Masalah Perkawinan Antara Orang Yang Berbeda Agama Oleh : Drs. H. Dja'far Abdul Muchith, S.H., M.H.I.
A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sunnatullah yang hampir semua orang memasuki gerbang tersebut. Perkawinan bagi bangsa Indonesia bukan sekedar masalah pribadi dari yang melakukannya atau masalah cinta semata akan tetapi suatu masalah keagamaan, yang sangat sensitif serta erat sekali dengan masalah keyakinan rohani seseorang. Perkawinan ini menyangkut hubungan antara manusia, sehingga perkawinan termasuk kedalam perbuatan hukum yang sebab dan akibatnya diatur menurut hukum. Untuk mengatur masalah perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum, manusia melalui perwakilan dan pemerintah, menetapkan hukum perkawinan yang disesuaikan dengan kebutuhan warganya. Bagi manusia yang beragama, kebutuhan tersebut disesuaikan dengan keyakinan dan hukum agamanya masing-masing. Kewajiban
pemerintah
mengatur
urusan
perkawinan
warga
negaranya adalah sesuai kaidah :
Artinya : “Pemerintah mengatur urusan rakyatnya sesuai dengan asas kemaslahatan. Oleh sebab itu wajar apabila dalam menyusunan peraturan perundang-undangan terkait perkawinan mendapat kesulitan, karena menyangkut berbagai interest yang berakar pada nilai Iman seseorang.
1
Demikian pula hasil yang dikristalisasikannya sudah pasti dipengaruhi oleh nafas keagamaan. Bukti kongkrit adanya dominasi agama terhadap Undang-Undang Perkawinan terlihat secara nyata dalam rumusan pasal 1 UU No : 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Penjelasan dari pasal ini menyatakan “Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama / keruhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani, tetapi juga unsur bathin / keyakinan. Membentuk keluarga yang bahagia sangat erat hubungannya dengan
keturunan
yang
juga
sebagai
dambaan
orang
yang
melangsungkan perkawinan untuk melindungi hak dan kewajiban setiap orang dan atau anak yang dilahirkan, perlu sangat hati-hati menyusun pasal tentang sah tidaknya perkawinan termasuk perkawinan antara orang yang berbeda agama.
B. Rumusan masalah Dari latar belakang uraian diatas, kiranya dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :
2
1. Perkawinan antara orang yang berbeda agama apakah sudah diadopsi dalam UU perkawinan No 1 tahun 1974 atau diatur dalam hukum positif di Indonesia ? 2. Bagaimana corak dan macamnya perkawinan yang berbeda agama tersebut ? 3. Apakah perkawinan campuran / antar agama / inter religious masih berlaku menurut UU perkawinan ? 4. Apakah mungkin / diperkenankan perkawinan antara 2 (dua) orang yang berbeda agama, ditinjau dari ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974? 5. Dan lain sebagainya.
C. Permasalahan dan Cara Pendekatan Sebelum memasuki pokok permasalahan, sebaiknya / sedapat mungkin kita melepaskan diri dari cara berfikir/sudut pandang yang apriori barat sentries. Tujuannya agar jangan menguji dan melakukan pendekatan pengkajian permasalahan tersebut semata mata dari sudut pandangan budaya dan nilai-nilai kesadaran teori maupun praktek hukum barat. Sebaliknya kita harus dapat melihat dan menyadari bahwa UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah produk perumusan kehendak dan nila-nilai normatif yang dianggap sesuai dengan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat Bangsa Indonesia, yang harus dikaji dan diterapkan sesuai dengan kehendak dan kesadaran tersebut.
3
Ini berarti UU No 1 tahun 1974 sebagai UU Perkawinan Nasional, mengandung pandangan filosofis dan nilai-nilai yang berbeda dengan yang dulu, baik yang tertuang dalam BW, HOCI, dan GHR. Jadi UU No 1 tahun 1974 adalah sengaja diciptakan Rakyat Indonesia yang berlainan corak dan landasannya dengan peraturan perkawinan terdahulu. Jika hukum itu oleh ajaran fungsionalisme atau teori realis mencakup moral, kepatutan dan ajaran agama, wajarlah kita secara jujur dan terbuka mengkaji perkawinan antara orang yang berbeda agama. Yang dimaksud dengan kejujuran dan keterbukaan ialah pendapat umumnya
kelompok/tokoh
penganut
agama
manapun,
selalu
menyuarakan atau memperlihatkan sikap “tidak setuju” atau “tidak senang” terhadap perkawinan antara orang yang berbeda agama. Apalagi jika peristiwa itu menimpa pada diri pribadi, keluarga, dan atau kerabat/dzuriatnya. Bagaimana jelasnya, setelah ini akan dibicarakan secukupnya.
D. Pemecahan masalah Perkawinan antara orang yang berbeda agama di Indonesia, memang terjadi di beberapa daerah, tapi jumlahnya tidak seberapa atau dapat dihitung dengan jari. Akibat dari peristiwa perkawinan yang berbeda agama tersebut timbul pertanyaan bagaimana perkawinan tersebut apakah sah menurut hukum UU No 1 tahun 1974 Untuk meninjau sah tidaknya suatu perkawinan, kita harus pahami betul pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 tahun 1974, yang
4
menegaskan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Penjelasan pasal ini menjelaskan bahwa “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945. Yang dimaksud
dengan
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini” Melihat aturan diatas dapat dirinci / diklasifikasikan perkawinan antara orang yang berbeda agama sebagai berikut : 1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) 2. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim, baik pria ahli kitab maupun pria lainnya. 3. Perkawinan pria dengan wanita yang berbeda agama selain Islam, seperti yang beragama Hindu dengan Kristen dan sebagainya. 4. Perkawinan 2 (dua) orang, seorang Warga Negara Indonesia dan lainnya Warga Negara Asing (WNA) yang kebetulan berbeda agamanya (berbeda agamanya dan kewarganegaraanya) 5. Perkawinan 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraannya, tapi tidak berbeda agamanya.
5
Oleh karena ketentuan sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh pasal 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974, maka sebaiknya kita kembali kepada hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, apakah membenarkan/membolehkan atau tidak, dan semua pihak harus menaati menghormati ketentuan/hukum agamanya sesuai keyakinannya.
E. Pandangan
berbagai
agama
tentang
perbedaan
agama
dalam
perkawinan. 1. Pandangan Agama Hindu Bagi
masyarakat
Hindu,
masalah
perkawinan
mempunyai
kedududukan yang bersifat khusus dan sakral. Hal itu diatur diberbagai kitab, yang induknya adalah kitab Manusmriti. Menurut ajaran Manusmriti, suatu perkawinan yang tidak disakralkan dianggap tidak mempunyai akibat hukum kepada perkawinan itu sendiri. Upacara keagamaan itu disebut Wiwaha Samakara atau Wiwahe Homa, bahwa perkawinan Hindu adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Manawa Dharma Sastra Salaka III.63 yang berbunyi : Salaka menyebutkan bahwa suatu perkawinan yang tidak disahkan oleh menurut agama, dengan melakukan upacara suci, menyebabkan ia jatuh hina, yaitu status anaknya tidak diakui sebagai pewaris yang sederajat dengan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dianggap tidak sah. Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antara umat yang berbeda agama. Hal ini terjadi berhubung sebelum perkawinan
6
harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila ternyata salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka kepadanya wajib disucikan atau di SUDHI kan sebagai penganut agama Hindu. Karena bila calon mempelai yang non Hindu tidak disucikan terlebih dahulu, dan kemudian dilaksanakan pensucian perkawinan, hal itu melanggar ketentuan dalam Seloka.V-89 kitab Manawa Dharmasastra, yang berbunyi :….”Air pensucian tidak diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi patapa dari golongan murtad dan mereka yang meninggal bunuh diri”. Dari penjelasan diatas jelaslah sudah bahwa perkawinan Hindu hanya dianggap sah apabila dilaksanakan menurut aturan agama Hindu. Dan perkawinan antara umat yang berbeda agama dalam pengertian salah seorang mempelai non hindu, tidak diperbolehkan pedanda/pandita Hindu akan menolak melaksanakan pengesahan perkawinan tersebut.
2. Menurut pandangan Agama Budha Didalam menelusuri hukum perkawinan agama Budha, ada sedikit kesulitan, karena didalamnya terdapat beberapa aliran (Sekte) yang masing-masing sekte mempunyai aturan tersendiri. Akan tetapi saat
7
sekarang sudah disusun patokan hukum perkawinan umat Budha yang tertuang dalam keputusan keputusan Sangka Agung Indonesia, tentang hukum perkawinan, tata cara perkawinan dan tata cara pemutian menurut agama Budha. Perkawinan menurut Budha ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (matta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (rumah tangga) yang bahagia yang diberkahi utuh Sanghyang Adi Budha / Tuhan yang Maha Esa, para Budi Satua – Mahasatwa. Perkawinan umat Budha dianggap sah apabila melalui upacara ritual yang diadakan di vihara putya, di rumah atau di kantor sepanjang ruangan mencukupi untuk itu. Yang dilengkapi dengan altar, dengan sarana 10 macam yang harus dilengkapi (patung Budha, sepasang lilin, sebuah lilin kecil, bunga rampai dan kembang, sebuah pedupaan, 2 buah gelas bersih, 9 batang hie untuk kedua mempelai dan untuk panitia, tempat duduk untuk mempelai dan untuk pendeta, kerudung jingga dan selembar pita kuning dan cincin kawin ditaruh di altar). Selanjutnya dengan upacara Budha yang diawali dengan Rachmat Tuhan yang Maha Esa dalam perlindungan Sang Tri Ratna dan disaksikan para upa saksi dan saudara se dhama, perkawinan dianggap sah. Bagi calon mempelai yang non Budhis yang akan disandingkan dengan seorang penganut Budha, tidak diharuskan masuk menjadi umat budha terlebih dahulu; akan tetapi dalam
8
upacara ritual upacara perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “Atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan aturan umum umat Budha. Perkawinan antara umat yang berbeda agama, dalam artian salah seorang calon mempelai beragama non budha, menurut keputusan sangka agung indonesia diperbolehkan, asal pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut tata cara agama Budha.
3. Pandangan Agama Katholik (Nasrani) Agama Nasrani Khatolik mempunyai hukum perkawinan yang telah dibukukan dalam kitab hukum Kanonik sejak dari Kanonik 1055 sampai dengan Kanonik 1165. Menurut agama Khatolik, perkawinan dapat dinyatakan sah apabila telah
terpenuhi
sesuai
dengan
aturan
hukum
Kanonik
dan
dilaksanakan menurut hukum agama Khatolik. Sedangkan apabila akan diadakan pengecualian dari ketentuan yang telah digariskan, maka harus ada dispensasi. Perkawinan antar umat yang berbeda agama dalam artian salah satu calon mempelai beragama non khatolik, kecil kemungkinannya untuk dapat dilaksanakan. Andaipun akan tetap dilaksanakan, diharuskan mendapat dispensasi dan dipenuhinya syarat tertentu sebagaimana diatur dalam hukum Karonik 1125 dan 1126 Larangan perkawinan berbeda agama terurai dalam Karonik 1086 ayat (1) yang menyatakan “Perkawinan antara 2 (dua) orang yang
9
diantaranya satu telah dibaptis dalam gereja Khatolik atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi sedangkan yang lain tidak dibabtis, adalah tidak sah. Intinya setiap perkawinan, termasuk perkawinan antara umat yang berbeda agama (salah satunya non khatolik) hanya dianggap sah apabila dilakukan dihadapan Ordinaris wilayah, pastor paroki, atau Imim maupun diakon yang diberi delegasi oleh salah seorang diantara mereka.
4. Menurut Pandangan Agama Kristen Protestan Dalam
agama
Kristen
Protestan
tidak
dikenal
hubungan
khiarirkhies antar kekuasaan Gereja. Kekuasaan tertinggi dari suatu gereja
terletak
pada
Jemaatnya.
Setiap
gereja
mempunyai
otonominya sendiri, sehingga sulit mencari dan menemukan hukum perkawinan yang dapat diberlakukan bagi seluruh gereja Protestan. Mengenai pemahaman akan arti perkawinan adalah sama, yakni sesuai dengan Firman Yesus : Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging; demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Dalam perkawinan Kristen Protestan tidak mengenal perceraian, hal ini sesuai Firman Yesus “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Dalam hukum perkawinan Kristen Protestan,
pada
umumnya
10
gereja
menganggap
bahwa
suatu
perkawinan yang diakui sah oleh pemerintah akan diakui pula oleh pihak gereja. Perkawinan antara umat yang berbeda agama diterima oleh gereja. Saat pelaksanaan perkawinan antar umat berbeda agama, Pendeta Protestan menganggap cukup dengan upacara pernikahan saja yakni dengan menanyakan kepada kedua calon mempelai untuk bersedia saling setia sampai Tuhan memisahkannya. Dikalangan gereja protestan terdapat 2 (dua) pendapat dalam hal penentuan sahnya perkawinan. Pendapat pertama menganggap sahnya suatu perkawinan apabila telah melalui pemberkatan dan pendapat lain menyatakan bahwa sahnya perkawinan cukup dengan upacara pernikahan yang dilakukan oleh Pendeta.
5. Pandangan Agama Islam Islam sebagai agama yang paling lengkap pembahasan tentang hukum, termasuk hukum, perkawinan. Sebab Al Quran dan Al Hadis penuh dengan mutu manikam ajaran tentang hukum, keyakinan, budi pekerti, sejarah, peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain sebagainya. Hukum perkawinan Islam memandang bahwa sahnya perkawinan jika dilaksanakan dengan terpenuhi rukun nikah, yang 5 (lima) macam dan syarat-syaratnya, termasuk memperhatikan larangan-larangan nikah. Mengenai perkawinan antar orang yang berbeda agama, secara umum Islam menolak dan melarang pria dan wanita muslimah
11
melangsungkan perkawinan dengan non muslim berdasarkan ayat 221 Surah Al Baqarah dan ayat 10 Surah Al Mumtahanah: Larangan ini mutlak berlaku bagi pria dan wanita muslimah nikah dengan penganut
agama
non
samawi
dan
atau
orang
yang
musyrik/musrikah/kafir. Mengenai perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab (menganut Yahudi dan Nasrani) diperbolehkan berdasarkan ayat 5 Surah Al Maidah, tapi tidak boleh atau dilarang untuk sebaliknya, yaitu wanita muslimah dilarang nikah dengan pria ahli kitab. Perkembangan selanjutnya para ulama Islam berpendapat bahwa Yahudi dan Nasrani sekarang sudah bergeser dari kategori ahli kitab. Berdasarkan uraian singkat pandangan agama tentang sahnya perkawinan dan perkawinan yang berbeda agama, secara umum semua agama menyuarakan dan memperlihatkan sikap tidak setuju atau tidak menghendaki dan tidak senang terhadap perkawinan yang berbeda agama. F. Perkawinan Berbeda Agama menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Menurut M. Yahya Harahap SH., (Mantan Hakim Agung) bahwa Pasal 2 Ayat (1) tidak memperkenankan pekawinan antara 2 (dua) calon mempelai berbeda agama. Pokok pikiran yang dijadikan argumentasi beliau adalah sebagai berikut : 1. Titik berat pelaksanaan perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 secara agamis. UU perkawinan dalam keseluruh sistemnya telah
12
menjadikan hukum agama sebagai fungsi fundamentum. Hal ini kata beliau telah diakui dan dibenarkan oleh Prof. DR. J. PrinS, menurut PrinS pasal 2 telah mengalihkan titik berat pelaksanaan perkawinan secara agamis. Dengan demikian menurut Yahya Harahap, S.H., bahwa pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 telah menyingkirkan konsepsi yang semata mata melihat perkawinan dari segi hubungan perdata. 2. Penjelasan Pasal 2 alenia pertama
menegaskan; dengan
perumusan pasal 2 ayat (1), tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945 3. Perkawinan yang berbeda agama bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 yang diperbolehkan pasal 2 ayat 1 ialah perkawinan “Intern Religious” bukan “antar Religious”. Sebab perkawinan antar agama mengakibatkan “disfungsionalisme” keseluruhan sistem hukum perkawinan tersebut. Jika hal ini dihubungkan dengan pasal 66 UU No 1 tahun 1974, berarti perkawinan antar agama merupakan ketentuan yang tidak berlaku lagi. 4. Perkawinan antara orang yang berbeda agama dilarang oleh ketentuan pasal 8 huruf F, Pasal 8 UU No 01 Tahun 1974 secara umum merupakan aturan yang melarang perkawinan disebabkan terdapat “halangan” untuk itu melakukan perkawinan. Jadi hubungan antara kedua calon mempelai terdapat “halangan” yang melarang mereka melakukan perkawinan. Salah satu
13
halangan yang memiliki kualitas “larangan” perkawinan ialah “berbeda agama” (pasal 8 huruf f) 5. Acara/Upacara perkawinan 2(dua) kali bagi yang berbeda agama, yang menurut Prof PrinS membuka kemungkinan sahnya perkawinan, adalah pendapat yang keliru. Sebab mungkin Prof PrinS melihat melalui pendekatan budaya dan nilai-nilai kesadaran hukum barat, bukan dari sudut kesadaran masyarakat yang religius dan sudut keimanan. Prof. DR. HAZAIRIN, S.H., menanggapi / mengomentari penjelasan pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 sebagai berikut : a. Bagi orang Islam tidak mungkin kawin dengan melanggar agamanya sendiri. b. Bagi orang kristen, Hindu, dan Budha tidak mungkin kawin dengan melanggar agamanya sendiri.
Pendapat HAZAIRIN tersebut ditanggapi oleh Drs. M. Idris Ramulyo SH, dengan rinci yang singkatnya : a. Perkawinan antara orang yang berbeda agama tidak sah menurut Hukum Islam seperti disebut dalam Al Quran, Surah Al Baqarah ayat 221. b. Perkawinan antara orang yang berbeda agama tidak sah menurut agama Kristen seperti ditegaskan dalam Perjanjian Baru (2 Karintus b : 14)
14
Berdasarkan uraian diatas, kemungkinan sangat kecil terjadinya perkawinan antar orang yang berbeda agama, sepanjang hukum agama dari kedua mempelai tidak mengizinkannya. Apakah mungkin melalui perkawinan campuran ? Sebelum membahas perkawinan campuran dipandang perlu membahas dulu lanjutan pasal 2 diatas yaitu pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (1) merupakan satu kesatuan ketentuan yang tidak dipasalkan. Pasal 2 ayat 2 UU perkawinan berbunyi : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan komplemen yang tidak terpisahkan dengan pasal 2 ayat (1) tentang sahnya perkawinan. Jadi pencatatan perkawinan yang dituangkan kedalam sebuah akta perkawinan dapat dijadikan bukti otentik telah terjadinya suatu perkawinan, dalam arti perkawinan yang sudah sah sesuai pasal 2 ayat (1) baru dicatat dalam akta perkawinan. Pencatatan perkawinan itu sendiri adalah wajib tapi sifatnya administratif. Jadi apabila hukum negara tidak menyatakan sah (pengesahan menurut agama) tapi akta kawin diterbitkan, maka akta tersebut dapat dinilai cacat hukum. Untuk menilai apakah akta perkawinan tersebut sah atau tidak atau berkekuatan hukum atau tidak menurut hukum positif, maka hal itu menjadi kewenangan lembaga peradilan
15
G. Perkawinan Campuran Pasal 57 UU No. 1 tahun 1974, menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara 2 (dua) orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Hal diatas berbeda jauh dengan rumusan perkawinan campuran menurut pasal 1 GHR (Regeling Of de Gemangda Howalijken) Stbl 1898 No
158
yang
menyatakan
bahwa
perkawinan
campuran
ialah
perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan (tidak diberlakukan karena sudah diatur oleh UU perkawinan No 1 tahun 1974) Pasal 57 UU Perkawinan No 1 tahun 1974 prakteknya tidak semudah
rumusan
kalimatnya,
karena
maeskipun
dari
segi
kewarganegaraan sudah memadai, tetapi apabila agama melarang sebagaimana dimaksud pasal 8(f) UU No 1 tahun 1974 maka perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan. Kiranya dapat disimpulkan bahwa perkawinan campuran hanya akan terjadi apabila kedua mempelai yang berbeda kewarganegaraan itu memiliki agama yang sama dan atau hukum agama kedua mempelai tidak melarangnya. UU perkawinan No 1 tahun 1974 sebagai unifikasi hukum seyogyanya mampu mencari pemecahan masalah apabila terjadi Love Affair antara warganya yang berbeda keyakinan agamanya. Hal ini dikarenakan UU perkawinan sebagai satu satunya hukum positif harus
16
mampu diberlakukan oleh semua warga masyarakat dengan tidak memandang perbedaan suku, agama, ras dan kepercayaan. Para perumus undang-undang bukannya tidak tahu tentang hal diatas, tapi hal tersebut dirancang pada pasal 11 ayat (2) yang bunyinya : Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan, tidak menjadi penghalang perkawinan. Rupanya rancangan pasal tersebut termasuk pasal yang kurang berkenan bagi masyarakat, sehingga ditolak / dihilangkan dari pembahasan akhir, yang selanjutnya tidak dicantumkan lagi dalam rumusan undang-undang, sehingga kalau diteliti, tidak satu pasal pun yang mengatur kemungkinan terjadinya perkawinan antara orang yang berbeda agama. Apakah
larangan
perkawinan
seperti
itu
tidak
berlawanan/
bertentangan dengan hak asasi manusia atau HAM?
H. Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Pembahasan HAM disini sekedar yang terkait atau sangat terbatas dengan tema dan HAM disini menurut UU No 39 Tahun 1999 dan atau HAM di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 1 butir 1 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, pengetian HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
17
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Indonesia sebagai negara yang memilih Pancasila sebagai Ideologi negara, memandang HAM sebagai Hak-Hak kodratiah dan fundamental kemanusiaan, sehingga konsentrasi HAM sifatnya tertuju baik individual maupun bagi kolektivitas manusia. Hal tersebut tercermin dalam sila-sila pancasila. Menurut DR. Nurul Qomar, S.H., M.H., filosofis HAM adalah kebebasan yang berbasis atas penghormatan atas kebebasan orang lain, artinya kebebasan HAM tak terbatas. Oleh karena tatkala memasuki wilayah kebebasan orang lain maka daya kebebasan ini berakhir. Setiap manusia sejak kelahirannya telah menyandang hak-hak dan kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi
arti
atau
makna
kebebasan
dan
hak-hak
asasi
kemanusiaan. Karena adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum. UUD NKRI tahun 1945 telah mengatur 27 butir tentang kaidah dasar HAM. Menurut Prof. Jimly Asshidiqie, ke 27 materi (butir) tersebut adalah sebagai berikut : 1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
18
2. Setiap
orang
berhak
membentuk
keluarga
dan
melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah 3. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 4. Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 5. Dst.
Menurut teori kedaulatan hukum, hukum adalah "supreme" tertinggi dalam negara. Negara harus tunduk pada hukum. Penguasa harus tunduk pada hukum. Hakikat yang berkuasa adalah hukum bukan manusia. Melihat uraian diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa kebebasan HAM tidak mutlak dan dibatasi oleh hukum,
oleh agamanya, oleh
sumber hukum Pancasila dan oleh UUD 1945 atau dengan kata lain HAM tidak boleh bertentangan dengan Agama, dengan Hukum dan dengan Pancasila. Berdasarkan pembahasan HAM yang relatif singkat, kiranya perkawinan orang yang berbeda agama, kecil kemungkinan terlaksana, karena ketentuan hukumnya tidak membolehkan untuk itu, baik hukum agama atau hukum positif. Oleh karena katentuan hukumnya demikian,
19
maka HAM harus mengikuti hukum tersebut, sebab siapapun termasuk negara dan penguasa harus tunduk pada hukum. Apakah dalam hal diatas tidak ada cara atau alternatif lain, agar mereka yang berbeda agama bisa melaksanakan perkawinan? Menurut M. Yahya Harahap, S.H., bagi mereka yang berbeda agama bisa melangsungkan perkawinan dengan cara memilih atau memeluk satu agama sebelum perkawinan dilaksanakan. Diantara argumentasinya ialah sebagai berikut : a. Hukum itu mengandung suruhan untuk memilih. Dalam hal ini Pasal 2 ayat 1 menyuruh pilih bagi mereka yang berbeda agama: "Jika mau melaksanakan perkawinan, silahkan pilih salah satu agama, jika tidak mau pilih, berarti mereka tidak menghendaki perkawinan. b. Memilih satu agama sebelum perkawinan sama sekali tidak ada paksaan, dan memilih salah satu agama yang mereka anut masih dalam kerangka ketentuan jiwa pasal 29 UUD 1945 dan tidak berbau melanggar hak asasi manusia tentang kebebasan memeluk agama. c. Penerapan memilih satu agama itu bukan munafiq, anggapan ini tidak pas sebab mana yang lebih munafiq, misalnya Islam tidak, Kristen pun tidak, dari pada secara lahir bathin memeluk satu agama secara pasti. d. Praktek hukum memilih satu agama sudah pernah dilaksanakan sejak berlakunya perkawinan campuran yang disebut sebagai "upaya meloloskan diri" dari perkawinan campuran atau dari ketentuan Pasal 2 GHR
20
Menurut hemat penulis, memilih satu agama sebelum perkawinan, dapat dikatakan bersifat "semu", dalam pengertian sebagai upaya untuk dapat dilangsungkannya suatu perkawinan tanpa mempertimbangkan "keimanan"; sehingga hal itu akan merusak iman jika yang menundukkan atau memilih satu agama itu dari pria atau muslimah yang masuk keagama lainnya, seperti Agama Kristen, atau Agama Hindu, maka dapat disebut "Riddah" atau "Murtad". Dari satu sisi perkawinan dapat terlaksana, tapi dari segi keimanan calon mempelai pria atau wanita yang menundukkan keagama lain adalah merugi. Demikian masalah perkawinan antara orang yang berbeda agama menurut hukum positif di Indonesia. Semoga pembahasan yang singkat ini dapat menjadi wawasan pendalaman berikutnya dan semoga Hidayah Allah selalu menyertai kita semua. Amin.
Banjarmasin,
21
November 2014
DAFTAR PUSTAKA
Amak Fadlali, Proses Undang-undang Perkawinan, PT. Al Maarif, Bandung : 1976 HAZAIRIN, Prof . DR. S.H. Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1975 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976 Gde Puja, Pengantar tentang Perkawinan menurut hukum Hindu, Mayasari Jakarta, 1975 Hukum Perkawinan Khatolik, dikutip dari Kitab Hukum Karonik, Februari 1987. Ahmad Azhar Bashir., Kawin Campur, Adopsi, Wasiat menurut Islam, PT. Al Maarif, Bandung, 1972 M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Perkawinan Nasional M. Idris Ramulyo, S.H., Tinjauan Beberapa Pasal UU No 1 tahun 1974 Prof. DR. PrinS, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia DR. Nurul Qomar, S.H., M.H., Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi. Sinar Grafika Rawamangun Jakarta Timur, 2013 Pedoman Penyelenggara Catatan Sipil, Departemen Dalam Negeri, Jakarta Makalah Masalah Berbeda Agama dalam Perkawinan oleh M. Yahya Harahap, S.H. Makalah Masalah Perkawinan berbeda Agama menurut Hukum Islam Diktat / Makalah Perkawinan antar Umat yang Berbeda Agama, Berbeda Golongan,
dan
Berbeda
Kewarganegaraan
dengan
Aspeknya, oleh Drs. O.S. Soeantapradja, Bandung, 1989. Dsb.
22
Segala