Undang-Undang Perkawinan, antara Sejarah dan Agenda Alimuddin, SHi1
PROLOG Jumat 17 Februari 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan
yang
revolusioner
sepanjang
sejarah
MK
di
republik
ini.
Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai putusan MK ini sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.
2
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Uji materi Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) ini diajukan oleh Machica Mochtar. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga 1
2
. Hakim Pengadilan Agama Pandan . "Anak Hasil Zina Harus Dipertanggungjawabkan," http://nasional.vivanews.com/news/read/289045mk-menangkan-sebagian-gugatan-machica-mochtar. Jum'at, 17 Februari 2012, 11:10 WIB.
1
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.3 Namun, MK hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon tersebut. Lebih lanjut Prof. Mahfud MD menyampaikan, putusan tersebut dinilai penting dan sangat revolusioner, penulis justru beranggapan bahwa dengan hadirnya putusan MK tersebut, para Hakim Agama akan berupaya mencari 'strategi' cerdas dan terukur dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang semisal dengan perkara yang diajukan Pemohon itu, karena sebelumnya pada 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tigaraksa atas permohonan itsbat nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tidak dapat diterima. Meski pernikahannya dianggap sah karena rukun nikah terpenuhi, tetapi pengadilan agama tidak berani menyatakan Iqbal anak yang sah karena terbentur dengan asas monogami yang dianut Undang-Undang Perkawinan. Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
ini efek dari perceraian Macicha dan
Moerdiono, mantan Mensesneg era (alm) Presiden Soeharto. Macicha dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat perkawinan dengan istrinya. Lantaran Undang-Undang Perkawinan menganut
asas
monogami
mengakibatkan
perkawinan
Macicha
dan
Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA. Akibatnya, perkawinan mereka 3
. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 4
2
dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tidak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak berusia 2 tahun. Iqbal juga kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran lantaran tidak ada buku nikah.4 Yang menarik dari putusan MK tersebut, dari Sembilan orang Hakim Konstitusi termasuk Prof. Mahfud MD sebagai ketua majelis, hanya satu orang Hakim Konstitusi yang menyatakan alasan berbeda (concurring opinion), yaitu Prof. Maria Farida Indrati. Menurutnya, tidak ada hak Pemohon yang dirugikan secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasannya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya, jadi tidak ada istilah "dosa turunan." Bagi penulis sendiri, persoalannya sekarang bukan hendak mengajak berdebat para ahli hukum dan pengambil keputusan terhadap UndangUndang Perkawinan tersebut, tetapi yang terpenting sekarang adalah ketika Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan
sudah
'terkontaminasi' dengan tangan-tangan para pemegang kepentingan dan banyak orang yang mulai mengobok-obok legalitas sebuah perkawinan dalam Undang-Undang tersebut, hal ini perlu menjadi kajian kita bersama. Penulis meminjam istilah Prof. Jimly mantan Ketua MK yang mengatakan bahwa ketika sebuah Undang-Undang seringkali diuji ke MK, baik menyangkut substansi maupun aplikasi di masyarakat, maka setidaknya Undang-Undang tersebut banyak masalah dan perlu dikaji.5 Dengan 4
. MK: Laki-Laki “Buaya Darat” Wajib Bertanggung Jawab.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3e288a2589c/mk-lakilaki-buaya-darat-wajibbertanggung-jawab..Jumat, 17 Februari 2012 (akses; 18 Februari 2012).
5
. Prof. Jimly Asshiddiqie, "Beragam Masalah Dalam UU Kita." Harian Seputar Indonesia, wawancara, 12 November 2009.
3
demikian, merumuskan kembali revisi Undang-Undang Perkawinan adalah sebuah keniscayaan dalam konteks kekinian dimana hukum bersifat dinamis selalu berubah-ubah dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, apakah harus sekarang perubahan itu? Inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. TINJAUAN HISTORIS UU PERKAWINAN Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR hasil pemilu 1971 yang telah menarik perhatian masyarakat luas terutama umat Islam, adalah RUU tentang perkawinan. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU tersebut, karena mereka menganggap materi di dalam RUU itu banyak bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, begitu naskah RUU Perkawinan disampaikan pemerintah kepada DPR, reaksi masyarakat langsung menggelombang, baik melalui media massa maupun media dakwah, meskipun pada waktu itu pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan internal, baik membentuk pansus maupun panja.6 Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam. Gelombang
penolakan
dan
reaksi
terhadap
RUU
Perkawinan
berdatangan dari pelbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi golkar KH. Yusuf Hasyim
7
yang telah mencatat pelbagai kekeliruan dalam
RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan pancasila yang berketuhanan yang maha
6 7
. Amak FZ. "Proses Undang-Undang Perkawinan." 1976. PT al Ma'arif. Bandung. Hlm : 7 . Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang yang juga menjadi anggota DPR fraksi PPP unsur NU.
4
esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.8 Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat.9 Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina.10 Suara dari perguruan tinggi Islam juga dominan dalam menyikapi draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga menyampaikan pendapat akademisnya
terkait
proses
penggodokan
RUU
Perkawinan
inisiatif
pemerintah. Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdapat 14 pasal RUU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Hukum Islam, antara lain tentang definisi perkawinan, peluang poligami
dan
poliandri,
tidak ada
penegasan
pembatasan poligami,
8
. "Suara Sugiarto Paralel Dengan Doktrin Komunis RUU Perkawinan Bertentangan Dengan UUD 1945," Surat Kabar Harian Abadi. Jakarta, 20 Agustus 1973. 9 . Keputusan Presiden RI (Soeharto) Nomor R.02/P.U/VII/1973 tanggal 31 Juli 1973. Perihal RUU tentang Perkawinan yang disampaikan kepada pimpinan DPR, isinya adalah pemerintah menarik dua RUU yang telah disampaikan kepada DPR, yaitu :1) RUU tentang Peraturan Perkawinan Umat Islam, sebagaimana telah disampaikan dengan amanat Presiden Nomor R.02/PRES/5/1967 tanggal 22 Mei 1967. 2) RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan sebagaimana telah disampaikan dengan amanat Presiden Nomor R.010/P.U/HK/9//1968 tanggal 7 September 1968. 10 . Hamka. "RUU Perkawinan Yang Menggoncangkan." Artikel. Media Dakwah, Jakarta. tt
5
pembatasan izin pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar, soal wali, larangan perkawinan karena hubungan pengangkatan anak, soal perbedaan agama dalam perkawinan, waktu tunggu (iddah), soal larangan kawin lagi bagi suami istri yang sudah bercerai untuk kedua kalinya, soal pertunangan dan soal putusnya perkawinan.11 Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa itu, sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU
Perkawinan
yang sekarang menjadi
polemik di
tengah-tengah
masyarakat Indonesia, pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut,
dan
dilangsungkan
menurut
ketentuan
Undang-Undang
ini
dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini." 11
. "Suara Institut." Harian Kami. Jakarta, 28 Agustus 1973. Sebagai bahan perbandingan : Pasal 1 RUU Perkawinan disebutkan tentang definisi perkawinan yang tidak lengkap, karena di dalamnya tidak terdapat unsur akad yang berupa ijab kabul serta tidak mencantumkan objek serta akibat hukumnya. Pasal 2 RUU Perkawinan tentang sahnya perkawinan, menurut RUU tersebut unsur administratif menentukan sahnya perkawinan, sedangkan menurut hukum Islam sahnya perkawinan wajib dipenuhi serangkaian rukun dan syarat tertentu, seperti ijab kabul, wali dan saksi, unsur administratif tidak menentukan sahnya perkawinan. Pasal 3 ayat 1 dicantumkan klausul "pada azasnya" berarti di samping membuka kemungkinan terjadinya poligami, juga membuka kemungkinan terjadinya poliandri yang menurut hukum Islam poliandri diharamkan secara mutlak. Pasal 3 ayat (2) tidak ada pembatasan poligami, sedangkan hukum Islam dalam keadaan tertentu memberi kemungkinan seorang laki-laki beristri sampai empat orang dalam suatu ketika. Pasal 4 ayat (2) pembatasan izin oleh Pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, hanya jika beralasan salah satu dari tiga alasan saja, yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal tersebut, dinilai tidak dapat menampung alasan-alasan lain yang menjamin kemaslahatan kaum wanita sendiri, seperti kondisi sosiologis. Pasal 5 ayat (2) menetapkan seorang istri yang pergi tanpa kabar beritanya, baru setelah sekurangkurangnya 2 tahun , suami boleh mengajukan permohonan izin kawin kepada Pengadilan, sehingga memberikan peluang kepada suami yang tidak sabar untuk berzina. Pasal 6 tentang wali, bukan wali nikah menurut hukum Islam yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan, melainkan sekedar memenuhi unsur administratif belaka. Pasal 8 (a) dan (b) hanya membatasi larangan perkawinan karena hubungan darah (nasab) saja, sementara dalam hukum Islam, larangan tersebut tidak hanya hubungan nasab saja, melainkan karena hubungan semenda, hubungan susuan dan karena dimadu. Pasal 13 ayat (2) tentang pertunangan, pasal ini melembagakan sistem pertunangan yang mengarah pada legalisasi perzinahan antara pihak-pihak yang bertunangan.
6
Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar
menuruti
kebutuhan
administratif
pemerintahan
dan
tidak
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :"1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan
perkawinan."
12
Menyikapi
draf
RUU
Perkawinan
inisiatif
pemerintah tersebut, dalam musyawarah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan. Dari hampir sebagian usulan perubahan terhadap RUU Perkawinan dari para ulama, penulis hanya menyoroti 2 (dua) pasal krusial yang berhubungan dengan pokok pembahasan dalam tulisan ini, yaitu Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. RUU Perkawinan versi pemerintah Pasal 2 ayat 1 :"Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan 12
RUU Perkawinan versi ulama Pasal 2 ayat 1 :" Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan
UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sementara Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
Berdasarkan putusan MK
Tetap seperti semula (Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dibatalkan MK.
. Draf RUU Perkawinan versi Pemerintah, Tahun 1973.
7
undang-undang ini."
perkawinan."
Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) berbunyi :"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya." Ayat (2) berbunyi :"Anak yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya." Ayat (3) berbunyi :"Anak yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan."
Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) berbunyi :"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya."
perundangundangan yang berlaku”. Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dibatalkan MK sehingga menjadi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Kalau kita mau kembali mengkaji sejarah pembentukan UndangUndang Perkawinan, sebenarnya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) awalnya telah ditetapkan sebagaimana mestinya. Pemerintah melalui Menteri Agama Prof. Mukti Ali dan Menteri Kehakiman Prof. Oemar Senoaji, SH,13 telah merumuskan ketentuan pasal dimaksud sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu, lalu tiap-tiap perkawinan dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2006
tentang
Administrasi
Kependudukan. Begitu pula dengan ketentuan pasal 43 yang sebelumnya menjadi pasal 49 dalam RUU Perkawinan, terhadap ayat (1) dalam ketentuan Pasal 49 RUU Perkawinan dijelaskan bahwa Anak yang dilahirkan di luar
13
. Amak FZ. Log.Cit. Hlm : 60.
8
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, namun kelanjutan dari ayat 2 lebih mempertegas status anak pada ayat 1, bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat diakui oleh ayahnya. Secara perdata, anak tersebut mempunyai hubungan erat dengan ayahnya yang bersumber dari sebuah pengakuan sang ayah. Namun, para ulama dengan usulannya mementahkan kembali konsep Pasal 49 ayat 1, 2, dan 3 tersebut. Akhirnya, ketentuan Pasal 49 tersebut diakomodir dengan Pasal 43 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tetap mempertahankan status anak pada ibu dan keluarga ibunya secara perdata. Meskipun demikian, hakim konstitusi kembali menyempurnakan status anak yang terlahir di luar pernikahan/perkawinan disamping mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya. UPAYA REVISI UU PERKAWINAN Apa yang telah dilakukan Machica Mochtar mantan istri almarhum Moerdiono, dan Halimah Kamil mantan istri Bambang
Trihatmodjo
terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlabuh di Mahkamah Konstitusi, setidaknya menjadi bahan pemikiran para stakeholders dan para pengguna (users) Undang-Undang Perkawinan, ternyata sepanjang sejarah pemberlakuan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, sebagian masyarakat mulai gundah gulana dan gusar yang mengakibatkan Undang-Undang tersebut diuji materil di Mahkamah Konstitusi. Upaya revisi Undang-Undang Perkawinan paling tidak menjadi prioritas utama bagi badan legislasi nasional dan idealnya telah masuk program legislasi nasional DPR. Sebagai sebuah produk lembaga legislatif, ternyata Undang-Undang Perkawinan mulai membuat tidak nyaman penggunanya, upaya revisi Undang-Undang Perkawinan juga mulai terdengar di pelbagai lapisan masyarakat. Hukum yang selalu dikatakan ketinggalan dari perkembangan zaman, karena seiring perkembangan zaman, akan terjadi pergeseran nilai,
9
yang dulunya hanya sebuah hal biasa namun dengan perkembangan zaman hal tersebut berubah menjadi perbuatan tercela bahkan menjadi perbuatan pidana. Disinilah diharapkan bahwa Hukum itu merupakan sebuah kristalisasi dari naluri, persaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adab, nilai atau budaya yang hidup di masyarakat. Hukum selama ini diartikan masyarakat dalam bentuk Peraturan Perundang-udangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini secara lebih khusus diartikan menjadi Undang-Undang yang dibuat oleh Lembaga Legislatif, ternyata belum mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, banyak aspek kehidupan dalam masyarakat yang perlu diatur atau sudah ada aturannya namun aturan perlu diperbarui. Aspek kehidupan yang oleh Negara diatur bukan hanya mengenai hubungan dalam bermasyarakat, namun sudah memasuki wilayah pribadi manusia sebagai anggota masyarakat.14 Salah satu aspek kehidupan manusia yang mana pemerintah turut campur adalah masalah perkawinan (penikahan), bentuk pengaturannya jelas sekali sebagaimana berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pelaksana (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksana
Undang-Undang
Perkawinan,
namun
selama
ini
peraturan tersebut masih dinilai lemah, dan kurang memadai bagi Peradilan Agama RI untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesiakan perkara. Sumber hukum yang digunakan hakim Peradilan Agama adalah dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang secara yuridis KHI hanya diatur dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991. Sebagai solusinya, harus ada upaya membuat RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan adalah salah satu usaha pemerintah
14
. Wasis Priyanto, SH, MH."Kewenangan PA dan RUU tentang Hukum Materil PA." asispecintailmu.blogspot.com/2010/08/kewenangan-peradilan-agama-dan-ruu.html . 1 Agustus 2010 . posted : 21: 34 WIB (akses : 18 Februari 2012)
11
(sebagai
penggagas)
untuk
membentuk
hukum
perkawinan
yang
akomodatif terhadap hak. Meski telah diusulkan sejak enam tahun lalu, namun kini baru menuai kontroversi , hal itu mungkin karena RUU tersebut
baru
saja
dimasukkan
dalam
Program
Legislasi
Nasional
(Prolegnas) Tahun 2010. Hal Baru dalam RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada pokoknya mengatur tentang Perkawinan, dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang cukup signifikan karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU Tersebut, yaitu: 1. Ketentuan Umum (BAB I); 2. Masalah Peminangan (BAB III) ; 3. Mahar (BAB V) 4. Taklik Talak (bab VII bagian Kesatu); 5. Perkawinan Perempuan Hamil karena zina (BAB VIII); 6. Rujuk ( BAB XIX); 7. Ketentuan Pidana (Bab XXI) Selain ketentuan tersebut diatas, hal sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975 diatur lebih mendetil dan terperinci dalam RUU HMPA yaitu, dasar-dasar perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, larangan perkawinan dan perkawinan yang dilarang, perjanjian perkawinan, beristri lebih dari satu, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, dan masih banyak lagi. Dalam ketentuan umum ini yang perlu di kritisi adalah mengenai hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam ketentuan lama, yaitu mengenai Nikah Mutah dan zina, Dalam RUU HMPA disebutkan Perkawinan Mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu dengan maksud untuk mencari kesenangan dan/atau kepuasan seksual 11
sedangkan Zina adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Zina menurut KUHP, hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain. Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan paksaan menurut Pasal 285 KUHP, persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya menurut Pasal 286 KUHP dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima belas tahun dalam ketentuan Pasal 287 KUHP. Perzinahan hanya dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan (medepleger), delik perzinahan menurut Pasal 284 ayat (2) KUHP adalah delik aduan absolut (absoluut klachdelicten) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan suami atau isteri yang tercemar dengan adanya perzinahan itu. RUU HMPA mengartikan ZINA sebagaimana menurut hukum pidana Islam,
tidak
mempersoalkan
apakah
pelaku-pelakunya
telah
diikat
perkawinan dengan orang lain atau belum. hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan adalah zina, namun dalam RUU HMPA mengatur Perzinaan tidak secara terperinci tidak sebagaimana dalam hukum islam, Zina dalam Hukum Islam Zina digolongkan menjadi 2 yaitu : Apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân. Perbedaan ini berkaitan dengan masalah sanksi yang akan dijatuhkan. RUU HMPA sebagaimana kebiasaan suatu peraturan perundangundangan juga mencantumkan mengenai Ketentuan Pidana yaitu sanksi pidana bagi pelanggarnya. Ketentuan Pidana dimaksud diatur dalam Pasal 143 s.d. Pasal 150 RUU,yang terkait dengan: 12
Pelaksanaan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah,
Perkawinan mutah, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan,
Penceraian isteri tidak didepan sidang pengadilan,
Perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-lak imenolak mengawininya,
Pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah,
Siapapun yang bertindak sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim,
Siapapun yang tidak berhak sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Tindak Pidana Dalam RUU HMPA ini tercantum dalam Bab XXI terdiri
dari 2 kategori yaitu : 1. Pelanggaran
yaitu : Pelaksanaan perkawinan tidak dihadapan
Pejabat Pencatat Nikah (Pasal 143,) perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
(pasal145),
Penceraian
isteri
tidak
didepan
sidang
pengadilan (pasal 146), Pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah (pasal 148) yang mana ancaman hukumannya adalah denda paling banyak Rp 6 Juta atau pidana kurungan 6 bulan; 2. Tindak Pidana Kejahatan , yaitu : Perkawinan mutah (Pasal 144,) Perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya (pasal 147), Siapapun yang bertindak sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim (pasal 149), Siapapun yang tidak berhak sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah (pasal 150) yang mana ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 3 tahun, kecuali pasal 147 (3 bulan); Pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana di atas ada yang berupa pidana denda, pidana kurungan, dan/atau pidana penjara yang penindakannya didasarkan pada laporan masyarakat atau pihak-pihak yang
berkepentingan,
setelah
melalui
penyelidikan,
penyidikan,
dan
penuntutan. (pasal 153), dari rumusan pasal ini, bagaimana kalau tidak 13
ada laporan dari masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, apakah bisa dilakukan penyidikan, dan penuntutan; Dari ketentuan pidana tersebut, yang paling banyak disorot adalah mengenai ketentuan pasal 143 RUU HMPA : 'Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan) Nikah siri (nikah yang tidak dicatat dalam catatan sipil) sebagaimana ketentuan dalam pasal 143 RUU HMPA ternyata ditanggapi berbeda oleh kelompok masyarakat, ada yang sepakat ada yang menolak. Kelompok yang mendukung RUU memaparkan argumentasi bahwa RUU itu diperlukan untuk melindungi kaum Perempuan yang tertindas dan dapat dikategorikan sebagai kaum yang lemah yang tidak mendapatkan kepastian hukum akibat nikah siri. Sementara kelompok yang menentang RUU didasarkan bahwa norma itu telah diatur didalam ajaran agama (terutama agama Islam) sehingga tidak perlu lagi diatur oleh negara. Berkaitan nikah siri, perlu disimak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1776K/Pdt/2007
tanggal 28 Juli 2009, bahwa dapat diambil sebuah kadiah hukum yaitu : perkawinan Tjia Mei Joeng dengan Liong Tjung Tjen yang dilakukan secara adab dan tidak dicatatkan pada catatan sipil di pandang tetap sah dan penggugat harus dinyatakan sebagai janda Liong Tjung Tjen. EPILOG Apa yang telah penulis sampaikan, paling tidak ada tiga hal sebagai bahan pemikiran bersama, antara lain : 1. Upaya
revisi
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan adalah sebuah keniscayaan, dan RUU HMPA perlu dipercepat pembahasannya. 2. Para Hakim Peradilan Agama khususnya, perlu menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 14
2012 tersebut secara cerdas, arif, visioner dan mempunyai sense of justice. Dengan demikian, peluang ijtihad masih terbuka lebar dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara perkawinan akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. 3. Ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka gejala-gejala sosial kultural pada prinsipnya telah terbentuk di tengah-tengah masyarakat, mereka semakin cerdas melihat pelbagai peristiwa hukum yang terjadi akibat dari produk hukum yang ada, dengan demikian sebagai seorang juris
yang
berpedoman
pada
nilai-nilai
keadilan
dan
keluhuran martabat, hakim seharusnya mampu menjawab gejala tersebut melalui peningkatan kualitas keilmuan dan keimanan. Demikian, semoga ada manfaat.
15