Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS LIFE VALUE INVENTORY Arivika Akanda Putri William Gunawan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas Life Values Inventory (LVI) yang dikembangkan oleh Duane Brown dan R. Kelly Crace. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat non-eksperimental. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 16-18 tahun. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII pada SMA Tarsisius Vireta dan SMA Strada Thomas Aquino Tangerang. Jumlah sampel untuk uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini adalah 277 orang. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach’s Alpha dengan bantuan program statistik SPSS versi 17. Dari hasil uji statistik diketahui bahwa rentang validitas 42 aitem berkisar antara 0.06-0.48 dan reliabilitasnya adalah 0.849. Melalui hasil tersebut diperoleh 29 aitem diterima. Kata kunci : Uji Validitas dan Reliabilitas, Life Values Inventory
Pendahuluan Remaja
memiliki
tugas
perkembangan
yang
harus
dipenuhi
demi
kelangsungan hidupnya. Salah satu tugas perkembangan remaja adalah memilih dan menerapkan karier. Pengambilan keputusan karier adalah hal penting yang harus dilakukan oleh seorang remaja karena menurut Conger ini merupakan tahap awal dari perjalanan kariernya di masa depan kelak (Marliyah, Dewi & Suyasa, 2004). Winkel mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan karier merupakan suatu proses pemilihan jabatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, psikologis, geografis, dan pendidikan yang bersama-sama membentuk jabatan seorang individu. Individu memperoleh sejumlah keyakinan, nilai kebutuhan, kemampuan, keterampilan, sifat kepribadian, serta pemahaman yang berkaitan dengan jabatan yang diduduki (Marliyah et al., 2004). 181
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Seorang remaja seharusnya sudah dapat mengambil keputusan kariernya sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam melakukan pengambilan keputusan karier. Kesulitan ini meliputi kebimbangan, ketidakpastian, hingga stres ketika harus melakukan pengambilan keputusan karier (Santrock, 2002). Hal yang berkaitan dengan sulitnya melakukan pengambilan keputusan karier ini kemudian menyebabkan banyak orang menjadi bingung akan keputusan yang mereka ambil. Lim mengungkapkan bahwa pada akhirnya mereka dapat saja merasa salah mengambil program studi atau jurusan, merasa tidak bermanfaat menimba ilmu dan sebagainya yang pada akhirnya berujung pada tidak mendapatkan pekerjaan layak sesuai disiplin ilmunya (Latief, 2010). Sharf
(2006)
mengemukakan
bahwa
pengambilan
keputusan
karier
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: aptitudes, achievements, interests, personality, dan values. Aptitudes didefiniskan sebagai kapasitas spesifik dan kemampuan dari individu dalam proses belajar yang ditunjukkan melalui kinerja individu dalam melakukan tugas atau suatu pekerjaan. Achievements mengacu pada pencapaian yang sudah diperoleh oleh individu dalam hidupnya. Pencapaian yang diperoleh individu juga menjadi penentu dalam pengambilan keputusan karier yang dilakukan oleh individu. Banyak studi telah mengungkapkan bahwa ada hubungan antara interest yang dimiliki seseorang dengan pemilihan karier yang dipilih. Dikatakan bahwa jika seseorang memiliki interest dalam suatu aktivitas, maka orang tersebut akan termotivasi untuk bekerja lebih giat dan pada akhirnya akan mencapai kesuksesan. Hal lain yang menurut Sharf memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan
karier
yang
dilakukan
seseorang
adalah
personality.
Holland
mengungkapkan bahwa orang akan menekuni suatu karier tertentu apabila karier tersebut sesuai dengan karakteristik atau tipe kepribadian yang dimilikinya (Sharf, 2006). Selain itu, pengambilan keputusan karier juga dipengaruhi oleh values yang dimiliki individu. Schwartz mendefinisikan value sebagai sesuatu yang diinginkan, objek, tujuan, perilaku yang melampaui situasi spesifik dan digunakan sebagai standar normatif untuk menilai dan memilih alternatif perilaku (Feather, 1999). Sementara itu, Brown (2003) mengatakan bahwa value adalah keyakinan yang dipelajari oleh individu mengenai bagaimana individu sebaiknya berfungsi. Allport mengatakan 182
Jurnal NOETIC Psychology bahwa
value
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
merupakan
keyakinan
yang
melandasi
seseorang
bertindak
berdasarkan pilihannya (Rokeach, 1973). Berdasarkan definisi tentang values yang diungkapkan, dapat diambil kesimpulan bahwa values merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh individu. Values dikatakan menjadi suatu hal yang penting karena values merupakan suatu hal yang mempengaruhi pikiran dan perilaku individu. Hal ini bertujuan agar pada akhirnya dapat membantu dalam proses pemilihan beberapa alternatif dalam kehidupan untuk melakukan pengambilan keputusan. Ginzberg, Ginzburg, Axelrad, dan Herma mengatakan bahwa value mulai dihayati oleh individu sejak usia 14 tahun dan ketika individu berusia 15 sampai 18 tahun, mereka sudah dapat mempertimbangkan values yang mereka miliki dalam menentukan karier (Winkel, 1997). Berbagai upaya dilakukan untuk mengenali value yang dimiliki individu, diantaranya adalah dengan teknik wawancara. Teknik ini telah digunakan oleh Rokeach (1973) untuk menggali dan mengenali values yang dimiliki individu. Ia melakukan wawancara dengan para responden yang dimintanya untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan value yang menjadi tujuan akhir mereka. Upaya lain yang dilakukan untuk mengenali value yang dimiliki individu adalah dengan menggunakan hasil evaluasi diri yang dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran. Pada awalnya, skala pengukuran values yang ada hanya dibentuk sebagai alat pengukuran umum untuk mengukur values individu tanpa ada kaitannya pada peran kehidupan dari individu (general values inventory). Ini
senada
halnya
dengan
skala
pengukuran
work
values
yang
hanya
mengutamakan pengukuran pada peran pekerjaan saja (work values inventory). Untuk itu dibutuhkan suatu skala pengukuran values yang dapat menjembatani masalah ini. Life Values Inventory (LVI) muncul sebagai jembatan antara general values inventory dan work values inventory dengan mendesain suatu values inventory yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan individu berkaitan dengan keputusan mengenai pekerjaan, pendidikan, relasi, dan leisure. LVI terdiri dari 42 item yang termasuk dalam 14 dimensi value. Melihat betapa pentingnya Life Values Inventory dalam proses pengambilan keputusan karier, maka peneliti tertarik untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur Life Values Inventory dalam versi Bahasa Indonesia. 183
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Kajian Teoretis Berbagai pakar memiliki pendapat dan pandangannya sendiri mengenai value. Menurut Schwartz, value merupakan sesuatu yang diinginkan, objek, tujuan, perilaku yang melampaui situasi spesifik dan digunakan sebagai standar normatif untuk menilai dan memilih alternatif perilaku. Sementara itu, Allport mengatakan bahwa value merupakan keyakinan yang melandasi seseorang bertidak berdasarkan pilihannya (Rokeach, 1973). Value dikatakan mengacu pada kepentingan dan kelekatan individu terhadap sesuatu (Dubrin, 2004). Definisi lain berkaitan dengan value juga diungkapkan oleh Brown (2003). Brown mengungkapkan bahwa value merupakan keyakinan yang dipelajari oleh individu mengenai bagaimana individu sebaiknya berfungsi. Dari beberapa pengertian tentang value yang telah dikemukakan, definisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi value yang diadaptasi dari Rokeach yang mengemukakan bahwa “a value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conductor end-state of existence”. Hal ini berarti value merupakan keyakinan bahwa suatu cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang lainnya (Brown 2003). Brown dan Crace (1996) mengungkapkan bahwa values telah lama dipandang sebagai determinan penting dari perilaku individu (Allport, Vernon & Lindzey, 1960; Rokeach, 1973; Super, 1990). Lebih lanjut, values dikatakan memiliki hubungan empiris dengan aspek penting dari perilaku organisasi (Meglino, Ravlin, & Adkins, 1989), performa akademik (Coyne, 1988), pengambilan keputusan karier (Ravlin & Meglino, 1987), dan kepuasan pernikahan (Vaitkus, 1995). Values juga diidentifikasikan sebagai determinan penting dari perilaku khas dari budaya (Sue & Sue, 1990), dan juga untuk mengerti keanekaragaman budaya (Brown & Crace, 2002). Seperti yang telah ditemukan oleh penelitian sebelumnya, values memiliki pengaruh yang besar dalam keberfungsian manusia. Konselor karier, konselor pernikahan, psikolog organisasi, dan berbagai ahli lainnya tidak menggunakan pengukuran terhadap values yang dimiliki individu karena tidak adanya dasar empiris serta masih sulitnya pengadministrasian dan skoring values inventory. 184
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
LVI didesain untuk menjawab kebutuhan tersebut. LVI adalah suatu alat ukur yang dikembangkan sebagai jembatan penghubung antara work values inventory dan general values inventory dengan mendesain values inventory yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan individu berkaiatan dengan keputusan mengenai pekerjaan, pendidikan, relasi, dan leisure. LVI terdiri dari 42 item yang mengukur 14 dimensi values. Brown dan Crace (2002) mengemukakan dimensi-dimensi tersebut, yaitu: 1. Achievement (prestasi) Individu yang memiliki value ini dalam dirinya cenderung merupakan orang yang ambisius, berani, bertanggung jawab, dapat mengendalikan diri, serta menikmati kegiatan yang mengandung resiko. Individu yang menjunjung value ini memiliki motivasi untuk selalu memperbaiki diri dan melakukan yang terbaik. Individu yang memiliki value ini akan merasa puas jika dapat membantu orang lain, memiliki pengetahuan, mendapat tantangan dalam suatu pekerjaan, serta sukses dalam mencapai tujuan yang ingin diraihnya. Individu dengan value ini akan mengalami stres jika tujuan mereka tidak tercapai dan tidak mendapat tantangan. 2. Belonging (rasa diterima) Pengakuan dari lingkungan sosial maupun lingkungan pekerjaan sangat penting untuk individu yang memiliki value ini. Individu dengan value ini akan menerapkan sikap sopan, setia, dan juga mau membantu orang lain agar dapat diterima. Individu dengan value ini akan merasa stres ketika dihadapkan pada sesuatu yang bersifat konfrontasi dan asertif. 3. Concern for environment (kepedulian terhadap lingkungan) Individu yang memiliki value ini memandang dirinya sendiri sebagai orang yang pemaaf, memiliki kontrol diri, jujur, dan berwawasan luas. Menjaga keindahan lingkungan merupakan hal yang sangat diutamakan. Individu dengan value ini tertarik untuk membaca hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan, menggalang dana untuk memperbaiki lingkungan, serta mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan. Individu dengan value ini akan mengalami stres jika mengetahui bahwa lingkungan mengalami kerusakan dan juga jika mengetahui bahwa ada oknum-oknum tertentu yang melakukan pengrusakan lingkungan. 4. Concern for others (kepedulian terhadap orang lain)
185
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Individu yang memiliki value ini memandang dirinya sendiri sebagai orang yang jujur, pemaaf, suka menolong, ramah, dan berusaha menjaga perdamaian dunia. Kepuasan individu yang memiliki value ini akan diperoleh jika mereka dapat menyembuhkan, mengajar, memajukan kesejahteraan orang lain, dan juga menjadi mentor bagi orang lain. Konflik terjadi ketika mereka diperhadapkan pada situasi dimana orang lain menolak bantuan mereka dan menunjukkan ketidakpedulian. Individu yang memiliki value ini juga cenderung akan mengalami kelelahan. 5. Creativity (kreativitas) Individu yang memiliki value ini memandang diri mereka sebagai individu yang imajinatif, cerdas, berwawasan luas, berani, ekspresif, dan idealis. Mereka terkadang berorientasi pada keindahan di dunia walaupun tidak terbatas pada keindahan alam. Stres dapat muncul ketika mereka diperhadapkan pada sesuatu yang membutuhkan keteraturan. Konflik dirasakan ketika mereka tidak diberi kebebasan untuk memecahkan masalah dengan menggunakan imajinasi mereka. 6. Financial prosperity (kesejahteraan keuangan) Mereka memandang diri mereka sebagai orang yang cerdas, mampu, berani, ambisius, dan logis. Mereka dapat mengalami stres ketika target keuangan yang ingin mereka capai tidak dapat terealisasi dan juga ketika mereka kehilangan kekayaan yang dimiliki, serta ketika pengeluaran yang mereka keluarkan melebihi pemasukan. 7. Health and activity (kesehatan dan aktivitas) Mereka menyukai kebersihan, penampilan fisik, dan kegiatan yang menarik serta dapat meningkatkan kesehatan mereka. Mereka cenderung akan kritis terhadap orang lain yang tidak mengutamakan penampilan fisik dan kesehatan seperti mereka. Mereka akan mengalami stres ketika ada orang lain yang menutut mereka untuk tidak menghabiskan waktu mereka dengan kegiatan peningkatan kesehatan yang dilakukan. 8. Humility (kerendahan hati) Mereka cenderung patuh, sopan, setia, dan memiliki kontrol diri yang baik. Mereka juga mengutamakan kesederhanaan dan tidak suka jika prestasi mereka dilihat orang.
186
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
9. Independence (kebebasan) Mereka memandang diri mereka sebagai individu yang ambisius dan berani serta menyukai kesenangan. Mereka berusaha untuk memiliki kebebasan pribadi, dan mencapai tujuannya sendiri. Mereka akan mengalami stres ketika kebebasan mereka dibatasi. 10. Interdependence (interdependensi) Mereka memandang diri mereka sebagai individu yang setia, penuh kasih, suka menolong, jujur, dan memiliki kontrol diri. Individu yang memiliki value ini mengutamakan kepedulian terhadap keluarga atau kelompok. Stres akan terjadi jika mereka benar-benar terikat dengan kelompok dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan yang lainnya. 11. Objective analysis (analisa objektif) Mereka memandang diri mereka sebagai individu yang logis, cerdas, kreatif, analitis, serta mandiri. Mereka cenderung merasa bahwa diri mereka memiliki kemampuan analitis dan ilmiah. Mereka menyukai bacaan tentang ilmiah, berhadapan dengan barang-barang elektronik, atau hanya sekedar berbincangbincang tentang ilmu pengetahuan dan matematika. Mereka akan stres jika harus berpikir dengan cara-cara yang non alamiah serta jika harus tidak tertib. 12. Privacy (privasi) Individu dengan value ini menginginkan kebebasan pribadi yang akan mereka isi dengan membaca buku, berjalan sendiri, atau mendengarkan musik. Mereka mengalami stres jika dituntut untuk memiliki waktu yang lama dengan orang lain. 13. Responsibility (bertanggung jawab) Mereka memandang diri mereka sebagai individu yang ambisius, jujur, dapat dipercaya, pemaaf, logis, dan suka menolong. Mereka merasa stres jika harus bertanggung jawab pada diri sendiri. 14. Spirituality (spiritualitas) Mereka mencari harmoni batin dan keselamatan, jujur, serta taat pada keyakinan spiritual mereka. Perilaku manifest yang dilakukan adalah dengan beribadah ke tempat ibadah mereka (gereja, masjid, kuil, sinagoga) atau dengan cara bermeditasi. Winkel mengatakan bahwa pengambilan keputusan karier merupakan suatu proses pemilihan jabatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, psikologis, geografis, dan pendidikan yang bersama-sama membentuk jabatan seorang 187
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
individu, dimana individu memperoleh sejumlah keyakinan, nilai kebutuhan, kemampuan, keterampilan, sifat kepribadian, serta pemahaman yang berkaitan dengan jabatan yang diduduki (Marliyah et al., 2004). Masih dalam Marliyah, Dewi, dan Suyasa (2006), Sudjinawati (1996) mengatakan bahwa pengambilan keputusan karier merupakan usaha untuk menemukan pilihan diantara berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan suatu permulaan, pertentangan dari keraguan yang timbul dalam proses pemilihan karier. Definisi lain diungkapkan oleh Sampson, Peterson, Lenz, Reardon, dan Saunders (2006) berkaitan dengan pengambilan keputusan karier. Mereka mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan karier merupakan suatu proses yang bersifat logis, sistematis, dan obyektif. Menurut Ginzberg, perkembangan pemilihan karier seseorang dibagi menjadi 3 fase (Zunker, 2006). Fase-fase tersebut antara lain:
Fase fantasi (usia 0-11 tahun) Pada fase ini seorang anak masih memiliki khayalan ingin menjadi siapa ketika sudah dewasa, misalnya: ingin menjadi dokter, pilot, guru.
Fase tentatif (usia 11-17 tahun) Remaja sudah mulai menyadari minat dan kemampuan mereka untuk menentukan pilihan karier di masa yang akan datang. Fase tentatif dibagi menjadi 4 sub tahap, yaitu: minat, kapasitas, nilai, dan transisi.
Fase realistik (usia 17-25 tahun) Remaja dalam tahapan ini sudah mengenal secara lebih baik nilai-nilai,
kapasitas, dan minat yang dimilikinya. Dalam fase realistik ini, terdapat tiga subtahap perkembangan karier remaja. Sub-tahap pertama adalah eksplorasi. Dalam sub-tahap eksplorasi, remaja mulai membatasi pilihan kariernya berdasarkan kepribadian, minat, serta ketrampilan dan kemampuan yang dimiliki. Rathus (2008) mengatakan bahwa remaja adalah suatu masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Santrock (2010) yang mengatakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan dari anak-anak ke dewasa. Santrock menambahkan bahwa dalam masa ini terjadi perubahan pada diri individu dalam aspek biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Sarwono (1994) mengungkapkan bahwa rentang usia remaja di Indonesia adalah usia 11 hingga 24 tahun.
188
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Dunia yang lebih kompleks bagi remaja mengacu pada perkembangan karier remaja. Berdasarkan kriteria fase perkembangan karier, Ginzberg mengungkapkan bahwa remaja berada dalam fase tentatif (usia 11-17 tahun) dan fase realistik (usia 17-25 tahun). Dalam fase tentatif, remaja sudah mulai menyadari minat dan kemampuan mereka untuk menentukan pilihan karier di masa yang akan datang. Sementara dalam fase realistik, remaja sudah mengenal secara lebih baik nilai-nilai, kapasitas, dan minat yang dimilikinya (Zunker, 2006).
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif berdesain non-eksperimen. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 277 orang. Karakteristik dari subyek dalam penelitian ini adalah remaja perempuan atau laki-laki yang berada dalam masa pendidikan Sekolah Menengah Atas. Subyek berasal dari SMA Tarsisius Vireta Tangerang dan SMA Strada Thomas Aquino Tangerang. Adapun rentang usia subyek berkisar antara 16-18 tahun. Pemilihan subyek penelitian yang berada dalam rentang usia tersebut dikarenakan menurut Ginzberg, remaja usia 11-17 tahun sudah berada dalam fase tentatif dan remaja yang berusia 17 hingga 25 tahun sudah berada dalam fase realistik. Remaja yang telah berada dalam fase tentatif dan realistik ini dianggap sudah menyadari value yang mereka miliki dalam mengeksplorasi karier yang lebih luas untuk selanjutnya dapat memfokuskan diri pada karier tertentu (Zunker, 2006). Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara nonprobability sampling, yaitu dengan cara purposive sampling. Berkenaan dengan uji yang dilakukan dalam penelitian ini, Azwar (2009) mengungkapkan bahwa validitas berkaitan dengan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsinya. Validitas yang diukur dalam penelitian ini adalah validitas konstruk. Allen dan Yen mengungkapkan
bahwa
validitas
konstruk
merupakan
tipe
validitas
yang
menunjukkan sejauhmana suatu tes mengungkap suatu trait atau konstruk teoretis yang hendak diukurnya (Azwar, 2009). Lebih lanjut Azwar (2009) mengatakan bahwa reliabilitas merupakan sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pendekatan konsistensi internal yang memiliki nilai praktis dan efisiensi yang tinggi dilakukan untuk menguji
189
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
reliabilitas dalam penelitian ini. Dalam pendekatan ini hanya dilakukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada individu yang menjadi subyek penelitian. Azwar (2009) mengatakan bahwa suatu tes dinyatakan baik apabila memiliki memenuhi batasan minimal yaitu 0,3. Pengujian validitas terhadap 42 aitem dilakukan guna mengetahui aitem yang memiliki derajat validitas lebih dari 0,3 dan juga aitem yang memiliki derajat validitas kurang dari 0,3 yang dapat dinyatakan tidak dapat diterima validitasnya. Sedangkan untuk reliabilitas dari alat ukur LVI ini diuji menggunakan Cronbach’s Alpha. Menurut Hair, Black, Babin, dan Anderson (2010), derajat reliabilitas Cronbach’s Alpha berkisar antara 0.6 sampai 0.7 dinyatakan sebagai batas minimum penerimaan. Atas dasar demikian, peneliti memutuskan derajat Cronbach’s Alpha yg digunakan pada penelitian ini harus lebih besar daripada 0.6. Uji validitas dan reliabilitas LVI menggunakan suatu alat bantu perhitungan yaitu Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 17.0 for Windows. Setelah uji validitas dan reliabilitas dilakukan, maka akan ditemukan hasil akhir berupa itemitem yang diterima dan dapat digunakan serta item-item yang tidak diterima dan tidak dapat digunakan.
Hasil Penelitian Tabel 1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Life Values Inventory Dimensi Validitas Reliabilitas prestasi 0.46-0.57 0.69 keterlibatan 0.32-0.50 0.60 kepedulian terhadap lingkungan 0.20-0.39 0.50 kepedulian terhadap orang lain 0.37-0.55 0.65 kreativitas 0.62-0.69 0.80 kesejahteraan keuangan 0.24-0.38 0.49 kesehatan dan aktivitas 0.19-0.37 0.46 kerendahan hati 0.17-0.26 0.37 kemandirian 0.22-0.28 0.42 interdependensi 0.26-0.39 0.51 analisa obyektif 0.41-0.49 0.65 privasi 0.18-0.36 0.43 tanggung jawab 0.47-0.50 0.67 spiritualitas 0.08-0.15 0.23
190
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Validitas tertinggi terdapat pada aitem no. 33 pada dimensi kreativitas yang memiliki derajat validitas sebesar 0.69. Sementara itu validitas terendah berada pada aitem no. 42 yang memiliki derajat validitas sebesar 0.08. Reliabilitas tertinggi pada alat ukur LVI ini berada pada dimensi kreativitas yang memiliki derajat reliabilitas sebesar 0.80. Sedangkan derajat reliabilitas terendah pada alat ukur LVI ini berada pada dimensi spiritualitas. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas Life Values Inventory ditemukan bahwa terdapat 6 dimensi yang diterima yakni dimensi prestasi, keterlibatan, kepedulian terhadap orang lain, kreativitas, analisa obyektif, dan tanggung jawab. Sedangkan 8 dimensi lainnya yaitu dimensi kepedulian terhadap lingkungan, kesejahteraan keuangan, interdependensi, kesehatan dan aktivitas, privasi, kerendahan hati, kemandirian, dan spiritualitas dinyatakan belum dapat diterima dalam alat ukur LVI ini. Pada pengujian validitas dan reliabilitas LVI yang dilakukan dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada 16 aitem yang tidak dapat diterima karena tidak memenuhi batas minimum derajat validitas. Aitem-aitem dalam LVI dinilai kurang spesifik dan ambigu sehingga mengakibatkan subyek tidak mengerti maksud dari pernyataanpernyataan tersebut. Selain itu, proses penerjemahan bahasa yang dilakukan pun belum sempurna. Setelah dilakukan proses penerjemahan hingga memperoleh bahasa yang telah disesuaikan, sebaiknya dilakukan pretest. Pretest dilakukan dengan cara memberikan alat ukur yang telah diterjemahkan kepada responden yang berjumlah 30-40 orang. Tujuan dari pretest ini adalah mendeteksi jika ada pernyataan yang tidak dimengerti oleh responden. Banyaknya aitem yang tidak diterima dalam penelitian ini juga dapat disebabkan oleh hal lain, misalnya munculnya fenomena kepatutan sosial atau yang biasa disebut dengan social desirability. Sjostrom dan Holst mengungkapkan bahwa social desirability merupakan jawaban atau respon dari subyek terhadap pertanyaan atau pernyataan yang diberikan padanya dimana subyek berusaha untuk meningkatkan kesamaan dengan karakteristik masyarakat dan menurunkan karakteristik yang tidak diharapkan oleh masyarakat (Widhiarso, 2010). Social desirability ini muncul karena aitem pada LVI ini bersifat normatif. Keseluruhan aitem dalam alat ukur ini bersifat aitem favorable (positif) saja dan tidak melibatkan aitem unvaforable (negatif). Hal ini mengakibatkan munculnya social 191
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
desirability yang tinggi terhadap jawaban yang dipilih. Tingginya social desirability ini menyebabkan adanya kecenderungan subyek untuk memilih jawaban ‘kadang’, ‘sering’, atau diantaranya saja. Uji validitas dan reliabilitas LVI juga telah dilakukan di Negara lain, antara lain Amerika dan Portugis. Berikut perbandingan reliabilitas antara sampel Amerika, Portugis, dan Indonesia.
Tabel 2 Reliabilitas Amerika, Portugis, dan Indonesia Dimensi Amerika Prestasi 0.74 Keterlibatan 0.77 Kepedulian terhadap Lingkungan 0.86 Kepedulian terhadap Orang Lain 0.69 Kreativitas 0.86 Kesejahteraan Keuangan 0.84 Kesehatan dan Aktivitas 0.74 Kerendahan Hati 0.64 Kemandirian 0.55 Interdependensi 0.75 Analisa Obyektif 0.8 Privasi 0.83 Tanggung Jawab 0.68 Spiritualitas 0.88
Portugis 0.63 0.67 0.73 0.73 0.75 0.85 0.75 0.57 0.22 0.64 0.81 0.79 0.78 0.85
Indonesia 0.69 0.6 0.5 0.65 0.8 0.49 0.46 0.37 0.42 0.51 0.65 0.43 0.67 0.23
Dari tabel tersebut dapat dilihat perbandingan reliabilitas antara Amerika, Portugis, dan Indonesia. Reliabilitas tertinggi di Amerika berada pada dimensi spiritualitas yakni 0.88, sedangkan reliabilitas terendah berada pada dimensi kemandirian dengan derajat reliabilitas sebesar 0.55. Pada sampel Portugis, reliabilitas tertinggi terletak pada dimensi kesejahteraan keuangan dan spiritualitas yang keduanya memiliki derajat reliabilitas sebesar 0.85 dan reliabilitas terendah berada pada dimensi kemandirian dengan derajat reliabilitas sebesar 0.22. Di Indonesia sendiri, reliabilitas tertinggi berada pada dimensi kreativitas dengan derajat reliabilitas sebesar 0.80. Untuk derajat reliabilitas terendah di Indonesia berada pada dimensi spiritualitas yang hanya memiliki derajat reliabilitas sebesar 0.23. Perbedaan yang mendasar dari penelitian antara Amerika, Portugis,
192
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
dan Indonesia ini mengacu pada perbedaan subyek penelitian dan pemaknaan aitem. Penelitian di Amerika dan Portugis (Almeida & Pinto, 2002) menyatakan bahwa sampel yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 314 partisipan dan berada dalam rentang usia 18-55 tahun. Sampel juga terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan yang berbeda. Dikatakan dalam jurnal bahwa 92 subyek berada dalam pendidikan tinggi, 159 pelajar yang bekerja, dan 63 pekerja (Almeida & Pinto, 2002). Subyek yang diambil dalam penelitian di Indonesia dinilai kurang variatif. Subyek hanya berasal dari dua Sekolah Menengah Atas di satu daerah yang sama, yaitu Tangerang. Selain itu, jumlah subyek dalam penelitian ini hanya 277 subyek. Hal ini dianggap kurang representatif untuk dapat mewakili banyaknya populasi remaja di Indonesia. Subyek dalam penelitian ini hanya berada dalam rentang usia 16 hingga 18 tahun yang masih tergolong usia remaja. Subyek dalam penelitian ini juga merupakan pelajar dan belum bekerja. Di Negara lain, pelajar terbiasa bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup yang cukup besar (LTF, 2009). Keadaan ini berbeda dengan keadaan di Indonesia. Di Indonesia, pelajar hanya memenuhi kewajibannya untuk belajar, bukan untuk bekerja. Selain hal-hal tersebut, rendahnya validitas dan reliabilitas dalam aitem ini yang mengakibatkan beberapa aitem tidak diterima juga dapat disebabkan karena waktu pengambilan sampel yang kurang kondusif. Pengambilan sampel di SMA Tarsisius Vireta dan SMA Strada Thomas Aquino dilakukan pada waktu siang hari. Dimana pada waktu ini siswa belum beristirahat dan kelelahan akibat aktivitas yang dilakukan sejak pagi hari. Hal tersebut mengakibatkan siswa memberikan kinerja yang kurang maksimal dalam pengisian kuesioner.
Penutup Peneliti menyarankan agar LVI dapat dikembangkan tidak hanya untuk siswa sekolah menengah atas saja, melainkan juga bagi mahasiswa. Guna memperluas pengembangan penelitian mengenai LVI, sebaiknya penelitian ini tidak hanya dilakukan bagi kalangan pelajar di Jakarta saja, melainkan juga di daerah Indonesia lainnya sehingga sampel lebih variatif. Penambahan jumlah sampel penelitian pun dapat dilakukan guna meningkatkan validitas dan reliabilitas LVI. Hal ini bertujuan 193
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
agar LVI dapat digeneralisasikan dan dapat digunakan bagi masyarakat Indonesia yang beragam. Peningkatan validitas konstrak LVI juga sebaiknya dilakukan dengan cara memodifikasi alat ukur LVI ini. Modifikasi salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada aitem yang memiliki validitas yang rendah. Perbaikan ini dapat mengacu pada perbaikan penerjemahan alat ukur dari bahasa asli ke bahasa sasaran penelitian. Dengan penerjemahan yang dilakukan dengan baik dan sesuai dengan konstrak yang hendak diukur, maka subyek dapat dengan mudah mengerti maksud dari pernyataan yang terkandung dalam setiap aitem. Selain itu, penambahan jumlah aitem pada masing-masing dimensi juga merupakan cara modifikasi alat ukur yang dapat meningkatkan validitas dan reliabilitas alat ukur. Penambahan jumlah aitem ini sebaiknya tidak hanya berpusat pada aitem favorable (positif) yang terdapat dalam setiap dimensi LVI, melainkan juga dengan melakukan pemberian aitem unfavorable (negatif). Pemberian aitem favorable pada LVI dilakukan agar subyek tidak memiliki kecenderungan untuk memiliki social desirability yang tinggi. Penggunaan
LVI
yang dibahas dalam penelitian
ini berkisar pada
penggunaan pada subyek yang berusia 16-18 tahun. Akan tetapi LVI dapat digunakan pada subyek dengan usia 18 hingga 55 tahun. Selain itu penggunaan LVI dapat dilakukan bukan hanya untuk konseling karier, tetapi dapat juga digunakan untuk konseling lainnya yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dalam hidup. Pengambilan keputusan tersebut antara lain dalam pengambilan keputusan kerja, keputusan dalam pernikahan, dan juga perihal lain yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Proses pengambilan data yang dilakukan siang hari dalam penelitian ini pun dinilai kurang kondusif. Pada siang hari subyek sudah merasa kelelahan akibat aktivitas yang dilakukan sejak pagi hari. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan waktu pengambilan data terhadap subyek. Pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pengambilan data karena subyek belum banyak melakukan aktivitas yang menimbulkan kelelahan. Faktor kelelahan ini pun sebaiknya lebih dapat dikontrol.
194
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Penggunaan LVI sebagai alat bantu konseling karier ini sebaiknya tidak terlepas dari bagian kualitatif dari alat ukur ini yang berguna dalam sesi konseling. Hal ini dilakukan agar individu yang diberikan instrumen ini dapat mengetahui values yang dimilikinya secara lebih mendalam untuk pada akhirnya dapat melakukan pengambilan keputusan karier dengan lebih baik.
Daftar Pustaka Almeida, L., & Pinto, H. R. (2011, Juni 16). Life values inventory (LVI): Portuguese adaptation studies. Ceric. Diunduh dari http://ceric.ca/cjcd/archives/v3n1/article4. pdf Azwar, S. (1995). Sikap manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Barry, R., & Wolf, B. (1965). Motives, values, and realities. New York: Teachers College Press. Brown, D. (2003). Career information, career counseling, and career development. Danvers: Allyn & Bacon. Brown, D., & Crace, K. (2002). Life values inventory: Facilitator’s guide. Williamsburg: Applied Psychology Resources, Inc. Davison, C. M. (2011, Desember 10). Translation of fixed-response questionnaires for health research with aboriginal people: A discussion of methods. Pimatisiwin: A Journal of Aboriginal and Indigenous Community Health. Diunduh dari http://www.pimatisiwin.com/uploads/1243495699.pdf Derni, M. (2011, Januari 26). Kemandirian anak [Web log post]. Diunduh dari http://wrm-indonesia.org/content/view/1368/3/ Dubrin, J. A. (2004). Applying psychology: Individual and organizational effectiveness. New Jersey: Pearson Education, Inc. Feather, N. T. (1999). Values, achievement, and justice: Studies in the psychology of deservingness. New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Hair, J.E., Black, W.C., Babin B.J., & Anderson. (2010). Multivariate data analysis: A global perspective (7th ed.). New Jersey: Pearson. Latief. (2010, Februari 18). Salah program studi, lulus kuliah "nganggur". Kompas.com. Diunduh dari http://health.kompas.com/
195
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Liesye. (2011, Juli 6). 10 Kualitas karakter orang kristen [Web log post]. Diunduh dari http://myjourney-hliesye.blogspot.com/2011/07/10-kualitas-karakter-orangkristen.html Lim, V. (2011, November 19). Rendah hati adalah budaya tionghoa [Web log post]. Diunduh dari http://yinnihuaren.blogspot.com/ LTF. (2009, April 29). Di luar negeri, kuliah mesti sambil kerja dong. Kompas.com. Diunduh dari http://edukasi.kompas.com/ Marliyah, L., Dewi, F.I., & Suyasa, P.T. (2004). Persepsi terhadap dukungan orang tua dan pembuatan keputusan karier remaja. Jurnal Provitae, 1, 59-79. Prakosojaya. (2011, Juli 25). Berfikir mandiri sebagai kebutuhan psikologis remaja. Shvoong.com. Diunduh dari http://id.shvoong.com/socialsciences/education/ 2190638-berfikir-mandiri-sebagai-kebutuhan-psikologis/ Rathus, S. A. (2008). Childhood and adolescence: Voyages in development. Belmont: Thomson Wadsworth. Rokeach, M. (1973). The nature of human values. New York: Free Press. Sampson, J. P., Peterson, G. W., Lenz, J. G., Reardon, R. C., & Saunders, D. E. (1996). Career thoughts inventory: Professional manual. Odessa: Psychological Assessment Resources, Inc. Sarwono, S. W. (1994). Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sharf, R. S. (2006). Applying career development theory to counseling. USA: Thomson Wadsworth. Widhiarso, W. (2010, Juli 9). Fenomena kepatutan sosial (social desirability) pada respon terhadap skala psikologi. Diskusi Metodologi Penelitian. Diunduh dari http://wahyupsy.blog.ugm.ac.id/2010/07/09/fenomena-kepatutan-sosialsocial-desirability-pada-respon-terhadap-skala-psikologi/ Winkel, W. S. (1997). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Jakarta: Gramedia. Zunker, V. G. (2006). Career counseling: A holistic approach. NY: Brooks/Cole.
196