Motif dan Kepentingan Jepang dalam Pemberian Bantuan Kemanusiaan kepada Indonesia untuk Bencana Tsunami Aceh Tahun 2004 Anindita Brillianti1 dan Asra Virgianita2 1
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini berfokus pada pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek senilai 14,6 milyar yen kepada Indonesia untuk bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Selama ini ODA Jepang, khususnya bantuan kemanusiaan didominasi oleh bantuan pinjaman proyek yang diasumsikan sangat sarat dengan kepentingan ekonomi Jepang. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan menganalisis motif serta kepentingan yang mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan tersebut. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yang mengacu pada kerangka analisis motif dan kepentingan negara dalam pemberian bantuan luar negeri yang diajukan oleh John Degnbol-Martinussen dan Poul Engberg-Pedersen. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua motif dan kepentingan Jepang yang mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan tersebut, yaitu motif politik, berupa ambisi Jepang menjadi preeminent power di kawasan Asia dan perolehan prestige politik di antara negara donor lain; dan motif ekonomi, berupa perolehan kemudahan akses sumber daya ekonomi Aceh, yaitu hasil laut.
Motives and interests of Japan in Humanitarian Aid to Indonesia for the Aceh Tsunami in 2004 Abstract This study focuses on the provision of humanitarian aid in the form of non - project grants worth 14.6 billion yen to Indonesia for the tsunami that struck Aceh in 2004 given by the government of Japan. Japan’s ODA history, particularly humanitarian aid, has been dominated by loan which is assumed to provide economic advantages over Japan as donor. This study is aimed to identify and analyze the motives and interests behind the provision of humanitarian aid. This study uses qualitative descriptive approach, which refers to the analytical framework behind donor motives and interests of foreign aid as written by John Degnbol-Martinussen and Poul Engberg-Pedersen. The findings show that there are two motives and interests behind the provision of humanitarian aid, political motive and economic motive. The political motive is Japan’s ambitions to become preeminent power in Asia and the acquisition of political prestige among donors. The economic motive is Japan’s acquisition of the ease of access to economic resources in Aceh, specifically marine resources. Keywords: Japan, Official Development Assistance, Aceh, non-project type grant aid, motives and interests, politics, economics, humanitarian aid
Pendahuluan
Keberhasilan pembangunan ekonomi Jepang yang demikian pesat telah menempatkan Jepang sebagai pemberi bantuan luar negeri terbesar bagi negara berkembang termasuk Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan development aid.1 Hal lain yang perlu diingat adalah Jepang juga merupakan negara yang sangat bergantung dengan perdagangan dan investasi, terutama dengan negara berkembang. Hubungan ketergantungan Jepang dengan berbagai negara berkembang di Asia termasuk Indonesia juga menjadi semakin nyata, baik dalam dimensi politik, ekonomi, maupun sosial, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang geografis dan historis.2 Oleh karenanya, terciptanya tatanan internasional yang stabil dan kondusif merupakan hal yang penting dan esensial dalam memastikan keamanan dan kepentingan ekonomi Jepang. Fenomena bencana tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah meluluh-lantahkan sebagian besar wilayah Nanggroe Aceh Darussalam menjadi tsunami dengan korban jiwa terbanyak dan kerusakan terparah sepanjang sejarah peradaban manusia. Peristiwa ini menimbulkan simpati dari dunia internasional, termasuk Jepang. Perdana Menteri Koizumi menyatakan bahwa “[J]apan will provide emergency assistance to the maximum extent possible in three ways: financial resources, human resources, and knowledge and expertise.”3 Dalam jangka pendek, pemerintah Jepang memberikan bantuan berupa dukungan finansial dana hibah senilai 500 juta dolar AS sebagai bantuan darurat, dengan rincian 250 juta dolar AS untuk bantuan bilateral, dan 250 juta dolar AS melalui PBB dan organisasi internasional lainnya. PM Koizumi pada ASEAN Leaders’ Meeting on the Aftermath of the Earthquake and Tsunami, 6 Januari 2005, juga menyatakan bahwa Jepang memberikan bantuan tersebut untuk menunjukkan solidaritas Jepang sebagai negara sahabat sekaligus sebagai aksi nyata.4 Pada 27 Desember 2004, pemerintah Jepang memberikan bantuan darurat berupa in kind dengan total nilai 26 juta yen, berupa tenda, selimut, dan genset. Jepang juga memberikan ODA bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek pada 17 Januari 2005 sebesar
1
Alan Rix, Japan’s Foreign Aid Challenge: Policy Reform and Aid Leadership (London: Routledge, 1993), 1. Alan Rix, Japan’s Foreign Aid Challenge, 2. 3 MOFA, “At a Glance: Japan's Emergency Assistance in Response to the Sumatran Earthquake and Tsunami Disaster in the Indian Ocean, January 20, 2005,” diakses pada 10 September 2013, http://www.mofa.go.jp/policy/disaster/indonesia/glance.pdf 4 MOFA, “Indian Ocean Tsunami Disaster – Comments by Prime Minister Koizumi,” diakses pada 10 September 2013, http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/comment0501.html 2
Universitas Indonesia
14,6 milyar yen untuk korban bencana tsunami dan gempa bumi Aceh dan Nias.5 Jepang juga memberikan pinjaman senilai 640 juta dolar untuk rekonstruksi pembangunan pasca tsunami Aceh di tahun 2006. Selain itu, Jepang memberikan pinjaman pada 29 Maret 2007 sebesar 11,6 juta yen untuk Proyek Rekonstruksi Aceh, yang diwujudkan untuk membangun infrastruktur di Aceh pasca tsunami.6 Selain itu, pemerintah Jepang juga membuka kantor ad hoc kedutaan Jepang di Banda Aceh pada awal Februari 2005 yang dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama dalam menyalurkan bantuan untuk korban bencana tersebut.7 Kiprah Jepang sebagai donor development aid di Indonesia telah berlangsung sejak lama dan erat hubungannya dengan relasi historis antara Jepang dan Indonesia di masa lampau. Selain itu, persoalan penanggulangan bencana terutama yang terkait dengan tsunami memang telah menjadi perhatian Jepang atas statusnya sebagai negara yang terletak pada ring of fire dan rawan terkena bencana alam seperti tsunami. Oleh karenanya, peranan Jepang dalam memberikan bantuan kemanusiaan untuk bencana tsunami menjadi momentum penting yang menandai signifikansi peranan Jepang sebagai donor terkait dengan aktivitas pemberian bantuan luar negeri di Indonesia. Bantuan kemanusiaan berupa hibah non-proyek yang diberikan oleh Jepang merupakan bantuan darurat bencana yang diasumsikan tidak memuat kepentingan politik Jepang sebagai negara donor. Bencana tsunami yang melanda beberapa negara seperti Indonesia, Sri Lanka, Thailand, dan Maladewa dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas tatanan internasional dan perdamaian dunia, yang secara tidak langsung, cepat atau lambat, juga akan mempengaruhi aktivitas Jepang, terutama di sektor ekonomi. Pernyataan PM Koizumi yang menyatakan pemberian bantuan tersebut untuk menunjukkan solidaritas Jepang menunjukkan bahwa bantuan kemanusiaan tersebut tidak semata hanya ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan korban bencana tsunami di Sumatera dan Nias. Bantuan kemanusiaan Jepang ke Indonesia dalam bentuk hibah non-proyek merupakan bantuan yang tidak membutuhkan pelunasan seperti pinjaman, atau tidak membutuhkan 5
MOFA, “Bantuan Hibah Non Proyek Tahun Anggaran 2004 (Bantuan untuk Para Korban Bencana Tsunami dan Gempa Bumi di Sumatera),” diakses pada 7 September 2013, http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/projects/grant/odaprojects_grant_2004_aceh_sumut.htm 6 MOFA, “Proyek Rekonstruksi Aceh,” diakses pada 7 September 2013, http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/projects/loan/odaprojects_loan_2006_4.htm 7 MOFA, “Establishment of an Ad hoc Office of the Japanese Embassy in Banda Aceh, Indonesia,” diakses pada 27 Februari 2014, http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2005/1/0121-4.html
asistensi dan kerjasama teknis yang akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik Jepang sebagai negara donor maupun Indonesia sebagai negara penerima bantuan. Selain itu, sifat hibah non-proyek yang seharusnya merupakan untied aid juga menunjukkan bahwa bantuan ini selayaknya nihil dari kepentingan non-kemanusiaan. Oleh karenanya, pemberian hibah non-proyek diasumsikan tidak memuat kepentingan ekonomi dan komersial dari sisi negara donor. Pemberian hibah non-proyek diharapkan memungkinkan implementasi pemberian bantuan secara efektif dan sesuai dengan kebutuhan negara penerima bantuan, dalam hal ini Indonesia. Pemberian bantuan kemanusiaan Jepang untuk bencana tsunami Aceh dalam bentuk hibah non-proyek, mengisyaratkan bahwa bantuan ini terlepas dari motif dan kepentingan di luar moralitas. Bantuan tersebut dilihat sebagai emergency response pemerintah Jepang dalam menghadapi bencana berskala internasional yang berdampak pada Indonesia, Sri Lanka, Maladewa, Thailand, serta India. Namun demikian, adanya pernyataan-pernyataan dari pemerintah Jepang sebagaimana telah dijelaskan di atas mengisyaratkan adanya kepentingan lain yang mengiringi keputusan pemberian bantuan hibah non-proyek tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat hal tersebut sebagai fokus penelitian ini. Pertanyaan permasalahan yang diangkat adalah: “Selain adanya spirit moral dan kemanusiaan, motif dan kepentingan apa yang mengiringi keputusan pemberian bantuan kemanusiaan berupa hibah non-proyek Jepang kepada Indonesia untuk bencana tsunami Aceh tahun 2004?” Adapun periode penelitian ini adalah antara tahun 2005 hingga 2008. Tahun 2005 dipilih karena merupakan tahun awal kesepakatan bantuan hibah kemanusiaan, tepatnya 17 Januari 2005 (Date of Exchange of Notes). Tahun 2008 dipilih menjadi tahun terakhir penelitian karena menjadi tahun berakhirnya kesepakatan bantuan hibah kemanusiaan JepangIndonesia, tepatnya 7 April 2008. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis motif serta kepentingan selain spirit kemanusiaan dan moral yang mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek oleh Jepang kepada Indonesia dalam rangka bencana tsunami yang melanda Aceh pada akhir tahun 2004.
Tinjauan Teoretis Bantuan luar negeri secara umum diartikan sebagai tindakan altruistik yang ditujukan untuk membantu negara miskin, yang melibatkan adanya transfer komoditas publik dari satu negara
ke negara lain.8 Pemberian bantuan luar negeri dilihat sebagai pemenuhan kewajiban negara maju kepada negara berkembang untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan yang menjadi kendala utama dalam pembangunan. Tujuan pemberian bantuan luar negeri telah berkembang dari waktu ke waktu, mulai dari mewujudkan pembangunan ekonomi hingga tercapainya berbagai perubahan sosial, seperti reformasi politik dan pengembangan institusional. Meluasnya tujuan yang mengiringi pemberian bantuan luar negeri dilihat sebagai indikasi meningkatnya intervensi negara donor. Untuk menjelaskan motif dan kepentingan yang mengiringi pemberian bantuan luar negeri, John Degnbol-Martinussen dan Poul EngbergPedersen menjabarkan adanya empat motif utama.
Gambar 1. Motif dan Kepentingan Negara dalam Pemberian Bantuan Luar Negeri Sumber: John Degnbol-Martinussen dan Poul Engberg-Pedersen, Aid: Understanding International Development Cooperation (London: Zed Books, 2003), 17.
Motif pertama yang melatarbelakangi pemberian bantuan luar negeri adalah motif kemanusiaan dan moral, yang didasari atas adanya tanggung jawab moral untuk membantu negara miskin.9 Pemberian bantuan luar negeri dilihat sebagai bentuk charity dan mempertimbangkan negara miskin juga berhak menikmati sumber daya secara leluasa. Pemberian bantuan luar negeri pada akhirnya juga akan membawa keuntungan bagi negara donor dalam jangka panjang, dikarenakan adanya saling ketergantungan antara negara maju dan negara berkembang yang menyebabkan kerjasama ekonomi menjadi hal yang tak terhindarkan. Motif ini dilihat sebagai motif utama yang mendasari pemberian bantuan luar negeri multilateral, di mana bantuan luar negeri disalurkan melalui organisasi multilateral dilihat bersifat murni dan berakar pada motif moral dan kemanusiaan, sementara pemberian bantuan luar negeri bilateral seringkali diasosiasikan dengan kepentingan keamanan nasional dan motif ekonomi tertentu.10 8
David Arase, Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid (London: Lynne Rienner Publisher Inc., 1995), 9. 9 Degnbol-Martinussen dan Engberg-Pedersen, Aid, 10. 10 Ibid., 12.
Motif kedua adalah motif dan kepentingan politik. Hal ini dikarenakan kebijakan pemberian bantuan luar negeri seringkali menjadi instrumen utama yang digunakan negara donor untuk mencapai keamanan nasional dan kepentingan politiknya. Dalam konteks ini, pemberian bantuan militer seringkali berasosiasi dengan pembentukan aliansi politik dan militer. Namun, diakui bahwa pemberian bantuan luar negeri yang ditujukan untuk pembangunan jarang berkaitan dengan upaya pencapaian kepentingan politik dan keamanan nasional suatu negara donor.11 Motif ketiga adalah kepentingan komersial dan ekonomi yang seringkali menjadi alasan utama yang mengiringi pemberian bantuan luar negeri oleh negara industri maju. Namun begitu, motif tersebut menentukan bagaimana negara donor ‘memilih’ negara penerima bantuannya, dan bagaimana metode pemberian bantuan luar negeri dilaksanakan. Negara bekas jajahan mendapatkan konsentrasi bantuan luar negeri yang lebih besar dari koloninya, tidak hanya dikarenakan sebagai bentuk penghormatan dan keterikatan historis, tetapi juga untuk memastikan keterbukaan akses terhadap sumber daya dan pasar di negara penerima bantuan.12 Pada umumnya, tied aid mengacu pada permintaan negara donor untuk menggunakan bantuan hibah atau pinjaman luar negeri yang diberikan dengan komoditas atau jasa yang berasal dari negara donor. Bilateral tied aid ini biasanya terjadi atas adanya kesepakatan-kesepakatan yang ‘terselubung’ sehingga menyebabkan konsekuensi tertentu yang menyebabkan negara penerima bantuan ‘terpaksa’ mengalokasikan bantuan hibah atau pinjamannya untuk membeli komoditas atau menggunakan jasa dari negara donor. Motif keempat adalah pertimbangan lingkungan, di mana fenomena kemiskinan yang terjadi di negara berkembang dilihat berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, baik di negara berkembang maupun secara global. Tingginya pertumbuhan populasi dan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya yang terbatas dilihat menjadi tantangan dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Oleh karenanya, banyak negara industri maju yang kemudian memberikan bantuan luar negeri kepada negara berkembang sebagai bantuan untuk pembangunan dalam rangka melestarikan lingkungan global.13 Jepang menjadi salah satu negara maju yang mengadopsi konsep ODA sebagai kerangka kebijakan bantuan luar negerinya. Konsep Official Development Assistance (ODA) pertama 11
Ibid. Ibid., 13. 13 Ibid., 16. 12
kali digunakan oleh Development Assistance Committee dalam Organisation for Economic Cooperation and Development untuk mengukur besaran bantuan yang masuk ke suatu negara. Bantuan bilateral ODA Jepang terbagi menjadi tiga, yaitu bantuan pinjaman (loan aid), hibah (grant aid), serta bantuan teknis (technical cooperation).14 Kajian ini akan berfokus pada ODA yang diberikan sebagai emergency disaster relief. Dalam skema di bawah, pemberian bantuan kemanusiaan untuk disaster relief tergolong pada kategori
‘others’, di mana hal ini menjelaskan bahwa pemberian disaster relief bersifat fleksibel, bisa diwujudkan dalam bentuk pemberian pinjaman, technical assistance, ataupun dalam bentuk hibah, bergantung pada bentuk bantuan seperti apa yang dibutuhkan dalam suatu kondisi darurat.
Gambar 2. Skema Economic Cooperation dan ODA Sumber: JICA, “Japan’s ODA: Issue-Specific and Initiative”: 18, diakses pada 28 September 2013, http://www.jica.go.jp/english/publications/reports/annual/2012/c8h0vm00002qe6vj-att/03.pdf
Metode Penelitian Proses penelitian menggunakan metode kualitatif karena penelitian ini berusaha menjelaskan fenomena dari suatu kondisi yang telah terjadi melalui fakta-fakta objektif dan terfokus pada sejumlah variabel dan reliabilitas.15 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis karena berupa memberikan deskripsi dan analisa mendalam terhadap suatu kasus, di mana penelitian ini 14
MOFA, “What is ODA,” diakses pada 24 September 2013, http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/en/whatisoda_01.htm 15 Lawrence W. Neuman, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches (Boston: Ally and Bacon, 1997), 17.
berusaha mengungkap suatu kasus secara mendetail tentang situasi, latar sosial, dan keterkaitan antar variabel. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus, di mana metode studi kasus ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk memahami dan menginterpretasikan kasus tunggal.16 Analisis studi kasus ini berupaya untuk memberikan gambaran holistik mengenai kasus yang diangkat melalui rangkaian kejadian historis, dengan menjelaskan seluruh aspek dan detail serta keterkaitannya satu sama lain dalam kasus yang diangkat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literature dan studi dokumen. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu berupa dokumen ODA Charter, ODA White Paper, dan wawancara mendalam dengan beberapa pihak terkait, serta data sekunder berupa data statistik dan skema dari lembaga resmi pemerintah Jepang seperti MOFA, MOF, dan JICA, serta data penelitian dari berbagai sumber berupa buku teks, jurnal ilmiah, dan artikel elektronik. Berbagai data yang didapat akan digunakan untuk mendeskripsikan kenyataan empiris yang terkait dengan permasalahan penelitian.
Hasil Penelitian Pada bagian ini, penulis akan membahas penjabaran motif dan kepentingan ekonomi Jepang sebagai negara donor yang mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek untuk tsunami Aceh pada tahun 2004, selain spirit moral dan kemanusiaan yang menjadi roh utama dalam bantuan kemanusiaan. Penulis akan menggunakan kerangka analisis John Degnbol-Martinussen dan Poul Engberg-Pedersen serta skema bantuan kemanusiaan dalam kerangka hibah ODA yang digunakan Jepang, yang telah tercantum pada bagian pendahuluan sebagai pedoman dalam melakukan analisis penelitian. Motif dan Kepentingan Politik Jepang: Upaya Pencapaian Power Mengacu pada skema Degnbol-Martinussen dan Engberg-Pedersen, motif lain yang mendasari pemberian bantuan luar negeri adalah motif dan kepentingan politik, di mana kebijakan pemberian bantuan luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara seringkali memang disusun untuk menjadi instrumen utama negara donor untuk mencapai kepentingan politik 16
Jack S. Levy, “Qualitative Method in International Relations,” Millennial Reflections on International Studies, ed. Michael Brecher dan Frank P. Harvey (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2002): 435.
dan memastikan keamanan nasionalnya.17 Dalam konteks Jepang, pemberian bantuan luar negeri melalui kerangka ODA telah mengalami banyak perkembangan dari waktu ke waktu, termasuk latar belakang dan tujuan yang memotivasi pemberian ODA kepada negara penerima bantuan. Pemerintah Jepang mengimplementasikan pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek untuk bencana tsunami yang melanda Aceh pada akhir 2004 di bawah skema ‘Others’ dalam kerangka ODA. Bantuan ODA Jepang dalam skema ‘Others’ ditangani oleh Ministry of Foreign Affairs, yang kemudian diimplementasikan oleh JICA, di mana MOFA melihat pemberian bantuan luar negeri secara umum erat kaitannya dengan posisi politik Jepang di level internasional.18 Sama halnya dengan negara donor lainnya, peranan Jepang sebagai donor ODA tidaklah murni merupakan tindakan altruisme Jepang, melainkan dilatar belakangi atas motivasi bahwa terciptanya perdamaian dan stabilitas di negara berkembang akan berdampak positif terhadap keamanan ekonomi Jepang. Pemberian bantuan luar negeri dilihat sebagai alat kebijakan luar negeri untuk menghimpun dukungan dari negara penerima bantuan yang memiliki peranan penting bagi Jepang, sekaligus menunjukkan kepemimpinan Jepang di tataran internasional. Jika dikaitkan dengan kebijakan ODA yang tercantum dalam ODA Charter yang telah direvisi, pemberian bantuan ODA kini ditekankan untuk turut berkontribusi dalam upaya penciptaan stabilitas dan perdamaian dunia, sekaligus memastikan keamanan dan kepentingan Jepang di masa mendatang. Pemberian ODA kemudian dilihat sebagai kebijakan yang tepat untuk meraih simpati dan dukungan dari masyarakat internasional terhadap posisi Jepang, sekaligus mengakomodasi penekanan pemerintah Jepang untuk berkontribusi terhadap penciptaan perdamaian dunia.19 Kawasan Asia tetap akan menjadi area prioritas ODA Jepang. Selain adanya kedekatan hubungan antara Jepang dan negara-negara lain di kawasan ini, kawasan Asia juga dilihat berpengaruh besar dalam memastikan stabilitas dan kemakmuran bagi Jepang di masa mendatang.20 Kawasan Asia dilihat memiliki bias dalam hal pemberian bantuan ODA Jepang, di mana hal ini merupakan kompleksitas yang terjadi akibat evolusi ODA yang telah diberikan sejak reparasi pasca Perang Dunia, 17
Degnbol-Martinussen dan Engberg-Pedersen, Aid, 12. Potter, “Japan’s Official Development Assistance”: 20. 19 MOFA, “Part 1 – The Revision of the ODA Charter and Japan’s New Approach, Chapter 1, Section 4: The Main Points of the Revised ODA Charter,” Japan’s ODA White Paper 2003, diakses pada 29 Mei 2014, http://www.mofa.go.jp/policy/oda/white/2003/part1_1_4.html#sect4 20 Ibid. 18
kepentingan ekonomi dan komersial Jepang sebagai donor, serta pentingnya dimensi strategis dari kawasan Asia sendiri.21 Jepang melihat pentingnya upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas Indonesia, mengingat stabilitas dan perdamaian Indonesia memegang peranan kunci dalam memastikan stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Oleh karenanya, pemerintah Jepang memberikan bantuan untuk mewujudkan upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas sebagai salah satu sektor penting yang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Jepang.22 Dapat dikatakan bahwa Jepang melihat kawasan Asia Tenggara, di bawah payung ASEAN, berperan vital dalam mencapai kepentingan politik dan ekonomi Jepang. Pemerintah Jepang telah memberikan prioritas yang tinggi untuk menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara ASEAN, serta membantu mewujudkan self-help effort dalam pembangunan ekonomi-sosial di negara tersebut. Tatanan politik yang stabil di kawasan Asia Tenggara dilihat sebagai hal yang esensial bagi kepentingan kebijakan Jepang.23 Jika dikaitkan dengan konteks pemberian bantuan kemanusiaan untuk tsunami yang melanda wilayah Aceh pada akhir 2004, pemberian bantuan kemanusiaan dalam jumlah yang sangat besar dan timpang menunjukkan bahwa setidaknya pemberian bantuan tersebut memiliki bias sebagai akibat dari relasi colonial powers antara Indonesia dan Jepang beberapa dekade ke belakang. Namun demikian, menurut Deputi Keuangan dan Pendanaan BRR NAD-Nias, Amin Subekti, pemberian bantuan tersebut bukanlah dipengaruhi oleh relasi colonial powers antara Indonesia dan Jepang, melainkan murni didasari atas kepentingan ekonomi, yaitu perdagangan dan prestige politik di level internasional. Adanya press release yang dirilis oleh pemerintah Jepang terkait dengan kontribusi Jepang dalam bencana tsunami Aceh tahun 2004 tersebut merupakan penekanan pada aspek kemanusiaan dari sebuah bencana, sekaligus mempertegas bahwa kedekatan hubungan antara Jepang dan negara penerima bantuan yang dilanda tsunami tersebut telah memotivasi tindakan Jepang dalam merespons bencana tersebut.24 Pernyataan PM Koizumi dalam ASEAN Leaders’ Meeting on the Aftermath of the Earthquake and Tsunami dapat dilihat sebagai penekanan pentingnya kawasan Asia Tenggara sebagai mitra Jepang, 21
Potter, “Japan’s Official Development Assistance”: 20. Nagai, Lima puluh tahun Sejarah Hubungan Jepang-Indonesia, 124. 23 Brooks dan Orr, Jr., “Japan's Foreign Economic Assistance”: 329. 24 Williams, “Why give?”: 400. 22
sekaligus menunjukkan solidaritas Jepang sebagai sesama bangsa Asia yang juga sering mengalami bencana alam seperti tsunami. Pentingnya posisi Indonesia di mata Jepang, terutama terkait peranannya di Asia Tenggara dilihat penulis menyebabkan pemerintah Jepang menyadari pentingnya upaya untuk mendukung upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh, sebagai bagian dari upaya memastikan terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Dari perspektif Indonesia, Deputi Keuangan dan Pendanaan BRR NAD-Nias juga menyampaikan bahwa besaran bantuan yang diberikan oleh Jepang jika dibandingkan terhadap bantuan yang diberikan oleh donor lain juga menunjukkan pentingnya posisi Indonesia secara politik di mata donor tersebut. Namun demikian, menurut Deputi Keuangan dan Pendanaan BRR NAD-Nias, hal ini juga dipengaruhi atas kekuatan perekonomian Indonesia secara relatif di dalam kawasan Asia Tenggara.25 Oleh karenanya, hal ini kemudian menjadi justifikasi atas besarnya perhatian pemerintah Jepang terhadap kawasan Aceh yang dilanda tsunami –selain aspek kepentingan ekonomi kawasan ini terhadap Jepang, yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Tindakan pemerintah Jepang dalam merespons bencana tsunami yang terjadi pada akhir 2004 di Samudera Hindia dapat dilihat sebagai bentuk kelanjutan komitmen Jepang, mengacu pada tren peranan Jepang pada tataran internasional dalam beberapa tahun terakhir. Momentum bencana tsunami semacam ini kemudian memberikan peluang penting bagi Jepang untuk menunjukkan peranannya di hadapan dunia internasional, tanpa khawatir akan memunculkan kritik tajam atas pengambilan kebijakan luar negeri yang high-profile dan berpotensi menimbulkan persaingan militer dengan negara lain.26 Peristiwa tersebut menjadi momentum yang bagus bagi Jepang untuk mulai menegaskan posisinya di dalam kawasan, di mana diketahui pada awal tahun 2000 ODA Jepang mengalami penurunan yang cukup signifikan yang disebabkan performa ekonomi domestik Jepang yang tidak terlalu baik. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan yang tepat akan menciptakan citra Jepang yang positif sebagai donor, serta pencapaian bagi pemerintah Indonesia atas efisiensi dan responsivitas dalam menggunakan dana bantuan. Adanya perolehan prestige di mata donor besar lainnya menjadi perhatian Jepang, di mana adanya apresiasi positif dari masyarakat politik juga diperhitungkan sebagai pencapaian 25 26
Ibid. Williams, “Why give?”: 400.
politik dan diplomatik Jepang di level internasional. Besarnya nilai bantuan yang diberikan oleh pemerintah Jepang menunjukkan bahwa pemberian bantuan luar negeri tersebut merupakan reaksi atas bagaimana negara donor lain merespons perisitiwa bencana tsunami 2004 tersebut. Selain itu, pemerintah Jepang juga menyadari bahwa hal ini dapat dilihat sebagai political capital yang berharga dan bermanfaat untuk tujuan diplomatik Jepang di masa mendatang,27 sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Dalam konteks pemberian bantuan untuk tsunami Aceh, pemerintah Jepang juga meminta dukungan Indonesia terkait usulan reformasi dalam DK PBB meskipun hal ini tidak disampaikan segera setelah terjadinya tsunami Aceh pada tahun 2004. PM Shinzo Abe dalam pertemuan Japan-Indonesia Joint Statement on “Strategic Partnership for Peaceful and Prosperous Future” pada 28 November 2006 menyatakan akan menjamin keterlibatan Jepang dalam memastikan pemulihan masyarakan Aceh pasca-tsunami 2004.28 Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kontribusi Jepang dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan di wilayah Aceh. Penulis melihat hal tersebut menjadi indikator bagaimana Jepang berusaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa bantuan Jepang tidak hanya bersifat jangka pendek saja. Hal ini sekaligus menjadi sinyalir keinginan Jepang untuk terlibat lebih lama dalam pemulihan Aceh pasca-tsunami. Dalam kesempatan yang sama, PM Abe juga menyatakan permintaan dukungan Indonesia terkait dengan pemilihan anggota dalam DK PBB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat pada saat itu menyampaikan bahwa Indonesia akan mendukung Jepang atas usulan reformasi dalam DK PBB, terkait penetapan keanggotaan, baik anggota permanen maupun non-permanen dalam DK PBB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyatakan apresiasinya kepada Jepang yang dilihat telah mampu menunjukkan peranan aktifnya dalam upaya penciptaan keamanan dan perdamaian dunia dalam terkait wacana reformasi keanggotaan DK PBB. Pernyataan tersebut dilihat menjadi konfirmasi atas dukungan Indonesia kepada Jepang atas ambisinya untuk memperoleh keanggotaan tetap yang dimungkinkan melalui reformasi DK PBB.29 Hal tersebut menunjukkan bahwa, jika mengacu pada argumen Alesina-Dollar, tindakan pemerintah Jepang dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada negara-negara yang 27
Ibid., 408. MOFA, “Japan-Indonesia Joint Statement ‘Strategic Partnership for Peaceful and Prosperous Future’ Toward Further Strengthening Strategic Partnership”, diakses pada 4 Januari 2015, http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/joint0611.html 29 Ibid. 28
mengalami tsunami akhir 2004 tersebut dimaksudkan untuk ‘membeli’ dukungan politik dalam forum PBB. Hal ini tersirat dari pernyataan Menlu Machimura kepada Menlu India, Sri Lanka, dan Maladewa pada sela-sela pertemuan ASEAN Leaders’ Meeting on the Aftermath of the Earthquake and Tsunami, yang menyatakan harapannya atas dukungan ketiga negara tersebut atas ambisi Jepang untuk menduduki kursi tetap Dewan Keamanan pada wacana reformasi PBB. Hal ini kemudian juga menunjukkan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan tersebut – selain sebagai bentuk altruisme dan simpati Jepang – juga sebagai perwujudan strategi aid causes UN vote, di mana pemberian bantuan untuk bencana tsunami dan gempa 2004 tersebut diharapkan akan mempengaruhi keputusan India dan Maladewa untuk memberikan dukungan terhadap Jepang yang menginginkan perubahan sistem penentuan anggota tetap DK PBB. Sementara dalam konteks Indonesia, pemberian bantuan kemanusiaan tersebut tidak berkaitan langsung dengan permintaan dukungan bagi Jepang atas usulan reformasi keanggotaan DK PBB. Hal ini dikarenakan pernyataan permintaan dukungan tersebut baru disampaikan hampir dua tahun pasca pemberian bantuan kemanusiaan tersebut. Sebagaimana telah dibahas di atas, pemberian hibah non-proyek dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2005. Sementara pernyataan PM Shinzo Abe hanya menegaskan kembali keinginan Jepang untuk terlibat lebih lama dalam rekonstruksi dan rehabilitasi di wilayah Aceh. Pernyataan tersebut disampaikan sekaligus untuk menunjukkan peranan Jepang dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di wilayah Aceh kepada masyarakat internasional. Motif dan Kepentingan Ekonomi Jepang: Pengamanan Akses Sumber Daya Alam Adanya upaya dan penekanan pemerintah Jepang dalam melihat pentingnya pembangunan di Aceh, tidak hanya profil Aceh sebagai post-disaster area tetapi juga post-conflict area dilihat penulis sebagai bentuk penekanan pemerintah Jepang terhadap penciptaan stabilitas dan perdamaian di wilayah Aceh. Hal ini didukung oleh argumen Williams, di mana penekanan Jepang terhadap penciptaan stabilitas dan perdamaian di Aceh dilatarbelakangi oleh dua motif dan kepentingan ekonomi Jepang. Pertama, stabilitas dan perdamaian di wilayah Aceh merupakan hal yang esensial bagi aktivitas ekonomi Jepang. Sebesar 99% kebutuhan impor minyak dan 70% kebutuhan impor bahan pangan Jepang diakomodasi melalui jalur pelayaran laut. Stabilitas kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia menjadi hal yang esensial bagi Jepang. Hal ini dikarenakan 90% impor energi Jepang dari Timur Tengah, dan impor komoditas pangan Jepang yang berasal dari Australia dikirimkan melewati perairan Selat
Malaka, Selat Lombok, dan Selat Sunda.30 Letak Provinsi Aceh yang strategis merupakan jalur utama pelayaran kapal-kapal Jepang yang mengangkut hasil migas dari Aceh untuk diekspor ke Jepang, di mana 80% dari impor migas Jepang akan melewati perairan Selat Malaka.31 Oleh karenanya keamanan jalur pelayaran di Selat Malaka merupakan hal yang esensial bagi Jepang, di mana hal ini akan memastikan economic security, keamanan energi, serta keamanan bagi warga negara Jepang sendiri.32
Gambar 3. Total Impor LNG Jepang tahun 2000 Sumber: Roger Farrell, Japanese Investment in the World Economy: A Study of Strategic Themes in the Internationalisation of Japanese Industry (Massachuset: Edward Elgar Publishing, 2008), 151. (telah diolah kembali)
Pembahasan Adanya dua kepentingan strategis Jepang yang ikut mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek kepada Indonesia untuk bencana tsunami Aceh tahun 2004 menunjukkan bahwa spirit moral dan semangat kemanusiaan tidak menjadi latar belakang tunggal dalam pemberian bantuan tersebut. Gambar berikut akan menjelaskan analisis temuan terkait motif dan kepentingan yang turut mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan yang selayaknya nihil dari kepentingan strategis tersebut.
Motif dan Kepentingan Politik: Ambisi menjadi aid great power
Terciptanya citra donor dan prestige politik yang positif di mata dunia internasional
Pemberian Bantuan Motif dan Kemanusiaan Kepentingan Jepang kepada Moral dan 30 Indonesia untuk Nagai, Lima puluh tahun Sejarah Hubungan Jepang-Indonesia, 124. Kemanusiaan 31 bencana Anti-piracy tsunami Initiatives in Southeast Asia: policy formulation John Bradford, “Japanese and akses the coastal state Pembangunan responses,” Contemporary Southeast Asia No.3 (2004): 485. Aceh tahun 2004 jalan Calang32 Ibid.
Motif dan Kepentingan Ekonomi: Akses sumber daya ekonomi di Aceh
Meulaboh untuk mempermudah perolehan akses terhadap sumber daya strategis Aceh: Hasil Laut
Gambar 2. Analisis Temuan Motif dan Kepentingan yang mengiringi Pemberian Bantuan Kemanusiaan Jepang kepada Indonesia untuk bencana tsunami Aceh tahun 2004 Sumber: Penulis
Analisis pada subbab 3.1 menunjukkan bahwa pertimbangan politik dan strategis Jepang sebagai donor menjadi hal yang memotivasi pemberian bantuan kemanusiaan dalam konteks bencana tsunami yang melanda kawasan Aceh pada akhir 2004. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan politik-strategis, seperti ambisi sebagai preeminent power di kawasan Asia dan perolehan prestige politik di antara negara donor lain memiliki peranan yang lebih besar jika dibandingkan dengan indikator kebutuhan dan urgensi bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh pemerintah Jepang. emberian bantuan hibah non-proyek tersebut dilihat penulis merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk memperoleh apresiasi publik dari masyarakat internasional yang berdampak pada terciptanya citra donor dan prestige politik yang positif di mata dunia internasional. Dari uraian pada subbab sebelumnya, dapat dilihat bahwa bantuan kemanusiaan yang diberikan untuk tujuan kemanusiaan, yaitu dalam konteks rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sekalipun dapat memiliki fungsi politik jika digunakan pada momentum yang tepat. Namun demikian, perilaku Jepang sebagai traditional donor dapat diarahkan melalui adanya peranan BRR dan mekanisme Project Concept Notes, sehingga kebutuhan pembangunan di wilayah Aceh tetap menjadi prioritas. Meskipun pemberian bantuan luar negeri untuk bencana tsunami dan gempa tersebut belum berhasil membuat Jepang memperoleh keanggotaan tetapnya dalam DK PBB hingga saat ini, setidaknya hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan tersebut telah dipergunakan untuk mencapai kepentingan strategis tertentu dan tidak semata diberikan atas sikap altruisme dan spirit kemanusiaan Jepang semata. Dalam konteks Indonesia, adanya tujuan untuk mencapai kepentingan strategis Jepang sebagai donor setidaknya dapat diminimalisasi dengan adanya peranan BRR sebagai badan pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Meski keputusan pemberian
hibah non-proyek tersebut tidak serta-merta memberikan keuntungan fisik bagi Jepang, penulis berargumen bahwa perolehan prestige di mata dunia internasional akan menjadi political capital yang strategis bagi Jepang di masa mendatang. Analisis pada subbab 3.2 menunjukkan bahwa pencapaian kepentingan ekonomi dan strategis Jepang sebagai donor juga menjadi contributing factor yang memotivasi pemberian bantuan kemanusiaan berupa hibah non-proyek untuk bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada Desember 2004. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa upaya pencapaian kepentingan strategis yang dituangkan melalui pemberian bantuan hibah non-proyek, yang secara spesifik diwujudkan melalui pembangunan akses Banda Aceh-Meulaboh dimaksudkan untuk mempermudah perolehan akses terhadap sumber daya strategis Aceh, yaitu hasil migas, di mana Aceh merupakan pemasok LNG utama bagi Jepang. Meskipun upaya pencapaian kepentingan donor tersebut dapat ‘dialihkan’ melalui peran serta BRR dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, pemberian hibah non-proyek tersebut dilihat penulis sebagai cara yang ditempuh Jepang sebagai donor yang tidak luput dari tujuan pemenuhan kepentingan yang bersifat donor-oriented. Dari pembahasan pada subbab sebelumnya, dapat dilihat bahwa pemberian bantuan kemanusiaan sekalipun dalam bentuk hibah non-proyek yang diasumsikan dapat netral dari kepentingan ekonomi dan strategis dari donor sekalipun memiliki muatan strategis dalam konteks kebencanaaan. Meskipun demikian, intensi Jepang sebagai donor yang ingin memastikan pencapaian ekonomi strategisnya dapat diatasi melalui peran serta BRR sebagai badan pelaksana dan mekanisme Project Concept Notes, sehingga pembangunan infrastruktur di wilayah Aceh dapat dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan pembangunan yang tercermin dari kerusakan dan kerugian sektor-sektor tertentu. Adanya ‘pengalihan’ intensi perolehan akses terhadap sumber daya ekonomi strategis di Aceh dari hasil migas ke hasil laut dilihat penulis sebagai merupakan ‘kemenangan’ negosiasi Indonesia sebagai negara penerima bantuan yang berhasil diakomodasi oleh BRR. Dengan demikian, wilayah Aceh diharapkan mendapatkan keuntungan berupa kelancaran penyaluran hasil laut, sehingga kerusakan dan kerugian di sektor perikanan diharapkan dapat pulih dengan segera, yang pada akhirnya dapat memulihkan perekonomian Aceh secara umum
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan analisis terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian, terdapat dua poin kesimpulan yang dapat ditarik oleh peneliti. Pertama, analisis yang dilakukan oleh penulis mengacu pada motif dan kepentingan politik negara donor berupa national security yang mengacu pada skema Degnbol-Martinussen dan Engberg-Pedersen menunjukkan bahwa pertimbangan politik dan strategis Jepang sebagai donor menjadi hal yang turut memotivasi pemberian bantuan kemanusiaan dalam konteks bencana tsunami yang melanda kawasan Aceh pada akhir 2004. Pertimbangan politikstrategis yang terwujud dalam ambisi Jepang menjadi preeminent power di kawasan Asia dan perolehan prestige politik di antara negara donor lain juga turut mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan untuk bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004. Meskipun temuan penelitian menunjukkan bahwa keputusan Jepang dalam memberikan bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek untuk tsunami Aceh secara langsung tidak berhasil mengubah status Jepang sebagai anggota tetap DK PBB dan mengukuhkan keunggulan power-nya atas Cina di kawasan Asia. Namun demikian, pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek tersebut dilihat penulis menjadi upaya yang ditempuh pemerintah Jepang untuk memperoleh apresiasi publik dari masyarakat internasional. Hal tersebut dilihat akan berdampak pada terciptanya citra donor dan prestige politik Jepang yang positif di mata dunia internasional. Temuan penelitian yang dibahas pada bab analisis menunjukkan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek dalam konteks rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dapat memiliki fungsi politik jika digunakan pada momentum yang tepat. Namun demikian, perilaku Jepang sebagai traditional donor --yang pada praktek bantuan luar negeri cenderung bersifat donor-oriented-- dapat diarahkan melalui adanya peranan BRR dan mekanisme Project Concept Notes, sehingga kebutuhan pembangunan di wilayah Aceh tetap menjadi prioritas. Meski keputusan pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek tersebut tidak serta-merta memberikan keuntungan fisik bagi Jepang, penulis berargumen bahwa perolehan prestige di mata dunia internasional akan menjadi political capital yang strategis bagi Jepang di masa mendatang. Kedua, analisis yang dilakukan oleh penulis mengacu pada motif dan kepentingan ekonomi negara donor yang mengacu pada skema Degnbol-Martinussen dan Engberg-Pedersen menunjukkan bahwa pencapaian kepentingan ekonomi dan strategis Jepang menjadi contributing factor yang turut memotivasi pemberian bantuan kemanusiaan berupa hibah
non-proyek untuk bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada Desember 2004. Temuan penelitian menunjukkan bahwa upaya pencapaian kepentingan strategis yang dituangkan melalui pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek, yang secara spesifik diwujudkan melalui pembangunan akses jalan Banda Aceh-Meulaboh dimaksudkan untuk mempermudah perolehan akses terhadap sumber daya strategis Aceh, yaitu hasil migas, di mana Aceh merupakan pemasok LNG utama bagi Jepang. Meskipun upaya pencapaian kepentingan donor tersebut dapat ‘dialihkan’ melalui peran serta BRR dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, pemberian hibah non-proyek tersebut dilihat penulis sebagai cara yang ditempuh Jepang sebagai donor yang tidak luput dari tujuan pemenuhan kepentingan yang bersifat donor-oriented. Temuan penelitian yang dibahas pada bab analisis menunjukkan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan dalam bentuk hibah non-proyek yang diasumsikan dapat netral dari kepentingan ekonomi dan strategis dari donor sekalipun ternyata memiliki muatan strategis dalam konteks bencana. Meskipun demikian, intensi Jepang sebagai donor yang ingin memastikan pencapaian ekonomi strategisnya dapat diatasi melalui peran serta BRR sebagai badan pelaksana dan mekanisme Project Concept Notes, sehingga pembangunan infrastruktur di wilayah Aceh dapat dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan pembangunan sektoral yang tercermin dari peninjauan kerusakan dan kerugian yang dialami wilayah Aceh. Temuan penelitian menunjukkan adanya ‘pengalihan’ intensi perolehan akses terhadap sumber daya ekonomi strategis di Aceh dari hasil migas ke hasil laut dilihat penulis sebagai keberhasilan pemerintah Indonesia melalui peranan BRR. Jika dikaitkan dengan kerangka analisis John Degnbol-Martinussen dan Poul EngbergPedersen, penulis berargumen bahwa keputusan pemberian bantuan kemanusiaan berupa hibah non-proyek oleh pemerintah Jepang kepada Indonesia dalam rangka bencana tsunami yang melanda wilayah Aceh juga diiringi oleh motif dan kepentingan Jepang sebagai donor, sebagaimana tergambar dalam Gambar 4. Dari gambar di bawah, dapat dilihat bahwa motif dan kepentingan selain aspek moral dan kemanusiaan yang mendasari keputusan pemberian bantuan kemanusiaan berupa hibah nonproyek untuk bencana tersebut adalah motif dan kepentingan politik dan ekonomi Jepang sebagai donor. Dalam konteks bantuan ini, penulis berargumen bahwa temuan penelitian menunjukkan motif dan kepentingan politik yang tercermin sebagai kepentingan national
security Jepang sebagai donor juga turut mengiringi pemberian bantuan kemanusiaan tersebut. Temuan penelitian menunjukkan terciptanya citra donor dan prestige politik yang positif di mata dunia internasional menjadi kepentingan utama Jepang sebagai donor dalam pemberian hibah non-proyek ini. Hal ini akan menjadi political capital yang strategis bagi Jepang terkait dengan ambisinya sebagai aid great power, baik di level kawasan maupun di antara big donors lainnya. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri terdapat motif dan kepentingan ekonomi strategis Jepang dalam bantuan kemanusiaan di Aceh. Salah satunya adalah keinginan pembangunan akses jalan Banda Aceh-Meulaboh yang disinyalir sebagai upaya pemerintah Jepang untuk dapat mencapai kepentingan ekonomi strategisnya berupa kemudahan akses terhadap hasil migas Aceh. National Security
Economic
Environment
Moral and Humanitarian Gambar 4. 1 Motif dan Kepentingan Jepang dalam Pemberian Bantuan Kemanusiaan kepada Indonesia untuk Bencana Tsunami Aceh tahun 2004 Sumber: Penulis
Spirit moral dan kemanusiaan dari pemerintah Jepang sebagai donor dilihat penulis sebagai hal yang tidak perlu dipertanyakan dalam pemberian bantuan kemanusiaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap bantuan, termasuk bantuan kemanusiaan selalu terdapat muatan motif dan kepentingan negara donor baik kepentingan ekonomi, politik, maupun kepentingan lainnya. Daftar Referensi Arase, David. (1995). Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid. London: Lynne Rienner Publisher Inc. Bradford, John. (2004). Japanese Anti-piracy Initiatives in Southeast Asia: policy formulation and the coastal state responses. Contemporary Southeast Asia No.3. Brooks, William L. dan Robert M. Orr, Jr. (1985). Japan's Foreign Economic Assistance. Asian Survey, Vol. 25, No. 3. University of California Press.
Degnbol-Martinussen, John dan Poul Engberg-Pedersen. (2003). Aid: Understanding International Development Cooperation. London: Zed Books. Levy, Jack S. (2002). Qualitative Method in International Relations. Dalam Michael Brecher dan Frank P. Harvey. Millennial Reflections on International Studies. Ann Arbor: University of Michigan Press. MOFA. (2005). At a Glance: Japan's Emergency Assistance in Response to the Sumatran Earthquake and Tsunami Disaster in the Indian Ocean, January 20, 2005. Diakses pada 10 September 2013 dari http://www.mofa.go.jp/policy/disaster/indonesia/glance.pdf MOFA. (2005). Bantuan Hibah Non Proyek Tahun Anggaran 2004 (Bantuan untuk Para Korban Bencana Tsunami dan Gempa Bumi di Sumatera). Diakses pada 7 September 2013 dari http://www.id.embjapan.go.jp/oda/id/projects/grant/odaprojects_grant_2004_aceh_sumut.htm MOFA. (2005). Indian Ocean Tsunami Disaster – Comments by Prime Minister Koizumi. Diakses pada 10 September 2013 dari http://www.mofa.go.jp/region/asiapaci/comment0501.html MOFA. (2005). Proyek Rekonstruksi Aceh. Diakses pada 7 September 2013 dari http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/projects/loan/odaprojects_loan_2006_4.htm MOFA. (2006). Establishment of an Ad hoc Office of the Japanese Embassy in Banda Aceh, Indonesia. Diakses pada 27 Februari 2014 dari http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2005/1/0121-4.html MOFA. 2003. Part 1 – The Revision of the ODA Charter and Japan’s New Approach, Chapter 1, Section 4: The Main Points of the Revised ODA Charter. Dalam Japan’s ODA White Paper 2003. Diakses pada 29 Mei 2014 dari http://www.mofa.go.jp/policy/oda/white/2003/part1_1_4.html#sect4 MOFA. Japan-Indonesia Joint Statement ‘Strategic Partnership for Peaceful and Prosperous Future’ - Toward Further Strengthening Strategic Partnership. Diakses pada 4 Januari 2015 dari http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/joint0611.html MOFA. What is ODA. Diakses pada 24 September 2013 dari http://www.id.embjapan.go.jp/oda/en/whatisoda_01.htm Nagai, Shigenobu. (2008). Lima puluh tahun Sejarah Hubungan Jepang-Indonesia: Golden Year of Friendship Indonesia Japan ed. By Michihiko Kunihiro dan Departemen Asia Tenggara dan Barat Selatan, Kementerian Luar Negeri Jepang. Komite Pelaksana Tahun Persahabatan Jepang-Indonesia.
Neuman, Lawrence W. (1997). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Ally and Bacon. Potter, David M. (2011). Japan’s Official Development Assistance. Center for International Education Bulletin No. 12. Diakses pada 7 Februari 2014 dari http://office.nanzanu.ac.jp/cie/gaiyo/kiyo/pdf_12/kenkyu_02.pdf Rix, Alan. (1993). Japan’s Foreign Aid Challenge: Policy Reform and Aid Leadership. London: Routledge. Williams, Brad. (2006). Why give? Japan’s response to the Asian tsunami crisis. Japan Forum, Vol. 18, No. 3.