UNIVERSITAS INDONESIA
IDENTITAS PEREMPUAN : SIAPAKAH YANG MEMBERI? SEBUAH ANALISA KRITIS ATAS IDENTITAS GENDER
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat
ABBY GINA BOANGMANALU 0806465850
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT DEPOK JUNI 2012
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR Skripsi ini merupakan hasil akhir dari perkuliahan S1 saya di Filsafat UI. Terima kasih kepada orang – orang yang berada di sekitar saya yang memberi begitu banyak bantuan sehingga skripsi terampungkan. Terimakasih kepada : Ibu Hermini Soemitro, M.A, selaku dosen dan pembimbing skripsi saya. Begitu banyak pelajaran yang saya dapat dalam proses perampungan skripsi ini bersama Ibu. Terima kasih kepada kedua pembimbing saya Bapak Dr. Akhyar Yusuf Lubis, M.Hum dan Bapak Tommy F. Awuy, S.S. Masukan dari Bapak sangat berguna bagi penulisan skripsi ini. Begitu juga berbagai sumber bacaan yang Bapak-bapak berikan. Terima kasih kepada bung Fristian Hadinata selaku panitera dalam sidang skripsi saya, Terima kasih kepada Mba Ikhaputri Widianti. Ide skripsi ini muncul dari perbincangan suatu siang bersama Mba. Terima kasih kepada dosen-dosen yang telah membimbing saya selama 8 semster. Bapak Vincent, Bapak Fuad, Bapak Naupal, Ibu Embun, Ibu Irma, Ibu Margaretha, Bapak Hayon, Bapak Harsawibawa, Bapak Rocky, Bapak Donny, (alm) Bapak Wayan, Mba Saras,
Bung Sandy dan Bapak Eko Wijayanto. Perkuliahan di
Filsafat UI membuka cakrawala baru dalam melihat realitas kehidupan dan membentuk saya menjadi saya yang saat ini. Terimakasih kepada Bapak Budiarto selaku Pembimbing akademis saya. Terima kasih kepada teman – teman filsafat 2008. Ternyata waktu 4 tahun itu begitu singkat jika dijalani bersama kalian. Banyak hal yang kita lalui bersama, banyak hal yang kita bagi bersama. Terima kasih kepada Bella Marcellina Sandiata, sahabat yang selalu menyemangati dan menghibur ketika saya gamang. Bella sudah mau direpotkan dalam mengkoreksi typo skripsi saya yang segudang. Terima kasih kepada Giovani Virgine, perjumpaan yang aneh pada mulanya namun berubah menjadi persahabatan yang manis. Terima kasih kepada Nurulfatmi Amzy, teman satu bimbingan. Bantuan Nurul dalam membaca skripsi saya dan bantuan untuk berbagai keperluan saya dalam pembuatan skripsi sangat berarti. Terima kasih kepada Yuwita Margareth yang selalu siap jadi pendengar cerita dan pemberi saran terbaik bagi saya. Pinjaman catatan dari Yuwita sebelum sidang amat sangat membantu. Terima kasih kepada Metha Hestining Wigati yang selalu menyemangati ketika saya pesimis dalam pengerjaan skripsi ini. v Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
Terima kasih kepada Okvi Elyana atas kata–kata penyemangat, berbagai “informasi” dan “perbincangan” selama perkuliahan. Terima kasih kepada Hario Susanto, selaku ketua angkatan filsafat 2008 dan juga teman yang sangat cerdas. Menyenangkan sekali berdiskusi tentang banyak hal bersama Hario dan terima kasih juga atas saran – saran kritisnya. Terima kasih kepada Kartika Sari, yang selalu menyemangati saya, meski kita sudah jarang sekali bertemu. Terima kasih kepada Willy Dozan Wijaya dan Delia Yosephin Dipasto, dua orang yang sangat tulus dalam berelasi. Terima kasih Kepada Hugo Nainggolan, S.T. atas dukungan, perthatian, pengeritan dan kesetiaannya mendampingi saya di dalam suka dan duka selama satu tahun terakhir ini. Ketika saya jatuh ia mampu meyakinkan saya bahwa semuanya akan dapat teratasi dan bangkit untuk memulai lagi .Terima kasih untuk optimismenya dalam melihat kehidupan saya. Hal itu membuat saya percaya bahwa saya mampu. Terima kasih kepada Godfather saya, Bapak Albert Roring, M.Hum (om tei). Ditengah kesibukan sebagai manager kemahasiswaan FIB UI, masih sempat memantau perkembangan saya di dalam perkuliahan. Terima kasih sudah membimbing selama saya menjalani perkuliahan di kampus ini. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada keluarga saya. Kepada mama tersayang, Dra. Henny Sipayung. Kepadanya saya telah berhutang eksistensi. Terima kasih kapada ibu terbaik bagi saya. Beruntung sekali saya memiliki mama yang memiliki keutamaan. Menjadi anak mama adalah faktisitas yang terbaik di dalam hidup ini. Mama bukan hanya ibu yang memberikan susu namun juga madu kepada anak-anaknya. Mama tidak hanya memberikan hidup bagi saya namun mama juga mengajari saya tentang cara memaknai dan menghargai kehidupan. Filsafat pertama bagi saya adalah perjumpaan dengan mama. Terkhusus dalam masa pembuatan skripsi, terima kasih mama selalu mendukung dan memahami situasi saya. Terima kasih karena selalu mau membahas juga berdiskusi soal skripsi saya. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih kepada bapa tercinta yang selalu menjaga saya dari surga. Dr. Singkop Boas Boangmanalu, M.Hum. Bapa adalah ayah dan guru terbaik vi Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
yang saya miliki. 4 tahun lalu bapa dengan bangganya mengantarkan saya masuk ke gerbang perkuliahan ini. Meski secara fisik bapa tidak lagi terlihat namun saya yakin bapa selalu menyertai saya. Semangat bapa menjadi salah satu motifasi bagi saya untuk tetap bertahan dan berjuang menghadapi dunia. Semangat eksistensialis yang begitu mendarah daging dalam keseharian bapa, hal tersebut menjadi patron bagi saya dalam melihat realitas. Betapa saya bangga menjadi anak bapa. Seorang ayah dan pengajar yang mencintai perannya dengan sepenuh hati. Semoga suatu hari nanti saya mampu menjadi seperti bapa. Terima kasih kepada kakak saya dr. Sarah Picadela yang saat ini sedang dalam proses menyelesaikan program spesialisnya di Moscow. Terima kasih atas dukungannya, selalu siap di skype kapan saja. Ketika saya panik dan merasa semuanya terlalu sulit, kakak selalu dapat meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik- baik saja. Terima kasih atas bantuannya selama perkuliahan, mulai dari bantuannya membaca teks dan menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Terima kasih untuk setiap sesi jalan – jalan dan juga es krim ketika suasana hati saya memburuk. Terima kasih kepada adik saya, Kumara Anggita, yang memahami betul kondisi kakanya dalam menjalani perkuliahan. Terima kasih atas pengertiannya dan maaf sering membuat suasana rumah jadi kelabu karena urusan skripsi ini. Gita selalu bisa membuat hari – hari terlihat cerah dengan berbagai kata yang sederhana tapi membuat saya tenang. Gita adalah adik terbaik yang saya miliki. Banyak hal yang saya pelajari dari Gita, belajar untuk jadi manusia yang lebih dewasa, tenang, dan fleksibel dalam melihat kehidupan. Makasih ya dek untuk hal – hal sederhana tapi begitu berarti. Selesainya penulisan skripsi ini tidak mungkin terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. Kepada mereka yang telah terlibat saya mengucapkan terima kasih.
Depok, Juni 2012 Penulis vii Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
ABSTRAK Nama : Abby Gina Boangmanalu Program Studi : Ilmu Filsafat Judul : Identitas perempuan : Siapakah yang Memberi? Sebuah Analisa Kritis Atas Identitas Gender Identitas perempuan sebagai salah satu kategori yang melekat pada diri subjek ternyata membawa implikasi bagi pemiliknya. Identitas sebagai kategori yang melekat pada subjek ternyata menentukan realitas seseorang. Identitas perempuan menjadi landasan bagaimana seseorang ditatap, dibahasakan dan diperlakukan. Kerangka binerian di dalam gender membuat pemaknaan perempuan dan laki – laki seakan memiliki stabilitas yang inheren. Stabilitas pemaknaan atas diri perempuan ini dirujuk pada fakta biologisnya belaka. Determinisme biologis merupakan landasan untuk memaknai dan menguniversalkan perempuan. Perempuan dipandang sebagai pemaknaan pra-kultural. Stabilitas makna perempuan menjadi sarana penindasan perempuan. Ketika pemaknaan sudah dibatasi maka runag- ruang kebebasan dan reflekis diri perempuan sebagai subjek telah direduksi. Identitas sex dan gender merupakan pemaknaan yang dihasilkan oleh sebuah diskursus, dengan demikian ia tidak bersifat stabil melainkan instabil. Dekonstruksi atas makna perempuan adalah suatu hal yang sangat memungkinkan. Kata kunci : subjek, identitas, gender, dekonstruksi, kontingensi, performitas, queer theory,refleksi diri dan rekognisi
ix Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
ABSTRACT Name Major Title
: Abby Gina Boangmanalu : Philosophy : Women’s Identity: who does give? An Critical analysis of Gender Identity
The identity of women as a category that stick to the subject give some impact to the owner. The identity is not just giving some impact, but also takes apart to decide the reality of a human. Identity of women become a cornerstone to how a person should be seen, be narrated, and be treated. The binaries structure in gender studies makes the meaning between the women and the men such have the inherent stability. The stability is only due to the fact about the biologist factor of the women. Biologist determinism is the basic to interpret the women and make themselves become universal. The women are being viewed as a pre-cultural meaning. The stability make the women become a tool to oppression. When the meaning has been confined, the space to be free and the self-reflection of women as a subject has been reduced. The identity of sex and gender is the meaning that produced by a discourse, so it becomes unstable. The deconstruction of the women’s meaning is a possible to do.
Key words: subject, identity, gender, deconstruction, contingency, performativity, queer theory, self-reflection and recognition
x Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ............................ viii ABSTRAK/ ABSTRACT .................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 4 1.3. Pernyataan Tesis ............................................................................. 4 1.4. Tujuan Penulisan ............................................................................. 4 1.5. Metode Penelitian ........................................................................... 5 1.6. Kerangka Teori ............................................................................... 5 1.7. Sistematika Penulisan ..................................................................... 6 BAB 2 SUBYEK DAN IDENTITAS .............................................................. 8 2.1. Subyek ............................................................................................. 8 2.1.1 Subjek dalam Pandangan Modernisme .................................. 9 2.1.2 Subjek dalam pandangan post-modernisme ........................... 11 2.2. Identitas ........................................................................................... 12 2.2.1. Identitas Sex... ........................................................................ 15 2.2.2. Identitas Gender ..................................................................... 16 2.2.3. Subordinasi Melalui Identitas Gender.................................... 18 BAB 3 PEMBENTUKAN IDENTITAS PEREMPUAN .............................. 20 3.1. Pembentukan Identitas berdasarkan Psikoseksual .......................... 20 3.1.1. Oedipus Compleks ................................................................. 21 3.1.2. Mourning dan Melancholia .................................................... 22 3.1.3. Implikasi Psikosexual terhadap Identitas ............................... 24 3.1.4. Pengaruh Pemikiran Sigmund Freud terhadap Butler........... 25 3.2. Identitas Perempuan dalam Pandangan Strukturalisme .................. 27 3.2.1 Identitas Perempuan dalam Genealogi Foucault ..................... 28 3.2.2 Diskursus ................................................................................. 29 3.2.3 Sejarah Sexualitas ................................................................... 30 3.2.4 Pengaruh Michael Foucault Terhadap Pemikiran Butler ........ 31 3.3. Identitas Eksistensialis .................................................................... 33 3.3.1 Pengaruh Pemikiran Simone de Beauvoir terhadap Butler ....................................................................................... 38 BAB 4 DEKONSTRUKSI ATAS PEMAKNAAN IDENTITAS PEREMPUAN ..................................................................................... 41 4.1. Pengantar ......................................................................................... 41 4.2. Metode Dekonstruksi ...................................................................... 42 4.3. Identitas sebagai Proses Dialektik................................................... 43 4.4. Sex dan Gender dalam Pandangan Judith Butler ............................ 47 4.5. Teori Performatif............................................................................. 50 xi Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
4.6 Qweer Theory ................................................................................... 4.7 Memaknai Kembali Identitas Perempuan ........................................ BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 5.2. Refleksi Kritis ................................................................................. 5.3. Saran................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
52 56 67 67 71 76 78
xii Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupannya manusia merupakan mahluk sosial, yang mana ia selalu dihadapkan pada perjumpaan diri – diri yang lain. Manusia hidup di dalam kelompok – kelompok sosial yang nantinya akan membentuk dan merkognisi identitasnya. Identitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ada berbagai jenis identitas yang melekat dalam diri individu. Yang mana Identitas ini memiliki dua dimensi, yaitu dimensi individual dan dimensi sosial. Identity has both individual and collective dimensions….(Given, 2008 : 415) Maksudnya adalah bahwa identitas merupakan suatu label yang mengikat sekelompok orang dengan suatu label dalam nama kesamaan. Fenomena ini dinamakan identitas kolektif. Di sisi lain identias juga merupakan petanda yang merujuk pada individu secara terkhusus. Identitas ini merupakan suatu upaya meringkas pertanyaan siapakah manusia, skop manusia coba dipersempit untuk merujuk pada jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada berbagai macam identitas sosial yang melekat pada tiap tubuh. Seperti identitas suku, ras, agama, gender, dan lain sebagainya. Identitas perempuan selama ini dipandang sebagai suatu pemaknaan yang stabil. Pemaknaan perempuan dianggap sebgai suatu yang terberi. Hal ini merupakan implikasi dari esensialisme yang meyakini bahwa konsep ada kualitas yang menjadikan perempuan sebagai perempuan. Pemaknaan perempuan telah hadir lebih dulu sebelum diskursus. Akhirnya identitas perempuan diterima sebagai suatu yang mutlak dan terlepas dari historisitas manusia. Tiap identitas sosial menuntut rekognisi. Rekognisi adalah kondisi dimana keberadaan sesorang diakui, diterima, dan diberi ruang untuk berekspresi. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa ketika identitas melekat pada tubuh
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
2
korporeal munculah batasan – batasan yang sifatnya mengikat, mereduksi dan bahkan memarginalkan. Pada penulisan skripsi ini fokus penulis ada pada permasalahan identitas perempuan dalam perspektif gender. Pemaknaan atas perempuan seringkali bersumber hanya dari pemaknaan atas tubuhnya, yang mana pemaknaan tersebut berasal dari masyarakat. Identitas perempuan seharusnya menyertakan unsur kebebasan dan kesadaran diri perempuan, Dengan demikian pemaknaan atas perempuan tidak hanya berkisar pada permasalahan, tubuh dan struktur, namun merupakan perpaduan dari keseluruhan faktor tersebut. Identitas perempuan serimgkali direduksi pada identitas gender belaka. Identitas gender yang manjadi stereotype di dalam masyarakat. Cara pandang terhadap perempuan dan laki – laki. Kesepakatan umum yang diterima dalam masyarakat sebagai standar normal tidak normal, baik buruk dan lain sebagainya. Sekumpulan keharusan yang dibebankan pada tiap jenis kelamin agar dipandang normal, sempurna dan diterima di dalam masyarakatnya.Sejumlah regulasi di dalam masyarakat terus berjalan. Mengawasi, memberi sanksi pada tiap tubuh yang membelot. Ketika seorang perempuan tidak tunduk di bawah stereotype yang ada maka ia akan mendapatkan sanksi sosialnya. Label sebagai seorang defian, tuturan, tatapan dan perlakuan dari masyarakat menyudutkan subjek yang tampil dengan keberbedaannya. Melalui tindak repetisi aturan - aturan gender ditanamkan di dalam masyarakat. Seperangkat nilai yang dinormalisasikan pada masyarakat secara kontinual membuat nilai tersebut perlahan menyatu dengan masyarakat. Dalam artian nilai yang ada, aturan yang ada seperti menjadi bagian inheren di dalam masyarakat. Nilai itu menjadi kesatuan yang seperti hal yang natural dan tidak perlu dipertanyakan kembali. Melalui repetisi nilai – nilai tersebut mendapatkan otoritasnya di dalam masyarakat. Secara tidak sadar masyarakat mengukuhkan kebenaran nilai – nilai dari identitas gender sebagai suatu kebenaran mutlak. Melalui performitas tiap individu dibangun dan membangun dirinya sesuai dengan aturan masyarakat. Perempuan dikonstitusi oleh aturan yang ada.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
3
Kemudian ia terbawa di dalam arus besar masyarakat, namun tidak menyadarinya. Tindakan yang seakan berdasarkan kesadaran. Bahwa ia sedang mengkonstitusi dirinya secara bebas dan independen sering kali hanya merupakan ilusi. Pada kenyataan dalam pemaknaan atas identitas dirinya sebagai perempuan. Perempuan tidak secara sadar memaknai kehidupannya. Seringkali ia hanya melakukan tindak performatif yang telah diregulasikan di dalam masyarakat. Dalam pencariaan makna atas identitas gender perempuan ini penulis menggunakan pemikiran Butler sebagai landasan refleksi kritis. Butler merupakan seorang pemikir post-strukturalis, mencoba menjelaskan bagaimana identitias dan subjektifitas manusia dibentuk. Melalui performative act, Butler menjelaskan bagaimana gender itu terbentuk. Bagaimana budaya telah menggiring tiap - tiap individu untuk melakukan tindakan yang sering kali tidak ia sadari. Berangkat dari analisa terhadap struktur, Butler melihat ketika identitas diberikan kepada manusia, maka ia menjadi subjek. Manusia menjadi subjek saat identitasnya dibawah legitimasi struktur. Sebelum masuk ke dalam pemikiran Judith Butler, penulis memaparkan tiga teori tentang pembentukan subjek dan identitas. Yang pertama pembentukan subjek oleh Sigmund Freud. Freud mengasumsikan bahwa subjek terbentuk berdasarkan biologisnya. Freud mempercayai determinisme biologis yang mengarah pada determinisme kejiwaan. Aspek tersebut secara universal membentuk individu menjadi subjek. Kemudian pemikiran Foucault tentang struktur. Foucault melihat realitas kehidupan manusia pada tataran struktur sosial. Bahwa subjek dibentuk oleh struktur sosial. Relasi kuasa mengatasi manusia. Pembentukan identitas yang terakhir adalah pembentukan identitas melalui teori eksistensialisme Simone de Beauvoir. Simone de Beauvoir melihat bahwa identitas perempuan merupakan hasil pelabelan masyarakat. Ia menawarkan cara untuk keluar dari pemaknaan yang sifatnya masal. Ia menawarkan identitas yang otentik dalam artian identitas sebagai pemaknaan yang berdasarkan kesadaran perempuan sebagai subjek.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
4
1.2 Rumusan masalah Permasalahan yang penulis angkat pada keseluruhan skripsi ini adalah mengenai identitas perempuan, yang dalam pandangan penulis tidak pernah terlepas dari relasi identitas sex dan gender. Identitas perempuan yang ada selama ini merupakan identitas yang seakan – akan hasil representasi perempuan sebagai subjek penuh yang berkesadaran, namun jika digali lebih dalam akan ditemukan fakta bahwa identias perempuan yang ada merupakan konstruksi kebudayaan. Identitas yang telah didogmatisasi di dalam diri tiap individu menjadi permasalahan yang mengganggu. Dalam artian bahwa pemaknaan itu telah menutup ruang kemungkinan untuk meciptakan pemaknaan di mana subjek mengambil bagian di dalamnya. Adapun rumusan masalah dari skripsi ini dapat penulis sebutkan melalui poinpoin di bawah ini: 1. Apakah subjek itu? 2.Identitas perempuan : terberi, dikonstruksi, atau bersumber dari kebebasannya sebagai subjek? 3. Bagaimana cara agar perempuan dapat menciptakan identitasnya sendiri? 1.3 Pernyataan tesis Identitas perempuan lahir dari konstruksi budaya dan dekonstruksi sang subjek yang bersifat kontinual yang berimplikasi pada kontingensi pemaknaan. Identitas perempuan bukanlah suatu pemaknaan yang stabil dan final, melainkan suatu kategori yang sangat memungkinkan untuk berubah dalam perjumpaannya dengan kesadaran subjek perempuan. 1.4 Tujuan penulisan Tujuan penulisan ini adalah menunjukan bahwa individu dan masyarakat adalah bagian yang integral. Bahwa kedua aspek tersebut saling mempengaruhi dan tidak terpisahkan. Fakta mengenai keberadaan dan otoritas struktur merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun fakta bahwa tiap individu
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
5
memiliki kesadaran dan kebebasan dalam berpikir juga faktor yang menunjukkan bahwa subjek bukanlah semata- mata entitas pasif. Penulisan ini bertujuan untuk mengangkat permasalahan identitas perempuan yang selama ini tampil sebagai suatu narasi besar, yang telah mengungkung kebebasan dan potensi perempuan sebagai manusia. Apa yang hendak disampaikan penulis adalah bahwa manusia terlahir sama jika dilihat berdasarkan kebebasan dan kehendaknya. Perbedaan yang ada pada diri tiiap manusia bukanlah alasan yang dapat dijadikan pembenaran untuk mensubversi yang lain. Pluralitas dan keunikan individu merupakan kategori yang perlu diberikan rekognisi. 1.5 Metode penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan adalah studi literatur dan analisa kritis. Metode dekonstruksi dari Judith Butler menjadi mata pisau dalam analisa identitas perempuan. Adapun teori Judith Butler yang digunakan bersumber dari buku, Gender Trouble (first edition, 1990), Bodies That Matter (1993), Subjects of Desire (first edition, 1987), dan beberapa Jurnal dari Judit Butler tentang gender. 1.6 Kerangka teori Kerangka teori yang penulis gunakan sebagai solusi atas pembentukan identitas perempuan adalah teori feminis post-strukturalis dari Judith Butler. Pertama – tama konsepsi mengenai sex dan gender sebagai suatu yang overlapping. Berangkat dari tuturan dan tindakan manusia, ia menganalisa bahwa identitas gender adalah suatu kategori yang sifatnya cair dan tidak beresensi. Gender adalah konsensus nilai yang diterapkan melalui regulasi. Gender eksis dalam performitas yang mana performitas itu sendiri bergantung pada repetisi. Relasi ketiganya akan dijelaskan dalam qweer teori. Namun
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
6
sebelum masuk lebih jauh ke dalam pemikiran Judith Butler, sebelumnya akan dijelaskan tentang pemikiran Sigmund Freud, Foucault, dan Simone de Beauvoir. Pemikiran Sigmund Freud dan Michael Foucault sebagai representasi aliran strukturalisme, dan Simon de Beauvoir sebagai representasi pemikiran eksistensialis. Sigmund Freud merupakan penggagas psikosesxual yang melihat realitas manusia berlandaskan struktur kejiwaannya, yaitu id, ego, dan super ego. Untuk menjadi seorang subjek tiap orang harus melalui tahap – tahap perkembangan kejiwaan. Tahap yang sangat penting dalam teori ini adalah tahap oedipal. Pada tahap ini anak menjadi subjek perempuan dan subjek laki – laki. Freud melihat bahwa identitas gender adalah suatu yang inheren didalam sex itu sendiri. Freud melihat identitas berdasarkan fakta ketubuhan dan psikis yang sifatnya independen pada diri. Foucault melihat subjek sebagai hasil konstruksi struktur masyarakat. Ia menekankan tentang regulasi,normalisasi,disiplin dan diskursus. Foucault berfokus pada proses struktur menstruktur subjek. Ia mengesampingkan tentang subjek itu sendiri di dalam teorinya. Simone de Beauvoir dengan semangat eksistensialisnya, menawarkan perempuan yang otentik. Dalam artian perempuan itu selalu berada dalam proses menjadi. Ini berarti bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menciptakan realitasnya berdasarkan pilihan dan kesadarnnya. 1.7 Sistematika Penulisan Bab 1 Pendahuluan Berisi tentang latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah yang akan dipaparkan di dalam skripsi, tujuan yang ingin penulis capai melalui skripsi, kerangka teori yang dipakai, pernyataan tesis, dan metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini. Bab 2 Identitas Sex dan Gender
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
7
Berisi tentang penjelasan apa itu subjek dan Identitas. Penjelasan mengenai subjek dibagi ke dalam dua kelompok, yang pertama subjek dalam pandangan modernism, dan subjek dalam pandangan post-modernisme. Penjelasan mengenai identitas dibagi ke dalam identitas sex, gender, dan problem di dalam identitas itu sendiri. Bab 3 Teori Pembentukan Identitas Perempuan Bab ini berisi teori Sigmund Freud mengenai pembentukan subjek yang bersumber dari determinisme biologis yang merujuk pada pembentukan identitas gender. Kemudian teori strukturalisme Michael Foucault tentang pembentukan subjek oleh struktur masyarakat. Dan terakhir teori Simone de Beauvoir tentang subjek perempuan. Ketiga teori ini selanjutnya dijelaskan dalam relasinya dengan pemikiran Judith Butler tentang identitas gender. Bab 4 Dekonstruksi atas Pemaknaan Identitas Perempuan Bab ini berisi pemikiran Judith Butler yang berfungsi sebagai sarana dekonstruksi atas pemaknaan identitas perempuan. Pada bab ini akan disampaikan pemikiran Butler mengenai identitas gender yang menolak identitas metafisik dan relasinya terhadap pemaknaan identias perempuan dalam perspektif gender. Bab 5 Kesimpulan Pada bab terakhir akan disampaikan kesimpulan, refleksi kritis dan saran dari penulis
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
BAB 2 SUBJEK DAN IDENTITAS 2.1 Subjek Pertanyaan mengenai subjek merupakan pertanyaan yang penting dalam filsafat. Untuk dapat membahas tentang identitas maka pemahaman tentang subjek adalah suatu yang krusial. Banyak cara mengartikulasikan subjek. Problem tentang subjek ini telah memberi banyak pengaruh dalam berbagai aliran pemikiran filsafat. Pemaknaan mengenai subjek mengalami pergeseran. Pemaknaan subjek pada pemikiran modernisme dan pemikiran post-modernisme memiliki sentral yang bebeda dalam mengartikulasian subjek. Filsafat modernisme meyakini bahwa manusia adalah pusat segala realitas. Filsafat modernisme meyakini bahwa subjek adalah suatu yang utuh pada dirinya Modernisme mencari sebentuk ketunggalan pada diri manusia atau esensi dari manusia dalam merumuskan subjek. Kesadaran menjadi term yang sangat penting dalam menjelaskan siapa subjek. Descartes sebagai seorang filsuf modernisme dianggap sebagai penggagas filsafat subjek dan puncak pembahasan mengenai subjek. Totalisasi subjek akhirnya dicetuskan dalam pemikiran Hegel, yang menyatakan keberadaan subjek absolut. Subjek absolut adalah tujuan dari manusia. Konsep subjek lainnya adalah dari filsafat post-modernisme yang memfokuskan permasalahan subjek dalam relasinya dengan struktur, manusia selalu bersinggungan dengan struktur kekuasaan, struktur budaya, struktur bahasa, dan berbagai struktur lainnya. Keterlemparan manusia membawa ia ke dalam struktur yang telah ada dan mengatasai dirinya. Dalam artian relasi struktur dan diri merupakan suatu yang mutlak. Bahwa siapa subjek sangat ditentukan oleh struktur yang menstrukturnya. Post-modernisme melihat bahwa bagaimana cara manusia mempersepsi realitas berada di dalam struktur bahasa. Post-modern menolak asumsi adanya subjek yang utuh. Subjek adalah suatu yang berkekurangan, subjek adalah suatu yang terus berproses melalui bahasa. Realitas adalah bagaimana cara manusia memaknai situasinya, di mana aparutus yang
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
9
digunakan adalah bahasa. Subjek dipahami dalam perspektif yang berbeda. Ketika manusia
mengakses
realitas
menggunakan
bahasa,
implikasinya
adalah
pemaknaan atas subjek itu sendiri menjadi suatu yang bergerak seperti halnya bahasa. Kritik post-modernisme terhadap modernisme adalah afirmasi manusia sebagai subjek. 2.1.1 Subjek dalam Pandangan Modernisme Pemikiran Descartes adalah pemikiran yang memberi banyak inspirasi dalam pendefinisian subjek. Cogito ergo sum dipandang sebagai solusi atas subjek (Hardiman, 2007 : 38). Aku berpikir maka aku ada. Apa yang disampaikan Descartes melalui kalimat ini adalah kesangsian menjadi syarat untuk mendekati aku (subjek yang berpikir). Melalui metode kesangsian, atau mempertanyakan segala hal, Descartes meyakini bahwa kepastian telah ditemukan. Kepastian adalah cogito atau kesadaran diri. Ia meyakini tentang adanya ide bawaan. Implikasinya adalah ia meyakini bahwa subjek memiliki kesadaran sebagai suatu yang terberi. Bahwa ketika manusia mengada ia sudah memiliki ide bawaan. Cogito adalah suatu substansi yang berdiri sendiri. Pemikiran Descartes akhirnya jatuh pada universalisme. Ia melihat harus ada suatu variabel tetap yang dapat dijadikan standar dalam melabelkan manusia sebagai manusia. Puncaknya pada esensialisme yang melakukan totalisasi atas subjek. Subjek adalah suatu kategori yang mandiri. Subjek Descartes dapat hadir cukup dengan refleksinya sendiri. Subjek adalah esensi sesorang yang didapatkan dalam perjumpaan dengan dirinya sendiri atau kesadaran. Intensionalitas kesadaran menurut Descartes adalah pada dirinya sendiri. Pemikiran Descartes adalah salah bentuk esensialisme, yaitu keyakinan akan adanya kebenaran tunggal. Pemikiran Hegel mengenai subjek merupakan suatu yang sangat penting. Pengaruh pemikiran Hegel ini nantinya akan memberikan dampak yang signifikan pada pemikiran post-modernisme dalam mendefinisikan subjek. Berangkat dari tema kesadaran lahirlah pemikiran Hegel tentang subjek absolut. Berbeda dari Descartes yang membangun subjek hanya dengan keberadaan diri itu sendiri,
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
10
Hegel melihat subjek sebagai hasil dari dialektika. Maksudnya Subjek adalah hasil sintesis antara diri dengan the other (yang lain). Di dalam fenomenologi Hegel hasrat adalah kategori yang penting dalam menjelaskan subjek dalam kaitannya memahami realitas. Hasrat menurutnya adalah yang menggrakan spirit (jiwa) untuk melakukan perjalanannya. Hasrat selalu tertuju pada pengetahuan dan pemhaman atas diri. Fenomenologi Hegel menceritakan tentang petualangan hasrat di dalam dunia sejarah, yang berujung pada pencapaian roh absolut. Fenomenologi sendiri adalah ilmu tentang kesadaran atau tentang bagaimana hal – hal menampakan diri kepada kita, tentang bagaimana gerak kesadaran dalam memahami realitasnya. Petualangan hasrat dalam pemikiran Hegel menuju pada sutu konsep tentang pengetahuan absolut. “Absolute Knowledge” is knowledge of the world as it really is, and at the end of Phenomenology we discover that this ultimate reality resides in our own minds (Salih,2002, 22). Pengetahuan absolut adalah pengetahuan tentang dunia itu sendiri dan pada akhir fenomenologi kita menemukan bahwa realitas berakhir pada pikiran kita sendiri. Kesadaran dalam teori Hegel merupakan kesadaran yang terarah. Kesadaran selalu mengacu pada pemahaman tentang pengetahuan. Pengetahuan tentang realitas yang dimulai dengan pemahaman atas diri. Hegel menyatakan bahwa subjek adalah hasil dialektika anatara rekognisi dan kesadaran diri. Konsep subjek dalam postmodernisme banyak mengambil konsep utama Hegel untuk mengkonstruksi subjek. Konsep dialektika dan rekognisi adalah dua konsep yang cukup penting dalam pemikiran post-modern. Ada berbagai aliran pemikiran di dalam feminsime. Salah satunya adalah feminisi esensialisme. Subjek perempuan atau subjek feminis adalah diri yang memilik kategori-kategori yang dipandang sebagai esensi manusia. Pemaknaan subjek yang nantinya bergerak pada politik identitas ini akhirnya mencoba menguniversalkan makna dan tujuan perempuan. Subjek perempuan dijadikan sebagai subjek utama. Subjek perempuan adalah subjek penderita, maksudnya adalah bahwa perempuan dipandang sebagai subjek yang selalu berada di dalam relasi subordinasi dan submisi.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
11
2.1.2 Subjek dalam Pandangan Post-modernisme Post-modernisme mengkritik pemikiran modernisme yang mengandaikan keberadaan subjek penuh. Post-modernisme melakukan kritik atas esensialisme. Pandangan tentang subjek metafisis mendapat kritik keras dari aliran pemikiran ini. Subjek yang sadar dan otonom adalah ciri subjek modern, yang diruntuhkan oleh post-modernisme. Post-modernisme sendiri memiliki banyak pemaknaan atas subjek. Ada pendefinisian yang melihat subjek sebagai sesuatu yang berkekurangan, suatu kekosongan, dan puncaknya pada kematian subjek oleh Foucault. Post-modernisme melihat adanya struktur. Pembahasan mengenai betapa diskursus sangat berkuasa dalam menentukan realitas manusia, samapai pada suatu titik yang menyimpulkan bahwa diskursus mengatasi segalanya. Dengan demikian subjek pun sesungguhnya sudah mati atau tidak ada lagi. Ketika “saya” (subjek) diartikulasikan, hal tersebut tidak lebih dari suatu representasi belaka. Subjek penuh, singkatnya dipahami sebagai ilusi belaka. Subjek adalah suatu yang selalu terhubung dengan dunia luar. Subjek tidak pernah bisa dieksklusifkan hanya sebatas tentang dirinya. Subjek tidaklah pernah mengenai dirinya sendiri, namun selalu berkait dengan yang lainnya. Jika Descartes melihat bahwa kesadaran itu adalah variabel inheren dalam diri manusia, atau kesadaran
telah ada bersama dengan adanya tubuh, beberapa
pemikiran post-modernisme melihat bahwa kesadaran itu adalah hal yang muncul seiring dengan perjumpaan dengan yang lain dan kesadaran bergantung pada proses sosialisasi manusia. Kesadaran merujuk pada refleksi diri. Mengetahui tentang keberadaan diri. Refleksi ini hanya dimungkinkan melalui medium bahasa. Artinya adalah bahwa kesadaran dibangun dari bahasa yang didapatkan diri melalui interaksi sosial. Post-modernisme melihat bahwa subjek itu selalu berada di dalam domain struktur, seperti struktur bahasa. Post-modernisme melihat bahwa wacana (diskursus) menentukan realitas manusia. Maksudnya adalah bagaimana manusia mengakses dunia, memaknai dunia, dan menemukan kebenaran (atau yang dianggap sebagai kebenaran) sangat bergantung pada diskursus yang mengatasinya. Begitu pula cara individu memaknai dirinya. Perbedaan mendasar anatara subjek modernisme dengan
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
subjek
12
dalam
pemikiran
post-modernisme
adalah
tentang
stabilitasnya.
Modernisme melihat subjek adalah suatu kepadatan yang tertutup.
Subjek
dipandang penuh pada dirinya, pasti dan tetap. Sedangkan post-modernisme melihat bahwa subjek adalah suatu yang bergerak. Subjek dalam postmodernisme adalah subjek yang kontingen atau instabil. 2.2 Identitas Problem Identitas merupakan suatu pertanyaan besar dalam kehidupan manusia. Penggunaan kata identitas begitu lekat dengan kehidupan sehari – hari manusia, namun demikian pertanyaan mengenai apa itu identitas sendiri belum menghasilkan jawaban yang pasti. Pemaknaan atas identitas merupakan suatu yang sifatnya bergerak. Problem identitas mengambil porsi tersendiri di dalam filsafat. Problem identitas ini telah muncul pada masa Yunani kuno yaitu pada pemikiran Aristoteles, kemudian pada masa modern, dan juga pada filsafat postmodern. Identitas dan subjek adalah dua term yang sangat berhubungan. Ketika membahas mengenai identitas maka kita akan bersentuhan dengan permasalahan dualitas. Tradisi pemikiran yang ada sampai saat ini jatuh dalam oposisi biner yang memunculkan dua keberadaan sebagai saling berlawanan. Seperti tubuh dengan jiwa, perempuan dengan laki – laki, rasionalitas dan emosi. Yang mana tiap oposisi itu berada pada level yang berbeda dan seakan menegasikan satu sama lain. Bahwa dalam dua oposisi ada yang dianggap lebih baik dan lebih benar, dan yang lainnya menjadi yang lebih buruk dan juga salah. Sebelum melakukan pembahasan yang lebih spersifik mengenai identitas perempuan, pertama – tama penulis akan membahas sekilas mengenai problem identitas secara umum. Secara etimologi identitas berasal dari kata identifificus yang dalam bahasa latin berarti “melakukan hal yang sama” atau “sama dalam tindakan”. Identity dalam bahasa Inggris diartikan sebagai sameness. Identitas adalah penandaan terhadap sesuatu. Di dalam kehidupan manusia identitas ini menjadi penting. Identitas adalah kata yang bereferensi dengan diri manusia dimana di dalamnya
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
13
terdapat kualitas – kualitas tertentu yang menyebabkan seseorang mendapatkan identitasnya. Identity is a social process involving perception and differentiation. It can be defined as the ways in which individuals and groups regard themselves as similar to, or different from, each other. These perceptions can change over time, so identity is a fluid construct rather than a static one. Identity has both individual and collective dimensions; people identify as unique in certain respects and as members of social groups in other contexts. (Given, 2008 : 415) Identitas adalah suatu proses sosial yang melibatkan persepsi dan diferensiasi. Identitas dapat didefinisikan sebagai cara tiap individu dan kelompok menganggap diri mereka serupa dengan, atau berbeda dengan yang lainnya. Persepsi ini dapat berubah seiring dengan waktu, sehinga identitas merupakan konstruksi yang bersifat cair dari pada suatu yang statis. Identitas memiliki dimensi individual dan kolektif. Dalam diri tiap orang terdapat berbagai identitas yang melekat, seperti identitas sex,gender, usia, ras,etnis dan sebagainya. Yang menjadi pembahasan dalam filsafat adalah bagaimana tiap – tiap identitas itu berinteraksi dalam diri manusia. Bagaimana dalam label identitas terjadi relasikekuasaan. Dengan kata lain apa makna yang dibawa oleh tiap label identitas bagi kehidupan manusia. Fokus penulisan ini adalah bagaimana relasi identitas manusia yang di dalamnya terdapat superioritas dan inferioritas. Seperti dapat kita saksikan bahwa di dalam kehidupan social label identitas tertentu membawa keuntungan atau nilai lebh bagi pemiliknya, dan merugikan pihak lainnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa identitas membawa impilkasi bagi hidup manusia. Di satu sisi identitas mampu menaikkan status seseorang di sisi lain ia dapat membuat manusia termarginalkan. Berkaitan dengan permalahan seksualitas,di dalam pemikiran filsafat sendiri ada dua teori pembentukan identitas seksual yang sangat berpengaruh dan seringkali dipertentangkan. Yang pertama adalah identitas sebagai suatu yang terberi atau nature, teori ini dinamakan sebagai esensialisme. Esensialisme
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
14
menyatakan bahwa identitas sesorang sangat bergantung pada hal materi fisik, atau biologis seseorang.Teori kedua adalah teori social construction yang melihat bahwa identitas sesorang adalah hasil konstruksi social. Salah satu bentuk identitas yang dikenakan pada manusia adalah identitas seksual. Ketika individu masuk ke dalam masyarakat maka kualitas - kualitas tersebut akan direlasikan dan menjadi bagian dari diri sesorang. Di dalam perdebatan mengenai teori identitas permasalahan identitas dipecah ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama meyakini bahwa identitas manusia yang berkaitan dengan seksual manusia mengacu pada fakta biologis, kelompok kedua mengacu pada perbedaan kejiwaaan manusia. Permasalahan yang muncul dari topik identitas yang berbasis pada seksual adalah munculnya subordinasi di dalam tiap oposisi. Dalam penulisan ini fokus penulis adalah subordinasi perempuan atas perbedaannya. Bagaimana sebuah identitas menjadi landasan untuk mereduksi kebebasan hidup perempuan dalam memaknai dirinya sendiri. Identitas merupakan suatu label yang tidak netral. Bahwa ada pesan – pesan yang terselubung di balik label identitas yang melekat pada diri manusia. Tiap kualitas membawa runutan makna yang saling berjejaring. Seperti halnya identias perempuan. Identitas adalah suatu yang membangun subjek. Ketika identitas di dapatkan dari orang lain maka subjek hilang. Singkatnya ketika identitas perempuan di dapatkan dari pemaknaan sosial, maka lahirlah pertanyaan mengenai keberadaan subjek perempuan. Individu hadir di dalam kelompok masyarakatnya dengan membawa label identitasnya masing – masing. Manusia mengada dengan membawa identitas seks dan gendernya. Seorang manusia akan ditandai sebagai laki – laki atau perempuan dalam perjumpaan sosialnya. Misalnya seseorang yang membawa label perempuan. Identitas perempuan ini tidak tergeletak begitu saja, namun ada sejumlah pesan ideologis dibaliknya. Identitas sebagai perempuan ini dapat dilihat dalam dua kategori. Pertama perempuan sebagai kategori seks, dan yang ke dua perempuan sebagai kategori gender .Meskipun keduanya memiliki makna dan fokus yang berbeda dalam mendistingsi manusia, namun ada relasi antara keduanya dalam membentuk suatu individu konkrit.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
15
Permasalahan identitas seks dan gender menjadi landasan bagi banyak teori feminis. Bahwa ada kelompok di dalam feminis yang meyakini bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari identitas gender yang mana identitas seks menempati zona netral atau bebas nilai, karena sifatnya hanya pemaparan mengenai faktisitas tubuh. 2.2.1 Identitas Seks Seks adalah salah satu kategori identitas yang dilabelkan pada manusia. Individu di bagi dalam dua kelompok berdasarkan jenis kelaminnya. Dengan kata lain seks adalah pengkategorian individu berdasarkan fungsi reproduksinya. Seks merupakan determinisme biologis. Dalam bahasa Inggris, istilah seks dan gender sering digunakan secara bergantian, namun tidak demikian halnya di dalam istilah kedokteran.Istilah seks digunakan
untuk
menentukan
identitas
anak
ketika
lahir
berdasarkan
ketubuhannya. Sex, from the Latin word sexus, is defined by the gonads, or potential gonads, either phenotypically or genotypically. It is generally assigned at birth by external genital appearance, due to the common assumption that this represents chromosomal or internal anatomic status1 Kata seks berasal dari bahasa Latin. Akar katanya adalah sexus, didefinisikan dengan gonad, atau gonad potensial, baik secara fenotipip atau genotip. Kategori seks ini umumnya diberikan pada saat lahir dengan merujuk pada penampilan genital eksternal, diasumsikan bahwa tampilan genital eksternal merepresentasikan kromosom atau status anatominya. Kombinasi kromosom yang menyusun manusia, hormon, dan genital merupakan kualitas yang digunakan untuk mengidentifikasikan seks.Perempuan memiliki kariotipe 46XX dan laki - laki kariotipe 46XY. Faktor – faktor ini sifatnya tetap. Dengan kata lain seks merupakan parameter anatomi dan fisiologis pada manusia. 1 http://emedicine.medscape.com/article/917990-overview / (posted: 31/3/2012. 6:32 pm)
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
16
2.2.2 Identitas Gender Gender merupakan salah satu dari sekian banyak identitas yang ada pada manusia. Identitas gender ini adalah suatu yang tidak terpisahkan dari tiap diri, dan membawa implikasi yang signifikan bagi orang yang membawanya. Identitas gender adalah bagaimana individu melihat dirinya dalam kategori yang ada seperti masculine dan feminine. Identitas gender ini mendasarkan diri pada eksistensi identitas seks. Ketika seseorang diidentifikasikan berjenis kelamin perempuan maka ia akan dikenakan kategori feminine, dan bila seseorang diidentifikasikan sebagai laki – laki maka ia akan dikenakan kategori maskulin. It was used as an analytical category to draw a line of demarcation between biological sex differences and the way these are used to inform behaviours and competencies, which are then assigned as either ‘masculine’ or ‘feminine’. (50 Key Concepts in Gender Studies. 2004.pp 56) Gender digunakan sebagai kategori analisa untuk menggambarkan garis demarkasi antara perbedaan biologis dan cara menginformasikan perilaku dan kompetensi yang ditunjukan dalam maskulin atau feminine. Identitas gender merujuk pada karakteristik ataupun perilaku individu yang dikaitkan dengan identitas seks seseorang, apakah ia laki laki atau perempuan. Identitas gender ini merupakan hasil dari konstruksi sosial. Jenis kelamin perempuan dikategorikan sebagai feminine dengan karakteristik pasif, kelembutan, kepedulian, pengasuhan, dan kasih sayang. Jenis kelamin laki – laki dikategorikan sebagai maskulin dengan karakteristik aktif, dominasi, kuat, rasional, dan tenang.Identitas gender tidak hanya mengenai bagaimana seseorang memaknai dirinya, namun mencakup bagaimana nantinya seorang individu harus berinteraksi dengan masyarakatnya. Identitas gender ini berkaitan dengan peran gender. Tidak semua individu menjalankan peran gendernya sesuai dengan identitas gendernya. Namun pada prakteknya masyarakat atau kehidupan social menggiring individu menjalankan peran gender sesuai dengan identitas gendernya. Melalui regulasi identitas gender dan peran gender menjadi makna yang kongruen. Pembentukan identitas ini
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
17
terjadi secara halus karena telah menjadi semacam tradisi dalam masyarakat, penanaman peran gender ini bersifat repetisi mekanistik, yang pada akhirnya membuat tiap individu sulit untuk keluar dari makanisme tersebut. Identitas gender dan peran gender ini menjadi seperti sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pelanggengan identitas gender yang berlangsung sejak lama ini lama kelamaan menjadi suatu realitas yang nyaris tidak terpisahkan dari individu. Melalui rangkaian internalisasi nilai yg bersifat repetisi ini, pemaknaan diri yang bersifat bebas nyaris tidak dimungkinkan.Peran gender yang bersifat hirarkis pada akhirnya menjadi sebentuk tindak opresi terhadap salah satu gender yaitu perempuan. Identitas adalah upaya menandai suatu entitas. Permasalahan yang muncul dalam identitas gender adalah ketika pemaknaan itu dibakukan. Dalam arti penandaan itu dianggap sebagai suatu kesepakatan universal atas diri. Seperti identitas gender pada laki – laki dan perempuan. Pada kehidupan sosial kategori yang dilekatkan pada tiap identitas gender ini dipandang sebagai suatu kebenaran mutlak yang harus diikuti. Bila individu tidak bertindak sesuai dengan nilai yang diakui secara umum maka masyarakat akan melihatnya sebagai kesalahan atau ketidak normalan. Dengan kata lain batas menjadi normal atau abnormal sangat bergantung pada nilai masyarakat. Ketika nilai itu telah terinternalisasi dan diterima oleh sebagian besar masyarakat maka suatu nilai akan dianggap sebagai kebenaran tunggal. Identitas gender pada akhirnya bukan sekedar kata tanpa makna. Ketika individu telah terlabeli dengan gender tersebut maka ia akan masuk dalam aturan gender. Misalnya indvidu dengan label laki – laki dituntut menjadi seorang yang mengutamakan rasio dan mengesampingkan emosi. Ditakdirkan menjadi pemimpin, harus menjadi individu yang kuat dan aktif dan sebagainya, label lain yang melekat pada gender laki – laki adalah ayah dan kepala keluarga. Bahwa individu yang membawa lebel laki – laki diharapkan melakukan peran social sedemikian rupa dan hal itu dijatuhkan secara universal pada manusia bergender laki - laki. Begitu pula pada identitas perempuan. Individu yang masuk dalam masyarakat dengan membawa atribut gender perempuan akan dikenakan label
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
18
sebagai mahluk yang lembut, mengutamakan perasaan, penyayang, pasif. Selain itu perempuan akan dirujuk pada peran sosial sebagai istri dan ibu. Bahwa perempuan ditakdirkan untuk melahirkan dan menyusui dan sebagainya. Secara bersama-sama, gender dan seksualitas berinteraksi untuk menentukan isi dan batas maskulinitas dan feminitas, dan juga membentuk relasi gender dengan menetapkan kondisi dimana orang dengan beragam gender berinteraksi. 2.2.3 Subordinasi Melalui Identitas Gender Identitas perempuan adalah suatu kategori yang terberi pada diri individu. Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa identitas perempuan baik “perempuan” dalam kategori seks ataupun “perempuan” dalam kategori gender merupakan suatu yang terberi. Pada dasarnya individu yang lahir kedunia merupakan entitas yang terlempar sedemikian rupa. Ketika lahir individu mendapat identitas pertamanya yaitu identitas seksnya. Identitas seks ini menjadi penanda ketubuhannya. Berbicara mengenai perempuan tentu pasti berkaitan dengan materi tubuhnya. Sepanjang sejarah, kita melihat bahwa pendefinisian perempuan lewat tubuhnya melegitimasi perannya seperti pendefinisian biologis di mana perempuan mempunyai kemampuan untuk hamil, oleh sebab itu, lemah, sensitif, dan emosional.Dari pendefinisian tubuh perempuan secara biologis, maka perempuan ditetapkan sebagai mahluk yang tidak berdaya sehingga peran publiknya tidak mendapatkan posisi yang setara (Arivia, 2003 : 86). Atau dengan kata lain, di dalam relasi social status perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah. Subordinasiadalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak pembagian kerja, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
19
Pelanggengan subordinasi pada perempuan pertama-tama dapat kita saksikan dalam definisi dan pencitraan tentang perempuan di dalam budaya. Akar dari subordinasi atas perempuan adalah budaya patriarkal. Budaya patriarkal adalah budaya yang menomor satukan laki – laki, atau berpusat pada laki – laki dan mengesampingkan perempuan. Laki – laki dipandang sebagai mahluk yang primer dan perempuan sebagai yang sekunder. Di dalam budaya patriarkal cara memandang realitas adalah dari sudut pandang laki – laki dalam memandang keberadaan perempuan. Singkatnya masyarakat yang berhaluan patriakal melihat perempuan sebagai mahluk inferior, di mana semua penilaian tersebut berkait dengan tubuhnya. Melalui stereotype masyarakat mendistribusikan tugas laki – laki dan perempuan di dalam masyarakat. Sterotype mulai dari lingkup yang tekecil yaitu keluarga, nilai dalam ajaran agama, dan pada masa kini stereotype terus terpelihara dan meluaskan pengaruhnya melalui media.dan propaganda. Gambaran – gambaran tentang perempuan yang ideal terus– menerus ditampilkan secara berulang – ulang.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
BAB 3 PEMBENTUKAN IDENTITAS PEREMPUAN 3.1 Pembentukan Identitas Berdasarkan Psikoseksual Psikoanalisa merupakan salah satu teori yang muncul sebagai upaya menjelaskan tentang manusia, tentang bagaimana ubjek dan identitas terbentuk. Psikoanalisa menyatakan tentang kondisi alamiah manusia dan menjelaskan bagaimana pengaruh mental terhadap tindakan manusia. The human psyche is generally viewed as consisting of three structures : the id, the ego, and the super ego, wich interact and overlap in processes such as repression, projection, and transference(Indianapolis, 1994 : 224). Psikoanalisa membagi aspek mental atau kejiawaan manusia ke dalam tiga struktur yaitu : id, ego, dan super ego, yang mana ketiganya berinteraksi dan bersamaan dalam mengolah represi, proyeksi, transferansi. Subordinasi atas perempuan yang berlandaskan perbedaan psyche, masih bersentuhan dengan determinisme biologis. Seperti dalam pandangan psikoanalisa Freud yang mendistingsi perbedaan psyche perempuan dan laki – laki karena karakter fisik yang jelas berbeda. Dalam pembahasannya, Freud menekankan perbedaan pada presensi dan absensi penis pada diri manusia. Fakta perbedaan ketubuhan antara perempuan dan laki – laki memang jelas ada. Permasalahaannya adalah bagaimana masyarakat cenderung merendahkan atau mensubordinasi perempuan karena perbedaan tersebut. Teori Freud mengenai tahapan oedipal dan kompleks oedipus menjadi landasan atas perbedaan cara bersikap laki – laki dan perempuan. Perkembangan psyche pada masa anak – anak akan mengorganisasikan dirinya kedalam sifat feminin dan sifat maskulin. Dengan perkataan lain feminimitas dan maskulinitas merupakan produk pendewasaan seksual. Jika anak laki – laki berkembang “secara normal” (dalam arti, secara tipikal), mereka akan menunjukan sifat – sifat maskulin yang diharapkan ; jika perempuan berkembang “secara normal” maka
Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
21
mereka menjadi perempuan dewasa yang menunjukan sikap feminim (Tong, 1198 : 191). Teori psikoanalaisa freudian melihat bahwa identifikasi anak kepada orang tua yang memiliki jenis kelamin sama merupakan kunci pembentukan identitas. Tahapan itu dibagi dalam Oedipus kompleks dan Electra kompleks. Freud melihat anak laki – laki mencapai keutuhan identitas seksualnya melalui cara yang berbeda. Anak laki – laki berpusat pada castration anxiety sedangkan anak perempuan berpusat pada penis envy. 3.1.1Oedipus Complex Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai konteks oedipus, pertama- tama penulis akan menjelaskan secara singkat tentang struktur kejiwaan yang dibangun oleh freud. Ia membagi kejiwaan manusia dalam 3 bagian yaitu ;id, ego dan super ego. Id adalah tahapan kebutuhan. Pada masa ini anak hanya mengenal kebutuhannya, dan hasratnya hanya bertujuan pada pemenuhan atas kebutuhannya tersebut. Ego mulai merasionalkan tindakan. Ia menjadi patron bagi id untuk tetap mencapai kebutuhannya namun disesuaikan dengan lingkungannya. Super ego adalah hasil internalisasi nilai – nilai yang nantinya menjadi sumber moral bagi tiap orang. Pada diri tiap individu terdapat tahapan pengembangan psikoseksual yaitu : oral, anal, dan genital, yang mana tiap tahapan tersebut menggambarkan suatu bagian tubuh yang secara khusus memberi respon terhadap stimulasi hasrat pada masa tertentu, tahapan ini berhubungan dengan tahap pengembangan personalitas pada tiap jenis kelamin (Tong, 1198 : 224). Fase Phallic terjadi pada anak
berusia 3 – 5 tahun. Tahapan yang
terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti fenomena castration anxiey (pada laki-laki) dan penis envy (pada perempuan). Odipus kompleks adalah kebertujuan hasrat padaorang tua yang berlawanan jenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya. Pada mulanya, anak laki-laki dan perempuan sama-sama mencintai ibunya yang telah memenuhi
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
22
kebutuhan mereka dan memandang ayah sebagai saingan dalam merebut kasih sayang ibu. Pada anak laki-laki, persaingan dengan ayah berakibat anak cemas jika penisnya akan dipotong oleh ayahnya. Gejala ini disebut cemas dikebiri atau castrationanxiety. Kecemasan inilah yang kemudian mendorong anak laki-laki mengidentifikasi diri dengan ayahnya. Ia meredam cintanya kepada ibu dan menukarnya dengan mengadopsi sikap ayah. Pada anak perempuan, rasa sayang kepada ibu segera berubah menjadi kecewa dan benci sesudah mengetahui kelaminnya berbeda dengan anak laki-laki. Ibu dianggap orang bertanggung jawab terhadap kastrasi atas dirinya, sehingga anak perempuan itu mentransfer cintanya kepada ayahnya yang memiliki penis (yang juga ingin dimilikinya). Tetapi perasaan cinta itu bercampur dengan perasan penis envy baik kepada ayah maupun kepada laki-laki secara umum. Keinginan terhadap penis disbulimasikan keinginan untuk memiliki anak. Tidak seperti pada laki-laki, odiepuskompleks pada perempuan tidak direpresi, cinta kepada ayah ada walaupun mengalami modifikasi karena hambatan realistik pemuasan seksual itu sendiri. Tahapan oedipus juga merupakan masa dimana super ego dibentuk, dengan kata lain perintah dan larangan mulai diinternalisasikan dan diserap oleh ego pada tahapan ini. Tahapan oedipus ini berelasi dengan Mourning dan Melancholia yang akan sangat mempengaruhi tentang terbentuknya identitas. Pada tahap anak menekan rasa cinta terhadap ibu dan mengalihkannya pada objek lain, ternyata menyisakan mourning (kedukaan) terhadap anak. 3.1.2 Mourning dan Melancholia Mourning dan melancholia adalah dua kondisi jiwa dalam mengahadapi kehilangan akan sesuatu (objek cinta). Mourning adalah reaksi yang sehat, sedangkan melancholia dipandang sebagai depressive illness(Richard Obsorne, 1993: 118).Mourningadalah reaksi akan hilangnya seseorang, atau objek kongkrit yang mana rasa kehilangan ini merupakan kondisi yang disadari oleh subjeknya. Ketika subjek kehilangan seseorang atau berpindah komunitas ada rasa
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
23
kehilangan, dan rasa kedukaan, namun di saat yang bersamaan subjek menyadari bahwa perasaan tersbut akan Berakhir. Apa yang nampak dari proses kehilangan tersebut bahwa diri itu tidak utuh pada dirinya. Diri dikonstitusi oleh yang lain. Ketika kehilangan sesorang atau objek yang berada disekitar terjadi dua khilangan yaitu kehilangan atas objek tersebut dan stabilitas diri. Dalam artian bahwa objek – objek yang mengkonstitusi diri bergerak maka konsep diri juga bergerak.
Mourning dan Melancholia dalam teori Freud merupakan suatu tahapan di
mana identias gender dibentuk, namun ada perbedaan diantara keduanya. Perasaan kehilangan akan membentuk karakter dan identitas sesorang. Mourning adalah perasaan berkabung atau kepahitan yang disebabkan oleh kehilangan akan suatu hal yang sifatnya kongkrit dan disadari. Ini merupakan suatu fase, yang mana subjek menyadari kondisi tersebut akan berakhir.Pada tahap ini kehilangan merupakan suatu kondisi yang disadari. Kehilangan atas objek yang dicintai akan menimbulkan kesedihan yang terpredikis. Dalam artian ada rentang waktu sampai subjek melaluinya dan menujukan hasrat cintanya kepada objek lain. Dengan kata lain pada kondisi mourning objek yang hilang, atau ego yang menjadi tidak utuh tadi akan mensubtitusi hasratnya pada yang lain. Melancholia merupakan perasaan kehilangan terhadap sesuatu namun bergerak pada struktur ketidaksadaran. Freud isolates the mechanism of melancholia as essential to “ego formation” and “character,” but only alludes to the centrality of melancholia to gender(Butler,1990:73).Freud memisahkan mekanisme melankolia sebagai hal yang esensial dalam pembentukan ego dan karakter.Melancholia adalah perasaan kehilangan terhadap sesuatu, namun di sisi lain objek yang hilang tersebut disangkal. Subjek merasa kehilangan, namun rasa kehilangan tersebut berubah menjadi kebencian terhadap objek yang hilang. Tidak berhenti sampai tahap tersebut, kebencian ini bergerak lagi menjadi identifikasi terhadap objek yang hilang. Kehilangan hasrat dan cinta dari orang lain bergerak menjadi suatu tindakan identifikasi yang berupaya menyembunyikan bahwa di dalam struktur diri ada the other atau orang lain(Obsorne, 1993: 119)
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
24
Dalam proses melancholia terjadi dua dorongan, yaitu dorongan untuk mengidentifikasi dan untuk mengasi. Ego digerakan oleh perintah dan larangan. Miasalnya anak diperintahkan untuk menjadi seperti ayah, namun dilarang untuk seperti ayah. Dengan kata lain seseorang tidak harus sepenuhnya menjadi seperti ayahnya, tetap ada hak prerogratif untuk menjadi berbeda. 3.1.3 Implikasi Psikoseksual terhadap Identitas Teori psikoseksual menjadikan fakta biologis manusia sebagai titik awal pembentukan identitas manusia. Bahwa karakteristik biologis yang didasarkan pada fungsi reproduksi manusia sebagai dasar pembentukan feminimitas dan maskulinitas pada manusia.Bahwa ada disposisi yang sifatnya netral dalam tujuan hasrat sexual seseorang, sehingga secara alamiah pembentukan gender akan megantarkan manusia dalam sifat maskulin dan feminine. Freud mengasumsikan bahwa seks dan gender adalah dua aspek yang berjalan berhimpitan. Kategori seks secara otomatis berimplikasi pada peletakan seorang individu di dalam kelompok gender tertentu, apakah itu maskulin atau feminine. Implikasi selanjutnya adalah keterarahan hasrat seksual pada individu. Kerangka teori Freud menyumbangkan pemahaman atas pengertian seks dan gender secara universal. Ia menguniversalkan individu melalui tahapan –tahapan mental. Bahwa pada akhirnya hasrat seksual juga mengacu pada fakta biologis seseorang. Dengan kata lain Freud meyakini bahwa baik tindakan, ekspresi, dan keterarahan hasrat yang ada pada diri individu merupakan hal yang sifatnya natural. Dimana hal itu akan berjalan sesuai runtuan tanpa ada pengaruh atau interfensi eksternal. Singkatnya Freud melihat feminimitas dan maskulinitas sebagai satu yang terberi. Gender telah ada pada kondisi alamiah manusia. Struktur kejiwaan manusia telah mendeterminasi manusia dalam kelas –kelas gender yang ada. Ia menekankan bahwa jika tiap individu melalui tahapan perkembangan mental yang tepat ia akan menjadi individu yang heteroseksual dan jika tidak individu itu akan menjadi homoseksual. Freud secara implisit menyuarakan dan mengukuhkan
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
25
norma heteroseksual sebagai suatu kebenaran. Ia secara implisit telah memberikan pendasaran atas kategori normal dan abnormal. Ketika tahapan perkembangan berjalan dengan baik maka akan menghasilkan individu normal yang heteroseksual, dan bila tidak menghasilkan individu homoseksual abnormal. Ilmu psikologi mengadopsi kerangka Freud dalam menentukan manusia. Apakah ia individu normal atau abnormal. Dengan kata lain psikoanalisa sebagai ilmu yang dijadikan sebagai dasar meneropong realitas, telah membawa ideologi terselubungnya, yaitu demarkasi antara feminism dan maskulin. Bagaimana individu seharusnya berlaku agar menerima kategori normal dan sebagainya. 3.1.4 Pengaruh Pemikiran Sigmund Freud terhadap Butler Butler mengadopsi pemikiran Freud tentang Melancholia. Menurut Butler tahapan melancholia sangat penting dalam pembentukan subktivitas manusia. Bagaimana seseorang mengadopsi gendernya dipengaruhi oleh mekanisme ini. Kritik utama Butler atas Freud adalah pandangan Freud yang melihat bahwa gender adalah suatu yang natural dalam tubuh manusia. Dalam artian disposisi hasrat manusia akan terarah pada opposite seksnya. Ketika perkembangan manusia “normal” maka ia akan mengadopsi nilai gender sesuai dengan kelaminnya. Perempuan akan menjadi feminine dan laki – laki menjadi maskulin. Selain itu perempuan akan menghasrati laki – laki, dan laki – laki akan menghasrati perempuan. Menurut Butler disposisi ini tidaklah natural, karena pada sistem tabu inses pemaknaan budaya telah bekerja. Singkatnya ketika bayi lahir ia sudah diinternalisasikan oleh berbagai produk budaya. Mengacu pada Freud, Butler melihat bahwa identifikasi di dalam tahap melankoli adalah bentuk kompensasi atas kehilangan objek cinta. Bahwa ego tidak mau kehilangan objek cinta tersebut, sehingga menginternalisasikannya ke dalam dirinya. Kehilangan objek cinta kepada orang tua berubah kepada cinta diri. Butler melihat bahwa gender adalah sublimasi dari hasrat. Karena sanksi sosial yang berlaku di dalam masyarakat telah melarang tujuan hasrat. Hasrat
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
26
dikendalikan oleh tabu dalam masyarakat. Melalui sanksi sosial dan larangan hasrat sesorang ditujukan. As a set of sanctions and taboos, the ego ideal regulates and determines masculine and feminine identification. Because identifications substitute for object relations, and identifications are the consequence of loss, gender identification is a kind of melancholia in which the sex of the prohibited object is internalized as a prohibition. This prohibition sanctions and regulates discrete gendered identity and the law ofheterosexual desire(Butler, 1990 : 80) Seperti seperangkat sanksi dan tabu,
ego ideal meregulasi dan
mendetrminasi identifikasi pada maskulin dan feminine. Identifikasi adalah subtitusi untuk relasi objek, identifikasi merupakan konsekuensi dari rasa kehilangan, identifikasi gender adalah sejenis melankolia yang mana
pelarangan terhadap objek sex diinternalisasikan sebagai suatu
larangan. Sanksi dan larangan ini memiliki ciri hukum heterosexual. Tahapan kompleks Oedipus tidak hanya menginternalisasi ego atas larangan inses tapi juga internalisasi atas norma heteroseksual. Implikasinya adalah perlawanan ego atas homoseksual. Homophobia yang terjadi di masyarakat menurut Butler terjadi karena pelanggengan matriks heteroseksual. Ketika heteroseksual mendapat legitimasinya sebagai yang natural, normal dan benar maka kategori di luar itu dipandang sebagai kesalahan yang harus dihilangkan. Butler
mengadopsi
pemikiran
Freud
untuk
menjelaskan
gejala
pembentukan subjek dan Identitas. Tahapan Oedipal dan melancholia memberi inspirasi bagi Butler dalam membongkar subjek. Kesimpulannya adalah bahwa butler menolak naturalisasi gender yang diajukan oleh Freud melalui disposisi gender yang dipandang sebagai hal yang natural karena berlandaskan fakta biologis manusia. Butler melihat bahwa seks, gender, dan hasrat seksual tidak harus berjalan searah. Maksudanya ketika seseorang terlahir perempuan tidak
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
27
mutlak bahwa ia harus menjadi feminin dan menghasrati laki – laki. Kemungkinan itu bisa jadi ada namun bukan suatu kepastian. Dalam pandangan Butler identitas gender sebagai pra-diskursus adalah fiksi belaka. 3.2 Identitas Perempuan dalam pandangan strukturalisme Strukturalisme adalah salah satu aliran pemikiran dalam filsafat yang melihat realitas sebagai rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari struktur – struktur.
Strukturalisme dipahami dengan berbgai cara, namun secara umum
penekanan strukturalisme berfokus pada penjelasan mengenai kekuatan struktur bahasa, sosial, dan ekonomi. Aliran ini menekankan bahwa tindakan individu dideterminasi oleh system – system yang ada. Strukturalisme mendesentralisasi subjek. Strukturalisme berfokus pada kebenaran ilmiah dan universalitas. It has been interpreted in a number of different ways, but a common theme is the prioritization of the explanatory power of linguistic, social, and economic structures over individual agency and meaning. Emphasis is also placed on underlying processes and systems that determine individual action. (Given,2008 : 834-835)
Strukturalisme diartikan melalui berbagai cara berbeda, tami tema umum strukturalis adalah penjelasan tentang kekuatan dari bahasa, sosial, dan struktur ekonomi, yang melampaui agen individual
dan makna.
Strukturalisme berfokus pada proses dan sistem yang mendeterminasi tindakan individu. Strukturalisme pertama kali dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure. Fokusnya adalah pada analisa struktur bahasa. Analisa struktur bahasa ini diadopsi oleh ilmu – ilmu lainnya, dan berkembang pesat dalam ilmu sosial. Bahwa realitas kehidupan sosial manusia ditentukan oleh suatu struktur. Pemikiran ini berkembang dengan pesat, yang mana ilmu – ilmu social mengadopsi kerangka strukturalisme untuk menjelaskan fenomena sosial berdasarkan struktrur.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
28
3.2.1 Identitas Perempuan dalam Geanologi Foucault Foucalult adalah seorang filsuf yang dikategorikan sebagai pemikir poststrukturalis. Pemikiran Foucault berfokus pada struktur social dalam melihat gejala – gejala sosial yang ada.Dalam teorinya, Foucault mengangkat tema - tema seperti relasi kuasa, regulasi, normalisasi.Foucault dalam pemikirannya juga menyinggung tentang permasalahan identitas. Dalam pembahasannya mengenai seksualitas ia menunjukan bahwa konstruksi sosial sangat menentukan terbentuknya identitas seseorang, yang kemudian akan mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak di dalam kehidupan sosialnya. Foucault menekankan bahwa peran konstruksi sosial sangat dominan dalam pembentukan identitas seksual seseorang. Identitas seksual sesorang bukan bersumber dari fakta biologisnya seperti jumlah kromosom, hormonal dan lain sebagainya, yang selama ini dipandang sebagai hal esensial. Foucault melihat bahwa permasalahan identitas seksual merupakan pemaknaan yang sifatnya cair. Dalam artian pemahaman tentang identitas seksual adalah suatu yang berelasi dengan sejarah dan gerak sosial dalam suatu masyarakat. Apa yang ditekankan oleh Foucault adalah permasalahan tentang pemaknaan seksualitas dan pemberian identitas seksual bukanlah suatu yang bebas dari nilai sosial. Pandangan bahwa identitas sosial adalah semata – mata permasalahan biologis yang sifatnya netral, asosial dan tidak berubah merupakan ilusi semata. Seksualitas menurut Foucault merupakan produk historisitas manusia dan bukan realitas alamiah. Seksualitas merupakan produk sebuah jaringan besar yang didalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain”
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
29
3.2.2 Diskursus Diskursus atau wacana merupakan salah satu konsep dalam pemikiran Foucault. Diskursus adalah bidang di mana bahasa dipakai dalam cara tertentu. Diskursus dalam pemikiran Foucault terfokus pada makna dari tuturan ataupun dari teks. Foucauldian diskursus melihat bagaimana relasi sejarah dan sosial dalam menciptakan realitas. Dalam artian bahwa diskursus menghasilkan sejumlah aturan. Diskursus adalah pandangan atau nilai yang dipandang sebagai kewajaran di dalam masyarakat. Diskursus berkembang dan mengatur masyarakat. Dengan kata lain diskursus menjadi semacam kerangka berpikir yang mendasari tindakan individu. Menjadi kesadaran umum yang sulit dipisahkan dari individu. Ada kekuasaan di dalam diskursus ini. Diskursus mengikat anggotanya untuk bertindak sejalan dengan aturan yang ada. Diskursus menentukan atau memberikan standar ‘normal’ atas prilaku – prilaku. Tampil sebagai sebuah patron di dalam masyarakat. Diskursus adalah mata uang yang digunakan individu agar dapat masuk dan diterima di dalam masyarakatnya. Ketika individu keluar dari rambu tersebut maka ia akan dianggap sebagai abnormal dan mendapat perlakuan yang berbeda. Ada kuasa di dalam praktek diskursus. Permasalahan tentang suatu kebenaran dan juga pengetahuan. Bahwa apa yang diterima oleh suatu masyarakat sebagai suatu kenormalan dipandang sebagai kebenaran mutlak. Melalui struktur yang tidak terlihat, masyarakat digiring untuk melanggengkan kebenaran – kebenaran yang merupakan hasil ciptaan tersebut. Mengapa kebenaran tersebut dikatakan sebagai suatu ciptaan, karena dalam penelitian Foucault mengenai sejarah kegilaan. Bahwa makna kegilaan yang diterima oleh masyarakat luas adalah suatu yang sifatnya cair. Kategori atau definisi tentangkegilaan pada tiap zaman mengalami perubahan. Definisi kegilaan ini dengan kata lain terelasi dengan gerak budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Begitu juga permasalahan tabu seks. Terjadi pergeseran makna sesuai dengan kecenderungan masyarakat. Untuk melanggengkan pemaknaan atas wacana tersebut, munculah pihak yang berkuasa untuk menentukan batasan tersebut, yang mana pandangan dari mereka dianggap sebagai suatu yang bersifat benar karena netral. Misalnya
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
30
psikiater atau dokter yang berwenang mengatakan kondisi orang sebagai pengidap gangguan kejiwaan. Melalui instansi yang memiliki kuasa tersebut diskursus menstabilkan dirinya. Kekuatan diskursus dan pengaruhnya sendiri sifatnya abstrak. Dalam artian kekuasaan ini bukan suatu yang dimiliki namun dipraktekkan dan menyebar. Foucault menyatakan
bahwa subjek yang
mengetahui dikonstruksi (dibentuk) melalui lembaga – lembaga yang menata kehidupan sosial seperti : pendidikan, partai, agama, ideology, kekuasaan dan lain –lain.1 3.2.3 Sejarah Seksualitas Dalam realitas sejarah masyarakat, kekuasaanlah yang menentukan pengetahuan, hal yang baik dan buruk, serta hal yang dilarang ataupun boleh dilakukan.
Kekuasaanlah
yang
menentukan
pengaturan
segala
sesuatu,
kedisiplinan, perilaku warga (termasuk seksualitas) dan hukuman yang ada. Ringkasnya subyek manusia, termasuk subyektivitas seksualnya, diatur dan dibentuk oleh rejim kekuasaan. Pemikiran Foucault akan seksualitas pada akhirnya berujung pada kekuasaan sebagai sistem atau struktur yang dapat dibagi menjadi beberapa proposisi, yaitu:
Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diperoleh, dirampas atau dibagi. Kekuasaan berfungsi berdasarkan unsur yang tak terhitung jumlahnya dan dalam permainan yang tak sederajat dan bergerak.
Hubungan-hubungan antar unsur pada kekuasaan tidak berada diluar melainkan imanen didalam dirinya dan memiliki peran penghasil yang langsung.
Bahwa kekuasaan berasal dari bawah, tidak ada suatu konsep pendominasi dan yang didominasi karena ada suatu dualitas yang berulang dari atas ke bawah.
Hubungan-hubungan kekuasaan bersifat intensional sekaligus tidak subjektif. Meskipun demikian dalam kenyataannya bisa terjadi adanya
1 Akhyar Yusuf Lubis, Teori dan Konsep – Konsep penting Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu pengetahuan Sosial – Budaya Kontemporer, materi kuliah filsafat ilmu dan metodologi program pascasarjana Universitas Indonesia. Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
31
perumusan taktik dari satu subjek tanpa ada subjek lain yang mampu menyerap rumusannya.
Dimana pun ada kekuasaan sudah pasti ada suatu perlawanan yang sifatnya selalu berada didalam kekuasaan itu sendiri. Mau tidak mau kita tidak akan luput dan harus berada didalam kekuasaan. Karena tidak ada yang secara mutlak dapat berada diluar kekuasaan karena kita pasti ditundukkan oleh hukum Kembali kepada hubungan antar seksualitas dengan kekuasaan, secara
garis besar dapat disebut bahwa wacana tentang seks yang berlimpah ruah adalah suatu bentukan dari hubungan yang beraneka ragam serta bergerak dari kekuasan yang sedang berjalan.Dalam konsep diskursus telah dijelaskan bahwa ada pemaknaan yang telah diterima masyarakat sebagai kebenaran. Pemaknaan tersebut menjadi berakar di dalam tubuh masyarakat berkat regulasi dan normalisasi. Lewat instansi – instnsi yang berkuasa internalisasi terjadi. Seperti halnya pada pemaknaan tentang identitas perempuan. 3.2.4 Pengaruh Michael Foucault Terhadap Pemikiran Butler Pemikiran Foucault mengenai diskursus dan kuasa banyak diadopsi oleh Butler dalam melihat pembentukan subjek, posisi subjek dan juga identitas. Mengacu pada Foucault, Butler menyatakan bahwa subjek adalah hasil konstruksi di dalam suatu diskursus. Diskursus sendiri merupakan suatu yang kontingen atau bergerak. Dengan demikian subjek yang dipandang sebagai produk dari konstruksi diskursus juga merupakan keberadaan yang kontingen. Dalam artian subjek itu adalah suatu yang terus menerus diciptakan di dalam suatu diskursus. Praktek kuasa di dalam relasi sosial atau yang poliik menghasilkan subjek yang terus bergerak. Berbeda dengan Foucault yang pesimis melihat subjek, sedangkan Butler melihat subjek sebagai suatu yang lebih optimis. Foucault mengutamakan mekanisme kuasa. Maksudnya, bagaimana suatu diskursus menjadikan manusia sebagai subjek. Foucault meyakini bahwa kuasa di dalam struktur masyarakat telah menjadi determinasi bagi manusia. Diskursus telah menciptakan subjek dan
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
32
membatasi subjek. Diskurusus berisi aturan tentang mana yang dapat dan tidak dilakukan oleh subjek. Berbeda dengan Foucault, Butler melihat bahwa subjek masih memiliki posibilitas untuk berperan dalam penciptaan dirinya sebagai subjek. Fakta bahwa diskursus telah mengkonstruksi subjek tidak serta merta berimplikasi pada pembatasan terhadap subjek. Butler melihat subjek masih memiliki kegairahan eksistensial.Suatu dorongan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa selalu dikungkung oleh diskursus. Butler menerima bahwa diskursus membentuk manusia, namun tidak menerima pseimisme bahwa subjek secara total ditentukan oleh struktur. Butler mengadopsi pemikiran Foucault mengenai regulasi dan normalisasi atas tubuh. Seperti pada Dicipline and Punish, bahwa sarana regulasi adalah institusi. Subjek adalah hasil jejaring pengawasan, pembiasaan dan regulasi diri. Foucault points out that juridical systems of power produce the subjects,they subsequently come to represent.juridical notions of power appear to regulate political life in purely negative terms—that is, through the limitation, prohibition, regulation, control, and even “protection” of individuals related to that political structure through the contingent and retractable operation of choice(Butler, 1990 :4). Foucault menekankan bahwa kuasa di dalam sistem hukum memproduksi subjek, setelah itu sistem ini manjadi suatu kumpulan kekuatan hukum yang hadir untuk mergulasi kehidupan politik dalam term yang negtif yaitu ; limitasi, pelarangan, regulasi, control, dan bahkan proteksi terhadap individu – individu terkait pada struktur politik melalui kontingensi dan menghindari operasi berdasarkan pilihan. Foucault melihat bahasa adalah aspek utama dalam pembentukan tubuh. Foucault melihat tidak ada tubuh yang hadir sebelum hukum. Maksudnya adalah Tubuh seperti tabula rasa yang siap menjadi blue print dari budaya (Butler, 1989 : 603). Menurut Foucault tubuh secara total dibentuk oleh historisitas.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
33
Foucault memandang prohibitive (pelarangan) berbeda dari Freud. Freud melihat prohibitive sebagai suatu yang diinternalisasikan ke dalam jiwa, sedangkan Foucault melihat bahwa prohibitive dituliskan pada tiap tubuh prinsip penstrukturan pada tubuh ini merupakan suatu signifikasi dalam pemaknaan tubuh. Hukum budaya tidak sekedar diinternalisasikan tetapi dijadikan menyatu dengan tubuh. Pemahaman mengenai esensi, kebertujuan hasrat seksual, dengan sendirinya menyatu dengan hukum tersebut. Tidak ada batas antara hukum dengan tubuh. Tubuh kehilangan nuanasa otonominya. Ia dipandang sebagai objek yang ditundukan melalui pengawasan. Tubuh tidak lagi menjadi bebas. Ketika tubuh adalah milik sosial maka pemaknaan yang ada adalah bentukan budaya. Bagaimana tubuh harus digunakan, bagaimana batas normal penggunaan tubuh dan sebagainya. Foucault melihat bahwa subjek ditentukan oleh diskursusus. Tubuh adalah penerima pasif atas sistm nilai yang ada. Namun apa yang dapat disimpulkan dari pemikiran Foucault adalah bahwa tidak ada netralitas dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran. Apa yang dianggap kebenaran di dalam masyarakat hanyalah sekedar produk diskursus. Butler mengadopsi term ini bahwa kebenaran yang dianggap sebagai suatu yang esensial sebenarnya hanyalah ilusi. Keyakinan akan adanya naturalitas seks ditolak sepenuhnya. Pemikiran tentang ketiadaan kebenaran yang mutlak dan pasti menjadi dasar pemikirannya tentang queer theory. Bahwa apa yang diyakini sebagai suatu yang benar dan bersifat pra-diskursif sebenarnya tidak ada. 3.3 Identitas Eksistensialis One is not born, but rather becomes, a woman’ (Beauvoir, 1972 : 295). inilah kalimat pembuka di dalam buku fenomenal karyanya yang berjudul Second Sex. Beauvoir melalui kalimat ini menunjukan bahwa kondisi sosial adalah hal yang menciptakan feminimitas.
Simone de Beauvoir adalah seorang feminis
eksistensialis, yang melihat awal mula penindasan atas perempuan bersumber dari beban reproduksinya. Simone de Beauvoir memulai proyek filsafatnya dengan mempertanyakan “apa itu perempuan?”. Pemaknaan atas perempuan merupakan pemaknaan yang sudah ada, kaku dan dianggap final pada masa tertentu. Hal ini menimbulkan permasalahan karena pemakanaan atas perempuan dibangun dengan
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
34
pengabaian pengalaman dan otoritas perempuan sebagai subjek yang otonom. Dalam artian definisi tentang perempuan berasal dari sumber ke dua atau dari pandangan orang lain. Sementara pemaknaan atas diri perempuan dari perempuan sendiri seringkali diabaikan. Ketika perempuan menyatakan diri sebagai perempuan. Makna perempuan yang dirujuk adalah makna yang dilabelkan oleh masyarakat kepada dirinya sebagai realitas yang tertutup, dalam artian bahwa ia telah terdeterminasi secara makna. Opersi atas perempuan bersumber dari konstruksi sosial yang membuat perempuan menjadi mahluk yang inferior atau mahluk kelas dua. Behaviour melihat bahwa fakta biologis memang ada, namun masyarakat memberikan pemaknaan atas tubuh perempuan sesuai dengan kebutuhannya. Tubuh merupakan suatau komponen yang penting dalam menentukan realitas kehidupan manusia, begitu juga pada perempuan. Namun untuk mendefinisikan perempuan tidak cukup hanya sekedar berdasarkan tubuhnya saja, dalam mengidentifikasikan diri sebagai suatu identitas memerlukan perspektif lain yang lebih kompleks yang mana kaitannya condong pada relasi sosial. Singkatnya tubuh hanyalah sekedar tubuh, atau keberadaan tanpa makna jika tanpa relasi atau pertemuannya dengan yang sosial. Pemaknaan atas diri harus dilihat melalui tindakan konkrit yang dilakukan oleh individu yang berkesadaran di dalam masyarakatnya. Simone de Beauvoir keliyanan perempuan yang dilandasi oleh permasalahan ketubuhan dan kejiwaan perempuan. Ia menolak determinisme biologis perempuan sebagai dasar daterminisme jiwa. Seperti pada teori penis envy yang dikemukakan oleh freud, bahwa perempuan mencemburui penis sebagai kekurangan tubuh yang sifatnya konkret material. Beauvoir melihat fenomena penis envy bukan sekedar kecemburuan atas penis, tapi terhadap makna yang tersmanifestasikan dari penis itu sendiri, yaitu kekuasaan. Secara implisit penis menjanjikan keuntungan material dan psikologis bagi pemiliknya. Dengan kata lain kondisi keliyanan perempuan bukan berasal dari kealpaan penis sebagai penis, namun karena kealpaan kekuasaan. Keliyanan perempuan mulai ditanamkan dari institusi yang terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Didalam keluarga perempuan kehilangan dirinya. Sebagai istri ataupun sebagaianak ia
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
35
tidak memiliki otonomi atas dirinya. Hal ini juga yang menjadi landasan langgengnya keliyanan dan inferioritas perempuan di dalam masyarakat. Internalisasi primer di dalam keluarga menciptakan realitas yang tertutup bagi perempuan. Ia menjadi sulit membedakan mana yang memang dirinya, dan mana yang konstruksi budaya. Tradisi-tradisi yang mendiskriminasi berjalan ratusan tahun lamanya. Beauvoirsangat
tertarik
untuk
membahas
bagaimana
intersubyektifitas
memainkan peranan yang penting dalam menciptakan suatu situasi yang diskriminatif antara kelompok sosial. Ia mengidentifikasi relasi kesadaran subyek – obyek sebagai fondasi ontologis dan basis dari banyaknya situasi sosial. Misalnya,
anggota
menginternalisasi
dari
kelompok
kelompok
subyek
obyek yang
yang
tertindas
menegatifkan
cendrung kelompok
obyek.Beauvoir menggambarkan penindasan intersubyektifitas secara kolektif selalu “memistifikasi” (mystify). Artinya, pihak yang tertindas tidak merasa ditindas dan menganggap apa yang terjadi adalah yang sewajarnya dan perlu diterima. Sebab, Beauvoir menganggap bahwa subyek secara intrinsik adalah intersubyektif , maka, sebenarnya kesadaran adalah hasil dari produk situasi. Jadi, bila situasinya adalah menindas, dengan demikian situasi tersebut dapat memaksa subyek untuk menerima penindasan tersebut (Arivia, 2010 : 6).Ideal – ideal tentang perempuan yang telah diciptakan masyarakat telah menjadi pembatas bagi gerak perempuan. Untuk menjadi bagian yang berkesesuaian dengan masyarakat maka perempuan harus tunduk pada aturan yang berlaku. Beauvoir mengatakan bahwa peradaban cenderung menguniversalkan ideal perempuan. Bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang menjadikan laki – laki lengkap. Dengan kata lain perempuan tidak dilihat berdasarkan kediriannya dan tujuannya sendiri sebagai subjek, namun keberadaan perempuan digambarkan sebagai objek pelengkap. Keberadaannya untuk kepentingan yang lain. Perempuan yang diidolakan masyaarakat adalah perempuan yang melupakan dirinya, dan kemudian mengorbankan dirinya untuk laki – laki.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
36
Inferioritas perempuan menjadi langgeng karena internalisasi yang sifatnya turun temurun. Inferioritas perempuan ditanamkan melalui institusi perkawinan dan mother-hood. Behavoir melihat institusio perkawinan sebagai biang keladi opersi perempuan. Hubungan yang semula adalah cinta kasih menjadi tereduksi ketika statusnya diubah kedalam ritual kewajiban – kewajiban. Apa yang tercerabut dalam relasi ini adalah aspek kebebasn. Tindakan yang tadinya bersumber dari kebebasan sebagai individu direduksi dalam keharusan – keharusan yang sifatnya mrmbatasi. Beauvoir melihat perkawinan sebagai bentuk perbudakan, kehidupan tidak berambisi, tidak berhasrat, hari – hari tidak bertujuan yang terus menerus diulangi tanpa batas, hidup yang berlalu dengan perlahan menuju kematian tanpa mempertanyakan tujuan (Arivia, 2003 : 269). Beauvoir melihat bahwa perkawinan adalah pertukaran antara kenyamanan dengan
kesempatan.
Dengan
terikat
pernikahan
perempuan
kehilangan
kesempatannya untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Menjadi istri ataupun ibu adalah peran yang pada akhirnya mengalienasi perempuan. Identitas perempuan bukanlah konstruksi yang dibangun oleh perempuan itu sendiri melainkan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat. Meskipun masyarakat telah membuat stigma tentang perempuan, Beauvoir melihat perempuan tidak harus mengikutinya dan menjalaninya sebagai takdirnya sendiri. Perempuan memiliki kapastitas untuk menentukan pemaknaan atas dirinya sendiri.
Kembali
pada
pandangan
eksistensialinya
bahwa
ia
menolak
penguniversalan atas manusia. Bahwa manusia itu dapat berbeda satu sama lain. Dalam skala besar laki – laki berbeda dari perempuan, dalam skala yang lebih lecil tiap perempuan pun dapat berbeda. Bahwa individualitas adalah milik tiap orang. Simone de Beauvoir melihat bahwa fungsi reproduksi perempuan yang berasal dari fakta biologisnya membuat perempuan terbelenggu untuk menciptakan kebebasan eksistensialisnya. Dalam artian bahwa ia tidak dapat dengan leluasa menciptakan pemaknaan atas dirinya sendiri. Ia akan terikat dengan nilai budaya yang telah memberi kerangka apa dan bagaimanakah perempuan itu. Tubuh adalah lokus yang penting dalam menghadapi relitas hidup.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
37
Karena dengan tubuh itulah manusia dan pada pembahasan ini khususnya perempuan mengalami pengalaman hidup. Melalui proses dalam kehidupan, atau pengalaman hidup ini, perempuan terus berada dalam proses becoming. Beauvoir melihat seks sebagai suatu yang tidak begitu berebeda dengan gender. Dalam artian bahwa Beauvoir melupakan peran bahasa. Dimana setiap pemaknaan tidaklah netral, selalu ada muatan budaya. Dalam hal ini demarkasi anatara seks yang dianggap sebagai hal yang netral karena sifatnya biologis sebenarnya telah ditunggangi oleh ideologi. Bahwa ada kecenderungan sebuah sistem untuk mempertahankan keberadaannya. Dalam alur budaya patriarkal apa yang dipertahankan adalah status quo atas kuasa laki – laki terhadap perempuan, dan inferioritas heteroseksual. Heteroseksual menjadi role model dan semacam kebenaran tunggal yang universal. Bahwa manusia secara gambling dimasukan dalam kategori laki – laki dan perempuan. Seakan permasalahan seksualitas dengan gender adalah suatu hal yang berbanding lurus. Nyatanya kedua hal itu tidaklah harus berbanding lurus. Simone de Beauvoir menekankan bahwa permasalahan seks seharusnya tidak dijadikan sebagai landasan untuk menentukan identitas gender seseorang. Dalam artian bahwa, manusia terlempar ke dunia dengan perangkat tubuh yang ia miliki baik itu laki – laki atau perempuan, yang mana tubuh itu adalah sarana menyentuh danmenjalani realitas. Melalui pengalaman yang berketubuhan manusia memaknai relaitas, dan dirinya. Tubuh bukanlah pilihan melainkan titik berangkat tiap orang memahami realitasnya. Pada dasarnya Simone melihat adanya pilihan bagi tiap manusia begitu pula pada perempuan. Perempuan mampu menentukan pilihannya. Meski secara praksis aturan normative eksis dalam kebudayaan. Perempuan mampu melakukan pilihan, apakah ia akan mengikuti dan membiarkan dirinya tertindas di dalam system tersebut, atau menolaknya. Perempuan mampu menciptakan identitasnya melalui tiga cara yaitu : Pertama, kesadaran bahwa tubuh perempuan adalah realitas yang ambigu. Artinya disatu sisi tubuh perempuan adalah imanen karena ia bersentuhan dan menjadi bagian dari realitas dunia yang konkrit, tetapi tubuh juga suatu realitas yang transenden karena kebebasannya. Dalam keadaan ini tubuh perempuan Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
38
memang selalu berada dalam keadaan yang tegang, yang selalu tarik menarik antara dua kutub. Tetapi justru dari ketegangan inilah perempuan mampu melihat dirinya secara objektif bahwa meskipun ia adalah realitas yang imanen tetapi dengan kebebasannya ia mampu menjadi pribadi yang transenden. Ia bebas mengafirmasi dirinya dengan kebebasan yang ia miliki, tanpa harus melepaskan yang imanen.2 Kedua, perempuan harus memiliki kesadaran bahwa ia adalah pengada bebas Kebebasan adalah natureyang inherenpada diri manusia.Dengan demikian tidak hanya laki – laki yang memiliki kebebasan, tapi juga perempuan. Kebudayaan telah mengalienasi perempuan dari naturenya sebagai manusia. Melalui mitos – mitos perempuan meyakini bahwa dirinya adalah pribadi kelas dua atau The other. Kesadaran atas kebebasan ini perlu dipulihkan kembali. Perempuan harus memeluk kebebasannya untuk menjadi subjek. Inilah yang menjadi tujuan mendasar pembebasan tubuh perempuan menurut Beauvoir. Baginya tanpa kebebasan perempuan akan tetap selamanya menjadi objek dan selalu ditindas. Ketiga, kesadaran bahwa tubuh bukanlah benda, melainkan situasi. Tubuh perempuan bukan En-Soi yaitu Ada dalam dirinya sendiri. Kesadaran perempuan adalah Pour-soi, sehingga tubuh perempuan bukanlah realitas yang ajeg dan statis melainkan realitas yang dinamis. Objektivikasi muncul karena tubuh perempuan hanya dipadang sebagai benda dan realitas yang ajeg. “Perempuan bukanlah realitas yang ajeg, tetapi lebih merupakan suatu yang menjadi, dan dengan demikian harus didefinisi”. 3.3.1 Pengaruh Pemikiran Simone de Beauvoir terhadap Butler Distingsi Simone de Beauvoir mengenai sex dan gender merupakan salah satu pemikiran yang mempengaruhi teori – teori Butler. Mengacu pada kaliamat one is not born, but rather than become a women. Berimplikasi eksplanasi yang mendistingsi realitas biologis dengan relaitas kulural. Beauvoir melihat bahwa 2
http://filsafat.kompasiana.com/2012/02/04/iklan‐dan‐pembebasan‐tubuh‐perempuan‐sebuah‐ usaha‐humanisasi‐menurut‐pemikiran‐simone‐de‐beauvoir/ (diakses : 10 – 4 ‐2012,pukul :22:25)
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
39
menjadi “female” berbeda dengan menjadi “woman”. Dalam artian female merujuk pada fakta biologis, dan woman adalah nilai – nilai yang dikenakan pada tubuh korporeal tersebut. Menurut Butler term “becoming” atau menjadi di dalam teori Beauvoir mengandung sejumlah ambiguitas(Butler, 1986 : 36).Butler memahami proses menjadi pada pandangan Beauvoir sebagai suatu ketidak konsisten. Pertama Beauvoir mengkritik gender sebagai hasil konstruksi budaya, namun di sisi lain ia melihat gender sebagai proses kemenjadian yang mana ada pengkonstruksian diri secara independen. Beauvoir menyertakan kebebasan dan pilihan dalam menjadikan gender kita. Butler melihat jika diri ikut membangun gender dengan sadar, maka permasalahan gender bukanlah permalasahan konstruksi sosial lagi. Pada tahap ini Butler melihat bahwa Beauvoir sebagai seorang Sartrean yang memandang bahwa menjadi perempuan mengacu pada kebertujuan dan ketepatan. Nuansa eksistensialis mengarahkan bahwa gender seseorang merupakan hasil pilihannya. Namun demikian Butler melihat bahwa Beauvoir masih terjatuh ke dalam subjek Cartesian. Ketika Beauvoir meyakini bahwa ego terlebih dahulu hadir sebelum diskursus, atau bahwa kesadaran adalah pemikiran eksistensialis Sartre sendiri adalah upaya menggagalkan subjek Cartesian yang meyakini bahwa kesadaran mendahului tubuh. Sartre dalam being and nothingness melihat bawa tubuh adalah diri, “I am my body” (Butler, 1986 : 38). Namun pada akhirnya Sartre juga menyatakan tentang kesadaran. Singkatnya Sartre menerima dualitas tubuh dan jiwa sebagai variable yang membangun diri manusia. Sartre melihat bahwa tubuh bukan sekedar fenomena yang statis melainkan intensionalitas dan hasrat. Tubuh adalah alat untuk mengakses dunia. Tubuh adalah cara mengada. Menurut Sartre “to be” adalah tentang pilihan. Bagaimana kita mengkreasikan diri kita. Mengacu pada Sartre, Beauvoir melihat bahwa gender berkait dengan kesadaran prareflektif, dan reflektif. Artinya gender adalah tindakan spontan kita yang merupakan hasil penanaman tabu dan norma, namun subjek memiliki kemampuan untuk merefleksikannya dan melakukan pemaknaan baru atas norma yang ada. Bagaimana seseorang memaknai tubuhnya dengan caranya sendiri.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
40
Teori performatif Butler dipengaruhi oleh pemikiran Butler bahwa kesadaran, dan pilihan subjek dapat menjadi sarana mereinterpretasi atas pemaknaan diri. Baik Butler dan Beauvoir sama –sama menolak bahwa gender ada sebelum budaya. Dalam artian situasi subjek menentukan gendernya. Hal – hal yang dikritik Butler terhadap Beauvoir adalah naturalitas seks. Butler memandang Beauvoirsebagai pemikir yang melihat seks sebagai murni fakta biologis, suatu determinasi manusia. Bahwa memiliki tubuh perempuan adalah takdir, namun budayalah yang mejadikan gender. KemudianButler memandang bahwa pada akhirnya Beauvoir jatuh dalam esensialisme biologis dan penguniversalan perempuan. Kritik lainnya adalah bahwa Beauvoir masih terkungkung dalam norma heteroseksual, yang mendukung ekskusi gender. Bahwa ketika subjek adalah “female” (fakta biologis), maka intensinya adalah untuk menjadi “women” (perempuan dalam padangan kultural). Artinya Beauvoir menguniversalkan perempuan ke dalam norma heteroseksual. Ia tidak awas dalam melihat partikularitas perempuan. Beauvoir masih jatuh dalam normatifitas budaya. Akhirnya pandangan Butler mereduksi perbedaan dalam tiap diri perempuan, seperti perempuan lesbian, perempuan dengan budaya yang berbeda dan berbagai situasi lainnya.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
BAB 4 DEKONSTRUKSI ATAS PEMAKNAAN IDENTITAS PEREMPUAN 4.1 Pengantar Judith Butler adalah seorang feminis post-strukturalis yang berfokus pada problem subjek. Tentang siapa itu subjek dan bagaimana subjek terbentuk. Judith butler melihat permasalahan subversi terhadap the other tidak semata berakar dari permasalahan gender. Seksualitas juga memiliki andil dalam terpeliharanya opresi terhadap perempuan. Butler tidak hanya membahas tentang perempuan, ia mengangkat permasalahan homoseksual dan trans-gender yang sering kali mendapatkan kekerasan
dikarenakan keberbedaannya. Ia menyarankan semangat post
modernism yang mengusung penghargaan atas perbedaan dan menolak esensialisme. Judith Butler dalam karya – karyanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Derrida, Sigmund Freud, Hegel, Foucault, dan Simone de Beauvoir. Pemikiran Derrida mengenai instabilitas makna, dekonstruksi dan penolakannya terhadap metafisika kehadiran menjadi kerangka teori Judith Butler. Pada penulisan Skripsi ini pemikiran Deridda tidak diangkat pada satu sub tersendiri seperti halnya pemikiran Freud, Foucault dan Beauvir, alasannya adalah karena dengan memaparkan pemikiran Butler pada keseluruhan skripsi ini secara tidak langsung telah memunculkan dasar- dasar pemikiran Derrida. Judith Butler mencoba menarasikan subjek dalam pandangan yang multiperspektif. Ia mengupas subjek dari perspektif strukturalisme dan juga subjek dalam eksistensialisme. Seperti pemikiran eksistensialime yang melihat manusia sebagai proses becoming, Butler menolak kebenaran yang sifatnya final. Karena keyakinan atas adanya kebenaran tunggal cenderung melahirkan tindak opresi. Ide mengenai kebenaran tunggal menjadi media memariginalkan kelompok tertentu di dalam masyarakat. Kata kunci pada bab ini adalah dekonstruksi, kontingensi, rekognisi, performitas, dan queer theory.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
42
4.2 Metode Dekonstruksi Pemikiran Judith Butler dalam pembahasan tentang subjek dan identitas bercorak post-modernisme. Pengaruh post-modernisme yang sangat berarti dalam pemikiran filsafat adalah dekonstruksi, yang digagas oleh Derrida. Dekonstruksi ini muncul sebagai reaksi atas pemikiran modern yang bercorak rasionalis. Modernisme sangat didominasi oleh “metaphisics of presence” (Appignanesia, 2003 : 77). Dekonstruksi Derida berkaitan erat dengan strukturalisme Saussure mengenai kesatuan antara petanda dan penanda. Keduanya dianggap sebagai hal yang sepadan. Petanda yang diartikulasikan oleh penanda dianggap sebagai kebenaran. Kebenaran yang sebelumnya bersifat eksternal dari penanda, kemudian melekat dengan penanda itu sendiridalam bahasa dan makna dianggap hadir lewat penanda (Akhyar, 2003,96-97). Dekonstruksi menunjukan bahwa bahasa ditandai oleh ketidak stabilan dan ketidak tepatan makna. Implikasinya dekonstruksi menolak otoritas kebenaran. Dekonstruksi Derrida menunjukan bahwa tidak ada makna tunggal dalam sebuah teks. Pemaknaan adalah suatu yang terus bergerak. Konsekuensi dekonstruksi Derrida terhadap metafisika kehadiran adalah bahwa semua wacana bersifat cair. Dekonstruksi Derrida membawa signifikansi bagi pemikiran post-modernisme. Realitas yang semula dipandang sebagai suatu yang objektif dan homogen telah dihancurkan. Realitas adalah sutu yang plural dan terfragmentasi, oleh karena itu diperlukan ruang untuk menempung segala perbedaan tersebut. Dekonstruksi menolak paham universalitas,esensialisme dan metafisika. Dekonstruksi melihat subjek tidak lagi sebagai pusat realitas. Subjek sendiri merupakan konstruksi dari struktur. Dekonstruksi Derrida digunakan oleh gerakan feminis untuk merubuhkan dominasi androsentrisme, pusatnya adalah dekonstruksi gender, yaitu upaya menyingkap ketidak adilan di antara laki –laki dan perempuan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Butler merupakan salah seorang feminis yang menggunakan metode dekonstruksi Derrida dalam membangun teori feminsinya. Ia mencoba mengangkat bahwa metafisika kehadiran yang lekat
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
43
dalam bahasa telah menjadi landasan penindasan atas minoritas (perempuan, kelompok gay, lesbian, trans gender dan lain sebagainya). Dekonstrukti gender oleh Butler melihat bahwa identitas perempuan yang selama ini diterima begitu saja sebagai kebeneran perlu didefinisi kembali. Paham yang dominan selama ini menerima pemakanaan perempuan sebagai suatu yang stabil. Hegemoni bekerja pada tahapan ini. Membuat ilusi tentang adanya kestabilan makna perempuan. Perempuan direduksi pada penekanan akan kesamaan dalam diri mereka dan mengabaikan partikularitas perempuan. Akhirnya perjuangan perempuan yang berdasarkan persamaan ini berpotensi menjadi bumerang bagi perempuan sendiri. Jatuh ke dalam kerangka yang sama dengan sitem dominan yang selama ini merepresi. Dekonstruksi mempengaruhi cara Butler melihat subjek. Ia melihat subjek sebagai agen atau subjek kemungkinan. Ia tidak meniadakan subjek karena baginya subjek diperlukan untuk masuk dalam domain politik. Bagi Butler politik tidaklah memungkinkan bila tanpa suatu fondasi, fondasi itu sendiri adalah subjek (Butler, 1995 : 36). 4.3 Identitas sebagai Proses Dialektik Butler dalam analisa subjek dan identitas bergerak dalam kerangka dialektika. Ia meyakini bahwa identitas manusia merupakan proses kemenjadian. Term penting dalam pemikiran Butler adalah dialektika, kontingensi, dan rekognisi. Butler menentang pandangan yang melihat identitas sebagai suatu kategori yang stabil. Dialektika merupakan proses penegasian yang menghasilkan sintesis. Teori dialektika ini merupakan pemikiran dari Hegel. Ia meyakini bahwa tesis selalu dihadapkan dengan antiteis dan menghasilkan sintesisis. Sintesis tidak pernah menjadi jawaban final yang mutlak, karena pada siklusnya sintesis ini akan menjadi tesis berikutnya, yang kemudian akan dihadapkan pada antithesis lalu menghasilkan sintesis beru, dan begitu seterusnya. Melalui siklus tersebut suatu kebenaran sifatnya sementara. Proses dialektik merujuk pada suatu kontingensi. Dialektika Hegel diadopsi oleh Butler dalam menjelaskan subjek yang terus
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
44
berada dalam proses. Namun totalitas subjek pada Hegel ditolak butler. Padanangan bahwa pada puncaknya manusia akan mencapai pengetauan absolut ataupun menjadi subjek utuh menurutnya tidaklah nyata. Perbedaan mendasar antara dialektika Hegel dan dialektika Butler adalah pada tujuannya. Dialektika Hegel mencari kesatuan dan kesamaan. Bahwa akhir dialektika adalah subjek absolut. Hegel meyakini adanya kebenaran mutlak yang mengatasi segalanya. Sedangkan pada dialektika Butler, dialektika dipandang sebagai proses dan hasil. Maksudnya adalah tidak ada jawaban mutlak atau suatu kebenaran absolut. Dialektika adalah proses penegasian tanpa akhir. Bahasa merupakan ranah yang terbuka atas pemaknaan. Dalam pemaknaan tersebut focus Butler justru mengangkat perbedaan dari pada mengejar kesamaan. Dialektika Butler tidak mengerucut pada suatu pemaknaan tunggal. Identitas sebagai kategori yang melekat pada diri tiap manusia sering dipandang sebagai suatu kategori yang sifatnya mutlak. Berberapa pandangan meyakini bahwa identitas memiliki klaim kebenarannya sendiri. Seperti pandangan beberapa agama, moral dan ideologi, yang menyatakan bahwa identitas tertentu memiliki kebenaran mutlak atau pemaknaan yang final. Keyakinan ini berimplikasi pada pendiskriminasian identitas yang lain. Seperti halnya pada identitas gender yang terbagi dalam dua kubu yaitu feminin dan maskulin. Keduanya telah dijadikan batasan berperilaku, standar kebenaran, dan acuan normal. Ketika subjek masuk di dalam masyarakat maka tiap – tiap mereka dituntut melakukan peran yang dipandang sebgai suatu yang nature tersebut. Ketika perempuan tidak menjalankan perannya maka ia dipandang sebgai yang menyimpang demikian pula pada laki – laki. Garis demarkasi yang rigid antara feminin dan maskulin tidak hanya membatasi ekspresi individu, namun telah melanggengkan suatu domain besar yang superior di dalam masyarakat yaitu domain heteroseksual. Ketika heteroseksual dipandang sebagai nature manusia dan dipandang sebagai kebenaran tunggal maka lahirlah pendiskriminasian dan penenidasan terhadap yang lain. Dalam hal ini identitas homoseksual dipandang sebagai suatu
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
45
yang lain. Di dalam pandangan agama, homoseksual merupakan kategori yang menyimpang dan tidak sesuai dengan kondisi alamiah manusia. Dengan pandangan demikian, akhirmya kategori homoseksual dipandang sebagai suatu kesalahan yang harus dibenahi. Manusia yang menyandang kategori tersebut diperlakukan berbeda. Berdasarkan klaim agama dan nilai moral, heteroseksual dijadikan kebenaran tunggal. Ia membawa kebenaran mutlak pada dirinya sendiri. Keyakinan ini menjadi landasan tindakan memaksakan yang dianggap sebagai yang lain untuk tunduk di dalam suatu hukum besar yang menaungi semua manusia.c Formulasi subjek menurut Hegel, Hegel writes that it is only through recognizing and knowing another that the ‘Self’ can know itself, so that desire is always desire for something Other (Butler,1987 : 34). Diri dapat mengetahui dirinya hanya melalui rekognisi dan mengetahui yang lain, dengan demikian hasrat selalu bertujuan pada yang lain. Mengacu pada term di atas Butler melihat bahwa subjek mendapatkan identitasnya hanya jika ia berada di dalam kelompok atau dengan kata lain melalui interkasi sosialnya. Subjek adalah diri yang berkesadaran dan merefleksikan diri dengan lain. Dalam perjumpaan dengan the other diri melakukan penegasian dan mendapat pemahaman tentang dirinya. Hasrat memiliki dua dimensi, yang pertama hasrat terhadap the other (yang lain) dan
yang kedua hasrat atas diri. Hasrat terhadap yang lain
menyebabkan hilangnya diri, dan hasrat terhadap diri menyebabkan hilangnya dunia. Butler melihat bahwa relasi subjek dengan the other merupakan suatu yang primer, dalam artian subjek dapat memahai dirinya melalui keberadaan yang lain, dengan cara melampaui yang lain. Subjek mendapatkan identitasnya tidak hanya berdasarkan apa yang ia lakukan namun ia juga membutuhkan pengakuan dari subjek lainnya. Mengacu pada term Hegel tentang relasi diri dan the other, Butler melihat bahwa the other merupakan komponen penting dalam membangun subjek. Singkatnya keberadaan diri adalah keadaan yang terbuka bagi the other.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
46
Pemikiran Butler tentang penerimaan dan penghargaan atas the other dipengaruhi oleh konsep Hegel ini. Hegel melihat bahwa hasrat memiliki ketahanan terhadap segala sesuatu yang menghalanginya dalam perjalanannya menuju tingkatan yang lebih tinggi, atau pengetahuan absolut. Meskipun jiwa (spirit) menghadapi banyak rintangan, ia akan terus melawan dan berupaya melampauinya. Dalam artian ia akan terus berjuang melawan hal – hal yang menegasinya, karena intensi hasrat itu ada pada pemahaman atas dirinya dan rekognisi. Pemikiran Hegel merupakan refleksi atas kondisi manusia, di mana di dalam setiap diri yang terlempar di dalam masyarakat selalu berada dalam proses pencarian. Pencarian makna diri, dan tuntutan untuk diakui atau direkognisi. Bahwa subjek selalu bergerak di dalam relasi yang mengasi terhadap yang lain. Seperti proses dialektika Hegel, bahwa subjek seperti sintesis yang terus menyempurnakan diri melalui perjumpaannya dengan diri yang lain. Hasrat pada subjek atau pada tiap diri adalah tuntutan untuk diakui oleh yang lain. Dalam proses dilektik inilah subjek mencoba mendapatkan rekognisi tersebut. Term ini diadopsi Butler sebagai fondasi pemikirannya. Bahwa subjek selalu bergerak dalam dialektika, subjek mengejar pengakuan atas dirinya dari yang lain, namun Butler menolak subjek utuh pada Hegel. Puncak perjalanan spirit Hegel adalah pada pencapaian subjek penuh. Bebeda dengan Butler yang melihat subjek sebagai proses itu sendiri, subjek selalu berada di dalam suatu proses kemenjadian dan tidak pernah final. Identitas yang selama ini dipandang sebagai suatu pemaknaan final ditolak oleh Butler. Identitas merupakan proses yang bergerak. Identitas sendiri adalah kategori yang melekat pada diri subjek. Ketika subjek selalu bergerak maka identitaspun demikian. Pandangan bahwa pemaknaan identitas sebagai suatu akhir merupakan ilusi belaka. Karena sepanjang hidupnya manusia selalu melakukan perubahan. Identitas sebagai salah satu kategori pada diri manusia atau sebagai media penandaan atas diri merupakan suatu yang bergerak di dalam ketegangan. Identitas dalam proses dialektik adalah pemaknaan diri yang berasal dari refleksi
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
47
diri sang subjek dan rekognisi the other. Akhirnya identias merupakan pemaknaan yang selalu berada di dalam proses kemenjadian. 4.4 Seks dan Gender dalam Pandangan Judith Butler Pada buku Butler yang berjudul Gender Trouble, pertama – tama ia menjelaskan tentang sex-gender dan sexuality. Menurut Butler, distingsi antara ketiga kata ini menjadi penting dalam melihat ideologi di balik bahasa. Seperti dalam kata seks. Secara umum seks dipandang sebagai suatu yang netral dan bebas nilai, karena kata seks digunakan untuk merujuk fakta biologis sesorang. Seks dipandang sebagai kata yang tercerabut dari historisitas. Butler mengadopsi pemikiran Foucault tentang historisitas. Ia meyakini bahwa seks sebagai sebuah kata mengandung nilai budaya. Pemaknaan tentang seks adalah produk suatu kebudayaan tertentu. Kata seks sendiri mengalami perubahan, seiring dengan pergerakan masyarakat. Fungsi dan makna adalah dua hal yang berbeda, namun pada prakteknya penggunaan kata seks mengalami kekaburan. Fungsi dan makna seks menjadi menyatu. Makna seks tidak sebatas fakta biologis tapi sudah bertumpang tindih dengan nilai budaya. Seks adalah fakta tentang ketubuhan, anatomi dan fisiologi seseorang. Fakta ketubuhan itu dijadikan media bagi regulasi kekuasaan. Tubuh dibatasi oleh nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai hadir sebagai aturan dalam masyarakat, memberi batasan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tubuh – tubuh ini bukan milik individu secara mutlak, ia berelasi dengan masyarakatnya. Oleh karena itu muncul norma yang mengatur bagaimana seharunya tubuh mengada. Bagaimana tubuh harus berelasi dengan yang lainnya. Consider the medical interpellation which (the recent emergence of the sonogram notwithstanding) shifts an infant from an ‘it’ to a ‘she’ or a ‘he’, and in that naming the girl is ‘girled’, brought into the domain of language and kinship through the interpellation of gender. But that ‘girling’ of the girl does not end there; on the contrary, that founding
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
48
interpellation is reiterated by various authorities and throughout the various intervals of time to reinforce or contest this naturalized effect. The naming is at once the setting of a boundary, and also the repeated inculcation of a norm. (Butler, 1993 : 7-8) Interpelasi medis mengubah bayi yang baru lahir menjadi “perempuan” atau “laki – laki” Penamaaan perempuan yang masuk ke dalam domain bahasa dan relasi interpelasi gender. Penamaan ini tidak berhenti sampai disini, namun ditegaskan kembali melalui berbagai otoritas dan memberikan efek naturalisasi. Penamaan ini merupakan perangkat pendasaran dan juga penanaman norma. Gender terbagi dalam maskulin dan feminine.
Keduanya kategori ini
melekat pada identitas seksual seseorang. Adalah suatu keharusan yang telah diturunkan oleh peradaban, bahwa seorang yang terlahir dengan karakteristik seks perempuan harus berlaku sesuai gendernya yaitu feminine, dan seorang yang terlahir dengan karakteristik seksual laki – laki harus bertindak sesuai gender maskulin. Inilah alasan Judith menjelaskan tentang term seks. Bahwa apa yang selama ini diasumsikan sebagai netral, ternyata tidaklah neteral. Seks dipandang sebagai suatu yang pasti yang mana pemaknaan atas kata seks terlepas dari historisitas manusia. Fakta biologis ternyata secara inheren membawa konsekuensi terhadap peran dalam masyarakat. Butler melihat bahwa tubuh memiliki aspek moralitas. Dalam artian bahwa tubuh adalah keberadaan yang akan selalu berelasi dengan seperangkat nilai yang ada dalm masyarakat. Tubuh mempengaruhi cara orang lain mempersepsi “I” . Kulit dan daging berimplikasi pada cara orang menatap saya, menyentuh saya, dan melakukan kekerasan terhadap saya (Alison,1996 :15). Butler Menyatakan bahwa tubuh memiliki dimensi publiknya sendiri. Dalam artian pemaknaan atas tubuh bukan otonomi mutlak saya sebagai pemilik tubuh. Tubuh dikonstitusi oleh fenomena sosial pada public-sphare. Komunitas
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
49
mengafirmasi relasi tubuh bukan hanya berdasarkan deskripsi atau historisitas tubuh itu sendiri, melainkan mengacu pada dimensi normative tubuh itu berada. Butler menolak bahwa secara natural seks seseorang akan menentukan gendernya. Pandangan bahwa seks adalah kategori stabil yang dijadikan fondasi gender seseorang. Keyakinan yang berkembang di dalam masyarakat bawa anatara sex,gender dan hasrat seksual merupakan implikasi yang yang natural. Butler meyakini bahwa kategori seks tidak serta merta membawa implikasi gender dan hasrat seksual seperti pada matriks heterosexual. Gender merupakan produk sosial yang kemudaian menjadi determinisme baru bagi subjek. Bahwa bukan hanya biologi yang menjadi takdir manusia namun juga budaya. On some accounts, the notion that gender is constructed suggests a certain determinism of gender meanings inscribed on anatomically differentiated bodies, where those bodies are understood as passive recipients of an inexorable cultural law.When the relevant “culture” that “constructs” gender is understood in terms of such a law or set of laws, then it seems that gender is as determined and fixed as it was under the biology-isdestiny formulation. Insuch a case, not biology, but culture, becomes destiny (Buler,1990,12). Gender dikonstruksi dengan mengesankan bahwa determinisme gender mengacu pada perbedaan anatomi tubuh yang mana tubuh tersebut dipahami sebagai penerima passif atas suatu hukum budaya yang tidak apat ditawar lagi.
Gender dipahami sebagai hukum atau seperngkat
hukum, kemudian gender nampak sebagai suatu determinasi atau kepastian sebagai implikasi dari formulasi biologis sebagai takdir manusia. Dengan demikian bukan biologi melainkan kulturlah yang menjadi takdir manusia. Gender dikonstruksi berdasarkan perbedaan tubuh, yang mana tubuh dipandang sebagai penerima yang pasif dari suatu hukum kebudayaan yang tidak terhindarkan. Ketika budaya mengkonstruksi gender sebagai suatu hukum maka
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
50
gender akan dipahami sebagai suatu yang bersifat pasti dan deterministik sejalan dengan formulasi determinasi biologis. Dengan kata lain yang menjadi takdir bukanlah biologis tapi budayalah yang menjadi takdir manusia. Butler melihat fakta bahwa seks dan gender secara samar akhirnya dipandang sebagai suatu yang sama, dimana keduanya merupakan takdir. Pada akhirnya fakta perbedaan jenis kelamin seseorang akan membawa individu tersebut pada gendernya. Takdir bahwa vagina harus membawa nilai feminine, dan penis membawa sifat maskulin. Sebuah nilai yang dipertahankan oleh ideologi heteroseksual Butler melihat bahwa seks akan dengan serta merta dirujuk pada gender tertentu, yang kemudian akan menentukan sex-desire seseorang. Ketika seseorang berjenis kelamin perempuan maka, ia akan bergender feminin, dan hasrat seksualnya akan tertuju kepada laki – laki. Butler melihat runtuan tersebut sebagai suatu yang tidak netral atau bebas nilai. Eksistensi gender sebagai kategori yang rigid menjadi suatu batasan yang mereduksi kemungkinan atas pemaknaan yang berbeda. Seks sebagai takdir ataupun gender sebagai takdir merupakan pemahaman yang telah merduksi ruang kebebasan dan pilihan individu. Ketika seks dan gender dipandang sebagai kategori yang stabil maka melahirkan suatu dikotomis. Bahwa hanya ada dua kategori di dalam relasi sosial, yaitu perempuan (feminin) dan laki – laki (maskulin). Determinasi biologis dan kultural telah menghilangkan pilihan individu. 4.5 Teori Pervormatif Teori performatif Butler mencoba menjelaskan bagaimana pengaruh struktur terhadap pembentukan subjek. Ia melihat perlakuan yang berbeda dikarenakan tubuh sesorang. Artinya bagaimana subjek yang berbicara menjadi di deferensiasi karena tubuhnya. Seperti pada permpuan dan laki – laki. Teori pervormatif Butler bereferensi pada dialektika Hegel. Pemikiran Butler di dalam bukunya yang berjudul gender trouble menyatakn bahwa identitas gender tidaklah memiliki esensi. Menurutnya gender ekspresi. Dengan demikian
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
51
gender tidak dapat dipandang sebagai suatu atribut yang stabil di dalam diri manusia. Gender adalah variable cair yang terus bergerak dan berubah. Identitas gender seseorang merupakan hasil dari pengulangan tindakan, atau sikap imitative sesorang. Ekspresi gender seseorang tidak dapat dikatakan sebgai identitas seseorang. Butler megatakan :There is no gender identity behind the expressions of gender; that identity is performatively constituted by the very “expressions” that are said to be its results (Butler, 1990 :18). Butler menyatakan bahwa tidak ada identitas (esensi) gender dibalik ekspresi gender, Secara pervormatif, identitas dipandang sebagai hasil dari ekspresi sesorang. Butler melihat bahwa gender adalah hasil dari tindakan performatif. Tindakan performatif tersebut yang dipandang sebagai esensi. Gender is not just a process, but it is a particular type of process, ‘a set of repeated acts within a highly rigid regulatory frame’ (Salih, 2002:63).. Gender adalah sekumpulan tindak repetisi di dalam suatu kerangka regulasi yang sangat rigid. Butler melihat bahwa ada hegemoni di dalam identitas gender. Hegemoni ini menampilkan ilusi tentang gender yang stabil. Bahwa variabel gender dipandang sebagai suatu pemaknaan final yang tidak dapat berubah. Gender dipandang sebagai suatu yang neteral atau hadir secara alamiah di dalam diri individu. Gender dipandang sebagai bagian yang telah menyatu di dalam budaya sehingga gender tidak lagi dipertanyakan sebagai suatu keanehan, dan akhirnya diterima sebagai kewajaran. Hal ini terjadi karena adanya pengulangan tindakan atau imitasi. Imitasi yang dilakukan individu secara berulang – ulang memproduksi identitas yang pasti bagi diri individu tersebut. Inilah mengapa gender sering dipahami sebagai suatu yang esensial, padahal gender itu sendiri tidak memiliki status ontologis. Identitas gender dikonstruksi melalui performitas. Tuturan dan tindakan yang dilakukan secara berulang atau repetitif ini menjadikan gender sebagai suatu yang memiliki sisi absolut. Repetisi ini dilakukan pada tubuh, atau dapat disebut sebagai normalisasi tubuh. Gender itu sendiri adalah imitative dalam pandangan Butler. Butler menolak metafisika gender, dalam artian suatu keyakinan bahwa ada suatu nilai mutlak tentang gender.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
52
Tindakan performatif adalah tindakan yang membentuk realitas. Identitas dan direproduksi melalui serangkaian tindakan, gestur dan hasrat yang diartikulasikan dan dilaksanakan sehingga menciptakan ilusi tentang adanya identitas gender yang asli dan alamiah. Dengan kata lain identitas gender dalam diri sesorang terbentuk melalui pengulangan – pengulangan. Individu melakukan pengulangan tersebut karena ada kerangka dalam budaya yang mendorong individu melakukannya. Suatu regulasi dalam suatu kebudayaan. Standar tertentu dan lebel tertentu tentang menjadi normal atau abnormal. Dalam hal ini Butler mengadopsi pemikiran Foucault. “…that reiterative power of discourse to produce the phenomena that it regulates and constrains.” (Butler, 1993, ) Butler melihat bahwa identitas menjadi bagian dari diri manusia melalui wacana. Tindakan performatif menurut Butler dapat merupakan sutu otoritas ucapan. Ada otoritas atau kuasa dari penutur atau pelaku. Dalam artian tindakan dan ucapan ini berada di bawah suatu aturan atau hukum untuk menjadikannya bermakna. Seperti pada tuturan ilokusi. Ketika suatu perkataan diucapkan oleh sesorang yang berwenang, maka tuturan tersebut bukan hanya sekedar tuturan, namun mampu merubah realitas bagi yang mendengar. Ada kuasa yang beredar di dalam tuturan dan tindakan. Kuasa di dalam tuturan ini mendapat otoritasnya dengan mengacu kepada kontrak dan kode sosial yang berlaku.di dalam di dalam budaya. Melalui repetisi wacana gender terus dihidupi. Melalui repetisi kuasa dalam performitas itu menjadi rel dan eksis. Butler melihat bahwa gender merupakan pengulangan, pembiasaan suatu naskah. “…the acts by which genderis constituted bear similarities to performative acts within theatrical contexts” ( Butler, 1988 :521). Perempuan dan laki – laki sebagai aktornya, menjalankan perannya masing – masing. Karena efek repetitive tersebut subjek baik perempuan dan laki – laki kehilangan dirinya. Pada tahap inilah tubuh mendapatkan pemaknan budaya. Peran sosial yang repetitive ini dijadikan esensi diri subjek. 4.5 Queer Theory Butler terkenal dengan queer teorinya. Yang mengangkat tentang apa yang dinggap aneh atau penyimpangan oleh masyarakat baik itu homoseksual, transgender, gay, dan lesbian. Queer teori. Atau kategori tentang yang “aneh” ini sering kali dijadikan landasan menindas yang lainnya. Heteronormatif
telah
menjadi landasan untuk melegalkan kekerasan terhadap the other (minoritas) Atas
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
53
nama sanksi sosial orang – orang yang berani menyatakan dirinya sebagai queer melalui tindakan dan pilihannya dianggap sebagai penyakit masyarakat yang pantas dikucilkan. queer theory meletakkan term identitas gender dan seks sebagai suatu yang sifatnya tidak stabil dan indeterminan. Dalam artian bahwa ada posibilitas untuk mengubah keduanya. Identitas yang homogen sebenarnya hanyalah hegemoni. Paham esesnsialisme atas identitas telah menjadi sarana penindasan bagi yang lain Drag is an example that is meant to establish that “reality” is not as fixed as we generally assume it to be.The purpose of the example is to expose the tenuousness of gender “reality” in order to counter the violence performed by gender norms. (Butler.1990 : xxiii-xxiv) Drag (parody waria) adalah sebuah contoh yang menerangkan bahwa realitas tidaklah memiliki kepastian sepapsi yang kita asumsikan. Tujuan dari pencontohan ini adalah untuk menyingkap kelemahan dari “realitas” dengan tunjuan melawan kekerasan yang diperformasikan oleh norma – norma gender. Mitos tentang koherensi anatara seks, gender dan hasrat sexual dijadikan landasan untuk melegitimasi heteroseksual. Ketika tahapan ini dipanang sebgai determinisme pada manusia karena merujuk pada nature manusia, maka kategori lain di luar skema tersebut dinyatakan sebagai kesalahan atau penyimpangan. Mitos ini melahirkan “truth” di dalam masyarakat bahwa ada esensi dari gender. Butler menolak bahwa gender merupakan suatu kategori atau pemaknaan pradiskursus. Gender dipandang sebagai suatu yang pra-sosial atau pra masyarakat. Sudah ada cikal bakal atau ide bawaan tentang gender itu sendiri. Seakan – akan gender muncul sebagai nature manusia dan berada di luar intervensi budaya. Padahal seperti telah dijelaskan pada teori performitas. Gender adalah pembentukan atau normalisasi terhadap tubuh. Menurut Butler mitos ini sengaja dipelihara untuk menaturalisasi gender. Pada akhirnya gender diterima sebagai suatu yang determinan. Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
54
If the inner truth of gender is a fabrication and if a true gender is a fantasy instituted and inscribed on the surface of bodies, then it seems that genders can be neither true nor false, but are only produced as the truth effects of a discourse of primary and stable identity (Butler 1990 : 147). Jika kebenaran hakiki dari gender adalah sebuah ciptaan dan jika kebenaran gender adalah sebuah fantasi yang diukirkan pada tubuh, maka gender tidak dapat dikatakan sebagai salah atau benar, gender hanya diprouksi sebagai dampak kebenaran dari sebuah diskursus dan identitas yang stabil. Matriks heteroseksual yang ada menurut Butler adalah suatu yang diinternalisasikan kepada masyarakat. Melalui sitem pelarangan dan tabu yang berfungsi sebagai hukum yang mengatur dan memberi legitimasi pada tiap diri. Bahwa tabu ditanamkan dan telah memenjarakan tubuh. Tabu inses dan homosexual telah membatasi tubuh dan hasrat sesorang. Adalah suatu kesalahan bila seorang perempuan yang dikarakteristikan sebagai mahluk pasif, penuh cinta kasih, pemelihara dan emosional mengadopsi nilai maskulin seperti rasional, aktif dan sebagainya. Singkatnya norma gender mengatur bagaimana seorang perempuan harus mengaktualisasikan tubuhnya. Tentang cara berbicara, gerak tubuh, berpakaian dan sebagainya. Begitu pula pada laki – laki. Tidak berheti sampai di situ penjara atas tubuh mengekang hasrat. Bahwa tabu dalam budaya melarang untuk menghasrati manusia dengan seks yang sama. Akhirnya ketika gender dipandang sebagai kebenraran yang esensial maka ia akan mengopresi manusia secara keseluruhan. Bahwa sistem yang ada malah membunuh kebebasan manusia. Dikarenakan hasrat untuk diakui dalam masyarakatnya subjek yang mengada di dalam masyarakat menyesuaikan diri dengan hukum yang ada, menjalankan suratan atas tubuhnya yaitu hukum heteroseksual. Kontes waria menurut Butler adalah suatu upaya perlawanan atau tindakan memperolok sistem gender heteroseksual yang telah mendominasi di masyarakat. Kontes waria ini mengadaptasi konsep gender yang ada dan dinggap stabil. Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
55
Heteroseksual yang dipandang sebagai stuatu kebenaran tunggal pada akhirnya hanya suatu ilusi. Bahwa pada kenyataannya tidak ada originalitas di dalam sistem gender itu sendiri. Gender feminin dan maskulin yang dituding sebagai kausal dari hasrat seksual yang mengerucut pada heteronomatif hanyalah suatu hasil rekayasa. Gender pada akhirnya tidak lebih dari sebuah produk performatif. Gender adalah ekspresi manusia di dalam melakukan interaksi sosialnya, dan bukan merupakan kodrat yang pra-eksistensi. Dalam pelanggengan gender feminine dan maskulin yang ada adalah repetisi yang berfungsi sebagai normalisasi. Pengulangan yang terus menerus yang menghilangkan kesadaran akan perbedaan tindakan dan diri itu sendiri. Singkatnya regulasi norma di dalam masyarakat adalah upaya memperkuat akar idealisasi atas tubuh. Kontes waria itu sendiri tampil sebagai mimikri atau imitasi dari matriks gender yang ada. Dengan queer theory ini Butler menjelaskan bahwa seks dan gender yang selama ini dipandang sebagai variable yang stabil ternyata kontingen. Gender terbatas pada feminine dan maskulin adalah karena keyakinan jiwa itu terdeterminasi sama seperti tubuh. Ketika tubuh hanya memiliki kategori perempuan dan laki –laki, maka gender hanya memilik kategori feminin dan maskulin. Kerangka seks dan gender ini pada akhirnya dipandang menjadi kebenaran tunggal, sehingga apapun yang keluar dari skema tersebut dipandang sebagi keanehan, penyimpangan yang harus di hukum dan dikembalikan pada jalur yang benar. Ketika pandangan terhadap gender diubah maka ekspresi gender sesorang tidak dibatasi. Dalam artian bahawa gender feminin tidak hanya dapat dimiliki oleh perempuan atau gender maskulin hanya milik laki – laki. Ekslusifisme semacam itu diruntuhkan. Ketika gender adalah ekspresi maka siapapun boleh melakukannya selam itu merepresntasikan diri sesorang. Queer teori Butler merupakan bentuk perayaan atas perbedaan. Bahwa kesamaan atau konsesnsus yang selama ini dikejar sebagai suatu tujuan sering kali menjadi landasan penindasan pada yang lain. Pada teori ini Butler berfokus pada kelompok minoritas seperti gay, lesbian dan sebagainya, namun ia juga menunjukan bahwa gerakan feminis yang seringkali menyuarakan tentang
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
56
kesamaan perjuangan dan pengalaman akhirnya mereduksi makna diri perempuan. Penguniversalan adalah suatu penindasan. Perempuan harus dipandang secara particular,dengan kata lain kondisi,situasi, dan pengalamannya harus dipandang pada dirinya. 4.6 Memaknai kembali Identitas Perempuan Pemikiran Butler mengenai pembentukan subjek dan identitas menurut penulis merupakan pemikiran yang komprehensif. Butler tidak terpaku pada struktur sebagai pusat pembentukan subjek atau pemujaan atas individu secara berlebihan. Pemikiran Butler menempatkan manusia secara totalitas. Manusia ditampilkan seperti sebuah koin, yang mana kedua sisinya merepresentasikan dirinya. Manusia sebagai mahluk sosial mendapatkan identitasnya berdasarkan relasinya. Afirmasi dari orang lain membuat ia menyadari keberadaannya, keberbedaannya dan kesamaannya. Identitas muncul sebagai upaya menandai keberadaan sesorang. Perjumpaan dengan subjek lain mengkonstruksi identitas manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran masyarakat besar dalam mengkonstruksi identitas seseorang. Penulis melihat masyarakat di sini dalam arti luas. Masyarakat adalah kumpulan orang lain beserta struktur yang ada di dalamnya. Teori eksistensialis juga dapat digunakan dalam megkaji persoalan identitas ini. Bagaimana seorang individu terlempar dalam ruang dan waktu tanpa dapat memilih jenis kelamin yang natinya memiliki pengaruh besar pada tahap kelanjutan hidup sesorang. Pada dasarnya manusia lahir dan terlempar ke dalam semesta bahasa atau dapat di sebut dalam struktur. Mau tidak mau seorang manusia telah diadakan ke dunia yang telah berjalan dengan mekanismenya sendiri. Seorang manusia yang terlempar ini bertahan untuk tetap eksis di dalam dunianya. Mengikuti nilai dan norma yang telah mengakar di dalam kebudayaan. Tubuh yang terlempar ke dunia sejak pertama mengada telah menjadi sasaran nilai. Tubuh adalah media yang tidak dapat sepenuhnya menjadi milik individu.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
57
Keterpecahan terjadi ketika kesadaran mulai bekerja. Ada pemberontakan di dalam diri manusia karena pluralitasnya. Bahwa pada kenyataannya nilai dan norma yang berlaku di masyarakat tidak serta merta di terima oleh manusia. Seperti pada identitas gender. Identitas yang telah teregulasi secara rigid di dalam masyarakat ini telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Hingga akhirnya pemaknaannya menjadi berbeda. Gender yang pada dasaranya sebuah ekspresi menjadi suatu yang dipandang esensial di dalam masyarakat. Pergeseran makna, kuasa dalam aplikasi bahasa membuat gender tampil sebagai suatu kebenaran mutlak. Gender secara perlahan menjadi sarana opresi terhadap perempuan. Gender yang dipandang sebagai esensial ini menjadi penjara bagi manusia. Melalui tuturan dan tindakan yang direpetisi stereotip menjadi tersamarkan. Seakan ia adalah suatu yang natural, padahal bentukan. Bentukan ini dapat bermula dari suatu opini sosial yang diterima sebagai suatu kebenaran. Butler melihat bahwa identitas gender tidak memiliki esensi dan merupakan hasil kreasi suatu kebudayaan pada suatu masa. Hal ini menunjukan bahwa identitas gender bukanlah takdir yang tidak dapat diubah. Keyakinan bahwa perempuan harus bersifat feminis adalah suatu yang dapat dilawan. Butler tidak membantah bahwa masyarakat telah terstruktur dengan nilai – nilainya. Bahwa untuk keluar dari standar normal yang ditentukan masyarakat bukanlah suatu perkara sederhana. Namun ia mau mengatakan bahwa posibilitas untuk mendekonstruksi makna diri sendiri terbuka bagi individu yang mau mendobraknya. Butler tidak serta merta menolak identitas. Karena Identitas telah eksis sebagai atribut masyarakat. Identitas adalah suatu yang dilekatkan pada diri subjek baik itu berdasarkan kehendaknya atau tidak. Namun apa yang mau ditekankan Butler adalah bahwa identitas adalah sekedar penanda manusia. Identias tidak seharusnya dijadikan sebagai media untuk memariginalkan yang lain. Kembali pada masalah kehidupan fisik. Butler menuliskan bahwa tubuh adalah keberadaan yang sangat rentan terhadap kekerasan. Karena perbedaan antara tiap individu terjadi subversi. Karena kulit dan daging yang menyusun Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
58
individu menjadi landasan bekerjanya nilai. Seperti pada teori pembentukan subjek dalam psikosexual freud, Bagaiamana seseorang dipandang, disentuh dan diperlakukan di dalam masyarakatnya atas nama perbedaan. Bahwa di dalam relasi anatara manusia perbedaan dan persamaan menjadi polemik yang masih terbuka. Di atas perbedaan mencari kesamaan dan di atas kesamaan mencari perbedaan. Butler menjelaskan bahwa subjek masuk ke dalam relasi sosial yang kontingen. Terkadang ia membagi kesamaan dengan kelompok terkadang ia membagi perbedaan di dalam kelompok yang sama. Bahwa di dalam diri subjek ada alternitas atau perbedaan, yang mana perbedaan ini adalah hasrat untuk ditampilkan dan diakui. Dalam artian bahwa meskipun individu hidup di dalam kehidupan sosial dan bertatap wajah dengan kolektifitas, ia memiliki hasrat untuk menampilkan keberbedaannya. Karena melalui perbedaannya ini ia dapat memahami dirinya. Melalui perbedaannya individu merasakan eksistensinya. Menegasi diri dengan yang lain untuk mendapat pengetahuan atas diri itu sendiri. Butler menawarkan pervormativity sebagai sarana merebut keotentikan diri. Dalam artian bahwa melalui tindakan sadar individu kedirian dapat dijumpai. Sebenarnya dalam term Butler sendiri ia tidak mengatakan tentang otentisitas. Namun otentisitas yang saya maksud adalah bahwa manusia tidak sepenuhnya berada di bawah kendali struktur. Butler menerima bahwa struktur telah mengatasi manusia. Seperti misalnya kerangka gender yang telah berakar di dalam masyarakat, yang mana struktur atau kerangka pikir tentang gender ini telah terinternalisasi dalam tiap diri. Namun Butler meyakini bahwa individu mampu keluar dari kerangka tersebut. Individu tidak harus terus mengikuti sistem atau norma yang ada. Tiap subjek memilik kapabilitas untuk memaknai dirinya. Apa yang tidak dapat diubah atau sifatnya deterministic adalah fisiologis tubuh sesorang. Individu yang terlahir dengan kromosom xx atau disebut sebagai perempuan ini membawa fakta anatomis yang direlasikan dengan fungsi tubuhnya. Pemaknaan yang sifatnya merepresi perempuan karena fakta tersebut dapat di lawan dengan pervormitas. Menurut Buler Identitas adalah bagaimana kita mengafirmasi dan diafirmasi oleh diri kita dan orang lain.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
59
Tuturan dan tindakan tiap individu membawa nilai politis. Dalam artian bahwa tiap individu mampu merubah atau memberi nuansa pada relitas disekitarnya. Melawan ketertindasan dengan otoritas sebagai subjek. Bahwa ada aspek kebebasan dalam diri subjek untuk mempertahankan keunikannya. Menjadi perempuan tidak harus menjadi perempuan seperti dalam ideal budaya patriarkal. Perempuan yang dihadirkan sebagai mahluk nomer dua, keberadaan yang tidak pernah menjadi subjek penuh, pasif, tidak mandiri, dan berbagai stigma yang melekat pada perempuan. Apapun standart normalisasi di dalam masyarakat kita tidak harus mengikutinya namun tidak pula harus menentangnya. Butler menampilkan kesadaran dan kebebasan subjek sebagai suatu kemandirian, di mana ia mampu mengkritisi fenomena disekitarnya dan dapat menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Melalui performitas individu dapat menciptakan pemaknaan di mana subjek mengambil peran sebagai keberadaan yang berkesadaran dalam menentukan pemaknaan atas dirinya. Butler membuka ruang seluas - luasnya untuk menyatakan pluralitas. Ia menolak esensialisme terhadap perempuan. Perjuangan yang sama atas perempuan. Ia lebih menitikberatkan kepada individu konkret. Karena adalah tidak berkeadilan untuk menyeragamkan perjuangan perempuan yang pada dasarnya tiap mereka pun berbeda. Diskursus menciptakan realitas. Itulah pemahaman post modern, maka butler menawarkan bahwa diskursus tersebut harus diperlawankan dengan diskursus pula. Pervormitas adalah medianya. Dengan demikian akan terbuka pemaknaan-pemaknaan baru. Dialektika antara diskursus yang sifatnya tidak pernah final. Begitu pula mengenai identitas. Suatu kategori yang sifatnya kontingen. Bergerak bersama gerak budaya manusia. Butler menekankan bahwa tuturan dan tindakan kita disadari atau tidak membentuk realitas bagi subjek pelaku dan subjek lainnya. Manusia adalah suatu keterhubungan dimana setiap performance
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
60
manusia memberi nuansa politik. Tiap tindakan akan berdampak pada yang lainnya. Inilah alasan penulis mengatakan Butler berada dalam pembahasan yang total. Ia melihat kuasa sebagai subversi dan produksi namun kuasa itu juga berelasi atau eksis dalam ranah subjek. Proyek butler adalah menanyakan kembali tentang klaim kebenaran., agar memberi ruang intepretasi. Bagi Butler proyek gender nampak sebagai nilai universal. Nilai – nilai gender, atau peran gender yang diharapkan untuk diterapkan pada individu sebagai suatu kebenaran tunggal. Gender dipandang sebagai kategori yang esensial dan inheren pada diri individu. Butler menolak pandangan yang mengkategorikan gender sebagai kategori yang stabil, baginya gender adalah hasil dialektika. Dengan kata lain sifatnya bergerak dan terus berproses. Gender itu sendiri merupakan tindak imitasi, atau dalam penjelasannya seperti sebuah skenario semata. Permasalahan identitas gender ini tentu berbeda di tiap ruang dan waktunya. Dalam artian bahwa apa yang dihadapi oleh perempuan di Negara dunia pertama, kedua dan ketiga tentunya berbeda. Hal ini dikarenakan factor yang beragam. Seperti perjuangan perempuan Amerika tentu tidak sama dengan perempuan Indonesia. Hal tersebut dapat dikarenakan pengalaman dan situasi yang berbeda. Namun secara umum dapat kita lihat suatu kesamaan dalam gerakan feminis. Feminis muncul sebagai reaksi atas penindasan terhadap perempuan. Feminis adalah kritik terhadap ketidak adilan. Pada bab 2 telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pemahaman seks dan gender memiliki demarkasi yang jelas. Seks adalah tentang fakta biologis dan pengukuhannya di dapat dari ilmu pengetahuaan, sehingga sex sering kali dipandang sebagai zona bebas nilai atau natural. Seks yang selama ini dipandang netral sebenarnya tidaklah pernah menjadi netral. ia disusupi oleh ideologi. Suatu yang dianggap kebenaran dan terus direpetisi. Dalam fenomena ideologi patriakat. Ideologi ini tampak begitu kuat dan bertahan cukup lama di dalam masyarakat. Dalam hal ini tentunya ideology
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
61
tersebut dibangun berdasarkan logika yang dapat diterima masyarakat pada awalnya. Seperti perempuan tugasnya adalah menjadi ibu. Tugas sosial itu diadobsi dari fenomena yang memang terjadi. Ada fakta – fakta ketubuhan perempuan. Hal tersebut dapat ditemukan secara general. Dari masa ke masa dan di tiap peradaban. Karakteristik tubuh seperti perempuanlah yang dapat melahirkan, perempuan yang menyusui dan mengasuh anak. Fenomena ini kemudian diuniversalkan menjadi ciri yang melekat pada diri perempuan. Menurut saya hal itu tidak menjadi masalah., karena dalam banyak kasus fakta tersebut dapat dirujuk pada spersies perempuan. Namun yang menjadi masalah adalah ketika individu atau subjek perempuan tidaklah dilihat karena keberadaannya sebagai manusia, atau kategori – kategori lain di dalam dirinya. Masalah lainnya adalah betapa rigidnya nilai itu telah mereduksi perempuan. Fakta tersebut dijadikan landasan untuk menarik esensi dari perempuan, tanpa memandang keunikan yang ada pada diri tiap individu. Ia direduksi sebatas pada fungsi ketubuhannya yang lama – kelamaan memenjarakan dirinya. Di dalam diri perempuan ada kecenderungan seperti yang ditanamkan oleh ideologi, karena penulis melihat ideologi itu sendiri dapat bertahan karena ia memiliki kesesuaian dengan realitas, hanya saja lama kelamaan ideologi itu berevolusi. Yang jadi permasalahan adalah universalisme tersebut. Universalisme ini sepertinya memang menjadi bagian dari ideologi. Yang mana ia berusaha untuk menyeragamkan sebanyak –banyaknya manusia di dalam kebenarannya. Ideologi bertahan di dalam masyarakat dan terpelihara karena ia dibangun berdasarkan kecenderungan yang ada pada diri manusia, kecenderungan yang ada di dalam masyarakat. Ideologi dibangun berdasarkan fenomena yang ada di dalam masyarakat dan kemudian disusupi oleh kekuasaan dan kepentingan, namun kecenderungan itu sendiri bukanlah esensi dari perempuan sendiri. Nilai bahwa perempuan adalah mahluk yang tunduk pada laki – laki (seperti doktrin agama kristen). Hal tersebut bukanlah nature perempuan. Dalam artian bahwa keterkungkungan bukanlah takdir siapapun. Karena jika itu merupakan suatu yang mutlak dalam hidup manusia secara spesifik hidup perempuan, maka ia tidak akan berontak dari rutinitas tersebut. Seperti misalnya kebutuhan akan makanan. Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
62
Bahwa semua manusia harus makan untuk hidup. Maka dari perkembangan jaman manapun hal itu tidak menimbulkan gejolak bagi hidup manusia. Karena berkesesuaian pemberontakan,
dengan
logika.
pertanyaan
dan
Yang
terjadi
kemarahan
pada atas
perempuan kondisi
yang
adalah harus
ditanggungnya. Ini menunjukan bahwa rutinitas yang ditetapkan masyarakat, atau peran sosial itu tidak merupakan nature perempuan. Melalui struktur, seperti misalnya bahasa, realitas dibentuk. Bahwa kata laki – laki dan perempuan telah membawa makna yang telah disepakati secara luas. Ketika seorang anak lahir ke dunia dan untuk pertama kalinya dokter atau kalangan medis menyatakan jenis kelaminnya, anak tersebut sudah menanggung makna kultural, yang nantinya dari hari ke hari akan terus diinternalisasikan ke dalam dirinya. Dari semua aspek individu yang lahir tidak pernah lagi menjadi tabula rasa. Begitu juga jenis kelamin. Ia adalah sasaran makna budaya. Jenis kelamin atau seks tidak pernah menjadi kanvas putih. Ketika terbahasakan atau dituturkan ia sudah beriring dengan pemaknaan dari budaya. Kata perempuan tidak sekedar merujuk pada karakterisitik fisik sesorang, namun peran sosial yang melekat pada fakta tersebut. Hal ini terjadi melalui regulasi di dalam bahasa Foucault. Dimana nilai – nilai dimasukkan ke dalam masyarakat dan dipraktekkan. Nilai ini disepakati dan memiliki kekuatan menggerakan manusia. Begitu juga perempuan. Perempuan sebagai bagian masyarakat digiring untuk melakukan tindakan - tindakan yang dianggap baik oleh masyarakat. Misalnya stereotip bahwa perempuan perempuan itu mahluk yang sabar, lembut, menjadi istri dan menjadi ibu. Melalui berbagai sarana nilai tersebut diregulasi. Lewat doktrin agama, pendidikan, media masa, dan sebagainya. Kerangka pikir masyarakat terus digiring ke dalam stereotip semacam itu. Ideologi tersebut terus terpelihara dan memproduksi realitas yang menindas perempuan. Dari lingkup yang terkecil yaitu keluarga peran sosial perempuan telah ditanamkan. Orang yang lebih tua dari pada anak telah mengadopsi nilai – nilai yang menguniversalkan perempuan. Bahwa peran sosial yang diharapkan untuk Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
63
diperankan setiap perempuan menjelma menjadi esensi dari perempuan itu sendiri. Perempuan akan dianggap sebagai perempuan abnormal atau aneh bila tidak menjalani tuntutan perannya. Misalnya tidak menikah dengan alasan mengejar karir. Di masyarakat seperti di Indonesia sering kali masih menjadi suatu keanehan. Mendapat label sebagai perempuan tidak sempurna, atau mendapatkan tatapan belas kasihan. Tindakan – tindakan yang dilakukan masyarakat anonim ini sebenarnya adalah bentuk regulasi tersebut. Masyarakat bergerak secara mekanis dibawah pengaruh ideologi tersebut. Apapun yang bertentangan di luar nilai yang ada dianggap sebagai kesalahan yang perlu dibenarkan. Perlu ada punishment agar tindakan serupa tidak terulang. Begitu pula perempuan yang tidak ingin memiliki keturunan dengan berbagai alasan akan mendapat pandangan sinis dari masyarakat. Tidak menerima kodrat, emansipasi yang salah dan sebagainya. Pandangan yang meletakkan perempuan sebagai objek tersebut saya rasa merupakan bentuk kekerasan simbolik. Seandainya pikiran masyarakat tidak terkotak – kotakan dalam melihat jenis kelamin yang telah disusupi peran sosial, maka tiap pilihan perempuan harusnya mendapat penghargaan. Dalam artian bahwa ia memilih sebagai subjek yang otentik, dengan berbagai pengalaman dan pertimbangannya kedepan. Tubuhnya adalah miliknya, sehingga adalah otonominya untuk menentukan yang terbaik untuk dirinya. Dalam hal ini penulis bukan menganjurkan pada perempuan agar tidak memiliki anak dan tidak menjalani pernikahan. Yang menjadi fokus penulis adalah tentang pilihannya. Bagaimana seorang perempuan sering kali tidak benar – benar memilh berdasarkan kesadarannya. Apa yang nampak sebagai putusannya semata – mata bentuk paksaan masyarakat yang tidak kasat mata Hal ini juga terjadi pada laki laki ketika ia tidak menjalani peran sosialnya, namun hukuman yang dijatuhkan kepada perempuan menjadi beberapa kali lebih berat. Seperti pada dua kondisi tadi. Tidak menikah dan tidak menginginkan anak. Dengan kata lain kebudayaan telah menciptakan realitas bagi perempuan. Dalam artian bahwa Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
64
budaya menentukan kebutuhan dan mengharuskan perempuan berlaku sesuai dengan nilai yang ada. Seperti indoktrinasi, subjek (baik itu perempuan dan laki – laki telah berhenti mepertanyakan ketidak adilan yang terjadi). Kekerasan simbolik terhadap perempuan sekan tidak terbasahasakan untuk kurun waktu teretntu. Pada akhirnya subjek berhenti mempertanyakan tindakan dan pilihannya. Kebanyakan tindakan yang dilakukannya adalah semata – mata mengikuti opini masa. Disinilah terjadi manusia kerumunan di bawah payung ideologi. Seperti pada ilustrasi di atas, tentang menikah dan memiliki keturunan. Banyak perempuan yang melakukannya hanya karena keyakinan bahwa tindakan tersebut merupakan kodrat perempuan. Mengikuti aturan tersebut menjadikannya perempuan
seutuhnya
(dalam
pandangan
masyarakat).Inilah
bentuk
keteralienasian diri. Perempuan sebagai subjek seakan telah tercerabut dari kesadarannya. Seakan memiliki kesadaran padahal hanya melakukan gerak mekanis. Struktur telah begitu kuat menguasai hidup seluruh subjek. Disinilah peran kesadaran. Dengan kembali mempertanyakan tentang kedirian dan situasi di sekitar perempuan. Mencoba membahasakan dan melakukan pilihan berdasarkan refleksi kritis dan kesadarannya sebagai mahluk berkesadaran. Struktur sendiri pada kenyataannya telah ada dan menaungi hidup manusia, namun tidak dapat dipungkiri di dalam tiap diri manusia, begitu juga perempuan ada potensi kesadaran. Ada kemampuan mempertanyakan realitas, mengkritisi dan bergerak menuju perubahan. Di dalam tiap diri manusia meski ada aspek sosial yang membatasi geraknya, namun ada juga sisi eksistensialisnya. Bahwa perempuan memiliki potensi untuk melakukan perubahan atas situasinya. Ia memiliki kapasitas membentuk identitasnya. Identitas yang dimaknai sebagai representasi kebebasan dan kesadaran dan bukan semata – mata produk ketertundukan terhadap sistem yang ada. Merujuk pada pemikiran cButler bahwa identitas itu sifatnya cair. Struktur sosial memegang peran penting dalam pembentukan dan afirmasi terhadap identitas tersebut, namun identitas itu tidak mutlak, ia dapat berubah, tindakan tiap individu bukan suatu yang terpisah sama sekali dari masyarakat. Itu berarti bahwa ketika seorang perempuan memiliki
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
65
kesadaran
dan
melakukan
perubahan,
hal
itu
akan
berdampak
bagi
masyarakatnya, meski dalam skala yang paling kecil. Butler menyatakan Personal is political. Bahwa tidak ada distingsi antara yang sosial dan individu. Keduanya memiliki potensi untuk mengubah satu sama lain. Ia kontingen atau instabil. Ada ruang untuk perubahan, dan perubahan itu dimungkinkan oleh kebebasan dan pilihan individu. Pemaknaan yang tunggal mengenai identitas perempuan telah menjadi penindasan pada diri perempuan di dalam ranah simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang kasat mata. Berbeda dengan kekerasan fisik yang dapat segera dirasakan dan dapat dilihat. Kekerasan simbolik memang bekerja secara halus yang implikasinya tidak menimbulkan perlawanan. Kekerasan ini bergerak pada domain struktur bahasa. Kekerasan simbolik adalah tindak mengintimidasi subjek dengan cara yang sangat halus. Kekerasan simbolik adalah upaya mendominasi suatu pihak. Melalui legitimasi yang berlandaskan kebenaran objektif atau stigma di dalam masyarakat gerak subjek dibatasi .Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang bergerak pada sistem tanda dan makna. Melalui legitimasi kekuasaan diedarkan. Ketika sistem tanda dan makana telah mendapatkan legitimasinya maka ia telah diterima sebagai kebenaran objektif dalam sebuah masyarakat (Jenkins, 1992:104). Seperti halnya pemaknaan perempuan, ketika kategori perempuan telah ditetapkan sebagai suatu pemknaan final atau sebatas pada pemaknaan – pemaknaan kultural, maka perempuan sebagai subjek tidak dapat melakukan pemaknaan atau menggunakan kebebasannya sebagai subjek. Ketika masyarakat telah menciptakan batasan – batasan tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang perempuan atau memberi label perempuan normal atau perempuan ideal, secara tidak sadar telah menggiring perempuan ke dalam suatu peran yang ia jalani secara mekanik. Dalam artian ia menjadi perempuan seperti apa yang ditentukan suatu kekuasaan dan bukan bersumber dari refleksi dirinya atau dari kebutuhannya sebagai seorang subjek bebas. Ironsinya kekerasan simbolik ini
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
66
sudah begitu menyatu dalam masyarakat sehinga tidak memunculkan resistensi karena kekerasan yang menimpa perempuan dipandang sebagai suatu kewajaran. Kekerasan simbolik ini nyata di dalam masyarakat. Namun sulit disadari dan dihilangkan. Hukuman masyarakat yang nampaknya tidak memberikan trauma bagi tubuh, namun secara kejiwaan memberi banyak pengaruh. Hukuman – hukuman seperti cibiran, tatapan sinis, iba dan sebagainya menimbulkan ketidaknyamanan dan pertentangan. Bagi objek atau perempuan mungkin akan timbul keraguan akan putusannya. Apakah ia telah menjadi bidaah bagi masyarakatnya, dan bagi perempuan lain yang melihat tindakan tersebut semacam peringatan untuk dirinya. Bahwa suatu saat ketika ia melakukan hal serupa ia akan menghadapi masalah.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Merujuk pada Butler akhirnya subjek yang stabil seperti pada fantasi modernism tidaklah nyata. Subjek merupakan implikasi dari performitas. Ketika manusia melakukan performitas, maka dalam proses tersebut ia dipandang sebagai subjek. Dengan kata lain keyakinan atas subjek esensialisme tidaklah real. Subjek menjadi subjek ketika ia masuk mengada dan melakukan tindakan. Subjek bukanlah suatu yang terberi. Butler melihat bahwa subjek itu ada. Subjek dikonstruksi tapi tidak sepenuhnya hasil konstruksi. Masih ada ruang kebebasan pada diri subjek. Dengan kata lain subjek bukanlah suatu pemaknaan yang stabil atau semata – mata tergeletak sebagai pemaknaan final, melainkan suatu proses penciptaan terus menerus. Seperti pada pandangan Foucault bahwa dalam relasi kuasa. Ia juga mengacu pada Foucault bahwa subjek dikonstruksi atau dibangun oleh diskurusus, namun tidak berarti bahwa subjek ditentukan oleh diskursus tadi. Subjek memiliki porsi tersendiri untuk menentukan dirinya. Sama halnya seperti menjadi subjek, identitas dalam pandangan Butler bukanlah suatu yang ajeg. Identitas adalah suatu proses menjadi. Jadi identitas tidak pernah final melainkan pergerakan terus menerus. Identitas gender merupakan kategori yang dikonstruksi melalui suatu diskursus. Karena diskursus merupakan suatu yang begerak, maka begitu pula identitas sebagai produknya. Identitas yang stabil akhirnya tidak pernah ada,yang ada adalah identitas yang kontingen. Manusia mengada di dunia sebagai mahluk sosial. Ia seakan sama tapi berbeda dari manusia yang lainnya. Karena pertemuan individu dengan individu lain inilah yang membuat manusia membutuhkan identitas. Suatu kategori yang menandakan keberadaannya. Membuat ia menjadi suatu keberadaan yang berbeda dari yang lainnya. Kebutuhan akan menjadi bagian dari masyarakatnya dan dapat dibahasakan,
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
68
Identitas seks dan gender adalah salah satu penanda yang cukup penting. Dalam artian bahwa ketika kita berhadapan dengan individu lain kita akan mengkalsifikasikannya dari kualitas seks dan gendernya. Lebih tepatnya kualitas seks. Karena ciri inilah yang paling mudah kita dapati dalam perjumpaan dengan individu lainnya. Permasalahan yang muncul adalah kualitas seksual seseorang akan direlasikan dengan gendernya. Bahwa fakta biologis tentang ketubuhan individu tidak pernah bebas nilai. Ada nilai budaya yang disusupkan dibalik fakta tersebut. Namun secara umum seks seringkali dipandang sebagai term yang netral sehingga ia luput dari pemeriksaan, seakan seks itu merupakan suatu yang lepas dari historisitas manusia Penis dan vagina bukan sekedar fakta biologis yang menunjukan karakteristik ketubuhan seseorang. Vagina dan penis bukan sekedar kata yang netral. Keduanya merupakan simbol dalam bahasa. Kedua kata tersebut membawa realitas bagi pemiliknya. Tentang status sosial, relasi kuasa dan sebagainya. Seperti pada penjelasan Simone de Beauvoir pada akhirnya teori Freud yang menyatakan kecemburuan terhadap penis bukanlah kecemburuan akan ketiadaan organ penis itu sendiri tetapi lebih kepada kekuasaan yang diwakilkan oleh symbol itu sendiri. Kedua kata ini memiliki jejaring makna yang telah terinternalisasi dalam budaya masyarakat melalui serangkaian tindakan
regulasi. Seiring dengan
pergerakan waktu, makna itu tertancap semakin dalam di dalam kerangka pikir masyarakat. Bahwa gender adalah suatu identitas mutlak yang sifatnya alamiah. Bahwa sifat maskulin adalah eksklusif milik laki – laki, dan sifat feminin eksklusif milik perempuan. Identitas gender membawa semangat esensialisme. Maksudnya ketika seseorng dilabelkan dengan identitas gender tertentu, ia dipandang sebagai suatu entitas yang maknanya telah ada sebelum eksistensinya, pemaknaan atas diri menjadi suatu yang final. Dalam artian bukan tentang apa yang ia lakukan, bukan tentang apa yang ia kreasikan melainkan suatu kodrat yang telah terberi sebelum tindakannya. Hal ini merupakan naturalisasi gender. Gender seakan tidak diragukan lagi kebenarannya, karena dipandang sebagai nilai konstan. Padahal jika ditelusuri secara mendalam seperti pada pemikiran Butler,
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
69
bahwa gender itu sendiri merupakan suatu yang tanpa esensi. Maksudnya adalah bahwa gender hanyalah sebatas ekspresi, yang mana tidak terikat dengan aturan – aturan apapun. Gender merupakan suatu aturan yang dinormalisasikan pada tiap tubuh secara repetitive. Repetisi ini mengaburkan makna. Pada akhirnya normalisasi gender dipandang sebagai hal yang sifatnya mutlak atau nature manusia. Ekpresi tidaklah dapat dikatakan sebagai identitas sesorang. Apa yang penulis lakukan saat ini bukanlah diri saya sendiri. Identias yang melekat pada diri manusia merupakan kompleksitas berbagai aspek. Pertama Identitas hanya dapat muncul ketika subjek berhadapan dengan yang lain. Atau dengan kata lain manusia membutuhkan dan mendapatkan identitasnya ketika berhadapan dengan masyarakatnya. Dalam hal ini teori Foucault telah menjelaskan bagaimana subjek digagas oleh struktur masyarakat. Fokus Foucault adalah kekuasaan yang bergerak di dalam masyarakat, suatu struktur, sistem hukum, nilai, standart normal, regulasi, dan pendisiplinan membentuk subjek. Dalam penjelasannya tentang pendisiplinan kategori normal dan abnormal menjadi suatu diskursus yang terus dihidupi. Kuasa beredar di dalamnya. Kategori tersebut menjadi patron bagi tindakan tiap orang. Dalam teori Foucault porsi subjek sangat minim. Iaberfokus pada struktur yang mengatasi subjek. Identitas pada pemikiran Freud berlandaskan ketubuhan dan struktur kejiawaan manusia, bahwa identitas dipandang sebagai suatu yang sifatnya kodrati. Tanpa melihat situasi dan kondisi yang berbeda. Freud menguniversalkan subjek dan identitasnya. Freud melihat pembentukan subjek dari segi individu dan tidak melihat relasi politik di dalam identitas dan menganggap bahwa gender adalah suatu yang pra-diskursif. Sedangkan
Simone
de
Beauvoir
menyuarakan
tentang
identitas
eksistensial. Dalam arti bahwa identitas itu bukan suatu yang terberi namun bentukan. Ia telah melihat bahwa ada suatu kekuatan yang membentuk manusia sebagai subjek. Simone de Beauvoir menawarkan porsi yang besar bagi kesadaran dan kebebasan untuk mengambil alih pemknaan atas diri, melawan batasan – batasan dalam masyarakat dan menjadi otentik.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
70
Ketiga teori tersebut menjelaskan pembentukan identitas melalui fokus yang berbeda. Freud dengan struktur kesadaran. Foucault dengan Struktur masyarakat, dan Simone de Beuvir dengan otentisitas subjek. Akhirnya Butler merangkumkan subjek dan identitas dalam perjumpaan ketiga kategori sebelumnya. Subjek dipandang sebagai kesatuan makna. Ia tidak terlepas dari struktur namun tidak berarti ia menjadi tawanan struktur. Bahwa untuk menjadi subjek dan mendapatkan identitas, sesorang harus terlebih dahulu menjadi bagian dari masyarakat. Ada kesamaan dan perbedaan yang di share ke dalam masyarakat yang mana kategori itu menuntut suatu rekognisi. Butler melihat bahwa identitas adalah suatu pemaknaan yang bergerak. Ketegangan anatara subjek dengan yang lainnya. Upaya untuk mendapat afirmasi dan menjadi diri yang berbeda. Butler melihat bahwa identitas manusia tidak hanya dikonstruksi oleh struktur. Tapi subjek juga memiliki kapabilitas untuk mengkonstruksi identitasnya. Berbeda dengan pemikiran strukturalis seperti Foucault yang menyatakan bahwa subjek itu dibangun oleh struktur sosial, dan terkesan sanagat pesimis dalam melihat subjek, sedangkan Butler mengangkat posibilitas subjek. Ia melihat bahwa individu dapat bergerak di dalam struktur. Dengan kata lain struktur merupakan suatu aspek dalam kehidupan manusia yang tidak terpisahkan, namun demikian tiap individu memiliki nuansa eksistensialisnya. Individu memiliki kehendak, kesadaran dan kebebasan yang membuat ia menjadi pemaknaan yang terbuka. Secara khusus, perempuan juga merupakan subjek yang mampu membangun makna dirinya. Butler menolak pemaknaan seks dan gender yang seringkali tampil sebagai suatu kebenaran tunggal yang mengikat manusia. Melalui otoritas hukum nilai – nilai masyarakat dipaksakan pada tiap individu. Reward and punishment menjadi sarana regulasi suatu kekuasaan. Pada kondisi demikian Butler mengatakan bahwa tidak selamanya kita harus tunduk di bawah payung norma masyarakat. Ia melihat bahwa tidak ada kebenaran tunggal. Apa yang dianggap benar di dalam masyarakat merupakan suatu konsensus yang merupakan hasil pemaknaan suatu kebudayaan dalam rentang ruang dan waktu tertentu.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
71
Bahasa sebagai struktur yang mestruktur tidak pernah menjadi suatu yang bebas nilai. Bahwa tiap manusia yang terlempar ke dunia telah masuk ke dalam semesta bahasa yang menstruktur tiap diri. Melalui bahasa, melalui tuturan dan tindakan tiap manusia dibentuk. Manusia yang lahir ke dunia setelah mendapatkan label perempuan dan laki – laki serta merta telah mendapat pemaknaan kultural. Ia telah menanggung peran sosial yang diharapkan masyarakat untuk dijalankan olehnya semasa hidup. Keluarga sebagai unit terkecil adalah unit pertama yang menanamkan peran gender tersebut, Identitas gender yang awalnya hanya repetisi dari performative act menjadi identitas itu sendiri. Internalisasi yang terus menerus ini pada akhirnya menghilangkan kesdaran subjek. Kesadaran dalam artian ia hanya melakukan gerak mekanis saja, karena telah dibiasakan atau diregulasi oleh budaya. Akhirnya subjek berhenti mempertanyakan atau tidak berani keluar dari batasan masyarakat. 5.2 Refleksi Kritis Identitas adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Karena manusia hidup di dalam dimensi sosial yang mau tidak mau membuat ia harus bergelut dengan berbagai identitas yang menandakan keberadaannya. Identitas seperti semacam pentatoan dari masyarakat kepada tubuh individu. Relasi dengan masyarakat membuat tiap individu dimasukan ke dalam kelompok – kelompok tertentu. Misalnya pada identitas perempuan, semua individu dengan kelamin vagina disebut sebagai perempuan. Dalam identitas yang berkaitan dengan kehidupan politik manusia, seringkali yang ditekankan adalah persamaan. Struktur secara mekanik menggiring individu untuk terus memelihara kesamaannya dengan kelompok agar dipandang normal dan sama. Perbedaan seringkali dipandang sebagai suatu yang harus dihilangkan, atau momok yang meresahkan. Kerangka pikir seperti inilah yang sering kali menjadi landasan memariginalkan sesuatu yang berbeda. Laki – laki yang memandang perempuan sebagai the other kemudian melakukan opresi. Perempuan dari ras yang berbeda memandang perempuan dari ras lainnya sebagai the other dan melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk, yang paling sering adalah kekerasan simbolik. Begitu mekanisme dominasi terus berlangsung di dalam kehidupan politik
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
72
manusia, bahwa the other seringkali dipandang sebagai hama yang perlu dibasmi. Kelompok superior selalu berupaya menekan ruang gerak kelompok inferior dengan tujuan menjaga kelangsungan kekuasaannya. Kekuasaan dapat dilihat dalam artian yang luas, pengaruh, posisi dalam masyarakat dan lain sebagainya. Seperti argument Butler bahwa tubuh adalah keberadaan yang sangat rentan terhadap kekerasan. Tubuh menentukan bagaimana kita diperlakukan. Tubuh laki – laki dan tubuh perempuan menentukan identitas individu. Tubuh berkelamin ini menentukan cara tiap orang dipandang, dituturkan dan diperlakukan. Secara implisit masyarakat mengesensikan tiap tubuh. Bahwa tubuh mendapatkan nilai – nilai universalnya. Tubuh menjadi suatu keberadaan yang nilai dan fungsinya telah ditetapkan oleh struktur. Adalah suatu yang tabu untuk mempertanyakan pendasaran nilai tersebut, terlebih untuk melawannya. Inti permasalahannya adalah ketika pemaknaan terhadap tubuh berevolusi menjadi suatu ideologi yang akhirnya merepresi manusia. Pemaknaan atas tubuh bukan sekedar pemaknaan, namun berubah menjadi paham, berubah menjadi kebenaran tunggal. Tubuh telah terhimpit dalam hukum dan norma budaya, otoritas pemilik tubuh direduksi sedapat mungkin. Tidak jarang tubuh benar – benar menjadi milik sosial dan kehilangan nuansa individualnya. Seperti halnya perempuan. Bahwa di dalam masyarakat masih sering kita jumpai ketidak adilan terhadap individu dikarenakan jenis kelaminnya. Karena jenis kelaminnya, maka tindakannya dibatasi. Karena jenis kelaminnya maka pilihannya dibatasi. Singkatnya perbedaan seringkali dijadikan alasan unuk menindas yang lain. Pemikiran Butler mengangkat tentang pluralitas dan keunikan tiap individu. Dibalik kesamaan yang ada tersimpan sisi keunikan pada tiap individu. Begitupula dalam diri perempuan. Mengenai identitasnya merupakan pertemuan antara kesamaannya dan perbedaannya. Identitas yang dilabelkan pada diri perempuan didasari oleh persamaannya, namun disisi lain tiap perempuan sebagai individu memiliki diri yang berbeda. Keunikan bukanlah suatu yang salah. Keunikan lahir dari situasi, kondisi dan pengalaman yang berbeda. Yang mana pluralitas ini adalah potensi yang baik bila diberikan ruang untuk bertumbuh.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
73
Manusia hidup diantara ketegangan, dalam artian ia berada diantara identitas sosial dan identitas eksistensialis. Ia menjadi dirinya karena ia memiliki kesamaan dengan kelompok masyarakatnya, yang memberikan legitimasi kediriian, namun disisi lain ia menjadi dirinya, karena ia otentik, dalam artian ada sisi dalam diri tiap manusia yang menjadikannya tidak tergantikan atau tidak dapat direplikasi. Bahwa kesadaran akan perbedaanya membuat individu melawan kelompok sosialnya. Dalam artian ia tidak menjadi subjek yang sepenuhnya tunduk dibawah standart normal masyarakat. Ia tidak selalu menampilkan kesamaannya di dalam masyarakat. Dorongan untuk menjadi berbeda seringkali muncul dari dalam diri individu yang terkadang ketika direalisasikan menjadi bumerang bagi dirinya. Ketika masyarakat tidak menerima perbedaan tersebut dan memberi label dan sejumlah sanksi. Ketika perempuan mencoba mengaktualisasikan dirinya, mengambil porsi yang lebih besar atas pemaknaan dirinya, sering kali hal tersebut sulit diterima masyarakat. Masyarakat terbiasa dengan pola, bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang menigkuti standart yang ada di dalam masyarakat tersebut. Manusia sepanjang hidupnya bergerak dalam dua ranah tersebut, share sameness dan diference kepada masyarakat. Dengan tujuan bahwa ia tetap dapat menjadi bagian dari masyarakat dengan segala perbedaannya namun tetap direkognisi dan tidak dimariginalkan. Butler menolak universalisme, atau pandangan yang melihat segala sesuatu direduksi pada esensinya. Ia juga mengkritik teori – teori feminis yang berlandaskan esensialisme. Dalam artian gerakan feminis yang menguniversalkan problem dan perjuangan perempuan. Utopis feminis yang memperjuangkan suatu tujuan untuk seluruh perempuan di dunia. Kenyataannya hal itu tidaklah mungkin. Ketika perempuan di universalkan maka implikasinya adalah penindasan dalam warna yang berbeda. Perempuan menindas sesama perempuan. Atas nama perbedaan negara, ras, status ekonomi, hasrat seksual dan berbagai kategori lainnya. Akhirnya ketika perbedaan terus ditekan dan dihilangkan hanya menimbulkan kekerasan bagi mereka yang dipandang sebagai yang lain. Pada realitasnya tiap perempuan memiliki pengalaman yang berbeda – beda. Maka
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
74
apapun pilihan perempuan untuk menyatakan dirinya jika berlandasakan pemikiran Butler merupakan tindakan yang diperbolehkan. Tiap perempuan boleh berekspresi sesuai kesadarannya untuk merepresentasikan apa yang ia rasakan dan pikirkan. Identitas gender menggunakan kerangka esensialisme. Maksudnya ketika sesorang dilabelkan dengan identitas gender tertentu, ia dipandang sebagai suatu entitas yang maknanya telah ada sebelum eksistensinya. Seseorang yang lahir dengan vagina secara otomatis membawa nilai feminimitas. Kerangka berpikir demikian bertentangan dengan eksistensialisme. Esensi mendahului eksistensi. Seorang manusia telah disarikan dalam nilai dan kualitas tertentu yang tidak bersumber dari kesadarannya. Ketika manusia lahir ke dunia untuk pertama kalinya, ia telah mengada dalam ruang dan waktu, ia telah terlempar di dalam suatu budaya. Ia serta merta di labeli dengan berbagai kategori yang ia sendiri tidak memahaminya. Manusia menjadi mahluk yang eksis atau mengada dalam pandangan eksistensialisme adalah saat ia menyadari tentang kediriaanya, ketika ia menyadari tentang kebebasannya, dan melakukan pilihan. Singkatnya identitas gender ini telah mereduksi individualitas sesorang. Seseorang telah dimaknai sebelum ia berbuat sesuatu. Identitas gender pada akhirnya bukanlah suatu kategori yang sifatnya stabil. Identitas gender merupakan suatu kontigensi yang rentan terhadap waktu. Identitas gender yang merupakan repetisi tindakan terhadap tubuh, dimana tubuh dimasukkan di dalam suatu kerangka yang rigid. Gender adalah tentang aturan, bagaimana tubuh dicitrakan. Gender seperti sebuah ilusi atau ideal tentang tubuh. Dengan demikian pengaruh budaya sangat kental di dalam pemaknaan gender. Gender menjadi hal yang esensial di dalam mayarakat karena naturalisai. Ilusi bahwa gender merupakan suatu hal yang terberi dan tidak dapat diubah. Gender dinaturalisasikan melalui term seks. Seakan-akan identias gender adalah suatu yang inheren di dalam fakta biologis seseorang. Dengan kata lain status ontologis tubuh dan status kultural tubuh menjadi hal yang tersamarkan. Fakta tentang eksistensi dan faktisitas tubuh memang ada, namun ia tidak serta merta dapat ditarik esensinya. Esensi dari tubuh itu sendiri adalah bagaimana sang pemilik
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
75
tubuh mengaktualisasikannya dalam perjumpaannya dengan masyarakatnya dan yang lain. Politik identitas yang ditawarkan Judith Butler adalah rekognisi, bahwa pluralitas sebagai suatu fakta yang tidak dapat dielakkan. Pluralitas merupakan faktor yang inheren di dalam diri tiap manusia. Maka perbedaan antara perempuan dan laki – laki bukanlah suatu hal yang dapat dijadikan sebagai landasan menindas yang lain. Pertemuan perbedaan – perbedaan tersebut di dalam kebudayaan harus diterima dan dihargai. Proyek Butler adalah penghargaan atas pluralitas, penolakan atas esensialisme dan pelabelan terhadap individu. Karena pada dasarnya perbedaan itu merupakan hal yang sanagat penting di dalam masyarakat.
Melalui
perbedaan
individualitas
dapat
dipahami.
Karena
individualitas sesorang tidak dirujuk atas dasar kesamaannya dengan yang lain melainkan berdasarkan aspek yang membedakannya dengan individu lain. Jika Simone de Beauvoir melihat bahwa semua perempuan harus menjadi otonom dengan melawan determinisme peran seperti menikah atau memiliki anak. Butler dengan teori postmodernnya tidak memandang demikian. Apapun pilihan individu menjadi baik selagi ia memilih berdasarkan kesadaran dan kebebasannya, tanpa dikungkung oleh ketakutan atas nilai dalam masyarakat. Hal ini juga berarti bahwa kita tidak harus melawan nilai di dalam masyarakat jika nilai tersebut tidak benertentangan dengan kedirian kita. Yang harus dilawan adalah penidasan dan ketidak adilan. Dalam artian bila suatu aturan di dalam masyarakat menyudutkan dan tidak memberikan perempuan suatu pilihan. Di dalam kebudayaan patriarki tubuh dan kejiwaan perempuan dipandang sebagai the other.1Inilah yang menjadi landasan penindasan karena jika standart subjek utama adalah laki – laki, ketika perempuan tidak memiliki kualitas tersebut maka ia menjadi subjek yang tidak penuh. Kerangka pikir yang demikian yang hendak diminimalisir oleh Butler. Bahwa ketika kita menemukan perbedaan itu tidak berarti kesalahan atau kekurangan. 1
Melihat dari teori Sigmund Freud dan banyak teori tentang manusia yang berorientasi pada laki – laki sebagai subjek. Yang mana nilai dari pengalaman laki – laki diuniversalkan pada mperempuan .
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
76
On being diference adalah suatu keharusan. Dalam artian bahwa manusia bergerak berdasarkan kesadarannya, dan kecenderungannya untuk menjadi manusia yang otentik. Ia mengada di dalam spasio temporal yang mana ia dapat melawan arus besar disekitarnya atau mengikuti namun karena berkesesuaian dengan tujuannya, bukan menjadi manusia yang sekedar mengada tanpa melakukan refleksi. Kategori yang lain merupakan kategori yang serigkali mendapat kekerasan di dalam masyarakat. Karena suatu pelabelan maka sesorang mendapat perlakuan yang merugikan. Hal ini perlu ditanamkan dalam masyarakat bahwa perbedaan atau yang berbeda bukanlah suatu penyakit melainkan suatu keunikan. Bahwa dalam tiap diri ada keunikan, dengan demikian siapapun berhak mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan dirinya. Tiap orang berhak atas pemknaan dirinya dan otonomi atas tubuhnya. The other bukan keberadaan yang perlu di jadikan musuh. The other merupakan bagian dari diri. Dalam artian subjek menemukan indiviualismenya dalam perjumpaan dengan yang lain. Seperti juga pada teori pembentukan subjek Freud bahwa subjek tidak pernah menjadi subjek yang murni. Di dalam diri ada the other. 5.3 Saran Pemahaman atas identitas perempuan sebagai identitas universal merupakan potensi penindasan. Penguniversalan akan menutup ruang atas perbedaan. Pada akhirnya perbedaan dipandang sebagai kesalahan. Kesadaran dan toleransi atas perbedaan harus diaplikasikan dalam diri subjek. Dengan pemahaman identitas sebagai kategori yang particular, maka rekognisi menjadi dimungkinkan. Perempuan sebagai subjek, memilik kemampuan untuk mengubah keadaannya. Dengan kesadaran akan otonomi diri, kebebasan, dan independensi perempuan mampu menentukan pemaknaan atas dirinya. Perempuan sebagai mahluk yang terlahir sebagai manusia memiliki kemampuan yang sama dengan laki – laki dalam artian ia mampu memberi pengaruh bagi lingkup terkecil hingga yangterbesar. Pada dasarnya masyarakat seperti organis, Dalam artian ada
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
77
keterhubungan antara yang satu dengan yang lain. Jadi ketika seorang perempuan menempuh kehidupan berlandaskan kesadaran ia telah merubah dunianya. Perempuan yang hidup dengan kesadaran akan membangun dunia yang humanis, tidak hanya bagi dirinya, tapi juga untuk orang lain disekitarnya.Karena perempuan merupakan bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Bahawa seorang perempuan yang berkesadaran secara langsung telah memberi pengaruh pada masyarakatnya. Kesadaran untuk memahami diri merupakan faktor penentu dalam memaknai diri. Dengan kesadaran perempuan akan memiliki otonomi atas dirinya dan dapat meminimalisir pengaruh hegemoni di dalam masyarakat. Rekognisi adalah term penting dalam kehidupan sosial. Bahwa hasrat tiap orang adalah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Bahwa untuk menjadi sutu identitas tidak hanya upaya dari sang subjek sebagai pelaku tunggal, namun dibutuhkan afirmasi dari yang lainnya. Melalui rekognisi manusia merasakan totalitas kediriannya. Dengan kata lain masyarakat perlu memahami bahwa perbedaan adalah suatu yang tidak dapat dipungkiri dan memerlukan ruang untuk berproses. Pemikiran tentang kebenaran tunggal. Kategori normal dan abnormal perlu diperiksa lagi.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
78
DAFTAR PUSTAKA Appignanesia, Richard,2003. Introducing Postmodernisme.Cambridge : Icon Books Ltd. Arivia, Gadis, 2003, FilsafatBersfektifFeminis, YayasanJurnalPerempuan,Jakarta. Arivia, Gadis, 2010, Makalah Seri KuliahUmum, Filsafat, Hasrat, Seksdan Simone de Beauvoir. Salihara : Jakarta. Arivia, Gadis, 2006, Feminisme :Sebuah Kata Hati, Kompas, Jakarta. Assiter, Alison. 1996. Enlightened Women. London :Routledge. Beauvoir, Simone de. 2003. The Second Sex. FaktadanMitos. (terjemahan) Surabaya: PustakaPromethea Benhabib.et. al. Feminist Contentions : A Philosophichal Exchange. (New York :Routledge,1995) Bertens, Kees.2001. Filsafat Barat KontemporerPrancis. Jakarta :Gramedia. Butler, Judith .1993. Bodies that Matter.On the Discursive Limits of Sex, London:Routledge. Butler, Judith . 1999. Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, London: Routledge. Butler, Judith . 1986 Yale French Studies, No. 72, Simone de Beauvoir: Witness to a Century. Butler, Judith. 1987. Subjects of Desire: Hegelian Reflections in TwentiethCentury France. Butler, Judith. 1989. The Journal of Philosophy, Vol. 86, no 11, Eighty-sixth Annual Meeting America Philosophical Association, Eastern Division. Butler, Judith. 1988.
Theatre Journal, Vol 40, No. 4.Performative Acts and
Gender Constitution : An Essay in Phenomenology and Feminist Theory. Given, Lisa M. 2008.The Sage Encyclopedia of QwalitattiveReaserch Method.California : Sage Publication LTD.
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
79
Hardiman, F.Budi. FilsafatModern.GramediaPustaka Utama.2007.Jakarta. Jenkins, Richard, Pierre Bourdieu, London & New York, Routledge, 1992. Kirsten Campbell. , 2001. International Journal of Sexuality and Gender Studies, Vol. 6, Nos. ½ Lubis, Akhyar Yusuf, 2003, Setelah Kebenaran dan Kepastian DihancurkanMasihAdakahTempatBerpijakBagiIlmuwan, Akademia, Bogor. Mahowald,Mary Briody. 1994. The Philosophy of woman : classical to current concepts.Indianapolis. Salih, sara. 2002. Judith Butler. London :Routledge. Osborne, Richard. 1998. Freud for Beginers. New York :Vilage Station. Pilcher, Jane & Imelda Whelehan. 2004. 50 Concepts in Gender Studies. London :Sage Publication Ltd. Tong, Putnam R. 1998.Feminist Thought, Jala Sutra, Yogyakarta. Zalewski.Marysia. 2000. Feminism After Postmodernism Theorising Trough Practise. London :Routledge. http://www.indoforum.org/blogs/u35927-e74// (posted: 31/3/2012. 6:32 pm) http://emedicine.medscape.com/article/917990-overview/
(posted:
31/3/2012.
6:32 pm) http://www.scribd.com/doc/16377495/Sinopsis-Judit-Butler (diakses : 10 – 4 2012,pukul :22:30) http://filsafat.kompasiana.com/2012/02/04/iklan-dan-pembebasan-tubuhperempuan-sebuah-usaha-humanisasi-menurut-pemikiran-simone-de-beauvoir/ (diakses : 10 – 4 -2012,pukul :22:25)
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012
80
http://sarasdewi.blog.com/2011/05/26/menggugat-normalitas/(posted:15/4/2012. 6:32 pm) http://www.cla.purdue.edu/english/theory/genderandsex/modules/butlerperformati vity.html/ (posted: 31/3/2012. 6:32 pm)
Universitas Indonesia Identitas perempuan..., Abby Gina Boangmanalu, FIB UI, 2012