UNIT REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG PMU - COREMAP II KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2009
PELAKSANA TEKNIS CV.MART CONSULTANT
i
UNIT REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG PMU - COREMAP II KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2009
PELAKSANA TEKNIS CV.MART CONSULTANT
BME-Sosial Ekonomi, 2009
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas hidayah-Nya dan limpahan rahmat-Nya sehingga seluruh rangkaian kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari pengambilan data dasar (base-line) sosial ekonomi dimana pada tahun 2006 telah dilakukan pengambilan data T0 dan tahun 2008 data T1 kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi. Dengan demikian untuk mengetahui perkembangan kegiatan sosial ekonomi berikutnya dilakukan pengambilan data T2 yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di lokasi program Coremap II Kabupaten Wakatobi. Indikator keberhasilan program Coremap adalah aspek ekologi dimana diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang hidup meningkat 5% setiap tahunnya. Selain aspek ekologi, aspek lainnya yaitu aspek sosial ekonomi dimana diharapakan tingkat pendapatan masyarakat meningkat menjadi 10% hingga program ini berakhir. Oleh karena itu maka desain program yang telah direncanakan dapat diimplementasikan sesuai dengan tingkat permasalahan yang dihadapi disetiap lokasi program, sehingga perkembangan kondisi terumbu karang dan sosial ekonomi masyarakat sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan program Coremap II. Dengan demikian maka data pemantauan kondisi sosial ekonomi baik T0, T1 maupun T2 dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan program selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut (terumbu karang). Selain itu dengan ketersediaan data yang ada dapat diidentifikasi model pengelolaan yang baik dan cocok khususnya yang berkaitan dengan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) bagi masyarakat. Pelaksanaan kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap II kabupaten Wakatobi melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, PMU Coremap II Kabupaten Wakatobi, CRITC Coremap II Kabupaten Wakatobi, Bappeda, BPS Kabupaten Wakatobi, Dinas Pariwisata dan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
iii
Kebudayaan Kabupaten Wakatobi, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Wakatobi, Camat dan Kepala Desa/Lurah se-Kabupaten Wakatobi, khususnya di desa lokasi survey, TNC-WWF Kabupaten Wakatobi serta berbagai pihak yang telah memberikan informasi/data sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan ini. Kepada para informan : Masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pendidikan, generasi muda, gender dan semua unsur yang telah membantu peneliti selama pelaksanaan kegiatan. Demikian laporan hasil kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi diajukan sebagai bahan evaluasi perkembangan kegiatan Coremap II Kabupaten Wakatobi hingga tahun 2008. Tentunya laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan masukan yang bertujuan untuk penyempurnaan dan perbaikan pada pelaksanaan kegiatan selanjutnya sangat kami harapkan.
Wangi-Wangi, Mart Consultant
BME-Sosial Ekonomi, 2009
Agustus 2009
iv
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman Teks
Tabel II.1
Tabel II.2
Tabel II.3
Tabel II.4
Tabel II.5
Tabel II.6
Tabel II.7
Tabel II.8
Tabel II.9
Tabel II.10
Tabel II.11
Tabel II.12
Produksi Hasil Laut Menurut Jenisnya Per Kecamatan, 2008 (ton).....................................................
19
Produksi Hasil Laut Menurut Jenisnya Setiap Bulan 2007.......................................................................
21
Produksi Hasil Laut Menurut Jenisnya Per Kecamatan, 2007 (Ton)....................................................
22
Produksi Hasil Laut di Kabupaten Wakatobi Tahun 2005 Produksi (kg)................................................
22
Banyaknya Hotel/Penginapan dan Tamu yang Berkunjung Menurut Kecamatan di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008...............................
24
Kepadatan Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Wakatobi Menurut Kecamatan 2007 – 2008..................................................
29
Distribusi Jumlah Penduduk Kabupaten Wakatobi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2008.........................................................
30
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di 9 Desa/Kelurahan Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, 2009..........................................
31
Jumlah Penduduk Kabupaten Wakatobi yang Bekerja Berdasarkan Sektor Usaha untuk Tahun 2000, Tahun 2007 dan Tahun 2008......................
33
Ditribusi Penduduk Sampel menurut Jenis Pekerjaan Utama di Semua Lokasi Penelitian, Kabupaten Wakatobi Tahun 2008 (T1) dan Tahun 2009 (T2)................................................
34
Jumlah Alat Penangkap Ikan Menurut Jenisnya Per Kecamatan 2005 dan 2008 (Unit)..............................
39
Jenis Aset Produksi di Lokasi Penelitian Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Tahun 2009 (Unit)............................................................
40
BME-Sosial Ekonomi, 2009
v
Tabel III.1
Tabel IV.1
Tabel IV.2
Tabel IV.3
Tabel IV.4
Tabel IV.5
Tabel IV.6
Tabel IV.7
Tabel IV.8
Capaian Indikator Pelaksanaan COREMAP II Kab. Wakatobi Periode Juni 2009....................................
42
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2008 (Juta Rupiah).......................
57
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 untuk Tahun 2006 – 2008 (Persen)..........
58
Pendapatan Regional Perkapita Kabupaten Wakatobi Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2008...........
59
Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan dan Perubahannya di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2008 - 2009 (Persen)....................
62
Statistik Pendapatan Rumah Tangga di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2008 - 2009 (Rupiah)....................
64
Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 - 2009 (Persen)...........................
72
Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim di Lokasi Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 – 2009 (Persen)........
74
Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 - 2009 (Rupiah)...........................
76
BME-Sosial Ekonomi, 2009
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman Teks
Gambar II.1
Peta Wilayah Kabupaten Wakatobi..................................
9
Gambar II.2
Kondisi Warga di Desa Mola Selatann Dalam Upayanya Mendapatkan Air Bersih…………………….…
13
Komoditi Perikanan Tangkap di Kabupaten Wakatobi 2008.................................................................
23
Pembangunan Penahan Ombak Untuk Mencegah Abrasi di Pesisir Pantai Waha..........................................
26
Salah Satu Pemukiman Warga di Desa Mola Selatan………………………………………………………..
36
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Luar Daerah Perlindungan Laut (Spill Over).........................................
46
Tingkat Persepsi Masyarakat Terhadap Program Coremap dan Lokasi DPL di Lokasi Penelitian (a) Pengelolaan DPL dan Perdes di Lokasi Penelitian (b) Tahun 2009......................................................................
52
Suasana Diskusi di antara Pengelola Program Coremap di Desa Waha...................................................
53
Berbagai Jenis Ikan Karang Yang Ditemukan Di Pasar Tradisional Wangi-Wangi..................................
54
Kondisi Pemukiman Warga di Desa Mola Selatan Yang Memerlukan Perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi……………………………………….
65
Aktivitas Bongkar Muat Kebutuhan Pokok di Pelabuhan Mola (a) dan Sarana Transportasi Laut Antar Pulau di Pelabuhan Usuku Tomia Timur (b).....................................................
66
Grafik Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 – 2009 (Persen)...................................................................
70
Pemanfaatan Pasir Laut dan Batu Karang Sebagai Bahan Bangunan Utama di Kabupaten Wakatobi……….
80
Gambar II.3
Gambar II.4
Gambar II.5
Gambar III.1
Gambar III.2
Gambar III.3
Gambar III.4
Gambar IV.1
Gambar IV.2
Gambar IV.3
Gambar IV.4
BME-Sosial Ekonomi, 2009
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman Teks
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2009 (Persen)..................................................
89
Distribusi Rumah Tangga Nelayan Terpilih Menurut Pendapatan di Lokasi Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2009 (Persen)....................
90
Statistik Pendapatan Nelayan di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2009 (Rupiah)……………………..
91
Rata-Rata Pendapatan Nelayan Menurut Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, 2009 (Rupiah)………….
92
Nilai Median Pendapatan Nelayan Menurut Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, 2009 (Rupiah)………….
93
Dokumentasi Kegiatan……………………………………
94
BME-Sosial Ekonomi, 2009
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..
Halaman i
KATA PENGANTAR...............................................................................
ii
DAFTAR TABEL.....................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
vii
DAFTAR ISI.............................................................................................
viii
I.
II.
PENDAHULUAN..............................................................................
1
I.1. Latar Belakang............................................................................
1
I.2. Tujuan Kegiatan..........................................................................
3
I.3. Sasaran.......................................................................................
3
I.4. Hasil dan Dampak (Out Put).......................................................
3
I.5. Metodologi.................................................................................
4
I.5.1. Lokasi Penelitian……………………………………………...
4
I.5.2. Pengumpulan Data………………………………………..
5
I.5.3. Analisis Data……………...………………………………
7
I.6. Organisasi Penulisan………………………………………………..
7
PROFIL LOKASI PENELITIAN........................................................
8
II.1. Keadaan Geografis....................................................................
8
II.1.1 Kabupaten Wakatobi………………………………………..
8
II.1.2 Lokasi Penelitian…………………………………………….
11
II.2. Potensi Sumberdaya Alam........................................................
17
II.2.1 Kabupaten Wakatobi………………………………………..
17
II.2.2 Lokasi Penelitian…………………………………………….
26
II.3. Kependudukan……………………………………………………...
28
II.3.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk…………………………
28
II.3.2 Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan……………………………
32
II.3.3 Pemilikan dan Penguasaan Aset Produksi……………….
37
BME-Sosial Ekonomi, 2009
ix
III. COREMAP & IMPLEMENTASINYA…………………………………..
41
III.1. Pelaksanaan Coremap II...........................................................
41
III.1.1. Kabupaten Wakatobi.......................................................
41
III.1.2. Lokasi Penelitian.............................................................
46
III.2. Pengetahuan & Partisipasi Masyarakat pada Program Coremap.....................................................................
50
IV. PENDAPATAN DAN PERUBAHANNYA……………………………..
55
IV.1. Pendapatan Pada Tingkat Kabupaten……………………………
55
IV.1.1. Struktur PDRB……………………………………………...
55
IV.1.2. Pertumbuhan Ekonomi…………………………………….
58
IV.1.3. Pendapatan Perkapita…………………………………….
58
IV.2. Pendapatan Di Lokasi Penelitian…………………………………
59
IV.2.1. Pendapatan Rumah Tangga……………………………..
60
IV.2.2. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan…………..
69
IV.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan dan Pengelolaan Sumberdaya Laut............................................
79
IV.3.1. Faktor Internal.................................................................
79
IV.3.2. Faktor Eksternal..............................................................
80
IV.3.3. Faktor Struktural..............................................................
81
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI………………………………….
82
V.1. Kesimpulan...................................................................................
82
V.2. Rekomendasi................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
88
LAMPIRAN..............................................................................................
89
BME-Sosial Ekonomi, 2009
I.
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Indonesia dianugerahi rentang garis pantai yang sangat panjang (81.000 km) dengan variasi bentukan fisik yang tinggi. Selain itu Indonesia juga merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Manfaat dan arti penting keanekaragaman hayati hutan tropis Indonesia telah diterima oleh khalayak luas, tetapi sayangnya, manfaat dan arti penting keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan lautan sangat sedikit dibahas. Sumberdaya pesisir dan laut menyediakan sumbangan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan juga bagi kepentingan global dan nasional karena keanekaragaman yang sangat tinggi. Tetapi, pengelolaan wilayah ini sampai saat ini belum cukup memenuhi tujuan dari perlindungan dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Pada masa lalu, eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya alam telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luas. Hal ini disebabkan antara lain : (1) Tidak ada/lemahnya pendekatan terpadu dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir, (2) tidak/ada/lemahnya informasi dan data sebagai dasar dalam pengambilan pengalokasian
kebijakan
pengelolaan,
pemanfaatan
(3)
sumberdaya
kurangnya dan
(4)
transparansi
kurangnya
dalam
keterlibatan
masyarakat lokal dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selanjutnya dampak dari kemajuan dan peningkatan pembangunan di wilayah daratan yang semakin pesat yang di iringi dengan peningkatan jumlah penduduk secara perlahan-lahan memberikan dampak buruk bagi lingkungan karena muara dari aktivitas daratan dapat berimplikasi terhadap wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2003 Kabupaten Wakatobi telah menjadi daerah otonom baru dengan kewenangan dan potensi pembangunan yang besar khususnya di bidang kelautan. Secara geografis, sebelum menjadi daerah otonom melalui SK Menhut No. 393/KPTS-VI/1996 Kabupaten Wakatobi telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi dan merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan potensi perikanan dan terumbu karang yang melimpah. Dengan luas areal perairan laut yang signifikan. Melalui visi pembangunan “Terciptanya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segitiga Karang Dunia” maka Kabupaten Wakatobi secara sungguh-sungguh akan menempatkan
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-1-
sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor unggulan yang dapat menjadi penopang perekonomian daerah. Sektor kelautan dan perikanan yang ada di Kabupaten Wakatobi memiliki turunan produk seperti jasa kelautan maupun sumberdaya hayati yang membutuhkan kapasitas pengelolaan yang memadai. Berdasarkan pada hal tersebut maka Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu lokasi Coremap II di Indonesia Timur. Masuknya program Coremap ke Kabupaten Wakatobi didasari oleh pertimbangan bahwa di Kabupaten Wakatobi terdapat potensi ekosistem terumbu karang yang cukup besar yang dapat mengakselerasi pembangunan dan pada saat yang sama dapat meningkatkan pendapatan serta memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun sumberdaya tersebut sedang berada dalam kondisi terancam akibat kegiatan perikanan yang merusak, pertambangan karang, pertambangan pasir serta aktivitas manusia lainnya yang membawa dampak bagi ekosistem. Kerusakan ekosistem terumbu karang tentunya akan membawa dampak bukan hanya pada masyarakat lokal tetapi juga kelangsungan siklus kehidupan biota-biota laut yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan ekosistem terumbu karang. Indikator utama dalam penilaian keberhasilan Progran Coremap yaitu indikator ekologis dan indikator sosial ekonomi masyarakat. Indikator ekologi yaitu setidaknya diharapkan terjadi peningkatan tutupan karang khususnya di setiap DPL meningkat 5 % karang hidup setiap tahunnya sedangkan indikator sosial ekonomi, indikator keberhasilan programnya berupa: (1) Pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik sebesar 10 % pada akhir program dan (2) minimal 70 % dari masyarakat nelayan di kabupaten program merasakan dampak positif Coremap terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial ekonominya. Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat keberhasilan Program Coremap maka pada awal dilaksanakannya program ini di Kabupaten Wakatobi tahun 2006, telah dilaksanakan study baseline (T0) sosial ekonomi di lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi oleh CRITC-LIPI dan lembaga lain yang dikontrak oleh pengelola Coremap II Kabupaten Wakatobi. Diharapkan dari kegiatan pengumpulan data dasar yang telah dilakukan, pengelola Coremap II tetap melanjutkan pemantauan kondisi sosial ekonomi masyarakat untuk memantau tingkat pencapaian tujuan dan
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-2-
daya serap program oleh masyarakat. Sebagai upaya dari keberlanjutan pemantauan perkembangan Program Coremap maka pada tahun 2008 ini juga telah dilakukan kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi untuk melihat tingkat perkembangan (T1). Selanjutnya untuk melihat perkembangan selanjutnya maka pada tahun 2009 juga dilakukan kegiatan yang sama untuk pengambilan data (T2) kegiatan ini dimaksudkan untuk pencapaian tujuan Coremap dan masukan bagi pihak pengelola untuk menyusun rencana lanjutan program selanjutnya. I.2
Tujuan Kegiatan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Terlaksananya kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi (T2) di lokasi Program Coremap II Kabupaten Wakatobi. 2. Mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat pada lokasi program serta dapat memberikan rekomendasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengelolaan sumberdaya alam dan manusia. I.3
Sasaran
Pengumpulan data yang akurat tentang potensi desa dan keadaan sosial ekonomi masyarakat poda lokasi sasaran program, sekaligus dengan upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. I.4
Hasil dan Dampak (Out Put)
Adapun hasil yang diharapkan muncul dari pelaksanaan kegiatan ini adalah a. Tersedianya data lanjutan (T2) mengenai aspek sosial dan ekonomi masyarakat pesisir di lokasi Program Coremap II Kab. Wakatobi. b. Tersedianya data tingkat pendapatan perkapita di masing-masing lokasi program. c. Diketahuinya model/cara pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Wakatobi.
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-3-
d. Tersedianya
informasi
mata
pencaharian
alternatif
yang
dapat
dikembangkan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Wakatobi Sedangkan dampak yang diharapkan muncul dari kegiatan ini yakni dalam jangka panjang dapat memacu perwujudan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang didasarkan pada karakter sosial dan budaya masyarakat sehingga
diharapkan
terjadi
peningkatan
pendapatan
dan
kesejahteraan
masyarakat yang dicapai tanpa melalui aktivitas yang membawa kerusakan bagi lingkungan. I.5
Metodologi
I.5.1
Lokasi Penelitian
Perlu dijelaskan bahwa penentuan lokasi penelitian berbeda antara lokasi Coremap yang dibiayai oleh ADB dan World Bank. Mengingat Kabupaten Wakatobi adalah lokasi Coremap World Bank dan banyaknya desa binaan di Kabuapten Wakatobi, maka lokasi penelitian dilakukan di sebagian desa saja (Widayatun dkk, 2006). Penentuan dilakukan diberbagai tingkatan administrasi, mulai dari kabupaten/kota sampai desa/kelurahan. ·
Di tingkat kabupaten/kota : tim
peneliti bersama-sama dengan PMU
menentukan kecamatan-kecamatan yang menjadi lokasi penelitian ·
Di tingkat kecamatan : tim peneliti bersama-sama dengan pihak kecamatan yang
berwenang mendiskusikan dan menyepakati desa-desa/kelurahan-
kelurahan yang menjadi lokasi penelitian ·
Ditingkat desa/kelurahan : tim peneliti bersama-sama dengan pimpinan formal dan non formal mendiskusikan dan menyepakati dusun/RT/RW yang menjadi lokasi pencacahan/survey.
Mengingat kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan (T2) dari kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi sebelumnya maka dari 40 desa/kelurahan yang termasuk dalam lokasi Coremap II di Kabupaten Wakatobi dipilih lokasi studi yang data T0 dan T1-nya telah terhimpun. Penentuan tersebut berdasarkan kesepakatan bersama degan pihak PMU Coremap II Wakatobi, Staff kecamatan dan desa/kelurahan dengan memperhatikan kriteria-kriteria berikut :
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-4-
·
Merupakan desa/kelurahan binaan Coremap II Kabupaten Wakatobi.
·
Ketergantungan masyarakat pada terumbu karang dan sumberdaya laut lainnya.
·
Keragaman sumber pendatapan masyarakat.
·
Keterjangkauan sehingga memungkinkan dalam pelaksanaan program dan pemantauan.
Adapun lokasi tersebut yaitu : Desa Waha dan Kelurahan Wandoka (Kecamatan Wangi-Wangi), Desa Mola Selatan (Kecamatan Wangi-Wangi Selatan), Desa Balasuna (Kecamatan Kaledupa), Desa Langge (Kecamatan Kaledupa Selatan), Desa Lamanggau (Kecamatan Tomia), Kelurahan Patipelong (Kecamatan Tomia Timur), Desa Makoro (Kecamatan Binongko) dan Desa Waloindi (Kecamatan Togo Binongko). I.5.2
Pengumpulan Data
Untuk dapat mencapai tujuan dan hasil yang sudah dipaparkan di atas, kegiatan pemantauan ini menggunakan pendekatan metode kuantitatif dan dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan melalui pengumpulan data primer melalui survey pada rumah tangga terpilih. Sedangkan metode kualitatif mengandalkan wawancara terbuka dan observasi lapangan. Untuk memperkuat informasi perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, disamping melakukan analisis atas data primer juga dilakukan analisis pada data sekunder yang diperoleh dari studi-studi terkait yang telah dilakukan sebelum kegiatan ini berlangsung. A. Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat salah satunya dilakukan melalui kegiatan survei. Untuk menjaga sinkronisasi data yang dikumpulkan dari tahun ke tahun maka model dari survei yang dilakukan mengacu pada bentuk dan isi dari kuesioner yang dipakai pada saat pelaksanaan survei sebelumnya (T0) dan (T1). Hal inipun telah ditekankan pada kegiatan Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi tahun 2007 dengan maksud untuk menjaga sinkronisasi data. Adapun isi dari survei atas perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat dilakukan untuk mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan: 1) Keadaan rumah tangga khususnya yang berkaitan dengan keterangan Anggota Rumah Tangga (ART) termasuk jumlah ART, hubungan dengan Kepala
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-5-
Rumah Tangga (KRT), jenis kelamin, umur, pendidikan dan kegiatan utama yang biasa dilakukan, 2) Ekonomi RT, meliputi : pendapatan disektor perikanan laut pada musim gelombang laut pada musim gelombang kuat, pancaroba dan gelombang lemah, pendapatan dari sektor perikanan budaya dan pendapatan dari sektor non perikanan dan 3) Pemilikan aset rumah tangga baik produksi maupun non produksi. Pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti responden sebelumnya pada saat pengambilan data T0 dan T1 yang dilakukan secara acak beraturan sesuai dengan
daftar
rumah
tangga
yang
bersumber
dari
kantor
dan
aparat
desa/kelurahan. Responden adalah Kepala Rumah Tangga (KRT) tetapi jika KRT berhalangan maka bisa diganti oleh anggota rumah tangga yang dapat mewakili. B. Wawancara dan Observasi Lapangan Wawancara sengaja dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang latar belakang,
hubungan
sebab-akibat,
informasi
yang
mendetail,
terinci
dan
menyeluruh. Kegiatan ini dilakukan pada informan–informan kunci dan narasumber di desa sasaran survey seperti pengelola Coremap II (LPSTK, MD, CF, Pokmas), Kepala Desa/aparat desa, nelayan, pedagang, pengumpul dan penambang batu/pasir. Wawancara juga dilakukan pada tingkat Kabupaten Wakatobi, mencakup instansi – instansi yang relevan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, pengelola Coremap tingkat kabupaten dan BPS Kabupaten Wakatobi. Selain itu wawancara juga dilakukan pada LSM yang bergerak dibidang kelautan seperti TNC dan WWF yang juga mempunyai program pengelolaan sumber daya laut di kabupaten ini. Dalam proses pelaksanaan studi juga dilakukan observasi lapangan guna menambah pamahaman peneliti terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten
Wakatobi
terutama
lokasi
survei.
Tujuan
utama
yaitu
untuk
mendapatkan gambaran yang utuh dan komperehensif mengenai keadaan yang berkaitan dengan pengeloaan terumbu karang dan sumberdaya laut lainnya. C. Pengumpulan Data Sekunder Untuk menunjang pembahasan tentang perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya di lokasi pelaksanaan Coremap II pemantauan kondisi sosial ekonomi ini juga dilengkapi dengan pengumpulan data sekunder dari berbagai
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-6-
sumber, di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa/ kelurahan serta sumber lainnya. Data yang dikumpulkan utamanya berkaitan dengan aspek sosial ekonomi seperti pendapatan penduduk dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) di tingkat kabupaten, produksi perikanan dan perkembangan pelaksanaan Coremap II. Disamping itu data sekunder juga dikumpulkan dari studi-studi sebelumnya yang berkaitan dengan studi yang sementara dilaksanakan. I.5.3
Analisis Data
Sesuai dengan yang disebutkan diatas bahwasanya pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan studi ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif maka analisis data dilakukan melalui deskripsi atas data kuantitatif. Untuk memperkuat informasi dari data kuantitatif maka informasi-informasi tersebut akan diperkaya dengan hasil wanwancara dan observasi lapangan. I.6
Organisasi Penulisan
Laporan kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi ini disajikan dalam lima bagian, yaitu : ·
Bagian I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan, tujuan, sasaran, hasil
dan dampak yang diharapkan serta metode yang digunakan
dalam penelitian. ·
Bagian II akan disajikan gambaran tentang lokasi penelitian meliputi keadaan geografi, potensi SDA dan kondisi kependudukan terkini.
·
Bagian III akan disajikan profil pelaksanaan program Coremap II meliputi pelaksanaan program, pengetahuan dan partisipasi masyarakat.
·
Bagian IV akan disajikan informasi tentang perubahan pendapatan penduduk beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
·
Bagian V yang merupakan bagian penutup dari laporan ini akan disajikan kesimpulan
beserta
rekomendasi
yang
perlu
ditindaklanjuti
demi
kesinambungan pelaksanaan program.
`BME-Sosial Ekonomi, 2009
-7-
II. PROFIL LOKASI PENELITIAN II.1. Keadaan Geografis II.1.1. Kabupaten Wakatobi Letak Geografis Kabupaten Wakatobi terletak di kepulauan Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan bila ditinjau dari peta Propinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 5.000 – 6.250 LS (sepanjang ± 160 km) dan membentang dari barat ke timur di antara 123.340 – 124.640 BT (sepanjang ± 120 km). Adapun batas-batas geografis Kabupaten Wakatobi secara lengkap adalah sebagai berikut : ·
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Buton Utara
·
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
·
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan
·
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Buton
Kabupaten Wakatobi yang biasa juga disebut dengan nama Kepulauan Tukang Besi atau Kepulauan Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang terletak di sebelah timur Pulau Buton. Untuk mencapai kepulauan ini ada tiga jalur laut yang bisa dipergunakan yakni; Kendari à Wangi-Wangi, Bau-Bau à Wangi-Wangi dan Lasalimu à Wangi-Wangi. Adapun jarak tempuh pulau ini dari Kota Kendari adalah ± 12 jam perjalanan, dari Kota Bau-Bau selama ± 9 jam dan dari Lasalimu memakan waktu ± 3 jam.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
-8-
Gambar II.1 Peta Wilayah Kabupaten Wakatobi
Luas Wilayah Kabupaten Wakatobi merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Buton yang ditetapkan menjadi kabupaten otonom melalui UU No. 29 Tahun 2003 dengan ibukota di Kecamatan Wangi-Wangi. Pada waktu masih bergabung dengan Kabupaten Buton, wilayah ini ditetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 393/KPTS-VI/1996 dengan nama Taman Nasional Wakatobi (TNW). Seiring dengan tuntutan pelayanana publik, kepulauan ini kemudian menjadi daerah otonom dengan nama Kabupaten Wakatobi yang luas wilayahnya ± 55.954 km² (UU. No. 29 Tahun 2003). Nama Kabupaten Wakatobi sendiri diambil dari gabungan nama keempat pulau utama kepulauan tersebut yakni Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Kabupaten Wakatobi merupakan kabupaten kepulauan yang mana seluruh wilayah daratannya merupakan pulau-pulau kecil yang terdiri dari 48 buah pulau kecil dengan luas daratannya adalah ± 823 km², atau hanya sekitar 4,5 % dari total wilayah Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan. Sisanya merupakan wilayah perairan laut yang luasnya mencapai ± 18.337 km². Berdasarkan penetapan terbaru yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri dalam rapat pembinaan dan pembakuan nama-nama pulau di Indonesia (2008) jumlah pulau yang ada di
BME-Sosial Ekonomi, 2009
-9-
Kabupaten Wakatobi telah meningkat menjadi 142 buah pulau kecil. Akan tetapi luas daratan berdasarkan jumlah pulau terbaru ini belum tersedia. Olehnya itu kiranya ini dapat menjadi perhatian pihak terkait untuk lebih lengkapnya informasi mengenai Kabupaten Wakatobi di masa mendatang. Kondisi Topografis Adapun asal muasal terbentuknya pulau-pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi adalah terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi (Anonim, 2007). Oleh karena itu mudah dipahami kenapa kondisi bentang alam daratan di Kabupaten Wakatobi bervariasi mulai dari dataran, bergelombang sampai wilayah perbukitan yang mana morfologi ini dapat pula kita saksikan pada terumbu karang yang masih berada di bawah permukaan laut. Asal muasal pulau-pulau di Kabupaten Wakatobi juga dapat ditelusuri pada jenis tanah yang ada di kepulauan ini. Jenis tanah yang ada di kepulauan ini terbatas pada tanah yang berasal dari batuan kapur, pasir putih dan tanah lempung. Oleh karena itu tanah di kepulauan ini kurang begitu subur untuk bercocok tanam berbagai jenis tanaman. Namun begitu, masih ada jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat seperti kelapa, asam, jambu mente, ketela pohon/singkong dan jagung (Hidayat dkk, 2007). Bahkan ketela pohon dan jagung merupakan tanaman yang menjadi bahan makanan pokok penduduk di kepulauan ini. Adapun bentuk permukaan dasar perairan di Kepulauan Wakatobi sungguh sangat bervariasi. Pada beberapa wilayah, terdapat beberapa mikro atol dengan konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar dan kadang-kadang muncul di permukaan dengan
beberapa
daerah mempunyai
tubir-tubir
karang
yang
curam/terjal (drop off). Adapun kedalaman perairannya bervariasi dengan bagian yang terdalam (1.004 m) berada di sebelah barat dan timur Pulau Kaledupa. Sementara itu dasar perairan umumnya adalah berpasir, lumpur dan berkarang (Anonim, 2007).
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 10 -
Wilayah Administrasi Pada awal pembentukannya di tahun 2003, Kabupaten Wakatobi terdiri dari lima kecamatan yakni Wangi-Wangi, Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Kemudian seiring dengan kebutuhan pelayanan penduduk, pada tahun 2004 dua dari lima kecamatan tersebut dimekarkan lagi menjadi 7 kecamatan dengan kecamatan tambahan yakni: 1) Kecamatan Kaledupa Selatan yang merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan Kaledupa dan 2) Kecamatan Tomia Timur yang merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan Tomia. Selanjutnya pada tahun 2006, terjadi penambahan satu kecamatan lagi yakni Kecamatan Togo Binongko yang merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan Binongko (PMU Coremap II Kab. Wakatobi, 2008). Jadi total kecamatan yang ada di Kabupaten Wakatobi saat ini adalah 8 kecamatan dengan jumlah total desa/kelurahan yaitu 100 desa/kelurahan. Dari 100 desa/kelurahan tersebut maka terpilihlah 40 desa/kelurahan pesisir sebagai daerah binaan Coremap II yang tersebar di keseluruhan kecamatan yang ada di Kabupaten Wakatobi. Adapun rincian desa/kelurahan untuk masing-masing kecamatan adalah: Wangi-Wangi, 4 desa dan 1 kelurahan; Wangi-Wangi Selatan, 8 desa; Kaledupa, 6 desa; Kaledupa Selatan, 5 desa; Tomia, 6 desa dan1 kelurahan; Tomia Timur, 4 desa; Binongko, 3 desa; dan Togo Binongko, 2 desa (Anonim, 2008; PMU Coremap II Wakatobi, 2008). II.1.2. Lokasi Penelitian Desa Waha Desa Waha merupakan salah satu diantara 20 desa yang ada di Kecamatan WangiWangi. Desa ini merupakan desa yang palling luas wilayahnya di Kecamatan Wangi-Wangi dengan luas wilayah 36,35 km² atau 15,02 % dari luas total Kecamatan Wangi-Wangi. Adapun batas-batas wilayahnya yakni sebelah utara dengan Desa Koreo Onowa, sebelah timur dengan Desa Tindoi, sebelah selatan dengan Desa Wapia-pia dan sebelah barat dengan Laut Banda. Desa Waha terbagi ke dalam empat dusun yakni Dusun Menara, Dusun Gelora, Dusun Limbotonga dan Dusun Membara.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 11 -
Topografi desanya sebagian merupakan dataran pantai dan sebagian perbukitan dengan rata-rata ketinggian hanya antara 1 sampai 10 meter. Karena lokasi desa ini yang sebagian terletak di wilayah pantai dan memanjang mengikuti arah pantai, kehidupan penduduknya baik langsung maupun tidak dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya laut. Namun disamping mengandalkan sumberdaya laut, warga desa ini juga mengandalkan sumberdaya yang ada di darat karena lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan cukup tersedia. Kelurahan Wandoka Kelurahan Wandoka merupakan salah satu dari 20 desa/kelurahan yang ada di desa Kecamatan Wangi-Wangi. Saat ini luasan Kelurahan Wandoka tinggallah 1,51 km² atau 0,62 % dari total wilayah kecamatan Wangi-Wangi. Seiring dengan adanya pemekaran pada wilayah ini menjadi tiga kelurahan yakni Wandoka Selatan, Wandoka dan Wandoka Utara. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Wandoka yakni sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Wandoka Utara, sebelah timur dengan Desa Tindoi, sebelah selatan dengan Kelurahan Wandoka Selatan dan sebelah barat dengan Laut Banda. Kelurahan Wandoka terbagi ke dalam 4 dusun yakni Dusun Wandoka I, Dusun Wandoka II dan Dusun Lasumpa I dan Lasumpa II. Topografi wilayahnya sebagian merupakan dataran pantai dan sebagian kecil perbukitan dengan rata-rata ketinggian hanya antara 1 sampai lebih dari 5 meter dari permukaan laut. Daerah ini sebagian terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya memanjang mengikuti pantai. Olehnya itu sebahagian penduduknya banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut. Umumnya masyarakat Kelurahan Wandoka banyak menjalankan kegiatan pertanian dan perkebunan. Desa Mola Selatan Desa Mola Selatan merupakan salah satu dari 21 desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Jarak desa ini dari Ibukota Kecamatan adalah sekitar 0,5 km. Luas wilayahnya yakni 3,70 km² atau 1,80 % dari luas Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Adapun batas wilayahnya yakni sebelah utara berbatasan dengan Desa Mola Utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Numana, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Mola Nelayan Bakti dan sebelah barat berbatasan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 12 -
dengan Laut. Desa Mola Selatan terbagi ke dalam 4 dusun yakni Dusun Mekar, Dusun Bahari, Dusun Nelayan dan Dusun Tirta Makmur.
Lokasi desa ini terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak memanjang pantai. Topografi wilayahnya hampir sama semuanya merupakan dataran rendah dengan ketinggian hanya 1-2 meter dari permukaan air laut. Sebagian besar lahannya terbentuk dari timbunan batu karang yang awal mulanya merupakan teluk laut dangkal. Karena kebutuhan akan pemukiman, penduduk kemudian sedikit demi sedikit menimbun lahan laut dengan batu karang dan pasir yang pada akhirnya menjadi lahan yang dapat digunakan untuk pemukiman. Karena merupakan daerah yang berasal dari usaha
masyarakat
untuk
menimbun
laut
dangkal, maka ada dua bentuk jalan desa yang dapat kita saksikan yakni jalur laut dan jalur darat. Jalur laut tersebut ada yang berukuran kecil (hanya bisa dilewati jukung/koli-koli) dan ada yang berukuran cukup besar (bisa dilalui bodi). Sedangkan jalur daratnya berupa jalan rabat yang cukup bisa dilalui kendaraan roda dua.
Karena
pemukiman
terbentuk
dari
timbunan batu karang mengakibatkan daerah ini
Gambar II.2. Kondisi Warga di Desa Mola Selatann Dalam Upayanya Mendapatkan Air Bersih
tampak gersang. Pekarangan di sekitar rumah penduduk tidak dapat ditanami tanaman sebagai pelindung pemukiman. Di areal pantai juga tidak ada tanaman seperti tanaman bakau yang ditanam atau yang tumbuh alami. Apabila ada angin kencang atau badai yang datang, pemukiman ini tidak memiliki pelindung dan potensial untuk merusak perumahan penduduk. Faktor utama yang menjadi hambatan di desa ini adalah sarana air bersih sangat terbatas. Desa Balasuna Desa Balasuna merupakan salah satu desa/kelurahan dari 16 desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Kaledupa. Luas wilayah desa ini adalah 3,75 km² atau 8,24 % dari luas wilayah Kecamatan Kaledupa. Batas wilayah yakni sebelah utara dengan Kelurahan Buranga, sebelah timur dengan Desa Sandi/Laut, sebelah selatan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 13 -
dengan Desa Balasuna Selatan dan sebelah barat dengan Desa Tampara/Horuo. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke dalam 3 dusun yakni Dusun Tombuluruha, Dusun Wakalingkuma dan Dusun Posalu. Topografi desanya yakni sebagian berupa dataran pantai yang memanjang dari arah utara ke arah timur desa dan sebagian pula berupa daerah yang berbukit mengarah ke arah barat desa. Keadaan ini membuat mata pencaharian masyarakat tidak hanya bergantung pada sumberdaya laut tetapi juga mengelola lahan perkebunan. Sebagaimana halnya daerah-daerah lain di Kecamatan Kaledupa, lahan pertanian/perkebunan disini relatif subur dengan jenis tanaman pertanian utama yakni jagung dan ubi kayu. Desa Langge Desa Langge merupakan salah satu dari sepuluh desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Kaledupa Selatan. Luas wilayah desa ini adalah 5 km² dengan batas wilayah yakni sebelah utara dengan laut, sebelah timur dengan Desa Tanomeha, sebelah selatan dengan Desa Pajam dan sebelah barat dengan Desa Sandi. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke dalam 4 dusun yakni Dusun Togo-Togo, Dusun Ruku-Ruku, Dusun Peapi dan Dusun Sampua Katende. Topografi desanya yakni sebagian berupa dataran pantai yang memanjang dari arah utara desa dan sebagian pula berupa daerah yang berbukit mengarah ke arah barat desa. Keadaan ini membuat mata pencaharian masyarakat umumnya banyak terkonsentrasi di wilayah laut dan pertanian/perkebunan. Sebagaimana halnya daerah-daerah lain di Kecamatan Kaledupa, lahan pertanian/perkebunan disini relatif subur dengan jenis tanaman pertanian utama yakni jagung dan ubi kayu. Begitupun halnya dengan kegiatan budidaya rumput laut, sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani budidaya rumput laut. Desa Lamanggau Desa Lamanggau merupakan salah satu dari 10 desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia. Luas wilayah desa ini adalah 7 km² atau 14,86 % dari luas Kecamatan Tomia yang terbagi ke dalam tiga dusun yakni Dusun Ketapang, Dusun Lasoilo dan Dusun Dunia Baru. Adapun batas wilayah desa ini adalah sebelah utara
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 14 -
dengan Desa Waitii, sebelah timur dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Desa Patipelong dan sebelah barat dengan Laut Flores. Jarak Desa Lamanggau dari pusat kecamatan yakni 5,8 km. Sebagaimana pulau-pulau kecil di gugusan Wakatobi, pulau Tolandona merupakan bebatuan yang terapung di atas laut, yang jika dilihat dari topografinya, memiliki ketinggian di atas permukaan air kira-kira 2,5 meter, sebagian besar wilayah Desa Lamanggau adalah daratan perbukitan yang didominasi oleh bebatuan kapur. Sementara dibagian belakang desa ini, warga memanfaatkan untuk berkebun ubi kayu dan jagung. Sedangkan keadaan dalam kampung pada umumnya merupakan bebatuan sementara dibagian pantai nampak timbunan batu yang dikumpulkan oleh Suku Bajo. Tumbuhan yang ditemukan dalam kampung ini misalnya kelapa, nangka, mangga, sukun dan lemon yang merupakan jenis tanaman keras dan mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi. Namun beberapa tanaman lain seperti pisang, pepaya, keladi, ubi hutan, dapat juga tumbuh subur di wilayah ini. Kelurahan Patipelong Kelurahan Patipelong merupakan salah satu dari sembilan desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia Timur. Luas wilayah desa ini adalah 5 km² dengan batas wilayah yakni sebelah utara dengan Desa Kahianga, sebelah timur dengan Desa Tongano Barat, sebelah selatan dengan laut dan sebelah barat dengan Desa Lamanggau. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke dalam 3 dusun yakni Dusun Wakale, Dusun Sambakati dan Dusun Toliewatu. Jarak Kelurahan Petipelong ke pusat Kecamatan Tomia Timur kurang lebih 200 m. Keadaan topografi desa yakni sebagian adalah wilayah pesisir pantai yang membentang di sepanjang bagian selatan desa dan sebagian besar merupakan wilayah perbukitan dengan struktur bebatuan yang keras. Bila dilihat dari struktur batuannya yang berpori seperti halnya bentuk coralit karang pada umumnya maka kemungkinan awalnya merupakan pulau yang terbentuk dari proses pergesaran lapisan bumi, Adapun bentuk pantai di desa ini adalah pantai berbatu dan banyak terdapat sumber mata air disepanjang pantai yang digunakan oleh masyarakat sebagai kebutuan sehari-hari. Tumbuhan yang dapat tumbuh di desa ini adalah merupakan kelompok tanaman yang mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 15 -
tinggi dengan tingkap penyerapan air yang maksimal pula seperti jambu mete, kelapa, mangga, sukun dan tanaman keras lainnya. Sedangkan kelompok tanaman lainnya adalah ilalang (rerumputan), ubi, jagung, pisang juga ditemukan di beberapa tempat yang cukup subur. Desa Makoro Desa Makoro merupakan salah satu dari sembilan desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Binongko dan memiliki wilayah paling luas di kecamatan tersebut. Luas wilayah desa ini yaitu 15,18 km² atau 16, 31 % dari luas Kecamatan Binongko. Batas wilayah Desa Makoro yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Rukuwa, sebelah timur dengan Desa Rukuwa, sebelah selatan dengan Kelurahan Taipabu dan sebelah barat dengan Laut Banda. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke dalam 3 dusun yakni Dusun Pohon Batu, Dusun Bante dan Dusun Lontoi. Jarak Desa Makoro dari pusat Kecamatan Binongko (Rukuwa) yaitu 12 km. Keadaan topografi desa yakni berupa perbukitan dan wilayah pantai. Wilayah daratan umumnya berada pada ketinggian 0 – 500 m dari permukaan laut. Stuktur tanah kurang begitu subur oleh karena mengandung endapan pasir, pecahan karang yang terbentuk dalam proses yang cukup lama, sehingga membentuk stuktur batuan yang cukup keras (cadas). Vegetasi utama yang ditemukan umumnya adalah sukun, kelapa, nangka, pisang, ubi yang kurang begitu mendapat suplai air tawar yang cukup mengingat wilayah Pulau Binongko pada umumnya untuk suplai air tawar sangat sukar di peroleh. Desa Waloindi Desa Waloindi merupakan salah satu dari lima desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Togo Binongko. Luas wilayah desa ini adalah 9,35 km² dengan batas wilayah yakni sebelah utara dengan Desa Oihu, sebelah timur dengan Desa Wali, sebelah selatan dan barat dengan laut. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke dalam 2 dusun yakni Dusun Molle dan Dusun Sampua Taepa. Desa Waloindi berjarak kurang lebih 9 km dari pusat Kecamatan Togo Bionongko (Popalia). Dilihat dari topografinya, sebagian besar wilayah Desa Waloindi adalah perbukitan, di mana di belakang desa ini merupakan hamparan batu berbukit-bukit. Pada
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 16 -
daerah yang berbukit-bukit tersebut umumnya digunakan oleh penduduk setempat untuk berkebun tanaman keras, ubi kayu dan jagung. Sedangkan keadaan dalam kampung ini pada umumnya adalah halaman berbatu cadas, sehingga tumbuhan yang ditemukan hanya kelapa, nangka, mangga, sukun dan lemon (tanaman keras). Namun beberapa tanaman lain seperti pisang, pepaya, keladi, ubi hutan, dapat juga tumbuh subur di wilayah ini. Ada mintakat yang kecil di dekat perbatasan dengan Desa Ohiu dan dekat Tanjung Haka, ditemukan hamparan pasir putih, kira-kira berjarak ± 200 meter. Dan, lebih agak ke dalam pantai sekitar tanjung tersebut ditemukan ekosistem hutan bakau (mangrove) yang masih asli dengan tingkat kepadatan yang tinggi, diameter batang 60 cm dan tinggi pohon ± 10 meter. Menurut keterangan tokoh adat dan pemuka masyarakat daerah ini sudah masuk dalam kaombo (larangan) masyarakat Waloindi, karena menghindari intervensi manusia. II.2. Potensi Sumberdaya Alam II.2.1. Kabupaten Wakatobi Sumberdaya Daratan Sebagian besar lahan produktif di Kabupaten Wakatobi diusahakan untuk pertanian, walaupun kondisi tanahnya kurang subur karena sebagian besar kondisi tanahnya berupa batu karang dilapisi tanah yang tipis. Makanya itu tak ada masyarakat yang mengusahakan tanaman padi. Namun begitu, ada beberapa tanaman bahan makanan yang dapat tumbuh dan menjamin keberlangsungan hidup penduduk di daerah ini. Tanaman tersebut masuk ke dalam kategori tanaman palawija yakni jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah. Akan tetapi meskipun dapat berproduksi, tetapi produktivitas tanaman tersebut sebagian besar relatif rendah karena kondisi tanah dan ketersediaan air yang kurang mendukung untuk pertumbuhan. Sumber pengairan untuk tanaman yang diusahakan oleh masyarakat hanyalah berasal dari air hujan. Berdasarkan data dari BPS Wakatobi (2009) bahwa untuk tahun 2008 dari 5 jenis tanaman palawija yang diusahakan di Kabupaten Wakatobi, tanaman ubi kayu masih menjadi tanaman yang paling tinggi produksinya, dimana pada tahun 2008 ini mengalami peningkatan dari 50.776,8 ton pada tahun 2007 menjadi 60.299 ton di
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 17 -
tahun 2008, diikuti oleh produksi jagung sebesar 855,0 ton pada tahun 2007 menjadi 1,044 ton di tahun 2008. Kemudian ubi jalar mengalami penurunan produksi dari 548,0 ton di tahun 2007 menjadi 307,4 ton pada tahun 2008, sedangkan produksi kacang tanah hanya mengalami peningkatan dari 20,2 ton di tahun 2007 menjadi 44,01 ton di tahun 2008. Sementara itu untuk padi sawah, padi ladang, kacang kedelai dan kacang hijau tidak menghasilkan produksi. Dari sekian ton produksi ubi kayu di tahun 2008 tersebut, daerah yang paling luas panen produksinya adalah Kecamatan Kaledupa selatan yang mencapai 485 ha. Ini disebabkan oleh karena makin berkurangnya lahan yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pertanian, beralih fungsi untuk kegiatan pemukiman. Tanaman buah-buahan di Kabupaten Wakatobi terdiri dari beberapa komoditi, seperti alpukat, belimbing, duku/langsat, jambu biji, jambu air, jeruk, mangga, nangka/cempedak, nenas, pepaya, pisang, sirsak dan sukun. Pada tahun 2008 produksi buah-buahan yang terbanyak dihasilkan oleh tanaman mangga yaitu sebanyak 4.249 kw, diikuti pisang sebanyak 1.964 kw, sementara itu komoditas duku/langsat, durian, manggis, salak, sawo, melinjo dan petai tidak menghasilkan produksi selama 2008 (BPS, 2009). Produksi tanaman sayur–sayuran semusim di Kabupaten Wakatobi terdiri dari bawang merah, kubis, petai/sawi, kacang merah, kacang panjang, cabe, tomat, terung, ketimun, labu, kangkung dan bayam. Pada tahun 2008, produksi sayursayuran terbanyak adalah pada komoditi kacang panjang sebanyak 863,8 kw menyusul bayam sebanyak 516,8 kw menyusul bawang merah sebanyak, 336,6 kw dan bayam sebanyak 241,2 kw. Beberapa komoditas sayur dan buah tidak menghasilkan produksi seperti bawang putih, daun bawang, kentang, kubis, wortel, lobak, melon dan semangka (BPS, 2009). Tahun 2007, Komoditi tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan di Kabupaten Wakatobi terdiri dari aren/enau, asam jawa, cengkeh, jambu mete, coklat/kakao, kapuk, kelapa dalam, kelapa hibrida, kemiri, kopi, dan pala. Dari sejumlah komoditi tanaman perkebunan tersebut, komoditi yang paling luas arealnya adalah tanaman kelapa dalam seluas 3.513 ha, kemudian jambu mete seluas 676 ha, dan kakao seluas 70 ha. Sedangkan komoditi yang memiliki areal terkecil adalah tanaman pala dan kemiri yaitu hanya 6 ha. Pada tahun 2008 produksi perkebunan rakyat yang
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 18 -
terbanyak adalah kelapa dalam yaitu sebanyak 2.368 ton, diikuti oleh jambu mete sebanyak 122 ton, dan kakao sebanyak 34 ton. Sedangkan yang terendah produksinya adalah tanaman aren/enau dan lada, yang mana pada tahun 2008 ini tidak terdapat produksi. Sumberdaya Laut (Perikanan dan Kelautan) Berdasarkan data yang bersumber dari BPS Kabupaten Wakatobi (2009) menunjukan bahwa produksi hasil laut menurut jenisnya per kecamatan belum menunjukan rincian yang jelas terhadap komoditi setiap jenisnya. Dari tabel II.1 secara umum hanya terlihat
produksi perikanan laut, sementara perikanan
budidaya seperti data tahun 2007 tidak tercantum. Berdasarkan data tersebut Kecamatan Binongko memberikan kontribusi besar terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten Wakatobi yang mencapai 983,2 ton kemudian Kecamatan WangiWangi Selatan 631,9 ton pada tahun 2008. Secara keseluruhan produksi perikanan laut Kabupaten Wakatobi di tahun 2008 mencapai 3.985,7 ton. Kondisi ini memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan dengan produksi di tahun 2007 yang mencapai 14.849,77 ton. Namun jelas produksi di tahun 2008 tersebut belum ada data yang tersedia khusus untuk perikanan budidaya. Tabel II.1 Produksi Hasil Laut Menurut Jenisnya Per Kecamatan 2008 (ton) Kecamatan
Perikanan Laut
Perikanan Budidaya Laut Tambak Mabe Rumput Laut
Jumlah
Binongko
983,2
0
0
0
983,2
Togo Binongko Tomia
0 550,7
0 0
0 0
0 0
0 550,7
Tomia Timur Kaledupa
484,6 451,5
0 0
0 0
0 0
484,6 451,5
Kaledupa Selatan Wangi-Wangi
457,8 426
0 0
0 0
0 0
457,8 426
631,9 3.985,7
0 0
0 0
0 0
631,9 3.985,7
Wangi-Wangi Selatan Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi/Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009
Berdasarkan tabel II.2 menyajikan jumlah produksi hasil laut Kabupaten Wakatobi untuk tahun 2007 sebagaimana yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten Wakatobi
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 19 -
yang mengolahnya dari data Dinas Kelautan dan Perikanan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah total dari produksi hasil laut yang tercatat pada tahun 2007 baik komoditi tangkapan maupun budidaya adalah sebesar 14.849,77 ton. Pada saat pembuatan data dasar kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap II tersebut, besar produksi untuk ke enam komoditi tersebut hanya mencapai 907,04 ton. Adanya peningkatan yang signifikan ini dalam rentang waktu hanya dua tahun kiranya berhubungan dengan kualitas pendataan yang belum dilaksanakan dengan baik pada tahun 2005 dimana pada saat itu pelayanan pemerintahan masih terfokus pada upaya penataan satuan kerja perangkat daerah, pemilihan kepala daerah dan penyiapan sarana dan prasarana layanan publik. Dari jumlah produksi hasil laut Tahun 2007, produksi terbesar adalah komoditi rumput laut yang besarnya 10.917,30 ton atau 73,5% dari total produksi tahun 2007. Komoditi terbesar kedua produksinya adalah ikan pelagis yang besar produksinya adalah 2.270,80 ton. Sedangkan yang paling kecil produksinya adalah teripang yang besarnya hanya 49,57 ton atau 0,3% dari total produksi. Kondisi ini berbeda dengan pada saat dilakukan pembuatan data dasar kondisi sosial ekonomi masyarakat lokasi Coremap II di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2006 dimana pada saat itu jumlah produksi ikan pelagis adalah 670,89 ton, jauh diatas jumlah produksi rumput laut yang hanya mencapai 118,65 ton (Hidayati, 2007). Perbedaan kondisi ini kiranya menggambarkan semakin meningkatnya minat masyarakat melakukan kegiatan budidaya rumput laut dibandingkan kegiatan penangkapan ikan, apalagi pada tahun 2007 harga rumput laut lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga rumput laut di tahun 2006 yang menyebabkan banyak masyarakat beralih dari kegiatan perikanan tangkap ke kegiatan budidaya rumput laut. Namun walaupun jumlah produksi rumput laut tahun 2007 relatif lebih besar daripada produksi hasil laut lainnya, tetapi jumlah produksi perbulannya masih jauh dibawah besaran estimasi potensi produksi yang dapat dihasilkan dari perairan Wakatobi yakni 3000-4000 ton per bulan.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 20 -
Tabel II.2 Produksi Hasil Laut Menurut Jenisnya Setiap Bulan 2007 Bulan
Pelagis
Dasar
Jenis Hasil Laut (ton) Teripang Sunu Gurita
Rumput Laut
Jumlah
Januari
123,00
128,50
3,24
6,48
4,34
923,40
1.188,96
Februari
188,40
119,50
3,35
6,30
4,75
914,50
1.236,80
Maret
204,40
121,50
3,43
6,70
4,67
954,00
1.294,70
April
210,00
120,80
4,22
7,19
4,38
965,70
1.312,29
Mei
216,60
126,30
4,52
7,09
4,57
881,60
1.240,68
Juni
212,40
124,00
4,31
7,08
4,37
878,00
1.230,16
Juli
169,20
109,70
4,01
6,29
4,08
868,50
1.161,78
Agustus
180,00
113,50
3,83
6,68
3,98
870,30
1.178,29
September
193,80
117,80
4,72
6,98
4,75
894,60
1.222,65
Oktober
199,80
124,60
4,82
7,40
5,05
926,10
1.267,77
November
207,00
134,40
5,21
15,70
5,44
943,30
1.311,05
Desember
166,20
125,30
3,91
7,38
4,55
897,30
1.204,64
2.270,80
1.465,90
49,57
91,27
54,93
10.917,30
14.849,77
Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi, 2008
Adapun produksi hasil laut menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel II.3 Dari tabel tersebut terlihat bahwa kecamatan yang paling banyak produksinya adalah Kecamatan Kaledupa Selatan dengan jumlah produksi 3.394,30 ton atau 22,86% dari total produksi, kemudian menyusul Kecamatan Kaledupa dengan jumlah produksinya yang hampir menyamai jumlah produksi Kecamatan Kaledupa Selatan yakni sebesar 3.155,20 ton atau 21,25% dari total produksi. Dari tabel II.3 juga terlihat perbedaan produksi rumput laut yang signifikan antara kecamatan Kaledupa dan Kecamatan Wangi-Wangi dimana kemampuan produksi rumput laut Kecamatan Kaledupa mencapai 2.702,90 ton .
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 21 -
Tabel II.3 Produksi Hasil Laut Menurut Jenisnya Per Kecamatan, 2007 (Ton) Kecamatan
Ikan Pelagis
Ikan Dasar
Ikan Sunu
Teri pang
Gurita
Rumput Laut
Persen tase
Jumlah
Binongko
884,40
85,70
0,00
3,80
0,00
225,00
1.198,90
8,07
Tomia
226,20
281,60
16,70
8,70
9,30
1.478,70
2.021,20
13,61
Tomia Timur
210,00
236,50
6,90
7,30
11,90
2.163,70
2.636,30
17,75
Kaledupa
256,20
166,80
16,70
5,20
7,40
2.702,90
3.155,20
21,25
Kaledupa Selatan
222,00
205,10
15,00
7,40
12,60
2.932,20
3.394,30
22,86
Wangi-Wangi
175,20
201,20
20,07
8,37
4,23
0,00
409,07
2,75
Wangi-Wangi Selatan
296,80
289,00
15,90
8,80
9,50
1.414,80
2.034,80
13,70
2.270,80
1.465,90
91,27
49,57
54,93
10.917,30
14.849,77
100
Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi, 2008
Tabel II.4 Produksi Hasil Laut di Kabupaten Wakatobi Tahun 2005 Produksi (kg) Kecamatan Jenis Produksi Tongkol Layang Ikan dasar Tuna Teripang Gurita Rumput laut Total Persentase
WangiWangi 1.083 14.903 48.521 7.561 588 7.427 85.294 165.377 18,23
WangiWangi Selatan 1.005 11.481 1.242 985 2.434 9.847 26.994 2,98
Kale dupa
Tomia
100 7.260 2.123 137 1.005 23.506 34.131 3,76
30.950 430.320 42.085 709 504.064 55,57
Binongko 176.470 176.470 19,46
Total 32.133 629.958 104.210 8.803 1.710 11.575 118.647 907.036 100,00
Sumber : CRITC-LIPI, 2007
Laut merupakan sumberdaya potensial dalam pengembangan sektor perikanan. Dalam sektor perikan dikenal perikanan budidaya dan perikanan tangkap, salah satu komoditi perikanan budidaya adalah agar-agar, pada tahun 2008 sebanyak 29,39 ribu ton komoditi agar-agar yang diperdagangkan atar pulau atau setara dengan 290.964,01 juta rupiah. Sedangkan komoditi perikanan tangkap yang diperdagangkan adalah ikan tuna, gurita dan ikan dasar. Tahun 2008, ikan tuna merupakan komoditri dengan volume perdagangan terbesar yakni sebanyak
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 22 -
1.025,20 ton dengan nilai perdagangan sebesar 40.790,97 juta rupiah (Dinas PerinDagKop Kab. Wakatobi, 2009)
Gambar II.3 Komoditi Perikanan Tangkap di Kabupaten Wakatobi 2008
Pariwisata Salah satu kebanggan penduduk Wakatobi adalah posisi Wakatobi sebagai pertemuan segitiga karang dunia sehingga icon “Surga Nyata Bawah Laut” melekat pada kabupaten ini. Dengan kondisi seperti itu, pariwisata di Wakatobi menjadi sektor
andalan
yang
terus
dikembangkan.
Demi
mensukseskan
upaya
pengembangan pariwisata, Pemda Kabupaten Wakatobi terus melakukan upaya promosi baik skala lokal, nasional hingga ke mancanegara dengan berbagai macam cara yang dilakukan berbagai macam media mulai dari pamflet, baliho, leaflet, pembuatan video, lomba foto bawah air dan menggandeng salah satu ikon foto model terkenal untuk menjadi duta pariwisata Kabupaten Wakatobi. Tetapi tampaknya upaya promosi tersebut belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Terbukti kegiatan kepariwisataan masih dipegang oleh dua operator lama yakni Operation
Wallacea
dan
Wakatobi
dive
resort.
Disamping
itu,
kegiatan
kepariwisaataan belum dimasukkan sebagai salah satu penyumbang dalam neraca Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Wakatobi untuk tahun 2007 yang berarti penerimaan daerah dari sektor ini masih belum diperhitungkan. Pariwisata merupakan salah satu potensi unggulan yang dapat dikembangkan secara lebih luas di Kabupaten Wakatobi. Dari berbagai sumber yang ada, Hidayati
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 23 -
(2007) merangkum potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Wakatobi sebagai calon daerah kunjungan wisata (DTW) yang beberapa diantaranya ialah memiliki 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies yang beraneka bentuk, memiliki 90.000 hektar terumbu karang, memiliki atol tunggal yang terpanjang di dunia, memiliki jumlah keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, memiliki 900 jenis ikan yang ada di dunia dan lima tipe komunitas ekologi. Kepulauan ini juga meiliki keunikan pada beberapa lokasi terumbu karangnya yakni banyaknya ditemukan lokasi terumbu bertubir curam (drop off) yang dapat menantang adrenalin para petualang untuk menikmatinya. Adapun aktivitas kepariwisataan yang dapat dilakukan di kepulauan ini ialah snorkling, diving, pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur dan camping. Berdasarkan sumber terbaru, pada tahun 2007, jumlah kunjungan wisatawan manca negara mencapai 977 orang sedangkan wisatwan nusantara mencapai 137 orang. Kondisi wisatawan manca negara mengalami penurunan sebesar 29,47 % di banding tahun 2006 sedangkan wisatawan nusantara naik sebesar 8,73 % di banding sebelumnya di tahun 2006. Salah satu sarana pendukung jasa pariwisata adalah perhotelan yang tersedia di setiap kecamatan atau site-site obyek wisata. Tabel II.5 Banyaknya Hotel/Penginapan dan Tamu yang Berkunjung Menurut Kecamatan di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8
Binongko Togo Binongko Tomia Tomia Timur Kaledupa Kaledupa Selatan Wangi-Wangi Wangi-Wangi Selatan
Jumlah Hotel 0 0 2 1 176 0 8 11
Jumlah Tamu 0 0 0 0 1395 0 660 1202
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Wakatobi
Keberagaman potensi pariwisata yang ada dalam wilayah Kabupaten Wakatobi adalah merupakan ciri khas dan keunikan tersendiri yang dimiliki oleh daerah ini, mulai dari keragaman obyek wisata alam, bahari kekayaan khasanah sejarah,
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 24 -
hingga berbagai keunikan seni budaya yang menjadikan Kabupaten Wakatobi berpotensi untuk dikembangkan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) dimasa yang akan datang. Produk wisata adalah segala sesuatu baik fisik maupun non fisik yang berhubungan dengan potensi alam, bahari,seni, budaya, dan kebiasaan penduduk serta potensi lainnya yang dapat menarik minat dan memberikan kesan bagi wisatawan dalam suatu perjalanan wisata. Produk wisata yang ada di Kabupaten Wakatobi berupa obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Kabupaten Wakatobi mempunyai berbagai ODTW yang tersebar pada setiap wilayah Kecamatan. Berdasarkan hasil survey dapat dikatakan bahwa ODTW yang ada relatif bervariasi dan cukup banyak, namun masih perlu untuk dikembangkan membutuhkan pengelolaan yang lebih professional, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Adapun obyek dan daya tarik wisata di Kabupaten Wakatobi terdiri dari obyek wisata bahari, obyek wisata alam, obyek wisata sejarah, dan obyek wisata budaya. Walaupun pariwisata merupakan salah satu potensi daerah yang banyak dikembangkan, peluang pengembangan pariwisata di kabupaten ini bukannya tidak memilki tantangan. Salah satunya adalah ancaman degradasi lingkungan. Ancaman ini berasal dari masih adanya kegiatan penambangan pasir dan batu karang yang dapat menurunkan kualitas terumbu karang dan pulau yang merupakan daerah tujuan wisata banyak wisatawan. Batu karang dan pasir biasa digunakan sebagai bahan untuk pondasi rumah, jalan, maupun penutup pantai sehingga terbentuk daratan. Disamping untuk memenuhi kebutuhan sendiri, penambangan batu karang dan pasir juga dilakukan oleh sebagian masyarakat sebagai mata pencaharian dengan cara menjual ke penampung material yang kemudian akan menjualnya kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Penggunaan batu karang untuk bangunan disebabkan sulitnya mendapatkan batuan gunung sebagai bahan bangunan. Olehnya itu, kegiatan ini dapat dikurangi jika keberadaan batu gunung mudah didapatkan oleh masyarakat yang akan melakukan kegiatan pembangunan. Sementara pemanfaatan pasir dari lingkungan Kabupaten Wakatobi harus selalu dipantau mengingat kegiatan ini dapat menurunkan kualitas lingkungan daratan khususnya daerah pantai yang kerap menjadi andalan wisata Kabupaten Wakatobi. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah abrasi akibat kegiatan penambangan pasir dan kerusakan pantai lainnya yaitu membangun penahan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 25 -
ombak di senjang pesisir pantai yang rentan terhadap kerusakan khususnya di daerah yang berpotensi cukup baik untuk pengembangn pariwisata seperti di pesisir Pantai Waha.
Gambar II.4 Pembangunan Penahan Ombak Untuk Mencegah Abrasi di Pesisir Pantai Waha Selain penggunaan langsung batu karang oleh masyarakat, ancaman kerusakan karang juga disebabkan oleh masih adanya penggunaan bahan yang merusak dalam kegiatan penangkapan seperti penggunaan akar tuba. Penggunaan bahan kimia alami ini masih terjadi di Kabupaten Wakatobi seperti yang ditemukan di beberapa lokasi penelitian khususnya seperti yang terjadi di Kelurahan Wandoka dan Desa Mola Selatan. II.2.2. Lokasi Penelitian Desa Waha Sebagaimana halnya Kelurahan Wandoka, Desa Waha juga memiliki sumberdaya laut dan darat. Sumberdaya darat yang terdapat di desa ini adalah tanamantanaman yang masuk kategori tanaman palawija (ubi kayu, jagung dan kacang tanah), tanaman perkebunan (kelapa dan jambu mete) dan tanaman buah-buahan. Kelurahan Wandoka Kelurahan Wandoka memiliki sumberdaya darat dan sumberdaya laut. Sumberdaya daya darat ini berupa tanam-tanaman yang termasuk kategori tanaman palawija (ubi kayu dan jagung) dan tanaman perkebunan. Masyarakat Kelurahan Wandoka juga
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 26 -
banyak yang memanfaatkan lahannya untuk menanam buah-buahan seperti mangga dan jambu. Desa Mola Selatan Desa Mola Selatan merupakan desa yang sepenuhnya menggantungkan perekonomian masyarakatnya pada sumberdaya laut. Ini dikarenakan lahan desa merupakan lahan yang dibentuk dengan cara menimbun laut menggunakan batu karang sehingga tidak bisa ditanami oleh tanaman apapun. Untuk memaksimalkan lahan yang dimiliki, beberapa penduduk melakukan kegiatan budidaya ikan di kolong rumah yang masih berupa perairan. Desa Balasuna Desa Balasuna memiliki karakteristik daerah yang mayoritas penduduknya memiliki ketergantungan yang besar pada sumberdaya laut baik sebagai daerah sumber ikan maupun untuk kegiatan budidaya rumput laut sebagai salah satu mata pencaharian yang terus berkembang di Kabupaten Wakatobi. Selain itu dari sektor perikanan juga sangat terbatas oleh karena wilayah tangkapan hanya pada perairan dangkal (di sekitar desa). Sedangkan dari sektor pertanian hanya pada tanaman umbiumbian sehingga aktivitas perekonomian di desa ini sangat dipengaruhi oleh 2 aktivitas tersebut. Desa Langge Desa Langge memiliki karakteristik daerah yang sedang berkembang. Ini dikarenakan Desa Langge merupakan pusat kecamatan yang sumber pendapatan masyarakatnya telah bervariasi diantaranya adalah nelayan, budidaya rumput laut, pedagang dan petani. Sebagai konsekuensi dari wilayah pusat kecamatan, maka sarana dan prasarana yang dibangun melalui program pemerintah, masyarakat (swadaya) mengalami kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya. Desa Lamanggau Desa Lamanggau merupakan desa yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya pada laut, disamping itu desa ini berada dan berbatasan langsung dengan Wakatobi Dive Resort yang setiap saat dikunjungi oleh wisatawan mancanegara.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 27 -
Dengan demikian faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat setempat. Kelurahan Patipelong Kelurahan Patipelong menggambarkan wilayah yang memiliki akses terdekat dengan pusat keramaian dari pusat Kecamatan Tomia Timur (Usuku). Namun meski memiliki akses dengan pusat kecamatan, kehidupan masyarakat umumnya juga masih bergantung pada laut dan pertanian tradisional namun kondisi ekosistem di desa ini tetap terjaga dengan baik oleh masyarakat. Salah satu sarana penting di wilayah ini adalah adanya bandara yang diperuntukan bagi wisatawan Wakatobi Dive Resort. Desa Makoro Desa Makoro merupakan wilayah pemekaran dari desa Taipabu sebagai pusat kecamatan dimana umumnya masyarakat beraktivitas sebagai nelayan, namun juga mengandalkan pertanian, peternakan, tukang kayu dan pandai besi. Desa Waloindi Desa Waloindi merupakan wilayah yang kondisi perekonomian penduduknya masih sangat terbatas oleh karena sarana dan prasarana pendukung di desa ini masih sangat terbatas. Ketergantungan ekonomi masyarakat cukup tinggi pada ekosistem pesisir dan laut. Namun disisi lain masyarakat juga bergantung pada pertanian, peternakan, tukang kayu dan pandai besi. II.3. Kependudukan II.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Berdasarkan angka resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2009), jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi pada tahun 2008 adalah 101.475 jiwa yang terbagi ke dalam 26.455 RT atau dalam satu RT rata-rata terdapat 4 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun 2007 (T1), jumlah ini meningkat 1.983 jiwa dan meningkat sebanyak
3.295 jiwa dibandingkan tahun 2006 (T0). Adapun
perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan di Kabupaten Wakatobi pada tahun
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 28 -
2008 adalah laki-laki 49.259 jiwa (48,54%) dan perempuan berjumlah 52.216 jiwa (51,45%). Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan yaitu 26.596 jiwa disusul Kecamatan Wangi-Wangi yang mencapai 24.053 jiwa, sedangkan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Togo Binongko yang hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 4.899 jiwa. Kepadatan penduduk di tahun 2008 tertinggi terdapat di Kecamatan Kaledupa 236 jiwa sama seperti tahun sebelumnya 234 jiwa dan terendah di Kecamatan pemekaran baru yaitu Togo Binongko 78 jiwa. Adapun laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tomia yang dapat mencapai rata-rata 11.54 jiwa. Data riil jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk dapat di lihat pada tabel II.6 berikut : Tabel II.6 Kepadatan Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan 2007 – 2008 Kecamatan
Luas (Km2)
(1)
(2)
Penduduk 2007 2008 (3)
Kepadatan 2007 2008
(4)
(5)
(6)
Laju Pertumbuhan (7)
1
Binongko
93,10
10.756
10.622
116
114
-1.25
2
Togo Binongko
62,90
5.265
4.899
84
78
-6.95
3
Tomia
47,10
6.143
6.852
130
145
11.54
4
Tomia Timur
67,90
10.128
9.964
149
147
-1.62
5
Kaledupa
45,50
10.668
10.741
234
236
0.68
6
Kaledupa Selatan
58,50
7.790
7.748
133
132
-0.54
7
Wangi-wangi
241,98
23.572
24.053
97
99
2.04
8
Wangi-wangi Selatan
206,02
25.170
26.596
122
129
5.67
823,00
99.492
101.475
121
123
1.99
Jumlah
Sumber : Proyeksi Hasil SUPAS 2008, BPS Wakatobi 2009
Komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Wakatobi tahun 2008 tertinggi terdapat pada kelompok umur 5 – 9 tahun yaitu 12.838 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 6.842 jiwa dan perempuan 6.356 jiwa. Berikutnya adalah kelompok umur 10 – 14 tahun yaitu 12.210 jiwa dengan komposisi jenis kelamin laki-laki 6.385 jiwa dan perempuan 5.825 jiwa. Sedangkan komposisi penduduk terendah terdapat pada kelompok umur 55 – 59 tahun dengan jumlah penduduk 2.243 jiwa dengan rincian 1.095 jiwa laki-laki dan sisanya
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 29 -
sebanyak 1.148 jiwa adalah perempuan. Data riil komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Wakatobi tahun 2008 dapat di lihat pada tabel II.7 berikut : Tabel II.7 Distribusi Jumlah Penduduk Kabupaten Wakatobi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2008 KELOMPOK UMUR (1) 0 - 4 5 - 9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 + JUMLAH
JENIS KELAMIN LAKI-LAKI PEREMPUAN (2) (3) 5.724 4.608 6.482 6.356 6.385 5.825 4.919 5.552 3.010 3.476 2.910 4.679 3.120 3.960 3.587 3.375 3.236 2.973 2.654 2.604 2.234 2.344 1.095 1.148 1.195 1.457 2.708 3.859 49.259 52.216
JUMLAH (4) 10.332 12.838 12.210 10.471 6.486 7.589 7.080 6.962 6.209 5.258 4.578 2.243 2.652 6.567 101.475
Sumber Proyeksi Hasil SUPAS 2008, BPS Kab. Wakatobi 2009
Adapun jumlah penduduk yang mencakup 9 desa/kelurahan di lokasi penelitian Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi tahun 2009 memperlihatkan bahwa di Desa Mola Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak di antara desa/kelurahan yang menjadi lokasi survey yaitu mencapai 1.891 jiwa di susul Desa makoro 1.554 jiwa. Jumlah penduduk terendah dari keseluruhan lokasi survey terdapat di Desa Waloindi yang hanya mencapai 582 jiwa. Data riil jumlah penduduk di lokasi survey dapat di lihat pada tabel II.8 berikut :
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 30 -
Tabel II.8 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di 9 Desa/Kelurahan Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, 2009
Kelompok Umur 0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 + JUMLAH
Waha 117 147 141 128 82 86 84 82 73 63 51 25 27 73 1.179
Wandoka
Mola Selatan
Balasuna
Langge
Lamanggau
Patipelong
Makoro
Waloindi
Jumlah
144 181 174 158 101 107 103 100 90 77 62 30 34 91 1.452
187 236 223 208 130 140 132 130 120 99 77 39 47 123 1.891
92 125 122 81 58 69 79 73 66 54 59 28 37 75 1.015
100 126 117 74 49 61 64 60 55 42 48 25 33 83 937
88 104 95 82 47 69 47 50 51 46 38 16 21 61 815
143 175 166 151 79 123 96 95 88 77 68 32 39 104 1.434
175 207 195 172 104 123 112 110 82 74 65 33 31 71 1.554
66 78 73 64 39 46 41 41 31 27 25 12 12 27 582
1.111 1.378 1.306 1.117 688 824 758 742 656 558 492 239 282 708 10.860
Sumber : Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi (T2), 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
31
Berdasarkan tabel tersebut di atas jelas menggambarkan bahwa distribusi penduduk tertinggi menurut kelompok umur di 9 desa/kelurahan lokasi penelitian dimiliki oleh kelompok umur 5 – 9 tahun yang mencapai sekitar 1.378 jiwa atau 12,69 % dari totsl jumlah penduduk di lokasi survey. Sedangkan terendah yaitu terdapat pada kelompok umur 55 – 59 tahun yang hanya mencapai 239 jiwa atau sekitar 2,21 %. II.3.2. Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Penduduk usia 15 tahun ke atas bila di tinjau dari segi ketenagakerjaan merupakan penduduk usia kerja. Pada tahun 2008, penduduk usia kerja sebanyak 71.690 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 34.150 jiwa (47,64 %) dan perempuan sebanyak 37.540 jiwa (52,36 %). Dari penduduk usia kerja tersebut di atas terdapat angkatan kerja sebesar 50.697 jiwa. Angkatan kerja ini terdiri dari 48.018 jiwa (66,98 %) dari (penduduk usia kerja) penduduk yang bekerja dan 5,28 % penduduk yang menganggur. Penduduk bukan angkatan kerja sebanyak 20.993 jiwa atau 29,28 % terhadap usia kerja. Penduduk bukan angkatan kerja terdiri dari bersekolah 6.774 jiwa (9,45 %), mengurus rumah tangga 9.935 Jiwa (13,86 %) dan lainnya sebesar 4.284 jiwa (5,98 %). Bila dibandingkan dengan tahun 2007, maka usia produktif di tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 365 jiwa atau sebesar 0,51 % dimana pada tahun 2007 usia produktif mencapai 72.055 jiwa. Dari jumlah penduduk usia produktif tersebut, jumlah yang bekerja mengalami peningkatan di tahun 2008 sebesar 2.558 jiwa (5,70 %) dimana pada tahun 2007 penduduk yang bekerja sebanyak 45.430 jiwa atau 45,66% dari total penduduk (99.492 jiwa). Persentase penduduk yang bekerja ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk Wakatobi yang bekerja pada saat diadakan sensus penduduk tahun 2000 (jumlah penduduk 87.793 jiwa) yakni 43,81% atau 38.460 jiwa. Pertambahan yang besar dari jumlah penduduk yang bekerja ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya perubahan status Wakatobi menjadi kabupaten di Tahun 2003. Hal ini terlihat dari Tabel II.9 dimana pada kedua tabel tersebut jumlah penduduk yang bekerja pada sektor jasa pada tahun 2000 hanyalah 8.461 jiwa sedangkan pada tahun 2007, jumlah tersebut meningkat menjadi 14.239 jiwa dan di tahun 2008 turun menjadi 14.103 jiwa, namun untuk sektor pertanian mengalami peningkatan cukup signifikan di tahun 2008 menjadi 29.953 jiwa dari 26.880 jiwa di
BME-Sosial Ekonomi, 2009
32
tahun 2007. Bila di lihat dari lapangan usaha, maka sektor pertanian (agriculture) merupakan lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu mencapai 29.953 jiwa atau 62 %, disusul sektor service yaitu 14.103 jiwa atau 29 % kemudian manufacture yaitu 3.872 jiwa atau 8 % dan terkecil lainnya yang hanya 90 jiwa atau 1 %. Tabel II.9 Jumlah Penduduk Kabupaten Wakatobi yang Bekerja Berdasarkan Sektor Usaha untuk Tahun 2000, Tahun 2007 dan Tahun 2008 Sektor
2000 Jumlah Persentase
2007
2008
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
A
26.922
70
26.880
59
29.953
62
M
692
2
4.311
9
3.872
8
S
8.461
22
14.239
31
14.103
29
Lainnya
2.385
6
-
-
90
1
38.460
100
45.430
100
48.018
100
Total
Sumber : CRITC-LIPI, 2007dan BPS Wakatobi, 2008 Ket : A (Agriculture) = Pertanian, Nelayan, Pembudidaya, Peternakan M (Manufacture) = Pertambangan, Industri, Listrik, Gas, Air dan Bangunan / Konstruksi S (Service) = Perdagangan, Angkutan, Keuangan, Jasa Perusahaan dan Jasa Perseorangan
Dari jumlah penduduk yang bekerja tersebut agak sukar untuk menentukan berapa jumlah jiwa yang menggantungkan harapan hidupnya pada kegiatan perikanan. Hal ini disebabkan karena umumnya penduduk yang bekerja pada sektor perikanan juga melakukan kegiatan pertanian dengan komoditi bahan makanan dan tanaman perkebunan kecuali masyarakat Suku Bajo yang merupakan suku laut dimana mereka tidak memiliki lahan di darat untuk bisa melakukan kegiatan pertanian. Jadi mereka (masyarakat bajo) sebagian besar hidupnya digantungkan pada kegiatan perikanan. Disamping itu, dari data yang ada pada instansi terkait dalam hal ini Badan Pusat Statistik, kegiatan perikanan masih merupakan subsektor dari sektor pertanian sehingga penghitungan jumlah penduduk yang bekerja di bidang perikanan belum dipisahkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Untuk lokasi penelitian pemantauan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi, distribusi jenis pekerjaan utama yang dijalani oleh responden dapat dilihat pada tabel II.10 berikut :
BME-Sosial Ekonomi, 2009
33
Tabel II.10 Ditribusi Penduduk Sampel menurut Jenis Pekerjaan Utama di Semua Lokasi Penelitian, Kabupaten Wakatobi Tahun 2008 (T1) dan Tahun 2009 (T2) Lapangan pekerjaan Utama
Desa/Kelurahan Sampel Waha
Wandoka 08 09
Mola Selatan 08 09
Balasuna 08 09
Langge 08 09
Lamanggau 08 09
Patipelong 08 09
Makoro 08 09
Waloindi 08 09
08
09
Perikanan Tangkap
64,1
60,5
28,6
27,1
76,3
73,2
37,1
35,6
13,3
21,7
93,9
96,4
41,0
46,0
27,1
34,8
20,0
Budidaya Rumput Laut
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
22,0
86,7
78,3
0,0
0,0
0,0
11,1
0,0
0,0
Pertanian Tanaman Pangan
15,4
18,6
41,8
41,7
0,0
0,0
45,7
39,0
0,0
0,0
0,0
0,0
7,7
4,8
16,7
Perdagangan
7,7
11,6
3,3
3,1
1,3
2,4
2,9
0,0
0,0
0,0
3,0
0,0
5,1
15,9
Transportasi / Angkutan
0,0
0,0
1,1
2,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
5,1
Jasa/Pemerintahan
0,0
0,0
13,2
14,6
0,0
0,0
11,4
1,7
0,0
0,0
0,0
0,0
Bangunan
7,7
7,0
7,7
6,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
3,0
Pertambangan
0,0
0,0
0,0
0,0
22,4
24,4
0,0
0,0
0,0
0,0
Industri Rumah Tangga
2,6
0,0
2,2
3,1
0,0
0,0
2,9
1,7
0,0
Lainnya (Perantau, Pelaut, Dll)
2,6
2,3
2,2
2,1
0,0
0,0
0,0
0,0
Jumlah N
100 39
100 43
100 91
100 96
100 76
100 82
100 35
100 59
Jumlah 08
09
17,7
44,2
43,9
0,0
0,0
5,8
11,1
16,7
14,5
21,5
17,7
16,9
4,2
16,7
21,8
10,1
5,6
6,5
1,6
0,0
0,0
0,0
0,0
0,7
0,5
23,1
14,3
2,1
1,5
5,5
2,5
6,5
4,5
3,6
2,6
1,6
2,1
1,5
12,7
17,7
4,5
4,5
0,0
0,0
5,1
3,2
0,0
0,0
0,0
0,0
4,3
3,6
0,0
0,0
0,0
2,6
0,0
10,4
15,2
16,4
17,7
4,3
4,6
0,0
0,0
0,0
0,0
7,7
1,6
37,5
13,6
9,1
12,7
6,5
3,8
100 30
100 60
100 33
100 55
100 39
100 63
100 48
100 66
100 55
100 79
100 446
100 603
Sumber : Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 dan 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
34
Dari tabel terlihat bahwa pekerjaan utama yang digeluti oleh penduduk di desa sasaran penelitian adalah bervariasi jenisnya. Secara keseluruhan di semua lokasi penelitian menunjukan bahwa di tahun 2009 menunjukan penurunan menjadi 43,9 % dari 44,2 % di tahun 2008 sektor perikanan tangkap masih merupakan sektor yang tertinggi penduduknya menurut jenis pekerjaan. Di sisi lain sektor perikanan budidaya khususnya budidaya rumput laut memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu mengalami peningkatan sebesar 5,3 % dimana pada tahun 2008 saat pengambilan data T1 perikanan budidaya secara keseluruhan di 9 lokasi penelitian hanya mencapai 5,8 % dan meningkat menjadi 11, 1 % di tahun 2009 (T2). Penduduk di Desa Waha juga masih dominan menjadikan perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama yakni sebesar 64,1%. Jumlah ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2009 dimana banyaknya penduduk yang bekerja di bidang perikanan tangkap hanya mencapai 60,5%. Fenomena ini berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang menggeluti bidang pertanian tanaman pangan yang mengalami peningkatan dimana pada tahun 2008, jumlah penduduk yang menjadikan pertanian tanaman pangan sebagai mata pencaharian utama adalah 15,4% meningkat sebesar 3,2 % menjadi 18,6% di tahun 2009. Di Kelurahan Wandoka, jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian tanaman pangan merupakan persentase tertinggi menurut jenis pekerjaan dimana pada tahun 2008 mencapai 41,8% dan di tahun 2009 turun sebesar 0,1% menjadi 41,7%. Selanjutnya fenomena yang terjadi di Desa Mola Selatan sebagai perkampungan Suku Bajo (suku laut), jumlah masyarakat yang menggeluti kegiatan perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama adalah sebanyak 76,3% di tahun 2008 dan turun menjadi 73,2% di tahun 2009. Jumlah inipun juga turun jika dibandingkan pada saat T0 (tahun 2006) dimana jumlah masyarakat yang menggeluti pekerjaan ini adalah sebanyak 77,0%. Penurunan ini kemungkinan dikarenakan ada nelayan perikanan tangkap yang beralih untuk menggeluti kegiatan pertambangan, dimana besarnya sudah mencapai 22,4% di tahun 2008 dan kembali menunjukan grafik peningkatan di tahun 2009 menjadi 24,4%. Kenyataan ini merupakan imbas dari makin banyaknya kegiatan pembangunan yang dilakukan di Pulau Wangi-Wangi yang tentunya makin meningkatkan permintaan atas material-material seperti batu dan pasir.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
35
Kondisi
ini
secara
tidak
langsung
memberikan ruang dan kesempatan bagi penambang pasir untuk menyediakan bahan material tersebut. Olehnya itu patut menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat setempat untuk memikirkan alternatif penyediaan pasir mengingat pasir yang selama ini dipasok dari pulaupulau
dalam
kawasan
Kepulauan
Wakatobi dapat menyebabkan degradasi Gambar II.5 Salah Satu Pemukiman Warga di Desa Mola Selatan
lingkungan. Untuk Desa Balasuna, mata pencaharian utama yang digeluti oleh penduduk adalah pertanian tanaman pangan sebesar 45,70% di tahun 2008,
turun menjadi 39% di tahun 2009. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan perikanan tangkap dimana di tahun 2008
37,1% memperlihatkan penurunan di
tahun 2009 yaitu 35,6%. Penurunan tersebut sejalan dengan meningkatnya usaha budidaya rumput laut dimana pada tahun 2008 dari sampel terpilih tidak ada satupun melakukan aktivitas dimaksud namun pada tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi 22%. Desa Langge fokus pekerjaan utama yaitu pada 2 sektor pekerjaan yaitu perikanan tangkap dan aktivitas budidaya rumput laut. Pada tahun 2008 perikanan tangkap hanya 13,3 % meningkat ditahun 2009 menjadi 21,7%. Namun untuk budidaya rumput laut memperlihatkan penurunan di tahun 2009 menjadi 78,3% dari 86,7% di tahun 2008 saat pengambilan data T1. Seperti Halnya Desa Waha dan Mola Selatan, maka Desa Lamanggau juga menjadikan sektor perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama penduduknya. Berdasarkan sampel terpilih penduduk di lokasi survey sektor perikanan tangkap menunjukan 96,4 % di tahun 2009. Kondisi ini menunjukan peningkatan dari tahun 2008 yang hanya mencapai 93,9%. Di Desa Makoro, pekerjaan utama penduduk tidak didominasi oleh satu lapangan pekerjaan tetapi tersebar di beberapa lapangan pekerjaan di tahun 2008 yakni perikanan tangkap (27,1%), industri rumah tangga (10,4%), pertanian tanaman pangan (16,7%), dan lain-lain (37,5%). Pada tahun 2009 sektor perikanan tangkap mendominasi dan menu jukan peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 34,8%. Sedangkan untuk sektor lainnya mengalami penurunan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
36
cukup drastis menjadi 13,6%. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa Desa Makoro yang merupakan desa yang berada di pesisir Pulau Binongko kehidupan penduduknya tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya laut. Kehidupan dan aktivitas penduduknya sudah mampu melakukan pengembangan usaha yang dapat mengurangi ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya terumbu karang. Berikutnya Desa Waloindi juga menjadikan sektor perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama, hal ini terlihat dengan tingginya persentase penduduk untuk sektor tersebut. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sektor perikanan tangkap di Desa Waloindi di tahun 2009 walaupun menunjukan penurunan dari tahun sebelumnya namun sektor ini masih dominan. II.3.3. Pemilikan dan Penguasaan Aset Produksi Untuk aset produksi di sektor perikanan, aset produksi terbanyak yang dimiliki oleh penduduk yang bekerja di sektor perikanan yaitu masih tetap peralatan tradisional berupa kail (pancing). Ini karena sifat alat tangkap pancing yang penggunaanya dapat dilakukan sendiri oleh nelayan dan juga harga pancing relatif murah dibanding alat tangkap lainnya. Disamping itu, jenis ikan yang dapat ditangkap dengan pancing di Wakatobi umumnya berupa ikan tuna, cakalang dan tongkol yang memiliki nilai jual lebih tinggi daripada ikan-ikan lainnya dan pemasarannya tidaklah terlalu sulit. Kemudahan ini dikarenakan meningkatnya jumlah/banyaknya pembeli dari luar daerah yang siap menampung ikan-ikan tersebut atau juga dapat langsung dipasarkan di pasar lokal setempat. Sedangkan alat tangkap terbanyak kedua yang dimiiliki oleh nelayan Wakatobi adalah jaring, yang mayoritas berupa jaring insang. Jaring merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan di karang. Selain itu terdapat juga nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat tarik, pukat cincin dan bubu namun jumlahnya sangat kecil dibandingkan pemakai pancing dan jaring insang yang jamak digunakan oleh nelayan di Wakatobi (Hidayati dkk, 2007). Dalam hal sarana penangkapan, jenis sarana penangkapan ikan yang paling banyak dimiliki penduduk adalah jukung (lokal: koli-koli) yang merupakan sarana paling sederhana dan harganya cukup murah (Hidayati dkk, 2007). Jukung biasanya hanya digunakan untuk menangkap ikan di laut dangkal karena tidak mampu melampaui ombak besar di laut dalam. Disamping sebagai sarana penangkapan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
37
ikan, jukung biasanya digunakan untuk media transportasi dari satu tempat ke tempat lain. Penduduk yang memiliki kapal dan perahu motor masih sedikit, sebab harga sarana produksi ini cukup mahal. Perahu motor dalam dan tempel biasa digunakan oleh penduduk untuk mencari ikan hingga ke laut dalam. Sarana produksi ini biasa digunakan oleh nelayan penangkap ikan tuna dan cakalang yang tetap melakukan kegiatan penangkapan walaupun pada saat musim gelombang kuat. Adapun jumlah alat penangkapan (aset produksi) per kecamatan menurut sumber yang di peroleh dari data BPS dapat di lihat pada tabel II.11, sedangkan aset produksi yang di peroleh berdasarkan hasil survey pemantauan kondisi sosial ekonomi tahun 2008 di 9 desa dan kelurahan dapat di lihat pada tabel II.12 berikut :
BME-Sosial Ekonomi, 2009
38
Tabel II.11 Jumlah Alat Penangkap Ikan Menurut Jenisnya Per Kecamatan 2005 dan 2008 (Unit) Jenis
Binongko
T.Binongko
Tomia
2005
2008
2005
2008
29
0
0
0
0
5
0
0
Jaring Insang
280
29
0
Jaring Angkat
0
0
0
Pancing
835
131
Perangkap
225 4
Pukat Kantong Pukat cincin
Lainnya
2005
Tomia Timur
Kaledupa
Kal. Selatan
Wangi2
W. Selatan
Jumlah
2008
2005
2008
2005
2008
2005
2008
2005
2008
2005
2008
2005
2008
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
30
0
0
4
0
6
0
4
0
3
0
4
0
4
0
30
0
153
111
0
173
232
144
0
40
240
58
0
17
905
572
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
70
263
70
0
101
153
121
0
80
700
123
0
310
1.951
1.006
24
0
19
2.280
67
0
38
122
21
0
32
0
19
0
48
2.627
268
38
0
25
17
46
0
41
72
54
0
33
24
48
0
122
117
407
Sumber: BPS Kab. Wakatobi, 2008 dan 2009/Dinas Peternakan Kab. Wakatobi, 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
39
Tabel II.12 Jenis Aset Produksi di Lokasi Penelitian Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Tahun 2009 (Unit) Desa/ Kelurahan No
Jenis Aset Produksi
1
Motor Dalam
2
Motor Tempel
3
Perahu Tanpa Motor
4
Karamba
5
Bagan/Kelong
6
Bubu
7
Jaring
8
Pancing
Jumlah
Mola
Waha
Wandoka
Balasuna
Langge
Lamanggau
Patipelong
Makoro
Waloindi
a
64,8
42,3
7,7
19,0
23,1
28,3
6,9
13,0
28,6
29,8
b
35 30,0
11 3,8
2 0,0
4 0,0
3 0,0
15 1,9
2 24,1
3 4,3
4 0,0
79 10,6
18 38,3
1 57,7
0 68,4
0 9,5
0 23,1
1 11,3
7 17,2
1 34,8
0 42,9
28 30,6
23 50,0
15 0,0
13 7,7
2 0,0
3 0,0
6 1,9
5 3,4
8 0,0
6 0,0
81 12,8
30 3,3
0 3,8
2 0,0
0 0,0
0 0,0
1 0,0
1 0,0
0 0,0
0 0,0
34 1,1
2 0,0
1 0,0
0 19,2
0 19,0
0 0,0
0 0,0
0 27,6
0 0,0
0 0,0
3 6,4
0 63,3
0 34,6
5 46,2
4 52,4
0 30,8
0 18,9
8 3,4
0 26,1
0 28,6
17 35,8
a
38 90,0
9 76,9
12 69,2
11 66,7
4 92,3
10 86,8
1 79,3
6 73,9
4 85,7
95 81,5
b
54
20
18
14
12
46
23
17
12
216
a b a b a b a b a b a b
Sumber : Data Primer Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, 2008 Keterangan : a = Persentase penduduk yang memiliki asset b = Jumlah sarana/alat tangkap yang dimiliki
BME-Sosial Ekonomi, 2009
40
III. COREMAP & IMPLEMENTASINYA III.1. Pelaksanaan Coremap II III.1.1. Kabupaten Wakatobi Program Coremap di Kabupaten Wakatobi baru dilaksanakan pada saat Program Coremap Phase II tepatnya di tahun 2005 dengan lokasi sasaran di 12 Desa. Namun saat itu pengelolaan masih dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Buton karena belum siapnya kapasitas lembaga pengelola di Kabupaten Wakatobi yang baru dua tahun terbentuk dan belum memiliki pemerintahan yang definitif. Kemudian di Tahun 2006, pengelolaan Coremap II dilaksanakan secara otonom oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi sendiri dengan jumlah desa binaan bertambah menjadi 16 desa/kelurahan. Mulai Tahun 2007 sampai sekarang jumlah desa binaan Program Coremap bertambah 24 desa menjadi 40 desa yang tesebar di semua kecamatan di Kabupaten Wakatobi dengan rincian : Kecamatan WangiWangi, 5 desa/kelurahan; Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, 8 desa/kelurahan, Kecamatan Kaledupa, 6 desa/kelurahan; Kecamatan Kaledupa Selatan, 5 desa/kelurahan; Kecamatan Tomia, 7 desa/kelurahan; Kecamatan Tomia Timur, 4 desa/kelurahan; Kecamatan Binongko, 3 desa/kelurahan dan Kecamatan Togo Binongko, 2 desa/kelurahan. Hingga pelaksanaan pengambilan data kondisi sosial ekonomi (T2) di tahun 2009 jumlah desa mengalami penambahan sebanyak 23 desa baru. Kelembagaan Coremap di Wakatobi telah berjalan dengan cukup baik yang ditandai oleh terangkatnya 107 tenaga lapangan dengan rincian: Senior Extention and Training Officer (SETO) sebanyak 7 orang, Commnunity Fasilitator (CF) sebanyak 20 orang dan Motivator Desa (MD) yang berjumlah 80 orang dimana setiap satu desa ditempatkan dua orang MD. Disamping itu, lembaga-lembaga pengelola Program Coremap seperti LPSTK dengan keanggotaannya terdiri dari kelompok masyarakat (konservasi, gender dan produksi) dan LKM yang dibentuk di tingkatan desa telah terbentuk di keseluruhan desa binaan Coremap (PMU Coremap II Kab. Wakatobi). Dalam implementasinya, PMU Coremap II Kabupaten Wakatobi telah melaksanakan beberapa kegiatan untuk mendukung program rehabilitasi dan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 41 -
pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Wakatobi. Hasil yang dicapai selama pelaksanaan program periode hingga Juni 2009 sebagai berikut : Tabel III.1 Capaian Indikator Pelaksanaan COREMAP II Kab. Wakatobi Periode Juni 2009 No.
Komponen
Indikator Keberhasilan
A.
Penguatan Kelembagaan
1
Koordinasi Program, M&E, dan · Peningkatan kapasitas staf COREMAP II Pelatihan Kab. Wakatobi dalam pengelolaan program dengan mengikuti beberapa pelatihan yang dilaksanakan oleh baik oleh NCU maupun lingkup PMU Coremap II Kab. Wakatobi · Meningkatkan kemampuan staff lapangan pada saat pengumpulan data di lapangan ( jenis ikan, ukuran ikan, unit penangkapan, daerah penangkapan dan distribusi penjualan serta pendaratan ikan hasil tangkapan) · Meningkatkan pemahaman dan kedisiplinan staff PMU dalam melakukan pengawasan ekosistem terumbu karang di masing-masing lokasi · Terlaksananya penjelasan secara teknis tentang pelaksanaan monev, pembagian tim dalam kelompok berdasarkan pulaupulau utama
· Meningkatnya kapasitas dan kemampuan individu dan kelembagaan pelaksana RPTK terpadu. 2.
3.
· Penelitian · Terlatihnya staf PMU dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas) dalam melakukan monitoring terumbu karang · Adanya data sebaran terumbu karang dan kondisi Sosial Ekonomi di lokasi program · Terlaksananya patroli MCS di Lokasi DPL Coremap II Kab. Wakatobi dan Terjalinnya Koordinasi dengan Taman Nasional Wakatobi Bantuan Hukum, Kebijakan dan · Terbentuknya Dewan Pemberdayaan Strategi masyarakat pesisir (CCEB) di tingkat Kabupaten · Adanya Draft Renstra Pengelolaan Terumbu Karang di Kab. Wakatobi · Adanya landasan hukum yang jelas di lokasi program oleh adanya dokumen RPTK Monitoring dan Terumbu Karang
B.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat dan Kolaboratif
1.
Pemberdayaan Masyarakat
BME-Sosial Ekonomi, 2009
· Perekrutan staff lapangan yang terdiri dari 7 SETO, 20 CF (Fasilitator Masyarakat) dan 80 MD · Terbentuknya 40 Pusat Informasi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Community-Based Management
- 42 -
·
2.
Pengelolaan Terumbu Berbasis Masyarakat
Karang · ·
· ·
Information Center) di tiap desa pesisir dalam kabupaten Wakatobi Adanya Stasiun Radio FM Masyarakat di tingkat Kabupaten yang bisa menjangkau 40 Desa lokasi COREMAP II Kab. Wakatobi Teridentifikasinya Potensi sumberdaya Desa di 40 lokasi program dengan metode penilaian RRA/PRA. Tersusunya Dokumen Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) di 40 Desa Lokasi yang telah disetujui oleh Kepala Desa. Teridentifikasinya jenis kapal/perahu serta alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di lokasi program Terbentuknya Daerah Perlindungan Laut (DPL) sebanyak 37 di 40 Desa Lokasi COREMAP II Kab. Wakatobi.
· Tersusunnya
dan dilaksanakannya sistem pemantauan dan pengawasan berbasis masyarakat terhadap berbagai kegiatan pengelolaan SDL di wilayah perairan desa.
3.
Pengembangan Masyarakat
· Terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di 40 Desa Lokasi Program · Terlaksananya penyaluran dana bergulir di 40 desa lokasi untuk pengembangan usaha kecil yang dilaksanakan secara berkelompok ataupun individu. · Berkembangnya dan meningkatnya lapangan kerja baru melalui usaha mikro sebagai bentuk dari pemanfaatan dana seed fund secara berkala · Meningkatnya sistem pengelolaan keuangan masyarakat · Tumbuhnya kesadaran masyarakat
untuk melestarikan dan memanfaatkan SDL secara arif dan bijaksana · Minimal 75% masyarakat sudah mempunyai kemampuan pengolahan pasca panen hasil SDL. · Terdapatnya kerjasama antara pihakpihak dari luar dengan masyarakat untuk mendukung usaha mereka 4.
C 1.
Pengelolaan Wilayah Konservasi · Tersosilaisasinya Draft Rencana strategi Laut di Kabupaten (Renstra) sumberdaya Terumbu karang. Pelaksanaan Pengelolaan Terumbu Karang Secara Terpadu di setiap lokasi Program Penyadaran Masyarakat, Pendidikan dan Kemitraan Bahari Kampanye Masyarakat
BME-Sosial Ekonomi, 2009
Penyadaran · Pelaksanaan kampanye penyadaran secara lokal setiap tahun untuk kelompok target di kabupaten program dan desa pesisir. (tahun 2006 16 desa dan Tahun 2007 24 desa) termasuk di 23 Desa Baru (Pemekaran) · Pembuatan media (poster, brosur,
- 43 -
selebaran, papan iklan/billboard, Komik) yang mendukung konservasi terumbu karang dan pengelolaan berbasismasyarakat 40 Desa Lokasi Program Terlaksananya pembuatan iklan televisi dan Film Dokumentasi Kegiatan yang telah dilakukan dengan menggunakan fasilitas kamera video, proyektor video dan komputer (yang dilengkapi dengan video editing dan CD writing). Adanya pengembangan materi Muatan Lokal di Tingkat SMP dan SMU serta dimasukannya materi Kelautan dan Perikanan khususnya terumbu karang di Muatan Lokal. Dilatihnya beberapa guru di tingkat SD, SMP dan SMA dalam pengembangan Materi Muatan Lokal di Kab. Wakatobi Penempatan 9 orang mahasiswa untuk melakukan Praktek Kerja lapang untuk tahun 2006 dan tahun 2007 sebanyak di lokasi COREMAP II Kab. Wakatobi Tahun 2008 mengalami peningkatan mahasiswa PKL menjadi 19 Orang yang kesemuanya di tempatkan di Lokasi Program Coremap II Kab. Wakatobi 8 orang siswa SMP dan 12 Siswa SMA dari lokasi program COREMAP II Kab. Wakatobi telah mendapatkan Beasiswa untuk tahun 2007. Sedangkan untuk tahun 2008 masingmasing 12 Siswa SMP dan 12 Siswa SMA
·
2.
·
Program Pendidikan
·
3.
Program Kemitraan Penyuluhan
Bahari
/ ·
·
·
·
Sumber : Form 28 PMU Coremap II Kab. Wakatobi, Juni 2009
Dalam mengefisienkan pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang di kabupaten Wakatobi, maka telah dibentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) di desa-desa sasaran program yang berjumlah 37 DPL. Selain itu untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan sistem pengawasan masyarakat terhadap sumberdaya laut, Coremap II
Kabupaten
Wakatobi
memberikan
dukungan
operasional
pelaksanaan
pengawasan terhadap Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) tingkat desa tepatnya di 40 desa sasaran program. Peralatan pendukung yang di support oleh PMU Coremap II Kab.Wakatobi di antaranya teropong, jaket pelampung untuk pengawasan, peralatan selam dasar dan lain sebagainya. Dengan adanya pelaksanaan pengawasan berbasis masyarakat diharapkan akan mengurangi tekanan terhadap kelestarian terumbu karang di masing - masing wilayah lokasi serta berkurangnya penggunaan alat penangkapan yang merusak lingkungan termasuk berkurangnya pelaku illegal fishing. Sehubungan dengan pengembangan ekonomi
masyarakat
pada
BME-Sosial Ekonomi, 2009
tingkat
desa,
keterlibatan
masyarakat
dalam
- 44 -
mengimplemetasikan beberapa kegiatan diharapkan dapat merangsang dan meningkatkan pendapatan masyarakat di tingkat desa khususnya desa sasaran program Coremap II. Bentuk kegiatan bertujuan untuk pengembangan usaha usaha mikro sehingga mengurangi aktivitas masyarakat di wilayah pesisir dan laut khususnya ketergantungan terhadap sumberdaya terumbu karang. Selain itu juga dikembangkan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) dan dukungan fasilitas desa berupa sarana dan prasarana penunjang terkait dengan DPL di setiap desa. Keterlibatan masyarakat dalam perumusan tempat dan proses pengelolaan DPL merupakan
faktor
kritis
untuk
mempertahankan
keberlanjutannya
dan
keefektifannya. Keterlibatan masyarakat mulai dari masyarakat lokal sampai pada pemerintah untuk merumuskan bentuk perencanaan dimana dalam proses seperti ini diharapkan lahir seorang tokoh (stakeholders) untuk memandu pelaksanaan diskusi. Satu hal yang harus ditekankan bahwa partisipasi masyarakat tersebut dalam perumusan, pelaksanaan, penguatan dan pengelolaan DPL dimaksudkan untuk menunjang sumber kehidupan masyarakat dalam jangka panjang. Walaupun diketahui bahwa tidak ada satupun model baku untuk merancang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan DPL, tetapi kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam merancang dan menerapkan DPL ini terus tumbuh dan meningkat secara perlahan seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat di lokasi program. Masyarakat menyadari bahwa kondisi sumberdaya laut terus menurun sejak 10 – 15 tahun terakhir ini. Oleh karena itu masyarakat menginisiasi melalui diskusi, dari hasil diskusi masyarakat sepakat untuk menetapkan kawasan perairan yang dulunya sebagai kawasan terumbu karang menjadi DPL. Data kuantitatif tentang kerusakan terumbu karang, hasil tangkapan yang semakin hari semakin menurun, pencemaran perairan dari limbah masyarakat dan foto dasar perairan telah merangsang mereka untuk segera menyepakatinya. Model pengelolaannya adalah partisipasi aktif dari masyarakat lokal untuk menjaga wilayah DPL ini agar tidak ada nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan dengan cara apapun di wilayah DPL ini. Informasi yang disampaikan oleh tokoh masyarakat lokal bahwa DPL sangat bermanfaat karena saat ini keanekaragaman hayati di wilayah Kepulauan Wakatobi cukup tinggi. Anggapan sebagian masyarakat tersebut didukung oleh data yang bersumber dari Operation Wallacea (Opwall) bahwa jumlah spesies karang yaitu 750 spesies sedangkan ikan sekitar 942 spesies terdapat di Perairan Wakatobi
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 45 -
(Unsworth, 2008).
Kenyataan ini memberi kesadaran kepada masyarakat lokal
bahwa DPL dapat dijadikan sebagai “bank stok ikan”. Pada saat populasi ikan di DPL terus bertambah maka spill over (penangkapan di luar DPL) akan terjadi. Biota dan sumberdaya ikan inilah yang dimanfaatkan dengan menggunakan pancing atau jaring yang biasa digunakan oleh nelayan. Pemahaman
masyarakat
mengenai
DPL sebagai tempat pemijahan ikan juga
telah
diakui
masyarakat
sebagian
sehingga
besar mereka
mengetahui betul jika harus melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan itupun dapat dilakukan di luar dari DPL yang telah ditetapkan. Secara umum keterlibatan Sumberdaya (LPSTK)
Lembaga
Pengelola
Terumbu
melalui
Pokmas
Karang bidang
konservasi yang memiliki kewenangan menjaga
DPL
Gambar III.1 Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Luar Daerah Perlindungan Laut (Spill Over)
telah melaksanakan
tugasnya dengan baik, namun karena masalah sarana seperti perahu motor yang tersedia belum memadai sehingga hal ini biasa diabaikan oleh beberapa kelompok pengelola di beberapa lokasi DPL. III.1.2. Lokasi Penelitian Desa Waha dan Kelurahan Wandoka (Kecamatan Wangi-Wangi) Program Coremap II di Desa Waha maupun Kelurahan Wandoka telah masuk sejak tahun 2006 dan secara perlahan-lahan manfaatnya dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat setempat. Masyarakat sudah dan dengan mudah memperoleh tangkapan hanya dengan memancing di sekitar perairan desa. Selain dirasakannya peningkatan kualitas tangkapan, juga telah berdiri beberapa fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang berasal dari Program Coremap II. Di Desa Waha misalnya telah ada akses jalan ke pantai,
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 46 -
pembuatan bak penampung air bersih dan fasilitas MCK. Keseluruhan akses dan kemudahan tersebut sangat membantu masyarakat sekaligus merupakan media sosialisasi atas implementasi dari terealisasi program Coremap II di lokasi program. Sedangkan Kelurahan Wandoka yaitu pembukaan jalan menuju ke pantai, pemagaran permandian umum, pembuatan rambu-rambu DPL dan pembuatan tanda batas kelurahan oleh karena kelurahan ini mengalami pemekaran menjadi 2 desa tambahan. Sebelumnya di tahun 2008 juga tersedia perahu katinting yang dapat digunakan untuk melakukan patroli menjaga keamanan sumberdaya laut desa. Selain fasilitas-fasilitas fisik tersebut, di kedua desa/kelurahan ini telah digulirkan dana seed fund yang dapat digunakan sebagai tambahan modal dalam kegiatan perekonomian keluarga. Di Desa Waha, beberapa jenis usaha yang dibantu oleh keberadaan dana ini diantaranya yakni : pengembangan usaha pembuatan dendeng ikan, usaha pembuatan kue, penjualan BBM, budidaya teripang dan usaha dagang sembako. Sedangkan Kelurahan Wandoka beberapa jenis usaha yang dibantu oleh dana seed fund diantaranya yakni pengembangan usaha penjual ikan (papalele), budidaya teripang, karamba, usaha press ban dan pengembangan usaha perikanan tangkap. Beberapa catatan kemajuan tersebut tidak terlepas dari peran aktif masyarakat di kedua desa/kelurahan tersebut dan juga atas partisipasi dan dukungan dari staff lapangan yang di rekrut oleh PMU melalui Program Coremap II Kab. Wakatobi. Desa Mola Selatan (Kecamatan Wangi-Wangi Selatan) Program Coremap II di Desa Mola Selatan telah masuk sejak tahun 2005 saat pengelolaan dan manajemen pengelolaannya melalui Coremap II Kabupaten Buton. Sebagaimana halnya di dua desa/kelurahan tersebut diatas, implementasi Program Coremap II di desa ini juga telah memperlihatkan hasil yang cukup baik, ditandai oleh adanya beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant seperti bak sampah induk, lampu PLTS untuk pondok informasi, titian ke laut dan tangga ke laut. Selain itu dana seed fund juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat dan jumlah peminjamnya terus meningkat tiap bulan. Peningkatan jumlah peminjam ini tentunya dikarenakan adanya peningkatan modal yang didapatkan dari keaktifan masyarakat untuk melakukan usaha dan pengembalian kepada pengelola agar dapat digulirkan kepada calon peminjam lainnya. Beberapa jenis usaha yang telah
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 47 -
dibantu oleh adanya dana ini yakni : budidaya rumput laut, budidaya ikan, jual beli sembako, pembuatan kue-kue, usaha perikanan tangkap dan usaha bengkel nelayan dan tersedianya jas hujan khusus bagi nelayan. Desa Balasuna (Kecamatan Kaledupa) Program Coremap II di Desa Balasuna baru masuk pada tahun 2007 dan telah memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan. Hasil ini diperoleh berkat partisipasi aktif masyarakat dan dukungan dari staff lapangan yang di rekrut oleh PMU melalui Program Coremap II Kab. Wakatobi. Beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant yaitu pendaratan perahu, pembuatan tangga balai desa serta pengadaan dan pemasangan bola pelampung tanda batas DPL serta rehabilitasi sumur umum. Selain itu pemanfaatan dana seed fund dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut, usaha ubi kayu dan sayuran dan usaha kerajinan sarung tenun. Desa Langge (Kecamatan Kaledupa Selatan) Program Coremap II di Desa Langge baru masuk pada tahun 2007 dan telah memperlihatkan hasil yang baik. Beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant yaitu pembuatan dermaga kecil, rabat jalan, pengadaan tangki air (tower), sarana pengelolaan sampah dan renovasi pondok informasi di tahun 2007 sedangkan pada tahun 2008 hanya pembuatan jalan beton ke arah pantai sepanjang 119 meter. Selain itu pemanfaatan dana seed fund dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut, usaha perikanan tangkap dengan sero, usaha kecil dan pengembangan usaha konveksi yang saat ini telah mengalami kemajuan cukup pesat. Desa Lamanggau (Kecamatan Tomia) Program Coremap II di Desa Lamanggau telah masuk sejak tahun 2005 saat pengelolaan dan manajemen pengelolaannya melalui Coremap II Kabupeten Buton dan telah memperlihatkan hasil yang baik. Beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant di tahun 2008 yaitu pembuatan tambatan perahu dan tugu Coremap.
Selain
itu
pemanfaatan
dana
seed
fund
dimanfaatkan
untuk
pengembangan usaha perikanan tangkap, industri skala rumah tangga, usaha
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 48 -
penjual ikan keliling (papalele) dan usaha perikanan tangkap dengan pancing dan jaring (lamba). Kelurahan Patipelong (Kecamatan Tomia Timur) Program Coremap II di Kelurahan Patipelong baru masuk pada tahun 2007 dan telah memperlihatkan hasil yang cukup baik hingga tahun 2009. Beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant di tahun 2008 yaitu rehabilitasi mangrove meningat kondisi hutan mangrove di Desa ini mengalami kerusakan dan memerlukan penanganan yang serius. Beberapa sarana lainnya yang masyarakat memanfaatkan village grant untuk pembangunan rabat beton ke halaman balai desa, pembangunan talut jalan/tangga tebing dan renovasi pondok informasi pada tahun 2008. Selain itu pemanfaatan dana seed fund juga dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut, usaha perikanan tangkap dengan jaring dan pengembangan usaha kecil (kios).
Desa Makoro (Kecamatan Binongko) Program Coremap II di Desa Makoro baru masuk pada tahun 2007 dan telah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant yaitu perbaikan dermaga. Sedangkan untuk pemanfaatan dana seed fund yaitu untuk pengembangan usaha rumpon, pandai besi, tenun dan pengembangan usaha kecil (jual beli sembako). Desa Waloindi (Kecamatan Togo Binongko) Program Coremap II di Desa Waloindi baru masuk pada tahun 2006 saat pengelolan dan manajemen Coremap II ditangani langsung oleh PMU Coremap II Kabupaten Wakatobi. Beberapa fasilitas desa yang dibangun melalui dana village grant yaitu pembuatan tambatan perahu. Sedangkan untuk pemanfaatan dana seed fund yaitu usaha pengembangan tanaman sayur dan perkebunan (pisang), usaha pengembangan ternak ayam dan pengembangan usaha kecil (jual beli sembako).
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 49 -
III.2. Pengetahuan & Partisipasi Masyarakat pada Program Coremap Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap status pelaksanaan Program Coremap II di Kabupaten Wakatobi secara umum di semua lokasi program saat survey dilakukan menunjukan peningkatan. Adanya peningkatan tersebut tidak terlepas dari peran dan koordinasi di antara pengelola program dengan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan hasil wawancara mendalam selama kegiatan ini berlangsung di 9 desa/kelurahan informasi yang diperoleh memberikan gambaran bahwasanya secara umum kegiatan ilegal fishing mengalami
penurunan
dari
tahun-tahun
sebelumnya
termasuk
aktivitas
pengeboman hampir tidak ada dan bahkan hasil tangkapan yang di peroleh menunjukan peningkatan yang cukup baik. Berikut beberapa kutipan dari responden yang di peroleh di beberapa lokasi penelitian : Ilustrasi : Informan XX1 seorang nelayan di Desa Waha Di beberapa wilayah yang selama ini menjadi lokasi penangkapan kami selama ini sudah memperlihatkan peningkatan yang cukup baik bila dibanding dengan 5 tahun yang lalu, dimana beberapa tahun yang lalu masih banyak beberapa nelayan ditemukan menggunakan potassium dan racun (bius) untuk menangkap ikan. Adapun factor yang menjadi kendala antara lain yaitu musim dimana beberapa tahun terakhir jumlah tangkapan sedikit menurun akibat kurangnya keberanian nelayan untuk melaut dan mencari ikan
Ilustrasi : Informan XX2 seorang nelayan di Desa Lamanggau Kami nelayan local secara rutin tetap melakukan pemantauan terhadap areal penangkapan, oleh karena tidak sedikit dan pada beberapa kesempatan masih ditemukan nelayan luar (khususnya dari daerah lain seperti Sinjai) melakukan aktivitas penangkapan yang menurut kami sangat merugikan nelayan setempat. Mengapa? Sebab pada daerah-daerah luar jauh dari jangkauan dan armada yang kami miliki, nelayan tersebut melakukan penangkapan besar-besaran. Oleh karena itu bila kondisi ini terjadi terus menerus jelas akan sangat merugikan nelayan lokal
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 50 -
Berdasarkan ilustrasi tersebut kehadiran nelayan luar sangat merugikan masyarakat setempat karena selain melakukan pengrusakan terhadap ekosistem laut (terumbu karang) juga mempengaruhi hasil tangkapan para nelayan dimana pada musim gelombang kuat frekuensi nelayan lokal untuk melaut lebih jauh berkurang karena memiliki armada tangkap yang relatif masih rendah dari segi ukuran dan kapasitas mesin kapal yang mereka gunakan jika dibanding armada tangkap nelayan luar. Selanjuntnya sehubungan adanya program Coremap di desa-desa sasaran program khususnya di 9 desa/kelurahan pemantauan kondisi sosial ekonomi tahun 2009 menunjukan bahwa tahapan sosialisasi sudah menperlihatkan hasil yang cukup baik oleh karena secara umum banyak masyarakat telah merasakan manfaat yang di peroleh. Berdasarkan gambar III.2 (a) dari hasil kuisioner dan wawancara yang dilakukan selama survey menunjukan bahwa secara keseluruhan untuk semua lokasi penelitian 71,43 % masyarakat mengetahui status Program Coremap di desanya, dimana masing-masing persentase untuk pengelola mencapai 50 % dan bukan pengelola 21,43 %. dan sisanya 28,57 % menyatakan tidak mengetahui Program Coremap. Selanjutnya lebih jauh dianalisis bahwa dari total responden tersebut 85,71 % baik pengelola maupun bukan pengelola mengetahui lokasi DPL dan sisanya 14,29 % yang semuanya berasal dari bukan pengelola tidak mengetahui lokasi DPL.
Gambar III.2 (b) menunjukan persepsi masyarakat
terhadap pengelolaan DPL juga cukup tinggi. Hasil ini diperoleh berdasarkan hasil kuisioner
yang
dilakukan
selama
survey.
Keterlibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan DPL mencapai 61,43 % dimana untuk pengelola 50 % terlibat secara langsung sedangkan bukan pengelola 11,43 %. Selebihnya masyarakat umum dalam hal ini bukan pengelola yang tidak terlibat mencapai 38,57 %. Selanjutnya mengenai status Perdes dalam mendukung pengelolaan DPL menunjukan 75,71 % masyarakat setuju dengan adanya Perdes tersebut dimana pengelola terlihat hanya 42,86 % dan bukan pengelola 32,68 %. Namun dari hasil kuisioner juga terlihat bahwa ada juga dari kelompok pengelola yang tidak setuju dengan adanya Perdes. Kelompok pengelola tersebut sekitar 7,14 % dan bukan pengelola 17,14 %.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 51 -
Gambar III.2 Tingkat Persepsi Masyarakat Terhadap Program Coremap dan Lokasi DPL di Lokasi Penelitian (a) Pengelolaan DPL dan Perdes di Lokasi Penelitian (b) Tahun 2009 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tahu Program Coremap
a
Tidak Tahu Program Tahu Lokasi DPL Coremap Pengelola
Tidak Tahu Lokasi DPL
Bukan Pengelola
80 70 60 50 40 30 20 10 0
b
Terlibat Peng.DPL Tidak Terlibat Peng. DPL Pengelola
Setuju Perdes
Tidak Setuju Perdes
Bukan Pengelola
Beberapa hasil penelitian pada DPL menunjukan bahwa untuk pengelolaan stok perikanan sangat baik sekali karena daerah ini telah memicu produktivitas perairan disekitarnya untuk kebutuhan para nelayan. Jika migrasi ikan diketahui antara DPL dengan perairan terbuka maka akan ditemukan penyebaran larva dan juvenil ikan tersebut (Fogarty, 1999). Dengan demikian masyarakat telah menyadari pentingnya menjaga DPL dapat memberikan keuntungan dan manfaat baik secara ekologi, ekonomi maupun budaya masyarakat. Upaya dan kerja keras yang telah dibangun oleh PMU Coremap II Kab. Wakatobi bersama staff lapangan serta keterlibatan stakeholder dalam setiap implementasi program di desa-desa sasaran telah memperlihatkan dedikasi dan tanggung jawab yang
tinggi
terhadap
BME-Sosial Ekonomi, 2009
pelaksanaan
program.
Kondisi
demikian
cukup
- 52 -
menguntungkan masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek dalam setiap implementasi program di wilayahnya, oleh karena itu peran pihak-pihak terkait perlu lebih ditingkatkan lagi ke depannya. Salah satu upaya tersebut yaitu membangun diskusi dan koordinasi diantara pelaksana program itu sendiri. Berikut dokumentasi yang berhasil di ambil saat survey dilakukan di Desa Waha, dimana tampak MD dan fasilitaor desa melakukan diskusi membahas pelaksanaan dan perencanaan program coremap di desa tersebut.
Gambar III.3 Suasana Diskusi di antara Pengelola Program Coremap di Desa Waha
Seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat di lokasi program, maka secara tidak langsung akan memberikan manfaat positif bagi perekonomian masyarakat tersebut di mana upaya untuk melindungi wilayah lingkungan dalam hal ini wilayah pesisir dan laut termasuk di dalamnya ekosistem terumbu karang akan terjaga dengan baik dan diharapkan berkelanjutan (suistainable). Fenomena ini nampak pula terlihat di pasar-pasar tradisional dimana jumlah jenis tangkapan nelayan meningkat bila di banding tahun sebelumnya.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 53 -
Gambar III.4 Berbagai Jenis Ikan Karang Yang Ditemukan Di Pasar Tradisional Wangi-Wangi
Secara umum masyarakat menyadari bahwasanya berbagai jenis ikan-ikan yang selama ini di pasarkan merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, oleh karenanya mereka perlu memahami lebih jauh agar pemanfaatan sumberdaya laut dapat di kelola secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan konsep konservasi untuk pemenuhan kebutuhan di masa mendatang. Berbagai masukan yang
diperoleh
saat
survey
dilakukan
masyarakat
sangat
membutuhkan
pendampingan, pengenalan teknologi ramah lingkungan untuk pembinaan dan perlunya upaya-upaya lain yang dapat menunjang peningkatan kesejateraan masyarakat secara langsung.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 54 -
IV.
PENDAPATAN DAN PERUBAHANNYA
Pendapatan masyarakat merupakan aspek penting (primary) dalam pemantauan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap II Kabupaten Wakatobi. Selain indikator ekologi, pendapatan masyarakat merupakan indikator ekonomi untuk menilai tingkat keberhasilan program. Melalui kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi, pendapatan penduduk dikelompokan ke dalam 2 bagian utama, yaitu pendapatan di tingkat kabupaten dan pendapatan pada tingkatan masyarakat dalam hal ini desa dan kelurahan khususnya di lokasi program Coremap II Kabupaten Wakatobi. Pendapatan di tingkat Kabupaten difokuskan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah yang diperolah dari data sekunder Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wakatobi. Sedangkan pendapatan di tingkat desa dan kelurahan diperoleh dari pendapatan rumah tangga dan kegiatan kenelayanan berdasarkan hasil survey di 9 desa/kelurahan Coremap II Kabupaten Wakatobi.
IV.1. Pendapatan Pada Tingkat Kabupaten IV.1.1. Struktur PDRB Produk
Domestik
Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu cermin
perkembangan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu dalam waktu satu tahun. PDRB Kabupaten Wakatobi berdasarkan harga berlaku pada tahun 2008 sebesar Rp juta, meningkat 23,48 persen dibanding tahun 2007 (sebelumnya) yang hanya mencapai Rp 460.041,37 juta (lihat tabel IV.1). Struktur ekonomi Kabupaten Wakatobi tahun 2008, seperti tercantum pada tabel IV.1, menunjukkan bahwa sektor yang mempunyai peranan dominan terhadap PDRB atas dasar harga berlaku yaitu masih pada sektor pertanian. Sektor Pertanian memberikan kontribusi sebesar 46,88 %, walaupun mengalami penurunan sebesar 2,44 % dibanding tahun 2007, sektor ini dengan kontribusi sebesar 49,32 %. Selanjutnya diikuti sektor jasa-jasa sebesar 16,57 %, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 16,53 %. Ketiga sektor ini masing-masing memiliki peranan diatas 15 % dalam pembentukan PDRB. Sedangkan sektor listrik,
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 55 -
gas dan air bersih (0,77 %), sektor pengangkutan dan komunikasi (2,19 %) dan industri pengolahan (2,92 %) merupakan tiga sektor yang mempunyai peranan terkecil untuk memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi di tahun 2008. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, peranan sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air minum, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mengalami penurunan, sedangkan sektor lainnya memberikan kontibusi yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan ketergantungan kinerja ekonomi di Kabupaten Wakatobi pada sektor primer yang berbasis pada sektor pertanian mengalami penurunan dibandingkan sektor-sektor sekunder dan tersier.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 56 -
Tabel IV.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2008 (Juta Rupiah) No.
LAPANGAN USAHA
(1)
(2)
2006
2007
2008*)
Jumlah (3)
(%) (4)
Jumlah (5)
(%) (6)
Jumlah (7)
(%) (8)
211.234,87
51,70
226.911,54
49,32
266.321,35
46,88
1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan Penggalian
11.470,99
2,81
12.705,17
2,76
18.678,90
3,29
3.
Industri Pengolahan
11.483,12
2,81
13.547,20
2,94
16.603,83
2,92
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
3.487,08
0,85
3.850,97
0,84
4.390,71
0,77
5.
Konstruksi/Bangunan
14.698,48
3,60
17.491,37
3,80
24.495,90
4,31
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
55.856,09
13,67
70.221,81
15,26
93.922,68
16,53
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
8.766,92
2,15
10.732,80
2,33
12.459,04
2,19
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
27.046,27
6,62
29.515,36
6,42
37.044,65
6,52
9.
Jasa - jasa
64.514,86
15,79
75.065,15
16,32
94.125,75
16,57
408.558,69
100
460.041,37
100
568.042,82
100
PDRB
*) Angka Sementara Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi, 2008 dan 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 57 -
IV.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi tahun 2008 sebesar 7,21 % (dilihat tabel IV.2). Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2007 yang mencapai 6,07 %. Sektor pertambangan dan penggalaian merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan paling tinggi yaitu sebsar 20,94 %, di ikuti sektor konstruksi/bangunan yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,02 % dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10,89 %. Ketiga sektor tersebut merupakan sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan terbesar pada tahun 2008.
Sektor peratanian, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan tiga sektor yang mengalami pertumbuhan terkecil, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 2,08 %, 4,81 % dan 5,59 %. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, hampir semua sektor mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi, kecuali sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tabel IV.2 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 untuk Tahun 2006 – 2008 (Persen) No.
LAPANGAN USAHA
2006
2007
2008*)
(1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(2)
(3) 2,46 7,35 4,32 7,29 14,24 2,53 11,55 25,14 6,07 6,04
(4) 3,37 5,12 4,14 7,61 7,09 10,53 4,94 6,02 8,53 6,07
(5) 2,08 20,94 10,34 6,90 17,02 10,89 4,81 5,59 8,83 7,21
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air bersih Konstruksi/Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa – Jasa PDRB
*) Angka Sementara Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi, 2008 dan 2009
IV.1.3. Pendapatan Perkapita Salah satu tolok ukur untuk mengetahui tingkat kemakmuran disuatu daerah dapat dilihat dari PDRB perkapita. Data dimaksud dapat dilihat pada tabel IV.3. Berdasarkan harga berlaku, PDRB perkapita Kabupaten Wakatobi pada tahun 2008
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 58 -
adalah sebesar Rp 5.597.859,75 naik dari Rp 4.623.903,15 pada tahun 2007 atau naik sebesar 21,06 %. Tabel IV.3 Pendapatan Regional Perkapita Kabupaten Wakatobi Atas Dasar Harga Berlaku 2006 - 2008
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perincian (1) PDRB Pada Harga Pasar (Juta Rp.) Penyusutan (Juta Rp.) PDRN Pada Harga Pasar (Juta Rp.) Pajak Tak langsung Netto (Juta Rp.) PDRB Atas Dasar Biaya Faktor/Pendapatan Regional (Juta Rp.) Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa) PDRB Perkapita (Rp)
2006 (2)
2007*) (3)
2008*) (4)
408.558,69
460.041,37
568.042,82
28.154,90
31.702,71
23.168,44
380.403,79
428.338,66
544.873,38
4.387,44
4.940,31
2.576,47
376.016,34
423.398,35
542.297,91
98.180,00
99.492,00
101.475,00
4.161.322,97
4.623.903,15
5.597.859,75
*) Angka Sementara Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi, 2008 dan 2009
IV.2. Pendapatan Di Lokasi Penelitian Pendapatan rumah tangga diperoleh melalui survey sosial ekonomi pada tahun 2009 (T2) terhadap 450 responden (rumah tangga) di 9 desa/kelurahan yang tersebar di 8 kecamatan Kabupaten Wakatobi. Jumlah responden tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya saat pengambilan data T1 tahun 2008, yang hanya berjumlah 330 responden (rumah tangga). Rumah tangga tersebut terdiri dari 150 responden yang berasal dari 3 desa/kelurahan (lokasi) sesuai dengan data dasar survey sosial ekonomi tahun 2006 (T0). Ketiga desa/kelurahan tersebut yaitu Desa Waha 30 rumah tangga dan Kelurahan Wandoka 50 rumah tangga (Kecamatan Wangi-Wangi) serta Desa Mola Selatan 70 rumah tangga (Kecamatan Wangi-Wangi Selatan), Selebihnya 300 reponden (rumah tangga) berasal dari 6 desa/kelurahan yang mewakili masing-masing 6 kecamatan lainnya. Dimana keenam desa/kelurahan tersebut masing-masing mengalami penambahan sebanyak 20 sehingga menjadi 50 responden untuk setiap desa/kelurahan di tahun 2009 (T2) dari masing-masing 30 responden untuk 6 desa/kelurahan pada saat survey sosial ekonomi di tahun 2008 (T1). Keenam
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 59 -
desa/kelurahan tersebut yaitu Desa Balasuna (Kecamatan Kaledupa), Desa Langge (Kecamatan Kaledupa Selatan), Desa Lamanggau (Kecamatan Tomia), Kelurahan Patipelong (Kecamatan Tomia Timur), Desa Makoro (Kecamatan Binongko) dan Desa Waloindi (Kecamatan Togo Binongko). Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan bersih rumah tangga dalam satu tahun atau satu bulan terakhir. Besarnya pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penghasilan dari hasil produksi dan biaya produksi yang diterima oleh rumah tangga. Pendapatan rumah tangga diperoleh dari semua anggota rumah tangga yang mencakup pendapatan dari pekerjaan pokok dan pekerjaan tambahan. Secara khusus pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan dilihat berdasarkan statistik pendapatan menurut musim serta distribusi rumah tangga menurut besar pendapatan dan musim. IV.2.1. Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan hasil survey yang dilakukan sejak tahun 2006 (T0), tahun 2008 (T1) dan tahun 2009 (T2) secara keseluruhan di semua lokasi survey menunjukan kecenderungan meningkatnya pendapatan rumah tangga selama kurung waktu tersebut. Hasil survey menunjukan bahwa pendapatan rumah tangga di semua lokasi penelitian terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya. Kondisi ini dapat di lihat dengan turunnya jumlah tau persentase rumah tangga yang memiliki pendapatan dibawah Rp. 500.000,- yang di iringi dengan meningkatnya persentase rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas Rp. 500.000,-. Berdasarkan data yang disajikan pada tabel IV.4 terlihat bahwa pendapatan rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah Rp. 500.000,- tersebut pada tahu 2008 mencapai 20 % namun di tahun 2009 turun 5 % menjadi 15 %. Fenomena ini hampir terjadi di semua lokasi survey kecuali di Desa Makoro justru terjadi sebaliknya dimana pada tahun 2008 rumah tangga yang memiliki besar pendapatan di bawah Rp. 500,000,mencapai 33% dan di tahu 2009 meningkat 11 % menjadi 42 %. Kondisi lainnya yang terjadi yaitu untuk semua lokasi penelitian juga terlihat bahwa untuk pendapatan rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas Rp. 3.000.000,menunjukkan peningkatan walaupun peningkatan tersebut tidak begitu signifikan, dimana pada tahun 2008 pada kategori pendapatan ini hanya mencapai 12 % dan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 60 -
di tahun 2009 meningkat menjadi 14 %. Hasil survey menunjukan bahwa rumah tangga untuk kategori pendapatan ini Desa Lamanggau merupakan yang tertinggi peningkatannya dari tahun sebelumnya (2008) yaitu dari 17 % meningkat 100 % menjadi 34 % di tahun 2009. Selanjutnya di ikuti Desa Wandoka, Desa Langge dan Makoro yang masing-masing terjadi peningkatan 4 % dan Desa Patipelong meningkat 1 % dari tahun sebelumnya, Kemudian Desa Waha, Desa Mola Selatan dan Desa Balasuna kondisinya sama dengan tahun sebelumnya (konstan), sementara itu hanya Desa Waloindi yang menunjukan penurunan sebesar 1 % di mana tahun 2008 dapat mencapai 3 % dan di tahun 2009 berkurang menjadi 2 % saja. Adapun distribusi rumah tangga terpilih menurut besar pendapatan dan perubahannya lihat tabel IV.4 berikut :
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 61 -
Tabel IV.4 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan dan Perubahannya di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2008 - 2009 (Persen) Desa/Kelurahan No
Pendapatan (Rp)
Waha
Wandoka
Mola S
Balasuna
Langge
Lamanggau
Patipelong
Makoro
Total
Waloindi
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
1
< 500.000
3
0
14
14
11
0
40
30
0
0
17
10
40
14
33
42
33
28
20
15
2
500.000 - 999.999
3
3
16
14
10
1
27
26
7
6
13
12
13
22
13
16
7
10
12
12
3
1.000.000 - 1.499.999
7
10
8
10
11
20
13
10
80
54
20
6
17
24
27
18
30
38
21
22
4
1.500.000 - 1.999.999
13
23
16
14
21
30
10
14
10
20
7
16
10
18
20
8
27
22
16
19
5
2.000.000 - 2.499.999
30
13
16
16
20
20
7
14
3
12
13
4
13
6
3
8
0
0
13
11
6
2.500.000 - 2.999.999
10
17
10
8
7
10
3
6
0
4
13
18
0
8
3
4
0
0
6
8
7
3.000.000 +
33
33
20
24
19
19
0
0
0
4
17
34
7
8
0
4
3
2
12
14
Jumlah
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
N
30
30
50
50
70
70
30
50
30
50
30
50
30
50
30
50
30
50
330
450
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 (T1) dan 2009 (T2)
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 62 -
Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk semua lokasi survey yang meliputi 9 desa/kelurahan, maka seperti halnya yang terjadi ditahun sebelumnya (2008) maka persentase tertinggi di tahun 2009 juga terdapat pada kategori pada pendapatan Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.999. Persentase terkecil terdapat pada kategori pendapatan Rp. 2.500.000 – Rp. 2.999.999. Hasil survey juga menunjukan di beberapa desa/kelurahan terlihat bahwa untuk Desa Waha, Desa Mola Selatan da Desa Langge 100 % rumah tangga berpendapatan di atas Rp. 500.000, di Ikuti Desa Lamanggau 90 %, Kelurahan Wandoka dan Kelurahan patipelong masing-masing 86 %, Desa Waloindi 72 %, Desa Balasuna 70 % dan terakhir yaitu Desa Makoro yag hanya mencapai 58 %. Kondisi ini menunjukan di semua lokasi survey semua rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas Rp. 500.000,- berkisar di atas 50 % dengan rata-rata 85 % tahun 2009 dibanding tahun 2008 yang mencapai 80 %. Fenomena inipun di Ikuti dengan meningkatnya rata-rata pendapatan rumah tangga di semua lokasi survey. Data survey yang diperoleh terjadi peningkatan sebesar 5,49 % dari tahun sebelumnya yaitu dari Rp. 1.690.425,- di tahun 2008 naik menjadi Rp. 1.783.316,- di tahun 2009. Data selengkapnya dapat di lihat pada lampiran 1. Rata-Rata Pendapatan Rumah Tangga (RT) Seperti halnya uraian di atas bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga untuk semua lokasi penelitian menunjukan grafik peningkatan sebesar 5,49 %. Hasil survey kondisi sosial ekonomi pada tahun 2009 (T2) untuk setiap lokasi survey ratarata pendapatan rumah tangga bervariasi dan memperlihatkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya terhadap survey yang dilakukan di tahun 2008 (T1) maupun 2006 (T0). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di tahun 2009 terlihat semua lokasi penelitian menunjukan peningkatan kecuali Desa Waha yang memperlihatkan
penurunan
rata-rata
pendapatan
rumah
tangga
walaupun
penurunannya tidak signifikan dibanding tahun sebelumnya. Persentase turunnya rata-rata pendapatan rumah tangga di Desa Waha yaitu sebesar 1,71 % dari tahun sebelumnya dimana pada survey yang dilakukan di tahun 2008 sebesar Rp. 2.800.111,- menjadi Rp. 2.752.333 di tahun 2009. (lihat tabel IV.5).
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 63 -
Tabel IV.5 Statistik Pendapatan Rumah Tangga di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2008 - 2009 (Rupiah) Desa/Kel Waha Wandoka Mola Selatan Balasuna Langge Lamanggau Patipelong Makoro Waloindi Total
Tahun 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009
Rata-Rata Rumah Tangga (RT) 2.800.111 2.752.333
2.299.907 2.362.493 2.065.333 2.333.810 904.334 1.103.584 1.289.349 1.550.145 1.838.111 2.623.333 1.204.111 1.521.433 940.486 948.058 965.889 998.233 1.690.425 1.783.316
Median Pendapatan RT 2.411.667 2.391.667 1.780.000 1.950.000 1.891.667 1.979.167 584.167 700.000 1.257.500 1.352.083 1.491.167 2.666.667 770.000 1.168.333 1.000.000 665.833 1.060.000 1.050.000 1.383.333 1.500.000
Minimum Pendapatan RT 300.000 591.667 28.000 70.000 216.667 950.000 166.667 179.167 923.333 923.333 207.667 233.333 166.667 166.667 38.750 38.750 50.000 50.000 28.000 38.750
Maksimum Pendapatan RT 7.476.667 7.476.667 8.946.667 8.846.667 7.666.667 9.166.667 2.583.333 2.583.333 2.173.333 3.185.000 5.833.333 10.283.333 5.800.000 5.833.333 2.500.000 3.500.000 3.000.000 3.000.000 8.946.667 10.283.333
Per Kapita 615.919 690.188 450.820 473.698 521.091 604.935 237.686 363.786 407.285 496.603 481.296 708.054 275.403 404.884 201.145 282.600 212.890 372.072 399.897 484.747
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 dan 2009.
Berdasarkan data dari tabel di atas terlihat di tahun 2008 saat survey sosial ekonomi T1 dilakukan rata-rata pendapatan rumah tangga tertinggi tetap terdapat di Desa Waha walaupun di tahun 2009 (T2) terjadi penurunan. Berikutnya Desa Lamanggau yang mencapai rata-rata Rp. 2.623.333,- di ikuti Kelurahan Wandoka sebesar Rp. 2.362.493, dan terbesar ketiga yaitu Desa Mola Selatan dengan ratarata pendapatan rumah tangganya sebesar Rp. 2.333.810,-. Besarnya perbedaan pendapatan RT pada saat T0 (2006), T1 (2008) dan T2 (2009) di Desa Waha dan Kelurahan
Wandoka
berkaitan
dengan
kegiatan
perikanan
dan
pertanian/perkebunan di kedua lokasi tersebut. Desa Waha nelayan menangkap ikan tuna di laut dalam. Jenis Ikan tuna merupakan ikan ekspor yang cukup ekonomis oleh karena harganya yang cukup mahal, dengan demikian pendapatan RT
cukup
besar
pula.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
Namun
sebaliknya
dengan
Kelurahan
Wandoka
- 64 -
ketergantungan masyarakat khususnya nelayan terbatas pada perairan dangkal, oleh karenanya beralih pula pada pertanian. Namun karena Kelurahan Wandoka merupakan wilayah transisi antara wilayah perkotaan dan pedesaan maka akses untuk lahan pertanian pun terbatas, sehingga pendapatan RT di wilayah ini lebih banyak di dukung dari sektor lainnnya seperti sektor jasa, bangunan dan lainnya. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di Desa Mola Selatan meskipun pendapatan RT cukup tinggi namun beberapa RT lainnya masih mengantungkan hidupnya kepada pemilik modal. Selain itu faktor lainnya yang mempengaruhi pendapatan nelayan di Desa Mola Selatan adalah meningkatnya jumlah pendatang/nelayan yang berasal dari luar Kabupaten Wakatobi seperti nelayan Sinjai, Menui (Sulawesi Tengah) )dan bahkan berasal dari Jawa khususnya nelayan Madura yang memiliki peralatan penangkapan yang lebih modern. Disamping itu rendahnya pengetahuan masyarakat di Desa Mola Selatan berdampak pula pada sistem manajemen dan pengelolaan keuangan rumah tangga setiap warga. Kondisi ini dapat dilihat dari sebagian warga masih menggantukan hidupnya pada juragan/tauke dan begitupun halnya dengan kondisi lingkungan pemukiman warga yang mencerminkan kemiskinan di wilayah ini yang terlihat kumuh (kotor).
Gambar IV.1 Kondisi Pemukiman Warga di Desa Mola Selatan Yang Memerlukan Perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi.
Selanjutnya untuk rata-rata pendapata RT terendah dari hasil survey sosial ekonomi 2009 (T2) terdapat di Desa Makoro sebesar Rp. 948.058,-. Kondisi ini berbeda dengan tahun sebelumnya 2008 (T1) dimana pada tahun tersebut terdapat di Desa
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 65 -
Balasuna yang hanya mencapai Rp. 904.334,- dan di tahun 2009 (T2) mengalami peningkatan sebesar 22,03 % menjadi Rp. 1.103.584,-. Untuk semua lokasi survey hanya Desa Makoro Kecamatan Binongko dan Waloindi Kecamatan Togo Binongko (Pulau Binongko) yang memiliki rata-rata pendapatan RT dibawah Rp. 1.000.000,per bulannya sedangkan di desa da kecamatan lainnya memiliki rata-rata pendapatan RT di atas Rp. 1.000.000,- per bulannya. Salah satu penyebab masih rendahnya pendapatan masyarakat di Pulau Binongko yaitu selain faktor alam yang memberikan pengaruh besar terhadap mata pencaharian masyarakat juga di pengaruhi oleh akses ke pulau tersebut cukup terbatas bila dibandingkan dengan tiga pulau besar lainnya di Kabupaten Wakatobi. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah akses untuk pendistribusian bahan-bahan kebutuhan pokok dari ibukota kabupaten, dalam hal ini sektor transportasi khususnya angkutan antar pulau mempunyai peranan penting dalam pendistribusian bahan kebutuhan pokok tersebut.
a
b
Gambar IV.2 Aktivitas Bongkar Muat Kebutuhan Pokok di Pelabuhan Mola (a) dan Sarana Transportasi Laut Antar Pulau di Pelabuhan Usuku Tomia Timur (b)
Median Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nilai median untuk data-data statistik bertujuan untuk mengetahui distribusi pendapatan RT yang lebih mendekati kenyataan sebenarnya di lokasi peneltian. Analisis data median untuk pendapatan RT diperlukan untuk meminimalisir atau meminimumkan data dari pengaruh pendapatan yang relatif ekstrim. Seperti kemungkinan adanya pendapatan RT yang relatif tinggi dengan pendapatan RT
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 66 -
yang relatif rendah, yang kemungkinan dapat disebabkan oleh satu atau beberapa responden saja. Berdasarkan tabel IV.5 terungkap bahwa nilai median untuk pendapatan RT di lokasi survey tahun 2009 (T2) secara keseluruhan adalah ± Rp. 1.500.000,- yang mengalami penigkatan dari tahun 2008 (T1) yang mencapai Rp. 1.383.333,-. Nilai median tertinggi terdapat di Desa Lamanggau yang mencapai ± Rp. 2.666.667,- dan nilai median terendah terdapat di Desa Makoro yang hanya mencapai ± Rp. 665.833,-. Kondisi ini berbeda dengan nilai median yang terjadi pada survey sosial ekonomi tahun 2008 (T1) yang menempatkan Desa Waha memiliki nilai median tertinggi yaitu Rp. 2.411.667,- dan Desa Balasuna untuk nilai median terendah yaitu Rp. 584.167,-. Minimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Minimum pendapatan RT adalah pendapatan minimum dari pendapatan rumah tangga responden yang telah di survey. Berdasarkan hasil survey kondisi sosial ekonomi tahun 2008 (T1) nilai minimum pendapatan RT berasal dari responden rumah tangga yang berada di Kelurahan Wandoka dengan nilai minimum pendapatan RT perbulan hanya Rp. 28.000,-.
Pada tahun 2009 (T2) minimum
pendapatan RT terendah berasal dari responden di Desa Makoro yaitu Rp. 38.750,per bulannya. Sedangkan minimum pendapatan RT tertinggi untuk tahun 2009 berasal dari responden di Desa Mola Selatan yang mencapai pendapatan sebesar Rp. 950.000,- per bulan. Rendahnya pendapatan minimum tersebut masih di bawah standar biaya hidup (operasional) selama sebulan penuh. Oleh karenanya beberapa rumah tangga umumnya masih mengandalkan hutang di beberapa warung, kios dan toko. Sedangkan yang memiliki barang berharga lebih memilih untuk menggadaikan barang-barang berharga tersebut. Maksimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Maksimum pendapatan RT adalah pendapatan maksimum dari pendapatan rumah tangga responden yang telah di survey. Berdasarkan hasil survey kondisi sosial ekonomi tahun 2008 (T1) nilai maksimum pendapatan RT tertinggi berasal dari responden rumah tangga yang berada di Kelurahan Wandoka dengan nilai
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 67 -
maksimum pendapatan RT perbulan sebesar Rp. 8.946.667,-. Pada tahun 2009 (T2) nilai maksimum pendapatan RT tertinggi berasal dari responden di Desa Lamanggau yang dapat mencapai sebesar yaitu Rp. 10.283.333,- per bulannya. Sedangkan maksimum pendapatan RT terendah untuk tahun 2009 berasal dari responden di Desa Balasuna yang mencapai pendapatan sebesar Rp. 2.583.333,per bulannya, berbeda dengan tahun sebelumnya (2008) untuk kategori pendapatan RT dengan nilai maksimum terendah berasal dari responden RT di Desa Langge dengan nilai maksimum pendapatan RT sekitar Rp. 2,173,333,-. Meningkatnya maksimum pendapatan RT tersebut tidak terlepas dari beralihnya masyarakat yang memiliki mata pencaharian di sektor lain seiring dengan meningkatnya usaha ekonomi keluarga walaupun dalam skala kecil. Beberapa usaha produktif tersebut yaitu pemanfaatan produk rumput laut menjadi dodol rumput laut, kue agar-agar serta meningkatnya peran gender dalam hal ini kaum perempuan yang melakukan usaha-usaha produktif sebagai bentuk membantu kaum pria dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Disamping itu di beberapa tempat kaum pemilik modal membuka lapangan usaha kecil-kecilan (mikro). Kondisi ini tergambar dari hasil diskusi dan wawancara yang dilakukan. Adapun kutipan dari salah seorang responden yang ditemui sebagai berikut : Ilustrasi Dari Responden ZZY di Desa Balasuna Pemanfaatan potensi budidaya rumput laut khususnya di Pulau Kaledupa sangat potensial oleh karena dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara tidak langsung. Dengan melihat potensi yang ada maka seluruh lapisan masyarakat termasuk gender dapat melakukan upaya lain tanpa melakukan budidaya secara langsung yaitu memproduksi rumput laut menjadi bahan makanan seperti dodol dan kue agar-agar. Harapan kamii masyarakat ke depan agar pemerintah tetap membantu masyarakat baik itu berupa modal usaha, peralatan maupun pelatihan-pelatihan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 68 -
Pendapatan Perkapita Per Bulan Pendapatan perkapita di 9 desa/kelurahan (lokasi survey) di tahun 2009 menunjukan peningkatan dari tahun sebelumnya 2008. Hasil survey tahun 2008 di semua lokasi survey pendapatan perkapita perbulan mencapai sebesar Rp. 399.897,- dan di tahun 2009 meningkat 21,22 % menjadi Rp. 484.747,- per bulan. Pendapatan perkapita tertinggi berdasarkan hasil survey di tahun 2009 terdapat di Desa Lamanggau yang mencapai Rp. 708.054,- yang meningkat 47,11 % dari tahun sebelumya yang hanya mencapai Rp. 481.296,-. Sedangkan Desa Waha yang memiliki pendapatan perkapita tertinggi pada tahun 2008 peningkatannya hanya mencapai 12,06 % di tahun 2009 yaitu dari Rp. 615.919,- pada tahun 2008 menjadi Rp. 690.188,-. Selanjutnya Desa Makoro yang memiliki pendapatan perkapita RT per bulan terendah pada tahun 2008 yaitu Rp. 201,145,- meningkat di tahun 2009 menjadi Rp. 282.600,- namun peningkatannya dapat mencapai sebesar 40,50 %. Desa Waloindi merupakan desa yang memiliki peningkatan tertinggi yaitu mencapai 74,77 % di tahun 2009, namun bila di lihat dari pendapatan perkapita yang dimiliki juga masih rendah yaitu dari Rp. 212.890 pada tahun 2008 menjadi Rp. 372.072 pada tahun 2009. Selanjutnya Kelurahan Wandoka mengalami peningkatan pendapatan perkapita RTnya paling rendah per bulan yaitu hanya meningkat 5,07 % dimana pada tahun 2008 Rp. 450.820 menjadi Rp. 473.698 di tahun 2009. Bila dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Wakatobi tahun 2008 yang bersumber dari data BPS Wakatobi, 2009 secara keseluruhan mencapai Rp. 5.597.859,75 maka pendapatan perkapita untuk semua lokasi survey sosial ekonomi di 9 desa/kelurahan tahun 2009 menunjukan hasil yang tidak berbeda jauh yaitu Rp. 5.816. 964,-. Pendapatan perkapita di lokasi survey tersebut lebih tinggi 3,91 % dibanding PDRB Kabupaten Wakatobi tahun 2008, yang merupakan data terakhir saat survey sosial ekonomi di lakukan. IV.2.2. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan Fokus utama dari kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi di lokasi program Coremap II adalah kegiatan kenelayanan yang mempunyai akses dan potensi terbesar terhadap kerusakan sumber daya pesisir dan laut khususnya terumbu karang. Oleh karena itu pendapatan rumah tangga (RT) dari kegiatan kenelayanan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 69 -
dianalisis lebih jauh untuk mengetahui pemahaman yang lebih komprehensif mengenai status program Coremap II khususnya di Kabupaten Wakatobi. Analisis pada bagian ini merupakan kombinasi dari penggabungan data kuantitatif yang diperoleh dari data kuisioner dan data kualitatif pada saat wawancara dilakukan di 9 desa/kelurahan lokasi survey kondisi sosial ekonomi tahun 2008 (T1) dan 2009 (T2). Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga tahun 2009 untuk semua lokasi survey menurut kegiatan kenelayanan dan musim juga terjadi peningkatan pada hampir semua kategori pendapatan, kecuali pada kategori pendapatan Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999 dan Rp. 2.000.000 – Rp. 2.499.999,- bila dibanding tahun 2008. Bila dibandingkan tahun sebelumnya peningkatan tertinggi untuk kategori pendapatan yaitu pada Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.999,- yang mengalami peningkatan 4 % yaitu dari 11 % di tahun 2008 menjadi 15 % pada tahun 2009. Hasil survey juga menunjukan pada kategori pendapatan di atas Rp. 3.000.000 persentasenya tidak mengalami perubahan (tetap) yaitu pada 18 %, berikut grafik distribusi pendapatan RT dari kegiatan kenelayanan dan musim. Gambar IV.3 Grafik Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 - 2009 (Persen) 25
20
15
T1 (2008)
(%)
T2 (2009)
10
5
0 < 500.000
500.000 -
1.000.000 -
1.500.000 -
2.000.000 -
2.500.000 - 3.000.000 +
999.999
1.499.999
1.999.999
2.499.999
2.999.999
Pendapatan
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 dan 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 70 -
Menurunnya pendapatan RT nelayan pada kategori pendapatan Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999 disebabkan di beberapa desa/kelurahan mengalami penurunan yang cukup drastis (signifikan) yaitu sampai di atas 10 % penurunannya jika dibanding tahun 2008. Desa dan kelurahan tersebut yaitu Desa Balasuna turun 15 %, Makoro turun 13 % dan Desa Waloindi 11 %. Begitupun halnya dengan kategori pendapatan RT nelayan pada kisaran Rp. 2.000.000 – Rp. 2.499.999 secara umum juga terjadi penurunan yang mencapai 8 % dibanding tahun sebelumnya (2008). Fenomena yang sama terjadi pada Desa Balasuna juga 15 % terjadi penurunan pada kategori pendapatan Rp. 2.000.000 – Rp. 2.499.999, selanjutnya disusul Desa Lamanggau turun 9 %, kemudian kelurahan Wandoka dan Patipelong masing-masing 5 %. Pendapatan RT dari kegiatan kenelayanan juga bervariasi menurut musim pada setiap tahunnya, yaitu baik pada musim gelombang kuat, pancaroba maupun pada saat gelombang lemah. Hasil survey kondisi sosial ekonomi tahun 2006 memberikan gambaran jelas terhadap musim. Dimana untuk kategori pendapatan di bawah Rp. 500,000 distribusi RT dari kegiatan kenelayanan cenderung meningkat dari musim gelombang lemah, pancaroba ke musim gelombang kuat (Hidayati dkk, 2007). Fenomena tersebut juga dapat di lihat pada hasil survey pemantauan kondisi sosial ekonomi tahun 2008 (T1). dimana terlihat kecenderungan peningkatan persentase distribusi RT nelayan yang memiliki pendapatan di bawah Rp 500.000 meningkat dari musim gelombang lemah ke musim pancaroba dan berlanjut ke musim gelombang kuat. Pada kategori pendapatan dimaksud, distribusi RT menurut kegiatan kenelayanan dan musim berdasarkan survey tahun 2009 (T2) terlihat kecenderungan seperti yang terjadi pada survey data dasar sosial ekonomi tahun 2006 (T0) dan survey tahun 2008 (T1). Hasil survey tahun 2009 menunjukan pada musim gelombang lemah hanya mencapai 16 % kemudian meningkat pada musim pancaroba 26 % dan pada musim gelombang kuat menjadi 29 %. Bila dibanding tahun 2008 maka di tahun 2009 pada kategori pendapatan dimaksud (dibawah Rp. 500.000,-) terjadi penurunan untuk setiap musim penangkapan. Hasil survey di peroleh bahwa persentase pendapatan di bawah Rp. 500.000 pada musim gelombang lemah terjadi penurunan sebesar 5 % yaitu dari 21 % pada tahun 2008 menjadi 16 % di tahun 2009, Selanjutnya musim pancaroba demikian yaitu terjadi
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 71 -
penurunan sebesar 14 % yaitu dari 40 % tahun 2008 menjadi 26 % di tahun 2009. Demikian juga halnya pada musim gelombang kuat dimana pada tahun 2008 mencapai 43 % turun menjadi 29 % pada tahun 2009 atau turun sebesar 14 %. Kondisi ini dapat di lihat pada tabel IV.6 berikut : Tabel IV.6 Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 - 2009 (Persen) Musim No
Besar Pendapatan
Gel. Lemah
Pancaroba
Gel. Kuat
08
09
08
09
08
09
1
< 500.000
21
16
40
26
43
29
2
500.000 - 999.999
18
14
13
17
11
18
3
1.000.000 - 1.499.999
6
7
10
14
13
19
4
1.500.000 - 1.999.999
7
14
12
8
10
11
5
2.000.000 - 2.499.999
7
8
10
8
6
7
6
2.500.000 - 2.999.999
4
6
3
6
3
4
7
3.000.000 +
38
36
13
22
14
12
Jumlah
100
100
100
100
100
100
N
192
236
192
236
192
236
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 dan 2009
Berdasarkan tabel IV.6 di atas juga nampak terlihat pada musim gelombang lemah persentase tertinggi terjadinya peningkatan yaitu pada pendapatan Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999 yaitu meningkat sebesar 7 %. Berikutnya pada pendapatan Rp. 2.500.000 – 2.999.999 (2 %). Pada musim pancaroba peningkatan terjadi pada pendapatan di atas Rp. 3.000.000 yaitu dari 13 % pada tahun 2008 menjadi 22 % pada tahun 2009 (meningkat 9 %). Sedangkan pada musim gelombang kuat peningkatan terjadi pada pendapatan Rp. 500.000 – Rp. 999.999 yaitu meningkat sebesar 7 %. Selain faktor musim keadaan pendapatan rumah tangga nelayan juga bervariasi menurut lokasi penelitian dilakukannya survey pemantuan kondisi sosial ekonomi. Hasil survey bila dilihat berdasarkan lokasi survey, maka pada kategori pendapatan RT dari kegiatan kenelayanan dan musim di bawah Rp. 500.000 terdapat 4 desa/kelurahan menunjukan 0 % artinya dari seluruh responden RT yang disurvey tidak ada satupun yang berpendapatan di bawah Rp. 500.000. Keempat
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 72 -
desa/kelurahan tersebut yaitu Desa Waha, Kelurahan Wandoka, Desa Mola Selatan dan Desa Langge. Berdasarkan survey tahun 2009 distribusi RT dari kegiatan kenelayanan pada kategori pendapatan di atas Rp. 3,000,000 persentase tertinggi di peroleh dari pendapatan nelayan yang berasal dari Desa Lamanggau 35 %, kemudian Kelurahan Wandoka 26 %, Desa Waha 25 % dan Desa Mola Selatan 23 %. Namun di beberapa lokasi
distribusi RT dari kegiatan kenelayanan pada
kategori pendapatan di atas Rp. 3,000,000 justru memperlihatkan 0 % dan belum mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Lokasi-lokasi tersebut yaitu Desa Balasuna dan Desa Langge (Pulau Kaledupa), Desa Makoro dan Desa Waloindi (Pulau Binongko). Kondisi tersebut dapat lihat tabel IV.7 berikut :
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 73 -
Tabel IV.7 Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim di Lokasi Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 – 2009 (Persen) Desa/Kelurahan No
Pendapatan (Rp)
Waha
Wandoka
Mola S
Balasuna
Langge
Lamanggau
08
09
08
09
08
09
08
09
08
09
08
0
0
0
0
15
0
15
48
0
0
17
10
1
< 500.000
2
500.000 - 999.999
3
7
16
11
4
2
32
33
0
50
13
3
1.000.000 - 1.499.999
17
18
26
32
2
15
23
19
75
17
20
4
1.500.000 - 1.999.999
28
18
0
0
20
21
15
0
25
33
5
2.000.000 - 2.499.999
14
14
16
11
26
26
15
0
0
6
2.500.000 - 2.999.999
7
3.000.000 +
09
Patipelong 08
09
Total
Makoro
Waloindi
08
09
08
09
08
09
22
23
52
24
67
87
78
100
13
5
24
13
9
11
0
8
12
6
16
32
7
4
0
0
11
15
7
13
16
12
13
0
11
0
15
11
0
13
4
5
0
0
0
0
0
17
9
7
18
21
21
9
13
0
0
0
0
13
19
0
0
0
0
0
0
9
11
31
25
21
26
24
23
0
0
0
0
17
35
5
8
0
0
0
0
18
18
Jumlah
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
N
29
28
19
19
54
53
13
21
4
6
30
48
19
25
15
23
9
13
192
236
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 dan 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 74 -
Rendahnya pendapatan nelayan di keempat desa seperti yang diuraikan di atas disebabkan oleh karena umumnya mata pencaharian masyarakat di kedua pulau (Kaledupa dan Binongko) tempat desa tersebut berada adalah berprofesi sebagai petani. Aktivitas kegiatan perikanan tangkap masih kurang di wilayah tersebut. Untuk
Pulau
Kaledupa
terkonsentrasi
pada
perikanan
budidaya
dan
pertanian/perkebunan. Sementara di Pulau Kaledupa kondisi alam sangat tidak mendukung untuk aktivitas perikanan tangkap karena kondisi gelombang dan ombak yang cukup besar dengan armada yang tidak memadai. Oleh karena itu masyarakat di Pulau Binongko lebih banyak bercocok tanam, beternak, berlayar ke luar daerah dan berprofesi sebagai pengrajin besi. Kondisi tersebut dapat di lihat dari hasil survey terhadap rata-rata pendapatan nelayan di semua lokasi penelitian. Adapun data selengkapnya dapat di lihat pada lampiran 2 dan 3. Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa Desa Makoro dan Waloindi adalah merupakan 2 desa yang memiliki distribusi pendapatan nelayan terendah dan rata-rata per bulannya di bawah Rp. 1.000.000. Kondisi inipun juga dapat di lihat dari tabel IV.7 di atas dimana Desa Waloindi persentase nelayan pada kategori pendapatan di bawah Rp. 500.000 mencapai 100 % sedangkan Desa Makoro mencapi 87 %. Rata-Rata Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Rata-rata pendapatan RT nelayan juga bervariasi menurut musim, dimana pada saat T0 (2006) menunjukkan kecenderungan penurunan pendapatan dari gelombang lemah, pancaroba dan gelombang kuat. Kondisi tersebut berlanjut hingga pada saat pengambilan data T1 (2008). Hal yang sama pun juga terjadi pada survey sosial ekonomi (T2) pada tahun 2009. Rata-rata pendapatan RT nelayan tertinggi di temukan pada saat gelombang lemah baik pada saat T0 maupun T1. Demikian halnya seperti yang terjadi pada hasil survey sosial ekonomi tahun 2009. (lihat tabel IV.8).
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 75 -
Tabel IV.8 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, Tahun 2008 - 2009 (Rupiah) Pendapatan
Musim Pancaroba
Gel. Lemah 2008
2009
Gel. Kuat
2008
2009
2008
2009
Rata-Rata
2.466,755
2.492.606
1.370.094
1.638.432
1.297.448
1.483.856
Median
1.800.000
1.800.000
825.000
1.200.000
775.000
1.000.000
50.000
50.000
45.000
50.000
10.000
10.000
13.000.000
11.340.000
6.300.000
8.750.000
9.000.000
12.150.000
Minimum Maksimum
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2008 dan 2009
Seperti halnya survey tahun 2008, maka berdasarkan hasil survey di 9 desa/kelurahan lokasi penelitian tahun 2009 juga memberikan kecenderungan peningkatan pendapatan dari musim gelombang kuat menuju gelombang lemah. Kecenderungan tersebut jelas terlihat pada saat musim gelombang kuat rata-rata pendapatan RT nelayan yaitu Rp. 1.483.856 (meningkat 14,37 %) dari tahun 2008, musim pancaroba Rp. 1.638.432 (meningkat 19,58 %) dari tahun 2008 dan pada musim gelombang lemah mencapai Rp. 2.492.606 (meningkat 1,05 %) dari tahun 2008. Adapun peningkatan yang terjadi di tahun 2009 berdasarkan musim setelah di telusuri lebih lanjut juga menunjukan peningkatan dari musim gelombang kuat munuju musim pancaroba dan musim gelombang lemah bila dibandingkan tahun 2008. Selisih rata-rata pendapatan RT nelayan dari musim gelombang kuat meningkat 0,1 kali lipat (sekitar 10,41 %) ke musim pancaroba dan 0,68 kali lipat (sekitar 67,98 %) ke musim gelombang lemah. Sehubungan dengan distribusi rata-rata pendapatan RT nelayan di setiap lokasi penelitian, maka rata-rata tertinggi berasal dari nelayan di Desa Waha yaitu mencapai Rp. 3.390.667 di susul Desa Mola Selatan Rp. 2.754.583 dan ketiga yaitu Desa Lamanggau Rp. 2.664.861. Sedangkan total rata-rata untuk keselurahan lokasi survey yaitu mencapai Rp. 2.110.663 (meningkat 5,90 %) dibanding tahun 2008 yang hanya mencapai Rp. 1.993.051 (lihat lampiran 3).
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 76 -
Dalam kaitannya dengan musim, maka untuk musim gelombang lemah rata-rata pendapatan RT nelayan yaitu Rp. 2.492.606 dimana yang tertinggi pendapatannya yaitu di Desa Waha yang dapat mencapai rata-rata pada musim gelombang lemah sebesar Rp. 3.740.000. Sedangkan Desa Makoro adalah yang terendah yaitu mencapai Rp. 368.696 rata-rata per bulannya di musim gelombang lemah. Pada musim pancaroba rata-rata pendapatan RT nelayan yaitu Rp. 1.638.432 dimana yang tertinggi pendapatannya yaitu di Desa Lamanggau yang dapat mencapai ratarata sebesar Rp. 2.442.292. Sedangkan Desa Waloindi adalah yang terendah hanya mencapai Rp. 247.692 rata-rata per bulannya di musim pancaroba. Selanjutnya pada musim gelombang kuat rata-rata pendapatan RT nelayan yaitu Rp. 1.483.856 dimana yang tertinggi pendapatannya yaitu di Kelurahan Wandoka yang dapat mencapai rata-rata pada musim gelombang kuat sebesar Rp. 2.486.842. Sedangkan terendah yaitu Desa Waloindi hanya mencapai rata-rata Rp. 171.154. Data mengenai kondisi tersebut dapat di lihat pada lampiran 4.
Median Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Hasil analisis statistik menunjukan bahwa seiring dengan peningkatan pendapatan RT, nelayan maka nilai median dari pendapatan RT nelayan juga
mengalami
penurunan dari musim gelombang lemah menuju ke musim pancaroba dan selanjutnya ke musim gelombang kuat. Nilai statistik untuk median pendapatan RT nelayan di 9 desa/kelurahan pengambilan data sosial ekonomi tahun 2009 menunjukan pada musim gelombang lemah yaitu Rp. 1.800.000 kemudian turun menjadi Rp. 1.200.000 di musim pancaroba dan selanjutnya di musim gelombang kuat menjadi Rp. 1.000.000. Bila dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya, maka nilai median pada musim gelombang kuat mengalami peningkatan di tahun 2009 yaitu dari Rp. 775.000 pada tahun 2008 menjadi Rp. 1.000.000 (29,03 %). Musim pancaroba juga demikian mengalami peningkatan sebesar 45,45 % dari tahun sebelumnya yaitu Rp. 825.000 tahun 2008 menjadi Rp. 1.200.000 pada tahun 2009. Sedangkan pada musim gelombang lemah tidak mengalami perubahan sedikitpun dimana baik pada tahun 2008 maupun 2009 nilai median sama yaitu Rp. 1.800.000 (tabel IV.8).
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 77 -
Selanjutnya bila di lihat dari nilai median berdasarkan musim untuk setiap lokasi survey sosial ekonomi, maka nilai median tertinggi di musim gelombang lemah terdapat di Desa Waha yang mencapai Rp. 3.420.000. Sedangkan yang terendah di musim gelombang lemah yaitu di Desa Makoro dengan nilai median Rp. 300.000. Pada musim pancaroba tertinggi ada di Desa Lamanggau dengan nilai median Rp. 2.450.000 dan terendah juga di Desa Makoro yang hanya mencapai nilai median Rp. 200.000. Selanjutnya untuk musim gelombang kuat tertinggi terdapat di Desa Mola Selatan dan Kelurahan Wandoka yang masing-masing memiliki nilai median sama yaitu Rp. 1.800.000. Sedangkan yang terendah di musim gelombang kuat ini yaitu terdapat di Desa Makoro dan Waloindi yang masing-masing juga memiliki nilai median yang sama yaitu Rp. 150.000. Kondisi tersebut semua dapat di lihat pada lampiran 5. Minimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Nilai minimum pendapatan RT nelayan juga mengalami penurunan dari musim gelombang lemah ke musim pancaroba dan gelombang kuat. Nilai minimum pendapatan RT nelayan pada 9 desa/kelurahan pengambilan data sosial ekonomi tahun 2009 hampir tidak mengalami perubahan dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan tabel IV.8 di atas perubahan hanya terjadi pada musim pancaroba dimana nilai median pada tahun 2008 yaitu Rp. 45.000 menjadi Rp. 50.000 di tahun 2009. Sedangkan untuk musim gelombang lemah dan kuat masih di temukan adanya RT nelayan yang memiliki pendapatan minimum masing-masing Rp. 50.000 untuk gelombang lemah dan Rp. 10.000 pada musim gelombang kuat.
Maksimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Nilai maksimum pendapatan RT nelayan juga bervariasi menurut musim. Berdasarkan data statistik pada tabel IV.8 di atas terlihat bahwa pada musim gelombang lemah terjadi penurunan nilai maksimum dari tahun sebelumnya. Hasil survey tahun 2008 nilai maksimum yang diperoleh yaitu Rp. 13.000.000 dan tahun 2009 turun menjadi Rp. 11.340.000. Sedangkan untuk musim pancaroba dan gelombang kuat terlihat peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada musim pancaroba terjadi peningkatan
38,89 % dari tahun 2008 yaitu Rp. 6.300.000
menjadi Rp. 8.750.000 tahun 2009. Begitupun halya dengan yang terjadi di musim
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 78 -
gelombang kuat naik 35 % dari tahun 2008 yaitu Rp. 9.000.000 menjadi Rp. 12.150.000 pada tahun 2009. IV.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan dan Pengelolaan Sumberdaya Laut IV.3.1. Faktor Internal Aspek internal bersumber dari penduduk (nelayan) itu sendiri. Dalam hal ini modal yang dimiliki oleh penduduk (nelayan) sangat terbatas. Oleh karenanya akan berimplikasi pada aset kepemilikan dalam hal melakukan penangkapan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia. Aset dimaksud yaitu peralatan dan armada tangkap yang masih sangat terbatas. Begitupun halnya dengan aktivitas masyarakat dalam mengelola pertanian (perkebunan) masih menerapkan teknologi masih sangat sederhana (tradisional). Rendahnya sistem penerapan teknologi dan kurangnya pengetahuan masyarakat sangat sulit untuk diterapkan oleh masyarakat dalam mengembangkan usaha-usaha lainnya yang produktif dalam menciptakan peluang menambah pendapatan rumah tangga. Faktor internal lainnya adalah ketergantungan penduduk dalam usahanya memiliki modal. Beberapa rumah tangga memiliki kebiasaan meminjam modal kepada pemilik modal yang lebih besar. Kondisi ini tanpa disadari oleh masyarakat akan berdampak terhadap kesulitan perekonomian karena selain untuk memenuhi kebutuhannya juga berusaha mengembalikan modal pinjaman tersebut dengan bunga yang cukup tinggi. Disamping itu rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya menjaga areal penangkapan dari cara-cara yang ramah lingkungan juga masih rendah, misalnya melakukan aktivitas penambangan pasir dan batu karang. Fenomena ini didukung pula oleh meningkatnya pembangunan di wilayah pesisir dan perluasan areal pemukiman warga yang menuntut keperluan akan bahan baku/dasar bangunan diperoleh dari wilayah laut.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 79 -
Gambar IV.4 Pemanfaatan Pasir Laut dan Batu Karang Sebagai Bahan Bangunan Utama di Kabupaten Wakatobi
IV.3.2. Faktor Eksternal Faktor eksternal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor alam yaitu terkait langsung dengan musim/waktu penangkapan. Nelayan/penduduk mengurangi frekuensi penangkapan pada musim-musim tertentu khususnya pada musim timur dimana untuk wilayah Kabupaten Wakatobi terjadi gelombang kuat. Hal ini disebabkan pula oleh karena armada tangkap yang memiliki teknologi terbatas apabila berhadapan dengan kondisi gelombang yang cukup besar. Selain faktor tersebut, faktor eksternal lainnya juga sangat dipengaruhi oleh kehadiran nelayan luar yang dilengkapi dengan armada dan teknologi penangkapan yang lebih modern dibanding nelayan lokal. Apalagi saat musim gelombang kuat, dimana nelayan lokal tidak mampu untuk melaut (melakukan penangkapan) maka kesempatan bagi nelayan luar (asing) melakukan ekploitasi besar-besaran di wilayah perairan yang tidak dapat dijangkau sendiri oleh nelayan lokal. Sebaliknya pada musim gelombang lemah disaat frekuensi nelayan meningkat untuk melakukan penangkapan fenomena lain yang dihadapi oleh masyarakat pesisir (nelayan) yaitu terjadi penurunan harga-harga dari hasil tangkapan terjadi. Selain faktor tersebut, faktor eksternal lainnya yaitu masalah transportasi dan akses pemasaran nelayan di luar Kabupaten Wakatobi juga dirasakan oleh nelayan masih sangat sulit dan terbatas. Kondisi cuaca dan alam sangat tidak mendukung pada
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 80 -
waktu-waktu tertentu sehingga investor di bidang perikanan masih harus berpikir panjang oleh karena biaya operasional menuju dan dari Wilayah Kabupaten Wakatobi cukup besar. IV.3.3. Faktor Struktural Faktor struktural lebih banyak terkait dengan dukungan kebijakan dan penegakan hukum dibidang kelautan dan perikanan khususnya pengelolaan sumberdaya laut. Kebijakan yang ada terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut dirasakan masih lemah dan belum berpihak dan pro kepada masyarakat khususnya nelayan. Hasil survey yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh masyarakat (responden) memberikan asumsi yang jelas dan nyata bahwasanya konsep pengelolaan yang telah ditetapkan masih banyak belum berpihak kepada masyarakat.
Salah satunya adalah penerapan perizinan bagi kapal-kapal
penangkap juga banyak dilanggar oleh pemilik kapal seperti apa yang menjadi standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Disisi lain penerapan peraturan daerah kerap kali dilanggar oleh oknum-oknum tertentu dan tidak dilakukan tindakan apapun. Sebaliknya bila masyarakat melakukan pelanggaran justru ditindaklanjuti lebih cepat dan di proses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pada dasarnya masyarakat telah memahami kondisi demikian namum karena adanya beberapa kejadian yang dilakukan oknumoknum tersebut dan dilihat langsung oleh masyarakat biasa memaksa masyarakat dapat melakukan hal yang sama. Secara keselurahan masalah-masalah tersebut masih terbatas pada kurangnya sosialisasi dalam hal penerapan peraturan seperti apa yang ditetapkan oleh pemerintah maupun institusi yang terkait.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 81 -
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kondisi geografi Kabupaten Wakatobi sudah pasti akan memberikan tekanan dan dampak/ancaman yang begitu besar sehingga dapat berpengaruh terhadap ekosistem di laut khususnya terumbu karang dan sumberdaya alam laut lainnya. Kondisi ini terjadi karena wilayah laut (perairan) Kabupaten Wakatobi cukup luas dibanding wilayah daratannya sehingga aktivitas perekonomian sebagian besar masyarakat sangat tergantung pada wilayah pesisir dan potensi sumberdaya laut yang dimiliki. Berikut uraian kesimpulan dari hasil survey pemantauan kondisi sosial ekonomi di beberapa lokasi program Coremap II Kabupaten Wakatobi. Adapun rincian kesimpulan dari hasil kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi masyarakat yaitu meliputi tingkat pendapatan masyarakat dalam hal ini rumah tangga dan kegiatan kenelayanan. Selain itu juga dijelaskan pula pendapatan perkapita dan faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian masyarakat. V.1. Kesimpulan Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan RT di semua lokasi survey hingga tahun 2009 rata-rata menunjukan peningkatan dari tahun sebelumnya. Fenomena ini dapat di lihat dari menurunnya persentase RT yang memiliki pendapatan dibawah Rp. 500.000 dan meningkatnya persentase RT yang memiliki pendapatan di atas Rp. 3.000.000 setiap bulannya bila dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2008. Disribusi pendapatan RT di bawah Rp. 500.000 turun dari 20 % tahun 2008 menjadi 15 % di tahun 2009. Sedangkan Distribusi pendapatan RT di atas Rp. 3.000.000 naik dari 12 % tahun 2008 menjadi 14 % pada tahun 2009. Kondisi tersebut juga di dukung dengan meningkatnya rata-rata pendapatan RT secara keseluruhan di 9 desa/kelurahan yang menjadi lokasi survey. Hasil survey menunjukan rata-rata pendapatan RT tahun 2009 yaitu Rp. 1.783.316 (meningkat 5,49 %) dari tahun sebelumnya (2008) yang hanya mencapai Rp. 1.690.425. Ratarata pendapatan RT yang mengalami peningkatan tertinggi di tahun 2009 terdapat di Desa Lamanggau sebesar 42,72 % dari tahun 2008 yaitu dari Rp. 1.838.111 pada tahun 2008 menjadi Rp. 2.623.333 di tahun 2009. Peningkatan terendah yaitu di
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 82 -
Desa Makoro yang hanya mengalami peningkatan 0,80 % dari tahun 2008 yaitu dari Rp.940.486 menjadi 948.058 pada tahun 2009. Sedangkan Desa Waha walaupun memiliki rata-rata pendapatan RT paling tinggi di tahun 2009 namun bila dibandingkan dengan hasil survey sebelumnya tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 1, 74 % yaitu dari Rp. 2.800.111 pada tahun 2008 menjadi Rp. 2.752.333 pada tahun 2009. Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Distribusi pendapatan RT di semua lokasi survey menurut kegiatan kenelayanan dan musim, terjadi peningkatan pada hampir semua kategori pendapatan, kecuali pada kategori pendapatan Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999 dan Rp. 2.000.000 – Rp. 2.499.999,- justru mengalami penurunan bila dibanding tahun 2008. Dibandingkan tahun 2008 peningkatan tertinggi yaitu pendapatan antara Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.999,- yang mengalami peningkatan 4 % yaitu dari 11 % (2008) menjadi 15 % (2009). Hasil survey persentase pendapatan di bawah Rp. 500.000 pada musim gelombang lemah terjadi penurunan sebesar 5 % yaitu dari 21 % pada tahun 2008 menjadi 16 % di tahun 2009, Selanjutnya musim pancaroba demikian yaitu terjadi penurunan sebesar 14 % yaitu dari 40 % tahun 2008 menjadi 26 % di tahun 2009. Demikian juga halnya pada musim gelombang kuat dimana pada tahun 2008 mencapai 43 % turun menjadi 29 % pada tahun 2009 atau turun sebesar 14 %. Musim gelombang lemah peningkatan tertinggi terdapat pada pendapatan Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999 yaitu 7 %. Berikutnya pada pendapatan Rp. 2.500.000 – 2.999.999 (2 %). Pada musim pancaroba peningkatan terjadi pada pendapatan di atas Rp. 3.000.000 yaitu dari 13 % pada tahun 2008 menjadi 22 % pada tahun 2009 (meningkat 9 %). Sedangkan pada musim gelombang kuat peningkatan terjadi pada pendapatan Rp. 500.000 – Rp. 999.999 yaitu meningkat sebesar 7 % Desa Waha, Kelurahan Wandoka, Desa Mola Selatan dan Desa Langge distribusi RT nelayan yang berpendapatan di bawah Rp. 500.000 adalah 0 %. Sedangkan distribusi RT dari kegiatan kenelayanan pada kategori pendapatan di atas Rp. 3.000.000 persentase tertinggi di peroleh dari pendapatan nelayan yang berasal dari Desa Lamanggau 35 %, kemudian Kelurahan Wandoka 26 %, Desa Waha 25
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 83 -
% dan Desa Mola Selatan 23 %. Namun di beberapa lokasi distribusi RT dari kegiatan kenelayanan pada kategori pendapatan di atas Rp. 3,000,000 justru memperlihatkan 0 % dan belum mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Rata-rata pendapatan RT nelayan tertinggi juga di tahun 2009 terjadi di musim gelombang lemah dimana selisih rata-rata pendapatan RT nelayan dari musim gelombang kuat meningkat 0,1 kali lipat (sekitar 10,41 %) ke musim pancaroba dan 0,68 kali lipat (sekitar 67,98 %) ke musim gelombang lemah. Rata-rata tertinggi berasal dari nelayan di Desa Waha yaitu mencapai Rp. 3.390.667 di susul Desa Mola Selatan Rp. 2.754.583 dan ketiga yaitu Desa Lamanggau Rp. 2.664.861. Sedangkan total rata-rata untuk keselurahan lokasi survey yaitu mencapai Rp. 2.110.663 (meningkat 5,90 %) dibanding tahun 2008 yang hanya mencapai Rp. 1.993.051. Pendapatan Perkapita Pendapatan perkapita pada tahun 2009 meningkat 21,22 % dari tahun 2008. Hasil survey tahun 2008 di semua lokasi survey pendapatan perkapita perbulan mencapai sebesar Rp. 399.897,- meningkat menjadi di Rp. 484.747,- per bulan di tahun 2009. Pendapatan perkapita tertinggi tahun 2009 terdapat di Desa Lamanggau yang mencapai Rp. 708.054,- (meningkat 47,11 %) dari tahun 2008 sebesar Rp. 481.296,-. Sedangkan Desa Waloindi merupakan desa yang memiliki peningkatan tertinggi yaitu mencapai 74,77 % di tahun 2009, namun bila di lihat dari pendapatan perkapita yang dimiliki masih rendah yaitu dari Rp. 212.890 pada tahun 2008 menjadi Rp. 372.072 pada tahun 2009. Selanjutnya Kelurahan Wandoka adalah yang memiliki peningkatan paling rendah yaitu Rp. 450.820 tahun 2008 meningkat 5,07 % di tahun 2009 menjadi Rp. 473.698. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan dan Pengelolaan Sumberdaya Laut Faktor utama yang berpengaruh terhadap pendapatan secara garis besar yaitu adanya faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal berasal dari penduduk (nelayan) itu sendiri diantaranya modal yang dibutuhkan, sarana penangkapan masih bersifat tradisional, minimnya pengetahuan dan penerapan teknologi. Faktor eksternal bersumber dari kondisi alam dan geografi Kabupaten
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 84 -
Wakatobi yaitu memaksa penduduk baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan penangkapan di musim-musim tertentu. Disamping itu adanya nelayan luar yang hadir di Kabupaten Wakatobi dengan armada dan sarana penangkapan yang lebih modern sehingga hasil tangkapan lebih banyak bila di bandingkan nelayan lokal. Faktor eksternal lainnya yaitu transportasi dan investor luar yang seyogyanya dapat membantu nelayan lokal membutuhkan operasional yang cukup banyak untuk masuk dan keluar dari wilayah Kabupaten Wakatobi oleh karena faktor cuaca dan alam yang sangat tidak mendukung. Faktor lainnya yaitu struktural yang ada di Kabupaten Wakatobi dimana kebijakan dan peraturan yang diterapkan masih belum berpihak dan pro kepada rakyat. Coremap dan Implementasinya Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap status pelaksanaan Program Coremap II di Kabupaten Wakatobi secara umum di semua lokasi program saat survey dilakukan menunjukan peningkatan.Hasil survey menunjukan bahwa secara keseluruhan untuk semua lokasi penelitian 71,43 % masyarakat mengetahui status Program Coremap di desanya dan sisanya 28,57 % menyatakan tidak mengetahui Program Coremap. Dalam kaitannya antara pengelola dan bukan pengelola Program Coremap terhadap keberadaan DPL maka 85,71 % baik pengelola maupun bukan pengelola menyatakan mengetahui lokasi DPL dan sisanya 14,29 % tidak mengetahui lokasi DPL. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan DPL juga cukup tinggi dimana keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan DPL mencapai 61,43 % dan sisanya 38,57 % mengaku sama sekali tidak terlibat. Seiring dengan perkembangan kegiatan dan implementasi program Coremap II, maka beberapa mata pencaharian yang dapat dikembangkan di Kabupaten Wakatobi berdasarkan potensi sumberdaya alamnya yaitu : 1. Pengembangan usaha budidaya rumput laut. 2. Pengembangan usaha budidaya ikan-ikan ekonomis 3. Pengembangan budidaya teripang 4. Pengembangan usaha-usaha kerajinan tangan (souvenir) yang diperuntukan bagi wisatawan yang berkunjung di Kabupaten Wakatobi 5. Pengembangan usaha kerajinan pandai besi dengan sentuhan nilai estetika
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 85 -
6. Pengembangan usaha-usaha dibidang peternakan seperti budidaya itik, ayam dan unggas lainnya 7. Dan lain-lainnya yang dapat menunjang perekonomian masyarakat tanpa melakukan aktivitas yang dapat merusak lingkungan khususnya terumbu karang.
V.2. Rekomendasi Kegiatan Sosial Ekonomi Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, beberapa poin yang kiranya dapat diperhatikan yakni: 1. Mengembangkan kelembagaan masyarakat pesisir, kawasan pertinggal dan terpencil, budidaya perikanan laut dan jaring apung diperairan umum, pengelolaan potensi, sarana dan prasarana kelembagaan guna mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara rasional. 2. Masih perlunya masyarakat dibantu pengetahuan dan peralatan untuk melakukan kegiatan perikanan tangkap laut dalam. Ini karena masih terbatasnya sarana tangkap yang dimiliki oleh masyarakat khususnya pada daerah-daerah yang banyak menggantungkan hidupnya pada kegiatan perikanan. 3. Meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya sumberdaya laut sebagai basis ekonomi kerakyatan yaitu dengan melakukan pembinaan secara kontinyu sehingga pemanfaatan sumberdaya laut tersebut dapat langsung dikelola secara lestari dan dimanfaatkan secara berkelanjutan (suistainable). 4. Meningkatkan bantuan modal dan akses pasar khususnya bagi kaum gender dalam mengembangkan industri rumah tangga sebagai salah satu mata pencaharian alternatif, sehingga keterampilan dan pengalaman pelatihan yang di peroleh dapat secara langsung diimplentasikan dan dapat menambah ekonomi keluarga. Program Coremap II Kabupaten Wakatobi Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil survey dalam melanjutkan pelaksanaan Program Coremap II Kabupaten Wakatobi khususnya pada daerah yang menjadi sasaran program adalah sebagai berikut :
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 86 -
1. Meningkatkan sosialisasi program secara lebih luas dan menyeluruh pada semua lapisan masyarakat khususnya terkait dengan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan dan pembinaan mata pencaharian alternatif sehingga mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya terumbu karang. 2. Meningktakan keterlibatan masyarakat dalam implementasi Program Coremap II tentunya melalui pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat secara langsung dapat merasakan dan menyadari bahwasanya program Coremap berasal dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. 3. Perlunya keterbukaan dan komunikasi yang lancar dan intens antar sesama pihak pengelola Coremap II mulai dari PMU hingga pada staf lapangan mengingat di beberapa tempat macetnya komunikasi dan koordinasi menjadi penyebab tersendat-sendatnya program baik secara fisik maupun nonfisik.
4. Meningkatkan koordinasi antar pihak/lembaga/instansi yang terkait dengan pencapaian tujuan Program Coremap II seperti TNC/WWF, Opwall, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Bappeda, Dinas Pertanian dan Perkebunan.
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 87 -
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Draft Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Wakatobi 2006 – 2011. Pemerintah Kabupaten Wakatobi Anonim, 2007. Laporan Pelatihan Benefit Monitoring Evaluation (BME) SosialEkonomi. LSM Sciences-Program Coremap II Kab. Wakatobi, Wangi-Wangi Anonim, 2007. Profil Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Wakatobi; Laporan Kegiatan Survey. Sulacon-Yayasan Prima, Wangi-Wangi. Anonim, 2008. Hasil Rapat Pembinaan dan Pembakuan Nama-Nama Pulau di Indonesia. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 2009. Kabupaten Wakatobi dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi, Wangi-Wangi Anonim, 2008. Kabupaten Wakatobi dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi, Wangi-Wangi. Hidayati, D., Ngadi dan Daliyo, 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II Kasus Kabupaten Wakatobi Laporan Baseline Monitoring Kondisi Sosial Ekonomi. CRITC-LIPI, Jakarta Mart Consultant, 2008. Laporan Akhir Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Mart Consultant dan PMU Coremap II Kabupaten Wakatobi PMU Coremap II Kabupaten Wakatobi, 2008. Wawancara Persiapan Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Coremap II Kabupaten Wakatobi. PMU Coremap II Kabupaten Wakatobi, 2009. Wawancara Persiapan Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Coremap II Kabupaten Wakatobi Undang-Undang No. 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara, Jakarta. Widayatun, dkk,. 2006. Kutipan Panduan Penelitian BME- Sosial Ekonomi, LIPICRITC Coremap II, Jakarta
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 88 -
Lampiran : 1 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2009 (Persen) No 1 2 3 4 5 6
Pendapatan (Rp)
< 100.000 100.000 - 199.999 200.000 - 299.999 300.000 - 399.999 400.000 - 499.999 500.000 + Rata2 Pendapatan RT Jumlah N
Waha 0 0 0 0 0 100 2.752.333 100 30
Wandoka 4 0 2 4 4 86 2.362.493 100 50
Mola S 0 0 0 0 0 100 2.333.810 100 70
Balasuna 0 4 4 12 10 70 1.103.584 100 50
Desa/Kelurahan Langge Lamanggau 0 0 0 0 0 2 0 6 0 2 100 90 1.550.145 2.623.333 100 100 50 50
Patipelong 0 4 0 2 8 86 1.521.433 100 50
Makoro 4 8 20 6 4 58 948.058 100 50
Waloindi 6 2 6 6 8 72 998.233 100 50
Total 2 2 4 4 4 85 1.780.668 100 450
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 89 -
Lampiran : 2 Distribusi Rumah Tangga Nelayan Terpilih Menurut Pendapatan di Lokasi Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2009 (Persen)
No
Pendapatan (Rp)
Waha
Wandoka
Mola S
Balasuna
Desa/Kelurahan Langge Lamanggau
Total
Patipelong
Makoro
Waloindi 0
1
1
< 100.000
0
0
0
0
0
0
0
9
2
100.000 - 199.999
0
0
0
19
0
0
4
26
0
5
3
200.000 - 299.999
0
0
0
24
0
2
4
48
23
9
4
300.000 - 399.999
0
0
0
0
0
6
4
4
46
5
5
400.000 - 499.999
0
0
0
5
0
2
12
0
31
4
6
500.000 + Rata2 Pendapatan RT Jumlah N
100
100
100
52
100
3.390.667
2.451.101
2.754.583
1.501.827
2.499.444
100 28
100 19
100
100 21
100 6
53
90 2.664.861
100 48
76 1.369.800
100 25
13 531.830
100 23
0 440.897
100 13
77 2.110.663
100 236
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 90 -
Lampiran : 3 Statistik Pendapatan Nelayan di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi, 2009 (Rupiah)
Desa/Kel.
Rata-Rata Rumah Tangga (RT)
Median Pendapatan RT
Pendapatan Minimum Pendapatan RT
Maksimum Pendapatan RT
Perkapita
Waha
3.390.667
2.900.000
1.000.000
8.846.667
641.682
Wandoka Mola Selatan
2.451.101 2.754.583
2.233.333 2.391.667
950.000 1.054.167
5.700.000 7.476.667
617.039 671.184
Balasuna Langge
1.501.827 2.499.444
1.470.000 2.460.000
301.667 2.066.667
2.516.667 3.066.667
483.459 833.148
Lamanggau Patipelong
2.664.861 1.369.800
2.713.333 1.091.667
233.333 183.333
10.283.333 5.800.000
722.439 379.407
531.830 440.897
250.000 416.667
38.750 206.667
3.050.000 666.667
124.336 143.213
2.110.663
1.900.000
38.750
10.283.333
541.201
Makoro Waloindi Total
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
- 91 -
Lampiran : 4 Rata-Rata Pendapatan Nelayan Menurut Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, 2009 (Rupiah) Musim Desa/Kelurahan Gel. Lemah Waha Wandoka Mola Selatan Balasuna Langge Lamanggau Patipelong Makoro Waloindi Rata-Rata
Pancaroba
Gel. Kuat
3.740.000
2.241.071
1.330.000
3.678.947
2.071.053
2.486.842
3.000.189
2.141.604
2.211.509
929.048
409.048
442.147
2.166.667
908.333
598.333
3.574.787
2.442.292
1.958.085
1.410.800
1.215.800
1.143.125
368.696
268.696
190.652
603.846
247.692
171.154
2.492.606
1.638.432
1.483.856
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
92
Lampiran : 5 Nilai Median Pendapatan Nelayan Menurut Musim di Lokasi Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, 2009 (Rupiah) Musim Desa/Kelurahan Gel. Lemah Waha Wandoka Mola Selatan Balasuna Langge Lamanggau Patipelong Makoro Waloindi Median
Pancaroba
Gel. Kuat
3.420.000
2.025.000
1.200.000
3.200.000
1.800.000
1.800.000
2.520.000
1.800.000
1.800.000
800.000
300.000
320.000
1.900.000
900.000
520.000
3.000.000
2.450.000
1.400.000
900.000
900.000
875.000
300.000
200.000
150.000
600.000
250.000
150.000
1.800.000
1.200.000
1.000.000
Sumber : Data Primer, Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi 2009
BME-Sosial Ekonomi, 2009
93
Lampiran : 6 Dokumentasi Kegiatan
Pertemuan (Wawancara) Dengan Masyarakat
Kondisi Pemukiman Masyarakat Bajo di Desa Mola Selatan
Jenis Alat Tangkap Yang Digunakan Nelayan
BME-Sosial Ekonomi, 2009
94
Potensi Sumberdaya di Kabupaten Wakatobi
Ikan
Rumput Laut
Tuna
BME-Sosial Ekonomi, 2009
Teripang
Tembakau
Karamba
95