UNIVERSITAS INDONESIA
KENAIKAN JUMLAH WANITA KARIER JEPANG AKIBAT PERGESERAN NILAI BUDAYA DAN PENURUNAN KELAHIRAN DI JEPANG
DITTA RESTI SETIONINGTIAS 1006764782
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK AGUSTUS 2014
1 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
2 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
3 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
KENAIKAN JUMLAH WANITA KARIER JEPANG AKIBAT PERGESERAN NILAI BUDAYA DAN PENURUNAN KELAHIRAN DI JEPANG
Ditta Resti Setioningtias dan Muhammad Mossadeq Bahri
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Email :
[email protected]
Abstrak
Penurunan angka kelahiran total di negara maju menjadi permasalahan penting bagi pemerintahnya. Di Jepang sendiri, terjadinya penurunan tingkat kelahiran dalam beberapa dekade terakhir memunculkan istilah tersendiri, yaitu shoshika. Jepang diproyeksikan memiliki tingkat kelahiran yang negatif dalam beberapa dekade ke depan. Hal ini diperburuk dengan bertambahnya masyarakat lanjut usia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan shoshika,salah satunya adalah bertambahnya jumlah wanita karier di Jepang. Bertambahnya jumlah wanita karier di Jepang memiliki beberapa faktor penyebab, salah satunya pergeseran sistem nilai budaya. Pergeseran nilai budaya ini terjadi karena masuknya budaya asing akibat penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Artikel jurnal ini menganalisis hubungan antara adanya wanita karier dengan penurunan tingkat kelahiran di Jepang. Artikel jurnal ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum zaman Meiji, wanita Jepang merasa terkungkung oleh sistem patriarki yang meninggikan status pria. Berubahnya peran mereka dari ibu rumah tangga menjadi wanita karier merupakan salah satu sikap mereka keluar dari sitem patriarki yang ada dengan menuntut kebebasan.
Kata kunci: pergeseran nilai budaya; wanita karier di Jepang; penurunan angka kelahiran; shoushika
Abstract
Declining birth rates in developed countries had become a problematic issue that concerns its government. In Japan, the issue of declining birth rates has become such a concern that they have established a new term for it, which is shoshika. Projections of the population growth in Japan have shown negative birth rates for the coming decades. This issue is further worsened by the number of elders in the country. There are a couple factors as to why shoshika is currently taking place, and one of them is the increase of career women in Japan. The increase of Japanese career women is linked to causes such as the shift of cultural values. The shift in cultural values is product of foreign culture brought into Japan as a result of spreading culture. This article analyzes the relation between the increase of career women with the declining birth rates in Japan. This article uses qualitative research method. Results show that before Meiji Period, Japanese women felt restraint by the patriachal system 4 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
that superiorizes the status of men. The shift in their roles as housewives to career women is to show that they are no longer following the patriachal system by demanding freedom.
Keyword: shift of cultural values; career women in Japan; decline in the birth rate; shoushika
Latar Belakang . Menurunnya angka kelahiran total menjadi permasalahan penting yang mendapat sorotan secara global, khususnya negara maju. Negara dapat terus berkembang maju bila memiliki penerus di masa yang akan datang. Sebuah negara, khususnya negara maju, setidaknya memerlukan dua kelahiran anak tiap wanita untuk menjaga stabilitas jumlah penduduk di masa yang akan datang 1 . Kelahiran yang seharusnya menjadi sesuatu yang alamiah, akibat dari penurunan angka kelahiran total, menjadi hal yang mendapat campur tangan pemerintah. Di beberapa negara berkembang, pemerintahnya berusaha untuk menekan angka kelahiran total, berbanding terbalik dengan pemerintah negara-negara maju yang gencar melaksanakan melakukan kampanye agar angka kelahiran total semakin naik. Jepang merupakan salah satu negara yang menyoroti permasalahan berkurangnya angka kelahiran total secara serius. Fenomena turunnya angka kelahiran total secara terus menerus dikenal dengan sebutan shoushika( 少子化 )di Jepang. Angka kelahiran total atau total fertility rate2 di Jepang mulai terus menurun secara konstan sejak 1990. Menurut data dari situs Ministry of Health, Labour, and Welfare, penurunan angka kelahiran total sebenarnya sudah mulai terjadi semenjak tahun 1970-an, namun angka masih berfluktuasi di sekitar angka 2 hingga 1,8. Kemudian pada tahun 1990, dikenal sebutan “1,57shock” yang terjadi akibat jatuhnya angka kelahiran total terendah yang pernah terjadi di Jepang. 1,57shock mengalahkan rekor penurunan angka kelahiran total yang terjadi pada tahun 1966. Fenomena penurunan angka kelahiran total pada tahun 1966 terjadi karena latar belakang kepercayaan masyarakat Jepang. Pada tahun tersebut dikenal dengan nama hinoeuma atau tahun kuda api. Masyarakat Jepang percaya tahun hinoeuma bukanlah tahun yang baik untuk
1
http://geography.about.com/od/populationgeography/a/fertilityrate.htm Angka kelahiran total atau total fertility rate merepresentasikan jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita jika ia hidup sampai masa melahirkan berakhir dan mengasuh anaknya sesuai dengan tingkat kesuburan pada usia tertentu (Data World Bank) 2
5 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
memiliki anak, khususnya anak perempuan, karena anak yang lahir pada tahun tersebut dipercaya membawa musibah3. Selain faktor adanya kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat Jepang, ada beberapa faktor lain yang memengaruhi terjadinya shoushika. Perubahan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Jepang akibat masuknya paham dari negara lain dan faktor-faktor seperti perubahan ekonomi dan teknologi menjadi salah satu penyebabnya4. Salah satu nilai budaya yang berubah adalah saat keluarga tradisional Jepang, atau disebut ie, berubah menjadi keluarga inti yang disebut kaku kazoku. Konsep ie sangat kental dengan sistem patriarkal yang berpusat dan didominasi oleh pria. Ie dipengaruhi ajaran konfusianisme, yang dianut kebanyakan masyakarat Jepang, yang mengajarkan seorang anak perempuan harus patuh kepada ayah dan saudara laki-lakinya. Peran wanita dalam ie dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus keluarga secara seutuhnya. Peran laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, pengambil keputusan yang absolut, dan bertugas menafkahi keluarga. Hal ini menggambarkan terjadi ketimpangan pembagian peran dalam mengurus rumah tangga karena kurangnya partisipasi laki-laki dalam mengurus keluarga. Terjadi sedikit demi sedikit perubahan nilai budaya sejak Jepang membuka negaranya dan melakukan restorasi hingga akhirnya mereka ikut berperang dalam Perang Dunia II. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mengharuskan Jepang tunduk kepada sekutu. Setelah kekalahannya itu, Jepang pun melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Konstitusi. Beberapa poin yang diamandemen adalah penghapusan ie, pernikahan yang berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (renai kekkon), dan kesetaraan hak bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan dan bekerja. Perubahan sistem pernikahan dari miai kekkon menjadi renai kekkon dan penghapusan sistem ie mengubah keluarga Jepang yang biasanya memiliki hingga tiga generasi dalam satu rumah menjadi keluarga inti (kaku kazoku) yaitu ayah, ibu, dan anak. Semenjak tahun 2008, angka kelahiran total di Jepang berada di angka stabil, yaitu 5
1,4 . Meskipun tidak ada penurunan sejak tahun tersebut hingga saat ini, angka kelahiran total dibawah dua anak mengindikasikan bahwa populasi di Jepang menurun dan bertambahnya jumlah penduduk yang lanjut usia. Semakin tinggi jumlah penduduk lanjut usia dan semakin sedikitnya angka kelahiran total memiliki dampak akan tingkat ketergantungan yang tinggi antara penduduk lanjut usia dan usia produktif. Pada tahun 2005, pemerintah mulai 3
http://www.seiyaku.com/reference/hinoe-uma.html Masaki Atoh. Review of Population and Social Policy, No.10:Very Low Fertility in Japan and Value Changes Hyphotheses. 2001., 17 5 http://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.TFRT.IN 4
6 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
memproyeksikan pengurangan populasi secara natural di Jepang. Hal ini disebabkan angka kematian yang lebih sedikit dibanding angka kelahiran pada tahun tersebut. Jika ini menjadi tren yang terus berlanjut, Jepang akan kekurangan tenaga kerja dan mengalami kesulitan pada sistem pensiun akibat sedikitnya pembayar pajak untuk menanggung penduduk lanjut usia yang bertambah. Masalah penelitian yang ingin peneliti bahas memiliki dua variabel, yaitu pekerja wanita di Jepang dan penurunan tingkat kelahiran di Jepang. Hubungan antara kedua variabelnya adalah korelasi atau saling memengaruhi. Unit analisa dalam penelitian ini adalah wanita karier di Jepang dan angka kelahiran total di Jepang. Peneliti memberi scope penelitian, yaitu jumlah pekerja wanita dan angka kelahiran total di Jepang pada tahun 19702010 dengan penggenapan tahun setiap sepuluh tahun. Lalu, masalah penelitian dapat dirumuskan dengan 1. Apa faktor penyebab meningkatnya wanita karier di Jepang? 2. Apa faktor penyebab menurunnya angka kelahiran total di Jepang? 3. Apakah meningkatnya wanita karier di Jepang memiliki andil dalam menurunnya angka kelahiran total di Jepang? Tujuan penelitian ini dari segi teoritis : 1. Menemukan latar belakang peningkatan jumlah wanita karier dan penurunan angka kelahiran total di Jepang. 2. Menganalisis hubungan antara meningkatnya jumlah pekerja wanita dengan menurunnya angka kelahiran total di Jepang pada tahun 1970-2010.
Tinjauan Teoritis
Sawako Shirase (1999) menyatakan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi pendidikan seorang wanita, semakin tua wanita melahirkan anak pertamanya 6. Namun, pada akhir penelitian Shirase menyimpulkan bahwa bertambahnya wanita yang berpendidikan tinggi tidak terlalu memengaruhi penurunan angka kelahiran total di Jepang. Latar belakang pendidikan sangat berkaitan dengan mencapai tahap kehidupan pernikahan, tetapi keputusan wanita untuk melahirkan atau tidak, hal yang berhubungan langsung dengan penurunan angka 6
Sawako Shirase. Review of Population and Social Policy, No.9 : Women’s Increased Higher Education and The Declining Fertility Rate in Japan. 2000., 56 7 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
kelahiran total, merupakan keputusan masing-masing individu 7 . Dalam penelitian Masaki Atoh (1997) yang berjudul Very Low Fertility in Japan and Value Changes Hyphotheses berkesimpulan berubahnya sistem nilai selama dan setelah Perang Dunia II menjadi salah satu faktor berkurangnya angka kelahiran total di Jepang 8 . Proses individualisasi, yang menyiratkankecenderungankuatuntuk mendukungkebebasan individu sebagaipilihanyang bertentangan denganperaturankelembagaan yang ada, adalah hal yang turut mengubah masyarakat
9
.Dari kedua penelitian tersebut, terlihat perubahan sistem nilai budaya
memengaruhi tindakan-tindakan individu didalamnya. Tindakan yang dimaksud adalah perilaku manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gen-nya tetapi yang harus dijadikan milik dirinya dengan belajar (Koentjaraningrat, 1979). Penelitian
ini
menggunakan
konsep
kebudayaan
yang
dikemukakan
oleh
Koentjaraningrat (1979) dengan menggunakan pendekatannya tentang sistem nilai budaya dan penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Karena merupakan hasil dari belajar, kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat berubah. Belajar yang dimaksud bukan hanya mengenai ilmu pengetahuan, tetapi juga dari praktik tindakan sehari-hari. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat10. Sistem ini merupakan pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan yang memberikan dorongan yang kuat terhadap arah kehidupan masyarakatnya 11 . Sistem nilai budaya tidak dapat digantikan dalam waktu singkat. Menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dapat memengaruhi berubahnya sistem nilai budaya. Proses penyebaran ini dapat terjadi tanpa ada perpindahan kelompok atau bangsa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh individu yang membawa unsur-unsur kebudayaan tersebut12. Masuknya budaya asing akibat penyebaran unsur-unsur kebudayaan mengubah sistem nilai budaya yang sebelumnya diikuti oleh masyarakat tertentu secara turun-menurun.
7
Sawako Shirase. Review of Population and Social Policy, No.9 : Women’s Increased Higher Education and The Declining Fertility Rate in Japan. 2000.,62. 8 Masaki Atoh. Review of Population and Social Policy, No.10:Very Low Fertility in Japan and Value Changes Hyphotheses. 2001., 17 9 Masaki Atoh. Op.cit., 6 10 Koentjaraningrat.Pengantar Ilmu Antropologi., 190 11 Ibid. 12 Ibid., 244 8 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Metode Penelitian
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen sebagai sumber pengumpulan data primer. Metode ini peneliti gunakan karena peneliti tidak melakukan observasi secara langsung di Jepang. Data dikumpulkan dari Biro Statistik Jepang, buku, jurnal ilmiah, surat kabar, maupun situs-situs internet. Metode analisis data dilakukan setelah selesai mengumpulkan data. Data yang terkumpul akan dianalisis menggunakan metode kualitatif. Metode ini dipilih karena metode kualitatif dapat memandang suatu realitas sosial yang bersifat dinamis, seperti masyarakatdi suatu wilayah yang selalu berubah-ubah sesuai tren maupun zaman. Metode kualitatif juga dapat mendeskripsikan variabel yang peneliti pilih dan menghasilkan penelitian yang dapat dikembangkan lagi setelah penelitian ini selesai. Pembahasan
Dibukanya negara Jepang untuk negara lain, atau bisa disebut dengan istilah kaikoku¸ memberikan angin baru bagi pemerintahan Jepang. Jepang mulai merasa adanya ketertinggalan di berbagai bidang setelah melihat negara-negara lain. Pemerintah lalu memulai suatu reformasi yang dikenal dengan nama reformasi Meiji. Reformasi Meiji merupakan bentuk lain akan modernisasi. Unsur-unsur modernisasi dapat digambarkan sebagai 1) demokrasi dalam berpolitik, 2) kapitalisme dalam perekonomian, 3) pergerseran dari buatan tangan menjadi buatan pabrik dan mekanisasi, 4) pendidikan missal, 4) pembuatan tentara nasional, 5) pembebasan kesadaran populer dari kerangka komunal dan pertumbuhan individualisme 13 . Modernisasi ini membuat perubahan sosial terjadi begitu cepat di Jepang dibanding negara lain. Adanya perubahan nilai-nilai tradisional di Jepang berawal mula dari masuknya pendidikan yang berasal dari luar Jepang. Dibukanya Jepang di zaman restorasi Meiji memberikan peluang masuknya paham-paham dari luar Jepang. Pendidikan merupakan media yang membawa perubahan ini. Masyarakat Jepang yang belajar ke luar Jepang maupun belajar dari pengajar asing di Jepang mulai memahami dan menyesuaikan paham-paham tersebut. Dari belajar dan membaca, masyarakat Jepang mengetahui apa saja yang terjadi di
13
Kuwabara Takeo. Japan and Western Civilization: Essays on Comparative Culture (1984), 40. 9 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
luar Jepang dan mereka mulai mengejar ketertinggalan mereka tersebut. Banyak paham yang diterima masyarakat Jepang berakulturasi dengan kebudayaan Jepang itu sendiri. Masuknya paham-paham ini semenjak zaman Meiji tidak langsung terlihat begitu saja di zaman tersebut, efek dari pembelajaran ini terlihat semenjak akhir Perang Dunia II. Diubahnya undang-undang konstitusi negara pada tahun 1947 meliputi kedaulatan rakyat, hormat kepada hak-hak asasi manusia, dan penolakan perang. Mengenai seluruh masyarakat Jepang dapat memperoleh hak yang sama baik dalam pendidikan, pekerjaan, maupun hukum mengindikasikan adanya modernity dalam amandemen undang-undang tersebut. Pembaruan atau modernity dapat dideskripsikan sebagai suatu kondisi sosial dan ekonomi, termasuk kapitalisme, birokrasi, perkembangan teknologi, disertai dengan adanya kesadaran secara historis dan kejadian tertentu (Felski, 1995). I.
Pandangan
Masyarakat Terhadap Wanita di Jepang
Wanita dalam masyarakat Jepang memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab seorang wanita tidak hanya sebagai ibu untuk anak-anaknya, tetapi juga sebagai pendukung suaminya dan orang yang membantu orang tuanya ketika mereka sudah tua. “Wanita pada dasarnya hanya berperan dalam keluarga, dimana pada masa mudanya wanita ikut orang tua, waktu menikah berbakti kepada suami dan pada masa tuanya mencurahkan dirinya kepada anakanya atau sanjuu no doutoku.” (Kaibara Ekiken dalam Kitty Quintarina, 1986:12). Hal tersebut mungkin terlihat biasa saja dan lumrah untuk dilakukan, tetapi banyak faktor-faktor lain yang membuat hidup sebagai wanita Jepang begitu berat. Jika sudah menikah, mereka dituntut untuk memiliki anak yang berprestasi sejak kecil hingga dewasa. Jika sang anak memiliki sedikit kegagalan, mereka akan langsung dicap sebagai ibu yang gagal. “Ibu di Jepang adalah lebih dari sekedar ibu yang sedarah dari anakanaknya. Ia adalah simbol yang mengilhami banyak nilai” (Yamamura, 1971)14. Maka dari itu, tidaklah heran jika seorang ibu dituntut begitu banyak dalam membesarkan anak karena perilaku anak adalah hasil didikan dari ibu. Penilaian ini dilakukan tidak hanya oleh beberapa orang, tetapi termasuk dari mertua, tetangga, hingga orang tua dari teman-teman anaknya. Kegagalan sang anak adalah kegagalan sang ibu, tanpa perlu melihat peran ayah. Peran ayah di masyarakat Jepang adalah sebagai pencari nafkah, bukan membantu istri untuk mendidik anak. Maka, dikenal pula istilah “anak tumbuh dewasa dengan melihat punggung ayahnya”.
14
library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/bab2/2009-2-00320-JP Bab2.pdf atau http://bit.ly/1BZ9ApT 10 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Hal ini dikarenakan sang ayah yang harus banting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak sempat untuk melihat perkembangan anaknya. Tuntutan yang diterima wanita Jepang sebelum menikah juga tidak kalah berat. Beberapa faktor mereka tidak menikah adalah tingginya harapan pasangan lawan jenis terhadap wanita Jepang itu sendiri. “Yamato nadeshiko, merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang menggambarkan tentang wanita Jepang yang ideal.” (Kenkyū-sha shin kazuhide chū jiten). Yamato nadeshiko menggambarkan wanita Jepang ideal adalah wanita yang feminin, berbakti pada suami; selalu menuruti perkataan suami, meskipun ia berpikir suaminya salah; dan terlihat lemah lembut, namun mampu mengurus rumah tangga dan mendidik anak. II. Wanita Karier di Jepang Bertambahnya wanita karier di Jepang dimulai ketika Perang Dunia II. Hal ini didorong dari buruknya perekonomian Jepang dan kurangnya penduduk usia produktif akibat laki-laki yang berkonsentasi untuk berperang. Pemerintah pun membuat undang-undang agar wanita Jepang dapat bekerja sukarela untuk negaranya minimal tiga puluh hari di bidang industri. Setelah Perang Dunia II, wanita Jepang mulai aktif menyuarakan keinginannya untuk mendapat perlakuan yang sama seperti laki-laki. Hal ini mulai terjadi semenjak diberlakukannya UU Konstitusi 1947 yang diadaptasi dari paham-paham Barat. Isi undangundang ini bersifat demokratis sehingga memberikan peluang bagi para wanita Jepang untuk mendapatkan hak yang sama di pekerjaan, politik, dan lainnya. Ditetapkannya undangundang tidak serta-merta merubah seluruh tatanan atau peran masyarakat dalam waktu singkat karena pemerintah Jepang tetap memberlakukan peraturan-peraturan di tiap perusahaan mengenai pekerja wanita. Peraturan ini khususnya mengenai cuti yang harus diambil pekerja wanita jika mereka hamil. Tabel 1: Angkatan Kerja menurut Kelompok Umur dan Status Angkatan Kerja (dalam ribu)
Tahun 1990 Av. 1995 2000 2005
Keseluruhan Pekerja Total 6,384 6,666 6,766 6,650
Laki-laki Total 3,791 3,966 4,014 3,901
Wanita Total 2,593 2,701 2,753 2,750
2009
6,617
3,847
2,771
11 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
2010
6,590
3,822
2,768
(Sumber :Kementrian Luar Negeri dan Komunikasi: Buku Tahunan Statistik Jepang)
Tabel 1 menggambarkan keseluruhan pekerja yang cenderung terus menurun tiap tahunnya. Hal ini dapat disebabkan kurangnya jumlah penduduk yang berada di usia produktif bekerja. Meskipun begitu, jumlah pekerja wanita tiap tahunnya terus bertambah. Hal berbeda terjadi pada pekerja laki-laki yang mengalami penurunan. Tabel 2 : Penduduk berusia15 tahun ke atas menurut jenis kelamin dan status angkatan kerja tahun 2002 & 2007 (dalam ribu orang, %, poin)
Labour force statussex
Both sexes
2007
110,301.5
65,977.5
44,324.0
59.8
2002
109,174.5
65,009.3
44,165.2
59.5
2007
53,282.5 52,826.3
38,174.8 38,034.1
15,107.8 14,792.3
71.6 72.0
57,018.9 56,348.2
27,802.7 26,975.3
29,216.2 29,372.9
48.8 47.9
1,127.0 1.0
968.2 1.5
158.8 0.4
Number
2002
Female
Change
Male
Percentage Populationof Persons Persons not of persons 15 years engaged engagedinwo engagedin oldand over work inwork rk
Number Both sexes Increasedecreaserate Number Male Increasedecreaserate Number IncreaseFemale decreaserate
2007 2002
0.3
456.2 0.9
140.7 0.4
315.5 2.1
-0.4
670.7 1.2
827.4 3.1
-156.7 -0.5
0.9
(Sumber : Kementrian Luar Negeri dan Komunikasi: Buku Tahunan Statistik Jepang)
Tabel 2 menggambarkan perbandingan yang lebih rinci antara pekerja wanita dan laki-laki pada tahun 2002 dan 2007. Tiga baris terakhir menggambarkan perubahan atau pengurangan yang terjadi dalam jumlah pekerja. Terdapat total kenaikan dari tahun 2002 ke 2007 sebesar 0,3% dari total pekerja pria dan wanita. Setelah dirinci menurut jenis kelamin, pekerja pria mengalami penurunan sebesar 0,4% dan pekerja wanita mengalami kenaikan sebesar 0,9% dibanding tahun 2002. Wanita yang tidak terlibat dalam pekerjaan pun juga
12 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
menurun sebanyak 0,5%. Penurunan wanita yang tidak bekerja ini memperlihatkan bahwa wanita Jepang berpartisipasi cukup besar dalam Jepang saat ini. Kenaikan jumlah wanita karier memberikan gambaran terhadap berubahnya nilai-nilai budaya Jepang tradisional dimana wanita hanya dapat bekerja di dalam rumah dan mengurus keluarganya saja. Meskipun adanya kenaikan jumlah wanita karier ini merupakan berita baik, masih banyaknya ketimpangan dalam lapangan kerja membuat wanita terus menyuarakan keinginannya dan mulai berani mengambil resiko dalam bekerja. Banyak wanita muda di Jepang saat ini yang mencoba untuk menyelaraskan pernikahan dengan long-term career15dibanding mengubah gaya hidup mereka untuk pernikahan. Beberapa menyimpulkan bahwa pernikahan dan menjadi ibu akan mengganggu karir mereka16. III.
Kelahiran di Jepang Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kelahiran memiliki arti (1) perihal lahir; (2)
sesuatu yg bertalian dengan perihal lahir (seseorang). Dalam Bahasa Jepang, kelahiran (出産) memiliki definisi (1) 子 供 を 産 む こ と 。 子供 が 生 ま れ る こ と 。 yang berarti perihal melahirkan anak. Sejak tahun 1970, Jepang mengalami penurunan tingkat kelahiran bayi. Meskipun ada beberapa tahun tingkat kelahiran meningkat, pada umumnya tingkat kelahiran bayi terus menurun.Pada tahun 1990, dikenal sebutan “1,57shock” yang terjadi akibat jatuhnya angka kelahiran total terendah yang pernah terjadi di Jepang. Keterkejutan terhadap rendahnya angka kelahiran total ini membuat pemerintah lebih fokus untuk menangani permasalahan ini. Media-media yang menyoroti permasalahan ini mulai menggunakan kata shoushika(少子化). Shoushika terdiri dari kanji 少(sho) yang berarti sedikit, 子 (shi) yang berarti anak, dan 化 (ka) merupakan suffix yang memiliki arti berubah menjadi atau proses perubahan (imbuhan –isasi). Shoushika dapat didefiniskan sebagai keadaan ketika angka/jumlah kelahiran secara terus menerus berada pada tingkat yang lebih rendah dari standar yang dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah populasi17.
15
Jalur karier yang biasanya didominasi oleh laki-laki karena diperlukan dedikasi penuh terhadap perusahaan. 16
Yukiko Tanaka. Contemporary Potraits of Japanese Women (1995), 26. Sherlina Evangela, Representasi Fenomena Shoushika dalam Drama Televisi Jepang: Studi Kasus Drama “Umareru” dan “Watashi ga Renai Dekinai Riyuu” (2012), 8, mengutip Oofuchi dalam Satoh, Nihon no Choushouhika: Sono Genin to Seisaku Taiou wo Megutte (Journal of Population Problems vol.64 No.2, Juni 2008), 10
17
13 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Grafik 1: Populasi dan tingkat pertumbuhan penduduk di Jepang dari tahun 19202010. (Sumber : Kementrian Luar Negeri dan Komunikasi: Buku Tahunan Statistik Jepang)
Dari Grafik 1, terlihat penduduk Jepang terus bertambah meskipun sangat sedikit semenjak tahun 1985. Garis pertumbuhan populasi terlihat terus menurun semenjak tahun 1975. Naik turunnya pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh angka kelahiran, angka kematian, dan angka imigrasi. Pertumbuhan populasi di Jepang mendapat pengaruh besar dari angka kelahiran. Grafik 1 dan Grafik 2 yang menggambarkan angka kelahiran dan tingkat kelahiran memiliki kesinambungan. Pada grafik 2, adanya jumlah kelahiran yang tinggi di tahun 1947-1945 nampak memiliki kesinambungan dengan grafik 1 yang mengalami kenaikan tingkat pertumbuhan populasi. Kemudian, di grafik 2, terjadi baby boom kedua pada tahun 1971-1974 yang memberikan grafik tingginya angka kelahiran, namun tingkat kelahiran relatif rendah dibandingkan baby boom pertama. Dari semenjak baby boom kedua, angka kelahiran total dan tingkat kelahiran di Jepang terus menurun mengakibatkan turunnya tingkat pertumbuhan populasi di Jepang seperti yang tergambarkan di Grafik 1. Dari kedua grafik ini dapat disimpulkan bahwa kelahiran di Jepang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pertumbuhan populasi dan angka kematian total lebih sedikit dibanding angka kelahiran total.
14 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Grafik 2: Tren di Kelahiran dan Tingkat Kelahiran di Jepang. (sumber: Ministry of Health, Labour and Welfare)
IV.
Perubahan Sistem Nilai Budaya di Jepang Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan angka kelahiran di Jepang.
Reformasi Meiji dan kekalahan Jepang di Perang Dunia II menjadi salah satu faktor pendorong pergeseran budaya. Pergeseran nilai budaya terlihat dari berubahnya sistem nilai budaya tradisional Jepang di beberapa sistem, seperti sistem keluarga dan pernikahan. Perubahan negara Jepang menjadi negara industrialis dan dikembangkannya pendidikan pada saat reformasi Meiji juga menjadi salah satu faktor penyebab pergeseran nilai budaya. Faktorfaktor penyebab ini sebenarnya saling berkaitan satu sama lain dan secara tidak langsung berdampak kepada penurunan angka kelahiran total di Jepang. Berubahnya sistem keluarga di Jepang, ie, menjadi kaku kazoku diyakini menjadi faktor penyebab terjadinya penurunan angka kelahiran. Ie smerupakan istilah untuk sistem tradisional keluarga Jepang. Sebelum Perang Dunia II, hampir semua orang Jepang hidup dalam keluarga besar yang terdiri dari tiga generasi atau lebih18. Hubungan keluarga pada saat itu diatur oleh sistem hierarki yang ketat dan orang tua sangat berkuasa 19. Pada zaman ini, pernikahan pun dilaksanakan bukan berdasarkan keputusan kedua mempelai, tetapi ada campur tangan pemimpin ie. Sistem pernikahan yang berdasarkan saling menjodohkan ini disebut miai kekkon. Pada miai kekkon, kedua mempelai kebanyakan tidak saling mencintai karena pernikahannya tidak berdasarkan asas cinta, melainkan keinginan pemimpin ie. Karena kuatnya sistem hierarki pada saat itu, pemimpin ie menikahkan anaknya hanya 18 19
International Society for Educational Information.Jepang Dewasa Ini, 1989, 79. Ibid. 15 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
dengan keluarga yang setara status sosialnya. Sistem yang ada pada saat itu pun kental dengan patriarki karena semua pemimpin ie adalah laki-laki, baik itu dengan peran ayah, anak laki-laki, atau menantu laki-laki. Ie juga dipengaruhi oleh ajaran konfusianisme20 yang mengajarkan bahwa bersikap tunduk merupakan kebaikan tertinggi seorang wanita. Wanita dianggap sebagai warga kelas dua. Terjadinya restorasi Meiji mengubah Jepang menjadi negara industri. Cepatnya perubahan sosial dan ekonomi ketika itu membuat Jepang menjadi negara adidaya hingga bisa menjadi aktor utama pada Perang Dunia II. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II memberikan dampak tersendiri bagi masyarakat Jepang. Kekalahan ini membuat Jepang harus mengamandemen udang-undang konstitusi negara. Konstitusi (Undang-Undang Dasar) Jepang yang mulai berlaku pada tahun 1947, didasarkan pada tiga prinsip: kedaulatan rakyat, hormat terhadap hak-hak asasi manusia, dan penolakan perang 21 . Dihormatinya hak-hak manusia tertulis pada bab tiga mengenai hak dan kewajiban rakyat. Pasal 24 bab 3 mengimplisitkan dihapusnya sistem miai kekkon sehingga pernikahan berdasarkan kesepakatan kedua mempelai. Sistem pernikahan miai kekkon kemudian berubah menjadi renai kekkon\, yaitu sistem pernikahan yang didasarkan atas rasa cinta dan kesepakatan pasangan. Penghapusan sistem ie juga tersirat dalam bab tiga yang dalam beberapa pasal menekankan kebebasan individu. Hal ini berhubungan dengan sistem ie ketika pemimpin ie adalah orang yang mengatur dan penentu keputusan tertinggi dalam rumah tangga tersebut. Kekacauan ekonomi akibat perang dan tuntutan sebagai negara industri membuat Jepang memerlukan tenaga kerja lebih. Melihat peluang tersebut para pemuda-pemudi Jepang berbondong-bondong melanjutkan pendidikan22 hingga jenjang yang lebih tinggi.Masyarakat yang kebanyakan tinggal di desa pun mulai melakukan urbanisasi 23. Karena sedikitnya lahan untuk tempat tinggal memaksa masyarakat untuk mengadaptasi jumlah anggota keluarga. Rumah yang ditinggali hingga tiga generasi seperti dalam ie pun berubah menjadi keluarga inti (kaku kazoku) yang terdiri dari suami, istri, dan anak. V. Hubungan Meningkatnya Jumlah Wanita Karier dan Menurunnya Angka Kelahiran Total di Jepang
20
Wacana Vol.9 No.2 (Oktober 2007), 200. Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_13.html 22 Latar belakang pendidikan merupakan faktor penting dalam sistem kepegawaian. (Jepang Dewasa Ini, 1989:92) 23 Urbanisasi adalah perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota (pusat pemerintahan). (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 21
16 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Pergeseran nilai-nilai budaya yang selama ini menjadi pedoman dan dianut oleh masyarakat Jepang mendorong terbentuknya faktor-faktor penurunanan angka kelahiran. Kebebasan yang didapatkan wanita da setelah bergesernya nilai-nilai budaya Atoh (1997) dalam Shirase (1999) menjelaskan bahwa pertumbuhan pendidikan tinggi setelah tahun 1970an menghasilkan peningkatan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah, terutama di pekerjaan profesional, bersama dengan perubahan nilai-nilai sosial dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan orang yang belum menikah di usia dua puluhan 24 . Penurunan jumlah wanita yang menikah memberikan dampak secara langsung terhadap penurunan angka kelahiran di Jepang. Hal ini dikarenakan kelahiran diluar pernikahan sangat jarang terjadi di Jepang, maka dari itu dari pernikahan inilah seorang anak akan lahir. Penundaan menikah atau keputusan untuk tidak menikah menjadi dilemma tersendiri setelah adanya renai kekkon. Dari setiap survei yang dilaksanakan oleh National Institute of Population and Social Security Research, terdapat kenaikan presentase untuk wanita yang ingin menikah, tetapi menunggu pasangan yang ideal. Grafik 3: Pandangan Pernikahan Bagi Orang yang Belum Menikah tetapi Berniat Menikah.
(Sumber: National Institute of Population and Social Security Research)
Dalam satu survei yang dilakukan oleh lembaga yang sama, para peneliti melakukan survey terhadap wanita dan pria yang belum menikah menanyakan tentang manfaat atau kelebihan hidup lajang. Pria dan wanita sama-sama memilih “kebebasan” sebagai kelebihan hidup sendirian. Hal ini efek dari modernisasi yang dilaksanakan pada restorasi Meiji yang menumbuhkan individualisme dan juga akibat adanya perubahan undang-undang konstitusi yang sangat menekankan kebebasan pada bab tiga.
24
Masaki Atoh dalam Sawako Shirase.Review of Population and Social Policy, No.9: Women Increased in Higher Education and Declining Fertility Rate in Japan. 2000, hlm.47-78. 17 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Grafik 3: Kelebihan Hidup Sendirian (Sumber: National Institute of Population and Social Security Research)
Kesimpulan
Shoushika merupakan fenomena penurunan angka kelahiran di Jepang. Permasalahan ini menjadi masalah serius semenjak Jepang mengalami penurunan angka kelahiran total paling rendah pada tahun 1995. Penurunan angka kelahiran total pada saat itu mencapai 1,57. Banyak faktor yang turut andil dalam turunnya tingkat kelahiran di Jepang. Munculnya faktor-faktor ini karena adanya pergeseran sistem nilai budaya di Jepang. Sistem yang memiliki pengaruh adalah sistem pernikahan dan keluarga tradisional di Jepang. Dalam sistem tersebut, wanita Jepang selalu dikategorikan menjadi golongan kedua. Pria dianggap superior karena perannya sebagai pemimpin ie yang mengambil segala keputusan dalam rumah tangga dan mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah. Peran wanita dalam sistem tersebut bekerja di dalam rumah tangga dan mengurusi keluarga besar di dalam ie. Wanita pada zaman tersebut juga dibatasi untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi karena tugasnya yang sudah dipastikan hanya mengurus rumah tangga sehingga ada anggapan bahwa wanita tidak perlu belajar. Tunduknya wanita terhadap sistem nilai tersebut dipengaruhi oleh ajaran konfusianisme yang dipegang oleh masyarakat Jepang dan dominasi sistem patriarki.Sistem nilai budaya ini kemudian mulai berubah semenjak kaikoku dan restorasi Meiji. Pendidikan masal, negara industri, dan berkembangnya individualisme merupakan beberap elemen yang berubah pada restorasi Meiji. Perubahan tersebut memiliki tujuan bukan untuk individu, tetapi untuk kelangsungan Jepang pada saat itu yang merasa tertinggal. 18 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Perubahan ini terbukti memberikan kesuksesan kepada Jepang dengan turut andilnya Jepang sebagai negara yang kuat di Perang Dunia II. Kekalahannya dalam Perang Dunia II membuat Jepang kembali berubah dan mulai kembali menata perekonomian mereka yang kacau sehabis perang. Hal yang dilakukan pertama kali adalah mengamandemen undang-undang konstitusi negara.Undang-undang dibuat dengan salah satu poin utama, yaitu hormat terhadap hak asasi manusia. Secara khusus, revisi undang-undang perdata sangat penting karena memberikan wanita kedudukan hukum yang sama dengan pria dalam semua aspek dan tahapan kehidupan, sehingga patriarkal keluarga yang lama terhapus 25 . Persamaan hak yang diterima seluruh lapisan masyarakat ini membuka peluang wanita untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja di luar rumah.Semua negara telah mengalami peningkatan pesat dalam tingkat pendidikan wanita. Revolusi ini membuka peluang bagi wanita dalam lapangan pekerjaan dan sebagai konsukuensinya wanita mengejar peluang tersebut dengan menunda kelahiran pertama mereka sementara pada saat yang sama membangun keterampilan, pengetahuan, danp engalaman yang dimiliki dilihat dari segi nilai atau biaya untuk negara 26 .
Masyarakatmaju saat ini memberikan kebebasan yang cukup besar dan kesetaraan gender bagi perempuan sebagai individu. Namun, perempuan sangat menyadari bahwa keuntungan ini akan jelas terganggu setelah mereka memiliki bayi (McDonald 2000). Hal ini terutama terjadi dipasar tenaga kerja di mana sedikit atau tidak ada ketentuan dibuat untuk kombinasi pekerjaan dan keluarga 27 . Untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyebab penurunan angka kelahiran di Jepang diperlukan studi atau penelitian yang lebih terperinci. Daftar Referensi
Buku: Koentjaraningrat.(1983). Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Aksara Baru Tanaka, Yukiko. (1995). Contemporary Potraits of Japanese Women. Portsmouth: Greenwood Publishing Group. Tokyo,
International
Society
for
Educational
Information.(1989).Jepang
Dewasa
Ini.Yogyakarta: Ombak. 25
International Society for Educational Information.Jepang Dewasa Ini, 1989, 79. Peter Mcdonald. Very Low Fertilities in East Asia: Cause, Consequences and Policy Approaches, 1. 27 Peter Mcdonald. Very Low Fertility: Consequences, Causes, and Policy Approaches (The Japanese Journal of Population, Vol.6, No.1 (Maret 2008)),20. 26
19 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014
Kamus: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.(2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Jurnal: Atoh, Masaki. (2001). Review of Population and Social Policy, No.10 : Very Low Fertility in Japan and Value Changes Hyphotheses. Mcdonald, Peter. (2008). Very Low Fertilities in East Asia: Cause, Consequences and Policy Approaches.
Mcdonald, Peter. (2008). Very Low Fertilities in East Asia: Cause, Consequences and Policy Approaches.2008. Very Low Fertility: Consequences, Causes, and Policy Approaches (The Japanese Journal of Population, Vol.6, No.1.
Shirase, Sawako. (2000). Review of Population and Social Policy, No.9: Women Increased in Higher Education and Declining Fertility Rate in Japan. Takeo, Kuwabara. (1984). Japan and Western Civilization: Essays on Comparative Culture. Laporan Penelitian: Aman, Kitty Quintarina.(1986). Pendidikan Wanita di Jepang pada Zaman Meiji Proses Pembentukan Pendidikan Formal Wanita. Evangela, Sherlina. (2012). Representasi Fenomena Shoushika dalam Drama Televisi Jepang: Studi Kasus Drama “Umareru” dan “Watashi ga Renai Dekinai Riyuu”.
Internet: About.com Geography. Total Fertility Rate. http://geography.about.com/od/populationgeography/a/fertilityrate.htm The World Bank: Data. Fertility Rate: Total (Births per Woman). http://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.TFRT.IN Kedutaan
Besar
Jepang
di
Indonesia.
Pemerintahan.
http://www.id.emb-
japan.go.jp/expljp_13.html National Institute of Population and Social Security Research.Journal of Population Problems. http://www.ipss.go.jp/publication/e/Jinkomon/Jinkomon.html Ministry of Health, Labour, and Welfare.Trend in Live Birth and Live Birth Rates. http://www.mhlw.go.jp/english/database/ Statistic Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications. The Statistical Yearbook. http://www.stat.go.jp/english/data/nenkan/index.htm
20 Kenaikan jumlah …, Ditta Resti Setioningtias, FIB UI, 2014