WARTA LPPM
LE MBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PADJADJARAN
Terbit Dua Bulan Sekali
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
BERITA UTAMA
UKD, Unpad Memang Sangat Serius
Dalam Rencana Strategis panjangnya, 20072026, Unpad memantapkan sebuah visi, yaitu “Menjadi Universitas Kelas Dunia”. Namun rupanya banyak sekali definisi dan kriteria universitas kelas dunia (UKD), antara lain definisi dan kriteria yang dibuat oleh Times Higher Education Supplement, Shanghai Jiatong University, Webometrics, dan berbagai lembaga pemeringkat perguruan tinggi lainnya, baik yang tingkat Asia maupun tingkat sejagat (global). Perbedaan definisi melahirkan kriteria dan lembaga pengakreditasi yang berbeda pula, sehingga tidak heran jika Unpad menyediakan jangka waktu yang cukup panjang (20 tahun) untuk mencapai gelar tersebut
Education Supplement, Shanghai Jiatong University, Webometrics, dan berbagai lembaga pemeringkat perguruan tinggi lainnya, baik yang tingkat Asia maupun tingkat sejagat (global). Perbedaan definisi melahirkan kriteria dan lembaga pengakreditasi yang Para Pembicara pada Semiloka, “Membangun Universitas Padjadjaran untuk Pencapaian World Class University” berbeda pula, sehingga tidak 19‐20 Februari lalu Dari kiri ke kanan : 1. Direktur Jenderal (PLT) Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan heran jika Unpad Nasional (Kemdiknas), Prof. Dr. Nizam; 2. Rektor UI, Prof. Dr. Gumilar R. Somantri; 3. mantan Rektor ITB, Prof. Dr. menyediakan jangka waktu Djoko Santoso; 4. Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida Alisjahbana, sumber: Dadan Triawan, Humas Unpad yang cukup panjang (20 tahun) untuk mencapai gelar tersebut. Ballroom Hotel Mason Pine, Kota Baru Parahyangan, Dua puluh tahun memang relatif lama. Ini sama Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, sejak pukul 07.45 dengan lima periode jabatan rektor (minimal tiga rektor). terlihat ramai oleh para peserta seminar dan lokakarya Tentu saja semua pemangku kepentingan Unpad (Semiloka) yang sedang mendaftarkan diri masing‐masing. optimistis, paling lambat tahun 2026 Unpad telah meraih Semiloka kali ini diikuti semua petinggi Unpad, yakni para predikat UKD. Berdasarkan hasil analisis Tim Perencanaan Dekan dari semua (16) fakultas, pejabat Lembaga Strategis Unpad, posisi strategis Unpad pada 2007 Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), menempatkan diri sebagai institusi yang masih harus Direktur Program Pascasarjana, dan para Pembantu tetap melakukan berbagai pembenahan internal. Hal ini Rektor Unpad. bukan berarti, kondisi internal Unpad kini kurang bagus, Tema Semiloka itu, “Membangun Universitas melainkan apa yang sudah dipersiapkan dan diberlakukan Padjadjaran untuk Pencapaian World Class University” di Unpad selama ini, ternyata memerlukan berbagai yang digelar pada Jumat‐Sabtu, 19‐20 Februari lalu. Ini penyesuaian seiring dengan kondisi eksternal Unpad yang salah satu bukti betapa sangat seriusnya Unpad untuk berubah dengan cepat. mengejar Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi "Optimistis, harus optimistis. Menjadi WCU itu wajib Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dong. Saya prediksi sekitar 2015‐2020. Jangan lama‐lama, telah lebih dulu menyandang gelar bergengsi itu. ya!" tegas Dekan Fakultas Ekonomi Unpad, Prof. Dr. Ernie Unpad yang kini berusia 52 tahun dalam forum itu Tisnawati Sule kepada Warta LPPM di sela‐sela Semiloka. bagaikan siswa Sekolah Dasar yang ingin beranjak Ernie yakin betul, Unpad memiliki potensi besar untuk memasuki jenjang SMP. Tentu bukan sekedar mengganti bersaing dengan universitas‐universitas kelas dunia celana merah menjadi celana biru. Unpad benar‐benar lainnya. hendak berubah secara komprehensif. Berbagai Optimisme para peserta Semiloka itu mendapat pembenahan sedang dan akan dilakukan oleh para tanggapan positif dari Rektor UI, Prof. Dr. Gumilar R. petinggi dan warga akademik Unpad. Somantri, yang tampil sebagai pembicara pada hari Dalam Rencana Strategis panjangnya, 2007‐2026, pertama. Ia menilai bukanlah hal mudah membawa Unpad memantapkan sebuah visi, yaitu “Menjadi sebuah universitas ke dalam kelas dunia, namun apabila Universitas Kelas Dunia”. Namun rupanya banyak sekali Unpad memiliki fokus yang baik, hal tersebut akan relatif definisi dan kriteria universitas kelas dunia (UKD), antara mudah terwujud. lain definisi dan kriteria yang dibuat oleh Times Higher Bersambung ke halaman 2
WARTA LPPM Halaman 2
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
Unpad Memang Sangat Serius…
(Sambungan dari halaman 1)
“Kita harus fokus pada kelebihan yang kita miliki. Unpad pun bisa disejajarkan dengan Cambridge, ataupun Harvard University,” ujar Gumilar yang tampil bak motivator dalam forum itu. Ilmuwan asal Tasikmalaya ini menularkan kisah sukses UI menjadi UKD kepada segenap peserta Semiloka. Fokus dalam penelitian, pendidikan, dan pengajaran menjadi faktor penting yang harus dilakukan oleh tiap perguruan tinggi (PT) untuk masuk dalam hitungan UKD. Poin inilah yang menjadi fokus utama yang dijabarkan oleh pakar sosiologi itu dalam presentasinya. Dia juga menjelaskan, integrasi merupakan kunci sukses lainnya dalam usaha memasuki UKD. “Ada satu resep lagi yang harus kita lakukan. The secret recipe is the miracle of leverage engine: integration,” lanjut Gumilar. Mantan Dekan FISIP UI itu menekankan, ada tiga aspek yang perlu dilakukan untuk mencapai integrasi, yaitu konsolidasi, horisontalisasi, serta kolaborasi secara global. Ia optimistis, bila ketiga aspek tersebut tercapai, maka bukan tidak mungkin Unpad bisa segera masuk dalam jajaran UKD tanpa menunggu tahun 2026. Untuk memenuhi tiap aspeknya dibutuhkan beberapa tindakan. Pada aspek konsolidasi, contohnya, sebuah PT perlu melakukan berberapa tindakan, mulai dari integrasi dan sentralisasi sumber keuangan, menguatkan kapasitas keuangan melalui investasi, donasi, serta industri, hingga melakukan reformasi sumberdaya manusia (SDM). Pengelolaan Dana Pembicara lainnya, mantan Rektor ITB, Prof. Dr. Djoko Santoso, menjelaskan, kemajuan sebuah PT tidak terlepas dari pengaruh pengelolaan keuangannya. PT masa kini dilihat sebagai sebuah industri penghasil SDM yang berbudaya dan baik untuk keprofesiannya, dan penghasil SDM yang mendukung masyarakat industri. Namun paradigma tentang sebuah PT ini telah berkembang dengan sebuah orientasi untuk masa depan, yang kemudian membentuk sebuah paradigma baru, yaitu PT sebagai penghasil ilmu pengetahuan dan teknologi untuk keberlanjutan kemanusiaan dan lingkungan. Berangkat dari lahirnya sebuah paradigma baru tentang PT inilah, maka diperlukan juga beragam penyesuaian, termasuk dalam bidang pengelolaan keuangan. “Perubahan senantiasa diperlukan. Pengelolaan keuangan semata‐mata diarahkan untuk akuntabilitas akademik secara total dan keuangan itu sendiri,” tegas mantan Pembantu Rektor II ITB itu. Perubahan yang dibutuhkan sebagai dampak paradigma baru ini adalah sebuah perubahan sistem secara menyeluruh. Perubahan sistem tersebut kemudian juga akan memunculkan beberapa dampak, di antaranya, pemimpin PT seperti Chef Executive Officer, peningkatan kewenangan pada administrasi pusat, adanya tekanan untuk menghasilkan dana, adanya tekanan akuntabilitas internal dan eksternal, dan pemisahan diri dari peran jawatan pemerintah. Pembenahan yang dilakukan ITB dalam bidang keuangan bukanlah sebuah proses singkat. Dalam presentasinya, Djoko memperlihatkan bagaimana ITB pada
2002‐2010 terus menerus membenahi sektor keuangannya agar senantiasa akuntabel. Pembicara lainnya, Direktur Jenderal (PLT) Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Prof. Dr. Nizam, juga mengungkapkan hal senada. Sumber pendanaan yang besar dan beragam merupakan salah satu di antara enam ciri UKD. Sebuah PT bila ingin menggapai status UKD dituntut untuk dapat membuat sebuah sistem pendidikan tinggi yang otonom dan akuntabel sejalan dengan Undang‐undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). “Untuk membuat PT yang otonom dan akuntabel, Dirjen Dikti akan melakukan pembinaan secara intensif kepada PT‐PT yang telah berbadan hukum pendidikan, serta mendorong pembangunan sistem kelembagaan yang mandiri,” ungkap Nizam. Prof. Dr. Armida Alisjahbana, Kepala Bappenas kepada para peserta Semiloka seakan menjawab sejumlah permasalahan, terutama masalah pendanaan PT, yang menjadi salah satu hambatan sebuah PT menjadi UKD. Dosen FE Unpad itu mengungkapkan, ada tujuh alternatif sumber pendanaan PT yang berasal dari negara, yaitu alokasi langsung, alokasi berbasis proposal, pendanaan berbasis kompetisi, biaya personalia, dana operasional, pinjaman dan hibah luar negeri, serta beasiswa. Tentu saja ini semua belum memadai. “Perguruan tinggi sebaiknya juga memanfaatkan berbagai altenatif sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat dan dunia usaha,” ujarnya. Partisipasi swasta dan dunia usaha merupakan alternatif pendanaan yang cukup kompeten untuk pengembangan PT. Ini dapat diwujudkan lewat beberapa cara, salah satunya lewat kerjasama antara PT dengan dunia usaha dalam pengembangan produk. Hal ini telah menjadi sebuah tradisi yang telah lama dilakukan oleh PT‐ PT di berbagai negara maju. Program Studi Berkualitas Pada hari kedua, baik dalam sidang komisi‐komisi (pendidikan, penelitian, dan publikasi; sumber dana dan strategi pencarian dana; dan kerjasama) maupun dalam sidang pleno, para peserta Semiloka membicarakan cara‐ cara membangun program studi yang berkualitas tinggi. Simpulan yang ditarik dalam sidang pleno antara lain, para pengelola/pemimpin di lingkungan Unpad akan mengidentifikasi program‐program studi unggulan yang memiliki kekhasan di fakultas masing‐masing. Akan dibentuk pula tim asistensi guna membantu staf peneliti yang hendak menulis publikasi ilmiah skala internasional. Pembantu Rektor I (Bidang Akademik), Prof. Dr. Husein Bahti mengakui, memang Unpad tidak/belum memiliki rekam jejak yang mengesankan dalam hal publikasi ilmiah skala internasional, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tampaknya para guru besar bergelar doktor di almamater kita masih menghadapi kendala dalam penulisan karya ilmiah untuk jurnal nasional dan internasional. Kapan hasil Semiloka itu akan mulai dilaksanakan? Sesegera mungkin. Bahasa pesan singkat alias SMS‐nya mah, ASAP (as soon as possible)‐lah. *** Martin , Rivki Maulana P., R. Lasmi Teja Raspati:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
WARTA LPPM Halaman 3
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
SOROTAN
Ternyata Kita Tidak Berubah
Oleh S. Sahala Tua Saragih Manusia dilahirkan dengan membawa salah satu naluri bagus, yakni mau dan bisa berubah, entah ke arah yang baik, entah sebaliknya. Perubahan manusia bisa sangat cepat, revolutif, hanya dalam tempo singkat, namun ada pula perubahan yang sangat lambat dan lama. Akan tetapi fakta juga membuktikan, rupanya manusia bisa juga tak berubah, atau tak mau berubah, meskipun zaman telah berubah besar dalam banyak
segi kehidupan. Pada 33 tahun silam, tepatnya 6 April 1977 malam, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, budayawan, wartawan, dan sastrawan ternama, Mochtar Lubis, dalam sebuah ceramahnya yang sangat terkenal dan kontroversial, mendeskripsikan dengan rinci dan runtut “wajah” (sifat‐sifat) manusia Indonesia. Ceramahnya berjudul, “Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)”. Sifat‐sifat manusia Indonesia, kata mantan musuh besar Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto itu, antara lain munafik (hipokrit), segan dan enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya kepada takhyul, berwatak lemah (tidak/kurang berani dan kuat mempertahankan keyakinan atau kebenaran), berbakat seni, suka menerabas (potong kompas alias menempuh jalan pintas), tidak suka bekerja keras (namun ingin cepat maju, sukses, hebat, dan kaya), cenderung bermalas‐malas, tak memiliki konsepsi tentang waktu (suka menunda‐nunda mengerjakan pekerjaan penting, karena percaya waktu selalu tersedia), suka berbahasa jargon, dan cenderung tidak konsekuen dengan janji atau keputusan yang telah disepakati bersama. “…semua manusia Indonesia cenderung menyangka, jika telah dibicarakan, telah diputuskan, dan telah diucapkan niat hendak melakukan sesuatu, maka hal itu pun telah terjadi,” ujar Mochtar Lubis dalam ceramahnya yang sangat panjang. Dalam zaman kita kini realitas ini disebut “budaya” NATO (No Action Talk Only) alias “Omdo” (omong doang), kata orang Betawi. Nah, sekarang cobalah periksa diri kita masing‐masing dan lingkungan dalam almamater kita sendiri. Dari sekian banyak sifat buruk manusia Indonesia yang dilukiskan Mochtar, apakah masih tetap begitu hingga kini? Ambil satu contoh, sifat tak mau bekerja keras tetapi mau sukses atau meraih hasil besar, suka menempuh jalan pintas alias potong kompas alias menghalalkan cara demi tujuan. Tentu masih sangat hijau dalam ingatan kita sebuah berita buruk nasional/internasional baru‐baru ini. Seorang guru besar (Dekan pula) di sebuah PTS besar di Bandung menulis sebuah artikel opini di koran The Jakarta Post tahun lalu. Ternyata dia menjiplak artikel seseorang yang dimuat di sebuah koran Australia tahun 2007. Lalu orang‐orang PT, mungkin termasuk kita juga, ramai‐ramai menghakimi dan mengutuk ilmuwan muda itu. Sesungguhnya soal jiplak‐menjiplak karya tulis orang lain bukan cerita baru di dunia perguruan tinggi (PT). Banyak dosen dan mahasiswa program D3 hingga S3 mencuri karya tulis ilmiah orang lain tanpa merasa berdosa. Kemajauan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi, terutama internet, semakin memudahkan orang untuk menjiplak karya tulis orang lain, baik karya mahasiswa/dosen dari satu fakultas/PT sendiri, maupun karya tulis mahasiswa/dosen dari PT lain di dalam dan luar negeri.
Mungkin kita masih ingat “kelakuan” seorang dosen PTN besar di Yogyakarta beberapa tahun lalu, yang “menyulap” sebuah skripsi mahasiswa sebuah PTN Surabaya menjadi disertasinya. Setelah terbukti mencuri, akhirnya gelar doktornya dicabut, dan tak boleh lagi menempuh studi S3. Ada segelintir dosen di almamater kita yang sangat cermat memeriksa tugas‐ tugas mahasiswa, sampai‐sampai mengeceknya lewat internet. Bila ketahuan menjiplak karya tulis (tugas) orang lain, maka mahasiswa yang bersangkutan langsung diberi nilai E alias tak lulus. Dalam Undang‐undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 70, ditegaskan, lulusan PT yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau dipidana denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Akan tetapi apakah pasal ini pernah diterapkan? Bukankah banyak warga akademik yang melanggarnya? Ternyata pernyataan Mochtar Lubis, apa yang sudah diucapkan atau diputuskan dianggap sudah dilaksanakan, ternyata hingga kini tetap begitu adanya. Tak terhitung berapa banyak keputusan yang diambil dan disepakati di tingkat Jurusan, Fakultas, Universitas (PT), nasional (Dirjen Dikti/Kemdiknas), namun tak pernah dilaksanakan, dan kita/mereka tak merasa bersalah sama sekali. Tak terhitung pula berapa banyak produk hukum nasional yang isinya sangat indah, namun tak pernah diberlakukan secara nyata. Mereka yang membuatnya juga sama sekali tak merasa keberatan atau bersalah. Setelah 33 tahun ceramah Mochtar Lubis, “Budaya” NATO alias Omdo manusia Indonesia terbukti hingga kini tak berubah. Apakah kita, warga akademik Unpad, yang telah ditinggalkan budayawan bernyali besar itu, kini masih suka munafik, enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, berwatak lemah, tidak berani mempertahankan keyakinan atau kebenaran ilmiah, tidak suka bekerja keras atau suka menerabas? Setelah 33 tahun berlalu, apakah ada perubahan mendasar dalam diri kita yang hidup kini? Apakah kita memang tidak berniat berubah ke arah yang baik dengan menanggalkan sifat‐sifat buruk tersebut? Ah, jangan‐jangan di antara kita ada yang berkata, kalau dengan sifat‐sifat buruk itu saja kita sudah merasa senang, nikmat, bahagia, dan puas, maka mengapa harus berubah? Biarlah kita begini saja terus. Pada 33 tahun silam Mochtar Lubis dengan tegas berkata, “…selama masyarakat kita berperilaku feodal, setengah feodal, neofeodal, kita tak mengubahnya dengan sadar, maka tak mungkin manusia Indonesia berubah dan berkembang, menjadi manusia dengan pribadi dan watak yang utuh, dengan nilai‐nilai dan sikap yang kita butuhkan menghadapi dunia sekarang, agar dapat menyelematkan bangsa kita menjelang tahun 2000 dan seterusnya.” *** Bandung, 17 Maret 2010
WARTA LPPM Halaman 4
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
BERITA UTAMA
Langkahlangkah Konkret Menggapai UKD Nada sumringah terdengar jelas dari mulut Teddi Muhtadin, Ketua Jurusan Sastra Sunda, Fakultas Sastra Unpad. Dia senang Program Studi Sastra Sunda kerap disinggung dalam Semiloka membangun program studi berkualitas dalam pencapaian Unpad menuju Universitas Kelas Dunia (UKD), di Hotel Mason Pine, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, pada 19‐20 Februari lalu. Meski tidak hadir dalam forum tersebut, Tedi mengungkapkan, lumrah saja dalam forum itu Sunda dibahas karena memang Sunda adalah ranah yang unik untuk dikaji. Menurutnya, Sunda memiliki anasir modern dan buhun sekaligus. Ia mencontohkan, Masyarakat Baduy dan Kampung Naga sebagai lokus buhun Sunda, sementara lingkungan masyarakat Sunda yang dekat dengan kekuasaan membuat masyarakat Sunda begitu terbuka terhadap arus globalisasi yang masuk ke negeri ini. “Bentuknya beragam, tapi entitasnya tetap satu, Sunda,” tegasnya. Keunikan dan kekhasan Sunda tersebut, menurut Tedi, merupakan potensi untuk menarik minat mahasiswa asing belajar Sunda di Unpad. Lulusan Fakultas Ilmu Budaya UGM ini merinci, setidaknya ada dua mahasiswa dari Perancis, satu dari Inggris, yang sedang studi di Jurusan Sastra Sunda, Fasa Unpad. “Dari Korea dan Jepang juga ada, tapi hanya mengambil beberapa mata kuliah,” ungkapnya. Dalam Semiloka itu peserta dibagi ke dalam tiga komisi, yakni komisi pendidikan, penelitian, dan publikasi; komisi sumber dana dan strategi pendapatan dana; dan komisi kerjasama. Ketiga komisi tersebut diberi waktu diskusi selama 90 menit yang kemudian hasilnya dibawa pada diskusi pleno. Salah satu hasilnya, tiap fakultas diberi mandat untuk mengidentifikasi program‐program studi unggulan di fakultas masing‐masing. Kekhasan itu nantinya diproyeksikan sebagai daya saing Unpad di tingkat dunia. Sebagai tidak lanjut Semiloka ini, Pembantu Rektor IV (Bidang Pengembangan SDM) akan memantau hasil kinerja pihak‐pihak yang diberi mandat. “Kita pantau sampai sejauh mana staf ketiga lembaga tersebut, sudahkah diinvetarisir stafnya yang sudah men‐submit manuskripnya, sudah tahap mana kinerjanya. Kita pantau bahkan sampai orang per orang,” ujar Handarto. Rumusan program studi (Prodi) itu antara lain, tiap Prodi harus mendefinisikan program studinya. Selain itu tiap Prodi harus menetapkan standar kompetensi yang terdiri dari kompetensi umum, khusus, dan penelitian.
Publikasi Isu krusial yang muncul dalam Semiloka ini adalah publikasi ilmiah di tingkat internasional. Memang, salah satu kriteria UKD adalah publikasi ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional seperti majalah Science dan Nature. Prof. Dr. Husein Bahti, Pembantu Rektor I mengakui, secara kuantitatif dan kualitatif Unpad tidak punya rekam jejak yang mengesankan dalam hal publikasi ilmiah skala internasional. Namun ia menilai kondisi ini adalah gejala umum di Indonesia. “Ya, tidak di Unpad saja, di perguruan tinggi lain pun begitu kok,” ungkap Husein seolah menghibur diri. Simpulan Semiloka ini memuat rumusan beberapa strategi guna mendongkrak publikasi ilmiah skala internasional, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa program itu di
Sidang Pleno Semiloka Membangun Universitas Padjadjaran untuk Pencapaian World Class University” yang digelar pada Jumat‐Sabtu, 19‐ 20 Februari lalu dihadiri pimpinan fakultas dan lembaga di lingkungan Unpad. sumber: Dadan Triawan, Humas Unpad
antaranya, pembentukan tim asistensi. Tim ini dibentuk untuk membimbing dosen yang hendak melakukan penelitian ataupun mempublikasikan karya ilmiah yang sudah ada ke dalam bahasa Inggris. Selama ini kemampuan tiap peneliti untuk menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris tidak merata. Kapan program ini dimulai serta bagaimana teknis pelaksanaannya, tak dibahas dalam forum itu. Unpad menargetkan 32 publikasi ilmiah berkelas internasional per tahun yang ditulis oleh para dosen Unpad. Asumsinya, tiap fakultas mengirim dua publikasi ilmiah per tahun. Berbeda dengan Husein, Handarto menilai target jumlah publikasi yang terbit tidak bisa disamaratakan, karena tiap fakultas punya iklim penelitian yang berbeda. Tapi sebagai Direktur PSDM Unpad, dia menilai target satu publikasi untuk satu fakultas per tahun sudah realisitis. “Ke‐banget‐anlah kalau tiap fakultas ‘nggak ada satupun karya tulis ilmiah pun dalam setahun,” katanya. Selain program penulisan karya ilmiah dalam bahasa Inggris, Unpad juga sudah menerbitkan disertasi yang dinilai memiliki kualitas handal dalam bentuk buku. Husein menuturkan, program ini sudah berjalan. “Sekarang kita tinggal kerja keras untuk meraih target yang ditetapkan, ” ujarnya
Insentif Publikasi yang dalam hal jumlah dan kualitas masih rendah sekali, dinilai PR I Unpad sebagai akibat budaya akademik yang belum terbangun di almamater kita. “Budaya riset kita masih minim,” tutur Husein. Untuk merangsang para dosen untuk terpacu meneliti, pihaknya berencana memberikan insentif tambahan kepada dosen yang bisa menulis karya ilmiah skala internasional. Dia tak menjelaskan wujud insentif tersebut. Selain itu, ada rencana pemimpin Unpad memberikan insentif khusus kepada dosen yang khusus bergerak di bidang penelitian. Nanti tiap dosen fokus pada penelitian, tapi tetap tidak meninggalkan dua dharma pendidikan lainnya, yakni pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Husein mengharapkan, hasil‐hasil penelitian dosen itu digunakan sebagai bahan ajar di kelas, sehingga realitas yang ada di lapangan menjadi kajian di kelas. Tapi lagi‐lagi ini baru sebatas rencana. Perihal waktu pelaksanaannya, jumlah dosen per fakultas yang ditugaskan untuk itu, alokasi dana, manajemen, dan hal‐hal teknis lainnya belum ditetapkan. Tetapi yang terpenting ‘kan sudah ada niatnya. Di mana ada kemauan di sana ada jalan. Betul? *** Rivki Maulana Priatna, Martin, R. Lasmi Teja
[email protected],
[email protected],
[email protected]
WARTA LPPM Halaman 5
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
BERITA UTAMA
Kiatkiat jitu Menggapai Predikat UKD Selama ini Unpad dihadapkan pada sistem akreditasi program studi. Dalam sistem ini tiap program studi meningkatkan kualitas dirinya masing‐masing untuk meraih akreditasi. Keunggulan suatu program studi tidak dipengaruhi oleh akreditasi program studi yang lain, meskipun dalam satu universitas yang sama. Namun kini paradigma tersebut berubah. Indikator akreditasi suatu universitas kini ditentukan oleh seluruh program studi. Akreditasi dilakukan terhadap universitas secara keseluruhan (berdasarkan Renstra Unpad 2007‐2026). Perubahan tersebut kemudian menuntut kita untuk melakukan pembenahan internal. Pembenahan inilah yang kini menjadi tantangan terbesar bagi Unpad dalam meraih status universitas kelas dunia (UKD). “Ini era baru. Semua bangsa sudah masuk pada situasi global world of science. Hanya bangsa yang bisa membangun struktur dan sistem kuat sajalah yang mampu bertahan. Perguruan tinggi menjadi hal yang penting di dalamnya. Fokus terhadap kekuatan merupakan modal untuk mencapai pengakuan sebagai world class university,” ujar Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, dalam Semiloka “Membangun Universitas Padjadjaran Untuk Pencapaian World Class University (WCU)” di Hotel Mason Pine, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Jumat, 19 Februari lalu. Dalam kesempatan itu Gumilar dengan antusias membagikan pengalamannya tentang “Kiat UI Masuk ke dalam 200 Perguruan Tinggi Terbaik Dunia”. Upaya untuk fokus pada kekuatan merupakan gagasan utama yang ditawarkan rektor muda ini. Menurutnya, fokus pada kekuatan dapat menciptakan kekhasan. Banyak hal mendasar di sekitar kita yang bisa diangkat menjadi penelitian dan mampu dijadikan sebagai kekuatan di bidangnya masing‐masing. Sastra lisan, misalnya, dengan keahlian yang berangkat dari pelestarian budaya lokal pun sebenarnya kita mampu mengalahkan PT‐PT tinggi terkemuka di dunia. “Kita, atau khususnya Universitas Tanjungpura (Untan), bisa mengalahkan Harvard dan Cambridge. Rektor Untan, Pak Chairil, tidak ada yang bisa mengalahkan dia. Apa keahliannya? Sastra lisan Sambas,” ungkap Gumilar. Pemaparan ini membuat Dekan Fakultas Sastra Unpad, Prof. Dr. Dadang Suganda, semakin terinspirasi. Pernyataan Gumilar mengenai sastra lisan Sambas memotivasi Dadang untuk semakin fokus terhadap kasundaan. Menurutnya, Fakultas Sastra Unpad sebenarnya sudah memiliki kunci untuk menyumbangkan kekuatan dalam mencapai UKD. Jika Untan Pontianak berjuang dengan bahasa Sambas‐nya, maka Unpad yang berdiri di tanah Pasundan ini sudah sepantasnya berjuang dengan bahasa Sundanya. “Kita sudah memiliki keunggulan yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kasundaan. Baik itu sastranya atau budayanya, karena hanya satu‐satunya di dunia. Maka, ini tidak berpeluang menjadi ikon bagi Fakultas Sastra saja,
tapi juga untuk Unpad,” ujar Dadang kepada Warta LPPM di sela‐sela Semiloka. Dia mengungkapkan, hal ini sebelumnya memang sudah terpikirkan, terlebih setelah pihaknya berstudi banding ke UGM Sleman beberapa waktu lalu. UGM, katanya, berhasil menjadikan bahasa Jawa sebagai kekuatan mereka. Kekuatan dari kekhasan bahasa Jawa inilah yang digunakan UGM sebagai modal untuk mencapai predikat UKD. Fokus terhadap kekuatan saja tentunya belum cukup untuk mencapai status UKD. Ada satu hal yang menjadi pedoman bagi Gumilar dalam membangun UI hingga saat ini, yaitu yakin terhadap the miracle of integrated. Hal ini pulalah yang dibaginya kepada peserta Semiloka. Dalam integrasi terdapat konsolidasi, horizontalism, dan kolaborasi global. Integrasi yang dimaksudkan adalah integrasi dari berbagai aspek. Dulu UI terdiri dari fakultas‐ fakultas yang terdesentralisasi, terlalu banyak perbedaan, sehingga tidak ada keseragaman. Lalu Gumilar melakukan perubahan dengan melakukan integrasi keuangan. Ini kemudian diikuti dengan membangun cash management dengan memanfaatkan penggunaan ICT (INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY) DENGAN OPTIMAL. MENURUTNYA, INI SANGAT MEMBANTU DALAM MEMBUAT PELAPORAN YANG BAIK. SETELAH INTEGRASI KEUANGAN, ANGGARAN TAHUNAN YANG SEMULA HANYA SEKITAR RP 700 MILIAR MENINGKAT MENJADI RP 1,5 TRILIUN. PADA MASA MENDATANG seluruh fakultas di UI secara horisontal juga harus mampu memecahkan masalah peradaban melalui konsolidasi secara bertahap. Upaya ini bisa dimulai dengan menerapkan pemikiran multidisiplin dengan tidak mengotak‐ngotakkan fakultas dan disiplin ilmu. “Semua sentralisasi itu pasti integrasi, tapi tidak semua integrasi itu sentralisasi,” tegasnya. Setelah terintegrasi, pihak rektorat UI dapat menata sistem kesejahteraan dosen dan karyawan. Kini UI sudah membagi dosen ke dalam dua spesifikasi, dosen peneliti dan dosen pengajar. Menanggapi hal ini, Dadang Suganda mengaku setuju terhadap pembagian kerja dosen tersebut. Fakultas Sastra pun sudah menyiapkan lima dosen untuk menjadi peneliti utama. “Biar spesifik. Kamu membuat sekian penelitian, dan kamu mengajar sekian SKS. Nanti akan ada gaji khusus,” janji Dadang. Mengaku terinspirasi oleh pemaparan Rektor UI, Dadang semakin yakin untuk melakukan perubahan budaya, dari kebudayaan akademik murni ke kebudayaan akademik korporat. Harapannya, semua elemen di Fakultas Sastra memiliki persamaan persepsi terhadap produk penelitian. “Semuanya itu harus bernilai jual. Ilmu yang diberikan juga harus punya nilai jual. Teman‐teman disadarkan untuk tidak hanya berpikir akademik. Harus ada yang bisa menjadi pakar internasional di bidang Sunda,” ujar Dadang bersemangat. Bersambung ke halaman 6
WARTA LPPM Halaman 6
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
Kiatkiat Jitu Menggapai Predikat UKD
(Sambungan dari halaman 7) Hal senada pun diungkapkan Dekan‐dekan lainnya. Dekan FE, Prof. Dr. Ernie Tisnawati Sule, misalnya. Menurutnya, strategi untuk mewujudkan UKD harus disusun bersama oleh seluruh (16) Dekan di Unpad, karena kini akreditasi ditentukan secara keseluruhan. “Tidak bisa, misalnya, Fakultas Ekonomi bagus sendiri, lalu yang lain tidak bagus. Makanya, harus ada semangat bersama. Itu sebabnya kita harus integrated, jangan multi‐fakultas. Semangatnya harus sama,” tegas Erni kepada Warta LPPM usai Semiloka. FE sendiri sudah membuka kerjasama internasional dengan PT‐PT asing, antara lain program dual degree dengan Jepang, Swiss, dan Belanda. Upaya lainnya, menggelar seminar dan kerjasama penelitian internasional. Untuk persiapan menuju UKD, FE sudah membuka program kelas berbahasa Inggris sejak 2008. Publikasi dan penelitian menjadi fokus FE. Menurut Erni, kontribusi terbesar seharusnya muncul dari tiap dosen Unpad.
DIALOG
“Kita benahi dulu organisasinya. Kemudian tempatkan wadahnya bagi dosen untuk melakukan penelitian. Kita bangun budaya meneliti di antara dosen. Kita rangsang dosen untuk melakukan penelitian. Kita bangun juga budaya menulis dalam jurnal‐jurnal, terutama jurnal internasional. Kemudian rangsang pula mereka untuk memasukkan hasil‐hasil penelitiannya ke dalam website,” ujar Erni bersemangat. Dirjen Dikti memprakirakan UKD di Indonesia baru terwujud pada 2020‐2025. Namun Dadang dan Erni, tampaknya optimistis Unpad bisa mencapai status UKD lebih cepat dari prakiraan pemerintah, bahkan lebih cepat dari yang diprediksikan Tim Renstra Unpad 2007‐2026, yaitu pada 2022‐2026. “Jangan terlalu lamalah. Setelah mendengar pemaparan dari para pembicara yang begitu menginspirasi, dengan semangat, transformasi, dan salah satunya kekuatan tentang kasundaan kita saat ini, tidak usah menunggu 2026. Saya kira 2015‐2020 pun Unpad mampu kok,” tegas Dadang optimistis. Mungkinkah? Mengapa tidak? *** R. Lasmi Teja Raspati, Rivki Maulana P., Martin
[email protected],
[email protected],
[email protected]
PR I, Prof. Dr. Husein Bahti:
“Kita Harus Kerja Tiga Kali Lebih Keras dari ITB”
Mimpi Unpad untuk menjadi universistas kelas dunia (UKD) tampaknya harus dibayar dengan kerja keras dan pembenahan fundamental di berbagai lini. Salah satu sektor yang harus diperbaiki adalah iklim akademik dan publikasi ilmiah. Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) Unpad, Prof. Dr. Husein Bahti menilai, iklim akademik di almamater kita belum terbangun. “Laboratorium kita sore saja ‘kan sudah sepi. Kalau ITB pukul 10 malam juga masih ‘nyala,” ungkap Husein. Lantas, bagaimana rencana Unpad untuk membuat iklim akademik yang kondusif bagi penelitian? Apa pula yang akan dilakukan Unpad agar hasil penelitian karya akademisi Unpad bisa dimuat di jurnal ilmiah internasional? Apakah targettarget Unpad dalam pencapaian UKD realistis? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut, wartawan Warta LPPM, Rivki Maulana mewawancarai Husein Bahti usai acara penutupan Semiloka “Membangun Program Studi Berkualitas dalam Pencapaian World Class Universitiy”, di Hotel Mason Pine, Padalarang, Sabtu, 20 Februari lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana minat dosen Unpad dalam penelitian? Ya, keterlibatan dosen memang belum maksimal. Kita punya dosen sekitar 1.800, termasuk sekitar 200 guru besar, tapi hasil penelitiannya belum menggembirakan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk pembuatan proposal penelitian pun relatif rendah, padahal tidak semua proposal itu cair karena mungkin terkait dana. Aktivitas penelitian di antara fakultas‐fakultas juga tidak merata, baik jumlah maupun mutu penelitiannya. Ada beberapa fakultas yang kurang sekali penelitiannya, tapi ada juga fakultas yang terbilang lumayan meski secara mutu perlu ditingkatkan untuk sampai pada kualitas yang memadai untuk suatu publikasi atau seminar bertaraf internasional, terlebih untuk sebuah hak paten. Saya menilai ini gejala umum di perguruan tinggi di Indonesia, tidak hanya di Unpad. Tapi tetap, untuk mencapai UKD mau‐tidak mau kita harus seperti itu (publikasi ilmiah skala internasional)
Apa program jangka pendek Unpad untuk menangani masalah tersebut? Kita menargetkan tiap fakultas mengeluarkan dua publikasi internasional per tahun. Jadi ada 32 jurnal ilmiah yang ditargetkan
masuk jurnal internasional. Dana kita sudah siapkan untuk memotivasi dosen‐dosen kita. Kita juga tugaskan setiap fakultas untuk mencari siapa yang mampu membuat publikasi internasional. Selain itu, dalam jangka waktu yang berdekatan juga, kita akan menugaskan dosen‐dosen yang selama ini sudah berpengalaman dalam penelitian dan publikasi untuk membimbing dosen‐dosen yang hendak membuat publikasi internasional. Program ini disebut asistensi.
Apakah dana menjadi kendala? Saya kira dana tidak menjadi kendala.Ya, mau‐tak mau harus kita alokasikan kalau mau jadi research university meski memang cari dana itu tak mudah. Tapi tetap kita harus sediakan. Sekarang alokasi untuk riset Rp 2 miliar, ya, tidak besar sih, tapi lumayan sebagai batu loncatan agar aktivitas riset itu meningkat melalui riset andalan itu. Ke depan kita bahkan akan menggaji dosen yang tekun dalam penelitian saja. Pengajaran memang ada, tapi fokusnya tetap ke penelitian saja. Dia akan digaji yang cukup dan harus hadir setiap hari untuk melakukan penelitian yang bagus sehingga nanti hasilnya bisa diterbitkan secara internasional. Bersambung ke halaman 7
WARTA LPPM Halaman 7
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
Kita Harus Kerja Tiga Kali….. (Sambungan dari halaman 6)
Jadi dipisahkan antara dosen pengajar dengan dosen peneliti? Ya, ada dosen‐dosen khusus penelitian saja, nantinya ada tunjangan khusus untuk melakukan penelitian di samping gaji sebagai pengajar. Model seperti itu sudah diterapkan di Universitas Indonesia. Dosen itu dibagi menjadi dua kelompok, yang mengajar saja dan yang fokus melakukan penelitian, meski tetap sebagai dosen harus melakukan pendidikan juga, mengajar.
Apakah ada rencana untuk menerbitkan disertasidisertasi yang dianggap berkualitas menjadi buku atau bentuk terbitan lainnya? Ya, memang selain memperbanyak publikasi internasional, kita juga akan menerbitkan disertasi‐disertasi karya mahasiswa S3. Kita akan bentuk tim yang akan menyeleksi disertasi mana saja yang kiranya layak untuk dipublikasikan.
Bagaimana soal universitas riset yang telah sangat lama dicanangkan? Riset itu ‘kan ada yang tujuannya terapan atau aplikatif dan hasilnya bisa dijual ke industri. Ada juga riset yang tujuannya pengembangan ilmu, produknya berupa publikasi ilmiah. Kita akan arahkan riset‐riset aplikatif yang bisa dijual ke industri. Kita juga untuk tahap awal akan mengidentifikasi hasil riset dosen yang berpotensi memiliki paten yang akan dibantu oleh tim HAKI Unpad.
Ini sekaligus pembiayaannya? Apakah ini dalam rangka Unpad mencari dana? Ya, betul, ini dalam rangka BHP juga. Kita ‘kan sebentar lagi harus menjadi BHP dalam waktu enam bulan, karena perguruan tinggi lain yang BHMN seperti UI, ITB juga harus BHP dalam tiga bulan mendatang. Kita yang sudah berstatus BLU punya tenggat waktu enam bulan untuk berganti status menjadi BHP. PT lain satu sampai dua tahun baru bisa BHP.
Dalam jangka panjang, apa yang diharapkan dari “proyek” peningkatan publikasi internasional ini? Ke depannya alokasi untuk riset itu sendiri bisa ditingkatkan terlebih jika universitas bisa mencari uang sendiri. Uang itu yang untuk riset lagi, jadi, ya, uangnya diputar lagi. Bentuknya macam‐ macam, bisa kerjasama dengan industri, kerja sama dengan instansi lain, dan sebagainya. Uang itu, selain untuk operasionaliasi pendidikan, juga bisa digunakan untuk penelitian. Sebagai universitas riset, para dosen seharusnya memberi kuliah dari hasil risetnya.
Ada rencana untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk pelaksanaan internasionalisasi para dosen Unpad? Kita akan terus dorong dosen‐dosen untuk belajar lagi ke luar negeri. Dosen‐dosen yang sudah master, ya, kita dorong buat belajar lagi, terutama untuk dosen‐dosen muda kuliahnya di luar negeri.
Bagaimana tahap pelaksananya sampai sejauh ini? Berapa dosen Unpad yang studi S3 di luar negeri per tahun? Targetnya berapa? Kendalanya apa? Salah satu syarat UKD adalah 20 % mahasiswa adalah mahasiswa asing. Apa rencana Unpad untuk menarik minat mahasiswa asing untuk kuliah di Unpad? Selama ini, yang kentara ‘kan hanya mahasiswa dari Malaysia. Ya, memang untuk S1 kita banyaknya dari Malaysia. Tapi ke depan kita menarik mahasiswa asing untuk kuliah di program S2. Apa sih kelebihan yang dimiliki Unpad untuk menarik minat mahasiswa asing kuliah di sini, ya, minimal untuk kawasan ASEAN dulu. ASEAN sebenarnya bisa dijangkau. Ya, beberapa kelebihan Unpad, antara lain di bidang kimia. Kita punya program yang fokus pada pemanfaatan bahan alam untuk pembuatan bahan kimia.
Bagaimana dengan bidang humaniora? Nah, kita ‘kan ada sastra Sunda. Itu kelebihannya yang belum kita gali betul. Mereka (mahasiswa asing) ‘kan bisa belajar bahasa
Sunda, kebudayaan Sunda atau apalah. Kita juga punya sumberdaya yang banyak. Guru besar kita 200‐an, sudah 10 % dari total dosen Unpad. Program pascasarjana kita juga punya mahasiswa yang banyak meski rasio dengan dosen belum ideal/berimbang. Untuk riset itu ‘kan ujung tombaknya pascasarjana. Bahkan ke depan untuk lulus jadi doktor, seorang kandidat harus punya publikasi ilmiah terlebih dahulu sebagaimana halnya di universitas di luar negeri. Publikasinya pun harus publikasi skala internasional.
Selama ini adakah kendala dosen Unpad menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris? Nah, itu juga kendala. Di samping hasil penelitianya bagus, penulisan dalam bahasa Inggrisnya pun harus bagus. Tidak semua dosen punya kemampuan yang sama dalam hal ini.
Selain lemah dalam aspek riset dan publikasi, apa yang menjadi hambatan Unpad dalam mencapai status UKD? Itu kembali kepada manusianya, baik mahasiswanya maupun dosennya. Keduanya harus berkualitas. Tidak cukup dosen atau mahasiswanya saja yang berkualitas. Mulai dari proses rekrutmen mahasiswa, prosesnya harus bagus, standarnya tinggi, agar keluarannya juga bagus. Jelas ini tidak mudah. Tapi tetap harus dikejar, harus ada cita‐cita.
Target Unpad menjadi UKD pada 2026, realistiskah? Kita harus bekerja keras untuk mewujudkan itu. Kita belum banyak tertinggal. Mulai sekarang, kita harus kerja lebih keras dan lebih keras. Kalau ITB kerja 1 jam, kita harus 3‐4 kali lipat dari ITB untuk menyamai mereka. Atmosfer pendidikan di sana sudah terbangun, laboratorium di sana masih ‘nyala meski sudah larut malam. Nah, sedang di kita, pukul 2 saja sudah sepi, tidak ada orang. Sekarang kita mulai bekerja sajalah, ‘nggak usah banyak bicara UKD. Lebih banyak bekerja sajalah ketimbang banyak bicara. Kita punya 200 guru besar. Coba kalau fokus ke penelitian semua, luar biasa itu. Potensi Unpad ini memang luar biasa, tapi belum tergarap secara maksimal. Kita beruntung dengan adanya proses sertifikasi dosen. Jadi dosen dinilai bagaimana kompetensinya dalam mengajar, dan beberapa kualifikasi lainnya. Jika sudah mendapat sertifikat, dosen akan mendapat tunjangan‐tunjangan yang nominalnya besar untuk kesejahteraan dosen. Sampai saat ini sudah ada beberapa dosen yang sudah lolos sertifikasi dan dampaknya positif. Dosen mulai semangat bekerja, terlepas dari motivasinya apa. Kalau melihat UI dan ITB yang kemarin ikut bicara di Semiloka itu, bahkan ditargetkan tahun ini sudah menjadi universitas riset, nyatanya belum kesampaian. Meski ada ranking, toh ranking mereka juga tidak menggembirakan. Ya, kalau kita sih jalani aja, ya, dan minimal ‘kan ada target, sehingga kita bisa terpacu. Entah itu target tahunan, target bulanan, setiap program punya indikator kinerja kunci.
Apakah target pencapain UKD ini ada konsekuensinya terhadap kenaikan biaya kuliah? Seharusnya mahasiswa tidak perlu khawatir karena dengan status BHP, universitas hanya boleh memungut uang dari mahasiswa paling besar 30%. Universitaslah yang harus mencari dana guna memenuhi biaya operasional. Jadi SPP tidak akan tinggi dan mahasiswa malah terbantu karena unpad tidak mengandalkan lagi SPP dari mahasiswa. Daripada ngutip uang dari mahasiswa, mending dana yang ada dipakai buat penelitian, dibuat paten, lantas dijual ke industri. Itu sebenarnya cita‐cita kita.
Apakah nisbah atau rasio antara dosen dengan mahasiswa Unpad sekarang masih timpang? Bukankah selama ini ketimpangan antara jumlah dosen dengan jumlah mahasiswa menjadi masalah serius di almamater kita? Selama ini kita ingin mengatur daya tampung. Beberapa program seperti D3 sudah mulai kita kurangi. Kita juga menghimbau fakultas untuk melihat rasio dosen yang ada. Kalau rasio dosen– mahasiswanya seimbang,’ kan dosen juga bisa melakukan penelitian, ‘nggak sibuk ‘ngajar terus. Dari penelitian itu ‘kan dapat uang juga. ***
[email protected]
WARTA LPPM Halaman 8
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
KISAH DARI DESA KKN
Semangat Belajar Orang Dusun Aneka prasangka tersimpan dalam benak Ayub Ratta Darmawan, mahasiswa angkatan 2006 Jurusan Biologi yang menjadi peserta Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Unpad Januari–Februari 2010. Ia mengira Desa Compreng, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, tempatnya ber‐KKNM, desa terpencil, minim akses angkutan umum, tak ada listrik, dan sebagainya. “Gue ‘gak ‘nyangka di sini ada Warnet, ada ATM juga,” ujarnya sembari tersenyum. Di Dusun Sukaseneng, Desa Compreng, Ayub bergabung dengan 15 mahasiwa Fakultas‐fakultas Hukum (4), Ekonomi (2), Psikologi (2), Sastra (2), ISIP (4), dan Teknik Geologi (1). Ayub bersama kawan “seperjuangan” menempuh perjalanan kurang lebih 3,5 jam untuk sampai di Desa Compreng. Sebelum menuju lokasi KKN, Ayub dan sekitar 700 mahasiswa peserta KKNM lainnya ditampung di pendopo Kabupaten Subang guna mengikuti penyambutan. Selanjutnya peserta disebar ke lima kecamatan di wilayah Kabupaten Subang. Selama 30 hari Ayub dan kawan‐kawan melakukan kegiatan di desa ini. Seminggu pertama mereka lalui untuk pemetaan sosial. Hasilnya, sebagian besar laki‐laki dewasa di Compreng buruh tani. Kaum perempuannya banyak mengadu nasib sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara, antara lain Arab Saudi, Taiwan, dan Hongkong. Tak heran, jumlah perempuan usia produktif yang tinggal di desa ini tidak begitu kentara. Sehari‐hari yang tampak bapak‐bapak, ibu‐ibu, anak‐anak, dan pemuda. Kembang‐kembang desa Compreng seolah “diculik” Rahwana. Setelah melakukan pemetaan masalah di tiga dusun, yakni Compreng, Karangsari, dan Sukaseneng, Tim KKNM Compreng memutuskan untuk membuat tiga program KKNM, yakni, lomba kebersihan antardusun, pendidikan anak usia dini dan motivasi belajar, dan penyuluhan kewirausahaan. Lomba kebersihan antardusun digelar karena warga kurang memiliki kesadaran akan kebersihan lingkungan di wilayah tempat tinggal mereka. Selain itu, di lingkungan warga sendiri minim tempat sampah, sehingga di beberapa tempat banyak sampah yang berserakan. Selain sampah, saluran pembuangan air juga menjadi soal krusial di wilayah ini. Banyak saluran air tersumbat sampah dan menimbulkan genangan, sehingga menjadi sarang nyamuk. Program lain, pendidikan anak usia dini dan motivasi belajar. Tim KKNM memberi pengajaran beberapa mata pelajaran seperti IPA, IPS, dan Bahasa Inggris. Selain itu tim juga memotivasi para siswa yang hendak menempuh Ujian Nasional 2010. Bentuknya mulai dari arahan di kelas hingga pembuatan spanduk berukuran 1 x 2 meter yang dipasang di depan ruang kelas. Tak hanya di kelas, tim KKNM itu juga sering meluangkan waktu bagi anak‐anak di Dusun Sukasenang untuk memberi kursus privat. “Mereka sering datang ke sini (rumah singgah – pen). Ini bikin kami senang, ” ujar Ayub. Ia mengakui, motivasi belajar anak‐anak di lokasi
Proses belajar mengajar dibantu mahasiswa KKNM Unpad di Desa Compreng , Kabupaten Subang pada JanuariFebruari 2010 lalu sumber: Data Informasi LPPM Unpad
tempatnya KKNM sangat tinggi. Hal inilah yang membuat Ayub sangat terkesan terhadap Desa Compreng. “Saya salut karena di tengah kondisi yang sulit, mereka tidak pernah kehilangan semangat belajar,” ujarnya mantap. Ayub merasa beruntung mendapat pengalaman KKNM di Desa itu. Ia mengungkapkan, masyarakat Compreng sangat terbuka terhadap kehadiran tim KKNM Unpad. “Kita sering dikasih kue‐kue sama anak‐anak lho,” tuturnya. Ayub dan 15 kawannya juga merasa kerasan tinggal di rumah singgah, meski ada anasir‐anasir mistis di rumah tersebut. Hari terakhir pun tiba, tim KKNM sudah mempersiapkan acara khusus untuk momen ini, yakni nonton bareng film Laskar Pelangi di balai dusun setempat. Ayub berharap, anak‐anak desa Compreng bisa juga seperti anak‐anak dalam lakon film Laskar Pelangi. Di hari perpisahan, tak pelak derai air mata jatuh dari pelupuk. Suasana haru menyebar ke setiap sudut. Usai KKNM, ia dan kawan‐kawan seperjuangannya berniat kembali ke sana, sekedar silaturahmi dan temu kangen. Para warga desa Compreng pun meminta tim untuk tidak lupa kepada mereka. Di Desa Compreng sedikit sekali kaum perempuan usia produktif, lain halnya yang terjadi di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Di desa ini para pemudalah yang langka, bak hilang ditelan bumi. Alasannya sama, mengadu nasib. Para pemuda desa Manislor umumnya merantau ke kota‐kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Sama halnya dengan Ayub, Rizal Prasetya, mahasiswa angkatan 2006 Jurusan Administrasi Negara ini juga tak menyangka lokasi KKNM mereka sudah cukup maju. “Gue kira tempatnya di pedalaman ‘gitu, eh, taunya dekat jalan utama Cirebon–Kuningan,” ungkapnya. Di Manislor Rizal tergabung bersama 27 mahasiswa dari Fakultas‐fakultas ISIP (6), Ekonomi (2), Sastra (4), MIPA (2), Hukum (6), Peternakan (2), Ikom (5), dan Psikologi (1).
Bersambung ke halaman 9
WARTA LPPM Halaman 9
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
Semangat Belajar……………….. (Sambungan dari halaman 8)
Peserta KKNM berangkat ke lokasi masing‐masing pada 15 Januari 2010, tapi khusus di Manislor, ada beberapa peserta yang menyusul karena masih ikut UAS. Sesampainya di Manislor, tim KKNM Unpad disambut oleh kepala desa dan perangkat lainnya. Setelah penyambutan, peserta ditempatkan di tiga rumah singgah milik warga, dua rumah untuk laki‐laki dan sisanya untuk perempuan. Aktivitas di minggu pertama – sama halnya seperti di desa‐desa lain – melakukan pemetaan sosial di Manislor. Mata pencaharian utama warga Manislor bertani dan beternak. Tanah Manislor subur karena wilayah desa ini terletak di kaki Gunung Ciremai. Para pemuda desa yang mencari nafkah di kota‐kota besar, setelah cukup sukses, kembali ke desa membangun Manislor. Kacang tidak lupa kulitnya. Kelangkaan pemuda usia produktif di Manislor tidak membuat desa ini kehabisan potensi. Ibu‐ibu rumah tangga yang tergabung dalam organisasi PKK sudah merintis pembuatan kerajinan tangan dari bahan limbah plastik. Meski masih terkendala di bidang pemasaran, tapi potensi ini patut dikembangkan untuk kemajuan Manislor. Hasil pemetaan Tim KKN Manislor juga mengidentifikasi beberapa masalah, antara lain, kurangnya kesadaran masyarakat tentang tata tertib lalu lintas, kurang kesadaran kebersihan lingkungan, ketidaksadaran warga akan pemanfaatan limbah
peternakan. Tim KKNM akhirnya merumuskan enam program untuk mengurangi permasalahan, antara lain, pelatihan keamanan berkendara, seminar public speaking, penyuluhan dan instalasi biogas, pengenalan bahasa Inggris untuk siswa SD dan bahasa Jerman untuk siswa SMP, penyuluhan kewirausahaan dan pengelolaan sampah. Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Desa Manislor, Nani Suherni, MA mengatakan, tim KKNM Manislor sangat kreatif. “Alhamdulillah program lancar semua,” ujarnya kepada Warta LPPM. Nani mengungkapkan, ada sinergi antara kreativitas mahasiswa dengan warga Manislor yang kooperatif. Rizal selaku koordinator desa (Kordes) menuturkan, tidak ada kendala yang signifikan saat menjalankan program. “Pihak perangkat desa, kader PKK, warga, dan semua elemen desa sangat mendukung dan sangat antusias terhadap program yang kita jalankan,” jelasnya. Agar program‐progam yang dibuat tim KKNM Unpad tidak “menguap”, LPPM Unpad akan membuat program‐ program tersebut berkelanjutan. “Ya, empat sampai lima tahun tidak pindah lokasi,” ujar Sondy Kuswaryan, Sekretaris LPPM Unpad, Bidang Pengabdian kepada Masyarakat. Artinya, Desa Compreng dan Manislor akan tetap menjadi lokasi KKNM Unpad pada periode‐periode berikutnya. *** Rivki Maulana Priatna
[email protected]
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
KKNM, PR Nan Tak Kunjung Tuntas Cerita indah tentang Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) yang menyebar dari mulut ke mulut, memang membuat mata kuliah yang hanya berbobot 3 SKS ini selalu dinanti dan menimbulkan rasa penasaran. Demikian juga halnya dengan proses belajar bersama masyarakat dalam pelaksanaan KKNM, selalu meninggalkan kesan mendalam di benak mahasiswa dan warga masyarakat desa. Namun khusus bagi jajaran Pusat Pengembangan KKNM, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unpad, KKNM tahun 2009 ternyata harus meninggalkan pekerjaan rumah (PR) yang tidak sedikit. Kepala Pusat Pengembangan KKNM, LPPM Unpad, Dr. A. Zainuddin, mengakui, pelaksanaan KKNM tampak masih banyak kekurangan, bahkan terkesan masih berjalan di tempat. “Saya menangani KKN baru pada 2009 ini dan langsung dihadapkan dengan peserta terbanyak sepanjang sejarah Unpad melakukan KKNM pada Juli‐Agustus 2009,” kata dosen Jurusan Kimia, FMIPA Unpad ini. Namun Zain menegaskan, jajaran Pusat Pengembangan KKNM LPPM bertekad untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan. “Harus dilakukan perubahan untuk perbaikan,” ujar Zain bersemangat. Berbagai perubahan itu tampak pada pelaksanaan KKNM 2010 yang diselenggarakan dua gelombang yaitu pada Januari‐ Februari dan Juli‐Agustus 2010. Salah satunya dengan menghapuskan KKNM perkotaan seperti yang dilaksanakan pada Oktober‐Desember 2009. Zain tak membantah banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan KKNM perkotaan pada Oktober‐ Desember lalu.
“KKNM perkotaan tidak akan ada lagi. Setiap KKNM, mahasiswa harus mondok!” tegas Zain. KKNM perkotaan lalu yang dilakukan di Kabupaten‐kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Sumedang merupakan program sisa pengelola sebelum Zainuddin. Waktu itu pihak LPPM sudah terlanjur berjanji kepada para Pembantu Dekan I, sehingga program tersebut harus dijalankan. Beberapa Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) kepada Warta LPPM juga menyatakan kurang setuju terhadap pelaksanaan KKNM perkotaan ini. “Saya dan sebagian besar DPL kurang setuju, ya, karena dilakukan pada masa perkuliahan. KKNM jadi terkesan tidak terkoordinasi. Mahasiswa pun kurang bergaul dengan masyarakat desa. Kesan KKNM dalam diri mahasiswa pun mungkin saja tidak ada, karena modelnya memang bolak‐balik. Dosen pun terkadang kurang menerima rasa hormat dari masyarakat desa. Sekalipun demikian, desa saya cukup diterima karena desa itu merupakan basis peternakan,” kata Hasni Arief, Ir. M.P, DPL di desa Cipada dan Sadang Mekar. Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu mahasiswa KKNM Unpad. “KKN ini membuat saya cukup sibuk, karena dilakukan pada masa kuliah. Sabtu‐Minggu harus menginap di desa, sehingga tidak ada waktu lagi untuk beristirahat. Belum lagi pengeluaran yang cukup besar karena harus bolak‐balik. Sekali perjalanan, uang saya habis Rp200.000,” kata Hamsinto Barbarian (21), mahasiswa FMIPA Unpad.
Bersambung ke halaman 10
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
WARTA LPPM Halaman 10
KKNM, PR Nan Tak Kunjung…. (sambungan dari halaman 9)
Sementara itu Zain mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk bisa meningkatkan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan. “Selain itu, dimaksudkan pula agar mahasiswa bisa belajar dengan masyarakat, sehingga saling memberi manfaat satu sama lain,” ujarnya. Program lubang resapan biopori ini dilaksanakan oleh mahasiswa KKNM Unpad di 18 Kecamatan, Kabupaten Bandung, di antaranya Kecamatan‐kecamatan Nagreg, Cicalengka, Cikancung, Rancaekek, Majalaya, Arjasari, Cimenyan, Ciparay, Rancabentang, Soreang, Katapang, Cisarua, Parongpong, Cihampelas, Batujajar, Ngamprah, Lembang, dan Kutawaringin. Dalam program ini PLN menyediakan 7.000 bibit pohon untuk ditanam di wilayah itu.
Permasalahan “bolak‐balik” ini juga menjadi permasalahan tersendiri bagi beberapa DPL. Dua DPL di Kabupaten Bandung Barat terpaksa mengajukan permohonan agar Program Pengabdian kepada Masyarakat Dosen (PPMD) yang terintegrasi dengan KKNM yang dilaksanakannya, dipindahkan ke desa lain di lingkungan kecamatan yang sama yang mudah dijangkau. “Desa yang dipilihkan oleh LPPM tidak memungkinkan dijangkau pulang‐pergi dalam sehari karena medan yang terlalu berat, terlebih pada musim Mengundurkan Diri hujan seperti ini,” kata Yanti Sentianti. Kendati perubahan dan perbaikan Oleh karena itu dia menyarankan, terus dilakukan pengelola KKNM, akan sebelum menentukan desa mana yang Dengar Pendapat dengan masyarakat Desa Compreng tetapi beberapa masalah masih mengenai permasalahan yang terjadi di masyarakat akan dijadikan lokasi KKNM, sebaiknya menghantui pelaksanaan KKNM 2010. dipandu tim KKNM Unpad, pada bulan Februari 2010 pihak LPPM juga memperhitungkan lalu. sumber: Data Informasi LPPM Unpad Pada mulanya KKNM Januari‐Februari medan dan waktu tempuh ke lokasi saat 2010 diperkirakan diikuti 1.500 melaksanakan survei sebelumnya. mahasiswa. Namun karena tidak semua fakultas Permasalahan jadwal juga dialami oleh mereka yang menyelenggarakan UAS sesuai dengan jadwal/kalender menjadi peserta KKNM di Kecamatan Cikancung, Kabupaten akademik Unpad, maka kemungkinan besar sebagian di antara Bandung. Seperti diceritakan Puji Maharani, mahasiswa Jurusan calon peserta mengundurkan diri dari program KKNM Januari‐ Jurnalistik, Fikom. Dia mengaku terkendala jadwal KKNM pada Februari 2010. akhir minggu yang tidak sesuai dengan ritme kehidupan “Jadwal UAS seharusnya berakhir 14 Januari 2010, ternyata masyarakat desa yang kebanyakan penduduknya bertani. Akhir salah satu program studi di Fikom baru selesai tanggal 22 Januari pekan justru dimanfaatkan sebagai waktu mencari nafkah 2010. “Jadi mereka minta izin off sampai 22 dan baru mengikuti dengan menjual hasil bumi ke kota. Padahal, justru pada akhir KKN pada 23 Januari. Ini tentu tidak boleh. Masa’ KKN yang dulu pekanlah mahasiswa peserta KKNM paling banyak berada di 2 bulan dipersingkat jadi 1 bulan, yang 1 bulan jadi 3 minggu. desa. Walaupun piket delapan jam pada hari kerja telah Kalau dikurang‐kurangi lagi, tidak boleh. Lantas bagaimana? ditentukan, namun pada hari kerja peserta KKNM masih sibuk Kalau memang mundur, ya, silahkan,” tegas Zain. kuliah. Para peserta KKNM Januari‐Februari 2010 disebar di tiga Biopori, Program Dadakan? Kabupaten‐kabupaten Subang, Indramayu dan Kuningan. Rata‐ KKNM Perkotaan lalu juga meninggalkan sejumlah rata tiap desa ditempati 18 peserta. “Ini terjadi karena sistem ganjalan dan tanda tanya di benak mahasiswa yang online kita. KKNM Januari ‘kan pilih sendiri desanya. Ini melaksanakan Program “Pencanangan Lubang Resapan Biopori pembelajaran bagi kita supaya menyediakan wadah untuk orang untuk Sungai Citarum” di desa lokasi KKN. Sosialisasi program yang kita terima,” kata Zainuddin. kerja sama LPPM Unpad dengan PT. PLN Distribusi Jabar dan Tentang mekanisme pelaksanaan registrasi, Zain Banten ini dinilai terlalu mendadak, karena baru disampaikan menuturkan, proses pendataan telah dimulai LPPM dengan dua minggu menjelang KKNM berakhir. meminta daftar mahasiswa yang berhak ikut KKN kepada para “Minggu ini minggu terakhir KKN, tapi sekarang kami lagi PD I. Dari data yang diberikan para PD I, ada 2.700 mahasiswa ngerjain program dadakan dari LPPM,” kata Hamsinto yang berhak mengikuti KKNM. Dari jumlah itu LPPM Barbarian, peserta KKNM. “Saya tidak tahu banyak program itu, memperkirakan berkurang 10 %. Jadi LPPM menyediakan tapi, ya, ‘gimana gitu. Karena ini minggu terakhir dan kita tempat untuk 2.400 peserta. dihubungi Kordes untuk membuat 500 lubang dengan “Ini menjadi pelajaran buat kita supaya untuk berikutnya kedalaman 1 meter pakai 2 bor. Kami rapat dan berpendapat, ada desa yang menjadi prioritas. Supaya tidak ada desa yang kalau pakai logika ini ‘nggak mungkin, karena medannya juga ‘gantung jumlah mahasiswanya, semua pendaftaran dilayani keras. Jadi selama seminggu ini, ya, seberapa lubang yang bisa melalui sistem online. Mereka langsung mendapat kartu peserta kita buat, ya, segitu saja. Jadi yang piket setiap hari gantian KKN,” ungkap Zain. membuat lubang itu,” tambahnya. Perlombaan Blog Hal yang sama diungkapkan Hanum, peserta KKNM di Perlombaan blog menjadi salah satu perubahan yang cukup daerah Cimenyan, yang mengaku bingung dengan pelaksanaan signifikan pada KKNM Januari‐Februari 2010. Laporan peserta program ini. “Kami ‘nggak diajarin, cuman ada semacam KKNM dilakukan lewat blog masing‐masing. Dalam blog itulah petunjuk manual gituh,” tuturnya. “Tanya ke DPL, dia juga ‘gak peserta melaporkan keadaan dan profil desa masing‐masing. ngerti, malah ‘gak datang ke desa sewaktu pelaksanaannya,” “Harapan saya, mudah‐mudahan kondisi KKNM yang ungkap Hanum. belajar dengan masyarakat bisa dipertahankan. Semua data yang Namun Hasni, DPL dari Fapet, menyanggah program diperoleh selama KKNM bisa menjadi sumber bagi pengabdian tersebut dadakan. Menurutnya, walau Biopori itu merupakan berikutnya, dan membantu LSM yang ingin mengetahui desa itu. program pengabdian pada masyarakat atau CSR (tanggung Pemetaan yang dilakukan mahasiwa hendaknya menjadi sumber jawab sosial perusahaan) PT PLN, namun untuk memudahkan informasi. Jangan sampai KKNM mengumpulkan laporan KKN realisasinya, maka PLN menggandeng LPPM Unpad, yang saja,” ujar Hasni berharap. ***Yesi Yulianti & Arie Christy S. kebetulan sedang melaksanakan KKNM. “Memang ini diadakan di Meliala,
[email protected] & akhir masa KKNM,” ujar Hasni.
[email protected]
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
WARTA LPPM Halaman 11
DISERTASI PILIHAN
Sepercik Dakwah dari Mesjid Merah Warna merah dan emas terlihat dominan mewarnai sebuah bangunan berukuran kurang lebih 5x4 meter. Beberapa ornamen khas Cina pun turut menghiasi beberapa bagian bangunan yang berada di Jalan Tamblong 27 Bandung. Masjid Lautze ‐2, begitulah tulisan yang tertera pada sebuah papan berwarna kuning keemasan yang tergantung tepat di atas langit‐langit halaman bangunan itu. Tanpa kubah dan Nuryah Asri Sjarifah, dosen Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) pada saat sidang promosi doktor, februari, 2010 lalu sumber: Dokumentasi Pribadi
lambang bulan bintang ataupun ornamen lain yang biasa menghiasi mesjid pada umumnya. Ia mirip vihara. Tempat ibadah umat Muslim ini terlihat mencolok dan berbeda dari mesjid pada umumnya. Mesjid yang memiliki jamaah kurang‐lebih 50 orang ini hadir dengan uniknya untuk menjadi suatu wadah bagi para mualaf etnis Tiong Hoa yang berdomisili di Kota Bandung. Menurut Sendi, Sekretaris Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) Bandung, keberadaan mualaf sering luput dari perhatian kaum Muslimin. Padahal, mualaf mengalami masalah lahir dan batin. “Tak jarang mualaf harus mengalami nasib yang getir akibat memilih jalan Islam sebagai jalan hidupnya yang berbeda dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya,” ungkap Sendi. Mesjid Lautze seperti oase di padang gurun bagi para Muslim Tiong Hoa, karena Mesjid Lautze hadir sebagai wadah bagi para mualaf. Peran mesjid lautze dirasakan mereka sangat penting karena kondisi yang dialami mualaf pada awal masuk agama Islam lazimnya mengalami tekanan. Berbagai tekanan tersebut berasal dari keluarga, karib, kerabat dan kawan‐kawan nonmuslim yang menentang keputusan mereka untuk melakukan konversi. Konversi agama adalah contoh tranformasi identitas ekstrim yang nyaris sempurna, karena proses ini ditandai tidak hanya dengan perubahan perilaku, tetapi lebih penting lagi perubahan pandangan hidup. Para pelaku konversi agama mendapatkan predikat mualaf bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi ada kebahagiaan, tetapi di sisi lain kebingungan dan konflik menghadang. Dilema ini menjadi lebih parah ketika para pelaku konversi ini berasal dari etnis Tiong Hoa, karena selain harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sebagai pemeluk agama Islam, mereka juga harus membuka diri dengan pemeluk agama Islam lainnya yang mayoritas bukan Tiong Hoa. Namun, sangat disayangkan sering kali keberadaan para mualaf ini kurang diperhatikan oleh umat Muslim lainnya, padahal mereka sangat memerlukan sokongan dari sesama umat Muslim. Nuryah Asri Sjarifah, dosen Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad sangat peduli terhadap para mualaf di Kota Bandung. Lalu dia meneliti transformasi identitas para pelaku konversi agama etnis Tiong Hoa di Bandung sejak 2006. Hasil penelitiannya dituangkan dalam sebuah disertasi bagus yang berjudul, “Transformasi Identitas Pelaku Konversi
Agama Etnis Cina di Kota Bandung”. Dia dibimbing oleh Prof. Dr. Deddy Mulyana (Dekan Fikom Unpad) dan Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir (Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung). Nonon (panggilan akrab Nuryah) berhasil mempertahankan disertasinya dalam sebuah sidang di kampus Pascasarjana Unpad Bandung baru‐baru ini. Nonon meraih gelar doktor ilmu komunikasi dengan yudicium cum laude. “Penelitian tentang transformasi identitas, khususnya yang terkait dengan konversi agama masih jarang dilakukan, padahal fase‐fase pergulatan seorang mualaf memperoleh identitas barunya sebagai seorang Muslim sangat menarik untuk diteliti,” ungkap Nonon. Konversi merupakan pengalaman yang subjektif, bahkan bersifat transenden, oleh sebab itu diperlukan kajian yang bersifat fenomenologis. Analisis fenomenologis dapat merekonstruksi kehidupan manusia dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Pada awalnya Nonon mencoba mencari data populasi Etnis Tiong Hoa di Bandung, tapi hasilnya nihil. Usahanya berlanjut dengan pencarian data lewat studi pustaka, namun buku “Bandung dalam Angka 2004” dijadikan bahan rujukannya juga tidak menyediakan data yang dicarinya. Hal ini tidak lantas membuatnya patah arang. Ia lantas melakukan pencarian data di Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) hingga kemudian mendapatkan rujukan untuk menghubungi Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) sebagai yayasan yang menaungi masjid Lautze‐2. “Awalnya mereka tertutup sekali. Ada prasangka dan stereotip dari diri mereka akan kehadiran saya, begitu juga sebaliknya. Saya juga ada stereotip dengan mereka,” tutur Nonon kepada Warta LPPM di kampus Fikom Unpad Jatinangor baru‐ baru ini. Memang tak mudah untuk diterima di dalam komunitas muslim Tiong Hoa ini. Pendekatan demi pendekatan yang dilakukan oleh ilmuwan kelahiran Bandung (25‐8‐1975) ini akhirnya menghasilkan hubungan yang cukup intim dengan para pelaku konversi agama ini. Hasil penelitiannya menunjukkan, ternyata ada empat kategori motif yang mendorong para mualaf melakukan konversi agama, yaitu pembebasan dari tekanan batin, situasi pendidikan, pergaulan antarpribadi, dan kesadaran akan kuasa yang absolut. Didorong oleh motif‐motif tersebut, mereka (para informan) memutuskan untuk memeluk agama Islam. Konversi agama merupakan suatu fenomena yang rumit dan juga berimplikasi terhadap transformasi identitas. Perubahan radikal yang terjadi pascakonversi agama pun terjadi pada diri setiap informan. “Perubahan konsep diri para pelaku konversi agama terjadi bertahap seiring dengan interaksi para informan dengan lingkungannya. Peristiwa‐peristiwa yang mereka alami juga memengaruhi perubahan dan konsep diri setelah menjadi mualaf,” simpul Nonon. Salah satu dari tujuh dalil yang diajukannya dalam disertasinya berbunyi, konversi agama meyebabkan perubahan pada pandangan dunia yang menuntut perubahan pada diri dan pola komunikasi. Meskipun disertasinya telah rampung, dan gelar doktor telah diraih, Nonon tetap menjalin silahturahmi dengan jamaah masjid Lautze‐2. “Sebagai sesama umat Islam, saya merasa bertanggung jawab untuk terus memotivasi mereka. Saya pun terkadang merasa malu ketika melihat semangat mereka untuk belajar. Ini yang menjadi panggilan bagi saya,” ungkap Nonon. *** Martin ,
[email protected]
WARTA LPPM Halaman 12
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
PENELITIAN PILIHAN
Sosialisasi Gempa dan Tsunami Melalui Drama Gempa bumi dan tsunami yang sering terjadi di Indonesia ternyata sudah diprediksi oleh beberapa ilmuwan geologi. Hal inilah yang kemudian menggerakkan Dr. Dicky Muslim, dosen Fakultas Teknik Geologi Unpad, untuk melakukan penelitian Model Sosialisasi Penyelamatan Diri dari Bencana Tsunami dan
Awalnya penelitian dilakukan pada 2006 di daerah Wakayama, Pantai Selatan Jepang (Lautan Pasifik), melalui penelitian geologi di sekitar lokasi‐lokasi sekolah. “Hipotesis saya adalah bahwa banyak murid dan guru sekolah menjadi korban bencana gempa dan tsunami karena ketidaktahuan mereka akan penyelamatan diri dari fenomena ini, ketidakberdayaan mereka untuk lari menjauhi bangunan, kepanikan saat terjadi bencana, dan kurangnya sosialisasi yang terfokus pada
Gempa Bumi dengan media Dicky dan tim dari Jepang sedang menampilkan pertunjukan mereka.” Metode sosialisasi yang digunakan diskusi dan drama untuk drama tentang bencana tsunami. Sumber: Dokumentasi Pribadi dalam penelitian ini adalah diskusi dan para siswa dan guru. Model drama. Menurutnya, dua metode tersebut ini berisi informasi mengenai cukup menarik untuk siswa usia sekolah. kedua bencana tersebut yang Selain tidak membosankan, metode ini juga dilengkapi dengan metode memungkinkan para siswa untuk penyelamatan diri. berinteraksi langsung dengan tim penyaji. “Kami meneliti Drama di depan kelas merupakan media pengetahuan murid dan guru unggulan. Dicky bersama rekan‐rekan dari tentang kebencanaan tsunami Jepang harus menampilkan drama singkat serta cara‐cara penyelamatan sekitar 10 menit tentang bencana tsunami diri, sekaligus dan gempa serta cara menyelamatkan diri menyebarluaskan dari bencana tersebut. Tak mudah pengetahuan geologi tentang kebencanaan secara sederhana untuk mereka Tim dari Jepang sedang membagikan brosur tentang memang. Karena itu Dicky dan timnya pun dan keluarganya di rumah,” penyelamatan diri dari bencana. Sumber: Dokumentasi harus berbekal pengetahuan tentang Pribadi psikologi anak, mulai dari siswa SD sampai ungkap Dicky. SMA. Untung saja dalam tim, Dicky dibantu Menurut doktor lulusan beberapa guru SD, SMP, dan SMA dari Jepang yang sudah Osaka City University ini, para murid dan guru adalah terbiasa dengan situasi kelas di sekolah yang tentu jauh kelompok masyarakat yang paling rentan menjadi korban berbeda dengan situasi perkuliahan di universitas. karena terbatasnya pengetahuan mereka terhadap “Kami menggunakan beberapa alat bantu untuk penyelamatan diri saat bencana. Kejadian tsunami di menjelaskan kejadian tsunami dan gempa, misalnya Maumere (1994), Aceh (2004), Pangandaran dan gambar kondisi tektonik, kain panjang sebagai replika Yogyakarta (2006), Thailand (2004), dan gempa bumi di ombak, topeng anime sebagai peran anak sekolah, dan Kobe (1995) serta China (2008), membuktikan bahwa poster‐poster sebagai daya tarik,” tutur Dicky. anak‐anak usia sekolah adalah kelompok yang rentan Setelah drama, seluruh siswa dan guru bebas menjadi korban ketika bencana alam terjadi. melakukan diskusi dan tanya‐jawab dengan tim penyaji. “Karena itu kami fokus kepada kelompok usia Biasanya sesi ini berjalan sekitar dua jam. Tak hanya siswa sekolah, sekaligus sebagai upaya agar para murid bisa dan guru, warga sekitar lokasi sekolah pun seringkali menyebarkan brosur dan info kebencanaan kepada orang datang dan ikut berdiskusi. tua, adik atau kakak, dan keluarga mereka di rumah,” tutur “Saya sangat terkesan dengan antusiasme mereka. Dicky kepada Warta LPPM baru‐baru ini. Bahkan ada di daerah terpencil di selatan Pacitan, Jawa Dalam melakukan penelitian, Dicky bekerja sama Timur, guru‐guru sengaja memanggil murid‐murid yang dengan The Natural Environmental Institute dari Osaka, sudah pulang. Kadang‐kadang kami diminta cerita tentang Jepang, yang membantu menyediakan ribuan brosur berisi sekolah‐sekolah di Jepang sebagai perbandingan. Kalau pengetahuan tentang bencana tsunami dan gempa untuk sudah begitu bisa lebih dari dua jam. Belum lagi diminta siswa SD, SMP, dan SMA. Sampai saat ini sudah sekitar mencicipi penganan tradisional setempat sebagai tanda 35.000 eksemplar brosur tentang tsunami dan gempa simpati mereka atas kedatangan tim kami,” tuturnya disebarkan melalui kunjungan langsung. “Kebetulan pula, kawan‐kawan dari Jepang Bersambung ke halaman 13 mempunyai minat yang sama, khususnya pengurangan resiko bencana untuk anak‐anak sekolah,” ungkapnya.
WARTA LPPM Halaman 13
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
hipotesisnya melalui penelitian eksploratif ini. Keunggulan penelitian yang sebagian besar dibiayai oleh The Natural Environmental Institute of Osaka, Jepang, ini terdapat pada media sosialisasi bencana kepada anak‐anak, yang memang belum biasa dilakukan organisasi lain. “Kelemahannya, karena program ini banyak dibantu dari Jepang, maka jadi tergantung kepada kemauan mereka untuk membantu, walaupun inisiatif tetap datang dari pihak kami di Indonesia,” ujar ilmuwan kelahiran Bogor (15‐12‐1967) ini. Melihat hasil yang efektif, pengaplikasian penelitian ini memungkinkan untuk dilanjutkan menjadi program rutin sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Dicky mengakui, memang sebaiknya program ini dijalankan secara rutin dan bekerjasama dengan pemerintah setempat. Namun, selama ini beberapa pihak yang ingin bekerja sama justru menanyakan jumlah uang dan bantuan yang bisa disediakan oleh tim Jepang. “Padahal etikanya ’kan tidak begitu. Kalau begitu terus, tampaknya sebelum menemukan Pemda atau lembaga yang pas, kita akan tetap independen dulu,” kata Dicky mengakhiri percakapan. *** R. Lasmi Teja Raspati
[email protected]
Sosialisasi Gempa........
(Sambungan dari halaman 12) Kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat ini sudah dipublikasikan dalam konferensi di Jepang, Jerman, dan Indonesia. Setiap tahun, sejak 2006 sampai 2009, Dicky dan tim sudah mengunjungi puluhan sekolah yang lokasinya berada di pesisir pantai selatan Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), Pulau Bali dan Lombok. Di Jabar khusus untuk penanganan bencana tsunami, Dicky sengaja mengunjungi sekolah‐sekolah di pesisir Selatan, mulai Kabupaten Garut, Cianjur, sampai Banten. Dicky dan timnya juga berkunjung untuk penanganan bencana gempa ke Cimahi, dan Cibadak (Sukabumi) pada Agustus 2009. Dicky tidak sembarangan memilih sekolah yang akan dikunjungi. Sekolah yang dikunjungi hanya sekolah‐ sekolah yang berpotensi terkena bencana. Sebelum berkunjung, terlebih dahulu dilakukan observasi. Setelah itu dikonsultasikan dengan tim dari Jepang dan dicek melalui google earth. Kemudian dibuatlah itinerary perjalanan. Soal aksesibilitas dan keamanan perjalanan pun menjadi hal yang perlu diperhitungkan. Setelah menghabiskan sekitar tiga tahun masa penelitian, Dicky berhasil membuktikan kebenaran atas
OPINI
Pegawai Administrasi Unpad Menurut Pegawai Administrasi
Oleh: Yuce Hertiana (Staf Administrasi LPPM Unpad)
Saya pegawai bidang administrasi Unpad. Tiap hari saya bergelut dengan bidang ini. Inilah hidup saya. Bertahun‐tahun saya bekerjasama dengan teman‐teman di bagian administrasi. Mereka adalah yang terbaik. Mereka benar‐benar menguasai bidang administrasi. Itulah sepenggal pengalaman saya sebagai pegawai administrasi. Kemampuan pegawai administrasi dalam melaksanakan tugas masing‐masing ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang beragam. Ini tak berarti bahwa seorang pegawai administrasi harus berlatar belakang pendidikan admnistrasi. Kemampuan seorang tenaga administrasi tidak identik dengan menulis, menjawab telepon, dan mengetik saja. Ada sisi lain yang menuntut kemampuan pegawai administrasi untuk melakukan hal yang lebih daripada itu, seperti kemampuannya mengoperasikan komputer ditunjang dengan bahasa asing (walau cuma pasif). Pegawai administrasi niscaya menghadapi berbagai macam tugas yang memerlukan keterampilan. Contohnya, membuat surat‐surat sederhana, menjawab surat dalam bahasa asing bila diperlukan, membuat jadwal tertentu untuk pemimpin atau atasan, membuat laporan tahunan, membuat laporan keuangan, membuat profil unit kerjanya, dan membuat proposal kegiatan, misalnya seminar atau lokakarya. Tentu saja tugas‐tugas tersebut tidak bisa dibuat asal‐ asalan, tetapi harus berdasarkan data yang akurat dan kemampuan khusus. Data yang diperoleh pun haruslah berdasarkan hasil rekapitulasi data yang dikerjakan oleh pegawai administrasi sendiri. Sebenarnya, ada sistem yang berpengaruh terhadap kualitas kinerja pegawai administrasi,
seperti pada jabatan tertentu dibutuhkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), sehingga hasil kerjanya maksimal dan mengimbangi suatu kemajuan. Pada saat itulah kontribusi pegawai terasa sekali. Kemampuan yang terus berkembang berorientasi terhadap eksistensi pegawai administrasi di suatu unit kerja, kemudian bisa membuat suatu perbedaan iklim kerja yang signifikan, dan iklim seperti ini menuntun ke arah yang lebih kondusif, kenyamanan, dan pencapaian target. Karena sifatnya tidak perseorangan, tetapi kolektif atau tim kerja atau bekerja dalam satu jaringan, maka substansi kebersamaan di antara para pegawai administrasi sangat dominan. Berbicara tentang kemampuan pegawai administrasi, tentu tidak terlepas dari faktor pendukung lainnya, baik berupa materi maupun nirmateri. Daya dukung seperti dukungan pemimpin (atasan), fasilitas komputer dan perangkatnya, jaringan internet, apresiasi dalam bentuk penghargaan, termasuk insentif (perangsang) yang diperoleh, selain penghasilan yang telah ditentukan, tentu dapat memicu para pegawai administrasi untuk meningkatkan kemampuan dan prestasi masing‐masing. Hal terakhir, namun tak kurang pentingnya, masukan dan saran dari pihak‐pihak terkait sebagai mediasi akan sangat membantu mewujudkan kemampuan para pegawai. Apakah kemampuan seluruh pegawai Administrasi Unpad sudah benar‐benar memadai sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan universitas? Fakta sehari‐hari yang kita alami sendiri tentu dapat menjawabnya. Hidup para pegawai Unpad! Hidup Unpad! ***
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
WARTA LPPM Halaman 14
KOMENTAR
Menjiplak, “Penyakit” Akut dan Kronis Plagiarisme atau menjiplak karya tulis orang lain kembali menjadi sorotan setelah terungkapnya plagiarisme yang dilakukan seorang guru besar FISIP Unpar. Hal ini tentu sangat memprihatinkan masyarakat, terutama kalangan akademisi. Berikut komentar beberapa warga akademik Unpad tentang “penyakit” akut dan kronis para mahasiswa dan dosen di semua perguruan tinggi Indonesia itu. Marina Silvia Silalahi, mahasiswa semester VIII, Jurusan Jurnalistik, Fikom: Penjiplakan itu sahsah saja selama hanya sebatas mencontoh ilmunya, dan kita kembangkan secara pribadi. Hal ini akan menjadi masalah ketika kita meniru hasil karya orang lain, dan menjadikan karya itu seperti orisinal pemikiran kita. Sebagai sesama manusia seharusnya kita memiliki sebuah kesadaran untuk saling menghargai karya tulis orang lain. Wira Andana, mahasiswa semester VI, Fakultas Ilmu Geologi: Pelaku jiplak adalah orang yang gagal menemukan pemikirannya sendiri. Seorang yang pandai, banyak tahu, namun tidak memiliki keberanian untuk memunculkan pemikirannya sendiri akan siasia. Untuk menghindari penjiplakan, seharusnya kita menghargai pemikiran kita sendiri, dan juga menghargai karya tulis orang lain. Ida Maryati, dosen Bagian Klinik, Fakultas Keperawatan: Jiplakmenjiplak di kalangan akademisi merupakan sebuah bentuk penipuan intelektual. Ini disebabkan pragmatisme, hilangnya kreativitas, dan inovasi penulis. Yang lebih berbahaya lagi bila penjiplakan dilakukan oleh para guru besar, yang seharusnya melahirkan gagasan dan pemikiran baru. Antik Bintari, dosen FISIP: Jelas saya menetang plagiarisme. Kita wajib menghargai karya seseorang sekecil apapun, salah satunya dengan mencantumkan nama penulis di tulisan yang kita buat kalau kita memang mengutip penggalan karya penulis tersebut. Budi Irawan, dosen Fakultas MIPA Plagiarisme dimungkinkan muncul bila kita kekurangan ide atau gagasan, atau kurangnya kreativitas. Untuk menguranginya kita harus menggunakan indera yang kita miliki, artinya kita harus membuka mata, telinga dan hati
kita untuk mencari ide/gagasan. Gagasan/ide kita mungkin juga dapat muncul setelah terinspirasi oleh ide/gagasan orang lain. Krisha Nurmala (20), mahasiswa Fakultas Psikologi: Kasus jiplak‐menjiplak di dunia perguruan tinggi sangat memalukan. Karena sikap tersebut sama saja dengan mencuri hasil karya orang lain. Hasil karya seseorang patutlah dihargai, bukan untuk dicuri, karena pemilik karya tersebut pasti telah berusaha keras menciptakannya. Adanya kasus ini membuktikan kemalasan oknum kaum intelektual untuk berkarya karena hanya ingin sukses tapi tidak mau berpikir mandiri. Solusinya, penanaman nilai budi pekerti di seluruh jenjang pendidikan, menciptkan budaya berpikir mandiri dan motivasi tinggi, lebih peka terhadap hasil karya seseorang untuk menguji tingkat keasliannya. Jangan sampai kita terkecoh lagi kalau ternyata itu hasil karya orang lain. Hal yang penting, memberi sanksi tegas untuk pelaku penjiplakan. Muhammad Arriza Pasha (20), mahasiswa Fakultas Ekonomi: Penjiplakan karya tulis orang lain yang dilakukan kaum intelektual di perguruan tinggi jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang jujur. Selain itu, sebagian kaum intelektual di negeri ini sudah tidak cerdas lagi, mengerjakan sesuatu yang “instant”, mau gampangan saja. Tindakan mereka itu sungguh memalukan. Kasus tersebut juga mengindikasikan adanya degradasi akhlak di kalangan kaum intelektual. Hal ini tentu memperparah reputasi bangsa Indonesia di mata dunia. Kaum intelektual merupakan representasi suatu bangsa dan negara. Apa kata dunia? Solusinya, perlu kerendahan hati untuk mengakui kelebihan karya orang lain, dan harus sadar bahwa sebagai entitas akademik kita harus mencerminkan sikap kaum terpelajar. Kita harus menjadi kaum cendikia yang cerdas, jujur, dan bijaksana. *** Red. Warta LPPM
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
WARTA LPPM Halaman 15
RESENSI BUKU
Judul Buku : Modernisasi Perdesaan, Dampak Mobilitas Penduduk Penulis : A. Djadja Saefullah Penerbit : Penerbit AIPI Bandung – Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad Judul Asli : The Impact of Population Mobility on Two Village Communities of West Java, Indonesia Penerjemah : Catherine Natalia ISBN : 978‐979‐24‐7454‐1 xxxii+228 hal.23x16 cm mencari ekonomi desa. Kecenderungan tersebut perlu Buku yang ditulis oleh A. Djadja Saefullah, guru besar campur tangan kebijakan pemerintah dengan memadukan kebijakan sumberdaya manusia dan kependudukan pada strategi pembangunan daerah perkotaan dan perdesaan. FISIP Unpad ini, berisi uraian tentang proses modernisasi Kecenderungan di awal 1990an yang diteliti penulis perdesaan sebagai dampak dari mobilitas penduduk. Buku tersebut, masih sangat relevan hingga kini bahkan ini diangkat dari disertasi yang pernah ditulisnya di era mobilitas penduduk desa kini sudah melampaui batas‐ 1990an untuk memperoleh gelar Ph.D di The Flinders batas antar negara, bukan semata‐mata antara kota dan University of South Australia (1992). desa dalam satu provinsi atau antar provinsi. Karena itu, buku ini patut dibaca oleh para praktisi pemerintahan dan Mobilitas penduduk memiliki pengaruh mendasar pembangunan sebagai dasar dan wawasan di dalam terhadap perkembangan ekonomi dan perubahan sosial di pembuatan kebijakan publik. Sedangkan bagi mahasiswa, daerah perdesaan Indonesia. Melalui para penduduknya peneliti, dan akademisi akan berguna di dalam memahami yang berpindah ke luar telah mengurangi tekanan isu‐isu pembangunan, khususnya mobilitas penduduk dan penduduk pada pasar tenaga kerja di desa‐desa dan kebijakan pembangunan. Dari sisi metodologi, penelitian mengubah struktur sosial ekonomi masyarakat perdesaan. yang dilakukan oleh penulis menggunakan dua Proses modernisasi perdesaan antara lain ditunjukkan pendekatan penelitian yakni kuantitatif dan kualitatif yang oleh kecenderungan penduduk dan masyarakat desa asal satu sama lain saling melengkapi sifatnya. migran untuk mencari sumber penghasilan baru di luar (Dede Mariana) kegiatan pertanian dan menjadi lebih kreatif dalam
Profil Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana:
Konsisten pada Perkembangan Perguruan Tinggi
“Unpad harus cepat‐cepat meraih gelar world class,“ ujar Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana sesaat setelah acara pembukaan Semiloka “Membangun Universitas Padjadjaran untuk Pencapaian World Class Univerity”, di Hotel Mason Pine, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, baru‐baru ini. Menurut ahli ilmu ekonomi ini, Unpad sebaiknya jangan mau tertinggal oleh perguruan tinggi (PT) lain yang perkembangannya kini kian pesat. Sebut saja, UIN Bandung dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Universitas yang dulu bernama IKIP itu menjadi kian pesat setelah berganti status, menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). “BHMN ini seharusnya jangan kita lihat sebagai masalah, tapi justru kita jadikan sebagai peluang,” ujar dosen FE Unpad kelahiran Bandung (16‐8‐1960) ini. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional ini optimistis, Unpad bisa meraih predikat universitas
kelas dunia (UKD) lebih cepat dari yang ditargetkan. Baginya pencapaian UKD ini tentu tergantung kepada seberapa cepat Unpad melakukan transformasi, baik dari segi organisasi maupun dari segi kelembagaan. Armida menyarankan, agar Unpad tidak terfokus pada target Sumber photo : Dadan Triawan, waktu saja, tapi juga fokus Humas Unpad terhadap program‐ program studi unggulan. Untuk mendukung pencapaian Unpad dan PT‐PT lainnya, Armida lewat Bappenas senantiasa menyusun program‐program perencanaan dan pelatihan. Program tersebut dilaksanakan oleh Bappenas, yang juga mengemban fungsi sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional Perencana dan Penyelenggara Pendidikan dan Pelatihan Perencana Pembangunan (Pusbindiklatren), untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas instansi perencanaan pemerintah di pusat dan daerah dengan meningkatkan kompetensi dan produktivitas. Bersambung ke halaman 16
WARTA LPPM Halaman 16
Vol. 2. Ed.1.No. 6 MARET 2010
Profil…..
Aktivitasnya yang padat lantas tidak membuat anak kedua dari pasangan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (sambungan dari halaman 15) (mantan Menlu, Menkeh, dan Rektor Unpad) dan Siti Hadidjah ini melalaikan kewajibannya “Untuk penjenjangan, perguruan sebagai isteri dan ibu. tinggi bekerjasama dengan Bappenas “Dulu waktu saya kecil, meski “Yang penting bisa mengatur mengadakan pelatihan‐pelatihan yang bapak itu jadi menteri dan sibuk, waktu. Kebetulan anak‐anak saya juga sifatnya membekali. Ada juga pelatihan sudah mahasiswa, jadi ‘nggak terlalu tapi perhatiannya pada yang sifatnya topik,” ungkapnya. masalahlah,” ujar ibunda Arlita perkembangan perguruan tinggi Dalam pelaksanaan tugas‐tugas terus berjalan. Meski saat itu bapak Alisjahbana dan Ariana Alisjahbana tersebut, Pusbindiklatren Bappenas ini. sedang jadi Menteri Kehakiman, memanfaatkan dan mendayagunakan Armida menikah dengan Andi pinjaman dan hibah luar negeri sebagai tapi beliau tetap mengajar, bahkan Alisjahbana, putra Prof. Dr. Iskandar sumber dana luar negeri, dan APBN tetap menguji di Fakultas Hukum Alisjahbana (mantan Rektor ITB). sebagai sumber dana dalam negeri. “Suami, ya, tentu mendukung Unpad,” “Program yang sedang jalan itu dong. Kebetulan suami saya juga salah satunya dengan Islamic sering dinas di Jakarta. Kita bagi Armida Salsiah Alisjahbana Development Bank (IDB) dalam waktu. Ya, kita bertekad, yang penting membangun kampus Jatinangor,” ada kepercayaan,” tutur Armida ungkap mantan PD I FE Unpad ini. kepada Warta LPPM di sela‐sela Semiloka tersebut. Armida menambahkan, Pusbindiklatren juga Perempuan cantik ini dibesarkan oleh kedua melakukan kerjasama dengan kedutaan‐kedutaan besar orangtua yang berlatarbelakang pendidikan Belanda. dan lembaga internasional di Jakarta, dalam usaha Namun ia mengakui, didikan dan peranan kedua menyebarluaskan informasi pemanfaatan beasiswa yang orangtuanya sangat memengaruhi kesuksesan karirnya mereka sediakan, atau biasa disebut beasiswa non‐ kini. Terlebih, peranan sang ayah, yang senantiasa Pusbindiklatren. mendorong dan menginspirasinya untuk selalu konsisten Sebelum menjabat menteri pada 22 Oktober 2009, belajar dan bekerja keras dan disiplin. Ya, buah jatuh lulusan FE UI ini sempat menjabat sebagai Ketua memang tidak akan jauh dari pohonnya. Tak heran jika Departemen Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE Unpad prestasi‐prestasi besar sang ayah lantas turun kepada sejak 1996. Spesialisasinya adalah ekonomi internasional. putrinya. Maka, selepas lulus dari UI pada Juni 1985, Armida lantas “Dulu waktu saya kecil, meski bapak itu jadi menteri melanjutkan studinya di Northwestern University, dan sibuk, tapi perhatiannya pada perkembangan Amerika Serikat, dan berhasil meraih gelar Master of Art in perguruan tinggi terus berjalan. Meski saat itu bapak Economics. Sementara gelar doktor ekonomi diraihnya sedang jadi Menteri Kehakiman, tapi beliau tetap dari University of Washington, Amerika Serikat. mengajar, bahkan tetap menguji di Fakultas Hukum Disertasinya waktu itu berjudul, “Demand for Children's Unpad,” kenang Armida. Schooling in Indonesia: Intrahousehold Allocation of Hal ini pulalah yang membuatnya terus aktif menulis Resources, the Role of Prices and Schooling Quality.” dan melakukan berbagai riset, di samping tulisan‐ Selain aktif dalam dunia PT di dalam negeri, Armida tulisannya yang diterbitkan dalam buku atau dimuat di pun eksis di berbagai lembaga internasional. Kiprahnya di berbagai jurnal ilmiah. dunia internasional tak sedikit. Ia seringkali dipercayai “Mudah‐mudahan saya bisa seperti bapak, konsisten sebagai konsultan Bank Dunia dan Australia Agency for di bidang yang selama ini saya tekuni,” ujarnya tersenyum. Internasional Development (AusAID). Tak hanya itu, Terkait soal plagiarisme (penjiplakan) yang sering Armida pun sempat menjadi konsultan Bank Dunia di dilakukan kaum intelektual, terutama para dosen, Armida Indonesia, untuk menangani berbagai proyek. Kerjasama merasa kecewa sekali. Menurutnya, sebagai bagian dari dengan beberapa lembaga internasional pun pernah ia PT, integritas dan pertanggungjawaban akademik dosen jalin, sebut saja Japan Bank for Internasional (JBIC), seharusnya dinomorsatukan. IBRD/IDA, Asian Development Bank, dan JICA. Ia juga “Setiap universitas tentu punya mekanisme dan kode tercatat sebagai anggota Ikatan Sarjana Ekonomi etik. Penyelesaiannya lebih baik diserahkan saja kepada Indonesia (ISEI), American Economic Association (AEA), mekanisme yang ada. Integritas akademik itu, ya, tetap Population Association of America (PAA), International harus nomor satu dong. Ya, jangan sampai ada kasus Institute of Public Finance (IIPF), dan East Asian Economic serupa lagi,” tegas Armida pula. ***R. Lasmi Teja Raspati, Association (EAEA).
[email protected]
WARTA LPPM Alamat Redaksi : Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung 40115 Telp/Fax. (022) 7279435/7208013 Email:
[email protected] URL : http://www.lppm.unpad.ac.id
PEMBINA: Rektor Unpad‐Ganjar Kurnia; NARASUMBER: Dekan di lingkungan Unpad; PENANGGUNG JAWAB: Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unpad‐Oekan S. Abdoellah; PEMIMPIN UMUM: Sekretaris Bidang Penelitian LPPM Unpad‐ Chay Asdak; Sekretaris Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM Unpad‐Sondi Kuswaryan; PEMIMPIN REDAKSI: S. Sahala Tua Saragih; DEWAN REDAKSI: Dede Mariana; Redaktur Pelaksana: Pandan Yudhapramesti; Gumgum Gumilar; Anggota Staf Redaksi: Martin; Rivki Maulana Priatna; R. Lasmi Teja Raspati; Yesi Yulianti; Arie Christy S. Meliala ; KOORDINATOR SIRKULASI: Endang Supriatna; Suhendar; ANGGOTA SIRKULASI/TEKNIS: Usep Sahrudin; Mochamad Darryana; Cucu Cuminawati; Arief Irmansyah, dan Ade Chaidir; REDAKTUR ARTISTIK: Deni Rustiandi