KIPRAH WANITA JEPANG DALAM KELUARGA Nise Samudra Sasanti Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya,
[email protected] Abstract: The assumption that Japanese women today have more power than man and that the families of modern Japanese dominated and centered to the mother (or women) is quite a bit contradictive. Despite such surface trends towards gender equality, many Japanese women still following the traditional gender patterns in Japanese society. For instance, women have to walk a pace behind their male partner or husband. Although there have been changes in the structured patterns of gender in both the family and the workplace which enable Japanese woman to actualise themselves in the society. A Japanese woman still bound with traditional patterns; that a woman in her childhood must serve her father, in adult life devoted to her husband, and in the old age subserve her son. Women in this case are really submissive and endurance to the men. Keywords: son, adult, old, submissive, endurance Pendahuluan Wanita sampai sekarang nampaknya masih dianggap atau dikelompokkan dalam kelas dua. Demikian juga halnya dengan para wanita di Jepang. Meski negara ini dianggap sebagai negara pelopor dalam hampir segala bidang, namun ternyata di negara ini masih nampak perbedaan atas kelas itu. Hal ini terlihat masih adanya wanita yang berjalan bersama suami atau pasangannya yang berada selangkah di depannya atau di belakang pasangannya (Edwin, 1982:268). Mengapa hal ini terjadi? Dikatakan bahwa sebagai teman sejawat laki-laki dalam perjalanan hidupnya hanya dilihat dari satu sudut saja. Akibatnya semua teori tentang manusia, tentang sifat khas dan pelakunya serta ilmu pengetahuan pada umumnya bersumber pada buatan laki-laki (Haryono, 1999:113). Meskipun telah banyak perubahan yang terjadi misalnya sudah adanya persamaan hak dalam mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat. Sekarang tidak jarang ditemui pasangan yang berjalan sejajar dan banyak pula laki-laki yang sudah mau turun tangan membantu pasangannya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti cuci piring atau membawakan barang bawaan ketika berbelanja sementara pasangannya menggendong anaknya (Manusia Jepang, 1982:276).
56
Peribahasa Kong Fu Tse adalah bahwa seorang wanita pada masa kanak-kanak harus mengabdi kepada bapaknya, pada masa dewasa mengabdi pada suaminya dan pada masa tua mengabdi kepada anak laki-lakinya (Edwin, 1982:268). Wanita biasanya penurut dan tahan menderita dalam berhubungan dengan kaum prianya. Dari alasan yang ada pada latar belakang penulis akan mencoba mengulas, bagaimana sebenarnya peranan wanita di dalam kehidupan rumah tangganya.
Kiprah ibu dalam keluarga Setelah berumah tangga wanita akan berpikir dua kali untuk memutuskan apakah akan tetap bekerja di luar rumah ataukan meninggalkan pekerjaannya demi anak-anak dan suaminya. Umumnya wanita Jepang yang bekerja di luar rumah akan berpikir bila akan manikah karena biasanya wanita bekerja yang menikah akan meninggalkan pekerjaannya dan selanjutnya mengabdikan hidupnya hanya khusus bagi keluarganya saja. Saat melahirkan anak adalah suatu peristiwa yang sangat pribadi sifatnya, sama dengan senggama, dan para wanita tidak diperbolehkan menjerit agar tidak diketahui oleh orang lain (Benedict, 1982:268). Setelah bayi lahir ia akan diberikan tempat baru untuk tempat tidurnya, bagaimanapun keadaannya kewajiban bagi orang tua si bayi untuk menyediakannya, meskipun tidak baru si bayi akan merasa lebih nyaman tidur di tempat tidurnya sendiri, tetapi alasan yang sebenarnya masih didasarkan pada tahayul yang simpatik: yaitu bahwa manusia baru harus mempunyai tempat sendiri yang baru. Ibu tidak akan memberikan air susunya segera setelah melahirkan tetapi menunggu tiga hari kemudian dengan alasan air susu yang keluar dari pertama sampai ketiga bukanlah air susu yang sebenarnya (Benedict, 1982:268). Setelah itu si bayi diperbolehkan menyusu ibunya kapanpun. Setelah si bayi berumur satu bulan ibunya akan selalu menggendong di punggung, dalam cuaca yang dingin baju hangat si ibu akan ikut menghangatkan si bayi. Bayi-bayi Jepang biasanya disapih ketika berumur 8 bulan, saat mereka sudah dapat duduk dipangkuan orang tuanya. Tetapi hal seperti ini tidak dapat dikatakan umum. Karena ada juga yang mengatakan bahwa bayi disapih saat sudah dapat duduk sendiri saat makan bersama keluarga dan diberi
57
makanan-makanan kecil agar dapat mulai mengenal makanan yang dimakan keluarganya. Bagi anak-anaknya ibunya adalah segala-galanya. Mengapa? Karena suami bekerja di luar rumah sampai malam. Dan di rumah yang bersamanya hanyalah ibunya saja. Ibu akan bekerja membersihkan rumah dan segala yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga karena itu adalah tanggung jawabnya. Si ibu dan nenek akan bekerja mengurus rumah tangga serta mengajar anak, selain itu mereka melayani ayah sambil berlutut dan menempatkan ayah pada kedudukan yang terhormat. Bagi anak-anaknya, si ibu adalah sumber kepuasan yang besar dan tak putus-putusnya. Ibu juga dijadikan tempat untuk melampiaskan suasana hati anak-anaknya, karena anak dapat marah-marah kepadanya. Karena kepada ayahnya anak-anak hanya boleh menunjukkan rasa hormat tidak yang lain. Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa urusan mendisiplinkan anak adalah urusan ibu. Jadi jika anak-anak melakukan kesalahan hanya dengan pandangan mata sang ayah anak-anak akan tahu apa yang diinginkan ayah. Kasih sayang yang berlebih-lebihan seorang anak laki-laki pada ibu, merupakan masalah psikologis yang utama, berkaitan dengan konsep amae. Dalam jaman modern umumnya ada anggapan bahwa wanita lebih memiliki daya kemauan dan kekuatan psikologis ketimbang pria, dan jelas keluarga Jepang yang modern berpusat pada dan dominasi ibu. Jalan keluar masuk keuangan dipegang sepenuhnya oleh ibu. Saat anak-anaknya yang kecil terjaga, yang ada hanya ibu. Hidup mereka pada pokoknya adalah bersama ibu, dan dialah “ibu pendidikan” yang mengurus agar mereka bisa sekolah dengan baik. Wanita Jepang diharapkan memiliki watak yang kuat, senantiasa “seperti wanita terhormat”, dan menjaga persatuan keluarga dan sebagian besar memang memenuhi harapan-harapan ini. Wanita atau istri adalah anggota keluarga yang berkuasa dalam keluarga, tetapi tetap saja wanita masih menduduki posisi yang sangat rendah dalam masyarakat luas. Meskipun sudah ada sekolah-sekolah lanjutan dan kebanyakan siswanya adalah dominan wanita tetapi itu dianggap sebagai tempat pendidikan terakhir, yang mempersiapkan bagi wanita sopan santun untuk perkawinan, dan banyak pula yang gugur ditengah jalan.
58
Di pedesaan pun wanita diharapkan berperan dalam pertanian, ini disebabkan bagi para lelaki yang pergi ke kota untuk mengadu nasib. Hal seperti ini akan menambah beban ibu rumah tangga karena pekerjaan mereka semakin berat selain mengurus anak-anak mereka. Nampaknya wanita Jepang menikmati perannya sebagai ibu dalam keluarganya, dan ada sebabnya mengapa mereka tidak menyambutnya adanya “women lib” yaitu karena tidak cocok dengan budaya yang dianutnya, dan ia merasa bangga akan peranan mereka dalam keluarga yang dominan dan sungguh-sungguh sebagai “jenis yang lebih kuat”.
Kiprah Anak dalam Kacamata Orang Tua Sejak masih kecil sampai dia menikah, anak-anak perempuan mendapat pengasuhan yang sangat ketat dan hati-hati dari kedua orang tua mereka. Mengapa? Karena keberadaan anak-anak perempuan dianggap sebagai barang yang sangat berharga yang terhormat di dalam pasar perkawinan. Pengasuhan yang ketat ini berupa pengawasan terhadap pergaulan dari si anak perempuan. Orang tua mereka juga mengajarkan bagaimana cara bersikap dan bertingkah laku yang baik (Manusia Jepang, 1999). Seperti halnya bayi laki-laki, bayi perempuan Jepang dididik dengan disiplin yang telah ada sejak nenek moyang mereka. Ibu mereka akan mulai membuat jadwal makan dan minum yang tepat (Benedict, 1982:265). Bila waktunya belum tiba dan anaknya mulai bertingkah maka ia akan memberi peringatan dengan caranya. Misalnya dengan mengalihkan tangan anaknya yang mulai dimasukkan ke dalam mulutnya. Anak-anak mempunyai kebebasan terhadap kakek dan neneknya, meskipun dia itu juga harus dihormati. Kebiasaan orang Jepang kakek dan nenek tidak diharuskan menjadi orang yang menanamkan disiplin kepada anak itu. Dia akan berperan apabila tidak setuju dengan apa yang diberikan oleh anaknya atau menantunya. Seperti juga yang terjadi di Indonesia terjadi juga di Jepang yaitu pemanjaan nenek dan kakek atas cucunya, yang sering menimbulkan gesekan-gesekan dalam membimbing anak-anak mereka. Ibu muda tidak mempunyai kewajiban yang lebih 59
besar dalam hidupnya daripada memuaskan ibu mertuanya dan tidak dapat memprotesnya jika anak-anaknya sangat dimanjakan. Dimasa kecil anak-anak sangat menikmati kahidupannya karena hanya kesenangan saja yang dia dapatkan. Tetapi ada kalanya apabila anak mereka nakal atau bandel maka sesegera mungkin ibu atau nenek akan membawanya ke Kuil untuk diberi obat oleh Pendeta. Tak jarang pula hukuman terberat, yang diberikan kepada anak Jepang juga dianggap sebagai “obat”. Yaitu pembakaran tepung berbentuk kerucut kecil yang dinamakan moxa di atas kulit si anak, dan akan meninggalkan cacat seumur hidup. Pengobatan semacam ini merupakan pengobatan cara Asia Timur yang dikenal dan dipraktekkan sejak lama, dan merupakan pengobatan untuk menyembuhkan banyak penyakit. Sejak dini anak-anak mulai dilatih duduk cara Jepang yang benar, anak lakilaki atau wanita saat duduk kaki harus dilipatkan ke belakang dengan telapak kaki mengarah ke lantai. Awalnya anak-anak akan mengalami kesulitan, karena dalam waktu relatif lama si anak tidak boleh menggerakkan kaki atau berganti posisi (Benedict, 1982:280). Duduk bukanlah posisi fisik satu-satunya yang harus dipelajari bagi si anak. Cara tidur juga harus dipelajari. Kesopanan dalam posisi tidur seorang wanita sama kuatnya di Jepang seperti rasa malau kalau kita terlihat orang sedang telanjang, meskipun orang Jepang tidak mempunyai rasa malu bertelanjang di tempat pemandian umum tetapi perasaan mereka tentang posisi tidur sangat kuat (Benedict. 1982:280). Anak wanita harus belajar tidur lurus dengan kakinya dirapatkan, berbeda dengan laki-laki. Ini adalah peraturan pertama yang membedakan latihan bagi lakilaki dan wanita. Dan peraturan ini dijalankan dengan lebih ketat pada kalangan masyarakat kelas atas daripada kalangan bawah. Saat tidur anak laki-laki dapat tidur dengan telentang seperti huruf 大 ‘dai’, sedangkan wanita harus melengkung seperti huruf kanoji yang sopan dan agung. Banyak wanita yang bercerita bagaimana ibu dan pengasuhnya mengatur anggota-anggota badannya ketika membaringkannya di tempat tidur (Benedict, 1982:281). Dalam mengajar menulis secara tradisional pun, cara yang benar yang diberikan, misalnya dengan memegang tangan si anak dan menuliskan hurufnya. Hal 60
ini diberikan untuk memberikan “rasa” pada si anak. Si anak telah belajar mengalami gerakan-gerakan yang terkendali dan berirama sebelum mereka dapat membaca hurufnya apalagi menulisnya (Benedict, 1982:181). Tetapi sekarang pengajarannya tidak seketat dulu lagi. Meskipun masih tetap dipakai. Selain itu cara membungkuk saat bertemu dengan orang lain, menghormat misalnya juga tidak lepas dari aturan. Begitupun dengan cara memegang sumpit, menembakkan anak panah, atau mengikat sebuah bantal di punggung sebagai ganti bayi, semua diajarkan dengan cara mengerakkan tangan si anak dan menempatkan badan si anak dalam posisi yang betul.
Kiprah Istri dalam Keluarga Peranan wanita dalam rumah tangga pada dasarnya lebih untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memberikan keturunan (melahirkan anak) untuk suami dan keluarganya, selain itu keberadaan mereka hanya dianggap sebagai pelengkap ketimbang sebagai kekasih atau teman hidup (Pahlevi, 2002:2). Seorang anak perempuan dalam kehidupan perkawinannya diharapkan dapat menjaga persatuan dua keluarga yang telah terjalin. Pada umumnya mereka yang telah menjadi istri akan masuk atau menjadi keluarga dari suami. Tentunya mereka dituntut untuk menjadi istri yang baik dan dapat dibanggakan oleh keluarga si suami. Sebagai seorang istri dia dituntut untuk mengabdikan diri mereka sepenuhnya untuk kesejahteraan keluarga sang suami karena ketidaksetiaan dari pihak wanita dianggap sangat mengganggu, disini laki-laki mempunyai kebebasan yang lebih besar daripada kebebasan yang dimiliki oleh wanita. Wanita Jepang yang sudah menikah, kehidupan sosialnya hanya sebatas pada lingkungan keluarga saja. Kehidupan istri hanya terbatas pada anak-anak dan suami serta kerabat dekat, beberapa teman sekolah lama atau juga kegiatan mengikuti organisasi yang dianggotai oleh para ibu-ibu rumah tangga. Ketika seorang wanita yang berperan sebagai istri menginginkan anak bukan saja demi kepuasan emosionalnya, tetapi karena hanya sebagai ibu dia akan mendapat status. Seorang istri yang tidak menghasilkan anak mempunyai kedudukan yang sangat lemah/goyah di dalam keluarga, dan seandainya pun ia tidak disisihkan, ia tak akan berharap untuk menjadi mertua dan mempunyai otoritas atas perkawinan 61
putranya dan atas istri putranya. Suaminya akan memungut anak untuk meneruskan silsilah keluarga, tetapi menurut gagasan-gagasan Jepang, wanita yang tak mempunyai anak masih saja merupakan pihak yang kalah (Benedict, 1982:268). Wanita Jepang diharapkan menjadi pengandung anak yang baik. Adanya pandangan yang berkembang pada masyarakat Jepang bahwa seolaholah ada pembagian kerja yang tetap antara kelompok perempuan sebagai penguasa rumah tangga dan kelompok laki-laki yang bergerak di luar rumah masih berlaku sampai sekarang. Kelihatan bila ada usaha untuk keluar dari pemikiran itu maka akan mendapat halangan-halangan (Yoharni, 1999:116). Ada pomeo yang menyatakan bahwa Jepang adalah surga dunia bagi kaum laki-laki, ternyata tidaklah seratus persen benar. Kenyataan membuktikan bahwa perempuan adalah sebagai penguasa kedaulatan dalam rumah tangganya, sebagai pemegang kendali di dalam negerinya dan berkuasa penuh atas kedaulatan wilayahnya itu. Istri adalah pengatur jalannya pengeluaran keuangan rumah tangganya, pengatur jalan rumah tangganya dan bahkan penentu politik rumah tangganya. Sampai-sampai dia juga mengatur keperluan sang suami dalam kesehariannya. Karena ia mendapatkan kekuasaan yang mutlak di dalam urusan rumah tangganya, maka sesuai buku petunjuk ajaran-ajaran tentang wanita yang mereka hayati melalui tradisi yang bersumber pada kebudayaannya, maka perempuan tidak peduli dengan apa yang dilakukan suami mereka di luar rumah karena semuanya itu dilihat dari sisi tugas suami sebagai pencari nafkah di luar rumah yang bertanggung jawab terhadap berdiri kokohnya rumah tangganya masing-masing. Ada istilah yang dinamakan ‘ofukuro’ arti sesungguhnya dari kata fukuro dalam bahasa Indonesia adalah kantong. Bagi ibu penguasa rumah tangga ofukuro adalah pemegang pundi-pundi. Kata kantong adalah tempat uang yang sangat diperlukan dalam kehidupan, oleh sebab itu dipakai sebagai prefiks ‘o’ sebagai kata penghormatan. Tetapi kemudian muncul istilah baru setelah selesai Perang Dunia II. Apa yang dikenal dengan kyosaika, yaitu untuk menyebut suami yang takut pada istrinya (Rosidi, 1981:97), Sebutan kyosaika tampak pada perilaku istri sekarang yang sudah berani melarang suami-suami mereka untuk tidak mampir ke bar atau menghabiskan waktu secara lain (Edwin, 1982:274). 62
Padahal dahulu sebelum ada istilah kyosaika wanita akan setia menunggu suami pulang dari kantor jam berapa pun dan dalam keadaan apapun, mabuk berat misalnya, atau ada tanda bekas di baju berkencan dengan orang lain, tetapi dengan patuh istri tetap melayani suami untuk sekedar melepas sepatu, menyiapkan makan malam, menyiapkan air hangat untuk berendam sebelum berangkat tidur tanpa banyak bertanya kepada sang suami. Wanita Jepang umumnya jarang dan bahkan mungkin tidak pernah diajak suaminya kedalam undangan makan malam, resepsi atau undangan-undangan yang lain yang mungkin juga yang berhubungan dengan dunia pekerjaan suaminya. Tapi sebenarnya wanita Jepang sendiri tidak merasa penting dengan resepsi atau acara semacam itu, yang tentu saja berbau bisnis. Mereka para istri lebih suka menikmati kekuasaannya di rumah, tanpa banyak bicara tetapi efektif (Rosidi, 1981:98).
Penutup Dari uraikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa wanita Jepang ternyata belum mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan pria. Meskipun hukum persamaan hak dalam lingkungan pekerjaan maupun di dalam kehidupan bermasyarakat sudah ada. Hal itu terbukti seorang istri berkedudukan sangat lemah/goyah di dalam keluarga apabila tidak menghasilkan anak, wanita yang tak mempunyai anak merupakan pihak yang kalah. Wanita Jepang umumnya jarang dan bahkan tidak pernah diajak suaminya keluar rumah yang berhubungan dengan dunia pekerjaan suaminya. Tetapi seiring berjalannya waktu sudah banyak perilaku istri yang sudah berani melarang suami mereka untuk tidak mampir ke bar atau menghabiskan waktu secara lain.
Daftar Pustaka Akiyama, Teruji. 1989. Jepang Sebuah Pedoman Saku. Jakarta: Kedutaan Besar Jepang. Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Rampai. Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. Djodjok, dkk. 1999. Budaya Jepang Masa Kini (Kumpulan Artikel). Surabaya: CV. Bintang. Edwin. 1999. Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. Koestiyani, Rahma. 2002. Gaya Hidup Wanita Jepang. Unesa: Makalah.
63
Pahlevi, Mitra. 2002. Peranan Wanita Jepang Di Dalam Rumah Tangga. Unesa: Makalah. Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. The Japan Foundation, Bandung: Fa. Ekonomi. ------------. 1989. Jepang Dewasa Ini. Tokyo Japan : The Japan Echo Inc. The Japan Foundation. 1996. Aneka Jepang. Jakarta : Kedutaan Besar Jepang.
64