Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kajian Dampak Tsunami terhadap Perkembangan Tataruang di Aceh sebelum dan sesudah Tsunami tahun 2004 Impacts of tsunami on Spatial Planning in Aceh, before and after the 2004 Indian Ocean Tsunami 1
Syamsidik1,2 dan Suhada Arief1
Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Jl. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Gampong Pie, Banda Aceh, 23233, email:
[email protected] 2 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abdurrauf No.7, Banda Aceh, 23111
Abstrak
Tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004 tidak saja memberikan pengaruh secara kerusakan fisik dan besarnya jumlah korban, namun juga mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di Aceh. Salah satu bentuk perencanaan pembangunan tersebut dapat dilihat dari aspek Perencanaaan Tataruang. Kajian ini bertujuan untuk mendokumentasikan aspek perubahan pada tataruang di dua kota penting di Aceh, yaitu Banda Aceh dan Meulaboh setelah tsunami tahun 2004. Kajian dilakukan dengan membandingkan dokumen tataruang kedua kota tersebut. Beberapa aspek dalam tataruang ditinjau seperti perubahan dan penambahan Pusat Pertumbuhan Kota (Central Bussines District/CBD) dari aspek struktur ruang dan penetapan kawasan lindung yang diarahkan sebagai bagian dari mitigasi tsunami dari aspek pola ruang. Kedua kota menunjukkan bahwa tsunami tidak pernah menjadi pertimbangan penyusunan tataruang kota sebelum peristiwa tahun 2004. Berdasarkan pola ruang, terdapat upaya untuk merubah daerah peruntukan pemukiman di kawasan pantai di Kota Banda Aceh berdasarkan Rencana Tataruang dan Rencana Wilayah (RTRW) tahun 2009-2029. Terdapat penambahan CBD baru yang berada di luar kawasan landaan tsunami pada RTRW Kota Banda Aceh yang baru ini. Namun, tidak terdapat notasi definitif yang menetapkan upaya mitigasi struktural dalam tataruang yang baru tersebut. RTRW Kota Meulaboh memperlihatkan perubahan yang minim dari pola ruang dan struktur ruang. Meskipun pada penggunaan lahan dapat dilihat perubahan luasan kawasan pemukiman di kawasan pantai, namun belum ada arahan penggunaan lahan yang definit sebagai bagian dari mitigasi tsunami pada RTRW Kabupaten Aceh Barat yang terbaru. Kata kunci: tataruang, perumahan, mitigasi, tsunami.
Abstract Aceh tsunami in 2004 had not only caused large number of human casualties and physical destructions, but also has influenced development planning process in Aceh. One of the development plans is the spatial planning. This study is aimed at documenting the 192 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
changing processes at two important cities in Aceh, namely Banda Aceh and Meulaboh. The two cities were severely affected by the 2004 tsunami. The study was done by comparing spatial planning documents composed before and after the tsunami. One of the aspects investigated in this study is the spatial structure, in terms of increased number of Central Bussiness District (CBD) or changes of the location of the CBD. Second aspect studied in this research was spatial pattern of the land use planning before and after the tsunami. It was found that Banda Aceh has adopted the tsunami mitigation by changing large area of coastal settlements around two sub-districts, i.e. Meuraxa and Kutaradja sub-districts. Evacuation routes have been assigned to a number of roads to accomodate sudden increase of traffics during emergency periods. Similar things were seen in Meulaboh. However, there is no clear land use dedicated for tsunami structural mitigation, such as green belt or city protection.
Keywords: landuse, housing, mitigation, tsunami. 1. Pendahuluan Penataan ruang memiliki peranan penting pada saat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana besar seperti yang pernah terjadi di Aceh pada tahun 2004 lalu. Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2015 dilanjutkan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan keadaan yang hancur khususnya di kawasan pantai. Arahan hukum yang lebih tegas terkait mitigasi bencana dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) selanjutnya ditetapkan dalam Undang- Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Wilayah dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Kawasan Pantai dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian direvisi dengan UU No. 1 Tahun 2014. Dari segi penataan ruang, ada dua tantangan berat yang dihadapi oleh Aceh pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami tersebut yaitu (1) menata ulang kawasan pantai dengan berfokus pada mitigasi bencana tsunami di masa yang akan datang, (2) menemukan formula relokasi peduduk pantai yang tepat yang mampu menjawab aspirasi masyarakat, ketersediaan lahan, dan mengurangi risiko bencana tsunami di masa yang akan datang. Upaya menata ulang kawasan pantai tersebut telah diinisiasi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias (BRR Aceh-Nias) dengan memperkenalkan konsep sabuk hijau (Green Belt) dimana pada awalnya ditetapkan zona yang berjarak 500 meter dari garis pantai tidak akan diperkenankan dibangun kembali pemukiman penduduk. Proses Top-Down yang diadopsi pada tahap awal tersebut tertera dari cetak biru (blue print) Rehab-Rekon Aceh Nias yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia (Bappenas 2005;; Matsumaru et al. 2012). Proses top-down ini mendapat masalah ketika komunikasi dengan para korban yang selamat dari tsunami diadakan melalui beberapa pertemuan. Pada akhirnya, konsep partisipatif yang diadopsi pada proses lanjutan penetapan lokasi relokasi penduduk ternyata di banyak tempat berakhir dengan gagalnya konsep sabuk hijau yang diperkenalkan pada tahap awal rehab-rekon oleh BRR Aceh-Nias. Kondisi relokasi warga setelah tsunami Tahun 2004 yang tidak dapat direlokasi ke kawasan yang jauh dari pantai tidak saja terjadi di Aceh, namun juga terjadi di Thailand dan Srilanka (Sridhar 2006;; Phapasit et al. 2006;; Ratanyake et al., 2012). Sebelas tahun proses 193 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pada akhirnya memperlihatkan bahwa sejumlah pemukiman kembali tumbuh di kawasan yang sama di sekitar pantai yang terdampak oleh tsunami seperti ditemukan di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Namun demikian beberapa contoh baik (best-practices) juga ditemukan di beberapa lokasi seperti di Neuheun Aceh Besar, Gampong Padang Seuraheet Aceh Barat, dan relokasi penduduk Pulo Raya di Aceh Jaya. Ketiga lokasi tersebut berhasil direlokasi ke kawasan yang relatif jauh dari garis pantai. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh yang telah memasuki tahun ke-11 meninggalkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan upaya mitigasi bencana tsunami melalui penataan ruang dan kawasan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat progress pemulihan Aceh pasca 11 tahun rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami dari aspek penataan ruang dan perkembangan populasi penduduk di kawasan pantai. 2. Lokasi Studi Penelitian ini dilaksanakan di dua kota utama yang terdampak berat akibat tsunami di tahun 2004, yaitu Kota Banda Aceh dan Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat. Lokasi studi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Studi ditandai dengan tanda kotak (Sumber:modifikasi dari d- maps.com, 2015). 194 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kota Banda Aceh merupakan kota dengan populasi terbanyak dimana sebelum tsunami terdapat sekitar 239.000 jiwa yang tersebar di sembilan kecamatan (BPS Banda Aceh, 2005). Empat dari sembilan kecamatan di Kota Banda Aceh merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Menurut survey Badan Pertanahan Nasional Aceh di tahun 2005, ada dua kecamatan yang diklasifikasikan ‘musnah’ akibat tsunami, yaitu Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Kutaradja (BPN NAD, 2005). Kedua kecamatan ini juga merupakan kecamatan yang memiliki populasi penduduk di kawasan pantai cukup tinggi sebelum tsunami tahun 2004. Kota Meulaboh merupakan salah satu kota utama di Pantai Barat-Selatan Aceh. Kota ini merupakan kota yang memiliki populasi terbesar pada Tahun 2004, yaitu sekitar 52.000 jiwa (BPS Aceh Barat, 2005). Kabupaten Aceh Barat memiliki 12 kecamatan dimana 4 kecamatannya merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, Meurebo, Arongan Lambalek, dan Samatiga. Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kecamatan dimana Kota Meulaboh berada. Dalam penelitian ini hanya Kota Meulaboh yang menjadi fokus pembanding tataruang sebelum dan sesudah tsunami tahun 2004. 3. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu (1) dengan melakukan analisis spasial perencanaan tataruang sebelum dan sesudah tsunami, (2) dengan analisis terhadap peraturan terkait penataan ruang di dua kota tersebut. Kedua tahap dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perubah tataruang di kedua kota baik dari aspek spasial maupun kebijakan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan ArcGIS pada dokumen RTRW kedua kota tersebut. Sumber analisis spasial berasal dari Bappeda Kota Banda Aceh dan Bappeda Kabupaten Aceh Barat. Analisis spasial ditekankan pada letak dan jumlah Central Bussiness District (CBD) dan sub-CBD dari aspek struktur ruang, serta penempatan kawasan lindung pada pola ruang RTRW kedua kota tersebut. Analisis peraturan ditekankan untuk menjawab bagaimana konsep mitigasi bencana diadopsi pada RTRW atau dokumen pendukung lainnya, pada dua periode penetapan RTRW. Qanun-qanun (Peraturan Daerah) yang berhubungan terhadap perencanaan tataruang tersebut menjadi objek telaah dalam penelitian ini. 4. Hasil Perbandingan Hasil kajian dari penelitian ini disajikan dalam dua bagian, yaitu Penataan Ruang di Kota Banda Aceh dan Penataan Ruang di Kota Meulaboh. Melalui hasil yang dirangkum dari kedua kota tersebut diharapkan akan memberikan gambaran bagaimana perubahan sebelum dan sesudah tsunami di Aceh secara lebih umum. 4.1. Penataan Ruang di Kota Banda Aceh Ada dua dokumen yang ditelaah untuk melihat tataruang Kota Banda Aceh, yaitu Qanun Kota Banda Aceh No. 3 Tahun 2003 tentang RTRW Kota Banda Aceh tahun 2002 hingga tahun 2010 dan Qanun No. 4 Tahun 2009 tentang RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029. Kedua Qanun tersebut mewakili konsep penataan ruang yang diladopsi oleh Pemerintah Kota Banda Aceh sebelum dan sesudah tsunami tahun 195 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1.Perbandingan RTRW Kota Banda Aceh berdasarkan Qanun yang diterbitkan sebelum dan sesudah tsunami Tahun 2004. Aspek Tinjauan Jumlah Pusat Kota (CBD)
Qanun No. 3 Tahun 2003 (Sebelum Tsunami) 1(BWK Pusat Kota)
Jumlah sub-PK (Sub-CBD) dan Pusat Lingkungan Konsep bencana tsunami Jalur evakuasi
3 Sub-BWK
Penetapan sabuk hijau Jenis Bencana yang disebutkan Estimasi Penduduk dan Kepadatan di akhir masa berlaku RTRW
Tidak ada Abrasi dan Banjir
Tidak ada Tidak ada
307.695 jiwa dengan kepadatan penduduk 31-100 jiwa/km2 di akhir tahun 2010.
Qanun No. 4 Tahun 2009 (Setelah Tsunami) 2 (PK) 2 Sub-CBD (Sub PK) dan 9 Pusat Lingkungan Ada Ada, masuk dalam struktur ruang Ada Gelombang pasang, banjir dan tsunami 482.131 jiwa dengan kepadatan 78 jiwa/km2 untuk akhir tahun 2029
2004. Perbandingan kedua jenis Qanun tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 yang menguraikan perbandingan kedua qanun dari tujuh aspek tinjauan. Dalam Qanun No. 4 tahun 2009 disebutkan bahwa rencana pola ruang Kota Banda Aceh ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan pola pemanfaatan ruang sebelum tsunami, kecenderungan perkembangan setelah tsunami, optimasi dan efisiensi pemanfaatan ruang, kelestarian lingkungan, dan mitigasi bencana. Konsep mitigasi bencana yang dimaksud lebih mengarah pada tiga jenis bencana, yaitu akibat gelombang pasang, banjir, dan tsunami. Namun tidak ditemukan arahan khusus yang didasarkan pada bencana gempabumi. Untuk tujuan mitigasi bencana tsunami dan gelombang pasang, memang disebutkan adanya pengembangan hutan bakau di sepanjang pantai. Lokasi pengembangan hutan bakau ini direncanakan ditetapkan dengan kriteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar sedikitnya 130 kali rata-rata rentang pasang surut. Mengingat pasang surut di pantai Kota Banda Aceh berkisar 1,5 m, maka jika merujuk pada qanun ini, maka sedianya terdapat sekitar 195 m lebar hutan bakau di sepanjang pantai. Sampai dengan kajian ini dilakukan belum ditemukan ada tebal pohon bakau yang signifikan di sepanjang kawasan pantai tersebut. Bahkan, di beberapa tempat justru mengalami penebangan karena pengembangan kawasan pantai untuk infrastruktur pelabuhan perikanan. Struktur ruang Kota Banda Aceh menurut dua RTRW tersebut cukup berbeda dari jumlah Pusat Kota (CBD) dan jumlah Sub-Pusat Kota (Sub-CBD). Perbedaan struktur ruang dari dua RTRW tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Tahun 2000, Banda Aceh mengadopsi pembagian struktur ruang kota atas 1 CBD dan 3 Sub-CBD. Setelah tsunami di tahun 2004, Banda Aceh mengadopsi RTRW yang ditetapkan di Tahun 2009 dengan dua CBD, 2 Sub-CBD, dan 9 Pusat Lingkungan. 196 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Struktur Ruang Kota Banda Aceh sebelum tsunami (kiri) dan setelah tsunami (kanan) (didigitasi ulang dari RTRW Banda Aceh Tahun 2009-2009 dan RTRW Banda Aceh sebelum tsunami).
Pengawasan terhadap kependudukan dikaitkan dengan mitigasi bencana tsunami disebutkan pada Pasal 18 Ayat 2 dalam Qanun No. 4 tahun 2009 tersebut. Disebutkan bahwa kawasan yang memiliki risiko bencana tsunami perlu dibatasi penyebaran dan kepadatan penduduknya. Ayat ini cukup dilematis mengingat definisi risiko bencana tsunami dimiliki oleh seluruh wilayah administratif Banda Aceh. Pada tahap ini terlihat bahwa konsep risiko bencana tsunami tidak cukup dielaborasi dengan cermat dan memberikan makna yang bias. Pembatasan penyebaran dan kepadatan penduduk juga tidak ditemukan dinyatakan dengan definitif. Pada bagian lain dari qanun ini disebutkan bahwa kawasan perumahan kepadatan tinggi justru diarahkan ke wilayah pantai yang berada di sebelah utara dari Kota Banda Aceh, seperti di Gampong Ulee Pata, Lamkuwueh, Asoe Nanggroe, Lamjabat, Ulee Lheue, Blang Oi, dan Alue Naga. Oleh karena itu, hal yang terkait kontrol terhadap kepadatan penduduk dalam RTRW ini belum begitu jelas. Petunjuk teknis yang lebih rinci yang mengatur mekanisme kontrol kepadatan penduduk belum tersedia. Di sisi lain, populasi penduduk di kawasan pantai Banda Aceh menunjukkan kecenderungan naik dari waktu ke waktu. Data BPS Banda Aceh seperti diilustrasikan pada Gambar 3 menunjukkan kecenderungan menaik sejak data populasi penduduk tahun 2005 hingga ke akhir tahun 2014.
Gambar 3. Perkembangan Populasi di Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Kutaraja di Kota Banda Aceh dari Tahun 2003 hingga Tahun 2013 (berdasarkan data BPS Banda Aceh, 2014). 197 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4. Perbandingan Tata Ruang Kota Meulaboh di tahun 2000 (kiri) dan di Tahun 2012 (kanan) (digambar ulang berdasarkan data dari Bappeda Aceh Barat, 2015).
4.2. Penataan Ruang Kota Meulaboh RTRW Kabupaten Aceh Barat mengacu pada RTRW Kabupaten Aceh Barat yang sebelum tsunami dituangkan dalam Peraturan Daerah dan setelah tsunami direvisi dan dikeluarkan Qanun terbaru No. 1 Tahun 2013. Qanun terakhir ini direncanakan menjadi acuan penataan ruang Kabupaten Aceh Barat dari tahun 2012 hingga 2032. Mengingat Kota Meulaboh merupakan kota kecil, maka CBD Kota ini hanya ditetapkan pada satu lokasi yang berpusat di Kecamatan Johan Pahlawan. Perluasan kota belum menjadi prioritas hingga akhir pelaksanaan RTRW ini. Perbedaan yang cukup signifikan antara RTRW sebelum dan sesudah tsunami adalah penetapan jalur evakuasi yang dituangkan dalam RTRW dan Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Barat. Penataan Ruang sebelum tsunami mengacu pada perencanaan yang ditetapkan untuk Tahun 2000. Perbandingan antara RTRW Kabupaten Aceh Barat yang difokuskan pada Kota Meulaboh dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Berdasarkan RTRW terbaru ini Pemerintah Kabupaten Aceh Barat menetapkan 10 jalan sebagai jalan evakuasi dan 8 lokasi sebagai tempat evakuasi untuk bencana tsunami. Namun demikian, fasilitas evakuasi yang ditetapkan tersebut belum memperkirakan waktu tersingkat tibanya gelombang tsunami berdasarkan berbagai skenario tsunami yang pernah ada di sekitar 35 menit (Syamsidik et al., 2015). Kota Meulaboh yang memerlukan waktu sekitar Di samping untuk bahaya tsunami, RTRW Aceh Barat ini juga mengelola bencana lainnya yaitu banjir dan kebakaran pemukiman. Meskipun demikian, sama halnya dengan Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Barat tidak menerangkan secara khusus kontrol terhadap pemukiman di kawasan pantai dan tidak ada arahan yang definitif terkait mitigasi bencana tsunami dengan menggunakan konsep sabuk hijau. Ketiadaan arahan pengawasan pertambahan penduduk dan pemukiman di kawasan pantai berpengaruh pada pertambahan penduduk di kawasan pantai. Berdasarkan data populasi penduduk di Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Lautan Hindia, ditemukan kecenderungan peningkatan jumlah penduduk dari waktu ke waktu khususnya di Kecamatan Johan Pahlawan dimana Kota Meulaboh berada. Gambar 5 menunjukkan perubahan penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan yang berada di kawasan pantai dari tahun 2003 hingga tahun 2014 (BPS Aceh Barat, 2015). 198 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 5. Perkembangan Populasi Penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat dari Tahun 2003 hingga Tahun 2014 (BPS Aceh Barat, 2015). 5. Diskusi Proses rekonstruksi Aceh setelah 11 tahun peristiwa tsunami di tahun 2004 memperlihatkan beberapa perubahan mendasar dari aspek tata ruang. Hal-hal penting yang ditemukan adalah dimasukkannya unsur evakuasi kota dalam jaringan transportasi serta penetapan titik-titik aman. Namun, jika dibandingkan dengan proses rekonstruksi Jepang pasca tsunami tahun 2011, maka Aceh tidak memiliki konsep mitigasi tsunami yang jelas di kawasan pantainya. Kawasan Tohoku yang dibangun kembali pasca tsunami Tahun 2011 menetapkan sejumlah konstruksi fisik yang dibangun untuk mengantisipasi tsunami dengan perulangan setiap 150 tahun (Koshimura et al., 2014). Di beberapa tempat di kawasan Tohoku dapat ditemukan pembangunan dinding laut untuk memenuhi skenario pencegahan dampak kerusakan tsunami dengan perulangan 150 tahun tersebut. Hal serupa tidak ditemukan di Aceh. Namun demikian, pendekatan hard structures yang diadopsi di Jepang bukanlah satu-satunya cara untuk mitigasi tsunami. Penataan kawasan pantai dengan soft structures, seperti pembangunan sabuk hijau dapat menjadi alternatif mitigasi bencana tsunami. Jika merujuk pada RTRW Banda Aceh Tahun 2009-2029, konsep sabuk hijau tersebut telah disebutkan. Penanaman pohon bakau jenis Rhizopora sp. dengan kepadatan 0.2 pohon/m2 dan diameter pohon di atas 15 cm dan ketebalan garis hutan sekitar 400 m sejajar garis pantai akan mampu mereduksi energi gelombang tsunami hingga 30% (Yanagisawa et al., 2009). Meskipun kinerja hutan bakau masih terdapat beberapa hal yang belum begitu jelas (Marois dan Mitsch, 2015), seperti tingkat efektifitas kinerja bakau dikaitkan dengan besaran gelombang tsunami, namun hutan bakau memberikan alternatif bagi kota-kota pantai yang sulit membangun konstruksi mitigasi tsunami karena alasan estetika dan dukungan finansial. Namun demikian, seperti diuraikan di bagian terdahulu, faktanya kedua kota belum secara konsisten menerapkan upaya tersebut sekalipun disebutkan dalam RTRW yang saat ini berlaku. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami jika dibandingkan dengan proses yang terjadi di Jepang pasca tsunami tahun 2011, berlangsung relatif cepat. Beberapa hal turut mendorong percepatan proses pemulihan Aceh. Namun, seringkali proses yang cepat tersebut tidak mempertimbangkan kebutuhan upaya pengurangan 199 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
risiko dalam jangka panjang (Khazai et al., 2006). Hal ini dapat dilihat dari aspek kontrol pemukiman dan kepadatan penduduk sebagaimana yang terjadi di Banda Aceh dan Meulaboh. Di sisi lain, skenario keberlanjutan pemulihan Aceh setelah BRR Aceh- Nias tidaklah begitu jelas arah pemulihannya. Hal ini berbeda dengan rekonstruksi Jepang yang memiliki target 5 dan 10 tahunan proses pemulihan yang lebih rinci dan terarah (Leelawat et al., 2015). BRR Aceh-Nias yang mengakhiri masa kerjanya pada April 2009 menyerahkan proses pemulihan Aceh kepada Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh selanjutnya membentuk Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA). Lembaga ini merumuskan proses lanjutan pemulihan Aceh untuk hanya kurun waktu 3 tahun, yaitu dari Tahun 2010 hingga Tahun 2012. Dalam empat sasaran kerja BKRA ini juga lebih menitikberatkan proses lanjutan BRR Aceh Nias dan relatif sedikit alokasi kegiatan yang berfokus pada upaya pengurangan risiko bencana tsunami dalam jangka panjang (lihat Pemerintah Aceh, 2009). Skenario pemulihan fase kedua (tahun ke-5 hingga tahun ke-10) tidak memiliki rujukan kongkrit selain melanjutkan apa yang telah dilaksanakan oleh BRR. Hal serupa juga dapat dilihat pada proses penyusunan tata ruang kota-kota di Aceh yang belum secara optimal mempertimbangkan keberlanjutan proses pemulihan tersebut. Sebagaimana diuraikan di atas, Kota Meulaboh dan Banda Aceh menetapkan Qanun RTRW nya pada fase kedua proses pemulihan tersebut. 6. Kesimpulan Kajian ini mengetengahkan perbandingan RTRW pada dua kota yang terdampak tsunami di tahun 2004, yaitu Kota Banda Aceh dan Kota Meulaboh. Proses pembandingan antara dokumen RTRW sebelum dan sesudah tsunami dilaksanakan pada kajian ini. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Sebelum tahun 2004, kedua kota belum pernah mempertimbangkan secara optimal bencana tsunami sebagai salah satu bencana yang relevan diantisipasi di wilayah pantai kota-kota ini. Hal ini terbukti dengan nihilnya upaya penataan kota sebelum tsunami yang mengacu pada upaya mitigasi bencana tsunami;; b. RTRW yang ditetapkan oleh kedua kota ini telah berupaya mengadopsi mitigasi bencana tsunami dengan menetapkan jalur evakuasi dan tempat evakuasi bagi penduduk. Namun tidak terdapat arahan yang jelas pada kontrol terhadap pemukiman dan pertambahan penduduk di kawasan pantai. c. Terdapat beberapa aturan yang belum secara tegas menjelaskan langkah-langkah mitigasi bencana tsunami sebagaimana termaktub dalam kedua Qanun yang mengatur RTRW kedua kota tersebut. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih para penulis sampaikan kepada USAID dan National Academy of Sciences (NAS) melalui Program Partnership for Enhanced Engagement in Researches (PEER) Siklus 3 dengan Grant Award Number: AID-OAAA-A-11-00012 dan Sub Grant Number PGA-2000004893. Pada saat yang sama para penulis mengucapkan terimakasih kepada Bappeda Kota Banda Aceh atas data yang tersedia secara publik serta kepada Bappeda Kabupaten Aceh Barat atas kontribusi data dan komunikasi yang bermanfaat bagi penelitian ini. 200 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Daftar Pustaka BAPPENAS, 2005, Master Plan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias: Buku Utama. Jakarta, Indonesia. BPN NAD, 2005, Peta Tingkat Kerusakan karena Gelombang Tsunami di Banda Aceh. Banda Aceh-Indonesia. BPS Aceh Barat, 2015, Aceh Barat Dalam Angka 2015. Meulaboh, Aceh. BPS Aceh Barat, 2005, Aceh Barat Dalam Angka 2005. Meulaboh, Aceh. BPS Banda Aceh, 2005, Kota Banda Aceh Dalam Angka 2005. Banda Aceh, Aceh. BPS Banda Aceh, 2014, Kota Banda Aceh Dalam Angka 2014. Banda Aceh, Aceh. D-maps.com, 2015, Blank maps of Aceh. http://www.d- maps.com/carte.php?num_car=134274&lang=en Khazai, B., Franco, G., Ingram, J.C., del Rio, C.R., Dias, P., Dissanayake, R., Chandratilake, R., dan Kanna, S.J., 2006, Post-December 2004 tsunami reconstruction in Sri Lanka and its potential impacts on future vulnerability. Earthquake Spectra 22 (S3):S829-S844. Koshimura, S., Hayashi, S., dan Gokon, H., 2014, The impact of the 2011 Tohoku earthquake tsunami disaster and implications to the reconstruction. Soils and Foundations 54(4):560-572. Leelawat, N., Suppasri, A., dan Imamura, F., 2015. Disaster recovery and reconstruction following the 2011 Great East Japan Earthquake and Tsunami: A Bussiness Process Management Perspective. Intl. J. Disaster Risk Sci. 6:310-314. Marois, D.E. dan Mitsch, W.J., 2015, Coastal protection from tsunamis and cyclones provided by mangrove wetlands – a review. International Journal of Biodiversity Science, Ecosystem Services & Management 11:71-83. Matsumaru, R., Nagami, K., dan Takeya, K., 2012, Reconstruction of the Aceh Region following the 2004 Indian Ocean tsunami disaster: A transportation perspective. IATSS Research 36:11-19. PEMERINTAH ACEH, 2009, Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh 2010-2012. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/112703-%5B_Konten_%5D- Konten%20C7524.pdf (diakses tanggal 11 Desember 2015). PEMKAB Aceh Barat, 2013, Qanun No. 1 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Aceh Barat 2012-2032. Meulaboh, Indonesia. PEMKOT Banda Aceh, 2009, Peta Struktur Ruang Banda Aceh 2029. RTRW Banda Aceh 2009-2029. Banda Aceh, Indonesia. Phapasit N., Chotiyaputta, C., dan Siriboon, S., 2006, Pre- and Post-tsunami coastal planning and land use policies and issue in Thailand. Proceeding of workshop on coastal area planning and management in Asian tsunami affected countries, 27-29 September 2006, Bangkok-Thailand, FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok, pp199-227. 201 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Ratanyake, R., Butt, A., dan de Cotta, T., 2012, Settlement, Access and Regional Land Use Outcomes for Post Tsunami Reconstruction: A Case Study of the Trincomalee Region, Sri Lanka. Proceeding of International Conference and Workshop on the Built Environment in Developing Countries, 4-5 December 2012. Adelaide, Australia, pp34-46. Sridhar, A., 2006, Pre- and post-tsunami coastal planning and land use policies and issues in India. Proceeding of workshop on coastal area planning and management in Asian tsunami affected countries, 27-29 September 2006, Bangkok-Thailand, FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok, pp81-110. Syamsidik, Rasyif, TM, dan Kato, S., 2015, Development of Accurate Tsunami Estimated Times of Arrival for tsunami-prone cities in Aceh, Indonesia. Intl. Journal of Disaster Risk Reduction, 14(4):403-410. Yanagisawa, H., Koshimura, S., Goto, K., Miyagi, T., Imamura, F., Ruangsassamee, A., dan Tanavud, C., 2009, The reduction effects of mangrove forest on a tsunami based on field surveys at Pakarang Cape, Thailand and numerical analysis. Estuarine, Coastal and Shelf Science 81:27-37.
202 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai