PERKAWINAN DALAM ISLAM; ANTARA FENOMENA BIOLOGIS DAN SOLUSI ILAHIYYAH Euis Laelasari Abstract As a divine and lawful institution, marriage constitutes interpersonal relationship that defines the rights and obligations of husband and wife as a family. As simplied and limited sequences, lawful marriages have a huge implication according to specific problem also the diversity in it. In another side, as biological fenomena marriage naturally indicates the proccess of human metabolism causality. So that, why does God arrange human harmonization in the concept of marriage? Because it’s about life. It’s about ‘never ending proccess’ through human’s life. So that, in anyways marriage is the solution for human’s life. “Karena cinta dan demi cinta langit dan bumi diciptakan, dan atas dasarnya makhluk diwujudkan, demi cinta seluruh planet beredar dan dengannya pula semua gerak mencapai tujuannya serta bersambung awal dan akhirnya. Dengan cinta semua jiwa meraih harapannya dan mendapatkan idamannya serta terbebaskan dari segala yang meresahkannya.” Demikian pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 1350 M).1
Pendahuluan Kebebasan seks yang akhir-akhir ini kembali menjadi perbincangan publik dan menjadi kekhawatiran khalayak ramai, disadari atau tidak, sebetulnya merupakan produk dari konstruksi pikir yang tengah berkembang di masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa arus informasi dan komunikasi yang tak terbendung di era globalisasi, menjadi salah satu akses yang ikut mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi bentuk dari konsruksi pikir yang mana, yang berkembang dan memprihatinkan tersebut? Salah satunya mewujud dalam percepatan dan pergeseran semua bidang yang terseret jargon modernitas yang ternyata tidak hanya menuai nilai positif tetapi juga nilai negatif. Seperti juga dalam wujud gaya hidup modern yang mengedepankan konsep simplicity dalam semua aspek yang terjamah manusia modern. Termasuk dalam menilai akan arti ‘memasuki’ sebuah pernikahan atau menjalani pernikahan itu sendiri. Dalam hal pernikahan, manusia modern telah lebih jauh memandang pernikahan sebagai sebuah hal yang rumit dan merenggut gagasan-gagasan simplisitas. Bahwa pernikahan akan mengancam kebebasan diri, pernikahan akan mengungkung seorang perempuan dalam keterjebakan budaya ibu rumah tangga yang membosankan. Pernikahan menuntut tanggung jawab besar dan ‘renteng’, karenanya cukup puaskan masa mudamu untuk bersenang-senang. Bahkan lebih ironis lagi ketika 1 Quraish Shihab dalam nasihatnya bagi para pasangan pengantin dalam Pengantin Al-Quran: Kalung Permata buat Anak-anakku., (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. III, h. 23
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
seseorang memutuskan untuk hidup single selamanya, karena pernikahan dianggap membuat orang terjebak dan terkungkung hubungan yang terikat selama kontrak itu dibuat. Beberapa pandangan di atas, sesungguhnya adalah sebuah umpan balik dari konstruksi pikir yang melawan arus sisi manusiawi dan siklus alami manusia secara khusus dan alam semesta secara umum. Terutama konstruksi pikir yang menyangkut relasi pria dan wanita yang kembali menjadi perbincangan publik akhir-akhir ini. Tidak hanya berimbas secara sosial-keagamaan, melainkan juga ranah politik ikut mengambil alih posisi ini. Beberapa pameo mengenai pernikahan di atas juga sejujurnya, terbantahkan oleh fenomena yang tergelar akhir-akhir ini. Dimana terungkap sebuah fakta yang nyata dan tak terhindarkan, bahwa hubungan seksual adalah sebuah kebutuhan manusiawi baik itu bagi pria ataupun wanita. Terutama bagi mereka yang telah mengalami kematangan organ reproduksi, dimana laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan bagi perempuan ditandai dengan menstruasi, apalagi bagi mereka yang pernah menikah. Bagaimanapun siklus yang terjadi pada pria dan wanita di awal menjelang dewasa adalah sebuah proses yang tak terhindarkan dari proses metabolisme yang terjadi secara alami. Penentangan-penentangan yang terjadi baik secara sadar atau tidak sadar akan mengakibatkan terjadinya protes unsur biologis manusia secara khusus dan kerusakan sistem dirinya secara keseluruhan. Bagaimana sebetulnya fenomena biologis yang terjadi secara khusus pada proses metabolisme tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sistem yang dimaksud? Bagaimana pula syariat Diien al-Islam memformulasi fenomena biologis ini? Tulisan ini akan membidik dua persoalan tersebut. Pertama, mengenai seksualitas sebagai alur biologis manusia yang alami, yang kemudian dirangkai dengan memahami seputar konsep pasangan dalam proses ta’aruf (perkenalan). Kedua, mencoba memahami pernikahan sebagai sebuah institusi Tuhan dalam aturan fiqh berikut simbolisasi hikmah dan jaminan-jaminannya dalam al-Quran. Seksualitas; Sebuah Alur Biologis yang Alami Ada sebuah siklus yang secara alamiah terjadi pada diri manusia. Sekaligus menandakan keluarbiasaan proses kemenjadiannya yang kemudian teridentifikasi sebagai bentuk yang sebaik-baiknya (Q.s. atTīn/95: 4) (Q.s. al-Kahfi/18: 37). Entah itu terjadi pada laki-laki ataupun perempuan, proses itu semakin nyata ketika menjelang dewasa. Tingkat maturitas seorang laki-laki secara biologis ditandai dengan berkembangnya kantung testis yang biasanya diawali dengan mimpi basah; munculnya jakun dan tumbuhnya bulu-bulu di beberapa tempat di sekitar organ vitalnya. Kantung testis ini pun berkembang seiring dengan baiknya asupan nutrisi yang diproses pada tiap anak laki-laki hingga ia dewasa. Semakin baik kualitas makanan yang ia makan semakin baik pula produksi yang bisa dihasilkan dalam kantung testisnya. Pada saatnya nanti, sperma 329
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
yang diproduksi kantung testis inipun membutuhkan penyalurannya yang baik dan bijaksana. Berbeda dengan anak perempuan bahwa tingkat kematangan mereka, ditandai dengan datangnya waktu menstruasi sebagai wujud matangnya indung telur yang siap untuk dibuahi. Tidak terjadinya proses pembuahan atau ovulasi mengakibatkan 'melemahnya' / 'busuknya' sang indung telur sehingga keluar dalam bentuk darah menstruasi. Sebuah siklus yang luar biasa produktif terjadi pada setiap perempuan, mengingat datang secara berkala. Selain hal tersebut di atas, tanda-tanda yang lainnya adalah membesarnya payudara dan tumbuhnya bulu-bulu di organorgan tertentu. Perkembangan secara biologis pada organ-organ vital ini juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan daya seksual manusia. Seperti munculnya daya tarik yang luar biasa terhadap lawan jenis juga munculnya perhatian-perhatian yang khusus terhadap perkembangan organ seksual itu sendiri. Yang menarik adalah proses kematangan antara ovum dan sperma begitu berbeda. Produksi ovum selain terkait dengan proses yang khas dan berbeda pada masing-masing tubuh wanita. Juga sangat terkait dengan rentang waktu dimana ovum tumbuh, membesar, matang hingga membusuk dan keluar dalam bentuk darah mestruasi kemudian memproduksi lagi dan begitu seterusnya. Sedangkan apa yang terjadi pada laki-laki adalah sebuah energi timbal balik. Kebutuhan mereka akan makan dan minum atau nutrisi untuk tumbuh, memberikan energi baru untuk beraktivitas dan bekerja. Dalam keseimbangannya energi ini pun bisa terbuang dalam bentuk limbah toxin atau kotoran yang negatif, atau mengkristal dalam bentuk sperma yang positif. Limbah toxin dan kotoran harus dibuang karena tidak ada guna dan untungnya untuk disimpan. Bahkan hanya akan menimbulkan penyakit-penyakit yang tidak diinginkan. Berbeda dengan energi positif dalam bentuk sperma, seiring dengan kualitas asupan nutrisi yang akan menghasilkan sperma yang berkualitas juga banyak, hal ini pun bisa dikontrol namun tetap membutuhkan penyaluran yang baik. Terutama nutrisi yang baik di sini, berasal dari alam. Alam memproduksi unsur hara dalam tanah yang banyak mengandung mineral dan zat-zat lainnya yang baik untuk tubuh manusia. Hal inilah yang dalam al-Quran sering digambarkan sebagai unsur utama dari kisah ke-menjadi-an manusia (Q.s. al-Mu’minūn/23: 12), (Q.s. al-Mu’min/40: 67), (Q.s. al-Fāthir/35: 11) (Q.s. alHajj/22: 5), (Q.s. al-Qiyāmah/75: 37), (Q.s. al-Insān/76:2), (Q.s. ‘Abasa/80: 19), (Q.s. al-Kahfi/18: 37). Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (Q.s. al-Mu’minūn/23: 12.)
Ayat di atas sebetulnya hanya mengungkap kata kunci penciptaan manusia yang berasal dari tanah. Akan tetapi bagaimana proses tersebut 330
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
berlangsung dan bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi, terungkap di ayat berikutnya. Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah (Q.s. al-Fāthir/35: 11.)
Dengan nyata ayat di atas menjelaskan ada proses terlibatnya dua orang, laki-laki dan perempuan, sebagai pasangan dalam kisah kemenjadian ini. Secara spesifik ayat selanjutnya mengungkap bagaimana proses reproduksi yang berlangsung secara sempurna. Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya) (Q.s. al-Mu’min/40: 67.)
Bahkan indikasi terjadinya proses reproduksi yang tidak sempurna.. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (Q.s. al-Hajj/22: 5.)
Persoalannya kemudian, dengan bentuk kenaturalan seperti ini; dimana terjadi proses yang tak terhindarkan. Sebuah sirkulasi energi yang secara terus menerus berlangsung seiring dengan kebutuhan manusia akan makan dan minum. Apakah kemudian energi positif yang dihasilkan ini seperti sperma dan ovum mengindikasikan pesan tertentu dari yang Maha Menjadikan atau hanya sebuah proses biasa yang tidak punya arti apapun? Katakan, memang tidak ada maksud apapun dari proses kemenjadian ini, tetap saja ada sebuah energi lanjutan yang tak terhindarkan dari proses metabolisme yang terjadi pada diri manusia. Ada berjuta prajurit sperma 331
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
nan gagah yang menunggu proses penyaluran yang bijaksana dan juga ada sang ovum jelita yang siap untuk dibuahi. Kenyataannya kematangan pada masing-masing siklus ini mempengaruhi suhu tubuh pria dan wanita bahkan menstimulasi perubahan hormonal masing-masing. Sebuah simbol naluriah dan juga manusiawi yang begitu tarik-menarik. Sangat tidak beralasan kemudian, bila hal ini tidak bisa diartikan apapun, atau sesuatu yang bisa dimaknai terjadi begitu saja. Mengingat dalam prosesnya melibatkan begitu banyak energi positif yang secara konsisten diproduksi oleh tubuh manusia. Sebut saja hubungan seksual memang salah satu alternatif dari bentuk penyaluran 'energi posisif' yang saya sebut di atas. Bedanya efek penyaluran pada laki-laki bersifat aktif, karena para prajurit sperma adalah makhluk hidup yang aktif dan harus dikeluarkan. Sperma (air mani) adalah zat cair yang keluar dari bermacam sumber atau kelenjar. a. Listesticules (testicles, biji laki-laki) yaitu organ sex laki-laki yang mengeluarkan spermatozoa yang berbentuk bundar telur dan mempunyai ekor panjang, hidup dalam zat cair. b. Les vicicules seminal (seminal vesicle, kantong sperma) yang terletak dekat prostate yang mengeluarkan zat cair khusus, tetapi bukan mengandung unsur kesuburan. c. La prostate yang mengeluarkan zat cair tertentu: memberi ciri bau khusus kepada sperma. d. Kelenjar-kelenjar yang melekat pada saluran kencing, yaitu kelenjar Cooper atau Mery yang mengeluarkan zat cair yang encer dan kelenjar Littre yang menghasilkan mucus (lendir).2 Sedangkan dalam keaktifan ovum bereproduksi, ia adalah makhluk yang pasif yang tidak bisa keluar dari kealamiahannya. Ia hanya sanggup memberikan sinyal kesiapannya untuk didatangi sebagai wujud kematangannya. Dari beberapa sumber, sifat-sifat inilah yang kemudian merefleksi pada sifat dominan laki-laki dan perempuan dimana yang satu begitu agresif dan yang lainnya begitu pasif. Terlepas dari bantahan para psikolog atau feminis akan sifat bawaan yang dominan pada masing-masing jenis kelamin. Masih terdapat proses lanjutan yang layak untuk dielaborasi sebagai bentuk 'memikirkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan'. Dimana terjadinya ovulasi dalam tubuh wanita3, tidak terjadi begitu saja dan menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses terjadinya cikal - bakal manusia yang istimewa dan sempurna, “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak” (Q.s. ar-Rūm/30: 20.)
2 Rifyal Ka'bah (Panji Masyarakat, nomer 252, 1 Agustus 1978, h. 35-36) dalam Syahminan Zaini, Mengenal manusia lewat al-Quran, (Surabaya: Bina ilmu, 1980), h. 12 3 Al Quran menggambarkannya dengan setetes mani yang bercampur (Q.s. al-Insān/76: 2), yaitu terjadinya proses pembuahan, dimana terjadi penyatuan antara sperma dan indung telur. 332
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
Hubungan seksual, sebut saja salah satu cara yang dapat mengindikasikan terjadinya proses ini, yaitu melalui ejakulasi (proses penyemprotan sperma pada lubang vagina). Setelah itu, sperma yang datang pada ovum harus melalui beberapa rintangan maut. Di mulai dari lubang rahim yang mempunyai keasaman dan kebasaan yang signifikan. Kemudian melalui lubang cervix yang berliku dan memungkinkan tumbangnya ratusan prajurit sperma. Bahkan belum berhenti sampai di situ karena mereka masih harus melalui saluran tuba fallovi yang panjang dan sempit. Terkadang di saluran inilah beberapa perempuan mengalami persoalan dalam pembuahan karena terlalu sempitnya saluran tersebut. Ketikapun sampai pada indung telur, dari jutaan prajurit sperma yang disemprotkan, di akhir perjalanan ini mungkin tinggal 3-5 sperma yang tersisa. Tetapi dalam perjalanan ini pula lah akhirnya mengungkap klimax dari indahnya proses ini, dimana sang indung telur hanya mampu dan sanggup menerima satu dari prajurit terbaik yang ada. Ovum tidak akan bisa dan tidak akan mau untuk menerima sperma lainnya, bila ia sudah menerima satu yang terbaik. Di situlah terjadinya ovulasi yang luar biasa. Proses penerimanaan ovum akan sperma inipun melalui pemilihan yang begitu ketat, unsur ketangguhan sang sperma dan kesamaan secara kimiawi antara keduanya menjadi pertimbangan terjadinya 'penerimaan' ini. Hingga kemudian pembuahan ini ditempatkan dalam sebuah tempat yang dinamakan rahiim. Dalam Quran sendiri ditambahkannya kata sifat 'aman' (makiin) setelah kata benda tempat (qarar) yang menunjukan bahwa tempat itu adalah tempat yang stabil dan serasi,4 yang disebut dengan rahiim atau kandungan (Q.s. ar-Rūm/30: 13.) Oleh karena itu, terbukalah kemudian apa yang Tuhan maksud dengan ayat “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri….” (Q.s. ar-Rūm/30: 21) Selain dalam bentuk species atau secara spesifik ordo yang sama, berdasarkan proses di atas terminologi 'jenismu sendiri' ini kemudian teridentifikasi pada unsur-unsur kesamaan secara kimiawi yang memungkinkan terjadinya ovulasi yang tergambar pada proses reprodusi wanita. Secara umum proses perkembangbiakan makhluk hidup jelas harus dilakukan antar jenis atau species yang sama. Perkawinan atau ovulasi pada tumbuhan atau binatang tidak akan bisa dilakukan bila species atau secara spesifik ordo mereka berbeda. Dengan kata lain, harus ada kesamaan secara atomis atau terdapat unsur yang sama (secara kimiawi) antara laki-laki dan perempuan, jantan dan betina yang mempunyai ketertarikan satu sama lain. Meskipun menurut jumhur mufassirin yang didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim, mengidentifikasi terminologi ini pada bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. atau laki-laki. Terlepas dari itu semua, hal yang tak terbantahkan ialah bahwa terjadinya kecenderungan antara laki-laki dan perempuan, jantan dan betina adalah 4
Syahminan Zaini, Ibid., h. 13 333
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
memang karena adanya kesamaan pada unsur dasariah mereka. Dalam bahasa yang lebih populer, terdapat chemistry dalam diri kedua jiwa dan raga yang memiliki ketertarikan satu sama lain. Tidak bisa diabaikan begitu saja kemudian, proses lanjutan dari semua ini. Seperti adanya solusi yang beragam dari wujud perkawinan atau hubungan seksual yang disinggung di atas. Hubungan seksual tersebut bisa terjadi dalam bentuk hubungan tanpa status, hubungan pernikahan, hubungan antar jenis atau hubungan singkat yang diperdagangkan. Dalam pembagian yang sederhana, hubungan ini bisa dikategorikan bersifat legal dan illegal. Legalitas dalam sebuah hubungan dimaksud, bisa dimaknai sah di mata Tuhan dan diakui secara hukum kemanusiaan. Bila demikian adanya, maka hanya pernikahanlah yang mempunyai legalitas yang benar. Pembahasan akan hal ini, bisa dilihat dalam point keluarga.5 Yang menarik selanjutnya, ada apa dengan tawaran solusi lain seperti hubunganhubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan atau hubungan dengan pasangan yang tidak resmi atau hubungan singkat yang diperdagangkan. Bukankah 'penyaluran seksual' di dalam hubunganhubungan tersebut pun bersifat naluriah dan alamiah? Bila kita cermati bahasan al-Quran dalam mengidentifikasi hubungan di luar pernikahan atau hubungan dengan bukan pasangan yang resmi, maka akan kita dapati terminologi zina dan larangan yang tegas menyangkut perbuatan tersebut (Q.s. an-Nisâ/4: 24), (Q.s. al-Mâidah/5: 5), (Q.s. al-Furqân/25: 68), (Q.s. al-Mumtahanah/60: 12), bahkan untuk sekedar mendekatinya (Q.s. al-Isrâ/17: 32). Terutama dalam riwayat-riwayat yang menjelaskan hukum pernikahan di awal penyampaian diien al-Islam, banyak riwayat yang mengungkap kecarut-marutan hubungan antar lawan jenis seperti ini. Beberapa orang yang telah masuk Islam kembali datang pada Rasulullah Muhammad untuk minta dirajam karena telah melakukan hubungan zina.6 Dari sisi ini, sangat terlihat bahwa Islam datang untuk memperbaiki struktur masyarakat yang kacau dan belum menempatkan sebuah hubungan pada tempat yang seharusnya dihormati. Namun ada masalah apa dengan zina? Al-Quran banyak menyitir tentang persoalan ini. Tidak kurang dari 14 ayat yang mengungkap hal ini. Apa sesungguhnya yang ditakutkan dalam perzinahan sehingga dikategorikan sebagai perbuatan yang keji?
5 Pembahasan tentang konsep keluarga, ditulis secara khusus oleh penulis dalam kumpulan artikel-artikel untuk pengajaran PAI di Universitas Paramadina.
Identifikasi hukuman rajam pada orang-orang yang melakukan zina diantara orang-orang yang paling awal masuk Islam, selain berdasarkan petunjuk dari Rasulullah melalui ayat yang turun pada beliau juga karena dalam hukum Yahudi yang berlaku sebelumnya diperlakukan hukuman yang sama. Hanya karena terjadi stratifikasi hukuman pada bangsawan dan nonbangsawan saja kemudian, akhirnya bentuk hukuman dirubah oleh para pemuka-pemuka agama Yahudi. Diantara bentuk hukuman revisi tersebut dengan menghitamkan muka pelaku zina dan mengaraknya di tengah-tengah masyarakat. 334 6
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
Hal yang paling jelas terlihat adalah hancurnya silsilah keturunan si anak yang dihasilkan dari hasil perzinahan, dimana ia tidak mempunyai kekuatan di depan hukum baik dalam hal mengidentifikasi nama si ayah ataupun menerima hak waris dari si ayah. Peristiwa yang bisa disandarkan pada persoalan ini adalah peristiwa sebab turunnya (Q.s. an-Nūr/24: 6-9) dimana menimpa sahabat Uwaimir. Ia datang pada Rasulullah dalam hal pengaduan bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain. Terkait hal ini Rasulullah mem-fasakh Uwaimir dan istrinya setelah sebelumnya memintanya untuk bersumpah sebanyak empat kali. Meskipun belakangan diketahui bahwa istrinya hamil tapi Uwaimir tidak mengakuinya sehingga mempunyai konsekuensi hukum bagi si anak yang dikandung istrinya bahwa ia tidak berhak atas nama ayahnya dan harta warisannya dan hanya memiliki nasab ibunya.7 Sedangkan dalam hal terganggunya tatanan diri, adalah terancamnya kesehatan dan keselamatan jiwa karena telah teridentifikasinya suatu penyakit yang hanya terinkubasi melalui cairan kelamin atau sel darah. Akan menjadi sangat riskan bagi para pelaku sex, terutama bagi mereka yang sering bergonta ganti pasangan. Meskipun harus diakui, di beberapa tatanan budaya yang memiliki sistem nilai "tersendiri" dan berlangsung di lingkungan sosial tertentu tidak terganggu dengan pelampiasan naluriah tersebut. Bahkan hal tersebut sudah menjadi gaya hidup terselubung di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bukan saja di era modern seperti sekarang ini tetapi jauh sebelumnya telah terjadi di kehidupan masa lalu. Kemudian menjadi sangat logis mengapa Tuhan memberikan peringatan terhadap gaya hidup seperti ini: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" (Q.s. al-Isrā/17: 32.)
Lantas apa dan bagaimana perilaku yang harus dibangun setiap manusia karena instrink atau kecenderungan dalam masing-masing diri adalah terikat dengan pasangannya? Seperti terungkap dalam beberapa ayat “….dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita” (Q.s. an-Najm/53: 45) atau “Kami jadikan kamu berpasang-pasangan”(Q.s. an-Naba’/78: 8), juga beberapa ayat lain: Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gununggunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buahbuahan berpasang-pasangan [765], Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.s. ar-Ra’d/13: 3.) 7 Meskipun secara inti dari ayat dimaksud menjelaskan larangan menuduh istri berzinah, namun ada pelajaran lain yang bisa diambil di sini adalah betapa lemahnya status hukum anak yang lahir dalam kualitas ini. Shaleh, Qomarudin dkk, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al Quran.( Bandung: CV. DIPONEGORO), h. 342-345. 335
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa diantara hubunganhubungan yang terjadi hanya perkawinan lah yang bisa dimaknai sah di mata Tuhan dan diakui di hadapan hukum kemanusiaan. Karena itu ada baiknya kita menilik, mengapa pula ada tawaran gaya hidup menikah dari Tuhan yang tersirat dalam al Quran. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas Pemberiannya dan Maha Mengetahui (Q.s. an-Nūr/24: 32.)
Ayat di atas secara jelas memerintahkan untuk mengawinkan para lajang yang dipandang sudah layak untuk memasuki gerbang pernikahan. Sehingga ketika pun ada yang merasa belum mampu, Tuhan dengan jelas memberikan sugesti jaminan-Nya bahwa Dia akan "mengkayakan" orang yang mempunyai keberanian untuk melakukan hal tersebut. Tersambung kemudian, ada rahasia apa sebetulnya di balik sebuah perkawinan. Apabila melihat fenomena biologis di atas maka perkawinan sesungguhnya, adalah proses yang tidak bisa dibantah atau terelakan begitu saja. Dengan melakukannya mengindikasikan bentuk solusi biologis seiring dengan terjadinya proses metabolisme dalam tubuh manusia. Sehingga dipahami kemudian, ada nada perintah bahkan mempunyai kecenderungan memaksa seperti ayat di atas. Bahkan Rasulullah Muhammad telah menyatakan: 8 1. Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata bahwa Rasulullah Muhammad telah mengatakan kepada kami: "Hai para pemuda barangsiapa telah berkesanggupan untuk menikah maka menikahlah karena hal ini untuk menjaga pandangan dan kemaluan dan apabila belum memiliki kesanggupan maka hendaknya menjalankan puasa karena hal inilah yang dapat menjaganya." (Muttafaq 'alaih) 2. Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah Muhammad memuji Allah dan menyanjungNya, kemudian beliau bersabda: "Aku melaksanakan shalat, tidur, menjalankan puasa, berbuka serta menikahi wanita, maka siapa pun orangnya yang tidak senang atas sunnahku maka ia bukan golonganku." (Muttafaq 'alaih) Perkenalan (Ta'aruuf); Sebuah Sinergi Atomis Seperti telah disinggung di atas bahwa hidup berpasangan adalah sebuah keniscayaan. Mengikuti alur biologis manusia yang kemudian diinstitusikan dalam bentuk lembaga perkawinan yang Tuhan sakralkan melalui perintahNya. Berpasangan selanjutnya menjadi kata kunci dari 8 Ibn Hajjar Asqalani., Bulugh al Maram. terj. M.S. Sukandi (Bandung: Al-Ma'arif, 1986). Cet. VIII., h. 356. 336
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
cikal bakal terbentuknya lembaga perkawinan. Akan tetapi bagaimana sebetulnya bentuk dari konsep ideal 'berpasangan' yang Tuhan tawarkan dalam al-Quran? Mengidentifikasi pembahasan di atas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan landasan dalam melihat kualitas sebuah pasangan. Pertama, seorang pasangan haruslah dari 'jenisnya sendiri' (Q.s. ar-Rūm/30: 21). Pendekatan biologis mengidentifikasi persandingan tersebut dengan kualitas yang sama dalam 'jenis', seperti species yang sama atau ordo yang sama. Seperti dalam kesamaan manusia dan chimpanzee misalnya. Studi primata dalam biologi molekuler menunjukan bahwa diantara primata seperti gorilla, siamang, chimpanzee, manusia paling dekat dengan chimpanzee. Terdapat kesamaan frekwensi gena sebesar 95%.9 Karena itu dalam proses perkawinan atau ovulasi harus ada kesamaan tingkatan seperti itu. Tidak akan bisa berlangsung sebuah perkawinan atau ovulasi bila terdiri dari species yang berbeda. Seperti dalam perkawinan antara kuda dan ular, niscaya tidak akan pernah bisa dilakukan karena tergolong species yang berbeda. Begitu pula tidak akan pernah terjadi perkawinan antara buah mangga dan buah pisang misalnya. Akan tetapi perkawinan antara rambutan dengan leccy masih mungkin dilakukan, karena berasal dari jenis yang sama. Demikian pula yang terjadi dengan jenis manusia, meskipun dalam kualitasnya masih banyak manusia yang membedakan diri mereka dari satu dengan yang lainnya. Kedua, dalam sebuah campuran kimiawi, ada unsur-unsur yang bisa saling mengikat satu sama lain ada pula unsur yang saling menolak satu sama lain. Seperti dalam senyawa air, terpadu dua unsur yang berbeda yaitu unsur hidrogen H dan oksigen O2 sehingga menghasilkan senyawa
H2O. Bagitu pula yang terjadi pada persandingan dua manusia. Ada proses kimiawi yang bekerja secara alamiah dalam tubuh mereka bila bertemu atau mendapatkan orang yang mereka senangi apalagi bisa menyatu dengan unsur dasariah dirinya. Deguban jantung yang begitu kencang, rona pipi yang bersemu merah dan reaksi kimiawi lainnya bisa terjadi pada tubuh yang mengalami reaksi 'syndrom klik' dengan pujaan. Proses yang sebanding dengan proses ionisasi, dimana menyatunya ion positif dan negatif memacu energi listrik yang luar biasa pada proses fisikawi. Ketiga, mengikuti tanda-tandaNya dalam al-Quran dan juga yang tergelar di alam semesta, terminologi 'pasangan' yang dimaksudkan Tuhan mengindikasikan wujud dari harmonisasi. Dalam bahasa Rumi, wujud dari aktifitas-aktifitas Tuhan secara dialektis.10
9 Etty Indriati, Waktu dan Evolusi., (artikel dipresentaskan dalam Workshop Ilmu dan Agama, Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Gajah Mada University Post-graduate program, Yogyakarta, 25-27 Juni 2003), h. 15-16. Meskipun dalam kasusnya, manusia tidak bisa dikawinkan dengan makhluk yang lebih rendah darinya seperti primata karena kualitasnya lebih tinggi dari makhluk hidup apapun. 10
Lihat apresiasi karya-karya Jalaluddin Rumi oleh Annemarie Schimmel dan telah 337
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
“Wujud dualitas yang inhern dalam ciptaan, sebab begitu ada ciptaaan, Keesaan mutlak terpecah menjadi subjek dan objek, menjadi Pencipta dan ciptaan. Agar kehidupan tetap berlangsung, maka kosmos memerlukan perubahan terus-menerus dari kutub positif ke kutub negatif, gerakan bergantian menghirup dan menghembuskan pada debaran jantung dan pergantian siang dan malam atau hidup atau mati.”
Dalam elaborasi Rodolf Otto, teolog abad ke-20, sebagai fascinan, yang sangat menarik, dan tremendum, aspek luar biasa Tuhan. Atau dalam ilustrasi Schimmel yang diambil dari apresiasi kaum Muslimin, sebagai wujud Jamal (kecantikan) dan Jalal (keperkasaan) Tuhan. Sama dengan implementasi dari harmonnisasi Yin dan Yang dalam teologi Cina seperti diistilahkan Dr. Sachiko Murata. Kualitas yang disatukan dalam sebuah pasangan haruslah merupakan perpaduan antara unsur negatif dan positif, sehingga keseimbangan itu nyata adanya. Seperti harmonisasi yang Tuhan gelar di alam semesta ini, sehingga menampilkan sinergi dalam kehidupan yang bukan hanya indah tetapi juga agung. Dalam ilustrasi sederhana yang dikemukankan Quraisy Shihab, seperti sepasang kunci dan gembok yang masing-masing fungsinya berbeda tetapi harus menemukan pasangan yang pas dan cocok dalam kualitas sebuah pasangan. Bagi sebuah gembok, kunci bolehlah berjumlah ratusan bahkan jutaan tetapi kunci yang cocok dan pas ayat yang untuk membuka dirinya hanyalah satu.11 Beberapa mengelaborasi persoalan ini, diantaranya: Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gununggunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buahbuahan berpasang-pasangan[765], Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.s. ar-Ra’d/13: 3.) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.s. al-Baqarah/2: 164.)
Beberapa ayat inilah yang kiranya dijadikan landasan dalam memilah sang belahan jiwa, karena bila unsur-unsur ini berpadu dalam sebuah sinergi maka yang terjadi adalah kehidupan yang dinamis. Bagaimana kemudian mewujudkan harmonisasi ini? Tentu saja dengan diterjemahkan dalam Akulah Angin Engkaulah Api; Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 93 11 Lihat ibid., h. 20 338
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
mencari sang belahan jiwa tersebut. Menjadi jelas kemudian, mengapa Tuhan memerintahkan manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Dalam hubungan yang lebih intensif disebut ta'aruf atau dalam istilah yang lebih pop dikenal PDKT (pendekatan). Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal (Q.s. al-Hujurāt/49: 13.) Rahasia di Balik Ritualitas Perkawinan Setelah mendalami proses perkenalan, masuklah kita pada ritualitas perkawinan itu sendiri. Sebelum mengungkap ritualitas perkawinan, ada baiknya pembahasan diawali dengan mereview syarat dan rukun nikah terlebih dahulu. Seperti diketahui bahwa syarat nikah itu meliputi 2 orang yang menikah, wali,12 2 orang saksi (hakamain) (Q.s. anNisâ/4: 35), dan mahar (QS. an-Nisâ 4: 4), adapun rukun nikah-nya adalah lafadl 'ijab qabul'13 itu sendiri. Bila salah satu syarat dan rukun nikah tidak ada maka tidak akan pernah ada penikahan. Seperti apa dan bagaimana tegaknya masing-masing item dalam perkawinan, memiliki simbolisasi yang penuh arti secara komperhensif seperti terilustrasikan dengan sempurna dalam al-Quran. Bukan hanya sekedar mengandung makna simbolistik tetapi juga saling terkait antara satu dengan yang lainnya sebagai sebuah institusi perkawinan atau sistem yang tidak bisa dipisahkan. Diawali dengan bersatunya dua keping hati dalam sebuah sinergi seperti yang telah dibahas di atas. Sebagai wujud bertemunya dua individu yang sejenis dan mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Setelah menyatunya niat kedua insan ini yang tentu saja akan melaju pada bahtera yang sama, hal yang harus diperhatikan juga adalah tegak atau berdirinya seorang wali.14 Seperti telah dibahas sebelumnya dalam konsep ahlun, bahwa posisi hukum seorang anak perempuan sebelum ia menikah (Q.s. al-Baqarah/2: 233) Ijab adalah “Al lafdzu ash shoodiru min al walyyi aw man yaquumu maqoomihi” (Lafad yang dirujuk dari seorang wali atau orang yang menggantikannya), sedangkan qabuul adalah “A lafdzu ash shoodiru min zauji aw man yaquumu maqoomihi” (lafadz yang dirujuk dari seorang suami atau orang yang menggantikannya). Lihat A’bdu ar Rahman al Jazairi, Al Fiqh a’laa al Madzahib al arba’ah., (Kairo: Maktabah ash Shofaa, 2003), Juz. IV, h. 13 14 Dalam sebuah deskripsi yang panjang Huzaemah Tahido mengeksplorasi persoalan wilaayah, perwalian ini dengan mengidentifikasi pendapat-pendapat madzaahib. Dimana diantaranya mengidentifikasi kepentingan adanya wilaayah, perwalian ini dalam kapasitas perempuan yang dianggap kurang akal atau dalam posisi lemah akal, meskipun Hanafiyah mempunyai pendapat yang berbeda dimana perempuan bisa mengawinkan dirinya sendiri, bila ia mampu dan dipandang mampu. Baca dalam Huzaemah Tahido , Fiqh Anak., ( Jakarta: Al Mawardi Prima, 2004), h. 306-312 339 12 13
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
adalah di bawah kepemimpinan ayahnya sebagai (qawwamuun) di hadapan Tuhan. Masuknya mereka dalam sistem yang berbeda dan baru, mengindikasikan sebuah pelimpahan tanggung jawab yang tidak kecil dan sedikit. Perkawinan kemudian menyimbolkan pelimpahan tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu mengapa kemudian Tuhan menginstitusikan perkawinan, adalah tidak lain dari salah satu alasan pelimpahan dan pengambilan tanggung jawab sebuah urusan menyangkut catatan amal seorang manusia. Atas urusan siapa, tentu saja atas urusan calon mempelai perempuan atau anak perempuan atau anak 'perwalian' perempuan dari si wali. Karenanya, aqd yang di-lafadl-kan dalam pernikahan pun, itu terjadi antara wali dengan mempelai pria (calon suami) dalam rangka pelimpahan urusan tanggung jawab mempelai perempuan dan penerimaan urusan oleh sang calon suami atau qawwamuun-nya yang baru. Wali sendiri ada dua macam, pertama wali yang mendapatkan prioritas utama dari Tuhan karena status kepemimpinannya dalam keluarga yang disebut dengan wali mujbir.15 Posisi tersebut sebetulnya terkait dengan Zat yang paling berhak menggenggam kualitas hidup masing-masing hamba dan menyatukannya dalam ikatan perkawinan yaitu Tuhan sendiri yang mengatur kehidupan ini. Melalui siapa? Tentu saja melalui orang tua atau wali yang telah diberikan kepercayaan untuk menjaga, mendidik, menghantarkan dan memastikan anak perempuan mereka sampai pada qawwamuun (Q.s. an-Nisā/4: 34) mereka yang baru (penanggungjawab urusan) yang bisa dipercaya yaitu suaminya, baik di hadapan manusia atau di hadapan Tuhan. Sehingga itulah alasannya mengapa posisi sentral seorang wali harus dipegang oleh qawwamuun dari ahlun atau orang-orang yang dapat menggantikannya secara hukum. Dengan pasti posisi tersebut dipegang oleh ayah si pengantin perempuan, bila si ayah tidak ada atau berhalangan secara syar'i barulah kakeknya (ayahnya ayah), kakak atau adik laki-laki, kemudian saudara laki-laki seayah-seibu atau seayah (paman atau pak de) dan seterusnya. Kedua, adalah wali yang dipercaya oleh pihak ahlun yang biasa disebut dengan wali hakim. Sementara ini posisi tersebut senantiasa disandingkan dengan posisi hakim yang diangkat oleh negara (qadli) atau pejabat yang diangkat oleh negara seperti penghulu atau naib. Padahal bila kita lihat istinbath hukum dari persoalan tersebut sangat terkait dengan salah satu hadits dari Rasulullah Muhammad saw.: Dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari A'isyah ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda: "Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal dan batallah pernikahannya. Apabila ia telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar), atas penghalalan Sama dengan pendapat sebelumnya, bahwa wali mujbir ada dalam kapasitas perwalian perempuan yang masih kecil atau gadis, kurang akal atau gila, baca penjelasan secara menyeluruh dalam ibid, h. 312-329. Sangat berbeda dengan apa yang ditawarkan penulis seperti diungkap di atas. 340 15
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
alat kelaminnya tersebut. Namun, bila terjadi perseteruan antara mereka, maka orang yang mempunyai sulthon (orang yang mempunyai kekuatan yang bisa dipercaya) adalah wali bagi siapa yang tidak punya wali." 16
Kata-kata sulthan (orang yang mempunyai kekuatan) selanjutnya menjadi rujukan teridentifikasinya pemerintah dalam hal wali hakim ini. Padahal bila kita cermati lagi, belum tentu sulthan itu teridentifikasi pada pemerintah, mengingat yang menjadi kata kuncinya adalah orang yang dipercaya oleh ahlun-nya sendiri. Hal yang bisa dipastikan dari pemilihan tersebut, sudah tentu karena orang tersebut mempunyai kekuatan dan dapat dipercaya oleh si wali. Kasus yang umum terjadi di Indonesia terlebih di desa-desa, banyak orang yang melimpahkan peran wali hakim ini pada posisi kyai-kyai sebagai orang kuat dan dapat dipercaya di wilayahnya. Sebagai bentuk simbolisasi penyerahan mempelai perempuan berikut pertanggungjawabannya dilaksanakanlah ijab "Yaa Fulan ankahtuka…..", "kunikahkan engkau wahai Fulan…." yang kemudian disambut dengan bentuk lafadl penerimaannya "qabiltu nikaahahaa Fulanah….", "kuterima nikahnya Fulanah…" dengan sebentuk jaminan yang berupa mahar17. Dengan demikian pemberian mahar dalam perkawinan bukan hanya sekedar "pemberian" dari pihak laki-laki pada pihak perempuan sebagai bentuk diperbolehkannya jima', (hubungan intim) saja, "…..padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri (Q.s. an-Nisâ/4: 21). Melainkan juga sebagai sebentuk jaminan tanggung jawab yang disimbolkan melalui sejumlah uang atau harta atau barang apapun dari pihak laki-laki. Dimengertilah kemudian, bahwa mahar sebetulnya diberikan kepada para wali sebagai bentuk jaminan seperti yang tersirat dalam surat (Q.s. an-Nisâ/4: 19).18 Adapun kemudian para wali memberikannya pada mempelai perempuan itu adalah hak para wali sendiri. Mengapa jaminan? Membahasakan jaminan pada bentuk mahar sesungguhnya sangat korelatif dengan solusi hukum lanjutan pada kasus perceraian. Sebagai konsekuensi hukum lanjutan, H.R. Lima Perawi selain An-Nasaa'i. Anshori Umar (terj.), Op. Cit., h. 364-365. Penterjemah awal sebetulnya mengartikan hadits tersebut sebagai berikut: Dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari A'isyah ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda: "Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah dikawin dengan sah dan) telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar), karena ia telah dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun, kalau terjadi pertengkaran diantara wali, maka pemerintahlah yang menjadi wali siapa yang tidak punya wali."
16
Baca seputar perbedaan pendapat dan persyaratan mahar ini dalam Al-Jazairi, op. Cit., h. 7579 18 Kata 'mempusakai' dalam ayat tersebut diperuntukkan bagi wali yang mempunyai maksud menguasai wanita yang berada dalam kepemimpinannya setelah ditinggal sang suami. Tujuannya untuk menguasai harta mereka atau mengawininya atau mengawinkannya dengan orang lain dan mengambil maskawinnya. Lihat dalam Qomaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran, (Bandung : Diponegoto, 1996), h. 124-128 341 17
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
mahar inilah bentuk titik balik mengapa hak perceraian berada di pihak laki-laki yaitu sebagai pihak yang telah memberikan jaminan. Bila pun terjadi sebaliknya, katakan bila pada kenyataannya pihak perempuan tidak bisa melanjutkan perkawinan karena Allah. Sebagai bentuk tebusannya ia bisa mengembalikan uang atau harta jaminan / mahar yang dulu pernah diberikan pihak laki-laki (suami) seperti tersirat dalam surat (Q.s. alMumtahanah/60: 10). Dalam bahasa hukum, tebusan ini disebut iwadh meskipun tidak mudah melakukan hal tersebut, karena alasan yang bisa dikedepankan hanyalah menyangkut persoalan keimanan pada Tuhan. Selanjutnya bagaimana dengan berdirinya para saksi. Dalam salah satu Hadits Rasulullah Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh lima orang perawi kecuali An-Nasa'i, disebutkan, "tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil. Dan pernikahan manapun yang tidak demikian adalah batal."19 Dalam al-Quran sendiri tidak ada ayat yang menyebutkan kata saksi dalam perkawinan secara jelas. Yang ada adalah ayat yang menyebutkan dapat didatangkannya dua hakamain dari kedua belah pihak suami istri bila terjadi persengketaan dalam rumah tangga. "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam [293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan" (Q.s. an-Nisā/4: 35). Adakah koralasinya dengan berdirinya dua orang saksi dalam syarat perkawinan? Tentu saja ada, karena memang berdirinya saksi dalam sebuah perkawinan tidak serta merta dimaksudkan begitu saja. Atau keberadaan mereka hanya dimaksudkan sebagai sebuah simbol ritualitas perkawinan saja dan setelah aqad nikah selesai maka selesai pulalah tugas mereka. Bila demikian adanya, perkawinan dalam Islam berarti direduksi sebatas tata laksana aqad nikah saja. Tidak dimaknai sebagai sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan pembinaan yang tidak sebentar, hingga pada akhirnya hikmah dan jaminan-jaminan dalam perkawinan sendiri dapat kita rasakan. Tentu tidak demikian! Melainkan dalam kerangka urusan yang lebih besar dari sekedar ritual aqad nikah saja yaitu dalam hal pembinaan perkawinannya itu sendiri, seperti tersirat dalam ayat di atas. Oleh karena itu pemilihan saksi dalam perkawinan oleh seorang wali bukanlah sesuatu yang sederhana, mereka haruslah dipandang sebagai orang-orang yang mampu mempersaksikan perjalanan perkawinan itu sendiri. Mengingat, bila dalam perjalanannya kedua orang mempelai mengalami persoalan dalam rumah tangga mereka, maka sesungguhnya mereka tidak datang pada wali-nya tetapi pada saksi mereka. Sehingga akan terjagalah kenetralan pada kedua belah pihak dengan berdirinya saksi mereka masing-masing. Bila si istri mempunyai masalah dengan suaminya, maka ia akan datang pada saksi dari pihak suami. Begitu pula sebaliknya, bila si suami mempunyai persoalan tentang istrinya maka ia pun akan Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh al-Marati al-Muslimati, Anshori Umar (terj.), Fiqih Wanita., (Semarang: Asy-Syifa, 1981), h. 364 342 19
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
datang pada saksi dari pihak istrinya. Itulah mengapa disyaratkan kata adil pada keberadaan dua orang saksi (hakamain) ini. Di samping itu, mengapa Tuhan membahasakan kata ahlun pada mereka seperti tertera dalam surat (Q.s. an-Nisā/4: 35), tentu saja karena terkait kepercayaan yang diberikan pihak wali pada mereka. Dengan demikian, tugas para saksi sesungguhnya tidak mudah, karena selain harus mampu mempersaksikan perjalanan perkawinan kedua orang mempelai selama berlangsungnya perkawinan mereka. Para saksi juga harus mampu berdiri pada Tuhan mempersaksikan kesuksesan atau kegagalan perkawinan yang berada dalam pembinaan mereka. Selain daripada itu, hal yang lebih penting dari sekedar ritualitas yang disampaikan di atas, pelaku perkawinan atau pendukung perkawinan datang secara resmi pada Tuhan untuk menyatakan posisi dan tugas masing-masing. Para wali dengan tegas menyatakan bahwa dirinya telah selesai mengemban tugas sebagai qawwamuun fulanah binti fulan dan telah dengan resmi menyerahkan tanggung jawabnya pada fulan bin fulan. Adapun dari sisi mempelai pria, menyambut pernyataan resmi para wali tersebut dengan datang pula pada Tuhan dan menerima pelimpahan tanggung jawab yang ada. Seiring dengan pernyataan tersebut, maka berlayarlah biduk kecil keluarga baru itu dengan melepaskan tali sauh yang tadinya terkait di kapal besar sang wali. Tidak ada intervensi, tidak ada campur tangan dan tidak ada lagi tuntutan hukum balik atas apapun yang terjadi pada biduk kecil yang berlayar tadi. Begitu pula yang terjadi pada dua orang saksi yang adil, mereka harus mampu berdiri pada Tuhan mempersaksikan pelaksanaan aqad nikah yang terjadi. Baik dari sisi plus-minusnya pasangan yang baru disatukan dengan ijab qabul yang berlangsung, maupun dari pernikahannya secara umum. Seraya memohonkan ditetapkannya hal-hal yang tersaksikan plus pada pasangan tersebut dan memohonkan perlindungan dari minus-nya hal-hal yang tersaksikan ada dari pasangan yang baru dikukuhkan tersebut. Sehingga masing-masing diri bertanggung jawab dan terikat secara langsung pada perjanjian dengan Tuhan melalui terselenggaranya aqad perkawinan. Bila begini adanya maka jaminanjaminan perkawinan yang telah termaktub jelas dalam Kitabullah akan mudah dipintakan bagi masing-masing lembaga perkawinan yang resmi. Kenyataanya saat ini, wali atau wali hakim dengan mudahnya menikahkan bahkan banyak orang bersedia menjadi saksi pernikahan tapi tidak mampu berdiri mempersaksikan pernikahan itu secara berkesinambungan selama perkawinan itu berlangsung. Ketika terjadi persoalan pelik dalam perkawinan, orang yang menikahkan, dua orang saksi perkawinan terutama, hanya berdiri dengan angkat tangan menyerahkan kepelikan itu pada suami-istri yang bermasalah. Bahkan kasus yang umum terjadi, mereka sudah tidak mempunyai hubungan apaapa lagi dengan pelaku perkawinan yang dinikahkannya atau 343
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
disaksikannya. Dalam kasus yang berbeda, malah orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan apapun justru masuk dalam konflik yang ada dan memperkeruh keadaan. Pernahkah terpikirkan, bagaimana mereka mempertanggungjawabkan tindakannya dalam 'menikahkan' dan 'menjadi saksi' di hadapan Tuhan? Bagaimana bila Tuhan menyalahkan tindakan mereka, karena serta merta sanggup 'menikahkan' dan 'menyaksikan perkawinan' orang yang kemudian mendatangkan masalah dalam pernikahannya? Kembali lagi pada persoalan orang-orang yang diberi kepercayaan oleh para wali untuk menikahkan. Bila para wali tidak dimungkinkan secara syari' dalam melaksanakan tugasnya, barulah para wali hakim atau naib yang diberikan kuasa oleh para wali ini berperan. Dengan demikian bagi para wali atau wali hakim dari penghulu terutama juga para saksi, jelas harus berdiri sebagai institusi pembina pernikahan. Hikmah dan Jaminan-jaminan Perkawinan dalam Al Quran Melihat alur demi alur yang terhantarkan secara korelatif di atas, jelaslah bahwa perkawinan bukan hanya sekedar solusi dari fenomena biologis biasa. Di dalamnya tercermin lembaga Tuhan yang bukan hanya sekedar memberikan solusi manusiawi tetapi juga tertata tawaran-tawaran exlusive menyangkut upaya bagaimana membina hidup lebih sehat, berkualitas dan bermartabat. Bentuknya tergambar melalui jaminanjaminan yang dijanjikan bagi siapa pun tentu saja yang mau melaksanakannya. Sebuah tawaran Ilahiyyah yang bukan sekedar mengawang di wilayah utopis tapi begitu realisatis. Seperti ketika Tuhan menawarkan landasan hidup yang sakinah, mawaddah wa rahmah seperti yang selalu orang-orang cita-citakan ketika akan memasuki lembaga suci ini. Bagaimana sebetulnya bentuk apresiatif dari tawaran Tuhan yang tergambar dalam surat (Q.s. ar-Rūm/30: 21) tersebut? Apakah cita-cita tersebut akan serta merta datang dari langit begitu saja pada orang-orang yang menikah? Mari kita masuk pada ayat tersebut. Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu tentram kepadanya, dan Dia jadikan di antara kalian berdua rasa cinta dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. 20
Jelas sekali ayat di atas mengungkap bahwa ketentraman, rasa cinta juga aliran rahmat merupakan jaminan yang mutlak bagi mereka yang melaksanakan perkawinan. Diawali dengan mengungkap tanda siapakah sebetulnya pasangan bagi diri kita masing-masing. Tanda yang paling signifikan tentu saja seperti telah diungkap di sub sebelumnya bahwa ia harus dari 'jenis' kita sendiri dan merupakan 'pasangan' diri kita Bentuk penerjemahan yang sebelumnya adalah : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa cinta dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." 344 20
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
sendiri. Artinya, 'jenis' yang sama dengan diri yang mengungkap dinamisasi yang 'menghidupkan' bagi diri baik secara biologis, kimiawi, fisikawi atau dalam olah rasa dan nalar. Adapun 'pasangan' diri kita adalah bagian dari kepingan hati kita yang lain yang dapat melengkapi kekurangan diri yang dapat tersempurnakan dengan menyatunya pasangan kita tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari ilustrasi Tuhan yang begitu indah ketika mengungkap bergantinya siang dan malam, berputarnya langit dan bumi atau bergulirnya kehidupan dan kematian. Sisi positif dan negatif jelas akan bersanding dalam satu sistem untuk menghidupkan motor penggerak kehidupan. Oleh karena itu, orang yang paling tahu siapakah pasangan kita adalah diri kita sendiri, karena hanya kitalah yang paling tahu apa kekurangan dan kelebihan diri. Selanjutnya, tinggal kita mencari bagian lain yang dapat melengkapinya. Lengkapnya pasangan yang ada juga harus ditandai dengan wujudnya kata kunci lain yang diungkap ayat di atas yaitu 'ketentraman'. "….litaskunuu ilaihaa…..", "….supaya kamu tentram kepadanya…..", kata ganti orang ketiga 'nya' / pronoun yang tertera di ayat tersebut atau ayat lain yang sama (Q.s. al-A’râf/7: 189) merujuk pada bentuk muannats, perempuan. Dengan demikian satu kata kunci lain khususnya bagi laki-laki adalah mencari pasangan yang dapat membuatnya tentram dan tentu saja ini sangat relatif bagi masing-masing pribadi. Rasa tentram ini terang saja akan disambut dengan wujud membahagiakan pihak perempuan ketika telah menjadi istrinya, seperti dengan jelas Tuhan memerintahkan para suami untuk "….. janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka" (Q.s. ath-Thalâq/65: 6).21 Artinya larangan untuk menyusahkan para istri memberikan indikasi perintah yang sebaliknya yaitu menyenangkan / membahagiakan mereka. Melihat ayat-ayat tersebut, sebetulnya bisa ditarik kesimpulan bahwa kunci 'ketentraman' itu ada di pihak istri dan kunci 'kebahagiaan' itu ada di pihak suami. Setelah proses tersebut berlangsung, masuklah kita pada kata kunci selanjutnya yaitu mawaddah, cinta. Ketika ketentraman sudah bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, maka rasa cinta pun akan datang pada pasangan tersebut. Seperti apresiasi datangnya cinta menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, yang hidup pada pertengahan abad 8 H (691-751 H/1292-1350 M):22 Cinta sejati antara manusia terjalin bila ada sifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta melekat pada sosok yang dicintainya dan terasa olehnya. Rasa inilah yang mendorong dan menguatkan kecenderungan itu. Semakin banyak
21 Disamping ayat di atas, masih banyak ayat-ayat lain yang mengungkap sinyalemen 'perintah kepada para suami untuk memberikan kebahagiaan bagi istri mereka' terutama dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka. Lihat dalam point hak dan kewajiban dalam formulasi ahlun, dalam bahasan keluarga. 22 Illustrasi yang diungkapkan kembali oleh Shihab, Op. Cit., h. 25 345
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
dan kuat sifat-sifat yang dimaksud, dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan dalam pula jalinan hubungan mereka.
Hal ini sangat bisa dimengerti, karena cinta berada di wilayah imateri, sesuatu yang tak bisa digenggam namun bisa dirasakan. Hal ini akan datang tentunya bila kedua insan yang bersatu telah mampu melampaui sekat-sekat yang bersifat material. Pengembaraan batin yang tidak bisa diselesaikan dengan bentuk fisik atau materi semata, seperti orang lapar yang membutuhkan makan atau orang haus yang membutuhkan minum. Cinta melampaui batas-batas itu semua, sehingga yang menjadi imbangannya adalah pengorbanan yang tiada pamrih. Sangat utopis! Bagaimana merealisasikannya dalam dunia material ini? Menyangkut hal ini, tidak ada cara yang lebih tepat kecuali hanya datang pada Sang Maha Cinta yaitu Tuhan sendiri. Sebetulnya Tuhan telah memberikan sinyalemen yang jelas pada ayat yang berbeda bagaimana cara menggengam cinta ini. Dalam surat (Q.s. asy-Syûra/42: 23) secara eksplisit Tuhan memberikan perintah untuk menyambungkan cinta kasih dalam hubungan suami-istri. “….Aku tidak meminta upah apapun kecuali menyambungkan cinta kasih dalam hubungan suami-istri….”, meskipun tidak ada perintah yang jelas di ayat ini, tetapi Tuhan menggunakan bahasa yang begitu halus. Bagi sang suami, meminta kepada yang Maha Cinta untuk dihujamkan cinta yang akan ia berikan kepada istrinya dan disambut oleh sang istri dengan memintakan hal yang sama agar dihujamkan cinta dalam rangka membalas cinta sang suami adalah harmonisasi yang luar biasa sinergis. Itulah sebabnya kita hanya akan mendapatkan terminologi mawaddah / cinta dalam al-Quran bila disandingkan dengan konsep suami istri, tidak pada hubungan yang lain. Sehingga tidak ada alasan bagi orang yang menikah untuk kehilangan cinta lagi, mengingat jaminannya langsung dari Tuhan dan tentu saja dengan proses demi proses yang akan dilewati seperti diungkap di atas. Mengingat sebelum cinta mencapai puncaknya, maka ia akan mengalami banyak fase.23 Seperti ketika Tuhan menyandingkan proses “membuat cinta dan rahmat antara kalian berdua” bukan “menciptakan cinta dan rahmat antara kalian berdua”- karena Tuhan tidak membuat cinta dalam satu kali tiupan penciptaan melainkan dengan proses pembentukannya. Apalagi menemukan cinta yang lain di luar pernikahan. Lantas bagaimana dengan fakta cinta di luar pernikahan? Menyangkut hal ini rasa kasih sayang tentu lebih relevan diungkapkan karena rasa kasih sayang berlaku secara universal, tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga mencakup seluruh komponen alam berikut para ruh dan makhluk yang ada di dunia ini. Bila tahapan ini telah dirasakan, sangat tidak berlebihan bila Tuhan mempercayakan aliran rahmat kepada lembaga pernikahan ini. Ibid., h. 27-28 346 23
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
Bukan hanya sebagai wujud janji Tuhan saja, melainkan juga sebagai bentuk kepercayaan dan penghargaan-Nya bagi tiap jiwa yang menghargai dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Seperti tersurat dalam (Q.s. alFurqān/25: 74) ada sebuah korelasi turunnya anugrah dengan posisi hamba-hamba Tuhan yang menempatkan istri dan keturunannya sebagai qurrata al-a'yuun, penyenang hati / penyejuk jiwa. Bahkan di ayat yang berbeda Tuhan menjanjikan akan "membuat mampu" (mengkayakan) para lajang yang mempunyai kekhawatiran tidak bisa melaksanakan pernikahan karena alasan ketidakmampuan materi (Q.s. an-Nūr/24: 32). Meskipun demikian Quraish Shihab mengapresiasi pendapat para ulama lain mengenai ayat “wa ja’ala bainakum mawaddah wa rahmah” dengan mengartikannya sebagai berikut, “ Mawaddah / cinta kasih sejati” terjalin sebelum perkawinan membuahkan anak, sedangkan “rahmat” bersemai di dalam kalbu masing-masing setelah suami istri memperoleh anak. Pendapat ini didukung oleh sementara pakar kontemporer. Penjelasannya sebagai berikut; kelahiran bayi melahirkan tiga sisi hubungan, yaitu anak, ibu dan bapak, sedangkan sebelumnya hanya antara ibu dan bapak.24
Jadi persoalan pernikahan adalah persoalan yang menyangkut keberanian bertanggung jawab dan keberanian untuk menentukan gaya hidup yang mana. Permanen tapi aman, atau temporal namun penuh resiko. Persoalan 'mengkayakan' di sini begitu jelas, dimana awal keberangkatan keluarga itu dari tangga nol. Kemudian menuju tingkatan yang lebih lagi seiring dilakukannya adaptasi dengan kebutuhan yang terus mengiringinya, baik berupa materi atau pencapaian hidup yang dapat diraihnya. Dari kebutuhan untuk satu orang, meningkat untuk kebutuhan 2 anggota keluarga. Setelah diberi kepercayaan anak, meningkat kebutuhan untuk memenuhi 3 anggota keluarga dan seterusnya. Begitulah realisasi dari cara Tuhan membuat 'kaya' seorang lajang. "…..Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Q.s. ar-Rûm/30: 21). Bila demikian adanya, dimengertilah kemudian bahwa sesungguhnya tawaran Ilahiyyah yang berupa cita-cita sakinah, mawaddah wa rahmah adalah sebuah konsep besar Tuhan dalam menata kehidupan perkawinan hambanya. Sebuah konsep yang akan menghadirkan harmoni luar biasa, bila hamba-hambaNya memaknainya sebagai never ending poccess hingga tanpa terasa mereka telah masuk dengan sendirinya dalam sistem yang mereka bangun sendiri. Penutup
Bila Ibnu Qoyyim mengungkap bahwa cinta itu bersambung antara awal dan akhirnya, maka sesungguhnya perkawinan adalah proses dimana cinta itu ditampakkan. Cinta membungkus awal kemenjadian 24
Ibid., h. 160 347
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
manusia dan cinta pula yang menghantarkan debu kembali pada debu. Apabila proses yang begitu alamiah dan manusiawi ini coba dihindari, sama saja dengan menolak kelangsungan sistem metabolisme manusia yang sehat dan alami. Akibatnya tentu saja, bila tidak terjadi kerusakan pada diri maka akan terjadi kerusakan pada sistem. Seperti sebuah sistem drainase yang ditahan atau tertahan sumbatan sampah. Bila tidak terjadi luapan banjir, maka yang terjadi adalah kubangan yang mengandung bau busuk yang akan sangat menusuk dan menimbulkan berbagai macam penyakit. Seperti itulah kira-kira terjadinya proses metabolisme manusia yang tertahan atau ditahan. Di samping itu, dalam sistem diien al-Islam parameter kelayakan atau kepantasan masuknya seseorang dalam lembaga perkawinan bukanlah kemapanan secara materi ataupun kedewasaan umur, melainkan kematangan secara hukum atau disebut dengan baligh. Dimana kesanggupan seseorang di hadapan hukum dibuktikan dengan kesanggupannya memegang/menanggung perbuatan-perbuatan hukum yang disebut dengan taklifiyyât, termasuk dalam hal perkawinan. Seperti telah disinggung di atas bahwa perkawinan bukan hanya sekedar simbolisasi dari bersatunya dua hati atau individu, melainkan juga terjadinya perbuatan hukum yaitu pelimpahan urusan pertanggungjawaban catatan amal seorang mempelai perempuan dari walinya atau pemegang urusannya yang terdahulu kepada yang pemegang urusannya yang baru yaitu suaminya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut nyata dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing elemen dalam rumah tangga; dimana suami sebagai pemimpin keluarga baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan, sedangkan yang dipimpinnya adalah istri dan anak-anak. Akan tetapi selain kesiapan hukum seperti itu, perkawinan juga dilakukan karena datangnya keinginan dari individu yang bersangkutan juga kesanggupannya mengemban tanggung jawab. ‘Keinginan/kemauan untuk menikah’ itu pun akan datang secara alamiah dan naluriah dalam batas kenormalan seorang manusia. Bila pun terjadi sebaliknya, dimana ketika seseorang tidak diliputi keinginan untuk menikah, ada beberapa persoalan yang bisa dievaluasi dan dianalisa (seperti terkait pola pendidikan dalam perspektif gender di masa kecil misalnya, hal ini jelas membutuhkan penjelasan tersendiri). Begitu pula dalam hal kesanggupan seseorang mengemban tanggung jawab, sangat terkait dengan pendidikan kemandirian dan tanggung jawab dalam pola pembinaan seorang anak dalam keluarga. Akan tetapi bila pola pendidikan ini telah dilakukan tetapi belum mendatangkan keinginan dan kesanggupan yang dimaksud, sesungguhnya Rasulullah Muhammad telah menggariskan untuk melakukan puasa sebagai sebuah sistem penjagaan diri, mengingat perkawinan sangat terkait dengan fenomena biologis mencakup sistem metabolisme manusia yang terjadi secara alami. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa tawaran solusi tersebut adalah puasa? Selain melalui pendekatan biologis, pembahasan persoalan 348
Euis Laelasari Perkawinan dalam Islam: Antara Fenomena Biologis dan Solusi Ilahiyyah
puasa juga terkait dengan sebuah sistem bangunan rukun Islam sebagai sebuah tawaran solusi dari Tuhan secara komperhensif bagi kekhasan masing-masing individu manusia. Dalam pendekatan biologis, proses metabolisme sangat terkait dengan pola asupan nutrisi dalam tubuh manusia, kemudian pemrosesannya dalam tubuh, sistem pendistribusiannya kepada seluruh komponen tubuh juga sistem penyimpanan saripati dan pembuangannya dari tubuh. Sebagai sebuah sistem input dan output dalam tubuh, kondisi puasa meniadakan atau mengurangi sistem input pada tubuh sehingga memungkinkan pengurangan atau pengendalian output. Karenanya dapat dijelaskan dalam rangkaian selanjutnya, bagaimana puasa dapat mengendalikan diri manusia secara keseluruhan. Sebagai sebuah sistem tawaran jalan hidup seorang muslim, puasa merupakan refleksi dari ibadah seorang hamba dengan melakukan pengorbanan diri untuk tidak makan, minum dan melakukan hubungan seksual. Akan tetapi pengorbanan inipun dibalas Tuhan dengan meyediakan keran khusus bagi para hambanya yang melakukan puasa, yaitu dengan menyediakan waktu khusus melalui ‘hubungan langsung shalat tarawih’. Melalui tarawih, mereka yang melakukan puasa dapat dengan leluasa menyampaikan perminatan khusus pada Tuhan berdasarkan kebutuhan masing-masing dirinya. Puasa merupakan sebuah apresiasi dari wujud ayat ‘iyyâ ka na’budu wa iyyâ ka nasta’în’ Q.s. alFâtihah/1: 4, (kepadaMu lah kami menyembah dan kepadaMu lah kami memohon pertolongan). Bentuk pertolongan yang dibutuhkan masingmasing individu tentu saja sangat berbeda berdasarkan persoalan yang dihadapi orang per orang. Dengan demikian solusi hukum dalam diien al-Islam begitu komperhensif, hanya tinggal melihat sudut pandang yang jelas pada alur yang benar. Seperti ketika memahami maksud, tujuan, tata cara, proses, juga hikmah dibalik pelaksanaan sebuah pernikahan. __________ Daftar Pustaka A’bdu ar Rahman al Jazairi, Al Fiqh a’laa al Madzahib al arba’ah., (Kairo: Maktabah ash Shofaa, 2003) Annemarie Schimmel dalam Akulah Angin Engkaulah Api; Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, (Bandung: Mizan, 1993) Etty Indriati, Waktu dan Evolusi., (Artikel dipresentasikan dalam Workshop Ilmu dan Agama, Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Gajah Mada University Post-Graduate Program, Yogyakarta, 25-27 Juni 2003) Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994) 349
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 328-350
Huzaemah Tauhid Yanggo , Fiqh Anak., ( Jakarta: Al Mawardi Prima, 2004) Ibn Hajjar Asqalani., Bulugh al Maram. terj. M.S. Sukandi (Bandung: Al-Ma'arif, 1986), Cet. VIII Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh al-Marati al-Muslimati, Anshori Umar (terj.), Fiqih Wanita., (Semarang: Asy-Syifa, 1981) Rifyal Ka'bah, Panji Masyarakat, (Nomer 252, 1 Agustus 1978) Syahminan Zaini, Mengenal manusia lewat al-Quran, (Surabaya: Bina ilmu, 1980) Qomaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat Al-Quran, (Bandung : Diponegoto, 1996) Quraish Shihab dalam nasihatnya bagi para pasangan pengantin dalam Pengantin Al-Quran: Kalung Permata buat Anak-anakku., (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
350