PERKUAT MITIGASI, SADAR EVAKUASI MANDIRI DALAM MENGHADAPI BENCANA TSUNAMI Oleh : Rahmat Triyono, ST, MSc Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Email :
[email protected] (Hasil Penelitian Tentang Megathrust Siberut Digunakan sebagai Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan) Akhir-akhir ini masyarakat di Sumatera Barat (khususnya masyarakat di pesisir pantai) diingatkan kembali akan adanya gempabumi besar disertai tsunami yang bersumber disekitar kepulauan Siberut. Ingatan ini dipicu oleh beberapa kejadian gempabumi sebelumnya yang terjadi di pantai Selatan Jawa yaitu, selatan kota Cilacap tanggal 25 Juli dan selatan kota Malang 26 Juli, termasuk kejadian gempabumi di Papua 28 Juli 2015, dan dibeberapa media cetak maupun elektronik termasuk media online menulis dengan headline akan adanya gempabumi dengan magnitude 9.0 SR di wilayah Sumatera. Sebetulnya sampai saat ini gempabumi belum bisa diprediksi kapan terjadinya, termasuk dimana dan berapa kekuatannya, bahkan negara yang memiliki peralatan pengamatan gempabumi yang sudah canggih seperti Amerika dan Jepang sekalipun belum mampu memprediksi kapan gempabumi itu terjadi. Penelitian yang ada hanya mampu memperkirakan potensi gempabumi yang akan terjadi. Namun demikian ada beberapa metode pendekatan untuk memprediksi kapan gempabumi akan terjadi yaitu salah satunya menggunakan sejarah kegempaan dan juga adanya seismik gap. Seismik gap adalah suatu kekosongan atau tidak adanya aktivitas kegempaan dalam kurun waktu tertentu dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Data menunjukan seismisitas kegempaan dengan magnitude ≥ 6 SR dari periode tahun 1973-2014 (BMKG) menunjukan adanya sedikit aktivitas kegempaan didaerah sekitar kepulauan Siberut.
Gambar 1. Peta seismisitas pulau Sumatera data Tahun 1973-2014 dengan magnitude > 6 SR (BMKG)
Sedangkan data seismisitas kegempaan pada tahun 1900-2014, seperti hal nya beberapa kawasan di sepanjang jalur subduksi zona megathrust Mentawai termasuk zona seismic gap. Menurut penelitian para ahli seismic, pada zona Megathrust Mentawai masih menyimpan potensi gempabumi dengan magnitude 8.9 SR. Kawasan ini pernah mengalami gempabumi besar pada tahun 1797 dengan magnitude 8.7 – 8.9 SR dan pada tahun 1883 di wilayah Sipora dengan magnitude 8.9 - 9.1 SR dengan periode ulang 200-300 tahun.
Gambar 2. Area prediksi sumber gempa menurut penelitian para ahli kegempaan
Peristiwa-peristiwa gempabumi di sepanjang jalur subduksi (Megathrust) di dalam zona seismik gap ditengarai
merupakan suatu proses pecahnya kuncian-kuncian yang selama ini menghambat
pergerakan tektonik pada zona seismik tersebut, sehingga dengan berkurangnya faktor-faktor pengunci akan memperbesar kemungkinan zona Megathrust melepaskan seluruh energi yang tersimpan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi para pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana dimana gempabumi yang terjadi beberapa waktu belakangan mungkin akan mempercepat terjadinya gempabumi besar di kawasan tersebut dan dapat memicu terjadinya tsunami.
Beberapa pakar kegempaan telah menyimpulkan bahwa ada ancaman gempabumi besar disekitar kepulauan Siberut yang lebih dikenal dengan sebutan Siberut Megathrust. Termasuk penelitian terakhir yang dilakukan oleh peneliti dari Amerika serikat dan Singapura yang tergabung dalam penelitian MEntawai GAp Tsunami Earthquake Risk Assesment (Mega-Tera) dengan menggunakan kapal R/V Falkor milik Amerika telah menyelesaikan misi risetnya di perairan Mentawai dan Siberut sekitar bulan Juni yang lalu dan menyimpulkan adanya potensi ancaman gempabumi besar disekitar kepulauan Mentawai dan Siberut dalam kurun waktu 20 tahun kedepan. Tentunya beberapa hasil penelitian para pakar kegempaan hendaknya digunakan secara bijaksana oleh kita untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman gempa tersebut. Potensi ancaman gempabumi dan tsunami tidak hanya ada di kepulauan Mentawai dan Siberut saja tetapi juga didaerah lain diwilayah Indonesia, khususnya daerah subduksi pertemuan lempeng Indo-Australia, Eurasia juga lempeng Pasific adalah daerah-daerah yang berpotensi terjadinya gempabumi/tsunami. Kita hendaknya bersyukur dengan adanya penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar, khususnya didaerah kepulauan Mentawai dan Siberut, karena dengan adanya penelitian tersebut kita menjadi tahu bahwa ada potensi ancama bencana di wilayah kita dan harusnya hal ini membuat kita lebih waspada dan siap siaga untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempabumi dan tsunami. Gelombang seismik dan gelombang tsunami memiliki beberapa perbedaan karakteristik, salah satunya adalah kecepatan rambat gelombangnya. Cepat rambat gelombang seismik adalah 25.200 Km/Jam, sedangkan cepat rambat gelombang tsunami 720 Km/Jam. Dengan adanya perbedaan cepat rambat gelombang seismik dan gelombang tsunami ini dapat dimanfaatkan untuk peringatan dini tsunami . BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) yang salah satu tugasnya adalah untuk monitoring, memproses dan mendesiminasi informasi gempabumi dan tsunami maka dengan adanya selisih waktu tersebut, BMKG memanfaatkan selisih waktu tersebut untuk memberikan warning tsunami termasuk didaerah pantai Barat Sumatera. Berdasarkan dari pemodelan penjalaran gelombang tsunami dengan sumber gempabumi disekitar kepulauan Siberut dengan magnitude seperti pada hasil penelitian yaitu 8.9 SR dengan menggunakan software TOAST dan WinITDB maka diperoleh perkiraan estimasi waktu tiba gelombang tsunami dibeberapa kota di Sumatra Barat seperti pada table 1.
Gambar 3. Tsunami Travel Time yang diperoleh dengan menggunakan software WinITDB dengan interval waktu 5 menit
Tabel 1. Perbandingan estimasi waktu tiba tsunami dengan menggunakan software TOAST dan WinITDB Daerah Terdampak Pulau Siberut Pulau Sipora Kota Padang Kota Pariaman Kabupaten Agam Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Pesisir Selatan
Tsunami Travel Time TOAST WinITDB 5 Menit 7 Menit 5 Menit 12 Menit 22 Menit 20 Menit 20 Menit 20 menit 26 Menit 20 Menit 28 Menit 25 Menit 25 Menit 35 Menit
Tentunya estimasi waktu tiba gelombang tsunami ini tingkat keakuratannya masih dapat diperdebatkan apalagi sumber gempa yang digunakan untuk pemodelan tersebut adalah perkiraan dimana area itu diprediksi bakal terjadi gempa dengan kekuatan 8.9 SR, namun demikian paling tidak hal ini dapat digunakan sebagai pendekatan bahan pertimbangan oleh Pemerintah Daerah, para pemangku kepentingan dan masyarakat untuk memanfaatkan golden time dalam melakukan evakuasi . Berdasarkan pemodelan penjalaran gelombang tsunami tsb dimana beberapa kota di Sumatera Barat dapat dilanda gelombang tsunami dalam kurun waktu kurang dari 30 menit, maka marilah kita manfaatkan sisa golden time untuk melakukan evakuasi mencari tempat evakuasi yaitu tempat-tempat yang lebih tinggi, mengingat informasi/warning yang disampaikan oleh BMKG yaitu 5 menit setelah terjadinya gempabumi maka bila kita mengandalkan atau menunggu warning dari BMKG sebetulnya kita telah menyianyiakan waktu 5 menit untuk melakukan evakuasi, apalagi untuk wilayah di kepulauan Mentawai dan Siberut kemungkinan saat warning diterima saat itu juga tsunami telah melanda daerah tersebut. Sekalipun saat ini Indonesia telah memiliki sistim peringatan dini tsunami yang disebut Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) namun sebaik baiknya peringatan dini itu terletak pada kesadaran diri individu masyarakat untuk melakukan evakuasi mandiri tanpa harus menunggu informasi/warning dari Pemerintah/BMKG, begitu merasakan adanya goncangan gempa yang kuat hendaknya masyarakat yg tinggal di daerah pantai langsung melakukan evakuasi menjauh dari pantai mencari tempat-tempar yang lebih tinggi. Dengan adanya hasil penelitian para pakar kegempaan bahwa adanya potensi ancaman gempa besar di megathrust Siberut, marilah kita gunakan secara bijaksana sebagai upaya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai, diharapkan tidak panik dan tetap meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan. Pengalaman gempabumi dan tsunami Aceh 2004, kesiapsiagaan masyarakat Pulau Simeuleu yang lekat dengan kearifan lokalnya “Smong” berhasil diselamatkan dari bencana gelombang tsunami 26 Desember 2004, sementara itu terjadi ratusan ribu korban di daratan Sumatera dan negara-negara di sekitar Samudera Hindia, dengan demikian budaya siaga bencana haruslah selalu tertanam dalam diri kita.