Keberagamaan dan Fundamentalisme
Keberagamaan dan Fundamentalisme sebagai Faktor Persepsi tentang Kesetaraan Jender, Sikap terhadap Nikah Sirri, dan Respons pada Rencana Legislasi Nikah Sirri1 Umul Baroroh IAIN Walisongo Semarang Abstract: This article examines directly or indirectly the influence of the religiosity level and religious fundamentalism toward the perception of gender equality, marriage Sirri, and planning of marriage Sirri legislation. Hypothesis testing was based on data collected by questionnaires from 294 Muslim students at Diponegoro University, Semarang, in selected clusters. The testing carried out simultaneously using path analysis. The analysis showed that the religiosity level and religious fundamentalism have a significant direct effectively to the gender equality, but not on marriage Sirri and planing of marriage Sirri legislation. Nevertheless, the religious fundamentalism and the perception of gender equality indirectly influence to the planning of marriage Sirri legislation. Keywords: Nikah sirri, legislasi nikah sirri, keberagamaan, fundamentalisme.
I. Pendahuluan Nikah atau perkawinan merupakan pengaturan hubungan antarmanusia sebagai makhluk sosial berkaitan tata cara berkeluarga.2 Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi doktor yang saya pertahankan dalam ujian terbuka di Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang pada 9 Juli 2012. 2 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS & Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 85. 1
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
71
Umul Baroroh
Nikah menjadi satu-satunya pintu yang diperbolehkan untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah”ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”3 Undang-undang tersebut juga menetapkan tiaptiap perkawinan harus dicatatkan ke administrasi negara.4 Khusus bagi pemeluk Islam, pencatatan dilakukan oleh petugas pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama Islam.5 Pernikahan yang tidak dicatatkan secara legal disebut nikah sirri atau nikah di bawah tangan.6 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan nikah bawah tangan sebagai “pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi yang berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.”7 Karena tidak dicatatkan, nikah sirri tidak diakui keabsahannya oleh negara sehingga segala permasalahan yang terkait dengan perkawinan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui lembaga negara. MUI memfatwakan bahwa nikah sirri sah hukumnya selama terpenuhi syarat dan rukunnya.8 Namun demikian, MUI memandang pernikahan ini tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan sehingga dalam fatwa yang sama MUI mengharuskan setiap pernikahan dicatatkan secara resmi untuk menghindari dampak negatif. Meskipun tidak mendapat pengakuan legal, nikah sirri banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat Muslim. Di Kabupaten Pasuruan, misalnya, terdapat 4.741 pasangan menikah yang tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama.9 Perkawinan tersebut sangat terorgaPasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 5 PP Nomor 9 Tahun 1975. 6 Indonesia Matters, 17-4-2010. 7 Ma’ruf Amin dkk., Himpunan Fatwa Majelisw Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 850. 8 Amin dkk., Himpunan Fatwa, hlm. 850. 3 4
72
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
nisir rapi, mulai dari calo yang mencarikan perempuan, tukang ojek yang menghubungkan ke pelaku pria, kyai yang menikahkan, pelaku pria, serta perempuan sendiri dan orangtuanya.10 Nikah sirri juga banyak dilakukan oleh mahasiswa yang masih aktif kuliah. Erlina, misalnya, menemukan banyak praktik nikah sirri yang dilakukan oleh mahasiswa di Malang dan Nurhaedi menemukan banyak kasus di Yogyakarta.11 Dalam rangka melindungi perempuan dari ketidakadilan yang muncul akibat dari nikah sirri, pemerintah (Kementerian Agama) membuat RUU tentang Hukum Materiil Acara Peradilan Agama, yang di antaranya memberikan sanksi bagi para pelaku nikah sirri. Rencana tersebut mendapat respons yang sangat beragam dari masyarakat,12 yang merentang dari menolak dengan keras sampai mendukung sepenuhnya terhadap rencana tersebut. Artikel ini memfokuskan kajiannya pada respons masyarakat terhadap rencana legislasi nikah sirri tersebut. Agar lebih bermakna, variabel tersebut dikaitkan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya, khususnya tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan, serta variabel yang mengantarainya, yakni persepsi tentang kesetaraan jender dan sikap terhadap nikah sirri.
II. Respons terhadap Rencana Legislasi Nikah Sirri Rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri yang digagas oleh pemerintah telah menjadi polemik karena para pemuka agama dan ulama berbeda pendapat. MUI belum memberikan dukungan atau “Peringatan Hari Anak di Kawasan Nikah Sirri”, http://www.antarajatim. com/lihat/berita/67475/peringatan-hari-anak-di-kawasannikah-sirri, diunduh pada 21 November 2011. 10 Luluk Masluhah, “Tradisi Perkawinan Sirri di Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan (Analisis Sosiologis dan Implikasinya Bagi PLS)” tesis, tidak dipublikasikan, Universitas Negeri Malang, 2011. 11 Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Yogyakarta: Saujana, 2003). 12 Miftah Farid, “Hukum Islam tentang Nikah Siri”, http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/ #more-450, diunduh 10 Mei 2010. 9
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
73
Umul Baroroh
penolakan secara resmi terhadap rencana tersebut.13 Sementara itu, sebagian ulama dan pemuka agama menentang rencana tersebut,14 sedangkan sebagian yang lain mendukung.15 Miftah Farid berpendapat bahwa nikah sirri boleh dilakukan sebagai penyelamatan dari kemungkinan sesuatu madarat. 16 Dia tidak setuju kalau para pelakunya diberi sanksi. Sementara itu, AnNawi berpandangan bahwa pemerintah tidak boleh memberikan sanksi bagi pelaku nikah sirri karena Indonesia bukan negara yang didasarkan agama.17 Hal senada disampaikan oleh Bakhtiar yang berargumen bahwa pemidanaan pelaku nikah sirri tidak sesuai dengan ajaran Islam dan harus ditentang karena tidak ada nash yang mengharuskan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya. 18 Penentangan terhadap rencana pemidanaan pelaku nikah sirri juga dilakukan oleh para kyai di Pasuruan Jawa Timur karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam.19 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia yang menegaskan bahwa nikah sirri dianggap sah selama sesuai dengan syarat dan rukun nikah “MUI Tak Keberatan Pelaku Nikah Siri Dipidanakan”, http:// nasional.kompas.com/read/2010/02/15/17394496/ MUI.Tak.Keberatan.Pelaku.Nikah. Siri.Dipidanakan, diunduh 21 Pebruari 2012. 14 Misalnya, Miftah Farid, Masalah Nikah dan Keluarga, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 24; Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy, “Hukum Islam tentang Nikah Siri”, http://www.islamic-center.or.id/-islamiclearningsmainmenu-29/syariah-main menu-44/27-syariah/573-hukum-islamtentang-nikah-siri, diunduh 10 Mei 2010, hlm. 3. 15 Misalnya Ma’ruf Amin dan Siti Musdah Mulia. Lihat “MUI Tak Keberatan”; “Polemik RUU Nikah Siri”, http: //www.riaumandiri.net/ rm/index. php?option=com _content&view=article&id=360:polemik-ruunikah-siri&catid =60:tajuk, diunduh 25 Mei 2010. 16 Farid, Masalah Nikah. 17 An-Nawiy, “Hukum Islam”, hlm. 2. 18 Tiar Anwar Bachtiar, “Pemidanaan Nikah Sirri: Jalan Baru Menyuburkan Perzinaan”, http://persis.or.id/?mod=content&cmd=news&berita_id=1139, diunduh pada 21 Desember 2011. 19 “Ulama Pasuruan Tolak RUU Nikah Siri”, http://www.antaranews.com/berita/1266490613/ulama -pasuruan-tolak-ruu-nikah-siri, diunduh 30 April 2010. 20 Jambi Express, 19 Pebruari 2010. 13
74
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
sebagaimana diatur dalam ketentuan agama (fiqh), sehingga pelakunya tidak boleh dipidanakan karena tidak ada pelanggaran hukum Islam.20 Tampaknya, para penentang pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri lebih menekankan dasar formal hukumnya (selama memenuhi ketentuan syariat) dan tidak mempertimbangkan akibat yang mungkin timbul dari pernikahan tersebut, baik bagi perempuan maupun anak-anak yang lahir. Berbeda dari pendapat tersebut, para pendukung RUU nikah sirri lebih melihatnya dari sisi kemaslahatan, baik bagi pelaku (khususnya perempuan) maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Komisi Nasional Perempuan21 dan Musda Mulia, tokoh feminis Muslim, 22 mendukung pemberian sanksi kepada pelaku nikah siri untuk melindungi perempuan dari ketidakpastian hukum. Pendapat ini didukung oleh pucuk pimpinan Fatayat Nahdlatul Ulama yang juga berpendapat perlunya pemidanaan bagi pelaku nikah sirri karena rentan merugikan perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Dukungan terhadap pemberlakuan sanksi bagi pelaku nikah sirri juga diberikan oleh para ulama di Jombang yang dimotori Zulfikar As’ad, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, dan K. H. Isrofil Amar, ketua PCNU Jombang.23 Upaya pemidanaan pelaku nikah sirri juga mendapat dukungan Majelis Ulama Indonesia karena dinilai merugikan,24 terutama bagi perempuan/istri serta anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Pemahaman tentang respons tersebut ini dapat dijelaskan dalam perspektif teori perilaku atau behavior (Inggris). Dalam kajian psikologi, perilaku (behavior) diartikan sebagai “setiap tindakan manusia atau hewan yang dapat dilihat.”25 Kamus Besar Bahasa Indone“MUI Tak Keberatan”. “Polemik RUU Nikah Siri”. 23 Suara Warga, 18 Pebruari 2010. 24 “MUI Dukung Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri”, http:// us.detiknews.com/read/2010/02/14/ 183051/1299328/10/muidukung -pidana-bagi-pelaku-kawin-siri, diunduh 30 Mei 2010. 25 Kartini Kartono & Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: Pionir Jaya, 1987). 21 22
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
75
Umul Baroroh
sia mendefinisikan perilaku sebagai “tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan”. 26 Berdasarkan definisi tersebut, dalam penelitian ini respons pada rencana legislasi nikah sirri dapat didefinisikan sebagai “tanggapan yang berupa dukungan atau penolakan yang diberikan oleh individu pada rencana undangundang yang mengatur pemberian sanksi bagi para pelakunya.” Bagaimana perilaku manusia muncul atau terbentuk? Dalam pandangan behaviorisme, perilaku merupakan respons terhadap stimulus sehingga penjelasan tersebut lebih dikenal dengan sebutan teori stimulus-respons, disingkat S-R. 27 Teori ini memandang lingkungan sebagai serangkaian stimulus yang merangsang individu sehingga ia akan terdorong untuk memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Pavlov menyimpulkan hasil eksperimennya bahwa respons sebagai perilaku didorong oleh stimulus yang teramati, yang disebut perilaku responsden.28 Sedangkan Skinner berpandangan bahwa perilaku merupakan hasil respons individu terhadap peristiwa (stimulus) yang ada dalam lingkungan. Untuk meningkatkan respons perlu penguatan (reinforcement) yang memperkuat respons yang diharapkan, yang dapat berupa verbal, perasaan, kepuasan, dan sebagainya. Penguatan tersebut akan memengaruhi kemapanan atau perolehan perilaku. 29 Sementara itu, Bandura menggunakan pendekatan sosial-kognitif dalam memahami perilaku.30 Menurut dia, semua perilaku merupakan hasil belajar melalui pengamatan terhadap orang lain dan melakukan pemodelan perilaku, sehingga perilaku yang tidak diharapkan dapat diubah atau dipelajari kembali dengan cara yang sama. Dari uraian tersebut di atas dapat digarisbawahi bahwa respons Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010 [iPad], v. 1.0. Susan Mayhew, “Stimulus-Response Theory”, dalam A dictionary of Geography, www.answer. com/topic/stimulus-response-theory, diunduh pada 5 Pebruari 2012. 28 Duane P. Schultz & Sydney Ellen Schultz, A History of Modern Psychology, Ninth Edition, (Belmount: Thomson Higher Education, 2008), hlm. 344. 29 Schultz & Schultz, A History of Modern Psychology, hlm. 344. 30 Schultz & Schultz, A History of Modern Psychology, hlm. 356-7. 26 27
76
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
terhadap rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri bervariasi, dari yang sangat kuat sampai lunak. Perbedaan pandangan mengenai rencana legislasi pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri tersebut diduga tidak hanya terjadi di kalangan ulama, tetapi juga pada masyarakat luas, termasuk para mahasiswa Muslim, yang menjadi fokus penelitian ini. Respons tersebut dapat merentang dari sangat positif, mendukung sepenuhnya pemberian sanksi bagi pelaku, sampai sangat negatif, menolak dengan keras pemberian sanksi pada pelaku nikah sirri. Faktor-faktor yang Memengaruhi Respons Respons terhadap rencana legislasi nikah sirri merupakan tanggapan yang berupa dukungan atau penolakan mahasiswa Muslim pada rencana undang-undang yang mengatur pemberian sanksi bagi para pelakunya. Sebagai obyek dari tanggapan tersebut adalah rencana legislasi nikah sirri dan pemberian sanksi bagi para pelaku nikah sirri. Tanggapan tersebut dapat bervariasi antarindividu yang merentang dari sangat negatif (menolak dengan keras rencana undang-undang tersebut) sampai sangat positif (mendukung sepenuhnya rencana tersebut). Tingkat dukungan atau penolakan sebagai wujud dari respons tersebut bervariasi antarindividu sejalan dengan bervariasinya faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut di antaranya berkenaan dengan bagaimana individu Muslim mempersepsi dan menilai pernikahan sirri (sikap terhadap nikah sirri), memandang relasi jender (persepsi tentang kesetaraan jender [antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan]), cara bagaimana agama harus dipahami dan diterapkan dalam kehidupan (keberagamaan), serta bagaimana agama dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan (fundamentalisme). Faktorfaktor tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai dan sikap, yang dalam banyak penelitian telah terbukti berhubungan dengan perilaku yang relevan dengan nilai dan sikap tersebut. 31 Karena itu, 31
Bertram H. Raven & Jeffrey Z. Rubin, Social Psychology, (New York:
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
77
Umul Baroroh
keragaman individu dalam faktor-faktor tersebut mendorong terjadinya variasi perilaku mereka, respons terhadap rencana legislasi nikah sirri. Sikap terhadap Nikah Sirri Sikap atau attitude (Inggris) merupakan bagian yang penting dalam kehidupan sosial manusia, karena menentukan perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.32 Hampir semua perilaku seseorang dalam kaitan dengan obyeknya (misalnya orang, kelompok, organisasi, kebijakan), dipengaruhi oleh sikap dia terhadap obyek tersebut. Sikap merupakan fenomena psikologis yang terjadi pada seseorang dalam konteks kehidupan sosialnya sehingga konsep tersebut menjadi bahasan dalam bidang psikologi maupun sosiologi. Bahkan Patty dan kawan-kawan mencatat sikap sebagai istilah tunggal dalam bidang psikologi sosial yang paling banyak diperlukan dalam kehidupan sosial. Sikap merupakan organisasi keyakinan, perasaan, dan kecenderungan bertindak terhadap obyek sosial, kelompok, peristiwa, atau simbol yang relatif abadi,33 yang diperoleh melalui interaksi dengan obyek sosial, bukan pemberian (given), yang dibawa sejak lahir. Fishbein mendefinisikan sikap sebagai “a learned predisposition to responsd to any object in consistently favorable or unfavorable manner with respect to a given object.”34 Sikap juga memiliki atribut yang menandai karakteristik afektif secara umum, yaitu intensitas, arah, dan target.35 John Wiley & Sons, 1983), hlm. 150-5; John D. Delamater & Daniel J. Myers, Social Psychology, (Belmont: Thomson, 2007), hlm. 154. 32 Daniel J. Mueller, Measuring Social Attitudes: A Handbook for Researchers and Practitioners, (New York: Teachers College Press, 1986), hlm. 7. 33 Graham Vaughan & Michael Hogg, Introduction to Social Psychology, (Sydney: Prentice Hall, 1995), hlm. 72. 34 M. Fishbein, & I. Ajzen, Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, (Reading, MA: Addison-Wesley, 1975), hlm. 6. 35 Robert K. Gable, Instrument Development in the Affective Domain, (Boston: Kluwer-Nijhoff Pub., 1986), hlm. 3. 78
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
Berdasarkan pengertian ini, sikap Muslim terhadap nikah sirri didefinisikan sebagai kecenderungan seorang mahasiswa Muslim untuk secara kosisten mendukung atau tidak mendukung terhadap nikah sirri. Dukungan tersebut dapat berupa respons secara positif atau negatif terhadap konsep nikah sirri dan praktik nikah sirri yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Muslim. Tingkat dukungan tersebut bervariasi antarindividu yang dapat merentang dari sangat positif (dukungan yang sangat kuat terhadap nikah sirri) sampai sangat negatif (dukungan yang sangat rendah terhadap nikah sirri). Variasi variabel ini akan terefleksikan pula pada veriasi respons terhadap rencana legislasi nikah sirri. Variasi sikap antarindividu subyek dapat terjadi karena adanya variasi faktor yang memengaruhinya. Di antara faktor tersebut adalah tingkat keberagamaan (bagaimana agama hidup dalam diri seseorang), fundamentalisme keagamaan (bagaimana seseorang memandang ajaran agama dan cara menerapkannya dalam kehidupan saat ini), dan persepsi tentang kesetaraan jender (bagaimana pemahaman seseorang tentang kedudukan laki-laki dan perempuan dan berbagai aspek kehidupan). Karena itu, perubahan atau variasi dalam ketiga faktor ini akan terefleksikan pula pada perubahan atau variasi sikap terhadap nikah sirri. Persepsi tentang Kesetaraan Jender Persepsi merupakan proses kognitif,36 di mana seseorang menerjemahkan kesan inderawi ke dalam pandangan yang koheren dan menyatu tentang dunia di sekitarnya. Robbins mendefinisikan persepsi sebagai “suatu proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberi makna bagi lingkungan mereka.”37 Proses tersebut dilakukan untuk menyaring, memilih, mengorganisir dan menginterpre36
Fred Luthans, Organizational Behavior, (New York: McGraw-Hill,
1995). Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), hlm. 88. 37
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
79
Umul Baroroh
tasikan stimulus-stimulus sehingga stimulus itu bermakna bagi individu tersebut.38 Persepsi seseorang tentang sesuatu tersebut tidak dapat dilepaskan dari bagaimana ia memilih, menerima, mengorganisasikan, dan menafsirkan informasi yang tentang sesuatu tersebut. 39 Karena melalui proses memilih, persepsi seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif, sehingga dapat menimbulkan ketidaksepahaman atau kesepakatan. Konsekuensinya, obyek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh individu yang berbeda.40 Perbedaan antarindividu dapat mendorong perbedaan persepsi antarindividu, meskipun obyeknya sama. Karena itu, persepsi tidak selalu konsisten dengan keakurasian informasi yang diperoleh, tetapi lebih ditentukan oleh kebermaknaannya bagi individu yang bersangkutan.41 Dalam penelitian ini yang menjadi obyek persepsi adalah kesetaraan jender, yakni apakah subyek atau seorang mahasiswa Muslim memandang ada atau tidak ada perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun secara tegas dalam kenyataan ketimpangan jender semakin berkurang, kesetaraan jender belum sepenuhnya terwujud di masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Shuraydi menemukan bahwa persepsi mahasiswa Arab di Amerika cenderung negatif terhadap persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.42 Meskipun telah hidup dalam budaya yang mengagungRicky W. Griffin & Gregory Moorhead, Organizational Behavior: Managing People and Organizations, (Boston: Houhgton Miffin Harcourt, 2006). 39 Schermerhorn Jr., John R., James G. Hunt, & Richard N. Osborn, Organizational Behavior, (Houston: John Wiley & Sons Inc, 2010). 40 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bintang, 1982), hlm. 49. 41 Barry Markovsky, “Social Perception”, http://edu.learnsoc.org/ Chapters/4%20key%20concepts %20in%20sociology /15% 20social %20perception.htm, diunduh pada 20 Desember 2011. 42 Wafa U. Shuraydi, Gender Equity, Women’s Demystification, and Islam: A Symbolic Interactionist Perspective, (disertasi di Wayne State University, 1998). 38
80
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
kan persamaan hak, mereka masih mempersepsi kedua jenis kelamin tidak setara. Meskipun dalam masyarakat Muslim telah mengalami perubahan, pandangan ketidaksetaraan jender masih terjadi karena adanya pengaruh tradisi Yahudi-Kristen.43 Dalam ajaran Islam, perbedaan laki-laki dan perempuan dipandang sebagai suatu yang tidak dapat disangkal.44 Perbedaan pandangan tersebut terjadi pada masyarakat Muslim berakar pada penafsiran sumber ajaran Islam, di mana nilainilai sosial dan budaya memberikan kontribusi yang besar penafsiran ajaran agama.45 Persepsi tentang kesetaraan jender adalah pemahaman dan pandangan seseorang yang berkenaan dengan gambaran mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Persepsi tersebut dapat dilihat dari bagaimana mereka memandang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam urusan rumah tangga, pendidikan, pekerjaan, sosial, dan agama. Persepsi tersebut bervariasi antara individu, yang dapat merentang dari yang sangat positif sampai sangat negatif. Perbedaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari bagaimana mereka memandang hubungan antarjender dalam fungsi sosialnya, sebagai konsekuensi dari tingkat keberagamaan serta fundamentalisme keagamaannya. Karena berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka persepsi tentang kesetaraan jender juga terkait dengan hubungan antara lakilaki dan perempuan, khususnya sikap terhadap nikah sirri dan respons pada rencana legislasi nikah sirri. Mereka yang memiliki persepsi positif terhadap kesetaraan jender cenderung akan memiliki sikap negatif terhadap nikah sirri dan cenderung mendukung (resAbdul Mustaqim, “Metodologi Tafsir Perspektif Gender”, dalam Abdul Mustaqim & Sahiroh Syamsudin (ed.), Studi Alquran Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 84. 44 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Alquran, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. xxxi. 45 Etin Anwar, Gender and Self in Islam: A Philosophical Interpretation, (disertasi di State University of New York, 2003), hlm. 233. 43
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
81
Umul Baroroh
pons positif) terhadap rencana legislasi nikah sirri, dan sebaliknya. Keberagamaan Keberagamaan atau relijiusitas (Inggris: religiosity) merupakan konsep yang digunakan untuk mengacu pada fenomena sosial yang terkait dengan bagaimana agama hidup dalam diri dan dialami oleh pemeluknya.46 Keberagamaan merupakan abstraksi dari fenomena sosial psikologis yang menggambarkan bahwa seseorang “beragama,” yaitu seberapa jauh seseorang memiliki, merasakan, mengamalkan, mewujudkan, mengikatkan diri pada “agama” (ajaran, sistem, lembaga) dalam kehidupannya. Keberagamaan merupakan perilaku seseorang yang dapat mencerminkan bagaimana “agama” ada pada diri orang tersebut, yang sekaligus memiliki implikasi pada perilaku yang lain.47 Ladbury dan Khan, dalam penelitiannya tentang keberagamaan Islam, mengemukakan bahwa keberagamaan merupakan ekspresi diri keyakinan personal dalam fenomena kehidupan tertentu.48 Keberagamaan bukan merupakan konsep yang mengacu pada fenomena tunggal, tetapi pada fenomena jamak, yang tecerminkan dalam aspek atau dimensi yang berbeda dari “kehidupan agama” seseorang. Dimensi tersebut bersifat independen satu sama lain, meskipun saling berhubungan.49 Meskipun sepakat bahwa keberagamaan merupakan konstruk multidimensional, para ahli berbeda pendapat tentang jumlah dimensinya. Hill dan Hood Jr.,50 berdasarkan review terhadap 13 instrumen keberagamaan yang mereka C. Daniel Batson & W. Lerry Ventis, The Religious Experience: A Social-Psychological Perspective, (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 1. 47 Steve Bruce, Conservative Protestant Politics, (Oxford: Oxford University Press, 1998). 48 Sarah Ladbury & Seema Khan, Increased Religiosity among Women in Muslim Majority Countries, (London: The UK Department for International Development, 2008), hlm. 25. 49 Batson & Ventis, The Religious Experience, hlm. 53. 50 Peter C. Hill & Ralph W. Hood (eds.), Measures of Religiosity, (Birmingham: Religious Education Press, 1999), hlm. 269. 46
82
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
bukukan, menunjukkan adanya variasi, dari hanya dua dimensi (oleh W. E. Broen, 1957) sampai 12 dimensi (oleh D. Hoge, 1976). Berdasarkan analisisnya terhadap tradisi Yudeo-Kristiani, Glock mengemukakan ada lima dimensi yang harus dibedakan sebagai ekspresi dari agama, yaitu dimensi ekperiensial, ideologis, ritual (praktik), intelektual (knowledge), dan konsekuensial.51 Dalam perkembangannya, Glock dan Stark menghilangkan dimensi konsekuensial karena dianggap tidak sepenuhnya bagian dari komitmen keberagamaan, tapi sebagai ikutannya.52 Nafis dan kawan-kawan mengembangkan konsep dimensi keberagamaan,53 yang diadaptasikan dari konsep Barat (utamanya Glock dan Stark)54 dengan tetap berpijak pada ajaran Islam. Keberagamaan (Islam) merupakan perpaduan dari keempat dimensi, yaitu keimanan, komitmen, ritual, dan sosial. Dimensi keimanan mencakup keyakinan atau penerimaan subyek atas kebenaran ajaran agama Islam. Sedang dimensi komitmen mengacu pada kesediaan seseorang (Muslim) menanggapi atau merespons ajaran Islam secara positif atau negatif. Dimensi ritual dan sosial mengacu pada intensitas kegiatan subyek dalam menjalankan perintah agama, khususnya masingmasing untuk ibadah kepada Allah (hablun min Allah) dan ibadah sosial (hablun min an-nâs). Keragaman tingkat keberagamaan ini juga berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat personal maupun sosial. Hal ini karena keberagamaan juga mencakup aspek keyakinan, nilai, dan sosial sehingga berbagai aspek kehidupan yang terkait dengan keyakinan, nilai, dan sosial tersebut juga dapat bervariasi antarindividu sejalan dengan variasi keberagamaan mereka. Di antaC. Y. Glock, “On the Study of Religious Commitment”, Review of Recent Research on Religion and Character Formation, Religious Education, July-August (1962), hlm. 98-110. 52 C. Y. Glock & R. Stark, Religion and Society in Tension, (Chicago: Rand McNally, 1965), hlm. 16. 53 M. Nafis, dkk., Keberagamaan Masyarakat Muslim Kodya Semarang, (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 1995). 54 Glock dan Stark, Religion and Society. 51
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
83
Umul Baroroh
ra aspek yang dipengaruhi tersebut adalah sikap terhadap hukum pernikahan, khususnya nikah sirri dan dukungan pada rencana legislasi pemberian sanksi bagi pelakunya, yang tidak bisa dilepaskan dari aspek keyakinan dan sosial. Di samping itu, keberagamaan diduga juga memengaruhi persepsi seseorang tentang kesetaraan jender karena keterkaitan dengan nilai pribadi dan sosial. Fundamentalisme Keagamaan Pada awalnya fundamentalisme digunakan dalam konteks kelompok-kelompok agama Kristen Amerika, yang mengembangkan doktrin penafsiran pokok-pokok ajaran Kristen.55 Mereka menganggap ajaran yang diikuti masyarakat pada masa itu telah menyimpang jauh dari ajaran pokok sebagaimana dinyatakan dalam teks (kitab suci) sehingga untuk meluruskannya harus kembali ke teks. Dalam perkembangannya, istilah tersebut digunakan secara luas mencakup berbagai gerakan keagamaan kontemporer, termasuk dalam tradisi Muslim, Yahudi, Hindu, maupun yang lain.56 Di kalangan Muslim, istilah fundamentalisme tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks historis istilah ini dihubungkan dengan fundamentalisme Kristen.57 Sebagian kalangan menggunakan istilah ushuliyyun untuk menyebut orang-orang yang berpegang teguh kepada pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana terdapat di dalam Alquran dan Hadis. Dalam perspektif psikologi, fundamentalisme merupakan fenomena perilaku yang terjadi pada individu sehingga dapat dipahami secara terpisah dari gerakan. Dalam pandangan ini, fundamentalis ditandai dengan berpikiran-tertutup, tidak bersedia mempertanyakan keyakinannya atau mempertimbangkan pandangan yang lain.58 Moaddel dan Karabenick mengemukakan bahwa fundamenGil S. Epstein & Ira N. Gang, “Understanding the Development of Fundamentalism”, Public Choice, 132, (2007), hlm. 258. 56 Shai Bermanis, Daphna Canetti-Nisim, Ami Pedahzur, “Religious Fundamentalism and the Extreme Right-Wing Camp in Israel”, Patterns of Prejudice, 38, 2, (2004), hlm. 159-176. 57 Akhyar, “Fundamentalisme dalam Agama”, hlm. 10. 58 B. Hunsberger, “Religious Fundamentalism, Right-Wing Authori55
84
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
talisme agama dipahami sebagai seperangkat keyakinan yang khas dan sikap terhadap agama, termasuk kepatuhan pada norma-norma agama, keyakinan terhadap universalitas dan kekekalan prinsipprinsipnya, kesahihan klaim, dan begitu pentingnya bagi kebahagiaan manusia.59 Sementara itu, Laythe, Finkel, Bringle, dan Kirpatrick mengidentifikasi fundamentalisme keagamaan sebagai suatu jenis keyakinan yang militan, yakni pemahaman tentang hanya ada satu kebenaran absolut dan hubungan khususnya dengan Tuhan.60 Berdasarkan studinya terhadap terhadap 18 kelompok gerakan fundamentalis dari berbagai agama, Herriot menemukan lima karakteristik yang menandai kelompok tersebut, yaitu: reaktif (terhadap modernisme), dualisme (kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara hitam-putih, benar [kalau sesuai dengan pandangan mereka] dan salah [kalau tidak sesuai dengan pandangan mereka]), otoritatif (kesediaan untuk menerima teks/kitab suci secara literal dan total, selektif (kecenderungan memilih bagian teks/ kitab suci tertentu untuk penekanan, memilih ajaran mana yang benar dan murni), dan milenialisme (keyakinan bahwa dunia akan mengalami era di mana Tuhan akan menang dan kebaikan akan menang atas kejahatan).61 Kelima karakteristik tersebut tidak selalu muncul bersamaan, tetapi bisa hanya sebagian. Pemahaman ini memberikan petunjuk bahwa fundamentalisme bukan konsep yang hitam putih, fundamentalis atau bukan fundamentalis, tetapi suatu karakteristik yang merentang dari tingkatan yang sangat rendah (lemah dan hanya sebagian kecil saja dari karakteristik tersebut yang tarianism, and Hostility toward Homosexuals in Non-Christian Religious Groups”, The International Journal for the Psychology of Religion, 6, (1996), hlm. 341. 59 Mansoor Moaddel & Stuart A. Karabenick, “Religious Fundamentalism among Young Muslims in Egypt and Saudi Arabia,” Social Forces, 86, 4, (2008), hlm. 1677. 60 Brian Laythe, Deborah G. Finkel, Robert G. Bringle, Lee Kirkpatrick, “Religious Fundamentalism as a Predictor of Prejudice: A Two-Component Model”, Journal for the Scientific Study of Religion, 41, 4, (2002), hlm. 624. 61 Peter Herriot, “Religious Fundamentalism and Social Identity”, Journal of Muslim Mental Health, 3, (2007), hlm. 117. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
85
Umul Baroroh
dimiliki) sampai yang sangat tinggi (kuat dan semua karakteristik dimiliki). Karena merupakan pandangan tentang kehidupan, fundamentalisme akan memengaruhi berbagai asek kehidupan sosial yang terkait dengan nilai agama, seperti persepsi tentang kesetaraan jender, sikap terhadap nikah sirri, dan respons terhadap rencana legislasi nikah sirri.
III. Kerangka Berpikir dan Hipotesis Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah respons terhadap rencana legislasi nikah sirri dan sikap terhadap nikah sirri yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim. Untuk menggambarkan bagaimana variabel ini bervariasi antarsubyek penelitian sebagai konsekuensi dari variasi dalam variabel independen (tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan) dan variabel antara (persepsi tentang kesetaranaan jender) dapat dijelaskan dalam suatu konstalasi yang berupa diagram jalur dalam gambar 1.
Gambar 1. Diagram jalur hubungan antarvariabel. Berdasarkan teori serta kerangka berpikir yang digambarkan dalam model jalur dalam gambar 1, maka dirumuskan hipotesis berikut: H1. Ada pengaruh tingkat keberagamaan dan fundamentalisme 86
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
keagamaan pada persepsi tentang kesetaraan jender. H2. Ada pengaruh tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan pada sikap terhadap nikah sirri, baik langsung maupun tidak langsung (melalui persepsi tentang kesetaraan jender). H3. Ada pengaruh tingkat keberagamaan, fundamentalisme keagamaan, dan persepsi tentang kesetaraan jender pada respons terhadap rencana legislasi nikah sirri, baik langsung maupun tidak langsung (melalui dan sikap terhadap nikah sirri).
IV. Metode Subyek Penelitian ini melibatkan 294 mahasiswa Muslim yang belajar di Universitas Diponegoro Semarang. Mereka dipilih secara klaster berdasarkan fakultas, program studi, dan kelas. Dari pemilihan tersebut diperoleh mahasiswa yang berasal dari empat program studi di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Variabel dan Instrumen Penelitian ini melibatkan dua variabel eksogenus dan sekaligus variabel independen (tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan) serta tiga variabel indogenus (dua di antaranya [persepsi tentang kesetaraan jender dan sikap terhadap nikah sirri] sekaligus sebagai variabel dependen dan independen] dan satu variabel [respons terhadap rencana legislasi nikah sirri] hanya berfungsi sebagai variabel dependen). Pengembangan instrumen dilakukan sesuai dengan karakteristik masing-masing variabel dan dimensinya. Instrumen awal diujicobakan pada 78 subyek dari populasi yang sama dengan penelitian utama, yang hasilnya digunakan untuk kalibrasi validitas butir dan reliabilitas instrumen masing-masing variabel atau dimensi. Secara ringkas, pengukuran masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
87
Umul Baroroh
Respons terhadap rencana legislasi nikah sirri. Variabel ini diukur dengan instrumen yang dikembangkan dengan model skala Likert,62 yang terdiri atas 14 yang diseleksi dari 20 butir berdasarkan validasi dari hasil ujicoba instrumen variabel tersebut. Setiap butir instrumen disusun dalam bentuk positif atau negatif, dan diikuti oleh empat alternatif jawaban, Sangat Setuju, Setuju, Kurang Setuju, dan Tidak Setuju, yang menunjukkan tingkat persetujuan subyek pada isi pernyataan tersebut. Analisis reliabilitas dengan teknik Cronbach63 terhadap butir-butir yang valid menghasilkan koefisien reliabilitas, alpha, α = 0,83. Sikap terhadap nikah sirri didefinisikan sebagai kecenderungan seorang Muslim untuk secara kosisten mendukung atau tidak mendukung terhadap nikah sirri. Instrumen variabel ini juga dikembangkan dengan menggunakan model skala Likert. Butir disusun dalam bentuk kalimat positif (mendukung nikah sirri) dan negatif (tidak mendukung nikah sirri), yang diikuti oleh empat alternatif jawaban, Sangat Setuju, Setuju, Kurang Setuju, dan Tidak Setuju. Instrumen terdiri dari 19 butir (yang dipilih dari 20 butir instrumen awal), dengan tingkat reliabilitas Cronbach alpha: α = 0,86. Persepsi tentang kesetaraan jender adalah pemahaman dan pandangan seseorang yang berkenaan dengan gambaran mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam semua bidang kehidupan. Instrumen variabel ini dikembangkan untuk mengukur kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam urusan rumah tangga, pendidikan, pekerjaan, sosial, dan agama. Instrumen terdiri atas 20 butir (yang dipilih dari 25 butir). Uji reliabilitas internal dengan teknik alpha Cronbach menghasilkan nilai α = 0,81, menunjukkan reliabilitas yang tinggi. Tingkat keberagamaan merupakan variabel konseptual yang Rensis Likert, A Technique for the Measurement of Attitudes, (New York: Archives of Psychology, 1932). 63 Lee J. Cronbach, “Coeficient Alpha and the Internal Structure of Test,” Psychometrika,16, (1951), hlm. 299. 62
88
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
kompleks, berdimensi jamak atau multidimension, yang terdiri atas dimensi keyakinan, ritual, sosial, dan komitmen. Karena multidimensional, variabel ini diukur dengan menggunakan indeks, yang merupakan skor komposit dari hasil pengukuran masing-masing dimensinya, yang dilakukan secara berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing. Karena deskriptif, uji validitas instrumen dimensi ritual dan sosial hanya dilakukan secara konseptual (expert judgement). Sedangkan uji validitas instrumen dimensi keyakinan dan komitmen dilakukan secara konseptual maupun empiris. Dari uji validitas empiris diperoleh 19 butir valid untuk keyakinan (dengan reliabilitas, α = 0,65) dan 16 butir valid untuk komitmen (dengan reliabilitas, α = 0,79). Fundamentalisme keagamaan adalah cara memandang dan memahami ajaran agama yang dimiliki oleh seorang Muslim dalam kaitan dengan persoalan kehidupan saat ini, khususnya yang berkaitan dengan reaksi, dualisme, otoritas, selektivitas, dan minnealitas. Buti-butir instrumen dikembangkan dengan model skala Likert,64 dalam bentuk pernyataan yang diikuti oleh empat alternatif jawaban. Kalibrasi terhadap hasil ujicoba menghasilkan 15 butir valid, dan tingkat reliabilitas internal alpha Cronbach,65 α = 0,70. Analisis Data Untuk menguji hipotesis, data dianalisis secara simultan dengan menggunakan analisis jalur (path analysis).66 Secara teknis, analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga tahap analisis regresei ganda (multiple regression), yang menghasilkan koefisien jalur (p) serta taraf signifikansinya (α). Hipotesis penelitian dapat diterima bila hasil analisis signifikan pada taraf 5 persen. Dengan analisis ini dapat diungkap pengaruh langsung masing-masing variabel independen pada masing variabel dependennya. Selanjutnya, dengan melakukan Likert, A Technique. Cronbach, “Coeficient Alpha”, hlm. 299. 66 Elazar P. Pedhazur, Multiple Regression in Behavioral Research: Explanation and Prediction, (New York: CBS College, 1982), hlm. 577-622. 64 65
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
89
Umul Baroroh
dekomposisi dapat diungkap pengaruh tidak langsung variabel eksogenus terhadap variabel dependen melalui variabel antara. Berdasarkan hasil analisis tersebut dihitung besarnya pengaruh atau proporsi varian variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel dependen.
V. Hasil Dalam rangka menguji hipotesis, data dianalisis dalam tiga tahapan regresi. Karena merupakan satu rangkaian, hasil analisis tersebut No.
Hubungan antar variabel
Lambang
P
Prob. Kesimp.
1.
Tingkat Keberagamaan dengan Persepsi tentang Kesetaraan Jender
pY1X1
-0,12
0,035 Sig.
2.
PY1X2 Fundamentalisme Keagamaan dengan Persepsi tentang Kesetaraan Jender
-0,18
0,002 Sig
3.
Tingkat Keberagamaan dengan Sikap terhadap Nikah Sirri
PY2X1
-0,02
0,695 Tdk. Sig.
4.
Fundamentalisme Keagamaan dengan Sikap terhadap Nikah Sirri
PY2X2
-0,11
0,039 Sig
5.
Persepsi tentang Kesetaraan Jender dengan Sikap terhadap Nikah Sirri
PY2Y1
-0,41 <0,001 Sig
6.
Tingkat Keberagamaan dengan Respons pada Rencana Legislasi Nikah Sirri
PY3X1
-0,01
0,829 Tdk. Sig.
7.
Fundamentalisme Keagamaan dengan Respons pada Rencana Legislasi Nikah Sirri
PY3X2
0,03
0,51 Tdk. Sig.
8.
Persepsi tentang Kesetaraan Jender dengan Respons pada Rencana Legislasi Nikah Sirri
PY3Y1
-0,01
0,899 Tdk. Sig.
9.
Sikap terhadap Nikah Sirri dengan Respons pada Rencana Legislasi Nikah Sirri
PY3Y2
-0,66 <0,001 Sig.
Tabel 1. Koefisien jalur (p) variabel independen terhadap variabel dependen. 90
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
selanjutnya disatukan dalam suatu model analisis jalur atau path analisis. Rangkuman hasil secara singkat disajikan dalam tabel dan diagram jalur sebagaimana dalam tabel 1. Secara simultan, pengaruh masing-masing variabel independen pada variabel dependennya serta koefisien jalur tersebut dapat dengan mudah digambarkan dalam gambar 2.
Gambar 2. Koefisien jalur variabel independen terhadap variabel dependen. Diagram dalam gambar 2 memperlihatkan arah pengaruh masing-masing variabel independen secara langsung maupun tidak langsung terhadap variabel dependennya. Pertama, tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan berpengaruh secara signifikan pada persepsi tentang kesetaraan jender. Hubungan antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen hanya dibatasi pada pola hubungan langsung saja, tanpa hubungan tidak langsung. Tingkat keberagamaan dan persepsi tentang kesetaraan jender memiliki pola hubungan langsung negatif (DE = Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
91
Umul Baroroh
py1x1= -0,122). Sedangkan fundamentalisme keagamaan memiliki pola hubungan langsung negatif (DE = py1x1= -0,184) dengan persepsi tentang kesetaraan jender. Kedua variabel independen memiliki sumbangan efektif 5,6 persen pada varian persepsi tentang kesetaraan jender, terdiri atas 1,8 persen dari keberagamaan dan 3,8 persen dari fundamentalisme keagamaan. Dengan demikian, hipotesis penelitian 1 (H1) yang menyatakan: “Ada pengaruh tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan pada persepsi tentang kesetaraan jender” diterima. Kedua variabel independen/ eksogenus ini memiliki pengaruh negatif yang signifikan secara langsung pada persepsi tentang kesetaraan jender. Semakin tinggi tingkat keberagamaan subjek, semakin negatif persepsi mereka tentang kesetaraan jender. Selanjutnya, hipotesis kedua yang menyatakan “Ada pengaruh tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaanpada sikap terhadap nikah sirri, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui persepsi tentang kesetaraan jender)” tidak bisa diterima sepenuhnya. Hal ini karena tidak semua pola pengaruh kedua variabel signifikan. Variabel tingkat keberagamaan tidak memiliki pengaruh langsung. Variasi tingkat keberagamaan yang dimiliki oleh subyek (mahasiswa Muslim) tidak diikuti secara konsisten oleh variasi sikap terhadap nikah sirri. Namun demikian, tingkat keberagamaan berpengaruh tidak langsung pada sikap terhadap nikah sirri (melalui persepsi tentang kesetaraan jender) ( py2y1 py1x1 = (0,412)(-0,122) = 0,050). Sementara itu, pengaruh fundamentalisme keagamaan pada sikap terhadap nikah sirri signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola hubungan langsung antara keduanya ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur = py2x2 = -0,114. Sedangkan pola hubungan tidak langsung terjadi melalui persepsi tentang kesetaraan jender, yang hasilnya adalah py2y1 py1x2= (0,412)(-0,184) = 0,076. Dengan hasil tersebut, kedua variabel independen memberikan sumbangan efektif yang sama pada sikap terhadap nikah sirri (Y2), yaitu 0,1 persen, sehingga secara keseluruhan keduanya memberikan sumbangan efektif sebesar 0,2 persen 92
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
pada varian sikap terhadap nikah sirri. Karena kecilnya sumbangan tersebut, secara praktis pengaruh kedua variabel independen tersebut kurang bermakna. Sebagaimana fundametalisme, persepsi tentang kesetaraan jender juga berpengaruh negatif yang signifikan pada sikap terhadap nikah sirri. Pengaruh tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur dan taraf signifikansinya, yaitu =py2y1 = -0,412dan p<0,001. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin positif persepsi tentang kesetaraan jender, semakin negatif sikap mereka pada nikah sirri. Mereka yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama dalam semua aspek kehidupan cenderung menolak praktik nikah sirri. Sebaliknya, mereka yang berpandangan bahwa kedua jenis kelamin tidak harus diperlakukan sama dalam semua aspek kehidupan cenderung menerima praktik nikah sirri. Lebih lanjut, hipotesis 3 (H3) yang menyatakan: “Ada pengaruh tingkat keberagamaan, fundamentalisme keagamaan dan persepsi tentang kesetaraan jender pada respons terhadap rencana legislasi nikah sirri, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui persepsi tentang kesetaraan jender dan sikap terhadap nikah sirri)” tidak dapat diterima sepenuhnya. Hal ini karena semua pengaruh langsung dari ketiga variabel independen tersebut dan pengaruh tidak langsung fundamentalisme keagamaan pada tingkat keberagamaan tidak signifikan. Sedangkan pengaruh tidak langsung melalui sikap terhadap nikah sirri dan persepsi tentang kesetaraan jender signifikan. Pengaruh fundamentalisame keagamaan hanya menyumbangkan 0,4 persen pada varian respons pada rencana legislasi nikah sirri, sehingga secara praktis tidak bermakna. Sedang pengaruh tidak langsung persepsi tentang kesetaaraan jender memberikan sumbangan 6,6 persen pada varian respons pada rencana legislasi nikah sirri. Dengan kata lain, secara statistik dan praktis hanya persepsi tentang kesetaaraan jender yang memengaruhi (secara tidak langsung melalui sikap terhadap nikah sirri) respons pada rencana legislasi nikah sirri. Hal ini berarti bahwa variasi respons mahasiswa muslim pada rencana legislasi nikah sirri tidak memiliki kecendeInnovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
93
Umul Baroroh
rungan yang konsisten dengan variasi tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan mereka. Sebagaimana kedua variabel eksogenus, persepsi tentang kesetaraan jender pada respons pada rencana legislasi nikah sirri juga tidak berpengaruh signifikan, py2y1 = -0,006 dan p = 0,900. Hasil ini menunjukkan bahwa variasi persepsi subyek tentang kesetaraan jender tidak serta merta diikuti secara konsisten oleh respons mereka pada rencana legislasi nikah sirri. Mereka yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama dalam semua aspek kehidupan tidak memiliki kecenderungan secara konsisten menolak atau mendukung rencana legislasi nikah sirri yang digagas oleh pemerintah. Demikian juga, mereka yang berpandangan sebaliknya. Berbeda dari ketiga variabel independen tersebut, sikap terhadap nikah sirri berpengaruh negatif yang signifikan pada respons pada rencana legislasi nikah sirri, py3y2 = -0,659 dan p<0,001. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin positif sikap mereka terhadap nikah sirri, semakin negatif respons mereka pada rencana legislasi nikah sirri. Mereka yang dapat menerima praktik nikah sirri cenderung menolak rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri. Sebaliknya, mereka yang menolak praktik nikah sirri cenderung mendukung rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri.
VI. Pembahasan Pemaparan hasil penelitian sebagaimana dalam bagian tersebut di atas mengarahkan pada beberapa temuan pokok yang tidak sepenuhnya mendukung hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Sesuai dengan tahapan analisisnya, temuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengaruh Keberagamaan dan Fundamentalisme pada Persepsi tentang Kesetaraan Jender Secara deskriptif persepsi tentang kesetaraan jender yang dimiliki 94
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
oleh mahasiswa Muslim bervariasi, dari sangat negatif (memandang bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara atau sederajat) sampai sangat positif (tidak ada perbedaan antara laki-laki dalam memerankan berbagai aspek kehidupan sosial maupun agama). Namun demikian, secara umum rerata skor mereka menunjukkan bahwa persepsi mereka cenderung posistif, yakni sebagian besar dapat menerima kesetaraan atau kesedarajatan antara kedua jenis kelamin dalam berbagai aspek kehidupan. Sedangkan sebagian kecil yang lain cenderung negatif atau menolaknya. Bervariasinya persepsi mahasiswa ini kemungkinan karena adanya perbedaan dalam cara memandang relasi jender. Subjek yang memiliki persepsi negatif cenderung memandang relasi jender yang sudah mentradisi sebagai suatu kewajaran, bahkan sebagai suatu kodrat yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Konsekuensinya, mereka sulit menerima kesetaraan jender tersebut. Sedangkan subjek yang memiliki persepsi positif cenderung melihat ketidaksetaraan jender merupakan suatu yang diciptakan untuk mempertahankan status quo, yang sebenarnya tidak sesuai dengan kodrat manusia yang terlahir setara. Karena itu, relasi jender tersebut perlu dikembalikan sesuai dengan kodratnya ketika lahir. Konsekuensinya, mereka cenderung dapat menerima kesetaraan jender dalam berbagai aspek kehidupan. Temuan ini sejalan dengan temuan Shuraydi tentang kesetaraan jender di kalangan pemuda Muslim keturunan Arab di Amerika Serikat.67 Ia menemukan bahwa meskipun para pemuda tersebut telah hidup dalam budaya Amerika, pandangan mereka tentang kesetaraan tersebut masih tetap bervariasi, dari yang menerima sepenuhnya sampai yang menolak dengan keras kesetaraan tersebut. Berbagai alasan yang melatarbelakangi pandangan mereka, di antaranya adalah budaya patriakhal yang masih bertahan dan masih dipelihara oleh keluarga Arab di Amerika Serikat. Lebih lanjut, kesetaraan jender bukan semata-mata masalah sosial, tetapi juga masalah agama terutama terkait dengan cara 67
Shuraydi, Gender Equity, hlm. 87.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
95
Umul Baroroh
memahami sumber ajaran agama. Dalam Islam, terdapat teks yang dapat dikaitkan dengan relasi jender, misalnya QS: 4:34, yang berisi tentang kepemimpinan. Ulama yang menafsirkan secara tekstual menyimpulkan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari pada perempuan karena ayat tersebut secara jelas menyatakan laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan. 68 Konsekuensinya, mereka cenderung menolak kesetaraan jender yang mereka anggap tidak sesuai dengan teks. Sementara ulama yang menafsirkan secara kontekstual menekankan kualitas pemimpin, yakni karakteristik keunggulan yang harus dimiliki oleh pemimpin, yang dapat dimiliki oleh jenis kelamin apa pun sehingga pemimpin dapat dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan. 69 Konsekuensinya, mereka mendukung kesetaraan jender. Karena perbedaan persepsi tersebut terkait dengan cara memahami teks, persepsi mahasiswa tentang kesetaraan jender tersebut tidak dapat dilepaskan dari tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan. Kedua variabel ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemeluk agama memahami ajaran agamanya. Karena itu, mereka yang memahami ajaran agama secara literal dan kaku cenderung akan memiliki tingkat keberagamaan dan fundamentalisme yang tinggi. Sedangkan mereka yang memahami ajaran agama secara kontekstual cenderung memiliki tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan yang rendah. Berdasarkan cara pandang yang demikian, maka diduga variasi subyek dalam kedua variabel juga akan tecerminkan secara terbalik dalam variasi persepsi mereka tentang kesetaraan jender. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan mahasiswa Muslim, semakin negatif persepsi mereka, semakin negatif persepsi mereka tentang kesetaraan jender, dan sebaliknya. Misalnya Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fiqh Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan sampai Wanita Karir, terj. YHM Basyaruddin, (Jakarta: Amzah, 2003), hlm. 35-36. 69 Misalnya Amina Wadud Muhsin, Wanita di Dalam Alquran, terj. Yaziar Radiati, (Bandung: Pustaka, 1992), hlm. 92-98. 68
96
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
Pengaruh Keberagamaan, Fundamentalisme, dan Persepsi tentang Kesetaraan Jender terhadap Sikap terhadap Nikah Sirri Sebagaimana persepsi tentang kesetaraan jender, sikap mahasiswa Muslim terhadap nikah sirri juga bervariasi, merentang dari sangat negatif (menolak dengan keras) sampai sangat positif (menerima sepenuhnya) praktik nikah sirri. Kecenderungan negatif sikap tersebut menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa kurang bisa menerima praktik nikah sirri. Meskipun secara agama sah, nikah sirri tidak diakui oleh negara karena tidak dilakukan pencatatan. Dalam hal ini tampaknya sebagian besar mahasiswa tidak melihat pernikahan dari sisi agama semata, tetapi juga sisi sosial sebagai warga negara. Pernikahan juga dilihat sebagai bagian dari hubungan jender (antara laki-laki dan perempuan), yang polanya terkait dengan kesetaraan jender. Lebih dari itu, kepastian hukum bagi pelaku (suami atau istri) serta anak-anak tidak dapat diperoleh melalui nikah sirri. Lebih lanjut, kecenderungan penyebaran skor sikap terhadap nikah sirri yang sangat variatif tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa Muslim yang memiliki skor tinggi positif dapat menerima pernikahan tersebut. Penerimaan tersebut kemungkinan karena pemahaman agamanya yang literal, yang memiliki dasar nash maupun praktik di masa lalu. Dalam literatur hukum Islam (fiqh) dan sejarah Islam, misalnya, tidak dijumpai adanya ketentuan yang mewajibkan untuk mencatatkan perkawinan ke lembaga negara. Selama dilakukan sesuai dengan yariat, perkawinan tersebut sah. Pencatatan perkawinan ke lembaga negara mereka pandang tidak ada kaitan dengan hukum agama. Karena pandangan yang demikian inilah, banyak dijumpai kasus pernikahan sirri yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Alasan mereka adalah karena agama membolehkan70 dan karena pemahaman agama yang kuat.71 Variasi pandangan mahasiswa tersebut tidak dapat dipisahkan dari pandangan para ahli agama. Di antara para ahli tersebut meman70 71
Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan, hlm. 173-5. Masluhah, “Tradisi Perkawinan Sirri”, hlm. 1.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
97
Umul Baroroh
dang tidak ada persoalan hukum untuk melakukan nikah sirri selama dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariah.72 Negara Indonesia tidak dapat mewajibkan keabsahan pernikahan dengan pencatatan karena bukan negara Islam. Nikah merupakan urusan agama sehingga negara tidak berhak ikut campur menentukan keabsahannya. Sementara itu, sebagian ahli yang lain73 memandang bahwa ketentuan kewajiban mencatatkan perkawinan yang ditentukan dalam undangundang harus dilaksanakan untuk sahnya suatu pernikahan. Kelompok ini juga menggunakan pertimbangan konteks kehidupan sekarang sebagai pertimbangan dalam menentukan keabsahan nikah. Karena banyak madaratnya (terutama bagi perempuan), maka mereka menentang pernikahan tersebut (dengan menganggapnya tidak sah). Perbedaan pandangan para ahli tersebut juga tecerminkan dalam perbedaan pandangan para mahasiswa. Konsekuensinya, mahasiswa yang terpengaruh oleh ahli yang memandang nikah sirri sesuai dengan ajaran agama (dalam pemahaman mereka), maka sikap mereka terhadap nikah sirri positif. Sedangkan mereka yang terpengaruh oleh ahli yang memahami ajaran agama secara kontekstual akan menolak/tidak mendukung praktik nikah sirri karena tidak sesuai dengan ketentuan agama (dalam pemahaman mereka) sehingga sikap mereka negatif. Berdasarkan penjelasan tersebut, sikap mereka tidak dapat dilepaskan dari tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan yang sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemeluk agama memahami ajaran agamanya. Mereka yang memahami ajaran agama secara literal dan kaku cenderung akan memiliki tingkat keberagamaan dan fundamentalisme yang tinggi. Sedangkan mereka yang memahami ajaran agama secara kontekstual cenderung memiliki tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan yang 72
Misalnya Farid, Masalah Nikah, hlm. 24; An-Nawi, “Hukum Islam”,
hlm. 3. Misalnya Majelis Ulama Indonesia dan Siti Musdah Mulia. Lihat “MUI Dukung Pidana”; “Polemik RUU”. 73
98
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
rendah. Berdasarkan cara pandang yang demikian ini diduga variasi subyek dalam kedua variabel juga akan tecerminkan dalam variasi Sikap mereka pada nikah sirri. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan mahasiswa, semakin positif sikap mereka terhadap nikah sirri. Lebih dari itu, nikah sirri merupakan masalah hubungan jender (antara laki-laki dan perempuan). Dalam keluarga yang dibentuk melalui nikah sirri, posisi perempuan (istri) sangat lemah di hadapan laki-laki (suami) karena keberlangsungan pernikahannya sangat tergantung padanya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki tidak setara. Karena itu, sikap seseorang terhadap nikah sirri juga terkait dengan bagaimana pandangan atau pemahaman dia tentang hubungan antarjender. Mereka mempersepsi laki-laki dan perempuan setara dalam berbagai aspek kehidupan, cenderung akan menolak (negatif terhadap) nikah sirri. Sebaliknya, mereka yang mempersepsi laki-laki dan perempuan tidak setara, cenderung akan mendukung (positif terhadap) nikah sirri. Karena itu, semakin positif persepsi tentang kesetaraan jender, semakin negatif sikapnya terhadap nikah sirri, dan sebaliknya. Dari ketiga variabel independen, secara statistik maupun praktis hanya persepsi tentang kesetaraan jender yang memengaruhi variasi sikap mahasiswa terhadap nikah sirri. Sedangkan keberagamaan dan fundamentalisme tidak berpengaruh secara meyakinkan (statistik dan atau praktis). Variasi cara bagaimana Muslim memandang dan memahami ajaran agamanya tidak terefleksikan secara konsisten pada variasi sikap mereka terhadap nikah sirri. Temuantemuan tersebut memberikan petunjuk bahwa variasi sikap mahasiswa muslim pada nikah sirri lebih dominan dipengaruhi pandangan atau penilaian mereka tentang hubungan sosial, khususnya hubungan jender (antarjenis kelamin), dari pada cara pandang keagamaan, khususnya bagaimana cara memahami ajaran agama dan cara menerapkannya dalam kehidupan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena pernikahan sirri lebih dipandang sebagai masalah sosial (hubungan antarindvidu) daripada masalah agama. Meskipun agama Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
99
Umul Baroroh
tetap penting untuk menentukan keabsahan nikah, pertimbangan aspek sosial lebih penting untuk menilai keabsahan nikah sirri. Lebih lanjut, tidak signifikan dan bermaknanya pengaruh keberagamaan pada sikap terhadap nikah sirri tersebut kemungkinan karena dalam analisis diperlakukan sebagai fenomena tunggal, tidak sebagaimana teorinya, yang memiliki beberapa dimensi dengan karakteristik yang berbeda. Sesuai dengan teori yang dijadikan pijakan dalam penelitian ini, keberagamaan memiliki komponen yang tak teramati karena bersifat mental/psikologis (keyakinan dan komitmen) dan yang teramati karena berupa perilaku (ritual dan sosial). Implikasi dari kemungkinan ini adalah bahwa dalam rangka memahami faktor-faktor sikap terhadap nikah sirri, penelitian di masa mendatang perlu mengkaitkan sikap tersebut dengan dimensi keberagamaan secara terpisah. Pengaruh Keberagamaan, Fundamentalisme, Persepsi tentang Kesetaraan dan Sikap terhadap Nikah Sirri pada Respons pada Rencana Legislasi Nikah Sirri Secara deskriptif, respons mahasiswa Muslim pada rencana legislasi pemberian sanksi bagi para pelaku nikah sirri yang digagas oleh pemerintah sangat beragam, merentang dari yang mendukung sepenuhnya sampai menolak dengan keras. Namun demikian, secara umum respons mereka termasuk moderat meskipun cenderung positif karena kecenderungan pemusatannya hanya sedikit di atas rerata teoretis. Variasi respons mahasiswa Muslim pada rencana legislasi nikah sirri tersebut di atas nampaknya sejalan dengan argumen para pemuka dan ahli agama dalam menanggapi rencana tersebut. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, para pemuka dan ahli agama berbeda pendapat tentang rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri, yang digagas oleh pemerintah. Para penentang pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri lebih menekankan dasar formal hukumnya (selama memenuhi ketentuan syariat) yang dipahami secara tekstual. An-Nawi, misalnya, berpendapat bahwa 100
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
pemerintah tidak boleh memberikan sanksi bagi pelaku nikah sirri, karena Indonesia bukan negara yang didasarkan agama.74 Dengan alasan yang berbeda, Bakhtiar menentang pemidanaan pelaku nikah sirri karena tidak ada nash yang mengharuskan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya ke negara.75 Penentangan terhadap rencana pemidanaan pelaku nikah sirri juga dilakukan oleh para kyai di Pasuruan, Jawa Timur, karena mereka menganggapnya sebagai bertentangan dengan syariat Islam.76 Sementara itu, para pendukung pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri lebih mendasarkan pada sisi kemaslahatan, khususnya perempuan, yang menunjukkan perlunya pertimbangan konteks kehidupan dalam memahami ajaran agama. Komisi Nasional Perempuan77 dan Musdah Mulia,78 misalnya, mendukung pemberian sanksi kepada pelaku nikah sirri karena adanya pelanggaran administratif yang dapat berdampak negatif bagi perempuan. Pelarangan nikah sirri yang diberlakukan oleh beberapa negara Islam (seperti Tunisia dan Turki) juga menjadi penguat argumen mereka untuk mendukung rencana legislasi tersebut.79 Temuan tersebut di atas mengindiskasikan bahwa aspek agama yang hidup dalam diri mahasiswa Muslim tidak berpengaruh pada respons mereka terhadap rencana pemerintah untuk memberikan sanksi secara legal pada pelaku nikah sirri. Variasi tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan tidak secara konsisten diikuti oleh variasi respons pada rencana legislasi nikah sirri. Temuan ini menunjukkan bahwa cara memahami dan cara bagaimana menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan saat ini tidak terefleksikan dalam cara bagaimana mereka merespons rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri. Penjelasan ini nampaknya sejalan dengan hasil penelitian yang 74 75 76 77 78 79
An-Nawi, “Hukum Islam”, hlm. 2. Tiar Anwar Bachtiar, “Pemidanaan Nikah Sirri”, hlm. 2. “Ulama Pasuruan”. “MUI Tak Keberatan”. “Polemik RUU”. Tempo, 17 Pebruari 2010.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
101
Umul Baroroh
dilakukan di Amerika Serikat oleh Brunbough, Sanches, Nock, dan Wright, yang menyimpulkan bahwa pengalaman keluarga memiliki hubungan positif dengan dukungannya pada hukum perkawinan sejenis.80 Mereka yang menganggap hubungan tersebut tidak sesuai kaidah moral akan cenderung memiliki sikap negatif terhadap legalisasi perkawinan sejenis. Sedangkan mereka yang menganggap hubungan sesama jenis tidak bertentangan dengan standar moral akan cenderung mendukung legalisasi perkawinan sesama jenis. Tidak signifikannya pengaruh kedua variabel eksogenus tersebut kemungkinan juga karena para mahasiswa Muslim cenderung memandang pemberian sanksi pada pelaku nikah sirri sebagai masalah sosial dalam bermasyarakat dan bernegara, bukan sebagai masalah agama. Karena itu, ketika mereka menanggapi rencana legislasi tersebut lebih dominan menggunakan pertimbangan kontekstual dalam kehidupan saat ini daripada pertimbangan keagamaan. Pertimbangan kontekstual tersebut dapat berupa pengalaman mereka bersinggungan dengan praktik nikah sirri di masyarakat. Karena kedua pertimbangan memiliki dasar yang berbeda, hasilnya tidak selalu sejalan. Konsekuensinya, variasi skor subyek dalam variabel tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan tidak selalu sejalan dengan variasi skor mereka dalam variabel respons pada rencana legislasi nikah sirri. Temuan ini memberikan petunjuk adanya konsistensi antara fenomena psikologis yang tidak teramati secara langsung dengan fenomena perilaku yang teramati. Hal ini dapat terjadi karena kedua variabel (sikap dan respons pada rencana legislasi) memiliki obyek yang sama, yakni nikah sirri. Lebih dari itu, temuan ini juga menunjukkan bahwa perilaku subyek (mahasiswa Muslim) sangat tergantung pada faktor psikologis yang relevan. Hal ini karena sikap seseorang memiliki komponen keyakinan terkait tentang obyek, Stacey M. Brumbaugh, Laura A. Sanchez, Steven L. Nock, & James D. Wright, “Attitudes toward Gay Marriage in States, Undergoing Marriage Law Transformation”, Journal of Marriage and Family, 70, (2008), hlm. 345. 80
102
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
yang menjadi dasar untuk memberikan penilaian obyek tersebut sehingga ia suka atau tidak suka, yang pada akhirnya mendorongnya untuk berperilaku dengan cara tertentu pada obyek tersebut.81 Dalam kaitan dengan temuan ini dapat dijelaskan demikian: keyakinan mahasiswa Muslim tentang nikah sirri (baik, dapat diterima karena sesuai ketentuan syariah, atau tidak baik, tidak dapat diterima karena banyak madaratnya) memengaruhi penilaiannya sehingga ia akan mendudung (hasil penilaiannya positif) atau tidak mendukung (hasil penilaiannya negatif) nikah sirri, yang pada gilirannya akan menentukan cara mereka bertindak dalam kaitan dengan nikah sirri. Sementara itu, respons pada rencana legislasi nikah sirri merupakan bentuk perilaku yang relevan dengan keyakinan, penilaian, serta kecenderungan berperilaku dari sikap tersebut. Karena itulah respons tersebut konsisten secara berlawanan dari sikap. Bagi yang memiliki sikap positif pada nikah sirri, responsnya akan negatif karena rencana legislasi tersebut akan merugikan pelaku nikah sirri yang mereka anggap sudah sesuai dengan ketentuan syariah dan tidak melanggar aturan pencatatan karena tidak wajib. Sedang bagi yang memiliki sikap negatif pada nikah sirri, responsnya akan positif karena rencana legislasi tersebut akan mencegah terjadinya pelanggaran ketentuan leabsahan nikah (yang harus dicatatkan) dan secara legal melindungi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari keempat variabel independen dalam model analisis ini hanya dua saja yang memengaruhi respons mahasiswa pada rencana legislasi nikah sirri, yaitu persepsi tentang kesetaraan jender dan sikap terhadap nikah sirri. Sedangkan dua variabel lain, keberagamaan dan fundamentalisme, tidak berpengaruh pada respons mahasiswa. Kedua variabel pertama tersebut memiliki pola yang berbeda dalam memengaruhi respons tersebut. Persepsi tentang kesetaraan jender berpengaruh pada respons pada rencana legislasi nikah sirri secara tidak langsung melalui sikap terhadap nikah sirri. Sedangkan pengaruh sikap terhadap nikah sirri pada respons pada rencana legislasi nikah sirri 81
Voughan dan Hog, Introduction to Social, hlm. 186.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
103
Umul Baroroh
bersifat langsung, tanpa melalui varaibel lain. Temuan ini memberikan petunjuk bahwa aspek sosial lebih dominan dari pada aspek keagamaan dalam memengaruhi respons pada rencana legislasi nikah sirri. Ketiga variabel yang terkait tersebut tidak terlepas dari konsep hubungan jender, yakni bagaimana menempatkan dan memperlakukan laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan yang melibatkan keduanya. Mahasiswa yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama dalam berbagai aspek kehidupan, akan memiliki persepsi yang positif tentang kesetaraan jender. Persepsi positif ini akan memengaruhi keyakinan, perasaan, maupun kecenderungan bertindaknya sehingga ia akan bersikap negatif terhadap nikah sirri karena pernikahan ini tidak menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama. Sikap negatif tersebut mendorongnya untuk berperilaku secara positif pada segala sesuatu yang akan menghalangi/mencegah terjadinya nikah sirri, sehingga ia akan mendukung upaya yang ada kaitan dengan hal tersebut, yakni rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri. Sebaliknya, mahasiswa yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh diperlakukan sama dalam banyak aspek kehidupan, akan memiliki persepsi yang negatif tentang kesetaraan jender. Persepsi negatif ini akan memengaruhi keyakinan, perasaan, maupun kecenderungan bertindaknya sehingga ia akan bersikap positif terhadap nikah sirri karena pernikahan ini tidak menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi masing-masing yang tidak sama. Sikap positif tersebut mendorongnya untuk berperilaku secara negatif pada segala sesuatu yang akan menghalangi/mencegah terjadinya nikah sirri, sehingga ia akan menolak upaya yang ada kaitan dengan hal tersebut, yakni rencana pemberian sanksi bagi pelaku nikah sirri.
VII. Penutup Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa tidak semua hipotesis yang diajukan dapat diterima sepenuhnya secara empiris. Pertama, tingkat keberagamaan dan fundamentalisme keagamaan secara empiris 104
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
memiliki pengaruh langsung negatif yang signifikan pada persepsi tentang kesetaraan jender. Akan tetapi, kedua variabel menjelaskan hanya 5,6 persen dari variasi persepsi tentang kesetaraan jender. Kedua, secara signifikan tingkat keberagamaan berpengaruh tidak langsung (melalui persepsi tentang kesetaraaan jender) dan fundamentalisme keagamaan berpengaruh langsung dan tidak langsung (melalui persepsi tentang kesetaraaan jender) pada sikap terhadap nikah sirri. Akan tetapi, pengaruh tersebut secara praktis kurang bermakna karena hanya memberikan sumbangan yang sangat kecil (0,2 persen) dari variansi sikap terhadap nikah sirri. Ketiga, pengaruh langsung dan tidak langsung tingkat keberagamaan serta pengaruh langsung fundamentalisme keagamaandan persepsi tentang kesetaraan jender pada respons terhadap rencana legislasi nikah sirri tidak signifikan. Akan tetapi, pengaruh tidak langsung fundamentalisme keagamaan dan persepsi tentang kesetaraan jender (melalui sikap terhadap nikah sirri) pada respons mahasiswa Muslim pada rencana legislasi nikah sirri signifikan. Secara tidak langsung kedua variabel tersebut menyumbangkan 7 persen pada varian respons mahasiswa Muslim pada rencana legislasi nikah sirri.
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
105
Umul Baroroh
BIBLIOGRAFI Akhyar, 2008, Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen, diunduh 11 Juni 2011 dari: www.uinsuska.info/ushuluddin / attachment/073.Akhyar%20artikel. Altemeyer, B.& B. Hunsberger , 2004, “A Revised Religious Fundamentalism Scale: The Short and Sweet of it,” The International Journal for the Psychology of Religion 14: 47-54. Amin, Ma’ruf, dan kawan-kawan, 2011, Himpunan Fatwa Majelisw Ulama Indonesia Sejak 1975, Jakarta: Erlangga. Antara, 2010a, Ulama Pasuruan Tolak RUU Nikah Siri,diunduh 30 April 2010 dari http://www.antaranews.com/berita/1266490613/ ulama -pasuruan-tolak-ruu-nikah-siri. Antara News Jatim, 2011, Peringatan Hari Anak di Kawasan Nikah Sirri, diunduhpada 21 Nopember 2011, darihttp://www.antarajatim. com/lihat/berita/67475/peringatan-hari-anak-di-kawasannikah-sirri. Anwar, Etin, 2003, Gender and Self in Islam, A Philosophical Interpretation, (Disertasi-tidak diterbitkan), Binghampton: State University of New York. Bachtiar, Tiar Anwar, 2010, Pemidanaan Nikah Sirri: Jalan Baru Menyuburkan Perzinaan, Diunduhpada 21 desember 2011, dari: http:/ /persis.or.id/?mod=content&cmd=news& berita_id=1139 Batson, C. Daniel & W. LerryVentis, 1982, The Religious Experience: A Social-Psychological Perspective, New York: Oxford University Press. Bermanis, Shai, Daphna Canetti-Nisim, Ami Pedahzur, 2004, Religious fundamentalism and the extreme right-wing camp in Israel, Patterns of Prejudice, 38(2): 159-176. Bruce, Steve, 1998, Conservative Protestant Politics. Oxford: Oxford University Press. Brumbaugh, Stacey M., Laura A. Sanchez, Steven L. Nock, & James D. Wright, 2008, Attitudes toward gay marriage in states, undergoing marriage law transformation, Journal of Marriage and Family, 70, hh. 345–359 Cronbach, Lee J., 1951, “Coeficient Alpha and the Internal Structure of Test,” Psychometrika,16, hh. 297-334. Delamater, John D. & Daniel J. Myers, 2007, Social Psychology, 106
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
Belmont: Thomson. Detik News, 2010, MUI Dukung Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri, diunduh 30 Mei 2010 darihttp://us.detiknews.com/read/2010/02/14/ 183051/1299328/10/mui-dukung -pidana-bagi-pelaku-kawinsiri. Epstein, Gil S. &Ira N. Gang, 2007, Understanding the development of fundamentalism, Public Choice 132, hh.257–271. Farid, Miftah, 2004, Masalah nikah dan Keluarga,Jakarta: Gema Insani. Farid, Miftah. 2010, Hukum Islam tentang Nikah Siri, diunduh 10 Mei 2010 dari http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/ hukum-islam-tentang-nikah-siri/#more-450. Fishbein, M., & Ajzen, I., 1975, Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Reading, MA: AddisonWesley. Gable, Robert K., 1986, Instrument Development in the Affective Domain, Boston: Kluwer-Nijhoff Pub. Glock, C. Y. & R. Stark, 1965, Religion and Society in Tension, Chicago: Rand McNally. Glock, C. Y., 1962, “On the Study of Religious Commitment,” Review of Recent Research on Religion and Character Formation (research supplement to Religious Education, July-August 1962): 98-110. Griffin, Ricky W. & Gregory Moorhead, 2006, Organizational Behavior: Managing People and Organizations, Boston: Houhgton Miffin Harcourt. Herriot, Peter, 2007, Religious Fundamentalism and social identity, Journal of Muslim Mental Health, 3: 117–119. Hill, Peter C & Ralph W. Hood (Ed.), 1999, Measures of Religiosity, Birmingham: Religious Education Press. Hunsberger, B., 1996, Religious fundamentalism, right-wing authoritarianism, and hostility toward homosexuals in non-Christian religious groups,The International Journal for the Psychology of Religion, 6, 39–49. Indonesia Matters, 2010, NikahSiri, diunduh 23 Mei 2010 darihttp:/ /www.Indonesia matters.com/3758/nikah-siri/ Jambi Express, 19 Pebruari 2010. Kartono, Kartini & Dali Gulo, 1987, Kamus Psikologi, Bandung: Pionir Jaya. Kompas.com, 2010, MUI Tak Keberatan Pelaku Nikah Siri Dipidanakan, Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
107
Umul Baroroh
diunduh 21 Pebruari 2012, dari: http://nasional.kompas.com /read/2010/02/15/17394496/MUI.Tak.Keberatan.Pelaku.Nikah.Siri.Dipidanakan. Ladbury, Sarah &Seema Khan, 2008, Increased Religiosity Among Women in Muslim Majority Countries, London: The UK Department for International Development (DFID). Laythe, Brian, Deborah G. Finkel, Robert G. Bringle, Lee Kirkpatrick, 2002, Religious Fundamentalism as a Predictor of Prejudice: A Two-Component Model, Journal for the Scientific Study of Religion, 41(4), hh. 623-26. Likert, Rensis, 1932,A Technique for the Measurement of Attitudes, New York: Archives of Psychology. Luthans, Fred, 1995, Organizational Behavior, New York: McGrawHill. Mahfudh, MA. Sahal, 1994, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS & Pustaka Pelajar. Markovsky, Barry, 2011, Social Perception, diunduh pada 20 Desember 2011, dari http://edu.learnsoc.org/Chapters/4%20key%20concepts %20in%20sociology /15% 20social %20perception.htm Martí, José Luis, 2007, Religious Fundamentalism and Deliberative Democracy, diunduh 20 April 2011, dari: http://www.tampereclub.org/e-publications/vol3_ marti.pdf Masluhah, Luluk, 2011, Tradisi Perkawinan Sirri di Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan (Analisis Sosiologis dan Implikasinya Bagi PLS). (Tesis, tidak dipublikasi), Universitas Negeri Malang. Moaddel, Mansoor & Stuart A. Karabenick, 2008, “Religious Fundamentalism among Young Muslims in Egypt and Saudi Arabia,” Social Forces, 86(4), hh.1675-1710. Mueller, Daniel J., 1986, Measuring Social Attitudes: A Handbook for Researchers and Practitioners, New York: Teachers College Press. Muench, D.M. & R.E. Landrum, 1994, The dynamic and attitudes toward marriage, The Journal of Psychology, 128(4): 425-431. Muhsin, Amina Wadud, 1992, Wanita di dalam Alquran, diterjemahkan oleh Yaziar Radiati dari Qur’an and Women, Bandung: Pustaka. Mustaqim, Abdul, 2002, “Metodolgi Tafsir Perspektif Gender,” dalam Abdul Mustaqim & Sahiroh Syamsudin (Ed.), Studi Alquran Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, hh. 65-95. 108
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
Keberagamaan dan Fundamentalisme
Mayhew, Susan, 2004, Stimulus-Response Theory, dalam A dictionary of Geography, diunduh pada 5 Pebruari 2012, dari: www.answer. com/topic/stimulus-response-theory. Nafis, M., & Kawan-kawan, 1995, Keberagamaan Masyarakat Muslim Kodia Semarang, Semarang: PusatP enelitian IAIN Walisongo Semarang. An-Nawiy, Syamsuddin Ramadhan, 2010, Hukum Islam tentang Nikah Siri, diunduh 10 Mei 2010, dari http://www.islamic-center. or.id/-islamiclearnings-mainmenu-29/syariah-main menu-44/ 27-syariah/573-hukum-islam-tentang-nikah-siri. Nurhaedi, Dadi, 2003, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, Yogyakarta: Saujana. Pedhazur, Elazar P., 1982, Multiple Regression in Behavioral Research: Explanation and Prediction, New York: CBS College. Pusat Bahasa, 2010, Kamus Besar Bahasa Indonesia [iPad], v. 1.0. Rahmat, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999 Rahmat, Jalaludin, 2003, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan. Raven, Bertram H. & Jeffrey Z. Rubin, 1983, Social Psychology, New York: John Wiley & Sons. Riau Mandiri.Net, 2010, Polemik RUU NikahSiri, diunduh 25 Mei 2010, darihttp: //www.riaumandiri.net/rm/index. php?option=com _content&view=article&id=360:polemik-ruu-nikah-siri&catid =60:tajuk. Robbins, Stephen P., 2001, Perilaku Organisasi, Jakarta: Prenhalindo. Sarwono, Sarlito Wirawan, 1982, Pengantar Umum Psikologi, Bintang Jakarta. Schermerhorn, Jr., John R., James G. Hunt, & Richard N. Osborn. 2010, Organizational Behavior, Houston: John Wiley & Sons Inc Schultz, Duane P. & Sydney Ellen Schultz 2008.A History of Modern Psychology, Ninth Edition, Belmount: Thomson Higher Education. Shuraydi, Wafa U., 1998, Gender Equity, Women’s demystification, and Islam: A Symbolic Interactionist Perspective, (Disertasi tidak diterbitkan), Detroit: Wayne State University. Suara Warga, 18 Pebruari 2010. As-Sya’rawi, Syaikh Mutawakkil, 2003, Fiqh Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan sampai Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012
109
Umul Baroroh
Wanita Karir, diterjemahkan oleh YHM Basyaruddin dari Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Jakarta: Amzah. Tempo, 17 Pebruari 2010. . Umar, Nasaruddin, 1999, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Alquran, Jakarta: Paramadina. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Vaughan, Graham & Michael Hogg, 1995, Introduction to Social Psychology, Sydney: Prentice Hall.
110
Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012