14
BAB 2 KONSEP SISTEM SOSIAL DAN KAKU KAZOKU
2.1 Sistem Sosial Menurut Parsons Sistem sosial menurut Parsons adalah para aktor individual yang saling berinteraksi di dalam suatu situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan fisik atau lingkungan psikis, yang terdorong ke arah kecenderungan untuk mengoptimalkan kebahagiaan, dan antarhubungan mereka ditetap dan diatur menurut sistem yang teratur secara kultural serta mempunyai simbol-simbol bersama (Parsons dalam Lauer, 1989, 108). Parsons melihat masyarakat sebagai sistem sosial, sistem sosial ini dibentuk dari empat konsep dasar yakni adaptasi, tujuan yang dicapai, integrasi dan pemeliharaan pola yang tersembunyi. Adaptasi berarti hubungan antara sistem dan lingkungan. Tujuan yang dicapai mengacu pada kebutuhan semua masyarakat untuk mencapai tujuan melalui aktivitas sosial. Integrasi mengacu terutama pada penyesuaian diri terhadap konflik, ini berhubungan dengan koordinasi dan penyesuaian diri mutual sebagai bagian dari sistem sosial. Pemeliharaan pola mengacu pada nilai-nilai dasar pola pemeliharaan, intitusionalisasi dalam masyarakat. Semua bagian sistem sosial itu saling berhubungan, perubahan di satu bagian akan mempengaruhi yang lainnya. Misalnya sistem adaptasi berubah akan menghasilkan gangguan dalam sistem sosial secara keseluruhan, bagian sistem yang lain akan mengembalikan ke titik keseimbangan (Haralombos, 2004, 940-941). Keseimbangan menurut Parsons adalah suatu proses interaksi manusia sebagai mahluk sosial tanpa memandang status yang berfungsi sebagai mekanisme dalam mempertahankan suatu hubungan sosial dan memotivasi peran-peran yang terjadi dalam hubungan sosial sehingga keberadaan suatu peristiwa tetap stabil. Sistem dapat didefinisikan menurut unit-unitnya, pola-polanya, dan batasbatasnya (Lauer, 1989, 107-108).
Unit dalam sistem sosial yang dibahas disini
adalah keluarga. Sebuah keluarga memiliki pola yang terdiri dari ayah, ibu, dan anakanaknya. Keluarga merupakan orang yang terikat dalam perkawinan, pertalian darah,
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
15
tinggal bersama di dalam suatu rumah tangga, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lainnya dalam menjalankan perannya masing-masing sebagai ayah, ibu dan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (Burgess, 1960, 342). Hal ini senada dengan William A. Haviland, yang berpendapat bahwa keluarga adalah kelompok yang terdiri atas wanita, anak-anaknya yang belum berdiri diatas kaki sendiri, dan setidak-tidaknya seorang laki-laki dewasa, yang terikat karena hubungan perkawinan atau karena sedarah (Haviland, 1993, 83). Setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing. Dalam menjalankan perannya, tentu memiliki nilai-nilai bersama yang digunakan agar sebuah keluarga dapat menjalani fungsinya sebagai sebuah keluarga. Keluarga memiliki pola sosialisasi yang digunakan untuk mengajarkan anak-anaknya bertindak dan hidup di dalam masyarakat. Keluarga memiliki fungsi tertentu, diantaranya (Soekanto, 1992, 2); 1. Unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual. 2. Wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses dimana anggotaanggota masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai berlaku. 3. Unit terkecil dalam masyarakat yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomis. 4. Unit terkecil dalam masyarakat tempat anggota-anggotanya mendapatkan perlindungan bagi ketentraman dan perkembangan jiwanya.
Arti penting peranan keluarga, terutama yang berkaitan dengan fungsinya dalam melakukan sosialisasi, kembali ditegaskan oleh George A. Lundberg sebagai berikut (Lundberg, 1998, 562); 1. Keluarga memonopoli pengalaman-pengalaman anak selama bertahun-tahun perkembangan awalnya. Selanjutnya anak juga menemui institusi dan agenagen lainnya, tetapi sikap anak terhadapnya sebagian besar ditentukan oleh kontak sosialnya dalam keluarga.
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
16
2. Keluarga merupakan kelompok primer yang paling bersatu, keintiman dan kasih sayang mengembangkan ‘we feeling’ diantara anggota-anggota keluarga. Dengan demikian memudahkan komunikasi dan mendorong berlangsungnya tradisi kebiasaan dan sikap dari orang tua terhadap anak. 3. Anggota keluarga diidentifikasikan sebagai suatu unit sosial yang memainkan peranan tertentu dalam kehidupan komuniti. Keluarga sebagai agen sosialisasi yang paling awal yang diterima oleh setiap individu (Horton, 1987, 276). Seorang individu belajar bersosialisasi dan mengenal nilai-nilai dalam masyarakat di dalam keluarga. Keluarga juga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Oleh sebab itu sebuah keluarga sangat penting artinya bagi seorang individu. Di dalam sebuah keluarga terdapat peran-peran yang dijalankan oleh semua anggota keluarga (Setiawati, 2006, 9-10). Ada dua macam bentuk keluarga, pertama adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dengan atau tanpa anak, atau dari pria sendiri atau wanita sendiri dengan anak-anak. Bentuk ini secara umum merupakan bentuk yang lazim ada dari dulu hingga sekarang, yang disebut keluarga nuklir atau sering juga disebut keluarga inti. Kedua adalah keluarga yang lebih besar yang terdiri dari selain suami, istri dan anakanak juga mencakup kakek, nenek, kerabat, ipar, cucu. Keluarga ini biasanya disebut dengan keluarga batih (Haviland, 1993, 83).
2.2 Keluarga Inti (Kaku Kazoku) Struktur dasar sebuah keluarga adalah sistem keluarga batih (extended family) yakni keluarga dengan terdiri dari banyak generasi termasuk didalamnya kakak dan adik, saudara sepupu, paman, tante semuanya bekerja bersama untuk membangun keluarga. Semuanya tumbuh berkembang hidup dan sampai meninggal di rumah keluarga besar itu. Pada keluarga batih, para orang tua memiliki peran yang dimiliki secara turun temurun dari generasi sebelumnya, yaitu ayah sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dan ibu yang berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak dan rumah tangga. Dalam keluarga batih pula, anak tidak hanya
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
17
dirawat, dididik, dan dibesarkan oleh orangtuanya saja, tetapi juga oleh keluargakeluarga lain yang ada di rumahnya (Kiota, 2008). Yang lebih dominan yang terjadi pada keluarga Jepang saat ini adalah keluarga nuklir (nuclear family) atau kaku kazoku (核家族) yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan satu atau lebih anak. Hal ini dikarenakan banyaknya pemuda yang berpindah ke kota untuk bekerja dan belajar, ketika mereka menikah, dan memiliki rumah tangga baru. Pada akhirnya semakin meningkat proporsi keluarga nuklir (Masahiro Yamada, 1998, 13). Menurut George P. Murdock, seorang antropologis dalam Oxford Dictionary of Sociology mengatakan sebagai berikut: ”Murdock attributes this to the nuclear family’s utility in performing tasks necessary to the survival of the species and to social continuity: namely, the regulation of sexual relationship, reproduction, the socialization of children, and economic cooperation between the sexes”. Terjemahan: ”Kegunaan keluarga nuklir dalam memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup spesies (manusia) dan untuk melangsungkan kehidupan sosial yakni peraturan hubungan sex, reproduksi, sosialisasi anak dan bekerja sama mendukung ekonomi keluarga.”
Talcott Parsons berargumentasi bahwa keluarga inti lebih cocok digunakan di dalam kehidupan industri (masyarakat perkotaan) karena di lain pihak, banyak keluarga yang sering berpindah tempat dan dilihat secara ekonomi juga lebih independen dibandingkan keluarga besar (Marshall, 1998, 222). Keluarga nuklir, interaksi yang terjadi antara orang tua lebih negosiatif dan hangat karena memungkinkan terjadinya pertukaran peran antara suami dan istri. Akibat adanya perubahan hubungan yang baru antara suami dan istri dalam keluarga nuklir, kini ada tiga jenis keluarga nuklir yang tercipta, yaitu keluarga dengan hanya suami yang bekerja, keluarga dengan hanya istri yang bekerja, dan keluarga dengan kedua suami dan istri yang bekerja (Jay, 2008).
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
18
Menurut Jay (2008), jenis-jenis keluarga baru tercipta seiiring berubahnya masyarakat diantaranya : 1. Single-parent family yakni keluarga dengan orangtua tunggal. Penyebabnya pun beraneka ragam seperti perceraian, kematian, ditinggalkan oleh pasangan, atau karena penahanan. Keluarga dengan orangtua tunggal juga karena hasil dari hubungan dengan status tidak menikah. Jumlah keluarga ini semakin tahun semakin meningkat. 2. Step family (keluarga tiri) yakni ayah/ibu nya menikah lagi dengan orang lain disebabkan perceraian atau kematian, sehingga sang anak memiliki ayah/ibu tiri. Contoh step family: Menikah lagi
Ibu tiri
anak
bercerai
ayah
anak
ibu
anak
3. Childless family, keluarga tanpa memiliki anak. Ini merupakan gaya hidup baru yang dipilih pasangan-pasangan yang sudah menikah. Yang disorot dalam penelitian ini adalah jenis keluarga biasa yang terdiri ayah kandung, ibu kandung, dan anak, serta step family.
2.3 Pola Sosialisasi Orang Tua Terhadap Anak Menurut Elizabeth B. Hurlock terdapat tiga pola sosialisasi yang digunakan oleh orang tua dalam menanamkan disiplin terhadap anaknya (Ihromi, 1999, 51-52), yaitu : 1. Otoriter Dalam pola asuhan otoriter ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian atau tandatanda yang membenarkan tingkah laku anak apabila mereka melaksanakan
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
19
aturan tersebut. Tingkah laku anak dikekang secara kaku dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali perbuatan yang sudah ditetapkan oleh peraturan. Orang tua tidak mendorong anak untuk mengambil keputusan sendiri atas perbuatannya, tetapi menentukan bagaimana harus berbuat. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbuatanperbuatannya. 2. Demokratis Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan-alasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi suatu aturan. Orang tua menekankan aspek pendidikan ketimbang aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak dengan sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan. Apabila perbuatan anak sesuai dengan apa yang patut ia lakukan, orang tua memberikan pujian. Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol dari dalam diri anak sendiri. 3. Permisif Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak pernah memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orang tua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak. Pada pola ini pengawasan menjadi sangat longgar. Orang tua belum tentu menggunakan satu pola saja, ada kemungkinan menggunakan ketiga pola sosialisasi itu sekaligus atau bergantian. Walaupun demikian ada kecenderungan orang tua untuk lebih menyukai atau lebih sering menggunakan pola tertentu (Ihromi, 1999, 52-53). Namun, tidak semua orangtua memberi sosialisasi kepada anaknya dengan baik, banyak terjadi penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, dengan melakukan tindak penganiayaan terhadap anak atau istilah dalam bahasa Jepangnya disebut jidou
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
20
gyakutai. Tipe otoriter yang cenderung berakibat pada kekerasan karena cara orangtua mendisiplinkan anak yang terlalu negatif.
2.4 Jidou Gyakutai (児童虐待) Secara terminologi sosial jidougyakutai adalah penganiayaan atau tindak kekerasan yang dilakukan pada anak-anak. Definisi dari konsep penganiayaan terhadap anak berbeda-beda. Tindakan yang dinyatakan sebagai penganiayaan terhadap anak oleh Departemen Sosial Jepang (Asahi Shimbun, 1999, dalam Yulia: 2001, 10) adalah sebagai berikut : 1. Penganiayaan Fisik (gutaiteki gyakutai 具体的虐待) 児童の身体に外傷が生じ、または生じるおそれのある暴行を加 えること。 例えば、一方的に暴力を振るう、食事を与えない、冬は戸外に 締め出す、部屋に閉じ込める. Jidou no shindai ni gaisyou ga shouji, mata wa shoujiru osore no aru boukou o kuwaeru koto. Tatoeba, ippouteki ni boukou o furuu, shokuji o ataenai, fuyu wa kogai ni shimedasu, heya ni tojikomeru. Terjemahan: Segala sesuatu yang menimbulkan luka pada tubuh anak, dan terus menerus hal kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh orangtua atau wali. Misalnya anak dipukul, ditendang, tidak diberi makan, dibiarkan di luar rumah pintu dan dilarang masuk ke dalam rumah saat musim dingin. Contoh tambahan: anak ditindih di dalam tumpukan futon1, diikat di ruangan, disiram, dikenai panas, dilempar, dicubit, didorong sampai jatuh oleh orangtua atau wali.
1 Tempat tidur orang Jepang yang bisa dilipat apabila sedang tidak dipakai.
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
21
Dapat dikatakan penganiayaan fisik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Dilakukan secara kebetulan; 2. Dilakukan berulang-ulang dan merupakan kebiasaan. 2. Pengabaian (gutaitekikyohi 具体的拒否) 児童の心身の正常な発達を妨げるような著しい減食、もしく は長時間の放置その他の保護者としての監護を著しく怠ること。 例えば、病気になっても病院に受診させない、乳幼児を暑い日 差しの当たる車内への放置、食事を与えない、下着など不潔な まま放置するなど. Jidou no shinshin ni seijyouna hattatsu o samatageruyouna ichijirusii genshoku, moshiku wa nagajikan no houchi sono ta no hougosya toshiteno kangi o ichijirusiku okotaru koto. Tatoeba, byouki ni nattemo byouin ni jyusin sasenai. Nyuuyouji o atsui hi sashi no ataru shanai eno houchi, shokuji o ataenai, shitagi nado fuketsuna mama houchi suru nado. Terjemahan: Anak dikunci di dalam rumah, tidak dibawa ke rumah sakit atau dokter walaupun sedang sakit oleh orangtuanya, orangtua pergi keluar dengan meninggalkan bayi di dalam rumah tanpa penjagaan, meninggalkan bayi di kereta dorong, orangtua tidak memberikan makanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak, tidak mengganti pakaian dalam dan lainnya dalam waktu yang lama sehingga si anak ditempatkan dalam keadaan yang kotor, tidak menjaga kebersihan tempat tinggal.
Dapat dikatakan pengabaian apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Meninggalkan atau menolak hak pengasuhan anak; 2. Ketidaktahuan akan cara mengasuh anak.
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
22
3. Penganiayaan Seksual (seiteki gyakutai 性的虐待) 児童に猥褻行為をすること、または児童を性的対象にさせたり、 見せること。 例えば、子供への性的暴力。自らの性器を見せたり、性交を見 せ付けたり、強要する. Jidou ni waisetsukoui o surukoto, mata wa jidou o seiteki taishou ni sasetari, miserukoto. Tatoeba, kodomo e no seiteki bouryoku. Mizukara no seiki o misetari, seikou o misetsuketari, kyouyousuru. Terjemahan: Orangtua melakukan pencabulan terhadap anak, tindakan seksual, memperlihatkan kemaluan, alat-alat seksual, memperlihatkan obyek porno ke anak. 4. Penganiayaan secara psikologi (shinriteki gyakutai 心理的虐待) 児童に著しい心理的外傷を与える言動を行うこと。心理的外傷 は、児童の健全な発育を阻害し、場合によっては心的外傷後ス トレス障害などの症状を生ぜしめるため禁じられている。 例えば、言葉による暴力、一方的な恫喝、無視や拒否、自尊心 を踏みにじる. Jidou ni ichijirusii shinriteki gaishou o ataeru gendou o okonau koto. Shinriteki gaishou wa, jidou no genzenna hatsuiku o sogaishi, baai niyotte wa shinteki gaishou ato sutoresu shougai nado no shoujyou o shouzeshimeru tame kinjirarete iru. Tatoeba, kotoba niyoru vouryoku, ippoutekina doukatsu, mushi ya kyohi, jisonshin o fumi nijiru. Terjemahan: Anak diancam, tidak dipedulikan dan tidak diakui keberadaannya, dilukai harga dirinya dengan perkataan dan perbuatan, dibedakan
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
23
perlakuan yang diterima dengan saudara kandungnya yang lain oleh sang orangtua.
Dapat dikatakan penganiayaan psikologi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Tidak termasuk dalam penganiayaan seksual, penganiayaan yang berdasarkan penolakan hak asuh atau ketidaktahuan cara mengasuh anak, serta penganiayaan secara fisik. 2. Penganiayaan yang terbukti ada hubungannya antara perilaku orangtua atau pengganti orangtua dan perilaku anak. Sebelum tahun 1990-an tidak seorangpun di Jepang yang mengakui adanya penganiayaan terhadap anak di negara mereka sendiri. Karena keengganan orang untuk melaporkan kejadian-kejadiaan yang dirasa itu adalah penganiyaan kepada jidousodanjou. Serta adanya ketakutan bisa mempermalukan orangtua korban (Kitamura dalam Goodman, 2002, 135). Maka dari itu, kasus-kasus penganiayaan terhadap anak di Jepang terselubung. Seorang psikolog Nick Frost dalam bukunya mengenai kesejahteraan anak menyebutkan beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya penganiayaan pada anak, sebagai berikut: 1. Faktor orangtua Dalam banyak kasus, orangtua yang menggunakan anak mereka sebagai objek tindak kekerasan pada umumnya hubungan antara orangtua-anak tidak stabil. Seseorang yang tumbuh dalam situasi seperti ini cenderung melakukan apapun dengan kekerasan karena tidak adanya saling percaya dan tidak menghargai. Hal ini menyulitkan seseorang untuk menjaga hubungan yang harmonis, selaras dan seimbang. Tindak kekerasan justru lebih mudah menyusup dalam hubungan yang tidak harmonis antara orangtua dan anak. Mendukung anak dalam bidang dalam bidang apapun, serta membantu anak, adalah sangat dibutuhkan dalam mencegah adanya praktik kekerasan pada anak (Frost, 2000, 190).
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
24
Selain itu, banyak kasus dalam keluarga muda yang tidak dapat mengerti kebutuhan anak-anaknya dan merasakan kalau mereka sangat terjerat dan sengsara dengan keberadaan sang anak. Orangtua seperti ini tidak dapat menerima secara emosional atas keberadaan anaknya, justru lebih frustasi karena mereka masih muda dari segi usia dan belum matang dalam menghadapi anak. Penyakit psikologi seperti kecanduan alkohol dan obat-obatan juga dapat menyebabkan orangtua menjadi mudah marah terhadap anak-anaknya (Frost, 2000, 190). 2. Faktor anak Penyebab kekerasan terhadap anak mungkin juga dari dalam dirinya sang anak. Ketika anak sangat sulit menerima keadaan yang serba sudah atau sulit menerima statusnya sebagai anak. Ini termasuk anak yang sering menangis atau anak yang sulit ditenangkan, anak yang banyak maunya dan keras kepala, dan anak yang tidak merespon keinginan orangtua, serta anak hiperaktif. Orangtua kadangkadang merespon hal ini dengan emosi negatif kepada anak. Selain itu, ketika orangtua dihadapkan dengan kelahiran anaknya yang prematur, atau siam, atau memiliki penyakit yang kronis, atau anak yang cacat, orangtua merasa terbebani dengan hal-hal seperti itu, dan mungkin akan berakhir pada penganiayaan terhadap anak tersebut. 3. Faktor Keluarga Faktor-faktor berikut, merupakan latar belakang adanya penganiayaan pada anak: 1. Ketidakstabilan ekonomi (kehilangan pekerjaan, berubah kerja, hutang, dan lain-lain yang menjadi sumber kesulitan ekonomi); 2. Stres dalam hubungan keluarga (perceraian, pisah ranjang, ketidak harmonisan, dan lain-lain yang menyebabkan stres tinggi dalam keluarga. Hubungan pernikahan yang tidak stabil); 3. Stres dalam pekerjaan; 4. Kelahiran anak yang tidak diinginkan; 5. Anak yang terisolasi dari lingkungan sekitar (isolasi dari keluarga, temanteman, dan komunitas).
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
25
Ketika faktor-faktor yang memicu adanya kekerasan terhadap anak, hal-hal diatas tidak menjamin suatu tindak kekerasan itu akan terjadi. Ketika faktorfaktor tersebut muncul secara bersamaan, resiko untuk terjadinya kekerasan terhadap anak akan semakin besar (Frost, 2000, 190-191).
Peran Yougoshisetsu..., Fitria Ulfah, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia