UNIVERSITAS INDONESIA
RESILIENSI PADA DEWASA AWAL BERLATAR BELAKANG BUDAYA ACEH YANG MENGALAMI BENCANA TSUNAMI 2004
(Resilience among Acehnese Young Adult Victims of 2004 Tsunami Disaster)
SKRIPSI
ELSHA FARA 0806462546
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI SARJANA REGULER DEPOK JUNI 2012
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
RESILIENSI PADA DEWASA AWAL BERLATAR BELAKANG BUDAYA ACEH YANG MENGALAMI BENCANA TSUNAMI 2004
(Resilience among Acehnese Young Adult Victims of 2004 Tsunami Disaster)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
ELSHA FARA 0806462546
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI SARJANA REGULER DEPOK JUNI 2012
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Elsha Fara
NPM
: 0806462546
Tanda Tangan
Tanggal
: 22 Juni 2012
ii
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama
:
Elsha Fara
NPM
:
0806462546
Program Studi :
Psikologi, S1 Reguler
Judul Skripsi
Resiliensi pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya
:
Aceh yang Mengalami Bencana Tsunami 2004 (Resilience among Acehnese Young Adult Victims of 2004 Tsunami Disaster) Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Program Studi Reguler, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
DISAHKAN OLEH
iii
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Alhamdulillahirobil’alamin saya haturkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala rahmat, hidayah, dan tuntunan-Nya yang diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Serta Salawat dan salam teruntuk Nabi Besar Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, sangat sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua, mama papa, terimakasih atas doa, cinta, kasih sayang, dorongan semangat, perhatian, dan pengorbanan, serta kepercayaan yang tak pernah putus telah kalian berikan kepada saya. Skripsi ini untuk kalian yang tercinta. 2. Dra. Julia Suleeman, M.A., M.A., Ph.D sebagai pembimbing skripsi saya yang telah meluangkan waktu, perhatian, dan daya upaya untuk membimbing saya dan teman-teman dalam payung penelitian sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. 3. Dosen penguji, yaitu Dr. Guritnaningsih A. Santoso dan Dra. Sri Fatmawati Mashoedi M.Si yang telah banyak memberikan arahan dan masukan terhadap skripsi ini. 4. Drs. Gagan Hartana Tupah Brama, M.Psi sebagai pembimbing akademis saya yang memberikan arahan dan dukungan kepada saya selama perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 5. Dicky C. Pelupessy, S.Psi., M.A yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan perhatian kepada saya selama proses pengumpulan data di Aceh. 6. Abang dan Adikku tersayang, Bang Jemmy, Bang Rivan, dan Alfikhi, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan kalian selama ini. 7. Keluarga besar Alm. Mawardi terkhusus kepada Om Jang yang telah memberi dukungan yang besar selama perkuliahan ini. iv
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
8. Sahabat sekaligus keluargaku tersayang, Amanda, Nadya, Sri, Amy, Anne, dan Anita yang selalu memberikan doa, semangat, cinta, pelukan, kesabaran, dan sedia berbagi suka maupun duka. Kemudian juga teruntuk sahabat dan keluarga, serta rekan seperjuanganku Risca, Indria, Najmi, Tenri, Irma, Adzka, dan Adinda yang selalu memberikan cinta, tawa, semangat, masukan satu sama lain, dan berbagi suka maupun duka. You are my rainbow. 9. Teman, saudara, sekaligus keluarga yang banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini, Agung, Mbak Ana, Ibunda Ica, Ook, Kak Magdalena, Kak Intan, Kak Ine, keluarga besar Pd.Labu, dan keluarga di Padang serta Pekanbaru. 10. Teman-teman satu payung, Risca, Dina, Hao, Alvina, Meily, Jeny, Bang Aan, Novi, dan Mas Mul yang saling membantu satu sama lain sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. 11. Teman-teman Aceh dan seluruh partisipan penelitian yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 12. Teman dan sahabat Yayasan Pulih Aceh yang berbaik hati membantu dalam pengambilan data penelitian dan memperlakukan saya seperti keluarga sendiri selama di Aceh, terkhusus kepada Kak Dian dan keluarga, Kak Magdalena dan keluarga, Bang Apin, Bang Sony, Bang Munzir, Bang Ar, Kak Elly, Kak Evi, dan Kak Fatma. 13. Seluruh staf Pengajar Fakultas Psikologi atas segala pengetahuan yang diberikan selama saya menjadi mahasiswi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 14. Seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman Psikologi UI angkatan 2008 (Psikomplit) yang memberikan suasana kekeluargaan dan pengalaman yang berharga selama perkuliahan. 15. Terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan.
v
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Skripsi ini dibuat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan saya, tapi tidak menutup kemungkinan jika terdapat kekurangan di dalamnya. Jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan atau didiskusikan lebih lanjut, bisa menghubungi
[email protected]. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 22 Juni 2012
Elsha Fara
vi
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Elsha Fara NPM : 0806462546 Program Studi : Reguler Fakultas : Psikologi Jenis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Resiliensi pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Aceh yang Mengalami Bencana Tsunami 2004” beserta perangkat (jika ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan bentuk, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, serta mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 22 Juni 2012 Yang menyatakan
(Elsha Fara) NPM : 0806462546
vii
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Elsha Fara : Psikologi : Resiliensi pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Aceh yang Mengalami Bencana Tsunami 2004
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang resiliensi penyintas tsunami Aceh 2004 dan mengkaji nilai budaya Aceh apa saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas tersebut. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CDRISC 10 dan kajian tentang nilai budaya Aceh diperoleh dari wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di Banda Aceh yang merupakan kawasan yang terkena dampak tsunami paling parah. Partisipan penelitian terdiri dari 27 orang dewasa awal yang berusia 25-40 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 3 orang yang berusia 25-40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan mendapatkan skor resiliensi sedang. Adapun budaya Aceh yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas tsunami Aceh adalah nilai-nilai Islami, penerimaan terhadap kehendak Tuhan, rasa kepedulian, Meuseraya dan Meuripe, dan watak keras orang Aceh. Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat untuk tetap memelihara nilai hidup yang membangun masyarakat untuk kemudian diturunkan pada generasi berikutnya agar dapat terus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kata Kunci: Resiliensi, Nilai-nilai dalam Budaya Aceh, Bencana Tsunami, Dewasa Awal
viii
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Program of Study Title
: Elsha Fara : Psychology : Resilience among Acehnese Young Adult Victims of 2004 Tsunami Disaster
This study was conducted to gain picture of resilience among tsunami survivors, and to assess Acehnese values associated with the resiliency ability among the survivors. The concept of resiliency refers to the five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resilience was obtained using the CD-RISC 10 while the values in Acehnese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected Banda Aceh which is suffered most damage tsunami 2004. Altogether 27 young adult partisipants of 25-40 years old took the questionnaire and three people 25-40 years old were interviewed. The results indicate that most partisipants get a middle score of resilience. The Acehnese cultural aspects associated with resiliency ability among tsunami survivors are Islamic values, acceptance, compassion, Meuseraya and Meuripe, and stubborn. Therefore, it is important for society to remain keeping the values for later derived in the next generation so as to be steadily applied in the social life.
Keyword: Resiliency, Values in Acehnese Culture, Tsunami Disaster, Young Adult
ix
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................................................ vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................................x DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2 Masalah Penelitian ........................................................................................5 1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................................5 1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................................6 1.5 Sistematika Penulisan ....................................................................................6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................7 2.1 Definisi Resiliensi .........................................................................................7 2.2 Karakteristik Resiliensi .................................................................................9 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi .............................................11 2.4 Nilai-nilai Budaya Aceh ..............................................................................14 2.5 Peran Agama dalam Resiliensi ....................................................................17 2.6 Karakteristik Dewasa Awal .........................................................................20 2.6.1. Definisi Dewasa Awal......................................................................20 2.6.2 Perkembangan Dewasa Awal ............................................................21 2.7 Bencana Alam Gempa dan Tsunami Aceh 2004 .........................................22 2.8 Dinamika Hubungan Antara Resiliensi dan Nilai Budaya Aceh pada Dewasa Awal yang Mengalami Bencana ...................................................23 BAB 3 METODE PENELITIAN ........................................................................26 3.1 Masalah Penelitian ......................................................................................26 3.2 Tipe dan Desain Penelitian ..........................................................................26 3.3 Partisipan Penelitian ....................................................................................27 3.3.1 Karakteristik Partisipan Penelitian ....................................................27 3.3.2 Jumlah Sampel ..................................................................................27 3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel .............................................................27 3.4 Instrumen Penelitian ....................................................................................28 3.4.1 Skala sikap.........................................................................................28 3.4.2 Wawancara ........................................................................................28 3.5 Prosedur Penelitian ......................................................................................30 x
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
3.5.1 Tahap I: Persiapan .............................................................................30 3.5.2 Tahap II: Pelaksanaan Penelitian ......................................................30 3.5.3 Tahap III: Pengolahan dan Analisis Data ..........................................31 BAB 4 HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN INTERPRETASI HASIL ...................................................................................................32 4.1 Pelaksanaan Penelitian ................................................................................32 4.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur CD RISC 10 ......................33 4.3 Gambaran Umum Partisipan Penelitian ......................................................34 4.4 Gambaran Umum Hasil Penelitian ..............................................................35 4.5 Gambaran Umum yang Diperoleh Melalui Wawancara .............................36 4.5.1 Temuan Analisis Intrapartisipan .......................................................36 4.5.1.1 Partisipan I: D .....................................................................37 4.5.1.2 Partisipan II: S ....................................................................49 4.5.1.3 Partisipan III: M ..................................................................53 4.5.2 Temuan Analisis Antar Kasus yang Diperoleh Melalui Wawancara ......................................................................................61 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ............................................72 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................72 5.2 Diskusi dan Keterbatasan Penelitian ...........................................................73 5.3 Saran ............................................................................................................77 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................78
xi
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.4.1 Tabel 4.3 Tabel 4.4.1 Tabel 4.4.2 Tabel 4.4.3 Tabel 4.4.4 Tabel 4.5.1 Tabel 4.5.2.1 Tabel 4.5.2.2
Contoh Pertanyaan dalam Skala Sikap .......................................28 Gambaran Umum Partisipan Penelitian ......................................34 Gambaran Resiliensi pada Partisipan Usia 25-40 tahun .............35 Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 25-40 tahun Berdasarkan Jenis Kelamin .........................................................35 Kategori Skor Total Resiliensi Masyarakat Aceh .......................36 Gambaran Resiliensi Partisipan Berdasarkan Kategori Skor Total ............................................................................................36 Gambaran Partisipan Wawancara ...............................................37 Gambaran Kondisi Partisipan .....................................................62 Gambaran Resiliensi Partisipan Wawancara ..............................63
xii
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN LAMPIRAN I 4.4.1 4.4.2 LAMPIRAN II 1 2 3 LAMPIRAN III LAMPIRAN IV
...................................................................................................1 Hasil Perhitungan Statistik ........................................................1 Gambaran Resiliensi pada Partisipan Usia 25-40 tahun ...........2 Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 25-40 tahun Berdasarkan Jenis Kelamin .......................................................3 Verbatim Tiga Orang Partisipan Wawancara ............................4 Verbatim Wawancara I (Dewasa Awal – Perempuan) ..............4 Verbatim Wawancara II (Dewasa Awal – Laki-laki) ..............33 Verbatim Wawancara III (Dewasa Awal – Laki-laki) ............44 Pedoman Wawancara ..............................................................66 Skala sikap Resiliensi ..............................................................69
xiii
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara tiga
lempengan benua yang hiperaktif: Indoaustralia, Eurasia, dan Pasifik, serta merupakan cincin api Pasifik yaitu rangkaian gunung api aktif di dunia (www.inatews.bmkg.go.id/tentang_eg.php. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif (Lavigne, dkk, 2007). Zona kegempaan dan gunung api aktif Sirkum Pasifik amat terkenal karena setiap gempa hebat atau tsunami dahsyat di kawasan itu dapat menelan banyak korban jiwa manusia. Posisi yang rentan terhadap terjadinya bencana membuat Indonesia harus kehilangan ratusan ribu penduduk dalam jangka waktu satu dekade terakhir akibat berbagai bencana seperti badai tropis, banjir, longsor, kekeringan, gunung meletus, gempa bumi hingga tsunami (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006) dan bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia seperti kerusuhan sosial dan politik, kecelakaan transportasi udara, laut, dan darat (Departemen Kesehatan RI, 2008). Dipandang dari segi keparahan tingkat bencana yang dialami, Indonesia termasuk dalam urutan 10 besar negara di dunia yang paling parah terkena bencana pada tahun 2005 (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, 2006). Salah satu bencana alam terburuk yang terjadi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir yaitu bencana gempa disertai tsunami yang melanda negeri Nanggroe Aceh Darussalam dengan kekuatan 8,9 skala richter. Peristiwa ini terjadi tepat pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 pukul 07:58 WIB. Bencana ini menewaskan lebih dari 100.000 orang, memaksa lebih dari 500.000 orang meninggalkan tempat tinggal mereka dan membuat 600.000 orang kehilangan mata pencaharian mereka. Total kerusakan diperkirakan mencapai lebih dari 4 juta Dolar AS (United Nations Development Programme Indonesia, 2007). Kejadian bencana ini menyisakan penderitaan mendalam bagi yang mengalaminya dan bagi keluarga yang ditinggalkan korban. Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan seoptimal mungkin, namun dampak Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
2
psikologis dan sosio-ekonomi jangka panjang dari bencana dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama setelah bencana tersebut terjadi. Para korban bencana atau penyintas (survivor) bisa mengalami kematian, luka-luka, penyakit, tubuh menjadi lemah dan dari aspek perasaan akan timbul rasa takut, cemas, merasa bersalah, sedih, marah, dan kehilangan. Sedangkan dalam aspek pikiran, orang menjadi bingung dan kalut (Yayasan Pulih & JICA, 2006). Menghadapi kondisi demikian diperlukan kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan bahaya yang muncul (mitigasi bencana), dan juga kemampuan untuk bangkit kembali bagi mereka yang terkena bencana. Kemampuan untuk bangkit kembali ini disebut sebagai resiliensi dan sejak 30 tahun terakhir menjadi konsep psikologi yang semakin sering diteliti (Wagnild, 2009). Resiliensi merupakan sebuah konsep besar yang berkaitan dengan kemampuan untuk beradaptasi secara positif dalam menghadapi tekanan atau kesulitan untuk dapat kembali pada keadaan asli (Masten & Gewirtz, 2006). Kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh masing-masing individu berbeda satu sama lain dan sangat dipengaruhi oleh kualitas diri, karakteristik, keluarga dan dukungan komunitas yang semuanya tergambar dalam faktor protektif. Dalam literatur penelitian Everall, Altrows, dan Paulson (2006), faktor protektif atau biasa disebut faktor pendukung dikategorikan menjadi tiga yaitu faktor yang berasal dari individual, keluarga, eksternal dan komunitas. Sedangkan McCubbin (2001) membagi faktor protektif ke dalam dua kategori yaitu internal protective factor dan external protective factor. Menurut Neill (2006) resiliensi bukanlah suatu kebetulan, tetapi resiliensi muncul pada orang yang telah terlatih keras, mempunyai sikap yang istimewa, kemampuan kognitif yang baik, emosi dan ketetapan hati yang teguh untuk mengatasi tantangan berat. Beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan resiliensi antara lain adalah dukungan sosial atau dukungan komunitas yang termasuk di dalamnya pengaruh budaya, dan dukungan personal. Budaya dan komunitas dimana seseorang itu tinggal sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Individu sadar akan pentingnya kebudayaan sebagai tolak ukur terhadap tingkah laku sendiri. Kebudayaan memberikan pengaruh pada Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
3
perkembangan individu. Pada gilirannya akan terjadi individu yang berbeda-beda pola tingkah lakunya antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Holaday & McPhearson dalam Santrock, 2002). Kemudian senada dengan yang diungkapkan oleh Beuf (dalam Holaday, 1997) bahwa resiliensi dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan, baik sikap-sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilai-nilai, dan standar kebaikan dalam suatu masyarakat. Hal yang sama juga disampaikan oleh Delgado (dalam LaFromboise, Hoyt, Oliver, & Whitbeck, 2006) yang menyatakan bahwa diperlukannya unsur budaya dalam memahami kemampuan resiliensi individu. Keterikatan dengan budaya meliputi keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan terhadap nilai-nilai yang diyakini dalam kebudayaan tersebut. Kontribusi masyarakat, keluarga dan nilai-nilai umum budaya asli menjadi unsur penting dalam ketahanan dan kesejahteraan individu. Identifikasi
seseorang
dengan
budayanya
diperkirakan
memiliki
efek
perkembangan positif yang meningkatkan harga diri yang sesuai dengan normanorma budaya masyarakat (Phinney & Alipuria dalam LaFromboise, dkk, 2006). Maka, dapat dikatakan bahwa dari sekian banyak faktor yang berkaitan dengan resiliensi, ternyata penting untuk melihat budaya sebagai faktor yang turut terkait dengan kemampuan resiliensi individu. Penelitian mengenai resiliensi telah banyak dilakukan namun sayangnya masih sedikit yang mengaitkannya dengan unsur budaya. Contohnya penelitian oleh Hestyanti, Irwanto, Janssens, dan Hendriks (dalam The International Conference on Psychology of Resilience, 2011) yang meneliti mengenai peranan coping style, hubungan antara orang tua dan anak, dan partisipasi dalam aktivitas keagamaan terhadap resiliensi anak korban bencana tsunami Aceh 2004. Pada studi yang dilakukan diluar Indonesia, Bonanno, Galea, Bucciarelli dan Vlahov (2007) mengungkapkan bahwa budaya yang termasuk di dalamnya etnis atau ras memberikan pengaruh pada level resiliensi. Studi ini dilakukan terhadap sejumlah partisipan dewasa pasca bencana 11 September 2001 di New York, mengidentifikasi
kemampuan
resiliensi
berdasarkan
simptom-simptom
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) yang muncul. Dari penelitian ini terlihat bahwa individu Asia memiliki level PTSD yang lebih rendah daripada individu Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
4
yang berasal dari ras lain sehingga dapat dikatakan bahwa individu Asia memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik daripada individu dari ras lain. Pada penelitian tersebut juga dikatakan bahwa partisipan Asia memiliki kemampuan resiliensi tiga kali lebih baik daripada partisipan kulit putih. Hal tersebut merupakan salah satu faktor budaya yang mempengaruhi kemampuan resiliensi. Secara umum, individu Asia, termasuk Indonesia memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang berasal dari ras lain. Pada penelitian lainnya terhadap penyintas gempa di Kabupaten Klaten, Lestari (2007) menemukan bahwa budaya memberikan kontribusi terhadap kemampuan resiliensi masyarakat Klaten. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kebudayaan Jawa mendorong masyarakatnya memiliki resiliensi yang tinggi. Keterikatan individu dengan sikap dan nilai-nilai yang terdapat dalam budaya Jawa tersebut akan mempengaruhi resiliensi pada individu. Meskipun begitu, peneliti belum menemukan penelitian yang fokus menyoroti faktor nilai budaya sebagai komponen yang berkaitan dengan kemampuan resiliensi. Berdasarkan pengetahuan di atas, maka peneliti melihat pentingnya mengkaji nilai budaya terhadap kemampuan resiliensi pada masyarakat yang pernah terkena bencana alam yang sangat besar, yaitu pada masyarakat Aceh yang terkena tsunami tahun 2004. Penelitian ini memfokuskan pada kemampuan resiliensi pada usia dewasa karena kurangnya penelitian terhadap resiliensi yang melibatkan orang dewasa. Hal ini merujuk pada salah satu contoh studi tentang pemahaman konsep kematian dan strategi coping mengatasi kehilangan terhadap kematian yang dilakukan pada anak dan remaja di Kabupaten Bantul, menemukan bukti bahwa anak dan remaja dapat memiliki kemampuan resiliensi untuk melanjutkan kehidupan (Suleeman C, 2009). Namun, sayangnya studi ini belum melibatkan orang-orang dewasa, padahal individu dewasa cenderung berhasil mengatasi peristiwa yang menekan daripada kelompok individu yang lebih muda ataupun kelompok usia yang lebih tua (Danieli, 1996). Mereka juga mampu mengatur pemikiran operasional formal mereka dengan baik sehingga memungkinkan untuk merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalahmasalah seperti remaja tetapi sudah lebih sistematis. Ketika mendekati masalah, sebagai orang dewasa, mereka dapat berpikir logis dan melakukan adaptasi secara Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
5
pragmatis terhadap kenyataan (Santrock, 2002). Dengan kemampuan-kemampuan ini individu dewasa cenderung dinilai mampu untuk mengembangkan cara-cara yang efektif dalam mengatasi peristiwa yang menekan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan terhadap masyarakat Aceh penyintas tsunami 2004 yang berusia 21-40 tahun. Penelitian serupa dilakukan terhadap penyintas erupsi Merapi 2010 yang berusia 20-60 tahun. Rentang usia dari 21-40 tahun untuk partisipan Aceh dan usia 20-60 tahun untuk partisipan Jawa sengaja dipilih agar dapat dibuat perbandingan kualitas resiliensi antara generasi yang lebih muda dengan generasi yang lebih tua, karena ada indikasi bahwa perbedaan usia dan pengalaman akan turut mempengaruhi kemampuan resiliensi individu (Danieli, 1996, dalam Lestari 2007). Khusus untuk penelitian dalam skripsi ini, penelitian akan lebih fokus pada masyarakat Aceh berusia 25-40 tahun, sedangkan laporan mengenai masyarakat Aceh pada kelompok usia lainnya dan pada masyarakat Jawa penyintas erupsi Merapi akan dilaporkan oleh rekan peneliti lain. Alat pengumpulan data untuk penelitian ini adalah skala sikap untuk memperoleh data kuantitatif dan wawancara untuk memperoleh data kualitatif.
1.2
Masalah Penelitian Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran resiliensi masyarakat Aceh dalam kelompok usia 25-40 tahun yang merupakan korban tsunami 2004? 2. Apa saja nilai budaya Aceh yang terkait dengan resiliensi masyarakat Aceh dalam kelompok umur 25-40 tahun yang merupakan korban tsunami 2004?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran resiliensi
masyarakat Aceh yang berasal dari kelompok usia 25-40 tahun yang merupakan korban tsunami Aceh 2004. Kemudian secara khusus mengidentifikasi nilai-nilai dalam budaya Aceh terkait dengan kemampuan resiliensi masyarakat Aceh yang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
6
berasal dari kelompok usia 25-40 tahun yang merupakan korban tsunami Aceh 2004.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran mengenai kemampuan resiliensi masyarakat yang pernah terkena bencana besar. 2. Memberikan informasi mengenai nilai-nilai budaya Aceh yang terkait dengan kemampuan resiliensi masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana. Kemudian juga dapat menjadi sumber literatur maupun sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai resiliensi yang terkait budaya di Indonesia pada umumnya dan di Aceh pada khususnya.
1.5
Sistematika Penulisan Penulisan selanjutnya adalah sebagai berikut: bab 2, merupakan tinjauan
pustaka terhadap variabel penelitian yaitu resiliensi, nilai budaya Aceh, dan dewasa awal dalam konteks bencana. Kemudian dilanjutkan dengan bab 3 tentang metode penelitian yang terdiri dari masalah, tipe penelitian, partisipan, instrumen, dan
prosedur penelitian. Sedangkan pada bab 4, diuraikan mengenai hasil
penelitian, analisis, dan intrepretasi hasil. Kemudian bagian terakhir bab 5 yang berisikan kesimpulan, diskusi, dan saran untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai teori yang sesuai dengan masalah penelitian yang menyangkut resiliensi pada usia dewasa awal yang mengalami bencana beserta keterkaitannya dengan nilai budaya. Pembahasan akan diawali dengan
definisi
dari
resiliensi,
beserta
karakteristik
dan
faktor
yang
mempengaruhi resiliensi, kemudian pemaparan mengenai nilai-nilai dalam budaya Aceh, dan penjabaran tentang peran agama dalam resiliensi. Selanjutnya dijelaskan mengenai karakteristik masa dewasa awal yang menjadi masa perkembangan partisipan dalam penelitian. Pada akhir bab ini akan diuraikan dinamika hubungan antara resiliensi dan nilai budaya Aceh pada dewasa awal yang mengalami bencana.
2.1
Definisi Resiliensi Para peneliti resiliensi memiliki perbedaan dalam mendefinisikan
resiliensi. Keluasan konstruk resiliensi yang mencakup banyak variabel yang berbeda merupakan salah satu faktor kesulitan dalam mendefinisikan resiliensi. Resiliensi seolah menjadi payung yang mencakup banyak aspek yang berbeda dalam
hal
kemampuan
seseorang
mengatasi
dan
beradaptasi
terhadap
kesengsaraan (McCubbin, 2001). Dalam mendefinisikan resiliensi penting untuk melihat dari perspektif multidimensi bersama dengan pertimbangan konteks dimana resiliensi terjadi. Beberapa orang dapat memperlihatkan ketahanan dan keberfungsian yang baik namun tidak pada orang lain. Resiliensi tergantung pada interaksi timbal balik antara individu dengan lingkungan. Rutter (dalam Everall, dkk, 2006) menyatakan tingkat paparan lingkungan yang beresiko sebagian ditentukan oleh keadaan sosial tetapi juga dipengaruhi secara signifikan oleh bagaimana masyarakat sendiri berperilaku. Resiliensi adalah sebuah konsep utama dalam penelitian tentang perkembangan psikopatologi (Ursula dalam Cicchetti & Cohen, 1995). Dalam hal ini disampaikan gagasan bahwa individu dapat menghindari dampak negatif meskipun adanya faktor resiko yang signifikan di lingkungan mereka. Hal ini juga Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
8
mencakup gagasan bahwa individu dapat kembali mencapai tingkat fungsi norrmal setelah mengalami kemunduran perkembangan, baik dengan dan tanpa bantuan intervensi eksternal (Garmezy & Rutter dalam Cicchetti & Cohen, 1995). Definisi yang diajukan Bonanno (dalam Bonanno, dkk, 2007) menyebutkan resiliensi sebagai “…the ability of adults in otherwise normal circumstances who are exposed to an isolated and potentially highly disruptive event such as the death of a close relation or a violent or life-threatening situation to maintain relatively stable, healthy levels of psychological and psysical functioning…as well as the capacity for generative experiences and positive emotions” (hal. 671). Dari definisi ini resiliensi dapat dilihat sebagai kemampuan orang dewasa dalam keadaan normal untuk dapat bertahan dalam keadaan yang relatif stabil, dan fungsi
psikologis
menyebabkannya
dan
fisik
terisolasi
yang
dan
sehat
berpotensi
jika
terkena
sangat
peristiwa
mengganggu
yang hingga
mengancam jiwa. Reich (2006) mengartikan resiliensi sebagai “… the ability to bounce back and even to grow in the face of threats to survival” (hal. 793). Dari definisi ini resiliensi diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dan bahkan kemampuan untuk tumbuh dalam menghadapi ancaman terhadap kelangsungan hidup. Definisi yang serupa namun lebih lengkap diberikan oleh Hermann, Stewart, Granados, DPhil, Jackson, dan Yuen (2011) yaitu: “resilience refers to positive adaptation, or the ability to maintain or regain mental health, despite experiencing adversity” (hal. 259), yang dapat diartikan sebagai adaptasi yang positif atau kemampuan untuk mempertahankan atau memulihkan kesehatan mental meskipun dalam situasi sulit. Sedangkan menurut Wagnild dan Young (1993), resiliensi dikonotasi dengan “…emotional stamina and has been used to describe persons who display courage and adaptability in the wake of life’s misfortunes” (hal. 166).
Menurut definisi ini, resiliensi dihasilkan dari suatu
kekuatan yang berasal dari dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi terhadap kondisi yang tidak menguntungkan yang menimpanya. Dalam definisi lain, resiliensi dilihat bukan sebagai atribut tetap atau hasil tertentu tetapi lebih sebagai proses dinamis yang berkembang dari waktu ke waktu sehingga resiliensi sering didefinisikan sebagai “…a stable personality trait or Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
9
ability that protects individuals from the negative effects of risk and adversity” (Hollister-Wagner, dkk, dalam Everall, dkk, 2006, hal. 461). Hal serupa juga disampaikan oleh Masten, Best, dan Garmezy (dalam Kumpfer, 1999), mengenai definisi resiliensi yang menekankan pada proses yaitu “…a process, capacity or outcome of successful adaptation despite challenges or threatening circumstances . . . good outcomes despite high risk status, sustained competence under threat and recovery from trauma” (hal. 181). Dari berbagai macam definisi di atas, maka disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan untuk bangkit kembali dalam menghadapi ancaman terhadap kelangsungan hidup yang menekankan pada proses dinamis yang berkembang dari waktu ke waktu.
2.2
Karakteristik Resiliensi Dari tokoh-tokoh yang mengajukan definisi resiliensi hanya Wagnild yang
membagi resiliensi ke dalam lima karakteristik yang menjadi dasar konseptual untuk skala resiliensi. Sebelumnya, Wagnild telah melakukan berbagai penelitian dan menemukan bahwa resiliensi meliputi lima karakteristik dasar, yaitu perseverance, equanimity, meaningfulness, self-reliance, dan existential aloneness (Wagnild, 2009). Karakteristik pertama, perseverance atau tindakan yang menunjukkan ketekunan meskipun menghadapi kesulitan atau peristiwa yang membuat putus asa, mengandung kerelaan untuk melanjutkan perjuangan demi merekonstruksi kehidupan kembali. Perseverance adalah kemampuan untuk terus menjalani hidup meskipun mengalami kemunduran. Komponen ini mengandung kesediaan untuk terus berjuang hingga akhir. Pengalaman kegagalan, penolakan, atau situasi sulit yang berulang dapat menjadi hambatan bagi individu untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, bagi individu yang resilien akan cenderung terus berjuang sekalipun mengalami berbagai situasi yang menghambat baginya. Kedua, equanimity atau keseimbangan batin adalah perspektif kehidupan dan pengalaman yang seimbang, mampu belajar dari pengalaman semasa hidup dan dapat mengambil hal baru di masa yang datang, sehingga mampu berespon secara layak dalam menghadapi kesulitan. Individu mampu untuk meluaskan Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
10
sudut pandang sehingga membuatnya lebih fokus kepada hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang ia alami. Individu yang resilien terlihat sebagai orang yang optimis karena mampu untuk tetap memiliki harapan sekalipun sedang berada dalam situasi yang sangat menyulitkan. Individu yang memiliki equanimity sering juga memiliki rasa humor. Ia mampu menertawai diri sendiri atau pengalaman apa pun yang sedang ia hadapi dan tidak terpaku untuk mengasihi diri sendiri atau keadaan sulit yang sedang menimpanya. Ketiga, meaningfulness yang merupakan karakteristik yang paling penting dan menjadi landasan bagi keempat karakteristik lainnya. Meaningfulness atau kebermaknaan adalah sebuah realisasi bahwa hidup memiliki tujuan sehingga diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Hidup tanpa tujuan sama dengan hidup dalam kesia-siaan karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Akan tetapi, dengan memiliki tujuan yang ingin dicapai, maka hal tersebut dapat membuat individu terus berusaha melakukan sesuatu selama ia hidup. Tujuan merupakan motivasi intrinsik yang dimiliki oleh individu yang menuntunnya pada makna dari kehidupan yang dijalaninya. Penelitian yang dilakukan oleh National Longitudinal Study of Adolescent Health (1999), diacu dalam Austin, dkk, (2010) mengidentifikasikan bahwa individu yang memiliki tujuan dan aspirasi akan membangun hubungan mendalam (deep connectedness) yang merupakan sebuah kekuatan pelindung dari perilaku negatif. Karakteristik berikutnya yaitu self-reliance atau kepercayaan diri. Individu yang percaya diri dapat mengenali dan mengandalkan kekuatan dan kemampuan pribadi, mampu memanfaatkan kesuksesan pada masa lalu untuk mendukung dan mungkin memandu tindakan mereka dimasa depan, dan mengenal keterbatasan yang mereka miliki. Kemudian karakteristik terakhir yaitu existential aloneness yang
merupakan
kesadaran
bahwa setiap
individu
adalah unik
dan juga
merupakan kesadaran bahwa terdapat sebagian pengalaman yang bisa dibagi kepada orang lain, namun pada sebagian lain pengalaman tersebut harus dihadapi seorang diri. Dengan adanya existential aloneness memunculkan rasa keunikan dan mungkin kebebasan (Wagnild & Young, 1990 dalam Wagnild, 2009).
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
11
2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Studi resiliensi memang tidak terlepas dari pembahasan mengenai
protective factor (faktor pendukung) dan risk factor (faktor risiko). Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Konsep risk dalam penelitian resiliensi untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya maladjustment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti anak-anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah, tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, konflik dan pengalaman trauma. Faktor resiko ini dapat berasal dari faktor genetik seperti penyakit sejak lahir, faktor psikologis, lingkungan dan sosio-ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan terdapatnya kerentanan terhadap stres. Faktor-faktor ini mempengaruhi individu secara efektif maupun kognitif (Schoon, 2006). Studi resiliensi memang membangun konsepnya dari kajian terhadap orang-orang yang mempunyai faktor yang beresiko. Werner (2005) mengadakan penelitian longitudinalnya pada penduduk Kauai di kepulauan Hawai yang mempunyai resiko terdapatnya maladjusment. Schoon (2006) menyatakan bahwa kebijakan sosial yang ada di negaranya yang memfokuskan pada kelompok sosial ekonomi rendah juga merupakan latar belakang banyaknya penelitian tentang resiliensi. Penelitian-penelitian terhadap kelompok yang berisiko (risk factor) menemukan bahwa tidak semua orang berada pada kondisi berisiko mengalami maladjusment. Penelitian-penelitian ini juga mencatat bahwa anak yang tumbuh pada kondisi yang menekan atau berisiko dapat tumbuh dan beradaptasi secara positif (Schoon, 2006). Hal inilah yang menjadi fokus para peneliti pendahulu yaitu untuk melihat faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan individu mampu beradaptasi positif meskipun berada pada kondisi yang berisiko. Kualitas-kualitas ini mengacu pada istilah protective factor. Sebagaimana yang dinyatakan Werner (2005) bahwa banyak hal yang dapat menjadi protective factor bagi seseorang yang resilien ketika berhadapan dengan kondisi yang menekan. Istilah protective factor dalam resiliensi merupakan faktor-faktor yang membantu dan mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang dihadapi. Tiga kategori yang termasuk dalam protective
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
12
factors (Everall, dkk, 2006) yaitu: individu, keluarga, dan faktor eksternal atau komunitas. 1. Faktor individu Salah satu temuan yang paling konsisten di seluruh studi tentang resiliensi adalah adanya asosiasi positif antara resiliensi dengan fungsi kognitif. Fergusson dan Lynskey (dalam Everall, dkk, 2006) menemukan bahwa dalam studi longitudinal, seseorang yang sering terpapar kesulitan keluarga selama masa kanak-kanak namun dapat menunjukkan adaptasi yang sehat, merupakan individu yang memiliki IQ yang lebih tinggi. Tetapi, Levine (dalam Everall, dkk, 2006) menyarankan bahwa meskipun intelegensi dapat meningkatkan resiliensi, skor IQ tidak benar-benar dapat digunakan sebagai prediktor seseorang dalam memahami orang lain dan diri sendiri dalam berbagai macam situasi. Individu yang resiliensi adalah individu yang memiliki kemampuan memecahkan masalah dan menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping). Individu yang berfokus pada masalah dapat secara tepat menghadapi dan merenungi masalah bukan menghindari masalah, dan kreatif serta dapat merencanakan solusi terhadap masalah dan menjangkau orang lain untuk membantu (Bernard dalam Everall, dkk, 2006). Terkait dengan problem focused coping, internal locus control berkorelasi positif terhadap resiliensi. Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Smokowski, dkk, (dalam Everall, dkk, 2006) terhadap remaja Afrika Amerika, mengungkapkan keyakinan bahwa kerja keras akan memberikan hasil yang baik terhadap kehidupan mereka di masa depan. Keyakinan ini menekankan pentingnya memiliki rasa tujuan (sense of purpose) dan optimisme. Individu yang tangguh cenderung memiliki tujuan, harapan, dan rencana untuk masa depan, dikombinasikan dengan ketekunan dan ambisi untuk membawa mereka pada hasil. Sebuah konsep diri dan harga diri yang positif juga berkontribusi terhadap kemampuan resiliensi. Konsep diri yang positif dapat didukung oleh rasa penguasaan yang datang dari keberhasilan menyelesaikan tugas atau dari memiliki keterampilan atau bakat khusus yang dihargai oleh keluarga dan Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
13
masyarakat. Faktor lain yang termasuk dalam faktor individu adalah kompetensi sosial. Individu yang resilien cenderung memiliki keterampilan sosial yang kuat dan kemampuan komunikasi interpersonal yang baik. Kemudian humor, empati, fleksibilitas, dan temperamen yang “easy going” cenderung meningkatkan kemampuan sosial (sociability). 2. Faktor Keluarga Sumber dukungan orang tua yang memberikan sumber daya dan jasa dapat menjadi instrumen yang penting dalam meningkatkan resiliensi. Individu yang menerima bimbingan langsung dan dorongan dari orang tua mereka dalam menghadapi kesulitan sering merasa termotivasi, optimis, dan diyakinkan bahwa seseorang percaya pada kemampuan mereka untuk berhasil. Selain itu, peran kakek nenek, paman bibi, dan saudara yang lebih tua sering memberikan peran positif dan dukungan yang membantu individu dalam melewati kesulitan. Individu juga belajar mengenai apa yang tidak boleh dilakukan dengan mengamati konsekuensi dari perilaku negatif yang dilakukan keluarga. 3. Faktor Eksternal dan Komunitas Keterlibatan dalam hubungan dan kegiatan ekstrakurikuler di luar rumah membantu meningkatkan resiliensi, seperti kegiatan bersama teman sebaya, kegiatan olah raga, melakukan hobi, atau kegiatan keagamaan yang memberikan bantuan dalam membangun resiliensi. Werner (dalam Everall, dkk, 2006) dalam studi longitudinal terhadap anak remaja di Kauai, Hawaii, menemukan bahwa remaja yang tangguh mengidentifikasi satu atau lebih guru yang merupakan sumber dukungan yang signifikan. Peran orang yang signifikan tersebut baik di sekolah atau di dalam masyarakat dapat memotivasi mereka untuk melakukan hal yang terbaik. Kemudian hubungan positif dengan teman sebaya yang merupakan sumber dukungan utama juga menjadi hal yang penting. Melalui afiliasi dan identifikasi dengan teman dekat, remaja dapat mengambil manfaat dari persahabatan, dukungan emosional dan motivasi, role model dan rasa memiliki. Delgado (dalam La Framboise, dkk, 2006) menambahkan unsur budaya dalam memahami kemampuan resiliensi individu. Keterikatan dengan budaya Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
14
meliputi keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan terhadap nilai-nilai yang diyakini dalam kebudayaan tersebut. Kontribusi masyarakat, keluarga dan nilai-nilai umum budaya asli menjadi unsur penting dalam ketahanan dan kesejahteraan individu. Identifikasi dengan budaya seseorang diperkirakan memiliki efek perkembangan positif melalui meningkatkan harga diri dan sesuai dengan norma-norma budaya masyarakat (Phinney & Alipuria dalam La Framboise, dkk, 2006).
2.4
Nilai-nilai Budaya Aceh Kebudayaan adalah keseluruhan sistem nilai beserta berbagai bentuk
aktualisasi dan reproduksinya, baik yang berupa pola tingkah laku maupun berbagai bentuk ekspresi simbolik tertentu yang sesuai dengan sistem nilai yang bersangkutan (Talsya, 1994), sehingga termasuk di dalam kebudayaan adalah adat, nilai, budaya, agama, dan berbagai cipta karsa manusia. Bagi masyarakat Aceh tergambar jelas bahwa agama, adat dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual kesehariannya. Perilaku seseorang dalam masyarakat sangat ditentukan oleh penghayatan dan cara menerapkan adat disekelilingnya. Jika kebudayaan mencakup segala hasil karya, cipta dan karsa manusia, maka agama, kecuali memberi landasan dan pedoman hidup manusia, dan adat berfungsi sebagai filter dan kemasan yang menampakkan sosok keluhuran budi pekerti dari manusia atau masyarakat yang menganutnya (Talsya, 1994). Ketika adat dan budaya Aceh menjadi suatu topik bahasan maka agama Islam dan masyarakat Aceh yang fanatik tidak boleh luput dari kajian. Suatu kegiatan adat dan budaya Aceh menjadikan agama sebagai faktor utama sumber adat dan budaya itu sendiri. Seremoni yang penuh dengan segala keragaman budaya dan kemeriahan teaterial dianggap boleh-boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan nilai keagamaan. Secara lebih khusus pengertian keagamaan disini dipertegas dengan moral dan ajaran Islam. Hukum Islam sendiri telah diaplikasikan di Aceh sejak abad ke-17 (Hadi, 2010).
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
15
Dari literatur ilmu-ilmu sosial, dipahami bahwa masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Artinya, masyarakat mengalami perubahan (struktur, organisasi, lembaga, perilaku, hubungan dengan alam, manusia) dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri (seperti pertambahan jumlah penduduk, konflik, disorganisasi, inovasi teknologi, dan lainlain) atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat bersangkutan. Masyarakat Aceh pun, dengan demikian, berubah pula, sesuai paradigma di atas. Bagaimanapun,
proses
dan
pengalaman
pembudayaan
lewat
akulturasi,
sinkretisasi, dan asimilasi bagi Aceh berjalan amat panjang, oleh karena itu, adat bagi orang Aceh adalah adat yang Islami. Artinya, tiap bagian dari adat yang terpakai harus merujuk pada Islam. Dengan perkataan lain, tiap perilaku adat harus terlebih dahulu mendapatkan legitimasinya dari agama (Islam) sebelum disosialisasikan atau dipraktekkan di dalam perilaku sehari-hari (Talsya, 1994). Hal yang sama juga disampaikan oleh Hadi (2010) yang menyatakan bahwa adat dan hukum Islam merupakan dua hal yang beriringan dalam masyarakat Islam dan memainkan peran penting. Keabsahan adat dan budaya memperoleh dukungan dan legitimasi dari masyarakat apabila ia sarat dengan nilai dan norma keislaman. Kaidah agama merupakan ruh yang menjadikan adat dan budaya tetap hidup di tengah-tengah masyarakat Aceh khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang sebagian terbesar penganut agama Islam. Jika demikian halnya, definisi sederhana yang dapat ditarik adalah adat dan budaya Aceh bernafaskan ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Bukanlah adat dan budaya Aceh apabila ia bertentangan dengan Islam. Maknanya, adat dan budaya Aceh seyogianya dan seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Hadis dan Al-Qur’an (Talsya, 1994). Identitas Adat dan Budaya Aceh: (a) Identitas Adat dan Budaya Aceh adalah Islam. Segala ajaran dan sistem kemasyarakatan di Aceh berpadu menjadi satu dengan ajaran Islam sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam masyarakat Aceh, adat dan hukum Islam adalah sebagai zat dengan sifat.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
16
(b) Adat dan Budaya Aceh bersifat dinamis, dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun perubahan suatu adat tidaklah sembarangan. (c) Adat dan Budaya Aceh mencerminkan hubungan yang erat antara Ulama dan Umara. (d) Identitas Adat dan Budaya Aceh yang Islami tercermin dalam berbagai julukan yang diberikan kepada daerah ini, yaitu Aceh Serambi Mekkah, Aceh Tanah Rencong, dan Aceh Daerah Modal. (e) Adat dan Budaya Aceh yang Islami perlu ditingkatkan pelaksanaannya untuk menunjang pembangunan nasional. Kunci keberadaan Adat terletak pada masyarakat, “Gadoh adat ngon meupakat”, sehingga dramatis digambarkan begitu sakralnya suatu komitmen dalam permusyawaratan, maka lahirlah ungkapan “Meunyo ka meupakat, lampoh jirat ta peugala” (Talsya, 1994). Selain adat yang berlandaskan pada agama, masyarakat Aceh juga memiliki nilai hidup yang dipenuhi semangat perjuangan yang mencontoh nilainilai perjuangan para Pahlawan Aceh yang terkenal gagah berani. Semangat perjuangan yang gigih, yang dimiliki oleh para Pahlawan Aceh, seperti bulatnya tekad dan semangat, kerelaan berkorban, kerja keras, disiplin, berani, taat beribadah, pantang menyerah, tekun, ulet, waspada dan mampu berpikir strategis, sungguh merupakan jiwa, semangat dan nilai luhur, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, dalam melanjutkan pembangunan yang penuh dengan ujian dan tantangan. Nilai-nilai tersebut senantiasa dikobarkan dan digelorakan di dalam dada generasi muda Aceh dan generasi muda Indonesia pada umumnya, untuk tujuan yang positif dan konstruktif, bagi kejayaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Talsya, 1994). Beranjak dari beberapa falsafah hidup (hadih maja) sebutan Aceh pungo tidak terbantahkan lagi. Pungo di sini berarti keras. Semisal, singet bek, ro bah meuruah. Hadih maja tersebut memberi kesan watak orang Aceh yang sangat keras. Begitu juga pada hadih maja yang lain, haroh ta udep, wajeb ta mate (kita
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
17
harus hidup, tapi wajib mati). Orang Aceh tidak takut walau ancaman mati sekali pun (Talsya, 1994) Seiring berjalannya waktu, budaya di Aceh pun mengalami akulturasi, sinkretisasi, dan asimilasi yang berjalan sangat panjang. Berbagai perubahan perubahan persepsi dan perilaku merupakan salah satu refleksi dari perubahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat Aceh. Perubahan itu, yang sekarang dialami dengan nama globalisasi berlangsung amat cepat yang menjangkau relung hati yang paling dalam. Proses ini bahkan membawa orang tercerabut dari akarakar budayanya. Mereka menjadi asing di negerinya sendiri. Jadi, kalau di mana saja pun orang menjadi resah, gelisah kehilangan tatanan pegangan hidup, ini merupakan pertanda bahwa pengaruh globalisasi sebagai konsekuensi dari pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mulai mengaduk-aduk sikap, pengalaman, persepsi, dan perilaku (Talsya, 1994). Salah satu aspek kehidupan yang paling peka terhadap proses globalisasi itu adalah rasa kepedulian, dan oleh karena itu amat mempengaruhi ungkapan solidaritas masyarakat. Di dalam tataran budaya keacehan, adat dan agama adalah wahana pengembangan solidaritas mekanikal secara kental mengikuti istilah Durkheim. Tanggung jawab masyarakat Aceh pada kemelaratan orang lain, misalnya, adalah spontan, tanpa pamrih (sekalipun reward tidak ditampik). Adat dan agama dengan demikian menjadi suatu pencerahan, suatu enlightenment, suatu institusi yang memihak manusia dan kemanusiaan. Ini menjadi dasar yang kuat mengapa orang menjadi manut pada adat dan agama (Talsya, 1994).
2.5
Peran Agama dalam Resiliensi Salah satu cara individu dalam mengatasi masalah yang traumatik adalah
melalui agama, ibadah, berdoa, dan berbagai bentuk spiritualitas lainnya. Diketahui
dari
hasil
penelitian
Gallup
(dalam
Meichenbaum,
2005)
mengindikasikan bahwa penduduk Amerika merupakan masyarakat yang memiliki
nilai
spiritualitas
yang tinggi.
Thoresen
dan
Plante
(dalam
Meichenbaum, 2005) melaporkan bahwa : “Sekitar 96% orang Amerika percaya pada Tuhan atau pada kekuatan yang lebih tinggi, 60% termasuk dalam grup lokal keagamaan, 60% berpikir bahwa Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
18
urusan agama merupakan hal yang penting bahkan sangat penting dan 40% mengikuti pelayanan keagamaan hampir setiap minggu bahkan lebih, dan 80% tertarik pada “bertumbuh secara kerohanian”. Bagaimanapun, tidak semua orang tersebut menganggap diri mereka religius. Kerohanian atau spiritualitas mengacu pada usaha untuk mencari makna, tujuan dan arah hidup dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi, penguasa semesta atau Tuhan. Agama mengacu pada sebuah bentuk institusi sosial yang disertai dengan kepercayaan, segala praktik keagamaan, simbolsimbol, dan ritual. Pentingnya spiritualitas dan agama dalam proses penyembuhan terhadap trauma menjadi sorotan oleh Cacioppo, dkk (dalam Meichenbaum, 2005) yang menyoroti bahwa sosialitas, spiritualitas dan makna pembentukan merupakan bentuk pokok dari keberadaan manusia. Mereka juga meringkas mengenai keterhubungan relasional dan keterhubungan kolektif dalam mengatasi perasaan terisolasi dan kesepian. Salah satu bentuk keterhubungan yang penting bagi seorang individu yang menjadi korban adalah pembentukan hubungan pribadi dengan Tuhan atau dengan kekuatan yang lebih tinggi. Bagaimanapun, seseorang tidak dapat memaksakan agama mereka pada korban. Bergin, Gartner, Meichenbaum ( dalam Meichenbaum, 2005) mengamati bahwa cara utama orang Amerika Utara mengatasi peristiwa traumatis adalah melalui iman dan doa. Sebagai contoh, setelah peristiwa serangan teroris pada 11 September 2001, 90% dari orang Amerika melaporkan bahwa mereka beralih ke doa, melakukan kegiatan keagamaan dan spiritual dengan penuh cinta sebagai usaha untuk coping. Penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 43% - 60% orang yang memiliki masalah emosional, beralih pada pendeta untuk mencari pertolongan. Spiritualitas terbukti berkorelasi positif dengan kesejahteraan fisik dan emosional (Meichenbaum, 2005). Gall dkk (dalam Meichenbaum, 2005) juga menyoroti bahwa cara coping melalui agama memiliki hubungan yang signifikan dengan berbagai faktor penyesuaian termasuk penurunan depresi, meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup, memperbesar dukungan sosial, optimisme, kesehatan diri yang membaik, menurunnya keluhan somatik, menurunnya penggunaan alhokol, mengurangi masalah interpersonal dan menurunnya angka Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
19
kematian. Kegiatan keagamaan tersebut dan keterhubungan dengan Tuhan memainkan peranan penting dalam proses coping, terutama jika Tuhan dianggap dapat memelihara dengan penuh cinta, menghibur, sebagai pelindung yang selalu ada setiap saat. Banyak orang beralih ke agama saat dihadapi pada kondisi yang ekstrim dan menekan seperti dalam menghadapi trauma atau penyakit yang parah. Gall, dkk (dalam Meichenbaum, 2005) mengamati bahwa jika kekuatan yang lebih tinggi tersebut dianggap bekerja pada kondisi yang menekan, kondisi tersebut dilihat sebagai kesempatan untuk belajar sesuatu yang lebih bermakna dalam artian kekuatan yang maha tinggi tersebut sedang mengajarkan sesuatu yang lebih penting. Kondisi tersebut dianggap sebagai “wake-up call” dalam hidup dan mengatur ulang prioritas dalam hidup. Namun, perlu dicatat, bagaimanapun dalam kondisi tertentu agama juga memiliki efek negatif, jika sistem kepercayaan mengganggu usaha pencarian kesehatan medis (health-seeking) atau jika agama memperkuat stereotip dan berkontribusi terhadap intoleransi. Gall, dkk (dalam Meichenbaum, 2005) juga melihat bahwa beberapa bentuk perjuangan rohani bisa meningkatkan level distres. Selain itu, terlibat dalam kegiatan kelompok keagamaan dapat mengurangi rasa terisolasi dan kesepian dan menumbuhkan rasa keterhubungan. Individu yang terhubung secara sosial memiliki cara yang lebih efektif dalam mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan mencari bantuan dari orang lain. Sebaliknya, individu yang merasa terisolasi secara sosial cenderung menafsirkan dunia mereka termasuk perilaku orang lain sebagai ancaman dan hukuman. Mereka cenderung melihat masalah sebagai ancaman, bukan sebagai tantangan dan mengatasi stres dengan cara yang pasif yaitu mengisolasi dan menarik diri dari kehidupan sosial (Cacioppo, dalam Meichenbaum, 2005). Terlibat dalam kegiatan keagamaan juga berguna dalam penanganan stress yang tidak dapat dikontrol secara pribadi dan tidak dapat mengatasi masalah secara langsung.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
20
2.6
Karakteristik Dewasa Awal
2.6.1
Definisi Dewasa Awal Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus
yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Masa dewasa (adulthood) biasanya dimulai dari usia 20-an hingga usia tua atau hingga meninggal (Ciccarelli & Meyer, 2006). Tentunya, untuk menentukan awal periode masa dewasa bukanlah perkara yang mudah, karena itu terdapat beberapa ahli yang memiliki pendapat berbeda. Namun, hal ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial tetapi sebagai langkah awal untuk mengkaji mengenai perkembangan manusia khususnya pada masa dewasa (Durkin, 2007). Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai 40 tahun. Sedangkan Papalia, Olds, dan Feldman (2001) mengungkapkan bahwa kelompok dewasa awal (young adulthood) berkisar antara usia 20-40 tahun dimana pada masa ini terjadi pelepasan peran sebagai remaja ke peran baru sebagai dewasa awal. Namun, di Indonesia, awal batas usia dewasa awal dimulai dari usia 25 tahun hingga 40 tahun karena menurut Sarwono (2006) batasan remaja untuk masyarakat Indonesia berakhir pada usia 24 tahun dan dinyatakan belum menikah. Oleh karena itu, peneliti mengambil batasan usia dewasa awal dengan rentang usia 25-40 tahun yang mewakili kelompok dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa muda (youth) adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan antara ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara sosial. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa remaja dan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mungkin yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap (Santrock, 2002). Pada masa ini terjadi perubahan fisik dan psikologis Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
21
pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif, merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orang tuanya, masa untuk bekerja, dan terlibat dalam hubungan masyarakat, serta menjalin hubungan dengan lawan jenis. Levinson (dalam Nevid & Rathus, 2005) menamakan usia yang berkisar 28 hingga 33 tahun sebagai usia transisi. Bagi pria maupun wanita, akhir 20-an dan awal 30-an merupakan karakteristik reassessment atau penilaian kembali terhadap pengalaman hidupnya di usia 20-an dan memberi penilaian kembali terhadap apa yang mereka hadapi. Selama usia 30-an, mereka sering menemukan bahwa gaya hidup yang mereka adopsi selama usia 20-an ternyata tidak selalu sesuai dengan yang mereka harapkan. 2.6.2
Perkembangan Dewasa Awal
1. Perkembangan Kognitif Kemampuan kognitif yang menonjol pada dewasa awal, menurut Piaget (dalam Miller, 1992) ditandai dengan masa operasi formal (formal operation), mereka telah mampu berpikir abstrak, menghubungkan konsep-konsep, membuat kesimpulan secara logis-sistematis. 2. Perkembangan Psikososial Seorang ahli psikoanalisis, Erikson (dalam Ciccarelli & Meyer, 2006) menyatakan bahwa krisis utama yang terjadi pada perkembangan dewasa awal adalah intimacy versus isolation, yaitu masa dimana tugas utama perkembangan mereka adalah menemukan mate atau pasangan. Mereka mencoba mengembangkan hubungan yang berarti dengan orang lain, membagi perasaan, pengalaman maupun gagasan-gagasan guna mencapai kehidupan yang intim, hangat dan menyenangkan. Sebaliknya, bila seseorang tidak mampu mewujudkan tujuan tersebut, menurut Erikson, maka ia akan menemui pengalaman isolasi yaitu suatu krisis yang ditandai dengan perasaan keterpisahan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Pada masa dewasa awal, perubahan–perubahan yang juga akan terjadi adalah mengenai cara berpikir orang dewasa awal yang mulai berbeda dengan remaja (Perry dalam Santrock, 2002). Individu yang berada pada tahap dewasa awal mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang dipegang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
22
oleh orang lain. Pada masa dewasa awal, individu akan mulai berubah dari mencari pengetahuan, menerapkan apa yang diketahui untuk mengejar karir dan membentuk keluarga. Berikut ada beberapa fase yang akan dilewati setiap individu ketika memasuki masa dewasa awal (Schaie, dalam Santock, 2002), yaitu: a. Fase Mencapai Prestasi Fase ini adalah fase dimana dewasa awal melibatkan penerapan intelektualitas pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan. Para individu yang mulai memasuki dewasa awal akan mampu menguasai kemampuan kognitif yang dimilki, sehingga memperoleh kebebasan yang cukup. b. Fase Tanggung Jawab Memasuki fase tanggung jawab, dimana fase ini terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan. Perluasan kemampuan kognitif yang sama diperlukan pada saat karir individu meningkat dan tanggung jawab kepada orang lain akan muncul dalam pekerjaan dan komunitas. c. Fase Eksekutif Fase ini terjadi ketika individu mulai memasuki masa dewasa tengah, dimana
seorang
individu
mulai
bertanggung
jawab
kepada
sistem
kemasyarakatan dan organisasi sosial. Pada fase ini, individu mulai membangun pemahaman tentang bagaimna organisasi sosial bekerja dan berbagai hubungan kompleks yang terlibat didalamnya. d. Fase Reintegratif Fase reintegratif adalah fase yang akan terjadi di akhir masa dewasa, dimana orang dewasa yang lebih tua memilih untuk memfokuskan tenaga mereka pada tugas dan kegiatan yang bermakna.
2.7
Bencana Alam Gempa dan Tsunami Aceh 2004 Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu
peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
23
manusia (Sugito, 2008). Ketidakberdayaan manusia dan kurang baiknya manajemen keadaan darurat, dapat menyebabkan kerugian materil maupun moril bahkan nyawa. Dilihat dari penyebabnya, bencana alam dibedakan menjadi bencana alam yang terjadi murni karena gejala alam atau bumi, yaitu gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami, dan karena ada campur tangan manusia atau ada akselerasi (percepatan) oleh manusia yaitu banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Salah satu bencana alam terbesar yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan adalah bencana gempa dan tsunami 2004. Peristiwa gempa bumi yang diikuti oleh tsunami mulai dikenal luas oleh masyarakat sejak kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Gempa ini memiliki kekuatan 8,9 skala Richter yang pusat gempanya di dasar laut, mengakibatkan tsunami. Dampak yang ditimbulkan bencana ini memakan korban lebih dari 100.000 jiwa dengan kerusakan bangunan maupun pertanian. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatera. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang menghantam pantai barat Aceh (Sugito, 2008). Selain meluluhlantakkan bangunan dan menelan ratusan ribu jiwa, dampak psikologis pasca bencana pun tak dapat dihindari. Banyak anak harus kehilangan keluarga, istri kehilangan suami dan ibu kehilangan anak. Hal ini menjadi pukulan terberat bagi para korban selain mereka melihat sendiri kejadian tersebut dan menjadi korban luka atau cedera atas bencana tersebut.
2.8
Dinamika Hubungan antara Resiliensi dan Nilai Budaya Aceh pada Dewasa Awal yang Mengalami Bencana Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
24
tahun
2004
tentang
Penanggulangan Bencana, pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1, bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
24
harta benda, dan dampak psikologis (dalam Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, 2010). Salah satu bencana alam besar yang terjadi di Indonesia adalah bencana gempa dan tsunami Aceh pada tahun 2004 yang menelan ratusan ribu korban jiwa. Bencana ini dapat menjadi faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan gaya hidup maladaptif pada masyarakat Aceh yang terkena bencana. Menghadapi bencana yang menjadi salah satu tantangan dalam hidup, membutuhkan berbagai dukungan salah satunya dukungan sosial atau dukungan komunitas yang termasuk didalamnya pengaruh budaya, dan dukungan personal (Neill, 2006).
Budaya dan komunitas dimana seseorang itu tinggal sangat
mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi (Talsya, 1994). Contoh budaya adalah nilai, ideologi, agama, dan etnik. Salah satu penelitian pada tahun 2007 mengenai resiliensi terhadap bencana gempa di Kabupaten Klaten juga menemukan bahwa keterikatan masyarakat dengan budaya memberikan sumbangan yang berarti terhadap resiliensi pada penyintas gempa di daerah tersebut. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kebudayaan mendorong masyarakatnya memiliki resiliensi yang tinggi. Kebudayaan ini tercermin dalam ajaran-ajaran seperti sikap hidup, nilai hidup, nilai spiritualitas bagi masyarakatnya (Lestari, 2007). Pada kebudayaan Aceh, ajaran dan nilai hidup masyarakat Aceh berasal dari ajaran agama Islam sehingga setiap perilaku dan kebiasaan yang terbentuk menjadi kebudayaan dalam masyarakat Aceh selalu berlandaskan agama Islam (Talsya, 1994). Nilai agama yang terinteralisasi dalam kehidupan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana adalah perasaan pasrah atau berserah diri kepada Tuhan dan menganggap kejadian yang menimpa mereka merupakan kehendak Allah, teguran dari Tuhan atau akibat alam yang marah karena perlakuan mereka yang buruk terhadap alam. Selain itu, juga terdapat nilai budaya yang terkait sikap masyarakat dalam menghadapi bencana seperti rasa kepedulian, gotong royong, dan watak keras masyarakat Aceh. Kemampuan resiliensi juga dipengaruhi oleh faktor usia. Danieli (1996) menyatakan bahwa individu dewasa cenderung berhasil mengatasi peristiwa yang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
25
menekan daripada kelompok individu yang lebih muda ataupun kelompok usia yang lebih tua. Ketika mendekati masalah, sebagai orang dewasa, mereka dapat berpikir logis dan melakukan adaptasi secara pragmatis terhadap kenyataan. Dengan kemampuan ini individu dewasa cenderung dinilai mampu untuk mengembangkan cara-cara yang efektif dalam mengatasi peristiwa yang menekan. Maka, dari penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai budaya yang terkait dengan kemampuan resiliensi masyarakat Aceh, khususnya pada masyarakat kelompok dewasa awal, yang sarat dengan kehidupan keagamaan Islam, menerima kehendak Tuhan, rasa kepedulian yang tinggi, semangat kebersamaan dalam gotong royong, dan watak keras masyarakat yang membantu mereka untuk menjadi individu yang resilien.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
26
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai metode yang akan digunakan dalam penelitian mulai dari masalah penelitian, tipe dan desain penelitian, penjelasan mengenai sampel penelitian, alat ukur, prosedur yang dilakukan dalam penelitian dan pengolahan data serta analisis yang digunakan.
3.1
Masalah Penelitian Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran resiliensi masyarakat Aceh dalam kelompok usia 25-40 tahun yang merupakan korban tsunami 2004? 2. Apa saja nilai budaya Aceh yang terkait dengan resiliensi masyarakat Aceh dalam kelompok umur 25-40 tahun yang merupakan korban tsunami 2004?
3.2
Tipe dan Desain Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan campuran yaitu pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui gambaran kemampuan resiliensi partisipan karena dalam pengujian variabelnya dilakukan dengan perhitungan total skor yang dihasilkan oleh partisipan (Gravetter & Forzano, 2006). Peneliti juga menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan gambaran dan informasi yang lebih kaya dan mendalam dari beberapa partisipan, karena menurut Hancock (1998) penelitian kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran fenomena sosial secara lebih natural, sehingga tidak ada manipulasi seperti yang terdapat dalam penelitian kuantitatif eksperimental. Penelitian kualitatif dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang menjadi fokus peneliti, yaitu nilai budaya yang terkait kemampuan resiliensi pada masyarakat Aceh dalam kelompok usia 25-40 tahun yang menjadi korban bencana gempa tsunami 2004.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
27
Menurut Kumar (2005) berdasarkan tujuan penelitiannya, penelitian ini tergolong ke dalam penelitian deskriptif karena mendeskripsikan secara sistematis mengenai resiliensi, termasuk nilai budaya terhadap resiliensi pada korban bencana tsunami Aceh 2004. Menurut Poerwandari (2011), penelitian ini merupakan penelitian etnografi, yaitu penelitian yang terkait dengan deskripsi tentang kelompok orang tertentu yang terkait dengan budayanya.
3.3
Partisipan Penelitian
3.3.1
Karakteristik Partisipan Penelitian Populasi penelitian ini adalah masyarakat Aceh yang menjadi korban
bencana tsunami Aceh 2004 dengan rentang usia 25-40 tahun. Tidak seluruh populasi disertakan seluruhnya dalam penelitian tetapi hanya sampel dari populasi yang diambil. Karakteristik partisipan yang akan digunakan dalam sampel penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat Aceh yang menjadi korban bencana tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004. 2. Merupakan individu yang berada pada rentang usia 25 hingga 40 tahun. 3. Merupakan korban langsung atau tidak langsung bencana tsunami Aceh tahun 2004, antara lain menjadi korban luka-luka, kerusakan material, kehilangan anggota keluarga, atau turut menyaksikan secara langsung sapuan tsunami. 3.3.2
Jumlah Sampel Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk data kuantitatif dalam penelitian ini
berjumlah 25 orang masyarakat Aceh yang menjadi korban bencana tsunami tahun 2004 yang berusia 25-40 tahun. Selain itu juga diambil 3 orang partisipan dengan rentang usia 25-40 tahun yang akan diwawancarai secara lebih mendalam guna menggali informasi terkait nilai budaya dalam kemampuan resiliensi mereka. 3.3.3
Teknik Pengambilan Sampel Pemilihan partisipan dilakukan dengan menggunakan teknik non-
probability sampling dimana tidak semua individu dalam populasi memiliki Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
28
kesempatan yang sama menjadi sampel penelitian (Kerlinger & Lee, 2000). Jenis non-probability sampling yang akan digunakan adalah accidental sampling yaitu pemilihan sampel yang dilakukan atas ketersediaan dalam mengakses sampel dari populasi dan kerelaan partisipan untuk mengikut penelitian.
3.4
Instrumen Penelitian Instrumen yang akan digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah skala sikap dan pedoman wawancara. 3.4.1
Skala sikap Skala sikap yang digunakan adalah CD-RISC 10 (Connor Davidson-
Resilience Scale) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia milik Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang dikonstruk oleh ConnorDavidson dan disesuaikan menjadi 10 item oleh Campbell-Sills (2007). Alat ukur ini dipilih dengan pertimbangan bahwa CD-RISC 10 item sudah sering digunakan oleh Puskris untuk mengidentifikasi resiliensi dalam konteks bencana. Tabel 3.4.1 Contoh pertanyaan dalam skala sikap 1 Saya mampu beradaptasi 1
terhadap perubahan yang terjadi
Tidak pernah sama sekali
3.4.2
2 Hampir
3
4
5
Sesekali
Sering
Hampir
Tidak
Selalu
Pernah
Wawancara Wawancara digunakan agar tergali informasi yang lebih mendalam
mengenai nilai budaya Aceh yang terkait kemampuan resiliensi masyarakat Aceh yang menjadi korban bencana tsunami 2004. Pedoman wawancara disusun berdasarkan karakteristik resiliensi yang dikemukakan oleh Wagnild (2010). Terdapat 5 karakteristik yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self reliance, dan existential aloneness. Selain itu dibuat juga pertanyaan-pertanyaan terkait nilai budaya dalam menghadapi bencana yang dihubungkan dengan bencana tsunami Aceh 2004.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
29
Kisi-kisi pedoman wawancara yang digunakan adalah sebagai berikut: KOMPONEN
PERTANYAAN Kerugian akibat bencana Perasaan ketika tau akan ada bencana Persiapan yang dilakukan
Pengalaman menghadapi bencana Kronologis yang dialami saat bencana terjadi gempa dan tsunami Aceh 2004 Mengapa mengungsi atau tidak mengungsi Apa yang dilakukan ketika berhadapan dengan kesulitan Apa yang dimaknai ketika hal buruk terjadi? Sebutkan hal buruknya dan cara coping-nya. Hal yang paling penting Usaha untuk mencapai tujuan itu Meaningfulness
Rencana atau langkah yang dilakukan Motto atau semboyan hidup Kesulitan yang dialami dalam mencapai tujuan Kesulitan terkait tempat tinggal Yang dilakukan untuk atasi kesulitan
Preseverance
Kemudahan yang dialami dalam mencapai tujuan Reaksi ketika melihat orang gagal Reaksi ketika melihat orang sukses
Gambaran Resiliensi
Perasaan ketika bencana Berapa lama sembuh dari perasaan itu Equanimity
Menjalani hidup setelah bencana Yakin keinginan bisa tercapai? Bagaimana penilaian orang lain terhadap Anda
Self-reliance
Apakah Anda setuju? Berani mengungkapkan pendapat berbeda? Nyaman dengan diri sendiri?
Existensial aloneness
Ingin pindah dari desa krinjing? Warga sekitar ingin pindah dari desa krinjing?
BUDAYA dan BENCANA
Alasan mengungsi Perubahan yang dirasakan pasca bencana Bagaimana mengatasi perubahan itu Peran organisasi keagamaan dalam lingkungan Gambaran dan filsafat hidup orang Aceh Filsafat keluarga, yang diturunkan oleh keluarga
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
30
Peneliti
menggunakan
alat
perekam
digital
selama
melakukan
pengumpulan data wawancara, yang dilakukan dengan seizin partisipan wawancara. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga akurasi data, karena keterbatasan ingatan peneliti . 3.5
Prosedur Penelitian Tahapan Penelitian yang dilakukan, terdiri dari :
3.5.1
Tahap I: Persiapan
1. Mempersiapkan
alat
ukur
bersama
anggota
payung
dan
dosen
pembimbing. 2. Tim peneliti dalam payung bersama dengan dosen pembimbing memutuskan untuk menggunakan CD-RISC 10 sebagai alat ukur dalam pengambilan data. 3. Setelah itu, disusun pedoman wawancara umum sesuai dengan karakteristik yang diajukan Wagnild dan Young. Pedoman wawancara tersebut berupa pertanyaan-pertanyaan dasar yang urutannya dapat diubah dan nantinya masih dapat dikembangkan sesuai dengan jawaban partisipan. 4.
Peneliti juga mempersiapkan alat bantu untuk mengambil data, seperti alat perekam digital, baterai, dan reward untuk partisipan.
5. Kemudian, bersama dengan dosen pembimbing, peneliti mempersiapkan lokasi pengambilan data ke Aceh. Lokasi penelitian yang dituju adalah Banda Aceh, karena di daerah ini akan lebih mudah menemukan partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan. Selain itu, tim peneliti sudah memiliki hubungan baik dengan LSM Yayasan Pulih di daerah tersebut, sehingga mudah untuk mendatangi dan meminta izin untuk mengambil data kepada partisipan. 3.5.2
Tahap II : Pelaksanaan Penelitian Penelitian akan dilakukan dari tanggal 3 Mei 2012 hingga 9 Mei 2012.
1. Peneliti menghubungi pihak Yayasan Pulih Aceh yang bersedia bekerja sama membantu peneliti dalam proses pengambilan data. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
31
2. Pihak Yayasan Pulih Aceh menyediakan beberapa orang staf yang akan turut membantu peneliti untuk menyebarkan skala sikap dengan pertimbangan staf mereka lebih mengetahui daerah yang akan menjadi tujuan pengambilan data. 3. Kemudian akan melakukan penyebaran skala sikap pada beberapa tempat yang terkena tsunami. 4. Wawancara mendalam pada beberapa orang partisipan yang bersedia. 3.5.3
Tahap III: Pengolahan dan Analisis Data
1. Data kuantitatif yang diperoleh dari skala sikap diolah dengan menggunakan deskriptif statistik. Deskripsi statistik akan menggambarkan mean, median, modus, frekuensi, nilai minimum, nilai maksimum, dan standard deviasi. Data mentah akan diolah dengan menggunakan SPSS. Hasil deskripsi statistik berupa tabel angka-angka. Norma yang peneliti gunakan untuk mengategorikan kelompok partisipan dengan resiliensi rendah, sedang, dan tinggi didasarkan pada z-score atau standard deviasi di mana kelompok dengan nilai di bawah -1 SD adalah kelompok dengan resiliensi rendah, nilai di antara -1 SD dan +1 SD adalah kelompok resiliensi sedang, dan nilai yang berada di atas +1 SD adalah kelompok dengan resiliensi tinggi. 2. Untuk pengolahan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara, peneliti melakukan beberapa hal, yaitu dimulai dengan membuat transkrip verbatim wawancara. Kemudian, mengidentifikasi tema-tema yang muncul. Peneliti mengolah verbatim hasil wawancara untuk dapat melakukan pemilihan data
yang relevan dengan topik penelitian.
Kemudian peneliti mencoba menemukan tema-tema dan fakta-fakta yang muncul dari hasil wawancara. Lalu melakukan kategorisasi dan setelah itu peneliti melakukan interpretasi dengan mengaitkan kasus tiap partisipan dengan teori dan konsep yang berkaitan dengan penelitian (analisis antarkasus).
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
32
BAB 4 HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN INTERPRETASI HASIL
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pelaksanaan penelitian, gambaran umum partisipan penelitian, hasil penelitian, analisis, dan interpretasi hasil penelitian. Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel dan deskripsi data.
4.1
Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara menyebarkan skala sikap
yang dilakukan dari tanggal 4 Mei 2012 hingga 7 Mei 2012 di Banda Aceh. Peneliti bersama satu orang staf LSM Yayasan Pulih Aceh mendatangi permukiman warga yang terkena tsunami Aceh 2004. Rata-rata daerah yang didatangi adalah daerah yang terkena dampak tsunami sangat parah. Dari permukiman tersebut, peneliti mendatangi masing-masing rumah untuk mencari partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan. Setelah ditemukan partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan, peneliti membangun rapport dengan terlebih dahulu memita kesediaan waktu partisipan untuk berbincang-bincang terkait bencana tsunami yang pernah terjadi pada mereka dan kemudian meminta kesediaan partisipan untuk mengisi skala sikap. Kemudian partisipan diminta untuk mengisi data kontrol dan selanjutnya mengisi skala sikap pengukuran resiliensi yang telah disediakan. Apabila di dalam satu tempat atau rumah diperoleh beberapa orang partisipan, maka pengisian skala sikap dilakukan terpisah pada setiap partisipan untuk menghindari partisipan yang meniru atau melihat isi skala sikap partisipan lainnya. Pengisian skala sikap didampingi peneliti dengan tujuan dapat memberikan penjelasan jika ada bagian pertanyaan dalam skala sikap yang tidak dimengerti oleh partisipan. Masing-masing skala sikap memakan waktu sekitar 25 hingga 45 menit dalam pengerjaannya. Selama proses pengisian skala sikap, didapatkan hambatan pada beberapa partisipan yaitu penggunaan bahasa dalam skala sikap yang sulit dimengerti partisipan. Oleh karena itu, pendampingan yang dilakukan selama partisipan mengisi skala sikap sangat membantu menjelaskan pertanyaan yang sulit dimengerti. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
33
Dari keseluruhan skala sikap yang telah disebar, ternyata didapatkan data yang lebih banyak dari target semula. Keseluruhan data berjumlah 27 skala sikap yang telah diisi lengkap oleh partisipan yang berusia 25-40 tahun. Dari 27 partisipan ini, seluruhnya layak untuk digunakan sebagai data penelitian. Untuk pengambilan data kualitatif, dilakukan wawancara kepada tiga orang partisipan yang telah menyatakan kesediaannya untuk diwawancara. Pada masing-masing partisipan dilakukan satu kali wawancara, yang memakan waktu sekitar 55-103 menit.
4.2
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur CD RISC 10 Pengujian reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan teknik
Internal Consistency Coefficients dengan melihat koefisien alpha. Reliabilitas yang didapat dinilai dari besaran koefisien alpha. Dari hasil perhitungan, CDRISC 10 memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0.874. Menurut Anastasi dan Urbina (1997), sebuah alat tes digolongkan memiliki reliabilitas yang baik jika memiliki nilai koefisiensi sebesar 0.7–0.8 untuk penelitian. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa alat ukur ini memiliki inter-item consistency yang tinggi. Artinya, sebanyak 87.4% dari varians obtained score merupakan varians dari true score, sementara 12.6% varians merupakan eror yang berasal dari content heterogenity dan content sampling. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan teknik internal consistency. Pada dasarnya, internal consistency mengukur derajat homogenitas suatu tes dan relevansinya dengan validitas konstruk. Dari sini juga akan dilihat korelasi skor pada setiap item dengan skor total (item-total correlation) CD-RISC 10. Menurut Cronbach (1990), batasan minimal item-total correlation dari sebesar 0.2, artinya, skor yang lebih besar dari 0.2 dinyatakan valid. Berdasarkan analisis nilai indeks item total crelation, diketahui bahwa seluruh item (10 item) dalam CD-RISC 10 memiliki nilai rit lebih dari 0,2 yang berarti item-item tersebut homogen dan memiliki relevansi dengan validitas konstruk.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
34
4.3
Gambaran Umum Partisipan Penelitian Partisipan penelitian adalah korban bencana tsunami Aceh yang berusia 25
tahun hingga 40 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah dilakukan penyebaran skala sikap, didapatkan 27 skala sikap yang diisi lengkap dan layak digunakan sebagai data penelitian. Gambaran umum partisipan penelitian dapat dilihat pada bagian berikut ini:
Tabel 4.3 Gambaran Umum Partisipan Penelitian Data Partisipan
Frekuensi
Persentase
Laki-laki
8
29,6%
Perempuan
19
70,4%
25-28 tahun
7
25,9%
29-32 tahun
7
25,9%
33-36 tahun
4
14,9%
37-40 tahun
9
33,3%
Menikah
15
55,6%
Belum Menikah
10
37%
Pernah Menikah
2
7,4%
Tidak tamat SD/sederajat
1
3,7%
SD/sederajat
2
7,4%
SMP/sederajat
2
7,4%
SMA/sederajat
13
48,1%
Sarjana
9
33,3%
Rumah sendiri
22
81,5%
Rumah saudara
2
7,4%
Lainnya
3
11,1%
11-20
5
18,5%
21-30
14
51,8%
31-40
8
29,6%
Islam
27
100%
Jenis Kelamin
Usia
Status Pernikahan
Pendidikan Terakhir
Tempat Tinggal
Lama Tinggal di Aceh
Agama
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
35
4.4
Gambaran Umum Hasil Penelitian Berikut ini akan dijabarkan mengenai hasil penelitian yang meliputi
gambaran resiliensi partisipan yang berusia 25-40 tahun yang berjumlah 27 partisipan. Skor resiliensi didapatkan dengan menghitung jumlah skor dari skala sikap yang diisi partisipan. Nilai minimum yang dimungkinkan adalah 10, dan nilai maksimumnya adalah 50. Nilai minimum, nilai maksimum, rata-rata, dan standar deviasi didapatkan dengan teknik perhitungan deskriptif.
Tabel 4.4.1 Gambaran Resiliensi pada Partisipan Usia 25-40 Tahun n
Mean
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
SD
27
40.11
19
49
6.247
Hasil yang didapat berupa nilai mean resiliensi partisipan sebesar 40.11 (SD = 6.247) dengan nilai minimum sebesar 19 dan nilai maksimum sebesar 49. Selain itu, diberikan gambaran resiliensi partisipan berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.4.2 Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 25-40 Tahun Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
n
Persentase
Mean
Laki-laki
8
29,6%
34.88
Perempuan
19
70,3%
42.32
Signifikansi
0.003
Signifikan pada L.o.S .05
Berdasarkan tabel di atas terdapat perbedaan mean yang signifikan (p=0.003). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mean skor yang signifikan antara kelompok partisipan laki-laki dan perempuan terhadap resiliensi. Partisipan perempuan memiliki nilai mean yang lebih tinggi (M= 42.32) dibandingkan partisipan laki-laki. Berdasarkan penyebaran skor resiliensi kelompok, maka peneliti membuat norma kelompok untuk menentukan partisipan yang masuk pada kategori resiliensi rendah, sedang dan tinggi dalam kelompoknya. Perhitungan dilakukan berdasarkan pada skor rata-rata dari sampel penelitian. Peneliti membuat norma Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
36
berdasarkan z-score. Partisipan dikategorikan menjadi tiga kategori dengan rumus (Azwar, 2006): a. Tinggi = Mean + 1 (SD) ≤ x b. Sedang = Mean – 1 (SD) ≤ x < Mean + 1 (SD) c. Rendah = x < Mean – 1 (SD)
Tabel 4.4.3 Kategori Skor Total Resiliensi Masyarakat Aceh Interpretasi
Skor
Tinggi
47-50
Sedang
30-46
Rendah
10-29
Berdasarkan kategori resiliensi masyarakat Aceh di atas, maka didapatkan gambaran resiliensi partisipan sebagai berikut:
Tabel 4.4.4 Gambaran Resiliensi Partisipan Berdasarkan Kategori Skor Total Resiliensi Masyarakat Aceh
Skor
Frekuensi
Persentase
Tinggi
47 – 50
4
14,8%
Sedang
30 – 46
21
77,8%
Rendah
10 – 29
2
7,4%
Berdasarkan gambaran resiliensi partisipan di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan dewasa awal (77,8%) memiliki resiliensi tergolong sedang, kemudian terdapat beberapa partisipan memiliki resiliensi tergolong rendah (7,4%), dan resiliensi tergolong tinggi (14,8%).
4.5
Gambaran Umum yang Diperoleh melalui Wawancara
4.5.1
Temuan Analisis Intrapartisipan Berikut ini akan dibahas analisis secara kualitatif dari gambaran resiliensi
dan nilai budaya masing-masing partisipan yang didapatkan dari hasil wawancara.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
37
Pedoman wawancara terdapat pada lampiran ketiga. Partisipan wawancara berjumlah tiga orang yaitu satu orang perempuan dan dua orang laki-laki.
Tabel 4.5.1 Gambaran Partisipan Wawancara Partisipan 1 D
Partisipan 2 S
Partisipan 3 M
Jenis Kelamin
P
L
L
Usia
37
27
30
Menikah / 5 anak
Belum Menikah
Menikah / 2 anak
Sarjana
SMA
SMA
Pekerjaan Sebelum Bencana
Guru
Mahasiswa
Social Worker
Pekerjaan Setelah Bencana
Guru (bidang seni) Wiraswasta
Social Worker Pekerja seni Wiraswasta
Social Worker Pekerja seni
Rumah Sendiri
Rumah Sendiri
Rumah Sendiri
37 tahun
27 tahun
13 tahun
3
1
4
Islam
Islam
Islam
49
29
39
Gambaran Partisipan
Status Pendidikan
Tempat Tinggal Lama tinggal Anggota Keluarga yang Tinggal Bersama Agama Nilai Resiliensi
4.5.1.1 Partisipan I: D (Perempuan, Usia 37 tahun) Wawancara pada partisipan D dilakukan pada hari Minggu tanggal 6 Mei 2012 di salah satu ruang kantor Yayasan Pulih Aceh. Wawancara dimulai dari pukul 13.10 WIB hingga 14.52 WIB dengan jumlah durasi wawancara 1 jam 42 menit 02 detik. Partisipan merupakan seorang pekerja seni yang aktif dalam seni teater, baik sebagai lakon dan juga sebagai guru. Selain itu, partisipan juga aktif dalam salah satu multilevel marketing yang memasarkan obat-obatan tradisional. Ia tinggal di sebuah daerah, Gampong Lampuloh, yang terkena tsunami dengan Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
38
kondisi sangat parah, hampir seluruh bangunan dan lahan rusak berat hingga rata oleh tanah saat bencana terjadi. Gambaran Kondisi Partisipan Bencana terjadi saat partisipan berusia 29 tahun. Saat terjadi bencana, partisipan sedang tidak berada di rumah tetapi menginap di gedung kebudayaan karena baru saja menyelesaikan pentas teater, sedangkan di rumah hanya tinggal nenek seorang. Setelah terjadinya gempa dan mendengar adanya air naik, partisipan langsung teringat pada nenek dan bersiap pulang ke rumah, namun saat di pertengahan jalan gelombang tsunami telah sampai di kota sehingga ia tidak bisa melanjutkan perjalanan. Ia bersama teman-teman berusaha menyelamatkan diri dari kejaran gelombang tsunami. Setelah berhasil mencapai tempat aman, ia bersama teman-teman mendirikan posko darurat untuk menyelamatkan korban. Beberapa saat pasca bencana, ia mencari keberadaan nenek di poskoposko darurat lainnya, namun dari informasi yang ia dapat, nenek telah terbawa gelombang tsunami dan tidak berhasil diselamatkan. Awalnya partisipan cukup terpukul karena nenek adalah sosok paling dekat dengannya, namun kemudian dia hanya bisa pasrah, menerima, dan mengikhlaskan, dan kemudian bertekad membantu korban-korban yang masih bisa diselamatkan. Partisipan tinggal bersama nenek semenjak umur 6 bulan sehingga nenek merupakan sosok yang sangat berpengaruh bagi hidup partisipan. “nenek yang pastinya ya bagi saya ibu juga nenek juga teman juga guru juga semuanya lah ya” (hal: 6, baris: 2) Setelah kehilangan nenek dan beberapa keluarga lainnya, partisipan tinggal di barak-barak bantuan dan aktif bekerja di NGO (Non Govermental Organization) yang datang memberi bantuan. Selain itu, partisipan masih tetap aktif dalam bidang seni dan melalui seni juga ia menjadi perantara NGO dengan masyarakat Aceh. Bantuan demi bantuan datang, bahkan bantuan personal untuk partisipan sendiri banyak berdatangan dari teman-teman Jakarta seperti Rendra dan Ratna Sarumpaet. Namun partisipan memilih tetap tinggal di Aceh untuk membantu masyarakat kampungnya sendiri. Walau kehilangan nenek sangat berat Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
39
bagi partisipan, tetapi ia pasrah menerima dan memaknai hal tersebut menjadi lebih positif. Ia mendapatkan banyak cinta dari orang-orang yang peduli padanya dan pada almarhum neneknya. “Saya pikir ini rahmat Allah ya ketika Allah ngambil nenek saya semua adalah cinta nenek yang menjelma lewat orang-orang” (hal: 8, baris: 15) Sebelum kejadian bencana, nenek pernah berucap seakan hal tersebut seperti firasat bahwa umur nenek tidak akan lama lagi. Almarhum pernah meminta beberapa hal seperti mempersiapkan untuk kematian. Walau permintaan nenek tidak dapat terpenuhi oleh partisipan, ia tetap ikhlas karena berpandangan bahwa semua ini adalah kehendak Tuhan dan rencana Tuhan lebih baik. “ada kain dia ihram dulu, dia minta kalo dia meninggal nanti dia dibungkus pake kain ihram putih itu, itu satu, kemudian dalam dompet kecil dia ada siapin uang dompet emas itu dia siapin uang, kalopun dia meninggal nanti kamu jangan mengganggu orang, ini uang untuk pemakaman nenek seperti itu, kemudian nenek makamkan di makam keluarga gitu kan, pikiran saya nenek sudah nyiapin kafan, kemudian saya berfikir ngak ah ini cuma rencana manusia, rencana Allah jauh lebih besar daripada itu, toh kain kafan yang nenek siapkan itu digantikan Allah dengan plastik hitam, tapi sama kok nilainya, bukan hanya secarik kertas atau uang-uang itupun tanpa biaya pemakaman nenek saya dimakam secara massal, saya ikhlas saja semuanya, tidak harus nenek saya merasa spesial bagi saya, saya harus spesialkan dia, ngak, saya rela aja, bahwa ini ketika Allah ujikan secara massal saya siap, dengan kondisi apapun saya harus siap, yang lebih fokus saya mereka yang selamat ini bagaimana cara saya harus bisa selamatkan” (hal: 10, baris: 8) Gambaran Resiliensi Partisipan • Meaningfulness Bagi partisipan, hal yang paling penting dalam hidup adalah kualitas hidup itu sendiri, bisa memaknai setiap hal, mengambil hikmah dan belajar mensyukuri
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
40
setiap kejadian dalam hidup. Setiap kejadian dalam hidup merupakan batu loncatan untuk menjadi lebih baik lagi. “Ternyata yang paling penting adalah kualitas kehidupan itu sendiri ya” (hal: 13, baris: 9) Kualitas hidup tersebut dimaknainya dengan penuh cinta, menikmati cinta, berbagi cinta dengan orang lain, sehingga dapat saling mengisi kekosongan diri. “kita bisa merasakan cinta, cinta satu sama lain arti kehadiran satu sama lain, pemaknaan itu, ini rahmat yang paling gila loh setelah keluarga kita diambil digantikan Allah dengan caranya sendiri kita bisa saling berbagi saling belajar saling isi, itu kepuasan yang gila saya pikir, seperti itu, dan kehidupan seperti itu yang disyukuri ya” (hal: 13, baris: 14) Partisipan terus berbicara mengenai cinta yang membuatnya menjadi lebih hidup, dan dapat melihat hidup lebih indah. “ketika saya melihat kualitas hidup kita sudah dapat, semua itu bukan hal lagi yang membuat kita akan meraung-raung bahkan untuk kita mengibaiba, itu adalah kekuatan baru, mungkin ini kurangnya dari sisi bukan single bukan apa, tapi dengan cinta kita bisa melihat kelebihan-kelebihan lain yang malah menutupi kekurangan kita yang saling isi, ini kok cantik sekali hidup gitu yaa, hidup menjadi cantik, hidup menjadi indah, hidup menjadi semuanya menjadi indah” (hal: 13, baris: 21) Melalui bencana tersebut, partisipan dapat mengambil hikmah dan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk kemajuan hidup. “ternyata karena adanya itu kita bisa lompat lebih tinggi, jadi semuanya menjadi tamparan untuk kemajuan kita” (hal: 13, baris: 28) Ketika ditanyai mengenai tujuan hidup, partisipan mengatakan bahwa ia ingin menjadi orang yang berguna untuk banyak orang, bermanfaat, memberi motivasi dan dukungan pada orang-orang. “Tujuan hidup lebih kepada bagaimana saya bisa menjadikan diri saya lebih berarti dan bermanfaat untuk semua orang disekitar saya, khususnya Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
41
orang-orang yang saya cintai, lebih terlebih dalam lagi kepada siapa saja yang bisa saya bagikan terlepas itu semua positif untuk menghidupkan mereka, karena setiap mereka hidup saya akan hidup, kehidupan mereka adalah kehidupan saya, jadi sebanyak mungkin saya harus bisa menghidupkan orang-orang” (hal: 14, baris: 3) Langkah-langkah yang partisipan jalani dalam proses pencapaian tujuan yaitu melalui kegiatan seni, bekerja dalam NGO, dan saat ini aktif dalam multimarketing yang menjual obat-obatan tradisional untuk berbagai penyakit. Melalui multimarketing ini, partisipan bisa membantu orang-orang sembuh dari penyakit mereka dan memberi motivasi pada pasien-pasien bahwa yang menyembuhkan bukan semata-mata karena obat tapi karena adanya keyakinan sembuh dalam diri, menanamkan pemikiran untuk membalikkan pemikiran negatif menjadi pemikiran yang positif. “saya bantu mereka, sekuat mereka berpikirnya, bahwa penyakit itu sebenarnya hanya 25% dari obat-obatan yang mereka pakai, tapi 75% adalah mental mereka untuk sembuh, jiwa mereka untuk sembuh, tenyata pendekatan yang seperti itu hampir rata-rata membuat mereka sembuh, saya percaya itu, karena kalo dia hanya mengharap dari kita kesembuhan itu tidak akan maksimal, tapi ketika bangun semangat itu dari diri mereka, semangat mereka untuk sembuh” (hal: 14, baris: 35) Selain itu, langkah lain yang dijalani partisipan untuk mencapai tujuan ini yaitu dengan memperbanyak belajar dan berpikiran bahwa di atas langit masih ada langit sehingga harus tetap berusaha terus dan belajar terus. “jadi ya kemampuan melihat itu berjenjang ya, hari ini mungkin kita bisa mampu membaca yang tersurat, besok kita mampu membaca yang tersirat, besok saya mampu membaca yang tersuruk, mungkin seperti itu, jadi mengajak untuk lebih sering membaca, apapun yang saya cintai, siapapun, dimana pun” (hal: 15, baris: 18) Dari kutipan di atas terlihat bahwa partisipan adalah orang yang pantang menyerah dan gigih untuk belajar dan mengejar tujuan dalam hidupnya. Kemudian, segala sesuatu yang ia kerjakan tampak sangat dinikmati dan selalu dipenuhi rasa cinta sehingga ia bisa melihat setiap makna dalam kehidupannya. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
42
Partisipan memiliki banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang selalu ia pakai dalam menjalani hidup setiap harinya. Berbagai semboyan dan filosofi hidup diajarkan oleh almarhum nenek yang menjadi pegangannya dalam hidup. Salah satu filosofi yang diajarkan oleh almarhum adalah “tajak ubelat tapak” yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu dikerjakan sesuai dengan kemampuan sehingga tidak perlu berlebihan. Walau pada masa kecil partisipan tidak begitu mengerti dengan filosofi ini namun semakin dewasa hingga sekarang partisipan menjadi paham makna sebenarnya dan merasa sangat bersyukur pernah dan ditanamkan filosofi seperti itu dalam hidupnya. “filosofi tajak ubelat tapak, kamu berjalan semua kaki kamu, kamu duduk semua pantat kamu, kamu pakai semana kemampuan kamu, ya artinya sesuatu itu tak perlu berlebih-lebihan, paskan dengan kemampuan kamu aja artinya ngak usah besar pasak daripada tiang lah, yang kamu lakukan itu apa yang kamu mampu saja” (hal: 7, baris: 3) Selain filosofi di atas, partisipan juga memiliki motto hidup lain yaitu melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya, mengerjakan segala hal yang memang bisa dilakukan pada saat itu juga, memanfaatkan waktu yang ada dan membuatnya menjadi pengalaman yang indah dalam hidup. “ya ngak usah terlalu berpikir jauh kedepan lah, hari ini aja. Jadi hari ini saja, hari ini apa yang bisa dilakukan, hari ini mulai dari pagi sampai malam kita tidur, buatlah hari hari itu indah” (hal: 15, baris: 33) • Perseverance Tidak jarang juga partisipan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam mencapai tujuan tersebut seperti sulitnya ia untuk berbicara terang-terangan, jujur, sehingga ia butuh ruang untuk bebas mengekspresikan diri. Ruang itu bisa ia dapat salah satunya melalui seni dengan menciptakan berbagai sajak dan puisi yang menggambarkan pendapatnya, menggambarkan perasaan-perasaannya dengan lebih terbuka. “menyampaikan sesuatu jadi takut karena malah banyak sekali yang memperburuk kondisi.” (hal: 16, baris: 13)
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
43
“saya harus punya ruang untuk mengungkapkan itu pada saat itu, karena bagaimanapun saya harus punya ruang dan senilah ruang yang saya punya itu, saya menulis, membuat puisi-puisi atau apa” (hal: 16, baris: 15) Selain itu, kesulitan lain juga dirasakan partisipan terkait dengan konflik yang pernah terjadi di Aceh menimbulkan traumatik pada diri partisipan seperti mudah kaget, mudah lupa, takut mendengar orang yang berbicara “merepet” (berbicara keras seperti marah), sehingga hal ini menimbulkan ingatan kembali pada masa-masa konflik dahulu. Mengatasi hal ini, ia dibantu oleh banyak orang seperti teman kantor, teman dekat, dan teman-teman dari yayasan sehingga ia bisa lebih terbuka dan berani menyampaikan perasaannya tanpa ada perasaan tertekan. Dalam mencapai tujuan hidup, tidak semua orang bisa mencapai keberhasilan seketika, kegagalan pun hampir pernah dirasakan oleh semua orang. Partisipan melihat kegagalan yang dialami orang lain merupakan hal yang biasa karena mungkin saja orang itu hanya belum menemukan rumus yang tepat untuk permasalahannya. Partisipan membantu orang tersebut dengan menenangkannya, memberi dukungan hingga ia sendiri bisa menemukan solusi hidup. “Jadi kalo orang kita jumpai memang sedang mengalami hambatan, dia perlu ditenangkan aja, dia perlu dibangun aja, jadi diri sendiri aja, dia akan selesaikan sendiri sebenarnya, hambatan itu hanya karena belum ketemu solusi aja, cara melihat, mungkin cara dia melihat masalah masih sempit. Tapi ketika diajak lebih luas dia akan lebih bisa pahami seperti itu” (hal: 18, baris: 6) Melihat kesuksesan orang lain, partisipan merasa senang, bangga dan berkeinginan menjadi sukses juga sehingga ia tidak takut bermimpi tinggi dan selalu berusaha keras. • Equanimity Partisipan merupakan orang yang berpikiran positif, dapat mengambil makna dalam setiap kejadian hidup dan pantang menyerah untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dia dapat melihat suatu masalah dan kekurangan sebagai tantangan untuk menjadi lebih maju dan lebih baik. Waktu yang dijalani partisipan untuk bangkit dari keterpurukan juga tidak lama karena ia memiliki Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
44
semangat yang menggebu-gebu, mendapat perhatian dan bantuan dari banyak orang, dan partisipan mampu menerima segala sesuatu dengan lapang dada. “saya memanfaatkan kekurangan itu untuk sesuatu yang positif” (hal: 19, baris: 20) “sekarang ternyata karena adanya itu kita bisa lompat lebih tinggi, jadi semuanya menjadi tamparan untuk kemajuan kita” (hal: 13, baris: 22) Partisipan selalu menekankan pikiran positif harus ditanamkan dalam diri setiap orang agar dapat berpandangan yang luas dalam menghadapi segala persoalan hidup dan dapat hidup dengan tenang dan nyaman. “tapi mempositifkan thinking, bagaimana positive thinking itu bisa dimunculkan dalam setiap orang, orang bisa belajar dari kesalahan, orang bisa melihat kekurangan diri sendiri, sebagai suatu hal untuk belajar lagi belajar lagi, ini zikir kita untuk mempositifkan aura alam agar kita bisa hidup dengan tenang dan nyaman” (hal: 30, baris: 23) • Self Reliance Partisipan mampu menilai diri sendiri, kelebihan, kekurangan diri dan terbuka terhadap penilaian orang lain. Tidak semua orang pro atau setuju dengan pendapat yang ia berikan, bahkan sebagian besar orang kontra terhadap partisipan namun partisipan melihat penilaian orang-orang sebagai pembelajaran baginya untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. “saya rasa memang mereka adalah indikator-indikator saya, seandainya pro semua itu ngak jadi, saya butuh kontra, kontra itulah indikator yang membuat saya melompat lebih tinggi” (hal: 19, baris: 30) Dalam menyikapi tanggapan orang lain, partisipan pun dapat menerima kekurangan diri yang disampaikan orang lain dan menjadikan hal itu sebagai pembelajaran. Dia belajar untuk mengenali diri sendiri dan mengenali orang lain, saling memberikan masukan untuk membangun diri. “Begitu saya melihat kekurangan kamu, kamu melihat kekurangan saya itu yang saling membantu dan itu yang sebenarnya harus dibangun dari diri kita, saya merasa itu, karena kelebihan pun kalau kita over itu juga akan menjadi musibah baru, lebih parah dari kekurangan itu” (hal: 20, baris: 26) Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
45
• Existential Aloneness Dalam menyikapi perbedaan diri dengan orang lain, partisipan adalah orang yang berani dan frontal menyampaikan pendapat sendiri walaupun pendapat tersebut berbeda dari orang lain dan tidak jarang menimbulkan kontra. “orang akan menganggap saya lebih frontal gitu” (hal: 21, baris: 11) Pendapat partisipan yang frontal pernah membuatnya merasa tidak nyaman dalam komunitas. Walaupun begitu, partisipan tetap bertahan pada pendapatnya selama ia yakin bahwa yang disampaikan adalah hal yang benar. Gambaran Budaya Dalam menghadapi bencana, kekuatan spiritualitas masyarakat semakin meningkat. Sebagian besar masyarakat Aceh menghadapi bencana dengan berpegang pada ajaran agama dan meyakini kekuatan doa. “yang mereka pahami adalah kekuatan doa itu adalah kekuatan alam yang bisa untuk menolak bala juga” (hal: 23, baris: 29) Berbicara mengenai orang Aceh, orang Aceh merupakan masyarakat yang tertutup, maksudnya masyarakat Aceh tidak berani berbicara terlalu buka-bukaan, tidak terbuka kepada semua orang, karena adanya ketakutan akan diancam atau bahkan dibunuh oleh pihak tertentu. Hal ini disebabkan karena konflik yang melanda Aceh dalam beberapa dekade terakhir. “Tertutup karena, yang pertama sekali kalo bisa dibilang, unsur dari konflik itu tadi yang membuat kita menjadi bungkam, diam yang membatu dendam yang membatu, itu yang menyebabkan kita udah malas untuk buka-bukaan, malas ngomong, nanti tiba-tiba malam datang dijemput, akhirnya membuat kita jadi bungkam, membuat kita jadi nggak terbuka” (hal: 24, baris: 29) Partisipan juga mengatakan bahwa orang Aceh berwatak keras kepala. Hal ini juga dikarenakan sejarah hidup orang Aceh yang dari dulu hidup dalam perang sehingga masyarakat seakan dididik untuk keras agar dapat bertahan dalam perang, konflik, maupun bencana. “orang Aceh itu dari lahir sampai mati itu pun keras kepala. Itu mungkin benar, itu ga salah, tapi watak itu bisa dianalisa itu bisa jadi karena kita hidup dalam perang itu, orang aceh itu sepertinya hidup memang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
46
disiapkan untuk perang ya, kemudian belum selesai dengan ini, ada lagi yang lain, jadi hidup dalam perang terus, jadi kalau tidak keras kepala, kita mati konyol, keras kepala dalam yang positif ini ya” (hal:25, baris:26) Namun, watak keras orang Aceh disini terbagi dua, ada orang yang berwatak keras tetapi membawa dampak positif dan memiliki komitmen yang kuat. Sedangkan sebagian lain berwatak keras tapi tanpa dasar yang jelas sehingga hal ini perlu diubah dan diarahkan. “Jadi ada dua versi, ada keras kepala yang orang Aceh itu kalau dia sudah punya kata A, dia akan fokus dan komitmen, ada juga keras kepala yang benar keras kepala gitu, yang tidak punya pertimbangan, ini yang perlu diarahkan” (hal:25, baris:17) Watak keras kepala ini juga menjadikan orang Aceh sebagai orang yang unik dan tangguh dalam kondisi apapun. Walaupun mereka telah sering dihadapkan pada situasi yang menekan, seperti perang, konflik, dan bencana, kemampuan mereka untuk bangkit masih sangat besar. “Tapi lagi-lagi keras kepalanya orang Aceh menjadi sesuatu yang unik untuk menjadi karakter orang Aceh sendiri. Orang jatuh bangun lagi, jatuh bangun lagi, mungkin ada yang salah ya kalau dilihat orang” (hal:25, baris:19) Kembali dipertegas partisipan bahwa orang Aceh tetap bisa bangkit walau bencana datang silih-berganti. “Bencana yang bertubi-tubi ya, tapi nyatanya masih tetap bisa bangkit ya” (hal:25, baris:24) Watak keras kepala yang telah menjadi value atau budaya orang Aceh sejak dulu, membuat masyarakat terlatih untuk siap menghadapi kondisi apapun. “Haah, kalau kita bilang daerah kita itu daerah perang, kita tidak pernah mempersiapkan sesuatu secara matang kali kan, begitu kita udah siapsiap ini tiba-tiba buuurrrrr, lariiiii, harus siap. Jadi kita terlatih untuk siap dengan apapun kondisi kondisi alam. Itu seperti itu, itu yang pasti seperti itu yang saya lihat” (hal:25, baris:31) Terlihat disini bahwa watak keras kepala tersebut membantu masyarakat untuk cepat bangkit dari keterpurukan dan kondisi yang menekan. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
47
Setelah bencana, banyak value orang Aceh yang mulai berubah. Partisipan mengungkapkan bahwa saat ini sedang terjadi tsunami terhadap moral orang Aceh, yang merusak value orang Aceh itu sendiri. Segala sesuatu dihargai dengan uang dan terlalu berharap dengan bantuan dari luar sehingga masyarakat seakan dididik untuk menjadi manja dan kikir dengan bantuan-bantuan yang datang. “Setelah tsunami itu juga terjadi, mereka kehilangan harta benda, ketika itu semua terhampar di depan, untuk mengembalikan harta benda mereka dengan bantuan-bantuan, mereka menjadi kalap, pengen cepat mengambil itu. Sebenarnya itu adalah fatamorgana yang membangun tsunami baru dalam diri mereka, menggerus moral mereka, menggerus rasa values yang mereka punya, yang mungkin mereka ga sadari itu” (hal:26, baris:23) Salah satu nilai hidup orang Aceh yang juga menghilang adalah kepedulian terhadap individu lain lingkungan bermasyarakat. Dahulu, seseorang diperbolehkan ikut mendidik anak tetangganya bahkan ikut menjaga anak tersebut, namun semenjak bencana, masyarakat tidak berani melakukannya, seolah-olah nilai ini ikut lenyap tersapu gelombang. “kita berani mengatasnamakan orang tuanya untuk menyelamatkan dia, jadi lingkungan itu ikut menjaga, itu. setelah tsunami, orang tidak berani mengatur anak orang lain” (hal:28, baris:8) Hal ini lah yang menjadi kekecewaan terbesar partisipan saat ini, melihat masyarakatnya kehilangan nilai-nilai hidup positif sehingga rasa kebersamaan pun berkurang. Saat ditanyai mengenai pesan-pesan keluarga tentang hidup, partisipan mengungkapkan bahwa keluarga mengajarkan agar peka terhadap alam, menjaga keseimbangan alam dan bisa menjadi manusia yang bermanfaat. “peka terhadap alam, itu pasti, jaga keseimbangan alam, tempatkan diri kita sebagai makhluk sosial yang bermanfaat” (hal:27, baris:1) Sedikit menyinggung kembali mengenai konflik, ternyata pengaruh konflik memberikan dampak yang sangat besar terhadap perubahan kebiasaankebiasaan hidup masyarakat Aceh, salah satunya kebiasaan untuk kumpul bersama, kekuatan gotong royang, kerja sama yang kuat mulai hilang. Padahal kebiasaan ini menjadi kekuatan tambahan bagi orang Aceh. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
48
“Tapi ketika konflik, mereka tidak boleh berkumpul lagi karena akan dicurigai. Ga ada lagi anak muda yang nginap bersama di mesjid” (hal:27, baris:20) Kebudayaan Aceh yang memiliki kesenian cukup beragam diungkapkan partisipan sebagai cerminan dari masyarakat Aceh sendiri. Sebagian besar kesenian Aceh mengandung ajaran agama yang menyampaikan pesan-pesan kehidupan. “tarian-tarian yang mungkin diciptakan di Aceh, tempo dulu ya, itu semua berasal dari religius, misalnya syeudati ya yang berasal dari syahadat ain, itu adalah pesan yang bagaimana men-syahadatkan masyarakat Aceh dimana pesan-pesan itu yang muncul dalam syair-syair itu, yang bisa menyadarkan, yang bisa menanamkan moral, yang bisa mengarahkan” (hal:28, baris:2) Partisipan juga mengungkapkan bahwa kesenian yang lahir dari masyarakat Aceh tempo dulu selalu memiliki makna dalam kehidupan sehingga hidup menjadi ada tujuan. “Jadi kalau saya lihat mengapa cipta karsa dari masyarakat Aceh yang tempo dulu itu semua punya makna. Menurut saya ya, ketika hidup sudah punya makna, ketika hidup sudah punya alasan-alasan maka itu lah makna yang didapat. Tetapi ketika kita tidak punya alasan, kita hanya punya kita catat” (hal:29, baris:18) Sudut pandang partisipan yang luas dan pengetahuan tentang sejarah yang sangat kaya membuat partisipan mudah belajar dalam setiap kejadian yang dialaminya. Hal ini dijadikannya sebagai modal untuk masa depan. Dan hal ini lah yang diharapkan partisipan dapat terjadi pada masyarakat Aceh, yaitu menilik kembali pada sejarah Aceh yang bisa dijadikan pelajaran untuk kemajuan hidup di masa depan. “Tapi bukan berarti harus bangga dengan masa lalu hingga ga berbuat apa-apa, tapi dengan melihat masa lalu kita selalu ada untuk masa depan” (hal:32, baris:23) Satu kehilangan lagi yang bernilai besar yaitu hilangnya benda bersejarah yang digunakan sebagai proteksi saat menghadapi gempa tempo dulu. Benda ini Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
49
dinamakan lonceng cakra donia yang diberikan oleh Kaisar Cina kepada Sultan Iskandar Muda. Lonceng ini dahulunya dijadikan alat untuk mengukur kekuatan gempa, semakin kencang bunyi lonceng, berarti gempa semakin besar, sehingga masyarakat harus lari menyelamatkan diri. Namun, sangat disayangkan, masyarakat sekarang tidak tahu akan bahaya yang mengancam di depan mereka. “Kalaupun ada dulu ketika proteksi bencana kita punya lonceng cakra donia, lonceng cakra donia itu diberikan oleh Kaisar Cina, yang pada saat kejadian gempa, dia akan menampakkan pukulan lonceng itu sekuat apa, disitulah masyarakat mengambil kesimpulan ooh ini kencang, kita harus lari, jadi dengan alat yang sederhana masyarakat kita suda dibekali jauh di masa Sultan Iskandar Muda. Ketika era kita, air di depan kami ga pernah tau itu tsunami” (hal:31, baris:32)
4.5.1.2 Partisipan II: S (Laki-laki, Usia 27 tahun) Hasil Observasi Wawancara dilakukan hari Senin pada tanggal 7 Mei 2012 di salah satu ruang kantor Yayasan Pulih Aceh. Wawancara berlangsung dari pukul 17.14 WIB hingga 18.09 WIB, namun yang berhasil direkam hanya selama 42 menit 11 detik, sedangkan 13 menit berikutnya partisipan menolak untuk direkam karena yang ia sampaikan terkait dengan konflik yang terjadi di Aceh. Gambaran Kondisi Partisipan Partisipan merupakan anak terakhir dari 3 bersaudara. Dalam bencana tsunami tahun 2004 membuat ia harus kehilangan 8 anggota keluarga termasuk kedua orang tua partisipan. Kehilangan orang tua terutama ibu membuat partisipan sangat terpukul karena sedari kecil partisipan sangat dekat dengan sosok ibu dan hampir seluruh keinginan partisipan dipenuhi oleh orang tua, kebutuhan-kebutuhan hidup partisipan diatur oleh orang tua sehingga membuat ia sangat bergantung pada kedua orang tua. Saat tak ada sosok mereka lagi, partisipan merasa kosong dan tidak memiliki pegangan lain selain hanya berpegang pada Allah. Dahulu, ketika masih ada ibu, hidup partisipan terbilang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
50
cukup nyaman dan harmonis, sering berkumpul bersama dengan keluarga. Namun semenjak hilangnya sosok ibu dan semakin bertambahnya usia mereka (partisipan dan saudara-saudaranya), waktu untuk berkumpul puntidak ada bahkan sekarang partisipan hanya tinggal seorang diri di rumah, sedangkan saudara yang lain telah berkeluarga. Waktu-waktu berkumpul bersama keluarga ditemani sosok orang tua itu lah yang sangat dirindukan partisipan sehingga ketika mengenal hal-hal itu sering membuatnya sedih dan down. Setelah
bencana
tersebut,
partisipan
melewati
hari-hari
dengan
menyibukkan diri bekerja pada lembaga kemanusiaan dan bergabung dalam sanggar seni. Berkenalan dengan banyak orang dan melalui seni juga lah partisipan mampu melewati masa-masa sulit walaupun partisipan mengaku tetap ada ruang hampa di dalam dirinya yang tak bisa diisi yaitu sosok orang tua yang sangat dirindukan partisipan. Saat ini yang bisa dijadikan pegangan hidup bagi partisipan hanya pada Tuhan, pasrah dan yakin hanya Allah yang bisa membantunya. Gambaran Resiliensi Partisipan • Meaningfulness Bagi partisipan, saat ini ia belum tahu hal apa yang penting bagi hidupnya. Saat ditanyai hal ini, partisipan bingung, terlihat ragu dan berpikir cukup lama. “Sampai sekarang itu yang saya dapatin, mungkin belum dapat ya” (hal:36, baris:14) Saat ini ia hanya memikirkan masa depan dan bagaimana meraih masa depan dan tujuan hidupnya. Tujuan hidupnya adalah untuk mengembangkan usaha dan membentuk keluarga baru melalui pernikahan. Untuk mencapai tujuannya ini, ia bekerja keras dengan membuka usaha dan berdagang. Sebelum bencana ini, partisipan memiliki keinginan besar untuk membahagiakan orang tua, menaikkan mereka haji dan memberi rejeki yang lebih. Namun semenjak ia kehilangan orang tua, keinginan itu pun hilang seketika dan menyesal karena merasa belum sempat membahagiakan kedua orang tua. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
51
Motto hidup partisipan adalah menikmati dan mensyukuri apa yang telah dimiliki saat ini. “saya cuma bilang ke teman-teman hidup ini cuma sebentar, sebentar kita harus mensyukuri apa yang kita dapat dan enjoy aja menikmati apa yang telah kita punya itu” (hal:37, baris:5) • Perserverance Ketika ditanyai mengenai kesulitan hidup, partisipan terlihat bingung menjawab dan berpikir lama. Menurut partisipan, kesulitannya adalah ketakutan menjadi orang yang tidak berguna. “ketakutan dalam diri saya itu saya itu saya tidak berguna untuk diri saya sendiri” (hal:37, baris:23) Ketika saya probing lagi, partisipan diam dan menolak menjawab karena ia bingung dan meminta agar pertanyaan diganti. Selanjutnya, partisipan mengaku bahwa kehidupannya saat ini sangat berbeda dengan dulu saat orang tua masih ada. Dahulu saat ia memiliki masalah, ada orang tua yang ikut membantu atau sekedar memberi semangat, namun sekarang ia merasa sendiri melalui hidup dan masalah-masalahnya. Jadi disini terlihat bahwa kesulitan yang partisipan rasakan saat ini adalah terkait kehilangan orang tuanya sehingga membuat partisipan merasa kesepian. • Equanimity Secara keseluruhan, partisipan terlihat sebagai sosok yang tidak cukup mampu berespon yang baik terhadap masalah dan kesulitan yang ia hadapi. “karna saya ngak begitu bisa menerima aja yaa” (hal:37, baris:17) Ia terlihat seperti sosok individu yang cukup sensitif dan tidak begitu bisa menertawakan masalah atau melihat masalah dari sudut pandang lain yang lebih luas. Beberapa kali ia terlihat sedih dengan mata berkaca-kaca saat menceritakan tentang keluarganya, terlihat bahwa sosok keluarga terutama orang tua adalah sosok yang sangat signifikan dalam kehidupan partisipan. •
Self-Reliance Mengenai self-reliance atau kepercayaan terhadap diri sendiri, partisipan
menjawab dengan sangat yakin bahwa ia adalah orang yang percaya diri. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
52
“Pastinya, itu lah Soni,. ya paling ngak ketika saya dilahirkan ya inilah saya. Orang tua lah terbaik, ya mau kulit saya hitam mau saya orang miskin mau saya yaa kita anggap hmm walau belum memenuhi kebutuhan, saya tidak akan pernah menyerah dengan saya sekarang ini” (hal:38, baris:24) Namun ketika ditanya mengenai penilaiannya terhadap diri sendiri, kelebihan dan kekurangan diri, partisipan mengaku belum bisa menilai diri sendiri. “Sampai sekarang saya belum bisa” (hal:38, baris:4) Tetapi ia sering berpikir mengenai kegunaan hidup, merenunginya dan mencoba mencari makna hidup dengan belajar dari alam. “apakah semua amal yang saya cari diterima ngak sama Allah. apa yang membikin diri kita sombong, sadari ciptaan Allah itu sangat besar, ketika saya bodoh saya melihat sekeliling saya dan saya belajar dari alam semua itu” (hal:38, baris:6) •
Existential Aloneness Partisipan merupakan sosok yang berani mengeluarkan pendapat yang
berbeda, tetapi tidak memaksakan pendapatnya untuk diterima. Ia akan masuk secara halus untuk meyakinkan orang lain tentang pendapatnya. Meski berbeda, ia tetap bisa merasa nyaman dengan dirinya sendiri selagi apa yang berbeda tersebut tidak menyakiti orang lain dan dirinya sendiri. “Pastinya, membuat orang lain tidak sakit hati dan saya juga tidak sakit hati” (hal:39, baris:12) Gambaran Budaya Mengenai gambaran budaya Aceh, partisipan tidak terlalu banyak memberikan jawaban. Menurutnya, Aceh sangat kental oleh peran agama Islam terlebih pada masa Sultan Iskandar Muda. Namun, belakangan ini, hukum agama Islam yang dahulu diterapkan di Aceh banyak mengalami perubahan yang dikarenakan masuknya pengaruh dari India dan Belanda sehingga peraturan adat seperti berada pada zona abu-abu atau seakan terombang-ambing. Kehilangan adat budaya digambarkan partisipan dalam pepatah berikut ini, Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
53
“kalau seperti pepatah bilang ya kalau adat hilang nggak bisa dicari, kalau anak hilang bisa dicari, anak mati makamnya bisa dicari. Kalo adat hilang tidak bisa dicari” (hal:41, baris:30) Berbicara mengenai konflik, partisipan merasakan bahwa banyak terjadi perubahan sebagai dampak dari konflik, salah satu contohnya adalah hilangnya kebebasan masyarakat Aceh, baik kebebasan bergerak maupun berkespresi. “Semasa konflik salah satunya kebebasan yang didapatkan tidak ada” (hal:42, baris:20)
4.5.1.3 Partisipan III: M (Laki-laki, Usia 30 tahun) Hasil Observasi Wawancara dilakukan hari Selasa pada tanggal 8 Mei 2012 di salah satu ruang kantor Yayasan Pulih Aceh. Wawancara berlangsung dengan durasi 1 jam 12 menit 48 detik dari pukul 17.30 WIB hingga 18.45 WIB. Partisipan adalah salah satu relawan Yayasan Pulih yang masih aktif hingga saat ini. Selain menjadi relawan di Yayasan Pulih Aceh, partisipan juga bekerja di salah satu NGO yang menangani anak berkebutuhan khusus. Gambaran Kondisi Partisipan Bencana tsunami Aceh 2004 menyisakan luka fisik pada partisipan. Pada saat tsunami tersebut, partisipan sedang berada di kantor tempat ia bekerja dulu yang terletak dekat dengan pantai. Dalam hitungan cepat, ia tergulung oleh ombak tsunami dan terhempas beberapa bangunan hingga akhirnya ia terapung di laut setelah disapu oleh ombak tsunami yang balik dari daratan. Hempasan dan gulungan ombak membuat partisipan berkali-kali pingsan. Saat ia terjaga, ia berada di tengah laut yang penuh dengan sampah bangunan dan mayat manusia dan binatang yang mulai membusuk. Saat itu ia berada dalam keadaan yang cukup mengerikan, kaki kanan dan tangan kanan patah, tulang engsel tangan kanan keluar dan kepala terbentur sangat keras hingga pingsan. “cuma bisa ikat leher dengan kaki sebelah kiri, kaki leher sebelah kiri trus yaudah saya terapung-apung disitu sampe hampir gelap dan disitu yang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
54
suasana sedih sekali karena pas hampir gelap itu mayat-mayat sudah sudah berubah karena licin” (hal:46, baris:14) Kejadian tersebut membuat partisipan mengalami kecacatan pada kaki kiri hingga saat ini, namun ia tetap dapat berjalan secara normal walau kaki bagian kiri dengan kanan tidak seimbang, hanya saja pergerakan jalannya menjadi lambat. Ia sempat dirawat selama satu bulan di rumah sakit, kemudian setelah kondisinya cukup membaik, ia tinggal di pengungsian. Selain mengalami kecacatan pada bagian tubuh tertentu, partisipan juga kehilangan beberapa anggota keluarga, mengalami kerugian materi seperti rumah rusak berat, kehilangan kendaraan, surat-surat penting, dan sertifikat. Namun kehilangan yang paling membuat partisipan terpukul adalah kehilangan anak-anak jalanan yang bergabung dalam sanggar Cuek (Curahan Ekspresi), sanggar seni musik yang memberdayakan anak jalanan. Bagi partisipan, keberadaan anak jalanan asuhannya adalah semangat bagi hidupnya. Cita-cita partisipan yang terbesar yaitu ingin meningkatkan kesejahteraan anak jalanan melalui musik. Namun cita-cita itu sempat hancur beberapa saat setelah ia kehilangan anak jalanan tersebut dalam bencana tsunami. Gambaran Resiliensi Partisipan • Meaningfulness Tujuan hidup partisipan adalah ingin menjadi orang yang dapat berkontribusi untuk orang lain, bermanfaat bagi banyak orang sehingga nanti di masa tua atau disaat meninggal pun ia akan dikenang sebagai orang yang baik sehingga orang-orang yang ditinggalkan tidak merasa direpotkan. Selanjutnya, yang menjadi pedoman dan pegangan partisipan dalam menjalani kehidupan adalah agama. “cuma pingin jadi orang yang bisa berkontribusi dengan orang lain aja, sehingga kalo pegangan, pegangan hidup ya pertama tentu agama, ingin kalo meninggal pun diterima lah baik-baik kan, kek gitu, trus kalopun kita meninggalkan aa orang yang kita cintai pun dia juga tidak direpotkan lagi
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
55
oleh kita, pingin kek gitu, jadi ya, kalo bilang pedoman hidup ya tetap masih ini, ke agama” (hal:53, baris:15) Selain ingin berkontribusi bagi orang lain, partisipan juga ingin menjadi orang yang baik walau bukan yang terbaik, setidaknya ia dapat dijadikan pedoman atau contoh hidup terutama bagi keluarga dan anak-anaknya nanti. “pengen ini ingin menjadi orang yang inilah, bukan sangat terbaik tapi menjadi baik setidaknya dengan keluarga menjadi orang yang baik sehingga kalo pun keluarga saya melihat terutama anak istri, dia dapat pedoman bahwa gini jadi orang” (hal:53, baris:30) Ketika ditanyai mengenai moto dalam hidup, partisipan menyampaikan bahwa moto hidupnya mungkin akan terdengar aneh, namun memang seperti itu yang ia yakini dan jalankan. Ia ingin hidup santai tapi mati syahid. “saya memang mottonya aneh memang, hidup santai mati syahid” (hal:54, baris:28) Hidup santai disini maksudnya adalah ia tetap berusaha keras semaksimal mungkin dan menikmati setiap proses yang ia lalui. Kemudian di akhir hidupnya ia bisa menjadi orang yang mulia yang dikenang secara baik oleh orang. “hidupnya santai ga terlalu di ini kan, tapi dalam artian santai itu, bukan ga berusaha sangat maksimal tapi santai yang kita artikan tu menikmati setiap proses, dan kalo pun kita mati ya matilah dengan yang dengan mulia, dengan tidak meninggalkan masalah-masalah baru kan. jadi kalo dah meninggal yau dah udah lah, hal-hal yang baik-baik saja lah yang dikenang-dikenangkan orang” (hal:54, baris:30) • Perseverance Berbagai kesulitan hidup sudah dirasakan partisipan semenjak ia kecil. Di saat kecil kampung tempat ia tinggal bersama keluarga sering menjadi sasaran konflik yang hampir membunuh seisi kampung termasuk kelurganya. Menghadapi konflik tersebut merupakan salah satu kesulitan hidup yang cukup besar dalam hidup partisipan dan menimbulkan luka serta dendam. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
56
“jadi sangat sulit memang kondisi, karna satu sisi masih ada dendam yang luar biasa soal tentara tu, saya melihat langsung depan mata tu mukul ayah trus membunuh orang-orang dikampung kami tu, di sisi lain saya harus bertahan untuk bisa sekolah bisa, bisa makan dengan kondisi gitu nya” (hal:55, baris:22) Masalah yang ditimbulkan oleh konflik ini menyisakan luka yang dalam sehingga tidak sedikit masyarakat Aceh termasuk partisipan sendiri trauma karena hal ini. Sedangkan dalam bencana tsunami yang menelan ribuan nyawa masih dapat diterima oleh partisipan dan masyarakat lainnya, namun terkait korban konflik masih sulit untuk dimaafkan oleh mereka. “jadi waktu itu memang kondisi sangat sulit untuk apa untuk bangkit, makanya kalo tsunami memang sangat sedih sekali tapi kami kalo secara pribadi saya lebih trima tsunami daripada konflik” (hal:56, baris:1) Selain konflik, kesulitan dan masalah lain yang dihadapi partisipan sejak kecil yaitu masalah untuk bertahan hidup, partisipan harus berjualan koran dijalanan dan setiap hari harus berkelahi demi mendapatkan tempat untuk berjualan. “mengerikanlah kalo tu, karna kan dari dulu kan dah konflik, trus kalo dijalanan kalo kita mo buka lapak untuk jual koran harus berantam jadi ya hampir, hampir tiap subuh tu orang salat subuh dulu kita barantam dulu untuk dapat tempat jualan” (hal:56, baris:13) Ketika ditanyai mengenai pandangan partisipan terhadap orang yang mengalami kegagalan, partisipan menjawab apabila orang tersebut adalah teman dekatnya, maka ia pun akan merasa sedih dan terpukul terhadap kegagalan yang dialami rekannya. “saya jadi bingung sendiri, makanya ga tau mau dibilang sedih-sedih kali ga tau, mo bilang sangat inilah karna apalagi dia dekat dengan kita kan, kita sering duduk di komunitas ya kek gitu, sangat terpukul lah kadang malah lebih terasa kalo dia yang jatuh daripada kita sedih” (hal:57, baris:9) Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
57
Dalam melihat kesuksesan yang dialami orang lain, partisipan mengaku akan ikut senang. “Kawan-kawan yang memang satu komunitas yang pernah kenal dengan kita ya sangat senang lah ketika melihat dia dah mantap kan dia" (hal:57, baris:13) •
Equanimity Berkaitan dengan proses penyembuhan pasca bencana, partisipan pernah
dirawat di rumah sakit selama satu bulan karena luka serius yang ia alami. Setelah itu, ia masih mengalami hilang orientasi selama hampir lima bulan setelah bencana. “satu sampe aa apa satu dua tiga empat lima bulan pertama tu masih inilah masih hilang orientasi” (hal:57, baris:23) Menghadapi masalah ini, ia banyak dibantu olah teman-teman dari Yayasan Pulih. Di sana ia kenal banyak orang dan beberapa diantaranya adalah psikolog. Mereka yang menjadi korban bisa saling berbagi hal apa saja, diskusi setiap hari sehingga menimbulkan semangat kembali pada diri korban lain termasuk partisipan. Setiap hari, biasanya dimulai dari jam 1 malam hingga jam 4 subuh, mereka habiskan untuk berdiskusi segala hal, yang dinamakan jam bodoh. “karna kawan-kawan pas ngobrol-ngobrol itu konseling ada berapa psikolog itu, kita dulu sampe me apa, menamakan apa kalo kita itu jam bodoh, jam bodoh dari jam 1 sampe jam 4 pagi diskusi aja, apapun” (hal:57, baris:32) “apapun itu, mo nangis, apa kita ketawa atau mo bernyanyi bersama, bodoh, jadi ya diskusi jam bodoh itu disitulah, ketika dipetakan kerugian tu bukan ini menurut kawan-kawan tu bukan butuh duit sekarang, memang butuh waktu untuk istirahat sejenak berbenah diri dulu trus lakukan yang menyenangkan-menyenangkan dulu” (hal:58, baris:4) Dari kutipan di atas terlihat bahwa dukungan dari individu lain membantu dalam pemulihan individu. Kemudian partisipan juga dapat melihat bahwa kesulitan-kesulitan yang ia alami dalam hidup bukan lah akhir dari segalanya, ia Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
58
masih tetap melangkah maju menjalani hari-harinya secara positif, dibantu oleh orang-orang dalam lembaga tempat ia berkumpul. •
Self Reliance Partisipan adalah individu yang mampu menilai diri sendiri. Hal ini
dikarenakan ia banyak belajar dari pengalaman hidup sebelumnya dan dibantu juga dengan diskusi bersama teman-teman lainnya dan adanya perkembangan atau perubahan dalam hidup sehingga saat ini ia lebih memiliki perencanaan terhadap hidupnya, mengetahui kelemahan dan kelebihan diri dan mampu menerima kritik dan masukan dari orang lain. “saya juga kalau menilai diri saya sekarang tu sudah punya perencanaanperencanaan yang bagus, kalau dulunya tidak punya perencanaan hidup sama sekali, sekarang sudah banyak berbenah diri, mungkin ini juga soal perubahan usia, keluarga, sudah punya anak, sudah menata hidup dengan baik meskipun ada ini ada persoalan, saya coba lebih survive, lebih tau ini ni yang saya alami apa, trus ada masa-masa kayaknya harus berhenti dulu, dan ada masa-masa kayaknya saya harus maju. Ya gitu, sudah bisa mengukur diri, soal hmm kayaknya ini bukan keperluan saya, kayaknya saya lebih menguasai ini, jadi saya bisa lebih survive” (hal:59, baris:32) •
Existential Aloneness Saat ditanyai mengenai perbedaan pendapat dengan orang lain, partisipan
menjawab bahwa ia berani berpendapat yang berbeda dengan orang lain walau pendapat itu terkadang membuatnya merasa tidak nyaman, dibuat tidak nyaman oleh lingkungan. Meskipun begitu, partisipan memilih untuk berpendapat yang menurutnya benar daripada harus berbohong pada diri sendiri. “memang aku yakin secara ini kebenaran harus diterapkan dan temanteman forum juga merasakan hal yang sama, sangat ini sangat puas, tapi di sisi lain kita juga terancam kan. Ya disitu juga kurang menyenangkan, tapi menurut aku kalau disuruh pilih dari pada membohongi diri sendiri sedikit-sedikit pelan-pelan mendingan ungkapin aja, soal itu ya konsekuensi” (hal:61, baris:15) Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
59
Sebelumnya, partisipan maupun kebanyakan masyarakat Aceh tidak bisa mengeluarkan pendapat secara terang-terangan karena ancaman datang dari berbagai arah, hal ini terkait dengan konflik sehingga membatasi masyarakat Aceh untuk berbicara dan berekspresi. “Kalau dulu kan masih terlalu vulgar kalau kita ungkapin. Kalau sekarang, kalaupun ini tidak benar, kita akan ungkapkan dengan bahasabahasa lebih santun kan” (hal:60, baris:31) “dulu kita slalu ini, sangat vokal dan akhirnya selalu ditangkap lah, diteror” (hal:61, baris:1) Gambaran Budaya Berbicara mengenai adat dan budaya Aceh, partisipan mengatakan bahwa hampir semua adat Aceh merujuk pada agama. “hampir semua adat, itu memang merujuknya pada agama” (hal:62, baris:17) Masyarakat Aceh memiliki semboyan hidup yaitu Meuseraya dan Meuripe, maksudnya adalah segala sesuatu dikerjakan bersama-sama. Masyarakat hidup dalam kebersamaan, mampu hidup mandiri tanpa dukungan pemerintah. Dahulu, banyak mesjid yang dibangun secara megah tanpa bantuan pemerintah, masyarakat saling berbagi untuk membangun rumah fakir miskin, memelihara anak yatim, dan lain halnya, dikerjakan bersama. “Meuseraya dengan Meuripe, selalu banyak hal yang bisa dikerjakan sama-sama” (hal:62, baris:18) Dari semboyan tersebut, dapat dilihat betapa kuatnya kebersamaan orang Aceh, rasa senang dan duka dipikul bersama, bangkit bersama, dan saling menguatkan. Partisipan menggambarkan setelah bencana banyak terjadi perubahan pada nilai hidup masyarakat Aceh. Banyak kebiasaan lokal dan budaya menghilang sehingga nilai-nilai positif yang ditanamkan dalam masyarakat Aceh pada jaman dahulu tidak lagi dirasakan saat sekarang.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
60
“nilai-nilai sudah banyak bergeser. Dan aku yakin betul semua masyarakat Aceh merasakan hal ini, aku sangat yakin akan hal itu” (hal:62, baris:5) Hal ini salah satunya dikarenakan adanya pengaruh NGO yang memberikan nilai-nilai berbeda dengan yang ada sebelumnya, namun karena pasca bencana masyarakat memang sedang berada dalam kondisi yang kritis, nilai tersebut mudah masuk dan tertanam pada masyarakat. “efek dari datangnya NGO dan efeknya sampe sekarang berasa, apa lokalisdemnya kebiasaan-kebiasaan lokal yang baik dulu tu dah hilang, misalnya kayak kalo budaya kami itu meseraya, meseraya tu gotong royong, meseraya meripeh” (hal:50, baris:28) Perubahan yang sangat dirasakan adalah kebiasaan masyarakat yang melihat segalanya diukur dengan uang. Ini dampak dari bantuan yang berlimpah sehingga masyarakat menjadi manja dan bertopang pada bantuan yang datang. “orang desa atau orang kota tertentu dia suruh bersihkan desanya sendiri atau kotanya sendiri tapi bayar dibayar, dan orang ketika itu kita mang ga punya apa-apa lagi kan, orang dah nunggu-nunggu ni kapan kata NGO kita ntar mo dibayar segini, dibayar untuk ini, jadi ini semua dihargai dengan duit” (hal:50, baris:36) Partisipan juga menyatakan bahwa salah satu budaya Aceh yang hilang adalah kepedulian terhadap tetangga. Dahulu, dikarenakan rasa kekeluargaan dan kebersaam yang kuat antar anggota masyarakat membuat masyarakat saling bertanggung jawab terhadap kehidupan bersama. “itu budaya Aceh itu ketika anak, anak orang, itu juga bagian kek anak dia juga kalo di kampung kan orang kenal semua, apaun kesalahan anak itu salah mereka itu, jadi gitu” (hal:52, baris:19) Kemudian, partisipan juga memaparkan tentang konflik yang sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Aceh. Tidak sedikit masyarakat pernah menjadi korban konflik yang meninggalkan trauma mendalam. Hal ini menjadi Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
61
luka yang susah terobati bahkan dirasakan sebagai kondisi yang paling sulit untuk diterima daripada bencana tsunami. “jadi waktu itu memang kondisi sangat sulit untuk apa untuk bangkit, makanya kalo tsunami memang sangat sedih sekali tapi kami kalo secara pribadi saya lebih terima tsunami daripada konflik, kita ga bisa ga bisa membuat ga punya pilihan, bayangkan aja sebagai manusia kalo orang bilang sebagai laki-laki atau sebagai perempuan yang punya power di kampungnya sendiri, ketika mamahnya diperkosa, kakaknya diperkosa dan sodaranya dilecehkan kita ga bisa berbuat apa-apa kita hanya bisa diam, akhirnya kaum pria yang lain-lain tu memutuskan banyak yang jadi GAM ya, ingin balas dendam aja, itu yang paling sulit, kalo kalo tsunami terasa sulitnya tapi hanya sesaat” (hal:56, baris:1) Dari uraian di atas terlihat bahwa konflik memberikan dampak yang luar biasa terhadap perubahan budaya masyarakat Aceh. Konflik ini menjadi kesulitan terbesar daripada tsunami.
4.5.2 Temuan Analisis Antar Kasus yang Diperoleh melalui Wawancara Setelah melakukan analisis berdasarkan pada hasil wawancara dari masing-masing partisipan, peneliti melakukan analisis antar partisipan untuk menemukan persamaan dan perbedaan pada masing-masing aspek yang diteliti, yaitu keterkaitan antara nilau budaya dengan resiliensi. Sebelumnya akan diberikan gambaran kondisi ketiga partisipan wawancara, yaitu sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
62
Tabel 4.5.2.1 Gambaran Kondisi Partisipan Gambaran Kondisi
Partisipan 1 (D)
Kronologis kejadian
D tidak berada di rumah sehingga ia tidak terkena gelombang tsunami secara langsung
Kerugian materi
Kerugian fisik Kehilangan anggota keluarga
Partisipan 2 (S)
Partisipan 3 (M)
Rumah rusak berat, semua perlengkapan habis seperti uang dan surat-surat, kehilangan mata pencaharian Tidak mengalami
S berada di rumah saat gempa terjadi. Sebelum gelombang tsunami datang, S sempat pergi menyelamatkan diri Rumah rusak berat, semua perlengkapan habis seperti uang dan surat-surat, kehilangan mata pencaharian Tidak mengalami
Kehilangan nenek (significant other), dan beberapa anggota keluarga lainnya
Kehilangan orang tua (significant others) dan beberapa anggota keluarga lainnya
M sedang berada di kantor saat gempa dan tsunami datang. M tersapu gelombang dan hanyut hingga ke tengah laut Rumah rusak berat, semua perlengkapan habis seperti uang dan surat-surat, kehilangan mata pencaharian Cacat pada bagian kaki dan tangan Kehilangan anak asuh sanggar seni (significant others) dan beberapa anggota keluarga lainnya
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa kehilangan anggota keluarga dan orang terdekat (significant others) dialami oleh seluruh partisipan. Partisipan D kehilangan orang terdekatnya yaitu nenek yang telah membesarkannya semenjak umur 6 bulan. Partisipan S kehilangan orang tua yang menyebabkannya sangat terpukul. Sedangkan partisipan M kehilangan anak-anak sanggar seni yang telah ia asuh. Kematian orang terdekat ini menjadi kehilangan yang sangat besar bagi seluruh partisipan. Selanjutnya akan diberikan gambaran analisis antar partisipan wawancara dalam bentuk tabel berikut ini:
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Tabel 4.5.2.2 Gambaran Resiliensi Partisipan Wawancara Resiliensi
Partisipan 1
Partisipan 2
Partisipan 3
D
S
M
Meaningfulness Hal yang ingin
Kualitas hidup itu sendiri.
Sebelum orangtua meninggal, keinginan
Menjadi orang yang bisa berkontribusi
dicapai
Tujuan hidup: menjadikan diri lebih berarti
terbesar adalah membahagiakan orangtua,
untuk orang lain
dan bermanfaat untuk semua orang
membawa mereka naik haji. Namun,
disekitar
sekarang partisipan belum tahu tujuannya, hanya fokus pada masa depan, mengembangkan usaha dan menikah
Usaha untuk
Perbanyak belajar, business MLM, berbagi
Mengumpulkan uang lewat usaha/dagang,
Bekerja di LSM, NGO, aktif dalam seni
mencapai tujuan itu
makna hidup dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
musik anak jalanan, aktif dalam seni
masa depan
peran/teater
Perseverance Kesulitan yang
Tidak punya ruang untuk mengungkapkan
Ketakutan menjadi orang yang tidak
Yang terutama adalah konflik.
dirasakan
perasaan dan pendapat, takut
berguna
Kemudian perjuangan untuk bertahan
mengungkapkan kondisi diri
hidup sejak kecil berjualan koran dan berkelahi, mengalami hidup yang sulit
Kesulitan terkait
Pasca bencana; kehilangan tempat tinggal,
Pasca bencana; tidak memiliki tempat
Pasca bencana; tidak memiliki tempat
tempat tinggal
kesulitan keuangan dan pemenuhan
tinggal
tinggal
kebutuhan sehari-hari Kemudahan yang
Banyaknya bantuan dari luar dan tawaran
Kenal dengan teman-teman baru di
Bekerja di Yayasan dan dikirim
dialami dalam
bekerja di LSM
Yayasan Pulih membuat banyak belajar
bersekolah di Medan, mendapat banyak
dan berguna bagi orang lain
skill baru
Tidak cukup mampu berespon secara baik
Berjalan terus menghadapinya,
mencapai tujuan Equanimity Yang dilakukan
Memaknai hidup dari sudut pandang
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
untuk atasi kesulitan
positif, melihat suatu masalah dan
terhadap masalah dan kesulitan yang
kemudian mendapat bantuan dan
kekurangan sebagai tantangan untuk
dihadapi
dukungan dari teman-teman yayasan,
menjadi lebih maju
dan cara terakhir adalah mengaji. Kejadian lampau menjadi pelajaran untuk lebih kuat
Self-reliance Mengenal kekuatan
Mampu menilai diri sendiri, kelebihan,
Belum begitu bisa menilai diri sendiri
Mampu mengenali diri sendiri sehingga
dan keterbatasan
kekurangan diri dan terbuka terhadap
memiliki perencanaan terhadap
yang dimiliki
penilaian orang lain.
hidupnya
Keyakinan bisa
Yakin
Tidak begitu yakin
Yakin
Aloneness
Berani berbeda perdapat dan bertahan jika
Berani mengeluarkan pendapat yang
Berani berbeda pendapat, memilih untuk
Keunikan diri
pendapatnya diyakini benar, nyaman
berbeda, nyaman dengan diri sendiri
berpendapat yang menurutnya benar
tercapainya tujuan hidup Existential
dengan diri sendiri
daripada harus berbohong pada diri sendiri
Budaya Aceh
- Masyarakat berpegang pada agama dan
- Aceh sangat kental oleh peran agama
-Hampir semua adat Aceh merujuk pada
meyakini kekuatan doa
Islam
agama
- Orang Aceh berwatak keras kepala,
- Hukum agama Islam yang dahulu
- Memiliki semboyan hidup yaitu
sehingga walaupun dihadapkan pada
diterapkan di Aceh banyak mengalami
Meuseraya dan Meuripe, maksudnya
situasi yang menekan, seperti perang,
perubahan karena pengaruh budaya luar
adalah segala sesuatu dikerjakan
konflik, dan bencana, kemampuan mereka untuk bangkit masih sangat besar -Watak keras kepala yang telah menjadi
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
bersama-sama
value atau budaya orang Aceh itu sendiri sejak dulu, membuat masyarakat terlatih untuk siap menghadapi kondisi apapun
Perubahan Pasca
- Terjadinya perubahan value dan moral
-Terjadi perubahan pada nilai hidup
- Terjadi perubahan pada nilai hidup
Bencana
orang Aceh, segala sesuatu dihargai
masyarakat
masyarakat Aceh
dengan uang dan terlalu berharap bantuan
- Perubahan yang sangat dirasakan
dari luar
adalah kebiasaan masyarakat sekarang
- Menghilangnya kepedulian terhadap
yang melihat segala sesuatu diukur
individu lain dalam lingkungan
dengan uang
bermasyarakat
- Hilang adalah kepedulian terhadap
- Kehilangan nilai-nilai hidup positif
tetangga
sehingga rasa kebersamaan pun berkurang - Hilangnya benda bersejarah, lonceng cakro donia, yang digunakan sebagai proteksi saat menghadapi gempa tempo dulu Pengaruh Konflik
- Kebiasaan untuk kumpul bersama,
- Hilangnya kebebasan masyarakat Aceh,
- Konflik menjadi luka yang susah
kekuatan gotong royang, kerja sama yang
baik kebebasan bergerak maupun
terobati bahkan dirasakan sebagai
kuat mulai hilang
berkespresi
kondisi yang paling sulit untuk diterima
- Orang Aceh merupakan masyarakat yang tertutup, tidak berani berbicara terlalu buka-bukaan, karena takut ancaman dari pihak tertentu
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
daripada bencana tsunami
66
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan gambaran keseluruhan partisipan dimana masing-masing partisipan memiliki permasalahan yang berbeda. Berikutnya akan dibahas mengenai perbedaan dan persamaan faktor yang mempengaruhi kemampuan resiliensi masing-masing partisipan. Selanjutnya akan dibahas mengenai persamaan pandangan partisipan mengenai pengaruh budaya dan konflik yang terjadi di Aceh. Meaningfulness Berdasarkan faktor meaningfulness, ketiga partisipan memiliki tujuan hidup yang berbeda. Menurut Wagnild (2010), karakteristik meaningfulness adalah karakteristik yang paling penting dan menjadi landasan bagi karakteristik lainnya. Mereka yang memiliki tujuan hidup akan berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai hal tersebut. Partisipan D dan M memiliki kesamaan dalam tujuan hidup mereka yaitu ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang terutama bagi keluarganya. Berbeda dengan partisipan S yang mengungkapkan bahwa ia memiliki tujuan hidup yaitu membahagiakan kedua orang tua dan menaikkan mereka haji, tetapi semenjak kejadian tsunami yang menyebabkan orang tuanya meninggal, partisipan seperti kehilangan tujuan hidup. Saat ini partisipan hanya berfokus pada masa depan yaitu mengembangkan usaha dan menikah. Demi mencapai tujuan hidup masing-masing, ketiga partisipan pun memiliki cara yang berbeda. Jika S melakukan berbagai usaha untuk menghasilkan uang demi masa depannya, partisipan M lebih memilih untuk aktif dalam yayasan kemanusiaan. Selain itu, partisipan M juga aktif dalam seni musik dan seni peran. Baginya, seni adalah media untuk menyampaikan nilai hidup dan media untuk mensosialisasikan pesan-pesan tertentu. Sedangkan partisipan D lebih aktif dalam seni peran drama dan puisi. Ia juga sedang giat dalam usaha multilevel marketing yang menawarkan obat-obatan tradisional. Melalui usahanya ini, ia merasa memiliki hidup yang lebih bermakna karena bisa membantu banyak orang sembuh dari penyakit mereka. Partisipan D merasa senang bisa berbagi ilmu dan makna hidup pada banyak orang sehingga banyak orang mendapatkan manfaat darinya. Dari ketiga partisipan disini, terlihat bahwa partisipan D dan partisipan M memiliki tujuan hidup yang lebih besar dan lebih bersemangat untuk Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
67
berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain, sedangkan partisipan S lebih berfokus untuk kemajuan masa depannya. Perseverance Dari
keseluruhan
partisipan
wawancara,
masing-masing
memiliki
kesulitan tersendiri dalam hidup mereka. Pada partisipan D, ia mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan, pendapat, dan kondisi diri. Sedangkan pada partisipan S, ia lebih takut jika dirinya menjadi orang yang tidak berguna. Berbeda pada partisipan M, ia menyampaikan kesulitan hidup yang paling besar yang pernah terjadi dalam hidupnya yaitu berhadapan dengan konflik dan perjuangan keras untuk bertahan hidup sejak kecil. Pasca bencana, hambatan yang mereka rasakan terkait dengan tempat tinggal dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun, hal ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari banyak pihak terutama LSM dan NGO yang tidak hanya membantu dalam pemenuhan kebutuhan materi tetapi juga kebutuhan psikologis mereka. Equanimity Berdasarkan karakteristik equanimity, partisipan D dan partisipan M mampu berpandangan yang luas terhadap hidup dan memfokuskan pada hal-hal yang positif daripada hal yang negatif dari kesulitan hidup yang dihadapi. Partisipan D dapat memaknai hidup dari sudut pandang positif, melihat suatu masalah dan kekurangan sebagai tantangan untuk menjadi lebih maju. Pada partisipan M, ia pantang menyerah dan terus maju menghadapi hidup walau dihadapkan dengan berbagai kesulitan. Berbeda dengan partisipan S yang mengungkapkan bahwa ia tidak cukup mampu berespon secara baik terhadap masalah dan kesulitan yang dihadapi. Self-Reliance Karakteristik self-reliance merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap diri sendiri dan kemampuan yang ia miliki. Individu dengan karakteristik ini mampu mengenali kelebihan dan batasan diri yang ia miliki. Dari ketiga partisipan, partisipan D dan partisipan M mampu mengenali kelebihan dan kekurangan diri, sedangkan partisipan S belum begitu bisa menilai diri sendiri. Hal ini menjadi terkait terhadap keyakinan mereka dalam menghadapi suatu Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
68
masalah hidup. Partisipan D dan partisipan M terlihat yakin sedangkan partisipan S tidak begitu yakin terhadap diri sendiri. Existential aloneness Karakteristik terakhir yaitu keunikan yang dimiliki individu dan keberaniannya untuk berbeda dari yang lain. Seluruh partisipan wawancara merupakan individu yang berani mengeluarkan pendapat yang berbeda, bahkan partisipan D dan partisipan M cenderung lebih berani frontal dalam menyampaikan pendapat yang mereka yakini benar.
Gambaran Nilai Budaya Aceh dari Hasil Wawancara Partisipan Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa masyarakat Aceh sangat berpegang teguh pada ajaran agama Islam. Sebagian besar masyarakat Aceh mengatasi masalah mereka dengan cara melakukan ibadah dan berdoa karena mereka meyakini adanya kekuatan doa. Serupa dengan temuan Bergin, Gartner, dan Meichenbaum (2005) yang mengamati cara utama orang Amerika Utara mengatasi peristiwa traumatis adalah melalui iman dan doa. Talsya (1994) menyampaikan bahwa kehidupan masyarakat Aceh sangat dipengaruhi oleh prinsip dan nilai agama Islam. Ketiga orang partisipan memaparkan bahwa agama Islam menjadi dasar dari kehidupan mereka sehingga segala sesuatunya harus berlandaskan agama Islam. Suatu kegiatan adat dan budaya Aceh menjadikan agama sebagai faktor utama sumber adat dan budaya itu sendiri (Talsya, 1994). Disini berarti, tiap bagian dari adat yang terpakai harus merujuk pada Islam sehingga tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, pemaknaan terhadap setiap kejadian dalam hidup juga dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Maka, tidak mengherankan jika masyarakat Aceh menghadapi masalah dan mengatasinya dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa agama berperan sebagai faktor pendukung terhadap kemampuan resiliensi masyarakat Aceh dalam menghadapi kesulitan hidup. Budaya Aceh juga mengenal yang namanya Meuseraya dan Meuripe, maksudnya adalah segala sesuatu dikerjakan bersama-sama. Kemudian juga Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
69
ditemukan nilai hidup lain yaitu rasa kepedulian yang besar terhadap sesama pada masyarakat Aceh. Dari semboyan tersebut, dapat dilihat betapa kuatnya kebersamaan orang Aceh, rasa senang dan duka dipikul bersama, bangkit bersama, dan saling menguatkan. Namun, sangat disayangkan setelah bencana, banyak terjadi perubahan pada nilai hidup masyarakat Aceh. Banyak kebiasaan lokal dan budaya menghilang sehingga nilai-nilai positif yang ditanamkan dalam masyarakat Aceh pada jaman dahulu tidak lagi dirasakan saat sekarang. Padahal, jika nilai hidup Meuseraya dan Meuripe dan rasa kepedulian ini dapat berjalan dengan baik dalam masyarakat, maka nilai ini pun akan sangat mendukung resiliensi pada masyarakat Aceh. Partisipan D menambahkan bahwa orang Aceh berwatak keras kepala, sehingga walaupun dihadapkan pada situasi yang menekan, seperti perang, konflik, dan bencana, kemampuan mereka untuk bangkit masih sangat besar. Watak keras kepala tersebut telah menjadi value atau budaya orang Aceh itu sendiri sejak dulu, membuat masyarakat terlatih untuk siap menghadapi kondisi apapun. Hal ini sesuai dengan sebutan Aceh Pungo yang berarti watak orang Aceh yang sangat keras (Talsya, 1994). Jadi, dapat dilihat bahwa kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan salah satunya dipengaruhi oleh watak keras kepala masyarakat Aceh yang membantu resiliensi masyarakat Aceh. Pasca bencana terjadi banyak perubahan dalam value orang Aceh. Ketiga partisipan mengatakan bahwa pasca bencana terjadi perubahan pada nilai hidup orang Aceh seperti segala sesuatu saat ini diukur dengan uang. Selain itu, masyarakat Aceh terlalu dimanjakan dengan bantuan-bantuan sehingga mereka terus menerus berharap bantuan dari luar. Disini terlihat seakan kemandirian masyarakat hilang. Selain itu, perubahan yang terjadi yaitu pudarnya rasa kepedulian terhadap individu lain dalam lingkungan masyarakat. Dahulu, salah satu bentuk kekuatan masyarakat Aceh adalah adanya rasa tanggung jawab terhadap keamanan dan kesejahteraan tetangga mereka, namun kebiasaan tersebut seakan hilang, rasa kepedulian masyarakat menguap sehingga mereka tidak begitu peduli terhadap lingkungan sekitar. Selanjutnya, partisipan D menceritakan salah satu benda bersejarah Aceh telah menghilang, yaitu lonceng cakra donia yang merupakan hadiah dari Kaisar Cina kepada Sultan Iskandar Muda. Lonceng ini Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
70
memiliki fungsi sebagai alarm atau penanda datangnya bencana gempa dan tsunami. Semakin kencang bunyi yang dihasilkan lonceng berarti kekuatan gempa semakin besar dan kemungkinan bencana besar seperti tsunami akan segera datang, maka itu adalah waktunya masyarakat untuk lari menyelamatkan diri. Tetapi pada masa modern ini, benda bersejarah tersebut menghilang, padahal lonceng tersebut sangat bermanfaat sebagai proteksi bencana. Berkaitan dengan konflik yang terjadi di Aceh dalam beberapa dekade terakhir, ketiga partisipan merasakan konflik sebagai hambatan serta kesulitan terbesar dalam hidup mereka. Kebersamaan masyarakat berkurang karena gerak gerik mereka selalu diawasi dan dibatasi sehingga kegiatan seperti gotong-royong jarang dilaksanakan lagi. Sebelumnya, kebiasaan gotong-royong ini menjadi media pemersatu masyarakat, mereka saling memikul dalam kesulitan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan. Sejak konflik bergejolak di Aceh, hidup mereka dibatasi, tidak ada lagi kebebasan bergerak maupun berekspresi. Hal ini juga menjadikan masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang tertutup dan mudah menaruh curiga terhadap orang baru. Partisipan M menambahkan bahwa konflik menjadi luka yang susah terobati bahkan dirasakan sebagai kondisi yang paling sulit untuk diterima daripada bencana tsunami. Maka, dari uraian di atas dapat ditarik gambaran karakteristik resiliensi dari ketiga partisipan yang diwawancarai yang dihubungkan dengan skor resiliensi, adalah sebagai berikut: Meaningfulness Berdasarkan faktor meaningfulness, dapat disimpulkan bahwa ketiga partisipan memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai. Namun, dua orang partisipan yang memiliki nilai resiliensi yang lebih tinggi memiliki tujuan hidup yang lebih terarah dan terkait kebermanfaatan bagi banyak orang, sedangkan satu orang partisipan yang memiliki nilai resiliensi lebih rendah memiliki tujuan hidup yang terpusat untuk dirinya sendiri dan masa depan.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
71
Perseverance Dari hasil wawancara, diketahui bahwa keseluruhan partisipan mampu bertahan dalam kondisi sulit yang dihadapi sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh partisipan wawancara memiliki karakteristik perseverance. Equinimity Berdasarkan hasil wawancara, tidak seluruh partisipan memiliki karakteristik equanimity. Dua partisipan yang memiliki nilai resiliensi tinggi mampu berpandangan yang luas terhadap hidup dan memfokuskan pada hal-hal yang positif daripada hal yang negatif dari kesulitan hidup yang dihadapi. Sedangkan partisipan yang memiliki nilai resiliensi lebih rendah mengungkapkan bahwa ia tidak cukup mampu berespon secara baik terhadap masalah dan kesulitan yang dihadapi. Self-Reliance Tidak seluruh partisipan memiliki karakteristik self-reliance yang merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap diri sendiri dan terhadap kemampuan yang mereka miliki. Partisipan yang memiliki nilai resiliensi lebih rendah belum bisa menilai diri sendiri sedangkan pada dua partisipan lain dengan nilai reiliensi tinggi mampu mengenali kelebihan dan kekurangan diri sehingga mereka yakin terhadap diri sendiri. Existential aloneness Pada karakteristik terakhir yaitu keunikan yang dimiliki individu serta keberaniannya untuk berbeda dari yang lain, seluruh partisipan wawancara merupakan individu yang berani mengeluarkan pendapat yang berbeda, bahkan dua partisipan yang memiliki nilai resiliensi lebih tinggi cenderung lebih berani dan frontal dalam menyampaikan pendapat yang mereka yakini benar. Berdasarkan hasil wawancara, dua orang partisipan dengan nilai resiliensi yang tinggi atau berada di atas rata-rata kelompoknya memiliki kesesuaian karakteristik resiliensi dari Wagnild dan Young (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Berbeda dengan satu partisipan dengan nilai resiliensi lebih rendah atau berada di bawah rata-rata tampak tidak memiliki kesesuaian terhadap karakteristik resiliensi dari Wagnild dan Young. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
72
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan penelitian yang berisikan jawaban terhadap masalah penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. Peneliti juga mengemukakan diskusi hasil dan keterbatasan penelitian serta saran terkait pelaksanaan penelitian serupa di masa yang akan datang.
5.1
Kesimpulan Kesimpulan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian secara kuantitatif menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi sebagian besar partisipan dalam kelompok dewasa awal adalah sedang. Kemudian ditemukan perbedaan nilai resiliensi yang signifikan berdasarkan jenis kelamin, dimana kelompok perempuan memiliki nilai resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki. 2. Kemampuan resiliensi yang ditemukan dari hasil skala sikap yang dihubungkan dengan hasil wawancara adalah terdapat dua orang partisipan dengan nilai resiliensi di atas rata-rata memiliki kesesuaian karakteristik resiliensi dari Wagnild dan Young (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Berbeda dengan satu partisipan dengan nilai resiliensi di bawah rata-rata tampak tidak memiliki kesesuaian terhadap karakteristik resiliensi dari Wagnild dan Young. 3. Pada partisipan dewasa awal, terdapat nilai budaya yang terkait dengan resiliensi yaitu nilai-nilai agama Islam, sikap menerima, semboyan meuseraya dan meuripe, serta watak keras orang Aceh. Kemudian juga terdapat
value
penting
yang
membantu
meningkatkan
resiliensi
masyarakat, yaitu rasa kepedulian. Namun sangat disayangkan value ini memudar akibat konflik yang terjadi di Aceh.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
73
5.2
Diskusi dan Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nilai resiliensi yang
signifikan berdasarkan jenis kelamin, dimana kelompok perempuan memiliki nilai resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki. Variasi skor resiliensi berdasarkan jenis kelamin sesuai dengan pernyataan Delgado (dalam LaFromboise, dkk, 2006) yang menyatakan bahwa kemampuan resiliensi individu dipengaruhi oleh gender sebagai faktor individual. Namun, penemuan ini dimana kelompok perempuan memiliki nilai resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki berbeda dengan hal yang disampaikan Bonanno, dkk (2007) yang menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat resiliensi yang lebih rendah daripada laki-laki. Kemudian juga terdapat penelitian lain yang tidak sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rinaldi (2010) yang meneliti kemampuan resiliensi masyarakat kota Padang pasca gempa berdasarkan jenis kelamin menemukan bahwa laki-laki memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dari perempuan. Perbedaan hasil yang ditemukan di Aceh ini dapat terjadi diperkirakan karena adanya pengaruh budaya Aceh yang menempatkan peran perempuan pada posisi yang penting dalam kekuasaan kerajaan maupun dalam masyarakat (Talsya, 1994). Diketahui dari sejarah, terdapat sejumlah perempuan Aceh telah berperan dalam pemerintahan dan peperangan di Aceh sehingga perempuan Aceh tidak lagi dipandang sebagai kaum yang lemah tetapi dapat memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki (Hasjmy, 1997). Namun, selain karena pengaruh budaya, perbedaan nilai resiliensi perempuan dan laki-laki dalam hasil penelitian ini juga dapat terjadi karena jumlah sampel yang tidak begitu banyak dan tidak merata sehingga pada penelitian selanjutnya diperlukan untuk menambah jumlah sampel yang lebih banyak agar ditemukan gambaran yang lebih jelas. Ada dua teknik pengambilan data yaitu melalui skala sikap CD-RISC 10 dan
wawancara
yang
menggunakan
pedoman
wawancara
berdasarkan
karakteristik resiliensi Wagnid dan Young (2010). Dari hasil yang ditemukan, kedua teknik ini saling mendukung dalam menemukan kemampuan resiliensi individu. Diketahui bahwa partisipan yang memiliki skor resiliensi tinggi berdasarkan hasil skala sikap juga memiliki kesesuaian dengan karakteristik yang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
74
diajukan Wagnild dan Young. Berbeda dengan partisipan dengan skor resiliensi rendah tampak tidak memiliki kesesuaian terhadap karakteristik resiliensi dari Wagnild dan Young. Sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kesesuaian dengan karakteristik yang diajukan Wagnild dan Young akan lebih resilien daripada individu yang tidak memiliki kesesuaian dengan karakteristik ini. Menurut Wagnild dan Young, resiliensi dihasilkan dari suatu kekuatan yang berasal dari dalam diri individu sehingga hal ini juga mendukung pernyataan Neill (2006) bahwa resiliensi muncul pada orang yang telah terlatih keras, mempunyai sikap yang istimewa, kemampuan kognitif yang baik, emosi dan ketetapan hati yang teguh untuk mengatasi tantangan berat. Berdasarkan lima karakteristik resiliensi yang diajukan Wagnild dan Young (2009), yaitu perseverance, equanimity, meaningfulness, self-reliance, dan existential aloneness, karakteristik meaningfulness merupakan karakteristik yang paling penting dan menjadi landasan bagi keempat karakteristik lainnya (Wagnild & Young, 2009). Berdasarkan karakteristik meaningfulness, kemampuan resiliensi individu terkait dengan tujuan hidup dan usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki nilai resiliensi tinggi memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna dan terkait pada kebermanfaatan bagi orang banyak, sehingga hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Smokowski, dkk (dalam Everall, dkk, 2006) yang mengatakan bahwa individu yang tangguh cenderung memiliki tujuan, harapan, dan rencana untuk masa depan, dikombinasikan dengan ketekunan dan ambisi untuk membawa mereka pada hasil. Sedangkan pada individu dengan nilai resiliensi yang lebih rendah lebih berfokus pada diri sendiri. Hal ini berkaitan dengan Wagnild dan Young (2010) yang menyatakan bahwa orang dengan resiliensi rendah cenderung fokus pada diri sendiri. Kemampuan resiliensi yang baik pada partisipan dalam penelitian ini dapat disebabkan karena mereka merasa kejadian ini dirasakan oleh banyak orang, kehilangan anggota keluarga dan harta benda dirasakan bersama, sehingga merasa tidak seorang diri dan beban seakan dipikul bersama. Dari penelitian ini juga ditemukan nilai budaya terkait dengan kemampuan resiliensi masyarakat Aceh yaitu nilai budaya berdasarkan ajaran agama Islam. Partisipan memiliki sudut pandang yang luas dan dapat menerima dengan ikhlas setiap kejadian dalam hidup Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
75
sebagai kehendak Tuhan. Jika dikaitkan dengan budaya, maka pada karakteristik ini terdapat peran agama yang membantu individu dalam menerima kesulitan hidup. Hal ini mendukung pernyataan Beuf (dalam Holaday, 1997) bahwa kebudayaan, yang berisikan sikap-sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilainilai, dan standar kebaikan dalam suatu masyarakat juga sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Agama Islam di sini menjadi faktor yang mendukung terhadap resiliensi yang mengajarkan untuk pasrah terhadap kehendak Allah. Kemudian individu juga memiliki pandangan luas yaitu tetap bersyukur terhadap apapun yang terjadi, termasuk kejadian tsunami ini, karena dirasakan bencana ini membantu penyelesaian konflik sehingga masyarakat Aceh bisa hidup lebih damai, tenang, dan bebas. Banyak orang beralih ke agama saat dihadapi pada kondisi yang ekstrim dan menekan seperti dalam menghadapi trauma atau penyakit yang parah. Gall, dkk (dalam Meichenbaum, 2005) mengamati bahwa jika kekuatan yang lebih tinggi tersebut dianggap bekerja pada kondisi yang menekan, kondisi tersebut dilihat sebagai kesempatan untuk belajar sesuatu yang lebih bermakna dalam artian kekuatan yang maha tinggi tersebut sedang mengajarkan sesuatu yang lebih penting. Kondisi tersebut dianggap sebagai “wake-up call” dalam hidup dan mengatur ulang prioritas dalam hidup. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Aceh yang melihat bencana ini sebagai cara Tuhan untuk memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Kemudian, ajaran agama Islam juga menekankan pentingnya nilai keikhlasan dan menerima setiap kejadian hidup sebagai kehendak Tuhan. Selain ajaran agama, terdapat juga nilai hidup masyarakat Aceh yang mendukung kemampuan resiliensi yaitu watak keras orang Aceh. Watak keras ini disebut sebagai falsafah hidup (Hadih maja) yang memberi kesan watak orang Aceh yang sangat keras sehingga walaupun mereka selalu dihadapkan pada berbagai kesulitan, mereka tetap memiliki semangat yang besar untuk bangkit. Mengkaji mengenai faktor penghambat yang mempengaruhi kemampuan resiliensi, partisipan mengungkapkan bahwa bencana tsunami yang terjadi merupakan kondisi yang menekan bagi mereka, namun konflik yang terjadi di Aceh pun menjadi hambatan yang juga sangat berarti bagi mereka. Hal ini juga dijelaskan oleh Schoon (2006) yang menyatakan bahwa konsep risk dalam Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
76
penelitian resiliensi untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya maladjustment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, konflik dan pengalaman trauma. Faktor-faktor ini mempengaruhi individu secara efektif maupun kognitif (Schoon, 2006). Pengalaman konflik juga ditemukan pada partisipan dalam penelitian ini. Partisipan yang pernah menjadi saksi mata terkait kekerasan yang terjadi karena konflik pada masa lalu menjadikan mereka sebagai individu yang resilien karena konflik membuat mereka terlatih dalam menghadapi kondisi apapun sehingga kemampuan mereka untuk bangkit masih sangat besar. Pasca bencana, terdapat nilai hidup masyarakat Aceh yang semakin memudar, yaitu rasa kepedulian. Padahal, rasa kepedulian ini membantu kemampuan resiliensi pada masyarakat. Hilangnya nilai hidup orang Aceh tidak semata dikarenakan bencana, tetapi juga sebagai dampak dari konflik yang cukup lama terjadi di Aceh yang menyebabkan gerak masyarakat sangat dibatasi. Selama masa konflik, masyarakat diperlakukan berbeda, terjadi diskriminasi dan isolasi. Hal ini membuat banyak kebiasaan orang Aceh berubah, seperti semboyan Meuseraya dan Meuripe yang berarti segala sesuatu dikerjakan bersama-sama, tidak lagi bisa diterapkan sepenuhnya karena segala kegiatan masyarakat selalu diawasi dan dicurigai, apalagi saat mereka berkumpul bersama. Konflik dilihat sebagai masalah tersulit bagi hidup masyarakat Aceh karena banyak yang mengalami trauma, melihat perempuan mereka diperkosa, keluarga mereka disiksa, bahkan dibunuh di depan mata mereka. Kejadian ini menimbulkan trauma dan dendam yang mendalam. Mereka sulit untuk menerima dan memaafkan kekerasan yang terjadi saat konflik. Sedangkan kehilangan keluarga saat bencana tsunami lebih dapat diikhlaskan karena mereka meyakini bahwa kejadian ini merupakan kehendak Tuhan. Penelitian ini dilakukan hampir 8 tahun setelah terjadinya bencana gempa dan tsunami 2004 di Aceh sehingga diperkirakan terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap resiliensi individu karena resiliensi bukan sebagai atribut tetap atau hasil tertentu tetapi lebih sebagai proses dinamis yang berkembang dari waktu ke waktu (Hollister-Wagner, dkk, dalam Everall, dkk, 2006). Oleh sebab itu, ada baiknya untuk melakukan penelitian terkait resiliensi dalam waktu yang Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
77
lebih dekat atau dalam waktu yang lebih jauh lagi dari waktu setelah terjadinya bencana agar ditemukan hasil yang berbeda. Penelitian ini juga membanding kemampuan resiliensi berdasarkan jenis kelamin, namun sampel yang digunakan hanya sedikit sehingga diharapkan adanya penelitian lanjutan yang melihat jenis kelamin sebagai faktor yang mempengaruhi resiliensi dalam sampel yang lebih banyak, khususnya reliensi pada perempuan di Aceh.
5.3
Saran Berikut ini adalah saran bagi pelaksanaan penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Mengambil sampel yang mencakup berbagai daerah yang juga terkena bencana gempa tsunami selain Banda Aceh karena Aceh memiliki banyak daerah dengan kekhususannya masing-masing. 2. Mengkaji lebih dalam mengenai perbedaan jenis kelamin untuk tiap kelompok usia agar didapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kemampuan resiliensi masyarakat Aceh. 3. Penelitian terkait resiliensi masih sangat diperlukan, tidak hanya mengenai bencana tetapi lebih mengkaji mengenai konflik yang terjadi di Aceh dalam hubungannya dengan resiliensi karena selain nilai-nilai resiliensi yang terkait bencana juga ditemukannya kualitas resiliensi yang terkait dengan konflik. 4. Penelitian ini dilakukan hampir 8 tahun setelah terjadinya bencana gempa dan tsunami 2004 di Aceh sehingga diperkirakan terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap resiliensi. Maka ada baiknya untuk melakukan penelitian terkait resiliensi dalam waktu yang lebih dekat atau dalam waktu yang lebih jauh lagi dari waktu setelah terjadinya bencana agar ditemukan hasil yang berbeda. 5. Dari penelitian ini terlihat banyak nilai-nilai budaya Aceh yang berperan dalam kemampuan resiliensi masyarakat, seperti menerima kehendak Tuhan, rasa kepedulian, dan semboyan Meuseraya dan Meuripe. Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat untuk tetap memelihara nilai hidup yang membangun masyarakat untuk kemudian diturunkan pada generasi berikutnya agar dapat terus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
78
DAFTAR PUSTAKA Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological Testing 7th ed. New Jersey: Prentice Hall. Austin. (2011). Diunduh dari http://chks.wested.org/resources/chks_guidebook _2_rydm.pdf pada tanggal 27 April 2012 pukul 21.00 WIB. Bonanno, G.A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlahov, D. (2007). What predicts psychological resilience after disaster? The role of demographics, resources, and life stress. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 57(5), 671-682. DOI: 10.1037/0022-006X.75.5.671. Ciccarelli, Saundra, K., & Meyer, Glenn, E., (2006). Psychology. New Jersey: Pearson Education, Inc., Upper Saddle River. Cicchetti, D., & D.J. Cohen. (1995). Developmental Psychopathology. Risk, Disorder, and Adaptation, 2, 801-847. New York: Wiley. Cronbach, L. (1990). Essentials of psychological testing. New York: Harper & Row. Danieli, Yael. (1996). International Responses to Traumatic Stress. New York: Baywood Publishing Company, Inc. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Upaya Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk Kesiapsiagaan Bencana. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Durkin. (2007). Adolescence and Adulthood. Diunduh dari http://www.blackwellpublishing.com/intropsych/pdf/chapter10.pdf pada tanggal 1 Mei 2012, pukul 23.57 WIB. Everall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L. (2006) Creating a future: A study of resilience in suicidal female adolescents. Journal of Counseling & Development, 84, 461-470. Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2006). Research Methods for The Behavioral Science. California: Thomson Wardswoth. Hadi, Amirul. (2010). Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
79
Hancock, B. (1998). An Introduction to Qualitative Research. Trent Focus for Research and Development in Primary Health Care. Diunduh dari http://faculty.cbu.ca/pmacintyre/course_pages/MBA603/MBA603_files/Int roQualitativeResearch.pdf pada tanggal 27 Mei 2012, pukul 10.28 WIB. Hasjmy, A. (1997). Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy. Herrman, H., Stewart, D.E., Granados, N., DPhil, E., Jackson, B., & Yuen, T. (2011). What is resilience?. La Revue canadienne de psychiatrie, 56(5), 258-265. Holaday, Margot. (1997). Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling and Development, 75, 346-357. Hurlock, E. B. (1999). Developmental Psychology: A Life-Span Approach. United States: McGraw-Hill College. Kerlinger, F.N., & Lee, H. B. (2000). Foundation of behavioral Research (4th ed). USA : Harcourrt Inc. Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step By Step Guide for Beginners. London: SAGE Publications. Kumpfer, K. L. (1999). Factors and Processes Contributing to Resilience: The Resilience Framework. Dalam Glantz & Johnson, Resilience and Development:
Positive
Life
Adaptations.
New
York:
Kluwer
Academic/Plenum Publishers. 179-212. LaFromboise, T. D., Hoyt, D. R., Oliver, L., & Whitbeck, L. B. (2006). Family, community, and school influences on resilience among American Indian adolescents in the upper Midwest. Journal of Community Psychology, 34(2), 193-209. Lavigne, Franck., Coster, Benjamin De., Juvin, N., Flohic, F., Gaillard, J.C., Texier, P., Morin, J., & Sartohadi, J. (2007). People’s behavior in the face of volcanic hazards: Perspective from Javaness communities, Indonesia, Journal of Volcanology and Geothermal Research, 172, 273-287. Lestari, Kurniya. (2007). Hubungan antara bentuk-bentuk dukungan sosial dengan tingkat resiliensi penyintas gempa di Desa Canan, Kecamatan
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
80
Wedi, Kabupaten Klaten. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. LIPI-UNESCO/ISDR.
(2006).
Kajian
Kesiapan
Masyarakat
dalam
Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Masten, Ann, S., & Gewirtz, Abigail, H. (2006). Resilience in Development: The Importance of Early Childhood. Encyclopedia on Early Childhood Development,
1-6.
Diunduh
http://www.child-
dari
encyclopedia.com/documents/Masten-GewirtzANGxp.pdf pada tanggal 1 Mei 2012, pukul 22.05 WIB. Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI). (2006). Pengurangan Risiko Bencana Dimulai di Sekolah. Jakarta: MPBI. McCubbin, Laurie. (2001). Challenges to the Definition of Resilience. Paper presented at the Annual Meeting of the
American Psycological
Association, 24-28 Agustus 2001. University of Wisconsin-Madison. San Fransisco, California. Meichenbaum, D. (2005). Understanding Resilience in Children and Adults: Implications for Prevention and Interventions. Miller. (1992). Diunduh dari http://www.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=Lyxgk3cF6B4C&oi=fnd& pg=PA269&dq=Miller+1992+Piaget&ots=7RxFOm8nmD&sig=OoVdIuh er1nEbCzbAF_Dp2aJALY&redir_esc=y#v=onepage&q=Miller%201992 %20Piaget&f=false pada tanggal 3 Mei 2012, pukul 21.17 WIB. Neill,
J.
(2006).
What
is
psychological
resilience.
Diunduh
dari
http://www.wilderdom.com/psychology/resilience/PsychologicalResilienc e.html pada tanggal 4 Mei 2012, pukul 17.14 WIB. Nevid, Jeffrey, S., & Rathus, Spencer, A. (2005). Psychology and the Challenges of Life (9th ed). John Wiley & Sons, Inc, USA. Papalia, Diane E., Olds, Sally W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human Development (8th ed). Boston: McGraw-Hill. Poerwandari, E. K. (2011). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
81
Reich, J.W. (2006). Three psychological principles of resilience in natural disasters. Disaster Prevention and Management, 15(5), 793-798. DOI: 10.1108/09653560610712739. Rinaldi. (2010). Resiliensi pada masyarakat Kota Padang ditinjau dari jenis kelamin. Jurnal Psikologi, 3(2), 99-105. Padang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang. Santrock, J.W. (1995), Life-Span Development. Jilid II, Terjemahan oleh Chusairi, Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Santrock, John, W. (2002). Life-Span development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi ke-5, Jakarta : Penerbit Erlangga. Sarwono, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Schoon, I. (2006). Risk and Resilience : Adaption in Changing Times. Cambridge University Press, New York. Sugito, Nanin, T. (2008). Tsunami. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Suleeman Chandra, J. (Ed.). (2009). Konsep Kematian dan Upaya Pemulihan dari Kehilangan Akibat Kematian Orang yang Dikasihi pada Anak dan Remaja. Berpikir Kritis dalam Sorotan Psikologi Budaya Indonesia. Laporan Penelitian Payung. Depok, Jawa Barat: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Talsya, T. Alibasjah. (1994). Adat dan Budaya Aceh: Nada dan Warna. Banda Aceh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh. The International Conference on Psychology of Resilience. (2011). Programme Book. Depok: Faculty of Psychology University of Indonesia. Tsunami and Disaster Mitigation Research Center. (2010). Syiah Kuala University.
http://piba.tdmrc.org/content/bencana-aceh
diunduh
pada
tanggal 1 Juni 2012 pukul 15:04 WIB. United Nations Development Programme Indonesia. (2007). Laporan Tahunan. Jakarta. Wagnild, Gail. (2009). A Review of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 17(2), 105-113. DOI: 10.1891/1061-3749.17.2.105.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
82
Wagnild, G.M. & Young, H.M. (2010). Discovering your resilience core. Diunduh dari http://www.resiliencescale.com/papers/pdfs/Discovering_ Your_Resilience_Core.pdf pada tanggal 4 Mei 2012, pukul 16.51 WIB. Wagnild, G.M., & Young, H.M. (1993). Development and psychometric validation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1, 165-178. Werner, Emmy, E. (2005). Resilience and Research: Past, Present, and Future. Dalam Petres dkk., Resilience in Children, Families and Community: Linking Context to Practice and Policy. Plenum Publisher, New York. Yayasan Pulih & JICA. (2006). Bersama Meraih Asa. Pusat Krisis Psikologi Universitas Indonesia. http://www.inatews.bmkg.go.id/tentang_eg.php diunduh pada tanggal 12 Februari 2012, pukul 20.00 WIB.
Universitas Indonesia
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
1
LAMPIRAN
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
2
LAMPIRAN I HASIL PERHITUNGAN STATISTIK
4.4.1
Gambaran Resiliensi pada Partisipan Usia 25-40 tahun Descriptive Statistics N
Minimum
jumlahtotal
27
Valid N (listwise)
27
19
Maximum 49
Mean 40.11
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
Std. Deviation 6.247
3
4.4.2
Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 25-40 tahun Berdasarkan Jenis Kelamin
0 = Laki-laki 1 = Perempuan Group Statistics jeniskel amin jumlahtotal
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
0
8
34.88
7.338
2.594
1
19
42.32
4.256
.976
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
F juml Equal variances ahtot assumed al Equal variances not assumed
2.058
Sig.
t
.164 -3.329
df
Sig. (2Mean Std. Error tailed) Difference Difference
Lower
Upper
25
.003
-7.441
2.235
-12.044
-2.838
-2.684 9.053
.025
-7.441
2.772
-13.706
-1.176
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
4
LAMPIRAN II VERBATIM TIGA ORANG PARTISIPAN WAWANCARA
1. VERBATIM WAWANCARA I (DEWASA AWAL - PEREMPUAN) Tempat
: Ruang Kantor Yayasan Pulih Aceh
Waktu
: Minggu, 6 Mei 2012
Durasi
: 1 jam 42 menit 02 detik
Interviewee
: D (inisial), Wanita, usia 37 tahun
Interviewer
:E
E: Mungkin waktunya kira-kira satu hingga satu setengah jam tergantung kebutuhan data ini kak, apa kakak ga ada masalah? D: iya gapapa dek E: Nanti seandainya ada pertanyaan saya yang kurang jelas atau saya terlalu terburu-buru berbicara, kakak silahkan cut saja kak, memotong saya, tidak apa (tertawa kecil) D: Iya dek E: Hmm, disini ada beberapa pertanyaan dan pertanyaan ini sudah ada yang terjawab saat FGD kemaren jadi mungkin tidak akan saya tanyakan lagi kak. Paling saya menanyakan untuk memperjelas kembali atau melengkapi data. Kak, domisili saat ini dimana kak? D: Di Lampuloh. Jalan kamboja dusun Tengku Tuan Lampuloh, Gampong Lampuloh, Kecamatan Batu Alam kota Banda Aceh E: Oke..Mungkin sambil ngobrol sambil catat-catat ngak apa-apa kak? D: Boleh kok, free aja dek E: Kemaren kakak juga sudah cerita tentang perubahan- perubahan yang terjadi setelah bencana seperti kerugian, kerugiannya apa aja kak, boleh diceritakan? D: Kakak pribadi? E: Huuhh
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
33
2. VERBATIM WAWANCARA II (DEWASA AWAL - LAKI-LAKI) Tempat
: Ruang Kantor Yayasan Pulih Aceh
Waktu
: Senin, 7 Mei 2012
Durasi
: 42 menit 11 detik
Interviewee
: S (inisial), Laki-laki, usia 27 Tahun
Interviewer
:E
E: Domisili abang saat ini, tempat tinggal dimana ya bang? S: Kampung Mulya E: Abang saat terkena tsunami itu tinggal di kampung Mulya? S: Hooh E: Sudah sejak kapan tinggal disana bang? S: Dari kecil ya E: Dari kecil? Dari lahir? S: Hmm, ya E: Tahunnya? S: ga tau ya, soalnya saya disana sudah sejak dari kecil sekali, jadi ga ingat tahun berapa E: Oh, kalau gitu, kira-kira tahun 80-an? S: Iya E: Abang sekeluarga tinggal bersama berapa orang? Termasuk abang sendiri S: Ini dirumah ato gimana? E: Iya, dirumah S: Kalau di rumah ga ada, saya tinggal sendiri karena yang lain sudah pada menikah kan jadi punya rumah sendiri-sendiri.
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
44
3. VERBATIM WAWANCARA III (DEWASA AWAL – LAKI-LAKI) Tempat
: Ruang Kantor Yayasan Pulih Aceh
Waktu
: Selasa , 8 Mei 2012
Durasi
: 1 jam 12 menit 48 detik
Interviewee
: M (inisial), Pria, usia 30 tahun
Interviewer
:E
E
: sekarang kita mulai wawancaranya. jadi sebenarnya wawancaranya ga, ga terlalu banyak berbeda dari fgd kemaren, cuman mungkin ada beberapa pertanyaan yang aaa belum ditanyain di fgd kemaren jadi akan kita tanyakan di wawancara ini sekarang. Nah sekarang mungkin perkenalan diri dulu kali ya. Nama, usia, status, pekerjaan sekarang, dan alamat tinggal eh sekarang domisilinya dimana?
M
: saya Maimunzir, biasa dipanggil Maimun atau ada juga yang panggil Munzir. Sudah tu sekarang umur umurnya 30, haaa tinggalnya di Banda Aceh jadi di Akor Nangroe, terus kalau pekerjaan, saya sekarang kerja di YRBPI Yasasan Rehabilitasi dan juga masih berkesenian di sanggar Cuek Curahan Ekspresi, gitu.
E
: sekarang udah berkeluarga?
M
: udah
E
: anak berapa bang?
M
: anak dua
E
: anak dua
M
: hooh
E
:oo ya jadi kita kan mau tanya-tanya soal berhubungan dengan bencana kemaren, tsunami 2004 kan bang ya?
M
: iya
E
: nah kalau boleh tau pas bencana tsunami itu abang usianya berapa, lagi ngapain, itu certain kira-kira kurang lebih gimana
M
: kalau usia berarti kalau sekarang 30 dikurangi 8
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
66
LAMPIRAN III PEDOMAN WAWANCARA
DATA DEMOGRAFI Jenis Kelamin
:
Usia
:
Status (berkeluarga/tidak)
:
Pekerjaan sekarang
:
Pekerjaan sebelumnya
:
Pendidikan terakhir
:
Domisili saat ini
:
Lama tinggal di daerah bencana
:
Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : Agama/kepercayaan
:
PERUBAHAN YANG TERJADI SETELAH BENCANA Kerugian akibat bencana: •
Tempat tinggal
•
Harta benda (sawah, kebun, binatang ternak, perahu, tambak, toko, kendaraan, surat
tanah, sertifikat, ijazah) •
Anggota keluarga dll (korban jiwa, korban luka-luka, korban keimanan)
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
67
Tsunami Aceh •
Perasaan ketika mengetahui akan ada bencana
•
Persiapan yang dilakukan
•
Mengapa tidak mengungsi
•
Apa yang Bapak/Ibu/Sdr lakukan ketika berhadapan dengan kesulitan hidup? Apa terjadi
perubahan antara dulu dan sekarang (pasca bencana)? •
Apa yang dimaknai oleh Bapak/Ibu/Sdr, keluarga, dan komunitas Bapak/Ibu/Sdr ketika
hal yang buruk terjadi? Sebutin hal buruknya? Bagaimana cara copingnya?
Contoh pertanyaan berdasarkan komponen Wagnild-Young 1.
Meaningfulness hidup meliliki tujuan
•
Apa yang menurut Bapak/Ibu/Sdr paling penting dalam hidup?
•
Apa saja yang Bapak/Ibu/Sdr sudah lakukan untuk mencapai tujuan tersebut?
•
Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki perencanaan langkah-langkah untuk mencapai tujuan
tersebut? Apa saja? •
Apa motto atau semboyan hidup Bapak/Ibu/Sdr?
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
69
LAMPIRAN IV SKALA SIKAP RESILIENSI
Assalamu’alaikum wr.wb,
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam
Kami adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang sedang mengadakan survei mengenai kajian budaya masyarakat Jawa yang dilakukan dalam rangka penyelesaian skripsi. Kami mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta dalam survei ini. Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam survey ini adalah sukarela. Jika Bapak/Ibu bersedia, silakan memberikan jawaban apa adanya berdasarkan apa yang Bapak/Ibu alami atau rasakan. Jawaban Bapak/Ibu tidak akan dinilai benar atau salah. Kami tidak akan meminta dan mencantumkan nama Bapak/Ibu. Kami akan menjaga kerahasiaan informasi yang Bapak/Ibu berikan. Informasi yanag Bapak/Ibu berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan survey ini saja. Terimakasih atas perhatian dan keikutsertaan Bapak/bu.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
70
Apakah Bapak/Ibu setuju untuk berpartisipasi dalam survei ini: Ya
Tidak
Tandatangan/Paraf: _______________________ Tanggal: ___________________ DATA RESPONDEN 1. 2. 3.
Jenis kelamin: Laki-laki Perempuan Usia: _________ tahun Status: Belum menikah Menikah, memiliki _________ anak Pernah menikah, memiliki _______ anak
4a. Pekerjaan sebelum bencana:_______________________________ 4b. Pekerjaan setelah bencana: ________________________________ 5.
Pendidikan terakhir: Tidak Tamat SD/sederajat SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma Sarjana Lainnya, sebutkan ____________________________
6. Tempat tinggal saat ini (jawab salah satu): Pengungsian Rumah sendiri Rumah saudara Rumah teman Lainnya, sebutkan _____________________________ 7. Lama tinggal di desa/ dusun yang sekarang: ___________ tahun 8. Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : ______ orang 9. Agama/kepercayaan: ___________________
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
71
Pada bagian ini Bapak/Ibu/Sdr diminta memberikan jawaban tentang keadaan yang biasanya dari Bapak /Ibu/Sdr. Silahkan memberikan jawaban apa adanya berdasarkan apa yang Bapak/Ibu/Sdr alami atau rasakan. Jawaban Bapak/Ibu/Sdr tidak dinilai benar atau salah.
1
Saya mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
1
2
3
4
5
Tidak
Hampir
Sesekali
Sering
Hampir
pernah
tidak
sama
pernah
sekali
Resiliensi dewasa..., Elsha Fara, FPSI UI, 2012
selalu