BAB IV TINJAUAN KRITIS TERHADAP KONVERSI AGAMA BPK.NARIYOTO DARI PERSPEKTIF LEWIS R.RAMBO
Berdasarkan teori konversi agama dan teori motivasi pada Bab II, yang dihubungkan dengan hasil penelitian pada bab III, maka pada bab IV akan dilakukan analisa mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perpindahan agama (konversi agama) Bpk.Nariyoto dari Sapta Darma menjadi Kristen. Dalam analisa ini yang menjadi acuannya ialah teori model tingkatan sistemik (systemic stage model) dari proses konversi.
IV.1 Analisis terhadap proses konversi agama dari Bpk.Nariyoto Konversi agama merupakan suatu tindakan yang diambil dalam rangka perpindahan yang dilakukan dari suatu sistem kepercayaan atau agama menuju pada sistem kepercayaan yang lain. Sistem kepercayaan atau yang lebih dikenal dengan agama, di dunia tidak hanya terbatas pada agama-agama besar yang diakui oleh pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia yang hanya mengakui 6 agama, yaitu: Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Islam, dan Konghucu. Namun juga termasuk di dalamnya berbagai aliran kebatinan, yang di negara Indonesia sendiri masih banyak penganut dari aliran tersebut. Sapta Darma merupakan salah satu diantaranya, yang penyebarannya meluas di sekitar pulau Jawa. Hal tersebut disebabkan pulau Jawa, khususnya wilayah Jawa Timur sebagai tempat lahirnya ajaran-ajaran Sapta Darma. Walaupun demikian, penyebaran dari ajaran Sapta Darma juga meluas di beberapa daerah, seperti: Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera, juga
59
wilayah Jawa Tengah. Terkait dengan realita perpindahan sistem kepercayaan atau agama yang terjadi pada salah satu penganut Sapta Darma di daerah Jawa Tengah, khususnya keluruhan Tambakrejo, Ambarawa, yakni: keluarga Bpk.Nariyoto. Dengan tindakan ini menggambarkan adanya tujuan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, dengan dipengaruhi berbagai macam faktor. Pengambilan keputusan oleh Bpk.Nariyoto yang terwujud dalam tindakan berpindahnya dari sistem kepercayaan atau perilaku Sapta Darma menjadi Kristen, dalam kasus ini dapat dikatakan sebagai peristiwa yang cukup langkah. Maksudnya ialah melihat latar belakang Bpk.Nariyoto ketika menjadi pengikut Sapta Darma, dengan memiliki berbagai ilmu mistik, menjadikan segala sesuatu yang diinginkan dapat diperoleh dengan mudah. Segala sesuatu menjadi mudah ketika ilmu-ilmu tersebut turut campur tangan mengatasinya. Sangat berlawanan dengan sistem kepercayaan Kristen, yang hanya mengandalkan penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Namun pada hakekatnya suatu konversi agama dapat terjadi tanpa memandang profesi, budaya, usia, dari agama manapun, dimanapun dan kapanpun. Ketika mengetahui hal-hal tersebut, konversi yang terjadi terhadap keluarga Bpk.Nariyoto bukan lagi menjadi peristiwa yang membuat orang lain menjadi heran dan terkejut. Di dukung faktor usia yang dewasa menjadikan konversi agama cukup mudah dilakukan, disebabkan pengetahuan dan kebutuhan mereka yang semakin berkembang. Dengan mengacu pada teori konversi dari Lewis R. Rambo, yang memaparkan dua model, yakni: Model holistik (Holistic model) dan Model bertingkat (stage model) yang terbagi menjadi systemic stage model (model tingkatan sistemik) dan sequential stage model, maka penulis memilih model bertingkat (stage model) khususnya systemic stage model (model tingkatan sistemik) dalam melakukan analisa. Hal itu disebabkan terdapatnya tujuh unsur pendukung yang menjadikan teori tersebut menampakkan 60
kekompleksan dari konversi agama dibanding dengan model holistik yang hanya terdapat empat unsur yang terkandung, berupa: kebudayaan, masyarakat, pribadi dan sistem agama. Berangkat dari kekompleksan unsur yang terdapat di dalam model bertingkat (stage model), maka dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap Bpk.Nariyoto ditemukan bahwa tingkatan yang pertama ialah adanya krisis dalam diri Bpk.Nariyoto, kemudian diikuti dengan proses pencariannya terhadap agama yang mengajarkan tentang Isa Rohulah atau Isa Almasih, sebagai tingkat kedua. Tingkat ketiga hingga tingkat ketujuh, yaitu: konteks, pertemuan, interaksi, komitmen dan konsekuensi atau dampak dalam kehidupan. Dalam kasus ini yang menjadi pemicu dalam pengambilan keputusan berpindah agama dari Sapta Darma ke Kristen, khususnya menjadi jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo ialah adanya krisis dalam diri.
Konteks Pertemuan
Pencarian
Krisis Konsekuensi
Interaksi Komitmen
Krisis menjadi pusat penyebab, namun tidak menutup adanya hal-hal yang mendukung berupa: pencarian, konteks, pertemuan, interaksi, komitmen dan konsekuensi. Hal-hal tersebut antara satu dengan lainnya selalu berkaitan dan saling mempengaruhi. Dari hal ini nampak bahwa model tingkatan sistematik yang dipaparkan oleh Lewis R. Rambo menjadi tidak mutlak, dalam artian ketujuh tingkatan dapat 61
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi dari permasalahan konversi agama yang terjadi, khususnya dalam diri pelaku konversi. Berdasarkan hasil penelitian, maka analisa akan dilakukan berdasarkan tingkatan yang terdapat dalam kasus, yaitu: IV.1.1 Analisa terhadap Krisis yang dialami Bpk.Nariyoto Krisis yang dimiliki seseorang di dalam dirinya dapat berasal dari sesuatu yang dibutuhkan, namun kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Selain itu juga adanya sesuatu yang berasal dari luar diri, yang memberikan stimulus terkait dengan kebutuhan yang belum terpenuhi tersebut. Dengan kata lain krisis dapat terjadi ketika adanya perjumpaan antara sesuatu yang berasal dari dalam diri dalam bentuk kebutuhan, dengan sesuatu dari luar (stimulus) baik itu yang bersifat abstrak berupa informasi maupun yang bersifat konkret seperti benda. Konsep tersebut dapat terjadi sebaliknya, dimana berawal dengan adanya sesuatu dari luar (stimulus) yang berjumpa dengan sesuatu yang berasal dari dalam diri berupa kebutuhan. Hal inilah yang ditemukan dalam diri Bpk.Nariyoto. Keputusannya dalam melakukan konversi agama diakibatkan adanya krisis dalam diri terkait dengan informasi yang di dengar, yang berhubungan dengan Isa Rohulah sebagai penyelamat manusia. Stimulus lainnya yang melengkapi yakni dengan pemberian kitab Jayabaya yang dilakukan oleh pemimpin komunitas Sapta Darma tempat ia berdomisili pada saat itu. Dengan realita tersebut memunculkan pemikiran bahwa Bpk.Nariyoto memiliki kebutuhan yang pada saat itu belum diperolehnya ketika berada di Sapta Darma. Kebutuhan tersebut ialah keselamatan. Berdasarkan hal tersebut mempengaruhi keyakinannya terhadap ajaran Sapta Darma, dimana antara hati yang ingin tetap setia pada ajaran tersebut menjadi tidak sejalan dengan
62
pikiran yang ingin memperoleh keselamatan, atau dengan kata lain kebimbangan berada di dalam dirinya. Perasaan tersebut muncul ketika adanya keraguan pada pilihan-pilihan yang ada, terkait dengan sesuatu yang dapat dipercaya. 68 Oleh karena itu, ketika adanya stimulus yang diberikan terhadap dirinya, dorongan dalam diri menjadi semakin kuat, yang berujung pada tindakan yang dilakukan guna memperoleh dan mencapai tujuan dalam bentuk kebutuhan. Krisis yang dialami oleh Bpk.Nariyoto termasuk dalam golongan krisis iman, sehingga di dalam krisis tersebut tersirat hal yang cukup penting dalam perkembangan hidup, yakni perkembangan iman. Hal penting tersebut yaitu adanya transisi atau peralihan dari ketergantungan terhadap kekuatan-kekuatan gaib, beralih pada Yesus Kristus sebagai Tuhan. Hal ini merupakan bagian dari pendewasaan iman Bpk.Nariyoto termasuk anggota keluarga lainnya, yakni mereka mampu mandiri. Maksudnya ialah mereka bebas dari hal-hal yang selama ini menjadi tempat yang kurang tepat dalam mereka bergantung.69 IV.1.2 Analisa terhadap pencarian dalam upaya menjawab kebutuhan Tindakan pencarian dilakukan dalam rangka mencapai tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan. Pada saat kebutuhan terpenuhi, secara langsung akan mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi. Pencarian merupakan proses yang lama, menjadikan perpindahan atau konversi yang dilakukan oleh pak Nari dan keluarga membutuhkan waktu yang panjang. Dengan melihat intensitas keberlangsungan proses dalam kasus ini, maka konversi agama ini termasuk pada tipe volitional (perubahan bertahap).70 Proses pencarian dalam hal ini dapat terjadi 68
Saludin Muis, Kenali Kepribadian Anda dan Permasalahannya dari Sudut Pandang Teori Psikoanalisa, (Jogjakarta: Graha Ilmu, 2009), 50. 69 Thomas Keating, Krisis Iman, Krisis Kasih, (Jogjakarta: Kanisius, 1999), 18. 70 H.Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 82. 63
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: ideologi yang dimiliki oleh Sapta Darma sebagai sistem kepercayaan awal Bpk.Nariyoto, yaitu keterbukaan terhadap agama lain.71 Sifat terbuka dalam Sapta Darma dihasilkan dari beberapa hal yakni: a) perspektif sejarah dimana Sapta Darma termasuk dalam kebudayaan Jawa, yang merupakan hasil dari pertemuan dan percampuran antara kebudayaan agama Hindu dan Budha. b) Sistem kepercayaan berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yaitu Tuhan. c) ajaran Sapta Darma memfokuskan diri pada hubungan batin seseorang dengan tuhan melalui sujud. Melihat hal-hal tersebut, memungkinkan terbukanya peluang besar bagi penganut Sapta Darma, termasuk pak Nari untuk menentukan serta mencari sistem kepercayaan atau agama yang sesuai. Hal kedua yang mempengaruhi dalam proses pencarian pak Nari, yang berawal dari Gereja Isa Almasih dan berujung pada komitmen menjadi jemaat GPIB ATK ialah kekhusukan dalam beribadah. Terdapat kecenderungan bahwa hal ini erat kaitannya dengan konsep peribadatan dalam Sapta Darma yang hanya melakukan gerak tubuh (sujud) tanpa adanya kegaduhan, atau dengan kata lain melakukan ibadah dengan khusuk. Proses pencarian bertahap diawali dengan mencari ajaran agama yang mengajarkan dan mengakui Isa Rohulah atau yang diyakini oleh Bpk.Nariyoto sebagai Isa Almasih atau Tuhan Yesus, dimulai dari Krisen (GIA), Islam hingga kembali Kristen (GPIB ATK). Melalui proses yang panjang, tiba pada titik ia akan menemukan satu komunitas agama yang dianggap tepat. Konversi agama dari Sapta Darma ke Kristen yang dilakukan Bpk.Nariyoto, juga berarti sebagai tindakan pertobatan, dengan sifat: a) dari alam pikiran kosmis, ke alam pikiran historis; b) perubahan dari orientasi masa lampau menjadi masa depan; c) 71
Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Jogjakarta: Benteng 1999), 117. 64
perubahan terhadap pandangan dunia yang tertutp, akan menjadi terbuka; d) dari dunia yang statis, berubah menjadi dunia yang dinamis; e) sikap yang eksklusif, menjadi inklusif; f) dari pemikiran yang terfokus pada hal-hal yang jasmani, berubah kepada yang rohani; g) dari yang mengandalkan hal-hal yang nampak, berubah pada yang tidak nampak; h) dari yang selalu mementingkan sifat lahiriah, akan menjadi batiniah; i) dari yang menekankan segala sesuatu pada ritual, berubah menjadi etis; (j) dari tindakan yang diatur oleh dan dalam hukum-hukum, berubah menjadi Injil; (k) dari sikap yang mengandalkan kekuatan sendiri, akan berubah menjadi penyerahan total kepada pimpinan Tuhan. Perubahan sifat-sifat tersebut terjadi secara berangsur-angsur, karena pada hakekatnya perubahan-perubahan yang terjadi berkaitan dengan kehidupan rohani, tidak akan dapat terjadi secara mendadak. 72 Dengan melihat waktu lama yang diperlukan di dalam proses pencarian, maka disini akan nampak sifat yang muncul yang mengiringi terjadinya konversi agama. Sifat-sifat tersebut antara lain: kesabaran, kesungguhan dan semangat yang tinggi. Dengan adanya sifat-sifat yang telah dipaparkan di atas, maka menjadi suatu nilai lebih, bersifat positif terhadap adanya suatu proses dalam kehidupan. IV.1.3 Analisa terhadap Konteks kehidupan yang terkait dalam proses konversi ke agama Kristen Konversi agama yang merupakan fenomena di dalam kehidupan agama menjadi sangat kompleks, karena tidak hanya dipengaruhi oleh ketujuh unsur, namun juga konteks pelaku konversi agama, seperti: krisis, waktu, etnis, tetangga, keluarga, sistem politik maupun ekonomi hingga komunitas agama. Enam hal yang 72
A.C.Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 18-19. 65
disebutkan pada bagian akhir, merupakan beberapa dari konteks kehidupan manusia yang berpengaruh dalam proses konversi. Pengaruh tersebut adalah hal yang pasti dan bersifat mutlak. Dengan demikian proses konversi Bpk.Nariyoto dengan pasti diiringi oleh beberapa konteks. Dari hasil penelitian, maka ditemukan empat konteks yang mendukung terjadinya perpindahan agama dari keluarga tersebut, antara lain: 1. Profesi pada saat Bpk.Nariyoto termasuk dalam salah satu pengikut aliran Sapta Darma, ialah seorang seniman (dalang, berperan dalam ketoprak maupun reog). Selain itu juga sebagai penjual minum-minuman keras. Profesi merupakan salah satu unsur yang berada di dalam macrocontext. Dengan demikian dari apa yang dikerjakan oleh beliau merupakan usahanya dalam mencukupi kebutuhannya bersama keluarga, serta menaikkan taraf kehidupan mereka. Dari hal ini nampak bahwa sistem ekonomi beliau juga berpengaruh dalam prosesnya melakukan konversi, khususnya pada profesinya sebagai seniman. Hal tersebut berkaitan dengan konteks lingkungan sekitar tempat tinggal yang beragama Kristen, permintaan dalam membantu kegiatan gereja, yang di dalamnya dikolaborasikan dengan kebudayaan Jawa. 2. Tetangga yang termasuk dalam microcontext, juga menjadi pengaruh disebabkan intensitas interaksi yang berlangsung. Maksudnya ialah ketika keluarga Bpk.Nariyoto melakukan interaksi dengan tetangga yang dominan adalah agama Kristen, khususnya sebagai jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo, maka semakin besar peluang bagi pengaruh untuk bekerja mempengaruhi mereka. 3. Konteks yang terdekat dalam kehidupan Bpk.Nariyoto adalah keluarga inti (the nuclear family). Demikian halnya dengan konteks tetangga, konteks keluarga 66
juga termasuk dalam microcontext. Melalui interaksi dan melihat tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya, menjadikan seseorang mudah untuk melakukan konversi mengikuti agama salah satu anggota keluarga tersebut. Maksudnya ialah dalam kasus Bpk.Nariyoto, anak bungsu yang bernama Nova telah lebih dahulu mengikuti kegiatan gereja. Dengan adanya komunikasi maupun melihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Nova, maka sedikit maupun banyak, akan berpengaruh pada diri Bpk.Nariyoto. 4. Kekaguman maupun ketertarikan pada kepribadian yang tegas dan keras dari pendeta yang melayani di jemaat GPIB ATK, yaitu Pdt.Merziline Ch.Rssok. Hal ini juga dapat dikategorikan pada microcontext, yang walaupun pada teori yang dijelaskan oleh Lewis R. Rambo, tidak terdapat mengenai hal tersebut. Namun masuknya hal tersebut pada kategori ini dengan alasan bahwa pendeta merupakan pribadi yang kehidupannya tidak jauh dengan kehidupan Bpk.Nariyoto serta keluarga. Dengan demikian proses konversi agama yang dilakukan seseorang, tidak dapat terjadi tanpa pengaruh dari hal-hal yang terkait dengan kehidupan pelaku konversi (konteks). IV.1.4 Analisa terhadap Pertemuan dengan agama yang baru Fenomena konversi agama yang terjadi pada seluruh keluarga inti Bpk.Nariyoto, memiliki perbedaan ditengah persamaan yang ada. Maksudnya ialah keempat anak bersama istri memiliki cara maupun jalan tersendiri dalam berjumpa dengan kekristenan yang sebenarnya, demikian juga Bpk.Nariyoto. Dari hal ini menunjukkan bahwa konversi agama yang dilakukan oleh beberapa orang atau yang di dalamnya terlibat seluruh anggota keluarga, memiliki latarbelakang yang berbeda antara satu dengan lainnya. Namun pada umunya, dari latarbelakang 67
pribadi yang berbeda-beda, akan menjadi satu pada pertemuan terhadap agama yang baru, dalam kasus ini yaitu GPIB ATK yang mewakili agama Kristen. Pengalaman kehidupan yang dialamai oleh pribadi, juga termasuk dalam perbedaan tersebut. Dalam artian bahwa yang dialami oleh masing-masing pribadi tentunya akan berbeda-beda, dan berangkat dari pengalaman, akan membentuk serta memperkokoh seseorang dalam pencarian yang berujung pada bertemunya dengan agama baru. Dalam hal ini pengalaman yang terjadi pada keluarga Bpk.Nariyoto adalah pengalaman rohani, dilihat sebagai pengaturan atau cara yang dilakukan oleh Tuhan untuk mengubah kehidupan keluarga. Atau dengan kata lain adanya intervensi Tuhan dalam kehidupan keluarga Bpk.Nariyoto agar bertemu dengan berbagai pengajaran-Nya yang diterapkan oleh agama Kristen. Serupa dengan konteks, dalam pertemuan diperlukan adanya keterlibatan halhal maupun pihak lainnya. Pertemuan keluarga Bpk.Nariyoto dengan agama Kristen yang sesungguhnya, yang diwakili oleh GPIB ATK, dapat terjadi dengan keikutsertaan Bpk.Dariyanto sebagai penghubung antara anggota keluarga kepada ibu Pdt.Merziline Ch.Ressok,S.Th. Demikian halnya dengan ibu pendeta, yang menjadi penghubung antara anggota keluarga dengan kekristenan
yang
sesungguhnya. Kekristenan yang sesungguhnya adalah agama Kristen yang tidak memenjarakan pengikutnya dalam sebuah hukuman; peraturan-peraturan; serta ritus yang diterapkan. Melainkan kerelaan maupun dorongan yang datangnya dari hati, tanpa adanya paksaan untuk percaya kepada Tuhan Yesus. 73 Terkait mengenai pendeta yang melayani di jemaat tersebut, keikutsertaannya dalam menangani proses konversi agama dari keluarga Bpk.Nariyoto, membutuhkan adanya kharisma dan teladan. Karena ketika kedua hal tersebut tidak ditemukan dalam diri 73
A.C.Kruyt, 2008, 17. 68
seorang pemimpin, maka akan menjadi suatu kendala di dalamnya. Keteladanan maupun kharisma di dalam diri seorang figur pemimpin agama, akan menjadi suatu penilaian yang akan diambil oleh pelaku konversi agama. Dalam artian bahwa pelaku konversi agama akan memiliki keyakinan penuh terhadap keputusannya untuk berpindah, ketika melihat teladan serta kharisma yang memancarkan wibawa yang tersirat dalam wewenangnya terhadap anggota yang akan dipimpin.74 Keteladanan maupun kharisma yang dimiliki oleh beliau dapat dilihat pada pengaturannya terkait dengan penyerahan diri dari anggota keluarga untuk masuk ke dalam GPIB ATK. Berbagai tindakan diambil dalam rangka memfasilitasi keluarga untuk mengenal lebih dalam mengenai kekristenan, antara lain: mengadakan pertemuan awal, perbincangan yang telah mengarah pada niat menjadi orang Kristen yang benar atau dikenal dengan istilah konseling, pengarahan untuk terlibat dalam ibadah, serta memberikan katekisasi. Penanganan lebih khusus dilakukan pendeta terhadap Bpk.Nariyoto dalam hal melepaskan berbagai kekuatan dan benda gaib yang dimiliki. Hal itu dilakukan karena melihat suatu kebenaran dimana adanya kerangka berpikir dan bahkan lebih buruk lagi yaitu penggunaan kekuatan gaib yang ada, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan badani manusia.75 IV.1.5 Analisa terhadap Interaksi yang mendukung proses konversi agama Dalam kaitannya dengan interaksi, setelah menghubungkan antara hasil penelitian dan teori maka ditemukan bahwa berawal dari bakat maupun kemampuan dalam bidang seni yang dimiliki oleh Bpk.Nariyoto, mampu mempersatukan berbagai perbedaan yang ada. Perbedaan usia: antara yang tua dan
74 75
A.C.Kruyt, 2008, 224. A.C.Kruyt, 2008, 223. 69
muda; jenis kelamin: antara perempuan dan laki-laki, serta perbedaan profesi. Dengan adanya hal tersebut, membuka peluang besar terciptanya hubungan baik dengan semua pihak. Tidak hanya pihak jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo, namun juga dari Gereja Isa Almasih, komunitas Sapta Darma serta rekan-rekan muslim. Selain itu juga nampak bahwa Bpk.Nariyoto termasuk salah satu tokoh seni yang populer di wilayah kelurahan Tambak Boyo dan sekitarnya, yang menyebabkan warga mengaguminya. Hal itu dapat terjadi dengan dukungan sifat yang ada dalam diri, yakni mudah bergaul dengan semua pihak, yang terwujud dalam sikapnya yang menerima siapa pun. Namun ada indikasi bahwa sikap tersebut terkait dengan ideologi Sapta Darma, yaitu keterbukaan. IV.1.6 Analisa terhadap Komitmen pelaku konversi agama Komitmen merupakan hasil dari serangkaian proses yang terjadi dalam rangka konversi agama yang dilakukan oleh setiap individu, dan hal itu juga yang dialami oleh keluarga Bpk.Nariyoto. Pada titik inilah nampak penyerahan diri dalam mengikuti ajaran maupun melakukan ritus-ritus keagamaan, yakni agama Kristen, khususnya yang diterapkan dalam GPIB. Melalui komitmen juga, keluarga menunjukkan keseriusan dengan melakukan baptis dan sidi, atau yang disebut dengan komitmen ritual. Dalam komitmen yang dilaksanakan oleh pihak keluarga Bpk.Nariyoto, telah menjalankan lima unsur seperti yang dijelaskan oleh Lewis R. Rambo, yaitu: membuat keputusan untuk berpindah ke agama Kristen; mengikuti ritual-ritual agama Kristen; menyerahkan diri seutuhnya untuk melakukan ajaranajaran Kristen; adanya kesaksian hidup yang tergambar pada bahasa-bahasa Kristen yang mulai digunakan maupun rekonstruksi biografi; serta merumuskan kembali motivasi mereka, yaitu menjadi pengikut Kristus yang melakukan ajaranajarannya dengan sungguh. 70
IV.1.7 Analisa terhadap Konsekuensi dalam melakukan konversi agama bagi pelaku konversi Melihat realita konversi agama yang tidak hanya sebagai perpindahan seseorang dari satu iman menuju iman yang lain, namun lebih luas lagi terkait dengan kebudayaan agama yang satu, menuju pada kebudayaan agama yang lain. Kebudayaan agama dalam hal ini antara lain: ritus, simbol dan bahasa. Selain itu juga terkait dengan kelompok atau komunitas yang berbeda, sehingga tidak menutup kemungkinan munculnya konsekuensi atau dampak dari lingkungan atau bidang kehidupan sosial dari pelaku konversi agama. Yang menarik dari konsekuensi yang diterima oleh Bpk.Nariyoto pada saat melakukan konversi agama menjadi Kristen adalah penghancuran serta pelepasan kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti yang dimilikinya. Hal tersebut dapat menjadi bersifat positif ataupun negatif, sesuai dari sudut subyek yang menilai. Maksudnya ialah bernilai positif ketika penilaian muncul dari pihak yang tidak mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan mistiksisme, dimana dukungan akan diberikan secara penuh terhadap penghancuran maupun pelepasan hal-hal tersebut. Penilaian tersebut berangkat dari ajaran agama yang dengan tegas menolak penggunaan kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti. Sedangkan ketika penilaian berasal dari pihak yang masih mempercayai maupun yang telah melepaskan hal-hal tersebut, akan menilai bahwa hal itu bersifat negatif. Penyebabnya ialah pemikiran mereka yang tertuju pada ketidakmampuan dalam hal
mendapatkan
kembali
berbagai
kemudahan
yang
diperoleh
ketika
menggunakan kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti tersebut. Dengan terjadinya hal tersebut, maka sinkritisme akan terus ada.
71
Konsekuensi yang harus diterima oleh Bpk.Nariyoto, yang datang dari komunitas Sapta Darma. Dimana ketidakrelaan dengan keputusan yang diambil oleh Bpk.Nariyoto untuk berpindah, namun tanpa disertakan perilaku yang menunjukkan perasaan tersebut. Dalam hal ini ada indikasi bahwa adanya hukuman yang diberikan kepada Bpk.Nariyoto, tanpa sepengetahuannya. Hukuman dalam hal ini bukan menyangkut fisik, namun penilaian yang buruk terhadapnya, seperti pengkhianat, murtad, maupun pembangkang. Namun pada intinya nampak bahwa konversi agama yang dilakukan, berpengaruh pada penghayatan iman Kristen yang dimiliki oleh keluarga, semakin mendalam. Dengan melakukan analisa terhadap proses konversi agama yang dilakukan oleh Bpk.Nariyoto dari Sapta Darma ke Kristen, maka ditemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya proses konversi, yang terdapat dalam gambar proses di bawah ini :
5. INTERAKSI
1. KRISIS
6. KOMITMEN 3. KONTEKS 7. KONSEKUENSI/ 2. PENCARIAN
DAMPAK 4. PERTEMUAN
Penjelasan terhadap gambar: 1. Proses konversi agama dalam kasus Bpk.Nariyoto, diawali krisis antara hati dan pikiran yang tidak lagi sejalan dikarenakan keraguan terhadap ajaran sebelumnya serta pikiran yang ingin mencari dan menemukan keselamatan yang hanya diperoleh ketika percaya dan mengikuti ajaran Isa Rohulah (Tuhan Yesus), sedangkan hati berkeinginan untuk loyal kepada ajaran sebelumnya. 72
2. Pencarian dalam kasus konversi agama ini terdapat beberapa hal dari Sapta Darma yang cenderung mempengaruhi dan membuka peluang besar untuk melakukan konversi, yaitu: keterbukaan terhadap sistem kepercayaan lain dan kekhusukkan dalam beribadah. Dengan adanya hal-hal tersebut pencarian agama yang mengajarkan dan meyakini keselamatan hanya diperoleh di dalam Isa Rohulah (Tuhan Yesus), dapat dipenuhi. 3. Pencarian erat kaitannya dengan konteks kehidupan Bpk.Nariyoto yang terdiri dari empat konteks, yaitu: a) sistem ekonomi keluarga, yakni profesi Bpk.Nariyoto sebagai seorang seniman (dalang, berperan dalam ketoprak maupun reog) ditengah konteks sistem agama Kristen sebagai mayoritas memunculkan permintaan dalam membantu kegiatan gereja, yang di dalamnya dikolaborasikan dengan kebudayaan Jawa. b) Interaksi dengan tetangga yang dominan adalah agama Kristen, khususnya sebagai jemaat GPIB ATK sektor Tambakrejo. c) Keluarga inti (the nuclear family) khususnya anak bungsu yang bernama Nova, dan d) kekaguman pada kepribadian yang tegas dan keras dari pendeta yang melayani di jemaat GPIB ATK, yaitu Pdt.Merziline Ch.Rssok. 4. Pertemuan pada agama baru terjadi selain karena ketiga hal diatas, juga disebabkan pengalaman rohani yang dapat membentuk maupun memperkokoh pak Nari dalam mencari, dan berujung pada pertemuan dengan agama Kristen (GPIB ATK). Pertemuan terjadi dibantu oleh konteks sekitar, dalam hal ini Bpk.Dariyanto (keponakan) dan kharisma dan teladan yang dimiliki oleh ibu pendeta sebagai seorang pemimpin jemaat. 5. Interaksi tetap terjalin dengan baik antara Bpk.Nariyoto dengan rekan-rekan di Sapta Darma, GIA dan muslim. Hal ini didukung dengan sifat mudah bergaul,
73
sehingga ia menerima siapa pun. Ada indikasi bahwa sifat tersebut terkait dengan sifat Sapta Darma, yaitu keterbukaan. 6. Terdapat satu titik penyerahan diri terhadap serangkain proses konversi agama yang dilakukan pak Nari juga diikuti anggota keluarga, yaitu membuat komitmen untuk menjadi anggota jemaat GPIB ATK dengan melakukan nikah gereja pada tanggal 26 Juli 2010, bertempat di GPIB ATK sektor Tambakrejo, serta baptis dan sidi pada tanggal 30 Mei 2010 (keempat anak belum melakukan sidi). 7. Konsekuensi atau dampak yang timbul antara lain: penghancuran serta pelepasan kekuatan yang berasal dari ilmu maupun benda-benda sakti yang dimilikinya; ketidakrelaan dari rekan-rekan Sapta Darma dengan memberikan penilaian yang buruk terhadapnya, tanpa sepengetahuan pak Nari, seperti pengkhianat, murtad, maupun pembangkang; dan penghayatan iman Kristen yang dimiliki oleh keluarga, semakin mendalam. Terkait dengan point akhir, ia mengakui bahwa keadaan hidupnya semakin baik karena Tuhan. Hal itu nampak dari bidang ekonomi, permintaan untuk memainkan wayang (dalang) tidak berkurang, namun justru semakin banyak permintaan; ketiga anaknya telah mendapat kerja yang bagus, sedangkan pendidikan yang lancar dari anak keempat, serta kehidupan keluarga menjadi harmonis dan teratur.
IV.2 Refleksi Teologis Keputusan dalam melakukan perpindahan dari sistem kepercayaan atau agama satu ke yang lain, merupakan kebebasan yang dimiliki setiap individu. Serupa dengan Sapta Darma yang tidak melarang pengikutnya berpindah agama, hal itu juga yang terdapat dalam agama Kristen. Agama Kristen tidak memberikan suatu perintah atau hukum terhadap orang-orang yang berpindah, karena keyakinan orang Kristen terhadap 74
hukuman yang akan diberikan oleh Allah sendiri terhadap dosa pribadi, dalam hal mereka yang berpindah dari agama Kristen, yang melatarbelakangi hal tersebut terjadi. Ketidaktersediaannya hukum maupun perintah juga berlaku bagi mereka yang dengan kesungguhan hati menerima Allah di dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan bergabung dalam komunitas agama Kristen. Gereja tidak dapat melarang atau menghalangi mereka yang akan mengikuti ajaran Kristus. Hal itu dikarenakan di dalam Alkitab, khususnya dalam Matius 19:14 tertulis: Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Dari hal ini nampak bahwa Yesus sendiri menerima manusia yang datang kepada-Nya seperti seorang anak yang datang kepada bapaknya, sebab sifat seorang anak yang penuh dengan kepolosan, keterusterangan serta ketidakmampuan yang menyebabkan penyerahan diri kepada sosok yang memiliki kemampuan lebih dibanding dirinya. Konversi agama tidak hanya terkait dengan kebebasan, melainkan juga dengan motivasi. Berbagai macam dorongan yang diperoleh dari dalam maupun luar diri, akan sangat mempengaruhi pelaku konversi dalam mengambil keputusan serta bertindak sesuai dengan keputusannya. Dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, semakin besar dorongan dari dalam diri untuk mencari, mengenal hingga mengikuti Kristus. Itulah yang terjadi pada keluarga Bpk.Nariyoto. Keputusan dan tindakan yang diambil oleh keluarga Bpk.Nariyoto dalam berpindah agama, merupakan tindakan yang radikal. Karena keluarga tersebut telah bertobat dengan jalan menjauhkan serta tidak lagi berhubungan dengan hal-hal gaib, atau berada pada jalan kegelapan, yang kemudian masuk pada terang dengan mengikuti katekisasi, dibaptis dan sidi. Dengan melakukan hal-hal tersebut, menandakan komitmen yang sungguh sebagai bagian dalam jemaat maupun dalam diri Yesus Kristus. 75
Dengan melakukan serangkaian proses konversi agama, pada intinya ialah keluarga mencari dan menginginkan keselamatan bagi hidup mereka. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menjadi pengikut-pengikut Kristus. Sebab di dalam Kristen, mengajarkan serta meyakini bahwa melalui Yesus Kristus sebagai Tuhan yang mampu menyelematkan manusia. Pernyataan tersebut diperkuat dalam Yohanes 10:9: “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput.” Melihat pernyataan tersebut, maka nampak keputusan dan tindakan keluarga Bpk.Nariyoto sebagai sesuatu yang benar. Untuk memperoleh hidup yang lebih baik lagi, dengan memperoleh keselamatan sebagai tujuannya, maka mereka harus menemukan dan mengenal lebih dalam mengenai Kristus sebagai Tuhan. Dan pengenalan tersebut hanya dapat ditemukan dengan mengikuti ajaran-ajaran-Nya yang terdapat di dalam agama Kristen.
76