PERSEPSI AGAMA PADA ANAK DARI ORANGTUA YANG BERBEDA AGAMA Muhammad Syarif Hidayatullah dan Helenda Yolanda Anjaryana Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat Abstrak Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki masyarakat majemuk. Pada kondisi tersebut, masyarakat Indonesia memiliki kemungkinan cukup besar mengalami perkawinan beda agama. Perkawinan tersebut mengandung pro dan kontra. Agama menentukan cara pandang seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Selain itu, anak dari hasil perkawinan beda agama menghadapi situasi yang cukup unik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami bagaimana individu yang lahir dari orangtua yang berbeda agama membentuk suatu persepsi mengenai agama dan menginterpretasikan agama yang dianut. Metodologi kualitatif dengan perspektif fenomenologi digunakan untuk menggali data dari dua partisipan penelitian, yaitu individu yang memiliki orangtua berbeda agama. Temuan penelitian menunjukkan bahwa persepsi subyek dibentuk dari kombinasi faktor internal, eksternal dan fungsional, dengan faktor struktural sebagai pendukung. Adapun faktor internal didominasi pandangan bahwa tiap individu harus menganut agama, eksternal didominasi oleh kondisi lingkungan keluarga dengan lingkungan masyarakat sebagai pendukung, sedangkan fungsional didominasi oleh kebutuhan kedekatan pada significant person. Agama dipandang sebagai status atau identitas seseorang dalam menjalani kehidupan di masyarakat dan sesuatu yang sudah terjadi “takdir”. Kata kunci: persepsi, agama, perkawinan, beda agama
Pendahuluan Indonesia dikenal memiliki masyarakat majemuk. Masyarakat yang heterogen dan interaksi yang semakin erat akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perkawinan campur atau perkawinan beda agama. Perkawinan tersebut dinilai cukup rumit karena masih mengandung pro dan kontra dari berbagai pihak. Di Indonesia, negara mengambil sikap untuk tidak mengakui perkawinan campur. Pada akhirnya, ketika pasangan berbeda agama tetap ingin melakukan perkawinan, maka ia melaksanakannya di luar negeri. Berdasarkan hasil studi pendahuluan didapatkan bahwa anak hasil dari perkawinan campur mengikuti kegiatan keagamaan di kedua agama yang dianut
134
kedua orangtuanya. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa agama bukanlah sesuatu yang penting. Mereka menganggap agama hanya sekadar status yang wajib dimiliki. Untuk itu, peneliti tertarik untuk memahami lebih dalam tentang persepsi agama pada anak dari orangtua yang berbeda agama dan bagaimana interpretasinya terhadap agama yang dianut. Peneliti memfokuskan penelitian pada pengalaman hidup individu sebagai subyek penelitian. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif fenomenologi.
Perkawinan Beda Agama Perkawinan campur atau berbeda agama bukan hal yang baru di masyarakat Indonesia yang multikultural. Pasal 1 UU Perkawinan No.1 1974, dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaan pasangan yang melakukan perkawinan. Pasangan perkawinan campur di Indonesia memiliki beberapa potensi masalah, pertama keabsahan perkawinan bahwa UU perkawinan menyerahkan keputusan keabsahan kepada ajaran agama masing–masing, sedangkan dalam ajaran Islam maupun Kristen perkawinan beda agama dilarang. Kedua, pencatatan perkawinan, apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan UU Perkawinan maka ia dapat menolak pencatatan. Ketiga, status anak menurut ketentuan pasal 42 UU Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukan pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah. Keempat, apabila ternyata perkawinan beda agama dilakukan di luar negeri, maka pencatatan perkawinan hanya sekadar pelaporan administratif bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan (hukumonline.com, 2014). Di Indonesia, perkawinan campur banyak dilakukan justru oleh pasangan yang sebenarnya sudah tahu bahwa perkawinan tersebut tidak diakui dan banyak dampak negatif (Tempo, 2001). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kurangnya pengetahuan bukanlah menjadi sebab terjadinya perkawinan campur. Perkawinan campur juga diidentifikasi sebagai indikasi peningkatan toleransi dan penerimaan antar pemeluk agama yang berbeda di masyarakat serta peningkatan mobilitas penduduk (Pratiwi, 2006).
135
Persepsi terhadap Agama Persepsi individu dipengaruhi oleh dasar pandangan yang terbentuk dari berbagai macam opini (Graham, 2008). Perbedaan agama antara kedua orang tua akan menimbulkan persepsi tersendiri bagi anak. Connelan,dkk (2000), perbedaan jenis kelamin juga menjadi sumber perbedaan persepsi. Selain itu, perbedaan pandangan dari pemuka agama memberikan kontribusi dalam proses pembentukan persepsi pada keluarga yang menjalankan perkawinan campur. Jika ditelaah lebih lanjut, perkawinan campur memberikan implikasi pada perbedaan pandangan mengenai apa yang baik dan yang buruk dan pada cara mendidik anak. Persepsi menjawab pertanyaan bagaimana seseorang memberikan tanggapan atas stimulus yang diterima (Sternberg & Sternberg, 2012). Persepsi anak dipengaruhi oleh bagaimana tanggapan lingkungan sekitar terhadap objek persepsi, karena dari sana lah sebenarnya awal dari persepsi itu terbentuk. Lebih lanjut, lingkungan budaya dalam keluarga dan faktor berbedanya agama pada orang tua membuat kedua belah pihak keluarga besar juga turut berperan. Budaya kolektif masyarakat Indonesia yang memegang teguh budaya tertentu dalam sebuah daerah, saat ini cenderung bergeser menjadi individualis yang lebih memberikan ruang kebebasan untuk memilih. Halama dan Lacna (2011) menemukan bahwa perubahan persepsi bahkan perubahan kepribadian sangat mungkin terjadi karena adanya interaksi hubungan keagamaan. Perubahan persepsi juga berhubungan level pendidikan dan usia seseorang dan kecenderungannya mengikuti persepsi orang–orang terdekatnya meskipun persepsi memiliki bias. Metode Partisipan Partisipan penelitian ini berjumlah 2 orang subyek yang memungkinkan berpartisipasi, mau dan mampu menceritakan pengalamannya. Partisipan adalah anak atau keturunan dari pasangan orangtua yang berbeda agama (lihat tabel 1). Peneliti
tidak
menentukan
jumlah
subyek
di
awal
penelitian.
Peneliti
memfokuskan pada subyek yang benar–benar mengalami fenomena yang dimaksud peneliti, yaitu memiliki orangtua yang berbeda agama. Jumlah subyek
136
tersebut dirasa sudah cukup karena telah memenuhi persyaratan metodologi untuk penelitian fenomenologi (Dukes, 1984). Tabel1 Profil Subyek Penelitian Latar Belakang
BKL
DPR
Usia
23 tahun
22 tahun
Status
Mahasiswa
Mahasiswa
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Urutan lahir
Anak ke-3 dari 3
Anak tunggal
Suku
Jawa-Tionghoa
Dayak-Tionghoa
Agama Subyek
Islam
Kristen-Protestan
Agama Ayah
KristenProtestan
Kristen Katholik
Agama Ibu
Islam
Islam
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan wawancara intensif dan mendalam (indepth interview). Peneliti mendapatkan informasi baik bertanya secara langsung melalui tatap muka maupun melalui media telekomunikasi. Wawancara dilakukan lebih dari satu kali pada satu orang subyek. Penggalian lebih mendalam (probing) juga dilakukan selama interview. Peneliti menggunakan tiga strategi yang digunakan oleh Moustakas (1994) yaitu: (a) wawancara informal, (b) pertanyaan
terbuka
(open-ended
question),
dan
(c)
wawancara
yang
berpedoman pada topik. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menghubungi subyek via telepon, sms atau bbm sekaligus menjalin keakraban (rapport) awal dengan subyek. Wawancara mendalam dilakukan selama kurang lebih 2 bulan (September-Okotober 2014) dengan melibatkan dua orang subyek. Wawancara dilakukan tiga sampai empat kali dengan durasi tiap wawancara 60 menit hingga 75 menit. Namun keberadaan peneliti biasanya melebihi waktu tersebut. Wawancara dilakukan di kediaman subyek, tempat santai (cafe), maupun tempat lain yang disepakati subyek dan peneliti.
137
Prosedur penelitian Studi pendahuluan. Tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dan
pengamatan terhadap para calon subyek dan informan–
informan yang relevan dan terkait dengan kehidupan para calon subyek Pengambilan Data. Peneliti melakukan pengumpulan informasi baik bertanya jawab secara langsung maupun melalui media telekomunikasi dengan subyek. Sebagai data tambahan, peneliti juga melakukan wawancara dengan para informan meliputi keluarga maupun teman reponden yang mengetahui keseharian subyek dan berhubungan langsung dengan subyek. Analisis Data. Tahap analisis data dan pengumpulan data pada penelitian ini pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Peneliti mengikuti pola “zig-zag”, yaitu peneliti ke lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan lebih banyak informasi, menganalisis data dan seterusnya. Peneliti melakukan analisis data fenomenologi transendental. Pengujian Kredibilitas Data. Peneliti melakukan perpanjangan kehadiran di lapangan, observasi mendalam dan triangulasi. Verifikasi Penelitian. Peneliti membagikan salinan deskripsi secara tekstural-struktural dari pengalaman subyek. Kemudian tiap individu diminta memeriksa deskripsi tersebut, mereka dapat memberikan masukan dan pembetulan. Terakhir, peneliti merevisi kembali pernyataan sintesisnya.
Teknik Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah analisa data fenomenologi transendental dari Van Kaam (dalam Moustakas, 1994). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) Listing and Preliminary Grouping, yaitu mendaftar semua jawaban yang relevan dengan pengalaman (horizonalization). (2) Reduction and Elimination, yaitu menguji jawaban informan apakah mengandung makna atas pengalaman penting yang dialami dan mengandung unsur pokok yang cukup baik untuk memahami fenomena, dan apakah jawaban-jawaban tersebut memungkinkan untuk dikelompokkan dalam suatu kelompok dan diberi label. (3) Clustering and Themating the Invariant Constituent (Thematic Potrayal), pengalaman nara sumber yang diungkapkan dalam jawaban atas pertanyaan diberi label dan dikelompokkan dalam tema-tema yang sejenis. Selanjutnya dari
138
tema-tema tersebut akan ditarik benang merahnya. (4) Final Identification of the Invariant Constituent and Themes by Application Validation, mencakup proses memvalidkan
invariant
constituent
dengan
cara
mengkroscek
invariant
constituent beserta tema yang menyertainya terhadap rekaman utuh pernyataan informan. Selanjutnya, (5) Individual Textural Description, yaitu tema-tema yang valid termasuk didalamnya jawaban secara harfiah dari transkrip verbatim. (6) Individual Structural Description, hasil penyusunan individual textural description akan mengkonstruksi individual structural description dari pengalaman informan. (7) Textural-Structural Description, tahap ini merupakan proses menggabungkan textural description dan structural description dari pengalaman masing-masing informan serta mencari kesamaan esensi dari pengalaman tiap-tiap informan. Setelah itu disusun Composite Description yang berisi makna atau esensi pengalaman informan, sehingga menampilkan gambaran utuh pengalaman tiap informan. Hasil dan Analisis Peneliti membagi tema-tema yang muncul ke dalam 2 (dua) kelompok. Pertama, pembentukan persepsi yang mencakup pengalaman internal dari subyek dan interaksinya dengan eksternal serta fungsional. Kedua, interpretasi terhadap agama yang dianut. Berikut peneliti akan menguraikan lebih rinci mengenai temuan tema-tema tersebut:
Pembentukan Persepsi Persepsi agama pada individu yang memiliki orang tua berbeda agama terbentuk sebagai hasil kombinasi dari pengaruh internal, eksternal dan fungsional serta dikuatkan atau di dukung oleh struktural. Pada aspek internal, individu mempelajari agama – agama yang secara sosial dipersepsi memberikan emosi positif dan energi bagi yang bersangkutan. Sebaliknya, individu akan menghindari agama yang dipersepsi kurang nyaman. Hal ini sebagaima jawaban responden: Kenapa kamu nggak ikut agama dari salah satu orang tua gitu? Emm, gimana yaa, jujur sebenar aku dari kecil lebih sering tinggal sama tante jadi yang ngurus apa-apa itu tante (S2,WR1, b-6)
139
ee.. mungkin DPR bisa cerita lagi yaa tentang hal ini? Yaa yang kataku tadi, mungkin aku rasa kurang nyaman tinggal sama orang tua apa lagi mereka berbeda kadang buat bingung gitu,ini aja mama ku mau umroh sebenarnya aku pengen ikut cuman ya apa agama ku bukan islam (S2,WR1, b-7) Emm..jadi juga sebabnya kamu lebih nyaman sama tantemu mungkin juga itu? Yaa sebenarnya sih gitu, makanya aku lebih banyak tinggal sama tanteku (S2,WR2, b-1) Sedangkan pada aspek eksternal yaitu lingkungan eksternal berupa obyek maupun lingkungan adalah kesatuan yang sulit dipisahkan dalam membentuk persepsi agama bagi subyek. Selain itu, kondisi keluarga juga membawa dampak terkait penilaian pada suatu agama dalam situasi tertentu. Lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan memberikan pendidikan mengenai agama, baik secara ritual maupun yang bersifat psikologis atau ruhaniah. Pendidikan ritual di lingkungan keluarga dipegang oleh terutama kedua orangtua dari individu. Beberapa jawaban responden yang terkait aspek eksternal: Terus kalau misalnya ada natal juga ikut ngerayain? Yaa ikut kan keluarga.. papaku yang natalan masa aku nggak ikut (S1,WR1,b10) Ow gitu mas, jadi lebih dekat ke mama ya.. Terus gimana sih mas cara didikan orang tua mas? Didikan mereka tu yaa kayak orang tua pada umumnya, dilarang terus nggak dibiarin terus juga nggak (S1, WR2, b-5) Yaa begitu.. Ada nyamannya, ada nggaknya. Nyamannya itu saat keluarga rukun, rame, bisa diajak ngumpul-ngumpul, nggak ada perdebatanlah. Nggak enaknya itu saat selisih paham apalagi masalah agama, yaa kan nggak bisa ee’ ngebenerin mama atau papaku. Yaa bingung aja ngeposisiin akunya gimana. Biasanya sih aku diem aja, netral lah (S1,WR1,b-6) Jika kedua orangtua dianggap kurang mampu memberikan informasi dan “kenyamanan”, maka individu bergerak pada anggota keluarga yang lain. Individu dihadapkan pada kondisi yang ia anggap bukan ia yang menginginkan namun sudah terjadi semenjak dia lahir, yaitu “takdir”. Maksudnya, ia tinggal menjalani seraya mencari informasi-informasi mengenai agama yang ia anggap “nyaman”. Individu secara implisit mencermati bagaimana interaksi di antara kedua orangtuanya dan bagaimana proses beragama di rumah. Pengalaman ini
140
memberikan tempat tersendiri dalam proses pembentukan persepsi anak. Hal ini dijelaskan dalam hasil wawancara sebagai berikut: Maksudnya DPR biasa aja sama takdir itu gimana? Ya biasa aja soalnya aku biasa aja jalaninnya karena dari lahir sudah seperti ini keadaanya, em terus juga sebenarnya aku juga tidak terlalu sering tinggal sama orang tua ku sih aku tinggal sama tante ku (S2,WR1, b-2) Ow gitu. Knapa kamu gak sering tinggal serumah sama orang tua?Ya mungkin lebih nyaman aja nek misal aku dirumah tante (S2,WR1, b-3) ee.. mungkin DPR bisa cerita lagi yaa tentang hal ini? Yaa yang kataku tadi, mungkin aku rasa kurang nyaman tinggal sama orang tua apa lagi mereka berbeda kadang buat bingung gitu,ini aja mama ku mau umroh sebenarnya aku pengen ikut cuman ya apa agama ku bukan islam (S2,WR1, b-7) Fungsional (Keseimbangan Personal) Keseimbangan personal dipengaruhi oleh kebutuhan subyek untuk berinteraksi secara “nyaman” dengan significant person, yaitu ibu untuk subyek 1 dan dan tante dan sepupu untuk subyek 2. Individu akan memberikan penilaian terhadap kehidupan pengalaman yang dijalani bersama significant person dan pesan–pesan yang diadopsi berkaitan dengan kehidupan beragama. Emm.. Jujur sebenarnya aku ngambil keputusan buat ikut agamanya mama karena sayang sama mama (S1,WR1,b-7) Emm gitu, jadi faktor yang mendasari mas itu karena mama mas ya? Iyaa, apa yang mama pilih dan lakukan itu pasti baik. Sama aku juga sebenarnya gak begitu dalam buat belajar agama soalnya sekarang sering sibuk yaa sibuk gitu sama kuliah ku jadi buat kegiatan agama sebenarnya aku ikutin apa yang di jalanin mama aja (S1,WR1,b-8) Struktural (pendukung) Subyek kurang memedulikan perbedaan dari setiap agama karena nilai – nilai normatif universal yang lebih dominan. Subyek akan menolak informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan yang telah dimiliki berdasarkan pengalamannya dalam keluarga dan akan menguatkan jika informasi tersebut sesuai.
141
Interpretasi Agama Subyek menginterpretasi agama sebagai status yang harus dimiliki untuk bisa hidup di masyarakat. Subyek menganggap pendalaman ilmu agama adalah proses berikutnya ketika telah memilih agama tertentu. Subyek memeluk agama dengan pertimbangan ingin merasa dekat dengan significant person. Kesamaan status terhadap figur yang dekat membuat interaksi menjadi lebih nyaman. “Agama dijalankan secara enjoy dan tidak perlu terlalu pusing”. Subyek mempelajari terlebih dahulu informasi yang didapatkan secara menyeluruh sebelum memberikan interpretasi terhadap suatu agama. Hal tersebut ditandai dengan kecenderungan subyek mempelajari
setiap agama
meskipun tidak mendalam. Subyek membandingkan pelajaran agama yang didapatkan dengan praktek beragama di rumahnya. Setelah melakukan perbandingan anak membuat kesimpulan seraya menjalani kehidupan seperti biasa tanpa mempermasalahkan perbedaan agama, jadi agama yang di anut di generalisasikan dengan persepsi kehidupan bukan dari sudut agama itu sendiri.
Emm gitu.. mas jadi kalo boleh tau ni yaa arti dari agama itu gimana sih toh menurut mas sendiri? Heheh Agama ya agama, agama yang dianut seseorang (S1,WR2, b-7) Emm gitu, jadi faktor yang mendasari mas itu karena mama mas ya? Iyaa, Sama aku juga sebenarnya gak begitu dalam buat belajar agama soalnya sekarang sering sibuk yaa sibuk gitu sama kuliah ku jadi buat kegiatan agama sebenarnya aku ikutin apa yang di jalanin mama (S1,WR1,b-8) Terus mas ini ngikutin agama mama mas kan? Itu tuh ada unsur paksaan apa nggak sih? Yaa nggak toh ya, aku milih agama sama kayak agama mamaku karena aku yaa, sayang aja sama mamaku, lagian ini juga emang keputusanku sendiri (S1,WR2,b2) Yaa akunya enjoy aja, kehidupanku yaa gini aja lah nggak perlu terlalu ribet atau pusing-pusing. Santai aja sih (S1,WR1, b-11) Di sisi lain, subyek menganggap kehidupan beragama sudah ada yang mengatur. Subyek merasa kehidupan beragama yang dihadapi saat ini sebagai kondisi yang dianggap bukan ia yang menginginkan namun sudah terjadi semenjak dia lahir, yaitu “takdir”. Perbedaan agama bagi subyek bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Agama memiliki tuntunan dalam hal peribadatan
142
bagi masing–masing pemeluknya. Subyek lebih mengedepankan nilai–nilai normatif universal jika memandang agama, seperti saling rukun dan menghargai. Berdasarkan analisis tematik di atas, maka secara ringkas temuan penelitian ditampilkan dalam tabel 3. Faktor internal menunjukkan bahwa subyek mempelajari, mencari dan menyadari keharusan status agama bagi seseorang untuk hidup di masyarakat. Selanjutnya, subyek mencari agama yang membuat “nyaman” dalam konteks sosio-emosi. Faktor eksternal di dominasi keluarga, kegiatan keagamaan di masyarakat dan lingkungan pertemanan. Faktor eksternal memberikan masukan informasi bagi subyek untuk diolah, dipersepsi hingga diinterpretasi. Faktor fungsional sebagai keseimbangan personal lebih mempertimbangkan harmonisasi kebutuhan dan tekanan, sehingga agama di usahakan mampu memfasilitasi hal tersebut. Faktor struktural menjadi pendukung, yakni informasi yang berkesesuaian akan memperkuat informasi sebelumnya, sebaliknya jika tidak berkesesuaian cenderung di tolak Tabel 2 Tema Utama Pembentukan Persepsi dan Interpretasi terhadap Agama Kategori Tema Indikator Contoh Perilaku Pembentukan Intenal Mempelajari agama Belajar peribadatan Persepsi Mencari agama yang Mempelajari agama dalam “nyaman” konteks sosial Menyadari identitas agama Eksternal
Kegiatan keagamaan Kondisi keluarga Lingkungan pertemanan
Mengikuti kegiatan – kegiatan keagamaan Mengamati praktek agama di keluarga Mencari informasi agama yang “nyaman”
Keseimbang an personal (fungsional)
Tekanan vs Kebutuhan Harmonisasi Significant Person
Mempertimbangkan kebutuhan sosial, kesiapan mental dan suasana emosional Menjaga harmonisasi antara kebutuhan dan pemenuhan Berinteraksi secara nyaman dengan significant person
Pendukung (struktural)
Menilai penganut agama Mengkritisi penganut
143
Melakukan penilaian agama berdasarkan siapa dan apa
Kategori
Tema
Indikator berdasar pengalaman dalam keluarga
Contoh Perilaku yang dilakukan penganutnya Membandingkan penganut dengan kehidupan keluarga Menolak informasi jika bertentangan dengan pengalaman
Interpretasi Agama
Interpretasi Agama
Identitas dan sesuatu yang harus di anut (status) “Takdir”
Menganut suatu agama Menjalankan agama secara enjoy Memposisikan diri secara normatif Menerima keadaan
Dinamika pembentukan persepsi dan interpretasi terhadap agama Hasil penelitian menemukan adanya interaksi antara faktor internal, eksternal, keseimbangan personal (fungsional) dan struktural (pendukung) membentuk persepsi subyek.
Gambar 1.Dinamika Pembentukan Persepsi dan Interpretasi terhadap Agama
Gambar
1
menunjukkan
dinamika
pembentukan
persepsi
dan
penginterpretasian terhadap agama. Kondisi orangtua yang berbeda agama membuat posisi anak memiliki keunikan baik jika di lihat dari segi kondisi sosial, keberagamaan di masyarakat dan hukum di Indonesia. Untuk itu, bagaimana anak mempersepsi dan menginterpretasikan agamanya menjadi layak untuk dikaji lebih lanjut. Subyek memiliki sumber pengaruh (intervening) beragam yang turut serta dalam proses pembentukan persepsi dan pemberian interpretasi
144
terhadap agama, yaitu pola pikir dan perasaan yang bersangkutan, keluarga, lingkungan masyarakat dan informasi yang bersifat massal. Semua sumber pengaruh melakukan kombinasi dalam kerangka faktor internal, eksternal, fungsional dan struktural. Selanjutnya, subyek melakukan proses pemberian kesan, pendapat, pandangan dan penafsiran.
Diskusi Temuan studi menunjukkan bahwa persepsi anak terbentuk berdasarkan kombinasi faktor internal, eksternal, keseimbangan personal (fungsional) dan pendukung (struktural). Lebih lanjut, dari studi jika diketahui bahwa agama diinterpretasi sebagai status yang harus dimiliki seseorang dan “takdir” yang sudah terjadi dan diatur. Data hasil wawancara menunjukkan bahwa banyak keserupaan dalam proses pembentukan persepsi dan pemberian interpretasi. Dalam hal persepsi, kedua subyek sama – sama mengisyaratkan bahwa keluarga adalah faktor utama sebagai pembentuk persepsi terhadap agama. Namun lebih spesifik jika subyek 1 memiliki ibu sebagai significant person, pada subyek 2 adalah tante dan sepupu. Meskipun dalam hal interpretasi, salah satu subyek memandang agama selain sebagai status juga sesuatu yang sudah terjadi dan diatur “takdir”. Internal, eksternal, keseimbangan personal (fungsional) dan pendukung (struktural) adalah kombinasi dari faktor – faktor yang mempengaruhi subyek dalam membentuk persepsi hingga interpretasi sampai akhirnya pada perilaku. Sebagaimana Golkar dan Ohman (2012) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa persepsi hingga menjadi perilaku adalah hasil interaksi lingkungan yang juga melalui proses kognitif dan evaluasi di dalam diri individu. Subyek
menempatkan
peran
keluarga
sangat
dominan
dalam
pembentukan persepsi. Agama dianggapsebagai sesuatu yang sudah terjadi “takdir” sehingga tidak perlu diperdebatkan atau saling berbantahan. Selanjutnya, isu dan kegiatan di masyarakat sebagai pendukung informasi mengenai agama sehingga memperkaya informasi yang dimiliki. Sebagaimana Artanto (2006) melalui penelitiannya yang mengenai konsep Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional Kongkrit mengungkapkan bahwa gagasan yang dimiliki anak mengenai tuhan lebih merupakan doktrin yang dihasilkan dari pengajaran orangtua dan gurunya.
145
Significant person memiliki peran dominan terhadap persepsi subyek mengenai agama mana yang membuat nyaman dan pada akhirnya dipilih untuk dianut. Significant person tidak selalu di antara kedua orangtua subyek namun orang yang dianggap memberikan kebutuhan sosial lebih banyak dan memberikan. Hal tersebut sebagaiman yang dialami oleh kedua subyek. Subyek 1 menjadikan ibu sebagai figur signifikan, sedangkan subyek adalah tante dan sepupu. Pada subyek 2 menjadikan tante dan sepupu sebagai figur signifikan karena mereka adalah orang–orang yang hampir selalu bersama subyek, subyek lebih banyak menginap dan menghabiskan waktu bersama tante dan sepupu. Untuk maksud tersebut, rumah adalah tempat di mana subyek banyak menghabiskan waktu dan berbagi suka duka (Idrus, 2006). Subyek mempersepsi, menginterpretasi, memilih dan menjalani prkatek keagamaan tidak terlepas dari siapa orang terdekatnya. Perasaan sayang dan kebutuhan akan sosial memberikan pengaruh kunci terhadap pembentukan persepsi dan interpretasi terhadap agama dan memilih untuk memeluk agama tertentu. Keluarga dan significant person adalah orang–orang yang berinteraksi secara dekat dan terus menerus dengan subyek. Selanjutnya, interaksi yang dilakukan dapat membicarakan dan melakukan berbagai persoalan, tidak terkecuali agama. Berdasarkan hal tersebut, sangat mungkin proses persepsi terhadap agama terbentuk meskipun tidak terjadi secara mendadak namun pasti. Sebagaimana hasil penelitian Halama dan Lacna (2011) menegaskan hal tersebut bahwa perubahan persepsi dan kepribadian sangat mungkin terjadi ketika individu berinteraksi dan membicarakan topik–topik yang berkaitan agama dengan orang–orang terdekatnya meskipun dalam interpretasi seringkali terjadi bias. Furlong (2006) membagi tipe adaptasi pasangan beda agama menjadi 6 (enam), yaitu meminta salah satu mengikuti agama dari pasangan, menghindari diskusi mengenai agama, aktif mendorong kebijakan penerimaan terhadap perbedaan agama, kompromi dan negosisasi, melakukan bimbingan dengan pemuka agama dan saling menghormati walaupun berbeda agama. Kondisi keluarga adalah tempat pelajaran dan informasi kunci dari pembentukan persepsi hingga menjadi interpretasi bagi subyek. Adapun pelajaran dan informasi tidak selalu bahkan jarang yang bersifat langsung namun lebih banyak
146
yang bersifat tidak langsung. Subyek mengamati bagaimana orangtua saling menghargai dan mempraktekkan nilai-nilai normatif universal yang dianggap juga bagian dari pengamalan beragama.
Daftar Pustaka Artanto, D. R. (2006). Konsep Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional Konkret. Psikologika, 21, 5-21 Connelan, J., Cohen, S. B., Wheelwright, S., Batki, A., & Ahluwalia, J. (2000). Sex Differences in Human Neonatal Social Perception. Infant Behavior & Development, 23, 113–118. Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design.Choosing among five traditions. Thousand Oaks: Sage Publications. Dukes, S. (1984). Phenomenological Methodology in the human sciences. Journal of Religion and Health, 23(3), 197-203. doi: 10.1007/BF00990785 Furlong, M., & Ata, A. W. (2006). Observing different faiths, learning about ourselves: Practice with inter-married Muslims and Christians. Australian Social Work, 59, (3), 250 – 264. Golkar, A., & Ohman, A. (2012). Fear extinction in humans: Effects of acquisition–extinction delay and masked stimulus presentations. Biological Psychology, 91, 292 – 301. Graham, L. (2008). Gestalt theory in interactive media design. Journal of Humanities & Social Sciences, 2, 1. Halama P., & Lacna, M. (2011). Personality change following religious conversion: Perceptions of converts and their close acquaintances. Mental Health, Religion & Culture, 14, (8), 757 – 768. Hukumonline.com. (2014).Tanya jawab tentang nikah beda agama menurut hukum di Indonesia. Editor Syakur Dj, Abd & Tim hukumonline.com. Literati: Tangerang. Idrus, M. (2006). Keraguan kepada Tuhan pada remaja. Psikologika, 21, 27-34 Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. Thousand Oaks: Sage Publications. Pratiwi, N. I. (2006). Pola asuh anak pada pernikahan beda agama. Jurnal Universitas Gunadarma. Diakses tanggal 12 Oktober 2014 dari https://www.academia.edu/6779018
147
Sternberg, R. J., & Sternberg, K. (2012). Cognitive psychology (5th ed). Wadssworth: Cengage Learning. Taylor, B. (1993). Phenomenology: One way to understand nursing practice. International Journal of Nurses Studies, 30, 171-179. TEMPO.
(2001, Nov). Mixing It Up. Diambil http://www.tempo.co.id/majalah/arsip/2nd /edition09/law-5.html.
dari
Thouless, R.H. (1992). Pengantar psikologi agama. Jakarta: PT Rajawali Pers UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
148