UNIVERSITAS INDONESIA
SUPERIORITAS WANITA DALAM DRAMA JEPANG “SEIGI NO MIKATA” SUATU CERMINAN DAMPAK PERUBAHAN KELUARGA JEPANG DARI SISTEM IE KE KAKU KAZOKU
MAKALAH NON-SEMINAR
Oleh: Vivi Anggreani 0906642374
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK JANUARI 2014
1 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
2 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
3 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
SUPERIORITAS WANITA DALAM DRAMA JEPANG “SEIGI NO MIKATA” SUATU CERMINAN DAMPAK PERUBAHAN KELUARGA JEPANG DARI SISTEM IE KE KAKU KAZOKU Vivi Anggreani, Etty Nurhayati Anwar Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Masalah yang diangkat dalam jurnal ilmiah ini adalah mengenai dampak perubahan keluarga Jepang dari keluarga Jepang yang berbasiskan sistem Ie pada masa sebelum Perang Dunia II ke kaku kazoku pada masa setelah Perang Dunia II terhadap munculnya superioritas wanita Jepang masa kini. Superioritas wanita Jepang masa kini tergambarkan dalam tokoh Makiko dalam drama Jepang Seigi no Mikata. Superioritas wanita merupakan usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita dari kehidupan wanita pada masa sebelumnya yaitu sebelum Perang Dunia II. Pada masa sebelum Perang Dunia II, kehidupan wanita Jepang hanya terbatas pada kehidupan keluarga dan tugasnya hanyalah tugas domestik, yaitu pekerjaan rumah tangga, sedangkan pada masa setelah Perang Dunia II, wanita Jepang sudah bisa memperoleh pendidikan tinggi dan dapat bekerja di luar rumah. Kehidupan wanita Jepang baik pada masa sebelum Perang Dunia II maupun setelah Perang Dunia II dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tempat ia tinggal karena keluarga merupakan tempat pembentukan karakter dan psikologis individu yang dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tersebut. Kata Kunci : Ie ; Kaku Kazoku; Keluarga; Seigi no Mikata; Superioritas
WOMEN’S SUPERIORITY IN JAPANESE DRAMA “SEIGI NO MIKATA” IS THE REFLECTION OF THE CHANGING FROM IE SYTEM TO KAKU KAZOKU IN JAPANESE FAMILIES Abstract The issues raised in this scientific journal is the impact of changes in Japanese families from Japanese family based on Ie system in the period before World War II to the kaku kazoku in the aftermath of World War II to the appearance of Japanese modern women 's superiority. Superiority of Japanese modern women is reflected in figure Makiko in Japanese drama Seigi no Mikata. Superiority of women is an effort or struggle to achieve excellence and perfection of the woman's life in the past before World War II. In the period before World War II , the Japanese women’s life confined to family life and his job only domestic duties, housework , whereas in the aftermath of World War II, Japanese women are able to get higher education and be able to work outside the home. The Japanes woman's life both in the period before World War II and after World War II is influenced by the shape and value of the family where she live as a family is a place of character and psychological formation of individuals who are affected by the shape and value of the family. Keyword : Family; Ie; Kaku Kazoku; Seigi no Mikata; Superiority
4 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
1. Pendahuluan
Cantik, populer, cerdas, memiliki karir yang bagus, ambisius, dan dominan adalah sifat dan gambaran umum tokoh utama wanita dalam drama Seigi no Mikata yang bernama Makiko. Seigi no Mikata merupakan drama Jepang yang populer pada tahun 2008. Kehidupan wanita modern Jepang tergambarkan pada tokoh Makiko tersebut. Makiko yang merupakan lulusan Tokyo Daigaku (Universitas Tokyo) dan bekerja di lembaga pemerintahan adalah gambaran bahwa wanita Jepang saat ini memiliki keinginan untuk memperoleh pendidikan tinggi dan memiliki karir yang bagus. Di zaman modern ini, banyak sekali wanita yang memperoleh pendidikan sampai ke perguruan tinggi dan bekerja di luar rumah. Berdasarkan data dari Menteri Pendidikan, Sains, Olahraga, dan Kebudayaan Jepang pada tahun 2006, wanita yang masuk perguruan tinggi pada tahun 2000 berjumlah 992.312 orang, jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 1.124.900 orang pada tahun 2005. Berbeda dengan jaman sebelum Perang Dunia II, tugas wanita hanyalah tugas domestik, yaitu pekerjaan rumah tangga dan melayani suami. Dengan memperoleh pendidikan tinggi, maka wanita memiliki kemampuan dan hak yang sama dengan laki-laki. Pendidikan pada masa kini menjunjung tinggi persamaan hak antara kaum laki-laki dan wanita (Sumiko Iwano, 1993:20). Pendidikan yang tinggi memampukan wanita untuk memiliki karir yang bagus, seperti yang tergambarkan dalam dunia drama ini. Makiko yang merupakan lulusan Tokyo Daigaku (Universitas Tokyo) dapat meniti karirnya di lembaga pemerintahan. Pendidikan dan karir yang dimiliki oleh tokoh Makiko merupakan gambaran adanya superioritas wanita pada zaman modern ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, makna superioritas adalah keunggulan; kelebihan. Menurut Adler, superioritas bukanlah pengkotakan sosial, kepemimpinan, atau kedudukan tinggi dalam masyarakat, tetapi superioritas adalah perjuangan ke arah kesempurnaan (Adler dalam Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 1993:245). Mengacu pada makna tersebut, dapat dikatakan bahwa superioritas wanita dalam kehidupan masyarakat modern Jepang muncul sebagai usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita dari kehidupan wanita pada masa sebelumnya yaitu sebelum Perang Dunia II. Pembentukan karakter dan psikologis individu dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tempat ia tinggal. Lembaga keluarga merupakan tempat pembentukan 5 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
karakter anak yang utama, terlebih pada masa awal-awal pertumbuhan mereka sebagai manusia. Dalam hal ini, keluarga memiliki investasi afeksi yang tidak dapat tergantikan oleh peranan lembaga lain di luar keluarga, seperti sekolah, lembaga agama, dan masyarakat (Dony Koesoema A., 2007:181). Berdasarkan teori tersebut, penulis melihat munculnya superioritas wanita Jepang ada kaitannya dengan perubahan bentuk keluarga. Perubahan bentuk keluarga yang diangkat penulis dibatasi pada bentuk keluarga sebelum Perang Dunia II yang berbasiskan pada sistem Ie dan bentuk kelurga modern setelah Perang Dunia II, yaitu kaku kazoku. Bentuk keluarga yang diterapkan pada masyarakat modern adalah kaku kazoku yang memiliki nilai-nilai demokratis dibandingkan dengan bentuk keluarga sebelum masa Perang Dunia II yang berbasiskan sistem Ie. Lalu, apakah yang dimaksud dengan kaku kazoku dan sistem Ie itu sendiri, bagaimana kehidupan wanita dalam sistem Ie, bagaimana pengaruh kaku kazoku terhadap munculnya superioritas wanita serta penggambaran superioritas wanita Jepang dalam Seigi no Mikata akan dibahas penulis pada bab selanjutnya.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif analisis yang menggambarkan permasalahan dengan menggunakan buku, artikel dan jurnal serta sumber dari internet sebagai bahan referensi.
3. Konsep Keluarga
Manusia dibentuk oleh bermacam-macam hubungan antara lain masyarakat, pendidikan dan yang paling mendasar adalah keluarga. Istilah keluarga dalam bahasa Jepang dikenal sebagai kazoku. Kazoku atau keluarga adalah kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dengan hubungan suami-istri sebagai dasar pembentukannya. Akan tetapi, tidak berarti apabila suatu kelompok yang hanya terdiri dari ayah dan anak, atau ibu dan anak tidak dapat disebut sebagai kazoku (Mori Oka Kyomi, 1967:1) Pengertian keluarga tidak hanya terbatas pada rumah. Pengertian rumah lebih menapak pada pengertian tempat, sedangkan pengertian keluarga lebih menapak pada iklim dan suasana ikatan batin antar insani (Melly Sri S.R, 2007:85). “Home is more 6 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
than a place: it is an environment of feelings and attitudes”, dan dikemukakan pula “The family is a social institution which means it is a social arrangement by which human needs are met.” (Landis dalam Melly Sri S.R., 2007:85). Keluarga, menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi. Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000 keluarga terdiri atas orang-orang yang hidup dalam satu rumah tangga (Newman dan Grauerholz, 2002). Keluarga sebagai lembaga sosial terkecil berkembang menjadi lembaga ekonomi, psikologis, pendidikan, pembangunan sosial kemasyarakatan, pembangunan kehidupan beragama yang perlu dijalankannya di dalam arah dan tujuan mencapai keluarga bahagia dan sejahtera (Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, 2007:82) Menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin, 1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang berdasarkan hubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal, yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-tugas keluarga. Dalam buku Pengantar Antropologi: pokok-pokok etnografi II yang ditulis oleh Koentjaraningrat pada tahun 1997, istilah keluarga disebut sebagai kelompok kekerabatan dalam ilmu antropologi dan sosiologi. Suatu kelompok adalah kesatuan individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu: (Koentjaraningrat, 1997:109) 1) sistem norma-norma yang mengatur tingkah-laku warga kelompok, 2) rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya, 3) interaksi yang intensif antarwarga kelompok, 4) sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga kelompok, 5) pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok, dan 6) sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif, atau harta pustaka tertentu.
7 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
G.P. Murdock dalam buku tersebut membedakan 3 kategori kelompok kekerabatan berdasarkan fungsi-fungsi sosialnya, yaitu: (G.P. Murdock dalam Koentjaraningrat, 1997:110) a. kelompok kekerabatan berkoporasi (corporate kingroups), yang sifatnya eksklusif dan biasanya memiliki semua unsur di atas. “Istilah berkoporasi” umumnya menyangkut unsur (6) di atas, yaitu adanya hak bersama atas sejumlah harta. Jumlah warga dalam kelompok seperti ini biasanya terbatas; b. kelompok kekerabatan kadangkala (occasional kingroups), yang seringkali tidak memiliki unsur yang tersebut dalam (6). Kelompok ini biasanya terdiri dari banyak anggota, sehingga tidak memungkinkan adanya interaksi yang intensif antar sesama anggota; c. kelompok kekerabatan menurut adat (circumscriptive kingroup), yang biasanya tidak memiliki unsur (4), (5), (6), dan kadang-kadang juga unsur (3). Kelompok ini bentuknya sudah sedemikian besar, sehingga warganya seringkali sudah tidak saling mengenal. Menurut Koentjaraningrat, bentuk kelompok kekerabatan yang universal dan ada dalam hampir semua masyarakat di dunia adalah keluarga inti. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka yang belum menikah (Koentjaraningrat, 1997:106). Selain itu, ada juga bentuk kelompok kekerabatan yang tidak universal, yaitu keluarga luas. Keluarga luas adalah kelompok kekerabatan yang terdiri lebih dari satu keluarga inti. Dilihat dari komposisinya, ada 3 macam keluarga luas, yaitu: (Koentjaraningrat, 1997:112) a) keluarga luas utrolokal, yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti anak-anaknya, baik yang pria maupun yang wanita; b) keluarga luas virilokal, yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki-lakinya; c) keluarga luas uxorilokal, yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti anak wanitanya.
8 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan. Prinsip keturunan berfungsi untuk mengikat sejumlah kerabat yang sama-sama memiliki sejumlah hak dan kewajiban tertentu dan menentukan keanggotaan dalam kelompokkelompok kekerabatan. Prinsip-prinsip keturunan tersebut adalah: (Koentjaraningrat, 1997:123) 1. prinsip patrilineal, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pria, 2. prinsip matrilineal, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan wanita, 3. prinsip bilineal, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pria bagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu, dan hubungna kekerabatan melalui garis keturunan wanita bagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain pula, sehinggan untuk keperluan-keperluan tertentu seorang individu menggunakan kedudukannya sebagai kerabat ayahnya, dan di kesempatan lain sebagai kerabat ibunya, 4. prinsip bilateral, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pria maupun wanita.
Pembentukan karakter dan psikologis individu dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tempat ia tinggal. Lembaga keluarga merupakan tempat pembentukan karakter anak yang utama, terlebih pada masa awal-awal pertumbuhan mereka sebagai manusia. Dalam hal ini, keluarga memiliki investasi afeksi yang tidak dapat tergantikan oleh peranan lembaga lain di luar keluarga, seperti sekolah, lembaga agama, dan masyarakat. (Dony Koesoema A., 2007:181). Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
9 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wadah yang sejak dini para anggota masyarakat dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan-peranan dalam dunia orang dewasa, jembatan yang menghubungkan individu yang berkembang dengan kehidupan sosial tempat ia sebagai orang dewasa harus melakukan peranannya, melalui pelaksanaan perananperanan itulah pelestarian berbagai lembaga dan nilai-nilai budaya pun akan dapat tercapai dalam masyarakat.
4. Sistem Keluarga Tradisional Ie
Sistem keluarga tradisional Jepang dikenal dengan istilah Ie. Konsep dari Ie, yaitu makan dari dandang yang sama tidur di bawah atap yang sama dan memiliki kepercayaan yang sama. Ie dapat didefinisikan sebagai unit kekerabatan yang mementingkan kesinambungan Ie yang berasal dari garis keturunan ayah kepada anak laki-laki tertua (chonan). Ochiai Emiko dalam bukunya yang berjudul The Japanese Family System in Transition, mengatakan “The basic unit of traditional social organization in Japan, the ie is a corporate body which owns household property, carries on a family business, and emphasizes the continuity of the family line and family business over generations.” (Ochiai Emiko, 1994:58). Artinya, unit dasar dari organisasi tradisional di Jepang adalah Ie yang merupakan badan hukum yang memiliki harta rumah tangga, usaha keluarga, dan menekankan keberlangsungan garis keturunan dan usaha keluarga dari generasi ke generasi. Menurut Chie Nakane dalam The Japanese Family/Firm Analogy: A Critical Analysis yang ditulis oleh Eric Claude Poncelet pada tahun 1991, Ie menjadi konsep kritikal dalam memahami organisasi sosial Jepang, dan telah didefinisikan dalam beberapa pengertian, yaitu sebagai “sistem keluarga tradisional” pada masa Tokugawa (1600-1868 A.D) (Nakano 1962:527), “rumah tangga” (Cornell 1964:450), dan “stem family” (Smith 1978:45). Sistem Ie ini muncul pada masyarakat feodal militer, yaitu masa pemerintahan Tokugawa tahun 1604-1868 (Seiichi Kitano, 1966:4). Pada tahun 31 Meiji (1899), sistem Ie ini disahkan dalam Undang-Undang Hukum Perdata (Meiji Mimpo). Sistem Ie ini pun menjadi kuat bahkan konsep Ie dijadikan pola dasar sistem negara, yaitu Kazoku Kokka (Negara Keluarga) pada zaman Meiji (1868-1912) yang menerapkan 10 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
struktur yang terkandung dalam sistem Ie dengan Kaisar sebagai kepala keluarga (Etty N. Anwar, 2007:195). Secara struktural, Ie mengacu kepada keluarga tradisional Jepang yang memiliki karakteristik keluarga besar (beberapa generasi tinggal dalam satu atap), penekanan yang kuat terhadap patrilineal dan hubungan patriarkal. Karakterisitik dari sistem Ie ini adalah bentuk keluarga yang dikepalai oleh seorang kachou (kepala keluarga), kesinambungannya bergantung kepada garis lakilaki, yang akan diteruskan secara turun temurun kepada chounan (anak laki-laki pertama). Chounan akan tetap tinggal di dalam honke (head family), sedangkan Jinan (anak laki-laki kedua) dan sannan (anak laki-laki ketiga) pergi dari keluarga mereka untuk membentuk bunke (keluarga cabang). Ada tiga orang yang dapat menggantikan posisi kachou yang lama. Pertama, adalah chounan yang merupakan anak pertama dari keturunan sendiri. Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka yang menjadi kachou berikutnya adalah mukoyoshi atau menantu laki-laki dari anak perempuan tertuanya yang diangkat menjadi anak dan diharuskan untuk meninggalkan kamei atau nama keluarga dari Ie-nya. Jika tidak memiliki keturunan sama sekali, maka yang dapat menggantikannya adalah yoshi atau anak angkat yang telah diadopsi sejak masa kanak-kanak. Namun, jarang sekali ada laki-laki yang mau meninggalkan kamei dan menjadi penerus Ie keluarga lain, karena hal tersebut dianggap sangat rendah dan memalukan bagi keluarga laki-laki. Bahkan ada satu peribahasa, yaitu “Sango nuka ni areba yoshi ni ikuna”, yang maksudnya adalah jika masih memiliki tiga genggam beras, jangan mau menjadi yoshi (menantu laki-laki yang meneruskan keluarga istrinya). Peribahasa ini ada pada keluarga Jepang pada masa itu, untuk menggambarkan betapa memalukannya jika seorang laki-laki meninggalkan kamei dan menjadi penerus Ie istrinya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan mengenai status dan peranan mereka dalam keluarga. Chounan akan diajarkan berbagai tanggung jawab yang harus ia emban ketika menjadi kachou. Ia juga diajarkan untuk menjaga, merawat, dan melanjutkan kelangsungan keluarga. Sejak kecil, chounan sudah mendapat perlakuan yang istimewa dari kedua orang tuanya. Ia mendapat pendidikan yang keras mengenai kewajiban dan kepatuhan dibanding saudara-saudaranya yang lain. Saudara-saudara yang lain juga diajarkan untuk menghormati chounan. “Baka demo chounan” merupakan istilah Jepang yang menggambarkan bahwa walaupun bodoh, chounan tetap harus dihormati.
11 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Dalam sistem Ie, yang memegang peranan penting adalah pihak laki-laki. Laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menjadi kepala keluarga yang disebut kachou. Kachou adalah kepala keluarga yang memiliki wewenang untuk memimpin hubungan kekerabatan di dalamnya dan diberi wewenang penuh untuk mengatur keluarganya. Kachou akan mewariskan kekuasaan, wewenang dan juga warisan keluarga kepada chounan. The house head is responsible for ie property, direction and guidance of family business and labor, the proper veneration of the ancestors, and the transmission of family property to succeeding generations. (Eric Claude Poncelet, 1991:12). Secara umum, kekuasaan kachou meliputi dua hal, yaitu hak kekuasaan sebagai kepala rumah tangga (kachouken) dan hak kekuasaan sebagai ayah (fuken). Adapun yang menjadi kekuasaan kachou adalah memutuskan semua hal yang berkaitan dengan milik atau kekayaan keluarga, berhak menentukan kapan dan siapa yang akan menggantikan posisinya, menentukan keputusan mengenai segala hal yang berkaitan dengan Ie, membagi tugas kepada semua anggota Ie, mengatur dan mengawasi usaha keluarga, mengatur warisan keluarga, menjamin kehidupan seluruh anggota Ie dan bertugas sebagai pemimpin keagamaan. Sosok ayah yang menjadi kachou sangat dihormati dan ditakuti oleh anggota keluarganya. Posisi seorang kachou disejajarkan dengan empat hal yang paling ditakuti oleh keluarga Jepang, yaitu jishin (gempa bumi), kaji (kebakaran), kaminari (petir), dan oyaji (ayah). Posisi kachou yang disetarakan dengan gempa bumi, kebakaran, dan petir sebagai hal yang paling ditakuti keluarga Jepang menggambarkan bahwa kachou sangat ditakuti dan dihormati. Bisa dilihat dari kekuasaan dan posisi kachou tersebut bahwa dalam sistem ini, kedudukan dan peran laki-laki sebagai kachou sangat mendominasi dibanding wanita sebagai istri. Dapat juga dikatakan bahwa kedudukan wanita dalam sistem ini sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Sistem Ie ini berdasarkan pada ajaran Konfusianisme yang meninggikkan martabat laki-laki dan merendahkan wanita. Kedudukan wanita dalam sistem Ie terbagi dua, yaitu sebagai istri kachou dan sebagai yome (menantu perempuan). Kedudukan istri kachou lebih tinggi daripada kedudukan sebagai yome. Namun, kedudukan keduanya masih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan kedudukan laki-laki. Seorang wanita dalam sistem Ie belum mendapatkan wewenang apapun selama ia masih menjadi yome. Ia harus tunduk dan patuh kepada kachou dan shutome (mertua perempuan). Yome pun diharuskan melayani kedua mertuanya dan seluruh 12 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
anggota keluarganya dengan sangat baik. Apabila ia tidak dapat menjalani tugasnya itu, ia dianggap gagal menjadi menantu perempuan oleh kachou dan shutome. Ketika dianggap gagal, ia bisa diceraikan secara sepihak oleh keluarga suami. Seorang istri yang diceraikan merupakan aib bagi keluarga dari perempuan, jadi para istri sebisa mungkin untuk tunduk, patuh, dan hormat kepada mertuanya. Posisi sub-ordinat yome (menantu perempuan) terhadap hubungannya dengan keluarga suami terutama terhadap mertua, diterima oleh menantu perempuan tanpa ada rasa dendam dan benci. Segala perlakuan yang diterima dari ibu mertua selama menjadi menantu perempuan, dianggap baik sebagai bentuk pengabdian terhadap keluarga. Jika posisi wanita sebagai istri kachou, maka status dan kedudukannya tinggi, hampir setara dengan kachou. Sebagai istri kachou, ia akan diajak berunding dan berdiskusi oleh kachou untuk menentukan berbagai hal penting di dalam keluarga. Ungkapan “oyome ni ikeba tanin no hajimari” juga menggambarkan rendahnya kedudukan wanita. Ungkapan tersebut menyebutkan bahwa sejak menjadi menantu perempuan dari suatu keluarga, maka sejak saat itulah ia menjadi orang lain bagi keluarganya. Keluarga perempuan tidak akan menganggap ia sebagai anggota keluarganya lagi. Ketika ia masuk ke rumah keluarganya, yang diucapkan bukan lagi “tadaima”, tetapi “konnichiwa”. Ketika ia meninggal pun, ia tidak dikuburkan di keluarganya, melainkan di keluarga suaminya. Rendahnya kedudukan wanita dalam sistem Ie, juga terlihat dari pola kehidupan sehari-hari. Sebagai istri, ia harus bangun paling awal, dan tidur paling akhir.
5. Kaku Kazoku
Sistem Ie mulai memudar setelah Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II, Jepang yang saat itu berada di bawah kekuasaan sekutu mengalami perubahan besarbesaran, antara lain dalam bidang ekonomi dan sosial. Perubahan sosial yang terjadi salah satunya adalah perubahan bentuk keluarga sebagai akibat dari perubahan dalam bidanng ekonomi. Menurut Matsubara, ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sistem keluarga Jepang, yaitu hilangnya landasan hukum sistem Ie setelah diadakannya perubahan dalam Undang-Undang dan hukum perdata, tersebar luasnya pemikiran-pemikiran demokrasi melalui sistem pendidikan setelah Perang Dunia II, dan perubahan yang drastis pada pola kehidupan keluarga setelah tahun 1955 (Sakuntala K.E Imma, 1987:21-22). 13 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Pada keluarga Jepang modern, diterapkan bentuk kaku kazoku, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan keluarga batih. Kaku kazoku adalah keluarga yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah (Tobing, 2006:40-41). Hal yang penting dalam keluarga batih adalah kemampuan suami-istri dan anak untuk saling menyesuaikan diri, karena banyak hal yang bergantung kepada hubungan suami-istri ini. Selain itu, sistem keluarga batih ini menekankan kepentingan kehidupan perkawinan suami istri, bukan hubungan keluarga luas seperti pada masa sebelum Perang Dunia II. Dengan adanya persamaan peran antara suami istri pada kaku kazoku, suami sebagai kepala keluarga tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar. Kekuasaannya masih tetap ada namun, dibatasi oleh hak-hak yang dimiliki oleh istri dan anaknya. Ibu pun memiliki hak dalam mengatur kehidupan rumah tangganya bahkan mereka dapat bekerja di luar rumah. Anggota dari kaku kazoku terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang menjadi karakteristik kaku kazoku, didukung oleh Shinkempo 1946 pasal 14, yaitu: (Kondansha Bilingual Encyclopedia. Japan: Kondansha Ltd., 1998:792). Semua orang adalah sama di bawah Undang-Undang dan tidak akan ada diskriminasi dalam hal politik, ekonomi, atau hubungan sosial yang disebabkan karena perbedaan ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial serta keturunan. Undang-undang ini melarang adanya tindakan diskriminasi yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Peranan ayah dalam Ie sebagai penguasa tidak berlaku dalam kaku kazoku. Hubungan antar anggota yang terjadi di dalam kaku kazoku didasari pada hak individu, persamaan, dan keadilan. Hal ini menyebabkan kesejajaran kedudukan antara pria dan wanita. Apalagi diiringi dengan digalakkannya pendidikan bagi wanita, menyebabkan semakin banyak wanita Jepang yang menjadi pekerja sehingga peran wanita pada kaku kazoku bukan hanya melakukan pekerjaan domestik termasuk melayani suami, anak, dan mertua, tetapi wanita dapat juga bekerja di luar rumah. Pada keluarga batih, kehidupan seorang istri tidak lagi dibatasi oleh shutome, karena semakin sedikit peluang untuk tinggal bersama-sama shutome, sehingga keluarga dari pihak suami tidak dapat mencampuri urusan rumah tangga mereka. Hal ini menyebabkan istri mempunyai wewenang yang lebih besar untuk menentukan kehidupan keluarga. Istri memiliki status sebagai orang yang bertanggung jawab 14 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
terhadap perekonomian rumah tangga, ia juga harus mengatur segala macam pengeluaran yang dibutuhkan keluarga, termasuk uang saku untuk suaminya. Peran wanita dalam kaku kazoku yang lebih dominan dibanding dalam sistem Ie ini memicu munculnya superioritas wanita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, makna superioritas adalah keunggulan; kelebihan. Menurut Adler, superioritas bukanlah pengkotakan sosial, kepemimpinan, atau kedudukan tinggi dalam masyarakat, tetapi superioritas adalah perjuangan ke arah kesempurnaan. (Adler dalam Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 1993:245). Mengacu pada makna tersebut, dapat dikatakan bahwa superioritas wanita dalam kehidupan masyarakat modern Jepang, muncul sebagai usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita dari kehidupan wanita pada masa sebelumnya yaitu sebelum Perang Dunia II. Superioritas wanita Jepang ini dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah wanita yang mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja diluar rumah. Hal ini sebagai usaha wanita untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita. Dengan mengenyam pendidikan tinggi, maka wanita memiliki kemampuan dan hak yang sama dengan laki-laki. Pendidikan pada masa ini menjunjung tinggi persamaan hak antara kaum laki-laki dan wanita. (Sumiko Iwano, 1993:20). Pendidikan yang tinggi memampukan wanita untuk memiliki karir yang bagus. seperti yang tergambarkan dalam drama Seigi no Mikata. Makiko yang merupakan lulusan Tokyo Daigaku dapat meniti karirnya di lembaga pemerintahan. Pendidikan dan karir yang dimiliki oleh tokoh Makiko merupakan gambaran adanya superioritas wanita pada jaman modern ini.
6. Superioritas Wanita dalam Drama Seigi no Mikata Cantik, populer, cerdas, memiliki karir yang bagus, ambisius, dan dominan adalah sifat dan gambaran umum tokoh utama wanita dalam drama Seigi no Mikata yang bernama Makiko. Seigi no Mikata (正義の味方, Ally of Justice) cerita ini pertama kali diterbitkan oleh Shueisha sebagai manga oleh Hijiri Chiaki. Manga ini kemudian dibuat menjadi sebuah drama TV singkat yang tayang pada tahun 2008 di Televisi Nihon, disutradarai oleh Satoru Nakajima. Film ini berlatarkan kehidupan di zaman modern yaitu era 2000-an tepatnya pada tahun 2008. Tokoh utama pada drama ini adalah Makiko. Ia anak pertama di keluarganya dan mempunyai seorang adik
15 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
perempuan bernama Youko. Makiko berumur sekitar 25 tahun dan adiknya, seorang gadis 15 tahun. Dalam drama tersebut, ia dikenal sebagai sosok yang cantik, cerdas, dan ambisius. Ia pun sangat dikagumi oleh orang-orang di sekitarnya. Secara keseluruhan, penulis melihat bahwa drama ini menggambarkan kehidupan wanita Jepang di era modern ini. Kehidupan wanita modern Jepang tergambarkan pada tokoh Makiko tersebut. Makiko yang merupakan lulusan Tokyo Daigaku (Universitas Tokyo) dan bekerja di lembaga pemerintahan adalah gambaran bahwa wanita Jepang saat ini memiliki keinginan untuk memperoleh pendidikan tinggi dan memiliki karir yang bagus. Superioritas wanita Jepang tergambarkan dalam kehidupan tokoh Makiko. Superioritas wanita dalam kehidupan masyarakat modern Jepang muncul sebagai usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita dari kehidupan wanita pada masa sebelumnya yaitu sebelum Perang Dunia II. Superioritas wanita Jepang muncul karena dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga kaku kazoku yang lebih demokratis sehingga ayah tidak lagi memiliki peran dan kekuasaan yang mendominasi. Di dalam keluarganya, Makiko memiliki sifat yang lebih dominan dibanding kedua orang tua dan adiknya. Sifat yang dominan salah satunya terlihat ketika ia yang menentukan tempat untuk berlibur keluarga dan restoran tempat untuk makan malam keluarga. Hal ini membuktikan pembahasan sebelumnya yang mengatakan bahwa adanya persamaan peran antara suami istri pada kaku kazoku, suami sebagai kepala keluarga tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar. Kekuasaannya masih tetap ada namun, dibatasi oleh hak-hak yang dimiliki oleh istri dan anaknya. Hal ini berarti, seorang anak pun dapat memberikan keputusan di dalam keluarganya, seperti yang terlihat pada tokoh Makiko. Pada kaku kazoku, seorang istri memiliki hak dalam mengatur kehidupan rumah tangganya bahkan mereka dapat bekerja di luar rumah. Ketika menikah dengan suaminya, Makiko lebih memilih untuk tinggal berdua di apartemen dengan suaminya, dibanding tinggal bersama keluarga suaminya, padahal mertuanya sudah menyuruh mereka untuk tinggal bersama mereka. Mertuanya juga menyuruhnya untuk berhenti bekerja dan fokus melayani suami dan keluarga. Namun,Makiko menolaknya, ia memutuskan untuk tetap bekerja. Keputusannya ini pun didukung oleh suaminya.
16 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Suami yang tidak otoriter yang merupakan karakteristik kaku kazoku juga tergambarkan pada drama ini. Selain itu, superioritas wanita Jepang pada tokoh Makiko terlihat dari latar pendidikannya. Makiko merupakan lulusan dari Tokyo Daigaku (Universitas Tokyo). Sesuai dengan teori yang dibahas sebelumnya bahwa, pada era modern ini, wanita lebih memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi tidak dapat dirasakan wanita pada zaman sebelum Perang Dunia II, karena kehidupannya pada saat itu dibatasi oleh kehidupan keluarga dan ia diharuskan melayani keluarganya. Berdasarkan data dari Menteri Pendidikan, Sains, Olahraga, dan Kebudayaan Jepang pada tahun 2006, wanita yang masuk perguruan tinggi pada tahun 2000 berjumlah 992.312 orang, jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 1.124.900 orang pada tahun 2005. Superioritas wanita Jepang sebagai usaha untuk mencapai keunggulan dalam kehidupan wanita telihat pada kecerdasan Makiko. Selain, bisa mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Tokyo, kecerdasannya terlihat pada kemampuannya menguasai 4 bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Arab, dan Bahasa Mandarin. Kecerdasannya pun dibuktikan dengan karirnya di lembaga pemerintahan. Di lembaga pemerintahan, ia memegang peran penting dalam pekerjaan administrasi. Ia selalu bekerja dengan baik bahkan diceritakan dalam drama tersebut, bahwa ia disenangi oleh Wakil Menteri karena telah membuat laporan dan data yang memuaskan. Karakterisitik tokoh Makiko seperti sifatnya yang dominan, cerdas, pendidikan yang tinggi, karir yang bagus merupakan cerminan superioritas wanita Jepang dalam drama Seigi no Mikata sebagai dampak perubahan keluarga Jepang dari sistem Ie ke kaku kazoku. Pembentukan karakter dan psikologis seseorang dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tempat ia tinggal. Dengan demikian, bentuk dan nilai keluarga kaku kazoku memicu munculnya superioritas wanita Jepang.
7. Kesimpulan
Keluarga merupakan tempat pembentukan karakter dan psikologis individu yang dipengaruhi oleh bentuk dan nilai keluarga tempat ia tinggal. Bentuk keluarga kaku kazoku dan nilai demokratis yang terdapat di dalamnya memicu munculnya superioritas wanita Jepang sebagai usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan 17 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
dan kesempurnaan kehidupan wanita dari kehidupan wanita pada masa sebelum Perang Dunia II. Superioritas wanita Jepang saat ini tergambarkan dalam tokoh perempuan bernama Makiko dalam drama Jepang Seigi no Mikata. Makiko yang cerdas, ambisius, lulusan Universitas Tokyo, dan bekerja di lembaga pemerintahan merupakan gambaran kehidupan wanita Jepang di jaman modern ini. Di zaman modern ini, banyak sekali wanita Jepang yang memperoleh pendidikan tinggi dan bekerja di luar rumah. Berbeda dengan zaman sebelum Perang Dunia II, tugas wanita hanyalah tugas dometik, yaitu pekerjaan rumah tangga dan melayani suami. Superioritas wanita masa kini merupakan hasil pembentukan karakter dari keluarga Jepang modern, yaitu kaku kazoku. Kaku kazoku merupakan keluarga inti yang terdiri ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Kaku kazoku mulai diterapkan pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II. Pada kaku kazoku, terdapat nilai-nilai demokratis dengan menekankan persamaan peran antara suami dan istri. Kehidupan wanita sebagai istri tidak lagi diatur dan dibatasi oleh keberadaan mertua, karena suami istri tidak tinggal serumah dengan orang tua laki-laki, sehingga istri dapat dengan bebas menentukan dan mengatur kehidupan rumah tangganya. Berbeda dengan keluarga yang berbasiskan sistem Ie yang diterapkan pada masa sebelum Perang Dunia II. Pada sistem ie, kedudukan wanita rendah dibandingkan dengan kedudukan laki-laki, karena kesinambungan keluarga berada di tangan lakilaki sehingga segala sesuatu diatur oleh laki-laki yang menjadi kachou atau kepala keluarga. Kachou berperan sebagai pemimpin dan memiliki otoritas tertinggi. Pada sistem Ie, peran wanita hanya melayani seluruh anggota keluarga, terutama suami dan mertua. Nilai demokratis yang terdapat dalam kaku kazoku membuat posisi wanita tidak lagi di bawah laki-laki, melainkan seimbang, dan hal ini menyebabkan munculnya superioritas wanita sebagai usaha atau perjuangan untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan kehidupan wanita dibandingkan dengan kehidupan wanita pada masa sebelumnya yaitu sebelum Perang Dunia II.
8. Saran
Penelitian jurnal ini hanya terfokus pada dampak perubahan keluarga Jepang dari sistem Ie ke kaku kazoku terhadap superioritas wanita dalam drama Seigi no 18 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Mikata. Bagi orang yang ingin meneliti dengan tema yang sama dapat membahas dampak perubahan keluarga Jepang dari sistem Ie ke kaku kazoku terhadap pendidikan, pernikahan atau pun perceraian.
9. Kepustakaan
Anwar, Etty N. 2007. Ideologi Keluarga Tradisional IE dan Kazoku Kokka pada Masyarakat Jepang Sebelum dan Sesudah Perang Dunia II. Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, 9, 194-205. Emiko, Ochiai. 1994. The Japanese Family System In Transition. Tokyo: Yuhikaku Publishing Co,.Ltd. Hall, Calvin S. dan Lindzey, Gardner. 1993. Psikologi Kepribadian 1:Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius. Iwano, Sumiko. 1993. Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New York: The Free Press. Koesoema A.,Dony. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo. Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi II. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kondansha Bilingual Encyclopedia. 1998. Japan: Kondansha Ltd, Tokyo. Kyomi, Mori Oka. 1967. Kazoku Shakaigaku. Tokyo: Yuhikaku. Landis, Paul H. 1981. Your Marriage and Family Living. London: Mc. Graw Hill Book Company Inc. Newman, David M., dan Elizabeth Grauerholz. 2002. Sociology of Families. USA: Sage Publication. Poncelet, Eric Claude. 1991. The Japanese Family/Firm Analogy: A Critical Analysis. USA: Arizona University. Soedijarto, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama.
19 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014
Soelistyowati, Berty. 2003. Pengaruh Perubahan Keluarga Terhadap Perceraian di Jepang. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tobing, Ekayani. 2006. Keluarga Tradisional Jepang: Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial. Depok, Universitas Indonesia:Iluni KWJ. Zeitlin M.F. 1995. Strengthening the Family. New York: United Nation University Press. Adiningtyas, Sakina Rr. 2008. Fenomena Jisatsu di Jepang pada Masa Sebelum dan Sesudah Perang Dunia II:sebagai tinjauan dampak perubahan struktur keluarga. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. http://kbbi.web.id/superioritas
20 Superioritas wanita ..., Vivi Anggreani, FIB UI, 2014