UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERATURAN ANTI PENGHINDARAN PAJAK TRANSAKSI THIN CAPITALIZATION DALAM HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) Dalam Ilmu Hukum
FAJAR BUDIMAN 0706175962
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA KEKHUSUSAN : HUKUM EKONOMI JAKARTA JANUARI 2011
i Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALYSIS OF ANTI TAX AVOIDANCE RULES ON THIN CAPITALIZATION TRANSACTION IN INDONESIA TAX LAW
THESIS Submitted to complete the Pre requirement to obtain Magister Law’s Degree
FAJAR BUDIMAN 0706175962
FACULTY OF LAW STUDY PROGRAM SCIENCE OF LAW POSTGRADUATE PROGRAM Specializing : Economic Law
JAKARTA JANUARY, 2011
i Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber dan baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Fajar Budiman
NPM
: 0706175962
Tanda tangan
: …………………………
Tanggal
: 04 Januari 2010
ii Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : Fajar Budiman : 0706175962 : Pascasarjana Fakultas Hukum Hukum Ekonomi : Analisis Peraturan Anti Penghindaran Pajak Transaksi Thin Capitalization Dalam Hukum Perpajakan Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan dalam untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Ketua Sidang
: Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M. (........................)
Pembimbing
: Dr. Tjip Ismail, SH., M.B.A., M.M.
(........................)
Penguji
: Abdul Salam, SH., M.H.
(........................)
Ditetapkan di
: Jakarta
Tanggal
: 12 Januari 2011
iii Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan kekuatan bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik. Penulisan tesis ini merupakan persyaratan untuk memenuhi tugas akhir sebagai persyaratan meraih gelar Magister Hukum dalam Program Studi hukum Ekonomi Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Banyak pihak yang terlibat membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini baik sejak dari masa perkuliahan sampai dengan tugas akhir ini. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A, M.M. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan waktu dalam penulisan tesis ini.
2.
Isteriku, Dewi Anggraeni dan anakku tersayang Keiko Shazia Budiman yang dengan setia mendorong terus penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.
3.
Keluarga besar Bapak H. Rupawan Setyanuddin dan H. Misro Ahmadi yang memberikan support baik moril maupun materiel untuk penyelesaian tesis ini.
4.
Semua pihak yang terus memberikan inspirasi dan lecutan semangat dalam penyelesaian tugas ini. Akhirnya saya berdoa semoga Alloh SWT selalu memberikan balasan dan
kebaikan kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya dunia perpajakan Indonesia. Amin.
Jakarta, 04 Januari 2011
Penulis
iv Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Fajar Budiman NPM : 0706175962 Program Studi : Hukum Ekonomi Fakultas : Hukum Jenis Karya : Tesis Demi pengembangan imu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royaly Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: ”Analisis Peraturan Anti Penghindaran Pajak Transaksi Thin Capitalization Dalam Hukum Perpajakan Indonesia” Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola. Dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 13 Januari 2011 Yang menyatakan
(Fajar Budiman)
v Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
ABSTRAK
Nama : Fajar Budiman Program Studi : Hukum Ekonomi Judul : Analisis Peraturan Anti Penghindaran Pajak Transaksi Thin Capitalization Dalam Hukum Perpajakan Indonesia Pendanaan yang dilakukan perusahaan induk di luar negeri kepada anak perusahaan di dalam negeri bisa dengan dua cara : (i) penambahan modal dan (ii) pemberian pinjaman. Modal akan memberikan pengembalian berupa dividen, sedangkan pinjaman akan memberikan kompensasi berupa bunga kepada pemberi pinjaman. Dari sisi perpajakan ada dua perlakuan yang berbeda terhadap kedua kompensasi tersebut dalam penghitungan Pajak Penghasilan Tahunan. Dividen tidak dapat dibiayakan dan hanya dikenakan withholding tax. Perlakuan berbeda dengan pinjaman yang dapat dibebankan sebagai biaya sehingga akan mengurangi beban pajak anak perusahaan di Indonesia. Perbedaan ini mendorong perusahaan induk di luar negeri untuk lebih suka memberikan pinjaman kepada anak perusahaan daripada menambah modal. Hal ini akan berakibat kepada potensi penghindaran pajak. Transaksi ini biasa disebut dengan thin capitalization. Banyak negara yang mengklasifikasikan transaksi ini ke dalam penghindaran pajak yang harus diatur lebih lanjut dalam regulasi perpajakan agar tidak merugikan negara. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 36 tahun 2008, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengatur ketentuan tentang thin capitalization ini, yaitu pemberian kewenangan kepada menteri keuangan untuk mengatur perbandingan antara hutang dan modal antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Namun sayangnya peraturan pelaksana aturan tersebut belum diberlakukan. Pada tahun 1985, Menteri Keuangan telah menerbitkan telah peraturan pelaksana dengan perbandingan 3:1 untuk hutang dan modal. Namun atas nama investasi maka peraturan ini ditunda sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Hal ini terus memicu kekosongan hukum dan berakibat ketidakpastian dalam pengaturan transaksi thin capitalization ini. Regulasi ini sangat dibutuhkan baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak sebagai panduan dalam pendanaan dari pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Bagi Wajib Pajak yang ‘nakal’, ketidakpastian ini menimbulkan kerawanan yang dapat berakibat penyimpangan kewajiban pajak. Maka dari itu kepastian hukum dalam pengaturan transaksi thin capitalization ini harus segera diberikan dengan pengaturan yang jelas dan penempatan aturan tersebut harus sesuai hirarkhi norma hukum yang berlaku. Keywords: Thin capitalization, debt to equity ratio, perbandingan hutang dan modal, hubungan istimewa.
vi Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Program of Study Title
: Fajar Budiman : Science of Law Specializing in Economic Law : Analysis Of Anti Tax Avoidance Rules On Thin Capitalization Transaction In Indonesia Tax Law
Foreign Parents Company can fund their sister company with 2 ways: (i) injecting the equity and (ii) lending the loans. The compensation to investor are dividend for equity and interest for debt. In Indonesia tax term, there are differences treatment between dividen and interest. Dividen is non deductable expenses but interest is deductable from taxable income. This differences cause parents company in other tax jurisdiction prefer to choose the loan rather than equity to avoid tax burden in Indonesia. This transaction is called as thin capitalization. Many countries classified this transaction as tax avoidance that has to be regulate in their tax regulation to minimize potential tax loss. Actually, Indonesia Tax Authority has regulated thin capitalization transaction in article 18 Indonesia Tax Law. It gives Minister of Finance to regulate debt to equity ratio between related party companies. In 1994, Minisiter of Finance has issued tax regulation about this concern, but postponed to implement the regulation in 1995. It caused the ”vacuum of law” in thin capitalization rules. Tax payers and tax official need the regulation to guide the funding transaction of related party. It uncertainty makes ”loophole” for ’bad taxpayers’ to abuse of their tax obligation. Indonesia Tax Authoritiy has to issue thin capitalization regulation immediately to provide ’certainty of law’ and to accord to applicable hierarchi of law.
Keywords: Thin capitalization, debt to equity ratio, related party transaction, anti tax avoidance rules.
vii Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .........................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................
v
ABSTRAK ......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................
1
B. Perumusan Masalah ....................................................................
20
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
20
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
21
E. Metode Penelitian .......................................................................
21
1. Pendekatan Penelitian ............................................................
21
2. Teknik Pengumpulan Data .....................................................
21
F. Kerangka Teori ...........................................................................
22
G. Sistematika Penulisan .................................................................
24
TINJAUAN PUSTAKA A. Konsepsi Thin Capitalization .....................................................
26
B. Karakteristik Utang dan Modal...................................................
27
C. Perbedaan Perlakuan Perpajakan antara Dividen dan Bunga .....
31
D. Pengaruh Praktik Thin Capitalization Terhadap Pajak Suatu Negara .........................................................................................
34
E. Karakteristik Thin Capitalization ...............................................
37
1. Hubungan Istimewa (related party) ........................................
37
viii Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
2. Adanya Skema Pendanaan Melalui Utang .............................
38
F. Skema Transaksi Thin Capitalization .........................................
39
1. Direct Scheme ........................................................................
39
2. Back to back loan ...................................................................
39
3. Pararel ...................................................................................
40
4. Pemanfaatan Hybrid Financial Instrument ............................
41
G. Pendekatan Kewajaran dalam Transaksi Thin Capitalization ....
42
1. Mengacu pada Perbandingan Hutang dan Modal ..................
42
2. Mengacu pada Prinsip Kewajaran (Arm’s Length Primciple)
43
3. Pendekatan Kombinasi (Combination Approach) .................
44
H. Wewenang untuk Melakukan Koreksi ........................................
44
BAB III PERBANDINGAN KETENTUAN TRANSAKSI THIN CAPITALIZATION DI BEBERAPA NEGARA A. Ketentuan Thin Capitalization di Amerika Serikat ....................
46
B. Ketentuan Thin Capitalization di Belgia ....................................
48
C. Ketentuan Thin Capitalization di China .....................................
50
D. Ketentuan Thin Capitalization di United Kingdom/Inggris .......
52
E. Ketentuan Thin Capitalization di Kanada ..................................
54
F. Ketentuan Thin Capitalization di Luxembourg ..........................
54
G. Ketentuan Thin Capitalization di Perancis .................................
55
H. Ketentuan Thin Capitalization di Rusia......................................
57
I. Ketentuan Thin Capitalization di Spanyol..................................
58
J. Ketentuan Thin Capitalization di Jerman ...................................
60
BAB IV KETENTUAN TRANSAKSI THIN CAPITALIZATION DI INDONESIA DAN ANALISIS HUKUM A. Ketentuan Thin Capitalization dalam Peraturan Pajak Penghasilan Indonesia.................................................................
63
1. Perlakuan Bunga dan Dividen dalam Peraturan Perpajakan ..
64
2. Pendekatan Kewajaran Transaksi Utang ................................
71
3. Hubungan Istimewa ...............................................................
73
ix Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
4. Kewenangan Melakukan Koreksi ..........................................
75
B. Analisis Pengaturan Thin Capitalization dalam Regulasi Pajak
BAB V
Penghasilan Indonesia.................................................................
80
1. Kelemahan pengaturan Thin Capitalization di Indonesia ......
80
2. Celah-celah dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
85
3. Pendekatan Kewajaran Transaksi yang Sesuai ......................
86
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................
90
B. Saran ...........................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
94
x Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Realisasi Investasi FDI (Million US dollars) .......
8
Table 2.1 Perbedaan utang dan Modal ..........................................................
28
Tabel 2.1 Perbedaan utang dan Modal (lanjutan)..........................................
29
Tabel 2.2 Perbandingan Pembiayaan Melalui Modal dan Pinjaman.............
33
Tabel 2.3 Rasio Perbandingan Antara Utang Dan Modal .............................
43
xi Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Perbandingan Peraturan Thin Capitalization pada Beberapa Negara Peraturan Perundang-undangan Perpajakan
xii Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Interdependensi antarnegara yang diikuti dengan semakin pesatnya hubungan perdagangan dan ekonomi khususnya di bidang permodalan telah menimbulkan suatu perkembangan tatanan baru dalam perekonomian dunia, yaitu munculnya unifikasi ekonomi global dengan kecenderungan ke arah regionalisasi1 maupun globalisasi. Globalisasi, oleh Kavaljit Singh digambarkan sebagai suatu proses ‘saling ketergantungan ekonomis yang terus berkembang di antara negaranegara di dunia dengan ciri pertumbuhan transaksi keuangan dan perdagangan internasional yang cepat terutama di antara perusahaan-perusahaan transnasional, gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan trans nasional, timbulnya pasar global, serta penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia2. Globalisasi ekonomi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi internasional (cross border transaction). Arus barang, orang, jasa, dan permodalan (investasi) antarnegara telah menjadi berlipat ganda. Saat ini pergerakan modal dan dana dari satu negara ke negara lain menjadi lebih besar dari sebelumnya. Lahirnya General Agreement on Trade and Tariff (GATT) dan World Trade Organisation (WTO) telah mengurangi kendala-kendala dalam pergerakan barang, jasa dan modal antar negara. Perusahaan-perusahaan tidak lagi membatasi operasinya hanya di negara sendiri, akan tetapi merambah ke manca negara dan menjadi perusahaan multinasional dan transnasional. Mereka
1
Kecenderungan dibeberapa kawasan di dunia, beberapa negara mulai menggabungkan diri ke dalam satau kesatuan secara regional seperti misalnya negara-negara Eropa dengan Uni Eropa dan negara Asia Tenggara ke dalam ASEAN. 2 Singh, Kavaljit, Memahami Globalisasi Keuangan: Jakarta: Yakoma PGI, 1998 h..3
1 Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
2
beroperasi melalui anak usaha dan cabang-cabangnya di hampir semua negara berkembang dan pasar-pasar yang sedang tumbuh.3 Dalam lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antaranggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota korporasi tersebut dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer)4. Dalam lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar anggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Struktur permodalan perusahaan lebih banyak dibiayai dengan pinjaman dibanding modal sendiri (thin capitalization), pembayaran dividen dalam jumlah besar apabila perusahaan memperoleh laba, memanfaatkan celah ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (treaty shopping), maupun dengan memanfaatkan tax heaven countries (negara-negara dengan beban pajak rendah dibandingkan Indonesia). Seiring dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan pemerintah yang berasal pajak dari perusahaan multinasional seharusnya tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan RI Jusuf Anwar pada akhir November 2005, yang menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak.5
Hal serupa juga pernah
diungkapkan di tahun 2002 oleh pejabat pajak yang menangani perusahaan multinasional yang pernah mengindikasikan kemungkinan adanya praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA, antara lain melalui transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak mempunyai kewajiban membayar pajak.6 Dengan adanya tujuan maksimalisasi laba, suatu perusahaan baik domestik maupun perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak baik dengan cara menyelundupkan pajak yang secara hukum illegal (tax evasion) 3
Imam Santoso, “Advance Pricing Agreement Dan Probiematika Transfer Pricing Dari Perspektif Perpajakan Indonesia”, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 6 No. 2, Nopember 2004, h. 123-139 4 Gunadi, Pajak Intenasional, Ed. Revisi; Jakarta: LPFEUI, 1999, h. 188-189 5 Bisnis Indonesia, [Berita], “Depkeu sisir 750 PMA yang mengaku rugi” 22-November-2005, h. 12. 6
Kompas, [Berita], “70 Persen PMA Tak Bayar Pajak”, 27 Agustus 2002.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
3
maupun dengan cara yang legal yaitu dengan menghindari beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara (tax avoidance). Pada mayoritas literatur buku-buku perpajakan, mendefiniskan tax avoidance sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Di beberapa negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi7: 1)
Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance);
2)
Penghindaran
pajak
yang
tidak
diperkenankan
(unacceptable
tax
avoidance). Dalam literatur perpajakan Indonesia, hal ini lazim disebut dengan penyelundupan pajak (tax evasion). Dengan demikian terdapat 2 (dua) pengertian yaitu tax avoidance (penghindaran pajak) yang diperkenankan dan tax evasion atau penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (penyelundupan pajak). Perbedaan antara skema penghindaran pajak diatas adalah pada penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) perusahaan terhindar dari pengenaan pajak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang. Misalnya pemilihan bentuk usaha berupa persekutuan (CV) pengusaha dengan klasifikasi usaha kecil yang tidak dikenakan pemotongan pajak dividen pada saat pembagian keuntungan kepada sekutu. Sedangkan untuk penghindaran pajak yang tidak diperkenakan (unacceptable tax avoidance) adalah perusahaan berusaha menciptakan skema transaksi yang bersifat semu dan tidak mempunyai substansi bisnis dengan cara memanfaatkan celah-celah dalam dari peraturan perpajakan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari peraturan perpajakan. Transaksi ini semata-mata bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak8. Misalnya adalah penghindaran pajak dengan penciptaan transaksi hubungan istimewa dengan membuat perusahaan semu (special purpose vehicle) di negara-negara surga pajak (tax haven countries). 7
Danny Septriadi, Darussalam, “Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule”, http://www.dannydarussalam.com, 14 Januari 2009 (akses tanggal 12 Desember 2010). 8 Eicke, Rolf , Tax Planning with Holding Companies-Repatriation of US Profits from Europe: Concept, Strategies, Structure , Kluwer Law, 2009 h. 30.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
4
Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”,9 atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undangundang (the intention of parliament)10. Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance.11 Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning12. Untuk lebih memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan tax planning, maka kita akan ambil salah satu definisi. Tax planning adalah analisis sistematis atas pilihan-pilihan penundaan pajak dalam upaya meminimalkan kewajiban pajak yang terutang pada saat ini dan masa yang akan datang13. Sedangkan Black Law Dictionary mengartikan tax evasion sebagai berikut14: “The willfull attempt to defeat or circumvent the tax law in order to illegally reduce one’s tax liability. Tax evasion is punishable by booth civil and criminal penalties-also called tax fraud” (Upaya yang dibuat untuk menundukkan atau menelikung hukum pajak dalam rangka mengurangi kewajiban pajak seseorang secara ilegal. Tax evasion dapat dihukum dengan hukum perdata dan juga hukum pidana yang juga disebut kecurangan pajak). 9
Slamet, Indrayana Agus, “Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata Perpajakan Indonesia”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007, hal. 8. 10 James Kessler, “Tax Avoidance Purpose and Section 741 of the taxes Act 1988”, British Tax Review, 4 November 2004, h.. 377. 11 Danny Septriadi, Darussalam, “Penghindaran Pajak yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan”, Majalah Inside Tax, Edisi September 2007, h. 25. 12 Danny Septriadi, Darussalam, ibid. 13
Curmbley D. Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B. Dictionary of tax terms, New York: Barron’s Bussiness Guides, 1994, h. 276. 14 Hal Bryan A. Garner, editor in cief, Black’s Law Dictionary, Eight edition. Texas: Thomson West, 2004, h. 1501
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
5
Dalam buku-buku perpajakan internasional, praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional pada umumnya dilakukan dengan cara sebagai berikut15: 1) Transfer pricing; Transfer pricing biasanya dilakukan dengan cara memperbesar harga beli dan memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan mentransfer laba yang diperoleh kepada grup perusahaan yang berkedudukan di negara yang menerapkan tarif pajak yang rendah. 2) Treaty shopping; Treaty shopping dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas tax treaty suatu negara oleh perusahaan yang tidak berhak atas fasilitas treaty tersebut. 3) Controlled foreign corporation (CFC). Praktik penghindaran juga dilakukan dengan cara menunda pengakuan penghasilan modal yang bersumber di luar negeri (biasanya di negara tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri, praktik ini dalam istilah perpajakan dikenal controlled foreign corporation (CFC). 4) Thin capitalization; Thin capitalization merupakan praktik pembiayaan kepada cabang atau anak perusahaan dari perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa berupa utang berbunga dengan komposisi lebih besar daripada dengan modal saham. Transaksi thin capitalization ini akan lebih berjalan maksimal apabila kedua perusahaan yang memiliki hubungan istimewa tersebut berada dalam jusridiksi (negara) perpajakan yang berbeda. Ketentuan perpajakan di mayoritas negara memperbolehkan bunga dikurangkan dari penghasilan kena pajak debitur atau penerima utang dan dikenakan pajak pada kreditur Wajib Pajak Luar Negeri dengan tarif pajak yang rendah berdasar pemotongan pajak (dan kadangkala malah bebas potongan pajak, misalnya di negeri Belanda). Sementara itu dividen yang juga dikenakan pajak ditangan pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri tidak boleh dikurangkan dari laba debitur membuat praktek pembiayaan dengan utang lebih memberikan penghematan pajak. 15 Paulus Merks, Categorizing International Tax Planning, dalam Fundamentals of International Tax Planning (editor: Raffaele Russo), Amsterdam: IBFD, 2007, h. 66-69.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
6
Meskipun kasus tersebut dapat diatasi dengan menerapkan prinsip kewajaran (arm’s length principle)16, Pihak Wajib Pajak dan Otoritas Pajak lebih suka untuk mendapatkan kepastian aturan sampai seberapa banyak pembiayaan dengan utang tersebut diperbolehkan. Dalam kasus lembaga keuangan, tentu harus diperbolehkan untuk meminjam dana dari perusahaan grupnya sebagaimana biasa berlaku dalam praktik bisnis industri dimaksud17. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Pahala Nainggolan tentang pengaruh faktor pajak pada keputusan pendanaan jangka panjang perusahaan publik di Thailand, Korea Selatan dan Indonesia atas 329 perusahaan publik di Indonesia berdasarkan data panel tahun 2000-2005 dalam rangka penyusunan disertasi program doktor FE UI menunjukkan Kebijakan penetapan tarif pajak lebih rendah atau tinggi dan pemberian stimulus pajak tidak dapat digunakan untuk mendorong perusahaan memanfaatkan utang (atau modal saham) sebagai sumber pendanaan investasinya di Indonesia18. Penelitian tersebut bertitik tolak pada pemikiran bahwa sistem klasikal Pajak Penghasilan (PPh) Indonesia memperlakukan berbeda antara bunga utang (cost of loan capital) dan dividen dari modal saham (cost of equity capital). Walaupun sama-sama dipungut pajak (withholding tax) bagi si penerima bunga atau dividen, tetapi akan memperoleh perlakuan yang berbeda pada pada penghitungan PPh badan bagi pembayar penghasilan tersebut. Menurut Pasal 6 ayat 1 Undang-undang nomor 36 tahun 2008, bunga pinjaman merupakan pengurang dari Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Badan pembayar. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-undang tersebut mengatur
16
Arm’s length priciple atau prinsip kewajaran merupakan prinsip perpajakan untuk menguji kewajaran transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa. Pengujian mempergunakan metode tertentu yang disepakati dengan cara membandingkan transaksi yang sama dengan pihak-pihak independen yang tidak memiliki hubungan istimewa. Persyaratan adanya hubungan istimewa pada pihak-pihak yang bertransaki ini harus ada karena kerawanan terjadinya manipulasi dalam transaksi tersebut. 17 Gunadi, op. cit. hal 279. 18
Gunadi, “Menakar Efektivitas Stimulus Pajak Belum hasilkan berdampak pada Pertumbuhan Industri”, Bisnis Indonesia, Sabtu, 24/01/2009.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
7
bahwa dividen tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak badan pembayar19. Akibat dari pengenaan PPh Badan dan pemotongan pajak atas dividen tersebut mengakibatkan terjadi pajak ganda ekonomis (economic-double taxation of dividend20) terhadap dividen, yaitu pada pembayar dividen dipajaki sebagai laba kena pajak badan dan pada penerima dividen dipajaki sebagai penghasilan kena pajak orang pribadi.21 Fenomena ini menyebabkan biaya pengembalian modal (cost of capital) atas modal saham lebih mahal daripada pinjaman. Maksimalisasi nilai perusahaan dapat dilakukan dengan minimalisasi biaya transaksi, maka urutan pembiayaan dana investasi sesuai dengan jumlah biayanya adalah sebagai berikut: 1) dari laba ditahan, 2) pinjaman (misalnya obligasi), dan 3) baru dari modal saham.22 Perbedaan perlakuan pajak atas biaya dari pendanaan investasi antara bunga (utang) dan dividen (modal saham) memicu terjadinya praktik thin capitalization, yaitu pendanaan dengan menempatkan utang lebih besar daripada modal dalam saham anak perusahaan di negara lain. Dengan memberikan pendanaan berupa utang akan memberikan keuntungan maksimal bila dihitung dalam group tersebut. Maksimalisasi keuntungan tersebut berasal dari boleh dikurangkannya bunga dari penghasilan kena pajak pembayar dapat memberikan keuntungan perlakuan pajak (tax shields) bagi mereka yang mendanai investasinya dengan utang daripada modal saham. Hal ini berpotensi untuk mengurangi penerimaan negara yang akan diterima oleh Pemerintah negara tempat anak perusahaan berkedudukan.
19
Republik Indonesia, 2008. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 133, Sekretariat Negara. Jakarta. 20 Economic Double Taxation adalah pengenaan pajak dua kali terhadap penghasilan yang sama, misalnya terhadap dividen. Pada level perusahaan telah dikenakan PPh Badan dan pada saat dibagikan kepada pemegang saham dikenakan pemotongan pajak (withholding tax). 21 Hutagaol, John et.all., Kapita Selekta Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006, h. 33. 22
Gunadi, op. cit. h. 279.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
8
Pada umumnya negara-negara yang tergabung dalam European Union atau Uni Eropa (UE) dan negara maju (developed country) telah memiliki peraturaan untuk menangkal praktik thin capitalization ini (Thin Capitalization Rules) dengan menetapkan rasio perbandingan antara utang dan modal (Debt to Equity Ratio) yang diperkenankan. Bahkan beberapa negara telah memperluas ketentuan terkait thin capitalization bukan hanya dengan rasio tetap antara utang dan modal namun dengan pendekatan kewajaran transaksi. Walau demikian, beberapa negara lain belum menetapkan rasio perbandingan tetap pendanaan utang dengan modal. Dalam tesis ini, Penulis juga akan membahas ketentuan thin capitalization beberapa negara lain sebagai perbandingan yaitu Amerika Serikat, Inggris, Luxembourg, China, Perancis, Belgia, Kanada, Spanyol, Rusia dan Jerman. Penulis memilih negara-negara ini berdasarkan data yang bersumber dari Organisation
for
Economic
Co-operation
and
Development
(OECD)23
menunjukkan bahwa negara-negara tersebut memiliki rata-rata investasi asing (Foreign Direct Investment) tertinggi dalam kurun waktu tahun 2006-2008. Sesuai data realisasi investasi asing dari OECD di negara-negara maju dan negara lainnya Penulis memaparkan pada tabel berikut: Tabel 1.1 Perkembangan Realisasi Investasi FDI (Million US dollars)
Negara United States United Kingdom Luxembourg China France Belgium Canada
2006
2007
2008
241,961 148,850 125,251 78,095 71,882 58,926 59,765
275,758 183,412 186,260 138,413 103,886 110,795 108,404
319,737 95,968 80,373 147,791 96,990 59,564 44,689
Average 279,152 142,743 130,628 121,433 90,919 76,428 70,953
23
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Berawal tahun 1948 dengan nama Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi Eropa (OEEC Organisation for European Economic Co-operation), dipimpin oleh Robert Marjolin dari Perancis, untuk membantu menjalankan Marshall Plan, untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II. Kemudian, keanggotaannya merambah negara-negara non-Eropa, dan tahun 1961, dibentuk kembali menjadi OECD oleh Konvensi tentang Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi. Saat ini OECD beranggotakan 34 (tiga puluh empat) negara diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Swiss, Kanada, Jepang, dan Jerman.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
9
Negara
2006 2007 2008 Average Spain 26,903 68,842 65,412 53,719 Russian Federation 29,701 55,073 73,053 52,609 Germany 57,175 56,415 24,891 46,160 Australia 27,883 44,326 46,565 39,591 Netherlands 7,454 118,398 (9,063) 38,930 Brazil 18,782 34,585 45,058 32,808 Switzerland 30,854 49,261 17,407 32,507 Italy 39,261 40,209 16,999 32,156 Sweden 27,261 22,079 40,395 29,912 India 20,336 25,127 41,169 28,877 Mexico 19,316 27,278 21,950 22,848 Turkey 20,185 22,046 18,171 20,134 Poland 19,643 22,733 15,980 19,452 Austria 7,938 29,592 13,525 17,018 Japan (6,503) 22,548 24,418 13,488 Chile 7,298 12,577 16,787 12,221 Israel 14,762 9,961 10,544 11,756 Czech Republic 5,465 10,446 10,704 8,872 Denmark 2,709 11,851 10,708 8,423 Hungary 7,536 6,096 6,552 6,728 Indonesia 4,914 6,928 8,340 6,727 Portugal 10,908 3,056 3,525 5,830 Finland 7,656 12,353 (4,192) 5,272 South Africa (184) 5,737 9,632 5,062 Ireland (5,545) 30,597 (12,278) 4,258 Greece 5,366 1,918 5,083 4,122 New Zealand 7,760 2,494 1,975 4,076 Slovak Republic 4,700 3,269 3,410 3,793 Norway 6,413 4,435 (95) 3,584 Korea 3,586 1,579 2,200 2,455 Iceland 3,992 3,062 (379) 2,225 Estonia 1,787 2,737 1,969 2,164 Slovenia 649 1,483 1,808 1,313 Sumber : diolah dari Data Statistik OECD (http://stats.oecd.org/) Dalam hukum perpajakan Indonesia, ketentuan anti penghindaran pajak khususnya tentang transaksi thin capitalization diatur dalam Pasal 18 ayat 1, 3, dan 3a Undang-undang nomor 7 tahun 1983 sebagaimana beberapa kali telah
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
10
diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang berbunyi24: Ayat 1: “Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.” Ayat 3: “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.” Ayat (3a) “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.” Sebagai Peraturan pelaksana ketentuan diatas adalah Peraturan Direktur Pajak Nomor Per-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Keputusan Direktur Kep-01/PJ./1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa serta Pasal 16 Peraturan Pemerintah No.80 tahun 2007 untuk pengaturan penyimpanan dokumentasinya. Selain itu Menteri Keuangan telah menerbitkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
nomor
1002/KMK.04/1984 tanggal 10 Agustus 1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan dan menunda KMK tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 254/KMK.04/1985 tanggal 03 Agustus 1985 tentang 24
Republik Indonesia, 2008. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 133, Sekretariat Negara. Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
11
Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1002/KMK.04/1984 Tanggal 8 Oktober 1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Penulis berpendapat bahwa pengaturan thin capitalization diatas jauh dari memadai bahkan menunjukkan kelemahan hukum pajak Indonesia diantaranya: 1) Belum adanya kepastian hukum mengingat belum ada peraturan pelaksana Pasal 18 ayat 1 sebagai amanat dari undang-undang dan peraturan teknis pelaksanaan Pasal 3a UU Pajak Penghasilan sebagai akibat dari penundaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tersebut diatas. 2) Peraturan pelaksana ini mengalami kendala dari sisi legalitas karena berdasarkan
konstitusi
amandemen
ketiga
menyatakan
terjadi
perubahan paradigma hukum pajak, yaitu Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang sebelum amandemen mengatur: “Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-undang.”
Telah dimandemen menjadi Pasal 23A : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Sesuai dengan paradigma baru hukum pajak tersebut diatas, maka seluruh pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan undangundang. Mengingat dinamika bisnis yang berubah dengan cepat, maka peraturan yang bersifat teknis dapat diatur melalui peraturan pelaksana mengikuti hirarki perundang-undangan yang berlaku. Hirarki perundang-undangan yang berlaku sesuai Pasal 7 ayat 1 Undangundang
Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah,
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
12
3) Peraturan Presiden; dan 4) Peraturan Daerah. Peraturan Direktur Pajak Nomor Per-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Keputusan Direktur Kep01/PJ./1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa tidak termasuk dalam hirarki perundangundangan tersebut sehingga akan mengalami kendala legalitas bila dijadikan peraturan pelaksana ketentuan thin capitalization. Kendala-kendala ini akan mengakibatkan penerapan pengaturan transaksi thin capitalization menjadi tidak efektif baik dari sisi administrasi pajak maupun Wajib Pajak, sehingga ‘celah’ ini tetap dapat dimanfaatkan oleh perusahaanperusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mereka. Penulis tertarik untuk membahas lebih jauh dengan peraturan thin capitalization di Indonesia ini mengingat bila tidak segera dilakukan perbaikan terutama dalam regulasi akan mengakibatkan ketidakkepastian dalam hukum dan justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia lainnya. Sebelumnya terdapat beberapa penelitian tentang thin capitalization, namun lebih melihatnya dari sisi administrasi perpajakan dan kebijakan publik. Penulis belum menemukan penelitian tentang thin capitalization dari sisi hukum. Diantara beberapa penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penelitian yang dilakukan oleh Ikbal Thoha Saleh dengan judul tesis Minimalisasi Upaya Penghindaran Pajak Melalui Ketentuan Rasio Utang terhadap Modal.25 Ikbal Thoha Saleh meneliti dengan kesimpulan bahwa a). Dijumpai praktik-praktik minimalisasi modal sebagai upaya penghindaran kewajiban perpajakan di Indonesia, baik yang dilakukan oleh kreditur dari luar negeri dan atau di dalam negeri, b). Belum terdapat ketentuan pelaksanaan Pajak Penghasilan yang mengatur tentang besarnya perbandingan antara hutang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak kecuali yang berlaku khusus untuk usaha 25
Saleh, Ikbal Thoha [Tesis], Minimalisasi Upaya Penghindaran Pajak Melalui Ketentuan Rasio Utang terhadap Modal, Jakarta: Universitas Indonesia, 2003.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
13
pertambangan umum, c). Ketidakberadaan petunjuk pelaksanaan ketentuan pasal 18 ayat 1 Undang-undang Pajak Penghasilan : membuka peluang upaya penghindaran pajak melalui praktik minimalisasi modal dan membuat keraguan pelaksana dalam mengambil keputusan fiskal atas praktik minimalisasi modal yang terjadi di lapangan, d). Praktik minimalisasi modal yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang jelas memenuhi kriteria Hubungan Istimewa sesuai ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan dan memiliki perbandingan hutang yang jauh melebihi modal saham namun atas pertimbangan kewajaran tingkat bunga pinjaman serta keberadaan dan atau keabsahan bukti pendukung transaksi tidak dilaksanakan perlakuan fiskal sesuai ketentuan pasal 18 ayat 3 Undang-undang Pajak Penghasilan tentang kewajaran hutang terhadap modal. 2) Penelitian yang dilakukan oleh Lolita R. Siregar dengan judul tesis "Analisis penerapan Thin Capitalization di Indonesia - Studi Kasus pada Perusahaan Masuk Bursa 2005-2006".26 Yang bersangkutan membuat tulisan ini dengan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah a). Indonesia memiliki Thin Capitalzation Rule baik yang pernah berlaku dan sudah tidak berlaku lagi. Pertama, pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal ini merupakan ketentuan yang mengatur anti penghindaran pajak. Ayat 1 pasal ini merupakan alat untuk menangkal transformasi deviden menjadi bunga lewat rekayasa thin capitalization, dimana ayat tersebut menjadi landasan hukum bagi Menteri Keuangan untuk mengeluarkan keputusan tentang perbandingan antara hutang dan modal perusahaan (DER). Kedua, Keputusan Menteri Keuangan KMK1002/KMK.04/1984 dan KMK-254/KMK.04/1985 merupakan ketentuan yang
pernah
berlaku
yang
secara
khusus
mengatur
besarnya
perbandingan antara hutang dan modal sendiri, DER setinggi-tingginya tiga banding satu (3:1). Ketiga, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang petunjuk 26
Siregar, Lolita R. [Tesis], Analisis penerapan Thin Capitalization di Indonesia - Studi Kasus pada Perusahaan Masuk Bursa 2005-2006, Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
14
penanganan kasus-kasus Tranfer Pricing. Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa kekurangwajaran dapat timbul antara lain karena pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan) untuk pinjaman dari pemegang saham, Surat Edaran ini mengatur bahwa otoritas pajak dapat menentukan bahwa hutang yang diberikan sebenarnya adalah modal terselubung dan mengkoreksi pembebanan biaya bunga menjadi deviden dan dikenakan pemotongan PPh, b). Dari penelitian yang dilakukan atas Perusahaan Masuk Bursa, umumnya nilai DER yang tinggi dimiliki oleh perusahaan-perusahaan industri perbankan. Alasan mengapa perusahaan masuk bursa dengan DER yang tinggi adalah jenis industri seperti perbankan dan pembiayaan adalah
karena
perusahaan
mengalami
defisiansi
modal
yang
mengakibatkan DER bersaldo negatif. Beberapa Perusahaan Masuk Bursa memiliki kewajiban yang cukup besar karena pada masa lampau mereka mengalami kegagalan dalam membayar utang bank sehingga mengalami pengalihan hutang (restrukturisasi hutang) karena penerbitan surat utang, wesel bayar atau obligasi, dan pinjaman kepada lembaga keuangan dengan jaminan aset atau pribadi pemegang saham atau pihak hubungan istimewa dan penerbitan convertible loan dan seterusnya, dan c). pertimbangan yang perlu diperhatikan jika nantinya Indonesia akan kembali mengeluarkan Thin Capitalization Rule adalah sebagai berikut: (1) penentuan besarnya DER, (2) pembatasan yang jelas mengenai definisi hutang dan modal termasuk pengaturannya/hybrid instrument seperti convertible loans, back to back loan dan parallel loan, (3) pembatasan penerapan DER dan (4) penentuan rekarakteristik bunga. 3) Penelitian berikutnya dilakukan oleh Safril dalam tesisnya yang berjudul Thin Capitalization Sebagai Bentuk Penghindaran Pajak Pada PT. Unitex, Tbk. Periode 1984-200227.
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa : a). Dari perbandingan antara hutang dengan modal PT. Unitex, Tbk. dari tahun 1984 sampai dengan 2002 terlihat bahwa 27
Safril [Tesis], Thin Capitalization Sebagai Bentuk Penghindaran Pajak Pada PT. Unitex, Tbk. Periode 1984-2002, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
15
jumlah hutang meningkat cukup signifikan jika dibandingkan dengan modal sendiri, dalam arti memang terjadi praktik thin capitalization di PT. Unitex, Tbk. antara tahun 1984 sampai dengan 2002, b). Dengan empat pendekatan penghitungan penghematan pajak selama periode untuk penelitian diketahui bahwa jumlah pajak yang dapat dihemat tidak sebanding dengan kerugian PT. Unitex, Tbk. Salah satunya adalah di delisting dari Bursa Efek Jakarta pada tahun 1997 karena mengalami kerugian berturut-turut, c). Dengan melihat jumlah biaya bunga yang harus dibayar/dibebankan PT. Unitex, Tbk. selama kurun waktu tersebut terlihat bahwa thin capitalization yang terjadi di PT. Unitex, Tbk. bukanlah untuk menghindari pembayaran pajak karena bunga yang dibayar tidak sebanding dengan biaya-biaya lain yang harus dibayar oleh PT. Unitex Tbk. Disamping itu jumlah hutang pemegang saham sangat kecil dibanding hutang kepada pihak lain. 4) Penelitian selanjutnya membahas tentang Tax Avoidance dilakukan oleh Heri Kuswanto dalam tesisnya yang berjudul Pembayaran Bunga, Royalti dan Imbalan Jasa Luar Negeri sebagai Salah Satu Bentuk Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dalam rangka Tax Planning Perusahaan Multinasional PMA.28 Adapun hasil penelitian yang diperoleh adalah : a). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) dari sisi Wajib Pajak merupakan suatu ketentuan dalam rangka menghindarkan pajak berganda internasional. Sedangkan dari sisi dua negara yang melakukan perjanjian, tax treaty mengandung aspek perjanjian pembagian atau alokasi hak pemajakan atas objek pajak yang meliputi yuridiksi pemajakan kedua negara yaitu negara sumber dan negara domisili. Sehubungan dengan aspek yang kedua tersebut terdapat perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang. Negara maju yang kelebihan modal dan banyak melakukan investasi di negara lain berkepentingan dengan tax treaty sebagai pembagian hak pemajakan antara dua negara pemegang yuridiksi pemajakan khususnya 28
Kuswanto, Heri [tesis], Pembayaran Bunga, Royalti dan Imbalan Jasa Luar Negeri sebagai Salah Satu Bentuk Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dalam rangka Tax Planning Perusahaan Multinasional PMA. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
16
untuk menyelamatkan objek pajak berupa penghasilan investasi luar negeri. Sedangkan negara sedang berkembang yang kekurangan modal lebih berkepentingan terhadap tax treaty sebagai paket insetif pajak dalam rangka menarik investasi asing. Akibatnya dalam pengadaan suatu tax treaty dengan negara maju, negara sedang berkembang harus lebih siap untuk mengorbankan sebagian hak pemajakannya dan memberikan hak pemajakan yang lebih luas kepada negara maju, dengan harapan akan menciptakan iklim investasi yang lebih baik, b). Dalam penyusunan tax treaty pada umumnya terdapat dua model konsep tax treaty yaitu OECD Model dan UN Model. OECD Model pada dasarnya disiapkan sebagai kerangka acuan penyusunan tax treaty antara negara-negara anggota OECD yang merupakan negara-negara maju. Sedangkan UN Model disiapkan sebagai kerangka acuan penyusunan antara negara sedang berkembang dengan negara maju. OECD Model merupakan suatu kerangka pemikiran perjanjian perpajakan dimana hak utama untuk memajaki penghasilan investasi asing diberikan kepada negara domisili penerima penghasilan dan negara sumber harus membatasi yuridiksinya untuk mengenakan witholding tax atas penghasilan investasi asing di negaranya. Sedangkan UN Model mengandung kerangka pemikiran yang lebih memperluas hak pemajakan penghasilan investasi oleh negara sumber dengan menyerahkan proporsi pembagian hak pemajakan antara negara sumber dengan negara domisili pada negosiasi antar dua negara yang melakukan perjanjian, c). Hingga saat ini Indonesia telah melakukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) dengan 53 negara, sedangkan tax treaty dengan beberapa negara lainnya masih dalam proses. Dari lima tax treaty yang dilakukan perbandingan oleh Penulis, tax treaty Indonesia-Jepang merupakan salah satu tax treaty yang kurang menguntungkan dari sisi yuridiksi pemajakan Indonesia terhadap penghasilan investasi asing. Hal tersebut antara lain terlihat dari: Tidak dimasukkannya dalam kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) untuk proyek perakitan maupun pemberian jasa yang tidak terkait dengan proyek konstruksi atau instalasi, meskipun proyek perakitan atau
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
17
pemberian jasa tersebut dilaksanakan dalam waktur tertentu. Sehingga penghasilan berupa imbalan jasa (termasuk jasa teknik/jasa manajemen) yang termasuk dalam kategori penghasilan/lab usaha tersebut hanya dapat dikenakan pajak di negara domisili (Jepang) dan Bunga dari Indonesia
yang diterima Pemerintah Jepang (termasuk Pemerintah
Daerah dan Lokal), Bank Sentral atau Lembaga Keuangan Pemerintah Jepang atau bunga yang diterima oleh penduduk Jepang yang dijamin atau secara tidak langsung dibiayai oleh pihak-pihak tersebut di atas dibebaskan dari pengenaan pajak di Indonesia, d). Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem klasikal dengan fenomena pajak berganda ekonomis atas penghasilan investasi dalam bentuk deviden. Deviden yang diterima oleh WPLN dikenakan pajak dua kali, yaitu di tingkat perusahaan atas penghasilan atau laba yang diperoleh dan di tingkat pemegang saham sebagai penerima deviden. Sedangkan penghasilan investasi dalam bentuk bunga, royalti atau imbalan jasa hanya dikenakan pajak satu kali melalui witholding tax di tingkat penerima penghasilan. Sehingga hal tersebut akan mendorong investor untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dengan kecenderungan untuk menerima penghasilan dalam bentuk selain deviden, dan e). Berdasarkan hasil studi lapangan dengan melakukan investarisasi data pembayaran bunga, royalti dan imbalan jasa luar negeri yang dilakukan oleh 26 perusahaan modal asing diperoleh angka rata-rata pembayaran bunga ke luar negeri mencapai 1,74%, royalti sebesar 0,90% dan imbalan jasa luar negeri sebesar 0,63% dari peredaran usaha, sehingga rata-rata total pembayaran imbalan ke luar negeri adalah sebesar 2,64%. Meskipun jumlah tersebut dapat dikatakan relatif kecil tetapi untuk beberapa Wajib Pajak jumlah tersebut mencapai 4,97% s.d. 9,65%, sehingga dapat diindikasikan sebagai upaya legal dari Wajib Pajak untuk penghindaran pajak (tax avoidance). Dari 26 Wajib Pajak yang dilakukan penelitian terdapat penghematan pajak oleh investor sebesar Rp. 11.681.293,- ribu dari sisi negara merupakan potensi kehilangan penerimaan pajak, f). Dari hasil studi lapangan diperoleh gambaran bahwa pembayaran imbalan ke
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
18
luar negeri tersebut banyak dilakukan dalam rangka hubungan istimewa, karena sebagian besar penerima pembayaran adalah perusahaan induk atau perusahaaan afiliasi di luar negeri. Sehingga transaksi yang dilakukan oleh perusahaan modal asing tersebut tidak terlepas dari aspek transfer pricing. Dan masalah yang timbul dari fenomena tersebut adalah apakah transfer pricing itu dilakukan dengan prinsip harga pasar yang wajar (arm’s lenght price)? Karena apabila tidak dilandasi dengan prinsip arm’s length mengingat bahwa hal tersebut menyangkut transaksi dengan Wajib Pajak Luar Negeri maka dapat menimbulkan potensi kerugian (potential loss) bagi penerimaan negara. Dalam hal ini beberapa kendala yang dihadapi antara lain adalah masih kurangnya data pembanding, keahlian teknis dari pihak fiskus serta ketentuan/peraturan perpajakan untuk penanganan masalah tersebut. 5) Penelitian terakhir adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Saudara Richard Pardomuan Parulian Siahaan dalam tesisnya yang berjudul “Analisis
Ketentuan
Penangkal
Praktik
Thin
Capitalization
di
Indonesia”29. Dalam tesis tersebut, Richard membahas peraturan tentang praktik thin capitalization di Indonesia dari persepektif administrasi perpajakan serta menyimpulkan sebagai berikut: a. Praktik
penghindaran
pajak
(Tax
Avoidance)
terkait
Thin
Capitalization dilakukan Wajib Pajak di Indonesia dengan meminjam dari related party di luar negeri. Skema pinjam meminjam yang dilakukan adalah direct loan, parallel loan dan back-to-back loan. Praktik yang paling banyak ditemukan adalah skema pinjaman langsung (direct loan). Praktik penghindaran pajak tersebut banyak dilakukan karena relatif lebih simple dengan memanfaatkan peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku dan memanfaatkan lemahnya enforcement dari otoritas pajak; b. Kebijakan Anti Tax Avoidance terkait praktik Thin Capitalization khususnya mengenai Static DER dalam Pasal 18 ayat (1) semenjak 29
Parulian Siahaan, Richard Pardomuan, (tesis), Analisis Ketentuan Penangkal Praktik Thin Capitalization di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2010
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
19
ditangguhkannya
KMK-1002/KMK.04/1984
dengan
KMK-
254/KMK.04/1985 belum mengalami perubahan padahal ketentuan ini dapat memberi kepastian hukum bagi fiskus maupun Wajib Pajak. Sedangkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) terkait dynamic DER juga belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh otoritas pajak. Saat ini Indonesia baru mempunyai ketentuan tentang Spesific anti Tax Avoidance (SAAR) yang tertuang dalam pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Hasil perbandingan ketentuan thin capitalization di negara beberapa negara maju menunjukkan bahwa sebagian besar dari negara-negara tersebut telah memiliki ketentuan General Anti Tax Avoidance (GAAR) dimana di negara Belgia meskipun otoritas pajak belum
memiliki
ketentuan
GAAR,
pihak
pengadilan
telah
mempertimbangkan fakta-fakta yang relevan (substance over form). Sedangkan Indonesia hingga kini belum memiliki ketentuan General Anti Tax Avoidance (GAAR) sebagai pelengkap SAAR. c. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menangani praktik-praktik Thin Capitalization yang berupaya mengurangi beban pajak adalah (i). formulasi kebijakan DER sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU PPh dan (ii) meningkatkan enforcement sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Formulasi kebijakan mengenai Debt to Equity Ratio saat ini masih berlangsung di Direktorat Jenderal Pajak khususnya Direktorat Peraturan Perpajakan II Subdirektorat Peraturan PPh Badan dan kegiatan penegakan hukum (enforcement) sedang ditingkatkan dengan pengawasan dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus.
Perbedaan penelitian pada tesis ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya diatas terletak pada pokok pembahasan dan sudut pandang. Tesis ini lebih banyak menganalisis peraturan thin capitalization di Indonesia dari sisi hukum serta membandingkan ketentuan thin capitalization tersebut dengan ketentuan negara-negara yang memiliki investment asing yang tinggi.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
20
Selain itu, tesis ini juga berusaha memberikan perspektif tentang pendekatan yang sebaiknya dipergunakan oleh otoritas pajak Indonesia dalam menentukan kewajaran transaksi thin capitalization.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, selanjutya akan dipaparkan pokok masalah yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana Hukum Pajak Indonesia mengatur transaksi thin capitalization yang berpotensi merugikan negara ini dan kelemahan peraturan yang ada? 2) Bagaimana perbandingan pengaturan transaksi thin capitalization dalam hukum pajak Indonesia dan beberapa negara khususnya Amerika Serikat, Belgia, Cina, Inggris, Kanada, Luxembourg, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Jerman? 3) Bagaimana sebaiknya menentukan kewajaran terhadap transaksi thin capitalization?
C. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: 1) Menganalisis landasan pemahaman tentang pengaturan transaksi thin capitalization
dalam
ketentuan
perpajakan
Indonesia
beserta
kelemahan peraturan yang ada. 2) Mengetahui ketentuan perpajakan terkait thin capitalization di Indonesia serta perbandingannya dengan ketentuan Amerika Serikat, Inggris, Luxembourg, Cina, Perancis, Belgia, Canada, Spanyol, Rusia dan Jerman. 3) Menganalisis
pendekatan
yang
sebaiknya
diterapkan
dalam
penentuaan kewajaran dalam transaksi thin capitalization.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
21
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat, baik bagi pribadi, kepentingan praktis maupun akademis, yaitu sebagai berikut : 1) Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian tentang penghindaran pajak melalui thin capitalization; 2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Ditjen Pajak tentang kepastian hukum perlakuan anti penghindaran pajak melalui thin capitalization.
E. Metode Penelitian Adapun pendekatan penelitian dan teknik pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini adalah : 1. Pendekatan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, maka penelitian bersifat deskriptif analitis yang memaparkan permasalahan hukum yang terkait dengan peraturan thin capitalization dalam Undang-undang perpajakan Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan mempelajari dan mengkaji peraturan perundang-undangan
perpajakan
yang
berlaku
terkait
dengan
thin
capitalization bagi Wajib Pajak. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan ini adalah studi kepustakaan. Teknik ini dilakukan dengan mempelajari sejumlah peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang Dasar 1945 dengan Perubahannya, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, literatur, buku, makalah, hasil penelitian, tulisan-tulisan ilmiah yang
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
22
berkaitan dengan permasalahan, ataupun sumber data dari kamus, artikel pada majalah atau surat kabar.
F. Kerangka Teori Berkaitan dengan perumusan masalah yang kami ajukan, Penulis melihat perlu adanya kepastian hukum dalam pengaturan thin capitalization sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat hal tersebut, Penulis akan menggunakan ‘pisau analisis’ dengan teori hukum positif. Dalam teori hukum positif yang diperkenalkan oleh John Austin menganut pendapat bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum.30 Orang-orang tertentu itu adalah para penguasa (law is a command of the lawgivers). Hukum yang bertujuan memberikan kepastian hukum. Bila diabaikan, akibat lebih jauh dari ketidakpastian hukum ini adalah ketidakadilan bagi jumlah orang yang lebih banyak31. Selain itu dalam teori hukum murni, Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum memiliki norma dasar atau yang disebut Grundnorm. Dengan Stufenbau Theorie, Kelsen menyatakan lebih lanjut bahwa hukum memiliki hirarki (jenjang) yang artinya norma hukum dibawah harus tunduk kepada norma hukum yang lebih atas.32 Selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.”. Bahwa suatu perbuatan, tidak akan dikenakan hukuman tanpa adanya peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts yang diterbitkan pada tahun 1801. Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian33 yaitu: 1) Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang. 30
Antonius Cayadi, E. Fernando M. Manuliang, Pengantar ke Filsafat ukum. Jakarta: Kencana, 2007, h. 58.
31
Prof. Darji Darmodiharjo, SH , Dr. Sidharta, SH., M. Hum. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama,2006, h. 159. 32 Antonius Cayadi, E. Fernando M. Manuliang, ibid, h. 70. 33
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 29
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
23
2) Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif). Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi warga negara sebagai pelaku hukum, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam pemberian sanksi, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Namun demikian, dalam hukum pajak terdapat teori Adam Smith tentang asas certainty yang berkaitan dengan kepastian hukum dalam pemungutan pajak. Pada abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nation (terkenal dengan nama Wealth of Nation) melancarkan ajarannya ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maxims” dengan uraian sebagai berikut34: 1) Equality; Pembagian tekanan pajak diantara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan
penghasilan
yang
dinikmatinya
masing-masing
dibawah
perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama Wajib Pajak dikenakan pajak yang sama pula. 2) Asas “Certainty”; Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbritrary). Dalam asas “certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek-objek,
besarnya
pajak,
juga
ketentuan
mengenai
waktu
pembayarannya. 3) Asas Covenience of payment”. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it.” Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada pada asaat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. 34
R. Santoso Brotodihardjo, “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, Refika Aditama, Bandung, 2003 h. 27-28
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
24
4) Asas efficiency. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the State.” Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemathematnya. Jangan sampai biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya. Persyaratan kepastian dalam maksim kedua sebenarnya berlaku bukan hanya untuk bidang hukum pajak tapi juga bidang hukum lainnya. Pada generasi berikutnya maksim yang kedua ini juga disebut asas yuridis (asas hukum), artinya hukum pajak harus memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas35. Selain itu hukum pajak merupakan lex specialist sehingga tidak boleh bertentangan
dengan
norma
hukum diatasnya.
Dalam pengaturan thin
capitalization ini, seharusnya juga mengikuti hirarki hukum yang ada dan tidak boleh bertentangan dengan norma dasar hukum yang berlaku di Indonesia.36 Berdasarkan pembahasan teori hukum dan asas pemungutan pajak tersebut di atas, maka Penulis mempergunakan teori positivisme dan asas certainty atau selanjutnya dikenal dengan asas yuridis dalam pengaturan transaksi thin capitalization yang harus diperhatikan oleh negara.
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang memuat tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan Penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan. Bab Kedua, tentang Tinjauan Pajak terdiri dari konsepsi thin capitalization, karakteristik utang dan modal, perbedaan perlakuan utang dan modal, pengaruh transaksi thin capitalization terhadap suatu negara, karakteristik thin capitalization, skema thin capitalization, pendekatan kewajaran transaksi thin
35 36
Santoso Brotodihardjo, loc.cit, h. 27-28. R. Santoso Brotodihardjo, loc. cit., h. 10.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
25
capitalization, penggunaan hybrid financial instrument, dan pendekatan kewajaran thin capitalization. Bab Ketiga, perbandingan pengaturan thin capitalization dibeberapa negara khususnya Amerika Serikat, Belgia, Cina, Inggris, Kanada, Luxembourg, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Jerman. Bab Keempat, menguraikan tentang ketentuan peraturan perpajakan Indonesia dalam menangkal thin capitalization serta analisis hukumnya. Bab Kelima, berisi kesimpulan sebagai jawaban atas identifikasi masalah dan saran-saran yang relevan dengan hasil penelitian.
**********
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsepsi Thin Capitalization Sebelum membahas lebih jauh tentang konsepsi dari thin capitalization, Penulis ingin mengemukakan beberapa definisi dari istilah tersebut agar terjadi persamaan persepsi untuk memudahkan pemahaman.
Price and Waterhouse Coopers atau biasa disingkat PWC sebagai firma konsultan keuangan termasuk melayani jasa perpajakan terbesar di dunia mendefinisikan thin capitalization sebagai berikut 37: “Thin capitalisation is a consideration in cases where loans are obtained from related parties, the loans are continuously used within the company and the ratio of the loans to the shareholders’ equity is high in comparison to similar companies in the same sector.” (Thin capitalization merupakan pertimbangan dalam kasus-kasus dimana pinjaman-pinjaman yang diterima dari pihak yang memiliki hubungan istimewa, pinjaman tersebut terus berkelanjutan dan digunakan oleh perusahaan dan rasio dari pinjaman kepada pemegang saham adalah tinggi dibandingan dengan perusahaan dalam bidang yang sama) Dalam definisi tersebut, PWC lebih menekankan kepada pinjaman antar pihak yang memiliki hubungan istimewa. Klausul hubungan istimewa ini menjadi sangat penting mengingat dengan adanya hubungan tersebut memungkinkan pihak-pihak yang bertransaksi melakukan rekayasa atas transaksi untuk menghindari pengenaan beban pajak dengan memanfaatkan celah-celah ketentuan perpajakan di dua jurisdiksi yang berbeda. Your dictionary.com memberikan definisi lebih lanjut tentang thin capitalization ini sebagai: “A financial structure heavily weighted toward debt, generally undertaken in order to gain the tax advantage of deducting interest expenses.” 38
37
Price Waterhouse Coopers, http://www.pwc.com/tr/en/tax/thin-capitalisation.jhtml ,(diakses tanggal 28 November 2010) 38 Your dictionary.com, http://business.yourdictionary.com/thin-capitalization, diakses tanggal 11 Desmber 2010
26 Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
27
(Struktur keuangan yang lebih cenderung memberikan hutang, umumnya dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan dari sisi perpajakan dari pengurangan beban bunga) Tujuan memperoleh keuntungan dari sisi perpajakan melalui thin capitalization tersebut telah menjadi isu utama dalam perpajakan internasional. OECD sebagai organisasi ekonomi negara-negara maju mendeskripsikan praktik thin capitalization sebagai upaya untuk menyembunyikan penyertaan modal 39. “Thin capitalisation” — is often loosely used to describe the whole range of forms of hidden equity capitalisation” (Thin Capitalization-sering dipergunakan untuk mendeskripsikan segala bentuk pendanaan modal tersembunyi) Prof. Dr. Gunadi menjelaskan lebih jauh tentang thin capitalization ini sebagai praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih besar dengan utang berbunga dari perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa ketimbang dengan modal saham. 40 Dari beberapa pernyataan dan definsi diatas, Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa thin capitalization merupakan modal terselubung yang diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan perwujudan berupa utang bertujuan untuk menghindari beban pajak di negara yurisdiksi tempat anak perusahaan berdomisili. Hampir dalam setiap definisi diatas, selalu menyebutkan kata utang dan modal. Pemahaman tentang karateristik keduanya sangat penting karena akan memberikan dasar dalam memahami cara transaksi thin capitalization ini berlaku serta perlunya pengaturan tentang transaksi tersebut.
B. Karakteristik Utang dan Modal Ada banyak alasan mengapa pemegang saham lebih menyukai pinjaman dibandingkan dengan modal dalam mendanai anak perusahannya di negara lain. Salah satu alasannya adalah penggunaan modal lebih beresiko dibandingkan
39 40
OECD, Thin Capitalization, 2000 h. (4)-7 Pajak Intenasional, Ed. Revisi; Jakarta: LPFEUI, 1999, h.. 279
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
28
dengan hutang. Selain itu perspektif ekonomi bahwa pajak adalah biaya yang akan mengurangi keuntungan bagi pemegang saham, maka harus diminimalkan. Sasaran
investasi modal,
tidak selalu
dimaksudkan
dalam
rangka
perubahan dalam kepemilikan dan hak suara tetapi juga untuk peningkatan tanggung jawab terhadap saham yang dimiliki. Biasanya investasi ekuitas akan menuntut keterlibatan dalam manajemen perusahaan dan ini merupakan harga yang lebih mahal. Keuntungan dari hutang adalah rendahnya resiko, pengembalian keuntungan atas investasi yang terpisah dari hasil perusahaan, dan kemungkinan mengeksploitasi efek daya ungkit (leverage effect) perusahaan 41. Untuk lebih memperjelas perbedaan karakteristik antara hutang dan modal, Penulis menyajikan pada tabel berikut 42:
Table 2.1 Perbedaan utang dan Modal Klasifikasi Posisi Hukum Pengaruh ke aktivitas anak Perusahaan
Substantial holding Partisipasi keuntungan
Modal Hak Pemegang Saham Biasanya memperoleh akses semua informasi, kontrol, dan memiliki hak suara
Hutang Hak Kreditur Biasanya tidak memilki akses informasi, control, dan hak suara
Pembagian keuntungan dan kerugian; berpartisipasi dalam Proses likuidasi
Biasanya pengembalian secara tetap dan bebas dari keuntungan dan kerugian Tanggung jawab Minimal sebesar saham Tidak ada tanggung yang ditanamkan jawab Jaminan Tidak ada Ada Bila gagal bayar Tidak diutamakan Diutamakan Ketentuan dari Tidak ada pembayaran ada pembayaran komitmen modal kembali secara tetap. kembali secara tetap. Sumber: Margret Klostermann (diterjemahkan)
41
Utang memiliki daya ungkit maksudnya pemberian utang ini memberikan ruang pendanaan asset yang lebih besar yang akan memberikan potensi pendapatan akan diterima oleh perusahaan. 42 Margret Klostermann, “The Consequences of Hybrid Finance in Thin Capitalization Situations”, Discussion Paper Nr. 22, Wirchaft Universitat, Juli 2007, h. 3-4
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
29
Tabel 2.1 Perbedaan utang dan Modal (lanjutan) Klasifikasi
Modal
Hutang
Kompensasi Hak kompensasi
Prosentase keuntungan Hak nominal sesuai saham. Jenis kompensasi Pembayaran dividen Pembayaran bunga Perlakuan Pajak Tidak dapat Dapat dibebankan dibebankan sebagai sebagai biaya biaya Sumber: Margret Klostermann (diterjemahkan) OECD Report dalam Thin Capitalization43 mendeskripsikan perbedaan antara pinjaman dan modal sebagai berikut 44: “The differences between loan capital and equity capital may seem obvious but it is nevertheless pertinent to spell them out briefly. First, there are legal differences. The owner of shares is normally entitled to a proportion of the profits of the company. He is not normally entitled to recover his original investment except on the dissolution of the company and the risks he undertakes are normally limited to the amount of equity capital which he has subscribed or has undertaken to subscribe. He would usually however be able to sell his shares and thus recover the current value of his investment, which might be more or less than the amount he originally invested. The provider of loan capital, on the other hand, is normally entitled to a periodical amount of fixed interest on the amount lent, regardless of what profit, if any, is made by the company. He is normally entitled to recover his investment after a certain period. He may in some circumstances be able to make an earlier sale of his rights to another person, at which point, as with shares, he may recover either more or less than his original investment, although the factors affecting the sale value of a bond may well be different from those affecting the sale value of a share. The provider of a loan risks, as does the shareholder, the loss of his entire investment. Second, there is an economic difference. The fact that loan creditors can look to a periodic fixed reward for the use of their loan capital, and to the return of that capital itself at the end of the loan period, while the subscribers of equity capital (or those who purchase their shares) can be expected to wait for their reward, within reason, until the directors of the company decide that profits can be spared for distribution rather than reinvestment, means that 43
44
diadopsi oleh OECD Committee on Fiscal Affairs pada tanggal 26 November 1986. OECD, loc. cit h. (4)-7
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
30
a company which is mainly financed by equity capital can operate in a very different way from one which is mainly financed by loans. For example it may be able to wait longer for the expected profits to materialise and may have a better prospect of receiving trade credits from suppliers, etc. 5. Perhaps the most important difference from the tax point of view is the fact that equity investment is designed to produce a return for the investor in the form of a distribution of taxable profits while the return on a loan investment is, for the payer, an expense which has to be met before the profits can be established. Menurut OECD diatas, perbedaan antara utang dan modal sepertinya sangat jelas namun Penulis merasa perlu untuk lebih memperjelasnya lagi. Ada dua perbedaan antara keduanya: 1) Perbedaan secara legal; Yaitu pemilik saham memiliki hak dalam pembagian dari laba perusahaan. 2) Perbedaan
secara
ekonomis.;
Yaitu
kreditur
dapat
memperkirakan berapa lama pengembalian dari utang yang dia berikan. Menambahkan perbedaan hutang dan modal, pada umumnya perbedaan utama antara utang dan modal menurut Stephen A.Ross Stephen A.Ross, Randolph W. Westerfield, Jeffrey F, Jaffern adalah 45: 1) Utang bukan merupakan tanda kepemilikan dalam perusahaan, karena kreditur tidak mempunyai hak suara. Perangkat yang digunakan oleh kreditur dalam perusahaan debitur adalah perjanjian; 2) Pembayaran bunga pinjaman perusahaan dianggap sebagai biaya operasional dan dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak. Dengan demikian biaya bunga dibayar kepada kreditur sebelum kewajiban pajak dihitung. Sementara dividen yang dibayar ke pemegang saham setelah laba kena pajak. Deviden
diperlakukan
sebagai
pengembalian
investasi
pemegang saham;
45
Stephen A.Ross, Randolph W. Westerfield, Jeffrey F, Jaffern, Corporate Finance, Third Edition, Times Mirror/Mosby College Publishing, 1993, h. 400.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
31
3) Utang yang belum dibayar merupakan kewajiban bagi perusahaan. Bila tidak atau belum dibayar, kreditur secara legal dapat melakukan penagihan atau klaim atas aktiva perusahaan.
Dari pembahasan diatas, banyak perbedaan karakteristik dari hutang dan bahkan perlakuan dan kompensasi dari keduanya perlakuan perpajakan yang timbul terhadap kedua kompensasi tersebut.
C. Perbedaan Perlakuan Perpajakan antara Dividen dan Bunga Di beberapa negara, terdapat perbedaaan perlakuan antara dividen dan bunga. Pendanaan perusahaan dengan menggunakan utang diikuti dengan kewajiban bunga. Dalam dunia usaha, bunga yang dibayarkan atas sebagai kompensasi dari utang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto 46. Secara umum, bunga yang dibayarkan oleh suatu Wajib Pajak boleh dijadikan pengurang penghasilan bruto, sedangkan pembagian dividen yang berasal dari bagian laba usaha, tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Sebagaimana dinyatakan oleh Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach bahwa para pengelola perusahaan yang terkait umumnya memahami bahwa apabila mereka menanamkan modal dalam bentuk kewajiban utang perusahaan, perusahaan dapat membebankan bunga atas utang tersebut. Lebih lanjut, pendanaan berupa utang hanya bersifat sementara, dan pengelola perusahaan akan menerima pengembalian dari investasi mereka sesuai jadwal pengembalian atau bahkan berdasarkan permintaan. Di sisi lain, apabila pengelola perusahaan menginvestasikan dana mereka dalam bentuk saham, maka investasi mereka akan bersifat permanen, dengan konsekuensi setiap pembagian deviden tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Akibatnya, pengelola perusahaan semakin
46
Susan M Lyons, International Tax Glossary, Amsterdam: IBFD, 1992, h. 82.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
32
termotivasi untuk menyuntikan sebanyak mungkin utang ke dalam struktur permodalan anak perusahaannya 47. Dalam sistem pajak penghasilan klasik (classical system of income taxation) yang dianut oleh Indonesia, terdapat pemisahan entitas dari sisi hukum antara penerima dan pembagi deviden. Pemisahan entitas ini akan mengakibatkan penerapan pajak berganda ekonomis atas deviden, yaitu pengenaan pajak dua kali terhadap objek yang sama. Pengenaan pajak ini terjadi pada pihak pembayar deviden berupa laba perusahaan ketika menghitung PPh Badan dan pada pihak yang menerima deviden dengan mekanisme pengenaan pajak melalui pemotongan (witholding tax) 48. Pada
hukum
perdata,
kreditur,
dapat
berupa
perseorangan
(naturlijkpersoon) maupun badan hukum (recht person). Kreditur yang berbentuk badan hukum pada umumnya berbentuk bank namun dapat juga berbentuk non bank. Dan kreditur-kreditur tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Suatu keputusan mengenai pendanaan atau struktur modal pada suatu perusahaan multinasional pada umumnya dipengaruhi oleh karakteristik dari perusahaan multinasional itu sendiri, stabilitas arus kas, resiko kredit dan akses perusahaan terhadap laba 49. Keputusan ini juga dipengaruhi karakteristik dari negara tempat perusahaan multinasional melakukan bisnis, seperti resiko investasi, suku bunga, kuat lemahnya valuta lokal, tinggi rendahnya resiko investasi suatu negara (country risk) dan kepastian hukum termasuk undangundang perpajakan. Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Utama Freeport Armando Mahler bahwa pihaknya meminta pemerintah untuk memberi jaminan kepastian hukum dalam berusaha karena sangat dibutuhkan oleh dunia usaha termasuk Freeport 50. Secara
keseluruhan
perusahaan
multinasional
lebih
cenderung
menggunakan utang ketika anak perusahaan luar negeri berhadapan dengan suku 47
Sally M. Jones and Shelley C. Rhoades-Catanach, Principles of Taxation for Business and Investment Planning, Mc. Graw-Hill Irwin, 2010, h. 352. 48 Gunadi, loc. cit., h..19. 49 50
Jeff Madura, Manajemen Keuangan Internasional, Jakarta : Erlangga, 2001, hal. 188. “Pihaknya meminta pemerintah untuk memberi jaminan kepastian hukum dan berusaha tidak hanya diperlukan Freeport”, (http://www.mediaindonesia.com), Rabu, 26 Mei 2010.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
33
bunga lokal yang rendah, valuta lokal yang diestimasi melemah, resiko investasi negara yang tinggi dan tarif pajak yang tinggi 51. Ketika pihak yang melakukan transaksi hutang-piutang ini terjadi secara lintas negara maka banyak otoritas pajak negara prihatin dengan penurunan penerimaan pajak negaranya karena pemindahan laba ke negara lain akibat timbulnya bunga 52. Penulis akan memberikan sebuah gambaran dalam contoh 2.1 untuk menunjukkan bagaimana praktik thin capitalization akan berlaku: PT Xcercise Indonesia adalah sebuah perusaaan yang berdomisili atau berkedudukan di negara Indonesia. Sedangkan Xcercise Ltd. merupakan perusahaan yang berkedudukan di Negara Belanda. Xcercise Ltd. Merpkan pemegang saham mayoritas dengan komposisi saham 95% pada saham PT Xcercise Indonesia. Pada tahun 2008, PT Xcercise Indonesia membutuhkan tambahan dana untuk kegiatan usahanya sebesar USD 10.000.000,-. Ada dua alternative yang dapat dilakukan oleh Xcercise Ltd. untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut, yaitu melalui penambahan modal baru atau memberikan pinjaman. Dengan asumsi bahwa sebelum adanya pembayaran bunga ataupun dividen, PT Xcercise Indonesia mencatat laba sebelum pajak sebesar USD 800.000 serta membagikan seluruh dividen seluruhnya setelah dikenakan pajak. Tingkat suku bunga pinjaman adalah 7% per tahun. Tarif withholding tax atas dividen sebesar 5% dan bunga sebesar 10%. Tabel di bawah ini akan menyajikan perbandingan beban pajak di Negara B atas dua skema transaksi tersebut: Tabel 2.2 Perbandingan Pembiayaan Melalui Modal dan Pinjaman Keterangan
Laba sebelum bunga atau dividen Biaya bunga (7% x 10.000.000) Penghasilan Kena Pajak PPh 25% Dividen Withholding Tax (5%, 10%) Total Pajak
51 52
Pembiayaan Melalui Modal 800.000 0 800.000 200.000 600.000 30.000 230.000
Pembiayaan melalui Pinjaman 800.000 700.000 100.000 25.000 75.000 70.000 95.500
Jeff Madura, loc. cit, h. 191. DRT International, Thin Capitalization and Related Provisions in Major Trading Nations, International Tax and Business Guide, 1990, h. 1.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
34
Tabel 2.2 diatas menunjukkan bahwa pendanaan melalui pinjaman lebih efektif diterapkan untuk mengurangi beban pajak bagi anak perusahaan dibandingkan dengan pendanaan dari modal. Dalam rangka untuk menghindari penyalahgunaan pembiayaan antar perusahaan afiliasi melalui pinjaman, beberapa negara menerapkan aturan mengenai thin capitalization (thin capitalization rule). Berdasarkan ketentuan tersebut, perlakuan perpajakan atas beban bunga pinjaman yang diberikan oleh pemegang saham dari perusahaan afiliasi yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri harus mengikuti ketentuan sebagai berikut 53: 1) Biaya bunga suatu pinjaman dari pemegang saham perusaaan afiliasi yang melebihi rasio pinjaman dan modal (Debt to Equity Ratio/DER) yang telah ditetapkan tidak dapat dibiayakan. 2) Pembayaran atas bunga utang yang melebihi dari suatu rasio tertentu, diperlakukan sebagai pembayaran dividen. 3) Sebagian atau seluruh pinjaman dari pemegang saham perusahaan afiliasi diklasifikasikan sebagai penyertaan modal. Peraturan thin capitalization ini sangat penting sehingga negara-negara lain berusaha melakukan penyempurnaan ketentuan anti penghindaran pajak mereka termasuk peraturan pendanaan melalui utang dan modal ini. Hal ini dilakukan karena akan berpengaruh terhadap penerimaan negara melalui pelarian laba ke luar negeri.
D. Pengaruh Praktik Thin Capitalization Terhadap Pajak Suatu Negara Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa cara melakukan minimalisasi modal atau thin captalizatian adalah dengan berhutang kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa, karena biaya bunga dari hutang boleh menjadi pengurang dari penghasilan yang diperoleh suatu perusahaan. Praktek penghindaran pajak melalui thin capitalization yang dilakukan oleh perusahaan multinasional akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak dari suatu negara. 53
Roy Rohatgi, Basic International Taxation, Kluwer Law International, 2002, h 396.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
35
Dalam studi sebelumnya yang dilakukan oleh Elina Magdalena D. terhadap 7 (tujuh) perusahaan pertambangan umum dengan kontrak karya diketahui adanya praktik thin capitalisation yang dilakukan oleh 2 (dua) perusahaan tambang 54. Praktik thin capitalisation tersebut terkuak setelah dilakukan analisis struktur permodalan dan keduanya terbukti melakukan pelanggaran rasio hutang dengan modal. Rasio hutang terhadap modal PT. Galuh Cempaka dan PT. Indo Muro Kencana selama 2006 dan 2007 dinilai tidak wajar. Ketidakwajaran itu terlihat dari sejumlah indikator yang digunakan untuk penilaian yaitu 55: 1) Kewajaran perbandingan antara utang dan modal (DER– Arms Lenght Principle); 2) Pinjaman yang dilakukan tanpa bunga (interest non-bearing); 3) Bunga pasar (rate interest by market); 4) Jadwal pembayaran tetap (fixed repayment) dan 5) Pinjaman dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa (loan from related parties).
Praktik utang piutang antar perusahan dalam satu grup (intercompany loan) berupa pemindahan laba ke negara lain akibat timbulnya bunga dalam hubungan induk perusahaan (parent company) dengan anak perusahaan (subsidiary company) banyak ditengarai terjadi di pada perusahaan-perusaan yang memiliki afiliasi di Indonesia. Theo F. Toemion, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pernah mengungkapkan bahwa ada sekitar 70% perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) tidak membayar pajak karena laporan keuangannya menunjukkan rugi 56. Lebih satu tahun kemudian Jusuf Anwar (mantan Menteri Keuangan RI) mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa ada 750 (tujuh ratus lima puluh) perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) melaporkan rugi dan tidak membayar pajak (PPh Badan)
54
D, Elina Magdalena, Analisis kebijakan anti "Thin Capitalization" pada 7 (tujuh) perusahaan pertambangan umum dengan kontrak karya. Tesis S2, Jakarta: Universitas Indonesia, 2009 hal. 57. 55 D, Elina Magdalena, ibid, h. 65 56
“Soal 70 persen Perusahaan PMA Tak Bayar Pajak”, Koran Kompas, 20 Agustus 2002.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
36
berturut-turut selama 5 tahun terakhir dan bahkan banyak juga yang lebih dari 5 tahun 57. Hasil wawancara yang dilakukan oleh Richard Pardomuan Parulian Siahaan dengan Achmad Amin, Ak.(Kasubdit Peraturan PPh Badan Direktorat Jenderal Pajak) menunjukkan bahwa praktik-praktik thin capitalization ini dilakukan lebih dari 50% Wajib Pajak Badan yang terdaftar di Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar dan sekitar 40%-50% Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus 58. Dia menambahkan bahwa Laporan Keuangan Wajib Pajak tersebut memang diskenariokan untuk rugi sehingga perusahaan tidak perlu membayar PPh Badan. Skenario ini mengakibatkan pada kerugian yang besar pada penerimaan negara karena laba perusahaan yang seharusnya dikenakan pajak di dalam negeri telah dilarikan ke luar negeri. Dari kaca mata perencanaan pajak 59, pendanaan anak perusahaan melalui utang menjadi dapat sangat dipahami. Wajib Pajak akan cenderung memilih mendanai kegiatan usaha anak perusahaannya dengan utang karena relatif akan lebih sedikit membayar pajak penghasilan badan pada anak perusahaan di negara yang membebankan bunga. Praktik yang secara berlebihan mendanai cabang atau anak perusahaan dengan pinjaman berbunga dari mereka yang memiliki hubungan istimewa dan bukan melalui setoran modal disebut thin capitalization60. Definisi yang kurang lebih sama disampaikan oleh Gunadi bahwa thin capitalization merupakan praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih besar dengan hutang berbunga dari pada dengan modal saham 61.
57
Bagja Hidayat dan Suryani Ika, “Pengusaha Asing Kecewa Soal Pajak”, Koran Tempo, 30 November 2003, h.17. 58 Parulian Siahaan, Richard Pardomuan, (tesis), Analisis Ketentuan Penangkal Praktik Thin Capitalization di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2010. 59 Perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan untuk meminimalkan beban dan sanksi pajak dengan memaksimalkan celah dalam peraturan perpajakan yang berlaku. 60 Richard J. Vann, International Aspects of Income Tax, Tax Law Design and Drafting, International Monetary Fund, 1998, h. 784. 61 Gunadi, Transfer Pricing, Suatu Tinjauan Akuntansi, Manajemen dan Pajak, Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1994, h. 184.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
37
E. Karakteristik Thin Capitalization Pada definisi-definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, Penulis dapat melakukan identifikasi terhadap karakteristik transaki thin capitalization dengan melalui pendekatan sebagai berikut 62:
1.
Hubungan Istimewa (related party) Adanya hubungan istimewa adalah syarat utama untuk melihat apakah
sebuah transaksi pendanaan tersebut merupakan transaksi thin capitalization. Otoritas pajak suatu negara diberi wewenang untuk melakukan koreksi (primary adjustment) atas transaksi yang tidak mencerminkan harga wajar sepanjang transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 63 Pasal 9 OECD Model Tax Convention (model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda versi OECD) 64 mengatur tentang hubungan istimewa sebagai berikut ini: 1. Where an enterprises of a Contracting State participates directly or indirectly in management, control of capital of an enterprises of the other Contracting State, or the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprises of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State. and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly. 2. Where a Contracting State included in the profits of an enterprises of that State- and taxes accordingly- profits on which an enterprises of the Oter Contracting State has been charged to tax in that Other State and the profit so included are profit which would have been made between independent enterprises had been those which would have been made between the two enterprises had been those which would 62
Danny Septriadi, Darussalam: Konsep dan Aplikasi Cross Border Tarnsfer Pricing, Jakarta: Danny Darussalam Tax Center, 2008, h. 14 63 Carmine Rotorando, The Notion of Associated Enterprises: Treaty Issues and Domestic Interpretation-An Overview, dalam International Transfer Pricing Journal, Januari/Februari 2000, h. 2 64 OECD, Model Tax Convention on Income and Capital, Condensed Version, OECD Publisher, 2008 h. 28.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
38
have been made between independent enterprises, than that Other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due regards shall be had to the other provisions of this Convention and the competent authorities of the Contracting State shall if necessary consult each other. Untuk mengantisipasi penghindaran pajak, otoritas pajak suatu negara memiliki hak untuk melakukan koreksi atas nilai pengembalian bunga yang melebihi batasan yang ditetapkan. Penyesuian ini disebut dengan koreksi utama (primary adjustment). Sedangkan bagi negara mitra perjanjian, seharusnya juga membuat koreksi sebaliknya (corresponding adjustment) untuk memberikan keadilan bagi Wajib Pajak. Dalam transaksi thin capitalization, definisi hubungan istimewa sangatlah penting. Perbedaan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa antara suatu negara dengan negara lainnya dapat menyebabkan terjadinya pajak berganda. 65 Negara mitra perjanjian tidak akan mau melakukan koreksi sebaliknya (corresponding adjustment) bila koreksi utama (primary adjustment) yang dilakukan
tidak
sesuai dengan definisi hubungan istimewa yang diatur dalam ketentuan domestik negaranya.
2.
Adanya Skema Pendanaan Melalui Utang Transaksi pendanaan berupa kewajiban dan modal merupakan objek
pengaturan dalam thin capitalization. Dengan adanya berbagai skema pilihan pendanaan dan berakibat terhadap aspek perpajakannya, pengaturan thin capitalization ini menjadi perhatian serius bagi otoritas pajak di berbagai negara. Thin capitalization bukan hanya berlaku pada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa yang berada dalam yurisdiksi perpajakan yang berbeda, namun juga dapat dilakukan dalam negara yang sama. Hal ini dapat dilakukan dalam hal posisi keuangan salah satu perusahaan (kreditur) tersebut dalam kondisi rugi, karena pembebanan bunga akibat hutang tersebut akan menjadi pengurang bagi debitur. 65
Carmine Rotandari , loc. cit. h. 5.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
39
Dengan berkembangnya bisnis yang semakin cepat, skema pendanaan ini juga
berkembang
semakin
kompleks
dan
canggih
termasuk
dengan
memanfaatkan instrument keuangan yang ada.
F. Skema Transaksi Thin Capitalization Perkembangan dunia keuangan dan bisnis yang cepat membuat para pelaku semakin kreatif dalam membuat skema thin capitalization. Pendanaan yang melibatkan utang dengan kompensasi bunga semakin kompleks dan bahkan melibatkan instrumen keuangan modern. Ada beberapa skema yang dapat dilakukan oleh perusahaan multinasional (multinational enterprises) dalam menerapkan thin capitalization ini diantaranya 66: 1. Direct Scheme Pada skema ini, pihak pemegang saham (shareholder) atau pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berada di jurisdiksi memberikan pinjaman secara langsung kepada anak perusahaan yang berada di negara lainnya tanpa melalui perantara institusi lainnya. Sebagai imbalannya, pemegang saham memperoleh imbalan bunga sesuai dengan perjanjian yang mereka buat. Mengingat transaksi ini dimaksudkan untuk meminimalkan beban pajak, maka perjanjian ini akan diatur sedemikian rupa dengan memanfaatkan celah hukum yang ada. Hal ini sangat mudah dilakukan karena keduanya terikat dalam hubungan istimewa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh 2.1 pada pembahasan sebelumnya. 2. Back to back loan Dalam transaksi thin capitalization, sangat dimungkinkan melibatkan pihak lain sebagai perantara dalam menjalankan skema pinjaman ini. Hal ini dilakukan untuk menyamarkan transakasi tersebut memanfaatkan kelemahan pengawasan dari otoritas perpajakan yang ada. Terlebih bila negara tersebut tidak memiliki instrument pertukaran informasi (exchange of information)67 dengan otoritas pajak negara yurisdiksi tempat pihak yang meminjamkan dana serta 66 67
Gunadi, loc. cit, h. 238 Fasilitas pertukaran informasi (exchange of information) merupakan bagian dari kesepakatan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Fasilitas ini dipergunakan oleh otoritas kedua negara untuk saling bertukar informasi dari masing-masing perusahaan yang melakukan transaksi di negara lainnya.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
40
institusi perantara itu berada. Dalam skema ini biasanya akan melibatkan institusi keuangan. Pada skema ini investor menyerahkan dananya kepada mediator untuk disalurkan kepada amak perusahaan yang dituju dengan kompensasi yang disepakati dengan institusi tersebut. Skema lain bisa dengan cara perusahaan induk mendepositokan ke lembaga keuangan (bank) dan selanjutnya disalurkan pinjaman ke anak perusahaan yang ada di jurusdiksi pajak negara lainnya. Selisih spread bunga antara yang diterima (dari deposito) oleh pemegang saham dengan yang dibayarkan kepada bank oleh anak perusahaan merupakan biaya (setara dengan imbalan jasa pada bank) pelaksanaan pendekatan dimaksud. Skema back to back loan ini dipergunakan untuk menghindari ketentuan tentang thin capitalization dengan pendekatan perbandingan antara utang dan modal yang sudah ditetapkan (fixed ratio approach). Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut, Penulis akan memberikan contoh sebagai berikut: Contoh 2.2 Alfa Limited merupakan Wajib Pajak di negara Bravo dan memiliki anak perusahaan PT Charlie dengan komposisi saham 99% di negara Delta yang memiliki ketentuan perbandingan tetap rasio utang terhadap modal sebesar 2:1. Sebelumnya Alfa Limited telah memberikan utang kepada PT Charlie dengan perbandingan utang terhadap modal telah memenuhi ketentuan di negara tersebut. Alfa Limited bermaksud meminjamkan dana lebih besar lagi kepada anak perusahaannya tersebut dengan cara mendepositokan dana ke Bank Z dengan perjanjian bank tersebut akan menyalurkannya kepada PT Charlie dengan suku bunga yang telah ditentukan. Anak perusahaan ini akan membayar bunga kepada Bank Z dan membebankan bunga tersebut sebagai biaya untuk mengurangi PPh Badan di negara Delta. 3. Pararel Skema lain yang dibiasa diciptakan oleh para pelaku keuangan adalah dengan cara perusahaan induk mencari mitra perusahaan lain (tidak ada hubungan istimewa) yang juga memiliki yang memiliki anak perusahaan (asosiasi) di negara tempat pemegang saham itu berada. Pemegang saham memberikan pinjaman kepada anak perusahaan mitra tersebut dan sebagai imbalannya, pemegang saham meminta perusahaan mitra tersebut untuk meminjamnkan dana ke anak
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
41
perusahaannya yang berada di negara mitra tersebut. Skema ini biasa disebut pararel loan. Sebagaimana skema back to back, pararel loan ini biasanya ditempuh sebagai cara untuk menghindari ketentuan tentang pengetatan pinjaman di negara tertentu. 4. Pemanfaatan Hybrid Financial Instrument Thin capitalization sangat berkaitan dengan pendanaan lebih besar hutang dibanding modal antara pihak-pihak memiliki hubungan istimewa. Biasanya satu berada di luar negeri dan lainnya di dalam negeri. Kadang-kadang, suatu transaksi tidak jelas untuk dikategorikan utang atau modal. Dalam hybrid financial instruments ini, pencatatan transaksi bisa menjadi hutang dan modal sekaligus. Dari sisi anak perusahaan, akan dicatat sebagai hutang sedangkan bagi investor akan dicatat sebagai modal. 68 Dalam dunia keuangan, hybrid financial instrument dapat berupa saham jouissance, participation bonds, convertible bonds, warrant bonds, profit participation loans dan preference shares. 69 Mengingat perlakuan yang diskrimantif antara kedua klasifikasi jenis transaksi dalam perpajakan di berbagai negara, maka perusahaan multinasional banyak memanfaatkan peluang ini untuk melakukan perencanaan pajak oleh perusahaan multinasional (multinational company). Bagi perusahaan penerbit instrumen keuangan (anak perusahaan), pencatatan hutang dengan imbal hasil berupa bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya akan sangat berperan mengurangi beban pajak di negara sumber tersebut. Sedangkan bagi investor (induk perusahaan), pencatatan sebagai modal dengan imbal hasil berupa dividen tersebut sangat mungkin tidak dikenakan pajak bila system perpajakan di negara tersebut menganut prinsip pemajakan penghasilan pada negara sumber (source income principle). Ini akan mengakibatkan terjadinya atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak di kedua negara (non-double taxation).
68
Martin Six, “Hybrid Financial Instrument in The Double Tax Treaties” Discussion Paper Number 21, Wierschaft Universitat, 2009 h. 3. 69 Martin Six, ibid h. 4.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
42
Dalam artikel 10 (3) OECD-Model Agreeement mendefinisikan istilah dividen sebagai berikut 70: The term “dividends” as used in this Article means • income from shares, “jouissance” shares or “jouissance” rights, mining shares, founders’ shares or other rights not being debt-claims, participating in profits, • as well as income from other corporate rights,4 which is subjected to the same taxation treatment as income from shares by the laws of the State of which the company making the distribution is a resident. Pasal 10 ayat 3 OECD Model Convention tersebut di kalimat terakhir secara eksplisit mengatakan bahwa thin capitalize mengacu pada hukum nasional negara sumber. Dengan demikian hukum ini juga menjadi bagian dari penjanjian antar kedua negara. Doktrin Jerman misalnya mengartikan kalimat terakhir tersebut sebagai referensi yang dinamis dan tidak hanyan mengacu pad hukum yang berlaku saat perjanjian namun juga mengacu pada hukum yang berlaku dari waktu ke waktu.
G. Pendekatan Kewajaran dalam Transaksi Thin Capitalization Ada 3 (tiga) pendekatan untuk memeriksa apakah terdapat penyalahgunaan atas pinjaman pemegang saham yaitu: 1.
Mengacu pada Perbandingan Hutang dan Modal Pada pendekatan ini, otoritas pajak negara setempat membuat regulasi
penetapan berapa perbandingan yang tetap antara utang (debt) dibandingkan dengan modal saham (equity). Pendekatan rasio maksimum pinjaman terhadap modal bertujuan untuk memperketat pinjaman yang diberikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri dan juga menetapkan batas pengendalian minimum yang mengindikasikan pengaruh yang dimiliki pemegang saham dalam pembuatan keputusan keuangan pada perusahaan 71. Penetapan rasio perusahaan berbasis perbandingan tetap ini, Steem & Grehon dalam Tax Law Review membedakan antara overall basis dan inside basis. Yang dimaksud overall basis adalah mencakup semua utang yang dimiliki 70
OECD, Model Tax Convention on Income and Capital, Condensed Version, OECD Publisher, 2008 h. 2829. 71 Roy Rohatgi, loc. cit. h. 397
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
43
oleh perusahaan baik memilki hubungan istimewa ataupun tidak. Sedangkan inside basis hanya meliputi pinjaman kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa saja 72. Adapun rasio pinjaman terhadap modal (Debt to Equity Ratio) di beberapa negara adalah sebagai berikut: 73 Tabel 2.3 Rasio Perbandingan Antara Utang Dan Modal Negara Kanada Denmark Perancis Jerman Portugal Rusia Korea Selatan Amerika Serikat
Rasio DER 2:1 4:1 1,5:1 3:1 2:1 3:1 3:1 1,5:1
Kepemilikan >25% >50% >25% =>25% >20% =>50% >50%
Sumber: International Fiscal Association 1996
2.
Mengacu pada Prinsip Kewajaran (Arm’s Length Primciple) Pada penggunaan pendekatan prinsip harga pasar ini, Wajib Pajak harus
bisa membuktikan bahwa atas pinjaman yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa ini telah sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle). Ada beberapa kriteria yang harus diuji untuk mengetahui apakah pinjaman tersebut wajar 74: 1) Apakah pinjaman ini benar-benar ada. 2) Apakah memang benar-benar dibutuhkan oleh penerima. 3) Apakah bunga yang dibebankan wajar. Untuk
mengetahui
apakah
harga
tersebut
wajar,
perlu
untuk
mempergunakan metode pendekatan harga wajar yang dalam transaksi Transfer Pricing. Diantara metode tersebut adalah Comparable Uncontrolled Price 72
Gunadi, loc. cit, h. 294.
73
Otmar Thoemmes, Robert Stricof, dan Katja Nakhai, “Thin Capitalization Rules and Non-Discriminatin Principle: An analysis of Thin Capitalization Rules in Light of Discrimination Principle in the EC Treaty, Double Tax Treaties and Friendship Treaties”, dalam Journal Intertax, Volume 32, Issue 3, 2004 h. 128. 74 Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Surat nomor S-153/PJ.04/2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi, tanggal 31 Maret 2010.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
44
(CUP), Cost Plus, Resale Price, Transactional Net Margin Method, dan Profit Split. Pendekatan dengan mempergunakan prinsip kewajaran suatu hutang dapat juga dilakukan dengan cara membuat test tertentu yang bertujuan untuk menguji (i) apakah perusahaan pemberi utang akan memberikan perlakuan yang sama kepada peminjam (ii) apakah perusahaan akan memberikan jumlah pinjaman yang sama bila keduanya dilakukan kepada pihak independen yang tidak memiliki hubungan istimewa. Salah satu negara yang mempergunakan pendekatan ini adalah Inggris 75. 3.
Pendekatan Kombinasi (Combination Approach) Dalam pendekatan kombinasi ini (combination approach), otoritas pajak
membuat pengaturan transaksi pendanaan utang dengan melakukan kombinasi dari kedua pendekatan sebelumnya (rasio tetap dan prinsip kewajaran). Beberapa negara mempergunakan pendekatan ini diantaranya China 76. Dalam merancang peraturan mengenai thin capitalization, penting untuk memperhatikan 77: 1) Definisi yang jelas tentang pinjaman dan modal dalam undangundang domestik, dan 2) Harus diatur secara tegas tentang perlakuan thin capitalization apakah juga mencakup pemberi pinjaman yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri untuk mendapat perlakuan yang sama dengan Wajib Pajak Luar Negeri.
H. Wewenang untuk Melakukan Koreksi Dalam hal terjadi transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa termasuk dalam thin capitalization, otoritas pajak mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi (adjustment) sepanjang menemukan ketidakwajaran dalam transaksi tersebut 78. 75
Gareth Green, U.K. Thin Capitalisation: After the Renovations, BNA International Tax Planning International Transfer Pricing, Vol. 09/04, 2004, h. 4 76 Matthew McKee, “Tax Notes International” Volume 54, Nomor 13, Juni 2009, h. 1123. 77 78
Danny Septriadi, Darussalam, loc. cit, h. 33 Carmine Rotondaro, “The Notion of Associated Enterprises: The treaty Issues and Domestic Intrpretations-An Overview” dalam Transfer Pricing Journal, Januari/Pebruari 2000, h. 2
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
45
Dalam Pasal 9 ayat 2 OECD Model Convention, menyebutkan 79: “Where a Contracting State includes in profits of en enterpeises of that state and taxes accordingly-profis on which an enterprise of the other Contracting State has been charged to tax in that other state and the profits so included are which would have accrued to the enterprises of the first mentioned State if the conditions made between the two enterprises had been those which would have been made between independent enterprises, then that other State shall make an appropriate adjustment to amount of the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the other provisions of this convention and the competent authorities of the Contracting State shall if necessary consult each other.” Ada dua macam adjustment yang dapat dilakukan oleh otoritas pajak 80: 1)
Koreksi utama (primary adjustment); yaitu koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak negara tempat sumber penghasilan terhadap biaya bunga tersebut sebagai akibat penerapan prinsip kewajaran (Arm’s Length Principle) 81.
2)
Koreksi Kebalikan (corresponding adjustment); Yaitu koreksi yang dilakukan oleh negara yusdiksi lainnya sebagai akibat dari adanya primary adjustment yang dilakukan oleh negara yurisdiksi pertama tersebut 82.
Corresponding
adjustment
ini
bertujuan
untuk
memberikan keadilan bagi Wajib Pajak. Jika tidak dilakukan koreksi ini akan mengakibatkan pajak berganda yang akan dikenakan kepada Wajib Pajak, yaitu koreksi di negara pemberi bunga (pemberi utang) dan di negara penerima bunga (penerima utang).
Penyelesaian koreksi ini dapat dilakukan dengan memasukkan klausul dalam perjanjian perpajakan (tax treaty) dengan negara mitra tersebut.
*******
79 80
OECD, Model Tax Convention (condensed version), OECD Publisher, 2008, h. 28. Danny Septriadi, Darussalam, op. cit, hal 14
81
OECD, Annex 3 – Glossary, (http://www.oecd.org/document/41/0,3343,en_2649_33753_37685737_1_1_1_1,00.html), diakses tanggal 16 Desember 2010. 82 OECD, ibid.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
BAB III PERBANDINGAN KETENTUAN TRANSAKSI THIN CAPITALIZATION DI BEBERAPA NEGARA
Sebelum menganalisis tentang pengaturan thin capitalization dalam hukum pajak Indonesia, Penulis akan memaparkan perbandingan pengaturan transaksi tersebut di beberapa negara di dunia yaitu di beberapa negara yang memilki tingkat investasi yang tinggi berdasarkan data yang diolah dari Data Statistik OECD (http://stats.oecd.org/) 83. Beberapa negara dalam peraturan perundang-undangan perpajakannya mempunyai ketentuan mengenai thin capitalization untuk meredam pengalihan laba kepada induk perusahaan melalui pemberian pendanaan utang berlebihan dibandingkan dengan modal untuk membiayai perusahaan dalam rangka mendapatkan keuntungan perpajakan yang maksimal dengan pembebanan bunga di anak perusahaan dibandingkan dengan pembayaran dividen. Selain itu Wajib Pajak Dalam Negeri untuk alasan keterbatasan dana, dapat mengatur saat pembayaran kembali utang tanpa adanya resiko dari sisi perpajakan. Pengaturan pendanaan utang di beberapa negara diantaranya akan dibahas berikut ini.
A. Ketentuan Thin Capitalization di Amerika Serikat Dalam
pengertian
yang
luas,
pemerintah
Amerika
mengijinkan
pengurangan pajak akibat pembebanan bunga, tetapi terdapat beberapa ketentuan khusus terkait waktu serta ketersediaan pembebanan yang bahkan kadang menunda pengurangan tersebut. Umumnya beban bunga kepada pihak terkait diuji dengan metode comparable uncontrolled price (CUP) atau variasi dari CUP itu sendiri. Membuat perbandingan ini bisa sangat rumit, karena banyak kreditur yang terkait tidak dirating oleh perusahaan pemeringkat kredit besar sedangkan creditworthiness 84 adalah salah satu faktor pembanding yang penting. Akibatnya, peringkat kredit harus ditentukan baik dengan analisis rasio, model penilaian 83
Lihat Bab 1 halaman 7-9.
84
Creditworthiness adalah kondisi kelayakan dari perusahaan penerima utang apabila memperolehnya dari perusahaan keuangan yang tidak memilki hubungan istimewa.
46 Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
47
kredit atau metode lainnya. Selanjutnya, ketika menganalisis prospek utang antar perusahaan dalam satu grup (intercompany loan), pemeringkatan yang ada atau laporan keuangan harus disesuaikan dengan dampak dari utang yang dipinjam maupun creditworthiness dari kreditur. Menentukan peringkat kredit dari kreditur yang memiliki hubungan istimewa (related-party) tanpa adanya dukungan kredit dari induk perusahaan sering kali merupakan metode yang baik untuk mengetahui apakaha utang harus diperlakukan sebagai utang dan tidak dikarakterisasi sebagai ekuitas. Merupakan hal yang penting untuk mengatur ketentuan pinjaman antar perusahaan dalam satu grup setelah ketentuan mengenai harga transfer yang wajar (transfer pricing) terkait barang, jasa dan harta tidak berwujud (intangibles) telah dibuat 85. Amerika Serikat tidak memiliki ketentuan jelas yang membatasi pembebanan bunga akibat thin capitalization. Meskipun, thin capitalization dapat menjadi faktor dalam menimbang apakah pinjaman tersebut dapat diperlakukan sebagai investasi modal dan bukan pinjaman. Amerika memiliki aturan tentang modal tersembunyi (earning stripping rules) yang berlaku bagi perusahaan Amerika terkait (1) bunga yang dibayarkan kepada afiliasi di luar negeri dan (2) bunga yang dibayarkan atas pinjaman pihak ketiga yang digaransi afiliasi di luar negeri. Ada pembatasan yang dapat dinikmati perusahaan (safe haven) dari ketentuan “earning stripping rules” jika perbandingan antara utang terhadap modal (debt-to-equity ratio) tidak melebihi 1,5:1. Artinya ketika rasio utang terhadap modalnya telah melebihi 1,5:1 maka earning stripping rules berlaku. Berdasarkan ketentuan ini, utang sering diartikan sebagai kewajiban tanpa syarat (unconditional obligation) untuk membayar sejumlah uang pada tanggal yang tetap atau ditentukan. Amerika Serikat tidak membuat pendekatan formal untuk menganalisa apakah suatu transaksi itu utang, melainkan melihat substansi dari transaksi tersebut. Utang ditentukan hanya yang terkait dengan tujuan perpajakan Amerika. Sehingga, kewajiban yang timbul terkait tujuan akuntasi, seperti kewajiban pajak tangguhan, tidak dapat disertakan dalam perhitungan perbandingan utang terhadap modal (debt-to-equity ratio).
85
Justin Kyte, International Transfer Pricing Journal, Nopember/Desember 2008, h. 347-349.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
48
Ketika
ekuitas
didefinisikan
untuk
tujuan
perpajakan,
seringkali
didefinisikan dengan tujuan memperbandingkannya dengan utang. Untuk tujuan penghitungan rasio utang teradap modal terkait earning-stripping rules, komponen ekuitas ditentukan terkait aset yang ada untuk tujuan perpajakan Amerika.
B. Ketentuan Thin Capitalization di Belgia Dalam Artikel 55 dari Income Tax Code dijelaskan bahwa biaya bunga dapat dibebankan hanya dalam kondisi tingkat bunganya tidak melebihi tingkat bunga pasar, mempertimbangkan resiko yang mungkin muncul, kelayakan penyaluran kredit debitur (debtor’s creditworthiness) dan jangka waktu pinjaman. Otoritas pajak kemudian menyatakan bahwa dalam memperhitungkan jumlah beban bunga harus mempertimbangkan tiap kasus secara spesifik, terutama 86: 1) kondisi di saat pinjaman disetujui, seperti jangka waktu pinjaman, cara pembayaran dan jaminan yang diberikan oleh peminjam; 2) tingkat bunga yang berlaku pada saat pinjaman disetujui; 3) biaya keuangan yang timbul akibat pinjaman sehingga tingkat bunga yang diberikan rendah atau bahkan bebas bunga. Kriteria tambahan yang dapat digunakan dalam menentukan nature dari tingkat bunga wajar adalah sebagai berikut: 1) Sifat dasar (nature) dari fasilitas kredit (pinjaman, deposit atau utang dagang); 2) jumlah dan jangka waktu pinjaman; dan 3) resiko yang timbul bagi yang meminjamkan yang berasal dari: -
ada tidaknya garansi yang diberikan oleh peminjam;
-
creditworthiness dari peminjam (kondisi keuangan, rasio kemampuan membayar/solvency dan beban utang yang telah ada); dan
-
jenis mata uang yang dipakai (tingkat bunga dan tingkat inflasi di negara yang menerbitkan fasilitas kredit).
86
Dirk Van Stappen, International Transfer Pricing Journal, IBFD, November/December 2008, h. 307-308.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
49
Rincian kriteria di atas tidak dibatasi, elemen-elemen lain bisa digunakan dalam rangka mengetahui nature dari tingkat bunga wajar (arm’s length) yang digunakan dalam utang piutang dalam satu grup (intercompany loan). Meskipun tidak ada kewajiban dokumentasi transfer pricing terkait bunga (penghasilan/biaya), praktisi berpendapat bahwa memiliki dokumen pendukung transfer pricing merupakan keharusan bagi setiap manajer bisnis yang menerapkan prinsip kehati-hatian, yang ingin mempersiapkan diri secara proaktif, terhadap audit transfer pricing yang dilakukan otoritas pajak Belgia. Di Belgia, pengadilan sering mengambil pendekatan yang melebihi aplikasi prinsip kewajaran (arms length), dan mempertimbangkan semua fakta yang relevan (kondisi pasar, situasi spesifik dari pihak yang terkait dan kondisi ekonomi lainnya). Hukum Belgia secara spesifik mengatur ketentuan thin capitalization yang terkait dengan: 1) pinjaman dari pihak yang terkait dengan hubungan istimewa (connected parties); dan 2) pinjaman dari entitas yang tidak terutang pajak, atau yang memiliki keistimewaan pajak. Yang dimaksud dengan “connected parties” adalah pemegang saham lokal maupun asing, individu lokal maupun asing, direktur-direktur perusahaan asing. Ketika menentukan apakah suatu perusahaan itu melakukan praktik thin capitalization, otoritas pajak hanya mempertimbangkan rasio perbandingan utang dan modal yang ditentukan undang-undang. Tidak ada rasio perbandingan utang dan modal yang informal atau diterima secara umum, tetapi ada dua ketentuan yang berlaku dalam situasi yang berbeda: 1) Bunga yang dibayarkan kepada direktur atau pemegang saham dengan aturan perbandingan 1:1 dimana bunga yang dibayarkan oleh perusahaan kepada direkturnya atau kepada pemegang saham akibat pinjaman yang disediakan direktur atau pemegang saham, untuk tujuan perpajakan diklasifikasikan sebagai deviden dengan ketentuan bahwa: - bunga yang dibayarkan melebihi suku bunga pasar, atau
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
50
- jumlah keseluruhan bunga pinjaman yang dibayarkan kepada direktur atau pemegang saham melebihi modal disetor perusahaan pada akhir tahun. 2) Bunga yang dibayarkan kepada penerima tax-privileged (aturan 7:1) dimana jika pihak penerima bunga sebenarnya (beneficial owner) bukan merupakan subjek pajak, bunga tersebut tidak dapat dikurangkan apabila jumlah total pinjaman melebihi tujuh kali taxed reserves (pada awal tahun) dan paid-up capital (di akhir tahun). Rasio ini berlaku bagi usaha perseorangan dan bukan grup. Definisi utang dan ekuitas dimana untuk aturan 1:1, utang didefinisikan sebagai pinjaman uang, tidak termasuk surat utang yang diterbitkan secara umum, dan untuk aturan 7:1, utang didefinisikan sebagai semua jenis pinjaman tidak termasuk surat utang yang diterbitkan secara umum. Ekuitas didefinisikan sebagai penjumlahan laba ditahan (diukur pada awal tahun) dan modal di setor (diukur pada akhir tahun).
C. Ketentuan Thin Capitalization di China Pada tahun 1998, State Administration of Taxation (SAT) China, mengeluarkan Tax Administration Rules and Procedures untuk mengatur transaksi antara pihak terkait yang memiliki hubungan istimewa. Ketentuan ini memberi acuan komprehensif untuk pemeriksaan transfer pricing untuk penanaman modal asing (foreign invested enterprises) dan perusahaan asing (foreign enterprises) di China. Kemudian peraturan 1998 kemudian diperkuat pada tahun 2004 dengan diterbitkannya Guoshuifa (2004) 143. Ketentuan ini mewajibkan perusahaan penanaman modal asing dan perusahaan asing untuk mengisi Form13-A atau 13-B, menjelaskan informasi mendasar mengenai dasar (nature) dan banyaknya (volume) dari transaksi perusahaan terkait dengan hubungan istimewa. Ketentuan ini juga mengatur pengurangan pajak penghasilan untuk tujuan perpajakan mewajibkan Wajib Pajak untuk menunjukkan tingkat bunga untuk pinjaman hubungan istimewa (related-party) dapat dibandingkan dengan pinjaman komersil pada umumnya. Lebih lanjut, ketentuan dokumentasi transfer pricing diharapkan dapat mewajibkan pengisian informasi tahunan yang
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
51
luas dan memindahkan kewajiban pembuktian (burden of proof) kepada Wajib Pajak 87. Kemudian pada tanggal 16 Maret 2007, parlemen China mengesahkan Unified Enterprise Income Tax Law (UITL) yang mengatur perlakuan pajak penghasilan untuk perusahaan domestik dan perusahaan investasi asing yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008. UITL ini menggantikan ketentuan Enterprise Income Tax Provisional Regulations yang sebelumnya berlaku untuk perusahaan domestic dan Foreign Enterprise Income Tax Law untuk perusahaan penanaman modal asing dan perusahaan asing. UITL ini memperkuat administrasi transfer pricing dan mengisi seluruh bab dengan ketentuan anti penghindaran pajak (anti avoidance) dan transfer pricing. Melalui ketentuan ini diperkenalkan juga Ketentuan Umum Anti Penghindaran Pajak (general anti-avoidance rules) yang akan menguji struktur perencanaan pajak tanpa substansi ekonomi maupun komersil dengan audit pajak dan penyesuaian. UITL adalah usaha pertama secara formal terkait thin capitalization rules. Melalui Art. 46, aturan baru ini berupaya untuk melarang pengurangan biaya bunga yang berlebihan ketika perbandingan utang teradap modal (debt-to-equity ratio) suatu entitas dalam suatu tahun melebihi batas yang diperkenankan (prescribed threshold). Ketentuan thin capitalization ini hanya berlaku untuk utang dan bunga yang dibayarkan entitas China kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa. Ketentuan ini diharapkan mampu mengatur alokasi utang perusahaan multinasional dalam operasinya di China dengan cara pembebanan secara wajar. Sepertinya ketentuan ini berusaha membatasi kemampuan perusahaan China untuk mengurangi laba perusahaan dengan membebankan bunga dan bukan dividen. Meski demikian UITL tidak menyediakan definisi dari ekuitas atau utang ataupun formula untuk mengukur keduanya dan juga batas rasio yang diperkenankan (prescribed debt-to-equity threshold) dalam tahun pajak. Pada ketentuan selanjutnya akan memberi arahan yang lebih detail untuk hal-hal tersebut.
87
Luis Coronado dan Susana Chou, International Transfer Pricing Journal, IBFD, Juli/Agustus 2007, h. 246-248.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
52
UITL juga memperkenalkan ketentuan umum anti penghindaran pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dan administrasi. Berdasarkan Artikel 47, otoritas pajak diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian jika diketahui bahwa perusahaan memiliki substansi komersial yang tidak masuk akal. China juga menggunakan pendekatan kombinasi berupa pendekatan prinsip kewajaran utang dan penetapan rasio utang terhadap modal. Untuk penetapan rasio mempergunakan perbandingan 5:1 bagi perusahaan keuangan dan 2:1 untuk perusahaan selain jasa keuangan. Rasio ini bukan hanya untuk transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan skema pinjaman langsung saja (direct loans), namun juga termasuk transaksi oleh pihak ketiga yang dijamin pemegang saham (back to back loans). 88
D. Ketentuan Thin Capitalization di United Kingdom/Inggris Pembayaran bunga dari utang dagang, terkait pertimbangan thin capitalization, tidak ada pembatasan dalam pengurangan bunga. Pengurangan bunga dibatasi dalam hal utang dan tingkat bunga yang telah memenuhi kewajaran (arm’s length) 89. Ketentuan mengenai harga wajar (transfer pricing) mengatur pinjaman dan pembayaran utang kepada perusahaan afiliasi. Pinjaman dari perusahaan independen di luar lingkup transfer pricing kecuali saat kreditur independen melakukan pendanaan bersama (acting together) dengan pihak lain yang memiliki hubungan istimewa dengan debitur. Pada tahun 2004, Pemerintah mengakhiri ketentuan khusus pengaturan thin capitalization dan memperbaiki ketentuan transfer pricing agar dapat menampung ketentuan thin capitalization. Ketentuan transfer pricing ini direvisi dan diperluas untuk mengatur transaksi dalam dan luar negeri dan mengatur ketentuan transaksi financial 90. Efek dari perubahan tersebut adalah untuk menangkal pengurangan pajak oleh kreditur karena melebihi jumlah yang wajar (arm’s length). 88
Fuli Chao, (artikel) “China’s Thin Capitalization“,http://www.mondaq.com/article.asp?articleid=69700, 12 November 2008, diakses tanggal 30 Desember 2010 89 Andrew Casley dan Loir Webb Martin, International Transfer Pricing Journal, July/Agustus 2007, h. 254. 90
Andrew Casley dan Loir Webb Martin, ibid, h. 256
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
53
Ketentuan baru ini berlaku bagi perusahaan yang menerbitkan “surat berharga” yang termasuk dalam pengertiannya pembayaran uang dimuka, baik dijamin maupun tidak. Jika kemudian diketahui bahwa jumlah surat berharga yang diterbitkan maupun bunga yang dihitung tidak sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi jika transaksi dilakukan antara pihak independen, proporsi bunga yang tidak dihitung sesuai prinsip kewajaran tidak diperbolehkan. Ketentuan transfer pricing berlaku ketika “penyisihan” yang terjadi antara dua pihak yang bertransaksi dan diketahui ternyata: − salah satu pihak secara langsung maupun tidak langsung berpartisipasi dalam manajemen, penguasaan atau modal dan lain sebagainya; − orang yang sama terlibat dalam manajemen, penguasaan atau modal dari kedua belah pihak. Ketika penyisihan itu terkait dengan surat berharga yang diterbitkan oleh salah satu pihak terkait, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan kewajaran sebuah pinjaman: − apakah pinjaman akan tetap diberikan ketika tidak ada hubungan yang spesial (in the absence of the special relationship); − apakah jumlah pinjaman yang sama tetap akan tetap diberikan ketika tidak ada hubungan yang spesial; − apakah tingkat bunga dan ketentuan lainnya tetap sama ketika tidak ada hubungan yang spesial. Pada tanggal 27 April 2007, Her Majesty’s Revenue and Customs (HMRC) mengumumkan dua perhitungan terkait yakni (1) perubahan dalam proses mengujian bagi perusahaan yang berusaha memberlakukan tarif treaty terkait witholding tax dan bunga dan (2) lanjutan dari program advance pricing agreement (APA) untuk mengatasi thin capitalization. Perubahan APA dalam hukum pajak Inggris membawa implikasi penting karena berdasarkan kontrak antara HMRC dan Wajib Pajak tentang bagaimana menentukan pembebanan biaya bunga dimana di masa lampau, kesepakatan thin capitalization lebih banyak didasarkan pada diskusi dan korespondensi dengan petugas HMRC.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
54
E. Ketentuan Thin Capitalization di Kanada Ketentuan pajak penghasilan Kanada diatur dengan Income Tax Act (Canada), Income Tax Regulations dan beberapa kebijakan administrasi yang dari waktu ke waktu diterbitkan oleh Canada Revenue Agency (CRA). Ketentuan mengenai penghasilan bunga dan biaya bunga dari related-party diatur dalam ketentuan tranfer pricing di Sec. 247 dari Income Tax Act 91. Pembayaran bunga intercompany oleh perusahaan Canada secara khusus diatur di Sec.20(1)(c). Ketentuan ini mengijinkan pengurangan “reasonable amount” bunga sepanjang tiga tes berikut dipenuhi terkait waktu, nature dan tujuan dari kewajiban tersebut. Ketentuan transfer pricing Sec. 247(2) juga membatasi pengurangan pembayaran bunga yang dilakukan antar pihak untuk mencapai beban yang wajar.. Income Tax Act mengatur ketentuan thin capitalization di Sec.18(4) sampai 18(6). Secara umum, pembebanan bunga oleh Wajib Pajak Canada yang memiliki saham substansial (lebih dari 25%) dibatasi jika jumlah utang melebihi dua kali penghitungan ekuitas, yang diukur kumulatif dalam satu tahun dengan basis bulan per bulan. Efek dari ketentuan ini adalah untuk membatasi erosi pajak akibat
kelebihan
pemberian
modal
(overcapitalization)
yang
dilakukan
perusahaan Canada kepada pemegang saham melalui utang. Dalam waktu dekat ketentuan pajak Canada akan meningkatkan Sec. 18(2) yang akan mengatur ketentuan thin capitalization dan penghasilan yang diterima dari luar negeri dari afiliasi di luar negeri untuk melawan penghindaran pajak yang umum dikenal sebagai double dipping 92. Dengan ketentuan ini, melalui mekanisme pentrasiran, akan membatasi pembebanan bunga oleh perusahaan Canada dimana dana yang dipinjam telah dipakai langsung atau tidak langsung untuk tiap situasi.
F. Ketentuan Thin Capitalization di Luxembourg Biaya bunga secara prinsip dapat dibebankan seluruhnya. Tetapi, pembayaran bunga kepada perusahaan afiliasi hanya dapat dibebankan sepanjang 91 92
Muris Dujsic dan Matthew Billings, Establishing Interest Rates in an Intercompany Context, IBFD, 2004. Penghindaran pajak dengan memanfaatkan celah di dua yurisdiksi yang berbeda sehingga kerugian/biaya dibebankan di dua negara tersebut.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
55
memenuhi ketentuan prinsip kewajaran (arm’s length principle). Ketentuan khusus berlaku bagi laba pinjaman partisipasi (participating loans) dan pinjaman dengan instrumen pinjaman hybrid (hybrid loans). 93 Dalam instrument pinjaman hybrid, transaksi utang-piutang dicatat berbeda oleh perusaaan induk dan anak perusahaan. Perusahaan induk mencatat sebagai modal dengan kompensasi dividen, sedangkan anak perusahaan mencatat sebagai utang dengan kompensasi bunga. Transaksi yang memenuhi definisi umum penghindaran pajak sesuai hukum Luxembourg harus mengalami penyesuaian. Hukum Luxembourg tidak mengatur ketentuan penghindaran pajak (tax avoidance) dalam konteks thin capitalization.
Otoritas
pajak
dapat
mengkoreksi
beban
bunga
dan
mereklasifikasikan bagian dari pembayaran bunga sebagai pembagian deviden jika rasio utang terhadap modal (debt-to-equity ratio) sebesar 6:1 tidak dipenuhi. Ketentuan rasio utang terhadap modal tidak berlaku bagi pembiayaan aset yang lain. Untuk tujuan thin capitalization, pinjaman tanpa bunga dianggap sebagai modal (fiscal equity). Secara umum, kontrak pinjaman diperlakukan sebagai utang jika perlakuannya lebih mendekati utang daripada ekuitas. Prinsip umum melihat subtsansi transaksi dibandingkan bentuknya (substance-over-form) berlaku. Sedangkan definisi dari ekuitas adalah: 1) modal ditempatkan (subscribed capital); 2) premium saham; 3) cadangan; 4) laba ditahan; 5) pinjaman pemegang saham tanpa bunga; dan 6) hybrid loans.
G. Ketentuan Thin Capitalization di Perancis Sebelum tahun 2007, Perancis mengatur transaksi pendanaan utang ini mengatur pebandingan rasio antara utang dan modal sebesar 1,5:1 dengan ketentuan utang diberikan secara langsung oleh pemegang saham yang memiliki 93
Sandra Biewer, International Transfer Pricing Journal, Nopember/Desember 2008, hal. 325-326.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
56
kontrol langsung terhadap perusahaan peminjam. Namun secara spesifik ketentuan perundangan pajak tidak mengatur tentang rekarakterisasi utang sebagai modal untuk tujuan perpajakan selain kepada pemegang saham 94. Sejak tanggal 1 Januari 2007, ketentuan mengenai thin capitalization mulai berlaku secara tegas 95. Ketentuan baru ini cukup kompleks dengan modifikasi sebagai berikut : 1) berlaku untuk perjanjian pinjam/meminjam antara related parties (tidak hanya pemegang saham langsung); 2) rasio utang terhadap modal adalah sebesar 1,5:1; 3) kelebihan pembebanan bunga dapat dikompensasikan (carried over) ke tahun berikut dengan pembatasan.
Sejak saat itu, setiap pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan di Perancis akan menjadi target dari peraturan thin capitalization (thin capitalization rules). Mekanisme thin capitalization ini memiliki dua pembatasan dalam melakukan pembebanan bunga antara perusahaan dalam satu grup sebagai berikut: −
bunga yang dibayar kepada perusahaan dalam grup yang sama dapat dikurangkan sampai dengan tingkat bunga yang sama dengan rata-rata bunga efektif yang diberikan lembaga pemberi kredit dengan tingkat bunga variabel dengan masa melebihi dua tahun. Meski demikian, tingkat bunga yang lebih tinggi dapat diterima apabila perusahaan peminjam dapat memperoleh kredit dari lembaga pemberi kredit independen (independent credit institution) dengan kondisi yang sama. Apabila bunga yang dibebankan melebihi batasan di atas akan ditambahkan ke penghasilan kena pajak dan diperlakukan sebagai bunga dividen yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (constructive dividen);
−
Selanjutnya, akan ada pembatasan pembebanan bunga apabila : (i). jumlah utang yang tersedia melebihi 1,5 kali jumlah ekuitasnya, (ii). jumlah bunga melebihi 25% sebelum penghasilan kena pajak dan diketahui berasal dari bunga pinjaman antar perusahaan dalam grup yang sama, (iii). beban bunga melebihi jumlah bunga yang diterima dari perusahaan yang secara langsung
94
DRT International, 1990, h. 57.
95
Gilles Galinier-Warrain , International Transfer Pricing Journal, IBFD, November/December 2008, h. 307-308.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
57
atau tidak secara langsung memiliki hubungan istimewa terkait dengan perusahaan peminjam; (iv). Pembebanan bunga yang melebihi tiga pembatasan sebelumnya tidak diperbolehkan dan hanya dapat dibebankan sebesar yang tertinggi dari tiga pembatasan sebelumnya sepanjang tidak melebihi EUR 150.000,- dan (v). kelebihan pembebanan dapat dibawa ke tahun-tahun berikut (setelah diskon 5% yang dimulai dari tahun kedua dikompensasi). Meskipun demikian, pembatasan di atas tidak berlaku apabila, peminjam dapat menunjukkan bahwa rasio utang terhadap modal (debt-to-equity ratio) grup perusahaannya lebih tinggi atau sama dengan rasio peminjam. Ketentuan yang ada memberi definisi utang (debt) dan modal (equity) yang dimaksud dalam ketentuan debt to equity ratio. Definisi utang dari perspektif pajak sesuai Artike. 39.1.3 dari General Tax Code hanya pinjaman dari peruahaan yang memiliki hubungan istimewa secara langsung (directly related parties) seperti perusahaan induk. Sebagai pelaksanaan Artikel 212, semua piutang hubungan istimewa (related parties) harus diperhitungkan, kecuali piutang dagang. Definisi utang disesuaikan dengan General Accepted Accounting Principle(GAAP) 96 Perancis dan Civil Code Perancis. Definisi ekuitas mengikuti pelaksanaan Artike. 212 dari General Tax Code dimana definisi di sini sesuai dengan definisi akuntansi. Ekuitas bersih dapat dipilih apakah di awal tahun atau di akhir tahun, hal ini tentu saja akan menguntungkan karena dapat dipilih yang paling tinggi.
H. Ketentuan Thin Capitalization di Rusia Beberapa ketentuan umum harus dipenuhi, seperti beban bunga harus dapat diukur secara ekonomi, didukung dengan dokumen dan ditujukan untuk aktivitas menghasilkan laba. Saat pembebanan tergantung pada metode pencatatan pendapatan maupun biaya oleh Wajib Pajak. Ketentuan pembebanan bunga lebih lanjut diatur dalam thin capitalization rules. 97
96
General Accepted Accounting Principle(GAAP) adalah prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku secara umum di suatu negara. Di Indonesia disebut Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). 97 Friderike Bagel dan Carsten Himing, International Transfer Pricing Journal, November/December 2008, h. 309-310.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
58
Thin capitalization rules berlaku bagi controlled debt yang didefinisikan sebagai 98: 1) pinjaman yang diberikan perusahaan asing yang memiliki saham perusahaan Rusia lebih dari 20% baik langsung maupun tidak langsung; 2) pinjaman yang diberikan oleh orang/badan Rusia (termasuk bank) atau pihak ketiga LN, tetapi pinjaman tersebut dijamin oleh pemilik langsung maupun tidak langsung dengan kepemilikan lebih dari 20%. Rasio utang terhadap modal 3:1 berlaku sesuai Prinsip Akuntansi Rusia. Rasio utang terhadap modal 12,5:1 berlaku bagi perbankan dan perusahaan leasing. Dimana bunga utang yang melebihi rasio 3:1 tidak dapat dibebankan dan dianggap sebagai deviden. Penghasilan deviden adalah subjek dari pajak penghasilan ketika deviden dibayarkan. Dalam ketentuan ini, utang didefinisikan sebagai setiap kredit baik kredit komoditas maupun komersil, pinjaman, deposit bank, akun bank atau bentuk lain dari pinjam meminjam terlepas dari bentuknya. Ekuitas dihitung sebagai selisih antara aset dan kewajiban Wajib Pajak pada hari terakhir periode yang bersangkutan. Utang pajak, termasuk utang pajak lancar, pajak tangguhan, kredit pajak dan kredit pajak investasi tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan ekuitas.
I.
Ketentuan Thin Capitalization di Spanyol Ketentuan umum menyatakan bahwa bunga dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto untuk tujuan perpajakan sepanjang dicatat secara benar dalam pembukuan perusahaan Spanyol. Beban bunga dapat dikurangkan secara accrual basis. Corporate Income Tax Act (CITL) menyatakan bahwa beban bunga yang berasal
dari
pendanaan
intra-group
dapat
dikurangkan
sepanjang thin
capitalization rules (3:1 debt-to equity ratio) dan prinsip arm’s length ditaati. Sedangkan terkait dengan pinjaman dari negara Uni Eropa, tidak ada rasio maksimal dimana bunga tidak dapat dibebankan dan diklasifikasikan sebagai
98
Anastasia Avdonina dan Irina Suvorova, International Transfer Pricing Journal, November/December 2008, h. 336-338.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
59
deviden. Rasio 3:1 harus memenuhi sepanjang tahun, menggunakan perhitungan rata-rata 99. Sejak 1 Januari 2004, Law on Fiscal, Administrative dan Social Measures mengeluarkan pengecualian (non-application) aturan thin capitalization, dengan kondisi tertentu, untuk perusahaan resident yang berada di wilayah EU, tidak berlaku apabila transaksi dilakukan melalui wilayah yang diklasifikasikan sebagai tax haven 100. Ketentuan ini berlaku bagi pinjaman dengan ketentuan: 1) pinjaman dari pihak terkait non EU; 2) pinjaman dari pihak terkait non EU digaransi pihak ketiga; 3) pinjaman dari pihak ketiga difasilitasi oleh pihak terkait non EU (seperti back-to-back loans, pinjaman didukung oleh surat perjanjian dan pengaturan informal lainnya); dan 4) pendanaan melalui Hybrid Financial Instrument 5) pinjaman partisipasi (participating loans). Hubungan istimewa (related party) yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk: 1) perusahaan non-recident (lebih dari 5% kepemilikan); 2) perusahaan
induk
maupun
anak
perusahaan
(lebih
dari
25%
kepemilikan); 3) perusahaan yang memiliki pemegang saham yang sama; 4) perusahaan yang memiliki pengurus/direksi yang sama. Ketentuan transfer pricing berlaku untuk transaksi-transaksi di atas, dan prinsip arm’s length harus ditaati untuk menghindari koreksi dari otoritas pajak Spanyol. Persyaratan dokumentasi juga harus dipenuhi oleh Wajib Pajak. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan utang adalah pembayaran pinjaman melalui pihak terkait untuk tujuan keuangan ataupun komersil. Karakteristik utang untuk tujuan perpajakan mengikuti karakterisasi yang diatur dalam Prinsip-prinsip Dasar Akuntansi (General Accepted Accounting Principle) Spanyol. Sedangkan terkait thin capitalization, yang dimaksud dengan ekuitas
99
Raul Martin Lucena, International Transfer Pricing Journal, November/December 2008, h. 343-344.
100
Florentino Carreno, Transfer Pricing Rules for Transactions Involving Low-Tax Countries, International Transfer Pricing Journal, November/December 2007, h. 338-340.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
60
adalah modal ditambah cadangan dikurangi kerugian tahun sebelumnya dan mengeluarkan perolehan tahun berjalan untuk tujuan penghitungan.
J.
Ketentuan Thin Capitalization di Jerman Pemerintah Jerman melalui thin capitalization rule, membuat penetapan
bahwa perusahaan yang memperoleh pinjaman dari pemegang saham atau hubungan istimewa tidak diperkenankan untuk membebankan bunga yang dibayarkan atas pinjaman tersebut jika jumlah utang tersebut melebihi 1,5 (satu setengah kali) dari total ekuitas. Peraturan ini mengatur lebih lanjut tentang permberlakuan untuk pinjaman kepada pihak ketiga jika pinjaman tersebut dapat ditagihkan kepada pemegang saham atau pihak hubungan istimewa. Pada umumnya pinjaman yang diperoleh perusahaan dari pihak ketiga berasal dari perbankan. Pada transaksi back to back loan 101, bank akan meminta jaminan dari pihak perbankan atau pihak yang memiliki hubungan istimewa. Apabila jaminan yang diberikan berupa saham, atau jaminan lainnya yang diberikan oleh pemegang saham atau pihak hubungan istimewa, maka atas utang bank tersebut diberlakukan thin capitalization rule dimana jumlah utang tidak boleh melebihi 1,5 kali jumlah ekuitas 102. Agar dapat dibebankan sebagai biaya maka bunga harus terkait dengan usaha perusahaan. Sedangkan untuk tujuan perpajakan, pembebanan bunga dapat dibatasi untuk berdasarkan peraturan thin capitalization atau peraturan penghasilan terselubung (earning stripping rules). Dengan ketentuan ini, aturan thin capitalization rules akan secara umum berlaku bagi perusahaan, sedangkan earning stripping rules tidak dibatasi untuk perseroan, tetapi berlaku bagi segala macam bentuk usaha. Artikel 8a Corporate Income Tax Act Jerman (KStG), mengatur ketentuan pembebanan bunga dari pendanaan antar perusahaan dalam satu (intra-group). Ketentuan thin capitalization hanya berlaku sampai dengan tahun 2003 dan secara khusus terfokus pada penghindaran melalui pelanggaran melalui strategi 101
Pinjaman yang diberikan oleh bank ke anak perusahaan dengan jaminan berupa dana yang diberikan oleh pemegang saham.
102
Ingo Kleutsgens, Heiko Penndorf & Pattrick Sinewe, New Circular of German Ministry of Finance Regarding Thin Capitalization Rules, Mondaq Business Briefing, 2005.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
61
pendanaan dimana pihak yang meminjamkan adalah pemegang saham asing atau pihak terkait 103. Tujuannya adalah untuk menciptakan struktur biaya yang meningkatkan beban keuangan dan mengurangi penghasilan kena pajak di Jerman. Ketentuan thin capitalization yang lama ini membatasi pembebanan bunga atas pinjaman utang jangka panjang kepada pemegang saham dan pihak ketiga yang yang berhak menuntut sesuatu (recourse) kepada pemegang saham atau pihak yang terkait dengan pemegang saham. Bunga pinjaman yang dikenai thin capitalization rules langsung diperlakukan sebagai deviden. Sebagai akibatnya, beban bunga bagi perusahaan bukan pengurang penghasilan dan tentu saja akan dikenakan pemotongan pajak (witholding tax) pada saat penghasilan tersebut ditransfer. Ketentuan baru penghasilan terselubung (earnings stripping rules) secara umum berlaku bagi semua bentuk pendanaan dengan utang baik bagi perusahaan perseorangan, persekutuan (partnership) dan perusahaan. Ketentuan earnings stripping rules atau General Interest Disallowance Rule menggantikan sepenuhnya ketentuan thin capitalization. Ketentuan ini membatasi hak untuk mengakui biaya bunga sebagai biaya usaha. Tujuan dari ketentuan ini lebih luas dibandingkan ketentuan thin capitalization yang sebelumnya, dimana semua pendanaan dari utang pihak ketiga (baik ada atau tidak back-to-back financing) juga diperhitungkan. Beban bunga seluruhnya dapat dibebankan apabila Wajib Pajak memiliki penghasilan bunga yang positif dalam tahun pajak yang sama. Beban bunga yang melebihi penghasilan bunga (net interest expense) dapat dikurangkan maksimal 30% dari penghasilan sebelum bunga dan pajak (earnings before interest and tax) sebagai batas atas pembebanan bunga. Penghasilan sebelum bunga dan pajak untuk keperluan pajak adalah penghasilan kena pajak sebelum penerapan batas atas pembebanan bunga ditambah beban bunga dan depresiasi/amortisasi dikurangi penghasilan bunga.
103
Klaus von Brocke dan Eugenio Carcia Perez, International Transfer Pricing Journal, January/February 2009, hal. 29-35.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
62
Untuk mempermudah, Penulis membuat tabel Perbandingan Pengaturan Transaksi thin capitalization di Beberapa Negara berdasarkan pendekatan yang dipilih negara-negara diatas pada lampiran 1 tesis ini.
**********
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
BAB IV KETENTUAN TRANSAKSI THIN CAPITALIZATION DI INDONESIA DAN ANALISIS HUKUM
A. Ketentuan Thin Capitalization dalam Peraturan Pajak Penghasilan Indonesia Dalam pembahasan sebelumnya Penulis telah membahas mengenai konsepsi dasar dan perbandingan beberapa negara dalam mengatur transaksi thin capitalization. Pengaturan mengenai transaksi ini untuk kepentingan perpajakan dilakukan khususnya dalam hal pembiayaan perusahaan yang dilakukan terhadap sebuah anak perusahaan oleh perusahaan induknya, grup korporasi lain, atau pihak ketiga 104, Ketika perusahaan induk berada dalam jurisdiksi yang berbeda dengan anak perusahaan, maka jumlah pendanaan berupa utang atau modal tersebut akan mempengaruhi jumlah penghasilan kena pajak yang akan didistribusikan diantara dua jurisdiksi tersebut. Selain aspek lintas batas, pengaturan thin capitalization juga berkaitan dengan perlakuan pajak atas penghasilan yang diterima dari penyertaan modal atau utang. Perbedaan perlakuan perpajakan suatu negara antara kompensasi atas hutang dan modal merupakan celah yang menguntungkan Wajib Pajak. Dari sudut pandang perpajakan, pendanaan melalui utang (loan financing) akan berdampak mengurangi dasar pengenaan pajak karena bunga yang dibayar dibebankan sebagai biaya bagi anak perusahaan pembayarnya. Perlakuan berbeda dilakukan terhadap pembayaran dividen karena tidak dapat dibebankan sebagai biaya sehingga tidak dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Dalam kaitan dengan transaksi thin capitalization, tujuan pengaturan transaksi ini adalah untuk mendorong perusahaan melakukan investasi melalui equity. 105 Tanpa adanya ketentuan yang mengatur penetapan perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio), perusahaan cenderung untuk melakukan investasi dengan utang karena bunga yang dibayar untuk utang tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya. Ini berarti bahwa Penghasilan Kena Pajak (tax base) 104
Raffaele Russo, “Anti Avoidance Rules”, dalam Raffaele Russo (Ed.), Fundamentals of International Tax Planning, Amsterdam: IBFD, 2007 h. 221 105 Rachmanto Surachmat, Bunga Rampai Perpajakan, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007, h. 175
63 Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
64
dari pajak penghasilan atas perusahaan yang bersangkutan menjadi lebih kecil, bila perusahaan yang bersangkutan dalam posisi laba. Penurunan pajak perusahaan ini tentu saja akan berakibat pada penurunan penerimaan suatu negara. Untuk mengetahui perlakuan perpajakan Indonesia terhadap pembayaran bunga dan pembagian dividen akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.
1. Perlakuan Bunga dan Dividen dalam Peraturan Perpajakan a.
Undang-undang Pajak Penghasilan Dalam ketentuan perpajakan Indonesia memperbolehkan bunga
pinjaman untuk dikurangkan dari penghasilan bruto. Sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf a(3) mengatu bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk bunga, sewa, dan royalti. Pengeluaran bunga yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tersebut harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai Pasal 18 Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta penjelasannya. Sedangkan perlakuan berbeda diterapkan terhadap pembayaran dividen perusahaan. Pasal 9 ayat 1 huruf a UU PPh mengatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
65
asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan. Perlakuan yang berbeda antara pembayaran bunga pinjaman dan dividen tersebut disebut dengan classical system 106. Perbedaan ini akan menimbulkan peluang bagi perusahaan khususnya perusahaan multinasional yang berada di luar negeri sebagai alat tax planning dalam memberikan pendanaan kepada anak perusahaan atau perusahaan afiliasi yang berada di Indonesia. Mereka lebih cenderung memberikan dana sebagai utang dibandingkan sebagai penambahan modal. Hal ini akan membuat transaksi tersebut menjadi tidak wajar. Namun demikian ada upaya yang dilakukan otoritas pajak untuk melakukan pendekatan dalam menilai kewajaran utang tersebut. Selain pengaturan dalam UU PPh, pengaturan dividend an bunga juga terdapat pada Perjanjian penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau biasa disebut tax treaty antara Indonesia dengan beberapa negara mitra. Perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih untuk membagi yurisdiksi perpajakan agar terhindar dari pemajakan pajak dua kali (double taxation) atau tidak dikenakan sama sekali (double non taxation) atas penghasilan yang sama 107. Namun dalam kaitan dengan thin capitalization, sangat mungkin justru membuat kombinasi transaksi tersebut dengan cara memanfaatkan celah-celah yang ditemukan dalam tax treaty ini menjadi alat tax planning bagi perusahaan multinasional.
b. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Dalam Pasal 32A UU PPh memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan perjanjian perpajakan dengan negara lain yang biasa disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B (Tax Treaty). 106 107
Gunadi, Pajak Internasional, Jakarta: Salemba Empat, 2007, h. 279 West, “Abuse application of International Tax Agreement”-Preceeding of a Seminar Held in Munich, 2000, Kluwer Law International, h. 5.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
66
Pasal 32 A “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak." Dalam P3B mengatur mengenai jurisdiksi pemajakan termasuk hak pemajakan atas bunga dan dividen. Dalam pembahasan pada Sub Bab ini, Penulis membahas tentang pemajakan atas bunga dan dividen ini, mengingat pembayaran bunga ini memiliki keterkaitan erat dengan praktik thin capitalization sebagai alat tax planning yang dilakukan oleh oleh perusahaan multinasional. Ketentuan tentang bunga diatur dalam Pasal 11 atau 12 tax treaty sedangkan dividen diatur dalam Pasal 10 atau 11 tax treaty antara Indonesia dengan beberapa negara mitra. Perlakuan pembayaran dividen dan bunga dalam tax treaty adalah sebagai berikut: i.
Dividen Pengaturan pembayaran dividen dari Wajib Pajak Dalam Negeri
kepada Wajib Pajak Luar Negeri umumnya dilakukan dalam Pasal 10 atau Pasal 11 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dan beberapa negara mitra. Hak pemajakan pembayaran dividen ini dibagi antara negara sumber dan negara domisili 108, namun tidak boleh melebihi batasan tarif tertentu yang biasanya lebih kecil dari tarif umum withholding tax atas pembayaran dividen ke luar negeri 109. Tarif tertentu yang dimaksud dalam tax treaty tersebut berbeda-beda pada setiap perjanjian, tergantung kepada kesepakatan kedua pemerintah. Sedangkan tarif umum yang berlaku sesuai Pasal 26 ayat 1 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa tarif withholding tax atas pembayaran
108
Yang dimaksud dengan Negara Sumber adalah negara tempat asal penghasilan tersebut diperoleh, sedangkan negara domisili adalah negara tempat Wajib Pajak tersebut berdomisili atau bagi perusaaan sebagai tempat terdaftar/berkedudukan. 109 Racmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, h. 148.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
67
dividen kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang berlaku secara umum di Indonesia adalah 20% 110. Sebagai contoh adalah Pasal 10 Perjanjian Penghindaran Pajak antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda tentang Dividen mengatur sebagai berikut 111: “Ayat 1 Dividen yang dibayarkan oleh suatu perusahaan yang merupakan penduduk salah satu Negara kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tersebut. Ayat 2 Namun demikian, dividen tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana perusahaan pembayar dividen menjadi penduduknya dan dengan tarif pajak sesuai dengan perundangundangan Negara tersebut; tetapi, jika pemilik manfaat dari dividen tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto dividen.” Dari ketentuan Pasal 10 ayat 1 dan 2 perjanjian diatas, pembagian hak pemajakan ada di Indonesia dan Belanda (ayat 1). Namun demikian, bila Pemerintah Indonesia mengenakan pajak (withholding tax) harus tidak melebihi tarif 10%. Tarif berbeda diterapkan dalam perjanjian dengan Pemerintah Inggris yang menerapkan tarif tidak lebih dari 15% dengan persyaratan yang ditambahkan. 112
ii.
Bunga Seperti halnya dividen, bunga adalah penghasilan dari modal
(movable capital) yang diperoleh orang pribadi atau perusahaan dari peminjaman uang. Dalam hal terjadi pembayaran bunga kepada Wajib 110
Republik Indonesia, 2008. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 133, Sekretariat Negara. Jakarta. 111 Republik Indonesia, Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia And The Government of The Kingdom of The Netherlands For The Avoidance of Double Taxation And The Prevention of Fiscal Evasion With Respect To Taxes on Income 112 Republik Indonesia, Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia and The Government Of The United Kingdom Of Great Britain and Northern Ireland For The Avoidance Of Double Taxation and The Prevention Of Fiscal Evasion With Respect To Taxes On Income And Capital Gains
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
68
Pajak yang berbeda negara, pengenaan pajak atas bunga biasanya dilakukan melalui pemotongan pajak (withholding tax) di negara sumber bunga tersebut berasal. Dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dan beberapa negara mitra, pemajakan atas bunga ini diatur dalam Pasal 11 atau 12 tergantung kepada dengan perjanjian. Hak pemajakan transaksi bunga ini dikenakan sebagian di negara sumber dan sebagian di negara domisili dengan tarif tertentu yang disepakatai tidak melebihi tarif umum withholding tax atas pembayaran bunga kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Sebagaimana halnya tarif dividen, tarif umum pembayaran pajak bunga adalah 20%. Tarif Pajak Penghasilan untuk pembayaran bunga yang diterapkan dalam P3B antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda adalah tidak melebihi 10%. Namun demikian, pembayaran bunga kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut dapat dikenakan pajak di negara Luar Negeri tersebut bila jangka waktu utang tersebut melebihi 2 (dua) tahun. Sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor: Per-61/PJ/2009 tanggal 05 November 2009 yang mulai berlaku sejak tanggal 01 Januari 2010 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, untuk dapat menerapkan tarif sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda maka harus Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Penerima Penghasilan bunga merupakan Wajib Pajak Luar Negeri; - Persyaratan berupa kelengkapan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri telah sesuai persyaratan dan dilampirkan dalam SPT Masa bersangkutan. - Tidak terdapat penyalahgunaan P3B oleh Wajib Pajak Luar Negeri. Berkaitan dengan transaksi thin capitalization, contoh skema tax planning yang dapat dilakukan Wajib Pajak dengan menyalurkan utang
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
69
transaksi sekaligus memanfaatkan tax treaty penulis memaparkan dalam contoh berikut: Contoh 4.1 PT Andalas Indonesia di Indonesia sepakat memberikan utang kepada PT Wong Sewu (hubungan istimewa) di Indonesia sebesar Rp 100 Miliar dengan bunga 15% per tahun dari total pinjaman dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Sesuai dengan Pasal 23, bila perjanjian utang tersebut langsung antara kedua perusahaan di Indonesia tersebut, maka atas pembayaran kompensasi bunga tersebut, pada akhir tahun PT Andalas Indonesia harus menghitung dan melaporkannya sebagai penghasilan yang akan dikenakan PPh Badan sebesar 25% dengan pengurangan (kredit) PPh Pasal 23 yang telah dipotong PT Wong Sewu sebesar 15% pada saat pembayaran bunga. Untuk menghindari PPh Badan tersebut, PT Andalas Indonesia mendirikan anak perusahaan Andora Limited di negara British Virgin Island 113 dan Andalan BV di Belanda. Andora Limited mendapat setoran modal dari PT Andalas Indonesia kemudian menyalurkannya kepada Andalan BV di Belanda. Perusahaan Belanda tersebut kemudian memberikan pinjaman kepada PT Wong Sewu dengan jangka pinjaman lebih dari 2 (dua) tahun. Tingkat suku bunga dan syarat perjanjian pinjaman Andora Limited dengan Andalan BV serta Andalan BV dengan PT Wong Sewu adalah sama dan mirip. Atas pinjaman tersebut PT Wong Sewu harus membayar bunga sebesar Rp 15 miliar per tahun kepada Andalan BV tanpa pemotongan pajak karena sesuai dengan Pasal 11 ayat 4 P3B antara Pemerintah Indonesia dan Belanda mengatur bahwa hak pemajakan berada di negara domisili (Belanda). Dalam jangka waktu tertentu (tiga hari) setelah menerima imbalan bunga tersebut, Andalan BV meneruskan pembayaran bunga tersebut kepada Andora Limited. Karena berada di bawah kontrol PT Andalas, dana imbalan bunga dari PT Wong Sewu yang berda di Andora Limited dapat dipergunakan untuk investasi di Luar Negeri atau dikirim kembali ke Indonesia melalui skema investasi kembali. Dalam skema ini, penghasilan bunga dari utang jangka panjang sebesar Rp 15 miliar per tahun tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia. Belanda hanya akan mengenakan pajak atas sebagian kecil dari penghasilan bunga tersebut. Di British Virgin Island, pengasilan
113
Negara British Virgin Island adalah salah satu negara tax heaven countries, yaitu negara yang mengenakan pajak dengan tarif sangat kecil atau tidak mengenakan pajak sama sekali.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
70
bunga tidak dikenakan pajak karena bukan dari bisnis di dalam negeri. Bagi PT Wong Sewu, dapat membebankan biaya bunga untuk mengurangi Penghasilan Kena Pajak PPh Badan pada akhir tahun. Penerapan skema ini dapat dilakukan modifikasi sesuai dengan kondisi, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, hukum dan sistem pajak yang berlaku, serta negara tax heaven dan tujuan investasi yang dipilih. Pada tahun 2005, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-17/PJ./2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia dengan Belanda. Dalam Surat Edaran tersebut, Direktur Jendela Pajak memberikan petunjuk bahwa: 1) Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tata cara pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan. 2) Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tatacara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang Berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu wajib pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan. Sejak tanggal 1 Januari 2010, ketentuan ini telah dibatalkan dan diganti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per62/PJ./2010
tanggal
5
November
2009
tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dengan adanya peraturan tersebut, Direktur Jenderal Pajak berusaha menutup celah dalam perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, namun tidak dapat mencegah pemanfaatan ‘celah’ dalam perjanjian yang telah diratifikasi tersebut oleh Wajib Pajak.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
71
Untuk menghindari praktik yang demikian, Pemerintah perlu mewaspadai setiap transaksi utang-piutang antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk memastikan kewajaran transaksi tersebut sesuai dengan kelaziman berbisnis yang berlaku.
2. Pendekatan Kewajaran Transaksi Utang Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji apakah terdapat penyalahgunaan atas utang yang dilakukan oleh pemegang saham adalah (i) mengacu kepada prinsip harga pasar wajar dan (ii) mengacu kepada rasio debt-to-equity-ratio (DER) 114, dan (iii) kombinasi keduanya. Pendekatan rasio maksimum utang terhadap modal bertujuan untuk memberikan batasan utang yang diberikan oleh pemegang saham atau Pihak yang memiliki hubungan istimewa dan juga untuk menetapkan batas pengendalian minimum yang mengindikasikan pengaruh yang dimiliki pemegang saham dalam membuat keputusan keuangan pada perusahaan 115. Dalam ketentuan perpajakan Indonesia Pajak, untuk menangkal penangkal praktik thin capitalization, ada kecenderungan untuk melakukan pendekatan kewajaran dengan penetapan rasio. Terkait penetapan rasio Debt to Equity tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sebagai berikut 116: “Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.” Pasal 18 ayat (1) tersebut memberi kewenangan Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dengan modal perusahaan terhadap transaksi pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Lebih jauh dijelaskan dalam 114
Darussalam dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi Cross-Border Tranfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan, Danny Darussalam Tax Center, 2008, hal. 32. 115 Roy Rohatgi, Basic International Taxation, Kluwer Law International, 2002, hal. 420. 116
Republik Indonesia, 2008. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 133, Sekretariat Negara. Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
72
penjelasannya, bahwa Undang-undang ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk kepentingan penghitungan pajak. Dimana dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Dalam penjelasan tersebut dinyatakan pula, bahwa apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Ketentuan ini ditujukan bagi Wajib Pajak yang berupaya melakukan praktik penghindaran pajak melalui modal terselubung. Dan dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha. 117 Dalam sejarahnya, pada tahun 1984 Menteri Keuangan Republik Indonesia pernah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 18 ayat (1) di atas, yakni Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 10 Agustus 1984 118 yang mengatur besarnya perbandingan antara utang dengan modal setinggi-tingginya adalah sebesar 3:1. Dengan ketentuan ini maka apabila perbadingan antara utang dengan modal suatu perusahaan melebihi batasan 3:1, maka biaya bunga yang dapat dikurangkan adalah sebesar bunga atas utang yang perbandingannya terhadap modal sesuai dengan perbandingan yang diatur dan selisihnya akan dianggap sebagai modal, sehingga bunga yang dibayarkan atas kelebihan modal tadi akan dianggap sebagai deviden dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya pengurang. Pada tahun 2005, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 254/KMK.04/1985 tanggal 03 117 118
Republik Indonesia, 2008. loc. cit. Menteri Keuangan RI, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri, tanggal 10 Agustus 1984.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
73
Agustus 1985 yang menunda keputusan tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan dengan alasan bahwa ketentuan sebelumnya akan menghambat perkembangan dunia usaha terkait investasi. 119 Dan akibat dari penundaan tersebut maka sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki ketentuan yang mengatur tentang Debt Equity Ratio/DER sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut. Walaupun adanya penundaan peraturan pelaksana untuk mengatur Debt to Equty Ratio secara umum, Dalam usaha pertambangan umum berlaku ketentuan lex specialist tentang pengaturan perbandingan utang dan modal dalam kontrak karya. biaya bunga perkenankan menjadi unsur pengurang penghasilan kena pajak dengan kriteria rasio utang terhadap modal berdasarkan tingkat investasi tertentu. Untuk investasi sampai dengan USD 200.000.000,- ditetapkan rasio utang terhadap modal sebesar 5:1 sedangkan untuk investasi lebih dari USD 200.000.000,- ditetapkan rasio utang terhadap modal sebesar 8:1 120. Walaupun
belum
ada
peraturan
pelaksana
tentang
standar
perbandingan utang dan modal, otoritas pajak tentang memperhatikan pembayaran kompensasi utang berupa bunga ini terutama bila terjadi pada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
3. Hubungan Istimewa Thin capitalization sangat mungkin terjadi dalam transaksi pendanaan yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Pasal 18 ayat 4 UU PPh mendefinisikan hubungan istimewa sebagai berikut: “Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila: a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib
119
Menteri Keuangan RI, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 254/KMK.04/1985, tanggal 03 Agustus 1985. 120 R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1996, h. 108-109.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
74
Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.” Definisi hubungan istimewa ini sangat penting sebelum melangkah lebih jauh tentang penetapan kewajaran transaksi thin capitalization. Transaksi hubungan sangat berpotensi dalam melakukan rekayasa kewajaran dan kelaziman transaksi sehingga merupakan titik tolak apakah suatu transaksi pinjaman tersebut termasuk kriteria thin capitalization atau bukan. Pada Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan diatur lebih lanjut tentang penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai berikut: “ Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.” Dalam ketentuan diatas mengatur tentang kewenangan yang dimiliki Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan utang sebagai modal perusahaan serta menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam konteks transaksi thin capitalization, penentuan kewajaran dapat dilakukan melalui indikasi perbandingan antara utang dengan modal yang lazim terjadi antara pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian dalam penjelasan pasal 18 ayat (3) dinyatakan bahwa maksud dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
75
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Pada tanggal
6
September 2010,
Direktur
Jenderal
Pajak
menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. 121 Peraturan ini merupakan ketentuan pelaksanaan bagi ketentuan Pasal 18 ayat 3 UU PPh diatas. Dalam ketentuan ini lebih banyak mengatur tentang transaksi transfer pricing baik berupa transfer barang, jasa, dan imbalan atas hak cipta namun tidak mengatur tentang kewenangan untuk menentukan kembali utang sebagai modal. Selain peraturan Direktur Jenderal Pajak diatas, belum ada aturan lain yang mengatur ketentuan yang berkaitan mengenai pendanaan melalui utang dan modal secara umum sebagai panduan bagi Wajib Pajak dalam transaksi thin capitalization. Hal ini akan menyulitkan Wajib Pajak untuk menentukan kriteria kewajaran dalam transaksi pendanaan anak perusahaan tersebut. Pada praktek di lapangan, hal ini akan memungkinkan fiskus untuk melakukan penyimpangan dengan menetapkan kewajaran pinjaman secara semena-mena karena berdasrkan kewenangan yang dimilikinya.
4. Kewenangan Melakukan Koreksi Pasal 18 ayat 3 memberikan kewenangan kepada fiskus untuk memperlakukan utang sebagai modal dalam hal terjadi utang-piutang dari pihak-pihak
yang
memiliki
hubungan
istimewa
dan
memberikan
kewenangan kepada fiskus untuk menyesuaikannya bila melebihi kewajaran sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf a(3) UU PPh.
121
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tanggal 6 September 2010.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
76
Dalam peraturan pelaksanaan, otoritas pajak telah menerbitkan aturan sebagai petunjuk bagi fiskus dalam pemeriksaan atas penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi hubungan istimewa termasuk thin capitalization. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep-01/PJ.7/1994 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Dalam peraturan ini, 122 fiskus melakukan pengujian kewajaran utang dengan membandingkan rasio antara utang dan modal. Namun mengingat tidak ada standar kewajaran perbandingan antara hutang dan modal sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat 1 UU PPh, maka penerapan pengujian ini tidak menimbulkan efek apapun. Sebagai aturan tambahan, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 perihal Petunjuk Penanganan kasus-kasus Transfer Pricing yang dianggap masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan 123. Aplikasi ketentuan ini adalah merekarakterisasi bagian utang sejumlah modal yang belum disetor sebagai modal dengan konsekuensi biaya bunga atas utang tersebut dianggap sebagai deviden 124. Namun sayangnya pendekatan kewajaran tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang batasan kewajaran dalam transaksi perbandingan utang terhadap modal tersebut. Pada triwulan pertama tahun 2010, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menerbitkan surat dengan nomor S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa suatu transaksi afiliasi termasuk didalamnya adalah transaksi utang dan imbalan bunga. Masalah utama dalam transaksi pinjam-meminjam adalah kewajaran dari imbalan bunga itu
122
Direktur Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep-01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tanggal 09 Maret 1993. 123 Gunadi, loc.cit, hal. 242. 124
Gunadi, ibid, hal. 249.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
77
sendiri. Dimana dalam transaksi utang dan imbalan bunga, kriteria kewajaran atas transaksi utang adalah sebagai berikut 125: (i) Keberadaan utang, yakni suatu utang dikatakan ada, jika terdapat arus uang masuk ke dalam rekening milik Wajib Pajak dan utang tersebut memberikan manfaat bagi Wajib Pajak. Dalam kriteria ini, utang dianggap ada bila dalam pengujian arus kas anak perusahaan menunjukkan adanya aliran dana dari pemberi pinjaman dari pemegang saham. Selain itu, utang ini dianggap wajar bila anak perusahaan benar-benar membutuhkan dana tersebut dan utang ini akan membantu kebutuhan operasionalnya. (ii) Kewajaran nilai utang, yakni rasio nilai utang terhadap modal (debt equity ratio) harus diperhatikan pada saat meneliti kewajaran nilai utang. Hal ini mengacu kepada Pasal 18 ayat 1 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. (iii) Kewajaran tingkat suku bunga utang, yaitu kewajaran tingkat suku bunga yang diterapkan terhadap transaksi tersebut. Tingkat suku bunga ini dapat mengacu kepada suatu standar yang umum berlaku seperti London Interbank Offered Rate (LIBOR) atau Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) 126 untuk patokan suku bunga pinjaman dari luar negeri dan suku bunga BI sebagai rujukan bunga wajar untuk utang dalam negeri.
Dalam surat Direktur Pemeriksaan tersebut dipaparkan lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle) dan kelaziman usaha (ordinary practice of business) yang ada di dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) UU PPh.
125
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Surat nomor S-153/PJ.04/2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi, tanggal 31 Maret 2010. 126 London Interbank Offered Rate (LIBOR) adalah tingkat suku bunga harian yang ditawarkan dalam pemberian pinjaman tanpa jaminan kepada bank lainnya di pasar uang London. Sedangkan Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) merupakan tingkat suku bunga harian pinjaman di pasar uang Singapura. LIBOR lebih banyak dipergunakan untuk transaksi di Eropa dan SIBOR lebih banyak dipergunakan di Asia.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
78
Prinsip kewajaran adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa dalam hal kondisi transaksi afiliasi sama dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi tersebut harus sama dengan harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi pembanding. Dengan demikian dalam hal kondisi transaksi afiliasi berbeda dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi tersebut harus sama dengan harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi pembanding. Sedangkan prinsip kelaziman usaha adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa hasil dan keberadaan suatu transaksi afiliasi harus sama dengan hasil dan keberadaan transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri Wajib Pajak, jika kondisi transaksi afiliasi sama dengan kondisi rata-rata transaksi independen dalam kelompok industri Wajib Pajak. Dengan demikian, dalam hal kondisi transaksi afiliasi berbeda dengan kondisi transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri Wajib Pajak yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi, harus berbeda dibanding harga dan keberadaan transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri Wajib Pajak yang menjadi pembanding, dan nilai beda kondisi transaksi, sama dengan nilai dari beda harga transaksi. Termasuk dalam arm’s length principle adalah arm’s length profit dimana terkait dengan hal ini, Gunadi menyatakan bahwa sebagaimana yang berlaku di berbagai belahan dunia, sebagai penganut prinsip arm’s length profit, semua transaksi yang terjadi antara induk perusahaan di luar negeri dengan anak perusahaan di Indonesia (Wajib Pajak Dalam Negeri) maupun antar sesama anak perusahaan dari induk yang sama atau lainnya yang termasuk kelompok perusahaan harus dihitung dengan harga yang wajar, yaitu harga yang terjadi seandainya beberapa perusahaan dalam satu grup tersebut bertransaksi yang sama dengan para pihak independent di luar grup dimaksud. Dari harga wajar ini akan dapat diperoleh laba yang wajar (arm’s
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
79
length profit). Laba wajar ini akan mendorong keadilan atau ekualitas pengenaan pajak antara perusahaan yang berada dalam dan bertransaksi dengan anggota grupnya dengan mereka yang tidak berada dalam grup perusahaan atau yang bertransaksi dengan pihak yang independen 127. Kewajaran dan kelaziman ini menjadi unsur yang diperhitungkan karena dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan antara utang dan modal (debt equity ratio) menjadi ukuran pengukuran kinerja. Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka perusahaan tersebut dapat dikategorikan dalam keadaan kurang sehat. Pengaturan tentang pembayaran bunga dan modal ini bukan hanya diatur dalam Undang-undang domestik saja namun juga diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dengan negara mitra (partner). Sesuai Pasal 32A UU PPh memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan perjanjian perpajakan dengan negara-negara lain. Untuk melakukan adjustment dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi thin capitalization dengan memanfaatkan P3B seperti dalam contoh 4.1 diatas, Direktur Jenderal Pajak mengantisipasi dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-62/PJ./2009 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Jo. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Per - 25/PJ/2010. Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan penyalahgunaan P3B melalui skema transaksi berikut: 1) Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; 2) Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda
127
dengan
substansi
ekonomisnya (Economic
Gunadi, loc. cit. hal. 98.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
80
subsctance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau 3) Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner). maka otoritas pajak dapat melakukan koreksi dengan mengabaikan penerapan tarif dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan UU PPh. Sedangkan bila mempergunakan transaksi yang berbeda antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonominya (substance over form).
B. Analisis Pengaturan Thin Capitalization dalam Regulasi Pajak Penghasilan Indonesia
1. Kelemahan pengaturan Thin Capitalization di Indonesia Pengaturan thin capitalization dalam hukum perpajakan Indonesia memiliki beberapa kelemahan dan jauh dari memadai bahkan mengandung kelemahan hukum pajak Indonesia.
a. Tidak Ada Kepastian Hukum Pasal 18 ayat 1 UU PPh memberikan amanat kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan perbandingan antara utang dan modal. Namun sampai dengan saat ini, belum ada aturan pelaksana yang berlaku merujuk kepada tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum positif sebagaimana dibahas sebelumnya pada Bab I. Dalam teori hukum positif yang diperkenalkan oleh John Austin menganut pendapat bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
81
untuk membuat hukum. 128 Orang-orang tertentu itu adalah para penguasa (law is a command of the lawgivers). Hukum yang bertujuan memberikan kepastian hukum. Bila diabaikan, akibat lebih jauh dari ketidakpastian hukum ini adalah ketidakadilan bagi jumlah orang yang lebih banyak129. Kepastian hukum ini juga berlaku dalam hukum pajak. Hukum pajak menganut teori Adam Smith tentang certainty yang berkaitan dengan kepastian hukum dalam pemungutan pajak 130. Hukum Pajak sebagai hukum positif merupakan bagian dari hukum nasional yang berlaku dengan memiliki sumber hukum. Akan tetapi sumber hukum yang dimiliki hukum pajak hanya bersumber pada sumber hukum tertulis yang berkaitan dengan bidang perpajakan bukan pada kebiasaan yang berlaku dalam dunia bisnis 131. Keberadaan hukum pajak hanya didukung oleh peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai produk legislatif dan ditindaklanjuti oleh pihak eksekutif dan yudikatif dalam rangka penegakannya. 132 Berkaitan dengan peraturan thin capitalization, Pemerintah belum memilki peraturan pelaksana Pasal 18 ayat 1 sebagai amanat dari undangundang dan peraturan teknis pelaksanaan Pasal 3a Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Tidak adanya peraturan ini menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum untuk memastikan kewajaran pada transaksi thin capitalization. Pada Bab III penulis telah membahas beberapa negara telah mengatur secara jelas tentang transaksi thin capitalization ini dalam hukum pajak mereka, sehingga otoritas pajak dapat mengantisipasi penghindaran pajak melalui transaksi ini.
128
Antonius Cayadi, E. Fernando M. Manuliang, Pengantar ke Filsafat ukum. Jakarta: Kencana, 2007, h. 58. 129 Prof. Darji Darmodiharjo, SH , Dr. Sidharta, SH., M. Hum. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama,2006, h. 159. 130 R. Santoso Brotodihardjo, loc.cit, h. 28 131 132
Djafar Saidi, Muhammad, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta: Rajawali Press, 2007 h. 4 Djafar Saidi, Muhammad, Ibid, h. 4
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
82
Untuk mengantisipasi penghhindaran pajak dalam praktik thin capitalization ini, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan beberapa peraturan sebagai berikut: a. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 43/PJ/2010 tanggal
6
September
2010,
tentang
Penerapan
Prinsip
Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep-01/PJ.7/1994 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. c. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 perihal Petunjuk Penanganan kasus-kasus Transfer Pricing. d. Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi. Peraturan-peraturan
tersebut
bukanlah
merupakan
peraturan
pelaksana sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat 1 UU PPh. Penerbitan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 10 Agustus 1984 yang tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan sebenarnya merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU PPh ini. Namun Pada tahun 2005, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 254/KMK.04/1985 tanggal 03 Agustus 1985 yang menunda keputusan tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan penundaan ini, maka sampai saat ini Indonesia tidak memiliki ketentuan yang mengatur tentang perbandingan antara hutang dan modal (Debt Equity Ratio) sebagai peraturan pelaksana transaksi thin capitalization.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
83
Hal ini justru akan mengakibatkan lemahnya penegakan hukum oleh otoritas pajak dan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak dalam menilai kewajaran dalam transaksi thin capitalazition ini. Mengingat banyak negara telah mengatur secara tegas transaksi ini karena rawan dipergunakan untuk menghindari pajak dan dapat berakibat banyak potensi penerimaan negara yang hilang, maka seharusnya pemerintah segera bertindak untuk mengeluarkan regulasi tersebut. Sesuai dengan asas legalitas, maka penegakan hukum pajak tidak dapat dilakukan bila tidak ada aturan yang menjadi dasar penegakan hukum tersebut 133. Pengaturan thin capitalizatioin ini seharusnya juga mengikuti tata urutan perundangan yang berlaku agar tidak menjadi lemah dalam penegakannya.
b. Tidak Mengikuti Hirarki Perundang-undangan Penerbitan Peraturan pelaksana thin capitalization yang tidak mengikuti tata urutan perundang-undangan yang berlaku akan mengalami kendala dari sisi legalitas. Dalam hukum terdapat adagium lex superiori derogate lex inferiori 134. Artinya Peraturan/UU yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan/UU yang rendah. Hukum pajak merupakan lex specialist sehingga tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Begitu pula dalam pengaturan thin capitalization ini, seharusnya juga mengikuti hirarki hukum yang ada dan tidak boleh bertentangan dengan norma dasar hukum yang berlaku di Indonesia. 135 Berdasarkan amandemen ketiga konstitusi menyatakan terjadi perubahan paradigma hukum pajak, yaitu pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang sebelum amandemen mengatur: “Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undangundang.” 133 134 135
Djafar Saidi, Muhammad, loc. cit, h. 138 Antonius Cayadi, E. Fernando M. Manuliang, loc. cit, h. 70. R. Santoso Brotodihardjo, loc.cit., h. 10.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
84
Setelah dilakukan amandemen menjadi Pasal 23A yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Sesuai dengan paradigma baru hukum pajak tersebut diatas, maka seluruh pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang. Mengingat dinamika bisnis yang berubah dengan cepat, maka peraturan yang bersifat teknis dapat diatur melalui peraturan pelaksana mengikuti hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah 136: i)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
ii) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-
Undang; iii) Peraturan Pemerintah, iv) Peraturan Presiden; dan v) Peraturan Daerah. Berdasarkan hirarki perundang-undangan diatas, maka seharusnya peraturan
pelaksana
untuk
mengatur
secara
teknis
praktik
thin
capitalization yang seharusnya diamanatkan UU Pajak Penghasilan adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Amanat Pasal 18 ayat 1 UU PPh
untuk
memberikan
kewenangan
Menteri
Keuangan
untuk
menerbitkan Peraturan Menteri dalam rangka mengatur thin capitalization menyimpang dari kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Lebih jauh, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Pajak Nomor Per-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Keputusan Direktur Kep-01/PJ./1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap 136
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, No. 53, Sekretariat Negara. Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
85
Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan. Peraturan-peraturan pelaksana ini akan mengalami kendala legalitas bila dijadikan peraturan pelaksana ketentuan thin capitalization. Kendala-kendala ini akan mengakibatkan penerapan pengaturan transaksi thin capitalization menjadi tidak efektif baik dari sisi administrasi pajak maupun Wajib Pajak, sehingga ‘celah’ ini tetap dapat dimanfaatkan
oleh
perusahaan-perusahaan
multinasional
untuk
menghindari PPh Badan di Indonesia.
2. Celah-celah dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Mengingat ketentuan thin capitalization belum memiliki legalitas pelaksanaan yang kuat dan tegas banyak mengundang perusahaan multinasional untuk memanfaatkannya sebagai tax planning. Terlebih dengan adanya pengurangan pajak melalui pemanfaatan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang mereduksi tarif withholding tax negara sumber. Hal ini akan lebih menguntungkan lagi bila negara mitra memperlakukan penghasilan dari luar negeri bukan sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak di negara tersebut. Walaupun saat ini Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per62/PJ./2009 Jo. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Per-25/PJ/2010 dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Penulis berpendapat hal ini belum cukup memadai. Permasalahan terletak pada kedudukan hukum peraturan tersebut yang tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan. Ada dua alternatif untuk menangkal penghindaran tersebut yaitu (i) melalui pencantuman klausul penangkalan tersebut dalam perjanjian 137 atau (ii) peraturan penangkal diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dibawah Undang-undang.
137
Darussalam et all, Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional, Jakarta: Danny Darussallam Tax Center, 2010, h. 212.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
86
Kedudukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) (tax treaty) sangatlah kuat merupakan kewenang Pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 32A UU PPh. Dalam Pasal 1 huruf a UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa perjanjian internasional ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua negara di bidang hukum publik 138. Dalam proses pembuatannya, P3B berbentuk Keputusan Presiden dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
kemudiann
menyampaikan
salinannya
kepada
Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. Mengingat perjanjian ini dilakukan merupakan pengikatan kesepakatan antara dua negara, maka dalam hukum perpajakan termasuk lex specialist. Dalam perjanjian ini dapat mengatur hak pemajakan dan tarif yang berbeda dengan UU Pajak Penghasilan Indonesia karena dalam hukum terdapat adagium lex specialis derogate legi generalis. Kedudukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ini berbeda dengan perjanjian kontrak karya dalam pertambangan. Perjanjian kontrak karya merupakan perjanjian perdata antara perusahaan dengan pemerintah yang diwakili menteri, berbeda dengan P3B yang disahkan oleh Presiden. Dalam hukum perdata, terdapat causa halal yang harus dipenuhi. Apabila dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang bertentangan dengan hukum pajak yang berlaku, maka isi perjanjian tersebut tidak dapat diberlakukan.
3. Pendekatan Kewajaran Transaksi yang Sesuai Secara eksplisit otoritas pajak Indonesia mencoba menerapkan pendekatan kewajaran dengan melalui penetapan rasio utang dan modal, Hal ini terlihat dari kewenangn yang diberikan Pasal 18 ayat 1 Undangundang Pajak Penghasilan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan
138
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 133, Sekretariat Negara. Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
87
perbandingan antara utang dan modal. Selain itu Menteri Keuangan pernah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 10 Agustus 1984 yang mengatur Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan walaupun pada tahun 2005, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 254/KMK.04/1985 tanggal 03 Agustus 1985 untuk menunda keputusan tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas pajak Indonesia lebih cenderung memilih pendekatan penetapan rasio. Selain metode penetapan rasio yang akan diterapkan dalam transaksi pendanaan melalui utang, sesuai pembahasan pada Bab II, selain metode penetapan rasio, ada beberapa pendekatan penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi thin capitalization ini yaitu 139: a.
Mengacu kepada prinsip harga pasar wajar (arm’s length priciple); Pendekatan ini dilakukan dengan menyandarkan asumsi berapa pinjaman yang akan dipinjamkan apabila kedua perusahaan baik kreditur maupun debitur dalam kondisi wajar atau tidak dalam hubungan istimewa. Dalam kondisi ini kreditur akan melakukan analisis tentang kelayakan debitur memperoleh utang dan jumlah yang layak utang yang diberikan (credit worthy). Tes ini dilakukan seperti layaknya pihak independen (bank) yang akan memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Pendekatan ini lebih menekankan tentang kewajaran dari utang piutang
antara
pihak
yang
memiliki
hubungan
istimewa
dibandingkan dengan transaksi antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Pendekatan ini mempergunakan beberapa metode untuk menguji kewajaran transaksi utang piutang tersebut. Kesulitan dari metode ini adalah perlunya pembanding independen yang identik dan memerlukan infrastruktur perpajakan yang kuat.
139
OECD, Thin Capitalization Report, OECD Publisher, 1986, h. 4-14
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
88
b.
Mengacu kepada rasio tetap antara hutang dan modal (debt to equity ratio - DER) 140; Metode ini memberikan rasio yang tetap sebagai perbandingan antara utang dengan modal dari perusahaan yang memiliki hubungan istimewa yang diperkenankan. Pendekatan ini lebih mudah dalam penerapannya baik dari sisi fiskus maupun dari sisi Wajib Pajak dan memberikan kepastiian hukum.
c.
Kombinasi keduanya; Merupakan kombinasi dari kedua pendekatan berupa penetapan harga wajar dan penetapan perbandingan rasio utang terhadap modal diatas.
Pendekatan prinsip harga wajar memerlukan upaya yang lebih besar karena memerlukan SDM yang mumpuni dan alat uji yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan lainnya serta akan lebih menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak. Dalam konteks thin capitalization di Indonesia, meskipun Direktorat Jenderal Pajak mengalami kesulitan dalam mengungkap penghindaran pajak melalui transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa 141. Penerapan metode kombinasi berbasis penetapan rasio dalam perpajakan Indonesia dan kewajaran sangat memungkinkan. Penerapan metode penetapan rasio ini untuk elebih menciptakan kepastian hukum. Hal ini untuk membuat kepastian penerapan prinsip kewajaran baik dari sisi fiskus maupun Wajib Pajak. Mengingat karakteristik yang berbeda pada setiap bidang usaha, maka pemerintah seharusnya membuat penetapan perbandingan antara utang dan modal yang berbeda sesuai karakteristik masing-masing industri tersebut. Dalam KMK-1002/KMK.04/1984, Pemerintah hanya menetapkan perbandingan yang sama untuk seluruh bidang industri (3:1). Kebiasaan 140
Darussalam dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi Cross-Border Tranfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan, Danny Darussalam Tax Center, 2008, h. 32. 141 Harian Seputar Indonesia (Berita) ,” RI Kesulitan Awasi Transfer Pricing”, 11 Juli 2010
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
89
dalam dunia indusri sangat berbeda seperti pada industri perbankan berbeda dengan manufaktur begitu pula pada bidang usaha lainnya. Perbedaan penetapan rasio berbasis bidang usaha ini seperti yang dilakukan oleh negara China. Apabila dalam suatu pendanaan dari transaksi yang melibatkan hubungan istimewa melebih dari rasio yang ditetapkan tersebut, maka bunga yang dibayarkan atas kelebihan tersebut akan dikoreksi menjadi dividen. Walau demikian, Direktur jenderal Pajak perlu memiliki kriteria kewajaran atas transaksi utang adalah sebagai berikut 142: (i)
Keberadaan utang, yakni suatu utang dikatakan ada, jika terdapat arus uang masuk ke dalam rekening milik Wajib Pajak dan utang tersebut memberikan manfaat bagi Wajib Pajak.
(ii)
Kewajaran nilai utang, yakni rasio nilai utang terhadap modal (debt equity ratio) harus diperhatikan pada saat meneliti kewajaran nilai utang. Hal ini mengacu kepada Pasal 18 ayat 1 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
(iii) Kewajaran tingkat suku bunga utang, yaitu kewajaran tingkat suku bunga yang diterapkan terhadap transaksi tersebut sesuai tingkat suku bunga umum berlaku seperti London Interbank Offered Rate (LIBOR) atau Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) 143. Selain itu harus lebih dipertegas lebih rinci karakteristik antara hutang dan modal serta subjek pajak dari peraturan thin capitalization ini agar tujuan kepastian hukum pada pengaturan transaksi ini dapat dicapai. **************
142
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Surat nomor S-153/PJ.04/2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi, tanggal 31 Maret 2010. 143 London Interbank Offered Rate (LIBOR) adalah tingkat suku bunga harian yang ditawarkan dalam pemberian pinjaman tanpa jaminan kepada bank lainnya di pasar uang London. Sedangkan Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) merupakan tingkat suku bunga harian pinjaman di pasar uang Singapura. LIBOR lebih banyak dipergunakan untuk transaksi di Eropa dan SIBOR lebih banyak dipergunakan di Asia.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan thin capitalization di Indonesia mengandung banyak kelemahan dari sisi legalitas. Kelemahan tersebut berupa : a.
Tidak adanya peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU Pajak Penghasilan. Penundaaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 10 Agustus 1984 yang tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan melalui Keputusan menteri Keuangan Nomor: Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 254/KMK.04/1985 tanggal 03 Agustus 1985 yang menunda keputusan tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan mengakibatkan kekosongan hukum sebagai panduan untuk meperhitungkan kewajaran pendanaan berupa utang yang berasal dari pemegang saham atau pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Tidak adanya peraturan ini menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum untuk memastikan kewajaran pada transaksi thin capitalization. Hal ini sangat bertentangan dengan teori hukum positif yang bertujuan memberikan kepastian hukum yang bila diabaikan, akan mengakibatkan ketidakadilan bagi jumlah orang yang lebih banyak. Kepastian hukum ini juga berlaku dalam hukum pajak.
Beberapa
peraturan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010, tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep-01/PJ.7/1994 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Surat Edaran
90 Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
91
Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 perihal Petunjuk Penanganan kasus-kasus Transfer Pricing, Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Nomor S153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi bukanlah merupakan peraturan pelaksana sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat 1 UU PPh. Penundaan Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
nomor
1002/KMK.04/1984 tanggal 10 Agustus 1984, mengakibatkan lemahnya penegakan hukum oleh otoritas pajak dan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak dalam menilai kewajaran dalam transaksi thin capitalazition ini. b.
Beberapa peraturan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010, tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep-01/PJ.7/1994 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 perihal Petunjuk Penanganan kasus-kasus Transfer Pricing, Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Nomor S153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran
Transaksi
Afiliasi
untuk
mengatur
transaksi
thin
capitalization tidak mencerminkan paradigma baru hukum pajak Indonesia yang tercantum dalam Pasal 23A Amandemen Ketiga UUD 1945 yang mengatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Peraturan pelaksana UU Pajak Penghasilan sesuai dengan UU Nomor 10 tahun 2004 adalah setingkat dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 18 ayat 3 UU PPh yang mengamanatkan peraturan pelaksana pengaturan thin capitalization dalam Peraturan Menteri Keuangan bertentangan dengan ketentuan dalam konstitusi.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
92
2. Dibandingkan dengan beberapa negara lain, pengaturan thin capitalization dalam ukum Indonesia sangat lemah dan jauh dari memadai. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, United Kingdom/Inggris, Luxembourg, China, Perancis, Belgia, Kanada, Spanyol, Rusia, dan Jerman mengadopsi thin capitalization rule dalam ketentuan perpajakan mereka. Dalam peraturan thin capitalization beberapa negara membuat pendekatan untuk menentukan kewajaran transaksi pendanaan melalui utang oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa. Hampir sebagian besar negara seperti Amerika, Jerman, Luxembourg, Spanyol, dan sebagainya memilih mempergunakan pendekatan Rasio tetap antara utang dan modal. Sedangkan negara Inggris memilih pendekatan kewajaran transaksi. Hal berbeda dilakukan oleh China yang memilih mengkombinasikan dari kedua pendekatan tersebut.
3. Ada tiga pendekatan yang dapat dipergunakan dalam memastikan kewajaran dalam hal terjadi pendanaan melalui utang dari pihak yang memiliki hubungan istimewa yaitu. a.
Penetapa rasio antara utang terhadap modal/debt to equity ratio; Pendekatan ini lebih mudah dilaksanakan dan tidak memerlukan upaya yang lebih.
b.
Pendekatan kewajaran transaksi; Pendekatan ini lebih menekankan tentang kewajaran dari utang piutang antara pihak yang memiliki hubungan istimewa dibandingkan dengan transaksi antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Pendekatan ini mempergunakan beberapa metode untuk menguji kewajaran transaksi utang piutang tersebut. Kesulitan dari metode ini adalah perlunya pembanding independen yang identik dan memerlukan infrastruktur perpajakan yang kuat.
c.
Kombinasi dari kedua pendekatan tersebut. Pendekatan kombinasi ini lebih sulit dibandingkan dengan kedua pendekatan sebelumnya, karena merupakan gabungan dari keduanya.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
93
B. Saran Sesuai kesimpulan diatas, penulis memberikan saran kepada otoritas pajak sebagai berikut: 1. Mengingat banyak negara telah mengatur secara tegas transaksi ini karena rawan dipergunakan untuk menghindari pajak dan dapat berakibat banyak potensi penerimaan negara yang hilang, maka seharusnya pemerintah segera bertindak untuk mengeluarkan regulasi tersebut. Penulis menyarankan kepada pemerintah pada umumnya dan otoritas pajak pada khususnya untuk segera menerbitkan peraturan pelaksana thin capitalization sesuai sesuai Pasal 18 ayat 1 UU Pajak Penghasilan dengan mengikuti tata urutan hirarki hukum yang berlaku. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan merevisi Undang undang PPh agar mengamanatkan peraturan pelaksana thin capitalization ini setingkat dengan Peraturan Pemerintah. 2. Otoritas pajak Indonesia sebaiknya belajar kepada otoritas pajak negaranegara lainnya untuk memperoleh gambaran yang komprehensif sebelum menerbitkan peraturan untuk menangkal penghindaran pajak melalui transaksi thin capitalization. Untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam menangani transaksi thin capitalization ini, Penulis menyarankan
agar
mempergunakan
pendekatan
kombinasi
berbasis
penetapan rasio antara utang terhadap modal untuk lebih mudah dijalankan dan memberikan kepastian hukum serta memberikan panduan kewajaran utang. Penetapan ini menyesuaikan dengan karkteristik dari masing-masing bidang usaha. Selain itu harus lebih dipertegas lebih rinci karakteristik antara hutang dan modal serta subjek pajak dari peraturan thin capitalization ini agar tujuan kepastian hukum pada pengaturan transaksi ini dapat dicapai.
**********
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
DAFTAR PUSTAKA
I.
Dokumen Resmi
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945. ________________, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 133, Sekretariat Negara. Jakarta. ________________, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, No. 53, Sekretariat Negara. Jakarta. ________________, Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia And The Government of The Kingdom of The Netherlands For The Avoidance of Double Taxation And The Prevention of Fiscal Evasion With Respect To Taxes on Income ________________, Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia and The Government Of The United Kingdom Of Great Britain and Northern Ireland For The Avoidance Of Double Taxation and The Prevention Of Fiscal Evasion With Respect To Taxes On Income And Capital Gains ________________, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri, tanggal 10 Agustus 1984. ________________, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
254/KMK.04/1985, tanggal 03 Agustus 1985. ________________, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 43/PJ/2010
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tanggal 6 September 2010. ________________, Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tanggal 09 Maret 1993. ________________, Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal
Pajak, nomor S-153/PJ.04/2010 perihal Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi, tanggal 31 Maret 2010.
94 Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Universitas Indonesia
95
II.
Buku
Antonius Cayadi, E. Fernando M. Manuliang, Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana, 2007 Curmbley D. Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B. Dictionary of tax terms, New York: Barron’s Bussiness Guides, 1994 D, Elina Magdalena, Analisis kebijakan anti "Thin Capitalization" pada 7 (tujuh) perusahaan pertambangan umum dengan kontrak karya. Tesis S2, Jakarta: Universitas Indonesia, 2009. Darussalam dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi Cross-Border Tranfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan, Danny Darussalam Tax Center, 2008. Darussalam et all, Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional, Jakarta: Danny Darussallam Tax Center, 2010, Djafar Saidi, Muhammad, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta: Rajawali Press, 2007 DRT International, Thin Capitalization and Related Provisions in Major Trading Nations, International Tax and Business Guide, 1990. Eicke, Rolf , Tax Planning with Holding Companies-Repatriation of US Profits from Europe: Concept, Strategies, Structure , Kluwer Law, 2009 Gunadi, Perpajakan Internasional. Lembaga Penerbit FEUI: Jakarta, 2007 ______, Transfer Pricing, Suatu Tinjauan Akuntansi, Manajemen dan Pajak, Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1999 Hal Bryan A. Garner, editor in cief, Black’s Law Dictionary, Eight edition. Texas: Thomson West, 2004 Hutagaol, John et.all., Kapita Selekta Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006 Jeff Madura, Manajemen Keuangan Internasional, Jakarta : Erlangga, 2001. Kuswanto, Heri [tesis], Pembayaran Bunga, Royalti dan Imbalan Jasa Luar Negeri sebagai Salah Satu Bentuk Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dalam rangka Tax Planning Perusahaan Multinasional PMA. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 OECD, Thin Capitalization Report, OECD Publisher, 2000
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
96
Muris Dujsic dan Matthew Billings, Establishing Interest Rates in an Intercompany Context, IBFD, 2004 Parulian Siahaan, Richard Pardomuan, (tesis), Analisis Ketentuan Penangkal Praktik Thin Capitalization di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2010 Paulus Merks, Categorizing International Tax Planning, dalam Fundamentals of International Tax Planning (editor: Raffaele Russo), Amsterdam: IBFD, 2007 Prof. Darji Darmodiharjo, SH , Dr. Sidharta, SH., M. Hum. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama,2006 OECD, Thin Capitalization Report, OECD Publisher, 1986 OECD, Model Tax Convention on Income and Capital, Condensed Version, OECD Publisher, 2008. R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1996 R. Santoso Brotodihardjo, “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, Refika Aditama, Bandung, 2003 Raffaele Russo, “Anti Avoidance Rules”, dalam Raffaele Russo (Ed.), Fundamentals of International Tax Planning, Amsterdam: IBFD, 2007 Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Richard J. Vann, International Aspects of Income Tax, Tax Law Design and Drafting, International Monetary Fund, 1998 Roy Rohatgi, Basic International Taxation, Kluwer Law International, 2002.
Safril [Tesis], Thin Capitalization Sebagai Bentuk Penghindaran Pajak Pada PT. Unitex, Tbk. Periode 1984-2002, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005. Siregar, Lolita R. [Tesis], Analisis penerapan Thin Capitalization di Indonesia Studi Kasus pada Perusahaan Masuk Bursa 2005-2006, Jakarta: Universitas Indonesia, 2007. Stephen A.Ross, Randolph W. Westerfield, Jeffrey F, Jaffern, Corporate Finance, Third Edition, Times Mirror/Mosby College Publishing, 1993.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
97
Susan M Lyons, International Tax Glossary, Amsterdam: IBFD, 1992. Sally M. Jones and Shelley C. Rhoades-Catanach, Principles of Taxation for Business and Investment Planning, Mc. Graw-Hill Irwin, 2010. Singh, Kavaljit, Memahami Globalisasi Keuangan: Jakarta: Yakoma PGI, 1998 Saleh, Ikbal Thoha [Tesis], Minimalisasi Upaya Penghindaran Pajak Melalui Ketentuan Rasio Utang terhadap Modal, Jakarta: Universitas Indonesia, 2003. West, “Abuse application of International Tax Agreement”-Preceeding of a Seminar Held in Munich, 2000, Kluwer Law International.
III. Jurnal, Artikel, dan Berita Anastasia Avdonina dan Irina Suvorova, International Transfer Pricing Journal, November/December 2008 Andrew Casley dan Loir Webb Martin, International Transfer Pricing Journal, July/Agustus 2007 Bisnis Indonesia, [Berita], “Depkeu sisir 750 PMA yang mengaku rugi”, 22 November 2005 Bagja Hidayat dan Suryani Ika, “Pengusaha Asing Kecewa Soal Pajak”, Koran Tempo, 30 November 2003, hal.17. Carmine Rotorando, The Notion of Associated Enterprises: Treaty Issues and Domestic Interpretation-An Overview, dalam International Transfer Pricing Journal, Januari/Februari 2000, hal 2 Danny Septriadi, Darussalam, “Penghindaran Pajak yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan”, Majalah Inside Tax, Edisi September 2007 Dirk
Van Stappen, International November/December 2008
Transfer
Pricing
Journal,
IBFD,
Florentino Carreno, Transfer Pricing Rules for Transactions Involving Low-Tax Countries, International Transfer Pricing Journal, November/December 2007 Friderike Bagel dan Carsten Himing, International Transfer Pricing Journal, November/December 2008 Gunadi, “Menakar Efektivitas Stimulus Pajak Belum Berdampak Hasilkan pada Pertumbuhan Industri”, Bisnis Indonesia, Sabtu, 24/01/2009.
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
98
Gareth Green, “U.K. Thin Capitalisation: After the Renovations”, BNA International Tax Planning International Transfer Pricing, Vol. 09/04, 2004 Gilles Galinier-Warrain, International Transfer Pricing Journal, November/December 2008
IBFD,
Harian Seputar Indonesia (Berita) ,”RI Kesulitan Awasi Transfer Pricing”, 11 Juli 2010 Imam Santoso, “Advance Pricing Agreement Dan Probiematika Transfer Pricing Dari Perspektif Perpajakan Indonesia”, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 6 No. 2, Nopember 2004, h. 123-139 Indrayana Agus Slamet, “Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata Perpajakan Indonesia”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007 Ingo Kleutsgens, Heiko Penndorf & Pattrick Sinewe, New Circular of German Ministry of Finance Regarding Thin Capitalization Rules, Mondaq Business Briefing, 2005. James Kessler, “Tax Avoidance Purpose and Section 741 of the taxes Act 1988”, British Tax Review, 4 November 2004 Justin Kyte, International Transfer Pricing Journal, Nopember/Desember 2008 Klaus von Brocke dan Eugenio Carcia Perez, International Transfer Pricing Journal, January/February 2009. Kompas, [Berita] “70 Persen PMA Tak Bayar Pajak”, tanggal 27 Agustus 2002. Kompas, [Berita] “Soal 70 persen Perusahaan PMA Tak Bayar Pajak”, tanggal 20 Agustus 2002. Luis Coronado dan Susana Chou, International Transfer Pricing Journal, IBFD, Juli/Agustus 2007 Margret Klostermann, “The Consequences of Hybrid Finance in Thin Capitalization Situations”, Discussion Paper Nr. 22, Wirchaft Universitat, Juli 2007 Martin Six, “Hybrid Fonancial Instrument in The Double Tax Treaties” Discussion Paper Number 21, Wierschaft Universitat, 2009. Matthew McKee, “Tax Notes International” Volume 54, Nomor 13, Juni 2009
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
99
Otmar Thoemmes, Robert Stricof, dan Katja Nakhai, “Thin Capitalization Rules and Non-Discriminatin Principle: An analysis of Thin Capitalization Rules in Light of Discrimination Principle in the EC Treaty, Double Tax Treaties and Friendship Treaties”, dalam Journal Intertax, Volume 32, Issue 3, 2004. Raul
Martin Lucena, International November/December 2008
Transfer
Pricing
Journal,
Sandra Biewer, International Transfer Pricing Journal, Nopember/Desember 2008.
IV. Publikasi Elektronik Danny Septriadi, Darussalam, “Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule”, http://www.dannydarussalam.com, 14 Januari 2009 (akses tanggal 12 Desember 2010). OECD, Annex 3 – Glossary, (http://www.oecd.org/document/41/0,3343,en_2649_33753_37685737_1_ 1_1_1,00.html), diakses tanggal 16 Desember 2010. Price Waterhouse Coopers, http://www.pwc.com/tr/en/tax/thincapitalisation.jhtml ,(diakses tanggal 28 November 2010) Your dictionary.com, http://business.yourdictionary.com/thin-capitalization, diakses tanggal 11 Desmber 2010
Universitas Indonesia Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 1
Perbandingan Peraturan Thin Capitalization pada Beberapa Negara NEGARA/ KETENTUAN
PENGATURAN
PENDEKATAN
PERBANDINGAN
SUBJEK
KETENTUAN LAINNYA
A. PENDEKATAN PENETAPAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL Perancis
Art. 39-1-3 French Tax Code
Perbandingan
1,5:1
Rusia
Federal Tax Law 948-I
Perbandingan
Spanyol
Corporate Income Tax Act
Perbandingan
3:1 non perbankan dan leasing 12,5:1 perbankan dan leasing 3:1
Jerman
Corporate Income Tax Act Jerman
Perbandingan
1:5
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Perusahaan Persekutuan Cabang WP DN dan LN yang memiliki hub istimewa
Mempergunakan test kewajaran bunga pasar Utang termasuk pinjaman, kredit, atau bentuk lainnya.
WP DN dan LN yang memiliki hub istimewa
Untuk perusahaan Eropa tidak ada pembatasan kecuali melalui tax haven countries. Beban bunga selurunya dapat dibebenakn bila ada net interest expense positif
Ketentuan thin capitalization untuk perusahaan sedangkan earning stripping rules untuk seluruh bentuk usaha.
Lampiran 1
Negara/ Ketentuan
Pengaturan
Pendekatan
Perbandingan
Subjek
Ketentuan Lainnya
Kanada
Income Tax Act Sec. Perbandingan 247, 18(4)-18(6), 20(1c)
3:1
WP DN dan LN yang Penghindaran memiliki hub istimewa pembebanan bunga dua kali (double dipping)
Luxembourg
Art 164(3) Luxembourg Perbandingan Income Tax
6:1
WP DN dan LN yang Pinjaman tanpa memiliki hub istimewa bunga dianggap sebagai modal
-
Perusahaan Persekutuan Cabang
B. PENDEKATAN PRINSIP KEWAJARAN Inggris
Schedule 1988
28AA
ICTA Kewajaran
Menggunakan metode TP dan APA
C. PENDEKATAN KOMBINASI Amerika
Internal Revenue Code Perbandingan Sec. 163 (j) Kewajaran (CUP)
Belgia
Art 55 Income Tax Code
dan 1,5:1
WP DN dan LN yang Earning stripping memiliki hub istimewa. rules dan Wajib dokumentasi
Kewajaran dan kondisi 1:1 kepada Direktur dan WP DN dan LN yang tertentu mempergunakan pemegang saham memiliki hub istimewa dan perbandingan 7:1 kepada non Subjek yang bukan Subjek Pajak. Pajak
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Penekanan pada kewajaran tingkat bunga, resiko yang muncul, kelayakan penyaluran kredit.
Lampiran 1
China
Tax Administration Kombinasi Rules and Procedures (1998), Guoshuifa 143 (2004), Art 45 dan 46 UITL 2007
5:1 perusahaan keuangan 2:1 perusahaan lainnya
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
WP DN dan LN yang Pinjaman langsung memiliki hub istimewa dan melalui pihak lain
Lampiran 2
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 1002/KMK.04/1984 TENTANG PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri yang diperbolehkan untuk keperluan pengenaan pajak merupakan petunjuk mengenai keadaan perusahaan dan harus diperhatikan dalam penghitungan Pajak Penghasilan; b. bahwa oleh karena itu dipandang perlu mengeluarkan keputusan tentang besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri;
Mengingat
:
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; MEMUTUSKAN Menetapkan
:
:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1 Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri (debt equity ratio) ditetapkan setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3:1).
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
Pasal 2 (1) Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang dihitung dari semua hutang baik hutang jangka panjang maupun hutang jangka pendek, selain hutang dagang. (2) Modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah jumlah modal yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan/atau belum dibagikan. Pasal 3 Dalam hal besarnya perbandingan hutang dan modal sendiri melebihi besarnya perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bunga yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah sebesar bunga atas hutang yang perbandingannya terhadap modal sendiri sesuai dengan perbandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Keputusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di
: Jakarta
Pada tanggal
: 8 Oktober 1984
MENTERI KEUANGAN, ttd,
RADIUS PRAWIRO
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
: 254/KMK.01/1985 TENTANG
PENUNDAAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1002/KMK.04/1984 TANGGAL 8 OKTOBER 1984 TENTANG PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan; b. bahwa penentuan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri untuk keperluan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat dan berlaku umum dikuatirkan akan menghambat perkembangan dunia usaha, sehingga dipandang perlu untuk menangguhkan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984; Mengingat : Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENANGGUHAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1002/KMK.04/1984 TANGGAL 8 OKTOBER 1984 TENTANG PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
Pasal 1 Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 Tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan ditangguhkan sampai saat yang ditentukan kemudian oleh Menteri Keuangan.
Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 8 Oktober 1984. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
: JAKARTA
Pada tanggal
: 8 Maret 1985
MENTERI KEUANGAN, ttd,
RADIUS PRAWIRO
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak; b. bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; c. bahwa berdasarkan huruf a dan b di atas dan untuk memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan kewajaran dan kelaziman usaha, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan: 1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. 2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut UndangUndang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009. 4. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
5. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN. 6. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. 7. Harga Wajar atau laba Wajar adalah harga atau Iaba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. 8. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud. 9. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. 10. Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. 11. Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. 12. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. 13. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar. 14. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. 15. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihakpihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. 16. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang c dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya. 17. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) adalah prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Ruang lingkup Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini adalah transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat mengakibatkan pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha meliputi antara lain :
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud; b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud; c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa; d. alokasi biaya; dan e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud. BAB III PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA SERTA ANALISIS KESEBANDINGAN Pasal 3 (1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding; b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat; c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. (3) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui Rp 10 .000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), namun Wajib Pajak tetap diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 UndangUndang KUP. Pasal 4 (1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal : 1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau 2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba; b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar . (2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain: a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan, termasuk jasa; b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi; c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian; d. keadaan ekonomi; dan e. strategi usaha . (2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian atas faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku . Pasal 6 (1) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, harus dilakukan analisis terhadap jenis barang atau jasa yang diperjualbelikan, dialihkan, atau diserahkan, baik oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa maupun oleh pihak-pihak yang tidak
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain : a. b. c. d. e.
ciri-ciri fisik barang; kualitas barang; daya tahan barang; tingkat ketersediaan barang; dan jumlah penawaran barang.
(3) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain : a. b. c. d.
jenis transaksi; jenis barang tidak berwujud yang diserahkan; jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud tersebut.
(4) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain : a. sifat dan jenis jasa; dan b. cakupan pemberian jasa. Pasal 7 (1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan. (3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain : a. struktur organisasi; b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
manajemen; c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi; d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan. Pasal 8 Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis. Pasal 9 Dalam melakukan penilaian dan analisis keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, harus diidentifikasi kondisi ekonomi yang relevan, seperti keadaan geografis, luas pasar, tingkat persaingan, tingkat permintaan dan penawaran, serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Pasal 10 Penilaian dan analisis atas strategi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e, harus dilakukan antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
BAB IV METODE PENENTUAN HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR Pasal 11 (1) Dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling tepat. (2) Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat diterapkan adalah : a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP); b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM); c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM). (3) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. penerapan metode Penentuan Harga Transfer dilakukan secara hirarkis dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat; b. dalam hal metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat; c. dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM). (4) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah: a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul. (5) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali (resale
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
price method/RPM) adalah : a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan. (6) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah: a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa. (7) Metode pembagian laba (profit split method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut : a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat. (8) Penerapan metode Penentuan Harga Transfer secara hirarkis harus didasarkan pada kondisi yang tepat untuk setiap metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7). (9) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 12 Dalam hal kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) tidak terpenuhi maka metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) dapat diterapkan.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
BAB V HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR Pasal 13 (1) Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR). (2) Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rentangan antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; dan b. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan. (3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, maka Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar tidak dapat dipergunakan. (4) Yang dimaksud dengan Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR) adalah rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang merupakan hasil pengujian beberapa data pembanding dengan menggunakan metode Penentuan Harga Transfer yang sama. BAB VI TRANSAKSI KHUSUS Pasal 14 (1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan : a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi; b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial dari perolehan jasa; dan c. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
Wajib Pajak untuk keperluannya; (3) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha. (4) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk biaya atau pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan : a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk; b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak; dan c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak. Pasal 15 Dalam hal transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dapat dilakukan identifikasi jenis transaksinya secara spesifik, langkah-langkah penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diterapkan untuk setiap jenis transaksi jasa. Pasal 16 (1) Dalam hal transaksi jasa dilakukan bersama-sama antara Wajib Pajak dan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan tidak dapat dilakukan identifikasi atas transaksi jasa yang diserahkan kepada masing-masing pihak, maka beban jasa harus dialokasikan berdasarkan manfaat yang diterima oleh masing-masing pihak . (2) Kriteria yang digunakan untuk mengalokasikan beban jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memadai dalam hal menerapkan kriteria yang terukur dan dapat diandalkan berdasarkan : a. sifat jasa, kondisi pada saat jasa diserahkan, dan manfaat yang diperoleh; atau b. kriteria lain yang berkaitan dengan transaksi yang tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
Pasal 17 (1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan : a. transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud benar-benar terjadi; b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi. (3) Transaksi pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan : a. transaksi pengalihan harta tidak berwujud benar-benar terjadi; dan b. nilai pengalihan harta tidak berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding. (4) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dipertimbangkan antara lain : a. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas harta tidak berwujud; b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan c. keberadaan hak pihak yang memperolah harta tak berwujud untuk turut serta dalam pengembangan harta dimaksud.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
BAB VII DOKUMEN DAN KEWAJIBAN PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN Pasal 18 (1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya. (2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. (3) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup : a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha; b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya; c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha; d. pembanding yang terpilih; dan e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak. (4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih. Pasal 19 Wajib Pajak wajib melaporkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
BAB VIII KEWENANGAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK Pasal 20 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib Pajak . (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP. (4) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa. (5) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang terindikasi sebagai tindak pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang KUP. Pasal 21 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang dilakukan oleh : a. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak; atau b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia.
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.
Lampiran 2
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya. BAB IX HAK-HAK WAJIB PAJAK Pasal 22 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya. Pasal 23 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. (2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 September 2010 DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd. MOCHAMAD TJIPTARDJO NIP 195104281975121002
Analisis peraturan..., Fajar Budiman, FH UI, 2011.