KEBIJAKAN EKONOMI UNTUK MITIGASI BENCANA DAN PEMULIHAN PASCABENCANA : Pelajaran dari Bencana Tsunami di Aceh Dr. Nazamuddin, MA Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam – Banda Aceh Email :
[email protected]
ABSTRAK Kebijakan belanja publik untuk mitigasi bencana dan pemulihan pascabencana besar berada pada dua pilihan sulit. Satu alternatif adalah mengeluarkan belanja publik yang besar tanpa manfaat yang dapat dirasakan segera dan adanya ketidakpastian (uncertainty) terjadinya bencana di masa depan, tapi dapat mencegah kerugian yang besar jika bencana terjadi. Alternatif lain adalah menghemat belanja publik sekarang sehingga dapat dimanfaatkan untuk pelayanan yang dapat dinikmati segera, tapi dengan resiko kerugian yang besar jika bencana terjadi tanpa mitigasi yang memadai. Analisis teoritik tentang bencana berguna untuk mengidentifikasi dampak dan konsekuensi suatu bencana dan kesiapan manusia menghadapinya. Bencana demi bencana terjadi dari waktu ke waktu dan pelajaran berbeda dapat dipetik dari setiap bencana. Sejak karya pertama tentang ekonomi bencana (The Economics of Natural Disasters) oleh Dacy dan Kunreuther (1969), banyak kajian empiris dilakukan yang memperkaya ilmu ekonomi tentang bencana, mulai dari bagaimana menghitung dengan tepat kerugian akibat bencana sampai pada pertanyaan apakah bencana justru menjadi titik balik untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pascabencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, dana dalam jumlah besar mengalir ke Aceh. Bagaimana pula respon pemerintah pemulihan pascabencana? Pelajaran-pelajaran apa yang dapat diambil dari pengalamanan pengalaman bencana besar itu. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam bidang belanja publik untuk mitigasi dan pemulihan pascabencana tsunami di Aceh. Pelajaran-pelajaran apa yang dapat dipetik, baik untuk pengembangan penelitian di bidang ekonomi bencana (the economics of disasters) maupun untuk pengambilan kebijakan untuk mengurangi resiko kerugian akibat bencana di masa depan. Analisis deskriptif terhadap pengalaman kebijakan pemerintah terhadap Aceh digunakan dan hasilnya diharapkan dapat mengarahkan kebijakan belanja publik terhadap mitigasi dan penanganan pascabencana di daerah lain. Kata kunci : ekonomi bencana, mitigasi bencana, kebijakan ekonomi
Makalah dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Indonesia Bagian Barat Tahun 2007, diselenggarakan oleh Universitas Sriwijaya dan LIPI, Palembang, 4 Juni 2007.
I.
PENDAHULUAN
Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 yang melanda sebagian wilayah Asia hingga Afrika merupakan yang terbesar dalam catatan sejarah manusia. Gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter tersebut diikuti gelombang tsunami yang menghantam hampir seluruh pesisir Provinsi Aceh, dengan kerusakan terparah melanda Banda Aceh, Aceh Besar hingga pesisir barat
Sumatera bagian utara.
Bencana besar tersebut telah menghancurkan sekitar 800 km panjang garis pantai Aceh dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara, di mana pada wilayah ini terkonsentrasi penduduk dengan berbagai kegiatannya. Berdasarkan laporan Damage and Loss Assessment,yang dilakukan oleh Bappenas dan World Bank pada 18 Januari 2004, kerugian meliputi hilangnya harta benda fisik secara langsung maupun kerugian non-fisik diperkirakan mencapai Rp. 41,401 triliun atau sekitar 2,7% dari PDB Nasional atau lebih dari 97% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Aceh. Aceh dan Nias sebagai wilayah yang mengalami dampak kerusakan dan kerugian terbesar merepresentasikan suatu kasus besar pula tentang bagaimana membangun kembali (recovery) suatu wilayah dan masyarakat di mana infrastruktur fisik, kehidupan masyarakat dan pemerintahan hampir lumpuh total. Khusus untuk Aceh, persoalan pembangunan kembali menjadi lebih kompleks lagi karena daerah ini didera oleh konflik bersenjata yang panjang sejak 1976, sebelum akhirnya dicapai kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Tragedi kemanusiaan besar ini telah membangkitkan semangat kebersamaan tidak saja di Indonesia sendiri, tapi juga dari seluruh bangsa di berbagai belahan dunia. Kendati tidak mungkin mengembalikan kehilangan jiwa manusia, Pemerintah Indonesia dengan dukungan masyarakat internasional telah menyatakan siap menghadapi tantangan besar pemulihan dan pembangunan kembali wilayah dan kehidupan masyarakat Aceh dan Nias. Pada 15 April 2005 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD dan Nias (Provinsi Sumatera Utara), yang merupakan Rencana Induk (Blueprint) rehabilitasi dan rekonstruksi NAD dan Nias. Untuk menjalankan rencana tersebut, pemerintah kemudian pada 16 April 2005 1
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 2 Tahun 2005 yang selanjutnya pada 25 Oktober 2005 diundangkan menjadi UndangUndang No. 10 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). Pengalaman bencana gempa dan tsunami besar itu telah meninggalkan banyak pelajaran, baik untuk kepentingan kajian akademik maupun perumusan kebijakan belanja pemerintah menyangkut mitigasi bencana dan penanganan pascabencana. Peristiwa besar ini telah menarik perhatian nasional dan internasional. Ketiadaan system peringatan dini (early warning system) dan mekanisme respon cepat dari pemerintah telah menyebabkan kerugian yang besar. Nilai kerusakan (damages) dan kerugian (losses) yang mencapai 97 persen dari Produk Regional Bruto pada akhirnya menghendaki belanja publik yang besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Demikian pula halnya di tingkat pemerintah daerah, kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap antisipasi bencana di masa lalu, lemahnya kemampuan respon pascabencana, ketiadaan petunjuk penanganan korban bencana, semuanya telah menimbulkan kebingunan sampai batas tertentu. Perlunya manajemen risiko untuk meminimalkan dampak bencana sebesar apapun serta mekanisme respon cepat terhadap bencana membawa konsekuensi belanja publik. Mengapa belanja publik sangat minim dan bahkan tidak ada sama sekali untuk hal ini di daerah menjadi issu yang perlu didiskusikan. Kemudian pelajaran-pelajaran apa yang dapat diambil dari peristiwa bencana besar itu, baik dari sudut ilmiah maupun untuk keperluan pembuatan kebijakan dan regulasi menyangkut mitigasi bencana dan penanggulangan dampak pascabencana. Yasuhide Okuyama (2003) mengungkapkan bahwa bencana sangat berbeda dari peristiwa ekonomi lain, dalam hal frekuensi, besaran dampak, dan prediktabilitas. Oleh karena itu, kemungkinan tidak tersedia observasi yang memadai untuk membangun suatu kerangka teoritis terhadap bencana sebagai sebuah fenomena. Namun, di sisi lain mungkin saja bencana dapat didekati sebagaimana halnya bagian dari guncangan ekonomi (economic shock) lainnya, sedemikian rupa sehingga ia merupakan sebuah siklus bisnis (business cycle). Tapi, berbeda dari fenomena ekonomi lainnya, dampak bencana adalah sangat berbeda, seperti perubahan kebijakan publik atau regulasi, dan seringkali memerlukan penanganan yang hati-hati atas perubahan perilaku ekonomi di bawah situati kaotik pascabencana. 2
Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian empiris awal secara deskriptif tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh, dilengkapi kajian literatur yang relevan tentang bencana sehingga dapat dirumuskan dan direkomendasikan kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi bencana serupa di sembarang tempat di masa yang akan datang.
II.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI PENANGANAN BENCANA PASCABENCANA TSUNAMI DI ACEH
2.1 Perlunya informasi yang akurat untuk rekonstruksi yang efektif Selain korban jiwa dalam jumlah besar, bencana tsunami telah menyebabkan sekitar setengah juta penduduk Aceh yang selamat kehilangan pendapatan dan assetaset produktif mereka. Dari senilai Rp. 41.4 triliun nilai kerugian total, lebih tiga perempat adalah kerugian yang diderita oleh masyarakat dan dunia usaha. Dengan skala kerusakan dan kerugian yang demikian besar, pemulihan ekonomi menyeluruh akan memerlukan biaya yang besar memakan waktu cukup panjang1. Jovel (2005) menyimpulkan bahwa seiring dengan semakin seringnya kejadian bencana dan semakin besarnya nilai kerusakan fisik, maka semakin tinggi pula derajat pembangunan kembali yang diperlukan, khususnya bagi negara-negara sedang berkembang di mana dampak negatif bagi masyarakat relatif lebih besar dibandingkan dengan negara maju.2 Dana untuk pembangunan kembali akan lebih besar dan waktu yang diperlukan lebih panjang jika ada keinginan untuk menempatkan ekonomi pascabencana pada alur pertumbuhan yang lebih tinggi dari sebelum bencana. Untuk kasus Aceh, keinginan ini dimungkinkan dengan aliran dana masuk pascabencana ke daerah ini dalam jumlah besar. 3
1
Mandat BRR BRR NAD-Nias adalah untuk periode 2005-2009, tetapi pemulihan dari bencana besar dapat memakan waktu lebih panjang dari itu. 2 “The value of property lost to disaster (the absolute value of direct costs) is higher in developed than in developing countries, but losses as a percentage of national wealth are 20% higher in developing countries. Disasters particularly hurt developing countries, because poverty and disasters are mutually reinforcing, undermine incentives for development, and particularly hurt the nonformal sector.” Anderson (1991). 3 Aliran dana masuk dalam jumlah besar selama penghujung 2005 dan paruh pertama 2006 tercermin pada Dana Pihak Ketiga (DPK) yang meningkat sebesar Rp. 5,9 triliun atau 74,95 persen (year-onyear) menjadi Rp. 13 ,9 triliun (kondisi Maret 2006). Pangsa terbesar adalah simpanan giro (52,2 persen), diikuti tabungan (28,78 persen) dan simpanan deposito (19,02 persen). Pesatnya kenaikan DPK sangat dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan melalui sewa rumah, kantor, mobil, dan kenaikan upah, selain juga disebabkan oleh mulai memuncaknya rekonstruksi dengan berbagai kegiatannya.
3
Segera setelah bencana, Bank Dunia mengkoordinasikan pendanaan untuk rekonstruksi Aceh dan Nias4. Pada pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Bali pada 19-20 Januari 2005, negara/lembaga donor menjanjikan (pledges) hampir US$4 milyar untuk membiayai rekonstruksi Aceh dan Nias selama 2005-2009, di luar bantuan dari masyarakat dan organisasi internasional secara langsung . Dari jumlah itu, sebanyak $1,7 milyar diperuntukkan hanya untuk tahun 2005, dan $1,2 diantaranya merupakan hibah (grants) Dukungan masyarakat internasional demikian luar biasa mencerminkan solidaritas internasional yang tinggi.
Sebagain donor
bahkan mempercayakan sebagian dana itu dikelola melalui APBN dengan proteksi kepercayaan yang ketat dan pengelolaan partisipatoris. Dari sisi pemerintah Indonesia sendiri, untuk mengelola pemulihan pascabencana, menetapkan pedoman umum yang meliputi: (i) mendorong pembiayaan melalui APBN (on-budget), (ii) mengembangkan kerangka pengelolaan yang efektif; dan (iii) memaksimalkan pembiayaan melalui hibah, baru kemudian pinjaman lunak jika diperlukan. Secara keseluruhan, untuk membangun kembali Aceh lebih baik pascabencana diperlukan dana 80 hingga 90 triliun rupiah hingga tahun 20095. Pemulihan pascabencana di negara atau daerah mana pun diinginkan tepat sasaran dan efisien dari sudut biaya. Pendekatan yang diambil biasanya adalah memulihkan kehidupan hingga kondisi normal dan kemudian meletakkan landangan untuk pembangunan kembali yang lebih berkelanjutan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara merencanakan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi sbb; (1) Tahap Tanggap Darurat (Januari 2005 – Maret 2005) di mana upaya yang dilakukan adalah menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal, (2) Tahap Rehabilitasi (April 2005 – Desember 2006) di mana upaya yang dilakukan adalah mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai, juga diupayakan
4
Prospektus “For Aceh And North Sumatra: Multi-Donor Trust Fund For The Indonesia DisasterRelated Recovery Program 2005-2009” 5 T. Safriza Sofyan (2005)
4
penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana, dan (3) Tahap Rekonstruksi (Juli 2006 – Desember 2009) di mana upaya yang dilakukan adalah membangun kembali kawasan dan masyarakat di wilayah yang terkena bencana baik langsung maupun tidak langsung. Dalam masa tanggap darurat, tidak kurang dari 34 negara terlibat dalam suatu operasi kemanusiaan dan operasi nonmiliter terbesar dalam 50 tahun terakhir, dengan melibatkan sekitar 6000 personel militer dan lebih dari 5400 sukarelawan dari berbagai negara. Hingga 2006 sekitar US$ 6 milyar dijanjikan (committed) untuk memulihkan Aceh dan bahkan membangunnya lebih baik, hanya 37 persen dari jumlah itu berasal dari APBN6, sementara sisanya berasal dari negara-negara donor (bantuan bilateral dan multilateral) dan lembaga swadaya masyarakat (NGO) nasional dan internasional7. Ada banyak masalah menyangkut efisiensi penggunaan dana yang besar untuk mengerjakan pekerjaan rekonstruksi dalam skala besar. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias yang dibentuk oleh Pemerintah adalah suatu badan yang harus memulai sebuah pekerjaan besar rekonstruksi tanpa pengalaman manajerial sama sekali. Estimasi kerugian dan kerusakan serta catatan-catatan awal tentang rekonstruksi yang disiapkan oleh Bappenas bersama dengan masyarakat donor internasional8 sebelum Rencana Induk disusun memberikan gambaran kerugian dan kerusakan tentang dampak dari bencana besar ini dan dapat menjadi pedoman untuk intervensi awal dan respon apa yang dapat dilakukan berdasarkan program-program
6
Dana APBN sendiri yang disebut sebagai Rupiah Murni (RM) berasal dari dana moratorium hutang Indonesia oleh Paris Club. RM ini di luar dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN), yang juga sebagian disalurkan lewat mekanisme APBN. 7 Nilai kerugian dan kerusakan dalam dollar AS mencapai US$ 4,9 milyar, untuk membangun kembali hingga mencapai kondisi sebelum tsunami diperlukan dana sebesar US$ 7,1 milyar dan dengan perhitungan inflasi dan keinginan membangun lebih baik (Build Back Better), diperlukan dana sebesar US$ 8,5 milyar. Dana yang dijanjikan (termasuk pledges oleh negara-negara dan lembaga-lembaga donor internasional) mencapai US$ 7,2 milyar, sementara komitmen yang sudah ada US$ 6 milyar (BRR NAD-Nias). Komitmen ini termasuk Rp. 21 triliun dana moratorium yang disalurkan melalui APBN yang dihibahkan oleh 19 negara donor yang tergabung dalam Paris Club, setelah pertemuan mereka pada 10 Maret 2005. Moratorium hutang oleh Paris Club ini sebenarnya penundaan pembayaran pokok pinjaman Indonesia, sementara pembayaran bunga tetap dilakukan. Negara kreditor yang tergabung dalam Paris Club sepakat untuk tidak menagih pembayaran pokok pinjaman hingga 31 December, 2005, tapi bunga pinjaman selama 2005 tetap dihitung dan dikapitalisasikan untuk dibayarkan kembali setelah 2007 sebagai pinjaman yang ditunda (deferred payments). 8 Ada dua laporan awal yang dibuat; 1) Indonesia : Preliminary Damage and Loss Assessment; The December 26, 2004 Natural Disaster, dan 2) Indonesia: Preliminary Notes on Reconstruction.
5
nasional yang sudah ada dan program-program yang dapat dirancang dari pengalaman terbaik dari bagian dunia lain. Tapi ketika Rencana Induk disusun, program-program rekonstruksi yang muncul menjadi sangat ekstensif. Prediksi awal tentang kerugian dan kerusakan tidak pernah diperbaiki, dan kalaupun ada sangat terbatas untuk bidang tertentu saja. Data yang akurat tidak tersedia dan membawa dampak pada program dan kegiatan yang berubah-ubah, struktur organisasi yang disesuaikan dari waktu ke waktu, dan berbagai kebijakan dan regulasi direvisi dari waktu ke waktu dalam perjalanan. Biaya dari ketidaksempurnaan informasi adalah sangat besar, antara lain tercermin dari sampai batas tertentu kesia-siaan adanya rincian rencana aksi yang tertuang dalam Rencana Induk, revisi anggaran dalam masa implementasi, serapan yang relatif rendah, pembuatan regulasi untuk mengatasi masalah, kerumitan koordinasi, dan ketidakpuasan masyarakat korban (terindikasi dari komplain yang terus menerus). Bantuan darurat pascabencana seringkali relatif tidak tersasarkan dengan baik. Tidak saja karena terdapat kontroversi bagaimana menilai kerugian akibat bencana alam, tapi juga sejauh mana pemulihan dan pembangunan kembali dilakukan, apakah cukup memperbaiki atau merehabilitasi saja sehingga kembali seperti keadaan sebelum bencana atau merekonstruksi hingga dapat mencegah dan bahkan membangun kembali lebih baik. Pilihan kebijakan belanja publik untuk pembangunan kembali dengan demikian sangat tergantung pada besaran kerusakan dan kerugian dan skala pembangunan kembali. Dalam kasus bencana alam El Niño, Vos, Velasco, and Labastida (1999) menyimpulkan bahwa kebijakan Ecuador ternyata diarahkan pada upaya bantuan darurat (emergency relief)
yang sifatnya reaktif dan secara relatif tidak jelas
sasarannya. Studi mereka pada akhirnya merekomendasikan penekanan yang lebih besar pada investasi pembangunan yang bersifat pro-aktif dan tersasarkan dengan baik. Untuk itu diperlukan informasi yang memadai dan akurat. Sebagian besar biaya ekonomi berhubungan dengan kerugian produksi pertanian dan kerusakan infrastruktur. Dalam bidang sosial, meningkatnya risiko kesehatan adalah yang paling kritikal. Sebagian besar kehilangan pendapatan pertanian diderita oleh petani kecil dalam bidang produksi beras, jagung, kopi, kokoa, tebu, dan pisang. Secara keseluruhan, dampak terhadap insiden kemiskinan yang sebelumnya memang sudah tinggi di wilayah bencana mencapai 10 poin persentase. Bencana telah menguntungkan sebagian orang, tapi merugikan sebagian pihak lain. Dalam kasus Aceh, mereka yang berpendidikan dan mempunyai ketrampilan bahasa Inggris serta 6
pengalaman bekerja di lembaga-lembaga internasional memperoleh gaji yang besar, sementara mereka yang terkena dampak, karena pemulihan dan kenaikan produksi pertanian dan perikanan lamban dan elastisitas pendapatan yang rendah, memperoleh nilai tukar (terms of trade) yang tidak menguntungkan. Belum lagi jika dampak inflasi diperhitung. Vos, Velasco, and Labastida (1999) mengusulkan suatu metodologi untuk mengidentifikasi jenis-jenis risiko yang berbeda akibat bencana alam seperti El Niño dan menentukan derajat vulnerabilitas terhadap risiko demikian menurut kelompok wilayah geografis dan kelompok penduduk. Dengan demikian dapat ditetapkan prioritas kebijakan terhadap investasi yang bersifat preventif dan proteksi yang lebih baik terhadap mereka yang tergolong rentan (vulnerable). Dacy and Kunreuther, (1969, dalam Okuyama, 2003) mengemukakan adanya masalah informasi dan komunikasi dalam jangka pendek. Dengan menggunakan pendekatan mikro untuk pengambilan keputusan dan masalah permintaan-penawaran, mereka menyimpulkan bahwa dalam masa bencana dan setelahnya, informasi tentang cakupan dan besaran kerusakan sangat sulit diperoleh. Informasi demikian baru tersedia secara bertahap ketika proses pemulihan berlangsung, tapi tetap saja kredibilitas dan akuntabilitas informasi itu, misalnya tentang distribusi permintaan/kebutuhan di masa yang akan datang, tidak jelas. Ketidakpastian (uncertainty) informasi ini menjadi penting dalam analisis pengambilan keputusan pada tahap tanggap darurat pada saat dan pascabencana, karena kebanyakan model dan analisis ekonomi membuat asumsi informasi sempurna (perfect information) dan/atau probabilitas empiris tentang peristiwa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, data yang akurat dan informasi yang efektif tentang bencana dan kerusakannya menjadi sangat penting untuk melakukan alokasi sumberdaya secara efisien di bawah kendala- kendala tertentu akibat kerusakan bencana itu. Bank Dunia (2005) menyatakan bahwa agar program-program rekonstruksi berhasil, adalah penting dilakukan penilaian kerusakan dan kebutuhan yang komprehensif dan suatu rencana dibuat untuk memperbarui dan memantau kebutuhan yang berkembang. Informasi yang dikumpulkan secara sistematik dan terus menerus akan sangat berguna untuk dari waktu ke waktu mengetahui kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan apa yang sudah diselesaikan, yang pada gilirannya masuk dalam proses penganggaran tahunan selama masa rekonstruksi. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi juga dapat terkendala oleh kapasitas manajemen yang terbatas dan harus mengelola informasi dalam jumlah besar dan rumit. 2.2 Perlunya memperhitungkan dampak inflasi
7
Di satu sisi, inflasi yang tinggi akibat dana masuk yang besar untuk rekonstruksi menyebabkan
pembiayaan
rekonstruksi
semakin
meningkat
dan
menuntut
penyesuaian perencanaan dari waktu ke waktu. Di sisi lain, ekonomi menjadi tidak kompetitif dan justru rekonstruksi yang salah satu tujuanya adalah meletakkan landasan untuk pertumbuhan yang berlanjut dapat menyebabkan resesi atau kemerosotan pascarekonstruksi. Ditambah dengan gejala kenaikan upah di masa booming sektor konstruksi dan biaya berbisnis yang tinggi akibat konflik yang lama 9
serta infrastruktur yang berkualitas rendah, Aceh akan kalah bersaing dengan bagian
lain di Indonesia dan kawasan sekitarnya karena biaya yang tinggi. Inflasi yang tinggi menyebabkan investor enggan masuk dan juga mengakibatkan ketimpangan pendapatan riil yang semakin lebar antara mereka yang bekerja dengan gaji/upah yang tinggi dengan mereka yang berpendapatan tetap dan kelompok miskin. Laju inflasi di Banda Aceh pada tahun 2005 mencapai 41,5%, jauh lebih tinggi dibandingkan laju inflasi sebelum tsunami (2004) yang hanya 7 %. Angka ini juga berada di atas angka inflasi nasional yang hanya 17,1 % selama tahun yang sama. Kendati pada tahun 2006, laju inflasi turun menjadi 24,8 %, tapi masih dua kali lipat dari inflasi Indonesia yang hanya 13,4 %. Kegiatan ekonomi yang meningkat tajam dalam masa awal rekonstruksi menyebabkan inflasi karena aliran dana masuk yang demikian besar. Inflasi biasanya meningkat mengikuti pergerakan permintaan agregat yang meningkat. Pada tahap awal pemulihan dari bencana tsunami ini, unsur permintaan agregat yang diperkirakan meningkat tajam adalah konsumsi. Hal ini tidak mengherankan karena jumlah dana yang masuk ke Aceh melalui APBN, bantuan multilateral, bilateral, dan lembaga-lembaga non-pemerintah, termasuk dari individuindividu, tidak saja menimbulkan permintaan terhadap barang-barang kebutuhan dasar, tetapi juga terhadap jasa-jasa (persewaan, transportasi, dll.). Juga permintaan terhadap kamar-kamar hotel dan restoran meningkat tajam. Ini semua didorong oleh masukknya banyak orang dari luar ke Aceh ditambah dengan penciptaan lapangan kerja yang menghasilkan uang tunai segera melalui pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pertumbuhan kredit konsumsi selama periode Desember 2004- September 2005 mencapai 16,29 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan kredit yang digunakan untuk investasi dan modal kerja yang berkisar 14 9
Lihat hasil studi Nazamuddin dan Riswandi (2006)
8
hingga 15 persen. Peningkatan konsumsi juga dipicu oleh program cash-for-work10 yang pada tahap awal memberikan pendapatan segera pada masa kaotik pascabencana. Di samping itu, pemerintah menggulirkan program Jadup, yaitu jatah hidup untuk masa 3-6 bulan bagi penghuni tenda dan barak pengungsian. Sebagian anggota masyarakat memperoleh gaji yang tinggi karena bekerja di lembaga-lembaga asing atau BRR. Ini juga mendorong perkembangan konsumsi yang luar biasa. Inflasi yang tinggi dalam masa rekonstruksi secara umum dipicu oleh naiknya upah, biaya transportasi, dan juga oleh naiknya biaya produksi karena kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM pada Oktober 2005 yang menyebabkan kenaikan harga-harga secara nasional. Selain itu, infrastruktur yang buruk dan distribusi yang tidak lancar menjadi penyebab harga-harga naik. Rice (2007) mengindikasikan bahwa berakhirnya masa rekonstruksi dikhawatirkan dapat menimbulkan resesi. Dengan berakhirnya booming dalam bidang konstruksi, arus uang masuk akan turun drastis dan cenderung mendorong perekonomian ke dalam jurang resesi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekspor yang tinggi dan produksi barang-barang substitusi impor diperlukan pada tahun 2009 dan tahun-tahun setelahnya agar penurunan uang dalam peredaran di Aceh dapat dikompensasi dan agar puluhan ribu tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan setelah masa konstruksi dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait dengan booming konstruksi dapat memperoleh pekerjaan. Laju inflasi yang tinggi dan terus berlanjut akan membahayakan perekonomian dalam jangka panjang karena menjadi tidak kompetitif, dan oleh sebab itu upaya-upaya pencegahan sejak awal sangat diperlukan. Gelembung-gelembung ekonomi (economic bubbles) memang merupakan gejala ekonomi lazim dalam masa rekonstruksi, tapi membuat ekonomi tumbuh secara lebih berkelanjutan dalam jangka panjang menjadi lebih penting. Restorasi ekonomi pascabencana memerlukan beberapa tahun, tapi kesempatan terbuka lebar untuk meletakkan landasan pertumbuhan jangka panjang dengan aliran dana rekonstruksi yang besar dalam masa rekonstruksi, tentu dengan membuat perencanaan pembangunan kembali ke luar dari konteks “recovery” kepada
10
Program Cash-for-Work banyak dilakukan oleh donor (UNDP, NGO, dan masyarakat) dengan memberi pekerjaan berupa pembersihan puing-puing tsunami, pembersihan fasilitas kantor dan sekolah, pembersihan lahan pertanian, sampai pembersihan rumah-rumah pribadi. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan ketika tsunami tertolong untuk pemenuhan kebutuhan dasar mereka dengan bayaran berkisar Rp. 35.000 hingga Rp. Rp. 50.000 per hari. Tapi dampak negatif dari program ini adalah adanya moral hazard di mana sebagian mereka enggan memulai pekerjaan semula walaupun hal itu memungkinkan setelah beberapa bulan pascatsunami.
9
kebijakan-kebijakan preventif untuk mengurangi risiko kemerosotan ekonomi di masa mendatang dan risiko terjadinya bencana lagi.
2.3 Kesempatan Membangun Lebih Baik untuk Mencapai Alur Pertumbuhan Baru (New Growth Path) Rekonstruksi pascabencana pada hakekatnya bukan saja memulihkan kondisi sehingga kembali seperti keadaan sebelum bencana (recovery), melainkan juga meletakkan fondasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (redevelopment). Yang terakhir menghendaki intervensi kebijakan ekonomi yang diperlukan untuk mengurangi dampak dari peristiwa bencana yang mungkin terjadi di masa depan. Mengurangi dampak (mitigasi bencana) tidak lain adalah investasi jangka panjang. Perencanaan jangka panjang sebaiknya dilakukan tidak secara terburu-buru pada tahun-tahun pertama bencana besar seperti tsunami Aceh, tapi diperlukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan informasi dan menyerap aspirasi yang berkembang. Perencanaan jangka panjang dirancang dengan cukup teliti dan benar-benar untuk kepentingan pertumbuhan yang berlanjut. Kendati demikian, ketika proses pemulihan (recovery) sedang berlangsung, kebijakan-kebijakan tetap perlu dibuat untuk mengurangi resiko bencana jangka panjang (long-term disaster risk reduction). Untuk pembangunan yang berkelanjutan, perencanaan mesti keluar dari kerangka sematamata pemulihan pascabencana dan rehabilitasi. Ketika Rencana Induk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias disusun, perhatian pada upaya meletakkan landasan pembangunan berkelanjutan relatif sedikit. Dalam perjalanannya, BRR NAD-Nias dan negara/lembaga donor pada umumnya mempertimbangkan investasi infrastruktur (keras dan lunak) dalam konteks horizon waktu jangka panjang. Bencana serta dampak ekonominya sering diidentikkan dengan sebuah krisis ekonomi atau perang. Krisis dan bencana sama-sama membuat ekonomi merosot dan keluar dari kecenderungan (trend) pertumbuhan alamiahnya. Tentu terdapat perbedaan mendasar antara dampak terhadap negara-negara miskin dibandingkan dengan dampak sebuah krisis atau bencana terhadap negara kaya. Roberts (2005) mengajukan pertanyaan tentang berapa cepat kehidupan ekonomi akan pulih di wilayah Lautan India yang hancur karena tsunami. Negara-negara dengan sektor informal yang luas dan terdiri dari produsen skala kecil dapat bangkit kuat kembali setelah guncangan ekonomi..Selanjutnya Roberts menyatakan bahwa dampak ekonomi dari bencana itu telah menyebar sampai ke luar batas wilayah
10
bencana. Kendati secara nasional Asian Development Bank mengestimasikan nilai kerusakan hanya 2% dari PDB Indonesia, tapi dampak langsung tsunami adalah hilangnya pendapatan dan pekerjaan di sector pertanian, perikanan, dan jasa-jasa, khususnya pariwisata. Maladewa yang sangat tergantung pada sektor pariwisata adalah yang paling parah dampaknya pada sector ini karena hilangnya penghasilan devisa, diikuti kemudian oleh Sri Lanka dan Thailand. Penanggulangan pascabencana tanpa bantuan asing untuk negara-negara yang anggarannya mengalami defisit yang besar11 akan membawa beban yang sangat berat, apalagi dengan risiko inflasi dan pemotongan anggaran untuk sector-sektor belanja publik lain. Satu tahun pascabencana, ekonomi Aceh menurun drastis, terlihat pada pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga -13,4 % pada tahun 2005. Penurunan ini, sebagian disebabkan oleh konflik yang panjang dan menipisnya produksi minyak dan gas Arun, tercermin pada penurunan sektor pertambangan 33,5% (kontribusi dalam PDRB 2005 adalah 23%). Tapi dampak langsung bencana tercermin pada penurunan sektor pertanian -8,8% (kontribusi dalam PDRB 22%) dan penurunan sektor konstruksi sebesar 23,9% (kontribusi dalam PDRB 3%). Di sisi permintaan, konsumsi justru meningkat tajam, 34% dari total pengeluaran pada 2005 dibandingkan 23% pada tahun sebelumnya, sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya permintaan terhadap barang-barang di wilayah yang terkena dampak tsunami12. Dampak jangka panjang masih menunggu waktu. Diperlukan data seri waktu yang cukup untuk mengobservasi dampak intervensi rekonstruksi terhadap indikator pertumbuhan output dan kesempatan kerja dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, ekonomi tampak keluar dari kecenderungan alaminya, yakni turun drastis pada saat terjadi bencana, kemudian tumbuh drastis setelah setahun. Tapi peningkatan output dan kesempatan kerja diikuti oleh inflasi yang tinggi, walaupun kemudian turun dan kenaikan upah. Gelembung ekonomi ini jika tidak dikelola dengan baik akan justru menyebabkan resesi, tapi jika prakondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan berkelanjutan dapat diletakkan akan menempatkan ekonomi pascabencana pada kecenderungan (trend) baru, yakni ekuilibrium baru.
11
Di India gabungan defisit pemerintah pusat dan daerah mencapai 9-10% dari PDB; di Sri Lanka 7-8% dari PDB. 12
Hal ini terlihat pada peningkatan kredit di perbankan, yang sebagian besar merupakan kredit konsumsi (Rp. 3,32 triliun) pada Maret 2006.
11
Literatur kebijakan publik tentang bencana antara lain memfokuskan diskusi pada efektivitas respon bencana, jarang pada dampak jangka panjang intervensi kebijakan ekonomi terhadap penanganan pascabencana. Oleh karena itu, masalah yang sering diamati adalah apakah organisasi lokal mempunyai pengalaman sebelumnya dalam menangani bencana, apakah mereka fleksibel, dapatkah mereka melakukan koordinasi, khususnya dalam hal menggabungkan diri dan menghilangkan independensi diri sendiri dan bekerjasama dengan organisasi lain dalam penanganan bencana? Literatur demikian pada umumnya mengkaji pencegahan bencana (peringatan, perubahan lokasi dan bentuk lingkungan bangunan), respon cepat pemerintah dan kesiapsiagaan (preparedness), perencanaan komunitas untuk meminimalkan kerusakan dari bencana, dan sejenisnya (Esnard, 2003) Banyak studi ekonomi menganalisis dampak bencana terhadap variabel-variabel ekonomi dalam jangka pendek. Sebagian temuan itu (Albala-Bertrand, 1993; Dacy and Kunreuther, 1969; Otero and Marti, 1995, dalam Skidmore dan Toya, 2002) melaporkan bahwa Produk Domestik Bruto (GDP) pada umumnya ditemukan meningkat dalam periode segera setelah bencana alam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tercermin pada hilangnya modal dan barang-barang tahan lama (durable goods). PDB meningkat karena stok modal tidak dihitung dalam PDB sementara penggantiannya (yakni investasi baru) dipehitungkan di dalamnya. Skidmore dan Toya berpendapat bahwa sekilas memang tampaknya dapat disimpulkan bahwa probabilitas kerusakan modal yang semakin tinggi akibat bencana alam mengurangi investasi modal fisik dan karenanya menghambat pertumbuhan jangka panjang. Tetapi, analisis demikian menurut mereka hanya bersifat parsial dan dapat salah diartikan. Padahal walaupun risiko bencana dapat mengurangi investasi modal fisik, tapi bencana juga memberikan peluang untuk memperbarui stok modal, karenanya mendorong penerapan teknologi baru. Expected return atas modal fisik mungkin saja berkurang karena bencana, tapi meningkatnya modal manusia (karena investasi yang meningkat di bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya) yang memiliki eksternalitas tinggi justru memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Ini sesuai dengan teori pertumbuhan endogen (Endogenous Growth Theory). Isu pascabencana yang lebih makro adalah adanya ekuilibrium baru pascabencana. Davis and Weinstein (2002, dalam J. Vernon Henderson, 2005) menyimpulkan bahwa kerusakan massal (seperti yang diakibatkan oleh serangan bom sekutu terhadap
12
Jepang dalam Perang Dunia Kedua) barangkali mengantarkan perekonomian pada posisi ekuilibrium yang baru. Suatu guncangan ekonomi masif dapat menempatkan sebuah negara atau daerah pada ekuilibrium baru, walaupun Davis and Weinstein menemukan persistensi besar dalam struktur ekonomi lokal di Jepang. Ini menyadarkan kita bahwa kita berada dalam situasi dinamik yang menyesuaikan diri hingga suatu posisi “steady state”. Guncangan masif (massive shock) dapat menyebabkan suatu ekonomi meloncati proses tersebut, mempercepat, misalnya, penerapan teknologi baru dan mempercepat pergerakan menjauh dari posisi sebelumnya. Dengan kata lain, suatu guncangan masif dapat mengubah kondisi awal sehingga kita terkonvergensi ke posisi steady-state yang baru. Skidmore dan Toya (2002) menemukan secara empiris bahwa frekuensi bencana klimatik yang lebih tinggi berkorelasi dengan laju akumulasi modal manusia (human capital) yang lebih tinggi, kenaikan TFP (Total Factor Productivity), dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun risiko bencana mengurangi harapan laju pengembalian modal fisik (expected rate of return to physical capital), risiko juga dapat meningkatkan pengembalian relatif atas modal manusia. Oleh karena itu, investasi modal fisik mungkin saja turun, tapi juga terdapat substitusi ke arah investasi modal manusia. Bencana juga menyediakan rangsangan untuk memperbarui stok modal dan mengadopsi teknologi baru, yang menyebabkan perbaikan TFP. Terlepas dari skala bencana yang relatif dan variabilitasnya, kerusakan kota-kota pantai di Aceh dapat dibandingkan dengan kerusakan industri di Jepang akibat pemboman pada Perang Dunia Kedua (Henderson, 2005). Kerusakan akibat tsunami di Aceh juga dapat disetarakan dengan kerusakan akibat kerusakan Eropa akibat Perang Dunia Kedua yang pada akhirnya melahirkan Marshal Plan yang berhasil memajukan ekonomi Eropa pasca Perang Dunia Kedua13. Pengalaman Marshal Plan menunjukkan bahwa negara-negara Eropa mampu bangkit dengan bantuan besar dari dunia luar, khususnya Amerika Serikat, karena mempunyai prasyarat yang diperlukan untuk secara efektif mencapai tujuan-tujuan rekonstruksi, yang meliputi aspek struktural, institusional, dan attitudinal. Prasyarat itu antara lain pasar barang dan uang yang terintegrasi dengan baik, fasilitas transportasi yang maju, angkatan kerja terlatih dan terdidik, adanya motivitasi dari masyarakatnya untuk bangkit, dan birokrasi pemerintah yang efisien. Ini semua tampaknya berlaku untuk suatu wilayah
13
Dimulai tahun 1947 untuk waktu empat tahun, Marshall Plan, yang gagasannya dicetuskan oleh Menteri Luar Negeri AS George Catlett Marshall (1880-1959 mengalokasikan dana sebesar $13.3 milyar untuk pemulihan Eropa.
13
atau negara yang melakukan rekonstruksi untuk mencapai kondisi yang lebih baik daripada sebelum bencana. III.
STRATEGI DAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA DAN PENANGANGAN PASCABENCANA
Pengalaman rekonstruksi Aceh pascabencana tsunami menunjukkan bahwa kesiapan (preparedness) menghadapi bencana sangat rendah, baik dari sudah masyarakat
maupun
dari
dari
sudut
kebijakan
pemerintah.
Perencanaan
penanggulangan dampak yang dibuat dengan informasi yang tidak tersedia dengan baik menjadi kendala penting dalam implementasi dan koordinasi rekonstruksi yang efektif. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi disesuaikan sambil jalan, tapi sasaran bisa berubah-ubah, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat korban. Dari sudut pembiayaan hanya karena adanya solidaritas internasional mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi sejak awal, beban pembiayaan dapat menjadi lebih ringan. Inflasi menjadi gejala yang mesti diperhitungkan sejak awal, khususnya dalam memprediksi pembiayaan rekonstruksi. Program dirancang sedemikian rupa sehingga tetap dalam agenda atau tidak jauh dari rancang bangun pembangunan ekonomi sebelum bencana. Penduduk miskin dan rentan, karena risiko kerugian yang dihadapi lebih besar, harus menjadi prioritas. Pentahapan program rekonstruksi diperlukan dan pada masing-masing tahap dirancang program yang tepat sasaran dan dirancang sedemikian rupa sehingga selain ditujukan untuk memulihkan keadaan (infrastruktur, kehidupan sosial dan ekonomi, kelembagaan, dsb.), juga ditujukan untuk mengurangi risiko kerugian yang besar untuk menghadapi kemungkinan peristiwa bencana di masa yang akan. Setelah restorasi dituntaskan, fondasi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan perlu diletakkan. Rekonstruksi semestinya merupakan upaya untuk mengurangi risiko bencana di masa depan (ex-ante risk reduction), bukan semata-mata upaya untuk memulihkan kondisi atas bencana yang sudah terjadi (ex-post response). Dalam masa darurat pascabencana, menurut Morris and Wodon, dalam Emmanuel Skoufias (2003) bantuan darurat biasanya terdiri dari bantuan barang (in-kind transfers) berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan. Karena kebutuhan terhadap barang-barang seperti ini adalah sama bagi semua rumahtangga korban, sedikit sekali keleluasaan memberikan bantuan yang lebih besar kepada mereka yang menderita 14
atau mereka yang lebih miskin sebelum bencana. Sementara itu, bantuan tunai dengan sasaran terbatas (targeted cash transfers) tampaknya merupakan alternatif yang cepat dan lebih fleksibel dengan biaya administrasi yang lebih rendah daripada bantuan barang (in-kind), juga lebih mudah diprogramkan sesuai dengan tingkat kerugian masing-masing rumahtangga korban daripada program bantuan tunai yang diperlakukan sama rata untuk semua korban bencana. Adil tidak berarti sama rata. Instrumen yang biasa digunakan dalam masa krisis dan pascabencana menurut mereka adalah bantuan tunai dan program pekerjaan umum (cash transfer and public work programs), bantuan untuk penganggur (unemployment assistance), subsidi upah dan harga barang (wage and commodity price subsidies), pembangunan manusia dengan target tertentu (targeted human development) atau program bantuan tunai yang dikaitkan dengan syarat partisipasi sekolah atau kunjungan regular ke klinik kesehatan (cash transfer programs conditioned on school attendance and regular visits to health centers), pembebasan biaya pelayanan publik tertentu (service fee waiver), program bantuan makanan dan gizi (food and nutrition programs), program pembiayaan mikro dan dana sosial (micro-finance and social fund programs). Penting sekali dirancang suatu mekanisme di mana pemerintah dapat memberikan pilihan-pilihan kepada rumahtangga dengan informasi yang memadai tentang jenis dan sifat program-program jaring pengaman yang dilakukan dan informasi tentang bagaimana rumahtangga menghadapi krisis dan bencana alam. Owens, Hoddinott, and Kinsey, 2001 (dalam Skoufias, 2003) menganalisis bencana kekeringan di Zimbabwe dengan memfokuskan diri pada potensi pengaruh peralihan intervensi pemerintah dari program ex-post (respon pascabencana) kepada program ex-ante (program pengurangan risiko pra-bencana). Pengalaman dari negaranegara yang mengalami krisis dan bencana telah memberi pelajaran berarti bahwa program-program pengurangan risiko yang dirancang sejak awal (ex-ante risk reduction programs) lebih efektif daripada intervensi pemerintah dalam bentuk program-program mitigasi dan penanggulangan yang bersifat ex-post. Realokasi dana dari tanggap darurat pascabencana (ex-post response to shocks) kepada intervensi exante (mitigasi pra-bencana) terbukti berhasil mengurangi kemiskinan dalam tahuntahun di luar paceklik sementara pada waktu bersamaan membantu rumahtangga mengumpulkan stok ternak sehingga membantu menyokong konsumsi mereka pascabencana kekeringan 1994-95. Realokasi anggaran demikian justru dapat
15
meningkatkan kesejahteraan (welfare enhancing) dan mengurangi kemiskinan (poverty reducing). Skoufias (2003) menguji strategi ex-ante dan ex-post yang dapat diterapkan oleh badan-badan pemerintah agar dapat efektif melindungi rumahtangga dan anggota rumahtangga dari potensi dampak dari guncangan agregat seperti krisis ekonomi hebat dan bencana besar. Dari pengalaman beberapa negara di Asia dan Amerika Latin dapat disimpulkan bahwa karena sifat agregat dari krisis ekonomi dan bencana alam, maka banyak mekanisme informal untuk mitigasi dan penanggulangan risiko, khususnya yang berbasis masyarakat (community-based), kemungkinan kurang efektif. Dalam hal itu, rumahtangga mungkin dipaksa untuk tergantung pada strategi asuransi mandiri (self-insurance) yang biasanya mahal berdasarkan perhitungan kesejahteraan sekarang dan di masa depan. Respon publik kemungkinan lebih efektif asalkan didasarkan pada program dan mekanisme yang sudah berlaku sebelum suatu krisis terjadi. Jika program jaring pengaman (safety net) tidak tersedia sebelum peristiwa krisis, kesulitan pemerintah melindungi rumahtangga dalam keadaan krisis akan meningkat secara eksponensial. Selama krisis, kendala-kendala berlipatganda karena kelangkaan sumber-sumber fiskal, kurang atau lemahnya kapasitas kelembagaan untuk bertindak cepat, kurangnya instrumen, dan masalah ketiadaan informasi. Selain itu, juga perlu diperhatikan bahwa program-program yang dibuat mempunyai sasaran, menyediakan proteksi yang memadai bagi kelompok miskin, dan mencegah budaya saling bergantung di antara sesama penerima manfaat (beneficiaries), dan sejalan dengan insentif ekonomi serta sasaran-sasaran umum dari kebijakan fiskal.
16
IV.
PENUTUP
Adalah penting mengambil pelajaran dari setiap bencana, baik untuk kepentingan kajian ilmiah, maupun untuk kebijakan mitigasi dan penanganan pascabencana dan bahkan pembangunan kembali suatu wilayah. Bencana semakin sering terjadi di Indonesia, tapi belum ada suatu kebijakan standar untuk penanganan pascabencana. Respon cepat seringkali masih dalam bentuk penganganan tanggap darurat untuk kepentingan jangka pendek, yakni pemulihan ke kondisi awal. Penelitian-penelitian empiris sangat diperlukan untuk menganalisis dampak dari setiap bencana, yang selalu berbeda satu dari yang lain. Kendati penanganan pascabencana dapat berbeda, tergantung skala, kondisi geografis dan sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat, namun semestinya terdapat suatu kerangka kebijakan pembangunan kembali dalam perspektif waktu jangka panjang. Informasi tentang kerugian dan kerusakan mesti dikumpulkan dengan akurat dan terdapat suatu metodologi yang sama untuk mengukur besarannya. Demikian pula program yang disusun semestinya ditempatkan dalam suatu kerangka komprehensif untuk mengurangi risiko bencana di masa depan. Kebijakan-kebijakan preventif pengurangan risiko bencana lebih optimal dalam jangka panjang daripada kebijakan penanganan untuk semata-mata memulihkan keadaan hingga seperti sebelum bencana.
17
REFERENSI Bank Dunia (2005), Indonesia: Notes on Reconstruction, The December 26, 2004 Natural Disaster, A Technical Report Prepared by BAPPENAS and the International Donor Community, The Consultative Group on Indonesia, January 19-20, 2005 Henderson, J. Vernon (2005). Disaster Recovery in Aceh. Brown University. (unpublished paper) Jovel, J. Roberto (2005). Assessment of the Socio-Economic Impact of Disasters: Conceptual Framework. ADPC Kreimer, Alcira and Mohan Munasinghe, eds (1991). Managing Natural Disasters and the Environment, World Bank. Nazamuddin dan Riswandi (2006). Ekonomi Biaya Tinggi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus di Provinsi NAD. Banda Aceh: The Aceh Institute Okuyama, Yasuhide (2003). Economics of Natural Disasters: A Critical Review, Research Paper, presented at the 50th North American Meeting, Regional Science Association International, November 20-22, 2003, Philadelphia, PA. Rice, Robert (2007). Planning for the End of the Construction Boom and Transition to a Normal Economy in Aceh and Nias. (unpublished discussion paper) Roberts, John (2005). The Indian Ocean Tsunami: How can the region recover economically?. Opinions, Overseas Development Institute (www.odi.org.uk/publications/opinions) Skidmore, Mark and Hideki Toya (2002). Do Natural Disasters Promote Long-Run Growth?, Economic Inquiry, Vol. 40, No. 4, October 2002, pp. 664-687, Skoufias, Emmanuel (2003). Economic Crises and Natural Disasters: Coping Strategies and Policy Implications. World Development, Vol. 31, No. 7, pp. 1087–1102 Sofyan, T. Safriza (2005). Portfolio Dana Rekonstruksi Aceh di Tengah Ancaman Inflasi, Multi-Donor Trust Fund NAD-Nias, Banda Aceh Vos, Rob, Margarita Velasco, and Edgar Labastida (1999), Economic And Social Effects Of “El Niño” in Ecuador, 1997-8, ORPAS - Institute of Social Studies Working Paper 292. *****
18