perubahan
dapat
berjalan
dengan baik. Namun demikian, perlu juga
dipertimbangkan beberapa faktor lain yang muncul akibat perubahan-perubahan tersebut yang kemungkinan akan berpengaruh terhadap keterlibatan kerja karyawan. Misalnya faktor-faktor seperti ketidakjelasan peran dan konflik peran sehingga apabila kedua faktor tersebut diketahui mempunyai andil terhadap keterlibatan kerja karyawan, maka diharapkan organisasi atau instansi dapat mengambil tindakan-tindakan yang tepat terhadap karyawannya. Oleh karena itu, penulis berusaha untuk mencari hubungan antara kedua variabel di atas (konflik peran dan ketidakjelasan peran) dengan keterlibatan kerja (Job Involvement). Penelitian tentang keterlibatan kerja paling tidak sudah dimulai semenjak 40 tahun silam. Sampai sekarang penelitian ini telah cukup banyak dilakukan oleh para ahli (Elloy dkk, 1991). Hal ini secara potensial memberikan kontribusi
10
bagi penulis untuk memahami konsep atau gagasan keterlibatan kerja itu sendiri. Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian-penelitian keterlibatan kerja yang pernah dilakukan sebelumnya, kebanyakan menggunakan salah satu dari dua macam teori yaitu teori milik Lodahl dan Kejner yang disusun tahun 1965 dan teori milik Kanungo tahun 1977 (Elloy dkk, 1991; Blau dan Boal, 1987; Turner dan Lawrence, 1965; Hulina dan Blood dalam Rabinowitz dan Hall, 1977; Mathieu dan Farr, 1991; Orpen, 1997, Huselid dan Day, 1991). Berdasarkan literatur yang ada tentang keterlibatan kerja, variabel ini telah diteliti dalam hubungannya dengan berbagai variabel bebas seperti: pemasukan tunggal dan ganda pada keluarga (Elloy dan Flynn, 1998), turnover dan absensi (Blau dan Boal, 1987), kepuasan kerja dan motivasi kerja (Orpen, 1997), jenis kelamin (Siegel dalam Rabinowitz dan Hall, 1977), gaji dan rutinitas (Brooke, Russel, dan Price, 1988), desain kerja (Hilman, 1999), tipe kepribadian (Hartati, 1997), gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional (Endarti, 2003), persepsi restrukturisasi organisasi dan kecemasan (Rakhmawati, 1997), dan persepsi terhadap iklim-iklim organisasi (Yuliani, 2002).
Metode Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah seseorang yang bekerja di instansi pemerintahan dengan karakteristik : subyek berstatus sebagai pegawai negeri yang bekerja di bagian administrasi di instansi pemerintahan Kabupaten Temanggung, berumur minimal 20 tahun, dan telah bekerja minimal selama 1
11
tahun. Subyek yang diambil dalam penelitian ini adalah laki-laki maupun perempuan.
Metode Pengumpulan Data Untuk mengambil data, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode skala dan juga isian data pribadi yang digunakan untuk memperoleh data umur dan lama kerja subyek. Butir-butir pernyataan dalam ketiga skala disajikan dalam bentuk pernyataan yang bersifat favorable dan unfavorable. Skala keterlibatan kerja Skala keterlibatan kerja digunakan untuk mengukur keterlibatan kerja. Skala ini disusun oleh penulis berdasarkan aspek-aspek keterlibatan kerja, yaitu: rasa bangga dan senang terhadap pekerjaan (Patchen dalam Kanungo, 1979; Berry dan Houston, 1993; Brooke, Russel, dan Price, 1988), rasa tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaan (Robbins, 1996), berpartisipasi aktif dalam pekerjaan baik secara fisik maupun mental (Robbins, 1996), menganggap pekerjaan sebagai bagian yang penting dalam hidup (Lawler dan Hall dalam Kanungo, 1979). Jumlah seluruh pernyataan dalam skala ini adalah 32 butir dan dibuat dalam bentuk pilihan dengan model skala Likert dengan menghilangkan alternatif jawban netral (N) yang dikhawatirkan data mengenai perbedaan di antara responden menjadi kurang informatif sehingga ada empat alternatif jawaban. Keempat alternatif jawaban tersebut adalah
sangat sesuai (SS),
sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor untuk butir
12
favorable bergerak dari 4 sampai 1, sedangkan untuk butir unfavorable bergerak dari 1 sampai 4. Skala ketidakjelasan peran Skala ketidakjelasan peran digunakan untuk mengukur ketidakjelasan peran. Skala ini disusun oleh penulis berdasarkan aspek-aspek ketidakjelasan peran, yaitu : merasakan ketidakjelasan akan hak dan kewajiban (Gibson, 1985 dan Baron dan Greenberg, 1990), mengalami ketidakjelasan informasi tentang pelaksanaan
tugas
(Munandar,
2001),
merasakan
ketidakpastian
akan
wewenang (Anastasi, 1997), dan merasakan ketidakyakinan akan harapan yang diminta (Bailey dkk, 1991). Skala ini terdiri 33 aitem dan dibuat dalam bentuk pilihan dalam model skala Likert dengan empat macam pilihan jawaban yang disediakan untuk masing-masing aitem, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Aitem-aitem dalam skala ini dikelompokkan dalam dua pernyataan yaitu pernyataan yang bersifat favorable dan pernyataan yang bersifat unfavorable. Skor untuk aitem favorable bergerak dari 4 untuk jawaban sangat setuju (SS), 3 untuk jawaban setuju (S), 2 untuk jawaban tidak setuju (TS), dan 1 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS). Sebaliknya untuk aitem yang unfavorable, nilai jawaban bergerak dari 1 untuk jawaban sangat setuju (SS), 2 untuk jawaban setuju (S), 3 untuk jawaban tidak setuju (TS), dan 4 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS).
13
Skala konflik peran Skala konflik peran digunakan untuk mengukur konflik peran. Skala ini disusun oleh penulis berdasarkan aspek-aspek konflik peran, yaitu : melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan harapan (Kiev dan Kohn dalam Munandar, 2001; Bailey dkk, 1991; Kreitner dan Kinicki, 2001), menerima harapan atau permintaan dari dua orang atau lebih yang saling bertentangan (Miner, 1992; Kahn dalam Matteson dan Ivancevich, 1993; Spector, 1996), dan mengalami pertentangan antara nilai-nilai hidup dengan peran yang dimiliki (Kreitner dan Kinicki, 2001). Skala ini terdiri 38 aitem dan dibuat dalam bentuk pilihan dalam model skala Likert untuk mengukur tinggi rendahnya ketidakjelasan peran.
Aitem-
aitem dalam skala ini dikelompokkan dalam dua pernyataan yaitu pernyataan yang bersifat favorable dan pernyataan yang bersifat unfavorable. Skor untuk aitem favorable bergerak dari 4 untuk jawaban sangat setuju (SS), 3 untuk jawaban setuju (S), 2 untuk jawaban tidak setuju (TS), dan 1 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS). Sebaliknya untuk aitem yang unfavorable, nilai jawaban bergerak dari 1 untuk jawaban sangat setuju (SS), 2 untuk jawaban setuju (S), 3 untuk jawaban tidak setuju (TS), dan 4 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS). Metode analisis data Data kuantitatif yang telah terhimpun akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan teknik korelasi product moment. Teknik korelasi product moment digunakan karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menguji hubungan
antara
variabel
bebas
dengan
variabel
tergantung
tanpa
14
mengendalikan variabel-variabel lain yang diduga ikut mempengaruhi variabel tergantung. Sementara itu untuk menganalisis umur dan lama kerja digunakan dengan korelasi tata jenjang-Spearman dikarenakan hubungan kedua variabel ini terhadap keterlibatan kerja diketahui tidak linier. Proses perhitungan statistik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer seri program statistik SPSS for Windows Versi 12.
Hasil Penelitian Tabel Hasil Perhitungan Statistik Variabel-variabel Penelitian Keterliba- KetidakjeKonflik Variabel tan lasan Peran Kerja Peran Keterlibatan Kerja a
100.9 647
Ketidakjelasan Peran a Konflik Peran a
Umur
b
Lama Kerja b
Umur
Lama Kerja
r
1,000
-0,753
-0,450
–0,018
–0,054
p
.
0,000*
0,000*
0,870 **
0,626 **
M
r
-0,753
1,000
0,576
-
-
68.70 59
p
0,000*
.
0,000*
-
-
M
r
-0,450
0,576
1,000
-
-
83.42 35
p
0,000*
0,000*
.
-
-
M
M
r
–0,018
-
-
1,000
0,915
38.98 82
p
0,870 **
-
-
.
0,000**
M
r
–0,054
-
-
0,915
1,000
14.51 76
p
0,626 **
-
-
0,000**
.
Keterangan : ? a : Product moment (Pearson) ? b : Tata jenjang (Spearman)
? ?
N = 85 *p< 0,01 ** P<0,05
15
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara ketidakjelasan peran dan konflik peran dengan keterlibatan kerja. Selain itu juga diketahui tidak ada hubungan antara umur dan lama kerja dengan keterlibatan kerja.
Pembahasan Hubungan antara Ketidakjelasan Peran dengan Keterlibatan Kerja Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa naik atau turunnya keterlibatan kerja karyawan atau pegawai berhubungan dengan ketidakjelasan peran dan konflik peran yang dialami. Fisher dan Gitelson (1982) menunjukkan bahwa ketika karyawan mengalami ketidakjelasan peran, tingkat karyawan dalam mengidentifikasikan tujuan-tujuan organisasi serta keinginan untuk menjaga komitmen organisasi menjadi menurun. Menurunnya komitmen organisasi akan mempengaruhi ketidakhadiran dan kemungkinan untuk meninggalkan pekerjaan (Blau dan Boal, 1987). Karyawan yang tidak lagi berusaha untuk menjaga komitmen organisasinya, tingkat keterlibatan dengan pekerjaannya akan menurun (Brooke dkk, 1988 dan Elloy dkk, 1991). Seseorang yang terlibat dengan pekerjaannya mempunyai mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya. Seseorang yang mempunyai rasa tanggung jawab yang besar akan selalu berusaha untuk mengerjakan pekerjaannya sebaik mungkin. Orang semacam ini akan bekerja sesuai dengan hak, kewajiban, dan wewenangnya, dengan kata lain orang tersebut tahu apa yang menjadi perannya (Gibson, 1985; Baron dan Greenberg, 1990).
16
Merujuk pada hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa rata-rata subyek penelitian tingkat keterlibatan kerjanya tinggi yaitu sebanyak 61,2%. Hal ini berarti bahwa tingkat subyek mengidentifikasikan dirinya secara psikologis dengan
pekerjaannya
tinggi
serta
subyek
aktif
berpartisipasi
dalam
pekerjaannya. Hasil ini berkebalikan dengan tingkat ketidakjelasan peran. Sebanyak 77,6% subyek berada pada tingkat ketidakjelasan peran yang rendah. Artinya, subyek paham akan hak, kewajiban, dan wewenangnya serta paham akan harapan atasannya serta tahu bagaimana merealisasikan harapanharapannya sendiri. Berdasarkan
besarnya
R
square
ketidakjelasan
peran
terhadap
keterlibatan kerja yaitu R2 = 0,568 berarti bahwa ketidakjelasan peran memberikan sumbangan sebesar 56,8 % terhadap keterlibatan kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumbangan faktor-faktor lain sebesar 43,2 % yaitu diantaranya need of affiliation, jenis kelamin, need of achievement, kebutuhan harga diri, motivasi kerja, dan kepuasan kerja.
Hubungan antara Konflik Peran dengan Keterlibatan Kerja Kreitner dan Kinicki (2001) mengatakan bahwa karyawan yang terlibat dengan pekerjaannya menganggap bahwa pekerjaannya sebagai tempat untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Namun kenyataannya tidak semua kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Adakalanya pemenuhan salah satu kebutuhan yang jelas diharapkan oleh dirinya atau orang lain menimbulkan konsekuensi tidak terpenuhinya kebutuhan yang lain yang jelas juga diharapkan oleh dirinya atau orang lain untuk dipenuhi. Baron dan
17
Greenberg (1999) serta Kiev dan Kohn (Munandar, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang mengalami hal di atas berarti orang tersebut telah mengalami konflik peran. Salah satu faktor yang mempengaruhi keterlibatan kerja adalah need of affiliation. Murray (Chaplin, 2002) mengartikan need of affiliation sebagai suatu kebutuhan akan pertalian pertemanan dengan orang lain atau kebutuhan akan kasih sayang. Wanous (Rabinowitz dan Hall, 1977) mengatakan bahwa salah satu alasan kenapa seseorang bekerja adalah karena adanya kebutuhan untuk bersosialisasi. Orang yang mempunyai kebutuhan ini akan berusaha untuk menghindari konflik. Konflik peran yang dialami oleh kebanyakan subyek dalam penelitian ini masuk dalam kategori rendah yaitu berjumlah 58,8%. Hal ini berarti bahwa ratarata subyek dapat melakukan sesuatu yang diinginkan sesuai dengan harapannya (Kiev dan Kohn dalam Munandar, 2001). Menurut teori tingginya keterlibatan kerja karyawan dapat dilihat dari aktifnya karyawan tersebut berpartisipasi dalam pekerjaannya (Robbins, 1996). Semakin aktif seseorang dalam bekerja biasanya akan diikuti dengan bertambahnya peran yang tentunya diharapkan oleh pemberi peran untuk dapat dilaksanakan dengan baik. Namun adakalanya peran atau penugasan yang diemban terlalu banyak dan tidak dapat ditangani secara efeektif atau bahkan harus mengorbankan salah satunya. Berdasarkan besarnya R square yang diperoleh yaitu R2 = 0,203 terhadap keterlibatan kerja, berarti sebanyak 79,7% disumbangkan oleh faktor lain. Faktor-faktor tersebut antara lain role overload, sumber peran, dan tugas.
18
Hubungan antara Umur dan Lama Kerja dengan Keterlibatan Kerja Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat hubungan antara variabel umur dan lama kerja sebagai variabel sertaan dengan variabel keterlibatan kerja. Analisis data yang dilakukan didapat koefisien korelasi rX3Y = –0,018 dengan p = 0,870 (p < 0,05) dan variabel lama kerja didapat koefisien korelasi rX4Y = –0,054 dengan p = 0,626 (p < 0,05). Oleh karena taraf signifikansi kedua variabel di atas p > 0,05 ( p < 0,05) maka, tidak ada hubungan antara umur kerja dan lama kerja dengan keterlibatan kerja. Secara logika dapat dipahami bahwa semakin tinggi masa kerja seseorang akan diikuti pula oleh umur yang semakin tua, dengan kata lain umur dapat diasosiasikan dengan lama kerja seseorang. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang erat antara umur dan lama kerja. Hubungan tersebut dibuktikan pada matrik interkorelasi yang menunjukkan koefisien hubungan yang tinggi yaitu sebesar r = 0,915 p = 0,000 (p < 0,01). Ada kemungkinan teoritis yang dapat menjelaskan tidak adanya hubungan antara umur dengan keterlibatan kerja antara lain pendapat Hulin dkk dan Seashore (Yuliani, 2002) yang menyimpulkan bahwa bertambahnya usia diasosiasikan dengan bertambah tingginya jabatan di perusahaan. Para karyawan yang berada di usia optimum (40 – 50 tahun) merupakan individuindividu yang diasosiasikan dengan bertambahnya posisi yang tinggi dalam organisasi. Mereka cenderung untuk tidak memikirkan alternatif pilihan kerja di perusahaan lain dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Berry dan Huston (1993) menyimpulkan bahwa perbedaan kepuasan kerja dan sikap kerja yang lain pada karyawan tua dan muda bukan disebabkan
19
oleh usia semata, tapi lebih pada tingkat karir yang ada. Jabatan dan pendapatan yang semakin tinggi pada suatu organisasi atau instansi biasanya lebih banyak dijumpai pada pekerja senior.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dari data yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara ketidakjelasan peran dan konflik peran dengan keterlibatan kerja. Selain itu juga dapat diketahui ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara ketidakjelasan peran dan konflik peran dengan keterlibatan kerja. Variabel ketidakjelasan peran memberikan sumbangan SE = 56,8% terhadap keterlibatan kerja. Sementara itu sumbangan konflik peran terhadap keterlibatan sebesar 20,3%. Dilihat dari ketegorisasi subyek berdasarkan variabel keterlibatan kerja, menunjukkan bahwa sebanyak 61,2% subyek memiliki keterlibatan kerja yang tinggi. Sementara dilihat dari variabel ketidakjelasan peran dan konflik peran, rata-rata subyek mengalaminya dalam tingkat yang rendah yaitu secara berurutan sebanyak 77,6% dan 58,8%. Penelitian ini juga menyertakan variabel umur dan lama kerja sebagai variabel sertaan. Kedua variabel di atas ditemukan tidak mempunyai hubungan yang berarti dengan keterlibatan kerja.
20
Saran Bagi instansi yang bersangkutan Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang cukup bagus yaitu rata-rata karyawan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dan mengalami ketidakjelasan peran dan konflik peran yang rendah. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana hasil yang cukup bagus tersebut dinaikkan atau minimal dipertahankan. Hal tersebut bisa ditempuh antara lain dengan jalan semakin memperjelas apa yang menjadi hak, kewajiban, dan wewenang pegawainya, memberikan kesempatan pegawai berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan menghindari pemberian perintah atau tugas yang satu sama lain sifatnya berbeda serta mengurangi peran yang berlebihan. Bagi pegawai yang bersangkutan Kendala-kendala seperti ketidakjelasan peran dan konflik peran tentunya bukan merupakan alasan untuk menyerah bekerja dengan baik. Hal ini misalnya bisa diatasi dengan meminta penjelasan yang lebih jelas lagi kepada atasan atau kantor seandainya apa yang harus dikerjakan belum jelas. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, perlu juga untuk mempertimbangkan faktorfaktor lain yang mempengaruhi keterlibatan kerja seperti need of affiliation, jenis kelamin, need of achievement, kebutuhan harga diri, motivasi kerja, dan kepuasan kerja. Selain itu juga diharapkan untuk dapat meminimalkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam penelitian ini.