UNIVERSITAS INDONESIA
BENTURAN KEPENTINGAN ANTARA PEMERINTAH DENGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN MENARA BERSAMA TELEKOMUNIKASI
TESIS
BIMO TEDJO LAKSITO NPM: 0706174543
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
FAKULTAS HUKUM MAGISTER HUKUM EKONOMI SALEMBA, JAKARTA JANUARI 2011
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.
Nama
: Bimo Tedjo Laksito.
NPM
: 0706174543
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 7 Januari 2011
2
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh
:
Nama NPM Program Judul Tesis
: : : :
Bimo Tedjo Laksito. 0706174543 Magister Hukum Ekonomi Benturan Kepentingan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Menara Bersama Telekomunikasi
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Dr. Edmon Makarim, S. Kom, S.H., LL.M.
(
)
(
)
(
)
(Pembimbing/ Penguji)
Abdul Salam, S.H., M.H. (Ketua Sidang/ Penguji)
Brian Amy Prasetyo, S.H., LL.M. (Penguji)
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 7 Januari 2011
3
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syakur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, berkat dan rahmat serta hidayah yang telah diberikanNya, sehingga penulis dapat menyeleseikan tesis yang berjudul “Benturan Kepentingan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Bersama Menara Telekomunikasi”. Meskipun penulis telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala daya upaya yang penulis miliki, namun penulis menyadari sepenuhnya dengan segala keterbatasan yang ada tesis ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis sangat mengharapkan masukan dan saran dari semua pihak demi penyempunaan tesis ini. Bersama ini penulis mohon diperkenankan untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang teramat dalam kepada Bapak Dr. Edmon Makarim SH., L.LM., selaku pembimbing dalam penulisan tesis ini, atas segala bantuan, arahan, bimbingan dan kesabarannya hingga penulis dapat menyeleseikan tesis ini tepat pada waktunya. Juga terima kasih penulis haturkan kepada seluruh dosen pengajar Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia atas curahan ilmu yang telah diberikan kepada penulis, juga terima kasih penulis sampaikan pada jajaran administrasi Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia atas bantuan dan informasi yang sangat penulis butuhkan dalam rangka penyeleseian tesis ini. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada istri tercinta Safarina Kuswardhani atas dukungan semangat, pengertian, doa dan kasih sayangnya. Juga kepada anak-anakku tersayang Putri Raissa Azzahra, Shaka Narendra Ismail dan Audrey Rayyana Aisya, semoga apa yang ayah lakukan ini dapat menjadi inspirasi bagi kalian dalam menuntut ilmu dengan penuh semangat dimana pun, kapan pun tanpa terbatas ruang dan waktu. Terima kasih juga penulis haturkan pada Mama Papa tercinta di Bandung atas dukungan dan doanya yang tak pernah putus, juga kepada Mama mertua di Depok atas segala perhatian dan dukungannya dan juga kepada seluruh keluarga besar di mana pun berada. Juga
4
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
terima kasih kepada sahabat penulis Bapak Teguh Heru Martono atas dorongan semangat yang diberikan agar penulis dapat segera menyeleseikan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada atasan langsung penulis di PT. TELKOM Divisi Access, Bapak Wijonohadi selaku Manager Legal, juga kepada Bapak Amarullah Said selaku Manager Logistik dan Bapak Agus Kristiyono selaku Senior Manager General Support, terima kasih atas dukungan dan pengertian ditengah pedatnya pekerjaan di akhir tahun sehingga penulis dapat segera menyeleseikan tesis ini. Akhirnya terima kasih penulis sampaikan atas dukungan semua pihak yang mungkin terlewatkan disebutkan dalam halaman ini. Sungguh bukan suatu kesengajaan namun semua semata karena keterbatasan penulis sebagai insan biasa. Semua budi baik Bapak/Ibu, Saudara sekalian tidak akan terlupakan. Terima kasih.
Jakarta, Januari 2011
Penulis
5
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, penulis yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Fakultas Jenis Karya
: Bimo Tedjo Laksito. : 0706174543 : Magister Hukum Ekonomi : Hukum : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah penulis yang berjudul: BENTURAN KEPENTINGAN ANTARA PEMERINTAH DENGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN MENARA BERSAMA TELEKOMUNIKASI Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir penulis tanpa meminta ijin dari penulis selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 7 Januari 2011 Yang menyatakan,
(Bimo Tedjo Laksito)
6
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
ABSTRAK Nama Program Judul Tesis
: Bimo Tedjo Laksito. : Magister Hukum Ekonomi : Benturan Kepentingan Antara Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Menara Bersama Telekomunikasi
Tesis ini membahas tentang bagaimana terjadi benturan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Permenkominfo 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan Menara Bersama Telekomunikasi dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 2009-07/PRT/M/2009– 19/PER.MENKOMINFO/03/2009 – 3/P/2009) tentang Pedoman Pedoman dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum Normative (yuridis normatif) yang menekankan penelitian pada telaah kaidah/substansi hukum yang menjadi norma dalam peraturan perundang-undangan. Dalam tesis ini ditemukan bahwa permasalahan menara bersama telekomunikasi terkait dengan aspek-aspek lain seperti penerapan prinsip fasilities sharing di industri telekomunikasi yang telah menjadi isu global dan telah diterapkan dibeberapa negara. Sedangkan dari aspek hukum, nuansa otonomi daerah sangat kental mengingat peran pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak implementasi pengaturan menara telekomunikasi. Dalam nuansa otonomi daerah ini yang menonjol adalah perizinan yang kemudian terkait dengan retribusi perizinan. Hal lain yang dirasa menjadi permasalahan penting adalah kedudukan peraturan bersama menteri yang menjadi dasar bagi pengaturan menara bersama di rasa kurang memadai mengingat kedudukannya dalam tata urutan perundangundangan di Indonesia. Disamping itu aspek persaingan usaha juga menjadi isu yang penting.untuk dibahas. Akhirnya tesis ini ditutup dengan kesimpulan dan beberapa saran untuk pelaksanaan penaturan menara telekomunikasi ke depan. Kata kunci: Facilities Sharing, Menara Telekomunikasi, Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
7
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Bimo Tedjo Laksito : Magister of Economic Law : Conflict of Interest Between the Government of The Local Government in setting the Joint Telecommunications Tower
This thesis discusses how the conflict of authority between the government and local governments in the implementation of the Guideline Development 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 Permenkominfo Joint Telecommunication Tower and the Joint Regulation of the Minister of Home Affairs, Minister of Public Works, Ministry of Communications and Information Technology and chief Investment Coordinating Board (No. 18 of 2009-07/PRT/M/200919/PER.MENKOMINFO/03/2009 - 3/P/2009) on Guidelines and Guidelines for Joint Use of Telecommunication Tower. The method used in this thesis is a normative legal research methods (normative), which emphasizes research on the study of rules / legal substance that became the norm in the legislation. In this thesis found that problems related to the telecommunications tower together with other aspects such as application of the principle of sharing fasilities in the telecommunications industry that has become a global issue and has been implemented in several countries. While the legal aspects, the nuances of regional autonomy is very strong considering the role of local government to spearhead the implementation of regulation of telecommunication towers. In the nuances of regional autonomy that stand out are the licensing and permitting fees associated with. Another thing that is felt to be an important issue is the status of joint ministerial regulations which became the basis for setting the tower along with the sense of lack of appropriate, considering its position in the sort order legislation in Indonesia. Besides that aspect of business competition issues penting.untuk also be discussed. Finally, this thesis concludes with a summary and some suggestions for the implementation of the regulation of telecommunications towers in the future. Key words: Sharing Facilities, Telecommunication Tower, Government and Local Government Authority.
8
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
vi
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….
1
B. Perumusan Masalah ………………………………………………………. 10 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………
11
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….....
11
E. Kerangka Teori dan Konsep ……………………………………………..
11
E.1 Kerangka Teori ……………………………………………………...
11
a. b.
Fungsi Pemerintah sebagai Penyelenggaran Administrasi Negara dalam Negara Kesejahteraan (Welfare State) ................
11
Teori Hukum Persaingan Usaha .............................................
13
E.2 Kerangka Konseptual ....................................................................
15
a.
Konvergensi Telekomunikasi ..................................................
15
b.
Sharing Infrastruktur …………………………………………..... 16
c.
Kepentingan Umum ……………………………………………... 17
d.
Pelayanan Publik ………………………………………………... 18
e.
Kebijakan Publik ………………………………………………... 18
F. Metode Penelitian ……………………………………………………….... 19 G. Sistematika Penelitian ………………………………………................... BAB II KONSEPSI UMUM TELEKOMUNIKASI GLOBAL TENTANG FACILITIES SHARING ................................................ A. Peranan Pemerintah Sebagai Penyelenggara
9
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
20
21
Administrasi Layanan Telekomunikasi ...................................................
22
1.
22
Pemerintah Sebagai Penyelenggara Administrasi Negara ..................
2. Telekomunikasi Sebagai Layanan Publik ......................................... 2.1. Public Trust Doctrine .............................................................
B. Facilities Sharing Pada Layanan Telekomunikasi Bergerak .....................
27 29
31
Facilities Sharing dalam International Telecommunication Union (ITU) Recommendation ..............................................................
32
C. Facilities Sharing di Beberapa Negara ...................................................
34
D. Ketentuan Facilities Sharing di Indonesia ..............................................
38
BAB III ANALISA PERMASALAHAN PENGATURAN MENARA BERSAMA TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA ........................ 45 A. Analisis Pelayanan Publik dan Perlindungan Konsumen dalam Pengaturan Menara Bersama Telekomunikasi ............................... B. Analisis Permasalahan Tata Ruang ........................................................
45 54
B.1. Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama oleh Pemerintah Daerah ...............................................................
61
C. Analisis Persaingan Usaha ...................................................................
67
D. Analisis Retribusi Perizinan dan Pendapatan Daerah ...............................
72
E. Bentuk Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama dalam Hirarki Perundang-undangan .........................................
77
1.
Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia ……………….....…. 77
2.
Perbedaan dan Persamaan Peraturan Dengan Keputusan .................
3.
Kedudukan Peraturan Menteri Dalam
4.
83
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 .........................................
87
Bentuk Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama .....................
98
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................................
106
B. Saran ..................................................................................................
108
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….….113
10
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi
yang sangat cepat dan dinamis telah menciptakan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi di seluruh dunia. Di Indonesia, perjalanan pembangunan
dan
penyelenggaraan
telekomunikasi,
telah
menunjukkan
peningkatan peran dan kedudukan yang penting dan strategis dalam menunjang kegiatan perekonomian. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh cepatnya perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi sehingga mendorong terjadinya perubahan mendasar pada cara pandang industri telekomunikasi. Selain itu, kondisi tersebut juga didorong oleh kebutuhan manusia akan telekomunikasi yang semakin kompleks. Hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dihindari karena berkaitan dengan paradigma masyarakat yang juga terus berkembang mengenai telekomunikasi itu sendiri. Jika pada masa-masa sebelum ini masyarakat memandang penyampaian informasi utama adalah melalui voice, maka ke depannya terdapat tanda-tanda bahwa informasi dengan bentuk lain akan semakin dominan menjadi substitusi komunikasi voice. Penyampaian informasi lain tersebut dapat berbentuk komunikasi data, teks, gambar, video dan lain-lain. Hal ini tidak lain karena komunikasi voice saja tidak bisa mengakomodir tuntutan masyarakat akan kecepatan, keakuratan, dan kompleksitas. Sebagai komponen utama dalam pembangunan, paradigma masyarakat hendaknya menjadi perhatian utama bagi para stakeholder dalam industri telekomunikasi dalam mengelola sektor telekomunikasi nasional. Perkembangan teknologi ini juga menghadirkan tantangan tersendiri bagi pelaku usaha. Penyelenggara jaringan dan layanan ingin mempertahankan pendapatan karena dengan cara konvensional revenue mereka bisa turun.
11
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Para pelaku usaha dalam industri telekomunikasi juga ingin mengurangi biaya operasi maupun belanja modal serta menghemat beban-beban lainnya dengan memanfaatkan teknologi baru serta menghadirkan layanan baru. Hal ini juga didorong oleh meningkatnya kompetisi. Tantangan efisiensi di atas juga dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran yang disebut sebagai konvergensi. Perkembangan teknologi yang sangat cepat menimbulkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan teknologi informasi yang dikenal dengan ICT (information and communication technology) atau
telematika.
Negara-negara
berkembang
lain
yang
belum
mampu
mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi secara komprehensif semakin tertinggal jauh. Kondisi demikian sering dinamakan kesenjangan digital (digital divide). Ada dua kelompok besar konvergensi yang berdampak sangat besar, yaitu konvergensi layanan yang merupakan tuntutan perubahan sosial dan gaya hidup serta konvergensi jaringan yang merupakan tuntutan dinamika industri layanan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dalam
era
konvergensi
struktur
penyelenggara
telekomunikasi
dikembangkan menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah penyelenggara jaringan
dan
yang
kedua
adalah
penyelenggara
jasa
telekomunikasi.
Penyelenggara jaringan dibagi lagi menjadi dua macam yaitu network facility provider (NFP) yaitu penyelenggara penunjang fisik/infrastruktur jaringan telekomunikasi seperti penyelenggara menara dan network service provider (NSP) yaitu penyelenggara layanan jaringan telekomunikasi dan internet. Penyelenggara jasa telekomunikasi juga dibagi menjadi dua macam yaitu application service provider (ASP) dan content application service provider (CASP). ASP adalah penyelenggara layanan aplikasi, yang menyediakan media bagi penyelenggara konten (CASP). Dengan pembagian struktur telekomunikasi menjadi empat, yaitu NFP, NSP, ASP, dan CASP maka akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Dilihat dari komposisinya, jumlah penyelenggara jasa akan lebih banyak dibandingkan penyelenggara jaringan, hal ini disebabkan
12
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
karena struktur pemodalan yang besar jika ingin menjadi penyelenggara jaringan, terutama NFP. Untuk pembangunan satu menara saja membutuhkan dana ratusan juta sampai miliaran rupiah. Bandingkan dengan ASP yang hanya membutuhkan software saja. Konvergensi layanan bisa dengan mudah kita dapati pada ponsel-ponsel canggih yang beredar di pasaran saat ini. Dengan ponsel tersebut kita bisa menelpon, mendengarkan musik, memotret, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya hanya bisa dilakukan di komputer. Digitalisasi memungkinkan data yang dihasilkan oleh suatu perangkat bisa diproses oleh perangkat lain. Perkembangan teknologi yang sangat cepat terutama diperlihatkan oleh konvergensi teknologi informasi (TI) dengan telekomunikasi. Kini orang bisa mengakses Internet dari mana-mana. Konvergensi TI dan telekomunikasi mulamula terjadi di level terminal (perangkat penerima) dan di level layanan jaringan secara
terpisah.
Di
level
terminal,
perangkat
ponsel
secara
bertahap
menggabungkan perangkatperangkat lain yang awalnya tidak berhubungan dengan telekomunikasi. Di level jaringan, konvergensi menjadikan jaringan telekomunikasi tidak hanya untuk mengalirkan suara, tetapi juga berbagai jenis data, termasuk untuk akses Internet. Konvergensi terminal dan konvergensi jaringan secara sendirisendiri tidak berlangsung lama. Kedua level ini pun kemudian menjadi konvergen juga. Konvergensi TI dan telekomunikasi telah dan akan memberikan peluangpeluang baru dalam bisnis. Dampak perubahan ke era konvergensi dapat dilihat dari perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan strategi bisnis, dan perubahan regulasi yang menguntungkan pengguna. Gaya hidup masyarakat sekarang sudah tidak dapat lepas dari telepon seluler. Telepon seluler telah menjadi tren gaya hidup. Apalagi telepon seluler yang telah dilengkapi dengan fasilitas internet yang selalu on. Dengan adanya konvergensi maka efisiensi akan tercapai. Satu jaringan dapat digunakan untuk berbagai macam informasi seperti suara, data, gambar, dan video. Tarif yang murah juga akan mendorong masyarakat menjadi semakin
13
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
konsumtif, terutama remaja, karena pasar yang dibidik para operator seluler dan penyelenggara konten kebanyakan adalah remaja. Dalam era konvergensi masyarakat akan menikmati aplikasi tanpa perlu mengetahui pemilik dari infrastrukturnya. sehingga semua pemain (penyiaran dan operator telekomunikasi) bisa menghantarkan konten. Ini akan memicu infrastruktur sharing sehingga munculnya efisiensi. Konvergensi Pembangunan infrasturktur Telekomunikasi ini tentu saja membutuhkan biaya yang mahal sehingga sedikit banyak menjadi kendala bagi industri Telekomunikasi dalam melakukan penetrasi pasar padahal khususnya di Indonesia, harga menjadi salah satu penentu keberhasilan penetrasi pasar dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Banyak strategi untuk menurunkan harga, mulai dari pilihan teknologi hingga kebijakan fiskal, berupa pajak. Salah satu strategi adalah menekan harga dan membuat murah akses adalah sharing, yaitu berbagi dan menggunakannya secara bersama-sama. Kedua, tantangan efisiensi di atas juga dipengaruhi oleh perubahan trend telekomunikasi dari fixed wireline ke wireless
Konvergensi layanan
telekomunikasi memicu munculnya beragam layanan yang tidak mampu diberikan oleh layanan fixed wireline. Akibatnya layanan fixed wireline dari waktu ke waktu semakin surut dengan sendirinya. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi juga menyebabkan berubahnya tren gaya hidup masyarakat pengguna/pelanggan telekomunikasi yang akhirnya berpengaruh pada perilaku masyarakat tersebut dalam berkomunikasi. Di Indonesia pelanggan telekomuikasi terbesar adalah pelanggan telekomunikasi wireless baik seluler maupun fixed wireless acces (FWA). Sedangkan pertumbuhan pelanggan fixed wireline dari waktu ke waktu cenderung berkurang, ini disebabkan Orientasi bisnis komunikasi yang telah bergeser dari wireline ke wireless dikarenakan mahalnya biaya investasi yang dibutuhkan walaupun memiliki memilki performansi yang lebih stabil dibandingkan dengan wireless. Di Indonesia industri mobile station dan internet merupakan penggerak utama dari industri telekomunikasi.
14
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Perubahan
lingkungan
global
dan
perkembangan
teknologi
juga
menyebabkan berubahnya tren gaya hidup masyarakat pengguna/pelanggan telekomunikasi yang akhirnya berpengaruh pada perilaku masyarakat tersebut dalam berkomunikasi. Di Indonesia pelanggan telekomuikasi terbesar adalah pelanggan telekomunikasi wireless baik seluler maupun fixed wireless acces (FWA). Sedangkan pertumbuhan pelanggan fixed wireline dari waktu ke waktu cenderung berkurang, ini disebabkan Orientasi bisnis komunikasi yang telah bergeser dari wireline ke wireless dikarenakan mahalnya biaya investasi yang dibutuhkan walaupun memiliki memilki performansi yang lebih stabil dibandingkan dengan wireless. Di Indonesia industri mobile station dan internet merupakan penggerak utama dari industri telekomunikasi. Tantangan efisiensi ketiga datang dari regulasi telekomunikasi yang semakin berpihak pada kepentingan konsumen. Dalam implementasinya regulator biasanya berpegang pada aturan-aturan hukum persaingan usaha, seperti halnya dalam regulasi telekomunikasi.1 Barry M. Mitnick dalam bukunya ”The Political Economiy Of Regulation“ mengemukakan empat teori kepentingan dalam regulasi hukum di bidang ekonomi, yaitu2 : 1.Customer Protection Theory (kepentingan konsumen); Suatu peraturan dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari suatu produk atau kegiatan konsumen. 2. Industry Protection Theory (kepentingan industri/ pelaku usaha); Suatu peraturan dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan produsen dari suatu produk atau kegiatan. Dalam hal ini industri dan perwakilan atau asosiasianya merupakan pihak yang berusaha membentuk peraturan perundang-undangan. 3. Bureaucratic Behavior Theory (kepentingan birokrasi/ pemerintah); Teori ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (a). Maintanance theory, yang mempertahankan status quo pelayanan birokrasi; (b). Expansion theory, yang merupakan bentuk pelayanan yang terbaik dari birokrasi yaitu dengan memperluas wewenang dan mandat dalam pelayanan. 4. Public Interest Theory (kepentingan publik). 5. Suatu peraturan perundangundangan dibuat untuk memperhatikan atau menjaga keseimbangan dan 1
John Buckley. Telecommunications Regulation. The Institutional of Electrical Engineers, halaman 51. 2 Dr. Inosentius Samsul SH., MH..Materi perkuliahan Hukum Perlindungan Konsumen, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia
15
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
kepentingan
masyarakat
secara
keseluruhan.
Termasuk
dalam
tujuan
pembentukan peraturan adalah tujuan nasional untuk pembangunan wilayah atau bidang tertentu untuk kepentingan masyarakat tertentu. Penelitian Fink, Mattoo, dan Rathindran (2004) menyatakan privatisasi dan persaingan membantu peningkatan kinerja sektor telekomunikasi secara signifikan. Namun perbaikan program secara meluas, termasuk perbaikan kebijakan dan dukungan regulator independen memberikan peningkatan kinerja yang lebih besar. Hal yang perlu diperbaiki yaitu mengenai penetrasi yang lebih rendah jika persaingan terjadi setelah adanya privatisasi dibandingkan jika keduanya terjadi secara bersamaan. Selain itu, faktor teknologi juga memberikan pengaruh yang kuat terhadap kinerja sektor telekomunikasi. Semakin ketatnya persaingan akan mendorong efisiensi alokasi dan efisiensi internal. Perusahaan, pihak swasta atau publik harus berusaha untuk mencapai efisiensi agar dapat bertahan dalam persaingan. Hal tersebut akan mengurangi tekanan monopolistik. Dalam sektor telekomunikasi, regulasi memainkan dua peran. Pertama, jika struktur pasar tidak kompetitif, maka regulasi dapat berfungsi sebagai pengganti
ketidaksempurnaan
persaingan
pada
saat
perusahaan
publik
diprivatisasi. Kedua, karena operator incumbent mengendalikan akses terhadap fasilitas yang esensial, seperti jaringan, maka diperlukan adanya regulasi mengenai akses terhadap jaringan untuk perusahaan baru agar dapat menarik persaingan. Selain
menjamin
terjadinya
persaingan,
tujuan
regulator
dalam
menciptakan rangsangan bagi perusahaan untuk melakukan pengendalian terhadap biaya dan ekspansi jaringan. Jika Regulator dapat mencapai tujuan tersebut, maka dengan adanya privatisasi dan persaingan, produktivitas tenaga kerja dan output agregat telekomunikasi akan meningkat. Jadi Customer benefit diharapkan dapat lahir dari kompetisi pasar.3
3
Op cit., halaman 38
16
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Seperti dikemukakan di atas bahwa pertumbuhan pelanggan wireless yang pesat didorong oleh beberapa aspek diantaranya gaya hidup masyarakat pengguna/pelanggan itu sendiri.
Gaya hidup masyarakat pengguna/pelanggan
telekomunikasi saat ini memilki karakteristik sebagai berikut:4 a. Ketergantungan akan telepon bergerak mulai tinggi; b. Koneksi online mulai populer; c. Mix content on-line dan off-line; d. Contact list pada aplikasi dan perangkat; e. Broadband acces diperkenalkan dan digunakan; f. E-commerce dan e-transaction belum populer.
Sebagai konsekuensi dari semakin pesatnya pembangunan telekomunikasi,
khususnya telekomunikasi nirkabel, semakin meningkat pula pembangunan
infrastruktur prasarana pendukung. Salah satu infrastruktur prasarana pendukung
terpenting dalam teknologi telekomunikasi bergerak (mobile) adalah menara
telekomunikasi. Menara telekomunikasi ini sangat penting peranannya karena
kegunaaannya sebagai tempat untuk meletakkan Base Transceiver Station (BTS).
BTS adalah merupakan perangkat pemancar dan penerima yang memberikan
pelayanan radio kepada Mobile Station (MS) atau pasawat /terminal komunikasi
mobile. Perangkat pengirim dan penerima signal (antena) tersebut harus dipasang tepat dengan area pelanggan yang dilayani. Begitu juga perangkat transmisi pengantar trafik (radio microwave) yang di pasang di atas menara harus terhubung (link) dengan perangkat radio microwave lain di menara yang berbeda. Apabila sudah terhubung, pelanggan dapat menggunakan layanan
percakapan, sms
maupun data.
Pemerintah kemudian menerbitkan suatu kebijakan publik dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/M.KOMINFO/ 3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama 4
Gunawan Wibisono dan Gunawan Dwi Hantoro, Mobile Broadband Tren Teknologi Wireless Saat ini dan Masa Datang. Bandung, Penerbit Informatika 2008. halaman 18.
17
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Telekomunikasi. Dalam perkembangannya pemerintah dalam hal ini Ditjen Postel
juga
melibatkan
Infrastruktur
Departemen
Menara
Pekerjaan
Telekomunikasi,
Umum,
Asosiasi
Pemerintah
Pengembang
Daerah,
operator
telekomunikasi, vendor telekomunikasi merencanakan penyusunan konsep
standarisasi menara telekomunikasi, sehingga kemudian diterbitkanlah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009,
No.07/PRT/M/2009,
Tentang
Pedoman
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
Pembangunan
dan
Penggunaan
No.3/P/2009
Bersama
Menara
Telekomunikasi. Landasan kebijakan tersebut ditengarai merupakan upaya untuk menekan biaya investasi di sektor telekomunikasi. Selain juga dapat menjadi sarana untuk menata ulang alokasi sumber daya di negeri ini dan mendorong agar operator telekomunikasi lebih fokus pada bisnis intinya. Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut memfasilitasi manfaat bagi pemerintah dan operator seluler. Bagi pemerintah, maka manfaatnya adalah :5 •
Hadirnya perusahaan-perusahaan nasional pengelola menara
•
Menekan biaya investasi, sehingga terjadi realokasi biaya ke bagian lain sektor telekomunikasi yang lebih bermanfaat.
•
Menekan biaya operator telekomunikasi sehingga tarif/harga dari operator telekomunikasi menjadi lebih kompetitif
Sedangkan, manfaat kebijakan ini bagi operator seluler adalah :6 •
Mereka dapat lebih fokus pada bisnis inti sebagai operator;
•
Menekan biaya serendah mungkin melalui model outsourcing;
•
Memperoleh kepastian untuk bisa mendapatkan tempat bagi sarana telekomunikasi yang akan digunakannya;
5 6
Web Site Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 5 Februari 2009 Ibid
18
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
•
Tidak terbebani oleh kondisi tidak perlu yang selama ini muncul dalam proses pengelolaan menara.
Alasan paling utama yang mendasar adalah adalah permasalahan biaya dan di
Negara berkembang seperti Indonesia, yaitu :
Pemanfaatan booming infrastruktur mobile tidak hanya untuk voice tetapi
juga broadband;
Kebutuhan jaringan backbone dan backhaul berbasis IP.
Semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan pembangunan
dan pengembangan jaringan dengan mengurangi biaya.
Namun timbul kekhawatiran kebijakan pemerintah tersebut akan mengubah pasar menara menjadi lebih monopolistik, pasalnya peraturan itu menjadi acuan bagi pemerintah daerah (Pemda) terkait dengan undang-undang mengenai otonomi daerah dalam membuat ketentuan soal menara telekomunikasi yang memberikan hak eksklusif pada perusahaan tertentu dalam mengelola menara bersama di daerahnya Berbagai perda tersebut disinyalir syarat dengan kepentingan jangka pendek dan merugikan operator. Karena secara substansi, keberadaan perda itu semangatnya masih berbasis pada bagaimana meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa menghiraukan kepentingan operator, sehingga bila dibiarkan akan menghambat ekspansi akses dan layanan sektor telekomunikasi di daerah.7 Kondisi ini sesuai dengan pengertian monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.8 Selain itu terkait dengan kebijakan investasi asing mengenai dengan boleh/tidaknya keterlibatan pihak asing untuk ikut bermain dalam pembangunan menara. Maka untuk mencapai manfaat optimal atas kebijakan menara bersama tersebut, setidaknya perlu memperhatikan beberapa permasalahan seperti diantaranya penentuan lokasi menara bersama, pemberian masa transisi yang cukup, pemanfaatan menara eksisting, seleksi 7
Abdul Salam Taba. Ketika Iperator Berbagi Menara. www.suarapembaruan.com/News/ 2008/02/29/Editor/edit01.htm 8 Hermansyah, SH., M.Hum., Pokok-pokok Hukum Persaaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, 2008, halaman 3
19
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
pelaku usaha pada titik menara yang belum eksis dan regulasi pengendalian praktek monopoli. Sehubungan dengan hal tersebut untuk menerjemahkan esensi yang terkandung dalam Permen Kominfo No. 2/2008 tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, Departemen Komunikasi dan Informatika bersama tiga instansi lain akan menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang Menara Bersama yang disusun tim perumus dari empat instansi yaitu Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal yang dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal
No.18
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
Tahun
2009,
No.3/P/2009
No.07/PRT/M/2009, Tentang
Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi.
B.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, terdapat tiga permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini khususnya mengenai dampak dari implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/M.KOMINFO/ 3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi terhadap industri telekomunikasi itu sendiri maupun terhadap aspek hukum lainnya yang terkait serta beberapa kasus yang terjadi mengenai pengaturan menara bersama telekomunikasi di beberapa daerah di Indonesia. Dua permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian adalah: 1. Bagaimana ketentuan telekomunikasi global untuk facilities sharing? 2. Bagaimanakah ketentuan dan permasalahan penerapan fasilities sharing untuk menara telekomunikasi bersama di Indonesia?
20
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini
bertujuan: 1.
Untuk menjelaskan bagaimana ketentuan telekomunikasi global
untuk
facilities sharing? 2.
Untuk menjelaskan bagaimanakah ketentun dan permasalahan penerapan fasilities sharing untuk menara telekomunikasi bersama di Indonesia?
D.
Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan
pemahaman berkaitan dengan penerapan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 200907/PRT/M/2009–19/PER.MENKOMINFO/03/2009–3/P/2009) tentang Pedoman Pedoman dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi.terhadap industri telekomunikasi itu sendiri maupun terhadap aspek hukum lainnya yang terkait. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan kepada pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perkembangan pengaturan menara telekomunikasi kedepan di Indonesia.
E.
Kerangka Teori dan Konsep E.1
Kerangka Teori
a.
Fungsi Pemerintah sebagai Penyelenggaran Administrasi Negara dalam Negara Kesejahteraan (Welfare State) Seiring dengan perkembangan evolusi negara dari bentuk negara
penjaga malam (nightwatcher state), negara kesejahtaraan (welfare state) sampai dengan bentukj negara madani (national wealth creation), telah berkembang pemikiran untuk lebih menhefisienkan sistem pemerintahan (reinventing government), tidak hanya dengan merampingkan birokrasi,
21
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
melainkan juga dengan memberikan ruang dan perann yang lebih luas kepada masyarakat dan pelaku usaha untuk menmjalankan kepentingan umum. Seirama dengan itu, fokus perhatian dan lingkup kajian hukum administrasi negara pun juga tengah berkembang, yang semula sangat terfokus kepada peran intitusional kepemerintahan (institutional approach) menjadi peran fungsional (functional approach) yang, menjalankan fungsi kepemerintahan dalam menjalankan kepentingan umum dan melakukan kewajiban pelayanan publik (public services).9 Fungsi pemerintah sebagai penguasa dalam negara hukum modern telah meninggalkan fungsi klasik pemerintahan dalam arti sempit yang hanya bertugas untuk melaksanakan undang-undang (fungsi aksekutif saja).
Menurut Geelgoed dalam Hirsch Ballin (1991:77) fungsi
pemerintah sebgai pengasa meliputi: 1) Fungsi Pengaturan, dalam liberale rechtsstaat menjadi hal yang utama. 2) Fungsi
Penyelesaian
Sengketa,
menyelesaikan
pertentangan
kepentingan anatara kelompok-kelompok masyarakat. 3) Fungsi Pembangunan dan Pengaturan, pengaturan perekonomian melalui stimulasi untuk berinvestasi. 4) Fungsi
Penyediaan
Barang-barang
Publik
dan
Barang-barang
individual.10 Sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam negara hukum modern. Huges (1994:104) menyebutkan 7 fungsi pemerintah, yaitu: 1) Providing economic infrastructure; 2) Provision of various collective goods & service; 3) The resolution and adjustment of group conflicts; 4) The maintenance of competition;
9
Rosa Agustina. Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana 2003. 10 W. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, halaman 11
22
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
5) Protection of natural resources; 6) Provision for minimum access by individual to the goods and service of economy; 7) Stabilitation of the economy. b.
Teori Hukum Persaingan Usaha Pengertian
praktik monopoli dalam Undang-undang Nomor 5.
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk : 1) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; 2) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; 3) mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan 4) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negaranegara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan
23
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency) . Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999. Efisiensi berhubungan dengan penggunaan sumber daya, baik hari ini dan masa yang akan datang. Produksi yang efisien hari ini, berarti manusia, mesin, bahan mentah dan bahan lainnya dipergunakan untuk memproduksi output terbesar yang bisa mereka hasilkan. Input tidak dipergunakan secara percuma atau sia-sia. Efisiensi hari ini juga berarti bahwa produk dan jasa yang diproduksi adalah barang dan jasa yang dinilai paling tinggi oleh konsumen dimana pilihan mereka tidak terdistorsi. Efisiensi pada masa yang akan datang didapat dan dari insentif untuk inovasi yang menghasilkan peningkatan produk dan jasa maupun perbaikan dalam proses produksinya dimasa depan. Meningkatnya produksi dengan harga yang rendah, sebagaimana juga inovasi yang menghasilkan produk baru dan jasa yang lebih baik dimasa depan, akan meningkatkan surplus total. Relevansi pertimbangan efisiensi bagi kebijakan kompetisi adalah bahwa penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dengan kata lain, akan mengakibatkan harga tinggi, output rendah, kurangnya inovasi dan pemborosan penggunaan sumber daya. Bila perusahaan bersaing satu sama lain untuk mengidentifikasikan kebutuhan konsumen, memproduksi apa yang dibutuhkan konsumen pada harga yang paling rendah yang dapat dihasilkannya dan terus menerus berusaha meningkatkan dan melakukan inovasi untuk meningkatkan penjualan, sumber
daya
digunakan
secara
lebih
produktif
dan
konsumen
mendapatkan apa yang dibutuhkannya.11 Penggunaan sumber daya yang ada dengan lebih produktif akan memberikan konsekuensi output yang lebih besar dan kemudian menjadikan pertumbuhan ekonomi dan kekayaan yang lebih besar bagi
11
Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia: Indonesian Competition Report, (Elips, 2000), halaman 5
24
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
negara. Harga yang rendah akan memberikan konsumen pendapatan yang lebih tinggi untuk dibelanjakan pada pembelian lain, investasi atau untuk ditabung. Total surplus, atau kekayaan dari konsumen maupun produsen bertambah besar. Oleh sebab itu kebijakan persaingan yang mengurangi hambatan terhadap persaingan akan membantu usaha mencapai tujuan bermanfaat bagi masyarakat.
E.2
Kerangka Konseptual Pada penelitian ini, kerangka konsepsional akan memberikan
gambaran keterkaitan antara konsepsi khusus yang akan diteliti. Oleh sebab itu, uraian dalam kerangka konsepsional akan menjelaskan ruang lingkup fokus penelitian ini. Definisi yang dipergunakan sebagian besar berada pada lingkup ilmu hukum. a.
Konvergensi Telekomunikasi Dari beberapa literatur yang dimaksud dengan konvergensi adalah
bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran, dimana penyelenggaraan jasa telekomunikasi merupakan kegiatan penyediaan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi melalui media apa saja, termasuk TV, siaran, radio dan multimedia.
Sedangkan dalam Rancangan Undang-
undang Konvergensi Telematika, yang dimaksud dengan Konvergensi Telematika adalah perpaduan teknologi dan rantai nilai (value chain) dari penyedia dan pelayanan telematika. Dalam Newton’s Telecom Dictionary, konvergensi di katakan sebagai12: “ The world to describe a trend, now that most media can be represented digitally, for the traditional distinctions between industries to blur and companies from consumer electronics, computer and telecom-munication industries to form alliances, partnership and other relationships, as well as to raid each other markets”.
12
Harry Newton. Newton’ Telecom Dictionary
25
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Sedangkan dalam Roadmap Konvergensi Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia yang disusun oleh Direktorat Jendral Pos
dan
Telekomunikasi,
dijelaskan
bahwa
Konvergensi
adalah
merupakan integrasi yang progresif dari beberapa platform jaringan yang berbeda untuk menyalurkan layanan yang serupa dan atau layanan-layanan yang berbeda yang disalurkan pada platform jaringan yang sama. Konvergensi adalah bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi,
dan
penyiaran.
Penyelenggaraan
jasa
telekomunikasi
merupakan kegiatan penyediaan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi melalui media apa aja, termasuk TV, siaran, radio dan multimedia. Dalam era konvergensi masyarakat akan menikmati aplikasi tanpa perlu mengetahui pemilik dari infrastrukturnya. sehingga semua pemain (penyiaran dan operator telekomunikasi) bisa menghantarkan konten. Ini akan memicu infrastruktur sharing sehingga munculnya efisiensi b.
Sharing Infrastruktur Dari perspektif ekonomi, infrastruktur mencakup: Pertama,
infrastruktur transportasi, seperti jalan, rel, pelabuhan, bandara. Kedua, infrastruktur ekonomi, seperti bank, pasar, mal, pertokoan. Ketiga infrastruktur
pertanian,
misalnya
irigasi,
bendungan,
pintu-pintu
pengambilan & distribusi air irigasi. Keempat, infrastruktur sosial, termasuk bangunan ibadah, balai pertemuan dan pelayanan masyarakat. Kelima, infrastruktur kesehatan, termasuk puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan. Keenam, infrastruktur energi, seperti pembangkit listrik, jaringan listrik, POM bensin. Ketujuh, infrastruktur telekomunikasi, ternasuk BTS, STO, jaringan telepon. Yang dimaksud dengan Infrastruktur Telekomunikasi adalah kesatuan sarana dan prasarana telekomunikasi yang berperan menunjang terbangunnya
akses
telekomunikasi,
telekomunikasi
terkait
dengan
pemanfaatannya
dapat
sesuai
Ketersediaan
kebutuhan dengan
infrastruktur
pelayanan
keperluan.
26
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
sehingga
Infrastruktur
telekomunikasi juga harus mengikuti perkembangan teknologi pada jamannya sehingga pemanfaatannya menjadi optimal dan effisien. Infrastruktur
telekomunikasi
antara
lain
terdiri
dari
jaringan
telekomunikasi, menara, infrastruktur perkantoran misalnya komputer, printer, facsimile dan telepon; infrastruktur penunjang kerja seperti alat monitoring spektrum frekuensi serta infrastruktur penunjang seperti kabel LAN atau Hub. Menurut Peter Waters facilities sharing memiliki beberapa keuntungan dan risiko: Benefits •
avoids unnecessary duplication of infrastructure
•
reduce barriers to entry
•
allows investment to focus on higher value inputs
•
reduces environmental and planning impact
•
reduces reliance on more complex bundled access services
Risks •
reduces cost and technology differentiation between competitors
•
risks collusion
•
overly exposes entrants to incumbents’ power •ties up regulator in site by site disputes
c.
Kepentingan Umum Terdapat
beberapa
perumusan
yang
berbeda-beda
tentang
kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun pada dasarnya esensinya adalah sama.
Beberapa pengertian
kepentingan umum tersebut dijelaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti pada Penjelasan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara, Penjelasan Pasal 3 ayat (3) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunanuntuk Kepentingan Umum.
27
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Konsep pengertian kepentingan umum dimaksud dalam tesis ini adalah kepentingan masyarakat yang lebih luas demi kesejahteraan bersama dengan terwujudnya keseimbangan dinamis sebagai bentuk harmonisasi kepentingan semua pihak, tidak hanya antara kepentingan bangsa dan Negara dengan kepentingan internasional melainkan juga (i) antara kepentingan
penyelenggara menara
telekomunikasi
dengan
masyarakat layanan telekomunikasi, (ii) antara antara kepentingan penyelenggara menara telekomunikasi dengan penyelenggara layanan telekomunikasi dan (iii) antara antara kepentingan penyelenggara menara telekomunikasi dengan Segenap Penyelenggara Negara d.
Pelayanan Publik Seiring dengan berkembangnya paradigma hokum administrasi
Negara yang tidak hanya melakukan pendekatan institusional melainkan juga pendekatan fungsional terhadap aktivitas atau fungsi pemerintahan, maka fungsi pelayanan public sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh organisasi public melainkan juga dapat dilakukan oleh organisasi privat. Meskipun pelayanan public tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri atau bekerjasama dengan pemerintah swasta, namun pada dasarnya tanggung jawab terhadap hal tersebut tetap berada pada administrasi Negara. Oleh karena itu, konsep Pengertian Pelayanan Publik cdalam tesis ini adalah kegiatan rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang dan jasa, dan/atau pelayanan administrative yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan public. e.
Kebijakan Publik Selain itu dalam penelitian ini juga akan diuraikan kerangka
konsepsional mengenai kebijakan publik yang merupakan wewenang eksekutif dalam melaksanakan program-program serta rencana dalam rangka membangun industri telekomunikasi. Secara definitif kebijakan publik adalah perbuatan hukum atau keputusan hukum yang dilaksanakan
28
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
oleh pejabat pemerintah yang fungsinya adalah mengarahkan jalannya kehidupan masyarakat.
Materi peraturan ini memberi petunjuk secara
umum mengenai bagaimana instansi pemerintah akan menyelenggarakan kewenangan pemerintahan.13
F.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam pcnelitian ini adalah metode penelitian
hukum Normative (yuridis normatif) yang menekankan penelitian pada telaah kaidah/substansi hukum yang menjadi norma dalam peraturan perundangundangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan sudut sifatnya merupakan metode analitis dan deskiptif. Semcntara berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian " problem identification". Dari sisi penelitian hukum. Metode yang digunakan adalah digunakan adalah penelitian hokum norrnatif dengan menganalisis asas-asas normatif yakni kaedah hukurn yang ada dalam aturan perundang-undangan yang terkait14 Penelitian eksploratoris dirnaksud untuk mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya terkait dengan permasalahan penelitian. Dalam hal ini, penelitian eksploratoris sangat relevan dengan tujuan kajian yakni untuk mengetahui sejumlah hal yang berkaitan dengan pengaturan di sector 13
Edmon Makarim, SH, S.Kom, Kompilasi Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada 2003, halaman 506 14
Pengkategorisasian penelitiani ni, berdasarkan pengkategorisasian yang dilakukan oleh Sorjono Soekanto dalam buku Pengantar Pe nelitian Hukum.Penerbit universitas Indonesi (aU lPress) Jakarta. 2005. Dalam penejelasannya disebutkan bahwa ditinjau dari berbagai sudut, penelitian dibagi berdasarkan sudut sifatnya,sudut bentuknya, tujuannya dan penerapannya. Dari sudut sifatnya,penelitian dibagi dalam penelitian eksploratoris atau penielajahan, penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatoris. Berdasarkan sudut bentuknya penelitian terdiri dari penelitian diagnostif dan evaluatif. Berdasarkan tujuannya, penelitian terdiri dari penelitian" fact fnding", peneltian" problem identifcation" dan "problem solvingl'. Berdasarkan sudut penerapannya, penelitiant erdiri dari penelitian murni/dasar/fundamental, penelitian berfokus masalah dan penelitian terpakai/terapan. Dari sudut penelitian hukum, penelitian terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum,sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejara hokum dan perbandingan hukum. Disamping itu, penelitian hokum tercliri dari penelitian terhadap identifikasi hokum ( tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Penelitian-penelitian tersebut pada dasarnya dapat digabungkan secara serasi, sehingga diperoleh sistematika mengenai macammacam penelitian secara umum dan pembagiannyaa menurut tujuan penelitian hukum. Misalnya, penelitian terhadap asas-asas hukum, dapat merupakan penelitian “fact finding" belaka atau mungkin penelitian-penelitian" problem finding".
29
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
telekomunikasi, khususnya yang berkenaan dengan masalah pembangunan dan penggunaan menara bersama telekomunikasi baik dalam lingkungan pengaturan nasional, maupun internasional. Sementara penelitiand eskriptif, ditujukan semata-mata untuk memaparkan hasil eksplorasi informasi tersebut kedalarn bentuk laporan yang menggambarkan hal-hal yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian. Dengandemikian, penelitian ini akan menyajikan kondisi yang sebenarnya dan memaparkan berbagai permasalahan khususnya terkait dengan perrnasalahan yang masuk dalam lingkup pembangunan dan penggunaan menara bersama telekomunikasi. Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data hukurn primer dan data hokum sekunder. Data hokum primer tersebut diperoleh dari serangkaian sumber data yang bersifat publik misalnya aturan perundang-undangan yang berkenaan dengan sektor telekornunikasi diperoleh dari pusat dokurnentasi Departemen Komunikasi dan Inforrnasi, dan aturan perundang-undangann lainnya yang dipublikasikan secara luas. Data hukum sekunder diperoleh dari berbagai sumber referensi yang berkenaan dengan permasalahan. Dalarn hal ini, data sebagian besar diakses dari sumber internet dan dokumentasi lainnya yang dipublikasikan. Dengan demikian, keandalan data tersebut sangat tergantung pada pihak yang mempublikasikannya, terutama website resmi dari pihak yang merniliki otoritas terhadap dokumen tersebut. Sementara data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang memiliki kompetensi berkenaan dengan pengaturan sektor telekomunikasi. Data dan informasi, kemudian dipilah dan dianalisis berdasarkan kebutuhan untuk menjawab permasalahan penelitian.
Hasil dari pilahan dan
analisis tersebut, kemudian disajikan sebagai bahan pelaporan untuk setiap bagian. Dengan demikian, setiap bab dalam tulisan ini rnerupakan representasi dari permasalahan yang ingin dijarwab.
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini diarahkan sebagai data sekunder yang membahas dari segi yuridis yang berkaitan dengan topik dan permasalahan yang dibahas. Adapun
30
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
secara sistematika penelitian ini adalah diarahkan pada penyampaian teori, kemudian obyek penelitian, dan selanjutnya analisisn terhadap beberapa kasus yang terjadi
dan diakhiri oleh simpulan sebagai penutup dan saran untuk
melengkapinya. Secara sistematis, penulisan akan disampaikan dalam bentuk berikut ini. Bab I
Pendahuluan. Akan diuraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Dakam Bab ini akan dibahas mengenai konsepsi umum telekomunikasi global mengenai trend sharing fasilities, termasuk pelaksanaannya di Indonesia.
Bab III
Dalam Bab ini akan disampaikan analisa pengaturan menara telekomunikasi bersama di Indonesia dari aspek-aspek layanan publik, konsumen, tata ruang, persaingan usaha, perijinan, pendapatan daerah, persaingan usaha dan tata urutan perundangundangan.
Bab IV
Penutup Penulisan
penelitian
ini
akan
ditutup
dengan
perumusan
kesimpulan yang dirumuskan guna menjawab permasalahan dan disertai saran untuk melengkapinya.
31
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
BAB II KONSEPSI UMUM TELEKOMUNIKASI GLOBAL TENTANG FACILITIES SHARING
A.
Peranan Pemerintah Sebagai Penyelenggara Administrasi Layanan Telekomunikasi 1.
Pemerintah Sebagai Penyelenggara Administrasi Negara Perkembangan konsep negara hukum di masa sekarang telah
membawa kepada konsep negara kesejahteraan (wellfare state) yang erat kaitannya dengan peranan hukum adsminstrasi negara.
Hal ini
dikarenakan dalam konsep negara kesejahteraan peran negara dan pemerintah semakin dominan.15 Tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana memberikan kesejahteraan bagi warganya. Agar tujuan ini bisa dicapai maka dalam mengerakkan roda penyelenggaraan pemerintahan diperlukan perangkat yang sesuai dengan tujuan dan wewenang masing-masing. Pemberian wewenang itu termasuk dalam ruamng lingkup administrasi negara. Dengan demikian secara akademik tepat seperti apa yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven bahwa: Badan-badan negara tanpa hukum tata negara itu lumpuh bagaikan sayap, karena badan-badan itu tidak mempunyai wewenang sehingga keadaannya tidak menentu. Sebaliknya badan-badan negara tanpa adanya hukum administrasi negara menjadi bebas tanpa batas, karena mereka dapat berbuat menurut apa yang mereka inginkan. Dalam wacana wellfare state dimana negara direpresentasikan oleh pemerintah (administrasi negara) sebagai pengurus, tugas pemerintah tidak hanya membuat dan mempertahankan hukum atau hanya menjaga ketertiban dan ketentraman saja, melainkan lebih luas dari pada itu yakni menyelenggarakan
kepentingan
umum
seperti
kesehatan
15
Dr. Ir. H. Juniarso Ridwan, M.Si., MH. dan Achmad Sodik Sudrajat, SH., MH. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Nuansa Cendekia, Oktober 2009, halaman 53
32
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
rakyat,
pendidikan, perumahan, dan lain sebagainya. Pemerintah juga diberikan tugas dan kewenangan untuk dapat bertindak atas inisiatif dirinya sendiri dalam menyelesaikan segala permasalahan yang ada pada warga masyarakat demi melindungi kepentingan umum itu sendiri.16 Untuk menyelenggarakan kepentingan umum tersebut, secara garis besar menurut Stelinga, administrasi negara mempunyai kewenangan antara lain: (i) melakukan penetapan kebijakan, (ii) melakukan pengaturan/regeling, (iii) melakukan pengamanan, (iv) melakukan peradilan dan (v) melakukan pelayanan kepada warga negara. Sementara menurut Brown, kegiatan kepentingan umum adalah dilakukan dengan melakukan pelayanan publik yang merupakan kegiatan yang menggunakan: (i) kewenangan publik, dan (ii) dilakukan untuk memenuhi kepuasan kebutuhan publik. Lebih lanjut otoritas publik yang melakukan hal tersebut harus memenuhi prinsip-prinsip antara lain: (i) jujur dan tidak memihak, (ii) integritas, (iii) obyektif, (iv) seleksi dan promosi, dan (iv) akuntabilitas. Dalam melakukan aktifitasnya,
ada dua macam tindakan
pemerintah, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta/nyata atau bhkan berdasarkan hukum (feitelijkehandeling).
Tindakan pemerintah berdasarkan hukum dapat
dimaknai sebagai tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekwensio logis dalam kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakjukan menimbulkan akibat hukum, sedangkan tindakan berdasarkan fakta/nyata atau bhkan berdasarkan hukum , adalah tindakan pemerintah yang tidak ada hubungan
16
Edmon Makarim. Ringkasan Disertasi Tanggung Jawab Penyelenggara Terhadap Tata Kelola Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance) Universita Indonesia Fakultas Hukum 2009, halaman 6.
33
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
langsung dengan dengan kewenangannya sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.17 Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan
dalam
katagori
rechtshandelingen.
Tindakan
hukum
pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut : a.
Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
b.
Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c.
Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
d.
Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus
berdasarkan
atas
hukum,
karena
dalam
negara
erdapat
prinsip
wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif. Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi,
17
Dr. Sadjijono, SH., M.Hum. Memamhami beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi/ LaksBang 2008, halaman 79-80.
34
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat
digunakan
tanpa
batas.
Atas
dasar
itu,
Sjachran
Basah
mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut : a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik; b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara; c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
35
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri; e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan penting yang timbul secara tiba-tiba; f. Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara : Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undangundang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah; Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu. Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
36
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam
Undang-undang
nomor
36
tahun
1999
tentang
Telekomunikasi telah disebutkan bahwa Menteri (dalam hal ini adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.) bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.18
Dengan demikian maka pengelolaan
pelayanan telekomunikasi di Indonesia adalah merupakan salah satu tugas pemerintah dalam menjalankan fungsi administrasi negara. Dengan kata lain pemerintah mempunyai peranan sebagai penyelenggaran administrasi telekomunikasi. 2.
Telekomunikasi Sebagai Layanan Publik Dalam Keputusan Men-PAN RI. No. 63 Tahun 2004 memberikan
pengertian
pelayanan
publik
sebagai
kegiatan
pelayanan
yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih jauh lagi Men-PAN RI. No. 63 Tahun 2004 membedakan jenis-jenis pelayanan publik menjadi tiga kelompok, yaitu: a.
Kelompok
Pelayanan
Administratif,
yaitu
pelayanan
yang
menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh
publik,
misalnya
status
kewarganegaraan,
sertifikat
kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap sesuatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKP), Surat Izin mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanga dan sebagainya. b.
Kelompok Pelayanan Barang, yaitu kelompok pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
18
Pasal 6 Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
37
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
c.
Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk
jasa
yang
dibutuhkan
oleh
publik,
misalnyapendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan telekomunikasi. Pemberian pelayanan publik dalam hal-hal tertentu dapat dikontrakkan untuk diberika kepada sektor swasta, misalnya penggunaan sektor swasta dalam pembangunan lapangan terbang. Namun tidak semua jenis pelayanan publik dapat dikontrakkan kepada swasta dan hanya pemerintah yang harus melakukannya, jika dikaitkan dengan klasifikasi jenis pelayanan di atas yaitu jenis pelayanan administratif, karena hal itu sangat terkait dengan kewenangan pemerintah dalam konsep hukum administrasi.19 Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa ”Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalarn peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan: ”Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya”. Sedangkan pada ayat (4) disebutkan bahwa pelayanan atas jasa publik meliputi penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi
19
W. Riawan Tjandra, op cit., halaman 100.
38
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan ddam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam bagian penjelasan dijelaskan bahwa yang dimaksud jasa publik adalah jasa yang dihasilkan oleh badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah yang ~nendapat pelimpahan tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik (public service obligation). 2.1
Publik Trust Doctrine Apabila kita mengambil analogi dari hukum lingkungan,
maka tampak bahwa di bidang hukum lingkungan secara umum sejak lama dikenal adanya ”public trust doctrine” yang telah diterapkan untuk menjamin akses ke sumber daya alam seperti air, udara dan lingkungan kehidupan lainnya. Public Trust Doctrine adalah doktrin yang berasal dari sistem hukum common law20 Esensi dari doktrin ini adalah adanya hak masyarakat secara hukum atas pemanfaatan sumber daya seperti air, udara dan tanah. Hak masyarakat ini harus sejalan dengan hak-hak kepemilikan secara pribadi. Hak masyarakat tidaklah mutlak tetapi diberikan dengan azas keseimbangan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pribadi.
Akses ke sumber daya tersebut harus
mendapat perlindungan agar masyarakat luas dapat merasakan manfaatnya bersama-sama. Public Trust Doctrine merupakan sebuah gagasan yang sangat menarik, karena doktrin ini adalah merupakan melting pot dari tarik menarik kepentingan antara hak-hak publik dan privat, khususnya atas sumber daya air.
Public trust doctrine sendiri
bermula dari salah satu ketentuan dalam Kode Justinian yang menyatakan:21
20
Asril Sitompul, Hukum Telekomunikasi Indonesia. Book Terrace & Library. Halaman 120. Hamid Chalid, Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di Belanda, India dan Indonesia. Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program PAsca Sarjana Sub-Program Studi Strata-3, Jakarta 2009, halaman 33. 21
39
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
... (T)hese thins are by natural law common to all: air, flowing water, the sea, and consequently the shores of the sea, if he obtains of injury to the villas, monuments and buildings there, because these are not governed by the law of nation as is the sea.” Ketentuan dalam kode itulah yang kemudian dikenal sebagai public trust doctrine. Berdasarkan kode tersebut, sungaisungai yang bisa dilayari (navigable rivers), dan juga pelabuhanpelabuhan, adalah res publicae: hak milik publik.
Karena itu
penguasaan atasnya adalah oleh negara. Kedudukan negara dalam hal ini adalah sebagai trustee (penerima kepercayaan, pemegang amanah) dari hak-hak publik atas pelayanaran dan perikanan. Pada sisi lain laut dan pantai adalah res nullius, yaitu untuk siapapun dan tidak dimiliki oleh siapapun.22 Secara singkat dapat dikatakan bahwa Public trust doctrine pada dasarnya menawarkan dua prinsip pokok, yaitu pertama, air merupakan barang publik (public good), kedua, negara menguasai sumber daya air dalam kapasitasnya sebagai trustee (penerima kepercayaan, pemegang amanah)dari pemilik air (publik) atas sumber daya air tersebut.23 Di luar negeri khususnya di Amerika Serikat telah berkembang pemikiran bahwa public trust doctrine ini seharusnya diterapkan pula terhadap akses ke spectrum electromagnetic. Analogi ini dapat menurut pendapat penulis dapat ditarik ke dalam permasalahan layanan telekomunikasi sebagai pelayanan publik.. Peranan pemerintah di sini menara telekomunikasi telah menjadi fasilitas infrastruktur penting yang tidak dapat dilepaskan dari dunia telekomunikasi. Karena pentingnya peranan dalam infrastruktur telekomunikasi ini sehingga akses kepadanya haruslah
Kode Justisian (Justinian Code) merupakan ccode hukum romawi yang disusun pada masa kekuasaan Justinian I. Kode Justinian diakui oleh banyak penulis sebagai sumber utama bangunan system hukum common law yang dianut oleh Inggris dan kemudian oleh Amerika Serikat. 22 Ibid. 23 Ibid, halaman 34
40
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
dijamin secara hukum dan tidak boleh dibatasi agar masyarakat luas dapat merasakan manfaatnya bersama-sama.
B.
Fascilities Sharing Pada Layanan Telekomunikasi Bergerak
Sebagai konsekuensi dari semakin pesatnya pembangunan telekomunikasi,
khususnya telekomunikasi nirkabel, semakin meningkat pula pembangunan
infrastruktur prasarana pendukung. Salah satu fasilitas pendukung terpenting
dalam teknologi telekomunikasi bergerak (mobile) menara telekomunikasi.
Menara telekomunikasi ini sangat penting peranannya karena kegunaaannya
sebagai tempat untuk meletakkan Base Transceiver Station (BTS). BTS adalah
merupakan perangkat pemancar dan penerima yang memberikan pelayanan radio
kepada Mobile Station (MS) atau pasawat /terminal komunikasi mobile.
Menara telekomunikasi telah menjadi fasilitas pendukung penting yang tidak dapat dilepaskan dari dunia telekomunikasi. Untuk menyediakan layanan telekomunikasi dengan kualitas memadai, keberadaan menara telekomunikasi dan antena BTS sebagai infrastruktur telekomunikasi bergerak mau tidak mau memang
dibutuhkan.
Menara
telekomunikasi
merupakan
sarana
untuk
menempatkan antena BTS pada ketinggian tertentu. Dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika disebutkan bahwa menara telekomunikasi adalah bangunan yang berfungsi sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk
konstruksinya
disesuaikan
dengan
keperluan
jaringan
telekomunikasi. Disadari, menara mempunyai peranan yang sangat penting pada telekomunikasi bergerak termasuk perluasan jaringan (coverage area), sebab berbagai perangkat pengirim dan penerima signal (antena) yang dipasang harus tepat dengan area pelanggan yang dilayani. Begitu juga perangkat transmisi pengantar trafik (radio microwave) yang di pasang di atas menara harus terhubung (link) dengan perangkat radio microwave lain di menara yang berbeda. Apabila sudah terhubung, pelanggan dapat menggunakan layanan
percakapan, sms
maupun data.
41
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Menara telekomunikasi dapat didirikan di atas tanah, maupun di atas bangunan. Sementara itu, antena merupakan bagian dari BTS yang membutuhkan menara telekomunikasi. Akan tetapi menara hanya merupakan suplemen, karena BTS dapat dirancang tanpa menara. Pendirian menara dapat berupa menara kasat mata maupun menara yang kamuflase. Selain ditempelkan di menara telekomunikasi, antena juga dapat ditempelkan pada media lain seperti misalnya di gedung bertingkat, tiang listrik, dan struktur lainnya dengan ketinggian tertentu. Di negara maju seperti Amerika dan Eropa, penggunaan menara telekomunikasi sudah mengarah ke arah menara kamuflase. Di berberapa tempat di Indonesia, operator seluler sudah mulai menerapkan menara kamuflase ini. Terutama di kota-kota besar yang luas lahannya terbatas. Pesatnya pembangunan menara-menara telekomunikasi ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing operator baik dengan pertimbangan pasar (konsumen), maupun kebutuhan terhadap pengembangan jaringan. Apabila di suatu daerah memiliki pasar atau konsumen yang besar, maka seringkali menara telekomunikasi yang ada sudah tidak mampu lagi melayani permintaan konsumen sehingga perlu diadakan penambahan perangkat bahkan penambahan menara apabila dianggap perlu. Dengan semakin ketatnya persaingan antar operator telekomunikasi, maka keberadaan antena BTS menjadi sangat penting, terutama jika dikaitkan dengan upaya memberikan jaminan akan terjaganya kualitas dan kuantitas coverage area bagi para pengguna jasa telekomunikasi. Pengembangan industri ini sangat dipengaruhi oleh dinamika pelanggan dan jenis layanan yang dibutuhkan (data, sms, voice). Di berberapa daerah, laju pertumbuhan menara telekomunikasi telah menimbulkan kekhawatiran munculnya hutan-hutan menara telekomunikasi. Tidak hanya itu, hutan menara ini telah menyebabkan inefisiensi di industri ini. Facilities Sharing dalam International Telecommunication Union (ITU) Recommendation Dalam forum Global Symposium for Regulator (GSR) ke 8 tahun 2008 disampaikan beberapa hal yang melatar-belakangi perlunya Infrastructure Sharing berdasarkan studi ITU antara lain:
42
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
1.
single cost menjadi beban bagi operator,
2.
negara berkembang ingin memaksimalkan booming di infrastruktur mobile untuk mendorong penetrasi mobile broadband dan fixed broadband secara bertahap,
3.
negara berkembang juga akan memanfaatkan jaringan berbasis IP untuk backbone dan backhaul,
4.
negara yang sudah maju ingin mengoptimalkan investasi di Fixed Wireline dan meningkatkan kapabilitas layanan menjadi Fiber-ToThe-Home (FTTH), Fiber-To-The-Building (FTTB) dan FTTx serta,
5.
meningkatkan jangkauan network serta efisiensi biaya investasi dan operasional. Tema dari symposium tersebut adalah “Six Degree Of Sharing:
Innovative Infrastructure Sharing and Open Access Strategies to Promote Affordable Access for All” yang disampaikan oleh Susan Schorr dalam ITU 8th Global Symposium for Regulators tahun 2008 dikatakan bahwa menggunakan sharing infrastruktur bersamaan dengan layanan akses universal dalam kerangka yang kompetitif dapat menurunkan biaya, memudahkan akses ke layanan broadband, bergantung kepada uji-waktu dari prinsip-prinsip berkompetisi, mendorong pasar untuk tumbuh dan masyarakat mendapat layanan yang lebih terjangkau. Six Degree Of Sharing menekankan pada : 1. Basic and Passive infrastructure sharing 2. Open access to international capacity 3. Business-sharing regulation 4. Active infrastructure sharing 5. End-user sharing 6. Policy and regulatory harmonization Regulator juga mengakui perlunya harmonisasi regional dan internasional untuk menjamin penggunaan kebijakan praktek terbaik
43
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
regulasi secara luas pada sharing infrastruktur, terutama di daerah berurusan dengan efek lintas-perbatasan. Dalam
rangka
mendorong
akses
universal
dan
jembatan
'kesenjangan digital' tersebut, regulator akan mempertimbangkan insentif bagi penyedia jasa yang infrastruktur saham, termasuk subsidi keuangan secara kompetitif.
C.
Facilities Sharing di Beberapa Negara Fasilities atau Infrastructure Sharing telah diimplemetasi secara berbeda-
beda dibeberapa Negara di dunia sesuai kebutuhan di masing-masing Negara24: 1. Infrastructure Sharing di Amerika Serikat Ruang lingkup: broadband access Sasaran: peningkatan penetrasi broadband dan peningkatan kompetisi di broadband. Regulasi FCC (1996) mengatur: 1. Untuk rute jaringan yang melayani pelanggan mass market, incumbent tidak perlu melakukan un-bundle serat optik hingga ke CPE pelanggan yang dibangun untuk lokasi baru. 2. Untuk rute jaringan yang dibangun dari rute eksisting, incumbent wajib menyediakan unbundled access hingga 64 kbps melalui rute optik. 3. Untuk jaringan campuran tembaga dan optik, incumbent tidak perlu melakukan unbundle akses Regulator di Amerika Serikat, secara umum tidak mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengunaan infrastruktur bersama melainkan melakukan pengawasan kompetisi terhadap pengunaan bersama tersebut. Sedangkan di Norwegia, pengunaan bersama dapat meliputi pengunaan bersama antena, catu daya, perangkat transmisi, perangkat 24
Tim Study Group Regulasi – TELKOM Indonesia. Paper Study Group Infrastructur Sharing.
44
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
BTS (Base Transmitter Station) kecuali pengunaan bersama sumber daya
frekuensi
tetapi
pengunaan
bersama
frekuensi
tersebut
dimungkinkan untuk daerah-daerah terpencil. 2. Infrastructure Sharing di India Ruang lingkup: passive, active dan backhaul di wireless Sasaran: peningkatan tele-density Regulasi TRAI (2007) mengatur: 1. Urgensi passive infrastructure sharing (site sharing), transparan, non-diskriminasi dan persetujuan komersial antar pihak harus selesai dalam 4 minggu. 2. Membolehkan active infrastructure sharing secara terbatas meliputi antena, feeder cable, node B, radio access network dan sistem transmisi, namun tidak termasuk frekuensi. 3. Backhaul sharing dari BTS ke BSC. Di India regulator tidak mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengunaan
infrastruktur
bersama
melainkan
masing-masing
penyelenggara melakukan kerjasama yang saling menguntungkan terkait dengan pengunaan bersama masing-masing infrastruktur. Selain itu, pihak ketiga juga berperan dalam menyediakan infrastruktur yang dapat digunakan secara bersama bagi para penyelenggara seperi pengunaan menara bersama. 3. Infrastructure Sharing di Inggris Ruang lingkup: NGN Infrastructure Sasaran (Ofcom): 1. Untuk mendorong kompetisi hingga level infrastruktur yang lebih dalam, 2. Fokus regulasi untuk menyediakan persamaan dalam akses (beyond),
45
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
3. Untuk mendorong iklim yang sehat bagi efisiensi dan investasi yang tepat waktu serta merangsang inovasi, 4. Untuk mengakomodasi beberapa regulasi untuk produk-produk yang berbeda dan jika memungkinkan area geografis yang berbeda, 5. Untuk membuat ruang-lingkup bagi entry ke pasar, menghilangkan bottle-neck ekonomi dan memperluas rantai nilai komunikasi. Inisiatif Ofcom dengan transformasi BT 21CN ke NGN (2005) : 1. Dalam mengantisipasi kebutuhan untuk menyediakan kepastian yang lebih tinggi terhadap rejim Ex Ante kompetisi yang terkait dengan NGN, Ofcom mengusulkan suatu pendekatan untuk mengantisipasi dampak dari konvergensi berbasis IP terhadap definisi pasar eksisiting dan, 2. Ofcom juga mengindikasikan kebutuhan untuk membentuk suatu badan industri yang mampu menyediakan visi strategis yang kuat untuk akses dan interkoneksi dalam mendukung kompetisi berbasis NGN. 4. Infrastructure Sharing di Nigeria Ruang lingkup: General Infrastructures of Telecommunication Sasaran: kompetisi yang fair dalam industri telekomunikasi dan mendorong sharing infrastruktur antar pemegang lisensi. Regulasi NCC (2003) mengatur: 1. Element network yang tidak dibuka untuk infrastructure sharing meliputi: complete network structures, switching centers, radio network controllers dan base stations. 2. Negosiasi antar operator dan mengatur waktu maksimum dalam proses negosiasi hingga kesepakatan untuk sharing infrastruktur dengan pendekatan first-come, first served. 3. Operator berhak menolak untuk sharing ketika kondisi kapasitas tidak mencukupi, keamanan, kehandalan, fasilitas yang tidak
46
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
kompatibel dan pertimbangan teknis umum dan alasan penolakan disampaikan tertulis dan dijelaskan penyebabnya secara spesifik. 4. Harga diserahkan B-to-B dengan prinsip netral, transparan, non diskriminasi dan kompetisi yang fair. 5. Tidak ada kewajiban bagi operator untuk membangun infrastruktur baru ketika sudah mencapai tingkat saturasi. Bagaimanapun, operator diharapkan untuk mempertimbangkan demand ketika melakukan ekspansi alat produksinya nya. 6. Ketika tidak terdapat kapasitas yang tersedia untuk memenuhi permintaan tambahan kapasitas, operator harus mempertimbangkan pembangunan baru. 7. Prosedur standar yang dikembangkan dalam implementasi sharing infrastruktur meliputi: pemeliharaan, penanganan gangguan, akses ke fasilitas alat produksi, keadaan bahaya, kebersihan, keamanan. Contoh lain dibeberapa negara seperti Ingriss dan Jerman, kebijakan infrastruktur bersama hanya berlaku untuk pengunaan menara bersama pada jaringan 3G khususnya infrastruktur pasif seperti antena. Sedangkan di Irlandia, kebijakan pengunaan infrastruktur bersama tidak termasuk site sharing berlaku jika masing-masing penyelenggara mempunyai kapasitas minimal 20% dari jumlah populasi. Sedangkan di Swedia, kebijakan pengunaan infrastruktur bersama berlaku jika masing-masing penyelenggara sudah memiliki kapasitas minimal 30% pelanggan sedangkan 70 % sisanya akan dilakukan kebijakan pengunaan bersama.25 Sedangkan, di Singapura, regulator mendorong kebijakan pengunaan bersama berdasarkan prinsif pengunaan fasilitas bersama berdasarkan prinsif kompetisi. Secara umum, pengunaan bersama tidak perlu dilakukan jika hal ini terkait dengan masalah persaingan bisnis antara penyelenggara tetapi kebijakan pengunaan bersama lebih bertujuan untuk mengurangi efek terhadap lingkungan
25
Yudhistira Nugraha. Penataan Lokasi Menara BTS, http://www.yudhistiranugraha.info/?p=126
47
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
serta meminimalisasi ketidaknyamanan terhadap pengaruh masyarakat sekitar menara BTS. Di Malaysia, seluruh penyelenggara didorong untuk melakukan pengunaan infrastruktur bersama dengan tujuan untuk mengurangi biaya serta mendorong pengembangan cakupan layanan serta mengurangi duplikasi pengunaan sumber daya. Kebijakan dalam mengikutsertakan “a third party” juga merupakan bagian dari bentuk dorongan pengunaan insfrastruktur bersama dimana pihak ketiga akan menyediakan infrastruktur yang bisa digunakan secara bersama oleh beberapa penyelenggara.
D.
Ketentuan Fasilities Sharing di Indonesia Fasilities sharing di Indonesia, khususnya dalam bidang industri
telekomunikasi telekomunikasi.
tertuang
dalam
Sedangkan
ketentuan
yang
menjadi
mengenai
menara
bersama
dasar
pengaturan
menara
telekomunikasi berkaitan dengan penyelenggaraan telekomunikasi26: •
Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
•
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
•
Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
•
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
•
Permenkominfo
02/PER/M.KOMINFO/03/2008
tentang
Pedoman
tentang
Pedoman
Pembangunan Menara Bersama Telekomunikasi. •
Permenkominfo
23/PER/M.KOMINFO/04/2009
Pelaksanaan Urusan Pemerintah Sub Bidang Pos dan Telekomunikasi. •
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 2009 - 07/PRT/M/2009 –
26
Kajian Asosiasi Telepon Seluler Indonesia mengenai Peraturan Menteri Bersama tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi.
48
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
19/PER.MENKOMINFO/03/2009 – 3/P/2009) tentang Pedoman Pedoman dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Disamping ketentuan-ketentuan di atas, terkait juga Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagai Objek Retribusi Jasa Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang menetapkan bahwa bidang urusan komunikasi dan informatikan adalah termasuk ke dalam urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Kondisi Implementasi Infrastructure Sharing di Indonesia sendiri saat ini adalah: •
Implementasi pasif infrastruktur sharing yang umum dilakukan saat ini di Indonesia antara lain site sharing untuk kolokasi BTS di antara mobile operator, last mile access dari incumbent operator kepada OLO’s, sharing backbone baik terestrial maupun submarine, wholesale ADSL dan international gateway.
•
Sementara aktif infrastruktur sharing yang sudah mulai dilaksanakan antara lain mobile backhaul untuk mobile broadband khususnya untuk Node B menggunakan transport IP berbasis Metro Ethernet, penggunaan DWDM di layer transport.
•
Model bisnis dalam infrastruktur sharing ini pada umumnya dilakukan dengan pendekatan Business-to-Business (B2B) antar operator dengan tetap memegang aturan dan prosedur yang berlaku.
•
Pada sisi lainnya, sebenarnya sudah terjalin kerjasama interkoneksi antar operator yang sudah diatur secara regulasi dan sebagian kecil implementasi ADSL (Broadband Access) Wholesale yang dilakukan oleh TELKOM.
49
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pemerintah merasa perlu untuk
mengatur pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi secara
khusus/tersendiri yang dilakukan oleh para operator telekomunikasi.ketika mulai muncul keberatan pemerintah dan masyarakat sewaktu struktur pasar bisnis pertelekomunikasian secara nasional sudah bergeser ke arah yang lebih kompetitif dan layanan telekomunikasi berbasis seluler mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan ditandai dengan selain operator telekomunikasi, sektor usaha telekomunikasi lain yang juga berkembang adalah kegiatan penyediaan menara telekomunikasi. Para penyedia menara membangun menara telekomunikasi untuk disewakan pada para operator untuk penempatan perangkatperangkat telekomunikasi. Salah satu alasan yang mendasari keberatan tersebut adalah maraknya pembangunan menara yang tidak lagi mempertimbangkan keindahan dan keamanan lingkungan masyarakat dimana menara tersebut dibangun. Akibatnya, keindahan daerah (kota) terganggu dan keamanan masyarakat menjadi terancam karena
pembangunan
menara
kurang
mempertimbangkan
nilai
estetika,
ketinggian, kekuatan dan batasan jarak (zoning) antara bangunan menara dengan rumah penduduk disekitarnya.
Pemerintah kemudian menerbitkan suatu kebijakan publik dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/M.KOMINFO/ 3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama
Telekomunikasi. Pemerintah dalam hal ini Ditjen Postel juga melibatkan
Departemen Pekerjaan Umum, Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara
Telekomunikasi,
Pemerintah
telekomunikasi
merencanakan
Daerah,
operator
penyusunan
telekomunikasi,
konsep
standarisasi
vendor
menara
telekomunikasi. Landasan kebijakan tersebut ditengarai merupakan upaya untuk menekan biaya investasi di sektor telekomunikasi. Selain juga dapat menjadi sarana untuk menata ulang alokasi sumber daya di negeri ini dan mendorong agar operator telekomunikasi lebih fokus pada bisnis intinya.
50
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam bagian pertimbangan Peraturan Menteri tersebut dijelaskan bahwa Menara Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara, bahwa dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan Menara Telekomunikasi harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika lingkungan. Selain itu Peraturan Menteri tersebut juga mensyaratkan keterlibatan Pemerintah Daerah dalam pengaturan penempatan lokasi Menara yang tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan dengan melibatkan peran masyarakat dalam menentukan kebijakan untuk penataan ruang yang efisien dan efektif demi kepentingan umum. Dalam Peraturan Menteri tersebut juga diatur bahwa sebuah operator telekomunikasi dapat membangun BTS di menara milik operator lain. Dengan demikian, untuk dapat memiliki cakupan yang luas, operator tidak perlu membangun menara BTS di banyak tempat, cukup membangun menara di daerahdaerah yang memang belum ada menara operator lain yang dibangun. Sedangkan untuk daerah-daerah yang sudah ada menara milik operator lain, operator tersebut dapat menggunakan menara milik operator lain sebagai menara BTS-nya. Hal ini tentu akan sangat menghemat biaya investasi pembangunan menara BTS dan juga akan mempercepat pembangunan infrastruktur telkomunikasi di daerah-daerah yang selama ini kurang diminati operator. Terbitnya Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang
Pedoman
Pembangunan
dan
Penggunaan
Menara
Bersama
Telekomunikasi memberi kewenangan yang cukup adil bagi Pemerintah Daerah untuk turut serta mengatur dan bahkan juga bertanggung-jawab dalam penyusunan rencana pembangunan dan penggunaan menara bersama. Berikut ini beberapa pasal yang mempertegas keberadaan kewenangan Pemerintah Daerah, yaitu: 1.
Pembangunan Menara harus memiliki Izin Mendirikan Menara dari instansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 3 ayat 2).
51
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
2.
Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 4 ayat 1).
3.
Pemerintah Daerah dalam menyusun pengaturan penempatan Menara tersebut
harus
mempertimbangkan
aspek–aspek
teknis
dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dan prinsip-prinsip penggunaan Menara Bersama. (Pasal 4 ayat 2). 4.
Pemerintah Daerah harus memperhatikan ketentuan hukum tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam pembangunan Menara pada wilayahnya. (Pasal 15).
5.
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran, peringatan, pengenaan denda, atau pencabutan izin sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. (Pasal 21). Untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri tersebut, dan mengingat perlunya
dibuat suatu norma, standar, prosedur dan ktiteria yang lebih rinci, Pemerintah kemudian menerbitkan
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
No.3/P/2009
Tentang
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi.
Pedoman Lingkup
pengaturan pembangunan dan penggunaan bersama menara meliputi persyaratan pembangunan dan pengelolaan menara, zona larangan pembangunan menara, struktur bangunan menara, perizinan pembangunan menara, tata cara penggunaan bersama menara, retribusi izin pembangunan menara, pengawasan dan pengendalian. Peraturan Menteri Bersama ini merupakan buah kesepakatan dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika, serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Beberapa aturan yang tersurat dalam Peraturan Bersama ini antara lain memberikan waktu tenggat bagi menara yang sudah berdiri selama dua tahun untuk beralih ke konsep menara bersama, tidak diperbolehkannya monopoli menara bersama di satu wilayah, dan pemberian kesempatan yang sama untuk semua operator pada satu menara bersama. Selain itu, aturan ini juga menegaskan kembali bahwa yang ditekankan
52
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
dalam menara bersama adalah efisiensi dan efektivitas. Maksudnya, dengan menara bersama, semangatnya adalah menara eksisting diwajibkan untuk digunakan secara bersama-sama. Jika tidak bisa digunakan bersama, maka diberi waktu dua tahun untuk penyesuaian, yang jika tidak mau maka harus dirubuhkan. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Bersama ini Menara Bersama tersebut, dinyatakan bahwa: ” Pedoman pembangunan dan penggunaan bersama menara bertujuan untuk mewujudkan keserasian hubungan antara pemerintah dan pemerintahan daerah dalam hal memberikan petunjuk pembangunan menara yang memenuhi persyaratan administratif, teknis, fungsi, tata bangunan, rencana tata ruang wilayah, lingkungan dan aspek yuridis”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 8 menyatakan: ”Menara telekomunikasi, yang selanjutnya disebut menara, adalah bangunbangun untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat merupakan rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, di mana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi”. Selanjutnya dalam Pasal 14 menyebutkan: (1)
Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan zona-zona yang dilarang bagi pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang yang berlaku.
(2)
Zona-zona yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota dan wilayah provinsi DKI Jakarta dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan yang bersangkutan.
53
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
(3)
Larangan zona untuk pembangunan menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan layanan telekomunikasi pada zona tersebut.
54
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
BAB III ANALISA PERMASALAHAN PENGATURAN MENARA TELEKOMUNIKASI BERSAMA DI INDONESIA
A.
Analisa Pelayanan Publik dan Perlindungan Konsumen dalam Pengaturan Menara Bersama Telekomunikasi Seperti telah dijelaskan pada Bab II bahwa menurut KepMen-PAN RI. No. 63 Tahun 2004 bahwa telekomunikasi (jaringan telepon) termasuk kelompok pelayanan barang dalam pengertian pelayanan publik. Sehubungan dengan hal tersebut dapat ditinjau penerapan aspek pelayanan publik dalam Pengaturan Menara Bersama Telekomunikasi baik dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman
Pembangunan
dan
Penggunaan
Menara
Bersama
Telekomunikasi maupun pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009,
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
No.3/P/2009
Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi utamanya adalah pada aspek perijinan pembangunan menara. Dalam
Peraturan
2/PER/M.KOMINFO/3/2008
Menteri tentang
Pedoman
Kominfo
No.
Pembangunan
dan
Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, masalah perizinan diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 3: (1)
Pembangunan Menara dapat dilaksanakan oleh : a. Penyelenggara telekomunikasi; b. Penyedia Menara; dan/atau c. Kontraktor Menara.
55
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
(2)
Pembangunan Menara harus memiliki Izin Mendirikan Menara dari instansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Pemberian Izin Mendirikan Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan ketentuan tentang penataan ruang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Penyelenggara Telekomunikasi, Penyedia Menara, dan atau Kontraktor Menara dalam mengajukan Izin Mendirikan Menara wajib menyampaikan informasi rencana penggunaan Menara Bersama.
(5)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilakukan dengan perjanjian tertulis antara Penyelenggara Telekomunikasi.
Selanjutnya pada Pasal 4: (1)
Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Pemerintah Daerah dalam menyusun pengaturan penempatan Menara
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
mempertimbangkan aspek–aspek teknis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan prinsip-prinsip penggunaan Menara Bersama. (3)
Pengaturan penempatan lokasi Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yangbaik, dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan denganmelibatkan peran masyarakat dalam menentukan kebijakan untukpenataan ruang yang efisien dan efektif demi kepentingan umum. Kemudian dalam Pasal 8 dan Pasal 9 yang menyebutkan bahwa
Izin Mendirikan Menara di kawasan tertentu harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk kawasan dimaksud yang
56
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
merupakan merupakan kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu, antara lain: a. kawasan bandar udara/pelabuhan; b. kawasan pengawasan militer; c. kawasan cagar budaya; d. kawasan pariwisata; atau e. kawasan hutan lindung. Sedangkan pada Pasal 20 tentang Ketentuan Peralihan disebutkan: (1)
Penyelenggara Telekomunikasi atau Penyedia Menara, yang telah memiliki Izin Mendirikan Menara dan telah membangun Menaranya sebelum peraturan ini ditetapkan, harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini paling lama 2 (dua) tahun sejak peraturan ini berlaku .
(2)
Penyelenggara Telekomunikasi atau Penyedia Menara, yang telah memiliki Izin Mendirikan Menara namun belum membangun Menaranya sebelum peraturan ini ditetapkan, harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini.
Terakhir masalah perizinan diatur dalam Pasal 21: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan sanksi administrative berupa teguran, peringatan, pengenaan denda, atau pencabutan izin sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”. Jadi pembangunan menara telekomunikasi dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi harus memperoleh izin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang tanpa menjelaskan lebih jauh instansi mana yang dimaksud. Disamping itu berkaitan dengan penerbitan izin, Pemerintah Daerah juga harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
57
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Hal ini menjadi permasalahan dikemudian hari, apakah izin pembangunan menara telekomunikasi dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (karena terkait dengan penyelenggaraan telekomunikasi), atau pemerintah daerah (terkait dengan pengaturan penempatan lokasi dan tata ruang), disamping dua instansi lain yang terlibat yaitu Departemen Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sedangkan pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009,
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
No.3/P/2009
Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasimasalah
perizinan
ini
diatur
secara
lebih
detail
sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal berikut ini: Pasal 10: Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara diajukan oleh penyedia menara kepada Bupati/Walikota, dan khusus untuk provinsi DKI Jakarta permohonan izin diajukan kepada Gubernur. Pasal 11 (1)
Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. persyaratan administratif; dan b. persyaratan teknis.
(2)
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. status kepemilikan tanah dan bangunan; b. surat keterangan rencana kota;
58
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
c. rekomendasi dari instansi terkait khusus untuk kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; d. akta pendirian perusahaan beserta perubahannya yang telah disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM. e. surat bukti pencatatan dari Bursa Efek Indonesia (BEJ) bagi penyedia menara yang berstatus perusahaan terbuka; f. informasi rencana penggunaan bersama menara; g. persetujuan dari warga sekitar dalam radius sesuai dengan ketinggian menara; h. dalam
hal
menggunakan
genset
sebagai
catu
daya
dipersyaratkan izin gangguan dan izin genset. (3)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mengacu pada SNI atau standar baku yang berlaku secara internasional serta tertuang dalam bentuk dokumen teknis sebagai berikut: a. gambar rencana teknis bangunan menara meliputi: situasi, denah, tampak, potongan dan detail serta perhitungan struktur; b. spesifikasi teknis pondasi menara meliputi data penyelidikan tanah, jenis pondasi, jumlah titik pondasi, termasuk geoteknik tanah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Bersama ini; dan c. spesifikasi teknis struktur atas menara,meliputi beban tetap (beban sendiri dan beban tambahan) beban sementara (angin dan gempa),beban khusus,beban maksimum menara yang diizinkan, sistem konstruksi, ketinggian menara, dan proteksi terhadap petir.
59
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Pasal 12 (1)
Proses penelitian dan pemeriksaan dokumen administratif dan dokumen teknis paling lama diselesaikan 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dokumen administratif dan dokumen teknis diterima serta dinyatakan lengkap.
(2)
Dalam hal dokumen administratif dan dokumen teknis yang diterima belum lengkap, Pemerintah Daerah wajib menyampaikn informasi kepada pemohon paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak dokumen diterima.
(3)
Izin Mendirikan Bangunan Menara diterbitkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak dokumen administrasi dan/atau dokmen rencana teknis disetujui.
(4)
Kelaikan fungsi bangunan menara yang berdiri diatas tanah dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, kecuali terjadi kondisi darurat, dan melaporkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan menara kepada bupati/walikota secara berkala setiap tahun.
(5)
Kelaikan fungsi bangunan menara yang menjadi satu kesatuan konstruksi
dengan
bangunan
gedung
mengikuti
ketentuan
peraturan perundang-undangan bangunan gedung. (6)
Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku tanpa batas waktu sepanjang tidak ada perubahan struktur atau perubahan konstruksi menara.
Pasal 13 (1)
Penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dapat menempatkan: a. antena diatas bangunan gedung, dengan ketinggian sampai dengan 6 meter dari permukaan atap bangunan gedung sepanjang tidak melampaui ketinggian maksimum selubung
60
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
bangunan gedung yang diizinkan, dan konstruksi bangunan gedung mampu mendukung beban antena; dan/atau b. antena yang melekat pada bangunan lainnya seperti papan reklame,tiang lampu penerangan jalan dan
sebagainya,
sepanjang konstruksi bangunannya mampu mendukung beban antena. (2)
Penempatan antena sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak memerlukan izin.
(3)
Lokasi dan penempatan antena sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan rencana tata ruang wilayah dan keselamatan bangunan, serta memenuhi estetika.
Pasal 14 (1)
Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan zona-zona yang dilarang bagi pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang yang berlaku.
(2)
Zona-zona yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota dan wilayah provinsi DKI Jakarta dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan yang bersangkutan.
(3)
Larangan zona untuk pembangunan menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan layanan telekomunikasi pada zona tersebut.
Pasal 15 (1)
Pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dapat memungut retribusi terhadap Izin Mendirikan Bangunan Menara yang besarannya harus sesuai dengan penghitungan berdasarkan tingkat penggunaan jasa pelayanan perizinan dan mempertimbangkan tingkat kemampuan masyarakat setempat.
61
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
(2)
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(3)
Pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi DKI Jakarta serta aparatnya dilarang memungut retribusi dan atau pungutan lainnya di luar retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara.
Pasal 21 Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam memberikan
Izin
Mendirikan
Bangunan
Menara
di
wilayah
administrasinya. Pasal 25 Dalam hal terdapat pelanggaran, Bupati/Walikota atau Gubernur Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran, peringatan, pengenaan denda, atau pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
No.3/P/2009
Tentang
Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi ini Pemerintah Daerah adalah merupakan ujung tombak pelayanan publik dalam implementasi pengaturan menara bersama telekomunikasi. Hal ini dapat dilihat dari izin mendirikan bangunan menara dikeluarkan oleh Bupati/Walikota, atau Gubernur untuk DKI Jakarta.27 Juga ditetapkannya jangka waktu pengurusan izin Mendirikan Bangunan Menara yang diterbitkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
27
Bandingkan dengan penerbitan izin pada Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/ 3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi
62
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
sejak dokumen administrasi dan/atau dokmen rencana teknis disetujui oleh Pemerintah Daerah. Selain itu Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta juga harus menetapkan zona-zona yang dilarang bagi pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang yang berlaku. Zona-zona yang dilarang sebagaimana tersebut diatur dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota dan wilayah provinsi DKI Jakarta dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam kaitan dengan pelayanan publik pada peraturan menteri bersama ini adalah kewenangan pemerintah daerah memungut retribusi terhadap Izin Mendirikan Bangunan Menara yang besarannya harus sesuai dengan penghitungan berdasarkan tingkat penggunaan jasa pelayanan perizinan dan mempertimbangkan tingkat kemampuan masyarakat setempat. Sementara itu aspek perlindungan konsumen dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/M.KOMINFO/ 3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi dapat dilihat pada Pasal 12
dan Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009, No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasimasalah Pasal 18 yang sama-sama menyebutkan: (1)
Penggunaan Menara Bersama oleh Penyelenggara Telekomunikasi dilarang menimbulkan interferensi yang merugikan.
(2)
Dalam hal terjadi interferensi yang merugikan, Penyelenggara Telekomunikasi yang menggunakan Menara Bersama harus saling berkoordinasi.
63
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
(3)
Dalam hal koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, Penyelenggara Telekomunikasi yangb menggunakan Menara Bersama, Penyelenggara Telekomunikasi yang memiliki Menara dan/atau Penyedia Menara dapat meminta Direktur Jenderal untuk melakukan mediasi. Jadi ketentuan pembangunan menara dalam Permen ini tetap
mensyaratkan kepada penyelenggara telekomunikasi sebagai pengguna atau
yang
memanfaatkan
menara
telekomunikasi
untuk
tetap
memperhatikan aspek pelayanan kepada konsumen dengan menghindari terjadinya interferensi yang merugikan konsumen. Jadi pengaturan menara bersama tidak dapat dijadikan alasan oleh para penyelenggara telekomunikasi menurunnya kualitas layanan mereka kepada konsumen. Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (4) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009, No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi masalah menyebutkan Larangan zona untuk pembangunan menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan layanan telekomunikasi pada zona tersebut.
B.
Analisa Permasalahan Tata Ruang Seperti diketahui telah terjadi ketegangan hubungan pusat-daerah
menyangkut pengaturan menara telekomunikasi. Persoalannya yakni tentang benturan peraturan pusat - daerah, komunikasi dan koordinasi, political will para pemimpin, serta mungkin juga vested interest para pihak yang terlibat di dalamnya.
64
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam konteks otda (otonomi daerah), disharmoni hubungan pusat dan daerah dalam hal perizinan bukan hal baru, setidaknya sejak implementasi otda pada 2001. Di antaranya, berbagai pihak mencatat kasus seperti perizinan pendirian menara telekomunikasi. Dalam prakteknya, bisnis telekomunikasi yang banyak diburu para pemilik modal besar harus berhadapan dengan pemerintah daerah untuk penataan kota dan wilayah melalui penertiban atau perubahan menara liar yang ada di daerah. Jika mengacu pada semangat otonomi daerah, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur penertiban dan pendirian menara telekomunikasi di daerah. Jadi ketentuan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal
No.18
Tahun
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
2009,
No.3/P/2009
No.07/PRT/M/2009, Tentang
Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi itu hanya bersifat teknis. Dalam
implementasi
kebijakan
pengaturan
menara
bersama
telekomunikasi sering terjadi benturan kepentingan antara regulasi yang diatur Pemerintah Pusat dengan Peraturan Daerah yang akhirnya menimbulkan permasalahan baru, yaitu terjadi pembongkaran menara telekomunikasi eksisting di beberapa tempat dari berbagai operator. Hal ini bisa mengganggu akses kepada pengguna, yang apabila terjadi secara berkepanjangan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan merusak iklim investasi secara nasional. Meski bermanfaat dalam menyediakan infrastruktur untuk berkomunikasi, menara telekomunikasi bagi beberapa Pemerintah Daerah dirasakan cukup mengganggu sehingga perlu ditertibkan. Seperti telah disampaikan di atas bahwa Kementrian Pekerjaan Umum berencana akan menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur zona menara telekomunikasi yang akan menjadi acuan dasar atau pedoman bagi pemerintah kabupaten/kota dalam penataan kawasan yang menyangkut penempatan menara telekomunikasi.
65
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Sehubungan dengan hal tersebut Direktorat Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum telah menerbitkan Pedoman Kriterian Ruang Penentuan Lokasi Menara Telekomunikasi sebagai persiapan untuk selanjutnya akan dikemas dalam bentuk Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Pengaturan ruang untuk menara telekomunikasi meliputi pertimbangan dasar kriteria ruang penentuan lokasi menara telekomunikasi, kebutuhan akses telekomunikasi dan mekanisme implementasi ktiteria ruang pembangunan menara. Pedoman ini akan menjadi acuan Pemda dalam menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten maupun kota, khususnya untuk struktur jaringan telekomunikasi, minimal ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan yaitu menghasilkan kualitas ruang yang aman dan nyaman, serta pelayanan maksimal kepada masyarakat. Hal tersebut disampaikan dalam pertemuan konsensus muatan pedoman di Jakarta. Lebih lanjut pedoman ini berisi ketentuan tentang penentuan zona peruntukkan menara berdasarkan klasifikasi fungsi kawasannya. Hasil dari penentuan zona ini akan menjadi bagian dari rencana sistem jaringan telekomunikasi dalam rencana tata ruang. Penentuan zona peruntukkan menara menjadi wewenang dari pemerintah daerah. Adapun zona yang diatur adalah zona menara yang diperbolehkan adanya menara, zona bebas menara sebagai zona pelarangan menara, dan zona bebas visual menara. Pada zona bebas visual, menara boleh ada namun memerlukan pengaturan khusus, misalnya dengan kamuflase. Pengaturan ini bertujuan untuk menjaga kualitas visual ruang-ruang sekaligus memperkuat citra kawasan yang memiliki elemen khusus yang menjadi landmark atau focal point kabupaten/kota. Prinsip dasar ruang penentuan lokasi menara telekomunikasi yaitu: a. keselarasan fungsi ruang terkait keberadaan menara telomunikasi. b. Optimalisasi fungsi menara dalam mendukung sistem jaringan telekomunikasi Pedoman Kriterian Ruang Penentuan Lokasi Menara Telekomunikasi mengacu pada ketentuan perundang-undangan sebagai berikut:
66
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
a. Undang-undang No. 26 Tahiun 2007 Tentang Penataan Ruang. Bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. b. Peraturan pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasai disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya. c. Penjabaran Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Dalam kaitannya dengan pembangunan menara di kawasan tertentu serta pengecualian untuk ketentuan penggunaan menara di kawasan tertentu serta pengecualian untuk ketentuan penggunaan menara bersama. c. Penjabaran Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal
No.18
Tahun
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
2009,
No.3/P/2009
No.07/PRT/M/2009, Tentang
Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengelolaan menara, tata cara perizinan menara serta pengecualian untuk ketentuan penggunaan menara bersama. d.
Penjabaran Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang Dalam kaitan dengan pedoman pengaturan tata ruang, pembinaan penataan tata ruang dan pelaksanaan perencanaan tata ruang ,
67
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam Pedoman Kriteria Ruang Penentuan Lokasi Menara Telekomunikasi ini juga menyebutkan prinsip dasar kriteria ruang lokasi menara telekomunikasi, yaitu : a. Keselarasan fungsi ruang terkait kebaradaan menara telekomunikasi; b. Optimalisasi
fungsi
menara
dalam
mendukung
sistem
jaringan
telekomunikasi. Selain itu juga pedoman ini juga diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun rencana tata ruang terkait rencana jaringan telekomunikasi.
Untuk proses rencana pembangunan menara telekomunikasi
melalui mekanisme implementasi kriteria ruang lokasi menara dijabarkan dalam klasifikasi kriteria: a.
Kriteria Umum Kriteria umum merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi
terkait pembangunan menara telekomunikasi. Melalui kriteria umum ini diharapkan kepadatan menara telekomunikasi pada suatu kawasan dapat dikendalikan. Adapun yang dimaksud kriteria umum adalah : 1)
Tidak diperkenankan membangun menara telekomunikasi jika terdapat struktur bangunan dan/atau bangunan eksisting yang memenuhi kriteria keamanan dan keselamatan bangunan menara sebagai alternatif pengganti fungsi manara.
2)
Struktur manara yang dibangun mengikuti standar keamanan dan keselamatan bangunan menara.
3)
Struktur manara yang dibangun mengikuti standar ketinggian yang diberlakukan pada ,masing-masing daerah.
4)
Mempunyai luas lahan minimal yang cukup untuk mendukung pembangunan menara dan akses pelayanan/pemeliharaan menara sesuai peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup dan pedoman kriteria ruang penentuan lokasi menara telekomunikasi.
68
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
5)
Pemabangunan menara telekomunikasi pada kawasan bebas visual menara dan kawasan diperbolehkan dibangun menara serta sesuai dengan persyaratan pembangunan menara pada setiap klasifikasi zona.
b.
Kesesuaian Zona Rencana pembangungan menara disesuaikan dengan fungsi dan
daya dukung masing-masing zona. Secara umum, klasifikasi zona terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. c.
Kriteria Teknis Pembangunan Menara Kriteria teknis pembangunan menara merupakan persyaratan teknis
meliputi syarat-syarat ruang dan syarat-syarat teknis bangunan menara. d.
Kriteria Teknis Kualitas Ruang Kriteria teknis kualitas ryuang berkaitan dengan kualitas visual
ruang yang terbentuk akibat dibangunnya menara. Kriteria teknis ini didasarkan pada kebijakan masing-masing daerah terhadap ruang-ruang pembentuk karakter kota yang harus dilindungi. Dari uraian di atas nampak peran penting pemerintah daerah dalam pengimplementasian Peraturan Menteri Bersama tersebut.
Hal ini
dikarenakan menara telekomunikasi lebih terkait dengan aspek prasarana yang
dibangun
dan
merupakan
domain
kewenangan
pengaturan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah sebagai pihak yang berwenang mengatur tata ruang daerahnya kemudian membuat pengaturan menara telekomunikasi bersama di daerahnya masing-masing. Pengaturannya tidak hanya bertujuan agar tata kota menjadi lebih estetis dan harmonis dengan tata ruang dan wilayah di sekitarnya. Dari segi bisnis, menara telekomunikasi bersama juga dapat mendorong efisiensi dan menjadi sumber pendapatan daerah. Hal ini telah sejalan dengan yang diatur dalam Undang-undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa kewenangan pemerintah daerah meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
69
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota,pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota. Dilain pihak, pengaturan tata ruang menara telekomunikasi ini harus juga disesuaikan dengan aspek teknis menara seperti : a. faktor pasar, yang diwakili oleh sejumlah pelanggan dan posisi penyeberan pelanggan; b. Faktor teknologi, yang diwakili kapasitas suatu teknologi, cakupannya, frekuensinya, teknologi pendukung (tower, energi); c. Strategi khusus operator yang bersangkutan, yang diwakili rencana migrasi, timeline implementasi dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya pemerintah daerah menyusun perencanaan tata ruang menara terlebih dahulu. Pembuatan rencana tata ruang menara dengan maksud sebagai pedoman untuk penataan ruang bagi pelaksana pembangunan dan pengguna menara telekomunikasi. Rencana penataan ruang menara komunikasi tersebut mempunyai tujuan agar tidak terjadi hutan besi atau menara dan mengurangi kerawanan terjadi musibah robohnya menara serta mengurangi adanya gelombang elektro magnetic, juga mengurangi gangguan lingkungan lainnya, hal ini untuk masukan membuat peraturan bupati dan atau daerah tentang telekomunikasi dan sejenisnya. Dalam Peraturan Menteri Bersama ini Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta diwajibkan menetapkan zona-zona yang dilarang bagi pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang yang berlaku. Zona-zona yang dilarang tersebut, diatur dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota dan wilayah provinsi DKI Jakarta dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan yang bersangkutan.
70
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Terkait dengan penetapan zona-zona larangan tersebut Kementrian Pekerjaan Umum akan menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur zona menara telekomunikasi yang akan menjadi acuan dasar bagi pemerintah kabupaten/kota dalam penataan kawasan yang menyangkut penempatan menara telekomunikasi. Penetapan zona menara telekomunikasi juga terkait dengan peran pemerintah daerah dalam menerbitkan perijinan pembangunan menara telekomunikasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Bersama bahwa pembangunan menara wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan Menara dari Bupati/ Walikota, kecuali untuk Provinsi DKI Jakarta wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan Menara dari Gubernur. Jadi dalam semangat otonomi daerah (OTDA), pemerintah daerah merupakan ujung tombak pemerintah pusat dalam pengelolaan wilayah, termasuk perihal penertiban menara telekomunikasi yang dianggap mengganggu estetika dan lingkungan. Pemerintah Daerah dalam menyusun peraturan penempatan menara sebagaimana di atas harus mempertimbangan aspek-aspek teknis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan prinsip-prinsip penggunaan menara bersama selain menjamin terjadinya efisiensi penggunaan menara, kepastian investasi, transparansi, aspek kesetaraan yang berdampak penurunan harga layanan telekomunikasi. B.1.
Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama oleh Pemerintah Daerah Sesungguhnya jauh sebelum dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Komunikasi
Koordinasi
dan
Penanaman
No.07/PRT/M/2009,
Informatika Modal
dan
No.18
Kepala
Badan
Tahun
2009,
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Banyak pemerintah daerah yang
71
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
sudah membuat pengaturan menara telekomunikasi di daerahnya masing-masing. Apalagi di era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sebagian urusan pusat didesentralisasikan ke daerah, maka terbukalah peluang bagi pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya pada bidang-bidang tertentu. Dengan adanya mandat otonomi daerah tersebut, maka banyak daerah/kota yang mengeluarkan pengaturan mengenai pembanguan
menara
telekomunikasi
khususnya
menara
telekomunikasi bersama. Pengaturan ini bertujuan untuk mengatur tata kota agar tidak terjadi hutan menara telekomunikasi sehingga tata kota lebih estetis dan harmonis dengan lingkungan di sekitarnya. Sebenarnya tidak hanya itu saja, keberadaan menara telekomunikasi bersama ini dapat meningkatkan efisiensi sumber daya. Bagi daerah, menara telekomunikasi juga dapat menjadi sumber pendapatan daerah tersebut. Pemerintah-Pemerintah sejumlah
peraturan-peraturan
Daerah sebagai
kemudian
membentuk
wujud
pelaksanaan
pengaturan menara bersama telekomunikasi di daerahnya masingmasing. Adapun bentuk peraturan pelaksanaan ini berupa: 1.
Peraturan Daerah;
2.
Peraturan Bupati (PerBup); dan
3.
Peraturan Walikota (PerWal). Beberapa pemerintah daerah yang telah menerbitkan
peraturanmengenai menara bersama telekomunikasi sebanyak antara lain sebagai berikut : Tabel 1. Rekapitulasi Perda-Perda Mengenai Menara Telekomunikasi
No
1.
Peraturan Daerah
Daerah
Kabupaten Garut
No. 18 Tahun Penyelenggaraan Telekomunikasi
72
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
2008
tentang Menara
No
Peraturan Daerah
Daerah
2.
Kabupaten Padang Pariaman
3.
Kabupaten Gianyar
4.
Kota Bogor
5.
Kota Surabaya
6.
Kota Semarang
7.
Kota Batam
8.
Kota Yogyakarta
9.
Propinsi Sumatera Utara
No. 3 Tahun 2008 tentang Retribusi Pemberian Izin Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi No. 14 Tahun 2008 Tentang Penataan, Pembangunan, dan Pengoperasian, Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Gianyar No. 14 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Menara No. 3 Tahun 2008 Tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama Di Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama di Kota Semarang Perda Kota Batam No. 6 Tahun 2009 Tentang Menara Telekomunikasi di Kota Batam. Perwalkot Batam No. 31 tahun 2008 Tentang Perubahan Perwalkot Batam No. 22 Tahun 2007 Tentang Pengaturan Dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama Di Wilayah Kota Batam. Keputusan Bersama Walikota Batam dan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 092/SKB/HK/XII/2008, 10/KAKB/X/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Menara Telekomunikasi Bersama di Wilayah Kota Batam Perwal No. 29 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pembangunan Menara Telekomunikasi Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian dan Penataan Menara Telekomunikasi, Menara Penyiaran dan Menara Telekomunikasi Khusus di Propinsi Sumatera Utara
73
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
No
Peraturan Daerah
Daerah
10.
Kabupaten Badung
11.
Propinsi DKI Jakarta
12.
Kota Makassar
10.
Kabupaten Badung
11.
Propinsi DKI Jakarta
12.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 mengenai Penataan Menara Operartor Pergub No. 1 Tahun 2006 Tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi DKI Jakarta Peraturan Wali Kota No.19 tahun 2006 tentang ketentuan pembangunan menara telekomunikasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 mengenai Penataan Menara Operartor Pergub No. 1 Tahun 2006 Tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi DKI Jakarta
Peraturan Wali Kota No.19 tahun 2006 tentang ketentuan pembangunan menara telekomunikasi
Kota Makassar
Sumber : Disarikan dari berbagai Sumber Sayangnya beberapa
dari
peraturan-peraturan
daerah
tersebut hanya menitikberatkan pada aspek Pendapatan Asli Daerah (PAD) saja dan kurang menaruh perhatian pada fungsi menara telekomunikasi dalam aspek infrastruktur publik, sehingga dalam pelaksanaannya banyak terjadi benturan-benturan antara pemerintah daerah dengan para pelaku usaha telekomunikasi. Dalam perkembangan dan pelaksanaannya di lapangan, kerap dijumpai kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah terkait pelaksanaan dan penataan Menara Bersama yang memberatkan posisi operator dan tidak sejalan dengan yang diamanahkan oleh Pemerintah Pusat. Dampak dari kebijakan atau peraturan-peraturan Pemerintah Daerah yang tidak sesuai atau sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat ini menyebabkan timbulnya gangguan terhadap pembangunan dan pelayanan jasa telekomunikasi yang sangat
74
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
dibutuhkan
oleh
mengganggu telekomunikasi meningkatkan
masyarakat,
peran
penting
yaitu
yang pada dan
mendorong
kecerdasan
bangsa,
gilirannya
strategis
dapat
penyelenggaraan
pertumbuhan mendukung
ekonomi, terwujudnya
persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendukung kegiatan pertahanan dan keamanan. Operator-operator menilai konsistensi Pemerintah Pusat dari sisi pengawasan regulasi masih dirasa kurang.28 Salah satu contoh yang masih menjadi pembicaraan saat ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 6 Tahun 2006 mengenai Penataan Menara Operartor. Seperti diketahui bahwa Pemkab Badung belum lama ini mengirimkan surat kepada operator dan penyedia menara untuk merubuhkan 14 menara telekomunikasi milik Indosat (1 menara), Solusindo Kreasi Pratama/Indonesian Tower (8 menara), dan United Towerindo (5 menara). Aksi perubuhan ini merupakan lanjutan dari kiprah sebelumnya dimana pada akhir 2008 lalu, 6 menara telah dirubuhkan oleh Pemkab Badung. Selanjutnya pada Agustus 2009, Pemkab kembali merubuhkan 17 menara yang berakibat 90 BTS milik tujuh operator tidak lagi berfungsi normal. Ketujuh operator itu berikut jumlah BTS yang dirubuhkan adalah Telkomsel (22 BTS), Indosat (6 BTS), XL Axiata (8 BTS), Mobile-8 Telecom (33 BTS), Bakrie Telecom (6 BTS), Hutchison CP Telecom (6 BTS), dan Telkom (6 BTS). Tindakan tersebut mengakibatkan layanan seluler di sejumlah lokasi di daerah kawasan wisata yang meliputi Bandara Internasional Ngurah Rai, Kuta, Seminyak, dan sekitarnya, jadi tidak berfungsi optimal dan banyak blankspot.
28
Businessweek, 17 Desember 2008. hal. 019.
75
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Terdapat dua masalah yang menjadi perhatian dalam PERDA ini. Pertama, adanya pasal-pasal yang diindikasikan memuluskan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh rekanan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung. Kedua, Perda ini menjadi dasar hukum perlakuan represif Pemkab Badung yang semena-mena merubuhkan sejumlah menara telekomunikasi yang tidak dimiliki oleh rekanannya tersebut. Terkait dengan indikasi praktek monopoli, ada dua pasal yang perlu diperhatikan dalam PERDA ini. Pertama, pasal 6 ayat 2 Perda `Badung No. 6/2008 mengijinkan pemerintah daerah setempat bekerja sama dengan badan usaha penyedia menara dalam rangka pembangunan menara bersama di Badung. Kedua, pasal 40 yang menyatakan bahwa izin pembangunan dan penggunaan menara yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Bupati Badung No. 62/2006 tentang Penataan dan Pembangunan Infrastruktur Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung tetap berlaku sampai dengan masa izin menara tersebut berakhir. PEMKAB Badung, berdasarkan pasal 6 ayat 2 diatas, telah mengadakan Perjanjian Kerja Sama dengan PT. dengan Bali Towerindo. salah satu badan usaha penyedia menara untuk menguasai pembangunan menara bersama di Badung. Dalam salah satu butir PKS tersebut, Pemkab Badung tidak diperkenankan memberikan izin baru penyedia menara dan tidak boleh memperpanjang izin menara existing selama 20 tahun.
Klausa
poin c, Pasal 10 Ayat 2, dan Pasal 14 menutup peluang pengusaha yang baru, bahkan mengeluarkan pengusaha existing penyedia jasa menara telekomunikasi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, timbul dua kesan negatif berkenaan dengan pasal 40 ini. Yang pertama adalah maksud dan tujuannya untuk melindungi dan mengamankan keberadaan rekanan PEMKAB.
76
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Kedua, pasal tersebut disinyalir merupakan upaya terselubung untuk mengakomodir persaingan usaha yang tidak sehat dan praktek monopoli penyediaan menara bersama. Suatu hal yang jelas-jelas haram hukumnya jika menilik pasal 15 Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 2/2008 dan pasal 21 Peraturan Bersama.
Disamping
itu,
Perjanjian
Kerja
Sama
yang
ditandatangani Pemkab dan rekanannya ini juga melanggar pasal 15 dan pasal 17 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terlihat dalam klausa poin C, pasal 10 ayat 2, dan pasal 14 perjanjian tersebut dimana Pemkab Badung tidak diperkenankan memberikan izin baru bagi badan usaha penyedia menara lain sampai selesainya perjanjian dengan rekanan ini. Disamping Peraturan daerah yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Bersama, masih terdapat peraturan-peraturan daerah yang isinya sejalan dengan tujuan Peraturan Menteri Bersama. C.
Analisa Persaingan Usaha Sebagaimana telah diuraikan atas telah banyak pemerintah daerah yang
sudah membuat pengaturan menara telekomunikasi di daerahnya masing-masing. Namun dalam perjalannya peraturan daerah/kota tersebut secara tidak sengaja ternyata menciptakan ekslusifitas pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi bersama, sehingga pelaku usaha lain tidak mempunyai kesempatan untuk menjalankan kegiatan usaha pada sektor telekomunikasi. Adapun isu yang berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat terkait dengan implementasi peraturan menara telekomunikasi bersama ini adalah isu
mengenai
pemilihan
operator
pembangun
dan
pengelola
telekomunikasi bersama. Kebijakan menara bersama di
suatu
menara wilayah
menyebabkan jaringan menara tersebut berperan sebagai essential facility. Akibat kondisi ini, maka ekslusifitas pengelolaan oleh satu pelaku usaha di wilayah tertentu menjadi tidak terhindarkan. Dalam hal inilah, maka penggunaan prinsipprinsip persaingan usaha yang sehat menjadi sebuah keharusan dalam konsep
77
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
kebijakan menara bersama agar kebijakan menara bersama tersebut berfungsi secara optimum. Secara garis besar prinsip-prinsip tersebut adalah penentuan operator pengelola menara bersama melalui competition for the market, perlakuan non-diskriminatif dalam pengelolaan menara bersama, dan sikap mengedepankan efisiensi. Dengan adanya kecenderungan ekslusifitas ini kemudian perlu dipertanyakan kembali bagaimana pemerintah daerah tersebut dapat berperan dalam menciptakan efisiensi dalam pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi.
Jangan
sampai
tujuan
efisiensi
justru
menimbulkan
ketidakefisienan baru akibat ekslusifitas tersebut. Untuk itu, regulator daerah harus melakukan intervensi agar implementasi menara bersama menjadi lebih optimal29. Dengan
adanya
kecenderungan
ekslusifitas
ini
kemudian
perlu
dipertanyakan kembali bagaimana pemerintah daerah tersebut dapat berperan dalam menciptakan efisiensi dalam pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi.
Jangan
sampai
tujuan
efisiensi
justru
menimbulkan
ketidakefisienan baru akibat ekslusifitas tersebut. Untuk itu, regulator daerah harus melakukan intervensi agar implementasi menara bersama menjadi lebih optimal. Beberapa potensi tidak optimumnya pengaturan daerah terkait menara bersama dapat ditimbulkan oleh intransparansi pemerintah daerah dalam menentukan titik-titik menara maupun dalam memilih pelaku usaha. Untuk itu maka sudah seharusnya pemerintah daerah menetapkan penempatan lokasi menara (rencana tata ruang) yang dipublikasikan secara terbuka dan transparan. Dengan adanya kecenderungan ekslusifitas, maka pemilihan pelaku usaha harus dilakukan dengan sangat ketat, untuk memperoleh pelaku usaha yang tangguh dan memiliki kompetensi tinggi dalam menyediakan dan mengelola menara. Potensi lain yang terkait dengan persaingan usaha adalah sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (2) dan (5) yang menyebutkan bahwa Penyedia menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan a.penyelenggara tlekomunikasi; atau b. bukan penyelenggara telekomunikasi. Sementara Penyedia menara yang 29
Diana Yoseva, SE. http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=799&encodurl= 11%2F08%2F09%2C04%3A11%3A38
78
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
bukan penyelenggara telekomunikasi, pengelola menara atau penyedia jasa konstruksi untuk membangun menara adalah merupakan perusahaan nasional. Dibagian pengertian Perusahaan nasional adalah badan usaha yang berbentuk badan usaha atau tidak berbadan usaha yang seluruh modalnya adalah modal dalam negeri dan berkedudukan di Indonesia serta tunduk pada peraturan perundang-undangan
Indonesia.
Dengan
demikian
penyedia
menara
telekomunikasi tertutup bagi pihak asing. Jika pihak asing dilarang untuk berinvestasi di ranah bisnis ini maka di lain pihak pemerintah harus konsisten dengan usaha untuk meningkatkan nilai investasi asing di Indonesia. Pemerintah sebagai regulator harus bisa mengatur dengan cermat mana saja ranah investasi yang dapat dimasuki asing dan mana yang harus dikelola oleh pribumi. Selama masa transisi dua tahun , pemerintah harus proporsional mengimplementasikan Peraturan Menteri No. 2/ 2008. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana pemerintah mengatur sinergi antara operator yang sudah mendapat izin dengan operator lain yang sudah memiliki menara. Dalam pelaksanaan peraturan ini, pemerintah daerah perlu untuk memberikan
kemudahan
dalam
masalah
perizinan.
Kewenangan
dalam
memberikan perizinan sepenuhnya menjadi kewenangan dari pemerintah daerah (pemda), pemerintah kota (pemkot), dan pemerintah kabupaten (pemkab). Adapun mengenai bangunan fisik, lanjutnya, menjadi kewenangan Departemen Pekerjaan Umum. Diharapkan dengan dikeluarkannya SKB (Surat Keputusan Bersama) maka aturan-aturan perizinan tersebut dapat ditetapkan dengan adil. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memaksimalkan hasil dari peraturan menara telekomunikasi ini adalah dengan melakukan dialog-dialog yang konstruktif dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan usaha menara telekomunikasi. Pemerintah sebagai regulator hendaknya dapat menerapkan peraturan ini dengan professional. Praktik atau perilaku anti persaingan secara umum dapat dikategorikan ke dalam perjanjian atau kegiatan yang dapat mengambat persaingan, menghilangkan persaingan atau dikenal dengan praktik usaha yang restriktif (restrictive
79
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
agreements or business practices), dan penyalahgunaan posisi dominan atau penyalahgunaan kekuatan pasar yang signifikan (abuses of dominant position atau significant market power). Perilaku anti persaingan tersebut juga dapat terjadi di sektor telekomunikasi.30 Secara umum, terdapat dua model pendekatan pengaturan (pelarangan) tindakan anti persaingan, yaitu pendekatan yang mempertimbangkan dampak dari suatu tindakan yang dikenal dengan nama rule of reason dan pendekatan yang tidak mempertimbangkan dampaknya atau pendekatan per se illegal.31 Praktik atau tindakan anti persaingan yang nyata-nyata menghilangkan atau menghambat persaingan yang dampak negatifnya dapat langsung terlihat atau dirasakan umumnya diatur dengan menggunakan pendekatan per se illegal. Pendekatan pelarangan ini, penekanannya terletak pada unsur formil dari perbuatannya sehingga di dalam praktik pengaturannya, substansi aturannya hanya mengatur aspek formil dari perbutaan/tindakan yang dilarang atau dengan kata lain tidak mengatur aspek materiil atau akibat dari perbuatan.tindakan terkait.32 Persaingan
yang
sehat
dan
efektif
di
dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan efisiensi dan inovasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Tingkat persaingan yang sehat memungkinkan penyelenggara telekomunikasi untuk mencapai efisiensi dalam menggunakan sumber dayanya (allocative efficiency) dan mendorong inovasi. Peningkatan efisinesi dan inovasi pada gilirannya akan tercermin pada pilihan produk atau layanan telekomunikasi yang lebih banyak dan lebih baik kualitasnya dengan harga yang lebih terjangkau.33
30
Dr. Ir. Ahmad Ramadhan, M.S. Persaingan pada Usaha Menara Telekomunikasi (Kajian terhadap Dampak Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008) KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaingan Usaha
31
Ibid. Ibid. 33 Ibid. 32
80
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Lebih konkritnya hal tersebut diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009, No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Dalam Pasal 21 disebutkan: “Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam memberikan Izin Mendirikan Bangunan Menara di wilayah administrasinya”. Seandainya ada Pemda yang cenderung memaksakan untuk mendesak penyelenggara telekomunikasi dan atau penyedia menara telekomunikasi agar menggunakan penyedia menara telekomunikasi yang sudah ditentukan oleh Pemda setempat. Ini jelas melanggar Pasal 21 Peraturan Bersama tersebut: Penyedia menara atau pengelola menara wajib memberikan kesempatan yang sama
tanpa
diskriminasi
kepada
penyelenggara
telekomunikasi
untuk
menggunakan menara secara bersama-sama sesuai kemampuan teknis menara. Di samping itu ini juga bertentangan dengan Pasal 21: Pemerintah daerah kabupaten / kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam memberikan Izin Mendirikan Bangunan Menara di wilayah administrasinya. Dari sisi penyedia menara juga diatur dalam Pasal 16, yang menyebutkan: “Penyedia menara atau pengelola menara wajib memberikan kesempatan yang sama
tanpa
diskriminasi
kepada
penyelenggara
telekomunikasi
untuk
menggunakan menara secara bersama-sama sesuai kemampuan teknis menara”. Paradigma yang muncul atas semangat nasional. Dalam pelaksanaannya peraturan ini hanya bisa berdampak baik untuk perkembangan usaha menara telekomunikasi jika di terapkan dengan professional dan konsisten serta tetap memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
81
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Pemberlakuan undang-undang persaingan pada usaha menara telekomunikasi tidak dapat menjamin hasil yang efektif apabila tidak dibarengi dengan pelaksanaan yang konsisten. Pelaksanaan adalah suatu proses vital merubah halhal yang bersifat instruksi hukum menjadi prinsip-prinsip pengawasan terhadap perbuatan. Seperti halnya sebuah peraturan-peraturan menteri yang pernah di terbitkan, Peraturan Menteri No. 2/2008 hanya bisa berjalan efektif jika para stake holder memiliki komitmen kuat untuk memajukan bangsa ini. Dengan kata lain keberpihakan kepada hajat hidup orang banyak seperti yang diamanatkan pada Pasal 33 UUD Republik Indonesia menjadi suatu keharusan yang tidak dapat ditawar.
D.
Analisa Retribusi Perizinan dan Pendapatan Daerah Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dijelaskan mengenai pengertian retribusi daerah, yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.34
Dalam Pasal lain Undang-undang ini juga menetapkan
pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi sebagai salah satu jenis dari retribusi jasa umum.35 Sedangkan kriteria retribusi perizinan tertentu atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksud untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, presarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.36 Objek
Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi
adalah
pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek
34
Pasal 1 butir 64 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 110 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 36 Adrian Sutedi, SH., MH.. Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Sinar Grafika 2009, halaman 238 35
82
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.37 Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.38 Berkaitan dengan perizinan menara telekomunikasi juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009, No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi, mengatur bahwa Izin Mendirikan Bangunan Menara diajukan oleh penyedia menara kepada Bupati/Walikota, dan khusus untuk provinsi DKI Jakarta kepada Gubernur, izin mendirikan bangunan menara dikeluarkan oleh Bupati/Walikota, atau Gubernur untuk DKI Jakarta. Selain itu pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut retribusi terhadap Izin Mendirikan Bangunan Menara yang besarannya harus sesuai dengan penghitungan berdasarkan tingkat penggunaan jasa pelayanan perizinan dan mempertimbangkan tingkat kemampuan masyarakat setempat. Dari uraian di atas, pembangunan menara telekomunikasi harus memiliki izin mendirikan bangunan menara dan dalam rangka penerbitan izin tersebut dikenakan retribusi oleh pemerintah daerah. Lalu apakah sebetulnya esensi dari perijinan itu? Mengapa perlu dikeluarkan izin lebih dahulu terhadap suatu perbuatan tertentu? Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
37 38
Pasal 124 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Penjelasan Pasal 124 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
83
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
ketentuan larangan pearturan perundang-undangan.
Izin dapat juga diartikan
sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.39 Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.40 Dengan memberi izin pengusa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan.41 Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dilakukan dengan cara-cara tertentu, Penolakan izin terjadi bila criteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi. Misalnya tentang hal ini adalah dilarang mendirikan suatu bangunan kecuali ada izin tertulis dari pejabat yang berwenang dengan ketentuan mematuhi persyaratan-persyaratan.42 Secara umum, tujuan dan fungsi dari perizinan adalah pengendalian dari pada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang. Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu:43 1.
Dari sisi pemerintah Dari sisi pemerintah tujuan pemberian izin adalah sebagai berikut: a.
Untuk melaksanakan peraturan.
39
Adrian Sutedi SH., MH.. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika 2010, halaman 167 – 168. 40 Ibid, halaman 168 41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid., halamn 200
84
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidakdan sekaligus untuk mengatur ketertiban. b.
Sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu.
Semakin banyak pula pendapatan di bidang retribusi
tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai pembangunan. 2.
Dari sisi masyarakat Dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin adalah sebagai berikt: a.
Untuk adanya kepastian hukum.
b.
Untuk adanya kepastian hak.
c.
Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas.
Dilain pihak ketentuan mengenai sumber-sumber pendapatan daerah dapat kita temui dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah (i) Pajak Daerah, (ii) Retribusi Daerah, (iii) hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan (iv) lain-lain PAD yang sah. Sedangkan prinsip dasar pengenaan retribusi adalah bahwa pembayaran retribusi harus mendapatkan manfaat langsung dari penerima retribusi, oleh karenanya penetapan suatu retribusi tidak boleh ditujukan untuk peningkatan pendapatan daerah namun untuk peningkatan kualitas pelayanan.44 Namun dalam upaya untuk meningkatkan PAD, pemerintah daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
44
Adrian Sutedi, SH., MH. Op cit, halaman 145
85
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor. Jadi sekalipun pajak dan retribusi daerah adalah merupakan pendapatan asli daerah, namun dalam menerbitkan peraturan daerah terkait pajak dan retribusi di daerahnya, pemerintah tidak bisa semena-mena dalam menetapkan besaran pajak dan retribusinya. Hal tersebut di atas terkait dengan biaya retribusi perizinan. Biaya perizinan adalah merupakan salah satu elemen pokok perizinan.
Biaya/tarif
pelayanan termasuk rinciannya ditetapkan dalam proses pemberian izin, penetapan biaya pemberian izin perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.
Rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan;
b.
Ditetepakan
oleh
peraturan
perundang-undangan
atau
dengan
memperhatikan prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembiayaan menjadi hal mendasar dari pengurusan perizinan. Namun perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas masyarakat sedah seharusnya memenuhi sifat-sifat sebagai public goods. Dengan demikian meskipun terdapat pembiayaan, sesungguhnya bukan untuk sebagai alat budgetaire Negara.45
Oleh karena itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: a.
Disebutkan dengan jelas.
b.
Terdapat (mengikuti) standar nasional.
c.
Tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap obyek (syarat) tertentu.
d.
Perhitungan didasarkan kepada tingkat real cost (biaya yang sebenarnya).
e.
Besarnya biaya diinformasikan secara luas.
Adapun sifat-sifat dari barang public sebagaimana disebutkan di atas adalah: 45
Adrian Sutedi, SH., MH..Op cit, halaman 188
86
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
a.
Mempunyai tingkat excludability yang rendah, maksudnya penyediaan barang atau jasa/pelayanan dapat menghalangi (atau mengecualikan) orang lain untuk menggunakan atau memperoleh manfaat dari barang atau jasa tersebut.
b.
Mempunyai
tingkat
rivalitas/persaingan
yang
rendah,
maksudnya
pemanfaatan atau menggunaan suatu barang atau jasa dapat mengurangi ketersediaan barang atau jasa dimaksud bagi orang lain. Sementara itu apa yang disampaikan oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) dalam Forum Investasi Perumahan dan Permukiman, adapt kiranya dilakukan kajian lebih jauh. Beliau mengatakan: “Jika pemerintah daerah menganggap izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin-izin lainnya dianggap sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), itu sesuatu yang keliru”. Jadi nampaknya kedudukan retribusi perijinan dalam pendapatan asli daerah masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengingat perizinan merupakan salah satu tugas pemerintah daerah dalam pelayanan publik.
E.
Bentuk Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama dalam Hirarki Perundang-undangan 1.
Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia Untuk memudahkan pemahaman tentang kedudukan hukum
Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri., tentunya harus membahas juga tentang regulasi yang mengatur hierarki peraturan perundang-undangan. Kemudian, mempelajari dan mengkaji asas-asas yang terkait dengan keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini ditujukan untuk memahami secara komprehensip dan benar apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan serta kedudukan hukumnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia diawali dengan lahirnya Ketetapan MPR No.XX/MPR/1966.
Dalam Lampiran 2,
disebutkan bahwa hierarki perundang-undangan Indonesia adalah:
87
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
1. Undang-undang Dasar 2. Ketatapan MPR 3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: a. Peraturan Menteri b. Instruksi Menteri c. Dan lain-lainnya Selanjutnya seiring dengan perubahan-perubahan politik di Indonesia, MPR mengeluarkan Ketetapan baru mengenai hirarki perundang-undangan ini melalui Ketetapan MPR Nomor. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan. Lahirnya Ketetapan MPR ini didorong oleh terjadinya reformasi pemerintahan di Indonesia yang menuntut diberikannya otonomi yang lebih besar bagi daerah di Indonesia sehingga mendorong pemerintah untuk mengubah konsep otonomi daerah. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian diganti oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004), yang disusul oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 ( kemudian diganti oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004). Dengan semakin luasnya otonomi yang dimiliki oleh daerah maka semakin besar pula kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur daerahnya, sehingga semakin besar pula peranan Peraturan Daerah (PERDA) dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hal ini mendorong dimasukkannya Peraturan Daerah ke dalam tata urutan perundangan di Indonesia. Dalam Ketetapan MPR Nomor. III/MPR/2000 ini diatur tata urutan perundangan di Indonesia sebagai berikut:
88
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
1. Undang-undang Dasar 2. Ketatapan MPR 3. Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Selanjutnya, dalam perkembangannya pemerintah melakukan penyempurnaan lebih lanjut terhadap ketentuan Ketetapan MPR Nomor. III/MPR/2000 ini hingga lahirlah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis, yang dibentuk oleh negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dari bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu peraturan tertulis seperti, undangundang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan Menteri, Keputusan Gubernur Bank Indonesia dan lain sebagainya. Dengan demikian, peraturan atau norma yang sifatnya tidak tertulis seperti, kebiasaan, adat istiadat tidak termasuk dalam pengertian ini. Kemudian, peraturan tersebut harus dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Selanjutnya, peraturan tersebut harus mengikat secara umum, bukan seseorang atau sekelompok orang tertentu. Oleh karena itu unsur peraturan menurut pasal 1 angka (2) di atas adalah tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan peraturan yang dibuat berlaku untuk umum. Pengertian peraturan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka (2)
di
atas,
apabila
dihubungkan
dengan
suatu
keputusan
(beschikking/decree) yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang
89
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
bersifat konkrit dan khusus tidak termasuk paraturan akan tetapi keputusan. Dikatakan demikian, karena produk peraturan perundangundang tersebut tidak berlaku umum. Misalnya, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Bupati, Keputusan suatu badan tertentu dan lain-lain. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 ditentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan Repulik Indonesia adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah Apa yang disebutkan di atas, sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, yang mengatakan sebagai berikut: "Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksaan Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat" Apabila penjelasan dengan Pasal 7 ayat (1) di atas dikaitkan dengan bunyi pasal 7 ayat (1) itu sendiri seolah-olah kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah Agung dan organ negara lainnya berada di bawah Peraturan Daerah. Namun, bila dicermati lebih jauh Pasal 7 ayat (4), akan terlihat bahwa peraturan yang dibuat oleh organ negara atau lembaga pemerintah tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah.
90
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam hubungannya dengan jenis peraturan perundang-undangan, Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan sebagai berikut: "jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dari sudut hukum taat negara, tinggi rendahnya kedudukan suatu peraturan perundang-undangan sangat bergantung kepada peraturan perundang-undangan yang memerintahkan peraturan perundang-undangan itu dibuat. Dengan kata lain, apabila suatu peraturan perundang-undangan diperintahkan oleh undang-undang, seperti Peraturan Telekomunikasi, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikatakan setingkat dengan peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan peraturan tersebut dibuat atas perintah undang-undang. Dengan demikian, apabila suatu peraturan perundang-undangan dibuat atas dasar perintah dari peraturan pemerintah, maka kedudukan peraturan tersebut berada di bawah peraturan pemerintah. Dengan demikian, yang menentukan kedudukan hukum suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung kepada peraturan yang menjadi dasar dibuatnya peraturan perundang-undangan itu sendiri. Pemahaman tersebut mempunyai arti penting khususnya dalam memahami asas lex superior derogat legi inferiori. Menurut asas ini, jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka peraturan yang secara hierarki lebih rendah tersebut harus disisihkan. Dengan kata lain, peraturan perundangundangan yang lebih tinggi mempunyai kedudukan hukum yang lebih tinggi pula dari peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Di samping asas lex superior derogat legi inferiori, dalam melakukan pendekatan peraturan perundang-undangan, juga perlu mencermati asas lex specialis derogat legi generalis. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan, akan tetapi ruang lingkup
91
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan tersebut tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Akan tetapi, asas ini mengharuskan adanya identifikasi ruang lingkup materi peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Hal ini ditujukan untuk mengetahui kekhususan dari kedua paraturan perundangundangan yang bersangkutan. Kemudian, asas lex specialis derogat legi generalis harus mempunyai kedudukan hukum yang sama dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, asas ini tidak akan diterapkan terhadap dua peraturan perundang-undangan yang satu sama lain mempunyai kedudukan hukum yang berbeda. Kembali pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 dapat dilihat bahwa adanya jenis peraturan perundang-undangan lain selain yang disebutkan dalam pasal itu sendiri. Seperti, suatu peraturan yang dibuat oleh suatu organ negara atau lembaga pemerintah yang diperintahkan oleh undang-undang peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh organ negara lain atau lembaga pemerintah yang juga diperintahkan oleh undang-undang. Asas berikutnya adalah asas lex posterior derogat priori, yang artinya
adalah
peraturan
perundang-undangan
yang
kemudian
menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan perundang-undangan yang baru, lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Namun, apabila peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat untuk ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang sedang dihadapi. Perlu
diketahui
bahwa
dalam
setiap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan, perlu dicermati landasan filosofis dari setiap peraturan
perundang-undangan
yang
diacunya.
Di
samping
memperhatikan bentuk peraturan perundang-undangan tersebut, juga perlu menelaah materi muatannya, alasan dasar adanya peraturan tersebut, landasan lahirnya peraturan tersebut, landasan filosofis peraturan tersebut, dan ratio logis dari ketentuan peraturan. Latar belakang lahirnya peraturan
92
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
tersebut, kebutuhan akan hadirnya peraturan ini dan juga penting memperhatikan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004. Berbicara mengenai Peraturan Menteri sebagai salah satu instrumen
hukum
yang masih
sangat
diperlukan
dalam
rangka
melaksanakan peraturan perundangundangan baik yang secara tegas didelegasikan oleh suatu peraturan perundangundangan yang diatasnya maupun karena kewenangan atributif yang dimiliki oleh Menteri sebagai pembantu pemerintah dalam penyelenggaraan negara, maka produk hukum tersebut masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Tindakan Menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut atas didasarkan atas tertib penyelenggaraan pemerintah yang dinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi dan kepentingan prosedur lainnya. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan dengan jelas dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2). Pasal 7 ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Kemudian dalamayat (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: 1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; 2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
93
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
2.
Perbedaan dan Persamaan Peraturan Dengan Keputusan Sebelum membicarakan tentang Peraturan Menteri ini sebaiknya
harus mengetahui apa perbedaan antara keputusan dan peraturan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa keputusan adalah perihal yang berkaitan dengan putusan, atau segala putusan yang telah ditetapkan setelah hal tersebut dipertimbangkan dan dipikirkan. Sementara itu, di dalam ilmu perundang- undangan, keputusan adalah perihal putusan sebagai hasil tindakan pejabat yang berwenang dalam rangka menentukan atau
menetapkan
kebijakan
tertentu
yang
diinginkan,
termasuk
mengangkat atau memberhentikan pejabat di lingkungannya. Keputusan untuk mengangkat atau memberhentikan pejabat tertentu sering sering disebut dengan istilah penetapan (beschikking). Sedangkan putusan juga telah dikenal dalam dunia peradilan yang dikenal dengan vonis yakni, pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk menentukan terdakwa atau tergugat bersalah atau tidak. Keputusan pejabat yang selama ini dipahami terdiri dari 2 keluaran yakni keputusan yang berupa pengaturan dan keputusan yang berupa penetapan. Pemahaman ini dicetuskan oleh A. Hamid S Attamimi untuk menghindari istilah "peraturan" (sebagai nomenklatur tersendiri) yang dalam perjalanan sejarah pernah disalahgunakan sebagai produk kebijakan yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Keputusan yang berupa pengaturan dan penetapan, dari format dan isi atau substansi keduanya memang berbeda. Penetapan pada dasarnya tidak termasuk dalam lingkup peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, isi atau substansi keputusan yang dikeluarkan pejabat tidak mengikat umum, tetapi mengikat individu atau kelompok tertentu di lingkungan pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut dan hanya berlaku sekali atau pada saat itu saja.
94
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 dibatasi pada keputusan yang berupa pengaturan yang pengaturan disebut "peraturan" sebagai nomenklatur untuk membedakan "keputusan". Walaupun UU No. 10 Tahun 2004 tersebut tidak disahkan oleh Presiden, maka Presiden memberikan kesempatan kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya
di
bidang
peraturan
perundang-undangan
untuk
mengundangkannya. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tersebut yang memang diperintahkan sendiri oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, yang kita kenal selama ini dengan Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota berubah menjadi Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota. Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan peraturan menteri masih
sangat
diperlukan
dalam
rangka
melaksanakan
peraturan
perundang- undangan di atasnya yang secara jelas mendelegasikan. Jika pendelegasian tersebut tidak jelas atau sama sekali tidak ada delegasian dari peraturan di atasnya, tetapi menteri memerlukan pengaturan, maka kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini diperbolehkan. Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya. Dalam kaitannya dengan pembahasan tersebut di atas, perlu disimak secara khusus pasal tersebut di bawah ini; Pasal 7 ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;
95
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Kemudian ayat (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: 1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; 2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Seterusnya ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Semetara itu, ayat (4) menyebutkan bahwa Jenis Peraturan Perundangundangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya, ayat (5) menyebutkan bahwa Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penjelasan (Pasal 7) Ayat (2), Huruf a Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Sedangkan
ayat
(4)
menyebutkan
bahwa
Jenis
Peraturan
Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
96
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, dewan perwakilan rakyat daerah provinsi, gubernur, dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat. Dalam penjelasan ayat (5) tersebut disebutkan bahwa Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Misalnya UU tidak boleh bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kaitannya dengan materi muatan Peraturan Menteri adalah materi yang diperintahkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden. Apabila ditelaah lebih jauh Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 pada dasarnya melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (selanjutnya disebut Tap MPR No.I Tahun 2003). Pasal 4 angka 4 Tap MPR tersebut menentukan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undangundang. Secara tersirat Tap MPR tersebut mengamanatkan dibentuknya suatu undang-undang untuk menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan, termasuk pula pengaturan mengenai tata cara pembentukan peraturan perundangundangan.
3.
Kedudukan Peraturan Menteri Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Dalam
rangka
melaksanakan
peraturan
perundangan
yang
melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka kepala pemerintahan
97
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
yang bersangkutan juga perlu diberikan wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu, selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden (Pouvoir Reglementair). Karena banyaknya kebijakan pemerintahan yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan yang bersifat pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi, maka para Pembantu Presiden, yaitu para Menteri atau Pejabat Tinggi yang menduduki jabatan politis setingkat Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dapat pula diberikan kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat pelaksanaan tersebut. Dengan demikian, secara tegas dapat diatur bahwa semua kebijakan yang bersifat mengatur di bidang yang menjadi tugas kementerian tertentu, haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau pejabat setingkat Menteri. a.
Prinsip dan Asas Pembentukan Peraturan Menteri Pada prinsipnya jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan. Prinsip tersebut di atas dapat dijadikan asas atau patokan dalam menyusun Peraturan Menteri, di samping juga asas-asas lain yang secara umum telah dianut oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, misalnya46; a. asas tujuan yang jelas; b. asas organ atau lembaga yang tepat;
46
Azas-azas ini juga terdapat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanmgan
98
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
c. asas perlunya peraturan; d. asas dapat dilaksanakan; e. asas perlakuan yang sama dalam hukum; f. asas kepastian hukum; dan g. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar. Kemudian, dalam Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundangundangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: 1. kejelasan tujuan; 2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; 4. dapat dilaksanakan; 5. kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6. kejelasan rumusan; dan 7. keterbukaan. Di samping asas-asas di atas, dalam membentuk peraturan perundangundangan harus diperhatikan mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. Setiap jenis peraturan
perundang-undangan
mempunyai
materi
muatan
tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundangundangan di atasnya. Di dalam Pasal 6 Undang- Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan sebagai berikut; a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan;
99
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Kemudian ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Selain prinsip dan asas di atas, dalam membentuk Peraturan Menteri perlu diperhatikan landasan yuridis yang jelas karena tanpa landasan atau dasar yuridis yang jelas, Peraturan Menteri tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dengan demikian,
Peraturan
menunjukkan
dasar
Menteri hukum
yang apa
dibentuk
yang
harus
dijadikan
dapat
landasan
pembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundangundangan terkait dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri. Di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan disebutkan mengenai tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya sesuai dengan hierarki urutannya. Dalam pembentukan Peraturan Menteri, untuk menjamin sikap kehati-hatian tidak menghalangi inisiatif yang tumbuh dari bawah, maka perlu dikembangkan pemahaman bahwa: (a) prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’ mengharuskan norma hukum
100
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
yang di bawah tidak bertentangan dengan norma hukum yang di atas. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, prinsip tersebut diimbangi oleh prinsip lain, yaitu ‘lex specialis derogat lex generalis’ bahwa norma hukum yang khusus, baik materinya maupun wilayah berlakunya ataupun waktu berlakunya, dapat saja mengatur yang berbeda dari norma hukum yang bersifat umum tanpa mengubah status keberlakuan norma hukum yang bersifat umum tersebut47. Namun hendaknya Pembentuk peraturan perlu bersepakat bahwa lex posterior derogat priori dan lex specialis derogat lex generalis didasarkan pada hal yang sejenis, dalam arti bahwa bidang hukum yang mengatur sumber daya alam, misalnya, tidak boleh mengesampingkan bidang hukum perpajakan. Dengan demikian, yang dapat mengesampingkan bidang hukum perpajakan tersebut adalah bidang hukum perpajakan lainnya yang ditentukan kemudian dalam peraturan. Sehingga, pembentuk peraturan (perancang) dituntut untuk selalu melakukan tugas pengharmonisan dan sinkronisasi dengan peraturan yang ada dan/atau terkait pada waktu menyusun peraturan. Selanjutnya, (b) dalam hukum dibedakan antara istilah pertentangan norma (contra legem) dengan ketidaksesuaian norma (praepria). Peraturan Daerah mutlak tidak boleh mengatur norma yang berlawanan atau bertentangan dengan norma yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi. Akan tetapi, jika materi yang diatur bukan berlawanan tetapi hanya tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, maka hal itu masih dapat diterima secara hukum. (c) dalam hal ditemukan adanya perbedaan pengaturan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, maka penafsirannya disarankan dikaitkan dengan elemen teleologis dari materi peraturan itu, yaitu menyangkut tujuannya (doelmatigheid).
47
Kajian Asosiasi Telepon Seluler Indonesia tentang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 2009 - 07/PRT/M/2009 – 19/PER.MENKOMINFO/03/2009
101
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Jika
tujuannya
sama,
maka
perbedaan
dalam
teknis
pelaksanaannya, sepanjang tidak mengganggu proses pencapaian tujuan langsungnya, maka keduanya masih dapat diterima sebagai dokumen hukum menurut pengertian ketidaksesuaian seperti pada butir (b) tersebut di atas. Dengan demikian, inisiatif dari bawah tidak perlu terganggu, tetapi kita siap untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekisruhan dalam pengaturan teknis hukumnya di lapangan48. Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan adalah mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma Peraturan Menteri harus ditujukan langsung kepada
pengaturan
lingkup
bidang
tugas
Menteri
atau
departemennya yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetap pula memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya. b.
Muatan dan Prosedur Pembuatan Peraturan Menteri Dalam menyusun muatan suatu kebijakan dikenal Norma Peraturan Perundangan49. Yang dimaksud dengan Norma Peraturan Perundangan ini adalah Membuat suatu norma, pada dasarnya merupakan pekerjaan berkomposisi, namun berkomposisi dengan memfokuskan pada kalimat yang mengandung suatu larangan, suruhan, kebolehan, diskresi, dan pengecualianbertindak bagi masyarakat,
golongan
menciptakansuatu
tertentu,
kewenangan
atau baru
perorangan, atau
menghapuskan
kewenangan yang sudah ada. 48
Ibid Suhariyonoar. Bahasa, Norma, Dan Materi Muatan Peraturanperundang-Undangan. http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+4&f=bahasanorma.htm
49
102
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
atau
Prototipe (model awal sebagai contoh) norma hukum adalah “perintah” bagi setiap orang (umum) sebagai dasar penguat bagipemerintah (penguasa) untuk menegakkan hukum. Jangkauan perintah untuk setiaporang (umum) harus dipenuhi bagi norma hukum. Jika norma hukum sebagai perintah, maka adanya norma hukum itu harus tertulis karena terkait dengan seseorang yang memberi perintahdan yang diberi perintah. Norma hukum tidak tertulis tidak ada yang memberiperintah. Di samping itu, perintah berkaitan dengan yang dialamatkan dan yangmengalamatkan. Norma
hukum
harus
sampai
kepada
yang
dialamatkan
(yangdiperintah). Kadangkala norma hukum lebih dari perintah karena yang diberiperintah mengharapkan, di samping taat atas perintah, juga mengemban kewajibanterhadap orang lain yang terlibat dalam pergaulan sosial. Dari hal inilah normahukum sebagai perintah dapat ditipikasi. Jadi, norma adalah norma sosial yangmengarahkan diri pada perbuatan mereka yang menjadi warga masyarakat tempat norma hukum berlaku. Secara umum orang mengatakan bahwa aturan-aturan hukummengatur hubunganhubungan
pergaulan
dan
bagaimana
antarmereka
berperilaku.Norma hukum timbul dari kesadaran hukum para warganya. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu norma harus diketahui terlebih dahulu norma tersebut untuk siapa (subjek norma) dan jenis perintahnya apa (operator norma) serta perbuatan apa yang diperintahkan tersebut (objek norma). Jika diperlukan, dalam membuat suatu norma agar tidak ditafsirkan lain, ditambahkan suatu persyaratan tertentu kaitannya dengan waktu, tempat, situasi, atau kondisi tertentu lainnya (kondisi norma). Kemudian, dalam merancang suatu Peraturan Menteri, perlu diperhatikan pula mengenai bentuk atau format dan teknik
103
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
penyusunan suatu Peraturan Menteri yang akan dibentuk tersebut. Format dan teknik penyusunanPeraturan Menteri ini penting untuk diperhatikan dan dipatuhi, bukan sekadar keseragaman Peraturan Menteri,
melainkan
juga
untuk
kepastian
hukum.
Dalam
pembukaan Peraturan Menteri, misalnya, yang patut dicermati adalah bagaimana menyusun pertimbangan atau konsiderans yang baik sehingga Peraturan Menteri yang dibentuk tersebut sudah mencerminkan adanya keinginan atau keharusan bahwa perlu dibentuk suatu Peraturan Menteri sebagai dasar yuridis. Ketiga hal di atas yang disusun dalam bentuk alinea harus dibuat secara runtut dan
mengalir
berdasarkan
kemampuan
berkomposisi
dari
perancang peraturan perundang-undangan itu sendiri. Ketajaman mengemukakan fakta dan alasan dibentuknya peraturan serta tujuan yang hendak dicapai, adalah hal yang diperlukan dalam berkomposisi. Selain format dan teknik penyusunan, hal yang perlu mendapat
perhatian
adalah
pemahaman
mengenai
bahasa
perundang-undangan yang selalu melekat pada pembentukan Peraturan Menteri. Bahasa perundang-undangan adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Namun perlu disepakati bahwa bahasa perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya yang khas yang bercirikan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan, dan keserasian. Hal penting yang harus diperhatikan adalah orang jangan diberikan kesan oleh pembentuk Peraturan Menteri bahwa pembentuknya senang dengan kuantitas Peraturan Menteri yang dihasilkan, namun Peraturan Menteri tersebut sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Asas dapat dilaksanakannya Peraturan Menteri (lihat asas di atas) terkait dengan kesiapan departemen secara nyata untuk melaksanakan Peraturan Menteri yang dibentuknya. Jangan
104
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
sampai terjadi bahwa keinginan membentuk Peraturan Menteri hanya didasarkan pada nilai kuantitas yang dihasilkan sebagai keinginan untuk selalu melakukan tertib perkantoran dan tertib administrasi serta tertib lainnya yang sebetulnya tidak perlu, melainkan bagaimana Peraturan Menteri tersebut dilaksanakan dan sekaligus ditegakkan. Oleh sebab itu, pada saat Menteri mempunyai keinginan untuk mengatur sesuatu ke dalam Peraturan Menteri, maka hal pokok yang diperhatikan adalah sumber daya manusia (aparatur) (SDM) dan sumber dana yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Menteri tersebut harus tersedia atau yakin akan disediakan. Jika belum, maka pembentukan Peraturan Menteri ditunda dulu atau jika Rancangan Peraturan Menteri telah dipersiapkan, maka pembahasannya yang ditunda. Kebutuhan dana biasanya terkait dengan pengaturan mengenai pengadaan teknologi canggih dalam mempermudah penyelenggaraan administrasi sebagai suatu kebijakan menteri. Kebutuhan pengaturan tidak bisa ditunda dalam hal pengaturan tersebut memang secara nyata diperintahkan langsung oleh peraturan di atasnya. c.
Kedudukan Peraturan Menteri dan Peraturan Menteri Bersama Dalam Tata Pemerintahan Dengan diundangkankannya UU No. 10 Tahun 2004 yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2005 telah memberikan kepastian dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah. Dengan adanya undang-undang tersebut, sebagaimana diuraikan
di
atas,
memberikan
landasan
yuridis
dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan
105
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat. Sebagai hukum positif, keberadaan dan keberlakuan suatu Peraturan Menteri (terutama yang mengatur kepentingan publik) adalah mengikat, karena merupakan pelaksanaan dari UndangUndang yang kedudukannya lebih tinggi, dalam hal ini sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 199950. Analogi sederhana yang mungkin dapat diterapkan dalam hal kedudukan Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah adalah dimana Kepala-Kepala Daerah (Gubernur,
Bupati maupun
Walikota) secara struktural pada hakekatnya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Menurut pendapat pakar ilmu perundang-undangan, Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, "Keputusan Menteri itu harusnya di bawah Keputusan Presiden karena menteri bertanggung jawab langsung kepada Presiden." Lebih lanjut menurut beliau, bahwa tidak dicantumkannya Peraturan Menteri atau jenis-jenis peraturan perundang-undangan lainnya di dalam hierarki, tidak dapat kemudian ditafsirkan kedudukannya berada di bawah Perda. Tetapi, ia menyadari pula bahwa penafsiran seperti itu bisa menjadi pegangan
oleh
banyak
orang
karena
memang
terdapat
ketidakjelasan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ketidakjelasan ini, menurut Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, bisa menghambat upaya untuk mewujudkan tatanan hukum dan peraturan perundang-undangan yang tertib di masa yang akan datang. Ada dua alasan mengapa Peraturan Menteri disebutkan letaknya berada di antara Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pertama, jika Peraturan Menteri ditempatkan di bawah Peraturan Daerah akan bertentangan dengan asas hierarki. Yang dimaksud 50
Ibid
106
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, akan
bertentangan
dengan
wilayah
berlakunya
peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang berlaku secara nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya mempunyai kedudukan yang lebih lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang lingkup berlakunya hanya bersifat lokal. Sedangkan bertujuan
untuk
untuk
Peraturan
mengatur
secara
Menteri
Bersama
bersama-sama
yang sebuah
permasalahan (menara telekomunikasi bersama) berkenaan dengan materi yang bersifat lintas departemen tidak dikenal dan tidak memiliki dasar hukum karena yang dimaksud dengan jenis peraturan perundangan lain telah dibatasi oleh Penjelasan pasal 7 (4) UU No.10 tahun 2004 yang menyatakan: Jenis
Peraturan
Perundang-undangan
selain
dalam
ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dalam hubungannya dengan hirarki perundang-undangan antara peraturan menteri dengan peraturan daerah dalam implementasi pengaturan
menara
telekomunikasi
telah
terjadi
benturan
kewenangan terjadi karena dari sisi tata ruang pemerintah daerah
107
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
memiliki kewenangan mengatur penertiban dan pendirian menara telekomunikasi
di
daerah.
Sedangkan
pemerintah
daerah
berpendapat bahwa ketentuan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18
Tahun
2009,
M.KOMINFO/03/2009,
No.07/PRT/M/2009, No.3/P/
2009
No.19/PER/
Tentang
Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi itu hanya bersifat teknis, sehingga kedudukan Peraturan Daerah lebih tinggi dari Peraturan Menteri. 4.
Bentuk Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama Seperti telah diuraikan di atas bahwa pengaturan menara
telekomunikasi bersama dengan sebuah peraturan menteri bersama ternyata tidak memilki dasar hukum yang sesuai Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian perlu difikirkan bentuk baru pengaturan menara telekomunikasi bersama yang akan di gunakan sebagai acuan. Dalam menentukan bentuk baru pengaturan tersebut paling tidak harus memperhatikan dua hal, Pertama sifat pengaturan menara telekomunikasi yang lintas departemen. Pengaturan menara telekomunikasi merupakan pengaturan yang menjamah banyak bidang, yaitu meliputi: bidang telekomunikasi, bidang otonomi/pemerintahan daerah, bidang pekerjaan umum dan bidang investasi. Dengan cakupannya yang begitu luas hendaknya bentuk pengaturannya pun memiliki kedudukan tinggi atau superior terhadap semua bidang tadi agar pada implementasinya tidak terjadi benturan atau pertentangan satu sama lain terkait dengan hirarki perundang-undangan. Kedua Kedudukannya harus di atas Peraturan Daerah. Pengaturan menara telekomunikasi yang akan datang harus memiliki kapasitas meredam konflik kepentingan khususnya benturan kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sekaligus memberikan
108
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
kepastian usaha bagi investor telekomunikasi. Hal ini mengingat daerah merupakan ujung tombak pelaksanaan pengaturan menara bersama. Perselisihan yang sering terjadi antara Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18 Tahun 2009, No.07/PRT/M/2009, No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009, No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi dengan Peraturan Daerah. karena Pemerintah Daerah mengaggap aturan daerah tentang menara terpadu sudah lebih dulu ada ketimbang Peraturan Menteri tersebut. Menurut Ryas Rashid secara yuridis Peraturan Daerah lebih kuat dibandingan Peraturan Menteri. Sebab, Peraturan Menteri hanya berlaku internal. Sebab itu, Ryaas melanjutkan, Peraturan Menteri harus dinaikkan menjadi Peraturan Presiden untuk mengalahkan Peraturan Daerah. Sehingga, Peraturan Presiden dapat menjadi pegangan mengatur pembangunan menara telekomunikasi di daerah. "Dan bisa memaksa Peraturan Daerah menyesuaikan diri Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan Audy WMR Wuisang, berpendapat senada bahwa Peraturan Daerah tidak berada di bawah Peraturan Menteri, sehingga menteri tidak punya wewenang mengintervensi daerah. sehingga, izin pembangunan menara bukan wewenang pemerintah pusat.
Hal ini mengacu pada Undang-Undang
Nomor 10/2004 pasal 7 tentang lima jenis jenjang perundang-undangan. Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah Sehingga, ia melanjutkan, kasus perobohan sekitar 64 dari 148 menara telekomunikasi oleh Pemerintah Daerah Badung, Bali, menjadi berlarut-larut. Sebab hal itu dilakukan dengan alasan menggangu tata ruang wilayah dan budaya setempat, serta dianggap tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau izin tidak diperpanjang
109
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Sehubungan dengan hal tersebut nampaknya ada tiga pilihan bentuk pengaturan yang mungkin cocok untuk digunakan sebagai bentuk pengaturan menara bersama ke depan, yaitu: Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. a.
Undang-undang Undang-undang (atau disingkat UU) adalah Peraturan Perundang-undangan Yang Dibentuk Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Persetujuan Bersama Presiden. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahiun 2010 disebutkan: Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang: 1)
mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: a)
hak-hak asasi manusia;
b)
hak dan kewajiban warga negara;
c)
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
2).
d)
wilayah negara dan pembagian daerah;
e)
kewarganegaraan dan kependudukan;
f)
keuangan negara,
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.
Lembaga Pembentuk Undang-undang Menurut Pasal 1 point (2) Undang-undang No.10 Tahun 2004
tentang
undang-undang
pembentukan adalah
peraturan
peraturan
perundang-undangan,
perundang-undangan
yang
dibentuk oleh Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden. Dari Pasal tersebut, jelas bahwa yang berwenang
110
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
membuat undang-undang adalah Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Artinya, ada undang-undang akan lahir dari kerjasama antara Dewan perwakilan Rakyat dengan Presiden. Salah satunya saja yang berfungsi tidak akan melahirkan undang-undang. Sebab undang-undang akan memiliki kekuatan keberlakuan jika telah memenuhi syarat formiil dan materiil. Teknik Pembuatan Hingga Pengundangan. Pembentukan undang-undang dapat dilakukan dengan dua system, yakni system lengkap dan system umum. Sistem lengkap adalah undang-undang dibuat dengan pasal-pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan lebih banyak mengarah kehukuman dalam bentuk kodifikasi . Sedangkan, system umum adalah system pembutan undang-undang dengan hanya mengisi pokok-pokoknya saja, pada system umum ini, harus dibuat peraturan pelaksanaan atau aturan yang lebih rendah sebagai rincian atau penafsiran undang-undang umum Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Dewan perwakilan Rakyat ataupun presiden. Tidak ada batasan atau keharusan bahwa rancangan harus dari tangan Dewan perwakilan Rakyat. Diatur dalam Pasal 17 bahwa rancangan undang-undang baik berasal dari dewan perwakilan rakyat maupun dari presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Adapun teknik pembuatan undang-undang hingga pengundangannya adalah sebagai berikut : 1)
Rancangan
undang-undang
diajukan
kepada
dewan
perwakilan rakyat 2)
Dewan
perwakilan
rakyat
melakukan
pembahasan
rancangan undang-undang bersama presiden atau menteri yang ditugasi oleh presiden untuk melakukan pembahasan rancangan
tersebut.
111
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
3.
Pembahasan
dilakukan
dengan
tingakta-tingakat
pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat yang khusus untuk menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. 3)
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat dan presiden, disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
4)
Dalam
mengesahkan
undang-undang
presiden
membubuhkan tandatangan pada rancangan yang telah disetujui bersama dalam jangak 30 hari sejak hari persetujuan. 5)
Jika dalam jangka tersebut presiden belum menandatangani, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dengan kalimat pengesahan; undangundang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) undang-undang dasar RI Tahun 1945, kalimat tersebut dilampirkan pada halaman belakang undangundang yang baru disahkan.
6)
Untuk
selanjutnya
undang-undang
tersebut
wajib
diundangkan dengan mencatatkannya dalam lembaran Negara RI. Hal tersebut wajib dilakukan sebab Undangundang yang belum diundangkan belum memiliki kekuatan keberlakuan. Tidak terlepas dari teknik pembuatan undang-undang diatas, bahwa keberlakukan undang-undang dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain, diantaranya adalah wibawa Negara yang kerap dipermasalahkan oleh rakyat jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat mendasar terhadap landasan tata hukum yang dijunjung tinggi masyarakat . Wibawa dan integritas Negara disini dapat tercermin dari undang-undang
112
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
yang dilahirkannya, dengan ukuran sejauh mana undang-undang tersebut memenuhi kebutuhan perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat. Undang- undang yang tidak berpihak pada masyarakat kerap dilanggar oleh masyarakat. b.
Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah (atau disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan
yang
ditetapkan
oleh
presiden
untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.. Karena memang
Untuk
melaksanakan
undang-undang
sebagaimana
mestinya Presiden berwenang menyusun peraturan pemerintah. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu: 1)
Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
2)
Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana,
jika
Undang-Undang
induknya
tidak
mencantumkan sanksi pidana. 3)
Peraturan
Pemerintah
tidak
dapat
memperluas
atau
mengurangi ketentuan Undang-Undang induknya. 4)
Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun UndangUndang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas,
asal
Peraturan
Pemerintah
tersebut
untuk
melaksanakan Undang-Undang. 5)
Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR Dalam Passal 10 Undang-undang Nomor 10 Tahiun 2010
menyebutkan: Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
113
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dalam
menyusun
peraturan
pemerintah,
pemrakarsa
membentuk panitia antardepartemen. Mekanisme pembentukan peraturan pemerintah hampir sama dengan pembentukan undangundang, hanya saja tidak melewati tahap pembahasan dengan DPR.
c.
Peraturan Presiden Untuk melaksanakan peraturan pemerintah sebagaimana mestinya Presiden berwenang menyusun Peraturan Presiden. Dalam
penyusunan
peraturan
presiden
pemrakarsa
dapat
membentuk panitia antardepartemen. Mekanisme penyusunan peraturan pemerintah hampir sama dengan penyusunan rancangan peraturan pemerintah. 1) Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 UndangUndang Dasar 1945. 2) Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah
3) Peraturan Presiden berisi muatan materi yang mengatur pelaksanaan
dan/atau
penjabaran
dari
mengatur
Peraturan
hal-hal
teknis
sebagai
Perundangundangan
yang
memerintahkan. 4) Peraturan
Presiden
juga
dapat
memerintahkan
atau
mendelegasikan muatan materi tertentu yang bersifat teknis operasional kepada Menteri atau pejabat yang diberi wewenang dan/atau kepada Pemerintahan Daerah. Contoh: Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, menindaklanjuti
114
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
atau melaksanakan perintah langsung pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. 5) Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan,
Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat,
yaitu Keputusan
Presiden
yang bersifat sebagai
pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking). 6) Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden. Dari uraian di atas nampak bahwa bentuk pengaturan yang paling cocok untuk pengaturan menara telekomunikasi bersama adalah Peraturan Presiden, mengingat (1) merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (dalam hal ini Peraturan
Pemerintah
Penyelenggaraan
No.
52
Telekomunikasi)
Tahun (2)
2000
sifatnya
Tentang
yang
lintas
departemen, (3) Kedudukannya yang lebih tinggi dari Peraturan Daerah.
115
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Konsepsi Umum Telekomunikasi Global Tentang Facilities Sharing a.
Dalam
Undang-undang
nomor
36
tahun
1999
tentang
Telekomunikasi telah disebutkan bahwa Menteri (dalam hal ini adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.) bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia. b.
Dalam
Keputusan
Men-PAN
RI.
No.
63
Tahun
2003
telekomuniaksi merupakan Pelayanan Publik di dalam Kelompok Pelayanan Barang, yaitu kelompok pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya. c.
Dengan diselenggarakannya Global Symposium for Regulator (GSR) ke 8 tahun 2008 yang diselenggarakan oleh International Telecommunication Union (ITU), Infrastructure Sharing telah menjadi suatu keniscayaan dalam industri telekomunikasi di dunia dan telah diimplemetasi secara berbeda-beda dibeberapa Negara di dunia sesuai kebutuhan di masing-masing Negara. Negara-negara yang telah melaksanakan infrastruktur sharing diantaranya adalah: Ingriss, Jerman, Singapura, Malaysia, Nigeria, India dan Amerika Serikat.
d.
Implementasi Infrastructure Sharing di Indonesia dalam bentuk Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
02/PER/M.KOMINFO/ 3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi.dan Peraturan
116
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Komunikasi
Koordinasi
dan
Penanaman
No.07/PRT/M/2009,
Informatika Modal
dan
No.18
Kepala
Badan
Tahun
2009,
No.19/PER/M.KOMINFO/03/2009,
No.3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Dalam peraturan Menteri tersebut Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan zona-zona yang dilarang bagi pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang yang berlaku.
2.
Analisa Permasalahan Pengaturan Menara Telekomunikasi Bersama Di Indonesia. a.
Perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas masyarakat sedah seharusnya memenuhi sifatsifat sebagai public goods. Dengan demikian meskipun terdapat pembiayaan, sesungguhnya bukan untuk sebagai alat budgetaire Negara.
b.
Sebagai hukum positif, keberadaan dan keberlakuan suatu Peraturan Menteri (terutama yang mengatur kepentingan publik) adalah mengikat, karena merupakan pelaksanaan dari UndangUndang yang kedudukannya lebih tinggi, dalam hal ini sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999. Sedangkan untuk Peraturan Menteri Bersama yang bertujuan untuk mengatur secara bersama-sama sebuah permasalahan (menara telekomunikasi bersama) berkenaan dengan materi yang bersifat lintas departemen tidak dikenal dan tidak memiliki dasar hukum
c.
Benturan kewenangan terjadi karena dari sisi tata ruang pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur penertiban dan pendirian menara telekomunikasi di daerah. Sedangkan pemerintah daerah berpendapat bahwa ketentuan Peraturan Bersama Menteri Dalam
117
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18
Tahun
2009,
M.KOMINFO/03/2009,
No.07/PRT/M/2009, No.3/P/
2009
Tentang
No.19/PER/ Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi itu hanya bersifat teknis, sehingga kedudukan Peraturan Daerah lebih tinggi dari Peraturan Menteri. B.
Saran 1.
Meskipun Retribusi daerah secara yuridis telah dimasukkan sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun perlu kiranya dikaji lebih jauh apa makna dan fungsi retribusi terhadap pelayanan publik.
Hal ini penting terkait biaya yang harus
ditangggung oleh pemohon retribusi (dalam hal ini masyaratakat), mengingat pengertian retribusi daerah, yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan dan prinsip dasar pengenaan retribusi yaitu bahwa pembayaran retribusi harus mendapatkan manfaat langsung dari penerima retribusi, Dengan demikian sesungguhnya penetapan suatu retribusi khususnya retribusi perizinan tidak boleh ditujukan untuk peningkatan pendapatan daerah namun lebih untuk peningkatan kualitas pelayanan. Karenanya harus ada rincian biaya yang jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan. Namun oleh pemerintah daerah, instrument perizinan seringkali digunakan sebagai sumber pendapatan daerah dari pada sebagai suatu bagian dari mekanisme pengendalian. Sehubungan dengan hal tersbut perlu kiranya dibuat suatu Peraturan Pemerintah yang berisi aturan pelaksanaan dari Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
118
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menjelaskan kedudukan retribusi khususnya retribusi perizinan tertentu bagi pembiayaan daerah. 2.
Dalam hubungannya dengan hirarki perundang-undangan antara peraturan menteri dengan peraturan daerah Pengaturan mengenai menara telekomunikasi yang ada saat ini sering menimbulkan konflik antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Benturan kewenangan terjadi karena dari sisi tata ruang pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur penertiban dan pendirian menara telekomunikasi
di
daerah.
Sedangkan
pemerintah
daerah
berpendapat bahwa ketentuan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.18
Tahun
2009,
M.KOMINFO/03/2009,
No.07/PRT/M/2009, No.3/P/
2009
Tentang
No.19/PER/ Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi itu hanya bersifat teknis, sehingga kedudukan Peraturan Daerah lebih tinggi dari Peraturan Menteri. Dengan demikian pengaturan mengenai menara telekomunikasi ini perlu disusun kembali dalam format dan bentuk yang baru yang dapat dijadikan acuan yang pasti dan tidak menimbulkan penafsiran
yang
berbeda-beda
mengenai
kekuatan
pemberlakuannya sehingga dapat mengatasi konflik yang selama ini terjadi Bentuk pengaturan yang paling cocok untuk pengaturan menara telekomunikasi bersama adalah Peraturan Presiden, mengingat (1) merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi) (2) sifatnya yang lintas departemen, (3) Kedudukannya yang lebih tinggi dari Peraturan Daerah.
119
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU John Buckley. Telecommunications Regulation. The Institutional of Electrical Engineers, halaman 51. Dr. Inosentius Samsul SH., MH..Materi perkuliahan Hukum Perlindungan Konsumen, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia Gunawan Wibisono dan Gunawan Dwi Hantoro, Mobile Broadband Tren Teknologi Wireless Saat ini dan Masa Datang. Bandung, Penerbit Informatika 2008 Hermansyah, SH., M.Hum., Pokok-pokok Hukum Persaaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, 2008 Rosa Agustina. Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana 2003. W. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta Edmon Makarim, SH, S.Kom, Kompilasi Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada 2003 Dr. Ir. H. Juniarso Ridwan, M.Si., MH. dan Achmad Sodik Sudrajat, SH., MH. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Nuansa Cendekia, Oktober 2009. Dr. Sadjijono, SH., M.Hum. Memahami beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi/ LaksBang 2008. Asril Sitompul, Hukum Telekomunikasi Indonesia. Book Terrace & Library Adrian Sutedi, SH., MH.. Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Sinar Grafika 2009. Adrian Sutedi SH., MH.. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika 2010.
II. ARTIKEL DAN KARYA LEPAS Abdul Salam Taba. Ketika Iperator Berbagi Menara. www.suarapembaruan.com/ News/
120
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Diana Yoseva, SE. http://www.kppu.go.id/baru/ Yudhistira Nugraha. Penataan Lokasi Menara BTS, http://www.yudhistiranugraha.info/ Suhariyonoar. Bahasa, Norma, Dan Materi Muatan Peraturan perundangundangan. http://www.legalitas.org/
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang No. 26 Tahiun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.. Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Permenkominfo 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan Menara Bersama Telekomunikasi. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 2009 07/PRT/M/2009 – 19/PER.MENKOMINFO/03/2009 – 3/P/2009) tentang Pedoman Pedoman dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi.
121
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
KepMen-PAN RI. No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Ketetapan MPR No.XX/MPR/1966. tentang Ketetapan MPR Nomor. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002
III. DISERTASI Edmon Makarim Ringkasan Disertasi Tanggung Jawab Penyelenggara Terhadap Tata Kelola Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance) Universita Indonesia Fakultas Hukum 2009. Hamid Chalid, Ringkasan Disertasi Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di Belanda, India dan Indonesia. Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program PAsca Sarjana Sub-Program Studi Strata-3, Jakarta 2009.
IV. SUMBER LAIN Web Site Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia: Indonesian Competition Report, (Elips, 2000) International Telecommunication Union, Global Symposium for Regulator (GSR) ke 8 tahun 2008 Harry Newton. Newton’ Telecom Dictionary Tim Study Group Regulasi – TELKOM Indonesia. Paper Study Group Infrastructur Sharing. Kajian Asosiasi Telepon Seluler Indonesia tentang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 2009 - 07/PRT/M/2009 – 19/PER.MENKOMINFO/03/2009 Businessweek, 17 Desember 2008
122
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.
Dr. Ir. Ahmad Ramadhan, M.S. Persaingan pada Usaha Menara Telekomunikasi (Kajian terhadap Dampak Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008) KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaingan Usaha.
123
Benturan kepentingan..., Bimo Tedjo Laksito, FH UI, 2011.