Rukmina Gonibala
FENOMENA BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM Oleh. Rukmina Gonibala Abstrak∗ Dalam proses pendidikan di Indonesia secara umum, masih terdapat bias atau ketimpangan gender. Gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis. Kaum laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan atau keterampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industri dan seolah-olah secara khusus kaum laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi. Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya ketatausahaan dan teknologi kerumah-tanggaan. Perbaikan dalam sistem kurikulum yang menjamin terwujudnya content pendidikan yang berperspektif gender, menghilangkan sekat-sekat bias gender dalam pendidikan terutama dalam mengkombinasi-kan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Kata Kunci:
Bias, gender, pendidikan, Islam. Pendahuluan Fakta menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan masih sering terjadi. Ketimpangan gender merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif holistik dengan menganalisis berbagai faktor dan indikator penyebab yang ikut aktif melestarikannya, termasuk faktor hukum dan pendidikan yang kerapkali mendapat justifikasi agama. Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan gender seperti interpretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya.
Pengertian Gender Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. 1 Dalam Webster’s New ∗
Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Manado, kandidat doktor Universitas Indonesia dalam bidang sosiologi 1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII (Jakarta:
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 29
Rukmina Gonibala World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.2 Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3 Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Inggris.4 Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex5 atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab. 6 Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir. Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin.7 Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara lakilaki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi dan
Gramedia, 1983), h. 265. 2
Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World Clevenlan, 1984), h. 561. 3
Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I (New York: Green Wood Press), h.
153. 4
Mengingat istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbenda-haraan kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan kata gender menjadi jender. 5
Peter Salim, Advance English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 384. 6
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, cet. III (London: McDonald & Evans Ltd., 1980), h. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy (Beirūt: Dār al‘Ilm li al-Malāyīn, 1985), h. 383. 7
Lihat Julia Cleves Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3. Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 30
Rukmina Gonibala pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial.8 Ivan Illich9 mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial.10 Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya.11 Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial.12 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis. Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim is a componen of gender).13 H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan 8
Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id. 9
Illich dianggap sebagai orang yang pertama menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis kelamin semata. Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam: Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 23. 10
Ivan Illich, Gender, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 3. 11
Lihat Zaitunah Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128. 12
Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998, h. 99. 13
Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h. 2. Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 31
Rukmina Gonibala perempuan.14 Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an anality concept whose meanings we work to elucidate, and subject matter we proceed to study as we try to define it).15 Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan.16 Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara lakilaki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial. Pengertian Pendidikan John Dewey ahli pendidikan bangsa Amerika dalam Suwarno, mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: Etymologically, the word education means just a process of leading or bringing up, when we have the outcome of the process in mind, we speak of education as shaping, forming, molding activity that a shaping in to the standard from of social activity. Begitu juga dalam Undang-undang Nomor: 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang” (pasal 1 ayat 1). Dari batasan-batasan atau pendapat-pendapat para ahli tersebut di atas, menunjukkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan di antaranya:
14
H. T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense or Civilization, (Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989), h. 2. 15
Elaine Showalter (ed), Speaking of Gender, (New York & London: Routledge, 1989), h. 3.
16
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3. Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 32
Rukmina Gonibala a. Adanya usaha (kegiatan) yang dilakukan secara sadar b. Adanya tujuan tertentu yang ditujukan untuk pengembangan kemampuan, sikap, dan bentukbentuk perilaku positif dari nilai-nilai masyarakat c. Adanya pendidik dan pembimbing dari si terdidik d. Adanya usaha atau tindakan yang merupakan suatu proses yang berlangsung dalam waktu tertentu atau secara terus menerus e. Adanya peserta didik. Kelima unsur tersebut merupakan ciri-ciri khas yang minimal terdapat dalam pendidikan. Dan kelima unsur tersebut mengandung persoalan-persoalan pendidikan, seperti siapa yang dikatakan pendidik, siapa anak didik, kapan dan dimana pendidikan itu dilaksanakan dan lain-lain. Identitas Gender Seorang anak, sejak lahir sudah memiliki atribut dan identitas khusus yang disandang dalam masyarakat baik hal itu diperoleh karena didasarkan pada pengaruh natural/biologis atau karena persepsi yang menjadi kesepakatan dalam masyarakat (concensus on society). Bahkan Sachiko Murata, pengarang buku The Tao of Islam, berpendapat bahwa sebenarnya seorang laki-laki juga memiliki sifat-sifat feminim demikian pula perempuan telah mempunyai sifat-sifat maskulin. Oleh karena itu, seseorang dikatakan laki-laki jika jiwanya telah didominasi oleh penyatuan antara feminim dan maskulin apapun jenisnya.17 Sewaktu seorang ibu melahirkan anaknya, maka pada saat itu juga anak tersebut sudah dapat diidentifikasi apakah ia laki-laki atau perempuan berdasarkan aksesoris biologisnya. Perangkat biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan itu disebut dengan gender atribute (atribut gender). Setelah anak tersebut diketahui atribut biologisnya, misalnya seorang anak yang mempunyai vagina, maka ia dianggap sebagai perempuan lalu ia diberi uniform (seragam) khusus dengan motif dan model tertentu yang dianggap layak untuk dikenakan oleh perempuan sebagaimana layaknya teman perempuan yang lain. Demikian pula sebaliknya terhadap anak laki-laki, bahkan pada permainan anak ternyata telah diberikan kapling khusus antara laki-laki dan perempuan seperti bermain bola-bolaan yang cocok adalah anak laki-laki dan sama sekali tidak sesuai untuk anak perempuan. 18 Spesifikasi seperti ini yang melekat pada diri anak tersebut disebut dengan gender identity (identitas gender). Seorang anak semenjak lahirnya telah disambut oleh seperangkat budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat. Pada saat anak laki-laki lahir ke dunia, masyarakat memberinya label laki-laki dan selanjutnya dipersiapkan untuk melakoni peran dan budaya sebagaimana halnya laki-
17
Lihat Sachiko Murata, “The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relation in Islamic Though”, diterjemahkah oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah dengan judul The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, cet. VI (Bandung: Mizan, 1998), h. 408-409. 18
Para orangtua dipola oleh kulturnya sehingga dengan sendirinya membatasi ruang gerak dan perkembangan imajinasi anak. Orangtua sepertinya tidak memperhatikan temuan-temuan kedokteran bahwa permainan bola sederhana perlu diberikan kepada anak terutama untuk melatih pertumbuhan otot anak dan bisa membantu mempercepat anak itu berjalan. Lihat Faras Handayani, “Bermain Bola”, dalam Nakita No. 109, Tahun III tanggal 5 Mei 2001, h. 14. Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 33
Rukmina Gonibala laki yang lain. Seorang perempuan yang lahir, akan melakoni peran budaya seperti layaknya peran budaya perempuan lainnya. Perbedaan berdasarkan acuan budaya atau sosial disebut dengan gender assignment (beban gender).19 Gender assignment terhadap seseorang sangat dipengarahi oleh nilainilai kultural yang berkem-bang di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Gender assignment sifatnya sangat kondisional di daerah mana hal tersebut diberlakukan. Misalnya, beban gender di daerah yang satu berbeda dengan beban gender yang ada di daerah yang lain. Meskipun beban gender itu pada umumnya, titik tekannya berada pada anak laki-laki. Terjadinya proses sosialisasi gender hingga melembaga di dalam masyarakat, telah melalui proses rentang waktu perjalanan yang sangat panjang serta melewati berbagai macam faktor dan kondisi alam di mana paham gender itu berkembang. Masyarakat perkotaan yang hidup secara plural, berbaur dengan berbagai ragam ras, suku bahkan bahasa akan melahirkan social system khusus. Pada masyarakat yang hidup di daerah dengan masyarakat yang boleh dikatakan homogen dan tingkat populasi pertumbuhan penduduk yang tidak dratis akan melahirkan tatanan sosial yang lain pula. Penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjaun biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi species antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.20 Fakta–fakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai macam pengaruh baik secara psikologis maupun sosiologis yang berimplikasi pada unequal gender bias (bias ketidakadilan gender), terutama di bidang pendidikan sebagai faktor penentu dalam kerangka berpikir masyarakat. Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah masalah yang krusial seandainya perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, justru sebaliknya, melahirkan suatu struktur masyarakat yang merasa dikorbankan akibat adanya perbedaan gender yang beraliansi pada konstruksi sosial. Konstruksi sosial akibat minnunderstanding gender menyebabkan masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity terhadap perempuan.
Pengertian Bias Pengertian bias dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: simpangan atau belokan arah dari garis tempuhan yang menembus benda bening yang lain (seperti cahaya yang menembus kaca, bayangan yang berada di air)21. Selanjutnya kata bias adalah semacam prasangka yakni pendapat yang terbentuk sebelum adanya alasan untuk itu, dalam penelitian ilmiah bias dapat menyelinap ke dalam pengamatan atau penafsiran data eksperimen. Bias ini dapat mengakibatkan kurangnya validitas dan nilai ilmiah dari hasil yang di peroleh. Jadi pengertian bias dapat terjadi karena faktor-faktor yang ada pada diri pengamat itu 19
Lihat Faras Handayani, “Bermain Bola”, dalam Nakita No. 109, h. 8.
20
Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 4. 21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 146
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 34
Rukmina Gonibala sendiri usaha untuk mencegahnya terjadi itu sendiri, usaha untuk mencegahnya terjadi bias dapat dilakukan latihan pada mereka yang akan bertindak. 22 Dari pengertian bias apabila dihubungkan dengan gender dan pendidikan akan memberikan pemahaman bahwa dalam pendidikan terjadi penyimpangan atau ketimpangan terhadap jenis kelamin perempuan. Ketimpangan yang terjadi terutama untuk memberikan kesempatan mendapatkan pendidikan kepada perempuan, Isi materi pelajaran terutama di tingkat pendidikan dasar ditemukan bias gender. Karena tingkat pendidikan perempuan masih rendah maka, untuk pengambilan keputusan di bidang pendidikan terutama perumusan kurikulum, pengambil kebijakan, dan kepala sekolah secara umum masih dipegang oleh laki-laki, kecuali di tingkat taman kanak-kanak yang didominasi oleh perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Ketua Sub Pokja Studi Bahan Ajar Responsif Gender, Dr. Yulfita Raharjo membuktikan bahwa buku-buku pelajaran sarat dengan nuansa bias gender lebih dari 50 persen, meskipun telah di lakukan perbaikan, namun masih ditemukan bias gender dalam buku ajar.23 Salah satu bentuk bias gender seperti dalam memberikan contoh: menggam-barkan anak perempuan bekerja di dalam rumah, sedangkan anak laki-laki membantu ayahnya bekerja di kebun. Selain berupa gambar, penokohan selama ini menggambarkan bagaimana perempuan adalah sosok yang lemah lembut, penyayang dan cantik. Sedangkan laki-laki digambarkan sebagai pemimpin, kuat, dan suka bekerja keras. Bias Gender dalam Konteks Keindonesiaan Fakta bias gender dalam berbagai kajian di Indonesia terutama bidang hukum menyimpulkan bahwa posisi perempuan Indonesia saat ini masih sangat lemah dan terdiskriminasi. Artinya bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan masih sering terjadi. Ketimpangan gender merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif holistik dengan menganalisis berbagai faktor dan indikator penyebab yang ikut aktif melestarikannya, termasuk faktor hukum dan pendidikan yang kerapkali mendapat justifikasi agama. Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara. Dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin perempuan maka, secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal. Pencanangan wajib belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan terhadap perempuan. Ketimpangan gender dalam konteks Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace Suryadi, berdasarkan angka statistik kesejahteraan rakyat dari Biro Pusat Statistik pada tahun 2000/2001 penduduk peremuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13% sedikit 22
Ensiklopedi Nasional Indonesia, cet. III (Jakarta: Delta Pamungkas, 1997), h. 351.
23
Lihat http://www.suarapembaharuan. com/News/2003/02/11/Kesra/kes02.htm, lihat pula penjelasan hasil penelitian dengan judul lebih dari 50 persen Buku Pelajaran SD Bias Gender, dan masih banyak contoh dalam pelajaran yang bias gender. Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 35
Rukmina Gonibala lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15%. Penduduk perempuan yang berpendidikan SMA adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1% yang masih lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%.24 Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa bias gender dalam bidang pendidikan masih sangat timpang terutama pada tingkat pendidikan sarjana, karena dalam kenyataan empirik membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang maka tingkat pendapat juga akan itu berpengaruh. Kondisi ini dirasakan oleh perempuan memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah di bandingkan dengan laki-laki. Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun 2001, angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%. Sedangkan untuk APM tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sudah mengalami kesetaraan gender, meskipun dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan hasil rendah yaitu 56,62% laki dan 56,30% perempuan. Angka partisipasi murni (APM) untuk sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan masih lebih rendah lagi, yaitu 34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan. 25 Di samping hasil penelitian tersebut di atas dalam bidang pendidikan terjadi ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, juga bias gender termasuk di bidang hukum. Bidang hukum juga sangat signifikan berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan lagi-lagi bias gender sangat dirasakan oleh kaum perempuan. Menurut Musda ada tiga aspek ketimpangan gender dalam bidang hukum yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law), dan struktur hukumnya (structure of law).26 Pada lebel struktur hukum masih menurut Musda bahwa terjadi ketimpangan gender yang ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan jaksa dan hakim. Kenyataan itu juga diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam undang-undang dan peraturan, antara lain: a. Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang terdapat bias gender dalam materi hukum. b. Dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP)Nomor: 1 tahun 1974 ada beberapa pasal yang sangat tendensius dan lagi-lagi terdapat bias gender.
24
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, cet. I (Bandung: Genesindo, 2004), h.19 25
Lihat Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, h. 20. Lihat pula laporan Biro Pusat Statistik, Indikator Wanita dan Anak, Jakarta, 2001. Dalam Laporan tersebut diuraikan bahwa dalam hal pendidikan, upah kerja, partisipasi politik, posisi dalam pekerjaan, dan partisipasi dalam birokrasi, kaum wanita berada pada posisi yang jauh lebih terkebelakang daripada kaum pria. 26
Lihat Siti Musda Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, cet. I (Bandung: Mizan, 2004), h. 124-125.
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 36
Rukmina Gonibala c. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara eksplisit juga memposisikan perempuan sebagai objek dan meneguhkan subordinasi perempuan dalam relasi gender. d. Dalam Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 1983 secara implisit membela hak-hak kaum perempuan, terutama pada bidang perkawinan, tetapi ada pasal yang pada hakekatnya memberikan peluang kepada laki-laki untuk melakukan poligami. Dalam budaya hukum, masih sangat kuatnya nilai-nilai budaya patriarki yang kemudian mendapat legitimati dan justifikasi dari kalangan ulama terutama kelompok ulama yang konservatif tekstual. Masih menguatnya budaya patriarki dapat dilihat pada setiap kampanye pemilu untuk pemilihan kepala negara sebagian ulama selalu memberikan fatwa bahwa perempuan tidak boleh menjadi pimpinan negara. Menurut Musda Ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri seseorang yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresi kreaktif. Pertama, unsur kekuasaan sebagai paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang selalu didefinisikan dengan kekuatan atau ketegaran atau kemampuan bertindak yang diperlukan guna mencapai sesuatu demi tujuan yang lebih besar. Dalam masyarakat tidak mempersiapkan perempuan membangun kualitas kekeuasaan dalam diri mereka. Lalu, bagaimana mungkin anak perempuan bisa bermimpi menjadi pemimpin bila mereka tidak memiliki gambaran kultural yang dapat membimbing mereka. Tidak heran jika perempuan mengalami kesulitan membebaskan diri dari rambu-rambu kultural untuk berkiprah dalam dunia kekuasaan, seperti menjadi presiden, politisi. Dalam majalah Times edisi khusus tahun 1990, dinyatakan secara gamblang mengenai gaya baru manajemen perempuan karena semakin banyak perempuan yang menduduki jabatan kekuasaan di dunia bisnis. Yang dimaksud dengan gaya baru di sini adalah bahwa para perempuan itu tidak berusaha untuk terlihat seperti laki-laki, melainkan tetap menunjukkan keluwesan, keibuan, dan penuh perhatian dalam menjalankan kepemimpinan mereka. Time meramalkan bahwa” pendekatan netral yang luwes yang dimiliki perempuan akan memainkan peranan penting dalam mengelolah angkatan kerja Amerika yang heterogen yang berasal dari latar belakang budaya yang sangat heterogen”. Konsep kekuasaan perempuan (women power) yang differen dengan kekuasaan laki-laki yang selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan dalam konsep feminim adalah kekuasaan yang penuh dilimpahi kasih sayang. Dengan demikian bahwa kekuasaan perempuan mengintegrasikan kualitas perempuan dengan aspek kelembuatan dalam kasih sayang, melaksanakan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Musda Mulia.h.281. Dengan mengusung pendapat yang dikemukakn oleh Musda maka dengan adanya keterlibatan perempuan dalam kekuasaan terutama di bidang legislatif, eksekutif,dan yudikatif menjadikan perempuan sebagai penetrasi dalam bidang kekuasaan yang penuh dengan intrik politik dan di dominasi oleh laki-laki, maka kedepan akan menjadikan perempuan sebagai mitra “sejajar” dalam berbagai segmen kekuasaan yang dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, lingkungan tetangga, sampai ke tingkat negara untuk sama-sama berkiprah dengan laki-laki. Meskipun demikian kendala primordial dan kultural masih dirasakan oleh perempuan dalam berkiprah di ranah publik. Kendala itu di antaranya masih mengutamakan penampilan fisik misalnya selalu mengikuti trend rambut, cara berbusana. Setelah itu baru menampilkan wawasan berpikir, yang seharusnya lebih mengutamakan paradigma berpikir ketimbang penampilan fisik. Kompetensi diri atau kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan sesuatu merupakan salah satu unsur yang harus di miliki oleh perempuan, apabila tidak memiliki kekuasaan terutama dalam diri sendiri, maka akan berimplikasi kepada ketidak berdayaan untuk melakukan kekuasaan Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 37
Rukmina Gonibala terutama pada kekuasaan di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kompentensi diri sangat di tentukan oleh tingkat pendidikan, apabila pendidikan perempuan itu relatif rendah maka untuk berkompetisi pada tiga bidang tersebut di atas, maka aksesnya juga menjadi rendah. Sayangnya kemampuan diri perempuan di bidang kekuasaan masih rendah misalnya untuk jabatan eksekutif masih sedikit yang di pegang oleh perempuan, jumlah gubernur, walikota/bupati populasinya 1-2 orang, untuk bidang legislatif paling tinggi menduduki posisi wakil ketua, dalam sejarah Indonesia ketua MPR dan DPR belum pernah di jabat oleh perempuan. Demikian juga untuk jabatan Ketua Mahkamah Agung. Kurangnya kemampuan perempuan dalam kompetensi diri dalam kekuasaan sangat di tentukan oleh tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, meskipun untuk jabatan Presiden pernah di jabat oleh perempuan namun, belum mampu mensejajarkan dengan kekuasaan laki-laki dalam segmen kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Agresi kreaktif harus ada dalam diri perempuan. Konsep agresi kreaktif dapat diartikan sebagai mengambil inisiatif, memimpin orang lain, mengemukakan pendapat sendiri, menetapkan tujuan, dan membuat tahap-tahapan untuk mencapai tujuan, mempertahankan keyakinan, serta membela diri bila di serang. Menurut Musda bahwa agresi kreaktif hanya ada jika seseorang memilki cita-cita dan ambisi. Agresi kreaktif berbeda dengan nafsu kemarahan, tetapi muncul jika seseorang memiliki nafsu kemarahan. Bagaimana mengelola amarah menjadi agresi kreaktif tentu merupakan ketrampilan tersendiri yang harus dipunyai oleh seseorang terutama perempuan. Kesulitan mengelola amarah adalah sesuatu yang sifatnya universal. Untuk kaum perempuan lebih sulit untuk mengelolah agresi kreaktif menjadi ambisi karena sejak usia dini anak perempuan sudah di kontruksi oleh orang tua termasuk di dalamnya masyarakat untuk selalu pasif dan pasrah. Pada masa kecil perempuan dituntut untuk menahan amarah atau ketidaksepakatan demi menyenangkan orang tua. Sejak kecil perempuan diajarkan untuk tidak mengemukakan pendapat sendiri, yang di beri kebebasan adalah saudara laki-laki, maka pada umumnya perempuan tidak tahu bagaimana mengelola amarah yang sifatnya negatif, menjadi agresif positif, ketidakmampuan menahan diri ketika dilanda kesengsaraan, dan menyampaikan apa yang sesungguhnya mereka inginkan dalam pesan yang jelas terutama kepada orang tuanya, apatahlagi terhadap masyarakat. Akibat dari tidak adanya agresif yang di miliki perempuan berimplikasi kepada diri perempuan itu sendiri seperti: a. Perempuan kurang percaya diri (self confidence) karena kemampuan mereka memang masih terbatas. b. Perempuan kurang berusaha merebut peluang. c. Perempuan kurang mendapat dukungan, baik dari keluarga maupun masyarakat, kadang mendapat cemohan apabila perempuan bekerja di sektor publik terutama pekerja seks komersial, pub, dan diskotik. Meskipun pajak jasa tetap di setor ke pihak pengelola. d. Perempuan masih terbelunggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik. e. Perempuan masih kurang memiliki kemampuan manawar (bargaining). f. Perempuan masih terkukung dalam tradisi misogonis; dan g. Perempuan masih di hadang oleh pemahaman dan penafsiran agama yang bias niali-nilai partiarki dan bias gender. Kemampuan untuk meningkatkan wawasan berpikir melalui pendidikan baik formal maupun non formal yang sensitivitas gender terbangun serta peduli akan isu-isu perempuan seperti kekerasan domestik (domestic violence), hak dan kesehatan reporduksi, pelecehan seksual, eksploitsi tenaga
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 38
Rukmina Gonibala kerja perempuan dan anak-anak, serta perdagangan perempuan dan anak perempuan sebagai salah datu komitmen terhadap Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melaui UU No. 10 Tahun 1984, seperti dikemukakan dalam Konvensi PBB. Bentuk-bentuk Bias Gender dalam Pendidikan Islam Bentuk-bentuk bias gender dalam pendidikan Islam semakin jelas terlihat dalam pengelompokan gender ke dalam jurusan, bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda menurut jenis kelamin. Gejala ini berdampak buruk berupa kompetisi yang kurang sehat dalam hubungan antar gender yang mengaki-batkan seluruh potensi peserta didik tidak akan dikembangkan secara optimal. Menurut Musda Mulia, pendidikan Islam khususnya pendidikan di pesantren, dikenal dengan pendidikan yang menganut sistem otoriter. Guru atau ustadz umumnya diperlakukan sebagai sosok yang harus dihormati sehingga tidak pantas dikritik. Fatalnya, mengajukan pertanyaan sering dimaknai sebagai memberi kritik. Hubungan antar guru dan peserta didik selalu berjarak seperti hubungan atasan dan bawahan. Musda Mulia.h.118. Lebih parah lagi pengkultusan kepada kiai atau guru mentradisi pada sebagian institusi pendidikan yang berbasis pesantren seperti seorang santri meminum air sisa sang kiai untuk mendapatkan berkah dan ilmunya seperti sang guru. Padahal kalau malas belajar maka tidak mungkin akan menyerupai gurunya. Selain yang disebutkan di atas, maka bentuk lain dari bias gender dalam pendidikan meliputi: 1. Kaum laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan atau ketrampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industri sehingga dengan jenis ketrampilan kejuruan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-olah secara khusus dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi. Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya ketatausahaan dan teknologi kerumahtanggaan. 2. Jumlah siswa perempuan yang memilih jurusan IPA atau matematika di SMU lebih kecil proporsinya sehingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai bidang teknologi dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Pada kedua jenis jurusan keahlian itu, proporsi mahasiswi hanya mencapai 19,8 %. Di lain pihak mahasiswi lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan bidang manajemen (57,7%), pelayanan jasa dan transfortasi (64,2%), bahasa dan sastra (58,6%) serta psikologi (59,9%).Ace Suryadi.h.157. 3. Pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perempuan lebih dominan pada program diploma yang menyiapkan guru SLTP ke bawah (68,2%) dan program sarjana yang menyiapkan guru sekolah menengah (55,7%). Gejala ini menunjukkan, perempuan lebih banyak yang dipersiapkan untuk menjadi guru pendidikan dasar dan menengah. Keadaan ini juga ditunjukkan dengan jumlah seluruh guru perempuan dari TK sampai SMU, proporsi perempuan lebih besar (50,8%) daripada jumlah guru laki-laki (49,2%). Sebaliknya tenaga dosen didominasi oleh lakilaki dengan proporsi 70% pada berbagai tingkat jabatan dosen di PT, dan semakin tinggi jabatan dosen semakin kecil proporsi dosen perempuan. Demikian juga untuk jabatan struktural masih didominasi kaum laki-laki, kalaupun ada jumlahnya masih sedikit.Ace Suryadi.h.128. 4. Kesenjangan gender menurut jurusan, bidang kejuruan, dan program keahlian dalam pendidikan ini tercermin pula dalam proporsi pegawai negeri sipil (PNS), PNS perempuan hanya menempati
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 39
Rukmina Gonibala proporsi 35,4%, dan semakin tinggi golongan jabatan semakin kecil proporsi perempuannya. Hampir semua keahlian PNS dipegang oleh laki-laki kecuali keahlian di beberapa bidang seperti farmasi (57,7%), biologi (47,9%), bahasa dan sastra (45%), dan psikologi (61,1%). Ace Suryadi.h.128. Dalam konteks ini dipahami bahwa data yang dikemukakan oleh Ace membuktikan masih terjadinya bias gender dalam pendidikan, karena untuk mendapatkan tingkat posisi sebagai pengambil keputusan sangat ditentukan oleh pendidikan seseorang dalam promosi jabatan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang (perempuan), maka jabatan yang dipegang oleh perempuan semakin banyak, tetapi kenyataan empirik menujukkan belum signifikan antara tingkat pendidikan dengan jabatan yang dipegang oleh perempuan. Faktor Penyebab Bias Gender dalam Pendidikan Islam Faktor-faktor penyebab bias gender dapat dikategorisasikan ke dalam tiga aspek, yaitu partisipasi, akses, dan kontrol. Namun, tidak semua aspek yang disebutkan dapat dipaksakan untuk menjelaskan masing-masing bias gender yang terjadi secara empiris dalam bidang pendidikan. Dengan kata lain faktor-faktor penyebab bias gender akan sangat tergantung dari situasinya masingmasing. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan adalah: 1. Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktorfaktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak lakilaki. 2. Pada tingkat SLTP/Tsanawiyah dan SMU/Madrasah Aliyah perbedaan angka partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah pedesaan dan luar Jawa. Faktor penyebab bias gender pada tingkat SLTP ke atas relatif lebih kecil dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga karena siswa dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial ekonomi tinggi sudah lebih besar proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan distribusi sumber-sumber pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi masih menjadi faktor penting untuk mengurangi bias gender dalam pendidikan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bias gender yang berhu-bungan dengan akses dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena akses perempuan juga masih dirasakan rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan. Proporsi kepada sekolah perempuan secara konsisten masih kecil dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang pendidikan. Perempuan pemegang jabatan struktural, dari tingkatan strategis sampai operasional jauh lebih rendah daripada lawan jenisnya. Oleh karena itu, banyak kebijakan pendidikan kurang sensitif gender, yang akan berdampak luas
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 40
Rukmina Gonibala terhadap berbagai dimensi bias gender dalam bidang pendidikan. 2. Laki-laki lebih dominan dalam mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran cenderung bias laki-laki (male bias). Fenomena ini dapat diamati dari buku-buku pelajaran yang sebagian besar penulisnya adalah laki-laki. Penulis buku laki-laki sangat dominan. 3. Isi buku pelajaran yang membahas status perempuan dalam masyarakat akan banyak memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. Muatan dari sebagian bukubuku pelajaran (khususnya IPS, PPKN, Pendidikan Jasmani, Bahasa dan Sastra Indonesia, Kesenian dan sejenisnya) yang berhasil diamati cenderung kurang berwawasan gender khususnya berkaitan dengan konsep keluarga atau peran perempuan dalam keluarga yang telah lama dipengaruhi oleh cara berpikir tradisional, bahwa laki-laki adalah pemegang fungsi produksi sedangkan perempuan memegang fungsi reproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab bias gender dalam bidang kurangnya kontrol kebijakan pendidikan adalah: a. Faktor kesenjangan antar gender dalam bidang pendidikan jauh lebih dominan laki-laki. Khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keadaan ini akan semakin bertambah parah jika para pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki sensitivitas gender. b. Khusus pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut sistem seleksi dalam pendidikan. Kontrol dalam penerimaan karyawan terutama di sektor swasta sangat dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik milik pemerintah maupun swasta, maka salah satunya harus memilih untuk keluar, dan biasanya perempuanlah yang memilih keluar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam bidang pendidikan. c. Faktor struktural, yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan, dan perilaku masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan, seperti pekerjaan perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena perempuan dianggap hanya memilih fungsi-fungsi produksi (reproductive function). Laki-laki dianggap lebih berperan sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga (productive function) sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu teknologi dan industri. d. Pendidikan Islam yang konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan melalui pembelajaran induktif, yang berarti mengangkat nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan reseptif yang hanya memperkuat hapalan, apabila hapalan itu hilang maka subyek didik tidak akan punya apa-apa lagi, maka diperlukan pendidikan yang demokratis yaitu peserta didik diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, menyampaikan opini, dan mengeskpresikan kemampuan nalar, maka akan melahirkan komunitas intelektual yang cendekiawan. Faktor lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah muncul persaingan dengan teknologi, yang menggantikan peranan pekerja perempuan dengan mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah. Penyempurnaan bahan-bahan pendidikan harus diusahakan dengan jalan menggunakan perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Dengan melakukan revisi terhadap buku-buku pelajaran dan bahan materi lainnya yang isinya masih sangat bias nilai-nilai patriaki dan sangat bias gender, Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 41
Rukmina Gonibala seperti dalam buku bahasa Indonesia di tingkat pendidikan sekolah dasar: “Bapak pergi ke kantor”, “Ibu sedang memasak di dapur”. Contoh kalimat ini memberikan indikasi terjadinya subordinasi dalam penyusunan buku pelajaran, kasus kecil ini memberikan dampak terhadap kerangka berpikir subyek didik, sehingga pada akhirnya semua isi buku pelajaran sarat dengan muatan nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan yang menempatkan manusia laki-laki dan perempuan dalam posisi sentral sebagai subyek pendidikan. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Bias Gender Pendidikan dalam Islam Adapun upaya untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam melalui upaya sebagai berikut : 1. Reinterpretasi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang bias gender, dilakukan secara kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang. 2. Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikhotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah, yang di mulai dari tingkat pendidikan taman kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi. 3. Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. 4. Pemberdayaan di sektor ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industri rumah tangga (home industri) dengan demikian perlahan-lahan akan menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Karena salah satu terjadinya marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki. 5. Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilang melek politik bagi kaum perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya milik laki-laki, dan politik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya politik adala seni untuk mencapai kekuasaan. Dengan demikian kuota 30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segara terpenuhi, mengingat pemilih terbanyak adalah perempuan. 6. Pemberdayaan di sektor ketrampilan (skill) baik ketrampilan untuk kebutuhan rumah tangga, maupun yang memiliki nilai jual di tingkatkan terutama kaum perempuan di pedesaan agar terjadi keseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan sama-sama memiliki ketrampilan yang relatif bagus. 7. Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amanah dari UU KDRT.
Penutup Dari uraian tersebut di atas, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Fenomena bias gender dalam pendidikan Islam mengindikasikan masih terjadi bias dalam pendidikan Islam. Adapun bias gender dalam pendidikan Islam meliputi: bidang kurikulum, buku ajar, dan tenaga pengajar yang belum seimbang antara perempuan dan laki-laki. Demikian pula dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan belum sepenuhnya seimbang antara perempuan dan laki-laki meskipun Islam sebagai pilar utama, mengajarkan keseimbangan dalam Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 42
Rukmina Gonibala pendidikan, namun aplikasinya belum maksimal. Fenomena pemisahan gender (gender segregation) di dalam pendidikan Islam, terutama pada pemilihan sekolah, jurusan, dan aktivitas di bidang pendidikan memberikan peluang yang sama dengan laki-laki, agar stereotipe dalam sistem pendidikan Islam, secara perlahan-lahan tetapi pasti, dapat menghilangkan bias gender dalam pendidikan serta diskriminasi antara anak perempuan dan laki-laki mulai dihilangkan. 2. Faktor-faktor penyebab bias gender dalam pendidikan Islam adalah mentalitas para pengelola atau pelaksana pendidikan yang masih dominan laki-laki cenderung terjadi dengan cara mempertahankan kesenjangan gender dalam waktu lama. Masalah ini akan selesai dengan memposisikan perempuan tidak pada konteks domestik saja, tetapi juga dalam konteks publik. Solusi lainnya adalah memberikan kesempatan belajar yang lebih tinggi kepada perempuan, memacu peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan melalui pemberdayaan potensi perempuan secara optimal dalam kedudukannya sebagai pengembangan kurikulum, penulis buku, pengelolah pendidikan, pelaksana pendidikan, peneliti bidang pendidikan, dan sebagai subyek didik. Memperkecil ketimpangan bias gender pada jurusan, bidang kejuruan atau program studi yang ada pada jenjang pendidikan mulai dari tingkat menengah sampai tingkat tinggi untuk mewujudkan dan menghilangkan bias gender dalam pendidikan. Pendidikan yang menentukan kelayakan seseorang untuk terjun ke dalam kancah persaingan sosial yang positif. Makin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula status sosial yang akan diperoleh dalam masyarakat. Perempuan yang berperan di berbagai dunia pendidikan, di rumah sebagai ibu, di sekolah sebagai guru, di perguruan tinggi sebagai dosen, dan di masyarakat sebagai bagian dari anggota masyarakat harus diberi pendidikan yang setingi-tingginya berdasarkan tuntutan zaman dan lingkungannya. 3. Dampak bias gender dalam pendidikan Islam meliputi: rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan, kurangnya kaum perempuan menempati posisi pengambil keputusan baik di bidang legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik meskipun telah di berlakukannya Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum pasal 65 menyebutkan bahwa setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kuranngnya 30%. Namun kenyataan empirik belum terealisasi karena nomor urut yang diberikan kepada perempuan berada pada urutan terakhir. Ini merupakan dampak dari bias gender dalam pendidikan. 4. Upaya untuk menanggulangi bias gender dalam pendidikan dengan mengupayakan beberapa kategori yaitu : Pendidikan Islam memberikan patron bagi seseorang untuk berbuat sesuatu kepada generasi dan bangsanya juga sangat berpengaruh pada kualitas generasi berikutnya yang mampu mewujudkan pendidikan yang berkualitas sesama laki-laki dan perempuan. Pemerataan peluang dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan agar dapat berprestasi gemilang sebagaimana layaknya kaum laki-laki. Pendidikan Islam, dilihat secara historis, sejak dahulu telah memberi equal opportunity antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Peluang ke depan bagi perempuan untuk berperan aktif dalam bidang pendidikan dengan menghilangkan bias gender terutama pemegang kekuasaan sebagai pengambil keputusan. Ajaran Islam tentang konsep pendidikan dengan menawarkan teori Qur’ani yang dianggap sebagai teori ideal yang dapat mengakomodir berbagai teori Barat dalam memperjuang-kan kesetaraan gender sekaligus melepaskan unsur-unsur bias gender. Saling pengertian, saling menghargai dan menghormati dan menganggap penting semua peran yang dilakoni oleh laki-laki dan perempuan karena semuanya akan menuju kepada satu tujuan yang harmonis merupakan Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 43
Rukmina Gonibala landasan utama teori Qur’ani, dan dikontekstualisasikan dalam pendidikan Islam. Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Ajaran agama yang mengandung ketidakadilan gender perlu diberi interpretasi ulang yang bersih dari unsur subyektivitas agar agama tidak dijadikan jastifikasi bias gender dalam pendidikan terutama pendidikan yang berbasis Islam. Karena kemungkinan besar pemahaman agama yang sempit dan sempalan akan ditunjang oleh konstruksi sosial yang patriaki akan dijadikan tameng sebagai ajaran agama. Pendidikan Islam yang memiliki “sebagian” yang telah menerapkan pendidikan dengan basis demokratis yaitu memberikan peluang kepada perempuan dengan keikutsertaan pelaku pendidikan dan peserta didik, tanpa membedakan jenis kelamin mereka sehingga laki-laki dan perempuan dapat berinteraksi dengan baik tanpa ada kendala apapun. Pendidikan yang berperspektif perempuan merupakan salah satu media yang paling tepat menghasilkan perempuan yang melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan agar terbangun masyarakat Islam yang baldah thayyibah wa rabb ghafur. 2. Seluruh peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, harus dipastikan memihak atau paling tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan. Bukan hanya akses dalam semua level pendidikan, melainkan juga menjamin adanya kesetaraan dalam segenap output pendidikan, termasuk tindakan afirmasi. Perbaikan dalam sistem administrasi dengan menggunakan analisis gender. Menghilangkan bias gender dalam sistem administrasi sangat diperlukan, misalnya meningkatkan jumlah perempuan dalam berbagai posisi dan jabatan strategis di bidang operasional pendidikan seperti kepala sekolah, kepala tata usaha, dan pengawas pendidikan. 3. Dengan semakin banyak perempuan yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan yang tidak bias gender dalam semua level, diharapkan akan menjamin terbangunnya kebijakan publik di bidang pendidikan yang sungguh-sungguh dapat membela dan mengartikulasikan kepentingan perempuan agar bias gender bisa diminimalisir. Perbaikan dalam sistem kurikulum yang menjamin terwujudnya content pendidikan yang berperspektif gender, menghilangkan sekat-sekat bias gender dalam pendidikan terutama dalam mengkombinasi-kan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan.
Daftar Pustaka Ba’albakiy, Munir. 1985. Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy. Beirūt: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn. Biro Pusat Statistik. 2001. Indikator Wanita dan Anak. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Echols, John M. & Hassan Shadily. 1983 Kamus Inggeris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Fakih, Mansour, et al. 1996. Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam. Cet. I. Surabaya: Risalah Gusti. Handayani, Faras. 2001. “Bermain Bola”, dalam Nakita No. 109, Tahun III tanggal 5 Mei 2001, h. 14. http://www.suarapembaharuan.com/News/2003/02/11/Kesra/kes02.htm
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 44
Rukmina Gonibala Illich, Ivan. 1998. Gender. Diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lindsey, L. 1990. Gender Roles a Sociological Perspective. New Jersey: Prentice Hall. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 1992. Pengantar Teknik Analisa Jender. Buku III. Mosse, Cleves. 1996. Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan. Cet. I Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mulia, Siti Musda. 2004. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Cet. I. Bandung: Mizan Murata, Sachiko. 1998. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Cet. VI. Diterjemahkah oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah. Bandung: Mizan. Neufeldt, Victoria (ed). 1984. Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Clevenlan. Salim, Peter. 1991. Advance English-Indonesia Dictionary (edisi ketiga). Jakarta: Modern English Press. Showalter, Elaine (ed). Speaking of Gender. New York & London: Routledge. Silberius, Suke. 1998. Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id. Subhan, Zaitunah. “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128. Suryadi, Ace & Ecep Idris. 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Cet. I. Bandung: Genesindo. Tierney, Helen (ed). tt. Women’s Studies Encylopedia, vol. I. New York: Green Wood Press) Tim Penyusun. 1997. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Cet. III. Jakarta: Delta Pamungkas. Umar, Nasaruddin. 1998. “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli– Desember 1998, h. 99. Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an. Cet. I. Jakarta: Paramadina. Wilson, H. T. 1989. Sex and Gender, Making Cultural Sense or Civilization (Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill. Wehr, Hans. 1980. A Dictionary of Modern Written Arabic. Cet. III. London: McDonald & Evans Ltd
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 45