UNIVERSITAS INDONESIA
PATERNALISME DALAM PEMERINTAHAN SYNGMAN RHEE DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI-NILAI DEMOKRASI DI KOREA
SKRIPSI
GAYA NITIYA SUTRISNO 0806468392
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA DEPOK JUNI 2012
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PATERNALISME DALAM PEMERINTAHAN SYNGMAN RHEE DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI-NILAI DEMOKRASI DI KOREA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
GAYA NITIYA SUTRISNO 0806468392
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA DEPOK JUNI 2012
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Humaniora Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Zaini, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak bapak untuk selalu sabar dan pengertian dalam menghadapi saya yang terkadang suka cerewet dan menunda pegumpulan revisi, serta dukungan bapak yang selalu memberi semangat bahwa saya akan selesai dalam penulisan skripsi ini;
2.
Ibu Rura Ni Adinda, selaku Ketua Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea sekaligus pembimbing akademik angkatan 2008, yang senantiasa mengingatkan
saya
untuk
meningkatkan
prestasi,
menuntun
dan
membimbing saya selama perkuliahan, serta sabar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang akademis; 3.
Para dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea yang telah mengajarkan saya tidak hanya sekadar ilmu tentang budaya, bahasa, politik, bisnis, dan sastra Korea, tetapi juga mengajarkan saya untuk bekerja keras dan disiplin dengan memberikan banyaknya tugas-tugas sehingga saya memiliki kemampuan lebih daripada orang lain;
4.
Oma tercinta, Oma Rosico Harsubeno Emor yang selalu memberikan dukungan, baik materi maupun doa-doanya untuk saya dan terutama selalu sabar menghadapi saya dalam penyelesaian skripsi ini;
5.
Mami tercinta, Reni Harsubeno yang mengarahkan saya untuk mengambil Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea sehingga sekarang banyak v
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
manfaat yang bisa saya dapatkan dengan berkuliah di program studi ini, serta selalu memberikan dukungan baik materi maupun doanya untuk saya; 6.
Opa Sutrisno, yang mendorong saya agar cepat menyelesaikan skripsi ini dengan pertanyaan-pertanyaannya tentang kapan saya lulus kuliah dan rasa bangganya terhadap saya;
7.
Papi Gino Sutrisno, yang dulu telah memaksa saya untuk masuk Universitas Indonesia sehingga sekarang saya merasa sangat bersyukur dan bangga bisa berkuliah di UI, dan menyelesaikan kuliah saya;
8.
Kakak dan adik saya, Nataya Regiza Sutrisno dan Namita Givani, yang selalu memberi dukungannya kepada saya;
9.
Keponakan tersayang, Ghaniya Nama Ailsa, yang selalu ada untuk menghibur saya;
10.
Sahabat saya, Marlia Ayu Drupadi, yang telah banyak sekali memberikan bantuan saya selama perkuliahan di UI sehingga saya bisa menyelesaikan perkuliahan saya dengan baik;
11.
Teman dekat saya, Mochamad Aviandy, yang selalu setia menemani saya dalam penulisan skripsi ini, serta selalu sabar menghadapi saya;
12.
Teman-teman seperjuangan yang sama-sama membuat skripsi bersama saya, yaitu Cimoth, Acha, Dayu, Nur, Tika, Lita, Wina, Made dan Baby, yang selalu saling mendukung serta saling menyemangati; dan
13.
Teman-teman seperjuangan
lain dari Program Studi Bahasa dan
Kebudayaan Korea angkatan 2008, terutama Debby yang meskipun tidak menulis skripsi, tetapi selalu setia memberikan dukungan dan bantuannya. Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga penulisan skripsi saya ini meskipun masih memiliki kekeurangan, dapat bermanfaat bagi orang lain. Depok, 28 Juni 2012
Penulis vi
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
ABSTRAK Nama : Gaya Nitiya Sutrisno Program Studi : Bahasan dan Kebudayaan Korea Judul : Paternalisme dalam Pemerintahan Syngman Rhee dan Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Demokrasi di Korea Skripsi ini membahas tentang paternalisme yang merupakan warisan ajaran Konfusianisme masyarakat Korea di dalam pemerintahan Syngman Rhee dan pengaruhnya terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi di Korea. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif yang ditulis menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paternalisme diterapkan dalam pemerintahan Syngman Rhee dan terlihat melalui kebijakankebijakan Syngman Rhee, misalnya saja dalam RUU Keamanan Nasional. RUU Keamanan Nasional ini bertujuan untuk melindungi rakyat Korea dari bahaya komunis, tetapi RUU ini melanggar prinsip dasar yang ada dalam demokrasi, yakni pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa paternalisme dalam pemerintahan Syngman Rhee memberikan pengaruh buruk terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi di Korea. Kata kunci: Paternalisme, pemerintahan Syngman Rhee, nilai-nilai demokrasi
viii
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
ABSTRACT Name : Gaya Nitiya Sutrisno Study Program: Korean Language and Culture Title : Paternalism in Syngman Rhee Government and Its Effects on Democratic Values in Korea This thesis studies about paternalism as a legacy of Confucianism teachings in Korean society that is applied in Syngman Rhee government and its effects on the application of democratic values in Korea. This research is a qualitative research with descriptive analysis method in writing. The result of this research shows that there is paternalism applied in Syngman Rhee government and could be seen through Syngman Rhee policies, i.e. National Security Bill. The National Security Bills aimed to protect Korean people from communist, but the bill violates basic principle of democracy, specifically the violation of human rights. Hence, it is concluded that the paternalism in Syngman Rhee government has given bad effects toward the application of democratic values in Korea. Keywords: Paternalism, Syngman Rhee government, democratic values
ix
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH ......................................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ vii ABSTRAK .......................................................................................................... viii ABSTRACT .......................................................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8 1.4 Batasan Penelitian ..................................................................................... 9 1.5 Metodologi Penelitian ............................................................................... 9 1.6 Kemaknawian ........................................................................................... 9 1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................. 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 11 2.1 Konsep Paternalisme ............................................................................... 11 2.2 Konsep Ajaran Konfusianisme dalam Membentuk Sebuah Pemerintahan Paternalisme ............................................................................................ 14 2.3 Konsep Demokrasi .................................................................................. 19 2.4 Pengenalan tentang Syngman Rhee ........................................................ 23 BAB 3 PATERNALISME DALAM PEMERINTAHAN SYNGMAN RHEE DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI-NILAI DEMOKRASI DI KOREA ................................................................................................................ 25 3.1 Paternalisme Syngman Rhee dalam Pembentukan Koalisi dengan Komunis dan Pembentukan Pemerintahan Korea................................... 25 3.2 Paternalisme dalam Pemerintahan Syngman Rhee Yang Menerapkan Ideologi Antikomunisme Serta Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Demokrasi ............................................................................................... 30 3.3 Paternalisme Pemerintahan Syngman Rhee dalam Pemilihan Anggota Kabinet Pemerintahan dan Pembentukan Institusi Pemerintahan Serta Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Demokrasi........................................ 33 3.4 Paternalisme dalam Konstitusi................................................................ 35 BAB 4 ................................................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 49 x
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Berger (1988), De Bary (1998), Helgesen (1998), Huntington (1996), Kim (1992), Koh (1996), Robinson (1986), Tu (1996), Weber (1951) dan Yang (1999) menyatakan bahwa Konfusianisme (유교) sebagai pusat dari tradisi budaya yang ada di Korea dan Asia Timur (Kwang Yeong Shin & Chulhee Chung, 2004: 52). Anggapan ini muncul karena nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan masyarakat Korea sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yang telah bertahan selama hampir lebih dari 500 tahun di negara tersebut. Hal ini sesuai dengan yang tercatat dalam buku Samguk Sagi (삼국 사기) (2004) yang menceritakan tentang masa Tiga Kerajaan (삼국) 1 bahwa pada tahun 372 di bawah pemerintahan Raja Sosurim dari Koguryo (고구려) telah didirikan sebuah institusi pendidikan nasional setaraf universitas yang khusus mengajarkan Konfusianisme.
1
Masa Tiga Kerajaan (삼국시대) merujuk pada masa penguasaan Korea di bawah Tiga Kerajaan besar pada saat itu, yakni Kerajaan Koguryo (고구려), Baekche (백제), dan Silla (신라). Periode ini berlangsung dari abad ke-4 sampai abad ke-7. Koguryo merupakan kerajaan terbesar pada masa tiga kerajaan ini sampai tahun 688. Kerajaan Koguryo didirikan pada abad 37 SM di lembah Sungai Tonggo sebelah utara Korea oleh Chu-Mong yang merupakan seorang pemimpin dari Suku Puryo. Pada masa pemerintahan Raja T'aejo didirikan sebuah sistem keturunan kerajaan. Koguryo muncul sebagai negara aristokrat di bawah pemerintahan Raja Sosurim dengan berlakunya berbagai hukum dan ketetapan yang bertujuan untuk sentralisasi kekuasaan raja. Pengaruh Cina di Kerajaan Koguryo terlihat melalui adanya Buddhisme sebagai ideologi kerajaan dan ajaran Konfusianisme yang ditekankan dalam pendidikan untuk menjaga tatanan sosial. Kerajaan Baekche di Kwangju sebelah barat daya Korea muncul sebagai kerajaan sepenuhnya pada abad ketiga di bawah masa pemerintahan Raja Koi. Pada masa Raja Kungchogo, Kerajaan Baekche berhasil menguasai seluruh wilayah sebelah barat daya Korea termasuk di dalamnya lembah Sungai Han. Di masa Kerajaan Baekche, Buddhisme berkembang dan banyak dibangun kuil-kuil Buddha. Ajaran Konfusianisme juga berkembang dengan menghasilkan banyak cendekiawan terkemuka. Kerajaan Silla dipercayai telah berdiri sejak abad ke-57 SM, tetapi baru sekitar abad ke-5 di bawah Raja Pophung, Kerajaan Silla muncul sebagai kerajaan sepenuhnya dengan adanya pemberlakuan hukum dan dekrit kerajaan serta aneksasinya di Kerajaan Kaya yang berada di semenanjung bagian timur. Pada masa Kerajaan Silla ini dibentuk Hwarang, organisasi militer yang terdiri dari pemuda-pemuda yang terpilih dan menempuh pendidikan khusus (Three Kingdoms, t.t.).
1
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
2 Ajaran Konfusianisme memang sudah dikenal sejak masa tiga kerajaan di Korea, tetapi bukan berarti masyarakat Korea pada masa itu sudah menjadi masyarakat Konfusianis. Masyarakat Korea saat itu hanya menerima pengaruh ajaran Konfusianisme yang bersifat budaya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Grayson dalam bukunya Korea, A Religious History (2002) yang menjelaskan bahwa pengaruh ajaran Konfusianisme terhadap kebudayaan Korea terbagi menjadi tiga cara, yakni melalui pengaruh budaya, pengaruh politik, dan pengaruh sosial. Pengaruh budaya dilihat dengan adanya adopsi ajaran Konfusianisme dalam seni, huruf, pendidikan, dan filsafat. Pengaruh politik terlihat melalui penggunaaan ajaran Konfusianisme dalam menjalankan
dan membentuk sistem
pemerintahan, sedangkan pengaruh sosial terlihat dengan adanya perubahan dalam masyarakat terutama mengenai moral dan nilai-nilai yang didasarkan pada ajaran Konfusianisme. Pengaruh ajaran Konfusianisme lebih jauh mulai ada dalam masyarakat Korea pada masa Kerajaan Joseon (1392—1910). Kim Hong Nack dalam Change and Continuity in Korea Political Culture, An Overview (1998) menyatakan bahwa pada masa ini ajaran Konfusianisme dijadikan sebuah ideologi kerajaan untuk menjalankan pemerintahan. Ia menambahkan bahwa tujuan utama dari pemerintahan Kerajaan Joseon ini didasarkan pada konsep ajaran Konfusianisme, yaitu menciptakan sebuah harmoni dan kesatuan antara sesama manusia maupun manusia dengan alam. Raja berperilaku sesuai norma yang ada dalam ajaran Konfusianisme dengan harapan rakyat akan mengikutinya sehingga dapat tercipta sebuah keharmonisan dalam sistem. Pada masa pemerintahan Kerajaan Joseon ini, ketidaksetaraan status sosial dan kekuasaan didefinisikan secara jelas dalam hierarki vertikal. Pemerintahan merupakan perpanjangan dari hubungan rumah tangga ayah dan anak melalui hubungan perantara penguasa dan pemerintah dalam kerajaan dengan status Korea sebagai bawahan dari Cina. Ajaran Konfusianisme di dalam pemerintahan Kerajaan Joseon ini bergerak sebagai filsafat politik dengan mengusulkan paternalisme yang menawarkan sebuah kebaikan, yakni massa tidak memiliki peran dalam pemerintahan, Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
3 tetapi para cendekiawan dan pejabat yang seharusnya menjaga mereka seperti ayah menjaga anak-anak mereka (Ideology, t.t.). Paternalisme dalam Kerajaan Joseon tergambarkan melalui raja yang bertindak sebagai seorang kepala atau pemimpin dari keluarganya, yakni rakyat Korea. Raja memonopoli kekuasaan politik bersama dengan menteri dan birokrasinya. Pemilihan menteri dan birokrasi dilakukan melalui sebuah ujian penerimaan khusus. Ujian penerimaan ini seharusnya terbuka bagi seluruh kalangan, tetapi pada kenyataannya hanya orang-orang dari golongan aristokrat Yangban (양반) 2 yang dapat mengikuti persiapan ujian ini sehingga hanya mereka yang dapat mengikuti ujian ini. Paternalisme yang diterapkan dalam pemerintahan Kerajaan Joseon ini tentu menuntut setiap menteri dan birokrasi untuk menunjukkan bakti serta kesetiaannya terhadap raja yang dianggap sebagai ayah. Rakyat yang di sini hanya bertindak sebagai subyek pemerintahan dituntut pula untuk menunjukkan loyalitasnya terhadap pemerintah. Mereka yang loyal kepada raja dan berasal dari golongan aristokrat mendapat tempat dalam pemerintahan sebagai balasan atas kesetiaan mereka (Kim Hong Nack, 1998). Loyalitas dan bakti yang dituntut dalam paternalisme ini muncul dari konsep ajaran Konfusianisme yang menekankan prinsip tiga kewajiban dan lima hubungan moral yang menekankan hubungan antara raja dan subjek atau rakyatnya dengan penekanan pada loyalitas rakyat untuk penguasa serta hubungan antara ayah dan anak dengan penekanan pada bakti kepada orang tua. Setelah masa Kerajaan Joseon, Korea berada di bawah pendudukan Jepang (1910—1945) yang menjalankan pemerintahan kolonialnya selama 35 tahun di Korea. Pemerintah Jepang menghapuskan status khusus dan hak 2
Yangban merupakan golongan kelas tertinggi pada masa Dinasi Yi Kerajaan Joseon di Korea. Yangban terdiri dari Munban atau pejabat sipil dan Muban atau pejabat militer. Istilah Yangban sebenarnya berasal dari masa Kerajaan Koryo (935-1392), ketika diadakan sebuah ujian yang dibagi menjadi dua kategori, yakni Munkwa atau sipil, dan Mukwa atau militer. Pada masa Dinasti Yi, istilah ini digunakan bagi tuan tanah. Terdapat empat kelas yang digolongkan secara hierarki pada masa Dinasti Yi ini, yakni Yangban, Chungin (kelas menengah), Sangmin (orang biasa), dan Chonmin (kelas rendahan). Golongan Yangban ini mendapat berbagai hak istimewa oleh negara, termasuk di dalamnya tanah dan tunjangan sesuai dengan jabatan dan status resmi mereka. Mereka yang berasal dari golongan Yangban ini saja yang boleh mengikuti ujian pegawai negeri sipil serta dibebaskan dari wajib militer dan kerja rodi (Yangban, t.t.) Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
4 spesial bagi golongan aristokrat Yangban dan menciptakan sebuah kelas baru yakni golongan menengah, tetapi sayangnya orang Korea tetap dilarang memiliki hak suara atau berpartisipasi politik. Peninggalan Jepang yang paling berpengaruh dalam politik Korea adalah budaya otoriter yang dijalankan oleh pemerintah Jepang dengan mendikte urusan politik Korea ketika menduduki Korea. Setelah terjadi insiden Manchuria tahun 1931, Jepang berupaya agar orang Korea bersedia menjadi instrumen imperialisme Jepang dalam rangka ekspansi Jepang di Asia dengan menerapkan berbagai slogan dan program untuk mengindoktrinasikan orang Korea yang dijalankan dengan berbagai metode. Sekolah-sekolah umum menjadi sarana penting bagi Jepang dalam menanamkan idenya. Media massa juga digunakan untuk membuat orang Korea menerima ideologi dan cara hidup Jepang yang menekankan pada loyalitas, pengorbanan, dan dedikasi terhadap kekaisaran Jepang. Akan tetapi, indoktrinasi ini tidak berhasil karena Jepang memperlakukan orang Korea sebagai rakyat kelas dua. Posisi jabatan tinggi dalam pemerintahan tetap diduduki oleh orang Jepang dan para pejabat Jepang ini sering berlaku brutal kepada orang orang Korea, misalnya saja dengan menyiksa tahanan politik (Kim Hong Nack, 1998). Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II membuat Korea mengalami perubahan. Korea yang sebelumnya di bawah pendudukan Jepang pun dapat merasakan kebebasannya. Akan tetapi, kebebasan ini tidak berlangsung lama dikarenakan adanya perbedaan politik dan benturan antara Amerika Serikat dan Rusia. Kedua pihak yang menang dalam Perang Dunia II ini membuat kesepakatan yang membawa dampak terburuk dalam sejarah kehidupan masyarakat Korea, yakni dengan membagi negara Korea di garis lintang utara 380 menjadi Korea Utara dan Korea Selatan. Korea Utara di bawah Rusia dengan berpegang pada ideologi Komunisme dan Korea Selatan di bawah penguasaan Amerika Serikat. Selama tiga tahun pertama setelah kemerdekaan, Korea berada di bawah pemerintahan militer Amerika Serikat yang disebut The United States Armed Forces in Korea (USAFIK) sebelum akhirnya Republik Korea Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
5 didirikan pada tahun 1948 di bawah naungan Amerika Serikat. Amerika Serikat
menerapkan
pemerintahan
militer
di
Korea
sekaligus
memperkenalkan ideologi kapitalisme dan demokrasi dengan harapan pemerintah Korea Selatan dapat berkembang menjadi negara dengan sistem demokrasi dan liberalisme. Republik pertama didirikan secara sah pada tahun 1948 dan Syngman Rhee terpilih menjadi presiden pertama melalui pemilihan tidak langsung yang diwakili oleh anggota kongres. Bagian pembukaan konstitusi yang diadopsi oleh Kongres tanggal 12 Juli dan disahkan tangal 17 Juli 1948 mendeklarasikan bahwa Korea akan menerapkan pemerintahan yang menjunjung sistem demokrasi dan liberal (John Kie-chiang Oh, 1968). Pada kenyataannya negara Korea tidak semata-mata langsung begitu saja dengan mudah dapat menerapkan pemerintahan dengan nilai-nilai demokrasi. Ajaran Konfusianisme dalam masyarakat Korea Selatan mewariskan cara dan pola transisi demokrasi yang berbeda, misalnya saja dalam penyelesaian konfrontasi antara penguasa dan oposisi (Young Whan Kihl, 1994). Syngman Rhee sendiri sebagai presiden pertama Republik Korea
dikenal
cenderung
menerapkan
paternalisme
dalam
gaya
pemerintahannya. Paternalisme sendiri
dalam definisinya menurut The Oxford
Dictionary of Philosophy (1994) terlihat mengandung arti positif, yakni "pemerintah sebagai orangtua". Akan tetapi, di dalam masyarakat Korea, paternalisme merupakan salah satu warisan ajaran Konfusianisme yang menuntut adanya loyalitas sehingga dapat membuat pemerintahan paternalistik menjadi sebuah kekuatan yang efektif dalam sebuah pembangunan politik seseorang dengan menciptakan adanya kemungkinan untuk fleksibilitas dalam penciptaan kebijakan. Pemimpin dapat mengubah arah
kebijakan
tanpa
takut
kehilangan
pendukung
konstituennya
dikarenakan loyalitas terhadap pemimpin ini tercipta oleh adanya kebutuhan untuk memiliki dan mencari identitas kelompok bukan karena antusiasme terhadap kebijakan itu sendiri. Selama persyaratan untuk patronase tersebut Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
6 dipenuhi maka pengikut tersebut akan selalu bertoleransi terhadap kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya (Pye, 1985). Hal ini bisa terlihat dari jalannya pemerintahan Syngman Rhee sendiri. Syngman Rhee yang merasa dirinya seorang ayah dan rakyat Korea sebagai anaknya menganggap bahwa rakyatnya perlu dilindungi dari pengaruh komunisme yang dianut oleh Korea Utara dan mulai menyebar ke Korea Selatan. Beberapa tindakan Syngman Rhee dalam menghapuskan pengaruh Komunisme mengacuhkan nilai-nilai yang ada di dalam demokrasi. Ini menunjukkan pada saat itu Syngman Rhee lebih mengutamakan keamanan “anak-anaknya” atau rakyat Korea dibandingkan menerapkan nilai-nilai demokrasi. Hal ini menarik untuk dilihat karena ternyata ada pengaruh yang dibawa oleh ajaran Konfusianisme, yakni paternalisme terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi di masa pemerintahan Presiden Syngman Rhee. Beberapa ahli menyatakan pendapatnya mengenai hubungan antara ajaran Konfusianisme dan demokrasi. Penulis mewakilkan paternalisme dengan ajaran Konfusianisme karena menganggap paternalisme sebagai bagian dari konsep yang ada dalam ajaran Konfusianisme di dalam masyarakat Korea. Misalnya saja,
Zakaria (1994) menyatakan bahwa kelompok pro
terhadap Asian Value mengatakan, “Western-style liberal democracy is neither suitable for nor compatible with Confucian East Asia, where collective welfare, a sense of duty, and other principles of Confucian moral philosophy are deeply rooted” (Chong Min Park & Shin Doh Chull, 2004: 2). Kelompok ini menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada di dalam demokrasi, seperti penekanan hak asasi tidak cocok dengan ajaran Konfusianisme
yang
mengesampingkan
peran
individu
disamping
kelompok. Pernyataan ini didukung oleh Huntington (1991) yang menyatakan “Confucian democracy as an oxymoron” karena ajaran Konfusianisme lebih menekankan kekuasaan daripada kebebasan, dan tanggung jawab daripada hak (Kwang Yeong Shin & Chulhee Chung, 2004: 53). Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
7 Paternalisme Konfusianisme menggambarkan seorang pemimpin sama seperti seorang ayah dengan rakyat disamakan dengan anak yang berarti harus menunjukkan rasa hormat dan baktinya kepada ayah. Posisi anak dalam keluarga akan selalu menunjukkan bakti kepada ayahnya sehingga bila disamakan dengan pemerintahan maka rakyat harus selalu menunjukkan bakti kepada pemimpinnya. Hal ini ditunjukkan dalam ajaran Konfusianisme Cina klasik yang digambarkan dalam sebuah cerita yang terkait dengan Konfusius oleh Marion J. Levy (1949): "The king boasted to Confucius that virtue in his land was such that if a father stole, his son would report the crime and the criminal to the state. Confucius replied that in his state virtue was far greater, for a son would never think of treating his father so” (Fukuyama, 1995: 2). Cerita ini menunjukkan bahwa bakti dan loyalitas seorang anak kepada ayahnya lebih besar daripada kepada penegak hukum, yang berati seorang anak akan selalu mendukung ayahnya dalam keadaan apa pun sehingga bisa mengabaikan nilai-nilai yang ada di dalam demokrasi. Beberapa ahli lain memberikan pendapat berbeda mengenai hubungan antara ajaran Konfusianisme dan demokrasi, yakni Shils (1996), Bell, Brown, Jayasuriya, dan Jones (1995), De Bary (1998), dan Kang (1997) yang menyatakan adanya kecocokan antara ajaran Konfusianisme dan demokrasi (Kwang Yeong Shin & Chulhee Chung, 2004: 53). Kelompok lainnya beragumen bahwa ajaran Konfusianisme tidak selalu menentang demokrasi politik tetapi menghalangi kemajuan hubungan sosial demokratis. Ajaran Konfusianisme dianggap tidak mempromosikan demokrasi secara umum, tetapi bahwa nilai-nilai ajaran Konfusianisme masih memiliki pengaruh terhadap demokrasi ketika digabungkan dengan realitas sosial seperti pengalamaan urban dan keyakinan agama (Kwang Yeong Shin & Chulhee Chung, 2004). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melihat hubungan antara ajaran Konfusianisme dan demokrasi di Korea. Penulis memfokuskan pada konsep paternalisme yang dihadirkan oleh ajaran Konfusianime. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
8 Paternalisme ini diterapkan dalam pemerintahan republik pertama Korea di bawah Presiden Syngman Rhee yang juga sekaligus baru berkenalan dengan ideologi demokrasi. 1.2
Rumusan Masalah Ajaran Konfusianisme yang telah dikenal lebih dari 500 tahun di Korea telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat tersebut dan ajaran Konfusianisme dijadikan sebuah ideologi pemerintahan pada masa Kerajaan Joseon. Salah satu nilai ajaran Konfusianisme yang diterapkan dalam pemerintahan tersebut adalah paternalisme. Paternalisme yang dianut membuat raja bertindak seolah-seolah sebagai ayah dari anak-anaknya yakni rakyat Korea sehingga menuntut rasa patuh dan hormat dari rakyatnya. Setelah pendudukan Jepang dan terbagi menjadi dua, Korea diperkenalkan oleh sebuah ideologi baru yang dibawa oleh Amerika Serikat yang pada saat itu menguasai Korea Selatan, yakni demokrasi. Berjalannya demokrasi ini di Korea tentu mendapat pengaruh yang besar dari ajaran Konfusianisme, terutama pada masa republik pertama di bawah pemerintahan Syngmann Rhee yang masih kental akan warisan paternalisme Konfusianisme. Hal ini tentu berpengaruh pada pemerintahan yang dijalankan sehingga juga akan berpengaruh pada demokrasi di Korea. Oleh karena itu, rumusan masalah yang dikemukakan di sini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana paternalisme diterapkan dalam pemerintahan Syngman Rhee? b. Apa pengaruh paternalisme dalam pemerintahan Sygman Rhee terhadap nilai-nilai demokrasi di Korea?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memaparkan paternalisme yang diterapkan dalam pemerintahan Syngman Rhee yang berlangsung dari tahun 1948 sampai tahun 1960 dan pengaruhnya terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi di Korea. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
9 1.4
Batasan Penelitian Bahasan
dalam
penelitian
dibatasi
pada
pemaparan
ajaran
Konfusianisme yang difokuskan pada konsep paternalisme yang diterapkan dalam pemerintahan di Korea dan pengaruhnya terhadap penerapan nilainilai demokrasi di Korea. Pemaparan difokuskan hanya pada masa pemerintahan Syngman Rhee yang berlangsung dari tahun 1948 sampai tahun 1960 agar bahasan tidak melebar dan dapat menunjukkan pengaruh paternalisme terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi secara spesifik di Korea. 1.5
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah metode kualitatif bersifat deskriptif analisis. Melalui metode kualitatif ini, penulis memaparkan dan menafsirkan data penelitian yang diperoleh melalui studi pustaka yang berasal dari bahan bacaan berupa buku, artikel dari internet, jurnal, dll. Selanjutnya, penulis yang merupakan instrumen kunci dalam penelitian ini akan mengolah data di dalam penyusunan tulisan ini. Penulis menggunakan metode ini karena dapat memaparkan dan menganalisis lebih jelas tentang paternalisme yang ada di dalam pemerintahan Syngman Rhee sehingga bisa diketahui dampaknya terhadap nilai-nilai demokrasi di Korea.
1.6
Kemaknawian Ajaran Konfusianisme telah dikenal oleh masyarakat Korea selama beratus-ratus tahun sehingga sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Korea. Salah satu warisan ajaran Konfusianisme yang ada dalam kehidupan masyarakat Korea adalah konsep pemerintahan yang menganut paternalisme, yakni konsep pemerintahan yang menganggap pemerintahan merupakan perpanjangan dari keluarga sehingga pemerintah yang memimpin negara dan rakyatnya diibaratkan layaknya seorang ayah yang memimpin keluarganya. Setelah mengalami kemerdekaan, Korea mengenal demokrasi. Demokrasi diupayakan untuk dapat diterapkan di dalam pemerintahan Korea. Akan tetapi, untuk mewujudkan sebuah pemerintahan demokrasi ini Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
10 tidaklah mudah terutama pada masa pemerintahan republik pertama di bawah Presiden Syngman Rhee karena akan mendapat pengaruh dari ajaran Konfusianisme yang sudah ada sebelumnya. Presiden Syngman Rhee sendiri dikenal sebagai pemimpin yang cenderung bersifat paternalistik dalam pemerintahan. Berdasarkan pengamatan ini, penulis mengangkat suatu permasalahan yang dapat menunjukkan adanya pengaruh yang diberikan oleh warisan ajaran Konfusianisme, yakni paternalisme terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi di Korea pada masa pemerintahan Syngman Rhee. Penulis berharap melalui tulisan ini dapat memberi kontribusi pengetahuan bagi pembaca untuk mengetahui adanya keterkaitan antara paternalisme dan demokrasi di Korea sehingga ke depannya dapat dijadikan bahan studi untuk pengembangan lebih lanjut. 1.7
Sistematika Penulisan Penulis membagi penulisan ilmiah ini menjadi empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang ilmiah pemilihan topik, rumusan masalah, batasan penelitian, tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan pemaparan mengenai konsep paternalisme, bentuk pemerintahan Konfusianisme, konsep demokrasi, dan pengenalan mengenai Syngman Rhee. Konsep paternalisme dipaparkan untuk memberi pemahaman mengenai makna paternalisme. Pemaparan tentang bentuk pemerintahan Konfusianisme ditujukan untuk memberi gambaran bahwa ajaran Konfusianisme menghadirkan sebuah pemerintahan berkarakteristik paternalisme. Konsep demokrasi dipaparkan untuk menjelaskan prinsipprinsip dasar demokrasi. Pengenalan Syngman Rhee bertujuan untuk memberi gambaran mengenai karakter presiden pertama Korea tersebut. Bab ketiga berisi paparan mengenai pemerintahan Syngman Rhee yang menerapkan paternalisme dan analisis pengaruhnya terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi di Korea. Bab keempat merupakan kesimpulan yang memberikan jawaban singkat atas rumusan masalah. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Paternalisme Kleinig
dalam
bukunya
yang
berjudul
Paternalism
(1983)
menyatakan bahwa istilah paternalisme baru muncul di abad 19. Ia memprediksikan bahwa akhiran –isme yang ditambahkan memang banyak digunakan pada periode itu sekaligus menunjukkan bahwa paternalisme adalah sebuah sistem yang mulai menunjukkan pengaruh di abad 16 dan mencapai puncaknya pada abad 19. Kleinig menyatakan bahwa karakter utama paternalisme adalah pola hidup individu ditentukan berdasarkan pertimbangan yang berkaitan dengan aspek sosial secara keseluruhan yang dilakukan oleh kekuasaan patriarki. Kleinig
menambahkan
bahwa
istilah
paternalisme
dalam
pengkarakteran hubungan antar individu, hubungan antara institusi dan individu atau kelompok, dimaksudkan pada hubungan dalam keluarga, khususnya yang ada dalam hubungan antara orangtua dan anak dalam masyarakat tradisional. Orangtua di sini lebih ditekankan pada sosok ayah. Penekanan pada sosok ayah ini didukung oleh Suber (1999) yang menyatakan bahwa paternalisme sering diartikan sebagai berperilaku seperti seorang ayah atau seseorang yang memperlakukan orang lain seperti anak kecil dan mengimplikasikan adanya hierarki kekuasaan yang berfokus pada hierarki kekuasaan antara pria dan wanita yang berhubungan pada ketidakmerataan dalam keluarga (Warnecke &DeRuyter, 2009: 4). Perlu diingat bahwa kata seseorang yang dimaksud di sini adalah orang yang memiliki kuasa sehingga di sini seseorang mereferensikan penguasa atau pemimpin yang umumnya laki-laki dalam masyarakat tradisional. Akan tetapi, bagi Kleinig tidak semua hubungan dalam keluarga bersifat paternalistik. Ia mempunyai kategori khusus terhadap hubungan yang memiliki sifat paternalistik. Hal ini dapat dilihat melalui ungkapannya, “So-called paternalistic relationship are those in which parents act on the 11
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
12 presumption that they know better than the child what is best for the latter” 3. Melalui ungkapan ini, hubungan yang bersifat paternalistik bagi Kleinig adalah ketika orangtua bertindak berdasarkan asumsi bahwa mereka tahu lebih baik dalam hal melindungi dan memajukan anaknya. Misalnya, seorang ayah yang menentukan pemilihan jurusan ketika anaknya akan masuk kuliah. Sang ayah berpikir bahwa dirinya lebih tahu jurusan yang bermanfaat untuk anaknya di masa depan. Stanford Encyclopedia of Philosophy (2010) memberikan definisi paternalisme secara umum yakni sebagai campur tangan negara atau individu terhadap orang lain, bertentangan dengan keinginan orang tersebut yang dipertahankan atau dimotivasi oleh pernyataan bahwa orang yang menerima campur tangan tersebut akan menjadi lebih baik atau dilindungi dari bahaya. Pengertian paternalisme ini didukung dengan yang konsep paternalisme yang dikemukakan oleh maupun Michael Cheng-tek Tai dan Tsung-po Tsai dalam Who Makes the Decision? Patient’s Autonomy vs Paternalism in a Confucian Society (2003) bahwa paternalisme mengacu pada kenyataan seseorang memiliki kemampuan untuk dapat lebih melindungi atau memajukan orang lain, sehingga merampas hak otonomi orang lain tersebut, dengan membuat keputusan bagi mereka. Konsep paternalisme baik menurut Online Stanford Encyclopedia of Philosophy maupun Michael Cheng-tek Tai dan Tsung-po Tsai ini sesuai dengan pernyataan Feinberg dalam Legal Paternalism (1971) dengan konteks yang lebih luas yakni negara sebagai pihak yang berkuasa. Feinberg mengemukakan bahwa prinsip dari paternalisme membenarkan paksaan negara dalam rangka melindungi individu dari bahaya yang ditimbulkan diri atau dalam versi yang lebih ekstrim, yakni membimbing individu, tanpa peduli individu tersebut menyukainya atau tidak, untuk kebaikan mereka sendiri.
3
Yang disebut hubungan paternalistik adalah hal di mana orangtua bertindak dengan anggapan bahwa mereka tahu lebih baik daripada anaknya apa yang terbaik untuk selanjutnya. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
13 Stanford Encyclopedia of Philosophy (2010) dalam bahasan mengenai paternalisme menguraikan beberapa terminologi paternalisme, yakni: 1.
Paternalisme lunak dan keras Paternalisme lunak merupakan pandangan yang menyatakan hanya dalam kondisi tertentu paternalisme oleh negara dibenarkan. Kondisi tertentu yang dimaksud di sini terjadi bila paternalisme negara dijalankan untuk mengetahui bila individu yang diturutcampuri mengetahui benar atau tidak tindakannya. Contoh yang diberikan berasal dari John Stuart Mill tentang seseorang yang akan menyeberang di jembatan yang berbahaya. Jika kita tidak bisa memberitahu tentang bahayanya, maka kita dibenarkan untuk mencegah orang tersebut untuk menyeberang lalu mencari tahu bila orang tersebut mengerti atau tidak tentang bahaya menyeberang di jembatan tersebut. Bila ia mengetahui bahayanya, dan memang ingin, misalnya saja melakukan bunuh diri di jembatan tersebut, maka ia harus diizinkan untuk melakukannya. Sementara itu, paternalisme keras mengizinkan kita untuk mencegahnya menyeberang meskipun ia mengetahui bahayanya karena kita berhak untuk mencegah terjadinya bunuh diri sukarela.
2.
Paternalisme sempit dan luas Paternalisme sempit hanya menekankan pada paksaan negara, misalnya penegakkan paksaan hukum. Paternalisme luas menekankan pada semua tindakan yang bersifat paternalistik, baik yang dilakukan oleh negara, institusi, maupun individu.
3.
Paternalisme kuat dan lemah Paternalisme lemah menganggap bahwa turut campur kepada individu diperbolehkan jika individu tersebut menginginkan suatu hasil, dan ingin memperoleh hasil tersebut. Misalnya saja, seseorang memang memilih keamanan daripada kenyamanan dalam berkendara, maka diperbolehkan untuk memaksanya memakai sabuk pengaman. Sebaliknya, paternalisme kuat menganggap individu bisa saja salah atau bingung akan hasil yang diinginkannya. Oleh karena itu, Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
14 diperbolehkan untuk mencegahnya dalam memperoleh hasil yang diinginkannya. 4.
Paternalisme murni dan tidak murni Paternalisme
murni
menganggap
kelompok
individu
yang
kekebebasannya dilarang setara dengan kelompok yang memperoleh keuntungan dari pelarangan tersebut. Misalnya saja, perenang yang dilarang berenang ketika tidak ada penjaga. Perenang tersebut sebenarnya mampu berenang dengan aman tanpa perlu ada penjagaan, tetapi dalam kasus ini ia tetap dilarang berenang serta disamakan dengan
orang
yang
tidak
bisa
berenang
sehingga
memang
membutuhkan penjagaan. Sementara itu, paternalisme tidak murni menyatakan bahwa larangan diterapkan baik terhadap kelompok individu yang perlu dilindungi maupun yang tidak perlu dilindungi karena untuk menjalankan pelarangan bagi kelompok individu yang perlu dilindungi tersebut, kelompok individu yang tidak perlu dilindungi juga harus dilarang. Misalnya saja, pelarangan pendirian pabrik rokok yang dapat menyebabkan berbagai penyakit diikuti pelarangan terhadap pabrik-pabrik lain yang dapat menyebabkan polusi. 5.
Paternalisme moral dan keselamatan Paternalisme moral dapat dicontohkan melalui pelarangan prostitusi. Melakukan
prostitusi
meski
dianggap
dapat
meningkatkan
kesejahteraannya, tetapi hal ini tetap dilarang karena dianggap tidak bermoral. Paternalisme keselamatan dapat dicontohkan melalui aturan memakai helm ketika berkendara.
2.2
Konsep Ajaran Konfusianisme dalam Membentuk Sebuah Pemerintahan Paternalisme Konfusianisme adalah sistem pemikiran yang didasarkan pada ajaran Konfusius, seorang filsuf Cina yang hidup pada tahun 551 sampai 479 SM. Konfusius merupakan pelatinan dari nama Cina, Kong Fuzi atau Master Kung. Konfusius hidup pada saat terjadinya kekacauan di Cina yakni sekitar Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
15 tahun 476 sampai 221 SM. Oleh karena itu, Konfusius dan pengikutnya menekankan
ajarannya
pada
terciptanya
tatanan
yang
ideal
dan
keharmonisan. Konsep utama ajaran Konfusianisme ini mengharuskan manusia hidup dalam keharmonisan, baik dengan sesamanya maupun dengan alam. Untuk mewujudkan hal ini, Konfusius menganjurkan suatu sistem hubungan intrapersonal dan pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan merupakan hal terpenting bagi Konfusius karena ia beranggapan bahwa pemerintahan yang baik akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya (Hobbler, 2009). Konfusius menekankan pentingnya keluarga untuk membangun pemerintahan yang baik. Keluarga dilihat sebagai tempat bagi anak bukan hanya untuk belajar cara menjadi sukses dalam kehidupannya, tetapi juga menjadi rakyat baik dan penguasa yang baik. Schwartz (1985) dan Hsu (1975) menyatakan bahwa kelima Konfusian klasik yang merancang dasar pendidikan dari pemerintahan yang baik, mengkategorikan keluarga sebagai “the first school of virtues 4” dan “the best institution for training of individual character, virtue, and wisdom 5” (Shin Doh Chull, 2012: 29). Bagi Konfusius, keluarga merupakan struktur dasar dari terciptanya pemerintahan. Hal ini dinyatakannya dalam Analect 2: 21 yakni “Simply by being a good son and friendly to his brothers a man can exert an influence upon good government 6” (Shin Doh Chull, 2012: 108). Pernyataan ini menunjukkan bila seseorang bisa menjadi anak yang baik dan teman yang baik kepada saudaranya, ia tidak hanya menciptakan keharmonisan keluarga, tetapi pengaruh perbuatannya tersebut dapat menjadi sebuah dasar dalam pembentukan pemerintahan yang baik. Konfusius juga melihat keluarga bukan hanya sebagai dasar pembentukan pemerintahan yang baik, tetapi juga keluarga sebagai 4
Sekolah pertama akan kebajikan.
5
Institusi terbaik untuk mengajarkan untuk melatih karakter individu, kebajikan, dan kebijaksanaan. 6
Cukup dengan menjadi anak yang baik dan ramah kepada saudara, seseorang dapat memberikan pengaruh kepada pemerintahan. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
16 mikrokosmos dari negara. Hal ini bisa dilihat dalam pernyataan Konfusius dalam The Great Learning: “To rightfully fulfill duties as a member in the family is to teach one how to rightfully fulfill the duties of citizenship. To know how to govern well a family is to govern a state. If the family is virtuous and benevolent, the whole state will become virtuous and benevolent... Wishing to govern well their state, they first regulate their families. Their family being regulated, their states were rightly governed. The states being rightly governed, the whole kingdom was made tranquil and happy 7” (Shin Doh Chull, 2012: 108). Pernyataan ini menunjukkan bahwa negara merupakan cerminan dari keluarga. Jika ingin mengatur sebuah negara maka keluargalah yang terlebih dahulu diatur agar menciptakan keharmonisan. Jika keluarga sudah diatur dengan baik maka negara juga akan menjadi teratur sehingga seluruh kerajaan menjadi tenang dan bahagia. Ajaran Konfusianisme klasik menyatakan bahwa keluarga juga merupakan dasar dari fenomena sosial. Rakyat biasa diajarkan untuk melihat dan menganggap raja sebagai “the son of Heaven 8” dan memperlakukan raja sebagai seorang ayah. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Konfusianisme klasik tidak hanya mengajukan konsep keluarga merupakan dasar pemerintahan yang baik, tetapi juga menganjurkan sebuah konsep teori pemerintahan patriarkhal. Pengaturan sebuah negara yang dilakukan seperti pengaturan sebuah keluarga ini mencerminkan bahwa pengaturan hubungan antara rakyat dan pemerintah mengikuti norma-norma yang ada dalam pengaturan hubungan dalam keluarga sehingga hubungan antara rakyat dan pemerintahnya berarti bersifat hierarkial dan paternalistik berdasarkan prinsip patriarkhal dengan kekuasaan di satu pihak dan 7
Untuk memenuhi tugas sebagai anggota keluarga dengan baik adalah untuk mengajarkan seseorang bagaimana memenuhi tugas sebagai seorang warga negara. Untuk tahu bagaimana mengatur keluarga dengan baik adalah untuk mengatur negara. Jika keluarga berbudi luhur dan penuh kebaikan, seluruh negara akan menjadi berbudi luhur dan penuh kebaikan... Berharap untuk mengatur negara dengan baik, mereka pertama mengatur keluarga. Keluarga mereka diatur, negara juga diatur dengan baik. Negara diatur dengan baik, seluruh kerajaan menjadi tenang dan bahagia.
8
Anak dari surga.
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
17 persetujuan tanpa protes dari pihak lain. Penguasa menjamin kesejahteraan rakyatnya dan sebagai balasannya, rakyat harus menunjukkan kesetiaan dan rasa hormat di dalam sistem patriarkhal ini. Oleh karena itu, ajaran Konfusianisme klasik mereferensikan posisi penguasa sebagai posisi ayah. Hal ini berarti tidak hanya rakyat yang harus menunjukkan rasa patuhnya kepada penguasa, tetapi juga penguasa harus mencintai dan merawat rakyat sebagaimana orangtua merawat anak-anaknya (Shin Doh Chull, 2012). Agar individu dapat menyadari perannya masing-masing, baik sebagai seorang
anak,
rakyat,
orangtua,
ataupun
pemerintah,
Konfusius
mengajurkan agar setiap individu melakukan pembinaan diri. Hal mengenai pembinaan diri dalam ajaran Konfusianisme ini diungkapkan oleh Kang dalam bukunya The Land of Scholars, Two Thousand Years of Korean Confucianism (2006) yang menganggap bahwa ajaran Konfusianisme secara umum dapat dikatakan sebagai studi yang mengajarkan untuk mengatur orang lain setelah adanya penmbinaan diri. Melalui pengertian ini, ia menggambarkan dua aspek penting dalam ajaran Konfusianisme yang saling berhubungan yakni “pembinaan diri” (etika) dan “mengatur orang lain” (politik). Ajaran Konfusianisme dapat dikatakan sebagai sistem pemikiran yang mengintegrasikan etika dan politik sejalan dengan keharusan seseorang untuk membina dirinya agar bisa mengatur orang lain nantinya. Pembinaan diri ini dijalankan praktek etika yang dapat menuntun seseorang untuk dapat mengetahui posisinya masing-masing. Praktek etika ini didefinisikan melalui Samgang Oryun (삼강오륜) atau praktek tiga kewajiban dan lima aturan moral dalam hubungan manusia (“Samgang Oryun 삼강오륜”, 2011): Lima aturan moral atau Oryun (오륜 ) tersebut, yakni: 1.
Gunsinyuei (군신유의), prinsip kebenaran dan keadilan antara penguasa dan rakyatnya;
2.
Bujayuchin (부자유친), kebaikan atau kedekatan antara orangtua dan anak laki-laki;
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
18 3.
Bubuyubyol (부부유별), perbedaan antara suami dan istri, yaitu status inferior istri;
4.
Jangyuyuseo (장유유서), senioritas antara senior dan junior; dan
5.
Bunguyusin (붕우유신), rasa percaya antar teman. Tiga kewajiban atau Samgang (삼강 ) tersebut adalah:
1.
Gunwisingang (군위신강), hubungan antara penguasa dan rakyatnya, dengan penekanan pada loyalitas rakyat terhadap penguasa atau coong (총 );
2.
Buwijagang (부위자강), hubungan antara ayah dan anak, dengan penekanan pada bakti kepada orangtua atau hyo (효 ); dan
3.
Buwibugang (부위부강), hubungan antara suami dan istri, dengan penekanan pada penekanan pada kesucian, ketaatan, dan kesetiaan kepada suami serta berbakti ke orang tua atau yeol (열 ). Lima hubungan yang disebutkan dalam Konfusianisme - penguasa dan
rakyatnya, orang tua dan anak, kakak dan adik, suami dan istri, dan teman dan teman menjalankan fungsinya dalam setiap organisasi masyarakat. Setiap individu dalam organisasi mempraktekkan prinsip yang sama seperti di rumah. Atasan adalah sebagai orangtua, bawahan adalah sebagai anakanak dan rekan adalah sebagai saudara. Pada dasarnya setiap orang diperlakukan seperti anggota keluarga mereka sendiri. Untuk membuat lima hubungan berfungsi dengan baik, etiket dan perilaku ritual tertentu harus ditaati. Loyalitas dan bakti merupakan hal yang paling penting dalam etiket dan perilaku ritual yang harus ditaati. Salah satu dari lima literatur tentang Konfusian Cina klasik, yakni Li Chi menjelaskan etika yang harus dijalankan dalam setiap lima aturan moral dalam hubungan manusia tersebut: “What are the things which humans consider righteous? Kindness on the part of the father, and filial duty on that of the son; gentleness on the part of the elder brother, and obedience on the part of the younger; righteousness on the part of the husband, and submission on the of the Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
19 wife; kindness on the part of the elders, and deference on that of juniors; benevolence on the part of the ruler, and loyalty on that of the minister; these are the ten things humans consider to be right” 9 (Shin Doh Chull, 2012: 80). Melalui uraian di atas, dapat diketahui bahwa ajaran Konfusianisme memberikan
konsep
Paternalisme
ini
pemerintahan
tercipta
karena
yang adanya
didasarkan dasar
paternalisme.
pemikiran
bahwa
pemerintahan dan negara merupakan perpanjangan dari keluarga. Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah dan rakyatnya mencerminkan hubungan antara orangtua dan anaknya. Untuk menciptakan hubungan harmonis antara orangtua dan anaknya sehingga dapat tercipta hubungan antara
pemerintah
dan
rakyat
yang
harmonis
dan
menghasilkan
pemerintahan yang baik, seseorang harus membina dirinya untuk mengetahui perannya masing-masing. Pembinaan diri ini dilakukan melalui praktek etika yang didefinisikan dalam lima aturan moral dan tiga kewajiban (삼강오륜). Melalui lima aturan moral dan tiga kewajiban ini diketahui bahwa pemerintah harus menjamin keselamatan bagi rakyatnya dan sebagai balasannya rakyat harus menunjukkan kepatuhan dan rasa hormat terhadap pemerintah. 2.3
Konsep Demokrasi Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni demos artinya orang atau rakyat, dan kratein artinya mengatur sehingga secara harfiah berarti pemerintahan oleh rakyat (Bureau of International Information Programs US Department of State, 2007). Menurut deklarasi hak-hak asasi manusia Wina (Vienna Declaration on Human Rights) bagian pertama paragraf 8 tahun 1993, demokrasi didasarkan kehendak yang dinyatakan secara bebas oleh rakyat untuk menentukan sendiri sistem politik, ekonomi,
9
Hal-hal apa yang harus manusia anggap benar? Kebaikan dari pihak ayah, dan bakti dari pihak anak; kelembutan dari pihak kakak, dan kepatuan dari pihak adik; kebajikan dari pihak suami, kepatuhan dari pihak istri; kebaikan dari pihak yang lebih tua, rasa hormat terhadap hal tersebut dari pihak yang lebih muda; kebajikan dari pihak penguasa, dan kesetiaan terhadap hal tersebut dari para menteri; Ini adalah sepuluh hal yang harus manusia anggap benar. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
20 sosial, dan budaya serta partisipasi penuh mereka dalam segala aspek kehidupan mereka (Bassiouni, 1998: 2). Terdapat beberapa definisi mengenai demokrasi secara terminologis, yakni: 1.
Abraham Lincoln: “Government of the people, by the people, and for the people”, Pernyataan ini mengandung makna bahwa demokrasi merupakan sebuah pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Short Definition of Democracy, 2004).
2.
Hennry B. Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960): Sistem politik demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Demokrasi memiliki prinsip-prinsip dasar seperti yang dinyatakan
dalam Universal Declaration of Democracy tahun 1997 (Bassiouni, dkk., 1998) yakni sebagai berikut: 1.
Demokrasi diakui sebagai sebuah cita-cita atau tujuan yang didasarkan pada nilai-nilai umum yang dimiliki oleh semua orang di dunia terlepas dari perbedaan budaya, politik, sosial, dan ekonomi. Dengan demikian, hak dasar yang dimiliki oleh seorang warga negara dilaksanakan
dengan
kebebasan,
kesetaraan,
transparansi
dan
tanggung jawab, hormat terhadap pandangan pluralitas dan untuk kepentingan pemerintahan; 2.
Demokrasi merupakan sebuah cita-cita untuk diwujudkan dan sebuah bentuk pemerintahan untuk diterapkan menurut prinsip modalitas yang mencerminkan keragaman pengalaman dan kekhasan budaya tanpa menyimpang dari prinsip-prinsip, norma-norma, dan standarstandar yang diakui secara internasional. Dengan demikian, demokrasi akan terus-menerus disempurnakan dan selalu merupakan situasi atau kondisi yang memiliki potensi untuk menjadi sempurna yang Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
21 kemajuannya tergantung pada keragaman faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya; 3.
Sebagai sebuah cita-cita, demokrasi bertujuan untuk melestarikan dan mempromosikan martabat dan hak-hak dasar individu, untuk mencapai keadilan sosial, mendorong pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat, memperkuat persatuan dalam masyarakat dan meningkatkan ketenangan nasional, serta menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kedamaian internasional. Sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut dan merupakan satu-satunya sistem politik yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri;
4.
Pencapaian demokrasi mengandaikan kemitraan sejati antara pria dan wanita dalam pelaksanaan perihal masyarakat dengan bekerja sama saling melengkapi dan dalam kesetaraan, menggambarkan sebuah hubungan pengayaan satu sama lain dengan perbedaan yang ada di antara mereka;
5.
Sebuah negara demokrasi menjamin bahwa proses dengan kekuasaan yang diberikan, memungkinkan dan menjalankan kompetisi politik yang bebas, dan merupakan hasil dari partisipasi terbuka, bebas, dan tidak diskriminatif yang dilakukan oleh rakyat, dijalankan sesuai dengan aturan hukum;
6.
Demokrasi
tidak
dapat
dipisahkan
dari
instrumen-instrumen
internasional yang ada di dalam pembukaan deklarasi ini. Oleh karena itu, hak-hak ini harus diterapkan secara efektif dan pelaksanaanya harus disesuaikan dengan tanggung jawab individu dan kolektif; 7.
Demokrasi dibanguan dengan keutamaan hukum dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Semua orang sama di mata hukum dan tidak ada yang berkedudukan di atas hukum di dalam sebuah negara demokrasi;
8.
Perdamaian dan pembangunan
ekonomi, sosial, dan budaya
merupakan pendukung dan hasil dari demokrasi. Oleh karena itu, ada Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
22 saling ketergantungan antara perdamaian, pembangunan, rasa hormat dan ketaatan terhadap supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia. Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang baik. Leonardo Morlino dan Institute for International Studies, Universitas Stanford dalam What is Good Democracy? Theory and Empirical Analysis (2002) menyatakan bahwa demokrasi yang baik adalah demokrasi yang menghadirkan sebuah struktur institusional yang stabil serta mewujudkan kebebasan dan kesetaraan warga negara melalu fungsi institusi dan mekanisme yang sah dan benar. Tujuan utama dari pendirian pemerintahan yang berbasiskan demokrasi adalah perlindungan sekaligus promosi hak asasi
manusia,
kepentingan
dan
kesejahteraan
rakyat.
Demokrasi
mensyaratkan bahwa setiap individu berhak berpartisipasi dalam politik (The Concepts and Fundamental Principles of Democracy, t.t.). Democracy in Brief (2007) oleh Bureau of International Information Programs menuliskan beberapa karakteristik utama dari pemerintahan demokrasi, yakni: 1.
Demokrasi merupakan sebuah pemerintahan dengan kekuasaan dan tanggung jawab sipil dilakukan oleh semua warga negara dewasa, baik secara langsung atau terwakili melalui representatif yang dipilih;
2.
Demokrasi berpegang pada prinsip-prinsip kekuasaan mayoritas dan hak-hak individu;
3.
Salah satu fungsi utama demokrasi adalah melindungi hak asasi seperti kebebasan berbicara dan beragama; kesetaraan dalam hukum; kesempatan untuk ikut dan berpartisipasi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial;
4.
Adanya pemilihan umum yang dilakukan secara langsung, bebas, dan jujur serta terbuka bagi siapa saja yang berhak memilih;
5.
Warga negara yang berada di bawah sebuah sistem demokrasi tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tanggung jawab dalam partisipasi politik dalam rangka melindungi hak dan kebebasan mereka sendiri;
6.
Masyarakat demokrasi berkomitmen dalam menjalankan toleransi, kerjasama, dan kompromi. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
23 2.4
Pengenalan tentang Syngman Rhee Syngman Rhee (이승만) merupakan salah satu pemimpin gerakan kemerdekaan Korea sekaligus presiden pertama Korea. Syngman Rhee memainkan peranan penting dalam pendirian Republik Korea terutama dengan gerakan antikomunisnya. Syngman Rhee sebagai presiden pertama Korea dikenal dengan kepemimpinannya yang cenderung paternalistik. Syngman Rhee lahir pada tanggal 26 Maret 1875 dalam keluarga konservatif yang menganut agama Buddha. Syngman Rhee menyelesaikan pendidikan Konfusianisme klasik dan melanjutkan ke sekolah Methodist. Ia kemudian memeluk agama Kristen dan mengenyam pendidikan barat yang mengajarkan kebebasan dan kesetaraan, tetapi pendidikan Konfusianisme klasik yang diterima Syngman Rhee sebelumnya telah
membentuk
pikiriannya akan pemerintahan yang ideal merupakan perpanjangan dari keluarga dengan kesejahteraan keluarga dibentuk oleh saling tanggung jawab dan memberi keuntungan (Oliver, 1978). Syngman Rhee menyaksikan kebrutalan Jepang yang membunuh ratu Korea yakni Ratu Min yang menentang pengaruh Jepang di bulan Oktober 1895. Korea kemudian dipimpin oleh Kaisar Kojong dan putra mahkotanya yang memilih berlindung di bawah Rusia. Syngman Rhee kemudian aktif dalam pertemuan klub kemerdekaan dan memimpin sebuah demonstrasi di depan pintu gerbang kerajaan untuk memprotes dominasi asing di Korea dan meminta reformasi sosial dan pemerintahan sehingga ia mendapat hukuman penjara seumur hidup. Ia menuliskan pandangannya tentang fundamental politik yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul The Spirit of Independence tahun 1906 di San Fransisco semasa ia berada di penjara. Buku ini menjadi sebuah pegangan utama dalam perjuangan gerakan kemerdekaan selanjutnya (Kim Choong Nam, 2007). Di tahun 1904, Syngman Rhee diberikan pengampunan dan pergi ke Amerika Serikat. Ia melanjutkan studinya di Universitas George Washington dan meraih gelar masternya di bidang sejarah Eropa dari Universitas Harvard. Ia meneruskan lagi studinya di Universitas Princeton dengan memilih jurusan ilmu politik. Syngman Rhee kembali ke Korea Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
24 tahun 1910 setelah Jepang menganeksasi Korea. Ia bekerja sebagai kepala sekretaris organisasi YMCA. Ketika Jepang mulai menangkapi para pemimpin gerakan kemerdekaan Korea, Syngman Rhee kembali lagi ke Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Maret 1919 terjadi demonstrasi besar-besaran di Korea yang menuntut kemerdekaan Korea. Jepang memberikan reaksi keras terhadap para demonstran ini. Oleh karena itu, para pemimpin gerakan kemerdekaan Korea setuju untuk mendirikan pemerintahan sementara Korea. Syngman Rhee yang masih berada di Amerika Serikat ditunjuk menjadi presiden pemerintahan sementara ini. Selama dua puluh tahun di Amerika, Syngman Rhee mengejar dua tujuan, yakni untuk mendapatkan dukungan diplomatik bagi pemerintahan pengasingan dan menarik simpati publik Amerika terhadap Korea (Oliver, 1978).
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
BAB 3 PATERNALISME DALAM PEMERINTAHAN SYNGMAN RHEE DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI-NILAI DEMOKRASI DI KOREA
3.1
Paternalisme Syngman Rhee dalam Pembentukan Koalisi dengan Komunis dan Pembentukan Pemerintahan Korea Konfusianisme sebagai teori politik menawarkan sebuah kebaikan paternalisme. Pemimpin bertindak layaknya seorang ayah yang sedang memimpin keluarganya karena Konfusius menganggap pemerintahan merupakan bentuk perpanjangan dari keluarga. Seorang pemimpin terikat untuk berperilaku layaknya seperti seorang ayah dalam keluarga, yakni dengan mencintai, melindungi, serta menjaga rakyatnya seperti ia mencintai, melindungi, serta menjaga anaknya sendiri. Syngman Rhee sebagai seorang pemimpin politik sekaligus pemimpin gerakan kemerdekaan Korea sering dianggap sebagai seorang pemimpin bergaya paternalistik. Paternalisme Syngman Rhee sebenarnya sudah terlihat semenjak ia memperjuangkan Korea agar tidak jatuh ke tangan komunis dengan menolak ide koalisi yang diajukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ide akan koalisi ini bermula dari adanya Deklarasi Kairo (Cairo Declaration) yang dikeluarkan pada tanggal 1 Desember 1943 atas kesepakatan yang terjadi antara Amerika Serikat yang diwakili oleh Presiden Franklin D. Roosevelt, Inggris yang diwakili oleh Perdana Menteri Winston Churchill, dan Cina yang diwakili oleh Presiden Chiang Kai Shek menyatakan bahwa “pada waktunya” 10 Korea akan bebas dan merdeka. Permasalahan ini kembali dibahas dalam Konferensi Yalta yang dilaksanakan pada bulan Februari 1945. Presiden Franklin D. Roosevelt bertemu dengan Winston Churchill, dan pemimpin Rusia, Joseph Stalin
10
Istilah yang sebenarnya digunakan dalam bahasa Inggris, yakni “in due course” seperti yang tercatat dalam The United States and the Korean Problem: Documents 1943-1953, 83rd Cong. 1st session yang diterbitkan oleh Government Printing Office, Washington DC hlm. 1 (John Kiechiang Oh, 1968: 3).
25
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
26 untuk membahas kelanjutan rencana setelah Perang Dunia II, khususnya untuk wilayah Eropa timur. Pada Konferensi Yalta tersebut, Presiden Franklin D. Roosevelt mengajukan dua pertanyaan mengenai negara-negara yang akan berpartisipasi dalam pendudukan militer dan pemerintahan interim internasional di Korea. Presiden Franklin D. Roosevelt mengajukan sebuah ide akan perwalian bagi Korea yang diawasi oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Cina, dengan keterlibatan Inggris kepada Joseph Stalin yang akan dijalankan selama 20 tahun (Oliver, 1978). Konferensi ini berlanjut dengan diadakannya Konferensi Postdam di bulan Juli 1945. Presiden Franklin D. Roosevelt yang telah meninggal digantikan oleh Presiden Truman. Sebelumnya di bulan Mei, Syngman Rhee mengirimkan telegram kepada Senator Owen Brester dan Walter F. George serta anggota kongres, Clare E. Hoffman yang menyatakan bahwa Presiden Truman telah menerima informasi dari agen rahasia di Yalta mengenai Korea yang diserahkan pada dominasi Rusia.
Presiden Truman sendiri
dalam Konferensi Postdam menyetujui pendudukan Rusia di Korea Utara agar Uni Soviet dapat menyerang Jepang dari wilayah tersebut 11. Faksi-faksi nasionalis Korea dikoordinasikan dalam United Nation Committee atau komite PBB dengan tujuan mendorong terciptanya kerja sama dengan komunis dalam rangka pembentukan rezim koalisi seluruh Korea. Di wilayah Chungking, Kim Koo menjadi presiden pemerintahan sementara di Korea, sedangkan Liga Independen Korea (Korean Independen League) yang dibentuk oleh komunis menguasai secara aktif di wilayah Yenan. Di Amerika Serikat terdapat Kilsoo Han dan Youngjeung Kim yang mendukung koalisi agar bisa memperoleh dukungan Amerika dan PBB dalam rangka pendirian sebuah rezim di Korea (Oliver, 1978). Akan tetapi, Syngman Rhee menolak pembentukan koalisi ini karena berarti menyerah kepada komunis sehingga ia berupaya menggagalkan komite PBB tersebut. Ia mengingkan Korea agar bisa bebas dalam memilih
11
Presiden Franklin D. Roosevelt telah meminta bantuan Joseph Stalin terlebih dahulu ketika bertemu dalam Konferensi Yalta untuk mengatasi Jepang di wilayah Asia (Duiker & Spielvogel, 2005). Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
27 pemerintahannya sendiri melalui pemilu bebas. Oliver dalam bukunya Syngman Rhee, American Involvment in Korea: 1942—1960 (1978) mengungkapkan bahwa Syngman Rhee mengatakan kepadanya “Mrs. Rhee and I have talked it over. We would rather retire small chicken farm in Iowa than sell out Korea for the sake of our advantage 12” (hal. 16). Sikap Syngman Rhee dalam penolakannya untuk berkoalisi dengan komunis menunjukkan kecintaannya akan negaranya. Ketika pemimpinpemimpin politik dan gerakan kemerdekaan lainnya sudah akan menyetujui ide koalisi ini, ia tetap bertahan untuk tidak menyetujui ide koalisi tersebut karena baginya bergabung dengan koalisi sama saja dengan menjual Korea. Ia menunjukkan salah satu sikap yang menunjukkan ciri paternalismenya, yakni pemimpin harus mencintai negara dan rakyatnya layaknya seorang ayah mencintai anak-anaknya. Seorang ayah yang mencintai anak-anaknya tidak akan menjual anak-anaknya tersebut. Sikap seorang ayah yang harus mencintainya anaknya ini kembali ditunjukkan Syngman Rhee melalui penolakannya atas ide perwalian Korea yang diajukan dalam persetujuan antara Amerika Serikat dan Rusia. Perwalian ini muncul setelah Jepang menyerah kepada Amerika Serikat karena adanya pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945. Pemboman kedua kota di Jepang ini mengubah jalannya perang dan masa depan Korea. Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan Korea dengan cepat diambil alih oleh Amerika Serikat. Pemerintahan militer didirikan di Korea. Segera setelah itu diumumkan pembagian Korea Selatan dan Korea Utara di garis lintang 38. Syngman Rhee yang kala itu masih berada di Washington, Amerika Serikat berupaya secepatnya kembali ke Korea karena para pemimpin kabinet pemerintahan sementara di Chungking, yakni Kim Koo, Kim Kyu-sik, Kim Yaksan, dan Cho So-ang sudah akan menyetujui pelaksanaan rencana koalisi dengan komunis.
12
Nyonya Rhee dan saya sudah membicarakannya. Kami lebih baik mundur bertempat tinggal di peternakan ayam kecil di Iowa daripada menjual Korea untuk keuntungan kami sendiri. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
28 Syngman Rhee baru tiba di Korea pada tanggal 16 Oktober dan seminggu kemudian tepatnya tanggal 23 Oktober 1945, ia langsung mengadakan pertemuan dengan 200 perwakilan dari sekitar 50 partai politik dan organisasi sosial dan mengajukan ide persatuan nasional. Pada bulan Desember 1945, dalam Konferensi Moskow diumumkan adanya persetujuan antara Amerika Serikat dan Rusia akan perwalian atas Korea yang menimbulkan kemarahan masyarakat Korea. Syngman Rhee kemudian memanggil seluruh pekerja dan pejabat Korea yang bekerja di pemerintahan militer Amerika Serikat untuk melakukan mogok umum. Hanya Partai buruh Korea Selatan yang merupakan organisasi politik komunis yang mendukung adanya perwalian tersebut setelah mendapat perintah dari Korea Utara. Syngman Rhee juga mendirikan sebuah organisasi bernama Perhimpunan Nasional Untuk Realisasi Cepat Kemerdekaan Korea (the United Society for the Rapid Realization of Korean Independence) dan memperluasnya ke wilayah provinsi-provinsi di Korea (Kim Choong Nam, 2007). Syngman Rhee mengusulkan pendirian kongres nasional darurat secepatnya untuk memulai langkah-langkah mempercepat kemerdekaan Korea. Kongres ini diselenggarakan pada bulan Februari dan hasilnya adalah pendirian Dewan Perwakilan Demokrat Korea Selatan yang diisi oleh para pemimpin politik Korea. Fungsi resmi dewan ini sebenarnya adalah mewakili opini publik Korea dan membantu untuk mengarahkan masyarakat Korea agar menyadari pentingnya menyetujui persetujuan akan perwalian Korea. Syngman Rhee terpilih menjadi ketua, Kim Koo dan Kim Kyu-sik sebagai wakil ketua tetap, dan Lyuh Woon Heung sebagai anggota dewan. Lyuh Woon Heung akhirnya keluar dari dewan ini karena terpengaruh oleh komunis. Dewan ini menjadi tempat bagi para pemimpin politik Korea untuk menekankan perlawanan mereka atas kebijakan internasional untuk Korea (Oliver, 1978). Syngman
Rhee
memulai
kampanye
anti
perwalian
dan
antikomunisnya pada tahun 1946, dengan berkeliling ke seluruh Korea dan berpidato. Syngman Rhee di dalam salah satu pidatonya yang tercatat dalam Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
29 Koran Donga Ilbo tanggal 19 November 1945, Syngman Rhee berkata: “We must forget all partisan differences and join together to oppose trusteeship and support national independence... Communism is akin to cholera; it is impossible to compromise or cooperate with it; the only choice is to surrender to Communist totalitarian control or oppose it” 13 (Kim Choong Nam, 2007: 37). Penolakan Syngman Rhee akan ide perwalian ini ditunjukkan melalui upaya nyata, yakni ia segera kembali ke Korea untuk dapat terus berupaya memperjuangkan kemerdekaan bagi Korea. Hal ini memperlihatkan unsur lain dari paternalisme. Ia merasa sebagai seorang ayah dari anak-anaknya yakni rakyat Korea, harus terus berupaya memperjuangkan yang terbaik yakni dengan memperoleh kemerdekaan. Ketidaksukaannya akan komunis ditularkan melalui pidatonya yang ia yakini dapat mempengaruhi rakyat Korea serta mendorong mereka untuk menunjukkan rasa percaya, kepatuhan dan rasa hormat kepadanya, layaknya kepada seorang ayah dengan memberikan dukungan akan sikap anti perwalian dan antikomunisnya. Upaya Syngman Rhee yang menolak persetujuan antaran Amerika Serikat dan Rusia akan perwalian di Korea membuahkan hasil ketika PBB mengeluarkan resolusinya pada 14 November 1947, tentang pentingnya klaim Korea yang mendesak dan merasa berhak atas kemerdekaan dan mengusulkan diadakannya pemilu untuk memilih anggota kongres nasional. Pemilihan umum diadakan pada tanggal 10 Mei 1948 dibawah pengawasan PBB dilakukan pemilu untuk memperebutkan 200 kursi kongres. Perhimpunan nasional yang dipimpin Syngman Rhee memperoleh 55 kursi kongres dan kemudian Syngman Rhee terpilih menjadi ketua kongres. Kongres nasional mengajukan konstitusi pada tanggal 12 Juli dan disahkan pada tanggal 17 Juli Juli 1948. Di dalam pembukaan konstitusi tersebut dinyatakan keinginan pemerintah untuk membangun sebuah pemerintahan yang menjalankan sistem demokrasi. Korea pada saat itu tidak 13
Terjemahan bebas: Kita harus melupakan semua perbedaan partisan dan bergabung bersama untuk melawan perwalian dan mendukung kemerdekaan nasional... Komunisme sama seperi kolera; tidak mungkin berkompromi atau bekerja sama dengan hal itu; pilihan hanya menyerah kepada Komunis totaliter atau melawannya. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
30 memiliki pengalaman akan konstitusionalisme. Sampai tahun 1910, mereka berada di bawah sistem pemerintahan monarki dan ketika diduduki Jepang, mereka mengenal pendudukan kolonial Jepang yang otoriter. Di bawah pendudukan Amerika Serikat, Korea mengenal pemerintahan militer. Oleh karena itu, pengalaman Korea akan pemerintahan demokrasi sangat sedikit. Republik Korea secara sah didirikan pada tanggal 15 Agustus 1948 bersamaan dengan pengangkatan Syngman Rhee sebagai presiden. Saat menjabat sebagi presiden, Syngman Rheee sudah berumur 73 tahun dan memerintah selama 12 tahun.
3.2
Paternalisme dalam Pemerintahan Syngman Rhee Yang Menerapkan Ideologi Antikomunisme Serta Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Demokrasi Konfusianisme mengajarkan seorang pemimpin bertindak layaknya seorang ayah dalam keluarga. Seorang ayah dalam ajaran Konfusius diwajibkan melindungi serta menjaga anggota keluarganya, dan anggota keluarganya wajib menunjukkan rasa patuh, hormat, dan kesetiaan kepada ayahnya. Di dalam konteks pemerintahan, hal ini berarti seorang pemimpin wajib berupaya sekuat tenaga melindungi keluarganya dan sebagai balasannya anggota keluarga, yakni birokrasi dan rakyatnya harus menunjukkan kesetiaan dan rasa hormat kepadanya. Sebuah artikel dalam Rome News Tribune tanggal 3 Juli 1953 menyatakan
bahwa
pemerintahan
demokrasi
oleh
Syngman
Rhee
merupakan pemerintahan demokrasi dengan pelaksanaan paternalisme yang tegas. Ia memerintah layaknya seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, dan merasa paling tahu yang terbaik bagi anaknya serta berharap mereka mematuhinya tanpa pertanyaan. Birokrasi dan rakyatnya oleh Syngman Rhee diwajibkan mendukung ideologinya saat itu yakni antikomunis dan anti-Jepang. Ideologi antikomunis yang muncul ini dikarenakan setelah pendirian republik di Korea Selatan, Korea Utara merespon dengan mengadakan pemilihan umum pada Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
31 tanggal 25 Agustus 1948 dan mendirikan Democratic People’s of Republic Korea (DPRK) yang berideologikan komunisme. DPRK menyatakan sebagai pemerintahan yang sah di semenanjung Korea dan menunjuk Kim Il Sung sebagai pemimpinnya. Tujuan DPRK adalah membebaskan Korea Selatan dari pengaruh Amerika Serikat dan agar mau berada di bawah Korea Utara. Korea Utara bahkan berupaya untuk mendekati anggota kongres pemerintah Korea Selatan untuk mewujudkan tujuannya. Berbagai cara dilakukan oleh Korea Utara untuk memberi tekanan politik terhadap Korea Selatan, termasuk dengan membunuh, melancarkan serangan, kekerasan, demonstrasi dan propaganda. (Kim Choong Nam, 2007). Pemberontakan komunis yang terjadi di Yosu setelah dua bulan Syngman Rhee menjadi presiden dilihatnya sebagai konspirasi komunis untuk menggulingkan pemerintahan Korea Selatan dengan mengobarkan perang sipil. Pemerintahan Syngman Rhee kemudian memerintahkan resimen keempat untuk melancarkan serangan terhadap para pemberontak dan menyatakan darurat militer; jam malam diberlakukan, polisi dan pasukan perang berpatroli di jalan-jalan, rakyat dipindahkan ke tempat lebih aman untuk menghindari serangan gerilyawan komunis, dan kegiatankegiatan yang dianggap subversif dilarang. Meskipun pemberontakan kemudian dapat diatasi dengan cepat, penegakan hukum dan aturan sangat sulit dilakukan karena banyaknya rakyat sipil sayap kiri yang bergabung dengan komunis. Pada saat itu, rasa takut dan tidak aman menyebar dalam pasukan perang, polisi, dan masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya runtuknya kepercayaan terhadap pemerintah. Hal ini memicu kejatuhan politik pemerintahan Syngman Rhee yang kemudian terdorong untuk menciptakan RUU Keamanan Nasional pada bulan Desember 1948. RUU ini melarang komunisme, dan memberikan polisi kekuasaan yang hampir tidak terbatas untuk melaksanakan investigasi, penangkapan, dan penahanan orang-orang yang dicurigai sebagai komunis. Pemeriksaan dan pembersihan dilaksanakan dalam semua organisasi di Korea Selatan, termasuk organisasi militer, polisi, media, sekolah, serikat pekerja, dan pemerintahan itu sendiri (Kim Choong Nam, 2007). Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
32 Syngman Rhee kembali menunjukkan sikap paternalistiknya dalam perjuangannya melawan komunis dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang dianggapnya dapat menjaga rakyat Korea dari pengaruh komunisme. Paternalisme yang diterapkan Syngman Rhee ini berpengaruh kepada nilainilai demokrasi. Di satu sisi Presiden Syngman Rhee, layaknya seorang ayah yang berusaha menjaga anak-anaknya mengeluarkan berbagai peraturan keras demi melawan komunisme. Di sisi lain, peraturan-peraturan yang dikeluarkan olehnnya mengabaikan nilai-nilai yang ada dalam demokrasi. Pelarangannya akan kegiatan-kegiatan politik melanggar hak asasi seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam politik karena dicurigai sebagai komunis. Kesatuan polisi yang diberikan kekuasaan hampir tak terbatas melalui adanya RUU Keamanan Nasional dalam rangka menghalau terciptanya gerakan komunisme di Korea melanggar hak seseorang dalam memperoleh
kesetaraan
dalam
hukum.
Banyak
orang-orang
yang
diinvestigasi dan dipenjarakan tanpa memperoleh proses hukum yang seharusnya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintahan Syngman Rhee berideologikan tidak hanya anti-komunis tetapi juga antiJepang. Ingatan akan kebrutalan Jepang ketika menduduki Korea melekat dalam masyarakat Korea sehingga mereka sangat membangun sentimen anti-Jepang. Oleh karena itu, Syngman Rhee tidak hanya menyebarkan gerakan anti-komunis tetapi juga gerakan anti-Jepang. Gerakan anti-Jepang ini berhasil meningkatkan popularitas Syngman Rhee dan menegaskan perannya sebagai “bapak bangsa” (Kim Choong Nam, 2007). Di saat Presiden Syngman Rhee sedang mengobarkan ideologi antiJepang dalam masyarakat Korea, Amerika Serikat menekannya untuk melakukan pemulihan hubungan dengan Jepang. Syngman Rhee yang melihat posisinya lemah terhadap tuntuktan Amerika Serikat untuk memulihkan
hubungan
dengan
Jepang
mendorongnya
untuk
memproklamirkan deklarasi “Peace Line” yang dalam bahasa Korea disebut Pyonghwaseon (평화선) ” atau juga dikenal dengan sebutan “Syngman Rhee Line (이승만 라인)” pada 18 Januari 1952. Deklarasi ini berisikan Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
33 tentang perpanjangan kedaulatan Korea sampai 200 mil dari garis pantai (Jung Byungjon, 2008). Meskipun Syngman Rhee mengumumkan bahwa tujuan dari deklarasi ini adalah untuk melindungi sumber daya laut Korea, tetapi tujuan sebenarnya untuk menekan Jepang dengan menangkap kapalkapal Jepang yang berlayar di wilayah tersebut. Syngman Rhee memanfaatkan perannya sebagai seorang “bapak bangsa” untuk meraih dukungan birokrasi dan rakyat di dalam penyebaran ideologi anti-Jepang dan Deklarasai Peace Line atau Syngman Rhee Line ini. Dukungan birokrasi dan rakyatnya diperlukan agar kebijakan-kebijakan yang diambilnya dapat terus berjalan. Di dalam hal ini, Syngman Rhee melakukan manipulasi akan paternalisme yang dianutnya, yakni sebagai seorang pemimpin ia berupaya menyembuhkan rakyatnya dari luka akan kebrutalan Jepang layaknya seorang ayah yang berupaya menyembuhkan keluarganya dari rasa trauma sekaligus berupaya memperoleh dukungan dari rakyatnya tersebut.
3.3
Paternalisme Pemerintahan Syngman Rhee dalam Pemilihan Anggota Kabinet Pemerintahan dan Pembentukan Institusi Pemerintahan Serta Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Demokrasi Paternalisme yang diusulkan dalam Konfusianisme menggambarkan praktek pemerintahan layaknya praktek keluarga. Pemimpin memerintah layaknya seorang ayah mengepalai sebuah keluarga dan rakyat serta birokrasi berperilaku layaknya anak di dalam keluarga yang berarti rakyat dan birokrasi diwajibkan untuk menunjukkan bakti, kesetiaan, dan rasa hormat kepada pemimpinnya. Hal ini dapat menyebabkan seorang pemimpin hanya menempatkan orang-orang yang dapat menunjukkan kesetiaan kepada pemimpinnya di dalam pemerintahan. Hal inilah yang terjadi dalam pemerintahan Syngman Rhee terutama dalam pemilihan anggota kabinet dan pembentukan institusi pemerintahan. Pemerintahan yang berjalan di bawah Partai Liberal Syngman Rhee dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah saat sebelum terjadinya Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
34 perang Korea. Pemilihan anggota kabinet pada periode ini didasarkan pada kedekatan personal dengan Syngman Rhee, namun kemudian berubah perlahan-lahan
menjadi
berdasarkan
pengalaman
administratif
dan
fungsional. Pada periode kabinet kedua, penunjukkan anggota kabinet dilakukan berdasarkan profesionalisme dan pandangan pragmatis dengan tujuan utama rekonstruksi setelah perang dan pemulihan ekonomi. Ini terlihat dari banyaknya posisi pemerintahan yang ditempati oleh orangorang yang dulu berkolaborasi dengan Jepang. Hal ini dikarenakan orangorang tersebut memiliki kesempatan untuk memelihara dan bahkan meningkatkan posisi sosialnya dengan pendidikan dan pengalaman administratif yang dimilikinya. Mereka juga bisa menyediakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya sehingga mempunyai keuntungan yang kompetitif dalam hierarki sosial dan pemerintahan. Untuk melindungi dan meningkatkan posisinya, orang-orang tersebut membutuhkan pemimpin karismatik seperti Syngman Rhee sehingga mereka menunjukkan rasa hormat dan kepatuhan yang sepadan dengan keuntungan yang mereka terima. Sebaliknya, para pemimpin gerakan kemerdekaan dan revolusioner tidak mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Hal ini disebabkan karena mereka menentang kekuasaan sehingga menjauhkan mereka dari posisi kekuasaan (Ki Shik S.J. Hahn, 2007). Perubahan dasar pemilihan pemegang posisi pemerintah ini dapat terlihat dari pengelompokan anggota kabinet selama pemerintahan Syngman Rhee oleh Ki Shik S.J. Hahn dalam Political Leadership in Korean Politics (2007), yakni: 1.
Orang-orang yang terpilih karena kontribusinya terhadap kemenangan Syngman Rhee, seperti Chang Taek-Sang, Yoo Chi-young, Ahn HoSang (penganut ideologi satu orang atau One-People-Ideology theorist), Chi Cung-cun (Organisasi pemuda antikomunis) dan Cun Jin-han (Serikat antikomunis);
2.
Orang-orang yang terpilih berdasarkan pertimbangan politik, seperti Lee Bum-seok yang ditunjuk menjadi perdana menteri dengan tujuan Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
35 untuk mengontrol Hamindang (KDP), dan Cho Bong Am yang ditunjuk sebagai menteri pertanian, Kim De-yeon, dan Lee In; dan 3.
Orang-orang yang dipilih karena kontribusinya untuk efisiensi rezim pemerintahan Syngman Rhee. Di dalam penempatan posisi jabatan dalam pemerintahan ini,
Syngman Rhee menunjukkan posisinya sebagai seorang pemimpin layaknya seorang ayah yang menuntut kesetiaan dari anak-anaknya, yakni anggota birokrasi. Mereka yang dapat menunjukkan kesetiaanya terpilih menjadi anggota birokrasi. Meskipun akhirnya terjadi perubahan dalam dasar pemilihan pejabat pemerintahan dengan didasarkan pada profesionalisme, tetap saja dalam kenyataannya mereka yang profesional tersebut mempunyai kedekatan dengan Syngman Rhee. Hal ini tentu saja mencoreng penerapan nilai-nilai demokrasi di Korea, karena partisipasi politik termasuk di dalamnya berarti mendapat kesempatan untuk memegang jabatan di dalam pemerintahan merupakan hak setiap orang. Pemilihan yang hanya didasarkan karena kedekatan personal dengan menunjukkan kesetiaan mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk memperoleh haknya. 3.4
Paternalisme dalam Konstitusi Salah satu unsur yang ada dalam paternalisme yakni tindakan orangtua yang merasa tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. Hal inilah yang
ditunjukkan
oleh
Syngman
Rhee
dalam
penentuan
sistem
pemerintahan republik Korea. Ia merasa bahwa sistem pemerintahan yang tepat untuk Korea adalah sistem pemerintahan presidensial, tetapi ia mendapat perlawanan dari Partai Demokrat Korea (Korean Democratic Party) yang menginginkan sistem pemerintahan parlementer. Di tahun 1947, komite konstitusi yang dipimpin oleh Dr. Yu Chin-o memulai penulisan konstitusi republik pertama. Meskipun mereka mengajukan sistem pemerintahan dengan tanggung jawab kabinet, Synman Rhee menekan anggota komite untuk mengadopsi sistem presidensial. Oleh karena itu, tercipta sebuah sistem pemerintahan campuran yang mengadopsi sistem presidensial dengan pembagian kekuasaan dan sistem legislatur ala Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
36 parlementer dengan adanya perdana menteri, dewan kabinet, legislasi eksekutif, dan laporan kementrian kepada kongres nasional (Song Hom Kil, 2007). Konstitusi yang merupakan campuran sistem parlementer dan persidensial menunjukkan adanya perbedaan antara Presiden Syngman Rhee dan kongres nasional. Beberapa hari setelah inagurasi pemerintahan, sekelompok pemuda anggota kongres meluncurkan RUU Pengkhianat Nasional untuk menghukum mereka yang berkolaborasi dengan Jepang pada masa pemerintahan kolonial dengan tujuan melemahkan pengaruh Syngman Rhee. Antusiasme rakyat mendengar berita bahwa kongres nasional akan melakukan pembersihan terhadap mereka yang dulu pro Jepang sangat tinggi. Syngman Rhee menolak RUU tersebut dengan dalih akan menyebabkan gangguan internal serius dan waktunya tidak tebat. Akan tetapi, kongres tetap mengesahkan RUU tersebut melalui pemungutan suara dengan jumlah 103 suara menyetujui dan 6 suara menolak sehingga Syngman Rhee terpaksa menandatangani RUU tersebut menjadi suatu ketentuan yang sah. RUU Pengkhianant Nasional ini memberi kekuatan kongres untuk menangkap, menuntut, dan membawa ke pengadilan orang Korea
yang
pro-Jepang,
bahkan
kongres
mendirikan
pengadilan,
investigator, penuntut, dan kesatuan khusus untuk menjalankan RUU tersebut.
Banyak pejabat tingkat tinggi kepolisian yang terseret ke
pengadilan dengan adanya RUU ini sehingga sebagai balasan, kesatuan polisi nasional menuduh balik para anggota kongres yang menyuarakan RUU ini sebagai komunis. Para polisi membuat demonstrasi massa dan bahkan menangkap tiga anggota kongres karena memiliki hubungan dengan komunis yang dianggap sebagai pelanggaran RUU Keamanan Nasional (Kim Choong Nam, 2007). Di bulan Juni 1949, kesatuan polisi metropolitan Seoul mengajukan petisi kepada presiden Syngman Rhee yang berisikan protes terhadap pelanggaran hukum dengan adanya intervensi dari kesatuan khusus inverstigasi kongres nasional dan mengancam pengunduran diri secara masal. Presiden Syngman Rhee memberlakukan kekuasaan darurat yang Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
37 diperolehnya dari konstitusi dengan sebuah perintah khusus, yakni membebaskan polisi dari kegiatan komite investigasi khusus (Kim Choong Nam, 2007). Unsur paternalisme di sini diperlihatkan Syngman Rhee dengan pemberlakuan kekuasaan darurat untuk menjawab petisi yang diajukan oleh kesatuan polisi nasional Korea. Syngman Rhee melihat polisi nasional sebagai referensi dari anggota keluarga yang telah menunjukkan loyalitasnya sehingga wajib untuk dilindungi. Oleh karena itu, Syngman Rhee menganggap bahwa RUU yang diajukan oleh kongres nasional merupakan ancaman bagi kesatuan polisi nasional sehingga ia harus memberlakukan kekuasaan darurat untuk dapat menyelamatkan polisi nasional tersebut. Pemberlakuan kekuasaan darurat ini membuat hubungan antara Syngman Rhee dan kongres nasional semakin menjauh. Saat kongres mengeluarkan undang-undang yang menghapus hukuman mati, mengatur prosedur peninjauan terhadap kasus hukuman mati, mengatur hukuman bagi kolaborator komunis dalam rangka mengurangi pelanggaran hak asasi manusia, Syngman Rhee menggunakan hak vetonya karena menganggap undang-undang ini dapat mengganggu jalannya perang. Akan tetapi, kongres menolak veto yang diajukan Syngman Rhee. Penggunaan hak veto oleh Syngamn Rhee kembali menunjukkan sisi paternalisme Syngman Rhee. UU yang menghapus hukuman mati dan pengaturan hukuman bagi kolaborator komunis baginya dapat menghambat jalannya perang dan mengancam keamanan nasional. Layaknya soerang ayah yang selalu berupaya melindungi keluarganya, Syngman Rhee melalui vetonya juga berupaya melindungi Korea dari ancaman komunis meskipun akhirnya dalam upayanya ini ia harus mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dengan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia. Perbedaan antara Syngman Rhee dan anggota kongres terus berlanjut. Konstitusional tahun 1948 menyatakan bahwa pemilihan presiden dilaksanakan empat tahun sekali yang berarti pemilihan presiden berikutnya akan dilaksanakan pada tahun 1952. Konstitusional menyerahkan pemilihan Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
38 presiden dilaksanakan oleh kongres nasional. Para anggota kongres berencana untuk menggulingkan Syngman Rhee karena hak suara ada di tangan para anggota kongres. Hal ini ditunjukkan melalui pembentukan partai gabungan, yakni Partai Nasionalis Demokrat (Democratic Nationalist Party/DNP) yang terdiri dari partai KDP dan partai KIP (Korea Independence Party) pada bulan Februari 1949. Bulan Januari 1950, DNP mengajukan amandemen terhadap konstitusi yang telah disahkan oleh kongres nasional dua tahun sebelumnya. Amandemen yang diajukan menginginkan sebuah kejelasan sistem kabinet dan bukan campuran antara sistem presidensial dan kabinet yang sudah ada. Akan tetapi, amandemen yang diajukan ini gagal diloloskan karena hanya memperoleh 79 suara, sedangkan 33 suara menolak, dan 66 tidak memberikan suara. Konflik antara pendukung Presiden Syngman Rhee dan pendukung oposisi meningkat. Kemungkinan Syngman Rhee untuk dipilih menjadi presiden oleh kongres pada pemilu berikut di tahun 1952 dapat tercermin dari perolehan kursi pendukung Syngman Rhee pada pemilihan kongres yang akan diadakan pada bulan Mei 1950. Terdapat 2237 kandidat yang mendaftar untuk memperebutkan 210 kursi dalam kongres; 368 kandidat berasal dari partai yang dipimpin Presiden Syngman Rhee dan pemerintahan: 149 kandidat berasal Partai Nasionalis Taehan (Taehan Nationalist Party); 115 kandidat berasal dari Partai Nasionalis (Nationalist Party), 43 kandidat berasal dari Serikat Pekerja Taehan (Taehan Labor Union); 61 kandidat berasal dari Korps Pemuda Taehan (Taehan Youth Corps). DNP mengajukan 158 kandidat dan Partai Sosialis (Socialist Party) mengajukan 21 kandidat. 1.218 kandidat atau sekitar 55% dari keseluruhan merupakan kandidat independen dari berbagai partai afiliasi. Hasil pemilu menunjukkan bahwa mereka yang pro Syngman Rhee hanya 12 yang terpilih kandidat, sedangkan DNP mendapat 23 kandidat terpilih di kongres. Sisa kursi kongres terbagi antara Partai Nasionalis Taehan dengan 24 kandidat terpilih, Himpunan nasional dengan 12 kandidat terpilih, Korps pemuda Taehan dengan 11 kandidat terpilih, serikat pekerja Taehan dengan 2 kandidat Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
39 terpilih, dan independen terpilih 127 kandidat (John Kie Chiang Oh, 1968: 33). Hasil pemilu yang menentukan anggota kongres ini memperlihatkan bahwa Syngman Rhee kemungkinan besar tidak akan terpilih lagi menjadi presiden pada pemilu berikut mengingat pemilihan presiden ada di tangan anggota
kongres.
Syngman
Rhee
menyadari
bahwa
ia
harus
mengamandemen konstitusi untuk meminta diadakannya pemilihan presiden secara
langsung
oleh
rakyat,
kelompok
mayoritas
yang
masih
mempercayainya sebagai “bapak bangsa” (John Kie Chiang Oh, 1968: 41dan S. Oliver, 1978: 388). Syngman
Rhee
merasa
bahwa
Korea
masih
membutuhkan
kepemimpinannya, terutama karena saat itu Korea sedang dalam masa perang dengan komunis. Oleh karena itu, di bulan November 1951, Syngman Rhee mengajukan amandemen konstitusi kepada kongres. Tentu saja kongres menolak dan amandemen konstitusi ini kalah dalam pemungutan suara oleh kongres ini sehingga ia mencari cara lain dengan mengorganisir Partai Liberal untuk meraih dukungan dalam kongres dan berhasil meyakinkan 93 anggota parlemen untuk bergabung dengannya. Syngman Rhee memaksa bahwa pemilihan presiden berikut harus dilakukan secara langsung. Masyarakat saat itu tidak menyadari bahwa maksud Syngman Rhee saat itu adalah ingin memperpanjang kekuasaannya. Masyarakat hanya tahu bahwa Syngman Rhee berupaya menegakan nilainilai demokrasi di Korea melalui pemilihan langsung. Partai Liberal memanfaatkan hal ini untuk memobilisasi dukungan publik untuk bergerak ke Pusan dan meminta kongres untuk mengadakan pemungutan suara terhadap amandemen. Syngman Rhee juga menekan oposisi secara langsung
dengan
mendeklarasikan darurat militer di Pusan terkait dengan keamanan nasional. Ia menangkap para anggota kongres dengan tuduhan mata-mata Korea Utara. Syngman Rhee mengancam akan membubarkan kongres bila pemungutan suara untuk amandemen konstitusi tidak segera dilakukan. Banyaknya tekanan yang diterima menyebabkan anggota kongres akhirnya menyetujui Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
40 untuk mengadakan pemungutan suara dan hasilnya amandemen konstitusi untuk pemilu presiden secara langsung diloloskan (Kim Choong Nam, 2007: 77). Di dalam proses politik dan konstitusional ini, paternalisme Syngman Rhee tercerminkan melalui tekadnya untuk menyelamatkan Korea dengan cara apa pun. Kecintaan kepada Korea membuatnya ingin selalu melindungi rakyatnya, layaknya seorang ayah kepada anaknya. Ia merasa bahwa hanya dirinya lah yang bisa memimpin dan melindungi Korea, sehingga ketika ia menyadari bahwa kecil kemungkinannya untuk terus memimpin Korea dengan adanya pemilu presiden kedua, ia mengajukan amandemen konstitusi yang menginginkan adanya pemilu presiden secara langsung. Kebulatan tekad Syngman Rhee untuk menyelamatkan Korea menyebabkan terjadinya penyelewengan kekuasaan. Melalui amandemen ini, Syngman Rhee terlihat seperti ingin mempromosikan nilai-nilai demokrasi, tetapi yang terjadi justru adanya manipulasi nilai-nilai demokrasi, yakni dengan menekan para anggota kongres untuk menyetujui amandemen yang berarti melanggar hak asasi seseorang serta menjalankan pemilu yang tidak didasari prinsip keadilan. Isi amandemen yang diloloskan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut (Cho Pyong Ok, 1959) : 1.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung;
2.
Adanya majelis tinggi;
3.
Rekomendasi kabinet yang ditunjuk oleh perdana menteri;
4.
Kekuasaan terbatas kongres untuk membubarkan kabinet berdasarkan mosi tidak percaya. Pemilu presiden secara langsung untuk pertama kalinya diadakan pada
bulan Agustus 1952 dan Syngman Rhee berhasil menang mutlak dalam pemilu ini. Kemenangan mutlaknya ini membuat Syngman Rhee semakin yakin akan kepemimpinan yang dijalankannya. Syngman Rhee kemudian memusatkan perhatiannya pada pemilu berikut tahun 1954 yang akan memilih anggota kongres. Ini merupakan pertama kalinya Partai Liberal ikut dalam pemilihan umum. Sebelum pelaksanaan pemilu, Syngman Rhee telah mengindikasikan akan adanya amandemen konstitusi lagi. Partai Liberal Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
41 dengan pasti mendukung langkah Syngman Rhee ini (Kim Choong Nam, 2007). Pada pemilu 1952 ini, Partai Liberal memperoleh kemenangan dengan mendapat 114 kursi dan DNP hanya memperoleh 15 kursi. Sisanya 67 kursi dimiliki oleh kandidat independen terpilih. Kemenangan Partai Liberal ini semakin menguatkan posisi Syngman Rhee dalam pemerintahan. Syngman Rhee kemudian memanfaatkan kemenangannya ini untuk mengajukan amandemen konstitusi lagi. Syngman Rhee mengajukan amandemen konstitusi lagi pada bulan November 1954. Terdapat aturan yang menghapus posisi perdana menteri dan juga semua elemen yang ada dalam sistem parlementer di dalam amandemen yang diajukan. Amandemen ini berhasil diloloskan dalam pemungutan suara yang dilakukan oleh kongres. Isi amandemen tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut (John Kiechiang Oh, 1968): 1.
Penghapusan adanya pelarangan pemilihan kembali presiden yang memegang jabatan pada saat berlakunya konstitusi;
2.
Referendum nasional terhadap amandemen konstitusi;
3.
Penghapusan perdana menteri dan mosi tidak percaya en bloc melawan kabinet;
4.
Suksesi jabatan Presiden oleh Wakil Presiden dalam hal vakansi jabatan Presiden selama sisa waktu lama jabatan;
5.
Amandemen penyediaan ekonomi oleh konstitusional;
6.
Kekuasaan bagi dewan perwakilan untuk menyetujui resolusi mosi tidak percaya melawan anggota dewan. Amandemen konstitusi ini merupakan upaya Syngman Rhee dalam
memperpanjangkan waktu kekuasaannya lagi. Paternalisme kali ini kembali ditunjukkan oleh Syngman Rhee yang merasa bahwa hanya dirinyalah yang tahu hal terbaik buat Korea. Ia tidak menginginkan Korea dipimpin oleh orang lain karena merasa Korea akan menjadi lebih baik bila ia yang memimpinnya. Unsur lain paternalisme juga ditunjukkan oleh Partai Liberal yang menunjukkan kesetiaan, layaknya menunjukkan kesetiaan kepada Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
42 seorang ayah. Dengan adanya amandemen ini, sekali lagi jalan Syngman Rhee untuk terpilih menjadi presiden menjadi terbuka lebar. Pada pemilu 1956 ini, Syngman Rhee telah berumur 81 tahun. Bila Syngman Rhee meninggal, maka yang akan meneruskannya adalah wakil presiden. Oleh karena itu, pemilihan wakil presiden saat itu menjadi penting. Syngman Rhee mendukung Lee Ki-poong yang merupakan ketua Partai Liberal menjadi kandidat presidennya. Sementara itu, DNP mencalonkan pemimpin faksi lama, Shin Ik-hui dan Chang Myon, yang merupakan pemimpin faksi baru untuk menjadi kandidat wakil presiden. Seperti yang sudah diduga, Syngman Rhee kembali menjadi presiden, tetapi hal yang mengejutkan adalah terpilihnya Chang Myon sebagai wakil presiden. Terpilihnya Chang Myong memberikan kesempatan bagi oposisi untuk memperoleh posisi yang lebih menguntungkan dalam pengambilan kebijakan. Di dalam masa kepimimpinan yang ketiga kalinya ini, Syngman Rhee tetap menjalankan perjuangan antikomunisnya. Di tahun 1958, ia memperkenalkan RUU Keamanan Nasional yang diperbarui. Revisi yang ditambahkan dalam RUU ini salah satunya adalah hukuman mati atau penjara dalam waktu lama bagi dakwaan kejahatan yang sebenarnya samar untuk didefinisikan, misalnya seperti menyebarkan propaganda komunis. RUU ini disahkan pada bulan Desember 1958. RUU Keamanan Nasional ini bertujuan untuk melengkapi prosedur hukuman dan peradilan yang berlaku untuk
asosiasi,
kelompok
atau
organisasi
yang
berusaha
untuk
menggulingkan pemerintahan dengan pelanggaran konstitusional dan kegiatan yang berkaitan untuk mewujudkan hal ini 14. Keseluruhan RUU ini memberikan peraturan yang ketat dalam pembicaraan mengenai fakta dan informasi berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, dan semacamnya. Hal ini tentu memberikan kesulitan bagi ruang gerak oposisi untuk berdiskusi mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal 14
Pasal No. 1RUU Keamanan Nasional Korea, Republik Korea, RUU No. 500 yang dikutip melalui terjemahan tidak resmi oleh Fast Eastern Division dari Library of Congress, Wahington D.C. Versi asli bahasa Korea dicetak dalam Kwanpo (Lembaran Negara) No. 2206, 26 Desember 1958. (John Kie Ciang Oh, 1968: 56). Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
43 di atas dalam rangka menyambut pemilu berikutnya tahun 1960 (John Kiechiang Oh, 1968). RUU Keamanan Nasional ini sekali lagi menunjukkan sisi paternalisme dalam pemerintahan Syngman Rhee dalam rangka melindungi Korea dari ancaman komunisme. Akan tetapi, di sisi lain RUU Keamanan Nasional ini mengacuhkan nilai-nilai demokrasi. Ketatnya peraturan untuk dapat membicarakan atau berdiskusi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemerintah atau negara merupakan suatu pelanggaran nilai demokrasi, yakni kebebasan menyuarakan pendapat. Hukuman mati yang diperbolehkan dalam RUU keamanan ini juga merupakan pelanggaran terhadap konsep utama dalam demokrasi, yakni hak asasi manusia. Pada pemilu tahun 1960, Syngman Rhee mencalonkan diri kembali menjadi presiden serta mengajukan lagi Lee Ki-poong sebagai kandidat wakil presidennya. Saat itu usia Syngman Rhee sudah 85 tahun dan lagi-lagi isu pemilihan wakil presiden menjadi penting. Pada saat itu, partai yang berkuasa berupaya memuluskan jalan kemenangan Lee Ki-poong untuk menjadi wakil presiden dengan segala cara. Hasilnya adalah kemenangan telak Lee Ki-poong dengan jumlah suara yang memilihnya 8.221.000 dan 1.844.000 suara untuk lawannya. Hal ini jelas sekali menunjukkan bahwa pemilu telah dicurangi (Kim Choong Nam, 2007). Gangguan terhadap pemilu memang semakin memburu sejak pemilihan anggota kongres di tahun 1952 sampai pemilu presiden dan wakil presiden di tahun 1960. Gangguan ini dijalankan dengan berbagai cara, seperti menggunakan uang untuk membeli suara, gangguan pemerintah bervariasi mulai dari menggunakan polisi sampai membagi manipulasi perhitungan suara. Manipulasi pemilihan dijalankan dengan menekan partai oposisi, menolak pendaftaran kandidat atau menyarankan pengunduran diri, dan mengancam pemberi suara dengan legislasi. Berbagai metode kecurangan dalam perhitungan suara juga dilakukan, yakni (Lee Jung Bock, 2001): 1.
“phantom votes”, yaitu perhitungan suara dengan memasukkan para prajurit tamtama. orang yang sudah meninggal, dan anak-anak; Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
44 2.
“dumping votes”, yaitu menggunakan kertas suara yang dicuri dari tempat percetakan; dan
3.
“piano votes”, yaitu memberi cap ganda pada kertas suara yang memilih oposisi. Di dalam pelaksanaan pemilu 1960 ini, paternalisme dalam
pemerintahan Syngman Rhee terlihat dari kesetiaan yang ditunjukkan oleh Partai Liberal yang berkuasa saat itu. Partai Liberal yang menyadari bahwa Syngman Rhee sudah berusia tua berupaya untuk memuluskan keinginan Syngman Rhee untuk menjadikan Lee Ki-poong sebagai penerusnya bila ia meninggal sehingga mereka melakukan segala cara untuk mewujudkan hal tersebut. Kecurangan yang dilakukan dalam pemilu ini menciderai nilainilai demokrasi, yakni pelaksanaan pemilu yang bebas dan jujur serta pelanggaran terhadap hak asasi setiap orang untuk berpartisipasi dalam politik dengan mengurangi kesempatannya untuk terpilih memegang jabatan politik. Pada saat hari dilaksanakannya pemilu, demonstrasi massa terjadi di beberapa kota dan ditemukan mayat seorang pelajar yang terbunuh dalam protes melawan kecurangan pemilu. Massa bergerak ke rumah presiden dan polisi menembakkan peluru ke arah massa sehingga ratusan pelajar terbunuh dalam aksi tersebut pada tanggal 19 April. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Revolusi 19 April. Presiden Syngman Rhee yang terganggu dengan kecurangankecurangan dalam pemilu kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri. Di dalam pernyataan pengunduran dirinya pun yang termuat dalam Koran Chosun Ilbo 28 April 1960, Syngman Rhee tetap menunjukkan rasa cintanya kepada Korea dengan mengatakan, “I, Syngman Rhee, respect the resolution of the National Assembly, and resign from the office of presidency. Henceforth, i will devote myself for the rest of my life, to my country and its people as a citizen of this country”. Choong Lim Kim dalam Potential for Democratic Change in a Divided Nation menyatakan bahwa Syngman Rhee di mata sebagian besar rakyat Korea masih dianggap sebagai pemimpin nasional yang besar (Kim Choong Nam, 2007: 82). Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
BAB 4 KESIMPULAN
Konfusianisme yang sudah dikenal oleh masyarakat Korea selama lebih dari 500 tahun menghadirkan kebaikan paternalisme. Di dalam paternalisme, seorang pemimpin dalam pemerintahannya menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyatnya layaknya seorang ayah memimpin dan melindungi keluarganya, sedangkan rakyat dituntut untuk menunjukkan kesetiaan dan rasa hormatnya terhadap pemerintahaan. Pemerintahan paternalisme sudah muncul sejak Kerajaan Joseon (1392—1910) di Korea. Di dalam pemerintahan paternalisme ini, rakyat tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Setelah cukup lama berada di bawah Kerajaan Joseon, Korea kemudian berada di bawah pendudukan kolonial Jepang (1910—1945). Di bawah pendudukan Jepang ini, masyarakat Korea mengalami pemerintahan otoriter. Sama seperti pada masa Kerajaan Joseon, masyarakat Korea di bawah pendudukan Jepang juga tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mengubah tidak hanya jalannya perang, tetapi juga nasib Korea. Jepang menyerah tanpa syarat dan Korea dapat merasakan kemerdekannya. Akan tetapi, setelah lepas dari Jepang, Korea kemudian berada di bawah dua pengaruh kekuatan yang berkuasa yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat. Di wilayah Korea Utara, Uni Soviet menguasai dengan menerapkan ideologi Komunisme, sedangkan wilayah Korea Sealatan dikuasai oleh Amerika Serikat yang menerapkan pemerintahan militer dan sekaligus mengenalkan ideologi demokrasi. Pengenalan demokrasi di Korea tentu tidak berjalan dengan mudah dengan adanya warisan Konfusianisme yang menyajikan budaya paternalisme di dalam pemerintahan. Paternalisme yang menuntut loyalitas dapat membuat pengambilan kebijakan oleh pemimpin menjadi fleksibel tanpa harus takut kehilangan kesetiaan pendukung. Beberapa ahli memberi pendapat mengenai kesesuaian demokrasi dan konfusianisme. Ada yang mengatakan bahwa Konfusianisme mendukung demokrasi dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. 45
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
46
Pada masa pemerintahan republik pertama Korea, Syngman Rhee terpilih menjadi presiden pertama. Syngman Rhee sendiri cenderung memerintah dengan gaya paternalistik. Hal ini terlihat melalui sikap-sikap paternalistiknya yang sudah tercermin semenjak ia belum menjadi presiden Korea. Paternalisme dalam pemerintahan Syngman Rhee ini tentu saja berpengaruh terhadap penerapan nilainilai demokrasi di Korea. Sebelum pemerintahan Korea secara resmi didirikan, Amerika Serikat dan Uni Soviet bersepakat melalui persetujuan Moskow untuk membuat koalisi antara Korea Selatan dan Korea Utara di bawah pengawasan kedua negara tersebut. Ketika semua pemimpin gerakan kemerdekaan lain menyetujui ide koalisi ini, Syngman Rhee justru menolak ide tersebut. Baginya hal tersebut sama saja dengan menjual Korea. Ia menunjukkan paternalismenya melalui kecintaannya terhadap Korea dengan tidak menyerah kepada komunis layaknya seperti seorang ayah yang tidak akan menyerahkan anaknya kepada orang lain. Ketika akhirnya republik pertama Korea didirikan secara resmi di tahun 1948 dan dirinya terpilih menjadi presiden, Syngman Rhee tetap memperlihatkan paternalisme dalam pemerintahannya, terutama melalui kebijakan antikomunisnya. Layaknya seorang ayah yang melindungi anaknya dari bahaya, Syngman Rhee berupaya untuk menjaga Korea dari pengaruh bahaya dengan komunis. Disibukkan dengan perjuangannya menumpas komunis, pemerintahan Syngman Rhee justru mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dengan membatasi kebebasan berpendapat dan melanggar hak seseorang untuk mendapatkan kesetaraan hukum. Selain itu, Syngman Rhee layaknya seorang ayah yang mengayomi anak-anaknya juga menyebarkan ideologi anti-Jepang yang sekaligus menjadi upayanya untuk meraih simpati rakyat agar mau menunjukkan kesetiaan kepadanya. Paternalisme dalam pemerintahan Syngman Rhee juga terlihat dalam pemilihan pejabat pemerintah. Pemilihan pejabat dilakukan berdasarkan kepada mereka yang menunjukkan kesetiaan kepadanya. Meskipun pada akhirnya pemilihan didasarkan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, tetap saja hanya mereka yang memang mampu memelihara posisi politiknya dan memelihara kedekatan personal dengan Syngman Rhee yang terpilih. Di sini terlihat lagi Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
47
bahwa paternalisme yang disajikan menyebabkan terjadinya pengurangan kesempatan bagi orang lain untuk dapat berpartisipasi dalam politik karena tidak dapat memelihara posisi politiknya dengan baik atau mempunyai hubungan yang dekat dengan Syngman Rhee. Hal ini tentu saja mengabaikan prinsip kesetaraan yang ada dalam demokrasi. Di dalam pembentukan konstitusi, paternalisme dalam republik pertama terlihat tidak hanya dari sisi presiden Syngman Rhee, tetapi juga pengikutnya yakni Partai Liberal. Presiden Syngman Rhee yang merasa dirinyalah yang tahu hal terbaik untuk Korea sehingga memutuskan untuk terus memerintah Korea. Hal ini memicu dilakukan amandemen undang-undang oleh Syngman Rhee dalam upayanya memperpanjang kekuasaan. Presiden Syngman Rhee menginginkan dilaksanakannya pemilu langsung oleh rakyat. Ia menganggap bahwa sebagian besar rakyat Korea akan menunjukkan kesetiaannya dengan memilihnya karena mereka masih menganggapnya sebagai bapak bangsa Korea. Hasilnya terlihat dalam pemilu 1952 dengan kemenangan telak oleh Syngman Rhee. Kemenangan ini membuat Syngman Rhee semakin yakin bahwa memang kepemimpinannya yang dibutuhkan oleh rakyat Korea sehingga ia lagi-lagi ingin memperpanjang kekuasaannya dengan melakukan amandemen undang-undang. Amandemen undang-undang ini tentu saja memastikan kemenangannya dalam pemilu berikutnya di tahun 1956. Akan tetapi, kemenangan Syngman Rhee ini tidak diikuti dengan kemenangan kandidat wakil presiden yang dicalonkannya. Pemilihan wakil presiden justru dimenangkan oleh partai oposisi sehingga memberikan posisi yang lebih baik bagi partai oposisi dalam pemerintahan. Di tahun 1958, Syngman Rhee memperkuat perjuangan antikomunisnya dengan mengeluarkan RUU Keamanan Nasional yang baru. Di satu sisi, RUU keamanan nasionl ini memberikan jaminan keselamatan bagi rakyat Korea dari pengaruh komunis, namun di sisi lain, adanya RUU ini menghalangi kebebasan berpendapat setiap orang dan melanggar hak asasi manusia dengan membenarkan pelaksanaan hukuman mati. Pada pemilu di tahun 1960, Partai Liberal pendukung Syngman Rhee bertekad untuk memuluskan tidak hanya kemenangan Syngman Rhee dalam pemilu, tetapi juga kemenangan kandidat wakil presiden yang dicalonkan oleh Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
48
Syngman Rhee. Syngman Rhee dan kandidat wapres yang dicalonkannya berhasil menang dalam pemilu yang penuh dengan kecurangan. Unsur paternalisme kembali ditunjukkan oleh Syngman Rhee dengan merasa paling tahu yang terbaik untuk Korea sehingga mendorongnya untuk terus memperpanjang kekuasaannya. Hal ini justru memicu pencideraan pada nilai-nilai demokrasi dengan mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk berpartisipasi dalam politik. Pemilu yang harusnya mempromosikan nilai-nilai demokrasi, seperti keadilan dan kejujuran, justru dijalankan dengan ketidakadilan yang menyalahi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Selain itu, paternalisme pemerintahan Syngman Rhee juga tercermin dari loyalitas Partai Liberal yang jutsru disalahgunakan untuk mencurangi pemilu. Hal ini jelas sekali melanggar prinsip demokrasi dalam pelaksanaan pemilu yang bebas dan jujur. Rangkaian kebijakan dalam pemerintahan Syngman Rhee dilihat dari ajaran Konfusianisme menunjukkan hubungan paternalisme antara pemerintah, Syngman Rhee, dan rakyat. Pemerintahan Syngman Rhee yang seharusnya mempromosikan nilai-nilai demokrasi, justru menciderai nilai-nilai demokrasi tersebut dengan paternalisme yang ada dalam pemerintahan tersebut.
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Bassiouni, C. (1998). Toward A Universal Declaration On The Basic Principles of Democracy: From Principles to Realization. Dalam Bassiouni, C. dkk. (Ed.). Democracy, Its Principles and Achievement (hal. 1—20). Geneva: Inter Parliamentary Union. Bell, D. A., Brown, D., Jayasuriya, K., & Jones, D. (1995). Towards Illiberal. Oxford : St. Martin's Press. Berger, P. (1988). An East Asian Development Model. Dalam P. Berger, & H. H. In Search of An East Asia Development Model (hal. 3—11). New Brunswick: Transaction publishers. Birch, A. (2007). The Concept and Theories of Modern Democracy (ed. Ketiga). New York: Routledge. Blackburn, S. (1994). The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University Press. Brazinsky, G. (2007). Nation Building in South Korea: Koreans, Americans, and the Making of a Democracy. North Carolina: The University of North Carolina Press. Buswell Jr., R. E. (Ed.). (2007). Religions of Korea in Practice. Oxfordshire: Princeton University Press. Chang Yun-Shik & Lee, S.H. (Ed.). (2006). Transformations in Twentieth Century Korea. Oxon: Routledge. Cho Joon-sik. (2007). Understanding Koreans and Their Culture. Seoul: Her One Media. Cho Pyong-ok. (1959). Naui Hoegorok (My Recollections). Seoul: Mingyosa. Crane, Paul S. (1969). Korean Pattern. Seoul: Hollym Corporation. Dahl, R. A. (2006). A Preface to Democratic Theroy (ed. Ekspansi). London: The University of Chicago Press, Ltd. De Bary, W. (1998). Asian Values and Human Rights. Cambridge: Harvard University. 49
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
50 Duiker, W. J. & Spielvogel, J. J.(2005). The Essential World History (ed. Ketiga). Boston, MA: Wadsworth. Grayson, J. H. (2002). Korea- A Religious History (ed. Revisi). New York: RoutledgeCurzon. Han Woo-Keun. (1982). The History of Korea. Seoul: Eul-Yoo Publishing. Helgesen, G. (1998). Democracy and Authority in Korea. New York: St. Martin's press. Hobbler, T. & D. (2009). Confucianism (ed. Ketiga). New York: Infobase Publishing. Hsu, L. S. (1975). The Political Philosophy of Confucianism: An Interpretation of the Social and Political Ideas of Confucius, His Forerunners, and His Early Disciples. London: Curzon Press. Hughes, E. R. (Ed.). (1942). Chinese Philosophy in Classical Times. London: The Aldine Press, Lettchworth, Herts. Huntington, S. (1991). The Third Wave. Norman: The University of Oklahoma Press. ___________. (1996). The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster. International Cultural Foundation. (Ed.). (1982). Korean Cultural Series 10: Korean Thought (Vol. 1—10). Seoul: The Si-sa-yong-o-sa Publichers, Inc. Jang Gu Bok. (2004). Samguk Sagi-uei Uyeongdaejok Ilhae. Seoul: Daehakkyo. Kang Jae-Eun. (2006). The Land of Scholars: Two Thousand Years of Korean Confucianism (Suzanne Lee, penerjemah). Korea: Hangilsa Publishing Co., Ltd. Keum Jang-tae. (2000). Confucianism and Korean Thoughts (Korean Studies Series No. 10). Seoul: Jimoondang Publishing Company. Kim Choong Nam. (2007). The Korean Presidents: Leadership for Nation Building. Norwalk: Eastbridge. Kim Choong Soon. (1992). The Culture of Korean Industry: An Ethnography of Poongsan Corporation. Tucson: University of Arizona Press. Kim, Samuel S. (Ed.). (2003). Korea’s Democratization. Cambridge: Cambridge University Press. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
51 Kleinig, J. (1983). Paternalism. Manchester: Manchester University Press. Koh Byong Ik. (1996). Confucianism in Contemporary Korea. Dalam Tu Weiming. Confucian Traditions in East Asian Modernity: Moral Education and Economic Culture in Japan and the Four Mini-Dragons (hal.191—201). Cambridge: Harvard University Press. Kyong Ju Kim. (2006). The Development of Modern South Korea: State Formation, Capitalist Development and National Identity. Oxon: Routledge. Lee. D. R. (2010). Confucius & Confucianisme: The Essential. United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd. Lee Jung Bok. (2001). The Political Process in Korea. Dalam Soong Hoom Kil dan Moon Chung-In. (Ed.). Understanding Korean Politics, An Introduction (hal. 141—170). New York: State University of New York Press. Les, Sk.K. (1995). Filial Piety and Future Society. Gyeonggido: The Academy of Korean Studies. Levy, M. J. (1949). The Rise of the Modern Chinese Business Class. New York: Institute of Pacific Relations.. Mas’od, M. & Yang Seung-Yoon. (Ed.). (2005). Memahami Politik Korea. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mayo, H. B. (1960). An Introduction to Democratic Theory. Oxford: Oxford University Press. Morlino, L. & Institute For International Studies Stanford University. (OktoberNovember 2002). What is a “Good” Democracy? Theory and Empirical Analysis. Dipresentasikan dalam Konferensi “The European Union, Nations State, and the Quality of Democracy. Lessons from Southern Europe”, University of California, Berkeley. Nurthahjo, H. (2006). Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Oh John Kie-Chiang. (1968). Korea, Democracy on Trial. New York: Cornell University Press. Oliver, R. T. (1978). Syngman Rhee and American Involvement in Korea: 1948— 1960. Seoul: Panmun Book Company Ltd. Park Won. 2006. Traditional Korean Thought. Incheon: Inha University Press. Pye, L. (1985). Asian Power and Politics: The Cultural Dimension of Authority. Cambridge, MA: Harvard University Press. Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
52 Sartorius, R. (Ed.). (1983). Paternalism. Minneapolis: University Of Minesota Press. Schwartz, B. I. (1985). The World of Thought In Ancient China. Cambridge, MA: Harvard University Press. Seth, M. J. (2011). A History of Korea. United Kingdom: Rowman and Littlefield Publisher. Shils, E. (1996). Reflections on the Civil Society and Civility in the Chinese. Dalam Tu Wei Ming. (Ed.). Dalam Tu Wei-ming. Confucian Traditions in East Asian Modernity: Moral Education and Economic Culture in Japan and the Four Mini-Dragons (hal. 38—71). Cambridge: Harvard University Press. Shin Doh Chull. (1999). Mass Politics and Culture in Democratizing Korea. Cambridge: Cambridge University Press. _____________. (2012). Confucianism and Democratization in East Asia. New York : Cambridge University Pres. Soong Hoom Kil & Moon Chung-in. (Ed.). (2001). Understanding Korean Politics: An Introduction. New York: State University of New York Press. Shin, D. C. (2012). Confucianism and Democratization in East Asia. New York: Cambridge University Pres. Suber, Peter. (1999). Paternalism. Dalam Christopher B. Gray (Ed.). Philosophy of Law: An Encyclopedia (hal. 632—635). Princeton: Garland Pub. Co. Sung Kyu-taik. (2005). Care and Respect for the Elderly in Korea, Filial Piety in Modern Times in East Asia. Gyeonggido: Jimoondang. Tim Redaksi Driyakarya. (Ed.). (1993). Seri Filsafat Driyakarya:4 CAPITA SELECTA: Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tu Wei Ming. (Ed.). (1996). Confucian Traditions in East Asian Modernity. Cambridge: Harvard University Press. Warnecke, T. L., & DeRuyter, A. (2009). Paternalism and Development: Expanding the Analysis of Welfare Regimes in Southern Europe and Asia. Asian Social Protection in Comparative Perspective (hal. 1—19). Singapura: Center for International Policy Exchanges, University of Maryland. Weber, M. (1951). The Religion of China. New York: Free Press.
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
53 Yun-han Chu, dkk. (Ed.). (2008). How East Asians View Democracy. New York: Columbia University Press. Sumber Artikel Jurnal, Surat Kabar Feinberg, J. (1971). Legal Paternalism. Canadian Journal of Philosophy, Vo. 1 No. 1, 105—124. Fukuyama, F. (1995). Confucianism and Democracy. Journal of Democracy, Vol. 6 No. 2, 20—33. Jung Byungjoon. (2008). Korea’s Post Liberation View on Dokdo and Dokdo Policies (1945-1951). Journal of Northeast Asia History, Vol. 5 No. 2, 5—53. Kang, C. (1997). Yugyo Minjujuui Nun Mosuninga?. Chontong kwa hyondae, 368—381. Kim Hong Nack. (1998). Change and Continuity in Korean Political Culture, An Overview. International Journal of Korean Studies, Vol. II No. 1, 100—120. Park Chong Min & Shin Doh Chull. (2004). Do Asian Values Deter Popular Support for Democracy? The Case of South Korea. Asian Barometer, A Comparative Survey of Democracy, Governance, and Development, Working Paper Series, No. 26, 1—37. Rhee’s Long Fight For Free Korea Prompt Resistance to Armistice. (3 Juli 1953). Rome News Tribune, hal. 2. Tai Michael Cheng-tek & Tsai Tsung-po. (2003). Who Makes the Decision? Patient’s Autonomy vs Paternalism in Confucian Society. Croatian Medical Journal, 44, 558—561. Young Whan Kihl. (1994). The Legacy of Confucian Culture and South Korean Politics and Economics: An Interpretation. Korea Journal, Vol. 38 No. 2, 37— 53. Zakaria, Fareed. (1994). Culture is Destiny: A Conversation with Lee Kuan Yew. Foreign Affairs,73, 109—126. Sumber Internet Dworkin, Gerald, (2010). Paternalism. Dalam Edward N. Zalta (Ed.). The Stanford Encyclopedia of Philosophy (ed. Musim Panas 2010), Diakses tgl. 23 Maret 2012. http://plato.stanford.edu/archives/sum2010/entries/paternalism/ Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012
54 Ideology. (t.t.). Global Security.org. Diakses tgl. 22 Mei 2012. http://www.globalsecurity.org/military/world/dprk/ideology.html Kwang Yeong Shin & Chulhee Chung. (2000). Cultural Tradition and Democracy in South Korea. Monash University Arts. Diakses tgl. 25 Maret 2012. http://arts.monash.edu.au/korean/ksaa/conference/04chulheechungkwang yeongshin.pdf Samgang oryun (삼강오륜). (2011). Daum Jisig (지식). Diakses tgl. 3 Mei 2012. http://k.daum.net/qna/view.html?qid=4cXBv Short Definition of Democracy. (2004). Democracy-Building.info. Diakses tgl. 5 April 2012. http://www.democracy-building.info/definition-democracy.html The Concepts and Fundamental Principles of Democracy. (t.t.). Center for Civic Education. Diakses tgl. 3 Mei 2012. http://www.civiced.org/pdfs/books/ElementsOfDemocracy/Elements_Subsecti on3.pdf Three Kingdoms. (t.t). Encylopedia Britannica Online. Diakses tgl. 23 Maret 2012. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/593798/Three-Kingdoms-period Yangban. (t.t.). Encylopedia Britannica Online. Diakses tgl. 30 Maret 2012. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/651812/yangban Bureau of International Information Programs, US Department of State. (2007). Democracy in Brief. US Embassy IIP Digital. Diakses tgl. 1 Mei 2012. http://iipdigital.usembassy.gov/st/english/publication/2008/06/2008062319473 6eaifas0.658703.html#axzz1xlILX56m
Universitas Indonesia
Paternalisme dalam..., Gaya Nitiya Sutrisno, FIB UI, 2012