UNIVERSITAS INDONESIA
KEANGGOTAAN CINA DALAM WTO DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENERAPAN SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS DI CINA (1994-2005)
SKRIPSI
Diajukan sebagai pemenuhan atas salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
ARIF SUSILIYAWATI 0806354661
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI CINA DEPOK JULI 2012
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN iii Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
KATA PENGANTAR iv Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
KATA PENGANTAR
千 里 之 行,始 于 足 下 Qiān lĭ zhī xíng, shĭ yú zú xià “The journey of a thousand miles begins with the first step” Ungkapan Cina di atas kiranya menjadi salah satu penyulut harapan penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Keyakinan bahwa kerja keras akan berujung pada keberhasilan menjadi penyemangat penulis untuk melewati setiap rangkaian proses penulisan skripsi ini secara ulet dan sabar. Berbagai kesibukan, seperti aktivitas kampus dan non-kampus, kompetisi, serta pekerjaan yang penulis lakukan di semester kedelapan ini, tidak memupuskan target penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi tepat waktu, sebagaimana penulis impikan sejak memulai studi di Universitas Indonesia. Oleh karena itu, penulis menganggap penulisan skripsi ini merupakan salah satu prestasi dan pengalaman belajar yang sangat berharga. Prestasi ini tentulah bukan didapatkan semata-mata karena hasil kerja keras penulis, melainkan karena dukungan, doa, dan dorongan semangat dari berbagai pihak yang tak pernah putus. Karenanya, saya ingin menghaturkan rasa syukur dan terima kasih saya kepada: 1) Allah SWT Yang Maha Kuasa ( )القادرdan Yang Maha Penolong ()الناصر. Tanpa izin dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini; 2) Bapak Dr. Priyanto Wibowo M.Hum selaku pembimbing skripsi sekaligus dosen Program Studi Cina UI yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya selama penulisan skripsi ini serta memberikan kepercayaan dan semangat kepada penulis; 3) Bapak Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, M.A. dan Bapak Iwan Fridolin, M.Hum. selaku pembaca skripsi atas saran maupun kritik konstruktif yang sangat berharga dalam perbaikan skripsi ini dan mengembangkan kemampuan penulis secara umum di masa mendatang; 4) Semua dosen-dosen Program Studi Cina FIB UI, khususnya dosen pengajar mata kuliah Sejarah Cina yang telah membimbing penulis selama empat v Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
tahun ini dengan sabar dan membagi ilmu yang sangat berharga dan bermanfaat bagi studi penulis; 5) Ayah tercinta yang senantiasa membangun kepercayaan diri penulis dan memberikan dukungan sepenuh hati secara material dan moral, serta Ibu tersayang yang juga datang dari Kalimantan Selatan ke Jakarta untuk menemani dan mendukung penulis selama penulisan skripsi; 6) Ukhti Annisa Fauziah atas nasihat-nasihat bijak dan sugesti positif yang diberikan terus-menerus kepada penulis. Terima kasih karena selalu mengingatkan penulis untuk mendekatkan diri pada Allah dan yakin akan akan kuasa dan kemurahan hati-Nya dalam melancarkan proses penyusunan dan pengujian skripsi ini; 7) Rekan-rekan seaqidah, khususnya anggota Forum Remaja Masjid UI, yang selalu mengingatkan untuk meluruskan niat dan bertawakal dalam penulisan skripsi ini; 8) Dua rekan seperjuangan dalam menulis skripsi, Ni’matun Nasim dan Hayati Nufus yang selalu saling memberikan semangat; 9) Tika Mutia Zahra, Nabila Raisya, Oryza Septi Ayu yang telah sengaja meluangkan waktu untuk menghadiri sidang skripsi; 10) Rekan-rekan
sejurusan
Program
Studi
Cina
yang
juga
senantiasa
menyemangati dan memberikan dukungan; 11) Berbagai pihak yang telah memberikan dukungan langsung maupun tidak langsung sehingga membantu penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, saya berharap skripsi ini bisa mendapat respon positif dari pembaca, baik berupa saran maupun kritik konstruktif yang dapat membantu pengembangannya dan pengalaman akademis penulis, khususnya di bidang penulisan ilmiah dan pengkajian sejarah Cina. Depok, 13 Juli 2012
Penulis
vi Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
vii Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
ABSTRAK Nama : Arif Susiliyawati Program Studi : Cina Judul : Keanggotaan Cina dalam WTO dan Pengaruhnya terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005) Skripsi ini membahas pengaruh keanggotaan Cina dalam WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada periode 1994-2005. Sebagai organisasi perdagangan multilateral, WTO memiliki seperangkat peraturan yang mengikat bagi seluruh negara anggotanya, termasuk Cina. Skripsi ini bertujuan membahas dan menganalisis pengaruh keanggotaan WTO terhadap prinsipprinsip sistem ekonomi pasar sosialis yang diadopsi dan diterapkan di Cina. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis dalam penyajiannya dengan didukung studi pustaka yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanggotaan WTO tidak memberikan tantangan berarti terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis. Di samping itu, keanggotaan Cina dalam WTO juga memberikan pengaruh suportif terhadap pencapaian reformasi Cina yang terangkum dalam sistem ekonomi pasar sosialis walaupun terdapat sejumlah efek samping yang menjadi hambatan bagi pembangunan Cina sekaligus tanggungan bagi agenda reformasi selanjutnya. Kata kunci: WTO, reformasi, ekonomi pasar sosialis
viii Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
ABSTRACT
Name : Arif Susiliyawati Study Program : Chinese Title : China’s WTO Accession and Its Impacts to The Implementation of Socialist Market Economic System in China (1994-2005) The focus of this study is about the impacts of China’s WTO Accession toward the implementation of socialist market economic system in China 1994-2004. As a multilateral trade organization, WTO has a series of binding regulation which demands total compliance from all of its nation members. The objective of this study is to discuss and analyse about the impacts of China’s WTO accession towards the implementation of socialist market economic system in China. This research uses analytical descriptive method which is supported by relevant literature studies. The research concludes that China’s WTO membership does not pose any significant challenge toward the fundamental principles of socialist market economy system. Besides, the membership also gives supportive influence for the achievement of China reformation programmes which are embodied within the principles of socialist market economy system though some side effects of it could still be found and pose as other challenges for China’s development as well as workload for the future reformation. Key words: WTO, reformation, socialist market economy
ix Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ··································································· i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ······························· ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ······································ iii LEMBAR PENGESAHAN ···························································· iv KATA PENGANTAR ·································································· v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ···················· vii ABSTRAK ················································································ viii DAFTAR ISI ············································································· x DAFTAR TABEL ······································································· xii DAFTAR GRAFIK ······································································ xiii 1. PENDAHULUAN ····································································· 1 1.1 Latar Belakang dan Masalah······················································ 1 1.2 Perumusan Masalah ································································ 7 1.3 Tujuan Penelitian ··································································· 8 1.4 Metode Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ··························· 8 1.5 Sistematika Penulisan ······························································ 9 2. SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS (社会主义市场经济体制) DI CINA ················································································· 10 2.1 Faktor-Faktor Pemicu Pengadopsian Sistem Ekonomi Pasar Sosialis ······································································· 10 2.1.1 Keberhasilan Sistem Pasar dan Keterbukaan dalam Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Cina (1978-1992) ················ 11 2.1.2 Kebutuhan akan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan : Reformasi yang Belum Selesai ·········································· 19 2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (社会主义市场经济体制) Cina · 23 2.2.1 Sitem Ekonomi Pasar Sosialis; Hasil Sinifikasi Sistem Pasar oleh Intelektual Cina ················································· 23 2.2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis Berdasarkan Kongres PKC XIV Tahun 1992-1993 ··············································· 25 2.2.3 Strategi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis ·································· 29 2.3 Implementasi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (1994-2001)—Pra Keanggotaan WTO ·········································· 32 2.3.1 Reformasi Valuta Asing ···················································· 32 2.3.2 Refirmasi Fiskal dan Pajak ················································· 33 2.3.3 Reformasi Moneter dan Finansial ········································· 35 2.3.4 Reformasi Perusahaan Negara ············································· 36 2.3.5 Pembentukan Sistem Jaminan Sosial ····································· 38 3. KEANGGOTAAN CINA DI WTO DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENERAPAN SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS DI CINA ······· 40 3.1 Sekilas Mengenai WTO sebagai Promotor dan Regulator Liberalisasi Perdagangan Global ················································ 40 3.1.1 Prinsip Sistem Perdagangan WTO ······································· 40 x Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
3.1.2 Proses Keanggotaan WTO ················································· 42 3.2 Faktor-Faktor Pemicu Cina untuk Mendapatkan Keanggotaan WTO ····· 43 3.2.1 Faktor Pendorong Ekonomi ··············································· 44 3.2.2 Faktor Pendorong Politik ·················································· 46 3.3 Proses Keanggotaan Cina dalam WTO dan Hambatannya ·················· 46 3.4 Hak dan Kewajiban Cina sebagai Anggota WTO ···························· 50 3.4.1 Hak Cina Sebagai Anggota WTO ········································ 50 3.4.2 Kewajiban Cina Sebagai Anggota WTO ································ 51 3.5 Analisis Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005) ································· 54 3.5.1 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem Pasar di Cina································································· 54 3.5.1.1 Liberalisasi Harga ················································· 54 3.5.1.2 Kepemilikan Sektor Swasta ······································ 56 3.5.1.3 Perubahan Institusional ··········································· 57 3.5.2 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Upaya Reformasi BUMN ·· 60 3.5.3 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Komitmen Adopsi Empat Prinsip Utama ······················································· 64 4. KESIMPULAN ········································································ 69 DAFTAR REFERENSI ································································· 75
xi Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Pertumbuhan Perusahaan Swasta (1989-1993) .................................... 16 Tabel 2.2. Jumlah Perusahaan dan Total Nilai Output Bruto Berdasarkan Kepemilikan (1991-1993)..................................................................... 16 Tabel 2.3. Total Nilai Ekspor dan Impor (1978-1993) ......................................... 17 Tabel 2.4. Persentase Pendapatan Pemerintah terhadap PDB............................... 34 Tabel 3.1. Cina dan Taiwan Bergabung dalam WTO: Peristiwa Penting Utama ................................................................................................... 49 Tabel 3.2. Proporsi Transaksi dengan Harga Pasar (persentase volume transaksi)............................................................................................... 55 Tabel 3.3. Rangkuman Analisis Tarif MFN Cina (2001-2005) ........................... 56 Tabel 3.4. Performa BUMN 2001-2004 ............................................................... 62 Tabel 3.5. Jumlah dan Persentase Perekkrutan Kerja Kembali Pegawai BUMN .................................................................................................. 66
xii Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1. Nilai Produk Bruto Pertanian 1978-1993 ........................................... 12 Grafik 2.2. Aliran FDI Tahunan Cina 1980-1993 ................................................. 19 Grafik 2.3. Tingkat Inflasi dan PDB Cina .................................................................. 22
Grafik 2.4. Jumlah Perusahaan Negara Cina dan Pegawainya (1978-2002) ........ 36 Grafik 3. Persentase Penyediaan Lapangan Kerja oleh BUMN ........................... 63
xiii Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sidang Pleno III Komite Sentral PKC XI bulan Desember 1978 dapat dikatakan sebagai salah satu momen terpenting dan paling monumental dalam sejarah Cina. Hal ini tidak hanya karena pada momen itu Deng Xiaoping didaulat secara resmi sebagai pemimpin tertinggi Cina setelah sebelumnya menjadi korban kampanye
anti-borjuis
pada
Revolusi
Kebudayaan,
tetapi
juga
karena
dicanangkannya kebijakan yang menandai transformasi orientasi pembangunan Cina, yakni kebijakan “Reformasi dan Keterbukaan” (改革开放 Gaige Kaifang). Sebagaimana namanya, kebijakan ini menetapkan dua target utama dari rencana pembangunan Cina, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan Cina pada dunia luar Cina. Melalui akselerasi pertumbuhan ekonomi, Deng Xiaoping menargetkan Produk Nasional Bruto (PNB)1 Cina dapat mencapai $1 trilyun pada tahun 2000 dengan pendapatan per kapita sebesar $800, empat kali lipat dari Produk Nasional Bruto (PNB) Cina pada tahun 1979 (Deng, 1993: 64). Untuk mendukung pencapaian tujuan ini, Deng juga menetapkan bahwa Cina akan membuka diri pada dunia luar guna meningkatkan perdagangan luar negeri dan mengundang investasi asing demi mendapat transfer modal, teknologi, dan kemampuan managerial (Hsü, 1990:169). Jelaslah bahwa modernisasi ekonomi dan pembangunan kekuatan produksi menjadi prioritas utama bagi kalangan pemimpin Cina. Perubahan haluan kebijakan pembangunan Cina yang tidak memiliki preseden dalam sejarah RRC ini terang saja mematik kontroversi. Pasalnya, orientasi pembangunan Cina kini berubah total dari periode kekuasaan sebelumnya yang menjadikan revolusi dalam rangka percepatan pembentukan masyarakat sosialis-komunis sebagai agenda utama. Kebijakan politik Mao Zedong berorientasi pada perjuangan revolusioner melawan kaum borjuis dan ideologi mereka melalui mobilisasi massa yang dipimpin oleh kaum proletar (http://www.marxists.org). Hal inilah yang menjadi latar belakang pencetusan 1
Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) merupakan nilai dari output (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh suatu Negara ditambah pendapatan netto yang diperoleh dari luar negeri.
1 Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
2
berbagai kebijakan pada masa pemerintahannya, seperti Gerakan Seratus Bunga (百花运动 Baihua Yundong, 1956-1957), Gerakan Lompat Ke Depan (大跃进 Dayuejin, 1958) Gerakan Anti-Kanan (反右派运动 Fan Youpai Yundong, 19571960), dan Revolusi Kebudayaan (文化大革命 Wenhua Dageming, 1966-1976) yang pada akhirnya juga menimbulkan pada instabilitas politik domestik berupa pergolakan dan demonstrasi. Masalah ini menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejak tahun 1949 hingga akhir tahun 1970-an standar kesejahteraan rakyat tidak mengalami peningkatan signifikan (Saich, 2004:241). Bahkan, gaji rata-rata pegawai industri lebih rendah 5,5% daripada gaji pegawai industri tahun 1957. Segala turbulensi yang menimpa Cina ini mengancam legitimasi PKC sebagai pemegang kekuasaan tunggal di Cina. Karenanya, PKC di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping mulai mengupayakan sejumlah langkah restorasi, termasuk melalui peningkatan performa ekonomi, untuk mengembalikan stabilitas dalam negeri dan sekaligus memulihkan kepercayaan dan dukungan publik rakyat terhadap kepemimpinan PKC (Saich, 2004:242; Hsü, 1990:x) Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, upaya reformasi Deng Xiaoping ini tidak serta merta mendapatkan persetujuan dari kalangan intelektual dan pemimpin Cina. Kebijakan ini dianggap menyimpang dari sosialisme karena keterbukaan akan investasi dan pebisnis luar serta kebolehan atas kepemilikan non-publik dikhawatirkan menjadi ladang berkembangnya kapitalisme di Cina. Deng menepis anggapan ini dengan kembali menegaskan bahwa Cina akan tetap berpegang teguh pada prinsip Marxisme dan Sosialisme karena hanya prinsip inilah yang dapat menjamin distribusi kesejahteraan yang merata bagi segenap rakyat Cina (Deng, 1993: 63-64). Pernyataan Deng ini kemudian diperkuat kembali dengan dicanangkannya konsep politik “Sosialisme Berkarakteristik Cina” (中国特色社会主义 Zhongguo Tese Shehuizhuyi) sebagai hasil sinifikasi pemikiran Marxisme-Leninisme yang telah dikombinasikan dengan karakter Cina dan disesuaikan dengan kondisi Cina. Konsep ini berisi sembilan poin utama, yakni: (1) Dalam proses pencapaian sosialisme: harus menapaki jalan sendiri dengan berpedoman pada Marxisme, namun tetap bertindak dengan mengamati fakta; (2) Dalam tahap pencapaian sosialisme: RRC berada di tahap awal Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
3
sosialisme dan menekankan segala kebijakan harus ditetapkan berdasarkan fakta ini; (3) Dalam hal tugas mendasar sosialisme: membebaskan dan mengembangkan kekuatan produksi serta mencapai kesejahteraan umum yang harus ditopang oleh kemajuan IPTEK dan peningkatan kualitas SDM; (4) Dalam hal penggerak sosialisme: reformasi juga merupakan bentuk revolusi untuk membebaskan kekuatan produksi sekaligus jalan yang harus dilalui Cina untuk dapat mencapai target modernisasi; (5) Dalam hal kondisi eksternal terkait pencapaian sosialisme, keterbukaan adalah faktor esensial bagi reformasi dan modernisasi, harus mengikuti kebijakan luar negeri independen dan lingkungan internasional yang mendukung modernisasi Cina; (6) Dalam hal jaminan politis terkait konstruksi sosialis, harus berlandaskan pada empat prinsip utama: jalan sosialis (社会主义道 路 Shehuizhuyi Daolu), kediktatoran demokrasi rakyat (人民民主专政 Renmin Minzhu Zhuanzheng), kepemimpinan PKC (共产党的领导 Gongchandang de Lingdao), dan Marxisme-Leninisme-Pemikiran Mao (马列注意、毛泽东思想 Maliezhuyi, Maozedong Sixiang); (7) Tahap modernisasi dalam proses pencapaian sosialisme dilaksanakan dalam tiga tahap; (8) PKC merupakan pemimpin utama dari barisan penggerak modernisasi (working class) menuju pencapaian sosialisme; (9) Sistem ‘satu negara dua sistem’ diterapkan dalam rangka reunifikasi Cina dengan Hongkong, Makau, dan Taiwan secara damai (http://news.xinhuanet.com). Posisi Cina yang masih berada pada tahap awal sosialisme membuat aspek-aspek ekonomi—meliputi kekuatan pasar, teknik kapitalistik, dan kemampuan
managerial
serta
ekonomi
campuran
dengan
sistem
multikepemilikan—boleh diterapkan di Cina (Hsü, 1990:230). Kesembilan poin di atas secara umum juga memberikan landasan bagi adopsi sistem kekuatan pasar kapitalis di Cina. Deng juga menambahkan bahwa tanpa sistem keterbukaan, Cina hanya akan mengulang kesalahan rezim pemerintahan sebelumnya yang seklusif dari dunia luar sehingga berakibat pada terhambatnya pembangunan (1993: 6465). Deng menyadari bahwa Cina membutuhkan impor pengetahuan dan sains asing, teknologi, modal, dan kemampuan managerial agar mampu mencapai target modernisasinya (Hsü, 1990:188). Karenanya, pemerintah mengadopsi sistem kekuatan pasar dan multikepemilikan yang diyakini mampu menjadi jalan keluar Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
4
atas masalah Cina tersebut. Adopsi tersebut tampak jelas pada sejumlah kebijakan ekonomi terbuka Cina. Pada tahun 1979 pemerintah membuka empat Zona Ekonomi Khusus di Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen yang difungsikan sebagai area eksperimen terbatas dalam penerapan sistem keterbukaan. Begitu pula dengan pembukaan empatbelas daerah pesisir dan Pulau Hainan pada tahun 1984 dengan tujuan mendapatkan investasi asing yang dibutuhkan untuk mendukung rencana pembangunan Cina. Selain itu, Cina juga berupaya memasifkan partisipasinya dalam perdagangan luar negeri demi memperoleh valuta asing yang cukup untuk membantu pembiayaan program pembangunan dan modernisasi (Hsü, 1990:189). Tahun 1983 Jepang, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Jerman Barat tercatat sebagai partner dagang Cina yang terbesar. Walaupun demikian, semua kebijakan itu tetap berlangsung di bawah pengawasan dan kontrol ketat dari pemerintah atas sejumlah aspek, seperti valuta asing, ekspansi ekspor, dan pengendalian impor. Upaya Cina untuk memperoleh status keanggotaan dalam World Trade Organization (WTO) tentulah juga merupakan bagian dari strategi Cina untuk mencapai target peningkatan valuta asing dan perluasan ekspor. Cina menyadari bahwa keanggotaan WTO dapat memberikan sejumlah hak istimewa yang dapat berpengaruh positif terhadap upaya Cina melebarkan sayapnya di perdagangan global. Hak istimewa itu antara lain, hak pengambilan keputusan terkait penetapan standar perdagangan dan tarif bea cukai baru atau hak untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian sengketa dagang antarnegara (Cass, 2003:2). Keanggotaan WTO dianggap dapat menjadi katalisator bagi upaya modernisasi Cina karena dengannya Cina memperoleh pasar baru nan luas bagi ekspornya. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Pascal Lamy selaku direktur WTO pada pidato pembukaan Beijing Round Table 2012, keanggotaan WTO bukanlah proses yang mudah. Proses keanggotaan WTO menuntut perombakan dan reformasi kebijakan ekonomi dan hukum domestik secara totalitas dan penuh konsistensi agar sesuai dengan standar WTO (http://www.wto.org).
Sejak tahun 1986 Cina telah
berupaya memperbarui statusnya sebagai salah satu pemain dalam sistem
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
5
perdagangan multilateral setelah lebih dari 40 tahun ‘terkucilkan’ darinya 2. Upaya Cina untuk menjadi salah satu founding father WTO pada tahun 1995 pun tidak menuai hasil3. Di sisi lain, prinsip ekonomi pasar dan kebijakan pro-kompetisi dan non-diskriminasi yang dianut oleh WTO tak dinafikan lagi menjadi tantangan bagi kebijakan intervensi pemerintah Cina. Intervensi Pemerintah di berbagai ranah yang merupakan salah satu karakteristik ekonomi sosialis harus dipersempit karena WTO menuntut perekonomian yang berjalan sepenuhnya sesuai mekanisme pasar. Sekalipun demikian, Cina tetap berusaha untuk mendapatkan status keanggotaan WTO dengan berbagai cara, diantaranya mengadakan perjanjian bilateral dengan 44 negara untuk memperluas jaringan akses pasar dan melakukan negosiasi multilateral dengan asistensi GATT Working Party dan WTO Working Party on China’s Accession (Cass, 2003: 2). Sejalan dengan proses keanggotaan Cina dalam WTO, di dalam negeri Cina berlangsung proses formulasi atau perumusan sistem ekonomi pasar sosialis yang akan memberikan cetak biru yang jelas dan definit bagi praktik sistem ekonomi Cina. Praktik sistem ekonomi terbuka terbukti membawa peningkatan ekonomi bagi masyarakat Cina. Pasca insiden Tiananmen tahun 1989 kalangan pimpinan Cina mengalihkan perhatiannya pada kontrol politik, bahkan dari mereka yang mulai mempertanyakan kelanjutan reformasi ekonomi (Wong, 2001:4). Akhirnya tahun 1992 Deng melakukan ‘Perjalanan ke Selatan’ (南巡 Nanxun) dan dengan gamblang menyerang kebijakan ekonomi konservatif dan menyerukan reformasi ekonomi dan keterbukaan yang lebih radikal sekaligus menggalang dukungan terhadap langkah reformasi tersebut (Qian, 2003: 36). Poin-poin penting yang disampaikan Deng selama nanxun inilah yang dikembangkan dalam penyusunan konsep reformasi ekonomi Cina selanjutnya. 2
RRC pada masa pemerintahan Jiang Jieshi merupakan salah satu dari 23 penandatangan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947. Namun, pasca kekalahan Kuomintang (KMT) pada perang saudara melawan PKC, tahun 1949 pemerintahan Kuomintang mengungsi ke Taiwan dan menyatakan bahwa Cina keluar dari sistem GATT. Sejak saat inilah status keanggotaan Cina dalam GATT dianulir. 3 GATT dibubarkan pada tahun 1993 dan digantikan oleh WTO yang secara resmi terbentuk pada 1 Januari 1995. Pasal-pasal dalam dokumen perjanjian GATT ditinjau ulang guna merumuskan finalisasi UU WTO yang mengatur aspek perdagangan internasional secara komprehensif, seperti hak kekayaan intelektual, perdagangan jasa, investasi dan perdagangan, penyelesaian sengketa, dan mekanisme tinjauan kebijakan perdagangan setiap negara. Dokumen GATT tetap menjadi pakta yang memayungi kebijakan perdagangan WTO. Cina memulai upaya pembaruan keanggotaan WTO sejak tahun 1986 dan baru menuai hasil pada tahun 2001. Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
6
Rumusan konsep reformasi ekonomi Cina ini akhirnya diajukan pada Kongres PKC XIV pada September 1992 yang untuk pertama kalinya menetapkan “ekonomi pasar sosialis ( 社 会 主 义 市 场 经 济 Shehuizhuyi Shichang Jingji)” sebagai tujuan dari reformasi Cina. Sejak saat itu, Grup Pimpinan Finansial dan Ekonomi PKC yang dikepalai oleh Jiang Zemin mempersiapkan dan mematangkan kerangka dan strategi bagi transisi ekonomi Cina menuju sistem pasar. Sejumlah tim riset ad hoc pun dibentuk dengan misi melakukan studi terkait beragam aspek terkait proses transisi tersebut, mulai dari perpajakan, sistem fiskal, sistem finansial, bentuk badan usaha, hingga perdagangan luar negeri (Qian, 2003:36). Akhirnya pada 17 November 1993, Pleno III Kongres PKC XIV mengadopsi “Keputusan untuk Isu Terkait Pembentukan Struktur Ekonomi Pasar Sosialis (中共中央关于建立社会主义市场经济体制若干问题的 决 定 Zhonggong Zhongyan guanyu Jianli Shehuizhuyi Shichang Jingji Tizhi Ruogan Wenti de Jueding) ”. Keputusan ini merupakan salah satu dokumen monumental yang memiliki signifikansi dalam perekonomian Cina. Keputusan ini menjadi penanda bahwa Cina menapaki jalur sistem ekonomi baru yang berbeda dari sebelumnya. Pada limabelas tahun pertama masa reformasi, konsep sistem ekonomi yang diaplikasikan adalah “menggabungkan sistem perencanaan dan pasar”. Namun, dengan pencanangan keputusan November 1993 ini, Cina menyatakan komitmennya untuk menyempurnakan penerapan sistem pasar modern dengan mengintegrasikan praktik institusi internasional ke dalam sistem ekonominya—yang berarti menghapuskan fitur-fitur sistem sentralisasi ekonomi terencana secara total (Qian, 2003: 32). Selanjutnya, seiring dengan tahap awal penerapan sistem ekonomi pasar sosialis, Cina terus mengupayakan keanggotaannya dalam WTO. Walaupun proses negosiasi sempat terhambat karena terusiknya hubungan diplomasi CinaAmerika Serikat tahun 1999 dan terjadinya tragedi 9/11, permohonan keanggotaan WTO oleh Cina akhirnya disetujui pada pertemuan menteri perdagangan tahunan di Doha, Qatar pada 10 November 2001. Pada 11 Desember 2001 Cina secara resmi terdaftar sebagai anggota WTO ke-143. Keanggotaan WTO oleh Cina—pra-keanggotaan maupun selama keanggotaan—tentulah dapat memberikan pengaruh terhadap penerapapan sistem ekonomi pasar sosialis. Hal Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
7
ini tidak hanya disebabkan karena keduanya berlangsung secara simultan pada periode yang sama, tetapi juga karena keanggotaan WTO sendiri merupakan bagian dari agenda reformasi ekonomi Cina yang bertujuan melanjutkan pembangunan ekonomi Cina. Selain itu, WTO dapat diklasifikasikan sebagai salah satu dari institusi internasional yang perlu diintegrasikan dalam penerapan sistem ekonomi di Cina karena dianggap sebagai best practice, sebagaimana termaktub dalam keputusan November 1993. Pengaruh apa yang ditimbulkan oleh keanggotaan Cina dalam WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis serta signifikansinya merupakan ruang lingkup pembahasan utama yang akan dibahas dalam skripsi ini. Adapun ruang lingkup analisis adalah periode 19942005 dengan alasan tahun 1994 merupakan awal implementasi konsep konkret sistem ekonomi pasar sosialis yang dilengkapi dengan pembahasan lebih detil terkait perangkat dan institusi ekonomi yang dibutuhkannya, sedangkan tahun 2005 merupakan deadline bagi Cina untuk merealisasikan komitmen keanggotaan WTO yang berarti Cina harus menyelesaikan segala proses penyesuaian sistem dalam negeri yang menjadi syarat keanggotaan WTO. Berdasarkan uraian di atas, penulis mengadakan penelitian dengan judul: Keanggotaan Cina dalam WTO dan Pengaruhnya terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005)
1.2 Perumusan Masalah Ruang lingkup pembahasan dari skripsi ini adalah pengaruh keanggotaan Cina dalam WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada periode 1994-2005. Fokus masalah ini akan disajikan melalui pembahasan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Faktor-faktor apa sajakah yang memicu transformasi sistem ekonomi Cina menjadi sistem ekonomi pasar sosialis (社会主义市场经济体制)? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang membuat Cina berkeinginan mendapatkan status keanggotaan WTO? 3. Bagaimanakah pengaruh keanggotaan WTO terhadap penerapan sistem pasar sosialis di Cina sejak tahun 1994 hingga 2005?
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
8
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas adalah menjelaskan pengaruh keanggotaan Cina dalam WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada tahun 1994 hingga 2005. Skripsi ini akan menganalisis apa sajakah pengaruh dari keanggotaan Cina dalam WTO terhadap aspek-aspek penerapan sistem ekonomi sosialis dan signifikansi pengaruh tersebut terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis.
1.4 Metode Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Skripsi
ini
merupakan
bentuk
penelitian
sejarah.
Penyusunannya
menggunakan metode penelitian deskriptif-analitis. Metode ini berguna untuk membuat penguraian secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antarfenomena yang diteliti. Melalui penggunaan metode ini, hubungan kausalitas dan hubungan antarfaktor terkait suatu objek penelitian dapat ditelusuri (Nazir, 1988:64). Penulis memberikan uraian deskriptif mengenai keanggotaan Cina dalam WTO dan juga penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina serta memberikan analisis terkait aspek-aspek yang terkait dengan keduanya, seperti faktor pemicu terjadinya dua fenomena monumental tersebut, proses kejadian, dan pengaruh yang ditimbulkannya. Pemilihan metode ini diharapkan dapat menjelaskan dan menyimpulkan hubungan antara keanggotaan Cina dalam WTO dengan penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada periode 1994-2005, khususnya mengenai pengaruh keanggotaan tersebut terhadap penerapan sistem ekonomi Cina. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library study), yakni dengan menggunakan referensi ilmiah untuk menggali, menelaah, membandingkan, dan menarik kesimpulan dari pendapat berbagai pakar yang relevan dengan masalah yang diteliti (Ruslijanto, 1999:78) Sumber kepustakaan yang dipergunakan terdiri atas sumber primer dan sekunder. Sumber primer berupa buku, jurnal, laporan, artikel berita, dan situs berbahasa Cina yang membahas tentang perekonomian Cina, khususnya sistem ekonomi pasar sosialis dan keanggotaan Cina di WTO, sedangkan sumber sekunder berupa
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
9
buku, jurnal, laporan, artikel berita, dan situs berbahasa Inggris ataupun Indonesia yang relevan dengan topik penelitian.
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun secara sistematis dan ditulis dalam 4 bab dengan perincian sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memaparkan tentang sistem ekonomi pasar sosialis di Cina, meliputi faktor pemicu pengadopsian sistem ekonomi tersebut, konsep sistem ekonomi pasar sosialis, dan gambaran implementasi sistem ekonomi tersebut pada periode prakeanggotaan Cina di WTO (1994-2001). Bab III berisi tentang uraian mengenai keanggotaan Cina di WTO yang mencakup faktor pemicu Cina memasuki WTO, proses keanggotaan Cina di WTO, hak dan kewajiban Cina sebagai anggota, serta analisis terkait pengaruh keanggotaan Cina di WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis. Bab IV merupakan kesimpulan mengenai pengaruh keanggotaan Cina di WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada periode 1994-2005. Di akhir skripsi, daftar referensi dan lampiran juga disertakan.
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
BAB II SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS (社会主义市场经济体制) DI CINA
2.1 Faktor-Faktor Pemicu Pengadopsian Sistem Ekonomi Pasar Sosialis Sistem ekonomi pasar sosialis merupakan pengembangan dari adopsi sistem pasar yang telah diadopsi Cina sejak 1978. Dalam hal ini Cina memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi secara lebih komprehensif (Qian, 2003:32). Sama halnya dengan keputusan tahun 1978 untuk mengadopsi sistem pasar, pragmatisme masih menjadi semangat di balik langkah transformatif ini. Menurut Qian Yingyi dan Wu Jianglian, sikap ini turut dipupuk oleh sejumlah peristiwa politik dan kondisi geopolitik Cina kala itu (2003:38-39). Kalangan pimpinan PKC tentulah belajar dari pengalaman pada masa Mao Zedong bahwa tanpa pembangunan ekonomi, bibit keraguan dan kebencian rakyat terhadap PKC dapat tumbuh subur. Ditambah lagi pasca insiden Lapangan Tiananmen tahun 1989, stabilitas politik dalam negeri Cina tengah goyah sehingga ‘iming-iming’ pembangunan ekonomi menjadi metode PKC untuk membangun kembali kepercayaan rakyat. Jajaran pimpinan Cina menganggap bahwa memperdalam reformasi demi menopang pertumbuhan ekonomi Cina, merupakan hal yang urgen. Anggapan bahwa ekonomi pasar tidak hanya ada pada kapitalisme, melainkan juga ada dan dapat dibangun di bawah sistem sosialisme (Deng, 1983: 236) dikemukakan sebagai landasan. Cina juga mendapat tekanan dari kondisi geopolitik kala itu, yakni dengan munculnya fenomena “East Asian Miracle“ 1 dan runtuhnya Uni Sovyet pada tahun 1991. Peristiwa di atas menimbulkan rasa was-was di kalangan pemimpin Cina karena dua hal, yakni pertama, negara-negara maju tersebut merupakan contoh negara tetangga sekawasan yang telah mengadopsi sistem pasar dan keterbukaan akan investasi asing. Kedua, keruntuhan Uni Sovyet disertai dengan transisi negara-negara pecahan Uni Sovyet dan Eropa Timur ke sistem pasar. Hal 1
East Asian Miracle merupakan istilah yang merujuk pada fenomena pesatnya pertumbuhan ekonomi dari sejumlah negara kawasan Asia bagian Timur, seperti Hong Kong, Jepang, Republik Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Thailand. Kedelapan negara tersebut dikategorikan oleh para ekonom sebagai High Performing Asian Economies (HPAEs) karena memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan sejak tahun 1960 hingga 1990.
10 Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
11
ini membuat PKC was-was bahwa kekuatan mereka akan diremehkan jika negara demokrasi transisional tersebut mampu mengejar kemajuan ekonomi Cina. Kondisi tersebut kian memicu Pemerintah untuk mengambil kebijakan akselerasi pembangunan ekonomi melalui reformasi radikal menuju sistem pasar modern. Di samping adanya kemauan politis dari kepemimpinan Cina, terdapat sejumlah faktor lain yang secara spesifik memicu ditetapkannya ekonomi pasar sosialis sebagai tujuan reformasi pada September 1992. 2.1.1
Keberhasilan Sistem Pasar dan Keterbukaan dalam Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat Cina (1978-1993) Kebijakan modernisasi ekonomi dan keterbukaan yang mengadopsi sistem pasar direalisasikan dalam program-program reformasi di berbagai bidang. Bentuk keberhasilan Cina dalam setiap program reformasi di antaranya sebagai berikut. a) Reformasi Pertanian “Sistem Tanggung Jawab Produksi Rumah tangga” (包干到户 Baogan Dao Hu) secara resmi diadopsi pada Pleno IV Komite Pusat XI PKC September 1979 sebagai arah reformasi pertanian Cina. Sistem ini merupakan adopsi sistem yang pernah berlaku sejak periode akhir rezim Mao Zedong pada tahun 1960-an, menggantikan sistem kolektivisasi yang gagal memajukan pertanian Cina. Hal ini dapat terlihat dari fakta bahwa selama 20 tahun (19581978) pertumbuhan
tahunan produk
gandum
hanya
2,6% sehingga
mengakibatkan Cina harus menjadi importir gandum (Hsü, 1990: 171). Sistem tanggung jawab ini memiliki karakteristik pertanian swasta dalam sistem ekonomi pasar (Chow, 2002: 48). Dalam sistem ini, para petani diberikan insentif materi yang lebih besar dan juga otoritas penuh dalam proses pengelolaan dan produksi pertanian. Namun, setiap petani memiliki kontrak yang akan menentukan jenis tanaman yang akan mereka budidayakan dan besar kuota hasil panen yang harus mereka setorkan. Surplus produksi dapat dikonsumsi sendiri ataupun dijual untuk menambah perolehan laba. Pemerintah juga mengizinkan bahkan mendorong para petani agar mengembangkan “rumah tangga terspesialisasi” (专业户 Zhuanye Hu) “rumah tangga utama”
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
12
(重点户 Zhongdian Hu) seperti kehutanan, perikanan, dan peternakan, yang dilarang selama Revolusi Kebudayaan. Strategi reformasi di atas terbukti membawa sejumlah keberhasilan. Hingga tahun 1987 telah tercatat peningkatan hasil dan produktivitas secara drastis; hasil panen padi dan gandum meningkat 50% dari hasil yang dicapai selama penerapan sistem komune. Tingkat pertumbuhan dari produksi tahunan gandum pun meningkat menjadi 4,9% selama periode 1979-1987 dari hanya 2,1% selama periode 1957-78. Total produksi pertanian dan peternakan meningkat 49% antara periode 1978-1994. Peningkatan ini akhirnya berhasil mengangkat Cina sebagai eksporter
gandum, kedelai, dan kapas. Neraca
perdagangan Cina periode 1980-1984 juga mengalami surplus senilai US$4 milyar dari produk pertanian. Para petani pun secara otomatis terkena imbas positif dari hal tersebut. Tingkat kesejahteraan mereka meningkat dengan penghasilan per kapita yang terus meningkat sepanjang tahun, yakni dari CN¥134 pada tahun 1978 menjadi CN¥ 310 pada tahun 1983 dan mencapai CN¥ 463 pada tahun 1987 (Hsü, 1990: 174).
Grafik 2.1. Nilai produk bruto pertanian 1978-1993
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
13
Keterangan: Nilai dalam CN¥100 milyar. Sumber: China Statistical Yearbook 2002 http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata /yearlydata/YB2002e/htm/l1206e.htm diakses pada tanggal 16 Juni 2012 pukul 01.40 WIB. Telah diolah kembali.
b) Reformasi Industri Industrialisasi Cina pada era Mao Zedong berjalan di bawah kontrol perencanaan pusat dengan beberapa karakteristik, antara lain: (1) Terfokus pada industri berat, (2) Seluruh proses produksi direncanakan, ditentukan, dan dibiayai oleh pemerintah, (3) Seluruh faktor produksi (tanah, tanaman, peralatan, bahan mentah, modal kerja, manager) disediakan oleh pemerintah, (4) Pemerintah menentukan dan mengontrol harga jual dari produk jadi industri serta tanpa mempedulikan biaya produksi dan kualitas, (5) masa kerja pegawai yang
“abadi“
karena
pemecatan tidak
diperkenankan.
Sistem
ini
mengakibatkan tingkat efisiensi, produktivitas, dan insentif kerja yang diberikan tidak maksimal (Hsü, 1990:177-8). Reformasi industri pada masa Deng dilakukan dengan sedikitnya enam langkah strategis. Pertama, penerapan sistem tanggung jawab industri (利润包 干 Lirun Baogan). Sistem ini bertujuan mengembalikan entusiasme kerja dengan memberikan insentif ekonomi. Industri terkait terikat kontak yang diwajibkan menyetorkan hasil laba sebanyak kuota yang telah ditetapkan, sedangkan surplus laba dapat dinikmati oleh industri yang bersangkutan. Pada akhir tahun 1982 semua industri telah terlibat dalam kontrak semacam ini dan mereka bertanggung jawab penuh atas seluruh keputusan ekonomi mereka. Selain itu, dibuat pula keputusan tentang adanya proportionalitas antara kualitas dan kuantitas kerja dengan upah yang diterima. Kedua, pemberlakuan tarif pajak penghasilan baru. Dengan kebijakan ini, perusahaan diwajibkan membayar sekian persen dari penghasilannya kepada negara sebagai pajak. BUMN skala besar dan menegah diwajibkan membayar pajak sebanyak 55% dari total laba mereka, sedangkan BUMN skala kecil membayar pajak secara progresif dalam delapan tingkat yang meningkat dari 7% hingga 55%. Terdapat tiga jenis pajak lain yang juga diberlakukan pemerintah secara bertahap: (1) Pajak produk sebesar 40% dari total laba, (2)
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
14
Pajak penghasilan sebesar 33% dari total laba, dan (3) Pajak penyesuaian atau tambahan bagi daerah pesisir yang lebih maju sebesar 12% dari total profit. Adapun langkah yang ketiga adalah mendorong tumbuhnya bisnis swasta dan pasar bebas. Pemerintah Cina memperbolehkan kemunculan dan berkembangnya perusahaan swasta berdampingan dengan perusahaan milik negara, diawali dengan kemunculan bisnis rumah tangga (个体户 Geti Hu). Tahun 1981 pemerintah mengklasifikasikan perusahaan swasta ke dalam dua tipe, yakni bisnis individu dan bisnis swasta. Pada tahun 1988 pemerintah mengesahkan dokumen “Ketentuan Tentatif mengenai Perusahaan Swasta” (中 华人民共和国私营企业暂行条例 Zhonghua Renmin Gongheguo Siying Qiye
Zhanxing Tiaoli) yang mengatur registrasi dan manajemen perusahaan swasta. Berdasarkan dokumen ini, terdapat tiga model perusahaan swasta: kepemilikan tunggal (独资企业 Duzi Qiye), partnership (合伙企业 Hehuo Qiye), limited liability incorporation (有限责任公司 Youxian Zeren Gongsi). Pada periode 1978-88 serangkaian regulasi lokal dan nasional mengenai perizinan dan kontrol bisnis swasta, perpajakan, standar kualitas dan higienitas produk, serta pasar bebas disahkan sehingga turut mendukung proliferasi sektor swasta. Langkah keempat yang dilakukan Pemerintah adalah reformasi penetapan harga. Kebijakan ini bertujuan meringankan beban negara yang harus menyediakan subsidi bagi barang konsumsi sekaligus sebagai salah satu persyaratan agar sistem pasar dapat berjalan yang mengharuskan harga ditentukan berdasarkan prinsip supply-demand. Pemerintah memulai gerakan reformasi ini dengan kebijakan yang dikenal dengan sebutan mekanisme “dualtrack price system (价格双轨制 Jiage Shuangguizhi)” dengan harapan tidak terjadi inflasi besar-besaran yang mengancam daya beli masyarakat (Chow, 2002: 51). Dengan mekanisme ini, terdapat dua jenis harga, yakni harga pasar dan harga terencana yang diberlakukan pemerintah atas sejumlah komoditas. Eliminasi kontrol atas harga diberlakukan secara bertahap pada beberapa jenis barang, seperti batu bara, bijih besi, rokok, dan minuman keras (1979-1982). Pada tahun 1983 terjadi kenaikan harga pada 100 ribu jenis produk termasuk produk kimia sebesar 20-50%, transportasi muatan kereta mencapai 20%, dan perangkat elektronik semacam TV dan kipas listrik yang mencapai 8-17%.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
15
Reformasi ini disosialisasikan besar-besaran pada awal tahun 1990 dan hingga akhir tahun 1993 terdapat lebih dari 90% harga komoditas (nilai hasil industri) yang ditentukan oleh pasar (Qian, 2003: 34). Kelima, Pemerintah juga melaksanakan pembangunan Perusahaan Kota dan Desa (乡镇企业 Xiangzhen Qiye). Perusahaan Kota dan Desa dibentuk dari bekas tim produksi komune pada masa Mao Zedong. Perusahaan jenis ini memiliki otonomi penuh dan fleksibilitas dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya dan berkecimpung dalam konteks kompetisi pasar. Perusahaan ini dimiliki oleh pemerintah lokal di daerah serta memiliki sejumlah ’hak istimewa’ seperti tarif pajak yang lebih rendah dan kesempatan negosiasi dengan pemerintah setempat (Rosser, 2004: 418, 434). Langkah reformasi industri lain yang juga sangat penting adalah reformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pasca penandatanganan persetujuan kembalinya Hong Kong ke Cina, Perdana Menteri Zhao Ziyang menyatakan bahwa reformasi urban terhambat karena terdapat intervensi pemerintah terhadap institusi ekonomi, dan karenanya harus ditanggulangi. Reformasi BUMN dilakukan dengan melonggarkan kontrol negara atas BUMN skala besar dan menengah, yakni dengan memberikan hak pengelolaan (manajemen) kepada perusahaan, mulai dari soal penjualan, kepegawaian, pembayaran gaji, pemanfaatan modal, hingga penentuan harga. Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkan sistem multi kepemilikan pada BUMN dengan menyewakan BUMN skala kecil dan menengah pada pengusaha swasta (Hsü, 1990:183-4). Serangkaian langkah reformasi ini secara umum membawa perbaikan dan kemajuan di sejumlah aspek. Insentif materi bukan lagi menjadi masalah karena perusahaan kini dimungkinkan menikmati laba yang diperolehnya sehingga mampu mengembangkan perusahaannya serta memberikan bonus kerja terhadap pegawainya. Terdapat pula peningkatan hasil bruto produk industri sebesar 10% setiap tahunnya pada periode (1978-1986) yang akhirnya berimbas pada peningkatan pendapatan negara sebesar 8,7% setiap tahun. Tabel-tabel di bawah ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah perusahaan swasta dan jumlah nilai produksi bruto dari sektor industri berdasarkan tipe kepemilikannya.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
16
Tabel 2.1. Pertumbuhan perusahaan swasta (1989-1993)
Sumber: Liu Yingqiu, “Development of Private Entrepreneurship in China: Process, Problems and Countermeasures”, 2003, hal 2 Presented at the Global Forum – Entrepreneurship in Asia: 4th U.S.-Japan Dialogue. April 16, 2003. http://www.mansfieldfdn.org/backup/programs/program_pdfs/ent_china.pdf diakses pada tanggal 16 Juni 2012 pukul 03.32 WIB. Telah diolah kembali.
Tabel 2.2. Jumlah perusahaan dan total nilai output bruto berdasarkan kepemilikan (1991-1993) Item
1991
1992
1993
Number of Enterprises (10 000) State-Owned Enterprises Collective-Owned Enterprises #Township Enterprises Village Enterprises Joint Enterprises Individual-Owned Enterprises in Urban and Rural Areas Other Ownership Enterprises
807.96 10.47 157.72 22.96 67.52 51.35 638.67
861.21 10.33 164.06 22.95 70.97 54.64 685.40
991.16 10.47 180.36 20.98 77.73 64.42 797.12
1.08
1.42
3.21
Gross Output Value of Industry (100 000000 yuan) State-Owned Enterprises Collective-Owned Enterprises #Township Enterprises Village Enterprises
26625
34599
48402
14955 8783 2401 2347
17824 12135 3534 3632
22725 16464 5374 5163
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
17
(sambungan) Joint Enterprises Individual-Owned Enterprises in Urban and Rural Areas Other Ownership Enterprises
569 1287
870 2006
1322 3861
1631
2688
5174
Sumber: 中华人民共和国统计局 National Bureau of Statistics of China. http://www.stats. gov.cn/ english/ statisticaldata/yearlydata/YB1996e/L12-1e.htm. Diakses pada tanggal 16 Juni 2012 pukul 00.42 WIB.
c) Kebijakan “Pintu Terbuka” Tujuan utama dari penerapan kebijakan ini adalah memicu perkembangan perdagangan luar negeri dan investasi asing di Cina. Keduanya merupakan metode untuk mengumpulkan cadangan valuta asing, sekaligus mengimpor IPTEK, modal, dan kemampuan manajerial yang dibutuhkan untuk menyukseskan
program
modernisasi
(Hsü,
1990:188-189).
Untuk
meningkatkan pangsa pasar dan daya saingnya di perdagangan luar negeri, Cina melakukan diversifikasi produk, meningkatkan kontrol kualitas, mendevaluasi mata uang yuan, dan mempelajari praktik bisnis internasional. Ketika mengimpor, senantiasa mempertimbangkan tiga kriteria utama: harga, kualitas yang baik, dan pengaturan pembiayaan sesuai kesepakatan.
Tabel 2.3. Total nilai ekspor dan impor (1978-1993)
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
18
Sumber: 中华人民共和国统计局 National Bureau of Statistics of China. http://www. stats.gov.cn/english/statisticaldata/yearlydata/YB2002e/htm/q1703e.htm Diakses pada tanggal 16 Juni 2012 pukul 23.29 WIB.
Pemerintah Cina juga melakukan sejumlah langkah dalam rangka membangun lingkungan dan iklim investasi yang kondusif, di antaranya: (1) Tahun 1979 empat Zona Ekonomi Khusus (经济特区 Jingji Tequ) dibuka, masing-masing terletak di Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen yang diperuntukkan khusus bagi pihak asing untuk berinvestasi; (2) Membuka empat belas “kota pembangunan pesisir (沿海开放城市 Yanhai Kaifang Chengshi)” dan juga Pulau Hainan pada tahun 1984 juga untuk investasi asing; (3) Menjadi tuan rumah bagi konferensi internasional untuk mengiklankan proyek yang membutuhkan saran, modal, peralatan, managemen, dan pemasaran asing; (4) Memberikan otonomi kepada pemerintah daerah untuk mengatur perihal investasi di daerah setempat; (5) Mengesahkan sejumlah regulasi tentang perpajakan, pertanggungjawaban, proteksi hak paten, dan merek dagang asing; (6) Penjelasan tentang prosedur arbitrasi, kompensasi buruh, dan repatriasi laba asing dari Cina (Hsü, 1990: 191). Tahun 1992-1993 merupakan periode puncak penerimaan Foreign Direct Investment (FDI) di Cina. Tingkat penerimaan FDI pada tahun 1992 mengalami peningkatan sebesar 385% dengan total nilai US$58,1 milyar. Total FDI ini meningkat kembali pada tahun 1993 hingga mencapai US$110,9 milyar. Serangkaian regulasi mengenai operasi pasar yang diberlakukan sejak tahun 1992-1993 menjadi salah satu faktor yang memicu kemajuan ini. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang Persatuan Dagang (1992), UndangUndang Perusahaan (1993), dan Ketetapan tentang pajak pertambahan nilai, pajak konsumsi, dan pajak bisnis serta pajak penghasilan perusahaan (1993) (Dang, 2002: 16).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
19
Grafik 2.2. Aliran FDI tahunan cina 1980-1993 Keterangan: Nilai dalam satuan milyar Dolar AS. Sumber: Dang, Xiaobang. “Foreign Direct Investment in China“. 2008, hal 3. Laporan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Master of Arts Department of Economics College of Arts and Sciences Kansas State University, Manhattan. Telah diolah kembali.
2.1.2
Kebutuhan akan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan:
Reformasi yang Belum Selesai Pada Kongres PKC XIV tahun 1992, dalam pidatonya yang berjudul “Percepat Reformasi dan Keterbukaan terhadap Dunia Luar, dan Pemicu Modernisasi Agar Mencapai Kesuksesan yang Lebih Besar dalam Membangun Sosialisme Berkaraktersitik Cina“ (加快改革开放和现代化建设步伐,夺取有 中国特色社会主义事业的更大胜利), Jiang Zemin menegaskan bahwa PKC akan tetap mengikuti garis utama partai. Garis utama partai itu adalah “satu tugas pokok, dua poin dasar”, yakni pembangunan ekonomi (tugas pokok) dan kepatuhan terhadap Empat Prinsip Utama dan implementasi reformasi (poin dasar).
改革开放十多年来,市场范围逐步扩大,大多数商品的价格已经 放开,计划直接管理的领域显著缩小,市场对经济活动调节的作用大 大增强。实践表明,市场作用发挥比较充分的地方,经济活力就比较 强,发展态势也比较好。我国经济要优化结构,提高效益,加快发 展,参与国际竞争,就必须继续强化市场机制的作用。实践的发展和 认识的深化,要求我们明确提出,我国经济体制改革的目标是建立社 会主义市场经济体制,以利于进一步解放和发展生产力。
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
20
(Setelah reformasi dan keterbukaan berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun, ruang lingkup pasar berkembang dengan sangat signifikan. Sebagian besar harga komoditas telah diliberalisasi, perencanaan. Bidang yang direncanakan dan dikelola langsung juga dipersempit. Pengaruh pasar terhadap pengaturan aktivitas perekonomian kian menguat. Hasil mplementasi menunjukkan bahwa pengaruh pasar berperan di area yang lumayan komprehensif, kekuatan pasar pun lumayan kuat, tendensi pembangunan juga lumayan baik. Ekonomi Cina harus mengoptimalkan konstruksinya, meningkatkan profit, mengakselerasikan pembangunan, berpartisipasi dalam persaingan global, dan harus melanjutkan penguatan pengaruh mekanisme pasar. Pengembangan implementasi dan pendalaman pengetahuan menuntut kita untuk menyatakan secara eksplisit bahwa sistem tujuan dari reformasi sistem ekonomi Cina adalah membangun sistem ekonomi pasar sosialis, dalam rangka meliberalisasi dan mengembangkan kekuatan produksi.)2 Jiang juga menyebutkan bahwa dalam 14 tahun masa reformasi yang telah berjalan, kekuatan pasar telah berfungsi secara ekstensif di Cina. Oleh karena itu, Cina harus terus mengintensifkan kekuatan pasar karena itulah yang membuat perekonomian Cina maju pesat.
Dapat disimpulkan bahwa agenda reformasi
ekonomi masih menjadi prioritas utama pemerintah. Jiang juga menyatakan secara eksplisit bahwa tujuan reformasi struktur ekonomi adalah membangun ekonomi pasar sosialis demi membebaskan dan memperluas kekuatan produksi 3 lebih jauh lagi (http://cpc.people.com.cn; Wang, 2005:7). Hal ini juga merupakan indikasi bahwa Cina melihat adanya kebutuhan untuk melanjutkan reformasi demi memperkuat kekuatan produksi yang dibutuhkan dalam konstruksi sosialisme. Terlebih lagi, pada kenyataannya reformasi yang berlangsung di dalam negeri Cina masih menyisakan ‘pekerjaan rumah’ dan juga menghadapi sejumlah hambatan yang harus diatasi agar program reformasi dapat berjalan optimal. Adapun beberapa proyek reformasi yang masih membutuhkan penyelesaian, antara lain (Song, 2000: 86-89; Qian, 2003: 39-40):
2
“江泽民在中国共产党第十四次全国代表大会上的报告(1992年10月12日)” (Laporan Jiang Zemin pada Kongres PKC XIV 12 Oktober 1992 ) http://cpc.people.com.cn/GB/64162/64168/64567 /65446/4526311.html diakses pada tanggal 02 Juni 2012 pukul 13.04 3 Teori Kekuatan Produksi atau Determinisme Kekuatan Produksi adalah konsep kunci dalam Marxisme yang menekankan pentingnya kemajuan perangkat teknis dan kekuatan produksi utnuk mampu mencapai Sosialisme dan selanjutnya Komunisme yang hakiki. Kekuatan produksi mengacu pada kombinasi alat-alat produksi—meliputi peralatan, mesin, tanah, infrastruktur—dan kekuatan buruh manusia. Marx menyebutkan bahwa alat-alat produksi atau alat-alat buruh akan berkurang nilainya jika tidak dioperasikan oleh buruh manusia.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
21
a)
Reformasi perusahaan Negara (BUMN) Terlepas dari berbagai upaya revitalisasi BUMN yang telah diluncurkan
pemerintah,
tingkat
efisiensi
perusahaan
negara
tidak
menunjukkan perbaikan yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan oleh total laba dan pajak BUMN yang menurun dari 24,2% pada tahun 1978 menjadi <10% pada tahun 1993. Kerugian yang diderita BUMN pun meningkat secara drastis setiap tahunnya. Masalah ini akhirnya berimbas pula pada sektor lain, yakni perbankan mengingat BUMN mengandalkan pinjaman bank sebagai modal. Inefisiensi BUMN mengakibatkan akumulasi non-performing loan 4 hingga mencapai >20% dari total utang yang belum terlunaskan. Salah satu faktor yang menyebabkan buruknya kinerja BUMN adalah karena ketergantungan BUMN kepada negara dalam menjual produk mereka, intervensi berkelanjutan dari pemerintah, dan struktur produk dan industri yang tidak efisien (Parker: 9). Sebagai konsekuensi dari masuknya Cina dalam WTO, Pemerintah akan memberikan keleluasaan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di Cina. Hal ini berarti menambah pesaing bagi BUMN yang diharapkan dapat memberikan motivasi bagi penyelesaian reformasi BUMN ini. Keanggotaan Cina di WTO diharapkan dapat mendukung upaya Pemerintah untuk menangani sejumlah isu kunci dari reformasi BUMN yang belum terselesaikan, seperti hak properti, kepemilikan, dan kekuasaan badan hukum. b) Reformasi Sektor Finansial Sektor finansial pun terkena imbas dari buruknya kinerja BUMN. Hal ini dikarenakan BUMN menyerap sebagian besar kredit dari bank sentral. Selain itu, sistem lama tidak akan cukup untuk mengelola desentralisasi ekonomi yang telah dilakukan Cina sejak 1978. Sistem pasar membutuhkan seperangkat aturan hukum yang lebih komprehensif yang menjamin mekanisme ekonomi pasar dapat berjalan dengan baik. Perangkat aturan tersebut akan menjadi alat manajemen makroekonomi yang dibutuhkan Cina untuk mengontrol volatilitas dan fluktualitas ekonomi. 4
Non-Performing Loan adalah pinjaman bank yang tidak kunjung dibayar cicilan dan bunganya oleh kreditor hingga 90 hari.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
22
Grafik 2.3. Tingkat inflasi dan PDB cina Sumber: Macroeconomic Policy, Inequality and Poverty Reduction in India and China, C. P. Chandrasekhar and Jayati Ghosh, hal 29. Telah diolah kembali.
c) Minimalisasi Kesenjangan Sosial dan Pembentukan Sistem Kesejahteraan Sosial Kebijakan
Pintu
Terbuka
dilakukan
secara
bertahap
dan
eksperimental di daerah-daerah tertentu. Hal ini memberikan kelebihan bagi daerah penerima FDI karena menjadi penerima transfer modal, sains, dan teknologi dari luar. Tak ayal lagi, tingkat kesejahteraan hidup penduduk di deaerah khusus, seperti Zona Ekonomi Khusus atau kota pesisir, jauh lebih baik dibandingkan penduduk di daerah Cina sebelah Barat. Pendapatan penduduk perkotaan dua kali lipat lebih tinggi daripada penduduk di Cina bagian Barat Laut dan 60% lebih tinggi daripada penduduk di Cina bagian Barat Laut (Saich, 2002: 8).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
23
d) Korupsi yang Merajalela Implementasi sistem pasar secara parsial menjadi salah satu penyebab maraknya kasus korupsi (Qian, 2003: 40). Campuran sistem pasar dan perencanaan memberikan celah bagi petinggi atau birokrat yang menguasai sektor ekonomi untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Penyalahgunaan tersebut dapat berupa meminta uang sogok sebagai syarat pemrosesan birokrasi, menghindari pajak, dan lain-lain.
2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (社会主义市场经济体制) Cina 2.2.1
Sistem Ekonomi Pasar Sosialis: Hasil Sinifikasi Sistem Pasar oleh
Intelektual Cina Sistem ekonomi pasar sosialis ( 社 会 主 义 市 场 经 济 体 制 ) merupakan “kategori baru dari Marxisme yang telah diintegrasikan dengan kondisi Cina“ (Yang, 245). Kemunculannya pertama kali dilandasi oleh istilah sistem ekonomi komoditas sosialis yang dikemukakan oleh Zhuo Jiong5. Istilah ekonomi pasar sosialis sudah dipergunakan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1979 dalam pidatonya dengan berlandaskan pada prinsip Sosialisme Berkarakteristik Cina (Wang, 2005:2). Konsep ini merupakan hasil pemikiran para intelektual Cina. Hal ini berbeda dengan transisi sistem pasar di sebagian besar negara pecahan Uni Sovyet dan Eropa Timur yang bergantung pada penasehat ekonomi asing dalam merumuskan sistem pasarnya. Walau demikian, tidak dapat dinafikan bahwa pengetahuan dan teori ekonomi Barat menjadi salah satu inspirasi dalam formulasi sistem ekonomi pasar ini. Pengetahuan dan teori ekonomi Barat ini masuk ke Cina melalui pertukaran akademis dengan negara Barat dan Eropa Timur yang terjadi sepanjang tahun 1980-an. Pada periode yang sama juga berlangsung perdebatan di kalangan intelektual mengenai langkah-langkah strategi reformasi. Perdebatan tersebut terjadi untuk menyikapi masalah reformasi BUMN yang stagnan dan kekacauan makroekonomi. Para pemimpin di ranah ekonomi beserta para pakar ekonomi 5
Zhuo Jiong (桌炯) , 1908-1987, merupakan salah satu pakar ekonomi ternama di Cina. Zhuo Jiong meneliti tentang adopsi dan implementasi ekonomi pasar terhadap perekonomian Cina hingga akhirnya berhasil mengembangkan dan mengajukan teori ekonomi komoditas sosialis pada tahun 1961. Teori ini baru diaplikasikan pada periode kepemimpinan Deng Xiaoping.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
24
terbagi menjadi dua kubu utama, yakni golongan pemimpin dan ekonom yang mengadvokasi dan mempertahankan perencanaan sebagai langkah reformasi, dan golongan pemimpin dan ekonom yang merekomendasikan reformasi berorientasi pasar. Golongan pertama menganggap bahwa masalah yang dihadapai Cina kala itu adalah akibat dari ketidaktepatan orientasi reformasi Cina ke arah pasar, sedangkan
golongan kedua
berpendapat
bahwa masalah terjadi
akibat
implementasi sistem pasar yang tidak ideal dan parsial. Xue Muqiao6 mengajukan reformasi pada sistem kontrol harga dan jalur sirkulasi dalam rangka menghapus sistem kontrol harga secara bertahap dan mengkontruksi pasar komoditas dan finansial. Namun, gagasan golongan kedua belum dapat diterima sepenuhnya saat itu dan perdebatan berakhir dengan hasil negosiasi dan kompromi politik yang menetapkan ekonomi terencana sebagai pilar utama dan mekanisme pasar sebagai suplemen (Wu, 2005:26). Walaupun demikian, gagasan yang dikembangkan pada masa ini berkontribusi dan mempengaruhi perumusan sistem ekonomi pasar sosialis pada tahun 1992-1993 (Qian, 2003:41). Sejumlah ide utama yang dibahas pada perdebatan intelektual, antara lain (1) Pembentukan institusi pendukung pasar, seperti sistem perpajakan dan finansial, serta liberalisasi harga (2) Reformasi hak properti, kepemilikan dan saham. Pada tahun 1990-an dilakukan studi komprehensif mengenai aspek-aspek sistem ekonomi pasar, termasuk kedua hal tersebut. Sebuah tim peneliti pada tahun 1990—ketika reformasi Cina terpuruk pasca insiden Lapangan Tiananmen 1989—mulai merancang desain terintegrasi dari reformasi ekonomi. Tim peneliti ini
menggunakan konsep ekonomi institusional baru dan ekonomi neoklasik
untuk mempelajari berbagai aspek reformasi ekonomi guna mencari ‘jalan tengah‘ dan mampu merumuskan sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi Cina sekaligus mengakomodir kepentingan Cina, yakni adopsi sistem pasar sekaligus kepatuhan terhadap unsur ekonomi sosialis7. Adapun aspek reformasi 6
Xue Muqiao ( 薛 暮 桥 ), 1904-2005, adalah salah satu pakar ekonomi Cina. Dalam transformasi ekonomi Cina, Xue memberikan kontribusinya dengan mengembangkan teori ekonomi berbasis pasar di Cina. Xue juga memegang sejumlah jabatan kenegaraan penting, seperti Sekretaris Jenderal Komisi Ekonomi dan Finansial di Dewan Administrasi Pemerintah, Direktur Jenderal Biro Statistik Nasional, dan konsultan untuk Kantor Dewan Negara untuk Restrukturisasi Sistem Ekonomi. 7 Ekonomi Neoklasik merupakan konsep ekonomi yang menekankan bahwa mekanisme pasar persaingan bebas tanpa intervensi pemerintah, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
25
ekonomi yang dipelajari mencakup sistem moneter dan fiskal baru, kebijakan moneter pada periode transisi, konvertabilitas mata uang, reformasi BUMN, dan lain-lain 8 . Tidak hanya berbasis teori, para intelektual juga belajar dari pengalaman negara Eropa Timur dalam sistem ekonomi pasar. Pengalaman reformasi ekonomi selama lebih dari 10 tahun juga membuat Cina lebih familiar dengan konsep dan praktik sistem pasar. Kombinasi pengetahuan ekonomi Barat, pengalaman praktik ekonomi pasar, serta konsep ekonomi sosialis inilah yang menjadi bahan baku bagi para ekonom Cina untuk memformulasikan konsep sistem ekonomi pasar sosialis (Qian, 2003: 40-42). Formula ekonomi pasar sosialis ini kemudian dikemukakan oleh Jiang Zemin pada Kongres PKC XIV 1992-1993. 2.2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis Berdasarkan Kongres PKC XIV Tahun 1992-1993 Dalam laporan pada Kongres PKC XIV tanggal 12 November 1992 di Beijing, Jiang Zemin mengemukakan bahwa sistem ekonomi pasar sosialis harus menjadi pedoman bagi rencana pembangunan dan reformasi Cina ke depan.
我们要建立的社会主义市场经济体制,就是要使市场在社会主义 国家宏观调控下对资源配置起基础性作用,使经济活动遵循价值规律 的要求,适应供求关系的变化;通过价格杠杆和竞争机制的功能,把 资源配置到效益较好的环节中去,并给企业以压力和动力,实现优胜 劣汰;运用市场对各种经济信号反应比较灵敏的优点,促进生产和需 求的及时协调。同时也要看到市场有其自身的弱点和消极方面,必须 加强和改善国家对经济的宏观调控。我们要大力发展全国的统一市 场,进一步扩大市场的作用,并依据客观规律的要求,运用好经济政 策、经济法规、计划指导和必要的行政管理,引导市场健康发展。
keseimbangan dan efisiensi serta membawa kesejahteraan optimal yang bagi semua orang. Ekonomi Neoklasik memiliki tiga asumsi dasar utama, yakni ‘kelangkaan’, ‘kompetisi’, dan ‘rasionalitas instrumental’. Adapun Ekonomi Institusional Baru atau Ekonomi Kelembagaan Baru (EKB) adalah konsep ekonomi yang menggagas pentingnya eksistensi organisasi ekonomi untuk mengatur perekonomian. EKB menerima asumsi dasar ekonomi neoklasik mengenai ‘kelangkaan’ dan ‘kompetisi’, namun menolak asumsi mengenai ‘rasionalitas instrumental’ yang membuat ekonomi neoklasik menjadi teori nirkelembagaan (institusion-theory). EKB menggagas kelembagaan non-pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan lain-lain) untuk mengompensasi kegagalan pasar akibat kehadiran informasi yang tidak sempurna, eksternalitas produksi , dan barang-barang publik.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
26
(Sistem ekonomi pasar sosialis yang harus kita bangun menjadikan pasar di bawah kontrol makroekonomi negara sebagai fungsi fundamental dalam alokasi sumber daya, menjadikan aktivitas perekonomian mengikuti tuntutan aturan pasar sebagai hukum harga, menyesuaikan diri terhada perubahan relasi pasokan dan permintaan; melalui dampak pengungkit harga dan mekanisme kompetisi, membawa pengalokasian sumber daya ke arah sektor efisiensi yang baik, dan juga memberikan tekanan sekaligus otoritas gerak, mewujudkan mekanisme ‘keberlangsungan hidup bagi pihak yang terkuat’; menggunakan pasar yang memiliki kelebihan dapat merespon dengan peka terhadap berbagai sinyal ekonomi, memajukan koordinasi yang sigap antara produksi dan permintaan. Pada saat yang bersamaan, juga harus menyadari bahwa sistem pasar memiliki sisi kekurangan dan negatifnya tersendiri, karenanya kita harus memperkuat dan meningkatkan kontrol makroekonomi negara terhadap ekonomi. Kita harus sekuat tenaga mengembangkan pasar terpadu nasional, memperluas pengaruh pasar lebih lanjut, sejalan dengan tuntutan regulasi yang objektif, menggunakan kebijakan ekonomi yang baik, perundang-undangan ekonomi, pedoman perencanaan dan administrasi yang diperlukan, demi memandu pengembangan pasar yang sehat.) Dalam pembahasan “Sepuluh tugas utama pembangunan ekonomi dan reformasi pada tahun 1990-an”, pembangunan sistem ekonomi pasar sosialis menjadi hal yang pertama kali disebutkan oleh Jiang. Tujuan utama sistem sistem ekonomi pasar sosialis adalah memantapkan sistem pasar yang berlaku pada perekonomian Cina, atau dalam redaksi Jiang disebutkan “menjadikan kekuatan pasar—di bawah kontrol makroekonomi 9 (宏观调控 Hongguan Tiaokong) oleh negara—sebagai metode utama dalam mengatur alokasi sumber daya dan menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan hukum nilai serta responsif terhadap relasi dinamis antara suplai dan permintaan.” Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa sekalipun pemerintah Cina berniat menguatkan kekuatan pasar, ia masih berusaha mempertahankan kontrol atas ekonomi pasar yang berlaku di Cina (Wang, 2005: 7). Hal ini mencerminkan aspek sosialis dari sistem ekonomi tersebut.
9
Makroekonomi merupakan cabang ilmu ekonomi yang membahas mengenai mengenai interelasi antara total kegiatan ekonomi dengan masalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, dan kebijakan nasional ekonomi pemerintah (kebijakan finansial maupun moneter). Adapun mikroekonomi adalah cabang ilmu ekonomi lain yang mempelajari perihal pengambilan keputusan oleh individu, rumah tangga, dan organisasi dalam mengatur distribusi sumber daya yang terbatas di pasar
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
27
Yang Cheng Xun dalam “Answers to Several Questions about Socialist Market Economy”menyebutkan sejumlah kriteria dari ekonomi pasar sosialis. Pertama, perusahaan negara (BUMN) merupakan basis utama dari ekonomi pasar sosialis. BUMN dibarengi dengan perusahaan swasta bersama-sama bersaing di pasar. Deng Xiaoping menyatakan bahwa ekonomi pasar bukanlah fitur yang dimiliki kapitalisme secara eksklusif. Ekonomi pasar bukan pula hanya dapat diterjuni oleh perusahaan swasta saja. Hal ini berarti ekonomi pasar pun dapat diterapkan di masyarakat sosialisme. Hal ini berarti pula bahwa perusahaan negara dan perusahaan swasta dapat berpartisipasi dalam persaingan pasar dengan sistem ekonomi pasar sosialis mengatur interrelasi antarkeduanya. Jiang dalam pidato Kongres XIV juga menekankan bahwa perusahaan kolektif milik rakyat (BUMN) tetap berperan utama dan harus menjadi pemain utama ketika berkompetisi dengan perusahaan lain dalam pijakan yang sama. Dalam hal ini, superioritas perusahaan negara dijadikan indikator lain bagi bertahannya karakteristik sosialisme. Kedua, pensosialisan atau proses mengintegrasikan unsur sosialis, merupakan pengikat antara unsur sosialis dan ekonomi pasar dalam sistem ekonomi pasar sosialis. Pensosialisan ini meliputi dua hal, yakni kekuatan produksi dan relasi produksi. Makna dari pensosialisan produksi ini adalah proses perubahan proses produksi skala kecil di masa lampau menjadi sebuah proses sosial yang produknya diperuntukkan demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Pensosialisan produksi terdiri atas dua bagian: (1) “Divisi” atau pengalokasian, yang berarti pengalokasian lebih baik ke dalam buruh sosial yang professional, bentuk yang mendasar berupa rangkaian sirkulasi-pertukaran produk (komoditas) yang terjadi melalui pasar sebagai medium; (2) “Koneksi“, yang berarti hubungan sosial yang kian dekat. Dengan eksistensi keduanya, hubungan antarprodusen kian dekat dan karenanya terbentuklah kekuatan produksi baru yang komprehensif berbasis kepercayaan (reliability). Kedua hal tersebut tidak hanya dimiliki oleh perusahaan swasta, melainkan juga dimiliki oleh perusahaan negara. Perusahaan negara mampu menghasilkan produk yang terjangkau dan berkualitas baik sehingga dapat menyesuaikan diri, mengeksplor dan menguasai pasar. Dalam pasar ekonomi sosialis, sektor ekonomi milik negara (BUMN) memiliki kekuatan hidup
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
28
yang besar dan memegang tanggung jawab yang lebih besar sehingga memerlukan biaya reformasi yang lebih besar di Cina. Ketiga, ekonomi pasar sosialis berkembang dengan berpedomankan pada “Empat Prinsip Utama (四项基本原则 Si Xiang Jiben Yuanze)“, yakni jalan sosialis (社会主义道路 Shehuizhuyi Daolu), kediktatoran demokrasi rakyat (人民 民主专政 Renmin Minzhu Zhuanzheng), kepemimpinan PKC (共产党的领导 Gongchandang de Lingdao), dan Marxisme-Leninisme-Pemikiran Mao (马列注 意 、 毛 泽 东 思 想 Maliezhuyi, Maozedong Sixiang). Ekonomi pasar sosialis dijalankan dengan tetap memperhatikan kepatuhan terhadap keempat prinsip tersebut. Secara spesifik, ekonomi pasar sosialis dan ekonomi pasar kapitalis berbeda dalam lima aspek, yakni: (1) Basis ekonomi, (2) Lingkungan dan kondisi—ekonomi pasar sosialis dipengaruhi oleh kekuatan negara, hukum, budaya yang merefleksikan kepentingan kaum borjuis, sedangkan ekonomi pasar sosialis dipandu oleh kekuatan rakyat di bawah kepemimpinan PKC yang berarti dipengaruhi oleh peradaban sosialis, menekankan pendidikan sosialisme, dan dikontrol oleh sistem hukum sosialis, (3) Tingkat kontrol makro—ekonomi pasar kapitalis bergantung pada pasar sepenuhnya dalam mengalokasikan sumber daya sehingga menyebabkan lemahnya kontrol makro dan mengalihkan perhatian atas fluktuasi
ekonomi
periodik
semacam
krisis.
Ekonomi
pasar
sosialis
memanfaatkan pasar untuk mengalokasikan sumber daya dan di waktu yang sama menerapkan kontrol makro sehingga dapat mencegah fluktuasi yang menyebar luas dan mengumpulkan kekuatan demi melaksanakan proyek besar. Inilah yang dimaksud oleh Deng Xiaoping “perencanaan dan pasar sama-sama diperlukan“. (4) Tujuan pelayanan—Ekonomi pasar kapitalis melindungi kaum borjuis sehingga perangkat regulasinya pun bertujuan mengakomodir kaum borjuis untuk memperkaya diri, seperti ekspansi bisnis ke luar negeri. Sebaliknya, ekonomi pasar sosialis bertujuan membangun kekuatan produksi dan meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk mencegah polarisasi kekayaan, strategi “meminta mereka yang kaya untuk membantu yang tidak berada” pun dilakukan. Proteksi dan bantuan untuk pengentasan kemiskinan pun menjadi prioritas. (5) Sifat kontradiksi sosial—Dalam ekonomi pasar, setiap pihak bersaing dengan ketat untuk memenangkan kepentingannya masing-masing sehingga memunculkan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
29
kontradiksi. Kontradikasi dalam ekonomi pasar kapitalis bersifat ”antagonis” dan “tak dapat diselesaikan sendiri”, sedangkan dalam ekonomi pasar sosialis, kontradiksi terjadi di antara rakyat karena ekonomi sosialis berbasis kepemilikan umum dan merepresentasikan kepentingan rakyat. Dari uraian di atas, dapat dikatakan secara umum bahwa ekonomi pasar sosialis merupakan bentuk adopsi sistem pasar secara lebih komprehensif dan terarah dengan sistem kontrol makro oleh pemerintah sebagai pengawasnya. Ekonomi pasar sosialis bertujuan untuk memperkuat daya saing perusahaan kolektif milik umum agar dapat menunjukkan superioritas sistem sosialis (Yang, 250). 2.2.3
Strategi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis
Selanjutnya, Jiang memaparkan pula beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka membangun sistem ekonomi pasar sosialis, meliputi: a) Meningkatkan Vitalitas dan Efisiensi Kerja Perusahaan Negara Hal ini dapat tercapai dengan membuat definisi yang jelas antara hubungan kepemilikan dan managemen perusahaan. Selain itu, diperlukan adanya pemisahan antara fungsi pemerintah dan perusahaan melalui penyerahan otonomi kepada perusahaan negara—khususnya tingkat besar dan menegah— agar mereka dapat menjadi entitas legal yang bertanggung jawab penuh atas keputusan yang dibuat, baik terkait operasi perusahaan, ekspansi perusahaan, maupun profit dan kerugian yang mereka dapatkan. Pemisahan ini ditempuh melalui sistem pemegang saham perusahaan. b) Mempercepat Implementasi Sistem Pasar secara Komprehensif Pembangunan pasar komoditas harus dipercepat, khususnya untuk barang modal. Pasar finansial juga harus segera disempurnakan, termasuk pasar surat obligasi, saham, dan jaminan lain yang dapat dinegosiasikan. Selain itu, pasar teknologi, buruh, informasi, dan real estate juga harus turut dimatangkan sehingga terbentuklah sistem pasar nasional terintegrasi yang terbuka untuk semua. Regulasi dan aturan pasar harus diperkuat, membongkar batas antardaerah, melarang embargo, dan mencegah terjadinya monopoli demi mendorong kompetisi pada pijakan yang sama.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
30
c) Memantapkan Sistem Distribusi Sosial dan Sistem Jaminan Sosial Sistem ini meliputi 3 hal, yakni: (1) Perpajakan—perusahaan membayar pajak plus sekian persen dari profit, pendapatan pajak berbagi antara pimpinan pusat dan daerah; (2) Pembayaran Gaji—memperkenalkan secara bertahap beberapa sistem berbeda yang cocok bagi setiap organ perusahaan, institusi, dan pemerintahan, sekaligus memperkenalkan mekanisme kenaikan gaji yang normal; (3) Jaminan Sosial—berupa jaminan bagi pengangguran dan manula, jaminan kesehatan, serta perumahan di perkotaan dan pedesaan. d) Mempercepat Transformasi Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Perekonomian Hal ini dilakukan dengan mengeliminasi segala bentuk intervensi pemerintah pada area yang menjadi otoritas perusahaan. Adapun fungsi pemerintah adalah untuk
membuat
rencana
umum,
mengawasi
seluruh
kebijakan
diimplementasikan dengan baik, menawarkan panduan dengan mensuplai informasi, mengorganisir dan mengkoordinasikan, menyediakan pelayanan dan menginspeksi. Supervisi dilakukan pemerintah melalui sistem dan metode manajemen makro dan pembagian tanggung jawab secara rasional kepada pemerintah daerah di bawah kontrol pemerintah pusat. Selain dari keempat langkah di atas, pembangunan sistem ekonomi pasar sosialis turut didukung dengan agenda reformasi lain. Agenda reformasi ini merupakan bagian dari “Sepuluh Tanggung Jawab Reformasi Ekonomi dan Pembangunan pada Tahun 1990-an” (九十年代改革和建设的主要任务) yang dicetuskan Jiang Zemin. Adapun kesepuluh tanggung jawab tersebut sebagai berikut. 1. Mempercepat reformasi ekonomi sembari membangun ekonomi pasar sosialis (围绕社会主义市场经济体制的建立,加快经济改革步伐), 2. Lebih membuka diri pada dunia luar dan memanfaatkan dana asing, sumber daya, teknologi, dan keahlian managemen secara lebih baik (进一步扩大对 外开放,更多更好地利用国外资金、资源、技术和管理经验), 3. Menyesuaikan dan mengoptimalkan struktur produksi, mengerahkan diri pada pembangunan pertanian, dan mempercepat pembangunan industri dasar,
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
31
fasilitas infrastruktural, dan industri tersier (调整和优化产业结构,高度重 视农业,加快发展基础工业、基础设施和第三产业), 4. Mempercepat kemajuan di bidang sains dan teknologi serta melakukan upaya khusus untuk mengembangkan pendidikan dan memberi ruang gerak bagi kemampuan para intelektual (加速科技进步,大力发展教育,充分发挥知 识分子的作用). 5. Mengeksploitasi kelebihan khusus dari masing-masing daerah, mempercepat perkembangan ekonominya, dan merasionalkan distribusi geografis untuk berbagai sektor pada ekonomi (充分发挥各地优势,加快地区经济发展,促进全 国经济布局合理化),
6. Mendorong reformasi struktur politik dan memajukan demokrasi sosisalis dan sistem legal (积极推进政治体制改革,使社会主义民主和法制建设有一个较大的 发展),
7. Mereformasi sistem administrasi dan struktur organisasi PKC dan pemerintah agar membawa perubahan pada fungsinya, meluruskan hubungan di antaranya, dan meningkatkan efisiensi (下决心进行行政管理体制和机构改革, 切实做到转变职能、理顺关系、精兵简政、提高效率),
8. Terus memupuk kemajuan materi dan budaya serta ideologi yang masingmasing memiliki tingkat kepentingan yang setara (坚持两手抓,两手都要硬, 把社会主义精神文明建设提高到新水平),
9. Melanjutkan peningkatan standar hidup rakyat dan mengontrol pertumbuhan populasi secara ketat serta memperkuat preservasi lingkungan (不断改善人民 生活,严格控制人口增长,加强环境保护), dan
10. Memperkuat kekuatan tentara dan meningkatkan kemampuan pertahanan demi menjamin reformasi, politik pintu terbuka, dan pembangunan ekonomi berjalan dengan lancar (加强军队建设,增强国防实力,保障改革开放和经济建 设顺利进行).
Selain tugas pertama, program reformasi lain pun turut mendukung pembentukan struktur ekonomi pasar sosialis. Sebagai contoh tugas kedua: “Lebih membuka diri pada dunia luar dan memanfaatkan dana asing, sumber daya, teknologi, dan keahlian managemen secara lebih baik“, berarti Cina akan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
32
membuka lebih banyak daerah sebagai target penerima investasi asing dan transaksi ekonomi yang berbasis teknologi dan manajemen yang profesional. Selain itu, Cina juga menargetkan peningkatan perdagangan luar negeri melalui diversifikasi produk dan partner dagang, peningkatan kualitas komoditas ekspor, serta melakukan impor untuk mendapatkan akses kurs asing dan teknologi canggih.
2.3
Implementasi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (1994-2001) dan hasil
Reformasi—Pra Keanggotaan WTO Sesuai dengan hasil perumusan sistem ekonomi pasar sosialis, di awal tahun 1994
mulai
diterapkan
sejumlah
langkah
reformasi
dalam
rangka
menyempurnakan peran pasar dalam perekonomian Cina. Adapun langkahlangkah tersebut mencakup lima area, yakni (1) Reformasi valuta asing, (2) Reformasi fiskal dan pajak, (3) Reformasi finansial, (4) Reformasi perusahaan negara, (5) Pembentukan sistem jaminan sosial (Qian, 2003: 42). Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana implementasi program-program tersebut pada periode tahun 1994-2001 sebelum Cina memperoleh keanggotaan di WTO. 2.3.1
Reformasi Valuta Asing Sebelum tahun 1994, pasar valuta asing diliberalisasi secara parsial dengan
menerapkan sistem harga dualistis. Valuta asing dijual dengan dua harga berbeda, yakni harga pasar dan harga pemerintah. Pada 1 Januari 1994, dualisme harga ini dihapuskan
dan
pemerintah
memberlakukan
harga
pasar.
Pemerintah
menyediakan subsidi tahunan dalam mata uang Yuan bagi organisasi yang sebelumnya membeli valuta asing dengan harga murah selama tiga tahun. Subsidi ini berfungsi sebagai kompensasi pemerintah atas kerugian yang mungkin mereka derita akibat kenaikan harga valuta asing. Pada tahun 1996, pemerintah meningkatkan konvertibilitas Yuan dengan mengizinkan transaksi valuta asing terhadap mata uang Yuan. Hal ini berarti Yuan menjadi jauh lebih mudah diakses dan ditukarkan sehingga memberi kemudahan pada berlangsungnya transaksi perdagangan global 10 . Pada periode 1994-1998 nilai tukar tergolong stabil dan
10
Sejak kebijakan Reformasi dan Keterbukaan dijalankan tahun 1978, sistem dual-track currency diadopsi. Yuan hanya dapat dipergunakan secara domestik, sedangkan orang asing
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
33
bahkan mengalami apresiasi atas Dollar hingga mencapai CN¥8,3 untuk US$1. Selain itu, cadangan mata uang asing Cina meningkat pada periode ini dari US$21 milyar hingga mencapai US$ 145milyar. Hal ini tentulah berdampak suportif terhadap upaya Cina dalam melakukan perdagangan global, khususnya impor. Nilai cadangan valuta asing yang besar juga membantu menjaga stabilitas dan kekuatan nilai tukar Yuan di pasar valuta asing. 2.3.2
Reformasi Fiskal dan Pajak Pada 1 januari 1994, pemerintah memberlakukan sistem fiskal dan pajak
sesuai praktik internasional. Dalam reformasi perpajakan, pajak pemerintah lokal dan pusat dibedakan. Pembedaan ini direalisasikan dalam dua hal utama, yakni pertama, pemerintah mendirikan biro pajak nasional dan biro pajak lokal yang masing-masing bertanggung jawab pada pemungutan pajak di area kerjanya masing-masing; kedua, pemerintah menetapkan regulasi terkait proporsi pembagian pendapatan pajak yang tetap antara pemerintah pusat dan lokal. Pengesahan “Undang-Undang Anggaran“ baru pada tahun 1995 merupakan bentuk terobosan di bidang reformasi fiskal. Undang-undang ini secara tegas mengatur perilaku pemerintah dalam hal pemanfaatan anggaran, baik pemasukan maupun pengeluaran. Pemerintah pusat dilarang untuk meminjam dana dari bank sentral dan juga mendefisitkan rekening. Jika pemerintah pusat membutuhkan modal, pemerintah harus menggadaikan surat obligasi pemerintah sebagai jaminan atas tindakan mendefisitkan rekening pemerintah. Hal yang sama berlaku bagi pemerintah lokal. Pemerintah lokal dibatasi dalam mengajukan pinjaman pada pasar finansial dan pengeluaran surat obligasinya. Pemerintah daerah di semua tingkat diwajibkan menjaga agar pengeluarannya sama dengan pemasukan, atau dengan kata lain memiliki anggaran berimbang. Demi menjamin penerapan undang-undang tersebut Lembaga Audit Negara dibentuk pada tahun 1996. Sejumlah langkah reformasi ini membawa dampak rehabilitatif terhadap masalah menurunnya persentase pendapatan anggaran pemerintah dari total PDB. diharuskan memiliki sertifikat valuta asing. Barulah pada akhir 1980-an dan 1990-an Cina berupaya meningkatkan konvertabilitas Yuan dengan menetapkan nilai tukar mata uang yang realistis dan menghapuskan sistem dual-track currency.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
34
Pada tahun 1995, tercatat bahwa porsi pendapatan pemerintah adalah sebesar 10,7% APBN dari 11,2% APBN pada tahun 1994. Namun, akhirnya meningkat secara konsisten hingga pada tahun 2001 mencapai 17,1% dari total PDB.
Tabel 2.4. Persentase pendapatan pemerintah terhadap PDB
Catatan: Utang domestik dan luar negeri tidak termasuk dalam tabel ini Sumber: 中 华 人 民 共 和 国 统 计 局 National Bureau of Statistics of China. http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata/yearlydata/YB2002e/htm/h0802e.htm Diakses pada tanggal 14 Juni 2012 pukul 23.45 WIB.
Sekalipun demikian, Qian Yingyi dan Wu Jinglian mengevaluasi bahwa pada reformasi fiskal dan pajak masih terdapat sejumlah masalah yang belum terselesaikan, seperti masalah transfer pendapatan antara pemerintah pusat dan lokal dan sistem fiskal dan pajak sub-provinsi yang bermasalah. Masalah lain adalah adanya biaya-biaya off-budgetary dan extra-budgetary yang menimbulkan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
35
resiko fiskal serta menyebabkan ketidakakuratan rencana fiskal yang telah dibuat pemerintah sebelumnya11 (Qian, 2003: 43). 2.3.3
Reformasi Moneter dan Finansial Reformasi pada sektor finansial dimulai dengan sentralisasi operasi bank
sentral negara pada tahun 1993. Sejak saat ini, bank sentral memiliki wewenang untuk mengawasi bank-bank lokal, menggantikan pemerintah daerah tempat bank lokal tersebut berada. Langkah selanjutnya adalah pengesahan “Undang-Undang Bank Sentral” pada tahun 1995 yang menetapkan bahwa pemerintah lokal tidak lagi berwewenang mencampuri kebijakan moneter. Bank Sentral lah satu-satunya pihak yang dapat terlibat dalam pembuatan kebijakan moneter. Berikutnya, Bank Sentral membentuk 9 bank cabang regional lintas provinsi sebagai pengganti dari 30 bank provinsi. Kesembilan bank tersebut berlokasi di Shenyang, Tianjin, Shanghai, Wuhan, Xi’an, Nanjing, Jinan, Chengdu, Guangzhou. Empat bank terbesar di Cina—Bank Komersil Cina, Bank Pertanian Cina, Bank Cina, dan Bank Pembangunan Cina—menjadi sasaran utama program reformasi finansial. Sejumlah upaya komersialisasi dilaksanakan terhadap keempat bank tersebut. Setelah “Undang-Undang Perbankan Komersil” disahkan pada tahun 1995, keempat bank tersebut mengadopsi standar akuntansi internasional untuk penghitungan aset bank dan manajemen resiko. Pada tahun 1998,
pemerintah
memperluas
wewenang
bank-bank
tersebut
untuk
mengalokasikan kredit dengan tetap mempertimbangkan persyaratan cadangan standar, manajemen pertanggungjawaban aset, dan regulasi tingkat bunga. Sebagai bank komersil, bank-bank tersebut tidak diperbolehkan memegang saham di suatu perusahaan. Namun, terlepas dari berbagai langkah reformasi yang telah dilakukan, reformasi di bidang finansial belum menuai hasil yang diharapkan. Hal ini disebabkan terhambatnya reformasi di bidang lain yang terkait dengan reformasi finansial, yakni badan usaha milik negara dan bank milik negara. Keduanya samasama kepemilikan kolektif yang akan terus menyita sumber daya dan bahkan 11
Off-budgetary adalah pengeluaran pemerintah yang perhitungannya tidak dimasukkan atau dihitung dalam anggaran negara. Pengeluaran semacam ini pada umumnya didanai dari sumber dana lain. Extra-budgetary merupakan pengerluaran pemerintah yang tidak direncanakan dalam anggaran negara.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
36
menghambat akses sumber daya bagi perusahaan lain jika program reformasinya tidak kunjung berhasil (Qian, 2003: 45).
2.3.4
Reformasi Perusahaan Negara Slogan “tangkap yang besar, lepaskan yang kecil“ (抓大放小 Zhua Da
Fang Xiao) mendampingi pelaksanaan privatisasi BUMN skala kecil dan menengah besar-besaran pada tahun 1995. Walaupun sempat surut pada tahun 1998 akibat krisis finansial Asia tahun 199712 , arus privatisasi melaju kembali pada tahun 1999. Pemecatan pegawai perusahaan negara secara masif hingga lebih dari 10 juta pekerja juga terjadi antara periode tahun 1996 hingga 1998. Hal ini diharapkan menciptakan kompetisi di kalangan para pekerja sekaligus demi efisiensi sumber daya perusahaan. Terdapat peningkatan dalam bidang ini. Setelah tahun 1995, terdapat penurunan pada jumlah pekerja di perusahaan negara yang berarti masalah kelebihan tenaga kerja teratasi selama program reformasi BUMN berjalan.
Grafik 2.4. Jumlah perusahaan negara Cina dan pegawainya (1978-2002) 12
Tahun 1997 krisis finansial melanda negara-negara di kawasan Asia, seperti Thailand, Korea Selatan, Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Filipina akibat anjloknya (devaluasi) nilai mata uang negara-negara tersebut. Hal ini akhirnya juga berimbas pada pasar saham dan harga aset yang menurun dan pembengkakan utang konsumen (consumer debt). Cina merupakan salah satu negara yang tidak secara signifikan terpengaruh krisis ini walaupun akhirnya mengalami penurunan permintaan dan kepercayaan dunia bisnis di areanya.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
37
Sumber: Yoshihiro Hashiguchi, “China’s Reform of State-Owned Enterprises and Their Speed of Employment Adjustment”, hal 2. Graduate School of International Cooperation Studies (GSICS) Working Paper Series No. 10 Oktober 2006 Kobe University.
Kemajuan di bidang efisiensi SDM di atas, tidak terjadi pada bagian lain reformasi BUMN. Sejumlah langkah yang dilakukan demi mereformasi bidang kepemilikan dan corporate governance 13 mengalami kegagalan dan terhambat oleh masalah lain. Pertama, belum adanya diversifikasi kepemilikan perusahaan negara. Pada tahun 1997, dilakukan eksperimen yang melibatkan 100 perusahaan negara yang bertujuan menawarkan sebagian saham perusahaan tersebut kepada para investor. Bentuk diversifikasi kepemilikan perusahaan tersebut berupa mendaftarkan saham BUMN skala besar pada pasar saham domestik dan internasional, dan menjual saham kepada orang dalam atau dengan kata lain manajeman dan pegawai untuk BUMN skala kecil-menengah (Tenev dan Zhang, 2002: 1). Namun, pada akhirnya >80% dari perusahaan tersebut masih di bawah kepemilikan negara. Kedua, konflik antara “Tiga Komite Lama” dan “Tiga Komite Baru” menghambat kinerja perusahaan. “Tiga Komite Lama“ meliputi komite PKC, komite perwakilan pegawai, dan persatuan buruh, sedangkan “Tiga Komite Baru” adalah rapat pemegang saham, rapat jajaran direktur, dan rapat komite pengawas. Reformasi BUMN juga bertujuan untuk melakukan ‘korporatisasi‘ perusahaan negara, menjadikan perusahaan negara beroperasi layaknya sebuah badan usaha berbadan hukum yang memiliki otonomi dan tanggung jawab atas kinerjanya. Untuk mencapai hal ini, selama proses reformasi dibentuklah “Tiga Komite Baru” bersamaan dengan eksistensi “Tiga Komite Lama”. Banyaknya badan representastif semacam ini pada praktiknya hanyalah formalitas dan akhirnya perusahaan dijalankan dengan metode tradisional. Walaupun regulasi terkait corporate governance telah secara resmi diadopsi, profesionalisme dewan direktur pun bermasalah (Tenev dan Zhang, 2002: 43-44). Fungsi komite yang mirip (overlapped) membuat konflik kepentingan antara 13
Corporate Governance merujuk pada seperangkat prinsip yang menjadi pedoman bagi suatu perusahaan dalam beroperasi agar mampu mencapai targetnya dan memuaskan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder), meliputi dewan direktur, pemegang saham, konsumen, pegawai, dan masyarakat. Prinsip-prinsip itu di antaranya transparansi dalam bertransaksi dan membuat keputusan, bertanggung jawab atas komitmen terhadap pemenuhan hak-hak stakeholders, serta berbisnis dengan integritas. Corporate governance adalah satu satu paramenter bagi investor asing untuk menentukan perusahaan penerima investasi mereka.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
38
“Tiga Komite Lama” dan “Tiga Komite Baru” tidak dapat dihindarkan sehingga mempengaruhi
efisiensi
pengambilan
keputusan
dan
eksekusinya,
serta
menghambat kinerja perusahaan secara umum. Ketiga, pemerintah mengutus ratusan “inspektur khusus“ ekternal (稽查特派员 Jicha Tepaiyuan) BUMN skala besar untuk mengawasi kinerja perusahaan tersebut. Namun, pihak ini tidak bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelesaian corporate governance ini karena sebagian besar dari mereka adalah pensiunan petingggi birokrat yang tidak menguasai akuntansi finansial dan bisnis. Keempat, pemerintah Cina membentuk “Komite Kerja Perusahaan Besar“ (大企业工委 Daqiye Gongwei) sebagai bagian dari Komite Sentral PKC menggantikan “inspektur khusus“. Komite ini bertugas untuk menentukan manajer utama dari BUMN skala besar (Qian, 2003: 45) .
2.3.5
Pembentukan Sistem Jaminan Sosial
Deng Xiaoping menyatakan bahwa kelebihan utama sistem sosialisme adalah mencegah polarisasi kekayaan atau berarti menjamin kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Cina. Oleh karena itu, pembentukan sistem jaminan sosial ini merupakan salah satu instrumen penting bagi Cina guna merealisasikan hal tersebut. Selain itu, jaminan sosial juga membantu memperlancar reformasi BUMN, mengurangi beban negara, sekaligus menghindari ketidakstabilan sosial yang dipicu masalah kesenjangan sosial (Qian, 2003: 46; Cook, 2000: 17). Reformasi jaminan sosial di Cina utamanya ditujukan bagi penduduk urban. Jaminan sosial ini dikemas dalam tiga program (Cook, 2000: 13-14), yakni: (1) Asuransi Sosial—mencakup biaya pensiun, perawatan kesehatan dan asuransi tuna karya. Dana untuk asuransi sosial ini berasal dari kontribusi pegawai dan perusahaan yang mempekerjakannya serta dikelola oleh Kementrian Buruh dan Jaminan Sosial Cina. (2) Bantuan bagi Pegawai yang Diberhentikan (下岗 Xiagang)—meliputi biaya kebutuhan hidup standar dan biaya pembayaran asuransi kesehatan, tuna karya, dan pensiun yang dikelola oleh Pusat Pelayanan Pasca-Cuti (再就业服 务中心 Zaijiye Fuwu Zhongxin) yang dibentuk oleh perusahaan. Bentuk bantuan ini merupakan langkah transisional selama periode restukturisasi
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
39
yang kritis (1998-2001). Program ini juga dikelola oleh Kementrian Buruh dan Jaminan Sosial Cina. (3) Kontribusi
sosial
bagi
Pihak
Tidak
mampu
(means-tested
social
contribution)—meliputi uang kebutuhan hidup standar yang diperuntukkan bagi mereka yang pendapatan per kapita nya lebih rendah dari standar hidup minimum (最低生活保障线 Zuidi Shenghuo Baozhangxian). Program ini pertama kali diluncurkan pada tahun 1993 di Shanghai dan mulai diberlakukan secara nasional pada tahun 1996. Pembiayaan berasal dari anggaran pemerintah lokal dan sebagian dari pemerintah pusat yang diberikan menurut skala prioritas bagi daerah yang kurang maju. Tujuan umum pembentukan sistem jaminan sosial menurut keputusan November 1993 adalah bertransformasi dari sistem pensiun berbasis perusahaan di bawah sistem terencana terpusat, menjadi sistem yang menggabungkan “tanggung jawab sosial” dan “rekening individu”. Terjadi perdebatan mengenai proporsi tanggung jawab pembiayaan jaminan sosial ini. Pada tahun 1997, Dewan Negara mengesahkan kerangka pembiayaan jaminan sosial: biaya wajib sebesar 11% dari total gaji pegawai harus masuk ke rekening jaminan sosial dengan rincian 8% dibayarkan oleh pegawai, 3% dari total gaji dibayarkan oleh perusahaan. Adapun jumlah dana tanggung jawab sosial yang harus dibayar oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh pemerintah sendiri dan berkisar 17% dari total gaji pegawai tersebut. Namun, proporsi ini pun bermasalah dalam dua hal: (1) Biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk buruh membengkak mengingat harus memperhitungkan kewajiban membayar pajak dana pensiun yang sangat tinggi sebesar 28% dari total gaji; (2) Masalah kompensasi jaminan sosial bagi pegawai tua belum dapat terselesaikan. Proposal untuk menggunakan surat obligasi pemerintah atau aset negara sebagai kompensasi tidak terlaksana. Akibatnya, sebagian dari rekening pribadi pegawai baru harus ‘dikorbankan’ terlebih dulu karena dana jaminan sosial yang mereka bayarkan dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar jaminan sosial bagi pegawai tua yang telah keluar dari perusahaan (Qian, 2003: 47). Selain itu, konsistensi implementasi dan pemerataan distribusi menjadi masalah lain yang menghambat pencapaian reformasi jaminan sosial ini.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
BAB III KEANGGOTAAN CINA DI WTO DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENERAPAN SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS DI CINA
3.1 Sekilas Mengenai WTO sebagai Promotor dan Regulator Liberalisasi Perdagangan Global World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi tingkat global yang memiliki misi utama melakukan liberalisasi perdagangan dunia. Organisasi ini memiliki seperangkat regulasi terkait transaksi perdagangan internasional yang berlangsung antara sesama negara anggota WTO. Organisasi ini dibentuk pada 1 Januari 1995 sebagai hasil pertemuan Uruguay Round pada tahun 1994 menandai memprakarsai hasil transformasi organisasi perdagangan dunia General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sekaligus memprakarsai pendirian WTO. WTO juga merupakan forum negosiasi bagi negara anggotanya untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut hambatan perdagangan bebas atau konflik
kepentingan
antarnegara
dalam
hal
perdagangan
internasional
(www.wto.org). 3.1.1 Prinsip Sistem Perdagangan WTO Sebagai organisasi perdagangan dunia, WTO menyusun seperangkat regulasi yang komprehensif dan kompleks demi dapat menjamin terlaksananya perdagangan internasional yang bebas dan adil. Regulasi tersebut mencakup aspek pertanian, tekstil dan konveksi, perbankan, telekomunikasi, belanja negara, standar produksi dan keamanan produk, regulasi sanitasi makanan, hak intelektual, dan lain-lain. Dalam Understanding WTO (WTO, 2008: 10-13) disebutkan bahwa secara umum WTO menetapkan lima prinsip perdagangan fundamental, yaitu: a) Perdagangan tanpa diskriminasi Sebagai anggota WTO, setiap negara tidak boleh mendiskriminasikan partner dagang tertentu. Semua kemudahan transaksi perdagangan luar negeri yang berlaku bagi satu negara partner dagang—seperti pajak bea cukai yang rendah untuk barang atau jasa tertentu—harus diberikan pula kepada partner
40
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
41
dagang yang lain. Dengan kata lain, setiap negara anggota WTO harus memberlakukan seluruh partner dagang sebagai Most-favored-nation (MFN). Selain istilah Most-favored-nation, istilah lain yang terkait perilaku nondiskriminatif dalam perdagangan adalah national treatment. Istilah ini mengandung makna bahwa setiap negara harus memperlakukan komoditas asing sama dengan komoditas dalam negeri (treating foreigners and locals equally). Hal ini harus berlaku pula bagi layanan jasa, merek dagang, hak cipta, dan hak paten, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. b) Perdagangan yang Lebih Bebas: Secara Bertahap, Melalui Negosiasi Langkah WTO dalam menciptakan sistem perdagangan yang lebih bebas adalah dengan menghilangkan hambatan perdagangan (trade barriers), di antaranya berupa tarif bea cukai utnuk barang impor, proteksionisme berupa larangan impor atau penetapan kuota impor untuk komoditas tertentu. Hal tersebut bertujuan menciptakan pasar yang lebih terbuka. Perjanjian WTO memberikan
waktu
penyesuaian
kepada
negara
anggotanya
untuk
menerapkan sistem ini secara bertahap (progressive liberalization). Negaranegara berkembang biasanya diberikan waktu lebih panjang untuk memenuhi tanggung jawab pada aspek ini. c) Prediktabilitas: Melalui Pengikatan Komitmen dan Transparansi Langkah WTO yang lain dalam memicu proliferasi perdagangan bebas adalah melalui peningkatan prediktabilitas dan transparansi transaksi. Untuk meningkatkan prediktabilitas dalam perdagangan, WTO mengikat komitmen anggotanya untuk tidak menaikkan tarif dan bahkan menurunkan tarif impor. Maksud dari pengikatan komitmen adalah ketika satu negara bersedia membuka pasar, komitmennya ini ditunjukkan secara konkret melalui kebijakan tertentu. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan batas maksimum tarif bea cukai untuk impor barang. Besar tarif dapat berubah selama telah disepakati kedua belah pihak, negara importir dan eksportir. Kepastian besar tarif inilah yang menjamin stabilitas dan prediktabilitas dalam perdagangan. Adanya stabilitas dan prediktabilitas ini menjadi salah satu daya tarik bagi investor di suatu negara. Peningkatan investasi dan perdagangan dapat
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
42
menciptakan lapangan pekerjaan serta menguntungkan konsumen dengan tersedianya beragam pilihan barang dengan harga yang murah akibat persaingan antarperusahaan. Meningkatkan predikatabilitas dapat pula dilakukan dengan melarang pembatasan kuota impor. Selain itu, segala peraturan mengenai kebijakan perdagangan nasional harus disosialisasikan secara luas dan jelas. WTO melalui Trade Policy Review Mechanism memonitor hal ini demi menjamin transparansi praktik perdagangan domestik maupun internasional. d) Promosi Kompetisi yang Adil Misi utama WTO adalah menjamin kondisi yang adil bagi berlangsung perdagangan bebas. Peraturan mengenai sikap non-diskriminatif terhadap partner dagang atau larangan dumping merupakan contoh bentuk upaya WTO merealisasikan misinya tersebut. e) Dukungan atas Pembangunan dan Reformasi Ekonomi Perdagangan bebas yang diusung oleh WTO diyakini dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi dengan menaikkan pendapatan negara. Partisipasi dalam WTO memberikan akses pada anggotanya untuk mendapatkan bantuan teknis demi mempercepat proses transisi menuju sistem pasar dan komitmen WTO lainnya, seperti seminar, pelatihan, dan lokakarya mengenai kebijakan perdagangan yang relevan. Bagi negara yang kurang berkembang, WTO memberikan fleksibilitas dalam menerapkan semua prinsip WTO. Pada waktu yang bersamaan, mereka juga diberikan kesempatan mengakses pasar yang jauh lebih luas bagi komoditas domestik.
3.1.2 Proses Keanggotaan WTO Setiap negara yang ingin bergabung dengan WTO harus melaui empat tahap dari proses keanggotaan WTO. Adapun tahapan dan deskripsi masingmasing tahap sebagai berikut (WTO, 2008: 105). a)
Tell us about yourself—Tahap pertama adalah pemerintah negara yang mendaftar harus menyampaikan segala aspek terkait kebijakan ekonomi dan perdagangan dalam bentuk memeorandum. Memorandum ini akan diperiksa
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
43
oleh tim kerja yang ditugaskan khusus untuk meproses pendaftaran negara yang bersangkutan. b) Work out with us individually what you have to offer—Tahap kedua merupakan tahap negosiasi bilateral antara calon anggota baru WTO dengan masing-masing negara. Proses negosiasi bilateral ini berperan penting demi menjamin diberikannya status keanggotaan WTO karena keberhasilan negosiasi berarti dukungan bagi proposal keanggotaan negara bersangkutan. Negosiasi ini membicarakan nilai tarif dan komitmen kemudahan akses atas pasar tertentu, serta kebijakan-kebijakan lain mengenai barang dan jasa, yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Hasil negosiasi berlaku bagi semua anggota WTO lainnya walaupun tidak semuanya diikutsertakan dalam negosiasi bilateral. c) Let’s draft membership terms—Tahap ketiga ditempuh ketika negosiasi bilateral tuntas dan tim kerja telah selesai memeriksa memorandum kebijakan ekonomi negara calon anggota WTO. Tim kerja akan menyusun persyaratan keanggotaan dalam dokumen tertulis berupa konsep pakta keanggotaan (protocol of accession) dan daftar komitmen calon anggota. d) The decision—Laporan tim kerja, protokol, dan daftar komitmen diajukan kepada WTO General Council atau Konferensi Menteri. Jika 2/3 dari anggota WTO menyetujui pemberian keanggotaan pada calon negara anggota, negara tersebut akan secara resmi menjadi anggota WTO yang baru dengan penandatanganan protokol keanggotaan.
3.2 Faktor-Faktor Pemicu Cina untuk Mendapatkan Keanggotaan WTO Keanggotaan Cina dalam WTO merupakan salah satu peristiwa monumental sepanjang sejarah Cina karena ia menandai kembalinya Cina sebagai salah satu pemain dalam dunia perdagangan internasional dengan disertai pengakuan dari banyak negara lain sebagai partner dagang yang setara. Upaya Cina yang kontinu selama limabelas tahun demi mendapatkan status keanggotaan WTO tentulah mencerminkan hasrat kuat dari Cina untuk bergabung di dalamnya.Cina tetap mengupayakan bergabung dalam WTO sekalipun Cina harus
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
44
menerima konsekuensi berupa tuntutan perubahan kebijakan-kebijakan Cina, seperti kebijakan terkait sistem hukum, sistem ekonomi dalam negeri, dan sistem perdagangan luar negeri. Kenyataannya, terdapat sejumlah faktor yang mendorong Cina bergabung dalam institusi perdagangan internasional ini. Adapun faktor-faktor pendorong itu sebagai berikut. 3.2.1 Faktor Pendorong Ekonomi Adapun motivasi ekonomi yang melatarbelakangi keanggotaan Cina dalam WTO sebagai berikut. a) Motivasi Penyelesaian Reformasi—Sebagaimana telah dipaparkan pada bab II, reformasi BUMN Cina menghadapi banyak kendala sehingga belum mencapai hasil yang diharapkan. Efisiensi perusahaan pun tidak membaik walaupun pemerintah telah mengupayakan sejumlah kebijakan domestik untuk mereformasi BUMN. Akhirnya pemerintah merasa faktor eksternal lain diperlukan sebagai insentif alternatif yang mampu mendorong reformasi yang lebih radikal dan sukses. Keanggotaan WTO dianggap dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. WTO dengan segala peraturannya dipercaya dapat memberikan tekanan yang mendorong BUMN untuk bersegera mereformasi diri agar mampu bersaing dengan perusahaan lain dalam kompetisi di pasar (Chu, 2004:11-12). Dengan makin leluasanya perusahaan asing beroperasi di Cina
pascakeanggotaan
WTO,
BUMN
dipaksa
berkompetisi
demi
mempertahankan eksistensinya dan menunjukkan keunggulannya sebagai representasi fitur ekonomi sosialis. Keberadaan perusahaan swasta asing juga menjadi model konkret dari jenis perusahaan ideal dalam ekonomi pasar. Hal ini berarti mereka dapat menajdi contoh bagi praktik perusahaan modern sebagaimana Cina harapkan. Di samping itu, WTO mensyaratkan Cina mereformasi berbagai sistem dan peraturan sesuai standar WTO untuk mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi liberalisasi perdagangan. Dengan demikian, keanggotaan Cina dalam WTO juga menjadi pemicu ekstra bagi Cina untuk mempercepat penyelesaian reformasi menuju sistem pasar (Prime, 2002:5).
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
45
b) Ekspansi Pasar Tujuan Ekspor Cina—Hal ini selaras dengan tujuan kebijakan Pintu Terbuka yang tetap dilaksanakan pada masa pemerintahan Jiang Zemin. Cina berniat menyandarkan ekonominya pada aktivitas ekspor (export-oriented economy) (http://cpc.people.com.cn). Tak pelak lagi, Cina membutuhkan akses pasar yang luas agar mampu meningkatkan ekspornya. Dengan bergabung WTO, Cina memiliki akses ke lebih dari 100 negara sebagai calon konsumen. Ditambah lagi dengan comparative advantage yang dimiliki produk Cina—harga yang bersaing, diversifikasi produk, dan kualitas yang memadai—peluang peningkatan ekspor Cina pun kian besar. Semakin lancar bisnis ekspor Cina, semakin besar pula kesempatan Cina mengumpulkan cadangan kurs asing sebagai modal pembangunan dalam negeri. Tersedianya akses pasar yang luas ini juga dapat memfasilitasi upaya ekspansi bisnis perusahaan Cina, baik milik negara maupun milik swasta. Pemerintah mendukung agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat memperluas bisnis dan menanamkan investasinya di luar negeri. c) Impor
‘Bahan
Baku’
Reformasi
dan
Pembangunan—Ekspansi
perdagangan asing yang dapat dicapai melalui WTO memberikan kesempatan yang sama pada 140 negara anggota WTO lainnya. Hal ini berarti Cina juga menjadi juga menjadi target pasar menggiurkan bagi komoditas ekspor negara lain mengingat populasi Cina yang mencapai >1 milyar jiwa pada tahun 2001. Namun, Cina pun diuntungkan dengan kehadiran komoditas dan pebisnis asing di tanah mereka. Cina mendapatkan akses atas produk mereka, seperti teknologi. Pebisnis asing yang memiliki saham di perusahaan Cina ataupun yang mendirikan perusahaannya di Cina, juga menguntungkan Cina dalam hal memperbanyak investasi asing di Cina. Hal ini berarti melanjutkan proses transfer kemampuan bisnis (business skills) dan IPTEK. Tak ketinggalan, kehadiran perusahaan asing juga membantu upaya pemerintah Cina dalam mengentaskan pengangguran memalui perekrutan pegawai oleh perusahaan yang bersangkutan (Saich, 2002:5). Dapat disimpulkan bahwa pemicu Cina untuk menjadi anggota WTO tidak lain demi mendukung pencapaian pembangunan ekonomi Cina. Keanggotaan
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
46
WTO dianggap sebagai katalisator dalam mencapai target reformasi ekonomi Cina. 3.2.2 Faktor Pendorong Politik a)
Keinginan Cina untuk Mendapatkan Pengaruh Politik yang Lebih Besar Demi Proteksi atas Kepentingan Nasional Dengan memperoleh keanggotaan WTO, Cina memiliki hak untuk menyampaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam perdagangan internasional. Cina dapat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan dan penetapan regulasi perdagangan multilateral sehingga dapat turut memastikan bahwa tidak ada item yang akan membahayakan perdagangan Cina secara khusus ataupun kepentingan nasional Cina secara umum (Prime, 2002: 6). Cina juga ingin memastikan bahwa Taiwan tidak bergabung lebih dulu dari Cina. Kedudukan Cina sebagai anggota WTO membuat Cina dapat turut menentukan status permohonan keanggotaan WTO oleh Taiwan. b) Tindakan Antisipasi dan Pencegahan Embargo Ekonomi atas Cina— Peningkatan ekspor Cina menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Cina. Oleh karena itu, menjamin aktivitas ekspor dapat terus berjalan menjadi prioritas pemerintah Cina. Keanggotaan WTO diyakini dapat memberikan proteksi kepada Cina terhadap tindakan pembatasan kuota sejumlah komoditas ekspor Cina yang dilakukan Barat, seperti tekstil. Hal ini karena sesama anggota WTO harus memperlakukan satu sama lain sebagai Most-favored-nation.
3.3 Proses Keanggotaan Cina dalam WTO dan Hambatannya Upaya Cina untuk memperoleh status keanggotaan WTO tidak semulus yang Cina harapkan. Ketika pertama kali berusaha memperbarui status sebagai founding member GATT pada tahun 1955, pemerintah Cina mengajukan tiga argumen untuk mendukung proposalnya (Porath, 2004:11), yakni pertama, Cina masih berhak menjadi founding member WTO yang merupakan pengganti
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
47
institusional GATT mengingat Cina tidak pernah mengundurkan diri secara resmi dari GATT; kedua, Cina hanya bersedia menegosiasikan kebijakan terkait persetujuan tarif
sebagai syarat pembaruan status keanggotaan Cina. Cina
menganggap kekhasan sistem ekonomi yang diadopsi Cina tidak ada relevansi dengan negosiasi. Ketiga, Cina mengklaim diri sebagai negara berkembang sehingga berhak mendapat perlakuan khusus yang diberikan WTO khusus kepada negara berkembang. Namun, ketiga argumen tersebut ternyata tidak serta merta memuluskan proses keanggotaan Cina dalam WTO. Bahkan, dua dari tiga argumen Cina tersebut dipermasalahkan. Tim kerja WTO menilai bahwa Cina tidak dapat diklasifikasikan sebagai negara berkembang mengingat pertumbuhan ekspornya yang pesat. Sejak tahun 1990, kecuali tahun 1993, neraca perdagangan Cina selalu surplus. Selain itu, seiring dengan adanya perkembangan pertemuan Uruguay Round, kesepakatan tidak hanya menyangkut tarif, melainkan juga mencakup perdagangan jasa, pertanian, hak intelektual, dan aspek dari FDI. Proses negosiasi ini akhirnya baru membuahkan hasil lima belas tahun kemudian, tepatnya pada Desember 2001, bertepatan dengan diakuinya Cina sebagai anggota WTO ke-143 secara resmi. Cina sebagaimana calon anggota WTO sebelumnya, harus menempuh empat tahap proses keanggotaan. Empat tahap keanggotaan ini telah disinggung pada bagian sebelumnya. Namun, terdapat sejumlah faktor internal dan eksternal yang menghambat keberhasilan negosiasi Cina dalam hal ini. Tragedi Lapangan Tiananmen tahun 1989 berdampak pada dikenakannya sanksi ekonomi pada Cina oleh masyarakat global. Peristiwa ini juga mempengaruhi proses negosiasi Cina terkait keanggotaan GATT (Porath, 2004:12). Tim kerja yang dibentuk khusus tidak menindaklanjuti permohonan keanggotaan Cina. Awal tahun 1992 barulah tim kerja ini bergerak kembali. Selain masalah ini, kurangnya dukungan politik dalam negeri atas keanggotaan Cina dalam WTO juga menjadi faktor penghambat lain (Porath, 2004: 14-15). Munculnya protes dalam negeri sebenarnya dipicu oleh masalah yang terjadi antara Amerika Serikat dan Cina. Masalah pertama adalah United States Trade Representative (USTR) mempublikasikan hasil pertemuan AS-Cina
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
48
pada 7 April 1999, tanpa seizin pemerintah Cina. Situs USTR memaparkan sejumlah proposal Cina yang ditawarkan selama proses negosiasi dengan AS. Hal ini mengundang protes dari kalangan menteri, industri domestik, masyarakat yang tidak mengetahui isi detil dari proposal tersebut. Masalah kedua yang memicu kemarahan rakyat Cina adalah pengeboman kantor kedutaan besar Cina di Belgrade, Serbia oleh tentara AS. Peristiwa ini diklaim oleh AS sebagai kecelakaan, tetapi pemerintah Cina tidak melakukan apa-apa untuk meredakan protes publik yang menolak peristiwa tersebut sebagai pengeboman. Masalahmasalah ini tidak hanya membuat surutnya dukungan dalam negeri akan kebijakan pembaruan keanggotaan dalam WTO, tetapi juga menghambat proses negosiasi bilateral antara AS-Cina. Pembicaraan tentang keanggotaan Cina dalam WTO dilanjutkan pada bulan Agustus 1999. Keruntuhan Uni Sovyet tahun 1991 ternyata juga membuat pihak GATT berpikir lebih lama mengenai tindak lanjut terhadap permohonan keanggotaan Cina. Pasalnya, negara-negara pecahan Uni Sovyet merupakan negara yang juga dalam proses transisi politik dan ekonomi. GATT memperkirakan bahwa dalam periode yang tidak lama banyak negara akan mengajukan permohonan keanggotaan dalam WTO untuk mendampingi proses transisi ekonomi mereka sekaligus mendukung rencana pembangunan ekonomi. Proses keanggotaan Cina akan menjadi referensi bagi GATT untuk menentukan permohonan keanggotaan dari negara-negara baru tersebut, jika mereka mengajukan. Inilah salah satu alasan GATT berhati-hati dalam mempertimbangkan permohonan keanggotaan Cina. Selain itu, pada periode yang sama Council for Mutual Economic Assistance (COMECON)—organisasi ekonomi di bawah pimpinan Uni Sovyet yang beranggotakan negara-negara sosialis dan Blok Timur—pun turut runtuh (Porath, 2004:12-13). Faktor eksternal lain yang memperlambat proses negosiasi keanggotaan Cina adalah lamanya negosiasi bilateral dengan negara anggota WTO. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, proses negosiasi bilateral ini merupakan tahap kedua dari proses keanggotaan WTO. Cina harus bernegosiasi dengan 37 negara anggota WTO lain untuk menetapkan bentuk sistem ekonomi
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
49
yang kondusif bagi transaksi antarnegara sehingga dapat menguntungkan kedua belah pihak. Banyak negara khawatir akan keanggotaan Cina dalam WTO diakibatkan oleh sejumlah kebijakan proteksionisme Cina yang dianggap tidak adil dalam perdagangan internasional, seperti hambatan tarif sebesar 35%, kurangnya transparansi, dan keseragaman regulasi perdagangan, subsidi bagi BUMN dalam jumlah besar, tingkat konvertibilitas mata uang Yuan yang dipersulit, serta juga penegakan hukum hak intelektual yang tidak berjalan (Porath, 2004:15-16). Rangkuman proses keanggotaan Cina dalam WTO dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel 3.1. Cina dan Taiwan Bergabung dalam WTO: Peristiwa Penting Utama
1947
Republik Cina merupakan salah satu anggota awal dari General Agreement on Trade & Tariffs (GATT)
1949
Republik Rakyat Cina berdiri di Daratan Cina, sedangkan Republik China berpindah ke Taiwan Republik Cina keluar dari GATT; Republik Rakyat Cina mencela GATT karena alasan ideologis
1950 1986
Republik Rakyat Cina mendaftarkan diri untuk memperbarui status keanggotaan di GATT; Hong Kong bergabung sebagai area cukai 1990 Taiwan mendaftarkan diri untuk bergabung sebagai area cukai 1992 Taiwan memperoleh status sebagai pengamat (observer) dan kesepakatan informal pun disetujui bahwa Taiwan akan bergabung setelah Cina 1995 GATT digantikan dengan World Trade Organization (WTO) 15 November 1999 Amerika Serikat dan Cina mengumumkan perjanjian bilateral 19 May 2000 Uni Eropa dan Cina menyelesaikan perjanjian 24 May 2000 Parlemen AS memungut suara 237 : 27 untuk memberikan Hak Dagang Normal (Permanen Permanent Normal Trading Rights, PNTR) kepada Cina 19 September 2000 Senat AS mengambil suara 83:15 setuju atas PNTR untuk Cina 10 September 2001 Sesuai dengan hukum AS, Presiden Bush menandatangani penjanjian WTO bilateral AS-Cina 14 September 2001 Anggota WTO menyelesaikan perjanjian untuk keanggotaan Cina
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
50
11 November 2001
Para menteri WTO menerima Cina secara resmi sebaagi anggota, diikuti dengan Taiwan pada hari berikutnya
11 December 2001
Republik Rakyat Cina secara resmi menjadi anggota WTO yang ke-143
1 January 2002
Taiwan sebagai “Separate Customs Territory of Taiwan, Penghu, Kinmen and Matsu (TPKM)” secara resmi menjadi anggota WTO yang ke-144
Sumber: Prime, Penelope B., “China joins the WTO: How, Why and What Now? “ diterbitkan pada Business Economics, vol. XXXVII, No. 2 (April, 2002), hal. 7.
3.4 Hak dan Kewajiban Cina sebagai Anggota WTO 3.4.1
Hak Cina sebagai Anggota WTO Sebagai anggota WTO, Cina juga dapat menikmati hak yang sama
sebagaimananegara anggota lainnya. Adapun hak-hak fundamental sebagai anggota WTO sebagai berikut (http://www.globaltimes.cn). a.
Cina kini diakui secara permanen sebagai partner dagang setara (Mostfavored-nation) dan anggota WTO yang sah. Semua produk, layanan jasa, dan hak intelektual Cina dapat secara bebas diperdagangkan antaranggota WTO tanpa kendala apapun,
b.
Produk ekspor dan produk setengah jadi Cina mendapat perlakuan Generalized System of Preference (GSP). GSP merupakan program yang dirancang untuk memicu pertumbuhan ekonomi bagi negara berkembang dengan memberikan jalur masuk istimewa yang bebas bea cukai di negara maju,
c.
Mayoritas negara berkembang menikmati ketentuan keanggotaan istimewa yang disediakan WTO, seperti waktu ekstra untuk memenuhi komitmen keanggotaan WTO atau kesempatan mengakses pasar yang lebih besar dengan bantuan WTO,
d.
Cina dapat membuka atau memperluas akses pasar produk dan jasanya;
e.
Cina dapat memanfaatkan mekanisme resolusi konflik WTO dalam menyelesaikan konflik ekonomi dan perdagangan dengan negara lain. Mekanisme ini dipercaya sebagai solusi yang objektif dan adil serta dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pembangunan ekonomi,
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
51
f.
Cina berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan penetapan peraturan dagang dalam sistem perdagangan multilateral,
g.
Cina memiliki bargaining position dan political leverage yang dijamin oleh regulasi umum WTO sehingga memiliki hak untuk mengajukan langkahlangkah yang kontributif terhadap pembangunan ekonomi dan perdagangan Cina sendiri.
3.4.2
Kewajiban Cina sebagai Anggota WTO Berdasarkan Protocol on The Accession of The People's Republic of China
WTO tertanggal 23 November 2001, Bagian I tentang Ketentuan Umum pasal 2 menyebutkan: 2. The WTO Agreement to which China accedes shall be the WTO Agreement as rectified, amended or otherwise modified by such legal instruments as may have entered into force before the date of accession. This Protocol, which shall include the commitments referred to in paragraph 342 of the Working Party Report, shall be an integral part of the WTO Agreement.
Kewajiban atau komitmen Cina sebagai anggota WTO mengacu pada paragraf 342 Bagian VIII Kesimpulan pada Report of The Working Party on The Accession of China. Melalui hasil pengamatan dan negosiasi dengan representasi pemerintah Cina, ditetapkan bahwa terdapat sejumlah peraturan dan kebijakan Cina yang harus diubah sebagai kompensasi perolehan status keanggotaan WTO. 342. The Working Party took note of the explanations and statements of China concerning its foreign trade regime, as reflected in this Report. The Working Party took note of the commitments given by China in relation to certain specific matters which are reproduced in paragraphs 18-19, 22-23, 35-36, 40, 42, 46-47, 49, 60, 62, 64, 68, 70, 73, 75, 78-79, 83-84, 86, 91-93, 96, 100-103, 107, 111, 115-117, 119-120, 122-123, 126-132, 136, 138, 140, 143, 145, 146, 148, 152, 154, 157, 162, 165, 167-168, 170-174, 177-178, 180, 182, 184-185, 187, 190-197, 199-200, 203-207, 210, 212-213, 215, 217, 222-223, 225, 227-228, 231-235, 238-242, 252, 256, 259, 263, 265, 270, 275, 284, 286, 288, 291, 292, 296, 299, 302, 304-305, 307-310, 312-318, 320, 322, 331-334, 336, 339 and 341 of this Report and noted that these commitments are incorporated in paragraph 1.2 of the Draft Protocol.
Berdasarkan paragraf 342 di atas, terdapat 149 komitmen yang harus dipenuhi Cina sebagai anggota WTO. Secara umum komitmen Cina adalah sebagai berikut (www.wto.org).
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
52
a)
Cina harus memberikan perlakuan non-diskriminatif kepada semua anggota WTO. Cina harus mengakui hak dagang dan memberikan akses pasar kepada perusahaan maupun pebisnis asing sama seperti memperlakukan perusahaan atau pebisnis lokal,
b) Cina akan menghapuskan praktik pemberlakuan harga dualis dan juga pembedaan produk yang ditujukan untuk keperluan ekspor dan konsumsi dalam negeri, c)
Kontrol harga tidak boleh dilakukan untuk melakukan proteksi atas industri dan penyedia jasa domestik,
d) Perjanjian WTO akan diimplementasikan oleh Cina dalam cara yang seragam dan efektif dengan merevisi regulasi domestik dan mengesahkan regulasi baru dengan tidak menyalahi prinsip-prinsip yang terkandung dalam perjanjian WTO, e)
Pada tiga tahun pertama masa keanggotaan, semua perusahaan memiliki hak untuk
mengimpor
dan
mengekspor
semua
produknya
dan
memperdagangkannya di wilayah dengan beberapa pengecualian, f)
Cina tidak akan memberlakukan subsidi ekspor pada produk pertanian. Pada tahap awal, Cina akan mengurangi besanya subsidi menjadi 8,5% dari total hasil pertanian,
g) Cina berkewajiban menerapkan perjanjian TRIPS (Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights) secara total pada waktu yang disepakati, h) Meningkatkan
transparansi
terkait
kebijakan
ekonomi
dan
regulasi
perdagangan, dan i)
Berkewajiban membayar iuran keanggotaan yang sifatnya proporsional dengan nilai ekspor. Hasil negosiasi lain mengenai komitmen Cina di antaranya adalah Cina akan
mengeliminasi hambatan dagang dan memperluas akses pasar Cina bagi perusahaan atau pebisnis asing. Cina telah mengikat tarif dagang untuk tiap jenis barang impor yang berkisar antara 0-65%, seperti produk pertanian 15%, 65% khusus untuk produk sereal. Untuk produk industri, besar tarif mengalami penurunan sebesar 8,9% dengan kisaran antara 0-47%. Tarif sebesar 47% berlaku
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
53
untuk produk impor berupa film fotografis dan otomotif serta produk lain yang terkait. Tarif-tarif tersebut dihapuskan secara gradual maupun tidak, dengan batas maksimal eliminasi tarif selesai pada tahun 2010. Dengan berkomitmen pada WTO, Cina juga secara otomatis harus berkomitmen pada Agreement on Textiles and Clothing yang secara khusus mengatur perdagangan konveksi dan tekstil. Kuota atas produk tekstil berakhir pada tahun 2004, namun tetap ada mekanisme proteksi hingga tahun 2008 agar negara anggota WTO dapat menyesuaikan diri dengan masuknya Cina sebagai pesaing eksporter tekstil. Di bidang perdagangan jasa telekomunikasi, Cina harus memberikan izin pendirian perusahaan joint venture kepada supplier jasa asing sekaligus menyediakan layanan jasa di beberapa kota. Investasi asing dalam perusahaan patungan ini tidak boleh lebih dari 25%. Langkah ini akan terus ditingkatkan secara bertahap. Setelah satu tahun masa keanggotaan, wilayah operasi bisnis dapat diperluas ke kota lain dan jumlah investasi asing menjadi maksimal 35%. Setelah tiga tahun masa keanggotaan, batas maksimal jumlah investasi meningkat menjadi 49% dan setelah lima tahun keanggotaan perusahaan yang bersangkutan bebas berbisnis di seluruh Cina, tanpa ada batasan geografis. Di bidang perbankan, institusi perbankan asing diizinkan menyediakan jasa perbankan di Cina tanpa ada batasan klien dalam transaksi mata uang asing. Setelah dua tahun keanggotaan, institusi perbankan asing juga diperbolehkan melayani perusahaan Cina dan selanjutnya dapat menyediakan layanan perbankan bagi seluruh klien Cina. Selain itu, Cina juga harus mengizinkan perusahaan asuransi non-jiwa asing utnuk beroperasi membuka cabang atau perusahaan patungan di Cina dengan kepemilikan hingga 51%. Dalam dua tahun masa keanggotaan, perusahaan asuransi asing tersebut dapat mendirikan anak perusahaannya sendiri. Khusus bagi asuransi dengan resiko komersial berskala besar seperti, asuransi transportasi, penerbangan dan kelautan internasional, diizinkan memiliki maksimal 50% dari
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
54
saham perusahaan patungan yang dibentuknya di Cina. Setelah tiga tahun, kepemilikan dapat ditingkatkan menjadi 51%, sedangkan anak perusahaan asuransi diizinkan berdiri setelah lima tahun masa keanggotaan (www.wto.org).
3.5 Analisis Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (2001-2005) Kesimpulan mengenai pengaruh yang diberikan keanggotan WTO terhadap sistem ekonomi pasar sosialis dapat diperoleh melalui analisis mengenai dampak keanggotaan WTO secara khusus terhadap prinsip dan tujuan utama adopsi sistem ekonomi pasar sosialis itu sendiri. Untuk melakukan analisis, dapat dimulai dengan meninjau kembali pembahasan Konsep danStrategi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis pada Bab II. Tujuan utama sistem ekonomi pasar sosialis adalah. memantapkan sistem pasar yang berlaku pada perekonomian Cina di bawah kontrol makroekonomi (宏观调控 Hongguan Tiaokong) oleh negara. Adapun prinsip utama dari sistem ekonomi ini, yaitu: (1) Memanfaatkan kekuatan pasar, (2) BUMN sebagai basis utama ekonomi pasar ekonomi sosialis, dan (3) Empat Prinsip Utama sebagai pedoman. 3.5.1
Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem Pasar di Cina Bagaimanakah pengaruh keanggotaan Cina terhadap upaya adopsi sistem
pasar yang lebih komprehensif di Cina? Sistem pasar ditopang oleh tiga variabel utama, yakni liberalisasi harga, kepemilikan sektor swasta, dan ketetapan institusional (Lopez, 2005: 5-13). 3.5.1.1 Liberalisasi Harga Dalam hal liberalisasi harga, pemerintah Cina telah melakukan sejumlah langkah demi mencapai tujuan tersebut, yaitu penghapusan sistem kontrol harga, pengurangan besar tarif bea cukai, dan penghapusan kuota impor dan pembatasan hak dagang. Sejak tahun 2000 mekanisme kontrol harga dihapuskan secara efektif (OECD 2005). Kontrol harga hanya berlaku bagi produk tertentu secara terbatas, seperti tembakau dan farmasi—komoditas yang pengelolaannya dikontrol oleh pemerintah. Pada tahun 2003 tercatat bahwa hampir 100% transaksi dagang yang
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
55
terjadi telah menggunakan harga pasar. Tabel di bawah ini menunjukkan persentase transaksi dengan harga pasar.
Tabel 3.2. Proporsi transaksi dengan harga pasar (persentase volume transaksi)
Sumber: OECD, 2005. OECD Economic Surveys – China, Volume 2005/12, OECD, Paris.
Salah satu komitmen Cina sebagai anggota WTO adalah pengurangan tarif bea cukai bagi barang impor. Sejak menjadi anggota WTO, telah terdapat penurunan tarif bea cukai dari 15,6% (2001) menjadi 9,7% (2005). Tarif bea cukai untuk produk pertanian menjadi 15,3% pada tahun 2005, sedangkan untuk produk non-pertanian sebesar 8,8%.
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
56
Tabel 3.3. Rangkuman analisis tarif MFN Cina (2001-2005)
Sumber: WTO Trade Policy Review, Laporan oleh Secretariat – People’s Republic of China, WT/TPR/S/161/Rev.1 (26 Juni 2006). WTO.
Selain kedua langkah tersebut, Cina juga telah menghapuskan kebijakan kuota impor dan pembatasan hak dagang suatu negara tertentu untuk beroperasi di Cina. Hal ini tentulah hal utama yang WTO tuntut dari Cina karena bertentangan dengan prinsip utama perdagangan bebas WTO, yakni non-diskriminasi. Cina menghapuskan kuota impor pada tahun 2004. Larangan impor komoditas tertentu masih berlangsung di Cina hingga tahun 2005, namun kuantitasnya telah berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa keanggotaan WTO dalam Cina mendukung upaya Cina dalam menerapkan sistem pasar secara lebih komprehensif. Hal ini dapat terlihat dari kemajuan pada aspek liberalisasi harga, pengurangan tarif bea cukai, dan juga penghapusan kebijakan kuota impor dan pembatasan hak dagang. Namun, menurut laporan USTR pada tahun 2005 Cina belum memenuhi komitmennya untuk memberikan hak ekspor produk farmasi kepada perusahaan asing. Selain produk farmasi, Cina juga membatasi impor buku, koran, jurnal, publikasi elektronik, dan produk audio dan video.
3.5.1.2 Kepemilikan Sektor Swasta Signifikansi peran sektor swasta dalam perekonomian menjadi indikator penerapan sistem pasar. Pada sistem ekonomi terencana sosialis, kewirausahawan dan kepemilikan usaha pribadi dianggap sebagai upaya memperkaya diri yang
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
57
individualis dan bertentangan dengan spirit masyarakat sosialisme. Tidak mengherankan jika pada masa Mao Zedong sektor swasta tidak berkembang. Setelah Cina melakukan reformasi tahun 1978 sektor swasta mengalami peningkatan. Hal ini telah dibicarakan pada Bab II. Setelah Cina mendapatkan keanggotaan di WTO, peningkatan sektor swasta kian signifikan. Hal ini kiranya disebabkan oleh kewajiban Cina untuk menerapkan perlakuan non-diskriminatif, termasuk terhadap pengusaha swasta dalam negeri. Pada periode sebelumnya negara memprioritaskan pembangunan BUMN sehingga alokasi sumber daya pun banyak diberikan pada perusahaan milik negara tersebut. Setelah keanggotaan WTO, Cina berkomitmen mengurangi subsidi yang diberikan
pada BUMN.
Sejalan dengan reformasi di bidang perbankan, kredit pun diberikan dengan mempertimbangkan aspek kemampuan pertanggungjawaban pihak kreditor. Hal ini berarti pengusaha swasta dapat berkompetisi secara adil untuk mengakses sumber daya, seperti kredit. Tahun 2005 pemerintah menghapus peraturan yang melarang sektor swasta merambah bidang esensial, seperti infrastruktur dan layanan finansial (OECD, 2005). Dalam Laporan TPR WTO 2006, Pemerintah Cina melaporkan bahwa hingga akhir September 2005, jumlah bisnis rumah tangga dan individu mencapai angka 24.662.000,
sedangkan perusahaan swasta tercatat mencapai angka
4.191.000. Dalam periode 1992-2004 jumlah perusahaan swasta mengalami peningkatan setiap tahun sebanyak rata-rata 31,9%.
3.5.1.3 Perubahan Institusional Sistem pasar membutuhkan sistem regulasi yang baik dan transparan agar dapat berjalan. Dilaporkan bahwa sejak sebelum dan setelah keanggotaan Cina di WTO diakui, pemeintah pusat telah meninjau ulang 2300 undang-undang, regulasi administratif serta peraturan kedepartemenan. Akhirnya pemerintah merevisi 325 regulasi dan menghapus 830 regulasi lain yang kontradiktif dengan sistem pasar agar sesuai dengan prinsip sistem perdagangan WTO (Long, 2006). Rangkaian peraturan tersebut mencakup berbagai hal, seperti perdagangan barang
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
58
dan jasa, proteksi hak intelektual yang terkait dengan perdagangan, transparansi, serta implementasi aktivitas perdagangan yang seragam. Dalam laporan Trade Policy Review, Pemerintah Cina menyatakan “Undang-undang Dasar RRC“ telah mengalami amandemen pada bulan Maret 1999 dan Maret 2004. Pasal 11 dari UUD menetapkan bahwa sektor ekonomi non-publik merupakan komponen penting dalam ekonomi pasar sosialis dan karenanya negara berkewajiban melindungi kepentingan dan hak dari sektor ekonomi non-publik. Hal ini menandai komitmen Cina untuk mengembangkan sektor non-publik sebagai bagian dari sistem pasar itu sendiri. Pada Februari 2005 Dewan Negara mencanangkan “Pendapat dalam hal menganjurkan, mendukung, dan mengarahkan pembangunan sektor ekonomi
non-publik seperti sektor
individu dan swasta“. “Pendapat“ ini menyatakan bahwa semua rintangan akses pasar yang mempengaruhi sektor non-publik harus dihilangkan, sektor non-publik juga didorong untuk turut mendukung proses transformasi dan restrukturisasi BUMN melalui penggabungan perusahaan, dan pembagian serta kontrol saham (WTO/TPR 2006). Untuk menjamin transparansi sistem ekonomi dan perdagangan, Pemerintah Cina hingga tahun 2005 juga telah menempuh sejumlah langkah, yakni pertama, mengesahkan UU Pembuatan Undang-undang (Legislation Law) dan Peraturan Formulasi Peraturan Administratif (Regulations on Procedures for the Formulation of Administrative Regulations) serta UU lain yang menyediakan kerangkan prinsip dasar yang dirujuk dalam proses penyusunan undang-undang. Peraturan tersebut menekankan bahwa dalam menyusun suatu UU, opini publik, terutama pihak yang terkait dengan isu yang dibahas dalam UU (stakeholder), harus diintegrasikan sebagai bahan pertimbangan. Selain itu, publik juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan opininya terkait rancangan UU yang dibahas melalui forum, seminar, atau media komunikasi tertulis, seperti internet dan media berita (WTO TPR 2006). Kedua, pada tahun 2003 pemerintah mengadopsi UU Izin Administratif yang baru. UU ini menetapkan parameter transparansi yang lebih eksplisit dan ketat mengenai perilaku pemerintah. Upaya peningkatan transparansi perilaku
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
59
administratif pemerintah dimanifestasikan dalam bentuk peluncuran situs resmi pemerintah pusat dan daerah. Situs resmi pemerintah pusat Cina www.gov.cn siap diakses pertama kali pada 1 Januari 2006 dan 96% struktur pemerintahan di berbagai level melakukan hal serupa. Pada tahun 2004 UU Perdagangan Luar Negeri direvisi. Bahkan, sebelum Cina mendapatkan keanggotaan WTO, masalah tarif telah diatur dan tercakup dalam hasil amandemen UU Bea Cukai tahun 2000. Amandemen terhadap Peraturan tentang Tarif Ekspor dan Impor dilakukan pada tahun 2002. Amandemen ini bertujuan membuat sistem manajemen sertifikasi dengan standar yang sama, baik bagi komoditas dalam negeri maupun luar negeri. Penyeragaman standar ini merupakan salah satu komitmen Cina dalam protokol keanggotaan WTO
dalam
rangka
menerapkan
prinsip
non-diskriminatif
(http://www.china.org.cn). Amendemen terhadap peraturan terkait hak kekayaan intelektual perlu dilakukan demi menjamin kelancaran arus penerimaan FDI dan proses transfer teknologi maju. Oleh karena itu, pemerintah Cina melakukan amandemen terhadap beberapa UU yang mengatur perihal tersebut, seperti UU Hak Paten (2000), UU Merek Dagang (2000), UU Hak Cipta (2001), peraturan proteksi software komputer, varietas tanaman baru, dan desain IC (2001). Dalam laporannya, pemerintah Cina menyatakan bahwa pihaknya masih berupaya meningkatkan penegakan hukum terkait kekayaan intelektual. Penegakan hukum atas kekayaan intelektual ini diatur oleh badan administratif di tingkat pusat oleh Dewan Negara dan daerah oleh pemerintah daerah. Badan administratif di bawah Dewan Negara bertanggung jawab untuk memeriksa dan mendaftarkan hak kekayaan intelektual, sementara badan administratif di bawah pemerintah lokal bertugas mengatur dan melindungi hak kekayaan intelektual di daerahnya. Kinerja badan ini memiliki kemajuan dan dapat dilihat dari tingkat kesigapan dalam menangani kasus pelanggaran merek dagang. Selama tahun 2005 terdapat 49.412 kasus yang diinvestigasi. Dari kasus-kasus tersebut, 39,107 kasus merupakan pelanggaran merek dagang dan barang palsu, sedangkan 6.607 kasus lainnya adalah kasus yang berkaitan dengan pihak asing (WTO TPR 2006).
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
60
Departemen Manajemen Administratif Hak Cipta juga menunjukkan progress kinerjanya. Pada tahun 2005 terdapat 8.060 kasus pelanggaran hak cipta, baik berupa pembajakan dan komersialisasi hasil pembajakan. Sistem peradilan Cina pun ditingkatkan untuk menangani kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual . Sepanjang tahun 2005, 3,567 kasus kriminal telah terdaftar di pengadilan. Jumlah kasus ini meningkat sebesar 27,9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, 13.424 kasus merupakan contoh kasus sipil yang pertama. Namun demikian, dalam laporan TPR oleh Sekretariat WTO disebutkan beberapa permasalahan mendasar dari kurang optimalnya upaya proteksi Cina atas hak kekayaan intelektual dan penanganan kasus pelanggaran hak tersebut. Masalah tersebut meliputi kurangnya koordinasi di antara agen-agen penegak hukum utama, korupsi dan proteksionisme lokal, ketidakefektifan hukuman yang diberikan, dan kurangnya kemampuan dan pembekalan bagi para aparat penegak hukum. WTO tidak hanya menuntut perubahan regulasi, melainkan juga adanya transparansi kebijakan dan sistem hukum. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang juga dilakukan pemerintah adalah mendirikan Departemen Urusan WTO (Pusat Informasi dan Pemberitahuan WTO Cina 中国政府世界贸易组织通报) sebagai bagian dari Kementrian Perdagangan. Departemen ini memiliki beberapa deskripsi kerja utama, antara lain menjalankan dan mengatur negosiasi bilateral dan multilateral di bawah kerangka WTO, menangani urusan dengan sistem resolusi konflik WTO, bertanggung jawab meninjau, pemberitahuan dan konsultasi kebijakan perdagangan dan investasi dalam WTO, serta membuat standardisasi ekspor dan impor (http://sms.mofcom.gov.cn).Seluruh informasi terkait UU perdagangan dapat diakses dengan bebas melalui China Foreign Trade and Economic Cooperation Gazette yang juga tersedia dalam bentuk digital di situs Kementrian Perdagangan Cina (www.mofcom.gov.cn). 3.5.2
Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Upaya Reformasi BUMN Reformasi BUMN dalam rangka meningkatkan efisiensi performanya
merupakan agenda reformasi yang esensial dalam konstruksi ekonomi pasar sosialis. Pasalnya, eksistensi BUMN yang kuat dan kompetitif sebagai arus utama
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
61
menjadi salah satu karakteristik ekonomi pasar sosialis. Karena upaya-upaya reformasi BUMN sebagaimana dipaparkan pada Bab II belum menuai hasil optimal, pemerintah Cina menjadikan WTO sebagai faktor eksternal untuk mendorong reformasi BUMN yang lebih fundamental. Perubahan yang diharapkan setelah bergabung dengan WTO adalah terselesaikannya masalah ketergantungan BUMN atas subsidi dan pinjaman modal dari pemerintah atau institusi lainnya dan diversifikasi kepemilikan perusahaan negara. Kontribusi BUMN pada hasil produksi menurun setiap tahunnya. Namun demikian, BUMN mendapatkan prioritas aliran dana investasi. Sebagai contoh, pada tahun 1999 BUMN hanya menghasilkan 28% dari total produksi industri, tetapi menerima 50% total investasi. Sekalipun subsidi langsung dari pemerintah diturunkan menjadi hanya 1% dari total produksi pada tahun 1998, bank negara tetap memberikan kredit berbunga rendah kepada BUMN yang nilainya mencapai 40% PDB. Tingginya nilai non performing loan ini menimbulkan masalah pada stabilitas finansial Cina. Dalam protokol keanggotan WTO, Bagian I tentang Subsidi menyebutkan tentang Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM), bahwa Cina harus melaporkan segala bentuk subsidi secara spesifik dan lengkap sesuai dengan kriteria subsidi yang terdapat pada SCM Agreement. SCM Agreement juga menyebutkan bahwa subsidi bagi BUMN dikategorikan sebagai subsidi yang khusus karena BUMN menerima dana subsidi secara tidak proporsional jika dibandingkan sektor lain. Oleh karena itu, setelah masuk ke WTO, Cina harus menghapuskan subsidi BUMN untuk BUMN yang merugi. Selain itu, WTO juga menuntut reformasi finansial yang membuat bankbank menjadi berorientasi pada profit sehingga lebih selektif dan ketat dalam memberikan kredit, termasuk pada BUMN. Hal ini menyebabkan aliran dana untuk BUMN berkurang secara signifikan. Satu-satunya sumber dana yang tersedia adalah kredit bank. Namun, untuk dapat mendapatkannya BUMN harus berkompetisi dengan perusahaan lain dan meningkatkan performa kerjanya agar dapat dinilai pihak debitor sebagai perusahaan berprospek baik. Dorongan semacam inilah yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi BUMN (Chu, 2004:7).
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
62
Berdasarkan WTO Trade Policy Review 2006, Pemerintah Cina telah merealisasikan komitmennya terkait penghapusan subsidi bagi BUMN yang merugi (2006, 61). Kebijakan ini seiring dengan reformasi di bidang finansial membuat BUMN yang bangkrut keluar dari arena kompetisi pasar sehingga tercatat pengurangan jumlah BUMN. Penurunan ini menandai berkurangnya kontribusi BUMN dalam perkonomian dan semakin meningkatnya peran sektor swasta, baik dari segi jumlah perusahaan, total produksi maupun penyediaan lapangan kerja.
Tabel 3.4. Performa BUMN 2001-2004
2001 Number of SOEs Employment a (million)
2002
2003
2004
173,504
158,712
149,988
137,753
48.2
44.6
42.3
39.8
(Y billion) Profits realized
281.1
378.6
495.1
752.5
Value of assets (% of total assets)
8,790.2 (64.9%)
8,909.5 (60.9%)
9,452.0 (56%)
..
Value added (% of total value-added)
1,465.2 (51.7%)
1,593.5 (48.3%)
1.883.8 (44.9%)
..
b
Sumber: WTO Trade Policy Review 2006 WT/TPR/S/161, hal 131.
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
63
,
Grafik 3. Persentase penyediaan lapangan kerja oleh BUMN Sumber: http://www.clb.org.hk/en/files/share/File/statistics/SOE/Percentage_of_ SOE_workers_in _all_ employment_1994-2007.pdf diakses pada tanggal 20 Juni 2012 07.50 WIB
Untuk menangani masalah kedua, yakni diversifikasi kepemilikan perusahaan negara. Hal ini bertujuan meningkatkan kinerja BUMN agar mencapai standar corporate governance perusahaan modern. Tahun 2002 lebih dari 50% dari total 159.000 BUMN telah meningkatkan praktik corporate governance mereka; 442 BUMN telah terdaftar di pasar saham antara tahun 1998-2002 ; dan sekitar 80% BUMN di daerah pedesaan dan 60% di kota administratif telah dijual oleh negara (WTO TPR 2006, 133). Tahun 2003 pemerintah Cina membentuk State-owned Asset Supervision and Administration Commission (SASAC). Komisi ini dibentuk dengan tujuan memisahkan administrasi dan kepemilikan pemerintah dari urusan manajemen perusahaan. SASAC tidak diperbolehkan mengintervensi kegiatan operasional dan produksi BUMN. Komisi ini hanya dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai investor untuk mengambil keputusan terkait hal penting dan memilih manajer produksi. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa keanggotaan WTO berfungsi sebagaimana yang diharapkan pemerintah Cina, yakni menjadi stimulus bagi pencapaian reformasi BUMN yang belum tuntas. Adapun kemajuan yang telah dicapai mencakup tiga hal: pertama, adanya diversifikasi kepemilikan
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
64
BUMN; kedua, berkurangnya ketergantungan BUMN kepada negara dalam aspek finansial sehingga memicu kompetisi yang adil dengan sektor swasta. Ketiga, seiring dengan diversifikasi kepemilikan perusahaan, terdapat peningkatan kinerja corporate governance. Hal ini ditandai dengan adanya pemisahan deskripsi tugas yang jelas antara investor dan operator. Namun, di sisi lain terdapat ‘efek samping’ dari langkah-langkah reformasi di atas yang menjadi tanggungan ekstra bagi pemerintah Cina. Jika dilihat dari aspek kontribusi terhadap PDB, total nilai produksi, maupun total penyediaan lapangan kerja, jelas tampak bahwa BUMN bukanlah lagi pemain utama sebagaimana prinsip sistem ekonomi pasar sosialis. Sektor non-publik jauh lebih berkembang
pada aspek-aspek tersebut. Walaupun demikian, peran BUMN
sebagai pondasi ekonomi pasar sosialis dapat terlihat dari dipertahankannya eksistensi
BUMN
walaupun
dalam
bentuk
mixed-enterprises
(http://www.fdi.gov.cn). Pemerintah tidak menjual atau menyerahkan secara penuh kepemilikan BUMN berskala besar kepada pihak swasta.
3.5.3
Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Komitmen Adopsi Empat Prinsip Utama
Salah satu prinsip utama ekonomi pasar sosialis yang membedakannya dengan ekonomi pasar kapitalis adalah komitmen Cina yang berpedoman pada Empat Prinsip Utama. Empat prinsip tersebut, yakni jalan sosialis, kediktatoran proletar, kepemimpinan PKC, dan Marxisme-Leninisme-Maoisme. Manifestasi keempat prinsip tersebut dalam konteks perekonomian kiranya dapat dilihat pada dua hal, yakni pertama, adanya jaminan kesejahteraan umum bagi segenap rakyat Cina dan kedua, kepemimpinan PKC melalui sistem kontrol makroekonomi. Walaupun keanggotaan WTO turut mendukung pencapaian kemajuan program reformasi di beberapa bidang—khususnya bidang pembentukan sistem pasar—secara umum keanggotaan ini ternyata juga memberikan beberapa tantangan terhadap pencapaian target ekonomi pasar sosialis. Adapun tantangan tersebut utamanya adalah masalah pengangguran dan kesenjangan sosial.
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
65
Salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran adalah reformasi BUMN. Pada sistem ekonomi terencana dijamin pekerjaannya dengan bekerja di BUMN. Namun, selaras dengan program reformasi BUMN yang bertujuan meningkatkan efisiensi kerja dan mengadakan diversifikasi kepemilikan perusahaan negara, banyak pegawai
yang akhirnya harus
dibebastugaskan. Kebijakan ini sudah berjalan sebelum Cina mendapatkan keanggotaan WTO sejak 1996. Namun, secara tidak langsung keanggotaan WTO semakin mendukung hal ini. Jika pemerintah tetap mempertahankan masalah kelebihan tenaga kerja, BUMN tetap akan terlilit oleh masalah efisiensi sumber daya, negara tetap terbebani dengan harus membayar kompensasi gaji pegawai karena BUMN telah bangkrut kala itu. Jika ini dipertahankan, BUMN tidak akan mampu bersaing di pasar dengan perusahaan lain yang sudah menerapkan prinsip kompetisi di kalangan SDM mereka. Hal ini dilakukan demi menangani masalah kelebihan tenaga kerja yang membebani anggaran pemerintah. Pemerintah berupaya meminimalisir dampaknya melalui beberapa cara, seperti bernegosiasi dengan pembeli BUMN untuk tetap mempekerjakan pegawai lama dengan kompensasi potongan harga, menggunakan anggaran Negara untuk membayar kompensasi kepada pegawai, dan lain-lain. Namun, berbagai upaya ini belum berhasil menyerap kembali SDM hingga 100%. Pada periode 2001-2005 pencapaian tertinggi adalah dapat mempekerjakan kembali 65% dari total pegawai BUMN yang diberhentikan pada 2001, sedangkan pada 2005 hanya mencapai 32% (www.clb.org.hk).
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
66
Tabel 3.5. Jumlah dan Persentase Perekkrutan Kerja Kembali Pegawai BUMN
Sumber: data berasal dari China Labour Statistical Yearbook 2006, dikutip dari http://www.clb.org.hk/en/files/share/File/statistics/SOE/laid-off_decrease_1999-2005.pdf diakses pada 20 Juni 2012 10.24 WIB
Masalah lain yang dihadapi Cina adalah kesenjangan sosial yang kian tinggi. Sistem ekonomi pasar memang memberikan peningkatan penghasilan bagi rakyat. Semakin tinggi penerimaan investasi asing Cina juga berarti peningkatan lapangan kerja di perusahan-perusahaan gabungan Cina dan asing. Namun, di sisi lain hal tersebut menyebabkan kesenjangan sosial, tidak hanya antarpenduduk kota, melainkan juga antara penduduk kota dan desa (Song, 2000: 89). Konsentrasi FDI terfokus pada kota di daerah pesisir. Pada tahun 1998 Kota Guangdong menerima 26,5% FDI, sedangkan sembilan provinsi dan satu kota administratif di Cina bagian Barat hanya menerima 3% dari total penerimaan FDI. Hal ini tentulah menyebabkan perbedaan pendapatan penduduk desa dan kota. Kota-kota pesisir yang sudah terlebih dahulu mendapat transfer sains dan teknologi memiliki kelebihan dalam segi kualitas buruh sehingga ketika perusahaan asing masuk ke Cina pasca keanggotaan WTO, daerah pesisir
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
67
memiliki comparative advantage yang lebih besar sebagai daerah penerima FDI (Saich, 2000: 7). Terkait manifestasi Empat Prinsip Utama yang kedua, reformasi Cina masih dipimpin oleh kepemimpinan PKC. Dengan diadopsinya sistem pasar dan keanggotaan WTO, ruang lingkup intervensi pemerintah dalam ekonomi pasar benar-benar
jelas
dibatasi.
Namun,
Cina
menerapkan
sistem
kontrol
makroekonomi sebagai bentuk ‘intervensi‘ tidak langsung pemerintah dalam memonitor aktivitas perekonomian agar tetap tercipta kondisi sosial ekonomi yang stabil dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Pada pertemuan Komite Sentral PKC Juni 1993, ditetapkan enambelas strategi meningkatkan kontrol makroekonomi. Keenambelas strategi tersebut mencakup kontrol ketat atas pengeluaran mata uang; konfirmasi perihal peminjaman yang melanggar peraturan; larangan penimbunan uang untuk alasan yang tidak dibenarkan; percepatan reformasi finansial dan penguatan kontrol makro bank sentral terhadap aktivitas finansial; integrasi reformasi struktural finansial dan investasi; peningkatan manajemen keamanan dan regulasi pasar; peningkatan kontrol pertukaran valuta asing; memperkuat administrasi pasar real-estate secara menyeluruh; memperkuat administrasi dan pemungutan pajak serta mencegah adanya pembebasan pajak (china.org.cn). Keanggotaan Cina dalam WTO mendukung manajemen makroekonomi Cina dalam beberapa hal. Sejak 1997 Cina menghadapi masalah deflasi. Deflasi menurut konsep ekonomi Keynes, disebabkan oleh fenomena ‘jebakan likuiditas‘ dan ‘paradoks penghematan‘. Jebakan likuiditas merupakan kondisi tidak bekerjanya kebijakan moneter dengan merendahkan suku bunga dalam meningkatkan jumlah kredit. Adapun paradoks penghematan adalah kondisi rendahnya permintaan dana karena suku bunga simpanan tinggi sehingga tidak ada likuiditas dana. Fenomena jebakan likuiditas terjadi karena keengganan bank sentral dalam mengucurkan dana atau kredit. Sebelum reformasi finansial, nasabah utama bank sentral adalah BUMN yang kala itu sudah menumpuk nonperforming loan. Bank Sentral ragu mengeluarkan kredit lebih kepada BUMN karena menambah non-performing loan dapat berakibat pada buruknya kinerja
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
68
manajer bank yang dapat terancam dipecat. Di sisi lain, bank sentral juga ragu mengeluarkan kredit kepada pihak non-publik. Dalam hal ini, satu-satunya solusi adalah dengan menghilangkan diskriminasi terhadap sektor swasta. Komitmen Cina dalam WTO mengharuskan hal tersebut dan terbukti terlaksana dari peningkatan pesat sektor swasta di Cina pasca keanggotaan WTO (Woo, 2003: 16-17). Masalah paradoks penghematan dapat diselesaikan dengan keberadaan bank asing. Untuk dapat meningkatkan permintaan dalam negeri, perlu diciptakan mekanisme untuk menyalurkan tabungan pribadi ke bentuk investasi swasta. Keberadaan bank asing akan menciptakan iklim persaingan antarbank, terutama di daerah kota pesisir sehingga memicu bank milik negara untuk membuka cabang dan mengoptimalkan operasi di daerah Cina lain yang tidak tersentuh oleh bank asing. Keberadaan bank cabang ini berperan penting sebagai perantara finansial yang dapat menyelesaikan masalah paradoks penghematan ini (Woo, 2003: 18-19) Hal yang tidak kalah penting dalam manajemen makroekonomi adalah kontrol atas jumlah tuna karya. Keanggotaan WTO dapat pula menguntungkan dalam aspek ini karena dapat meningkatkan akses pasar bagi eksportir Cina hingga ke Amerika Serikat dan Eropa Barat. Hal ini juga berarti menciptakan lapangan pekerjaan baru (Woo, 2003: 20). Secara umum dapat dikatakan bahwa keanggotaan WTO Cina menimbulkan dampak ganda dalam konteks peningkatan kesejahteraan rakyat Cina. Di satu sisi, keanggotaan WTO memberikan akses pasar luas dan sehingga dapat memasifkan perdagangan luar negeri Cina sekaligus membuka lebar Cina untuk investasi asing yang mampu menyerap tenaga kerja. Namun, di sisi lain keanggotaan ini juga memberikan tantangan baru dalam hal distribusi kekayaan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah pengangguran sebagai salah satu dampak reformasi BUMN dan juga tidak meratanya pembangunan antara kota dan desa, maupun antarkota. Menyikapi hal ini Pemerintah Cina melaksanakan beberapa program dalm rangka meminimalisir dampaknya. Pada konteks kontrol ekonomi, keanggotaan WTO dapat berperan positif dalam menjaga stabilitas ekonomi, khususya di bidang makroekonomi.
Universitas Indonesia
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
BAB IV KESIMPULAN
Transformasi ekonomi Cina memasuki babak baru tatkala Sidang Pleno III Komite Sentral PKC XI bulan Desember 1978 menetapkan target dan tujuan baru untuk program pembangunan Cina. Adopsi kebijakan “Reformasi dan Keterbukaan” mengakhiri preseden kebijakan seklusi ekonomi Cina. Kebijakan yang diusung dengan panji “Sosialisme Berkarakteristik Cina” ini mengawali implementasi kebijakan ekonomi yang adaptif dan pragmatis berupa adopsi sistem pasar dalam perekonomian Cina. Sejak saat ini pulalah Cina mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Faktor inilah juga yang menjadi stimulus bagi Cina untuk memperdalam transformasi sistem ekonomi ke arah sistem pasar modern hingga mencapai pencetusan sistem ekonomi pasar sosialis (社会主义市场经济体制) pada tahun 1992. Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakangi dan memicu Cina melakukan transformasi ekonomi menuju pasar yang lebih komprehensif. Kesejahteraan ekonomi diupayakan guna memperbarui kepercayaan rakyat Cina kepada PKC yang mulai goyah akibat kegagalan rezim penguasa sebelumnya. Selain itu, sikap pragmatis juga ditempuh oleh Cina akibat tekanan kondisi geopolitis yang kian memicu Cina untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya. Fenomena kemajuan ekonomi yang sangat pesat dari delapan negara berkembang—Hong Kong, Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand— atau yang dikenal dengan East Asian Miracle memicu Cina untuk menikmati kemajuan yang sama. Transisi negara-negara pecahan Uni Sovyet ke arah sistem pasar juga turut menuntut Cina untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi demi menjaga prestise di hadapan negara-negara transisional tersebut. Di samping adanya tekanan dari kondisi geopolitis, dua faktor utama lain yang memicu Cina untuk melakukan transformasi sistem ekonomi adalah (1) Keberhasilan sistem pasar dan keterbukaan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Cina, dan (2) Kebutuhan akan pembangunan ekonomi yang
69 Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
70
berkelanjutan. Skripsi ini telah memaparkan bahwa adopsi sistem pasar secara parsial yang telah dimulai Cina sejak 1978 membawa sejumlah kemajuan ekonomi bagi Cina pada beberapa bidang prekonomian. Reformasi di bidang pertanian berhasil meningkatkan hasil produksi bruto produk pertanian sehingga mampu mengangkat status Cina dari importir menjadi eksportir untuk sejumlah produk, seperti gandum, kedelai, dan kapas. Reformasi industri tidak hanya berhasil mengatasi masalah pemberian insentif materi demi meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja, melainkan juga berhasil meningkatkan hasil produksi bruto industri. Kebijakan pintu terbuka berhasil meningkatkan nilai surplus neraca perdagangan Cina akibat tingginya ekspor luar negeri Cina. Selain itu, penerimaan investasi asing juga senantiasa meningkat setiap tahunnya hingga mencapai puncaknya pada periode tahun 1992-1993. Hal ini disebabkan rangkaian kebijakan yang bertujuan membuka Cina terhadap dunia luar, seperti membuka zona khusus sebagai wadah penerimaan investasi asing. Berdasarkan pemaparan terkait ketiga tindakan reformasi di atas, dapat dikatakan bahwa seluruh kebijakan reformasi di berbagai bidang ini mencerminkan upaya Cina untuk menyesuaikan praktik-praktik perekonomian agar sesuai dengan prinsip ekonomi pasar dan terbukti bahwa adopsi prinsip-prinsip sistem pasar memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Cina. Faktor lain yang memicu Cina untuk melakukan transformasi total ke arah sistem pasar modern adalah adanya kebutuhan akan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan kata lain masih terdapat reformasi yang belum selesai sehingga membutuhkan aplikasi sistem pasar secara lebih komprehensif demi mencapai penyelesaiannya. Reformasi yang belum selesai ini ditandai dengan masih adanya sejumlah masalah yang menjadi penghambat bagi program reformasi ekonomi Cina secara umum, antara lain masalah efisiensi performa perusahaan negara yang belum memuaskan, stagnansi performa sektor finansial akibat banyaknya non-performing loan yang diserap oleh perusahaan negara, serta belum meratanya distribusi ekonomi yang ditunjukkan dengan adanya masalah kesenjangan sosial. Pemerintah Cina memandang adopsi sistem pasar yang lebih radikal mampu menjadi pendorong reformasi demi pencapaian hasil reformasi yang lebih optimal.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
71
Selama periode penerapan sistem ekonomi pasar sejak 1978, Cina ternyata juga melalui proses pembaruan status keanggotaan WTO sejak tahun 1986 (kala itu masih bernama GATT). WTO merupakan organisasi perdagangan multilateral yang bertujuan utama melakukan liberalisasi perdagangan dunia. Misi utama WTO ini memiliki common interest yang mirip dengan tujuan Cina untuk menerapkan sistem pasar yang lebih komprehensif sehingga dapat dikatakan bahwa keanggotaan Cina dalam WTO merupakan salah satu strategi untuk menyukseskan reformasinya, sebagaimana diusung dalam sistem ekonomi pasar sosialis. Namun, mengingat WTO merupakan organisasi yang memiliki seperangkat aturan tersendiri mengenai perdagangan dan instrumen pasar, keanggotaan Cina dalam WTO mengandung konsekuensi bahwa Cina harus bersedia melakukan sejumlah penyesuaian pada kebijakan ekonomi maupun sistem regulasi agar sesuai dengan standar WTO. Skripsi ini menyimpulkan bahwa terdapat faktor pendorong ekonomi maupun politik yang mendorong Cina bersedia melakukan ‘kompromi‘ dan mengikuti standar WTO. Faktor ekonomi tersebut di antaranya adalah keinginan menyelesaikan reformasi, melakukan ekspansi
pasar
tujuan
ekspor
Cina,
dan
mendapatkan
akses
‘bahan
baku‘ reformasi dan pembangunan dari luar Cina. Sistem regulasi WTO yang mengatur perihal sistem pasar dan perdagangan mengemban prinsip utama, yakni perdagangan bebas yang adil tanpa diskriminasi. Hal ini dipercaya oleh Cina mampu menjadi pemicu bagi pencapaian program reformasi Cina yang belum selesai. Dengan mengadopsi regulasi WTO, Cina diwajibkan menyambut perusahaan maupun pebisnis asing yang ingin beroperasi di Cina. Hal ini berarti akan tercipta iklim kompetisi antara perusahaan dan pebisnis Cina dengan perusahaan dan pebisnis asing yang dianggap dapat menjadi pemicu ekstra bagi Cina untuk mempercepat reformasi. Ini juga berarti sumber daya asing dapat diakses sebanyak mungkin oleh Cina, seperti IPTEK, teknologi, dan kemampuan managerial. Di sisi lain, Cina dapat menyukseskan kebijakan keterbukaannya karena mampu mengakses pasar luar negeri yang lebih luas sebagai tujuan ekspornya. Adapun faktor politik yang turut memantapkan Cina untuk mendapatkan atau memperbarui kembali status keanggotaan WTO adalah pertama, keinginan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
72
Cina untuk mendapatkan pengaruh politik yang lebih besar demi proteksi atas kepentingan nasional. Kedua, Cina ingin mengantisipasi dan mencegah embargo ekonomi atas Cina. Dengan memperoleh keanggotaan WTO, Cina memiliki hak suara dan andil dalam pengambilan keputusan yang dibuat WTO. Cina dapat mengupayakan agar segala keputusan yang dihasilkan tidak membahayakan kepentingan nasional Cina. Keanggotaan Cina dalam WTO juga memberikan proteksi atas hak ekonomi Cina agar tidak menghadapi embargo oleh negara lain. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keanggotaan WTO mengharuskan Cina mengharuskan Cina berkomitmen untuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap kebijakan ekonomi dan regulasi Cina yang berarti pula berdampak pada sistem ekonomi pasar sosialis. Skripsi ini menyimpulkan bahwa keanggotaan Cina dalam WTO memberikan sejumlah pengaruh terhadap sistem ekonomi pasar sosialis. Pengaruh ini dapat dilihat pada tiga aspek, yakni penerapan sistem pasar modern yang lebih radikal, keberhasilan reformasi perusahaan negara (BUMN), dan konsistensi penerapan Empat Prinsip Utama sebagai pedoman sistem ekonomi pasar. Ketiga aspek ini secara umum merangkum prinsip utama sistem ekonomi pasar sosialis yang bertujuan memantapkan sistem ekonomi pasar yang berlaku pada perekonomian Cina di bawah kontrol makroekonomi (宏观调控) oleh negara. Dalam aspek penerapan sistem pasar yang lebih radikal, keanggotaan Cina dalam WTO memberikan pengaruh suportif. WTO dengan seperangkat peraturannya berperan sebagai pemicu ekstra bagi Cina untuk menyegerakan perubahan di tiga aspek utama dalam rangka menciptakan sistem pasar yang kondusif bagi perdagangan dunia. Ketiga aspek tersebut adalah liberalisasi harga, kepemilikan swasta, reformasi institusional. Pemerintah Cina menghapuskan kebijakan kontrol harga, pembatasan hak dagangan bagi negara lain, dan penetapan kuota impor. Sebaliknya, harga sepenuhnya ditentukan oleh pasar, tarif bea cukai dikurangi, dan negara lain bebas bertransaksi dan beroperasi di Cina. Sektor swasta juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pemerintah juga melakukan
revisi
dan
penghapusan
atas
ribuan
undang-undang
demi
menyesuaikannya dengan standar WTO.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
73
Adapun pada aspek reformasi BUMN, keanggotaan WTO turut membantu Cina untuk mentransformasi perusahaan negara menjadi perusahaan modern dalam sistem pasar. Hal ini ditunjukkan dalam tiga hal, yakni pertama, adanya diversifikasi kepemilikan BUMN; kedua, berkurangnya ketergantungan BUMN kepada negara dalam aspek finansial sehingga memicu kompetisi yang adil dengan sektor swasta, dan
ketiga, adanya peningkatan kinerja corporate
governance yang ditandai dengan adanya pemisahan deskripsi kerja yang jelas antara investor dan operator. Pada aspek konsistensi Cina untuk berpedoman pada Empat Prinsip Utama, keanggotaan Cina dalam WTO juga tidak memberikan tantangan ideologis yang berarti walaupun ditemukan sejumlah ‘efek samping’ yang menjadi hambatan atau tanggungan reformasi ekonomi Cina ke depannya. Dapat dikatakan keanggotaan WTO juga memberikan dampak suportif terhadap manifestasi Empat Prinsip Utama dalam hal ekonomi. Manifestasi Empat Prinsip Utama dapat dilihat pada dua hal utama, yakni jaminan kesejahteraan umum bagi rakyat Cina sebagai ciri sosialis dalam sistem ekonomi Cina, dan kepemimpinan PKC melalui sistem kontrol makroekonomi. Cina menikmati sejumlah manfaat ekonomis dari keanggotaannya dalam WTO yang berimbas pada peningkatan ekonomi Cina secara umum. Peningkatan perdagangan luar negeri yang signifikan serta penerimaan investasi asing membuka lapangan kerja yang tidak sedikit. Namun, di sisi lain peningkatan kesejahteraan ekonomi ini belum diikuti oleh distribusi ekonomi yang merata bagi segenap rakyat Cina.
Di antaranya disebabkan
pembangunan yang tidak merata, daerah penerimaan investasi pun juga tidak merata. Di sisi lain, reformasi BUMN juga menimbulkan masalah pengangguran akibat pengurangan SDM yang selama ini dianggap membebani BUMN. Hal ini merupakan ‘efek samping‘ dari pengaruh keanggotaan WTO terhadap sistem ekonomi pasar sosialis. ‘Efek samping’ ini menjadi hambatan bagi pencapaian salah satu tujuan sistem ekonomi pasar sosialis, yakni kesejahteraan umum. Namun, sebagaimana prinsip pragmatisme yang pernah diusung Deng Xiaoping, sistem ekonomi Cina yang baru ‘memperbolehkan sebagai daerah atau sebagian orang kaya terlebih dahulu’ sehingga dapat dikatakan ‘efek samping’ keanggotaan WTO ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya mengancam atau menyimpang dari
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
74
sistem ekonomi pasar sosialis. Namun, ‘efek samping’ ini merupakan tantangan atau tanggungan reformasi Cina selanjutnya. Keanggotaan Cina dalam WTO juga tidak menggantikan posisi PKC sebagai pemimpin reformasi ekonomi Cina. Segala keputusan terkait kebijakan ekonomi masih berada di tangan jajaran pimpinan PKC yang menjadi salah satu ciri pemerintahan sosialis Cina. Keanggotaan WTO tidak menghalangi pemerintah Cina dalam mengontrol aktivitas perekonomian Cina walaupun setelah masuk ke dalam WTO kontrol ini menjadi terbatas dalam bentuk kontrol makroekonomi. Keanggotaan WTO juga memberikan pengaruh suportif terhadap beberapa aspek kebijakan kontrol makroekonomi Pemerintah Cina, khususnya yang bersangkutan dengan aspek finansial. Reformasi finansial yang dituntut WTO atas Cina mengharuskan pemerintah mengizinkan bank komersial asing beroperasi di Cina. Bank-bank asing ini dapat berperan suportif dalam upaya Cina menjaga stabilitas ekonomi Cina, khususnya dalam menghadapi masalah deflasi. Meninjau pada periode sebelum Cina mendapatkan status keanggotaan dalam WTO atau periode Cina mengupayakan keanggotaan WTO, dapat disimpulkan pula bahwa di dalam negeri Cina telah terjadi sejumlah upaya penyesuaian dalam rangka memperlancar proses aplikasi Cina dalam WTO sekaligus mempersiapkan kondisi dalam negeri secara bertahap sebelum memasuki era pasar bebas WTO. Kebijakan-kebijakan seperti reformasi BUMN menuju perusahaan modern, liberalisasi harga, proliferasi sektor swasta sudah berlangsung sejak pencetusan sistem ekonomi pasar sosialis, sebelum Cina menjadi anggota WTO. Demikianlah kesimpulan dari pembahasan “Keanggotaan Cina dalam WTO dan Pengaruhnya terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005).” Keanggotaan WTO tidak memberikan tantangan berarti secara ideologis terhadap prinsip maupun penerapan sistem ekonomi pasar sosialis. Sebaliknya, keanggotaan WTO memberikan sejumlah pengaruh suportif terhadap pencapaian target-target reformasi Cina menuju sistem pasar modern walaupun masih ditemukan sejumlah ‘efek samping’ yang menjadi hambatan bagi pembangunan Cina sekaligus tanggungan reformasi Cina selanjutnya.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI BUKU DAN JURNAL ILMIAH Cass, Deborah Z., Brett G. Williams, dan George Barker. China and The World Trading System: Entering the New Millenium. United Kingdon: Cambridge University Press, 2003. Chandrasekhar, C. P., Jayati Ghosh. “Macroeconomic Policy, Inequality and Poverty Reduction in India and China.” The IDEAs Working Paper Series Paper no. 05/2006. Chow, Gregory C. China’s Economic Transformation.United Kingdom: Blackwell Publishers Inc., 2002. Chu, Tianshu, Claustre Bajona. “China’s WTO Accession and Its Effect on StateOwned Enterprises”. East-West Centre Working Paper: Economic Series No. 70, April 2004. Dang, Xiaobao. “Foreign Direct Investment in China”. Laporan sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Master of Arts Department of Economics College of Arts and Sciences Kansas State University, Manhattan ,2008. Deng, Xiaoping. 邓小平文选: 第二卷 (Karya Pilihan Deng Xiaoping Volume II). Beijing: 人民出版社 (Renmin Chubanshe), 1983. Deng, Xiaoping. 邓小平文选: 第三卷 (Karya Pilihan Deng Xiaoping Volume III). Beijing: 人民出版社 (Renmin Chubanshe), 1993. Hsü, Immanuel C.Y.China without Mao. New York: Oxford University Press, 1990. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 1988. Organisation For Economic Co-Operation And Development (OECD).”OECD Economic Surveys – China.” Volume 2005/12, OECD, Paris. Parker, Elliott. “Prospects for The State-Owned Enterprise in China's Socialist Market Economy.” Asian Perspective 19(1) 1995: 7-35. Porath, Lois C. Impacts of China’s WTO Accession. Kanada: Institut québécois des hautes études internationales (HEI), Université Laval, 2004. Prime, Penelope B., “China joins the WTO: How, Why and What Now?“ Business Economics, vol. XXXVII, No. 2 (April, 2002). 75 Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
76
Qian, Yingyi, Jinglian Wu. “China's Transition to a Market Economy: How Far Across the River.” How Far Across the River: Chinese Policy Reform at the Millennium. Ed. Nicholas C. Hope, Dennis Tao Yang, and Mu Yang Li. Stanford University Press, 2003. 31-63. Rosser, John Barkley, Marina V. Rosser. Comparative Economics in a Transforming World Economy. United States of America: Massachusetts Institute of Technology, 2004. Ruslijanto, Hartono, Datu Mulyono. “Penyusunan Karya Ilmiah Berdasarkan Jenisnya”. Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah. Ed. Haryanto A.G. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999. Saich, Tony. Governance and Politics of China. New York: Palgrave Macmillan, 2004. ----------------.“China as a Member of the WTO: Some Political and Social Questions” Article prepared for Harvard Asia Pacific Review January 2002. Song, Ligang. “The State of The Chinese Economy.” China and The World Trading System: Entering the New Millenium. Ed. Deborah Z. Cass, Brett G. Williams, dan George. United Kingdon: Cambridge University Press, 2003. 83-92. Tenev, Stoyan, Chunlin Zhang, dan Loup Brefort. Corporate Governance and Enterprise Reform in China: Building the Institutions of Modern Markets. Washington: World Bank Publications, 2002. Wang, Yiwu. 市场经济学—中国市场经济引论 (Ilmu Ekonomi Pasar— Pengantar Ekonomi Pasar Cina). Beijing: Tsinghua University Press (清华大 学出版社), 2005. Woo, Wing Thye. “The Structural Obstacles to Macroeconomic Control in China.” Economics Department, University of California, 13 November 2004. WTO. Understanding The WTO. Geneva: World Trade Organization, 2008. WTO Trade Policy Review, Laporan oleh Secretariat – People’s Republic of China, WT/TPR/S/161/Rev.1 (26 Juni 2006). WTO. Wu, Jinglian. China’s Long March Toward a Market Economy. San Fransisco: Long River Press, 2005. Yoshihiro, Hashiguchi. “China’s Reform of State-Owned Enterprises and Their Speed of Employment Adjustment.” Graduate School of International
Universitas Indonesia Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
77
Cooperation Studies (GSICS) Working Paper Series No. 10 Oktober 2006 Kobe University. . PUBLIKASI ELEKTRONIK “16 Measures to Strengthen Macroeconomic Control (Jun. 1993)”
diakses pada tanggal 28 Juni 2012 pukul 17.28. “China's fundamental rights and duties as a WTO member”. Xinhua.26 Agustus 2011. diakses pada tanggal 05 Juni 2012 pukul 09.15. “China Statistical Yearbook”. 中 华 人 民 共 和 国 统 计 局 (National Bureau of Statistics of China). http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata/ yearlydata Cook, Sarah. “After the Iron Rice Bowl: Extending The Safety Net in China.” Institute of Development Studies (IDS) Discussion Paper 377. <www.ids.ac.uk /files/Dp377.pdf> “ 建 设 有 中 国 特 色 社 会 主 义 的 理 论 ” (Membangun Teori Sosialisme Berkarakteristik Cina). Xinhuanet. 01 Juni 2012 pukul 12.35. “江泽民在中国共产党第十四次全国代表大会上的报告(1992年10月 12日)” (Laporan Jiang Zemin pada Kongres PKC XIV 12 Oktober 1992 ). 02 Juni 2012 pukul 13.04. Liu, Yingqiu, “Development of Private Entrepreneurship in China: Process, Problems and Countermeasures.” Presented at the Global Forum – Entrepreneurship in Asia: 4th U.S.-Japan Dialogue, April, 16th 2003. Lopez, Gregore Pio. “The WTO’s Role in China’s Transition Towards a Market Economy”. Australian National University.
Universitas Indonesia Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
78
Ministry of Commerce P.P.China. “System of Socialist Market Economy.” National Bureau of Statistic China 中 华 人 民 共 和 国 国 家 统 计 局 . Annual Statistical Data.< http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata/yearlydata/> “State Capitalism”. Binns, Peter. REDS – Die Roten. 02 Juni 2012 pukul 13.10 World Trade Organization. 26 Years of Accession Experience and Best Practices. Oleh DG Pascal Lamy. 29 Mei 2012. 31 Mei 2012. -------------------------------. “WTO successfully concludes negotiations on China's entry“ 17 September 2001. < http://www.wto.org/english/news_e/pres01_e/pr 243_e.htm> -------------------------------. “Protocol on The Accession of The People's Republic of China WT/L/432 23 November 2001.” < http://www.wto.org/english /thewto_e/acc_e/completeacc_e.htm> ---------------------------------.” Report of The Working Party on The Accession of China WT/ACC/CHN/49 01 October 2001.” < http://www.wto.org/english/ thewto _e/acc_e/completeacc_e.htm > Yang, Cheng Xun. “Answers to Several Questions about Socialist Market Economy” diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 12.22.
Universitas Indonesia Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012