6 STRATEGI MITIGASI TSUNAMI 6.1 Kerusakan Ekosistem Mangrove Akibat Tsunami Tsunami yang menerjang pesisir Kecamatan Sukakarya dengan tinggi gelombang datang (run up) antara 2- 5 m mengakibatkan kerusakan di ekosistem mangrove,
kawasan
tambak,
infrastruktur,
rumah,
kedai
dan
pondok
penginapan/bungalow. Lokasi kerusakan umumnya yang berhadapan langsung dengan perairan Teluk Lhok Pria Laot, yaitu Teluk Boih, Pantai Lhok Weng, Pantai Lhut, dan Pantai Lam Nibong. Wilayah ekosistem mangrove yang dampak kerusakan relatif rendah adalah pantai TWA Alur Paneh dan Teluk Boih karena memiliki gumuk pasir (sand dune), jarak antara garis pantai dengan ekosistem mangrove antara 30-50 m,
kelerengan pantai yang relatif terjal sekitar 5o (hasil pengukuran
lapangan tertera di lampiran 2) dengan jenis pantai berbatu. Ekosistem mangrove yang terdapat di lokasi penelitian tersebar di Pantai TWA Alur Paneh, Teluk Boih, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut (Gambar Peta 49). Pesisir Pantai Lho Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lho Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong memiliki garis pantai yang relatif dekat dengan perairan Teluk Lho Pria Laot. Pantai Lhut 1 kerusakan ekosistem mangrove rusak parah sejauh 300 m karena tidak memiliki garis pantai, topografi datar dengan kemiringan 1o-2o. Ekosisitem mangrove Pantai Lhut 2, Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu1, Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b dan Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 semakin menuju ke arah pedalaman (hinterland) secara berangsur kerusakan ekosistem mangrove tidak terlalu rusak. Hal ini disebabkan karena jarak dari garis pantai ke ekosistem mangrove kurang lebih 30-50 m, kerapatan mangrove cukup padat, sebagian besar kategori pohon dengan tinggi pohon rata-rata sekitar 20-30 m. Ekosistem mangrove di lokasi tersebut memiliki kerapatan yang cukup dan didominasi oleh kategori pohon sehingga dapat mereduksi tsunami.
109
6.2 Jenis Kerapatan dan Ketebalan Ekosistem Mangrove di Lokasi Penelitian dan Strategi Mitigasi Pengamatan komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove untuk kategori semai, anakan dan pohon di TWA Alur Paneh dan Teluk Boih adalah Rhizophora stylosa. Pengamatan komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove untuk kategori semai di Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 dan Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b Rhizophora mucronata, kategori anakan dan pohon adalah Rhizophora apiculata. Pengamatan komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove di Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 untuk kategori semai, anakan dan pohon adalah Rhizophora apiculata. Pengamatan komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove di Pantai Lhut 1 untuk kategori semai adalah Rhizophora apiculata. Pengamatan komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove untuk kategori semai, anakan dan pohon di Pantai Lhut 2 adalah Rhizophora stylosa. Pengamatan komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove untuk kategori semai, anakan dan pohon di Pantai Lho Weng 1/Lam Nibong adalah Rhizophora apiculata. Dominasi jenis spesies di lokasi penelitian pada umumnya Rhizophora apiculata yang tumbuh di zonasi pinggir pantai. Kerapatan pohon mangrove di setiap pengamatan memiliki jumlah yang berbeda-beda TWA Alur Paneh (8 pohon per 100 m2), Teluk Boih (8 pohon per 100 m2), Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 (14 pohon per 100 m2), Lhok Weng 2 b/Teupin Layeu 1b (14 pohon per 100 m2), Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 (17 pohon per 100 m2), Pantai Lhut 2 (9 pohon per 100 m2) dan Lhok Weng 1/Lam Nibong (13 pohon per 100 m2). Kerapatan pohon mangrove yang memiliki individu pohon terbanyak adalah di Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2. Ketebalan ekosistem mangrove di setiap pengamatan memiliki ketebalan yang berbeda pula TWA Alur Paneh (171,7781 m), Teluk Boih (171,7781 m), Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 (104,2048 m), Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b (104,2048 m), Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 (238,7321 m), Pantai Lhut 2 (99,5399 m) dan Lhok Weng 1/Lam Nibong (50,9065 m). Ketebalan mangrove yang memiliki tebal maksimal adalah Lhok Weng 3/Teupin Layeu2. Dengan memperhatikan hasil pengamatan lapangan maka Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 memiliki kerapatan dan ketebalan yang maksimal.
110
Upaya mitigasi yang dilakukan di penelitian ini dengan mengaplikasikan ketebalan maksimal yaitu 238 m dan kerapatan maksimal yaitu 17 pohon per 100 m2 kedalam SIG dengan menggunakan persamaan 15 b. Persamaan 15 b dibuat dalam bentuk spasial kedalam masing-masing ekosistem mangrove menghasilkan Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 50). Peta Reduksi Tsunami I menginformasikan nilai yang terendah 0,0161 dan tertinggi 0,1193, kemudian diolah untuk mendapatkan 4 kelas, rentang nilai tertinggi-nilai terendah dibagi 4 (0,11930,0161)/4, maka diperoleh interval kelas 0,02581. Pembagian 4 kelas yaitu 1.Rendah (0,0161-0,0419), 2. Sedang (0,0419-0,0677), 3.Tinggi (0,0677-0,0935) dan 4.Sangat Tinggi (0,0935-0,1193). Peta Reduksi Tsunami I terbagi dalam 4 kelas tertera dalam Tabel 27. Tabel 27. Kelas tingkat reduksi mangrove Kisaran Nilai Total Overlay Tingkat Reduksi TRM<0,0419 1 0,0419< TRM <0,0677 2 0,0677
0,0935 4 Ket: TRM = Tingkat Reduksi Mangrove
Kelas Tingkat Reduksi Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 50) menginformasikan kemampuan ekosistem mangrove dengan kerapatan yang sesuai dengan lokasi pengamatan dalam mereduksi tsunami. Proses selanjutnya dilakukan usaha untuk mereduksi genangan akibat tsunami dengan cara Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 50) dilakukan proses tumpang susun (overlay) dengan Peta Tingkat Kerentanan (Gambar 48) menggunakan persamaan 16 menghasilkan Reduksi Genangan I. Hasil dari proses Reduksi Genangan I menghasilkan nilai tertinggi 380 dan terendah 180 maka dibagi menjadi 4 (empat) kelas sebagai berikut 1. Aman (0230), 2. Cukup Rentan (230-280), 3. Rentan (280-330) dan 4. Sangat Rentan (330-380). Hasil proses Reduksi Genangan I dibuat dalam bentuk spasial menjadi Peta Reduksi Genangan I (Gambar 51) terbagi menjadi 4 kelas terdapat dalam Tabel 28.
111
Tabel 28. Kelas Reduksi Genangan I Kisaran Nilai Total_Skor Tingkat Kerentanan RG I< 230 1 230 330 4 Ket RG I = Reduksi Genangan I
Kelas Tingkat Kerentanan Aman Cukup Rentan Rentan Sangat Rentan
Dari Peta Reduksi Genangan I (Gambar 51) sebaran Kelas Sangat Rentan tersebar di wilayah pesisir timur lokasi penelitian dengan luas sebaran 290,7681 ha, Kelas Rentan luas 104,6581 ha, Kelas Cukup Rentan luas 31,7147 ha dan Kelas Aman luas 2,7388 ha. Pola sebaran genangan semakin ke arah dalam semakin aman dengan luas yang relatif kecil. Luas sebaran sangat rentan tampak terdapat di sepanjang pesisir timur Teluk Lhok Pria Laot. Hasil Peta Reduksi Genangan I masih terdapat wilayah yang tergenang menunjukkan bahwa ekosistem mangrove tidak dapat menahan tinggi gelombang (run up) 30 m, perlu dilakukan usaha mitigasi kembali agar wilayah pesisir dapat tereduksi dari tsunami. Usaha yang dilakukan dengan cara peningkatan kerapatan ekosistem mangrove. Kerapatan ekosistem mangrove di setiap lokasi ditingkatkan dari
yang
sesuai dengan habitatnya menjadi 15 pohon per 100 m2. Dalam proses ini menggunakan persamaan 17 b. Persamaan 17 b dibuat dalam bentuk spasial ke dalam masing-masing ekosistem mangrove menghasilkan Peta Reduksi Tsunami II (Gambar 52). Peta Reduksi Tsunami II menginformasikan nilai yang terendah 0,0163 dan tertinggi 0,1193, kemudian diolah untuk mendapatkan 4 kelas, rentang nilai tertinggi-nilai terendah dibagi 4 (0,1193 -0,0163)/4, maka diperoleh interval kelas 0,0258. Pembagian 4 kelas yaitu; 1.Rendah (0,0163-0,0421), 2. Sedang (0,0421-0,0678), 3. Tinggi (0,0678-0,0936) dan 4. Sangat Tinggi (0,0936-0,1193). Hasil proses Reduksi Tsunami II dibuat dalam bentuk spasial menjadi Peta Reduksi Tsunami II (Gambar 52) terbagi menjadi 4 kelas terdapat dalam Tabel 29.
112
Tabel 29. Kelas tingkat reduksi peningkatan kerapatan mangrove Kisaran Nilai Total Overlay Tingkat Reduksi Kelas Tingkat Reduksi TRPR< 0,0420 1 Rendah 0,0420< TRPR<0,0678 2 Sedang 0,06780,0936 4 Sangat Tinggi Ket: TRPR = Tingkat Reduksi Peningkatan Kerapatan Mangrove Peta Reduksi Tsunami II (Gambar 52) merupakan hasil peningkatan kerapatan ekosistem mangrove di setiap lokasi pengamatan Tahap berikutnya Peta Reduksi Tsunami II (Gambar 52) ditumpang susunkan (overlay) dengan Peta Tingkat Kerentanan (Gambar 48)
menggunakan persamaan (18) sehingga
menghasilkan Peta Reduksi Genangan II (Gambar 53). Hasil dari proses Reduksi Genangan II menghasilkan nilai tertinggi 380 dan terendah 180 maka dibagi menjadi 4 kelas dengan pembagian sesuai dengan Tabel 20 adapun pembagian kelas yaitu 1. Aman (180-230), 2. Cukup Rentan (230-280), 3. Rentan (280-330) dan 4. Sangat Rentan (330-380). Hasil proses Reduksi Genangan II dibuat dalam bentuk spasial menjadi Peta Reduksi Genangan II (Gambar 53) terbagi menjadi 4 kelas terdapat dalam Tabel 30. Tabel 30. Kelas Reduksi Genangan II Kisaran Nilai Total_Skor Tingkat Kerentanan RG I< 230 1 230 330 4 Ket RG I = Reduksi Genangan II
Kelas Tingkat Kerentanan Aman Cukup Rentan Rentan Sangat Rentan
114
115
Dari Peta Reduksi Genangan II (Gambar 53) sebaran Kelas Sangat Rentan tersebar di sepanjang wilayah pesisir timur lokasi penelitian dengan luas sebaran 290, 7681 ha, Kelas Rentan luas 104, 6581 ha, Kelas Cukup Rentan luas 31,7147 ha dan Kelas Aman 2,7388 ha. Luas sebaran baik dari Peta Reduksi Genangan II dan Peta Reduksi Genangan I memiliki luas yang sama, jadi dapat diartikan penambahan kerapatan ekosistem mangrove tidak signifikan dalam mereduksi tsunami. Alternatif strategi mitigasi lain dengan cara penambahan ketebalan ekosistem mangrove di lokasi yang sesuai untuk ekosistem mangrove yaitu Pantai TWA Alur Paneh, Teluk Boih, Pantai Lhok weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Pantai Lhok Weng 3/ Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong
sejauh 102 m ke arah laut dengan
kerapatan 15 pohon per 100 m2 . Hasil penambahan ketebalan mangrove ditampilkan dalam Peta Strategi Mitigasi. (Gambar 54). Tujuan penambahan ekosistem mangrove ke arah laut sejauh 102 m (hasil analisis) dan kerapatan setiap lokasi pengamatan 15 pohon per 100m2 diharapkan dapat menahan tsunami. Dengan demikian dilakukan penanaman kembali (replanting) vegetasi mangrove di setiap lokasi pengamatan. Jumlah vegetasi yang diperlukan
sesuai dengan karakteristik sifat habitat ekosistem mangrove di
masing-masing lokasi. Kondisi Pulau Rubiah yang memiliki luas 34 ha dan merupakan lokasi taman laut. Pulau Rubiah tidak memiliki ekosistem mangrove namun memiliki vegetasi pantai. Pada saat terjadi tsunami pulau ini cukup parah kerusakannya karena berhadapan langsung dengan Teluk Lho Pria Loat dan tidak ada sabuk pelindung (green belt). Strategi mitigasi yang dilakukan dengan membuat setback atau sempadan pantai sejauh 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 21 UU No. 27/2007 dan Pasal 56 ayat 1 PP No. 26/2008). Kemudian di utara Pulau Rubiah terdapat Pulau Seulako dengan luas 5 ha merupakan pulau vulkanik sehingga tidak mengalami kerusakan akibat tsunami.
119
6.3 Penanaman Mangrove (Replanting) Penanaman mangrove dilakukan di wilayah pesisir yang sangat rentan. Lokasi sangat rentan terjadi disemua lokasi pengamatan, oleh karena itu penanaman mangrove dilakukan dari utara lokasi penelitian hingga selatan. Lokasi penanaman vegetasi mangrove
Pantai TWA Alur Paneh, Pantai Teluk
Boih, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut 2 dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong. Penambahan ketebalan ekosistem mangrove di setiap lokasi pengamatan dengan jarak 102 m ke arah laut disesuaikan dengan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) dari masing-masing ekosistem dan panjang garis pantai. Pantai Lhut 2 spesies yang sesuai adalah Rhizophora stylosa untuk kategori pohon memerlukan 1.510.110 pohon sedangkan untuk kategori anakan 16.425.758 buah anakan (Lampiran 8). Pantai TWA Alur Paneh spesies yang digunakan Rhizophora apiculata untuk kategori pohon dan anakan, jumlah vegetasi yang diperlukan 931.770 pohon (Lampiran 9). Pantai Teluk Boih rehabilitasi dengan spesies Rhizophora apiculata, jumlah 843.030 pohon untuk kategori pohon dan anakan (Lampiran 10). Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong spesies yang digunakan Rhizophora apiculata dengan jumlah kategori pohon 553.860 pohon dan untuk kategori anakan 1.292.340 buah anakan (Lampiran 11). Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 memerlukan spesies Rhizophora apiculata untuk kategori pohon dan anakan sejumlah 765.000 pohon (Lampiran 12). Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b baik kategori pohon dan anakan memerlukan 99.450 pohon dengan jenis spesies Rhizophora apiculata (Lampiran 13). Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 memerlukan spesies Rhizophora apiculata untuk kategori pohon sejumlah 2.490.840 pohon untuk kategori anakan 2.717.280 buah anakan (Lampiran 14). Penanaman mangrove ke arah laut sejauh 102 m diharapkan dapat mereduksi tsunami. Implikasi penelitian ini terhadap aspek ekologi adalah menjaga dan merawat konservasi ekosistem mangrove terutama pada wilayah yang rawan bencana. Penanaman vegetasi mangrove di lokasi tersebut sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sabang Tahun 2014 (Gambar 55 Peta RTRW Kota Sabang). Seperti halnya lokasi Pantai TWA Alur Paneh dan Teluk
120
Boih diperuntukan untuk pariwisata namun hasil dari analisis merupakan wilayah yang sangat rentan sehingga dilakukan penanaman vegetasi mangrove ke arah laut sehingga jenis pariwisata bisa diusulkan yang berbasis ekosistem mangrove. Selanjutnya lokasi pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Lhok Weng 3/Teupun Layeu 2, Pantai Lhut 1, Pantai Lhut 2 dan Pantai Lhut 3 merupakan kawasan penghijauan, sehingga jika dilakukan penanaman kembali vegetasi mangrove sesuai dengan arahan RTRW. Penanaman mangrove dapat dilakukan dilokasi yang sesuai dengan substrat mangrove yang terdiri atas pasir lempungan hingga lempung berpasir. Di beberapa lokasi di pesisir timur Pulau Weh tidak selalu terdapat mangrove upaya mitigasi yang dilakukan dengan vegetasi pantai seperti nypa, cemara laut dan kelapa Penanaman ekosistem mangrove tidak dapat dilakukan di Pulau Rubiah dan Pulau Seulako. Pulau Rubiah dengan melakukan sempadan pantai sejauh 100 m ke arah daratan dengan mengoptimalkan vegetasi pantai. Pulau Seulako tidak perlu perlakukan khusus karena merupakan pulau vulkanik. 6.4 Sosialisasi Bencana Tsunami kepada Masyarakat dan Kelembagaan Indonesia yang terletak diantara tiga lempeng (Eurasia, Pasifik dan IndoAustralia) merupakan daerah yang rentan akan bencana gempabumi yang dapat diikuti tsunami. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pendeteksian gempabumi dan tsunami
dan
sosialisasi
kepada
masyarakat
akibat
dari
bencana
dan
pencegahannya. Pemasangan alat “Ocean Bottom Unit” dan “Buoy Tsunami Indonesia Early Warning System” (Gambar 56) telah dipasang tahun 2008 di sekitar perairan Pulau Rondo pada posisi 6.0955o LU dan 95.0981o BT. Ocean Bottom Unit (OBU) diletakkan pada kedalaman 2.000 m, dilengkapi sensor dapat mendeteksi anomali elevasi muka laut atau tsunami. OBU secara aktif mengirim data melalui underwater acoustic modem ke tsunami buoy yang terpasang di permukaan laut. “Tsunami Buoy” berperan sebagai penerima data dari OBU dan mentranmisikan data tersebut melalui Satelit ke Gedung I BPPT (Diposaptono dan Budiman 2008). Selain pemasangan alat maka perlu dilakukan sosialisasi masyarakat
122
Gambar 56. Alat “Ocean Bottom Unit” dan “Tsunami Buoy” (Diposaptono dan Budiman 2008) bagaimana menyelematkan diri dari bahaya gempabumi dan tsunami. Bencana gempabumi dan tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 melanda negara-negara yang berada di Samudera Indonesia (Indian Ocean) maka melalui The Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO (IOCUNESCO) membangun sistem peringatan dini tsunami regional. Koordinasi antar berbagai negara telah dilakukan dalam rangka pembangunan sistem tersebut termasuk
membentuk
task
team
yang
selanjutnya
tergabung
dalam
Intergovernmental Coordination Group for The Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System (ICG/IOTWS). Sistem peringatan dini regional diujicobakan melalui kegiatan “Indian Ocean Wave Exercise” 2009, dengan skenario persis seperti bencana tsunami Aceh 26 Desember 2004. Sistem peringatan dini dapat berjalan cepat kepada masyarakat dengan adanya kerjasama antara Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (PUSDALOPS PB) dan Aparat Penanggulangan Bencana dalam merespon informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk meneruskan kepada masyarakat dan mengambil keputusan untuk melakukan tindakan respon tanggap darurat. Dalam pengoperasian sistem peringatan dini agar dapat berjalan maksimal perlu adanya peningkatan kapasitas dari PUSDALOPS dan Aparat juga simulasi penanggulangan bencana dilakukan setahun dua kali.
123
RAN-PRB
berupaya melakukan
upaya
pencegahan
dini
terhadap
dampak bencana. Pelaksanaan rencana aksi ini akan dilakukan secara sinergis dengan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang baik di tingkat pusat maupun daerah. Untuk itu, diperlukan komitmen yang serius, terpadu dan konsisten dari para pemangku kepentingan terkait. Rencana aksi akan dilakukan oleh: a).
Departemen/lembaga pemerintah non-departemen (LPND)
terkait sesuai dengan mekanisme perencanaan pembangunan dan b). Pemerintah daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota),
dengan
terlebih
dahulu
menetapkan
tipologi/karakteristik bencana di masing-masing daerah. 6.5 Rangkuman Strategi Mitigasi Tsunami 1. Tsunami yang terjadi di sisi timur Pulau Weh mengakibatkan kerusakan ekosistem mangrove di Pantai Lho Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lho Lhok Weng 1/Lam Nibong. Pantai Taman Wisata Alur Paneh dan Teluk Boih kerusakan tidak parah karena memiliki garis pantai sejauh 30-50 m terhadap ekosistem mangrove. 2. Pengukuran ketebalan dan kerapatan ekosistem Mangrove di setiap lokasi pengamatan memiliki kerapatan dan ketebalan yang berbeda-beda. Ketebalan dan kerapatan maksimal berada di Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 dengan nilai ketebalan 238 m dan kerapatan 15 pohon per 100 m2. 3. Hasil analisis dari Peta Reduksi Genangan I tampak di wilayah pesisir sangat rentan tsunami dengan sebaran genangan seluas 290,7681 ha, Kelas Rentan luas 104,6581 ha, Kelas Cukup Rentan luas 31,7147 ha dan Kelas Aman luas 2,7388 ha. Pola sebaran genangan semakin ke arah dalam semakin aman dengan luas yang relatif kecil. 4. Dilakukan Reduksi Genangan II untuk mereduksi genangan dengan peningkatan kerapatan ekosistem mangrove menjadi 15 pohon per 100 m2. Hasil analisis dari Peta Reduksi Genangan II tampak sebaran Kelas Sangat Rentan tersebar di sepanjang wilayah pesisir dengan luas sebaran 290, 7681 ha, Kelas Rentan luas 104, 6581 ha, Kelas Cukup Rentan luas 31,7147 ha dan Kelas Aman 2,7388 ha.
124
5. Peta Reduksi Genangan I dan II tidak menunjukkan perubahan yang signifikant, maka dilakukan penanaman mangrove (replanting) sejauh 102 m ke arah laut. Lokasi Pantai TWA Alur Paneh dan Teluk Boih direhabilitasi dengan menanam Rhizophora apiculta. Jumlah anakan dan pohon di TWA Alur Paneh sejumlah 931.770 buah. Lokasi Teluk Boih untuk pohon dan anakan sejumlah 843.030 buah. Lhok Weng 2/ Teupin Layeu 1 menanam Rhizophora apiculata sejumlah 765.000 untuk pohon dan anakan. Lokasi Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b menanam Rhizophora apiculata sejumlah 99.450 untuk pohon dan anakan. Lokasi Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 menanam Rhizophora apiculata untuk pohon 2.490.840 dan anakan sejumlah 2.717.280. Kemudian lokasi Pantai Lhut 2 direhabilitasi dengan Rhizophora stylosa untuk pohon 1.510.110 pohon dan anakan 16.425.758 pohon. Berikutnya Lhok Weng 1/Lam Nibong direhabilitasi dengan Rhizophora apiculata untuk pohon 553.860 dan anakan 1.292.340. 6. Perlindungan Pulau Rubiah terhadap tsunami dengan mengoptimalkan vegetasi pantai dan menerapkan sempadan pantai sejauh 100 m ke arah darat. Pulau Seulako tidak ada perlakuan khusus karena pulau vulkanik. 7. Pendeteksian tsunami dengan pemasangan alat “Ocean Bottom Unit” dan “Tsunami Buoy” di perairan sekitar Pulau Rondo sejak tahun 2008. 8. Sosialisasi kepada masyarakat dengan mengadakan simulasi gempabumi dan tsunami yang diadakan tahun 2009 melalui kegiatan “Indian Ocean Wave Exercise”. 9. RAN-PRB melakukan pencegahan dini terhadap bencana dengan bekerja
sama dengan Departemen/lembaga pemerintah non-departemen (LPND) yang terkait. Pemerintah daerah mengetahui karakteristik bencana yang terjadi di wilayahnya agar dapat disusun strategi mitigasi yang sesuai dengan kondisi di lapangan.