PENGARUH INTERVENSI PENDIDIKAN GIZI DENGAN PENAMBAHAN PEMBERIAN BUAH-BUAHAN DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP BERAT BADAN DAN IMT/U SISWA OBES SDIT BOGOR
AI KUSTIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Intervensi Pendidikan Gizi dengan Penambahan Pemberian Buah-Buahan dan Aktivitas Fisik terhadap Berat Badan dan IMT/U Siswa Obes SDIT Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015 Ai Kustiani NIM I151130271
RINGKASAN AI KUSTIANI. Pengaruh Intervensi Pendidikan Gizi dengan Penambahan Pemberian Buah-Buahan dan Aktivitas Fisik terhadap Berat Badan dan IMT/U Siswa Obes SDIT Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan YAYUK FARIDA BALIWATI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT/U siswa obes. Tujuan khusus penelitian yaitu: 1) menganalisis perbedaan karakteristik subjek dan orang tua, tingkat pengetahuan gizi, kebiasaan konsumsi buah, sumber asupan serat, dan kebiasaan aktivitas fisik antar kelompok perlakuan; 2) menganalisis perubahan pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik, berat badan, dan IMT/U subjek setiap kelompok perlakuan; 3) menganalisis pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT/U subjek. Desain penelitian yaitu kuasi eksperimental selama 5 minggu. Lokasi penelitian yaitu SDIT Ummul Quro, SDIT Insan Kamil, dan SDIT Aliya Bogor. Subjek dibagi tiga kelompok perlakuan berdasarkan sekolahnya. Perlakuan A berupa intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik (PG+AF), perlakuan B berupa pendidikan gizi dan buah-buahan (PG+B) serta perlakuan C berupa pendidikan gizi, aktivitas fisik, dan buahbuahan (PG+AF+B). Intervensi buah-buahan 5 kali/minggu sebanyak 1-2 porsi. Intervensi aktivitas fisik selama 30 menit setiap 3 kali/minggu. Intervensi pendidikan gizi selama 30 menit setiap seminggu sekali. Subjek merupakan siswa kelas 5 dan 6 yang dipilih secara purposif dengan kriteria inklusi yaitu status gizi obesitas, tidak menderita penyakit yang mengganggu penelitian, tidak sedang ikut kegiatan serupa, tidak mengonsumsi suplemen/obat untuk menurunkan berat badan, dan tidak sedang menjalani diet penurunan berat badan. Jumlah subjek dengan α 5%, β 80%, standar deviasi (sd) IMT/U 0.34 dan selisih rata-rata (∆) IMT/U yang diinginkan yaitu 0.27 sehingga jumlah subjek 25 setiap kelompok perlakuan. Penambahan antisipasi drop out sebesar 15% sehingga jumlah subjek menjadi 30 siswa setiap kelompok perlakuan. Data primer terdiri dari karakteristik orang tua dan subjek, kebiasaan konsumsi buah, konsumsi pangan 2x24 jam, aktivitas fisik 2x24 jam, pengetahuan gizi, dan status gizi. Semua data primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner, termasuk kuesioner recall konsumsi pangan dan Food Frequency Questionnaire, kecuali data berat badan dan tinggi badan melalui pengukuran langsung. Data diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2010. Analisis yang dilakukan yaitu analisis deskriptif dan inferensia menggunakan program Statistical Product and Service Solution for Windows versi 17. Analisis data inferensia terdiri dari uji Paired sample t-test, uji One-way Anova, uji Kruskal Wallis, dan uji Ancova. Sebagian besar subjek (>50%) berjenis kelamin laki-laki dan berusia 10-12 tahun. Lebih dari 50% subjek memiliki riwayat berat badan lahir normal yaitu pada rentang 2500-3999 g. Sebanyak 60% subjek kelompok A tidak mendapatkan ASI eksklusif, dan lebih dari 70% kelompok B dan C mendapatkan ASI eksklusif. Mayoritas orang tua subjek merupakan lulusan perguruan tinggi dengan
persentase ayah ≥90% dan ibu >70%. Sebagian besar (≥50%) status gizi orang tua subjek baik ayah maupun ibu pada semua kelompok termasuk kategori BB lebih. Lima besar jenis buah-buahan yang dikonsumsi subjek adalah jeruk, pepaya, apel, pisang, dan mangga dan yang paling sering dikonsumsi yaitu jeruk. Sebagian besar subjek (>50%) pada masing-masing kelompok lebih menyukai buah yang disajikan dalam bentuk utuh. Kecenderungan subjek dalam mengonsumsi buah masih rendah karena persentase frekuensi konsumsi buah yang terbesar (≥ 50%) terdapat pada kategori kurang (1-2x porsi/hari) pada semua kelompok. Sumber serat terbesar (≥48%) yang dikonsumsi subjek berasal dari serealia dan olahannya. Sebagian besar subjek (>50%) berada pada kategori asupan serat 5-10 g di semua kelompok. Semua kelompok perlakuan mengalami peningkatan rata-rata asupan serat setelah diberikan intervensi dengan peningkatan terbesar terdapat pada kelompok C (0.86 g), kemudian kelompok B (0.73 g), dan kelompok A (0.39 g). Kebiasaan aktivitas fisik subjek dinyatakan melalui jumlah waktu yang digunakan dalam kegiatan berupa screen time, jalan kaki, dan alat transportasi ke sekolah, yang dibedakan antara hari sekolah dan hari libur. Jumlah waktu screen time yang digunakan subjek cenderung lebih banyak pada hari libur daripada hari sekolah. Sebagian besar subjek (>40%) pada semua kelompok melakukan jalan kaki pada hari sekolah dalam jumlah waktu sedikit yaitu <30 menit/hari. Lebih dari 60% subjek menggunakan alat transportasi mobil ke sekolah. Tingkat aktivitas fisik subjek pada semua kelompok adalah ringan. Kelompok A dan C mengalami kenaikan rata-rata aktivitas fisik setelah diberikan intervensi yaitu sebesar 0.02, sedangkan kelompok B mengalami penurunan sebesar 0.05. Sebagian besar subjek (>50%) dari masing-masing kelompok memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang. Pertanyaan mengenai pengertian makanan sehat, pengertian kegemukan pada anak, dan tujuan olahraga dijawab benar oleh sebagian besar siswa (≥80%) pada semua kelompok perlakuan. Setelah diberikan intervensi, nilai pengetahuan gizi dari semua materi yang diberikan mengalami peningkatan dan sebagian besar telah mencapai kategori baik (>80%). Penurunan rata-rata berat badan dialami oleh kelompok A dan C yaitu masing-masing sebesar 0.71 kg dan 0.34 kg. Adapun kelompok B mengalami kenaikan sebesar 0.6 kg. Semua kelompok perlakuan mengalami penurunan IMT yang berturut-turut dari yang terbesar sampai yang terkecil yaitu 0.22 pada kelompok C, 0.20 pada kelompok A, dan 0.13 pada kelompok B. Karakteristik subjek dan karakteristik orangtua tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan, kecuali usia dan berat badan lahir. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kebiasaan konsumsi buah dan tingkat pengetahuan gizi subjek antar kelompok perlakuan. Pemberian intervensi dapat meningkatkan rata-rata asupan serat dengan peningkatan terbesar terdapat pada kelompok C. Kelompok yang mendapatkan intervensi aktivitas fisik mengalami kenaikan rata-rata aktivitas fisik dan penurunan rata-rata berat badan. Penurunan IMT dialami oleh semua kelompok perlakuan dengan penurunan terbesar terdapat pada kelompok C. Perlakuan intervensi buah-buahan, aktivitas fisik, dan pendidikan gizi berpengaruh signifikan terhadap penurunan berat badan, sedangkan terhadap IMT tidak berpengaruh signifikan. Kata kunci: berat badan, buah-buahan, IMT, serat, siswa obes
SUMMARY AI KUSTIANI. The Effects of Fruits and Physical Activity in Nutritional Education Interventions on Body Weight and BMI of Obese Elementary School Students in Bogor. Supervised by SITI MADANIJAH and YAYUK FARIDA BALIWATI. The general aim of this study was to analyze the effect of fruits, physical activity, and nutritional education interventions on body weight and BMI of obese students. The specific objectives of this study were: 1) to analyze differences in the characteristics of subject and parents, fruit consumption habits and nutritional knowledge level of subjects between treatment groups; 2) to analyze changes in fiber intake, physical activity, nutritional knowledge, body weight, and BMI subjects in each treatment group; 3) to analyze the effect of fruits, physical activity, and nutritional education interventions on subject’s body weight and BMI. The study used quasi-experimental design for 5 weeks. The location of the study were SDIT Ummul Quro, SDIT Insan Kamil, and SDIT Aliya. Subjects were divided into three treatment groups by school. Group A received nutritional education and physical activity interventions (PG+AF), Group B nutritional education and fruits interventions (PG+B), and Group C nutritional education, physical activity, and fruits interventions (PG+AF+B). Fruits intervention was given 5 times for week in 1-2 servings, physical activity intervention 30 minutes every 3 times for week, and nutritional education interventions 30 minutes once every week. Subjects were primary school purposively selected using inclusion criteria, i.e. obese nutritional status of obesity, not suffering from diseases that can interfere this study, not being involved in similar activities, not taking any supplements or drugs to lose weight, and not in lose weight diet program. With α 5%, β 80%, BMI standard deviation (sd) 0.34 and BMI average difference (Δ) desired 0.27, total subjects were determined 25 people per treatment group. Anticipated drop out of 15% made the number of subjects become 30 students per treatment group. Primary data was consisted of characteristics of parents, characteristics of subjects, fruit consumption habits, food consumption in 2x24 hours, physical activity in 2x24 hours, nutritional knowledge and nutritional status. All of the primary data were collected through interviews using questionnaire, including food consumption recall questionnaires and Food Frequency Questionnaire (FFQ), except for weight ang height data that were collected using direct measurement. Inference data analysis consisted of paired sample t-test, one-way Anova test, Kruskal Wallis test, and Ancova test. Most of the subjects (>50%) were boys with age of 10-12 years old. More than 50% of the subjects were of normal birth weight, i.e. ranged from 2,500 to 3,999 g. A total of 60% subjects in group A were not exclusively breastfed while more than 70% subjects in group B and C were exclusively breastfed. Parents of subjects were mostly college graduates, i.e. ≥90% for fathers and >70% for mothers. Most of nutritional status of subjects’ parents (≥50%), both father and mother, in all groups were categorized as overweight.
Five major types of fruits consumed by subjects were orange, papaya, apple, banana, and mango with orange as the most frequently consumed fruit. Most subjects (>50%) in each group preferred fruit served in uncut form. The tendency of subjects’ fruit consumption was low because the highest percentage of fruits consumption frequency (≥50%) belonged to low category in all groups. The largest fiber source (≥48%) consumed by subjects was cereals and its processed products. Most subjects (>50%) in all groups consumed 5-10 g. Upon receiving interventions, all treatment group experienced increase in their average fiber intake with the highest increase belonged to group C (0.86 g), followed by group B (0.73 g) and group A (0.39 g). Subjects’ screen time tend to be higher on holiday than school day. Most subjects (>40%) in all groups did walk <30 minutes/day on school day. More than 60% subjects went to school riding cars. Physical activity level of subjects in all groups were light level. Upon receiving intervention, physical activity in Group A and C increased by 0.02, while group B decreased by 0.05. Most subjects (>50%) of each group have moderate level of nutritional knowledge. Questions regarding the definition of healthy foods, definition of obesity in children, and the purpose of physical activity were answered correctly by most students (≥80%) in all treatment groups. Upon receiving intervention, nutritional knowledge on all materials given increased and most of them then belonged to good category (>80%). The average decrease of body weight in groups A and C were respectively 0.71 kg and 0.34 kg while group B experienced increase, i.e. 0.6 kg in average. All treatment groups experienced decrease in BMI, i.e. group C (0.22) as the highest, followed by group A (0.20), and group B (0.13) as the lowest. Characteristics of the subjects were not significantly different between treatment groups, except for age and birth weight characteristics. There was no significant difference in parents’ characteristics between treatment groups. There was also no significant difference in subjects’ fruit consumption habits and nutritional knowledge between treatment groups. The provision of interventions can increase the average fiber intake with the highest increase belonged to group C. Group with physical activity intervention experienced increase in average of physical activity and decrease in average weight. BMI decrease was experienced by all treatment groups with the highest decrease belonged to group C. Fruits, physical activity, and nutritional education interventions brought about significant effect on weight loss, but not for BMI. Key words: body weight, fruits, BMI, fiber, obese student
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH INTERVENSI PENDIDIKAN GIZI DENGAN PENAMBAHAN PEMBERIAN BUAH-BUAHAN DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP BERAT BADAN DAN IMT/U SISWA OBES SDIT BOGOR
AI KUSTIANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Drajat Martianto, MSc
Judul Tesis
Nama NIM
:
Pengaruh: Intervensi Pendidikan Gizi dengan Penambahan Pemberian Buah-Buahan dan Aktivitas Fisik terhadap Berat Badan dan IMT/U Siswa Obes SDIT Bogor : Ai Kustiani : I151130271
Disetujui oleh, Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS Ketua
Dr Ir Yayuk F Baliwati, MS Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 1 Juli 2015
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Pengaruh Intervensi Pendidikan Gizi dengan Penambahan Pemberian Buah-Buahan dan Aktivitas Fisik terhadap Berat Badan dan IMT/U Siswa Obes SDIT Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS dan Dr Ir Yayuk F. Baliwati, MS selaku komisi pembimbing, serta Dr Ir Drajat Martianto MSc selaku penguji, yang telah banyak memberi saran serta arahannya kepada penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. Di samping itu, ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami, bapak, ibu, guru dan siswa di sekolah lokasi penelitian, atas segala doa dan bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015 Ai Kustiani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN
xv xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian
1 3 4 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Obesitas pada Anak Pendidikan Gizi Aktivitas Fisik Konsumsi Pangan Sumber Serat
4 6 8 10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
14
4 METODE Desain, Waktu, dan Lokasi Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Subjek Pelaksanaan Intervensi Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
16 16 17 18 19 21
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Karakteristik Orang Tua Tingkat Pengetahuan Gizi Konsumsi Pangan Jenis Buah Preferensi Penyajian Buah Sumber Asupan Serat Aktivitas Fisik Analisis Pengaruh Intervensi Pengetahuan Gizi Asupan Serat Aktivitas Fisik Berat Badan Indeks Massa Tubuh (IMT/U)
22 25 26 28 28 30 32 34 37 37 39 41 43 44
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Saran
46 46
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN
57
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL 1 Hasil penelitian yang terkait dengan intervensi pendidikan gizi, buah-buahan, dan aktivitas fisik 2 Jenis dan cara pengambilan data 3 Variabel dan kategori penyajian data 4 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu 5 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik orang tua 6 Sebaran subjek berdasarkan tingkat pengetahuan gizi 7 Sebaran subjek berdasarkan kemampuan menjawab benar pada setiap pertanyaan pengetahuan gizi 8 Sebaran subjek berdasarkan jenis buah yang dikonsumsi 9 Sebaran subjek berdasarkan preferensi penyajian buah 10 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi buah 11 Jumlah dan persentase kontribusi setiap golongan bahan makanan terhadap asupan serat subjek 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan aktivitas fisik 13 Rata-rata nilai pengetahuan gizi subjek pada pre dan post intervensi dan perubahannya 14 Sebaran subjek berdasarkan kategori asupan serat 15 Rata-rata dan perubahan asupan serat total subjek 16 Rata-rata dan perubahan asupan serat dari buah-buahan 17 Sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik 18 Rata-rata dan perubahan nilai aktivitas fisik subjek 19 Rata-rata dan perubahan berat badan subjek 20 Rata-rata dan perubahan nilai IMT/U subjek
12 19 19 23 25 27 28 29 31 32 33 35 38 39 40 40 41 42 43 44
DAFTAR LAMPIRAN 1 Informed consent 2 Hasil analisis Ancova
57 58
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan sebuah negara sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan keberhasilan suatu pembangunan salah satunya diukur dengan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia. Upaya pemenuhan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia sangat terkait langsung dengan pangan dan gizi. Oleh karena itu, investasi di bidang gizi sangat berperan penting untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan. Masalah gizi anak usia sekolah di Indonesia saat ini tidak hanya masalah gizi kurang, tetapi juga masalah gizi lebih atau kegemukan. Prevalensi kegemukan pada anak-anak secara nasional di Indonesia terus meningkat selama 6 tahun terakhir. Pada tahun 2007, prevalensi kegemukan pada anak laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 9.5% dan 6.4% (Balitbangkes 2007). Pada tiga tahun berikutnya yaitu 2010 meningkat menjadi 10.7% pada laki-laki dan 7.7% pada perempuan (Balitbangkes 2010). Data terakhir tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan sebesar 18.8% (Balitbangkes 2013). Jika diamati berdasarkan provinsi, prevalensi kegemukan pada anak-anak di Provinsi Jawa Barat masih termasuk tinggi yaitu berturut-turut pada tahun 2007, 2010, dan 2013 sebesar 12%, 8.5%, dan 18.6%. Meskipun dari tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 8.5% pada tahun 2010, akan tetapi mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun 2013. Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi kegemukan anak-anak di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Data tahun 2007 dan 2010, prevalensi di perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 17.7% dan 14.8% serta 10.4% dan 8.1%. Hal ini juga terlihat pada salah satu kota di Jawa Barat yaitu Kota Bogor, data Kemenkes (2007) menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak usia 6-12 tahun di Bogor sebesar 15.4% pada anak laki-laki dan 8.6% pada anak perempuan. Selain itu, hasil penelitian terbaru Madanijah et al. (2013) menunjukkan bahwa kegemukan di Kota Bogor sebesar 18.79%. Menurut Ross (2010), obesitas dapat dicegah dan diperbaiki pada saat usia sebelum dewasa yaitu masa anak-anak. Hal ini harus dilakukan karena obesitas akan semakin meningkat risikonya seiring dengan bertambahnya waktu dan derajat obesitas serta distribusi lemak dalam tubuh. Salah satu intervensi yang sering dilakukan untuk mengatasi obesitas dalam rangka merubah perilaku konsumsi pangan dan gizi ke arah yang lebih baik yaitu intervensi pendidikan gizi. Akan tetapi, berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa intervensi satu komponen berupa pendidikan gizi belum berhasil memperbaiki status gizi obesitas. Hasil meta analisis Evans et al. (2012) menunjukkan bahwa program intervensi multikomponen terbukti lebih baik daripada program intervensi hanya satu komponen saja. Obesitas merupakan masalah kesehatan multifaktor sehingga penanganan obesitas tidak dapat dilakukan hanya dari satu komponen saja seperti aspek pengetahuan, tetapi juga harus disertai dengan penanganan dari aspek lainnya sebagai bentuk dari aplikasi pendidikan gizi yang diberikan seperti konsumsi pangan dan aktivitas fisik.
2
Pola konsumsi pangan yang sudah banyak berubah ke arah pangan yang lebih praktis dan tinggi lemak serta rendah serat merupakan salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak. Hasil penelitian Jhonson (2008) menunjukkan bahwa rendahnya konsumsi serat berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Menurut Jahari dan Sumarno (2001), konsumsi serat penduduk Indonesia masih kurang dari yang dianjurkan (28-29 g/hari) yaitu hanya 10.5 g/hari. Sumber serat yang paling banyak dikaitkan dengan obesitas yaitu buah dan sayur. Menurut Sartika (2011), sayur dan buah merupakan sumber serat yang penting bagi anak dalam masa pertumbuhan, khususnya berhubungan dengan obesitas. Anak overweight dan obesitas membutuhkan makanan tinggi serat seperti sayur dan buah. Orang-orang yang banyak mengonsumsi buah dan sayur memiliki risiko terkena obesitas yang lebih rendah dan sebaliknya (CDC 2011). Konsumsi buah dan sayur pada anak-anak masih di bawah standar yang dianjurkan (Blanchette dan Brug 2005, Janssen et al. 2005). Data Balitbangkes (2013) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk ≥10 tahun yang kurang makan buah dan sayur secara nasional sebesar 93.5%. Data tersebut tidak terjadi perubahan yang berarti antara tahun 2007 sampai 2013. Hasil penelitian Sartika (2011) bahwa sekitar 90% anak Indonesia mengkonsumsi sayur dan buah dengan ukuran <2 porsi/hari. Jumlah ini kurang dari yang dianjurkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) untuk anak yaitu 2-3 porsi buah/hari dan 3-4 porsi sayur/hari (YIDI 2013). Selain itu, Madanijah et al. (2013) yang melakukan penelitian pada anak sekolah di Kota Bogor menunjukkan bahwa sebanyak 89.2% responden termasuk ke dalam kategori asupan serat yang kurang serta jumlah konsumsi buah dan sayurnya rendah. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan asupan serat pada anak-anak melalui konsumsi buah dan sayur sebagai salah satu upaya mengatasi obesitas. Struempler et al. (2014) dalam penelitiannya berhasil meningkatkan konsumsi buah dan sayur pada anak-anak melalui intervensi pendidikan gizi dengan penekanan pada buah dan sayur serta penyicipan buah dan sayur setiap seminggu sekali. Hal ini sangat penting untuk dilakukan di Indonesia dikarenakan prevalensi obesitas masih cukup tinggi sedangkan konsumsi buah dan sayur masih rendah. Akan tetapi, preferensi anak terhadap buah dan sayur tidak sama. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Sandvik et al. (2005) yaitu sikap anak-anak lebih tertarik terhadap buah daripada sayur. Evans et al. (2012) dalam hasil metaanalisisnya menunjukkan intervensi berbasis sekolah berhasil memperbaiki konsumsi buah tetapi tidak pada konsumsi sayur. Perkembangan teknologi saat ini memudahkan anak dalam beraktivitas dan tidak memerlukan banyak gerakan sehingga pengeluaran energi menjadi rendah. Menurut Chaput et al. (2006), aktivitas fisik yang rendah berhubungan signifikan dengan obesitas pada anak. Hasil penelitian Annisa (2014) pada siswa gizi lebih di Kota Bogor menunjukkan bahwa sebagian besar siswa gizi lebih (78.8%) memiliki gaya hidup dengan aktivitas ringan atau sedentary. Aktivitas fisik anak obesitas yang rendah ini harus ditingkatkan untuk memperbaiki prevalensi obesitas (Webb 2008). Menurut Friedrich et al. (2012) bahwa intervensi aktivitas fisik yang digabungkan dengan pendidikan gizi lebih berdampak positif terhadap penurunan IMT (Indeks Massa Tubuh) pada anak usia sekolah. Schaefer et al. (2011) juga melakukan intervensi gaya hidup efektif melalui pendidikan gizi, aktivitas fisik, dan konseling yang berhasil menurunkan berat badan pada anak-
3
anak gemuk. Berdasarkan uraian di atas, penanganan obesitas melalui pendidikan gizi akan berdampak lebih baik jika ditambahkan dengan intervensi komponen lainnya sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan intervensi multikomponen yaitu intervensi pendidikan gizi dengan penambahan pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada siswa obes untuk mengatasi angka obesitas yang cukup tinggi di Indonesia terutama di Kota Bogor.
Perumusan Masalah Obesitas merupakan salah satu masalah kelebihan gizi yang dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung koroner, dislipidemia, diabetes, dan lain-lain. Obesitas terjadi pada berbagai usia termasuk anak-anak. Berdasarkan data yang ada, obesitas pada anak termasuk kategori tinggi karena berada di atas 5% baik di Bogor maupun secara nasional (Balitbangkes 2010). Obesitas harus segera diatasi terutama pada anak-anak karena akan berdampak negatif untuk masa depannya. Menurut Ross (2010), obesitas harus segera diperbaiki pada masa anak-anak. Penyebab obesitas pada anak-anak terdiri dari berbagai faktor sehingga penanganannya perlu dilakukan secara multifaktor, termasuk penanganan dari aspek pengetahuan yang harus disertai dengan contoh secara langsung sebagai bentuk dari aplikasi pendidikan gizi yang diberikan seperti konsumsi pangan dan aktivitas fisik. Pemberian pendidikan gizi harus disertai dengan perbaikan pola konsumsi pangan melalui peningkatan asupan serat dari sumber serat berupa buah karena konsumsi buah pada anak-anak masih rendah (Blanchette dan Brug 2005; Janssen et al. 2005; Madanijah et al. 2013). Serat mampu mengikat air membentuk volume gel yang besar dengan densitas energi rendah sehingga akan menurunkan konsumsi energi dan menurunkan nafsu makan. Pemberian pendidikan gizi juga perlu disertai dengan aktivitas fisik karena berkaitan dengan penggunaan energi dalam tubuh. Anak yang memiliki tingkat aktivitas rendah akan memiliki pengeluaran energi yang rendah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan yang keluar dan hal ini menyebabkan terjadinya obesitas. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik subjek, karakteristik orang tua, tingkat pengetahuan gizi, kebiasaan konsumsi buah, sumber asupan serat, dan kebiasaan aktivitas fisik pada siswa obes? 2. Bagaimana perubahan pada pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik, berat badan, dan IMT/U pada siswa obes setelah diberikan intervensi? 3. Bagaimana pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT/U pada siswa obes?
4
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT/U siswa obes. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perbedaan karakteristik subjek dan orang tua, tingkat pengetahuan gizi, kebiasaan konsumsi buah, sumber asupan serat, dan kebiasaan aktivitas fisik antar kelompok perlakuan 2. Menganalisis perubahan pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik, berat badan, dan IMT subjek setiap kelompok perlakuan 3. Menganalisis pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT subjek
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menambah informasi mengenai cara menangani anak-anak obes di Indonesia khususnya di Bogor. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu menurunkan berat badan dan IMT/U serta dapat meningkatkan asupan serat siswa obes.
2 TINJAUAN PUSTAKA Obesitas pada Anak Obesitas diartikan sebagai sebuah kondisi lemak tubuh berada dalam jumlah yang berlebih. Berdasarkan distribusi lemak dalam tubuh, obesitas dibedakan menjadi dua yaitu peripheral obesity dan central (abdominal) obesity. Peripheral obesity merupakan obesitas yang ditandai dengan kelebihan lemak disimpan di bawah kulit bagian daerah pinggul dan paha sehingga tubuh berbentuk seperti buah pir. Adapun central obesity yaitu obesitas dengan kelebihan lemak disimpan di daerah perut (abdomen) sehingga tubuh berbentuk seperti buah apel dan memiliki rasio lingkar pinggang yang tinggi (>0.95) (Watson 2009). Obesitas merupakan kasus kesehatan multifaktor yang dipengaruhi oleh genetik, efisiensi metabolisme, tingkat aktivitas fisik, asupan makanan, dan faktor lingkungan, serta psikososial (Mahan dan Stumps 2004). Menurut Berdanier et al. (2008), obesitas disebabkan karena genetik, lingkungan, dan faktor perilaku yang mempengaruhi diet dan aktivitas. Pada anak dan dewasa obes, lemak abdominal yang berlebihan khususnya di bagian viseral lebih berisiko tinggi terkena penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit arteri koroner daripada kelebihan lemak pada peripheral atau obesitas yang secara umum diartikan melalui IMT. Dikarenakan pengukuran
5
lemak viseral cukup mahal dan memakan waktu yang lama, direkomendasikan pengukuran tersebut dilakukan melalui lingkar pinggang. Pengukuran lingkar pinggang direkomendasikan untuk dilakukan saat mengukur obesitas anak secara menyeluruh (Berdanier et al. 2008). Adapun Fu et al. (2003) menyarankan penggunaan indikator untuk obesitas menggunakan indikator khusus populasi daripada indikator standar internasional. Salah satu contohnya mendefinisikan bahwa anak Singapura dikatakan obes jika persentase lemak tubuh diatas persentil 95 pada tiap usia dan jenis kelamin kelompok khusus sampel. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, diabetes tipe 2, dan beberapa tipe kanker yang termasuk penyakit kronis. Hampir setengahnya dari peluang terkena berbagai penyakit tersebut dapat dicegah melalui pencegahan obesitas saat usia sebelum dewasa atau anak-anak. Hal ini penting dilakukan karena risiko obesitas meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat obesitas, lamanya menjadi obes, serta distribusi lemak dalam tubuh (Ross 2010). Hal ini juga dikarenakan obesitas dapat terjadi pada semua usia termasuk anak-anak. Menurut Thompson et al. (2007) bahwa anak-anak yang mengalami obesitas berisiko mengalami obesitas juga saat dewasa. Obesitas pada anak usia di atas 6 tahun memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami obesitas saat dewasa jika salah satu orangtuanya obesitas. Zaldivar et al. (2006) menemukan bahwa anak yang memiliki kelebihan berat badan menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel imun dan inflamasi sistemik ringan, sebuah mekanisme patogenetik yang mendasari komplikasi jangka panjang obesitas. Oleh karena itu penting untuk menghindar atau memperbaiki obesitas pada anak. Obesitas pada anak dapat terjadi karena berbagai faktor baik secara biologis maupun faktor lingkungan. Stein et al. (2005) menyatakan bahwa kelebihan berat badan dapat terjadi pada anak yang mengalami gangguan pertumbuhan dan kurang gizi dalam kandungan dan awal-awal kehidupan. Brown et al. (2011) juga menjelaskan mengenai waktu kritis anak-anak dalam perkembangan obesitas yaitu pada saat kehamilan dan awal kehidupan, saat pengembalian IMT menjadi normal (usia 4-6 tahun) dan remaja. Prediktor obesitas pada anak juga termasuk lingkungan rumah dan faktor sosial ekonomi. Parental obesity merupakan faktor yang turut mempengaruhi obesitas pada anak. Menurut Whitney et al. (2011) bahwa anak-anak dengan orangtua tidak obes memiliki peluang 10% lebih rendah tidak obesitas saat dewasa. Selain itu, remaja dengan kelebihan berat badan dan setidaknya satu orangtua obes memiliki peluang obes 80% pada saat dewasa. Penelitian yang dilakukan Heude et al. (2005) pada populasi sebanyak 124 keluarga secara kohort menunjukkan bahwa hubungan antara IMT dan berat ibu dengan berat anak saat lahir lebih tinggi dengan ibu daripada ayah. Adipositas ibu akan muncul pada adipositas anak di awal kehidupannya. Danielzik et al (2004) menyatakan bahwa faktor determinan obesitas pada anak yaitu keluarga (parental obesity) dan lingkungan. Status sosial ekonomi yang rendah dan berat lahir yang tinggi merupakan faktor risiko tertinggi terjadinya overweight dan obesitas pada anak. Zilanawala et al. (2014) menyatakan bahwa overweight dan obesitas di Inggris bervariasi karena adanya perbedaan sosial ekonomi, berbagai budaya dan karakteristik keluarga. Berat lahir berhubungan dengan obesitas, tetapi tidak dengan overweight. He et al. (2000)
6
menyatakan bahwa berat lahir ≥4 kg, asupan makanan tinggi, IMT ibu >25, dan IMT ayah >25 merupakan faktor risiko signifikan obes pada anak prasekolah di Cina. Weyermann et al. (2006) menyatakan bahwa pemberian ASI berhubungan negatif dengan kejadian kelebihan berat badan pada anak. Hasil penelitiannya menunjukkan pemberian ASI dalam waktu yang lama dapat mencegah overweight pada anak. Anak yang diberikan ASI minimal 6 bulan memiliki OR terkena overweight 0.4 dibandingkan anak yang diberikan ASI paling sedikit 3 bulan. Adapun berdasarkan waktu ASI eksklusif, anak yang diberi ASI eksklusif minimal 3 bulan memiliki OR overweight sebesar 0.8 daripada 6 bulan (0.4). Chaput et al. (2006) menyatakan bahwa persentase overweight/obes pada laki-laki sebesar 20% dan perempuan 24%. Yoshinaga et al. (2004) menemukan prevalensi obesitas pada anak usia sekolah meningkat lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki daripada perempuan. Tyrrell et al. (2001) yang melakukan penelitian pada anak sekolah di Auckland menunjukkan bahwa sebanyak 14.3% anak termasuk obes menurut IMT (lebih besar dari persentil 95). Tidak ada perbedaan klinis yang signifikan pada hubungan antara IMT dengan komposisi tubuh pada kelompok etnis yang berbeda. Hasilnya menunjukkan adanya variasi tingkat obesitas secara signifikan diantara etnis. Obesitas juga bervariasi signifikan menurut usia dengan tingkat tertinggi pada anak yang lebih tua. Selain itu, terdapat perbedaan persentase lemak tubuh yaitu persentase lemak tubuh lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki secara signifikan. Obesitas menurut persentase lemak tubuh disini diartikan jika persentase lemak tubuh >30%.
Pendidikan Gizi Pendidikan gizi adalah pendidikan mengenai gizi yang meliputi makanan dan kandungannya yang dibutuhkan manusia (Brown et al. 2011). Menurut Contento (2011), pendidikan gizi diartikan sebagai kombinasi dari berbagai bentuk strategi pendidikan, yang didukung lingkungan, didesain untuk memfasilitasi pemilihan makanan dan perilaku gizi untuk kesehatan dan kesejahteraan yang disampaikan melalui beberapa cara dan melibatkan kegiatan pada tingkat individu, institusi, masyarakat, dan tingkat kebijakan. Masyarakat dan lingkungan yang berkaitan erat diantara keduanya harus saling mendukung. Pendidikan gizi untuk anak-anak dapat dilakukan terutama pada usia sekolah karena pada usia ini anak-anak mempelajari gaya hidup sehat yang diterapkan dalam hidupnya. Sekolah dapat menyajikan lingkungan untuk pendidikan gizi dan perilaku gaya hidup sehat. Pendidikan gizi telah banyak diterapkan di sekolah-sekolah dengan fokus pada peningkatan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku anak dalam memilih dan menanggapi isu gizi dan makanan. Hal ini juga untuk mencegah dan menurunkan penyakit dalam rangka menjaga kesehatan (Brown et al. 2011). Pendidikan gizi berbasis sekolah sudah banyak dilaksanakan saat ini. Ada yang dijadikan kurikulum, guru khusus gizi, profesional gizi, dan ada juga yang melaksanakan gizi melalui poster. Materi yang diberikan di sekolah-sekolah dapat berupa aktivitas fisik untuk mendorong hidup aktif dan makan sehat. Materi ditekankan pada pengurangan kegiatan sedentary dan lebih banyak aktif bergerak
7
untuk mengurangi risiko penyakit kronik dan obesitas serta untuk meningkatkan kesehatan. Menurut Contento (2011), pendidikan gizi berperan penting saat ini dikarenakan faktor lingkungan yang menyediakan makanan tersedia luas, mudah dan lebih banyak yang densitas energinya tinggi serta aktivitas fisik rendah sehingga perlu upaya kognitif karena orang-orang sudah terbawa oleh gaya hidup modern. Perilaku anak-anak dalam belajar mengenai makanan tidak hanya dari pengalamannya langsung tetapi juga hasil pengamatan dari perilaku teman sebaya dan orang dewasa termasuk orangtuanya. Parenting practices atau praktik orangtua dalam mengenalkan makanan terhadap anak-anak dapat mendorong anak untuk mengonsumsi makanan sehat ataupun sebaliknya. Anak-anak yang diarahkan pada faktor internal seperti (rasa lapar dan kenyang) akan lebih memakan makanan dalam jumlah yang tepat daripada anak-anak yang diarahkan pada faktor eksternal seperti waktu makan atau jumlah makanan sisa di piring. Kecenderungan perilaku anak-anak dalam mengonsumsi makanan tinggi lemak yang biasa dipasangkan dengan tinggi gula merupakan faktor biologis karena rasanya enak. Preferensi terhadap lemak muncul pada masa bayi atau usia anak-anak. Lemak menjadikan makanan yang berbeda memiliki terkstur yang berbeda seperti berbagai produk dari susu seperti es krim, kue, yang rasanya enak dapat meningkatkan palabilitas anak-anak. Makanan yang mengandung lemak lebih bervariasi, kaya rasa dan densitas energi yang tinggi serta lebih menarik (Brown et al. 2011). Preferensi makanan berdampak langsung terhadap asupan anak-anak karena anak-anak cenderung mengonsumsi makanan yang mereka sukai dan menolak makanan jika rasa, bau, atau teksturnya tidak suka. Hubungan antara preferensi rasa dan pemilihan makanan terlihat pada perilaku anak-anak dan saat dewasa karena adanya pengalaman dan keyakinan dampak makanan terhadap kesehatan, penampilan, dan yang lainnya. Perilaku pemilihan makanan dapat dimodifikasi melalui pendidikan gizi yang dihubungkan dengan pengetahuan-pengetahuan terkait makanan. Perilaku seseorang dalam mengonsumsi makanan juga karena dipengaruhi oleh pengetahuannnya (Contento 2011). Asupan makanan dipengaruhi oleh pendapatan melalui kemampuannya dalam membeli makanan. Pendapatan memiliki dampak marginal yang paling kuat terhadap perilaku diet yaitu pendapatan tinggi berdampak pada kualitas diet yang tinggi pula tetapi berpengaruh negatif pada gizi dan kesehatan tubuh. Hal ini dapat diatasi melalui pendidikan gizi yang efektif jika programnya fokus pada perilaku pemilihan makanan tertentu, perilaku terkait gizi, atau praktik diet komunitas yang mempengaruhi kesehatan daripada informasi gizi secara umum. Lingkungan makanan sekolah berdampak besar pada kualitas pemilihan makanan dan asupan anak-anak karena anak-anak makan dalam proporsi yang besar di sekolah. Ketersediaan uang mempengaruhi ketersediaan makanan. Kemakmuran yang meningkat beriringan dengan meningkatnya penyakit kronis karena berubahnya pola perilaku makanan ke arah modern (Webb 2008). Sebuah penelitian yang dilakukan pada remaja Belanda mengenai intervensi program promosi gizi multikomponen berhasil menurunkan berat badan tetapi tidak dalam perilaku makan. Penelitian ini ditujukan untuk mempengaruhi komposisi tubuh, aerobic fitness dengan mempengaruhi perilaku berupa pengurangan konsumsi minuman manis dan tinggi kalori, menurunkan perilaku
8
sedentary, dan meningkatkan aktivitas fisik (Singh et al. 2007). Burrows et al. (2008) menyatakan bahwa intervensi selama 6 bulan berhasil memperbaiki asupan makanan tetapi tidak signifikan diantara berbagai grup (intervensi dan kontrol). Wall et al. (2012) melakukan intervensi pendidikan gizi yang berhasil memperbaiki sikap, self efficacy, preferensi, dan pengetahuan mengenai sayur pada siswa kelas 4. Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Keihner et al. (2011) yaitu adanya perbaikan pengetahuan mengenai buah sayur dan aktivitas fisik setelah diberikan pendidikan gizi berupa kampanye di sekolah. Menurut Webb (2008), prevalensi obesitas dapat dikurangi melalui peningkatan aktivitas fisik dan pengurangan asupan lemak. Perubahan perilaku untuk melakukan hal tersebut harus dilakukan melalui promosi gizi yang juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan gizi (mengedukasi). Gizi, penyiapan makanan dan semua bentuk pendidikan fisik harus diberikan pada kurikulum sekolah. Semua bentuk penanganan obesitas pada anak harus difasilitasi serta didukung. Intervensi yang dilakukan harus melibatkan keluarga. Anak-anak obesitas yang akan menurunkan berat badannya memerlukan perhatian dari orangtua dan ahli kesehatan serta dorongan dari dalam dirinya. Semua lingkungan yang berada di sekelilingnya harus mendukung terutama peranan keluarga dalam memodifikasi kebiasaan makan dan meningkatkan aktivitas fisik (Stein et al. 2005). Program yang dilaksanakan juga harus berkelanjutan selama periode pertumbuhan (Mahan dan Stumps 2004).
Aktivitas Fisik Menurut definisi WHO (2010), aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Secara sederhana, National Heart Foundation of Australia (2013) mengartikan aktivitas fisik sebagai kegiatan-kegiatan seperti berjalan, berkebun, olahraga, berdansa dan lain-lain. Aktivitas fisik dibedakan menjadi dua yaitu suatu kegiatan yang melibatkan otot rangka besar dan kegiatan yang melibatkan otot rangka kecil. Aktivitas fisik yang melibatkan otot rangka besar membutuhan energi lebih banyak dan memberikan manfaat yang lebih signifikan untuk kesehatan daripada aktivitas fisik dengan otot kecil seperti menggambar dan menulis. Aktivitas fisik juga dibedakan berdasarkan lama waktu, intensitas, dan frekuensinya menjadi 6 macam yaitu aerobik, anaerobik, gaya hidup, permainan aktivitas fisik, olahraga, dan weight-bearing. Aktivitas fisik dapat diukur menggunakan kuesioner karena alatnya mudah dan tidak mahal. Pengukuran ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat aktivitas seseorang. Akan tetapi cara pengukuran menggunakan kuesioner memiliki kelemahan yaitu kondisi subjek pada saat diwawancara dapat menjawab overestimate atau cenderung meningkatkan tingkat aktivitas mereka sehingga tampak lebih aktif. Metode ini juga memiliki bias jika subjek lebih mengingat beberapa kegiatan dari yang lain sehingga terdapat kegiatan yang terlewat atau lamanya kegiatan yang tidak tepat (Miles 2007). Salah satu cara pengukuran aktivitas fisik yaitu dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) yang diartikan sebagai rasio dari total energi yang
9
dikeluarkan dengan BMR (Basal Metabolic Rate) dan ditunjukkan melalui gaya hidupnya. Contohnya adalah seseorang yang melakukan aktivitas fisik ringan di tempat kerjanya dan tidak aktif dalam waktu luangnya maka memiliki PAL 1.4 (Miles 2007). WHO (2004) membagi tingkat aktivitas fisik (PAL) menjadi tiga yaitu ringan untuk nilai PAL 1.4-1.69, sedang untuk nilai PAL 1.7-1.99, dan berat untuk nilai PAL 2-2.4. Aktivitas fisik memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh. Aktivitas fisik minimal 30 menit dengan intensitas sedang setiap hari dapat memperbaiki kesehatan di segala usia. Aktivitas fisik sedang yang dilakukan secara teratur seperti berjalan kaki, bersepeda, atau berolahraga bermanfaat signifikan untuk kesehatan seperti mengurangi resiko penyakit jantung, diabetes, kanker usus besar, depresi, dan lain-lain. Aktivitas fisik juga bermanfaat untuk membantu mengontrol berat badan. Anak usia 5-17 tahun disarankan minimal beraktivitas fisik sedang selama 60 menit tiap hari serta aerobik dengan frekuensi minimal 3 kali/minggu untuk meningkatkan kekuatan otot dan tulang (WHO 2010). Peningkatan aktivitas fisik sangat penting dalam program pengaturan berat badan anak. Aktivitas fisik berupa berlebihan dalam menonton TV atau duduk di depan komputer atau game screen (bermain game) harus dirubah menjadi aktivitas yang lebih banyak mengunakan energi untuk mencapai penurunan berat badan. Salah satu cara untuk meningkatkan aktivitas fisik di tingkat komunitas seperti berbasis sekolah yaitu melalui peningkatan aktivitas di luar kelas seperti modifikasi permainan sehingga siswa menjadi lebih aktif bergerak. Peningkatan aktivitas fisik berbasis sekolah terbukti efektif dalam meningkatkan tingkat aktivitas fisik (Kahn et al. 2013). Hasil penelitian Friedrich et al. (2012) yang melakukan intervensi aktivitas fisik dan digabungkan dengan pendidikan gizi lebih memiliki dampak positif terhadap penurunan IMT pada anak usia sekolah daripada intervensi masingmasing. Haerens (2006) juga menunjukkan adanya penurunan IMT dan z-skor IMT pada perempuan, tetapi tidak pada laki-laki, dalam intervensi aktivitas fisik dan makanan sehat yang didorong lingkungan terutama orangtua selama 2 tahun. Fariasa et al. (2014) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa intervensi aktivitas fisik selama setahun pada anak usia 15-17 tahun berdampak positif pada penurunan persentase lemak tubuh (-5.58%) dan lingkar pinggang (-2.33 cm). Singhal et al. (2010) menyatakan bahwa intervensi gizi multikomponen dan pendidikan gaya hidup berhasil memperbaiki pengetahuan gizi, praktik gaya hidup dan kebiasaan makan, dan penurunan lingkar pinggang, diameter abdominal, waist hip ratio, dan glukosa darah puasa pada remaja India. Keberhasilan intervensi multikomponen (multi program) juga dibuktikan oleh Morano et al. (2013) yang berhasil memperbaiki IMT dan tingkat aktivitas fisik anak-anak obes setelah diberikan perlakuan berupa gaya hidup aktif dengan meningkatkan kompetensi gerak aktual. Penanganan atau manajemen obesitas pada anak dapat dilakukan melalui pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, olahraga, dan modifikasi perilaku. Aktivitas fisik anak-anak harus diubah (menonton TV dan komputer) karena menurut Webb (2008), anak yang tidak aktif lebih banyak memiliki lemak daripada yang aktif. American Academy of Pediatrics menyarankan bahwa waktu menonton TV dan video untuk anak-anak maksimum 2 jam/hari.
10
Aktivitas fisik anak dengan jam tidur sebanyak 10.5-11.5 jam memiliki OR overweight dan obes sebesar 1.42 dan 3.45 untuk anak dengan jam tidur 8-10 jam setelah mempertimbangan faktor risiko usia, jenis kelamin, dan faktor risiko lainnya. Parental obesity, tingkat pendidikan orangtua yang rendah, total pendapatan keluarga yang rendah, waktu menonton TV yang lama, penggunaan video games atau komputer, tidak diberikan ASI dan aktivitas fisik rendah berhubungan signifikan dengan overweight dan obesitas pada anak. Hubungan negatif ditemukan antara durasi tidur dengan berat badan, IMT, dan lingkar pinggang pada laki-laki. Hubungan terbalik (inverse) juga ditemukan antara durasi tidur dengan risiko overweight dan obesitas pada anak (Chaput et al. 2006).
Konsumsi Pangan Sumber Serat Konsumsi pangan diartikan sebagai pola pangan baik dalam bentuk jenis, jumlah, frekuensi, proporsi pangan yang dikonsumsi atau susunan/komposisi pangan. Konsumsi pangan merupakan salah satu komponen kebiasaan makan. Selain konsumsi pangan, tiga komponen kebiasaan makan lainnya yaitu preferensi terhadap pangan, ideologi atau pengetahuan terhadap pangan, dan sosiobudaya pangan. Pangan sumber serat merupakan bahan pangan yang mengandung serat minimal 3g/100 g (BPOM 2011). Pangan sumber serat dapat berasal dari berbagai golongan bahan makanan terutama serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Pangan sumber serat dari jenis buah-buahan diantaranya yaitu kedondong, sawo, sirsak, jambu biji, mangga indramayu, pisang, jambu air , mangga gedong, kelengkeng, dan mangga harum manis. Serat merupakan rantai molekul gula yang bercabang yang menjadi stuktur tanaman. Serat tidak dapat dicerna manusia karena tidak memiliki enzim pemecahnya. Serat secara umum seperti spons yang berfungsi menyerap air ketika bergerak melalui saluran pencernaan sehingga menjadikan tinja lunak dan mudah bagi usus untuk mengeluarkannya dari tubuh. Serat pangan terdiri dari dua macam yaitu larut dan tidak larut. Serat larut terdapat pada gandum, jeruk, apel, kacangkacangan. Serat larut menyerap air lebih banyak dan membantu melembutan tinja. Serat larut juga dapat mengurangi kolesterol dan gula darah, yang merupakan faktor penting dalam mencegah dan mengobat penyakit jantung dan diabetes. Adapun serat tidak larut ditemukan pada biji-bijian dan tepung biji-bijian, dedak gandum, dan sayuran. Serat ini tidak banyak menyerap air tetapi memudahkan tinja untuk keluar. Serat ini dapat mengurangi konstipasi, wasir, dan penyakit diverticular (Colorado WIC Program 2011). Serat banyak dikaitkan dengan masalah usus seperti konstipasi, penyakit diverticular, appendicitis, hemoroid, dan kanker kolon serta rektum. Diet tinggi serat dapat menjaga dari kanker usus dan penyakit usus lainnya. Kelompok vegetarian dan populasi diet rendah daging dan lemak serta tinggi sayur memiliki angka kanker usus yang rendah (Webb 2008). Menurut Whitney et al.(2011) makanan kaya serat memiliki manfaat untuk kesehatan. Makanan tersebut yaitu whole grains, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang menyumbang asupan vitamin, mineral, dan fitokimia. Diet tinggi whole grains, kacang-kacangan, dan sayur dapat mencegah dari penyakit
11
jantung dan stroke melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lemak darah dan mengurangi inflamasi. Makanan tinggi serat larut (oat bran, barley, dan kacang-kacangan) dapat menurunkan kolesterol darah melalui pengikatan kolesterol dan dibawa bersama feses. Selain itu, serat juga mengurangi risiko penyakit diabetes tipe 2. Serat larut membantu mengatur glukosa darah. Makanan tinggi serat dan rendah lemak banyak dianjurkan untuk mengatur berat badan. Serat menyerap air dari saluran pencernaan dan membuat rasa kenyang sehingga menurunkan asupan makanan dan menunda lapar. Serat pangan sangat penting untuk anak dan berperan signifikan untuk kesehatan sekarang dan masa mendatang. Beberapa manfaat tersebut yaitu memperlancar fungsi pencernaan, pencegahan dan penanganan obesitas, menyeimbangkan nilai gluksoa darah dan lemak normal dan tekanan darah, mengurangi risiko penyakit kronis di masa mendatang seperti kanker dan diabetes tipe (Anderson et al. 2009). Sebuah penelitian pada remaja overweight menunjukkan bahwa pengurangan konsumsi serat 3 g/kkal/hari selama setahun berhubungan dengan peningkatan sebesar 21% abdominal obesity dibandingan dengan yang asupan seratnya tidak dikurangi. Hasil penelitian Du et al. (2010) bahwa konsumsi 10 g total serat/hari dapat mengurangi berat badan sebesar 39 g/tahun dan lingkar pinggang sebesar 0.08 cm/tahun. Asupan serat 10 g/hari dari sereal berhubungan dengan pengurangan berat badan sebanyak 77 g/tahun dan lingkar pinggang sebanyak 0.10 cm/tahun. Asupan serat buah dan sayur tidak berhubungan signifikan dengan perubahan berat badan tetapi memiliki hubungan yang sama dengan perubahan lingkar pinggang ketika dibandingkan dengan asupan dari total serat dan serat sereal. Adapun Brauchla et al. (2012) menyatakan bahwa risiko obes menurun 17% pada anak dengan densitas asupan serat pada tertile medium (tengah) dibandingkan dengan tertile terbawah (OR=0.83, P= 0.043) dan 21% antara tertile tertinggi dengan terendah (OR=0.79, P = 0.031). Terdapat dampak protektif dari densitas asupan serat tertile tengah (medium) pada metabolisme glukosa. Hasilnya juga menunjukan bahwa diet anak dengan serat tinggi berdampak positif. Rendahnya konsumsi serat pada anak-anak telah banyak diteliti dan hasil pada anak-anak di Indonesia menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah masih rendah dan jenis buah yang paling banyak dikonsumsi anak adalah pisang, jeruk, papaya, apel, dan semangka, serta sayurannya adalah sayur bayam, sayur sop, sayur kangkung, sayur daun singkong, dan sayur asam (Nurhayati 2013). Hasil analisis Storey dan Anderson (2014) bahwa rata-rata asupan serat pangan (dietary fiber) anak-anak masih jauh dari yang dianjurkan yaitu kurang dari 14 g/hari. Reicks et al. (2014) menyatakan bahwa hanya sebagian kecil anak (2.9%) yang mengonsumsi whole grain dalam jumlah tinggi (minimal 3 oz eq/hari). Sebagian besar makanan whole grain yang dikonsumsi anak-anak adalah roti, sereal, dan oatmeal. Kontribusi terbesar asupan serat berasal dari grain (biji-bijian) yaitu sebesar 17.8%. Selanjutnya buah-buahan dan sayuran masing-masing sebesar 14.9% dan 13.7% dengan rata-rata 2 g dan 1.9 g. Konsumsi buah dan sayur pada anak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti yang disampaikan oleh Brunt et al. (2007) bahwa konsumsi buah dan sayur pada anak gemuk dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu sosial ekonomi dan keberadaan toko buah dan sayur. Sebagian besar anak (78%) belum memenuhi asupan buah dan sayur sesuai yang dianjurkan. Anak-anak yang berada di lingkungan miskin mengonsumsi buah dan sayur lebih rendah dan sebaliknya.
12
Hal ini juga dinyatakan oleh Storey dan Anderson (2014) bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan asupan serat, keluarga dengan pendapatan rendah dan sosial ekonomi rendah mengonsumsi lebih rendah serat. Berbagai cara untuk meningkatkan konsumsi buah dan sayur telah banyak dilakukan dan berdasarkan analisis Rekhy dan McConchie (2014) bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kegiatan promosi buah dan sayur yaitu perubahan perilaku, penentuan tujuan, pesan yang jelas, kerangka pelaksanaan, sikap proaktif keluarga sasaran, dan kondisi sosial ekonomi. Ohly et al. (2013) menyatakan bahwa keterlibatan orangtua juga berhubungan kuat dengan konsumsi buah dan sayur (baik jumlah maupun keberagaman) pada anakanak, tetapi tidak berhubungan dengan konsumsi minuman manis dan snacks. Clemens et al. (2012) menganjurkan peningkatan asupan serat dengan fokus pada peningkatan konsumsi buah, sayur, dan whole grains. Cara-cara untuk meningkatkan asupan serat seperti dari konsumsi buah dan sayur telah banyak dilakukan salah satunya melalui promosi atau pendidikan gizi. Sandvik et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa secara keseluruhan anak memiliki sikap positif terhadap asupan buah dan sayur setelah diberikan intervensi pendidikan gizi. Anak-anak lebih bersikap positif terhadap buah daripada sayur, dan perempuan rata-rata lebih positif daripada laki-laki. Lingkungan sosial merupakan dukungan pada asupan buah dan sayur. Selain itu, ketersediaan sayur dan buah di sekolah selama waktu luang yanglebih rendah dibandingkan di rumah memerlukan perhatian untuk meningkatkan penyediaannya. Peningkatan konsumsi buah pada anak lebih efektif dilakukan melalui pendidikan gizi oleh guru mereka yang ditunjukkan oleh kelompok intervensi secara signifikan memiliki asupan buah lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Perikkou et al. 2013). Berikut terlampir pada Tabel 1 beberapa literatur terkait intervensi pendidikan gizi, konsumsi pangan sumber serat terutama buah-buahan, dan aktivitas fisik, yang dihubungkan dengan status gizi pada anak-anak. Tabel 1 Hasil penelitian yang terkait dengan intervensi pendidikan gizi, buahbuahan, dan aktivitas fisik Peneliti Anam et al. (2010) Brauchla et al. (2013) Jansen et al. (2010) Kerstin dan Schroder (2010) Bayer et al. (2009)
Bentuk intervensi dan hasil studi Intervensi konseling pada anak (1x/2 minggu) dan orangtua (1x) serta aktivitas fisik (3x45 menit) selama 8 minggu berhasil menurunkan IMT signifikan sebesar 0.6 kg/m2 dan lemak tubuh sebesar 1.2%. Intervensi pemberian snack tinggi serat 2 buah/hari (kandungan serat 1012g) selama 8 minggu berhasil meningkatkan asupan serat 2.5g/hari atau mengalami peningkatan sebanyak 21%. Intervensi pendidikan gizi buah-buahan pada anak-anak yang disertai dengan penyicipan buah secara langsung berdampak lebih baik daripada hanya pendidikan gizi saja. Intervensi buah-buahan selama 3 bulan tidak berhasil meningkatkan konsumsi buah secara signifikan serta konsumsi buah subjek berhubungan negatif secara signifikan dengan IMT. Intervensi perilaku gizi untuk meningkatkan aktivitas fisik dan memperbaiki kebisaan makan terutama buah dan sayur, serta konsumsi minuman selama 6 bulan berhasil meningkatkan proporsi anak yang mengonsumsi buah dan sayur meningkat dengan OR masing-masing 1.64 dan 1.26, serta proporsi anak yang mengonsumsi minuman tinggi kalori menurun dengan OR 1.66.
13
Tabel 1 Hasil penelitian yang terkait dengan intervensi pendidikan gizi, buahbuahan, dan aktivitas fisik (lanjutan) Peneliti Bogart et al. (2014)
Bentuk intervensi dan hasil studi Intervensi pendidikan gizi dan olahraga (Students for Nutrition and eXercise) yang digabungkan dengan perubahan lingkungan dan ajakan untuk mengonsumsi makanan sehat di kafe selama 5 minggu berhasil meningkatkan jumlah buah yang dikonsumsi sebanyak 15.3%, penjualan snack menurun sebesar 11.9%, konsumsi air minum meningkat, dan pengetahuan gizi meningkat signifikan. Burrows et Hunter Illawarra Kids Challenge Using Parent Support (HIKCUPS) al. (2008) berhasil meningkatkan asupan energi dari kelompok makanan utama kecuali buah dan menurunkan asupan energi dari minuman manis. Fariasa et al. Intervensi pendidikan aktivitas fisik di kelas setiap 60 menit serta (2014) aktivitas fisik di lapangan selama 1 tahun berhasil menurunkan IMT sebesar 0.1 dan %BF sebesar 5.58%. Supinya et Intervensi pendidikan gizi yang terdiri dari pembelajaran interaktif, fokus al. (2012) pada pemilihan makanan sehat, modifikasi gaya hidup, dan perhitungan kalori selama 4 bulan dapat menurunkan IMT sebesar 0.53 kg/m2 dan memperbaiki sikap terhadap kebiasaan konsumsi makanan sehat. Klipping et Intervensi pendidikan gizi berisi mengenai bagaimana cara makan yang al. (2010) sehat, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengurangi menonton TV yang diseting di sekolah dengan bantuan guru, selama 5 bulan, berhasil meningkatkan jumah siswa yang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 8.5%, serta menurunkan jumlah siswa yang mengonsumsi snack. Klein et al. Intervensi pendidikan gizi mengenai gaya hidup sehat, aktivitas fisik, dan (2010) manajemen stres selama 5 bulan berhasil menurunkan IMT sebesar 0.1 kg/m2. Panunzioa et Intervensi pendidikan gizi oleh guru mengenai konsumsi buah dan sayur al. (2007) selama 36 minggu berhasil meningkatkan jumlah subjek yang mengonsumsi buah, sayur, dan kacang-kacangan masing-masing sebanyak 107, 132, dan 73 anak. Reihner et Intervensi ―Obeldicks light‖ berisi intervensi aktivitas fisik, pendidikan al. (2010) gizi, dan konseling perilaku selama 6 bulan berhasil menurunkan IMT sebesar 0.9 kg/m2, menurunkan lingkar pinggang sebesar 0.26 cm, persentase lemak tubuh sebesar 6, asupan energi menurun 279 kkal/hari, asupan lemak menurun sebesar 3%, dan asupan gula menurun sebesar 4%. Singhal et al. Intervensi multikomponen berupa pendidikan gizi dan gaya hidup (2010) berdasarkan pada modifikasi perilaku yang dilaksanakan selama 6 bulan dapat meningkatkan pengetahuan gizi, menurunkan konsumsi minuman manis dan makanan berenergi yang tidak sehat, meningkatkan jumlah anak yang membawa bekal dan buah ke sekolah, serta menurunkan lingkar pinggang, lingkar perut, dan glukosa darah puasa.
14
3 KERANGKA PEMIKIRAN Intervensi pendidikan gizi yang dilakukan melalui teknik ceramah, diskusi, ataupun permainan dapat berdampak pada peningkatan pengetahuan gizi subjek. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi pemilihan makanan dan perilaku terkait gizi sehingga berperan dalam aspek konsumsi yang mempengaruhi kejadian obesitas. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya. Akan tetapi, intervensi pendidikan gizi tersebut perlu ditambahkan dengan pemberian komponen lainnya agar berdampak lebih baik terutama dalam penanganan obesitas. Hal ini dikarenakan obesitas merupakan masalah kesehatan multifaktor yang tidak hanya disebabkan oleh pengetahuan gizi, tetapi juga aspek konsumsi dan aktivitas fisik. Pola konsumsi yang berpengaruh terhadap obesitas yaitu konsumsi makanan yang mengandung serat. Menurut Jhonson (2008), asupan serat berhubungan signifikan dengan obesitas pada anak. Berbagai penelitian dilakukan mengenai sumber serat berupa buah dan sayur dengan obesitas pada anak. Orang-orang yang banyak mengonsumsi buah dan sayur memiliki risiko terkena obesitas yang lebih rendah dan sebaliknya (CDC 2011). WHO (2012) menganjurkan peningkatan buah dan sayur pada anak dalam rangka perbaikan angka obesitas. Serat yang terkandung pada bahan pangan seperti buah dan sayur mampu mengikat air membentuk volume gel yang besar dengan densitas energi yang rendah sehingga akan menurunkan konsumsi energi dan menurunkan nafsu makan dan membantu dalam penurunan berat badan (Wanders et al. 2011). Obesitas pada anak juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik (Mahan dan dan Escott-Stump 2004, Danielzik et al. 2004, Chaput et al. 2006, Berdanier 2008). Anak yang menghabiskan waktu dengan aktivitas rendah seperti menonton TV dan bermain games berlebihan berhubungan dengan kelebihan berat badan daripada anak yang aktif (Gable et al. 2007, Barr-Anderson et al. 2008). Anak yang memiliki tingkat aktivitas rendah akan memiliki pengeluaran energi yang rendah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan yang keluar dan hal ini menyebabkan terjadinya obesitas. Faktor lain yang mempengaruhi obesitas yaitu berat badan lahir, riwayat pemberian ASI eksklusif, status gizi orang tua (IMT ayah dan ibu), serta efisiensi metabolisme individu. Menurut Stein et al. (2005), anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berpeluang lebih besar mengalami obesitas pada kehidupan selanjutnya. Weyermann et al. (2006) menyatakan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif 6 bulan memiliki OR kelebihan berat badan lebih kecil (0.4) daripada 3 bulan (0.8). Obesitas juga dipengaruhi oleh efisiensi metabolisme individu (Mahan dan Escott-Stump 2004). Penelitian yang dilakukan Heude et al. (2005) menunjukkan bahwa IMT ibu berhubungan dengan berat badan lahir anak daripada IMT ayah. Menurut Whitney et al. (2011), anak-anak dengan ayah dan ibu tidak obes memiliki peluang lebih rendah 10% terkena obes saat dewasa. Karakteristik orang tua berupa pendidikan orang tua mempengaruhi perilaku terhadap anaknya, salah satunya konsumsi pangan. Chaput et al. (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu berhubungan signifikan dengan kejadian kegemukan pada anak. Data Balitbangkes (2010) menunjukkan
15
adanya peningkatan prevalensi kegemukan seiring dengan meningkatnya pendidikan kepala keluarga dan keadaan ekonomi rumahtangga. Selain itu, konsumsi pangan anak juga dipengaruhi oleh strategi pengasuhan, alergi makanan, dan budaya lingkungan (ketersediaan, sosial budaya dan kebijakan, situasi ekonomi, dan informasi) (Contento 2011). Penelitian ini akan menganalisis pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT siswa obes. Kerangka penelitiannya disajikan pada Gambar 1. IMT ayah dan ibu
Riwayat pemberian ASI eksklusif
Pendidikan orangtua
Berat badan lahir
Pola konsumsi pangan sumber serat (buah)
Penyebab obesitas
Karakteristik subjek
Asupan serat
Efisiensi metabolisme
Aktivitas fisik
Intervensi pendidikan gizi dengan penambahan pemberian buahbuahan dan aktivitas fisik
Pengetahuan gizi Pola konsumsi (serat), aktivitas fisik
Status gizi
Lingkar pinggang
IMT/U
Persentase lemak tubuh
Keterangan: : Variabel utama yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran mengenai pengaruh intervensi pendidikan gizi dengan penambahan pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik
16
4 METODE Desain, Waktu, dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan desain kuasi eksperimental pada bulan Agustus sampai November 2014. Menurut Ary et al. (2009), desain kuasi eksperimental adalah desain penelitian yang tidak melakukan pengacakan pada responden secara individu. Pemberian intervensi dilaksanakan selama 5 minggu (Bogart et al. 2014). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Lintas Fakultas Madanijah et al. (2014) dengan judul ―Intervensi Pangan Sumber Serat dan Pendidikan Gizi pada Anak Gizi Lebih di Kota Bogor‖. Pelaksanaan penelitian ini telah mendapatkan perizinan secara ethical clereance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RSUP dr Kariadi Semarang dengan No.645/EC/FK-RSDK/2014 seperti terlihat pada Lampiran 1 Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kota Bogor. Pemilihan Kota Bogor dikarenakan proporsi gizi lebih di Kota Bogor cukup besar yaitu 18.79% (Smadanijah et al. 2013). Data Kemenkes (2007) juga menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak usia 6-12 tahun di Bogor pada anak laki-laki dan perempuan berturut-turut sebesar 15.4% dan 8.6%. Penentuan SDIT dilakukan secara purposif dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial ekonomi di sekolah tersebut menengah ke atas sehingga jumlah siswa yang mengalami obesitas cukup tinggi serta berdasarkan kemudahan akses ke sekolah tersebut. Sekolah yang dipilih menjadi lokasi penelitian yaitu SDIT Bina Insani, SDIT At Taufiq, SDIT Ummul Quro, SDIT Birrulwalidain, SDIT Insan Kamil, dan SDIT Aliya. Survei dilakukan pada keenam sekolah tersebut dan terpilih 3 sekolah yangmemiliki jumlah minimal sampel yang diperlukan dan memenuhi kriteria inklusi yaitu SDIT Aliya, SDIT Ummul Quro, dan SDIT Insan Kamil. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan sekolahnya. Semua kelompok diberikan pre-test dan post-test. Penentuan perlakuan pada tiap kelompok dilakukan secara acak dengan rincian perlakuan A berupa intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik (PG+AF), perlakuan B berupa pendidikan gizi dan buah-buahan (PG+B) serta perlakuan C berupa pendidikan gizi, aktivitas fisik, dan buah-buahan (PG+AF+B).
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek Subjek pada penelitian ini adalah siswa SDIT kelas 5 dan 6 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kelas 5 dan 6 dipilih sebagai subjek penelitian karena menurut Santrock (2007) bahwa anak pada rentang usia 7-12 tahun atau usia sekolah dasar berada pada tahap concrete operational yaitu anak mampu berpikir secara logika, mengklasifikasikan objek sesuai jenisnya, menyusun sesuatu, memahami maksud orang lain, dan mampu menyimpulkan. Pemilihan subjek pada tahap anak-anak dikarenakan prevalensi obesitas pada anak usia sekolah dasar masih cukup tinggi yaitu 10.8% (Balitbangkes 2013). Pemilihan subjek dilakukan pada populasi siswa kelas 5 dan 6. Subjek dipilih secara purposive berdasarkan kesediaan dari subjek dan orang tua subjek
17
serta memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi subjek adalah status gizi obesitas (Z-score>+2), tidak menderita penyakit yang dapat mengganggu berjalannya penelitian, tidak sedang ikut kegiatan yang serupa, tidak mengonsumsi suplemen atau obat untuk menurunkan berat badan, dan tidak sedang menjalani diet pengurusan berat badan. Perhitungan subjek menggunakan rumus Sastroasmoro dan Ismael (2008) dengan α 5% (Zα=1.960), β 80% (Zβ=0.842), standar deviasi (Sd) IMT berdasarkan penelitian Schaefer et al. (2011) sebesar 0.34 dan selisih rata-rata (∆) IMT yang diinginkan yaitu 0.27 sehingga perhitungan subjek adalah sebagai berikut. n>2 Sd2 (Z+Z)2 ∆2 n>2 (0.34)2 (1.960+0.842)2 0.272 n>2 Sd2 (Z+Z)2 ∆2 n> 25 Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah minimum subjek adalah 25, kemudian untuk mengantisipasi kemungkinan adanya drop out, maka subjek ditambahkan agar besar subjek minimal tetap terpenuhi. Pehitungan pertambahan antisipasi drop out menggunakan rumus Sastroasmoro dan Ismael (2008) dengan besar subjek (n) 25, perkiraan proporsi drop out (f) sebesar 15% (Yuliana 2007), maka perhitungan subjek adalah sebagai berikut. n’ =n (1-f) n’ =25 (1-0.15) n’ = 30 Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah subjek yang direkrut dalam penelitian ini adalah 30 siswa setiap kelompok perlakuan. Jumlah ini telah memenuhi syarat untuk dapat mewakili populasi menurut Dick dan Carey (2001).
Pelaksanaan Intervensi Penelitian ini mengajukan Ethical clearance ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran UNDIP dan RSUP Dr. Kariadi untuk mendapatkan perizinan dalam melakukan intervensi terhadap subjek. Penelitian diawali dengan sosialisasi kegiatan penelitian yang dilakukan ke sekolah-sekolah yang telah dipilih menjadi lokasi penelitian dan pemasangan poster mengenai himbauan gaya hidup sehat. Selanjutnya pengisian inform concent (IC) oleh orang tua dan siswa yang bersedia dan memenuhi kriteria untuk menjadi subjek penelitian. Setelah mendapatkan subjek sesuai dengan jumlah yang diperlukan, kemudian dilakukan pengambilan data baseline menggunakan kuesioner (karakteristik orangtua, karakteristik subjek, kebiasaan konsumsi buah, konsumsi pangan 2x24 jam, aktivitas fisik, dan pengetahuan gizi) dan pengukuran langsung (berat badan, tinggi badan).
18
Pada penelitian ini dilakukan intervensi pendidikan gizi yang disertai dengan penambahan pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik. Intervensi pendidikan gizi dilakukan selama 30 menit setiap seminggu sekali. Materi yang diberikan meliputi 1) pentingnya gizi untuk kesehatan dan prestasi; 2) pentingnya konsumsi buah dan sayur; 3) pentingnya sarapan; 4) pedoman gizi seimbang; dan 5) cemilan, serta setiap minggunya menekankan pada konsumsi buah dan sayur. Pendidikan gizi disampaikan oleh tim peneliti dalam bentuk ceramah dan diskusi dengan menggunakan alat bantu berupa poster, video, dan power point. Keberhasilan pendidikan gizi diukur menggunakan kuesioner dengan memberikan soal yang sama sebanyak 10 pada saat pre dan post intervensi. Pemberian buah-buahan didasarkan pada penelitian Schroder (2010) bahwa asupan buah-buahan berhubungan signifikan dengan penurunan berat badan dan IMT (r=-0.27 sampai dengan -0.44) dibandingkan dengan sayuran setelah dikontrol dengan usia, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, dan konsumsi zat gizi makro. Pemberian buah-buahan pada penelitian ini dilaksanakan setiap hari sekolah yaitu 5 kali/minggu dengan banyaknya setiap kali pemberian yaitu 1-2 porsi buah. Banyaknya porsi pemberian didasarkan pada kebiasaan konsumsi buah subjek yaitu 1-2 porsi/hari sehingga perlu penambahan untuk memenuhi anjuran sesuai PGS. Adapun jenis buah-buahan yang diberikan didasarkan pada jenis buah-buahan yang sering dikonsumsi subjek yang diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner FFQ (Food Frequency Questionnare) selama 2 minggu yang lalu yaitu semangka, jeruk, apel, mangga, melon, pisang, jambu, dan pir. Berdasarkan jenis buah-buahan tersebut, kandungan serat yang diberikan berkisar antara 1.5-6.62 g dan dapat memenuhi 5.17-23.64% AKS (Angka Kecukupan Serat). Pemberian kegiatan aktivitas fisik dilaksanakan selama 30 menit setiap 3 kali/minggu. Kegiatan aktivitas fisik dilakukan di sekolah dalam bentuk permainan seperti permainan sepak bola, handball, aerobik, skipping, permainan tradisional ―galah‖, dan lain-lain. Kegiatan ini diberikan oleh guru olahraga dan tim peneliti yang terlatih. Media yang digunakan berupa alat-alat olahraga, video, dan instruktur. Pengambilan data endline dilakukan menggunakan kuesioner dan pengukuran langsung pada minggu pertama setelah selesai dilakukan intervensi.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data karakteristik orang tua (pendidikan dan status gizi orang tua), karakteristik subjek (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat pemberian ASI), pengetahuan gizi, kebiasaan konsumsi buah (jenis, preferensi penyajian, dan frekuensi konsumsi), kebiasaan aktivitas fisik, konsumsi pangan 2x24 jam pada hari libur dan hari sekolah, aktivitas fisik 2x24 jam pada hari libur dan hari sekolah, dan status gizi (berat badan dan tinggi badan). Data sekunder meliputi data mengenai gambaran umum lokasi SDIT yang menjadi tempat penelitian dan jumlah siswa SD di Kota Bogor. Jenis dan cara pengumpulan data secara rinci diuraikan pada Tabel 2 berikut.
19
Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data No
Variabel
Subvariabel
1
Karakteristik orang tua
1. Pendidikan 2. Status gizi
2
Karakteristik subjek
1. 2. 3. 4.
3
Kebiasaan konsumsi buah
4
5
6
7
Usia Jenis kelamin Berat badan lahir Riwayat pemberian . ASI 1. Jenis buah 2. Preferensi penyajian buah 3. Frekuensi konsumsi buah
Alat dan cara Pre pengumpulan Wawancara menggunakan √ kuesioner Wawancara menggunakan kuesioner √
Wawancara menggunakan kuesioner dan Food Frequency Questionnaire (FFQ) Konsumsi Asupan serat Wawancara pangan 2x24 menggunakan jam Recall konsumsi pangan 2x24 jam Aktivitas fisik 1. Kebiasaan aktivitas fisik Wawancara 2. Tingkat aktivitas fisik menggunakan 3. Rata-rata aktivitas fisik Recall aktivitas fisik 2x24 jam Pengetahuan 1. Tingkat pengetahuan Wawancara gizi gizi menggunakan 2. Delta pengetahuan gizi kuesioner Status gizi 1. Berat badan Pengukuran 2. Tinggi badan langsung
Post
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Pengolahan dan Analisis Data Data yang didapatkan dari lapangan diolah melalui beberapa tahapan yaitu pembuatan kode untuk entri data, entri data, dan cleaning data menggunakan Microsoft Office Excel 2010. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensia menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) for windows versi 17. Semua variabel data yang didapatkan dikategorikan untuk memudahkan penyajian data dan membaca data. Pengkategorian berbagai variabel dalam penelitian diuraikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Variabel dan kategori penyajian data No 1
Variabel Pendidikan orang tua
Kategori 1. Tidak sekolah 2. Tamat SD atau sederajat 3. Tamat SMP atau sederajat 4. Tamat SMA atau sederajat 5. Tamat PT Balitbangkes (2010)
20
Tabel 3 Variabel dan kategori penyajian data (lanjutan) No 2
Variabel Status gizi orang tua (IMT)
Kategori 1. Kurus (IMT<18.5) 2. Normal (IMT≥18.5-<24.9) 3. BB lebih (IMT≥25.0-<27.0) 4. Obesitas (IMT≥27.0) (Balitbangkes 2013) 1. 5-12 tahun 2. 13-15 tahun (Balitbangkes 2013) 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. < 2500 g 2. 2500-3999 g 3. ≥4000 g (Balitbangkes 2013) 1. 0-6 bulan hanya ASI 2. 0-6 bulan ASI+MPASI (Balitbangkes 2013) 1. Jarang (tidak pernah-3x/minggu) 2. Sering (≥4x/minggu) (Willers et al. 2008) 1. Utuh 2. Jus 3. Salad 4. Sop buah (Bourdeaudhuij et al. 2008) 1. Cukup (2-3 porsi/hari) 2. Kurang (1-2 porsi/hari 3. Sangat kurang (≤1 porsi/hari) (PGS, YIDI)
3
Usia
4
Jenis kelamin
5
Berat badan lahir
6
Riwayat pemberian ASI Ekslusif
7
Jenis konsumsi buah
8
Preferensi penyajian buah
9
Frekuensi konsumsi buah
10
Tingkat aktivitas fisik
1. Ringan (1.40-1.69) 2. Sedang (1.70-1.99) 3. Berat (2.00-2.40) (FAO 2010)
11
Pengetahuan gizi
1. Kurang (<60%) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (>80%) (Khomsan 2000)
12
IMT/U
1. Sangat kurus (Z-score<-3) 2. Kurus (Z-score≥-3 s/d<-2) 3. Normal (Z-score≥-2 s/d≤1) 4. Gemuk (Z-score >+1 s/d ≤+2) 5. Obesitas(Z-score >+2) (Balitbangkes 2013)
Data konsumsi pangan yang diperoleh melalui food recalls 2x24 jam dikonversi beratnya dalam g (gram) dan dihitung kandungan seratnya menggunakan daftar kandungan serat makanan dari Food composition table for
21
Indonesia (Fahmida et al. 2013), ASEAN Food composition database (Puwastien 2014), Nutrisurvey for windows (Erhardt 2007), dan Penuntun Diet (Almatsier 2008). Rumus untuk menghitung jumlah asupan serat pangan yang dikonsumsi yaitu: Ksij = {(Bj/100) x Sij x (BDDj/100)} Keterangan: Ksij= Kandungan serat dalam bahan makanan-j yang dikonsumsi (g) Bj = Berat bahan makanan-j yang dikonsumsi (g) Gij = Kandungan serat dalam 100 g BDD bahan makanan-j BDD-j = Persen bahan makanan-j yang dapat dimakan (% BDD) Data aktivitas fisik dinyatakan dalam tingkat aktivitas fisik atau Physical Activity Level (PAL). Cara perhitungan aktivitas fisik menggunakan rumusFAO/WHO/UNU (2010) yaitu: PAL = Σ(PAR x alokasi waktu tiap aktivitas) 24 jam Keterangan: PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik) PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) Analisis data deskriptif meliputi frekuensi, rata-rata, dan standar deviasi. Analisis data inferensia terdiri dari beberapa analisis yaitu 1) uji Paired t-test untuk menganalisis perubahan pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik, berat badan, dan IMT antara sebelum dan sesudah intervensi pada setiap kelompok perlakuan; 2) uji one-way Anova dan Kruskal Wallis untuk menganalisis perbedaan karakteristik subjek dan orang tua, tingkat pengetahuan gizi, kebiasaan aktivitas fisik, tingkat aktivitas fisik, kebiasaan konsumsi buah, perubahan pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik, berat badan, dan IMT antar kelompok perlakuan; 3) uji Ancova untuk menganalisis pengaruh pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi terhadap berat badan dan IMT subjek.
Definisi Operasional Subjek adalah anak usia sekolah yaitu kelas 5 dan 6 yang menjalani pendidikan sekolah dasar di SDIT dan terdaftar di Dinas Pendidikan Kota Bogor. Karakteristik subjek adalah data-data subjek yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan lahir, dan riwayat pemberian ASI Eksklusif. Karakteristik orang tua adalah data/informasi mengenai orang tua siswa yang meliputi berat badan, tinggi badan, dan lama pendidikan. Usia adalah umur pada saat penelitian dilakukan yang dinyatakan dalam tahun. Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kg (kilogram) yang diukur menggunakan timbangan Camry dengan ketelitian 0.1 kg. Tinggi badan adalah tinggi badan subjek dalam posisi berdiri tegak sempurna menempel ke dinding dan menghadap ke depan yang diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm.
22
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh siswa berdasarkan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) yang dibedakan menjadi sangat kurus, kurus, normal, gemuk, dan obesitas (Balitbangkes 2013). Lama pendidikan orang tua adalah banyaknya (dalam tahun) pendidikan formal yang telah ditamatkan orang tua subjek. Kebiasaan konsumsi buah adalah mencakup jumlah, jenis, dan frekuensi buah yang dikonsumsi yang diketahui dengan pencatatan makanan (food recall) selama 2x24 jam dan FFQ. Frekuensi konsumsi buah adalah banyaknya konsumsi buah persatuan waktu tertentu (satu minggu). Jenis buah yang dikonsumsi adalah jenis buah yang dikonsumsi berdasarkan jenis buah di Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Asupan serat adalah banyaknya serat makanan yang diperoleh dari konsumsi makanan sehari-hari yang dinyatakan dalam g/kapita/hari. Riwayat pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada subjek ketika umur 0-6 bulan tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, madu, air putih, dan makanan padat seperti pisang, bubur, biskuit, dan lain-lain. Pengetahuan gizi adalah kemampuan subjek menjawab pertanyaan mengenai gizi. Tingkat aktivitas fisik adalah aktivitas fisik siswa yang dinyatakan dengan nilai PAL (physical activity level) dan dikategorikan menjadi kegiatan ringan, sedang, dan berat.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Subjek dalam penelitian ini berjumlah 90 siswa obes yang berasal dari kelas 5 dan 6 SDIT Bogor. Jumlah siswa dari masing-masing sekolah sama yaitu 30 siswa obes SDIT Aliya sebagai kelompok A (PG+AF), 30 siswa obes SDIT Insan Kamil sebagai kelompok B (PG+B), dan 30 siswa obes SDIT Ummul Quro’ sebagai kelompok C (PG+AF+B). Sebagian besar subjek (>50%) berjenis kelamin laki-laki baik pada kelompok A, B, maupun C. Hasil uji Kruskal Wallis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada jenis kelamin subjek antar kelompok perlakuan (p>0.05). Yoshinaga et al. (2004) menemukan hal yang sama yaitu prevalensi obesitas pada anak usia sekolah meningkat lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini diduga karena anak perempuan sudah mulai pubertas, lebih dulu daripada lakilaki, sehingga mulai memperhatikan penampilan dan cenderung mengatur pola makan daripada laki-laki (Karimah 2014). Adapun berdasarkan usianya, mayoritas subjek merupakan siswa yang berada pada rentang usia 10-12 tahun. Hasil uji Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada usia subjek antar kelompok perlakuan (p<0.05) (Tabel 4). Usia anak sekolah merupakan usia yang tepat untuk diterapkannya programprogram pembekalan pengetahuan karena berdampak positif pada kehidupan anak selanjutnya (Chien et al. 2012). Pada usia ini, anak mampu berpikir secara logika,
23
mengklasifikasikan objek sesuai jenisnya, menyusun sesuatu, memahami maksud orang lain, dan mampu menyimpulkan (Santrock 2007). Bergsma et al. (2014) menyampaikan bahwa anak usia sekolah merupakan saat yang tepat untuk diberikan intervensi di kelas untuk mempengaruhi hal-hal yang positif. Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu Karakteristik
Kelompok A
Kelompok B
Kelompok C
n
n
n
%
%
P
%
Jenis kelamin Laki-laki
16
53.3
19
63.3
22
73.3
Perempuan
14
46.7
11
36.7
8
26.7
30
100
30
100
27
90
3
10
0.279
Usia (tahun) 10-12 13-15 Rata-rata±SD
10.5±0.7
a
10.9±0.7
a
10.6±0.9
0.046*
b
Berat badan lahir <2500 g 2500-3999 g ≥4000 g
2
6.7
14
46.7
2
6.7
25
83.3
16
53.3
24
80
3
10
0
0
4
13.3
3270±506a
Rata-rata±SD
2727±605b
0.000*
3210±556b
Riwayat pemberian ASI 0-6 bulan hanya ASI
12
40
5
83.3
21
70
0.000* 0-6 bulan ASI+MPASI 18 60 25 16.7 9 30 * hasil uji signifikan (p<0.05), a,b,c peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05).
Pada masing-masing kelompok perlakuan, lebih dari 50% subjek memiliki riwayat berat badan lahir normal yaitu pada rentang 2500-3999 g. Hasil uji Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada berat badan lahir antar kelompok perlakuan. Subjek pada penelitian ini semuanya berstatus gizi obes. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan He et al. (2000) bahwa faktor risiko signifikan obes pada anak prasekolah di Cina adalah yang memiliki berat badan lahir ≥4 kg. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Parson et al. (2001) yang menyatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas dimasa depan. Oleh karena itu, obesitas pada sebagian besar subjek pada penelitian ini diduga disebabkan oleh faktor lain seperti gaya hidup, konsumsi pangan, dan aktivitas fisik. Penelitian yang berbeda menyebutkan bahwa berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki resiko lebih rendah menjadi obes pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0.50, Cl 95%: 0.32-0.77) dibandingkan dengan berat badan berlebih, namun tidak ada hubungan antara BBLR dengan kejadian obesitas pada laki-laki (OR: 2.42, Cl 95%: 2.06-2.86) (Oldroyd et al. 2010). Penelitian yang dilakukan Vasylyeva et al. (2013) juga menyatakan bahwa hasil analisis antara berat badan lahir dengan risiko obesitas pada kehidupan selanjutnya tidak signifikan. Hasil penelitian terbaru yaitu Rossi dan Vasconceles (2014) menyatakan bahwa berat badan lahir termasuk berat lahir rendah atau prematur, tidak berhubungan signifikan dengan kejadian obesitas pada anak.
24
Hasil analisis mengenai riwayat pemberian ASI menunjukkan bahwa pada kelompok A, sebanyak 60% subjek memiliki riwayat memperoleh ASI beserta MPASI selama kurun waktu 0-6 bulan, sedangkan pada kelompok B dan C, lebih dari 70% subjek hanya memperoleh ASI saja pada usia 0-6 bulan. Berdasarkan uji Anova, terdapat perbedaan yang nyata pada riwayat pemberian ASI antar kelompok perlakuan yaitu kelompok A yang berbeda dengan kelompok B dan C. Bogen et al. (2004) menyebutkan bahwa pemberian ASI pada anak bisa menurunkan resiko obesitas sebesar 0.7% (95% Cl 0.61-0.8). Hasil analisis Weyermann et al. (2006) juga menyatakan bahwa waktu pemberian ASI eksklusif berhubungan negatif dengan kejadian kelebihan berat badan pada anak. Pemberian ASI dalam waktu yang lama dapat mencegah terjadinyaoverweight pada anak. Subjek obes pada kelompok A pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan kedua penelitian tersebut karena sebelum 6 bulan sudah mendapatkan MPASI (tidak ASI eksklusif). Akan tetapi, subjek pada kelompok B dan C sebagian besar memperoleh ASI eksklusif. Oleh karena itu, penyebab obesitas pada sebagian besar subjek penelitian ini diduga tidak hanya disebabkan oleh pemberian ASI eksklusif. Penelitian mengenai berapa waktu yang tepat dalam menyusui untuk mencegah terhadinya kegemukan pada anak belum ditemukan. Crume (2012) yang mengamati efek pemberian ASI yang terpisah selama <6 bulan (low breastfeeding) dengan ≥6 bulan (adequate breastfeeding) menunjukkan bahwa pemberian ASI selama ≥6 bulan berdampak signifikan terhadap IMT tetapi sulit untuk menentukan durasi yang tepat yang dapat berdampak pada penurunan berat badan anak. ASI eksklusif selama 3 bulan dapat menjadi proteksi terhadap obesitas pada balita (adjusted odds ratio (AOR) 0.65,95% CI 0.45-0.96). Pemberian ASI ini dapat memproteksi terhadap kejadian obesitas sampai usia 5 tahun, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa berat badan anak tidak hanya dipengaruhi oleh ASI saja (Huus et al. 2008). Menurut Agostoni et al. (2009), susu formula mengandung lemak dan protein yang lebih tinggi dari kebutuhan bayi. Selain itu, asupan lemak dan protein yang berlebihan pada masa anak-anak juga berhubungan dengan adipositas (Hernell & Lonnerdal 2011). Oleh karena itu, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah terjadinya kegemukan pada anak. Menurut Stolzer (2011), ASI menyediakan jumlah kalori dan zat gizi yang tepat sesuai dengan kebutuhan bayi. ASI juga mengandung substansi bioaktif seperti leptin dan ghrelin yang dapat mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi adiposit bayi (McCrory dan Layte 2012). Penelitian terbaru yang dilakukan Yan et al. (2014) menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan merupakan faktor protektif bagi adipositas atau obesitas. ASI mengandung komposisi efektif dengan nilai gizi yang tinggi. Pemberian ASI selama <3 bulan memberikan efek proteksi yang rendah terhadap obesitas anak-anak. Adapun pemberian ASI ≥6 bulan menunjukkan proteksi yang tinggi secara signifikan. Penemuan efek proteksi ASI terhadap obesitas pada anak-anak dan rentang waktu menyusui berkaitan secara langsung dengan penurunan resiko obesitas. Oleh karena itu, anak yang disusui selama ≥6 bulan memiliki kemungkinan kecil mengalami obesitas di masa pertumbuhan anak tersebut secara signifikan.
25
Karakteristik Orang Tua Karakteristik orang tua subjek yang diteliti dalam penelitian ini yaitu tingkat pendidikan orang tua dan status gizi orang tua. Pendidikan orang tua merupakan salah satu aspek yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap status gizi anak. Hal ini karena pendidikan orang tua akan menentukan pola asuh orang tua terhadap anak seperti pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Moore dan Bailey (2013) menekankan pentingnya pendidikan orang tua untuk keberlanjutan pendidikan gaya hidup pada anak-anak. Karakteristik orang tua subjek pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik orang tua Karakteristik
Kelompok A
Kelompok B
Kelompok C
n
n
n
%
%
P
%
Pendidikan ayah Tidak sekolah
0
0
0
0
0
0
Tamat SD atau sederajat
1
3.3
0
0
0
0
Tamat SMP atau sederajat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMA atau sederajat
2
6.7
3
10
0
0
Tamat PT
27
90
27
90
30
100
Rata-rata±SD
15.5±2.3a
15.1±1.6a
0.204
16.9±1.2a
Pendidikan ibu Tidak sekolah
0
Tamat SD atau sederajat Tamat SMP atau sederajat Tamat SMA atau sederajat Tamat PT Rata-rata±SD
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
3.3
0
0
0
0
3
10
8
26.7
6
20
26
86.7
22
73.3
24
14.8±2.0
a
14.1±1.7
a
0.484
80
14.8±2.7
a
IMT ayah Kurus (IMT<18.5)
8
26.7
6
20
5
16.7
Normal (IMT≥18.5-<24.9)
7
23.3
4
13.3
7
23.3
BB lebih (IMT≥25.0-<27.0)
15
50
20
66.7
18
60
Rata-rata±SD
27.5±3.4a
27.7±3.0a
0.456
27.4±2.6a
IMT ibu Kurus (IMT<18.5)
11
36.7
2
6.7
Normal (IMT≥18.5-<24.9)
4
BB lebih (IMT≥25.0-<27.0)
15
5
16.7
13.3
8
26.7
9
30
50
20
66.7
16
53.3
0.143
Rata-rata±SD 26.1±3.6a 28.1±2.5a 27.6±3.4a peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05). a,b,c
Tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas orang tua subjek memiliki riwayat pendidikan tamat perguruan tinggi dengan masing-masing persentase ayah ≥90% dan ibu >70%. Hasil uji Anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat pendidikan baik ayah maupun ibu antar kelompok perlakuan. Pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam menentukan status gizi anak. Peningkatan pendidikan ibu akan membawa dampak pada investasi
26
sumber daya manusia yang berkualitas, karena dengan peningkatan pendidikan ibu akan meningkatkan status gizi anak yang pada akhirnya dapat meningkatkan peluang kesempatan pendidikan anaknya sebagai modal dasar peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas (Damanik et al. 2010). Tingginya pendidikan orang tua subjek pada penelitian ini meningkatkan peluang pola konsumsi pangan anak semakin baik karena memiliki orang tua berpengetahuan tinggi. Akan tetapi, hal ini juga dapat berdampak negatif karena orang tua yang berpendidikan tinggi pada umumnya bekerja di luar rumah dan memiliki penghasilan yang tinggi. Hal ini menyebabkan subjek memiliki uang jajan berlebih dan dapat membeli jajanan dengan bebas yang mengandung lemak dan gula yang tinggi. Orang tua pun sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak memperhatikan pola konsumsi anaknya. Oleh karena itu, keadaan ini dapat mendorong terjadinya obesitas pada anak. Hal ini sejalan dengan Moraeus et al. (2012) yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua berkaitan erat dengan overweight dan obesitas pada anak-anak. Selain pendidikan orang tua, status gizi orang tua turut berpengaruh pada kejadian obesitas pada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar (≥50%) status gizi orang tua subjek baik ayah maupun ibu pada semua kelompok termasuk kategori BB lebih dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan. Subjek pada penelitian ini bestatus gizi obes sehingga hasil penelitian sejalan dengan He et al. (2000) yang menyatakan bahwa IMT orang tua yang lebih dari 25 merupakan faktor risiko obes anak prasekolah di Cina. Akan tetapi, menurut Zhao dan Grant (2011), faktor genetik hanya berpengaruh sebesar 1% terhadap kejadian obesitas pada anak, adapun 99% disebabkan oleh faktor lingkungan. Penelitian Svensson et al. (2011) menunjukkan kejadian yang berbeda, yaitu menyatakan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh yang kuat terhadap obesitas anak terutama pada masa remaja. Gen yang mempengaruhi adipositas memiliki efek yang berbeda pada setiap tahapan usia anak-anak. Derajat obesitas yang semakin jelas pada usia remaja dimungkinkan bahwa hal tersebut didominasi oleh faktor genetik. Hal ini karena selama masa remaja, pengaruh orang tua pada kehidupan sehari-hari menurun. Moreaus (2012) juga menyatakan bahwa berat badan orang tua memiliki korelasi positif dengan berat badan anak. Tingkat Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pengetahuan gizi merupakan prasyarat penting untuk terjadinya perubahan sikap dan perilaku gizi. Pengetahuan juga merupakan salah satu pertimbangan seseorang dalam memilih dan mengonsumsi makanan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya. Pada saat sebelum intervensi pada penelitian ini, dilakukan pengambilan data untuk mengetahui tingkat pengetahuan gizi subjek dengan jenisjenis pertanyaan mengacu pada Kostanjevec et al. (2011). Tingkat pengetahuan gizi subjek pada saat sebelum intervensi tersebut disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, sebagian besar subjek (>50%) dari masing-masing kelompok baik kelompok A, B, maupun C, memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
27
yang nyata (p>0.05) pada tingkat pengetahuan gizi antar kelompok subjek. Hal ini menjadi syarat untuk dilakukannya intervensi pendidikan gizi agar tidak ada bias yang disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetauan gizi subjek pada saat sebelum dilakukan intervensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan Kostanjevec et al. (2011) bahwa tingkat pengetahuan siswa sekolah dasar berada pada tingkat sedang. Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Tingkat pengetahuan gizi Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%)
Kelompok A
Kelompok B
Kelompok C
n
n
n
%
%
%
8
26.7
7
23.3
3
10
17
56.7
17
56.7
23
76.7
5
16.7
6
20
4
13.3
P 0.682
Tingkat pengetahuan gizi seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya faktor lingkungan. Menurut Contento (2011), lingkungan anak-anak terutama sekolah harus melakukan pendidikan gizi dengan fokus pada peningkatan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku anak dalam memilih makanan dan menanggapi isu gizi dan makanan. Lingkungan sekolah juga harus mendukung dan memfasilitasi ketersediaan makanan untuk menyediakan makanan yang sesuai dengan pedoman gizi yang dianjurkan. Jika diuraikan berdasarkan setiap pertanyaan yang diberikan, jumlah subjek yang dapat menjawab benar pada setiap pertanyaan adalah seperti pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, pertanyaan mengenai pengertian makanan sehat, pengertian kegemukan pada anak, dan tujuan olahraga dijawab benar oleh sebagian besar siswa (≥80%) pada semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil subjek yang memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar gizi. Pertanyaan mengenai makanan sumber serat dan zat gizi untuk pertumbuhan merupakan pertanyaan yang paling tidak diketahui oleh subjek yang ditunjukkan oleh sedikitnya jumlah subjek yang menjawab benar pada pertanyaan tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan Kostanjevec et al. (2011) yang menemukan bahwa subjek tidak mampu mendefinisikan makanan sesuai dengan nilai energi dan kandungan gizinya yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui dengan baik mengenai gizi dan energi mereka. Subjek juga kesulitan untuk mengelompokkan makanan sesuai dengan kandungan gizi utamanya (sumber zat gizi tertentu). Penyebab sedikitnya jumah subjek yang menjawab benar dalam pertanyaan mengenai pengetahuan gizi yang diberikan diduga karena pada usia ini belum mendapatkan pengetahuan dasar mengenai gizi. Pada usia ini, anak mengembangkan pemikiran logis untuk memecahkan masalah, tetapi masih tidak dapat memecahkan masalah abstrak dan hipotesis seperti memahami konsep abstrak berupa energi dan zat gizi. Pada tingkat yang lebih tinggi yaitu perkembangan kognitif, seperti SMP, ketika dijelaskan secara sistematis mengenai konsep yang diajarkan pada mata pelajaran seperti kimia, biologi, fisika, siswa harus dapat memahami konsep-konsep gizi. Selain itu, menurut Bourdeaudhuij et al. (2008), orang tua turut mempengaruhi dalam rendahnya tingkat pengetahuan gizi subjek. Oleh karena itu, orang tua merupakan agen sosial yang paling penting yang berdampak penting pada pengetahuan anak-anak.
28
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan kemampuan menjawab benar pada setiap pertanyaan pengetahuan gizi Jumlah Subjek Menjawab Benar No
Pertanyaan
Kelompok A n %
Kelompok B n %
Kelompok C n %
1
Pengertian makanan sehat
27
90
24
80
28
93
2
Manfaat makanan bagi tubuh
23
77
12
40
26
87
3
Sumber energi utama
18
60
14
47
21
70
4
Zat gizi utk pertumbuhan danpemeliharaan
15
50
5
17
10
33
5
Makanan sumber karbohidrat
23
77
22
73
23
77
6
Makanan sumber vitamin dan mineral
25
83
21
70
28
93
7
Makanan sumber serat
17
57
2
7
18
60
8
Manfaat lemak bagi tubuh
23
77
22
73
25
83
9
Pengertian kegemukan pada anak
27
90
24
80
28
93
10
Kandungan zat gizi pada fast food
26
87
19
63
22
73
11
Penyebab terjadinya kegemukan
26
87
20
67
21
70
12
Akibat kegemukan terhadap kesehatan
21
70
20
67
26
87
13
Cara menanggulangi kegemukan
20
67
11
37
17
57
14
Tujuan olahraga
28
93
27
90
26
87
15
Fungsi aktivitas fisik
23
77
10
33
25
83
16
Jenis aktivitas fisik yang baik
29
97
27
90
21
70
17
Jenis olahraga yang baik
29
97
25
83
20
67
18
Frekuensi olahraga yang baik perminggu
22
73
15
50
18
60
19
Waktu olahraga yang baik dalam 1minggu
16
53
10
33
16
53
20
Olahraga yang baik untuk kesehatan
24
80
21
70
15
50
Konsumsi Pangan Jenis Buah Kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Sanjur (1982), kebiasaan makan dibedakan menjadi dua yaitu kebiasaan makan sebagai peubah tak bebas yang terbentuk pada diri seseorang karena ia pelajari (learned), dankebiasaan makan pada diri seseorang bukan karena proses pendidikan atau sengaja dipelajari (unlearned). Kebiasaan makan diartikan secara luas sebagai kebiasaan individu atau rumah tangga dalam mengonsumsi pangan yang dipengaruhi oleh faktor fisiologi, psikologi, serta sosial budaya, baik meliputi frekuensi pangan, preferensi pangan, pola makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap pangan, distribusi makanan dalam keluarga, penerimaan terhadap makanan, serta cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Kebiasaan makan memiliki empat komponen yaitu 1) konsumsi pangan (pola pangan baik dalam bentuk jenis, jumlah, frekuensi, proporsi pangan yang dikonsumsi atau susunan/komposisi pangan); 2) preferensi terhadap pangan (sikap terhadap pangan dalam bentuk suka atau tidak suka, dan pangan yang belum pernah dikonsumsi); 3) ideologi atau pengetahuan terhadap pangan (kepercayaan,
29
tabu); dan 4) sosiobudaya pangan (umur, asal, pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian, luas pemilikan lahan, ketersediaan pangan). Adapun pada penelitian ini, diteliti mengenai konsumsi pangan yaitu golongan buah-buahan, yang ditampilkan dalam bentuk jenis, preferensi terhadap buah-buahan dalam bentuk kesukaan terhadap cara penyajian buah, dan frekuensi konsumsi buah/minggu. Penelitian ini menganalisis mengenai kebiasaan konsumsi makan dalm bentuk konsumsi pangan berupa buah-buahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 5 besar jenis buah-buahan yang dikonsumsi subjek adalah jeruk, pepaya, apel, pisang, dan mangga seperti terlihat pada Tabel 8. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Nurhayati (2013) yang menyatakan bahwa buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi anak di Indonesia adalah pisang, jeruk, pepaya, apel, dan semangka. Perbedaan antara buah mangga dan semangka pada kedua hasil penelitian ini diduga karena pada saat penelitian sedang berlangsung musim buah mangga. Locke et al. (2009) menyatakan bahwa konsumsi buah-buahan di Washington dipengaruhi oleh musim. Pada musim suatu buah, konsumsi buah tersebut meningkat secara signifikan (p<0.05) seiring dengan tingginya ketersediaan buah tersebut. Musim merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi konsumsi buah karena berkaitan dengan ketersediaan, kualitas, dan harga buah (Zhang dan Fu 2011). Givens et al. (2007) menemukan adanya peningkatan sebanyak 50% pada konsumsi buah anak-anak pada saat musim panas karena meningkatnya persediaan buah-buahan. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan jenis buah yang dikonsumsi Kelompok A Jenis buah
jarang
Kelompok B
sering
jarang
Kelompok C
sering
jarang
sering
P
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Jeruk
20
66.7
10
33.3
17
56.7
13
43.3
13
43.3
17
56.7
0.193
Pepaya
25
83.3
5
16.7
22
73.3
8
26.7
17
56.7
13
43.3
0.073*
Apel
21
70
9
30
24
80
6
20
19
63.3
11
36.7
0.362
Pisang 23 76.7 7 Mangga 20 71.4 8 Lainnya 3 75 1 * hasil uji signifikan (p<0.05)
23.3 28.6 25
24 19 0
80 73.1 0
6 7 0
20 26.9 0
14 13 0
48.3 52 0
15 12 0
51.7 48 0
0.017* 0.214 0.027*
Penelitian yang dilakuan Tiyas (2009) pada penduduk berusia 10 tahun ke atas di Kota Bogor menunjukkan adanya kesamaan pada beberapa jenis buah yang disukai yaitu pisang, pepaya, dan mangga oleh sebanyak 44% contoh. Adapun hasil Sophia dan Madanijah (2014), buah mangga merupakan buah yang paling disukai subjek di kota. Selain itu, juga terdapat buah apel fuji, pepaya, alpukat, pir, dan pisang ambon. Buah pepaya merupakan buah yang paling sering dikonsumsi anak di kota, yaitu secara rata-rata dikonsumsi sekitar 4 kali/minggu. Frekuensi konsumsi buah-buahan pada Tabel 8 dinyatakan dalam jumlah konsumsi/minggu yang dibagi menjadi dua kategori yaitu jarang dan sering (Willers et al. 2008). Berdasarkan 5 besar buah-buahan yang dikonsumsi subjek, buah yang paling sering dikonsumsi subjek pada kelompok A, B, dan C yaitu jeruk, adapun buah yang paling jarang dikonsumsi subjek yaitu apel. Seringnya konsumsi buah jeruk dibandingkan dengan buah lainnya diduga disebabkan karena pengetahuan yang beredar di kalangan masyarakat termasuk orang tua
30
subjek. Pada umumnya masyarakat mengetahui bahwa buah jeruk baik untuk dikonsumsi karena mengandung vitamin C yang tinggi (Mohammed et al. 2009). Pengetahuan ini menyebabkan orang tua sering membeli buah jeruk sehingga ketersediaan di rumah selalu ada dan konsumsi anak-anak menjadi lebih sering daripada buah lainnya. Preferensi konsumen terhadap buah jeruk juga disebabkan karena rasa dan kesegaran (Muzdalifah 2012). Anak pada usia 10 tahun ke atas menentukan preferensi terhadap buah terutama berdasarkan rasa, tekstur, dan bau. Pada usia ini juga mulai dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya (Zeinstra et al. 2007). Buah yang paling jarang dikonsumsi subjek yaitu apel. Hal ini diduga karena harga buah apel lebih mahal daripada buah lainnya. Selain rasa, kesegaran buah, kandungan gizi, dan ukuran, harga yang murah juga merupakan salah satu atribut yang dipertimbangkan konsumen dalam mengonsumsi buah (Muzdalifah 2012). Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa kecenderungan subjek untuk mengonsumsi buah masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan kategori jarang yang memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan kategori sering pada semua jenis buah di setiap kelompok. Rendahnya konsumsi buah diduga karena tidak tersedianya buah di lingkungan sekolah subjek. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung, kantin pada semua lokasi penelitian tidak menjual buah-buahan. Menurut Brunt et al. (2007), konsumsi buah pada siswa obes dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (keberadaan toko buah). Selain itu, sosial ekonomi (Storey & Anderson 2014), keterlibatan orang tua (Ohly et al. 2013, Sophia & Madanijah 2014) dan peranan pemerintah dalam penentuan harga (Bedyoun et al. 2008) juga turut mempengaruhi konsumsi buah subjek. Pengenalan terhadap buah-buahan pada masa kecil oleh orang tua sangat penting untuk dilakukan agar anak-anak terbiasa mengonsumsi buah sejak kecil (Cooke & Wardle 2005). Hasil penelitian ini sejalan dengan Meyinsse et al. (2013) yang menyatakan bahwa sebanyak 82% subjek tidak mengonsumsi buah pada asupan sehari-harinya dan hanya 21% yang mengonsumsi buah 2-3 kali per hari. Peltzer dan Pengpid (2012) menyatakan bahwa 76.3% remaja di Asia Selatan tidak memiliki kecukupan konsumsi buah (kurang dari 5 porsi/hari). Hasil kedua penelitian tersebut menganjurkan untuk melakukan intervensi dalam rangka meningkatkan konsumsi buah. Perikkou et al. (2013) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi buah pada anak lebih efektif dilakukan melalui di lingkungan sekolah. Preferensi Penyajian Buah Preferensi pangan merupakan tindakan atau ukuran suka atau tidak suka seseorang terhadap makanan, lebih lanjut preferensi akan mempengaruhi konsumsi pangan seseorang (Sanjur 1982). Menurut Contento (2011), preferensi pangan terbentuk sejak masih dalam kandungan yang dipengaruhi oleh diet ibu. Preferensi terhadap makanan dijelaskan sebagai hasil interaksi dari berbagai kondisi berbeda yang saling mempengaruhi, diantaranya keturunan (genetik), budaya, dan status sosial dan ekonomi. Penelitian ini menyajikan data mengenai preferensi subjek terhadap beberapa cara penyajian buah-buahan yaitu buah utuh, jus, salad, dan sop buah (Bourdeaudhuij et al. 2008). Preferensi subjek terhadap cara penyajian buahbuahan tersebut disajikan pada Tabel 9.
31
Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan preferensi penyajian buah Bentuk penyajian Buah utuh Jus Salad Sop Buah
Kelompok A n % 18 7 1 4
60 23.3 3.3 13.3
Kelompok B % n 18 8 2 2
60 26.7 6.7 6.7
Kelompok C n % 16 7 3 4
53.3 23.3 10 13.3
P 0.591
Cara penyajian buah akan mempengaruhi preferensi atau tingkat kesukaan anak dalam mengkonsumsi buah. Anak akan cenderung memilih buah yang menarik penampilannya dan mudah dalam mengkonsumsinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek (>50%) pada masing-masing kelompok lebih menyukai buah yang disajikan dalam bentuk utuh. Hal ini diduga karena buah utuh terlihat lebih segar baik dari segi penampilan maupun rasa dibandingkan dengan buah yang sudah diolah. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa preferensi penyajian buah antar kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini mendasari metode intervensi dengan pemberian buah dalam bentuk buah utuh kepada subjek di kelompok B dan kelompok C. Hasil penelitian ini berbeda dengan Tiyas (2009) yang melakukan penelitian pada anak sekolah dasar di Kota Bogor bahwa subjek lebih menyukai buah dalam bentuk jus untuk buah pepaya dan mangga, kemudian dalam bentuk buah utuh. Perbedaan ini dapat terjadi diduga karena perbedaan subjek dan waktu pelaksanaan penelitian. Preferensi dapat berubah seiring bertambahnya pengetahuan subjek. Selain itu, penelitian ini juga tidak sejalan dengan Drewnowski dan Rehm (2015) yang menyatakan bahwa anak-anak di Amerika Serikat lebih menyukai jus daripada buah utuh. Hal ini dikarenakan jus diduga lebih nyaman, mudah, dan cepat, serta terdapat beberapa daerah yang memiliki akses terbatas terhadap toko buah utuh. Akses terhadap toko buah bervariasi tergantung pada karakteristik lingkungan, sedangkan jus buah umumnya banyak tersedia dibandingkan buah utuh. Jika dilihat dari segi kandungan gizi, buah utuh memiliki kandungan gizi yang lebih baik daripada jus karena segelas jus hanya mengandung satu bagian dari yang direkomendasikan untuk asupan harian buah-buahan. Selain itu, jus biasanya mengandung gula tambahan yang dapat meningkatkan asupan gula terutama untuk subjek obes yang seharusnya dikurangi. Kelebihannya, jus buah dapat diperkaya dengan kalsium dan zat besi, meskipun hal ini di Indonesia jarang dilakukan (McDowell et al. 2007). Buah dalam bentuk salad yang dijual di supermarket juga sudah mendapatkan tambahan bahan-bahan lain sehingga kandungan energi dan lemaknya meningkat (McDowell et al. 2007). Penelitian Rickman et al. (2007) menyatakan bahwa buah utuh dan segar memiliki kandungan vitamin C yang lebih baik atau optimal, selama kondisi penyimpanannya baik di suhu kamar atau didinginkan. Frekuensi konsumsi buah secara umum dinyatakan dalam 3 kategori yaitu cukup, kurang, dan sangat kurang (PGS). Frekuensi konsumsi buah subjek secara umum ditampilkan pada Tabel 10.
32
Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi buah Frekuensi
Kelompok A
Kelompok B
n
n
%
%
Kelompok C n
%
Cukup (2-3x porsi/hari)
8
26.7
8
26.7
9
30
Kurang (1-2x porsi/hari)
17
56.7
16
53.3
15
50
5
16.7
6
20
6
20
Sangat kurang (≤1porsi/hari)
P 0.148
Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase frekuensi konsumsi buah yang terbesar (≥ 50%) terdapat pada kategori kurang pada semua kelompok. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada frekuensi konsumsi buah antar kelompok. Hal ini berarti bahwa kecenderungan subjek dalam mengonsumsi buah masih rendah. Hasil ini sesuai dengan Sartika (2011) bahwa sekitar 90% anak Indonesia mengkonsumsi sayur dan buah dengan ukuran <2 porsi/hari, tidak memenuhi rekomendasi Pedoman Gizi Seimbang (PGS) yaitu 2-3 porsi buah/hari. Semua hasil mengenai kebiasaan konsumsi buah menunjukkan bahwa konsumsi buah subjek masih rendah. Oleh karena itu, penelitian ini tepat dilakukan karena untuk membantu meningkatkan konsumsi buah subjek. Selain itu, intervensi buah juga dilakukan untuk meningkatkan asupan serat, daripada sayur, hal ini karena buah lebih mudah disajikan dan ada rasanya terutama rasa manis yang disukai anak-anak. Menurut Rakhshanderou (2014), buah lebih mudah disajikan daripada sayur karena penyajian sayur sulit dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk menyajikannya. Rasa juga merupakan hal yang paling utama yang menentukan preferensi anak dalam memilih buah, terutama buah mengandung rasa manis daripada sayur. Rendahnya konsumsi buah pada anak juga dapat disebabkan karena faktorfaktor personal dan lingkungan sosial yang lebih kuat daripada lingkungan fisik. Dampak dari ukuran pada konsumsi buah yang lebih besar daripada sayur. Hal ini dikarenakan sayur biasanya merupakan bagian dari makanan utama dan kurang terkontrol pada anak-anak. Selain itu, faktor sekolah (kebijakan, pendidikan gizi, ketersediaan toko snack sehat atau tidak di sekolah) sangat penting untuk diperhatikan (Bourdeaudhuij et al. 2008). Menurut Rakhshanderou et al. (2014), konsumsi buah pada anak juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan aksesibilitas di rumah, status sosial ekonomi, iklan, dan norma. Selain itu, juga faktor individu seperti preferensi, pengetahuan, keterampilan dalam menyiapkan atau menyajikan, dan harapan. Sumber Asupan Serat Serat merupakan rantai molekul gula bercabang yang menjadi stuktur tanaman dan tidak dapat dicerna manusia karena tidak memiliki enzim pemecahnya. Serat sangat penting untuk dipenuhi asupannya sesuai kebutuhan karena bermanfaat untuk kesehatan seperti mencegah konstipasi, kanker usus, wasir, dan lain-lain. Serat juga sering dikaitkan dengan penurunan berat badan terutama pada seeorang yang memiliki kelebihan berat badan. Serat terkandung dalam beberapa golongan bahan makanan yaitu golongan serealia, kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayuran. Pada penelitian ini, dianalisis mengenai jumlah kontribusi (persentase) setiap golongan bahan makanan terhadap asupan serat subjek seperti tertera pada Tabel 11.
33
Sumber serat terbesar yang dikonsumsi subjek pada penelitian ini berasal dari serealia dan olahannya (Tabel 11). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jahari dan Sumarno (2001) bahwa serealia merupakan kontributor terbesar terhadap asupan serat penduduk di Indonesia. Kedua hasil tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 sampai 2014, sumber serat penduduk Indonesia tidak mengalami perubahan karena masih didominasi oleh golongan serealia dan olahannya. Kondisi ini diduga karena serealia merupakan makanan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah banyak sehingga serealia menjadi penyumbang terbesar pada asupan serat. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam mengonsumsi berbagai bahan makanan karena didominasi oleh serealia. Oleh karena itu, upaya perubahan kebiasaan konsumsi perlu dilakukan terutama mengenai bahan makanan sumber serat agar asupan serat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Tabel 11 Jumlah dan persentase kontribusi setiap golongan bahan makanan terhadap asupan serat subjek Golongan bahan makanan
Kelompok A mean±stdev (g)
Kelompok B %
mean±stdev (g)
Kelompok C %
mean±stdev (g)
%
Serealia dan olahannya
3.8±0.6
48.2
3.5±1.0
50.8
3.6±0.9
54.9
Umbi dan olahannya
0.6±0.9
7.8
0.7±0.6
9.5
0.6±0.5
8.6
Kacang dan olahannya
0.8±0.2
9.52
0.5±0.6
7.2
0.4±0.4
6.6
Sayur dan olahannya
1.2±1.0
15.45
1.0±1.6
15.1
0.9±0.8
13.8
Buah dan olahannya
0.9±3.2
11.76
0.8±1.4
10.9
0.8±2.0
11.8
Daging dan olahannya Lemak, minyak, dan olahannya
0.0±0.2
0.25
0.0±0.1
0.1
0.0±0.1
0.3
0.0±0.0
0.00
0.0±0.0
0.0
0.0±0.0
0.0
Gula, sirup, bumbu
0.0±0.2
0.56
0.1±0.1
0.8
0.0±0.3
0.5
Buah/biji berminyak
0.5±0.1
6.48
0.4±0.7
5.6
0.2±0.4
3.6
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Williams (2006) yaitu sumber serat terbesar berasal dari golongan serealia dan olahannya. Roti menjadi kontributor asupan serat terbesar pada anak usia 2-18 tahun di Amerika, yaitu sebesar 14.3%. Meskipun persentase tersebut lebih kecil daripada pada penelitian ini (tidak sampai 50%), golongan bahan pangan lain juga turut berkontribusi cukup tinggi seperti sereal siap makan 9.3%, kentang putih 7.1%, kacang-kacangan 6.7% dan buah 4.0%. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya penggolongan bahan makanan yang berbeda. Williams (2006) memisahkan antara roti dengan sereal siap makan yang keduanya merupakan golongan serealia. Penelitian yang dilakukan Lin et al. (2011) pada anak-anak di Belgium juga menunjukkan bahwa sumber serat terbesar berasal dari serealia dengan rincian yaitu roti dan sereal (29.5%), buah-buahan (17.8%), kentang dan biji-bijian (16.0%), makanan snack (12.4%), dan sayuran (11.8%). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Reicks et al. (2014) yang menemukan bahwa kontribusi serat terbesar berasal dari grain yaitu sebesar 51.9%. Penelitian yang dilakukan Sardinha et al. (2014) menemukan bahwa serealia (nasi) merupakan kontributor terbesar kedua terhadap asupan serat di Brazil. Kontributor asupan serat secara rinci yaitu kacang-kacangan sebesar 36.9%, snasi 9.8%, roti 9.3%, sayuran 7.8%, buah 7.7%, dan tepung singkong 5.5%. Jika kacang-kacangan dan nasi dijumlahkan, keduanya menyumbang
34
sebesar 46.7%. Hal ini karena kedua golongan bahan makanan tersebut merupakan makanan pokok (staple food) di Brazil. Kondisi di Brazil sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa penyumbang serat terbesar berasal dari makanan pokok (staple food). Serat yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda terhadap nafsu makan, asupan energi, dan berat badan. Karakteristik serat secara fisikokimia berperan dalam viskositas serat berperan dalam penurunan nafsu makan Secara jangka pendek, serat berupa pektin dan sebagian besar glukan dapat menurunkan nasfu makan dengan waktu paling lama selama 4 jam. Adapun serat berupa mannan dan polisakarida laut, mampu mengurangi nafsu makan setengahnya yaitu selama 2 jam (Wanders et al. 2011). Penurunan nafsu makan ini mungkin secara jangka panjang berpengaruh pada asupan energi dan berat badan. Menurut Wanders et al. (2011), secara keseluruhan, pengurangan rata-rata berat badan 0.4%/4 minggu, atau 300 g/4 minggu untuk berat badan rata-rata subjek sebesar 79 kg. Adapun untuk asupan energi, rata-rata pengurangan sebesar 0.15MJ/hari. Sebagian besar serat yang mengurangi nafsu makan memiliki sifat viskos atau kental. Viskositas dapat meningkatkan rasa kenyang dengan meningkatkan waktu paparan makanan di rongga mulut. Serat makanan dengan viskositas yang tinggi mampu menahan air dalam jumlah besar, sehingga meningkatkan volume perut dan memicu rasa kenyang. Peningkatan viskositas penyerapan di usus halus juga dapat memperpanjang keberadaan zat gizi pada usus halus yang berdampak pada penurunan nafsu makan (Wanders et al. 2011). Berdasarkan Tabel 11, kontribusi serat dari buah-buahan lebih rendah dibandingkan serealia dan sayuran pada semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi buah subjek tergolong rendah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bahasan mengenai kebiasaan konsumsi buah. Semua kondisi ini menjadi tepat untuk dilakukannya intervensi buah dalam penelitian ini. Aktivitas Fisik Menurut definisi WHO (2010), aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Secara sederhana, National Heart Foundation of Australia (2013) mengartikan aktivitas fisik sebagai kegiatan-kegiatan seperti berjalan, berkebun, olahraga, berdansa dan lain-lain. Aktivitas fisik dapat diukur dengan kuesioner untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat aktivitas subjek. Penggunaan kuesioner ini dikarenakan alatnya mudah dan tidak mahal. Penelitian ini menganalisis kebiasaan aktivitas fisik subjek dengan menanyakan jumlah waktu yang digunakan dalam beberapa kegiatan yaitu screen time (menonton TV, bermain games) pada hari sekolah dan hari libur, jalan kaki pada hari sekolah dan hari libur, dan alat transportasi ke sekolah. Acuan kegiatan dan pembagian jumlah jam mengacu pada penelitian Burrows et al. (2008). Kebiasaan aktivitas subjek pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 12.
35
Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan aktivitas fisik Kebiasaan aktivitas fisik
Kelompok A n
Kelompok B %
n
Kelompok C %
n
P
%
Nonton/games di hari sekolah <1 jam/hari 1-2 jam/hari
9 12
30 40
9 5
30 16.7
5 11
16.7 36.7
3-4 jam/hari
4
13.3
11
36.7
9
30
>4 jam/hari
5
16.7
5
16.7
5
16.7
<1 jam/hari
3
10
4
13.3
3
10
1-2 jam/hari
9
30
12
40
4
13.3
3-4 jam/hari
9
30
5
16.7
9
30
>4 jam/hari
9
30
9
30
14
46.7
12
40
22
73.3
16
53.3
30 menit-1 jam/hari
6
20
7
23.3
12
40
alis1-2 jam/hari
6
20
1
3.3
>2 jam/hari
6
20
1
3.3
1
3.3
11
36.7
12
40
14
46.7
30 menit-1 jam/hari
6
20
12
40
10
33.3
1-2 jam/hari
5
16.7
4
13.3
5
16.7
>2 jam/hari
8
26.7
2
6.7
1
3.3
Mobil
21
70
18
60
22
73.3
Motor
3
10
5
16.7
4
13.3
Angkutan umum
1
3.3
7
23.3
4
13.3
5
16.7
0
0
0
0
0.457
Nonton/games di hari libur 0.146
Jalan kaki di hari sekolah <30 menit/hari
0.005*
Jalan kaki di hari libur <30 menit/hari
0.193
Alat transportasi ke sekolah
Lain-lain hasil uji signifikan (p<0.05)
0.721
*
Berdasarkan Tabel 12, kebiasaan screen time subjek menyebar dengan jumlah waktu yang digunakan untuk screen time cenderung lebih banyak pada hari libur daripada hari sekolah. Sebagian besar subjek pada kelompok A dan C hanya menonton atau bermain games antara 1 sampai 2 jam dalam sehari pada hari sekolah, dan pada hari libur ≥30% subjek terbiasa menonton/bermain games selama lebih dari 4 jam/haripada kelompok C, adapun kelompok B 1-2 jam/hari dan kelompok A menyebar pada setiap kategori dengan lebih dari 1 jam sampai lebih dari 4 jam/hari. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) pada lamanya waktu yang digunakan untuk screen time pada masing-masing kelompok perlakuan baik pada hari sekolah maupun hari libur. Hasil ini berbeda dengan Sandercock (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak di Inggris memiliki screen time<2 jam/hari. Hasil analisisnya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara screen time pada hari sekolah dengan hari libur. Jumlah jam yang digunakan untuk screen time berhubungan signifikan negatif dengan tingkat aktivitas fisik anak-anak
36
sehingga merekomendasikan banyaknya waktu untuk screen time pada anak-anak yaitu <2 jam/hari. Hasil penelitian ini sejalan dengan Ploeg et al. (2012) yang menyatakan bahwa anak-anak di Kanada memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi saat hari sekolah daripada hari libur karena pada hari libur lebih banyak waktu yang digunakan untuk screen time atau kegiatan lainnya yang tidak banyak mengeluarkan energi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Jari et al. (2014) bahwa anak-anak di Iran memiliki jumlah waktu dalam melakukan screen time lebih dari 2 jam. Secara keseluruhan, sebanyak 33.4% dan 53% subjek berturutturut menghabiskan waktu untuk screen time lebih dari 2 jam pada hari sekolah dan hari libur. Wieting (2008) menyarankan jumlah waktu yang digunakan untuk mengatasi obesitas pada anak yaitu screen time maksimal selama 1 jam/ahri dan memperhatikan konsumsi pangan (diet seimbang antara pangan sumber karbohidrat, lemak, protein, serta snack). Peranan orang tua sangat penting untuk memonitoring kemajuan program penurunan berat badan pada anak obes. Kebiasaan aktifitas fisik berjalan kaki pada penelitian ini juga dibedakan antara hari sekolah dan hari libur. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar subjek (>40%) pada semua kelompok melakukan jalan kaki pada hari sekolah dengan waktu <30 menit/hari. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p<0.05). Kelompok B memiliki jumlah subjek terbanyak yang melakukan jalan kaki dengan waktu <30 menit/hari yaitu 73.3%. Hal ini diduga karena jarak dari jalan raya ke sekolah cukup jauh, dibandingkan dengan kedua sekolah lainnya sehingga subjek yang menggunakan angkutan umum harus berjalan terlebih dahulu. Pada hari libur, lebih dari 35% subjek pada setiap kelompok perlakuan hanya terbiasa berjalan kaki selama <30 menit/hari, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok A dan B memiliki subjek yang menghabiskan waktu untuk berjalan kaki di hari libur yang lebih lama yaitu berturut-turut selama >2 jam/hari sebanyak 26.7% dan 30 menit1 jam/hari sebanyak 40%. Adanya subjek yang melakukan aktivitas berupa jalan kaki di hari libur diduga karena subjek melakukan jalan-jalan pagi setiap hari minggu bersama keluarga atau teman-temannya. Kebiasaan aktifitas fisik lainnya yang diukur adalah kebiasaan menggunakan alat transportasi ke sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa ≥60% subjek menggunakan alat transportasi mobil ke sekolah. Kemudahan berupa penggunaan transportasi ke sekolah ini menurunkan peluang untuk berjalan kaki sehingga aktivitas fisik subjek berkurang. Menurut Hinckson et al. (2014), alat transportasi ke sekolah dengan mobil atau bis digolongkan ke dalam tipe aktivitas fisik pasif. Hasilnya sejalan dengan penelitian ini bahwa sebagian besar siswa termasuk ke dalam tipe pasif dalam penggunaan transportasi ke sekolah. Faktor yang mempengaruhi pemilihan alat transportasi ke sekolah diantaranya adalah jarak dan kondisi perjalanan. Sebagian besar subjek memiliki jarak yang cukup jauh dari rumah ke sekolah. Lokasi rumah dan sekolah terletak di perkotaan yang sudah banyak angkutan umum, pribadi, maupun jemputan. Selain itu, jam masuk sekolah juga turut mempengaruhi dimana jam masuk sekolah subjek pukul 7.30. Oleh karena itu, subjek pada penelitian ini sebagian besar menggunakan alat transportasi ke sekolahnya agar lebih cepat dan aman.
37
Persentase terbesar terdapat pada penggunaan mobil diduga karena adanya fasilitas mobil jemputan dari sekolah. Hinckson et al. (2014) menambahkan bahwa hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan alat transportasi ke sekolah yaitu lingkungan sosial, keamanan di jalan, sikap orang tua, norma atau budaya, sosial demografi, dan peluang berjalan ke sekolah. Keadaan lingkungan subjek pada penelitian ini adalah lingkungan perkotaan, teman subjek juga turut berpengaruh (jika temannya naik mobil, maka subjek akan meminta naik mobil, terutama mobil jemputan agar bersamaan), sikap orang tua yang lebih percaya dengan menggunakan jemputan daripada naik angkutan umum dan berjalan kaki, demografi di perkotaan yang sudah mendukung untuk menggunakan kendaraan karena jalannya bagus, semua hal tersebut menjadikan alat transportasi subjek ke sekolah sebagian besar menggunakan kendaraan. Faktor lingkungan berupa pasifnya tipe alat transportasi ke sekolah turut mengurangi tingkat aktivitas fisik subjek. Menurut Hills et al. (2011), kebiasaan aktivitas fisik anak-anak saat ini berbeda dengan keadaan di masa lalu. Kebiasaan aktivitas fisik anak-anak telah berubah menjadi pasif dengan semakin berkembangan teknologi. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah energi yang dikeluarkan oleh anak-anak sehingga tidak sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mempertahankan berat badan agar tetap normal. Moodie et al. (2011) melakukan analisis mengenai perubahan IMT yang dihasilkan dari penggunaan alat transportasi ke sekolah yang terdiri dari berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan kendaraan umum. Peningkatan energi yang dikeluarkan pada anak yang merubah alat transportasi dari menggunakan mobil menjadi berjalan kaki ke sekolah dihitung dengan mengurangkan energi yang dikeluarkan saat berjalan (3.5 metabolic units atau MET) dari energi yang dikeluarkan saat duduk di mobil (1 MET). Hasilnya 2.5 MET dikalikan dengan rata-rata berat anak dan diasumsikan waktu yang digunakan untuk berjalan kaki untuk memperoleh peningkatan energi. Hasilnya menunjukan adanya penurunan sebesar 0.07 IMT pada anak yang berjalan kaki dibandingkan 0.01 IMT pada anak yang menggunakan kendaraan. Analisis Pengaruh Intervensi Analisis pengaruh intervensi pendidikan gizi yang disertai dengan penambahan buah-buahan dan aktivitas fisik pada penelitian ini diawali dengan mengamati perubahan pada beberapa variabel. Analisis mengenai perubahan antara sebelum dan setelah intervensi ini dilakukan pada variabel pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik, berat badan, dan IMT/U. Pada bagian akhir dilakukan analisis mengenai pengaruh intervensi keseluruhan terhadap berat badan dan IMT/U. Pengetahuan Gizi Pada penelitian ini dilakukan intervensi pendidikan gizi terhadap semua kelompok dengan frekuensi 1 kali/minggu selama 30 menit. Menurut Flook dan Smalley (2010) yang melakukan penelitian terhadap psikologi anak-anak, konsentrasi anak-anak optimal pada saat 30 menit pertama. Selain itu, intervensi pendidikan gizi yang dilakukan oleh Perikkou et al. (2013) selama 15 menit dapat
38
menaikkan nilai pengetahuan gizi subjek. Oleh karena itu, pendidikan gizi selama 30 menit pada penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai pengetahuan gizi subjek. Materi yang diberikan pada pendidikan gizi terhadap subjek yaitu peranan gizi, buah dan sayur, sarapan, pedoman gizi seimbang, dan cemilan. Hasil intervensi pengetahuan gizi tersebut disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Rata-rata nilai pengetahuan gizi subjek pada pre dan post intervensi dan perubahannya Kelompk A
Kelompok B
Kelompok C
P1
P2
P3
2
0.077*
0.023*
0.068
12
0.485
0.085
0.386
5
*
0.006
*
0.652
0.030
*
0.389
0.267
0.052*
Materi Pre
Post
Delta
Pre
Post
Delta
Pre
Post
Delta
Peranan Gizi
83
88
5
76
87
11
78
80
Buah dan Sayur
71
86
15
67
83
14
67
79
Sarapan Pedoman Gizi Seimbang Cemilan
81 60 75
84 74 85
3 14 10
80 55 77
88 71 88
8 16 11
90 61 80
95 81
0.077
20
0.392
7
*
87
0.011
123
hasil uji signifikansi pada pre, post, dan delta intervensi antar kelompok hasil uji signifikan (p<0.05)
*
Hasil intervensi menunjukkan bahwa pengetahuan gizi semua materi pada semua kelompok mengalami peningkatan (Tabel 13). Hasil uji Anova menunjukkan bahwa perubahan nilai pengetahuan gizi antar kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05). Sebagian besar pengetahuan gizi subjek pada saat setelah intervensi telah mencapai kategori baik (Khomsan 2000; baik: >80%). Hasil ini sejalan dengan Keihner et al. (2011) yang menyatakan bahwa adanya perbaikan pengetahuan mengenai buah sayur dan aktivitas fisik setelah diberikan pendidikan gizi pada siswa di sekolah. Perubahan pengetahuan gizi ini diharapkan dapat memperbaiki kebiasaan makan subjek yang harus didukung oleh kondisi lingkungan terutama keluarganya (Stein et al. 2005). Materi peranan gizi khususnya untuk kesehatan dan prestasi, berisi tentang pengenalan tentang zat gizi, jenis zat gizi, fungsi zat gizi, dan manfaatnya untuk kesehatan serta secara jangka panjang untuk prestasi. Materi ini diberikan pada subjek untuk meningkatkan pengetahuan subjek mengenai zat gizi serta diharapkan dapat mendorong perilaku subjek untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi. Hal ini sangat penting untuk dilakukan dikarenakan semakin banyaknya makanan yang rendah zat gizi dan memiliki rasa lebih enak daripada makanan bergizi terutama makanan jajanan. Lin et al. (2007) menyatakan bahwa pendidikan gizi pada anak sekolah dasar sangat penting karena meskipun mereka sudah mengetahui sebagian, tetapi tidak fokus pada pemilihannya pada makanan yang bergizi. Materi mengenai buah dan sayur berisi tentang manfaat buah dan sayur, berbagai cara penyajian buah dan sayur, dan kandungan yang terdapat dalam buah dan sayur yaitu mengenai serat, vitamin, dan mineral. Pemberian mengenai materi ini dikarenakan berdasarkan Lin et al. (2007), konsumsi buah dan sayur siswa SD masih rendah karena pengetahuannya rendah. Selain itu, subjek juga belum mengetahui mengenai kebutuhan banyaknya porsi per hari dari berbagai golongan bahan makanan dan fungsi fisiologis berbagai kelompok makanan tersebut. Materi sarapan yang diberikan meliputi pengertian sarapan, manfaat, contoh menu sarapan, resiko tidak sarapan, dan bahaya jika sarapan berlebihan ataupun
39
kekurangan. Materi ini diberikan karena ada kaitannya dengan status gizi obesitas. Seseorang yang tidak sarapan, cenderung untuk makan lebih banyak terutama mengonsumsi cemilan sehingga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya kegemukan atau obesitas. Thompson-McCormick (2010) menunjukkan bahwa siswa berstatus gizi normal, lebih banyak melakukan sarapan daripada siswa berstatus gizi lebih. Sarapan yang dilakukan secara teratur berhubungan signifikan dengan penurunan risiko overweight dan obesitas. Penelitian Niswah et al. (2014) menunjukan bahwa terdapat kecenderungan negatif antara sarapan dengan berat badan, yaitu semakin sering subjek melakukan sarapan, berat badan semakin rendah dan status gizi cenderung normal meskipun tidak berhubungan signifikan secara statistik. Materi mengenai pedoman gizi seimbang berisi tentang penjelasan 4 prinsip PGS yaitu keragaman makanan, pola hidup bersih, pola hidup aktif dan berolahraga, serta pemantauan berat badan ideal. Semuanya diberikan untuk mendorong perilaku subjek sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Materi terakhir yaitu mengenai cemilan yang menjelaskan mengenai jenis-jenis cemilan sehat dan bergizi. Cemilan merupakan salah satu faktor penyebab obesitas pada anak. Pearson et al. (2011) menyatakan bahwa konsumsi snack pada anak Australia menjadi penyebab obesitas pada anak. Menurut Boots et al. (2015), salah satu kontributor terbesar terhadap kejadian obes pada anak-anak adalah konsumsi makanan tinggi lemak, garam, dan gula yang berlebihan seperti makanan cemilan atau snack. Asupan Serat Asupan serat total subjek dikategorikan menjadi beberapa kategori dengan interval 5 g (Jahari dan Sumarno 2001). Kategori asupan serat total subjek pada penelitian ini diukur pada saat pre dan post intervensi dengan hasil tertera pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan kategori asupan serat Kelompok A Kategori asupan serat (g)
Pre %
n
6
20.0
12
2 (5-10)
17
56.7
3 (10-15)
5
16.7
4 (15-20) 5 (20-25)
2 0
6.7 0
6 (>=25)
0
0
n 1 (<5)
Kelompok B
Post
Pre
%
Kelompok C
Post
Pre
n
%
n
%
40
11
36.7
11
36.7
9
30.0
9
30
9
30
15
50.0
12
40
17
56.7
14
46.7
4
13.3
1
3.3
3
10
4 0
13.3 0
6 0
20 0
6.7 0
10.0 0
13.3 0
2 0
3 0
4 0 2
6.7
0
0
0
0
3.3
0
0
1 0
3.3 0
1
n
Post %
n
%
Tabel 14 menunjukkan bahwa pada awal intervensi, sebagian besar subjek (>50%) berada pada kategori asupan serat 5-10 g di semua kelompok. Pada akhir intervensi, kategori asupan serat sebagian besar subjek sama dengan data awal yaitu pada kategori 5-10 g akan tetapi mengalami penurunan persentase yaitu maksimal 46.7% (pada kelompok C). Pada kelompok A, B dan C terdapat subjek yang memiliki kategori asupan yang tinggi yaitu sebesar 20-25 g. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian intervensi memiliki potensi untuk menaikkan asupan serat meskipun hanya pada sebagian kecil subjek. Hal ini sejalan dengan
40
Burrows et al. (2008) yang menyatakan bahwa intervensi selama 6 bulan berhasil memperbaiki asupan makanan tetapi tidak signifikan diantara berbagai grup (intervensi dan kontrol). Clemens et al. (2012) menganjurkan peningkatan asupan serat dengan fokus pada peningkatan konsumsi buah, sayur, dan whole grains. Cara-cara untuk meningkatkan asupan serat seperti dari konsumsi buah dan sayur telah banyak dilakukan salah satunya melalui promosi atau pendidikan gizi. Hal tersebut didukung oleh penelitian Perikkou et al. (2013) yang mengungkapkan bahwa peningkatan konsumsi buah pada anak lebih efektif dilakukan melalui pendidikan gizi yang ditunjukkan oleh kelompok intervensi secara signifikan memiliki asupan buah lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Berdasarkan data perubahan rata-rata asupan serat total pada Tabel 15, semua kelompok mengalami peningkatan rata-rata asupan serat setelah diberikan multiintervensi. Peningkatan rata-rata asupan serat total terbesar terdapat pada kelompok C yang diberikan perlakuan PG+AF+B. Selanjutnya, diikuti oleh kelompok B yang diberikan perlakuan PG+B. Peningkatan asupan terendah dialami oleh kelompok A yang diberikan perlakuan PG+AF. Tabel 15 Rata-rata dan perubahan asupan serat total subjek Asupan serat (g) Rata-rata± stdev Delta±stdev P4
Kelompok A Pre Post 7.92±3.68
8.31±6.14
0.39±5.57 0.701
Kelompok B Pre Post 6.87±4.22
7.60±6.44
0.73±7.11 0.580
Kelompok C Pre Post 6.54±2.48
7.39±4.25
P1
P2
P3
0.950
0.292
0.806
0.86±4.19 0.272
1234
hasil uji signifikansi pada pre, post, dan delta intervensi antar kelompok, serta pre post intervensi tiap kelompok
Jika diamati berdasarkan asupan serat yang berasal dari buah-buahan saja, hasilnya menunjukkan hal yang sama bahwa peningkatan asupan serat dari buahbuahan yang terbesar berada pada kelompok C, kemudian kelompok B, dan terendah pada kelompok A (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pendidikan gizi dan buah memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan asupan serat dibandingkan dengan intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik. Pemberian pendidikan gizi khususnya mengenai konsumsi buah harus disertai dengan contoh nyata agar lebih berpengaruh terhadap perilaku subjek. Tabel 16 Rata-rata dan perubahan asupan serat dari buah-buahan Asupan serat (g) Ratarata±stdev Delta±stdev P4
Kelompok A Pre Post 0.91±3.25
0.96±1.51
0.05±2.54 0.893
Kelompok B Pre Post 0.84±1.4
0.93±2.72
0.09±3.59 0.621
Kelompok C Pre Post 0.86±2.39
0.97±2.77
P1
P2
P3
0.583
0.356
0.575
0.11±1.54 0.541
1234
hasil uji signifikansi pada pre, post, dan delta intervensi antar kelompok, serta pre post intervensi tiap kelompok
Hal ini sejalan dengan Jansen et al. (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan gizi terhadap anak-anak yang dibarengi dengan penyajian buah terbukti lebih berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi buah anak-anak. Struempleret al. (2014) dalam hasil penelitiannya juga berhasil meningkatkan konsumsi buah melalui intervensi pendidikan gizi yang disertai penyicipan buah pada saat intervensi.
41
Peningkatan rata-rata asupan serat yang berasal dari buah-buahan yang diberikan hanya menyumbang sekitar 1-2% dari peningkatan rata-rata asupan serat total (15.4%). Hal ini diduga karena buah-buahan yang diberikan hanya 1-2 porsi serta pemberiannya didasarkan pada kebiasaan konsumsi buah yang masih rendah, tidak berdasarkan pada buah-buahan yang tinggi serat. Peningkatan asupan serat lainnya diduga berasal dari golongan bahan makanan lain terutama serealia, sayuran, dan kacang-kacangan. Pendidikan gizi yang diberikan kepada subjek tidak hanya mengenai pentingnya konsumsi buah sebagai sumber serat, tetapi juga mengenai pedoman gizi seimbang termasuk pentingnya keseimbangan dalam mengonsumsi berbagai golongan bahan makanan seperti serealia, sayuran, dan kacang-kacangan. Peningkatan asupan serat total pada penelitian ini lebih kecil (15.4%) daripada hasil penelitian Brauchla et al. (2013) yaitu 21%. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam jenis dan jumlah pangan yang diberikan saat intervensi. Penelitian ini memberikan buah-buahan dengan kandungan serat 1.5-6.62 g, sedangkan Brauchla et al. (2013) memberikan snack tinggi serat dengan kandungan serat 10-12 g. Intervensi ini tidak menimbulkan gejala pencernaan seperti flatus, sakit perut, yang berarti bahwa peningkatan serat yang kecil ini tidak berbahaya karena tidak menimbulkan efek samping. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik subjek dikategorikan menjadi tiga berdasarkan WHO (2010). Hasilnya menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi sebagian besar (<90%) subjek memiliki aktivitas fisik yang ringan seperti yang telihat pada Tabel 17. Hal ini serupa dengan penelitian Madanijah et al. (2013) pada siswa gizi lebih di Kota Bogor yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa gizi lebih (78.8%) memiliki gaya hidup dengan aktivitas ringan atau sedentary. Menurut Chaput et al. (2006), aktivitas fisik yang rendah berhubungan signifikan dengan obesitas pada anak. Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik Kelompok A Tingkat aktivitas fisik
Ringan
Pre
Post
Pre
Kelompok C
Post
Pre
Post
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
30
100
29
96.7
29
96.7
28
93.3
28
93.3
24
80
1
3.3
1
3.3
2
6.7
2
6.7
5
16.7
0
0
0
0
0
0
0
0
1
3.3
Sedang Berat
Kelompok B
0
0
%
Aktivitas fisik anak obesitas yang rendah ini harus ditingkatkan untuk memperbaiki prevalensi obesitas. Intervensi pada penelitian ini dapat meningkatkan aktivitas fisik sebagian subjek yang ditunjukkan oleh adanya tingkat aktivitas fisik kategori sedang (masing-masing pada kelompok A, B, C yaitu 3.3%, 6.7%, dan 16.7%) dan berat (pada kelompok C sebanyak 3.3%) pada saat setelah intervensi meskipun tidak signifikan. Persentase subjek yang memiliki tingkat aktivitas fisik sedang dan berat yang terbesar setelah intervensi terdapat pada kelompok C. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok C yang diberikan intervensi keseluruhan (PG+AF+B) berpotensi untuk menaikkan tingkat aktivitas fisik subjek dari pada hanya intervensi 2 komponen saja (PG+AF atau (PG+B).
42
Berdasarkan rata-rata aktivitas fisik, hasil pengukuran pada saat pre intervensi menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik subjek pada semua kelompok adalah ringan (nilanya di bawah 1.70) (Tabel 18). Setelah diberikan intervensi aktivitas fisik pada kelompok A dan C, rata-rata nilai aktivitas fisik meningkat pada kedua kelompok tersebut, meskipun masih tergolong tingkat aktivitas yang ringan. Kelompok B mengalami penurunan rata-rata nilai aktivitas fisik dikarenakan tidak diberikan intervensi aktivitas fisik pada kelompok tersebut. Berdasarkan uji Paired t-test, nilai rata-rata aktivitas fisik antara pre dan post intervensi tidak berbeda nyata (p>0.05) baik pada kelompok A, B, maupun C. Uji Anova menunjukkan bahwa perubahan nilai rata-rata aktivitas fisik tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan. Tabel 18 Rata-rata dan perubahan nilai aktivitas fisik subjek Aktivitas fisik Ratarata±stdev Delta±stdev P4
Kelompok A Pre Post 1.46±0.14
1.48±0.14
0.02±0.21 0.597
Kelompok B Pre Post 1.51±0.22
1.46±0.14
-0.05±0.28 0.351
Kelompok C Pre Post 1.50±0.20
1.52±0.20
P1
P2
P3
0.663
0.372
0.568
0.02±0.33 0.802
1234
hasil uji signifikansi pada pre, post, dan delta intervensi antar kelompok, serta pre post intervensi tiap kelompok
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Kahn et al. (2013) bahwa peningkatan aktivitas fisik berbasis sekolah terbukti efektif dalam meningkatkan tingkat aktivitas fisik siswa. Hal tersebut diduga karena kondisi subjek saat diwawancara menjawab overestimate atau sebaliknya, serta subjek dinilai lebih mengingat beberapa kegiatan dari yang lain sehingga terdapat kegiatan yang terlewat atau lamanya kegiatan tidak tepat (Miles 2007). Penyebab rendahnya tingkat aktivitas subjek diduga karena padatnya jadwal di sekolah. Ketiga lokasi sekolah yang menjadi tempat penelitian memiliki jam belajar berkisar antara 7 sampai 9 jam. Pulang sekolah langsung mengerjakan tugas, tidak ada kesempatan untuk bermain yang menggunakan energi lebih banyak seperti permainan fisik di luar rumah. Hal ini sejalan dengan Moraeus et al. (2012) yang menyatakan bahwa anak-anak di kota lebih sedikit bergerak atau bermain di luar rumah daripada di desa. Seperti terlihat pada data mengenai kebiasaan aktivitas subjek, subjek banyak menggunakan kendaraan dan menghabiskan waktu untuk screen time. Menurut Mackett dan Paskinset al.(2012), berjalan dan bermain di luar rumah dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap volume aktivitas fisik anak-anak. Umumnya anak-anak yang berjalan cenderung lebih aktif dibandingkan dengan anak-anak yang menggunakan mobil. Anak-anak yang bermain di luar rumah cenderung lebih aktif dari pada anak-anak yang bermain di dalam rumah. Oleh karena itu, diperlukan perubahan kebiasaan aktivitas fisik pada anak-anak. Peranan aktivitas fisik pada penurunan berat badan dijelaskan oleh Maffeis dan Castellani (2007) melalui konsep pengeluaran energi. Sebagian besar lemak harian teroksidasi dalam tubuh yang terjadi pada otot rangka. Aktivitas fisik meningkatkan jumlah lemak yang teroksidasi yang membantu mengendalikan massa lemak tubuh. Otot rangka merupakan pengguna glukosa darah yang efisien, dan aktivitas fisik yang teratur meningkatkan sensitivitas insulin dan homeostatis glukosa secara independen dari efeknya terhadap lemak tubuh. Oleh karena itu, seseorang dengan aktivitas fisik yang tinggi akan meningkatkan jumlah lemak
43
yang teroksidasi sehingga menurunkan simpanan lemak dalam tubuh juga mengeluarkan energi lebih banyak yang menyebabkan penurunan berat badan. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan dalam menentukan status gizi seseorang. Tabel 19 menggambarkan mengenai perubahan nilai rata-rata berat badan pada ketiga kelompok perlakuan pada saat pre dan post intervensi. Tabel 19 Rata-rata dan perubahan berat badan subjek Berat badan (kg) Ratarata±stdev Delta±stdev P4
Kelompok A Pre Post 56.95±6.4
56.24±6.4
-0.71±1.25 0.004*
Kelompok B Pre Post 58.56±9.8
59.16±9.9
0.6±1.53 0.042*
Kelompok C Pre Post 54.32±8.7
53.98±8.3
P1
P2
P3
0.247
0.590
0.002*
-0.34±1.5 0.229
1234
hasil uji signifikansi pada pre, post, dan delta intervensi antar kelompok, serta pre post intervensi tiap kelompok * hasil uji signifikan (p<0.05)
Intervensi pada penelitian ini dapat menurunkan berat badan pada subjek kelompok A dan kelompok C, yang keduanya mendapatkan intervensi aktivitas fisik. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Schaefer et al. (2011) yang melakukan intervensi gaya hidup efektif melalui pendidikan gizi, aktivitas fisik, dan konseling yang berhasil menurunkan berat badan pada anak-anak gemuk. Menurut Friedrich et al.(2012), intervensi aktivitas fisik yang digabungkan dengan pendidikan gizi lebih berdampak positif terhadap penurunan IMT pada anak usia sekolah. Hasil uji paired t-test menunjukkan bahwa perubahan nilai rata-rata berat badan pada kelompok A dan B berbeda nyata (p<0.05), sedangkan pada kelompok C tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil uji Anova menunjukkan bahwa perubahan nilai rata-rata berat badan berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan. Penurunan berat badan pada kelompok C, yang mendapatkan intervensi pendidikan gizi ditambah dengan buah-buahan dan aktivitas fisik, lebih rendah daripada kelompok A. Hal ini diduga karena dipengaruhi faktor lain seperti uang jajan dan total pendapatan keluarga. Uang jajan dan total pendapatan keluarga pada kelompok C relatif lebih besar daripada kelompok A. Hal ini memungkinkan kelompok C lebih banyak membeli jajanan serta seringnya mengonsumsi makanan cepat saji yang tinggi lemak. Tingginya pendidikan orangtua serta pendapatannya tidak menjamin status gizi seorang anak menjadi baik. Akan tetapi, cenderung mendorong seorang anak menjadi obesitas. Oleh karena itu, pendidikan gizi terutama promosi gizi dengan ajakan secara langsung disertai pemberian contohnya berperan penting untuk memperbaiki status gizi anak. Kelompok B pada penelitian ini tidak mengalami penurunan berat badan, berbeda dengan kelompok A dan C. Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi pendidikan gizi dan buah yang tidak disertai dengan aktivitas fisik tidak berhasil menurunkan berat badan subjek. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Du et al. (2010) yang menyatakan bahwa konsumsi 10 g total serat/hari dapat mengurangi berat badan sebesar 39 g/tahun meskipun tidak signifikan. Brauchla et al. (2012) juga menyatakan bahwa risiko obes pada anak menurun 17% seiring dengan asupan serat yang cukup. Hal ini diduga karena asupan serat subjek belum mencukupi untuk dapat menurunkan berat badan jika tanpa disertai aktivitas fisik.
44
Pemberian serat melalui intervensi buah-buahan selama 5 minggu belum mencukupi untuk dapat menurunkan berat badan. Howart et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan asupan serat sebanyak 14 g/hari dapat menurunkan berat badan sebanyak 1.9 kg selama 3.8 bulan. Adapun peningkatan asupan serat pada penelitian ini hanya 0.39-0.86 g/hari dengan waktu selama 5 minggu sehingga belum mencukupi untuk dapat menurunkan berat badan. Indeks Massa Tubuh/Usia (IMT/U) Selain berat badan, pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap IMT/U subjek pada saat pre dan post intervensi dengan hasil seperti pada Tabel 20 berikut. Tabel 20 Rata-rata dan perubahan nilai IMT/U subjek Kelompok A
IMT (kg/m2) Pre Rata-rata±stdev Delta±stdev P4
2.64±0.35
Post 2.44±0.39 -0.20±0.20 0.000*
Kelompok B Pre
Post
2.67±0.49
2.54±0.64
-0.13±0.73 0.465
Kelompok C Pre
P1
P2
P3
0.813
0.465
0.026*
Post
2.69±.0.45
2.47±0.48
-0.22±0.66 0.000*
1234
hasil uji signifikansi pada pre, post, dan delta intervensi antar kelompok, serta pre post intervensi tiap kelompok * hasil uji signifikan (p<0.05)
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan IMT pada setiap kelompok yang berturut-turut dari yang terbesar sampai yang terkecil yaitu 0.22 pada kelompok C, 0.20 pada kelompok A, dan 0.13 pada kelompok B. Berdasarkan uji paired t-test, perubahan IMT berbeda signifikan (p>0.05) pada kelompok A dan C. Berdasarkan uji Anova, terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada perubahan (delta) IMT antar kelompok perlakuan. Penurunan IMT yang terbesar terdapat pada kelompok yang mendapat perlakuan semua intervensi (PG+AF+B), dan terbesar kedua terdapat pada kelompok yang mendapatkan intervensi PG+AF. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan intervensi yang multikomponen lebih baik dalam menurunkan IMT. Selain itu, penurunan IMT dua terbesar terdapat pada kelompok yang mendapatkan intervensi aktivitas fisik. Sejalan dengan analisis pada penurunan berat badan, hal yang sama juga terjadi pada penurunan IMT yaitu kelompok yang mendapatkan intervensi aktivitas fisik lebih berpengaruh dalam menurunkan IMT dibandingkan dengan intervensi tanpa aktivitas fisik. Hasil penelitian ini sejalan dengan Anam et al. (2010) yang melakukan penelitian pada anak SD obes di Semarang melalui intervensi konseling dan olahraga selama 45 menit setiap 3x/minggu. Penurunan IMT yang dihasilkan sebesar 0.6 kg/m2. Penurunan IMT yang dilakuan Anam et al. (2010) lebih tinggi daripada penelitian ini (0.20 kg/m2) yang diduga karena lamanya waktu olahraga berbeda dan lamanya waktu intervensi pun berbeda. Kelompok B yang mendapatkan intervensi PG+B mengalami penurunan IMT paling rendah yaitu 0.13 kg/m2 dan secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05) pada perubahan dari pre ke post intervensi. Meskipun kelompok B mengalami kenaikan berat badan, akan tetapi mengalami penurunan IMT. Hal ini diduga adanya kenaikan tinggi badan yang cukup tinggi sehingga meskipun berat badan meningkat, IMT mengalami penurunan.
45
Hal ini sejalan dengan Bayer et al. (2014) yang menyatakan bahwa adanya penurunan IMT pada anak-anak melalui peningkatan konsumsi buah meskipun tidak signifikan. Nişancı-Kılınç dan Çağdaş (2013) yang melakukan intervensi diet dan aktivitas fisik pada anak-anak obes di Turki juga menunjukkan adanya penurunan IMT. Intervensi yang dilakukan selama 16 minggu berhasil menurunkan IMT sebesar 2.37 kg/m2. Penurunan IMT pada anak obes dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti yang terjadi pada penurunan berat badan. Oleh karena itu, penanganan IMT pada anak obes harus dilakukan dari berbagai aspek baik dari individu (anak) seperti perubahan gaya hidup untuk meningkatkan aktivitas fisik dan mengatur pola makan, juga dari orang tua yang sangat berpengaruh pada kehidupan anak-anak. Akan tetapi, menurut Nişancı-Kılınç dan Çağdaş (2013) bahwa pengurangan asupan kalori dalam jumlah yang cukup tinggi harus dihindari karena penurunan berat badan pada anak-anak tidak boleh lebih dari 2kg/bulan karena dapat menyebabkan malnutrisi. Pengaruh intervensi buah-buahan, aktivitas fisik, dan pendidikan gizi terhadap berat badan subjek dianalisis menggunakan uji Ancova. Uji Ancova merupakan analisis yang digunakan untuk meningkatkan presisi penelitian karena dilakukan pengaturan terhadap peubah yang dimungkinkan berpengaruh terhadap hasil penelitian. Penelitian ini memberikan perlakuan berupa pemberian buahbuahan dan aktivitas fisik dalam intervensi pendidikan gizi. Berdasarkan Schaefer et al. (2011), usia merupakan faktor counfounder pada analisis hasil intervensi pada status gizi obesitas sehingga pada penelitian ini dimasukkan faktor counfounder berupa usia subjek. Selain itu, berdasarkan hasil analisis, usia subjek berbeda nyata sehingga harus dimasukkan dalam analisis untuk menghindari bias yang ditimbulkan dari perbedaan usia. Faktor counfounder lainnya yaitu jenis kelamin, riwayat pemberian ASI eksklusif, karakteristik orangtua, dan kebiasaan aktivitas fisik. Akan tetapi, berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan. Oleh karena itu, analisis Ancova dilakukan dengan menghilangkan faktor counfounder tersebut. Berdasarkan hasil analisis, angka signifikansi yang dihasilkan sebesar 0.002 (Lampiran 2). Oleh karena itu, pada tingkat kepercayaan 95%, pemberian buahbuahan dan aktivitas fisik pada intervensi pendidikan gizi berpengaruh terhadap perubahan berat badan subjek. Adapun jika dianalisis terhadap IMT, nilainya sebesar 0.868 yang menunjukkan bahwa perlakuan intervensi tidak berpengaruh nyata terhadap IMT subjek (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa untuk menurunkan IMT secara nyata tidak cukup hanya memberikan intervensi selama 5 minggu saja. Penanganan obesitas melalui penurunan IMT harus dilakukan dari berbagai aspek seperti pola konsumsi, gaya hidup, aktivitas fisik, dan juga faktor lingkungan terutama lingkungan keluarga dan sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi pendidikan gizi dengan penambahan pemberian buah-buahan dan aktivitas fisik sebagai bentuk aplikasi dari pendidikan gizi yang diberikan, memberikan dampak lebih baik. Intervensi pendidikan gizi yang disertai dengan pemberian buah-buahan lebih berdampak positif daripada tanpa pemberian buah-buahan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada intervensi pendidikan gizi yang disertai dengan pemberian aktivitas fisik lebih berdampak positif pada peningkatan rata-rata aktivitas fisik subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi pendidikan gizi yang disertai dengan
46
aktivitas fisik lebih berdampak positif terhadap penurunan berat badan dan IMT/U dibandingkan dengan intervensi pendidikan gizi yang disertai dengan pemberian buah-buahan. Penelitian ini melakukan pemberian buah-buahan yang didasarkan pada kebiasaan konsumsi buah-buahan, tidak berdasarkan pada buah yang mengandung serat tinggi sehingga dapat menurunkan berat badan. Selain itu, kelemahan penelitian ini adalah waktu intervensi yang singkat dan tanpa adanya kelompok kontrol sehingga tidak dapat melihat pengaruh dari masing-masing perlakuan. Penurunan berat badan dan IMT/U merupakan mekanisme yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai hal termasuk pola konsumsi pangan. Selain asupan serat yang harus ditingkatkan, pembatasan terhadap asupan pangan lain yang mengandung tinggi lemak dan tinggi gula juga harus dilakukan agar menghasilkan tujuan yang diharapkan. Selain itu, faktor pemungkin seperti sarana dan fasilitas, dan faktor penguat seperti kebijakan pada sekolah mengenai kantin dan catering, juga harus mendukung tercapainya tujuan penurunan berat badan dalam rangka memperbaiki status gizi obesitas pada anak.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik subjek tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan, kecuali usia dan berat badan lahir. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada karakteristik orang tua antar kelompok perlakuan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kebiasaan konsumsi buah dan tingkat pengetahuan gizi subjek antar kelompok perlakuan. Pemberian intervensi dapat meningkatkan rata-rata asupan serat dengan peningkatan terbesar terdapat pada kelompok C (PG+AF+B) sebesar 0.86 g. Kelompok yang mendapatkan intervensi aktivitas fisik mengalami kenaikan rata-rata aktivitas fisik sebesar 0.02 dan penurunan rata-rata berat badan sebesar 0.34-0.71 kg. Penurunan IMT dialami oleh semua kelompok perlakuan dengan penurunan terbesar (0.22) terdapat pada kelompok C (PG+AF+B). Perlakuan intervensi buah-buahan, aktivitas fisik, dan pendidikan gizi berpengaruh signifikan terhadap penurunan berat badan, sedangkan terhadap IMT tidak berpengaruh signifikan.
Saran Intervensi pendidikan gizi harus disertai dengan pemberian contoh nyata agar lebih berpengaruh terhadap perilaku subjek. Pendidikan gizi terhadap orang tua sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik karena peranan orang tua sangat penting dalam kehidupan subjek. Pendidikan gizi juga diharapkan dapat diberikan pada orang-orang yang berperan di lingkungan sekolah seperti guru dan pemilik kantin agar mendukung program yang diberikan pada subjek. Pemberian buah-buahan dapat ditingkatkan jumlahnya melalui
47
banyaknya pemberian dalam sehari untuk meningkatkan asupan serat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Agostoni C, Braegger C, Decsi T, Kolacek S, Koletzko B, Michaelsen KF, Mihatsch W, Moreno LA, Puntis J, Shamir R, et al. 2009. Breast-feeding: A commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 49(1):112-25.doi: 10.1097/MPG.0b013e31819f1e05. Almatsier S. 2008. Penuntun Diet. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Anam MS, Mexitalia M, Widjanarko B, Pramono A, Susanto H, Subagio HW. 2010. Pengaruh Intervensi Diet dan Olah RagaTerhadap Indeks Massa Tubuh, Lemak Tubuh, dan Kesegaran Jasmani pada Anak Obes. Sari Pediatri. 12(1):36-41. Annisa DT. 2014. Asupan energi, zat gizi dan serat serta aktivitas fisik siswa sekolah dasar berstatus gizi lebih di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ary D, Jacobs LC, Sorensen C, Razavieh A. 2009. Introduction to Research in Education 8th edition. USA (US): Wadsworth Cengage Learning. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional. Jakarta (ID): Balitbangkes Depkes RI. ____________. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010: Laporan Nasional. Jakarta (ID): Balitbangkes Depkes RI. ____________. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013: Laporan Nasional. Jakarta (ID): Balitbangkes Depkes RI. Barr-Anderson DJ, Berg PVD, Neumark-Sztainer D, Story M. 2008. Characteristics associated with older adolescents who have a television in their bedrooms. J Pediatrics. 121:718–724.doi:10.1542/peds.2007-1546. Bayer O, Bolte G, Kries RV. 2014. Fruit and vegetable consumption and BMI change in primary school-age children: a cohort study. Eur J Clin Nutr. 68: 265-270.doi:10.1038/ejcn.2013.139. Berdanier I, Dwyer CD, Beldman JT, Elaine B. 2008. Handbook of Nutrition and Food. Boca Raton (US): CRC Press. Bergsma EW, Langenberg G, Brandsma R, Oort FJ, Bogels SM. 2014. The Effectiveness of a School-Based Mindfulness Training as a Program to Prevent Stress in Elementary School Children. Mindfulness. 5:238–248. doi:10.1007/s12671-012-0171-9. Beydoun MA, Powell LM, Wang Y. 2008. The association of fast food, fruit and vegetable prices with dietary intakes among US adults: Is there modification by family income?. J Soc Sci Med. 66:2218-2229. doi:10.1016/j.socscimed.2008.01.018.
48
Blanchette L, Brug J. 2005. Determinants of fruit and vegetable consumption among 6- to 12-year-old children and effective interventions to increase consumption. J Hum Nutr Diet. 18:431-443.doi: 10.1111/j.1365277X.2005.00648.x. Bogart LM, Cowgill BO, Elliot MN, Klein DJ, Dawson JH, Uyeda K, Elijah J, Binkle DG, Schuste MA. 2014. A randomized controlled trial of students for nutrition and exercise: a community based participatory research study. J Ado Health. [diunduh 2014 Mei 03]: xxx:1-8. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.jadohealth. Bogen DL, Hanusa BH, Whitaker RC. 2004. The effect of breastfeeding with and without concurrent formula feeding risk of obesity at 4 yeasr of age. Obes Res. 12:1527-1535. Boots SB, Tiggeman M, Corsini N, Mattiske J. 2015. Managing young children’s snack food intake. The role of parenting style and feeding strategies. Appetite . doi.org/10.1016/j.appet.2015.05.012. Bourdeaudhuij ID, Velde S, Brug J, Due P, Wind M, Sandvik C, Maes L, Wolf A, Rodrigo CP, Yngve A, et al. 2008. Personal, social and environmental predictors of daily fruit and vegetable intake in 11-year-old children in nine European countries. Eur J Clin Nutr. 62:834–841. doi:10.1038/sj.ejcn.1602794. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Pengawasn klaim dalam label dan iklan pangan olahan. Jakarta: BPOM RI. Brauchla M, Juan WY, Story J, Kranz S. 2012. Sources of dietary fiber and the association of fiber intake with childhood obesity risk (in 2–18 year olds) and diabetes risk of adolescents 12–18 year olds: NHANES 2003–2006. J Nutr Metab. 736258.doi:10.1155/2012/736258. Brauchla M, McCabe GP, Miller KB, Kranz S. 2013. The effect of high fiber snacks on digestive function and diet quality in a sample of school-age children. J Nutr. 12:153.doi:10.1186/1475-2891-12-153. Brown JE, Isaacs JS, Krinke UB, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C, Splett PL, Stang J, Wooldridge NH. 2011. Nutrition through the Life Cycle fourth edition. USA (US): Wadsworth. Brunt CM, Joshu DH, Elliott M, Brownson R. 2007. Fruit and vegetable intake and obesity in preadolescent children. Am J Health Edu. 38(5): 258-265.doi: 10.1080/19325037.2007.10598980. Burrows T, Warren JM, Baur LA, Collins CE. 2008. Impact of a child obesity intervention on dietary intake and behaviors. Int J Obesity. 32:1481–1488. doi:10.1038/ijo.2008.96. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. Behavioral risk factor surveillance system survey data. Atlanta, GA (US): US Dept of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention. Chaput JP, Brunet M, Tremblay A. 2006. Relationship between short sleeping hours and childhood overweight/obesity: result from the ―Quebec en Frome ‟Project. Int J Obesity. 30:1080-1085.doi: 10.1038/sj.ijo.0803291.
49
Chien N, Harbin V, Goldhagen S, Lippman L, Walker KE. 2012. Encouraging the Development of Key Life Skills In Elementary School-Age Children: A Literature Review and Recommendations to the Tauck Family Foundation. Child Trends. Publication # 2012-28. Clemens R, Kranz S, Mobley AR, Nicklas TA, Raimondi MP, Rodriguez JC, Slavin JL, Warshaw H. 2012. Filling America’s fiber intake gap: summary of a roundtable to probe realistic solutions with a focus on grain-based foods. J. Nutr. 142:1390S–1401S.doi: 10.3945/jn.112.160176. Contento IR. 2011. Nutrition education : linking research, theory, and practice. 2nd ed. USA (US): Jones and Bartlett Publishers, LLC. Cooke LJ, Wardle J. 2005. Age and gender differences in children’s food preferences. British J Nutr. 93:741–746.doi: 10.1079/BJN20051389. Crume T, Ogden L, Mayer-Davis E, Hamman R, Norris J, Bischoff K, McDuffie R & Dabelea. 2012. The impact of neonatal breastfreeding on growth trajectories of youth exposed and unexposed to diabetes in utero: The EPOCH study. Int J Obesity. 36:529-534. Damanik MR, Ekayanti I, Hariyadi D. 2010. Analisis Pengaruh Pendidikan Ibu terhadap Status Gizi Balita di Provinsi Kalimantan Barat. JGP. 5(2): 69-77. Danielzik S, Czerwinski-Mast M, Langnase K, Dilba B, Muller MJ. 2004. Parental overweight, socioeconomic status and high birth weight are the major determinants of overweight and obesity in 5–7 y-old children: baseline data of the Kiel Obesity Prevention Study (KOPS). Int J Obesity. 28:1494–1502.doi:10.1038/sj.ijo.0802756. Dick W, Carey JO. 2001. The Systematic Design of Instruction (5th Edition). New York (US): Longman. Drewnowski A, Rehm CD. 2015. Socioeconomic gradient in consumption of whole fruit and 100% fruit juice among US children and adults. J Nutr. 14:3. doi:10.1186/1475-2891-14-3. Du H, van der ADL, Boshuizen HC, Forouhi NG, Wareham NJ, Halkjær J, Tjønneland A, Overvad K, Jakobsen MU, Boeing Het al. 2010. Dietary fiber and subsequent changes in body weight and waist circumference in European men and women. Am J Clin Nutr. 91:329–36.doi: 10.3945/ajcn.2009.28191. Erhardt J. 2007. Nutrisurvey for windows. Jakarta (ID): SEAMEO-TROPMED RCCN UI. Evans CEL, Christian MS, Cleghorn CL, Greenwood DC, Cade JE. 2012. Systematic review and meta-analysis of school-based interventions to improve daily fruit and vegetable intake in children aged 5 to12 year. Am J Clin Nutr. 96:889-901. Fahmida U, Santika O, Muslimatum S, Prihatini S, Nazarudin N, Jahari AB, Doets E, Hulshof P, Elburg L, Boonstra AM, et al. 2013. SMILING D3.5-a Food composition table for Indonesia. Jakarta (ID): SEAMEO-RECFON UI. Flook L, Smalley SL. 2010. Effects of Mindful Awareness Practiceson Executive Functions in Elementary School Children. J Appl School Psychol. 26:70– 95.doi: 10.1080/15377900903379125.
50
Friedrich RR, Schuch I, Wagner MB. 2012. Effect of interventions on the body mass index of school-age students. Rev. Saúde Pública. 46(3).doi:10.1590/S0034-89102012005000036. Gable S, Chang Y, Drull JL. 2007. Television watching and frequency of family meals are predictive of overweight onset and persistence in a national sample of school-aged children. J Am Diet Assoc. 107:53–61. Givens ML, Lu C, Bartell SM, Pearson MA. 2007. Estimating dietary consumption patterns among children: a comparison between crosssectional and longitudinal study designs. Environ Res. 103(3):325-330. He Q, Ding ZY, Fong DYT, Karlberg J. 2000. Risk factors of obesity in preschool children in China: a population-based case ± control study. Int J Obesity. 24:1528±1536. Hernell O, Lonnerdal B. 2011. Recommendations on iron questioned. Pediatrics. 127(4):e1099-101; doi: 10.1542/peds.2011-0201C. Heude B, Kettaneh A, Rakotovao, R, Bresson JL, Borys JM, Ducimetiere P, Charles MA, Sante FLV. 2005. Anthropometric relationships between parents and children throughout childhood: the Fleurbaix–Laventie Ville Sante´ Study. Int J Obesity. 29:1222–1229.doi:10.1038/sj.ijo.0802920. Hills AP, Andersen LB, Byrne NM. 2011. Physical activity and obesity in children. Br J Sports Med. 45:866–870.doi:10.1136/866 bjsports-2011090199. Hinckson EA, McGrath L, Hopkins W, Oliver M, Badland H, Mavoa S, Witten K, Kearns RA. 2014. Distance to school is associated with sedentary time in children: findings from the URBAN study. Front Pub Health. 2:151.doi:10.3389/fpubh.2014.00151. Howarth NC, Saltzman E, Roberts SB. Dietary fiber and weight regulation. Energy density of foods affects energy intake across multiple levels of fat content in lean and obese women. Am J Clin Nutr. 73:1010-1018. Huus K, Ludvigsson JF, Enskar K, Ludvigsson J. 2008. Exclusive breastfeeding of Swedish children and its possible influence on the development of obesity: a prospective cohort study. BMC Pediatrics. 8:42.doi:10.1186/1471-2431-8-42. Jahari A, Sumarno I. 2001. Epidemiologi konsumsi serat di Indonesia. Gizi Indonesia. 25:37-56. Jansen E, Mulkens S, Jansen A. 2010. How to promote fruit consumption in children. Visual appeal versus restriction. Appetite.doi:10.1016/j.appet.2010.02.012. Janssen I, Katzmarzyk PT, Boyce WF. 2005. Comparison of overweight and obesity prevalence in school-aged youth from 34 countries and their relationships with physical activity and dietary patterns. Obes. Rev. 6(2): 123–132. Jari M, Qorbani M, Motlagh ME, Heshmat R, Ardalan G, Kelishadi R. 2014. A Nationwide Survey on the Daily Screen Time of Iranian Children and Adolescents: The CASPIAN - IV Study. Int J Prev Med. 5(2): 224–229.
51
Johnson L, Mander AP, Jones LR, Emmett PM, Jebb SA. 2008. Energy-dense, low-fiber, high-fat dietary pattern is associated with increased fatness in childhood. Am J Clin Nutr. 87: 846–54. Kahn E, Ramsey LT, Brownson RC. 2013. The effectiveness of interventions to increase physical activity: a systematic review. Am J Prev Med. 22(4S):73– 107. Karimah I. 2014. Aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar normal dan kegemukan di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Keihner AJ, Meigs R, Sugerman S, Backman D, Garbolino T, Mitchell P. 2011. The power play! campaign’s school idea & resource kits improve determinants of fruit and vegetable intake and physical activity among fourth- and fifth-grade children. J Nutr Educ Behav. 43:S122S129.doi:10.1016/j.jneb.2011.02.010. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Barat. Jakarta (ID): Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. Kostanjevec S, Jerman J, Koch V. 2011. The Effects of Nutrition Education on 6th graders Knowledge of Nutrition in Nine-year Primary Schools in Slovenia. Eurasia J Math Sci&Tech. 7(4):243-252. Lin W, Yang HC, Hang CM, Pan WH. 2007. Nutrition knowledge, attitude, and behavior ofTaiwanese elementary school children. Asia Pac J Clin Nutr. 16 (S2):534-546. Lin Y, Bolca S, Vandevijvere S, Keyzer WD, Oyen HV, Camp JV, Backer GD, Henauw SD, Huybrechts I. 2011. Dietary Sources of Fiber Intake and Its Association with Socio-Economic Factors among Flemish Preschool Children. Int J Mol Sci. 12:1836-1853.doi:10.3390/ijms12031836 Locke E, Coronado GD, Thompson B, Kuniyuki A. 2009. Seasonal Variation in Fruit and Vegetable Consumption in a Rural Agricultural Community. J Am Diet Assoc. 109:45-51.doi: 10.1016/j.jada.2008.10.007. Mackett RL, Paskins J. 2007. Children’s Physical Activity: TheContribution of Playing and Walking. Child Soc. 22 pp. 345–357.doi:10.1111/j.10990860.2007.00113.x. Madanijah S, Giriwono PE, Nurdin NM. 2013. Pola konsumsi pangan sumber serat dan formulasi produk intervensi pada anak usia sekolah [Laporan penelitian]. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. __________, Hunaefi D, Nurdin NM. 2014. Intervensi pangan sumber serat dan pendidikan gizi pada anak gizi lebih di Kota Bogor [Laporan penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
52
Maffeis C, Castellani M. 2007. Physical activity: An effective way to controlweight in children?. Nutr Meta Cardiovasc Dis. 17;394408.doi:10.1016/j.numecd.2006.08.006. Mahan LK, Stump SE. 2004. Krause’s Food and Nutrition Therapy. Missouri (US): Suanders Elsevier. McCrory C, Layte R. 2012. Breastfeeding and risk of overweight and obesity atnine-years of age. Soc Sci Med. 75:323–330. McDowell D, Maloney M, Swan L, Erwin P, Gormley R, McKee R, Briggs M. 2007. A Review of the Fruit and Vegetable Food Chain. Department of Agriculture and Food. Northern Ireland (UK) . Meyinsse PEM, Harris EG, Taylor SS, Gager JV.2013. Examining College Students’ Daily Consumption ofFresh Fruits and Vegetables. J Food Distr Res. 1(4). Miles L. 2007. Physical activity and health. Nutrition Bulletin. 4(32):314363.doi: 10.1111/j.1467-3010.2007.00668.x. Mohammed QY, Hamad WM, Mohammed EK. 2009. Spectrophotometric Determination of Total Vitamin C in Some Fruits and Vegetables at Koya Area – Kurdistan Region/ Iraq. Journal of Kirkuk University –Scientific Studies. 4(2). Moodie, Marj, Haby, Michelle M., Swinburn, Boyd and Carter, Robert. 2011. Assessing cost-effectiveness in obesity : active transport program for primary school children— TravelSMART schools curriculum program, J Physic Act and Health. 8(4):503-515. Moore KG, Bailey JH. 2013. Parental Perspectives of a Childhood Obesity Intervention in Mississippi: A Phenomenological Study. The Qualitative Report. 18(96):1-22. Moraeus L, Lissner L, Yngve A, Poortvliet E, AlAnsari U, Sjoberg A. 2012. Multi-level influences on childhood obesity in Sweden: societal factors, parental determinants and child’s lifestyle. Int J Obesity. 36:969976.doi:10.1038/ijo.2012.79. Muzdalifah. 2012. Kajian preferensi konsumen terhadap buah-buahan lokal di kota banjarbaru. Jurnal Agribisnis Perdesaan. 4(2). National Heart Foundation of Australia. 2013. Physical activity. Australia (AU): National Heart Foundation. Nişancı-Kılınç F, Çağdaş DN. 2013. Diet and physical activity interventions do have effects onbody composition and metabolic syndrome parameters inoverweight and obese adolescents and their mothers. The Turkish Journal of Pediatrics. 55: 292-299. Niswah I, Damanik MRM, Ekawidyani KR. 2014. Kebiasaan Sarapan, Status Gizi, dan Kualitas Hidup Remaja SMP Bosowa Bina Insani Bogor. JGP. 9(2): 97102. Nurhayati. 2013. Alternative fruit and vegetables consumption for 1-3 year old Indonesian children. Health Science Indones. 2:74-78.
53
Ochner CN, Barrios DM, Lee CD, Pi-Sunyer FX. 2013. Biological mechanisms that promote weight regain following weight loss in obese humans. Physiol Behav. 120:106-13.doi: 10.1016/j.physbeh.2013.07.009. Ohly H, Pealing J, Hayter AKM, Pettinger C, Pikhart H, Watt RG, Ress G. 2013. Parental food involvement predicts parent and child intakes of fruits and vegetables. Appetite. 6:8–14.doi:10.1016/j.appet.2013.05.003. Oldroyd J, Renzaho A, Skouteris H. 2010. Low and high birth weight as risk factors for obesity among 4 to 5-year-old Australian children: does gender matter? Eur J Pediatr [Internet]. [diunduh 4 November 2011];170 (7): 899906. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21174121. Parson, Tessa J, Power C, Manor O. 2001. Fetal and Early Life Growht and Body Mass Index From Birth To Early Adulthood In 1958 British Cohort: Longitudinal Study. BMJ. (323):1331-1335. Pearson N, Salmon J, Campbell K, Crawford D, Timperio A. 2011. Tracking of children's body-mass index, television viewing and dietary intake over fiveyears. Preventive Med. 53: 268–270.doi:10.1016/j.ypmed.2011.07.014. Peltzer K, Pengpid S. 2012. Suicidal Ideation and Associated Factors among School-Going Adolescents in Thailand. Int J Environ Res Public Health. 9(2):462-473. doi:10.3390/ijerph9020462. Perikkou A, Gavrieli A, Kougioufa MM, Tzirkali M, Yannakoulia M. 2013. A novel approach for increasing fruit consumption in children. J Acad Nutr Diet. 113:1188-1193 doi:10.1016/j.jand.2013.05.024. Ploeg KAV, Wu B, McGavock J, Veugelers PJ. 2012. Physical Activity Among Canadian Children on School Days and Nonschool Days. J Physic Act and Health. 9:1138-1145. Puwastien P. 2014. ASEAN Food Composition Database. Thailand (TH): Institute of Nutrition Mahidol University. Rakhshanderou S, Ramezankhani A, Mehrabi Y, Ghaffari M. 2014. Determinants of fruit and vegetable consumption among Tehranian adolescents: A qualitative research. J Res Med Sci. 19:482-9. Reicks M, Jonnalagadda S, Albertson AM, Joshi N. 2014. Total dietary fiber intakes in the US population are related to whole grain consumption: results from the National Health and Nutrition Examination Survey 2009 to 2010. Nutr Res. 34:226–234.doi:10.1016/j.nutres.2014.01.002. Rickman JC, Barrett DM, Bruhn CM. 2007. Review Nutritional comparison of fresh, frozen and canned fruits and vegetables. Part 1. Vitamins C and B and phenolic compounds. Sci Food Agric. 87:930–944.doi: 10.1002/jsfa.2825. Ross D. 2010. Food and Nutrition. India: Oxford Book Company. Rossi CE, Vasconceles FAG. 2014. Relationship between birth weight and overweight/obesity among students in Florianópolis, Santa Catarina, Brazil: a retrospective cohort study. Sao Paulo Med J. 132(5):273-81.doi: 10.1590/1516-3180.2014.1325630. Sandercock GRH, Ogunleye A, Voss C. 2012. Screen Time and Physical Activity in Youth:Thief of Time or Lifestyle Choice?. J Physic Act and Health. 9:977-984.
54
Sandvik C, Bourdeaudhuij ID, Due P, Brug J, Wind M, Bere E, Rodrigo CP, Wolf A, Elmadfa I, Thórsdóttir I, Almeida MDV, Yngve A, Klepp KI. 2005. Personal, social and environmental factors regarding fruit and vegetable intake among schoolchildren in nine European countries. Ann Nutr Metab .49:255–266.doi: 10.1159/000087332. Sanjur D.1982. Social and cultural perspectives in nutrition. Englewood Cliffs, New Jersey (US): Prentice-Hall. Santrock JW. 2007. Child Development eleventh edition. Rachmawati M, Kuswanti A, Translator; Jakarta (ID): Erlangga. Translation from: Child Development. Sardinha AN, Canella DS, Martins APB, Claro RM, Levy RB. 2014. Dietary sources of fiber intake in Brazil. Appetite. 79:134– 138.doi:10.1016/j.appet.2014.04.018. Sartika RAD. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia. Makara Kesehatan. 15(1): 37-43. Sastroasmoro S, Ismael S. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta (ID): CV. Sagung Seto. Schaefer A, Winkel K, Finne E, Kolip P, Reinehr T. 2011. An effective lifestyle intervention in overweight children: One-year follow-up after the randomized controlled trial on ―Obeldicks light‖. Clin Nutr. 30:629-633. Schroder KRR. 2010. Effects of fruit consumption on body mass index and weight loss in a sample of overweight and obese dieters enrolled in a weight-loss intervention trial. Nutrition 26. 727–734. doi:10.1016/j.nut.2009.08.009. Singhal N, Misra A, Shah P, Gulati S. 2010. Effects of controlled school-based multi-component model of nutrition and lifestyle interventions on behavior modification, anthropometry and metabolic risk profile of urban Asian Indian adolescents in North India. Euro J Clin Nutr. 64:364-373. doi:10.1038/ejcn.2009.150. Sophia A. Madanijah S. 2014. Pola Asuh Makan Ibu serta Preferensi dan Konsumsi Sayur dan Buah Anak usia Sekolah di Bogor [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Stein.2 005. Childhood growth and chronic disease: evidence from countries undergoing nutrition transition. Matern Child Nutr. 1:177. Stolzer JM. 2011. Breastfeeding and obesity: a meta-analysis. J Prev Med. 1:88– 93.doi: 10.4236/ojpm.2011.13013. Storey M, Anderson P. 2014. Income and race/ethnicity influence dietary fiber intake and vegetable consumption. Nutr Res. 34:844–850.doi: /10.1016/j.nutres.2014.08.016. Struempler BJ, Parmer SM, Mastropietro LM, Arsiwalla D, Bubb RR. 2014. Changes in fruit and vegetable consumption of third-gradestudents in body quest: food of the warrior, a 17-class childhood obesity prevention program. J Nutr Educ Behav. 1-7. doi:10.1016/j.jneb.2014.03.001. Svensson V, Jacobsson JA, Fredriksson R, Danielsson P, Sobko T, Schioth HB, Marcus C. 2011. Associations between severity of obesity in childhood and
55
adolescence, obesity onset and parental BMI: a longitudinal cohort study. Int J Obesity. 35:46-52.doi:10.1038/ijo.2010.189. Thompson-McCormick JJ, Thomas JJ, Bainivualiku A, Khan AN, Becker AE. 2010. Breakfast skipping as a risk correlate of overweight and obesity in school-going ethnic Fijian adolescent girls. Asia Pac J Clin Nutr. 19(3): 372–382. Thorpe LE, List DG, Marx T, May L, Helgerson SD, Frieden TR. 2004. Childhood obesity in New York City elementary school students.Am J Public Health. 94(9):1496-1500. Tiyas YTC. 2009. Preferensi Pangan Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Vasylyeva TL, Barche A, Chennasamudram SP, Sheehan C, Singh R, Okogbo ME. 2013. Obesity in prematurely born children and adolescents: follow up in pediatric clinic. Nutr J. 12:150.doi:10.1186/1475-2891-12-150. Wanders AJ, van den Borne JJGC, de Graaf C, Hulshof T, Jonathan MC, Kristensen M, Mars M, Schols HA, Feskens EJM. 2011. Effects of dietary fibre on subjective appetite, energy intake and body weight: a systematic review of randomized controlled trialsobr_895. Obesity reviews. 12:724– 739.doi: 10.1111/j.1467-789X.2011.00895.x. Webb GP. 2008. Nutrition a health promotion approach 3rd edtion. London (UK): Hachette UK Company. Weyermann M, Rothenbacher D, Brenner H. 2006. Duration of breastfeeding and risk of overweight in childhood: a prospective birth cohort study from Germany. Int J Obesity.30:1281–1287.doi:10.1038/sj.ijo.0803260. Whitney E, DeBrruyne LK, Pinna K, Rolfes SR. 2011. Nutrition for health and health care 4th edition. USA (US): Wadsworth, Cengage Learning. [WHO] World Health Organization. 2010. Global recommendations on physical activity for health.WHO Library Cataloguing in publication data. [diunduh 2014 Desember 01]. ______. 2012. Population-based approaches to childhood obesity prevention. Switzerland (CH): WHO Document Production Services. Wieting JM. 2008. Cause and Effect in Childhood Obesity: Solutions for a National Epidemic. J Am Osteopath Assoc. 108:545-552. Willers SM, Wijga AH, Brunekreef B, Kerkhof M, Gerritsen J, Hoekstra MO, Jongste JC, Smit HA. 2008. Maternal Food Consumption during Pregnancy and the Longitudinal Development of Childhood Asthma. Am J Respir Crit Care Med. 178:124–131.doi: 10.1164/rccm.200710-1544OC. Williams CL. 2006. Dietary fiber in childhood. J Pediatr. 149:S121-S130.doi: 10.1016/j.jpeds.2006.06.066. Yan J, Liu Y, Zhu Y, Huang G, Wang PP. 2014. The association between breastfeeding andchildhood obesity: a meta-analysis. BMC Public Health. 14:1267. Tersedia pada: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/14/1267. YIDI] Yayasan Institut Danone Indonesia. 2013. Pedoman Gizi Seimbang untuk anak usia sekolah dasar. Jakarta (ID): PT Citra Kreasindo.
56
Yoshinaga M, Shimago A, Koriyama C, Nomura Y, Miyata K, Hashiguchi J, Arima K. 2004. Rapid increase in the prevalence of obesity in elementary school children. Int J Obesity. 28:494–499.doi:10.1038/sj.ijo.0802608. Yuliana. 2007. Pengaruh penyuluhan gizi dan stimulasi psikososial terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zeinstra GG, Koelen MA, Kok FJ, Graaf C. 2007. Cognitive development and children's perceptions of fruit and vegetables; a qualitative study. Int J Behavl Nutr and Physl Activ. 4:30. doi:10.1186/1479-5868-4-30. Zhang Q, Fu L. 2011. Review of the Multi-Level Factors Contributing to Fruit and Vegetable Consumption in the US. N A J Med Sci. 4(4):232-237. Zhao J, Grant SFA. 2011. Genetics of Childhood Obesity. J Obesity Article 845148: 9.doi:10.1155/2011/845148.
57
LAMPIRAN Lampiran 1 Ethical Clereance
58
Lampiran 2 Hasil uji Ancova Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:deltaBB Source Corrected Model Intercept Kelompok Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 27.067a 1.995 27.067 178.658 207.720 205.725
df 2 1 2 87 90 89
Mean Square 13.533 1.995 13.533 2.054
F 6.590 .972 6.590
Sig. .002 .327 .002
a. R Squared = ,132 (Adjusted R Squared = ,112) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:deltaIMT Source Corrected Model Intercept Kelompok Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .096a 1.459 .096 29.443 30.998 29.539
df 2 1 2 87 90 89
a. R Squared = ,003 (Adjusted R Squared = -,020)
Mean Square .048 1.459 .048 .338
F .142 4.312 .142
Sig. .868 .041 .868
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 21 September1990 sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Muhtadin dan Ibu Lasmanah. Pendidikan formal penulis diawali pada tahun 1996 di SD Negeri Wargamulya. Penulis melanjutkan pendidikan di MTs Negeri Ciherang Cipanas pada tahun 2002-2005 dan SMA Negeri 1 Cianjur pada tahun 2005-2008. Tahun 2008 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Penulis meraih gelar Sarjana Gizi pada tahun 2013 dengan judul skripsi ―Pengembangan Crackers Sumber Protein dan Mineral dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa Oleifera) dan Tepung Badan-Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus)‖. Penulis menikah dengan Cici Anggara S.Pi, M.P pada tahun 2014 dan dikaruniai seorang anak yang bernama M. Ghazwan Al Banna yang sekarang sudah berusia 5 bulan. Selama mengikuti perkuliahan S1, penulis menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam TPB, Metodologi Penelitian Gizi, Evaluasi Nilai Gizi, dan Analisis Zat Gizi Mikro. Penulis pernah aktif di Forum of Scientific Studies (FORCES) dan Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA). Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKP) di Desa Mundu Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu pada tahun 2011 dan melaksanakan Internship Dietetic di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon pada tahun 2012.Penulis juga mendapatkan Beastudi Etos periode 2008-2011. Penulis aktif mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis antara lain Juara I Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan dalam Olimpiade Etos Nasional 2010, mendapatkan hibah dana PKM bidang Kewirausahaan pada tahun 2010 dan PKM bidang Penelitian pada tahun 2011 dan 2012, Juara II Lomba Penulisan Essay One Day No Rice HIPMA IPB 2011, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Gizi UNDIP Semarang 2011, Top 10 College Category Finalist of the Indonesia Focus Writing Contest Pennsylvania tahun 2011, dan meraih penghargaan sebagai salah satu inovator program 104 Inovasi Indonesia tahun 2012 dengan judul I Love my Moringa Crackers bersama tim yang terdiri dari Prof. Clara M. Kusharto, Ai Kustiani, Ibnu MBI, Rahayu KR, Novi L, dan Riza. Tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Magister Ilmu Gizi Masyarakat, Departemen Gizi Masyarakat. Selama mengikuti perkuliahan S2, penulis menjadi Asisten Mata Kuliah S1 Metodologi Penelitian Gizi. Sebuah artikel dengan judul ―Changes in Fiber Intake and Body Weight of Multi-Component Intervention Program among Bogor Obese Children, Indonesia‖ telah diterima untuk diterbitkan (accepted) pada Pakistan Journal of Nutrition tahun 2015. Karya ini merupakan bagian dari program S2 penulis.