Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
TOPENG DALAM RITUAL DI KOREA DAN INDONESIA
Diah Anggraini Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
Abstract Mask has been used for over centuries around the world. The word topeng in Indonesian and tal in Korea literally means mask. It is derived from the root word tup meaning cover, hence something pressed against the face. Topeng or tal as a sacred object used extensively in Korea and Indonesia as ritual devices, being a vehicle to leap into hidden dimension. This can be done by merging with the spirit of the mask, animating the mask through conscius intention, thereby transforming the moment for all involved. Numerous are its ritual uses; healing, fertility, harvest and other sacred rituals. Beside that, the influences of shamanism in Korea and animism in Indonesia makes the using of mask in rituals become important cause of believing the presence of spirit inside of the mask. Keywords: mask, ritual, Korea, Indonesia.
Pendahuluan Pada dasarnya topeng digunakan untuk menutupi wajah. Namun tidak sembarang untuk menutupi wajah, penggunaan topeng biasanya dilakukan dalam suatu ritual. Ritual dengan menggunakan topeng ini telah dilakukan sejak lama oleh banyak negara-negara di Benua Asia, Benua Australia, Afrika, Amerika, dan Melanesia dalam berbagai tujuan (Jeon Kyung Wook : 2005). Walaupun begitu, ada beberapa negara yang tidak menggunakan topeng dalam ritual atau kesenian apapun seperti, negara bagian Arab yang tidak memperbolehkan adanya tarian yang menggunakan topeng karena hal itu dilarang
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
dalam kitab Al-Quran. Dalam kitab suci Al-Quran, telah disinggung bahwa melarang adanya pendewaan akan manusia dan binatang. Karena larangan inilah, maka penggunaan ikon manusia dan binatang dalam sebuah pertunjukkan dilarang dalam negara Islam. Namun Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam merupakan suatu pengecualian. Beberapa wilayah di Indonesia menggunakan topeng dalam beragam ritual yang dilakukan. Pulau Jawa merupakan salah satu contoh penggunaan topeng dalam ritual sering dilakukan. Tidak hanya Indonesia, Korea juga merupakan salah satu contoh negara di benua Asia dalam hal penggunaan topeng di ritual-ritual yang dilakukan. Penggunaan topeng telah berkembang subur di wilayah Jawa dan beberapa wilayah di Korea. Di pulau Jawa, penggunaan topeng sudah dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit. Batu yang bertuliskan Jaha yang ditemukan di pulau Jawa pada tahun 840 Masehi menyebutkan tentang atapukan yang memiliki arti topeng. Di Bali, topeng ditemukan di dalam cerita Patih Ularan pada tahun 1552 S.M, saat kekuasaan majapahit sedang melemah. (Tokyo National Research institute of Cultural Properties : 1987). Lain halnya dengan Korea, topeng telah digunakan sejak masa tiga kerajaan yaitu, Kerajaan goguryeo, Goryo dan Silla. Ada banyak teori yang menjelaskan tentang pemanfaatan topeng sebagai sebuah bentuk hiburan, ornamen sarana pertunjukan sampai penggunaannya pada ritual religius. Tari topeng di Korea dan Indonesia digunakan dalam ritual-ritual yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai sarana upacara keagamaan, berlindung dari kekuatan roh jahat. Hampir semua tari topeng di Indonesia memiliki fungsi dan peranan tunggal sebagai sarana upacara keagaamaan, yang diwujudkan dalam bentuk pemujaan roh nenek moyang dengan harapan akan perlindungan oleh kekuasaan roh-roh tersebut terhadap segala pengaruh jahat demi kesejahteraan dan keselamatan mereka yang masih hidup (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan: 2000). Di Korea, topeng memiliki peranan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan nenek moyang dalam berbagai ritual contohnya ritual kesuburan, ritual kematian, rotual
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
pengusiran roh jahat, dan lain sebagainya (Cho Dongil: 2005) Selain itu terdapat ritual yang dilakukan oleh Mudang (dukun) dengan menggunakan topeng sebagai media untuk menyembuhkan orang yang sakit, ritual penguburan dan ritual untuk kematian. Ritual-ritual yang biasa diadakan di Korea dan Indonesia biasanya bersifat religius mulai dari mengusir roh jahat sampai ritual persembahan untuk nenek moyang. Di Korea, sejak jaman dulu yang melakukan ritual-ritual religius ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang shamanistik disebut sebagai mudang (dukun). Indonesia dengan pengaruh animisme dinamismenya mengggunakan topeng untuk melakukan persembahan kepada nenek moyang. Hal ini disebabkan dahulu kala hingga kini adanya pendewaan terhadap topeng. Ritual-ritual yang dilakukan baik di Korea dan Indonesia memiliki pengaruh kepercayaan yang dianut masing-masing negara. Korea dengan shamanismenya dan indonesia dengan kepercayaan animisme dan dinamismenya membuat ritual-ritual yang dilakukan menjadi sangat sakral sehingga setiap topeng yang digunakan memiliki makna tersendiri.
Rumusan Masalah Melihat besarnya peranan topeng dalam ritual religius di kedua belah negara, Korea dan Indonesia, timbul pertanyaan pertama tentang kapan topeng mulai digunakan di dua negara tersebut. Kedua, bagaimana dan apa saja peranan topeng dalam ritual religius. Ketiga, apa saja pengaruh shamanisme dalam penggunaan topeng pada ritual religius di Korea. Keempat, apa saja pengaruh budaya animistik dalam penggunaan topeng pada ritual religius di Indonesia.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut: pertama mengetahui dan memahami sejarah topeng di kedua negara. Kedua, menyadari pentingnya peranan topeng dalam ritual religius. Ketiga, membuat pembaca paham bahwa ritual topeng di Korea dipengaruhi unsur-unsur shamanisme. Keempat, menjelaskan perihal pengaruh budaya
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
animistik dalam hal penggunaan topeng pada ritual religius di Indonesia. Melalui hal ini, penulis mengharapkan para pembaca dapat jelas mengenai perihal penggunaan topeng. Selain itu, penulis juga berharap pembaca dapat mulai memahami dan memberikan perhatian kepada kebudayaan sehingga dapat menjaga dan melestarikan kebudayaan tersebut.
Manfaat Penelitian Agar pembaca menyadari bahwa kebudayaan memiliki sisi yang menarik untuk dipahami dan diteliti. Selain itu, selain menjaga kebudayaan di negaranya sendiri, pembaca juga dapat menghormati perbedaan yang ada pada kebudayaan negara lain. Hal ini tentunya dapat menjadikan pembaca sebagai seorang individu yang bijaksana dan kritis.
Metode Penelitian Dalam penulisan artikel ini, penulis melakukan pencarian data dengan metode pustaka dna literatur. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap sesuai dengan keperluan penulisan. Sumber-sumber yang penulis gunakan berasal dari buku, laporan penelitian yang dilakukan oleh lembaga serta artikel-artikel ilmiah yang ada kaitannya dengan penulisan ini.
Analisis dan Interpretasi Data Ada empat teori besar yang menyatakan tentang sejarah penggunaan topeng di Korea. Empat teori itu adalah pencarian asal-usul cerita tari Korea yang menggunakan topeng melalui Sandaehui (탈탈탈: cerita tari topeng yang mengisahkan tentang kehidupan istana, 918-1392), Giak (탈탈: pertunjukan akrobatik dalam Dinasti Baekje, B.C.18-A.D.660; Gigaku dalam bahasa Jepang), ritual agama kuno, dan yang terakhir Sanak-Baekhui (탈탈.탈탈: berbagai bentuk-bentuk hiburan yang dipersembahkan selama perjalanan panjang yang dilakukan oleh orang istana dan acara-acara resmi istana lainnya (Jeong KyunWook: 2005). Terakhir, teori ritual religius kuno yang menyatakan
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
bahwa tari topeng Korea berakar dari ritual religius adalah teori yang banyak diterima oleh para sarjana (Jeong KyunWook: 2005). Teori ritual religius ini banyak diterima oleh sarjana Korea. Banyak sarjana percaya bahwa di Korea, topeng awalnya digunakan sebagai ornamen untuk menjalankan sebuah ritual religius seperti ritual persembahan untuk nenek moyang, ritual kematian, ritual kesuburan, dan lain sebagainya. Asal-usul ritual religius di Korea dapat dibagi menjadi dua kategori: ritual shamanisme dalam upacara keagamaan serta ritual shamanisme di pedesaan (Gut: 탈) yang dilakukan oleh Mudang atau dukun; ritual kesuburan untuk hasil panen yang bagus (Kim Jae-cheol: 1939). Kim Jae-Cheol juga menyatakan teori yang sama, yaitu bahwa penggunaan topeng Korea berakar dari ritual shamanisme yang bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kepada dewa bumi yang telah memberikan hasil panen yang baik dengan cara memakai topeng lalu menari dengan musik, lagu dan cerita (Kim Jae-cheol: 1939). Teori Sandaehui Para sarjana yang menyatakan bahwa Sandaehui merupakan awal mulanya tari topeng Korea adalah An Hwak. Kim Jae-chol, Yang Jae-yoon, dan Lee Du-hyeon Sandaehui biasanya dimainkan dalam perjamuan istana serta acara-acara nasional pada Dinasti Silla sampai pertengahan Dinasti Joseon (1392-1634). Sarjana An-Hwak yang pertama kali mengungkapkan teori ini. Dia percaya bahwa Sundaehui dan Cheoyongmu berasal dari akar yang sama, Narye, menegaskan bahwa Naeui awal mulanya berkembang selama periode Silla dan berlanjut menjadi Sandaehui pada periode Goryeo yang kemudian menjadi bentuk asli dari Sandae Dogam selama periode Joseon (Lee NanYeong: 1976). Teori ini juga didukung oleh Kim Jae-Cheol yang menyatakan bahwa cerita tari topeng Korea aslinya dari ritual religius kuno, yang kemudian berkembang menjadi Yeonhui pada masa Silla, lalu diadaptasi menjadi cerita-cerita yang berlatar belakang Sandae pada masa Goryeo, dan akhirnya menjadi cerita Sandae Dogam pada Dinasti Joseon) (Choi Sangsu: 1984). Teori Giak
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Teori ini dinyatakan oleh Lee Hye-gu. Dia mengatakan bahwa Giak, atau sebutannya dalam bahasa Jepang adalah Gigaku, dibawa ke Jepang oleh seorang musisi Korea bernama Mimaji pada masa kekuasaan Raja Suiko 20, tahun 612. Mimaji yang awalnya adalah orang Baekje kemudian berubah menjadi warga negara Jepang ini mengatakan, “saya bisa menarikan Gigaku karena saya telah mempelajarinya di negara Wu (Cina).” Sejak saat itulah, ia pun diperbolehkan tinggal di Aengjeong dan mengajarkan Gigaku kepada anak-anak. Diantara mereka, Jinyasujeja dan Sinhanjemun menguasai Gigaku dan
diturunkan kembali ke generasi berikutnya yang kemudian
menjadi pola dasar dari beberapa tari topeng Korea seperti Daesisu, Byeokjeonsu, dan lainnya (Lee Du-hyeon :1979). Walaupun memang benar bahwa Mimaji mempelajari Gigaku dari negeri Wu (Cina) dan memperkenalkannya ke Jepang, tidak ada catatan yang menjeaskan secara lengkap dasar-dasar dari tarian Gigaku. Hanya ada 230 buah topeng-topeng Gigaku yang bisa dilihat di Houryuuji (kuil Buddha) dan Shousouin (rumah penyimpanan) Toudaiji (kuil Buddha) yang dapat memperlihatkan seperti apa dulunya tarian Gigaku dipertunjukkan. Walaupun begitu, belum ada catatan bahw Giak pernah ditemukan di Korea. Teori Ritual Religius Teori yang banyak diterima oleh sarjana tentang asal usul tari topeng Korea adalah teori ritual religius kuno. Banyak sarjana percaya bahwa tari topeng Korea dulunya berakar dari ritual religius. Ritual religius yang bertujuan untuk ritual kuno dan ritual kesuburan ini banyak dilakukan tidak hanya di Asia saja namun juga dalam kebudayaan Yunani. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ritual religius banyak ditemukan dalam tari topeng Korea. Asal-usulnya dapat dibagi menjadi dua kategori: ritual shamanisme dalam upacara keagamaan serta ritual shamanisme di pedesaan (Gut: 탈) yang dilakukan oleh Mudang atau dukun; ritual kesuburan untuk hasil panen yang bagus (Kim Jae-cheol: 1939). Kim Jae-Cheol juga menyatakan teori yang sama, yaitu bahwa tari topeng Korea berakar
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
dari ritual shamanisme yang bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kepada dewa bumi yang telah memberikan hasil panen yang baik dengan cara menarikan tari topeng dengan menggunakan musik, tarian, lagu dan cerita. Kim memberikan dua contoh bagian dalam dram untuk memperkuat teorinya itu. Contoh tersebut dapat dilihat dalam bagian saat ada ritual persembahan untuk roh dalam cerita tari topeng Sandae dan ritual shaman yang dilakukan oleh nenek Miyal yang meratapi kepergian suaminya. Menurut Kim, bagian ini erat kaitannya dengan shamanisme (Lee Hye-gu: 1939). Seorang sejarawan bernama Song Seok-Ha menyatakan bahwa tarian Sabangsinmu (tarian empat arah dalam kosmologi timur) dan tarian yang mempertunjukkan adegan seksual dalam tari topeng digunakan dalam ritual shamanisme untuk kesuburan hasil panen dan perikanan (Kim Jae-cheol: 1939). Cho Dong-il menjelaskan lebih dalam lagi keterkaitan antara tari tpeng Korea dengan ritual kesuburan. Dia menyatakan bahwa asal-usul tari topeng Korea adalah berasal dari Gut (탈) untuk meminta panen yang berlimpah. Cho menjelaskan tiga tipe ritual di pedesaan: Gut yang dipersembahkan oleh para petani dengan menggunakan music dan tarian yang bernama Nongakdae (탈탈탈: “Nongak” berarti petani, musik perkusi, dan “dae” berarti rombongan akrobat); ritual ini pun akan dibawakan oleh seorang Mudang (dukun). Dia berpendapat bahwa tari topeng korea berakar dari Gut (ritual) di pedesaan yang dipersembahkan oleh para Nongakdae. Menurutnya, aksi hiburan yang dilakukan oleh para Nongakdae yang dikenal dengan nama Japsaek (탈탈) biasanya dilakukan setelah Gut sehingga bisa disimpulkan bahwa tari topeng Korea awalnya berakar dari Gut (ritual) di pedesaan lalu berkembang menjadi bentuk-bentuk yang lain sesuai daerah masing-masing (Kim Jae-cheol: 1939). Pendapat Cho diatas mendapat banyak dukungan karena adanya fakta tentang ditemukannya unsur-unsur yang sama dalam Nongat Gut dan tari topeng. Hal ini dapat dilihat pada pemain tari topeng dalam Gut Desa Goseong di provinsi Gangwon-do, Gut Jugok-dong nongakdae di Hwol-myeon, kota Yongyang, Andong di provinsi Gyeongsabuk-do, memakai topeng dan melakukan permainan topeng sambil melakukan
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
ritual ritual religius yang dipersembahkan untuk dewa penjaga desa tersebut. Topeng yang biasa dipakai dalam ritual ini biasanya adalah topeng yang sudah disucikan kemudian dibentuk seperti topeng manusia yang diberi nama sebagai “imae” (탈탈: seorang warga desa yang bodoh), “Choraengi” (탈탈탈: pembantu yang bodoh), :Yangban” (탈탈: kalangan bangsawan), dan “Gaksi” (탈탈). Dalam ritual pedesaan itu juga terdapat adegan perang saat musim panas dan musim dingin. Adegan perang ini erat kaitannya dengan kesuburan dan ritual panen. Contohnya, adegan konflik antara Biksu Tua (Nojang (탈탈)) dan Chwihari atau antara Nenek Miyal dengan wanita genit. Pada adegan ini, semua konflik akan dimenangkan oleh orang yang lebih muda yang mempunyai makna bahwa seorang wanita tua yang sudah tidak subur lagi harus disingkirkan dan diganti dengan wanita yang masih muda dan subur yang bisa memberikan anak. Ritual dengan adegan seperti ini dilakukan demi berdoa untuk mendapat hasil panen yang melimpah (Cho Dong-il: 1979). Pada akhirnya seorang sarjana pernama Park Jin-Tae, tahun 1980 mempelajari asal-usul tari topeng Korea yang kemudian dikaitkan dengan shamanisme. Park menemukan bahwa adanya hubungan antara mitos dengan Gut dan antara ritual agama dengan tari topeng. Park menemukan jawabannya setelah menganalisa bahwa yang menjalankan Hahoe Byeolsin Gut dan tari topeng Korea lainnya adalah Mudang (dukun). Dua ritual (탈) dilakukan oleh Mudang dalam Hahoe Byeolsin Gut: Gangsin (탈탈: upacara shamanistik yang bertujuan untuk menerima roh-roh) dan Georigut (탈탈탈: upacaraupacara yang dilakukan di jalan). Dia kemudian menyimpulkan bahwa Hahoe Byeolsin Gut yang awalnya dilakukan oleh Mudang (dukun) kemudian beralih dilakukan oleh Nongakdae (Cho Dong-il: 1979). Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak memiliki kebudayaan topeng. Setiap pulau memiliki topeng yang melambangkan kebudayaan serta sejarah mereka. Topeng borneo dari pulau Kalimantan, Topeng Cirebon, Barong dan masih banyak lagi macamnya. Dilihat dari sejarahnya, penggunaan istilah topeng yang paling tua telah disebut dalam prasasti Wahara Kuti atau prasasti Jaha pada tahun 762 Shaka (840
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Masehi) dengan nama atapukan atau tapel. Sumber lain yang mengukuhkan keberadaan petopengan atau topeng terungkap pula dalam prasasti Bebetin 828 Shaka (896 Masehi) pada pemerintahan Raja Ugrasena di Bali. Berdasarkan berita tersurat dari prasastiprasasti di atas memperlihatkan bahwa informasi tentang topeng yang disebut dengan istilah atapukan, partapukan, dan tapel sudah dikenal oleh suku bangsa- suku bangsa di Nusantara sejak abad IX. Melalui hal ini, dapat dikatakan bahwa topeng yang digunakan manusia pada jaman ini usianya sudah sangat tua (I Wayan Dana: 1985). Di Jawa Timur, topeng sebagai sarana pertunjukkan kesenian sudah di mulai pada jaman Mataram I di abad IX Masehi, di kalangan masyarakat dengan Tradisi Besar, jadi di kalangan keraton. Dengan berpindahnya keraton dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dengan rajanya Mpu Sindhok, langsung terbawa pula kesenian topeng ke Jawa Timur, dan lambat lan berintegrasi pula dengan Tradisi Kecil yang masih melekat pada kaum elite dan cendekia yang berasal dari daerah setempat. Permainan topeng lambat laun pun dengan mudahnya merembes ke luar keraton dan menjadi tontonan rakyat. Kesenian pahat-memahat dan patung-mematung pada abad IX Masehi sudah mencapai taraf mutu yang tinggi, sebagaimana dibuktikan oleh patung dan pahatan relief candi-candi di Jawa Tengah seperti Borobudur, Mendut, Prambanan, dan lain-lain, maka bentuk dan corak topeng pada masa itu pun sudah halus dan sempurna garapannya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan: 2000). Topeng juga dijelaskan dalam Negara Kertagama yang menyebutkan bahwa pada saat itu Hayam Wuruk menunjukan tarian dengan menggunakan topeng bersama dengan ratunya. Tarian yang dimaksud dalam Negara Kertagama dinamakan raket atau soritekes. Penggunaan topeng di Bali juga dijelaskan dalam suatu temuan yang menyebutkan bahwa pada tahun 1552 SM Patih ularan dikirim oleh Raja Gelgel ke Jawa Timur untuk berperang dengan kerajaan Blambangan. Saat itu, Raja Sri Juru dari Blambangan ditangkap dan dipenggal kepalanya sedangkan anaknya yang bernama Putri I Gusti Ayu Nibas dibuang ke Pasuruan. Tentara-tentara Bali akhirnya berhasil menguasai Blambangan dan membawa pulang topeng, dua buah bonek dan dua buah
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
gong besar untuk dipersembahkan kepada Raja Waturenggong atas kemenangan mereka (Tokyo National Research Institute of Cultural Properties).
Pembahasan Topeng dalam Ritual Korea Topeng yang berbentuk wajah manusia dan binatang sudah digunakan sejak jaman dahulu kala. Dalam karakter Cina, topeng berarti alat untuk menutupi wajah, pengganti wajah, wajah palsum kepala palsu, dalam bahasa Korea berarti “Gwangdae” (탈탈: topeng penghibur), “Tal” (탈: topeng), dan “Talbak” atau “Talbakji: topeng penjaga) (Jeon Kyungwook: 2005). Topeng mempunyai keugunaan sebagai ornamen untuk ritual kesuburan agar mendapat hasil panen yang melimpah dan ritual pengusir setan. Topeng juga digunakan dalam ritual shamanistik untuk menyembuhkan orang sakit, ritual penguburan, dan kematian. Beberapa topeng juga digunakan dalam festivalfestival lainnya. Berdasarkan macam-macam kegunaannya, maka penggunaan topeng diklasifikan sebagai berikut: topeng dalam ritual kesuburan, topeng dalam ritual penguburan, topeng dalam ritual persembahan, topeng ritual kematian, topeng ritual pengusiran roh, topeng ritual berburu, dan lain sebagainya (Jeon Kyungwook: 2005). Di Korea biasanya topeng dipakai dalam ritual-ritual tertentu seperti ritual kesuburan, ritual pengusir roh jahat, ritual persembahan untuk roh, ritual kematian dan lainnya. Masing-masing ritual memakai topeng yang berbeda-beda. Pada masa Kerajaan Goguryeo periode (B.C 37-A.D.668), Ibu Raja Dongmyeong yang bernama Ryuhwa dipercayai sebagai dewa pertanian. Pada saat itu ada dua kuil yang dibangun khusus untuk melakukan ritual yang dipersembahkan untuk Ryuhwa. Ritual yang dilakukan pun menggunakan topeng yang dibuat khusus untuk menghormati Raja Dongmyeong dan Ryuhwa. Selain itu, ada juga contoh ritual kesuburan untuk pertanian yang menggunakan topeng seperti Hahoe Byeolsin dan Gangneung Gwanno dipercaya sebagai akar dari tumbuhnya ritual menggunakan topeng ini.
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Topeng juga mempunyai fungsi untuk mengusir setan. Di Korea, ada beberapa ritual pengusir setan yang menggunakan topeng. Dalam hal ini, topeng digunakan untuk mengusir segala jenis roh jahat yang mengganggu atau memasuki tubuh seseorang dan roh-roh jahat yang berkeliaran. Biasanya Mudang (dukun) akan memakai topeng dan memimpin ritual ini. Ritual pengusiran setan dapat terlihat dalam Narye. Dalam Bukcheong Saja-nori merupakan contoh ritual pengusiran setan (Jeon Kyung-wook : 2005). Selain ritual pengusiran setan, terdapat ritual penyucian di Korea yang juga menggunakan topeng. Ritual penyucian ini dapat ditemukan di kuil Goseong, provinsi Gyeonggi, kuil Deoukmul di Gaeseong, Provinsi Gyeonggi. Pada ritual ini pemimpin ritual melakukan ritual dan mempersembahkan makanan dan minuman kepada dewa.
Topeng dalam Ritual Indonesia Topeng telah digunakan lama oleh masyarakat Indonesia dalam keperluan ritual. Pemakaian topeng dalam ritual ini dapat dianggap setua kebudayaan topeng itu sendiri. Pada awalnya topeng merupakan salah satu wujud penggambaran simbolis yang dibuat manusia dengan maksud penghormatan kepada leluhur, sengan menggunakan berbagai bahan sesuai keperluan masyarakat pada zamannya. Jadi, maksud utama topeng adalah digunakan sebagai media pemanggilan roh nenek moyang agar memasuki topeng-topeng dalam sebuah upacara animistik (Dana, I Wayan: 1985). Pada upacara dan ritual tertentu, topeng berfungsi sebagai sarana penghubung antara manusia dengan alam baik atau antara roh nenek moyang dengan keluarga yang melaksanakan suatu upacara. Pelaksanaan upacara atau ritual ini dilakukan oleh masyarakat Hindhu di Bali. Roh orang yang meninggal setelah melalui proses pengabenan hingga nyekah selanjutnya diwujudkan dalam bentuk simbolis topeng kecil dari bahan kayu. Topeng kecil itu diikat dan dihias dengan berbagai bungan diantaranya bunga teratai warna putih maupun merah, sehingga tampak berwujud seperti boneka yang dibungkus kain putih. Oleh pendeta, roh yang diwujudkan dengan topeng kayu bergambar wajah mirip boneka itu diarak ke laut, sebagai bentuk dari riual akhir pengabenan. Ini menunjukkan bahwa setelah alam
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
kematian, sesungguhnya ada kehidupan baru lagi, karena sang roh tidak pernah mengenal kematian (Bandem I Made dan I Nyoman Rembang: 1976). Dalam topeng Cirebon, terdapat kisah yang berjudul Pararaton menyebutkan bahwa pada saat Kerajaan Majapahit menghadapi musim panceklik, Raja Majapahit, yatu Hayam Wuruk menari dengan menggunakan topeng untuk memanggil Sang Hyang Widi, dewa kesuburan. Hayam Wuruk menari dengan menggunakan topeng yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk ber-anapuk di lingkungan istana dan disaksikan hanya oleh kaum perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, dan ibunda raja) istana Majapahit. Ritual ini dilakukan untuk memohon kesuburan pada Sang Hyang Widi dan hanya raja yang boleh melakukan ritual ini dengan menggunakan topeng. Hal ini disebabkan karena raja dianggap sebagai titisan dewa yang suci. Topeng sebagai salah satu peninggalan seni dan budaya bangsa Indonesia, lebih menitikberatkan fungsinya sebagai sarana penghormatan kepada roh nenek moyang atau roh leluhur yang didewakan. Pada saat pelaksanaan upacara tertentu topeng-topeng ditempatkan pada altar upacara menjadi bagian yang tak terpisahkan, dari sesaji keseluruhan upacara. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh seorang pengetua adat atau seseorang yang dipandang ahli dalam puja-mantra atau weda (Kawindrosusanto, 1970: 7).
Kepercayaan yang Mempengaruhi Penggunaan Topeng di Korea dan Indonesia Pengaruh Shamanisme dalam Topeng Korea Shamanisme adalah sebuah kepercayaan bahwa masalah manusia dapat diselesaikan dengan mempertemukan manusia dan para roh. Shaman (mudang) berperan sebagai perantara antara manusia dengan dewa. Shaman mengandakan gut (ritual) untuk memperoleh keberuntungan, menyembuhkan penyakit dengan mengusir roh tersesat yang ada di dalam tubuh manusia, atau berdamai dengan roh penunggu setempat. Ritual juga diadakan untuk mengantar roh orang yang sudah meninggal (Cho Dong-il: 2005).
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Shaman sudah dikenal sejak 40.000 tahun lalu. Shaman memiliki kemampuan untuk memindahkan jiwa dengan kemauannya sendiri. Dalam keadaan trans, rohnya bisa berpindah ke dunia lain tempat para roh membimbingnya melakukan tugas. Shaman tidak hanya menyembuhkan tubuh tapi juga jiwa dan roh. Mereka percaya tubuh, jiwa, dan roh adalah satu kesatuan dengan jiwa sebagai nafas hidup dan tempat roh bersemayam. Sakit dalam jiwa berkaitan dengan hilangnya jiwa atau kerasukan (Cho Dong-il: 2005). Oleh karena itu, pada jaman dahulu banyak orang Korea yang melakukan ritual pengusiran roh jahat. Ada banyak roh yang berhubungan dengan para shaman. Mulai dari dewa-dewa utama yang menghuni berbagai tingkat surga hingga dewa gunung, dewa yang mendiami pepohonan, gua keramat, tumpukan batu, dewa bumi, roh-roh orang yang mati penasaran, dan lain sebagainya. Semua roh itu dianggap dapat mempengarui keberuntungan manusia termasuk anak-anak. Hampir semua ritual yang dilakukan oleh shaman menggunakan topeng. Topeng dipercayai dapat menjadi media bagi shaman dan roh untuk berkomunikasi. Ritual pengusir roh jahat akan menggunakan topeng yang berwajah seram. Pada saat melakukan ritual, shaman akan membacakan mantra-mantra guna berkomunikasi dengan para roh. Topeng Indonesia dalam Budaya Animistik Apa yang dilakukan oleh manusia kini sesungguhnya telah dilaksanakan oleh manusia-manusia masa lalu atau masyarakat primitif (saat belum dikenal budaya bacatulis). Pada tingkatan-tingkatan tertentu terjadi suatu tindakan pada awal waktu dijalankan oleh para dewa, pahlawan ataupun leluhur yang berkuasa pada masanya dan berkelanjutan dalam generasi penerus manusia berikutnya. Demikian, setiap tindakan dilakukan seseorang hanya mengulangi dan mengulangi lagi sesuai dengan jiwa zamannya, termasuk dalam pelaksanaan budaya animistik (Eliade: 2005). Budaya animistik setidaknya mempunyai dua pengertian. Pertama, dapat dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan manusia religius khususnya orang-orang primitif yang membutuhkan jiwa pada manusia dan pada semua makhluk hidup serta benda mati.
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Kedua, animistik adalah paham animisme yang dapat dianggap sebagai sebuah teori tentang jiwa manusia merupakan akibat dari pemikiran tentang beberapa pengalaman psikis melalui mimpi manusia (Dhavamony: 1995). Dalam kepercayaan animisme, terdapat bentuk roh-roh yang disakralkan. Roh-roh ini dapat dikelompokkan atas (1) roh yang berhubungan dengan manusia, yaitu jiwa manusia sebagai kekuatan vital untuk kehidupan, (2) roh yang berhubungan dengan objek alamiah yang bukan manusia, seperti air hujan, batu-batu besar yang menonjol ke permukaan bumi, pohon-pohon besar, roh binatang, roh dari tempat-tempat yang berbahaya, dan roh dari benda-benda angkasa, (3) roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti kekuatan angin, petir, gunung, kedahsyatan laut, dan roh lainnya yang berkaitan dengan alam; (4) roh yang berhubungan dengan kelompok sosial, seperti dewa-dewa, setan-setan, dan para malaikat termasuk yang menghidupi berbagai bentuk/figur topeng (Dhavamony : 1995: 65-67). Oleh karena itu, topeng sejak masa lalu dikenal sebagai benda-benda sakral yang memiliki kekuatan (mana) melegitimasi, dan mengukuhkan pelaksanaan berbagai ritual adat maupun keagamaan tertentu dalam budaya Indonesia. Kehadiran topeng sebagai benda sakral mendukung suasana religius magis yang tidak nyata, tetapi kekal keberadaannya. Keterlibatan topeng dalam pelaksanaan berbagai ritual sebagai fenomena budaya tempat sang roh atau energi alam yang menghidupi dan berproses (Ardana, 1986: 72-77). Bentuk komunikasi untuk mengatasi atau menangkal kejahatan, menghilangkan musibah, atau menjamin kesejahteraan umat manusia. Topeng sebagai sebuah benda sakral telah dikeramatkan oleh masyarakat penggunanya. Bahkan pembuatan topeng tidak sembarang dilakukan. Pembuat topeng harus melakukan ritual khusus terlebih dahulu. Pemahat topeng ini biasanya sudah dilakukan turuntemurun oleh keluargatertentu. Pembuatnya harus mengerti ritual serta doa doa yang harus dipanjatkan yang berhubungan dengan topeng serta seluruh tanda-tanda dalam ritual yang sering disebut dengan Dharmaning Sangging. Topeng akan dibuat dari kayu pilihan yang berasal dari tempat yang dianggap suci seperti contohnya pohon dari kuburan (kepuh taru) atau pohon yang berasal dari pura yang ada di desa. Pohon tersebut
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
kemudian dipotong dengan terlebih dahulu memanjatkan doa dan menyediakan sesajen. Setelah itu, kayu phon tersebut akan didiamkan di dalam air selama beberapa hari hingga nanti siap untuk dipahat. Saat topeng selesai dibuat, sebuah surat yang berisi doa-doa akan ditempelkan di depan topeng. Hal ini bertujuan untuk mengundang roh-roh masuk ke dalam topeng. Budaya animistik yang dijalankan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dilakukan dengan cara menghormati kekuatan-kekuatan alam dan menetapkan bahwa semua benda di alam seperti batu, pohon, gunung, laut serta benda-benda sakral seperti tempat suci, rumah/istana, gamelan, wayang, dan berbagai bentuk topeng ada yang ‘menjaga’ atau memiliki roh. Banyak di atara roh itu sangat dekat dan suka membantu kehidupan manusia, seperti roh nenek moyang yang didewakan (Eliade,2002: 132-134). Roh atau yang berupa energi alam itu tidak digambarkan dengan visioplastik, seperti yang tampak, tetapi lebih disesuaikan ke arah ideoplastik yang tidak tampak. Ini merupakan kelebihan nenek moyang bangsa Indonesia dalam mengekspresikan seni dan ritualnya yang menyatukan unsur kebenaran, kebaikan, dan keindahan (Soedarsono Sp, 2006: 12). Kepercayaan pada benda sakral, di dalamnya termasuk berbagai bentuk topeng dalam budaya animistik menunjukkan kesalingtergantungan antara alam dan budaya dalam pembentukan masyarakat dan penciptaan sifat-sifat manusia (Turner,2006: 87). Kesalingketergantungan ini tidak bisa dipahami secara umum, tetapi hanya dalam konteks individu dan masyarakat masing-masing penyangga topeng yang percaya bahwa benda keramat itu memiliki kekuatan supernatural. Hal ini yang menjadi landasan terhadap langkah-langkah masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan kepercayaan sesuai tingkat kemajuan keberadaban daerahnya masing-masing. Kepekatan kepercayaan terhadap benda-benda sakral menjadikan topeng semakin dihormati dan ditempatkan sebagai media komunikasi antarmanusia dengan alam semesta.
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Kesimpulan
Topeng telah digunakan sejak lama di berbagai negara sebagai bentuk persembahan atas suatu kepercayaan tertentu. Indonesia dan Korea merupakan contoh negara yang masih menggunakan topeng dalam berbagai ritual yang dilakukannya. Makna topeng dan penggunaannya di masing-masing negara hampir memiliki persamaan. Dalam penggunaan topeng dalam suatu ritual, Korea masih dipengaruhi oleh kepercayaan shamanisme sedangkan Indonesia dipengaruhi oleh animisme. Ada empat teori besar yang menyatakan tentang sejarah tari topeng Korea. empat teori itu adalah pencarian asal-usul cerita tari topeng Korea melalui Sandaehui (탈탈탈: cerita tari topeng yang mengisahkan tentang kehidupan istana, 918-1392), Giak (탈탈: pertunjukan akrobatik dalam Dinasti Baekje, B.C.18-A.D.660; Gigaku dalam bahasa Jepang), ritual agama kuno, dan yang terakhir Sanak-Baekhui (탈탈.탈탈: berbagai bentuk-bentuk hiburan yang dipersembahkan selama perjalanan panjang yang dilakukan oleh orang istana dan acara-acara resmi istana lainnya (Jeong KyunWook: 2005). Banyak ritual di Korea yang menggunakan topeng contohnya ritual minta kesuburan, ritual panen, ritual pengusir roh jahat, ritual penyucian, ritual persembahan untuk roh nenek moyang, dan masih banyak lagi. Penggunaan topeng dalam ritual ini juga ada pengaruh dari shamanisme. Shaman (dukun) adalah orang yang menjalankan ritual-ritual tersebut. Shaman (dukun) dipercayai dapat berkomunikasi dengan roh saat ritual dengan menggunakan topeng sebagai media komunikasi. Topeng sebagai salah satu peninggalan seni dan budaya bangsa Indonesia banyak digunakan sebagai sarana penghormatan kepada roh nenek moyang atau roh leluhur. Kehadiran topeng sebagai benda sakral mendukung suasana religius magis yang tidak nyata, tetapi kekal keberadaannya. Topeng dalam pelaksanaan berbagai ritual sebagai fenomena budaya tempat sang roh atau energi alam yang menghidupi dan berproses. Bentuk komunikasi untuk mengatasi atau menangkal kejahatan, menghilangkan musibah, atau menjamin kesejahteraan umat manusia.
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Saran Penulis sadar bahwa ada banyak kekurangan pada artikel ini. Bahan bacaan penulis masih belum begitu banyak disebbkan oleh kurangnya bahan sumber buku Korea. Selain itu, penulis seharusnya terjun langsung ke lapangan guna meneliti kebudayaan topeng di kedua negara tersebut. Penulis dapat meneliti langsung tentang ritual dan dapat pula langsung merasakan unsur-unsur shamanisme dan animisme pada tiap negara. Penulis juga seharusnya melakukan wawancara terhadap mudang (dukun) untuk mengetahui lebih mendalam lagi tentang peranan mudang dalam ritual religius yang menggunakan topeng. Lebih lanjut lagi, penulis juga seharusnya melakukan penelusuran lebih lanjut tentang peranan topeng dalam ritual religius di Indonesia. Hal ini disebabkan setiap wilayah di Indonesia memiliki fungsi dan peranan topeng yang berbeda pada setiap ritualnya. Penulis sangat berharap bahwa pembaca dapat melanjutkan artikel ini dan menjadikannya sebagai artikel yang bagus untuk dibaca.
Bibliografi Cho Dong-il, The History and Principles of the Talchum, Seoul: Hongseongsa, 1979. Choi Sang-su, A Study of Korean Masks, Seoul: Seongmungak, 1984. Cho Dong-il, Korean Mask Dance, Seoul: Ewha Womans University Press, 2005. Dana, i Wayang, Topeng Sidhakarya: Sebuah Kajian Historis 1915-1991, Jakarta: Galang Press. 1995. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Roma: Gregorian University Press. 1993. Eliade, mircea, Sakral dan Profan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2005. Jeon, Kyeong-Wook, Korean Mask Dance Dramas-Their History and Structural Principles, Seoul: Youlhwadang. 2005 Soedarsono Sp, Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta. 1990.
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013
Turner, Bryan S, Agama dan Teori Sosial, Jakarta. 2006. Tokyo National Research Institute of Cultural Properties. (1987). International Symposium on the Conservation and Restoration of Cultural Property –Masked Performance in Asia-
Topeng dalam ritual ..., Diah Anggraini, FIB UI, 2013