Majalah Hukum Forum Akademika
PERKAWINAN ANTARA PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA (Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam) Oleh : M. Amin Qodri1
ABSTRAK Penulisan ini dilakukan adalah untuk melihat, mengamati dan menganalisis aturan hukum tentang hal – hal yang berhubungan dengan perkawinan bagi pemeluk agama yang berbeda yang terdapat dalam U.U. No. 1 Tahun 1974 dan mencari formulasi yang tepat atas ketidakberdayaan aturan hukum yang ada dengan kenyataan yang ada di masyarakat, khususnya pada masyarakat perkotaan serta sedapat mungkin mengambil perbandingan dengan Undang-undang Keluarga Islam di Kerajaan Negeri Terenggano dan Kerajaan Negeri Kelantan sekedar menurut informasi awal bahwa kedua – dua kerajaan negeri tersebut menutup rapat – rapat kemungkinan terjadinya perkawinan yang sedemikian. Hasil Pembahasan dari penulisan ini adalah: 1. Perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda hingga saat ini masih terus terjadi di Indonesia dikarenakan undang – undang yang ada belum mengatur secara tegas dan sanksi bagi pemeluk agama Islam yang melakukan perkawinan itu tidak juga diatur secara khusus. 2. Status Perkawinan mereka tidak sah dan dianggap telah melakukan zina secara terus – menerus, bahkan lebih berat dari perzinaan yang dilakukan tanpa diikat oleh perjanjian resmi Islami serta akibat hukumnya akan ditanggung oleh pasangan hidup beserta keturunannya yang berimplikasi kepada kehidupan akhirat. Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama.
A. Pendahuluan Tujuan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia sejahtera berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu ia juga bertujuan untuk melaksanakan sunnatullah yang mempunyai aspek kemanusiaan dan aspek ibadah kepada Allah SWT. Dalam surah al-Zaariyat Ayat 49 Allah S.W.T. berfirman:
1
Dosen Fakultas Hukum universitas Jambi.
157
Majalah Hukum Forum Akademika
وﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺧﻠﻘﻨﺎ زوﺟﻴﻦ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺬﻛﺮون Maksudnya: Dan tiap-tiap jenis Kami ciptakan berpasangan, supaya kamu mengingati (kekuasaan Kami dan mentauhidkan Kami). Aspek kemanusiaan mengandungi arti bahwa dengan menikah seseorang merasa bertanggungjawab terhadap amanah Allah S.W.T. supaya kehidupan berkeluarga yang dijalankan sesuai menurut ajaran atau syariat Islam. Sedangkan aspek ibadah mempunyai makna bahwa perkawinan yang dilangsungkan semata-mata hanya mengharap ridho-Nya, maka dengan itu akan memperoleh ganjaran pahala yang besar, sebagaimana hadis sahih Rasulullah S.A.W. riwayat imam Muslim;
قال رسو ل صلى عليه وسلم دينار انفقته في سبيل ودينار أنفقه في رقبة ودينار تصدقت به على مسكين ودينار
أنفقته على أھلك أعظمھا أجرا الذي أنفقته على أھلك Maksudnya: "Dinar yang kamu keluarkan untuk jalan Allah, dinar yang kamu keluarkan untuk budak, dinar yang kamu sedekahkan kepada orangorang miskin, dan dinar yang kamu keluarkan kepada keluargamu, maka dinar yang kamu berikan kepada keluargamulah yang paling besar pahalanya.”2 Ternyata rezeki yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya lalu dibelanjakannya sebahagian rezeki itu kepada jalan Allah seperti bersedekah kepada orang miskin, yatim – piatu, panti jompo atau yang lainnya, maka yang menempati urutan teratas dari segi ganjaran pahalanya adalah apabila bersedekah kepada keluarga dan karib kerabat. Hal ini perlu difahami bahwa begitu pentingnya menikah apabila seseorang sudah cukup dewasa, mempunyai
2
Hadist Riwayat Imam Muslim
158
Majalah Hukum Forum Akademika
bekal yang memadai untuk menikah, mendirikan rumah tangga, maka bersegera lebih baik dan lebih utama. Tiada persoalan kiranya bagi yang ingin menikah adalah sama – sama mempunyai aqidah yang sama sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi dan tidak dijumpai hal – hal yang menghalangi untuk itu.3 Namun apabila seorang hamba yang ingin melamar seorang wanita yang secara kebetulan tidak satu keyakinan dengannya, maka disinilah permasalahan itu akan timbul, “Perkawinan antar Pemeluk Agama (Keyakinan) yang Berbeda”. Negara tidak secara tegas mengatur perkawinan tersebut. Adapun yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang – Undang Perkawinan No. 1 Tahun 19744, menimbulkan multi tafsir, antara lain; 1. Kedua insan yang berbeda agama dan salah satunya beragama Islam, melaksanakan upacara ritual keagamaan dari salah seorang dari keduanya terlebih dahulu, baru kemudian di lain hari atau di lain waktu
melaksanakan
lagi
upacara
ritual
keagamaan
dari
pasangannya. Pandangan ini senada dengan pendapat; a. Rusli dan R. Tama5 Oleh karena semua agama yang diakui oleh Republik Indonesia hanya mengakui dan menganggap perkawinan sah apabila telah diselenggarakan menurut agama itu sendiri, maka berkenaan dengan hukum agama yang mana yang dipakai dalam perkawinan antara agama itu, dikembalikan kepada kesepakatan antara kedua calon mempelai tadi. Hasil kesepakatan berupa rangkaian perkawinan dua agama dari masing – masing agama itu. b. Asmin6 Setiap agama telah membuat peraturan yang tegas, yakni melarang umatnya untuk kawin dengan umat dari dari agama lain dan mengharamkannya. Tetapi manusia adalah manusia juga adanya, yang mempunyai rasa cinta dan cinta itu universal dalam 3
Lihat Pasal 13 sd. 21, dan Pasal 22 s.d. 28 UUP No. 1 Tahun 1974 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. 5 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bulan – Bintang, Jakarta, 1986, hal. 40 6 Asmin, Status Perkawinan Antaragama, Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hal. 68 4
159
Majalah Hukum Forum Akademika
arti dimiliki setiap orang tanpa perbedaan misalnya ras, agama dan asal usul serta yang lainnya. Oleh demikian pemerintah perlu memberikan perlindungan dan pengaturan bagi mereka yang ingin kawin beda agama. Langkah pemerintah yang berbuat demikian tidak mengurangi sikap negara dalam menghormati dan melindungi agama – agama di Indonesia. c. P.C. Hadiprastowo7 Mereka yang termasuk kategori ini (kawin beda agama), janganlah dikatakan “tidak taqwa pada agamanya”, karena dalam perkawinan yang masing – masing pihak berlainan agama, justeru mereka itu adalah taqwa pada agamanya dan dalam perkawinan demikian tidak berlaku apostasi (murtad) oleh satu pihak. Ini berarti bahwa masing – masing memeluk agamanya sendiri dalam perkawinan itu. Justeru manakala dalam perkawinan itu terjadi suatu masalah dimana salah satu pihak berdasarkan kesadarannya sendiri beralih kepada agama calon suami ataupun calon isteri, maka barulah betul dikatakan ada terjadi peralihan agama yang satu ke dalam agama yang lain, jadi bukan peralihan pura – pura (frauduleuse overgang), maka inilah yang justeru dapat dikatakan bahwa salah satu pihak itu adalah tidak taat pada agamanya, tidak taqwa pada agamanya seratus persen karena ia mengapostasi diri. Dan mengapa justeru yang masing – masing tetap pada agamanya (dalam perkwainan itu) tidak mendapat tempat di dalam UU Perkawinan? Pendapat yang disampaikan Rusli dan R. Tama di atas menunjukkan bahwa kedua – duanya tidak memahami konsep perkawinan dalam keluarga Islam yang sebenarnya dan enggan mengikuti sunnah Rasulullah Muhammad Saw yang memberi nasihat kepada kita dari kebimbangan pilihan hati dalam memilih pasangan hidup maka utamakanlah memilih wanita agamanya,
dengan
demikian
yang kuat niscaya
berpegang kepada akan
memperoleh
kebahagiaan.8 2. Kedua insan yang berlainan jenis dan berbeda agama melaksanakan pernikahan setelah terlebih dahulu salah satu pasangan tunduk pada hukum lawan pasangannya, atau menundukkan diri secara sukarela 7
P.C. Hadiprastowo, Perkawinan Campuran Sebuah Pengantar, Tarumanagara, Jakarta, 1992, hal. 41 8 Al-Bukhari, Sahih, Kitab Nikah, Bab 16, No. 5090
160
Majalah Hukum Forum Akademika
(muallaf) pada agama barunya yang sangat diyakini membawa kebenaran dan kebahagiaan. Pandangan tersebut di atas terbagi menjadi tiga; a. Boleh menikah laki – laki Muslim dengan perempuan ahli kitab, bukan dari golongan musyrik. Dengan harapan setelah mereka berumahtangga sang suami yang merupakan pemimpin dalam keluarga mampu memberikan pencerahan terhadap agama yang lurus dan agama yang diridhoi.9 b. Tetap tidak membolehkan perkawinan antara laki – laki Muslim dengan perempuan ahli kitab, karena berpandangan bahwa ahli kitab di zaman sekarang sudah pupus. Yang ada adalah perempuan non Muslim yang musyrik yang dikenal dengan ajaran trinitas dan atau yang berasal dari agama bumi. c. Nyata – nyata melarang dengan tegas perempuan Muslim kawin dengan laki – laki musyrik, karena bagaimanapun sangat dikhawatirkan isteri suatu saat akan ikut agama suami bahkan berlanjut kepada anak – anak dan keturunannya. … Mereka itu mengajak kamu ke neraka; dan Allah mengajak kamu ke surga dan kepada keampunan dengan izin-Nya; dan Dia terangkan perintah – perintahNya kepada manusia supaya mereka ingat. B. Permasalahan 1.
Mengapa masih juga terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda di Indonesia dan apa solusinya?
2.
Bagaimanakah status perkawinan mereka dan apa akibat hukumnya lagi anak keturunan mereka?
C. Pembahasan 1.
Perkawinan Antara Pemeluk Agama yang Berbeda dan Solusinya
9
Q.S. Al-Maidah Ayat 3
161
Majalah Hukum Forum Akademika
Dalam Negara Pancasila, agama hidup dan berkembang dengan perlindungan Negara. Pemeluk agama berhak mengembangkan agamanya sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya. Masing – masisng agama diberi kebebasan menyiarkan agamanya tetapi menghargai agama orang lain. Dengan demikian, agama mempunyai peranan penting dan asasi dalam kehidupan bangsa dan negara. Bahkan negara tidak hanya melindungi pemeluk agama dan memberi kebebasan melaksanakan ajaran agama, tetapi juga memberikan dorongan dan bantuan untuk memajukan agama. UUD 1945 pada Bab XI Pasal 29 tentang Agama, menegaskan pula bahwa: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk memeluk agamanya masing – masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari kedua landasan hukum itu, jelas bahwa negara Pancasila bukanlah negara teokratis (berdasarkan atas agama), tetapi bukan pula negara sekular (bersikap masa bodoh terhadap agama) seperti negara – negara kapitalis liberal.10 Kenyataan yang kita hadapi saat ini bahwa orang – orang yang dengan beraninya melaksanakan kehidupan rumah tangganya dengan orang yang berbeda keyakinan (walaupun mengedepankan ‘cinta – kasih’) seolah – olah menutup mata terhadap agama yang ia anut. Bahwa agama apapun yang ada di Indonesia ini11 tidak satupun diantaranya yang membenarkan perkawinan yang umatnya mengajak calon pasangannya untuk nikah dalam suasana kebatinan yang berbeda, kecuali calon pasangannya tersebut telah terlebih dahulu menundukkan diri atau mengimani agama yang baru itu. Terhadap perkawinan tersebut di atas ada beberapa pendangan dari penulis terdahulu, antara lain: 1. Pandangan Abu Shadhi dalam bukunya Al-Islam Al-Hayy (Islam yang hidup), mengatakan bahwa: “Status Persamaan antara agama dalam pernikahan adalah dibolehkan. Adalah dibenarkan untuk menikah bagi wanita muslimah dengan laki – laki yang ia sukai tanpa memandang agama. Begitu 10
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Jakarta, 2003, hal. 24 11 Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha
162
Majalah Hukum Forum Akademika
juga halnya dengan wanita bukan Islam, dia dibenarkan menikah dengan laki – laki mana saja yang ia sukai walaupun berlainan agama.”12 2. Umar Faruuq, mengutarakan bahwa dalil/ayat yang mengharamkan pernikahan antaa wanita muslimah dengan lelaki bukan beragama Islam, dan lelaki Muslim dengan wanita musyrik telah dimansuhkan oleh surah yang lain, yaitu surah Al-Baqoroh Ayat 22113 dimansuhkan oleh surah Al-Maidah Ayat 514. Walaupun dimansuhkan, golongan ahli kitab untuk saat ini sudah tidak dapat ditemukan lagi, sebagaimana yang dikatakan dalam Akta Undang – Undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984 seksyen 11, menafsirkan ‘Kitabiyah’ yaitu: (a) Seorang perempuan dari keturunan Bani Ya’qub; atau (b) Seorang perempuan Nasrani keturunan orang Nasrani sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul; atau (c) Seorang perempuan Yahudi dari keturunan orang Yahudi sebelum Nabi Isa menjadi Rasul. Majelis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia pada 13 Ogos 1977 telah bersetuju bahwa seorang kitabiyah ialah seorang perempuan Yahudi dan Nasrani yang mana: (a) Adalah keturunan Bani Ya’qub jika datuk neneknya diketahui telah memeluk agama itu (agama Yahudi atau Nasrani) sebelum ia dibatalkan (iaitu diganti) oleh agama kemudian, seperti agama Yahudi oleh agama Nasrani atau agama Nasrani oleh agama Islam; atau 12
Abd. Mutaal M. Al-Jabry, Perkawinan Antara Agama Suatu Dilema, Terj. M. Azhari Hatim, Penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 1992, hal. 4-5 13 Dan janganlah kamu kawin dengan perempuan – perempuan kafir musyrik sebelum mereka beriman; dan sesungguhnya hamba perempuan yang beriman itu lebih daripada perempuan kafir musyrik, sekalipun keadaannya menarik hati kamu. Dan janganlah kamu (kawinkan perempuan – perempuan Islam) dengan laki – laki kafir musyrik sebelum mereka beriman. Dan sesungguhnya seorang hamba laki – laki yang beriman lebih baik daripada seorang laki – laki musyrik, sekalipun keadaannya menarik hati kamu. 14 Dan dihalalkan kamu kawin dengan perempuan – perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan – perempuan yang beriman, dan juga perempuan – perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang – orang yang diberikan Kitab sebelum kamu
163
Majalah Hukum Forum Akademika
(b) Jika bukan keturunan Bani Ya’qub, jika datuk neneknya diketahui telah menganut agama itu sebelum ia dibatalkan oleh agama yang kemudian itu.15
Negara bertugas dan berwenang mengatur dan memberikan pelayanan kenegaraan kepada seluruh warga Negara yang berkeyakinan agama apapun. Negara tidak diskriminasi dalam pelayanan kenegaraan (termasuk hukum), karena perbedaan agama adalah sifat dan ciri khas dari negara berdasarkan hukum dan Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah hukum dasar yang selalu dijunjung tinggi.16 Dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)17 diakui adanya perbedaan hukum perkawinan dari agama – agama yang berbeda. Akibatnya di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya. Hal tersebut mengacu pada pengertian “Hukum yang berlainan” dalam Pasal 57 UUP. Menurut Sadiman Kartohadiprodjo dan Wirjono Projodikoro, Pasal 2 ayat (1) dari sudut ilmu hukum telah melahirkan masalah hukum antar agama.
2.
Status Perkawinan Antara Pemeluk Agama yang Berbeda dan Akibat hukum bagi keturunan mereka. Disadari atau tidak kalau kita lihat perjalanan waktu ke waktu, zaman ke
zaman dan melihat defenisi kitabiyah tersebut, sudah barang tentu seorang kitabiyah sudah tidak ada lagi. Oleh karenanya sejalan dengan penegasan dari Undang – Undang Keluarga Islam Kelantan yang mengatakan bahwa: “ Tidak seseorang lelaki boleh berkahwin dengan seseoang bukan Islam, dan tidak seseorang perempuan boleh berkahwin dengan seseorang bukan Islam.18 (1) Tiada seseorang lelaki boleh berkahwin dengan seseorang bukan Islam kecuali seorang Kitabiyah.
151515
Ahmad Ibrahim, Undang – Undang Keluarga Islam di Malaysia, Malayan Law Journal Sdn Bhd, Kuala Lumpur, 1999, hal. 29-30 16 Ibid, hal. 26 17 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. 18 Enakmen Keluarga Islam Kelantan 1983, ss 16 (3) dan (4)
164
Majalah Hukum Forum Akademika
(2) Tiada seseorang perempuan boleh berkahwin dengan seseorang bukan Islam. 19
Sebenarnya perkawinan demikian ini tidak dibolehkan bahkan dilarang dan bukanlah dinamakan perkawinan, tetapi benar – benar perzinaan. Ini lebih berat dari perzinaan yang dilakukan tanpa diikat oleh perjanjian resmi Islami dan dilakukan perzinaan itu setiap waktu yang berarti zina beruntun dan diterima dengan sukahati menjual diri dengan api neraka. Bahkan bukan untuk diri sendiri tetapi diikutsertakan anak – anak mereka yang memikul dosa perbuatan mereka.20 Menurut Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Perkawinan Campuran ialah Perkawinan antara 2 (dua) orang yang tunduk pada undangundang yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Menurut Ensiklopedia Malaysia Edisi 1996 jilid 16 Peribahasa dan Sinonim, yang dinamakan kawin campur yaitu kawin berlainan agama dan bangsa. Kamus Dewan pula mengatakan bahwa kawin campuran yaitu kawin antara dua orang yang berlainan bangsa (agama). Menurut pandangan O.S. Eoh, bahwa Mahkamah Agung dengan suratnya nomor KMA/72/IV/1981 20 April 1981 mengenai pelaksanaan perkawinan campuran, beranggapan bahwa: 1. Perkawinan antara agama termasuk ke dalam perkawinan campuran. 2. Dalam pelaksanaan perkawinan antar agama dipergunakan ketentuan dalam
GHR,
jadi
berdasarkan
undang-undang
suami
tanpa
memandang agamanya. 3. Mahkamah Agung berpendirian bahwa perkawinan campuran di Indonesia sebagai suatu “Staatshuwilijk” berarti suatu perkawinan antar agama dan hanya dilakukan di kantor catatan sipil sudah sah.
19
Seksyen 10 Akta Undang – Undang Keluarga Islam (Wilayah – wilayah Persekutuan) 1984 (Akta 303) 20 Fuad M. Fachrudin, Kawin Antar Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 1999, hal. 65
165
Majalah Hukum Forum Akademika
Dalam Pasal 2 (1) U.U. No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa; "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut undang-undang masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu". Jadi untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah undang-undang agama dan bukan undangundang negara, sehingga diharapkan tidak akan ada perkawinan yang dilakukan di luar undang-undang masing-masing agama dan kepercayaannya yang diakui di Indonesia. Adapun kajian – kajian terdahulu yang dijumpai mengenai kawin antar pemeluk agama yang berbeda antara lain adalah seperti berikut: Buku yang ditulis oleh cAbdul Mutacal Muhammad Al-Jabri, yang bertajuk ‘Jarimatuz-zawaj Bighairil-Muslimat’ yang diterjemahkan oleh Achmad Syathori yaitu; Perkawinan Campuran menurut pandangan Islam, tahun 1996. Buku itu berisikan suatu pembelajaran yang membahas mengenai perkawinan seorang muslim dengan wanita bukan muslimah, sama ada wanita musyrikah ataupun wanita kitabiyah dari sudut hukum syarak. Kedua, tajuk buku ‘kawin antar agama’; yang ditulis oleh Dr. Fuad M. Fachruddin adalah alumnus Perguruan Tinggi Al-Azhar perintis kemerdekaan sekaligus ahli Korespondensi Lembaga Bahasa Arab di Mesir (Kairo). Salah satu asas dalam pemikiran beliau dalam buku itu adalah kekhawatiran dan kebimbangan beliau melihat fenomena kawin antar agama. Seharusnya dalam usaha mencari kebenaran dalam segala hal, Islam telah memberikan haknya melalui sumber aslinya, maka itu ilmu haruslah di dapat untuk memperoleh Hukum Syariat, fiqh, dan undang-undang yang tepat sesuai dengan kehidupan masyarakat, sehinga tidak merusak sendi – sendi dalam kehidupan beragama khususnya agama Islam tidak bertentangan dengan pendidikan Islam. Ketiga adalah Rusdi Malik, dalam bukunya yang berjudul Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 2001. Beliau mengamati pandangan-pandangan para sarjana hukum yang berkembang mengenai kawin campur berbeda agama yang mana salah seorangnya beragama Islam adakalanya ada yang membolehkan dan ada yang
166
Majalah Hukum Forum Akademika
menentang bahkan melarang dari berlakunya perkawinan demikian, dilengkapi dengan hujahan-hujahannya. Mantan Menteri Agama RI Era Orde Baru, dalam wawancaranya mengatakan:21 1. Terjadinya perkawinan antara agama (berbeda agama) itu adalah gejala zaman modern yang terjadi dalam masyarakat yang mengalami pelemahan nilai – nilai agama (despritualisasi). Tetapi masyarakat kita ingin mencegah terjadinya despritualisasi tersebut 2. Kalau sejak semula majelis – majelis agama memberitahukan kepada umatnya mengenai ketentuan perkawinan antara agama, saya kira tidak akan bertambah orang – orang yang mengalami masalah itu. Tugas majelis – majelis agamalah untuk menjelaskan kepada umatnya bagaimana ketentuan agama mereka mengenai perkawinan antara agama. Itu harus disampaikan sedini mungkin kepada anak – anak dan para remaja. D. Kesimpulan 1. Perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda hingga saat ini masih terus terjadi di Indonesia dikarenakan undang – undang yang ada belum mengatur secara tegas dan sanksi bagi pemeluk agama Islam yang melakukan perkawinan itu tidak juga diatur secara khusus 2. Status Perkawinan mereka tidak sah dan dianggap telah melakukan zina secara terus – menerus, bahkan lebih berat dari perzinaan yang dilakukan tanpa diikat oleh perjanjian resmi Islami serta akibat hukumnya akan ditanggung oleh pasangan hidup beserta keturunannya yang berimplikasi kepada kehidupan akhirat.
21
Majalah Sinar No. 8 Tahun I, tanggal 17 Januari 1994
167
Majalah Hukum Forum Akademika
Lampiran KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA 3 Mei 2010 pukul 9:18 Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H./26-29 Juli 2005 M., setelah MENIMBANG: 1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; 2. Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; 4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman. MENGINGAT: 1. Firman Allah SWT: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya) , maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. al-Nisa [4] : 3); Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
168
Majalah Hukum Forum Akademika
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21); Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. al-Tahrim [66]:6 ); Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5); Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221); Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. al-Mumtahianah [60] : 10). Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang
169
Majalah Hukum Forum Akademika
memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang (QS. al-Nisa [4] : 25). 2. Hadis-hadis Rasulullah s.a.w :Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a); 3. Qa’idah Fiqh : Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan. MEMPERHATIKAN: 1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran. 2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005 : Dengan bertawakkal kepada Allah SWT. MEMUTUSKAN MENETAPKAN : FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. 2.
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H./29 Juli 2005 M.
170
Majalah Hukum Forum Akademika
Daftar Pustaka Al-Qur’an. Ahmad Ibrahim. 1999. Undang-undang keluarga Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Malayan Law Journal Sdn Bhd. Al-Jabry, cAbdul Mutacal Muhammad. 1992. Perkawinan Antar Agama suatu Dilema. Terj. M. Azhari Hatim. Surabaya: Risalah Gusti. Al-Imam Muslim. 1995. Terjemahan Hadis Sahih Muslim, Terj. Ma’mur Daud, Selangor-Malaysia: Klang Book Centre. Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta: Dian Rakyat. Fuad M. Fachruddin. 1999. Kawin Antar Agama. Jakarta: Kalam Mulia. Ichtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI O.S. Eoh. 1996. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Srigunting Raja Grafindo Persada. Rusli dan R. Tama. 1986. Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Jakarta: Bulan – Bintang.
UNDANG – UNDANG Akta Undang – Undang Keluarga Islam (Wilayah – wilayah Persekutuan) 1984 (303) Enakmen Keluarga Islam Kelantan 1983 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
MAJALAH Sinar No. 8 Tahun I, Tanggal 17 Januari 1994.
171