PENGARUH PANGAN SUMBER SERAT DAN OLAHRAGA PADA SISWA OBES SDIT BOGOR YANG MENDAPAT INTERVENSI PENDIDIKAN GIZI TERHADAP STATUS GIZI
BESTI VERAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pangan Sumber Serat dan Olahraga pada Siswa Obes SDIT Bogor yang Mendapat Intervensi Pendidikan Gizi terhadap Status Gizi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Besti Verawati NIM I151130221
RINGKASAN BESTI VERAWATI. Pengaruh Pangan Sumber Serat dan Olahraga pada Siswa Obes SDIT Bogor yang Mendapat Intervensi Pendidikan Gizi terhadap Status Gizi. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan HIDAYAT SYARIEF. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh pangan sumber serat dan olahraga pada intervensi pendidikan gizi terhadap status gizi (IMT/U) siswa obes SDIT Kota Bogor. Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut: (1) Menganalisis karakteristik siswa yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, usia, uang jajan, dan riwayat pemberian ASI; (2) Menganalisis karakteristik keluarga siswa yang meliputi pendidikan orang tua, besar keluarga, status gizi orang tua; (3) Menganalisis pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik dan status gizi (BB dan IMT/U) siswa obes yang mendapatkan perlakuan intervensi multikomponen yang berbeda; (4) Menganalisis pengaruh olahraga dan pangan sumber serat terhadap status gizi (BB dan IMT/U) siswa obes. Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus 2014 sampai Februari 2015 di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Kota Bogor. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 28 siswa tiap kelompok. Penentuan kelompok dilakukan secara acak, selanjutnya diperoleh siswa SDIT Aliya sebagai kelompok A diberi pendidikan gizi dan olahraga, siswa SDIT Insan Kamil sebagai kelompok B diberi pendidikan gizi dan pangan sumber serat, dan siswa SDIT Ummul Quro kelompok C diberi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan instrumen kuesioner dan arsip data sekolah. Intervensi dilaksanakan selama 8 minggu. Penyuluhan gizi selama 30 menit setiap seminggu sekali. Pemberian pangan sumber serat berupa buah-buahan (bulan pertama) dan snackbar (bulan kedua), diberikan setiap hari sekolah yaitu 5 kali/minggu. Kegiatan olahraga selama 30 menit 3 kali/minggu. Data diolah dan dianalisis secara deskriptif (mean dan standar deviasi) dan inferensia (uji Kruskal Wallis, paired sample t-test, dan one-way ANOVA) menggunakan perangkat program komputer Microsoft excel 2013 dan software SPSS versi 20. Sebagian besar siswa baik pada kelompok A, kelompok B, dan kelompok C berjenis kelamin laki-laki yaitu 57.1%, 67.9%, dan 71.4%. Sebagian besar usia siswa pada kelompok A (46.5%) yaitu 11 tahun, sedangkan kelompok B (42.9%) dan kelompok C (53.6 %) yaitu berusia 12 tahun. Sebagian besar siswa baik pada kelompok A (92.9%), kelompok B (60.7%), dan kelompok C (79.8%) memiliki uang jajan berkisar Rp 5 000-10 000. Mayoritas ayah lulusan perguruan tinggi untuk kelompok A (71.4%) dan kelompok C (82.1%) dan hampir separuh (46.4%) pada kelompok B lulusan diploma. Mayoritas status gizi ayah siswa termasuk status gizi obes 1 baik kelompok A 50%, kelompok B 57.1%, dan kelompok C 67.9%. Begitu juga ratarata status gizi ibu, sebagian besar baik pada kelompok A (50%), kelompok B (60.7%), dan kelompok C (53.6%) termasuk kategori obes 1. Terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) pengetahuan gizi antar kelompok perlakuan dan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) pengetahuan gizi antar waktu dan kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga;
pendidikan gizi dan pangan sumber serat; pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Berdasarkan uji beda paired sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat aktivitas fisik sebelum dan setelah intervensi pada kelompok pendidikan gizi dan olahraga dan kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Berdasarkan uji beda ANOVA terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) tingkat aktivitas fisik setelah intervensi antara kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; pendidikan gizi dan pangan sumber serat; pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Dan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) delta tingkat aktivitas fisik setelah dan sebelum intervensi antara kelompok perlakuan. Berdasarkan uji beda paired sample t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.005) asupan serat sebelum dan sesudah intervensi baik kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) konsumsi serat sebelum intervensi antar kelompok yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; pendidikan gizi dan pangan sumber serat; pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga; tetapi terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) konsumsi serat setelah intervensi antar kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; pendidikan gizi dan pangan sumber serat; pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Status gizi siswa berdasarkan BB menunjukkan adanya penurunan BB pada ketiga kelompok perlakuan, tertinggi berturut-turut pada kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat yaitu 1.5 kg, kelompok pendidikan gizi dan olahraga 1 kg; dan Kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat 0.5 kg. Pada sustainablity hanya terjadinya penurunan BB siswa pada kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Status gizi berdasarkan z-score IMT/U menunjukkan adanya penurunan setelah intervensi pada ketiga kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga sebesar z-score 0.21; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat sebesar z-score 0.08; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat sebesar z-score 0.36. Hanya terdapat penurunan status gizi (IMT/U) siswa pada sustainability yaitu kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat Terdapat perbedaan signifikan pengetahuan gizi antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan pengetahuan gizi antar kelompok perlakuan dan terdapat perbedaan signifikan pengetahuan gizi antar waktu + kelompok perlakuan yitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan asupan serat pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan aktivitas fisik pada
kelompok pendidikan gizi dan olahraga dan kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Terdapat perbedaan signifikan penurunan BB antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan penurunan BB antar kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan status gizi (IMT/U) antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan (status gizi (IMT/U) antar kelompok perlakuan yitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Penurunan BB dan IMT/U terbesar pada kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga menunjukkan bahwa perlakuan intervensi yang multikomponen lebih baik dibandingkan pada kelompok pendidikan gizi dan aktivitas fisik; serta kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat. Selain itu, penurunan BB dan IMT/U dua terbesar terdapat pada kelompok yang mendapatkan intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik lebih berpengaruh dalam menurunkan BB dan IMT/U dibandingkan dengan intervensi tanpa aktivitas fisik atau pada kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat.Terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) status gizi (IMT/U) antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok A dan C. Terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) status gizi (IMT/U) antar kelompok perlakuan yitu kelompok A, B, dan C. Kata kunci: aktivitas fisik, asupan serat, pendidikan gizi, siswa obes
SUMMARY BESTI VERAWATI. The Effect of Food Source of Fibre and physical activity on Obese Student in Integrated Islamic Elementary School (SDIT) Bogor Securing Nutritional Education Intervention to Nutritional Status. Supervised by SITI MADANIJAH and HIDAYAT SYARIEF. Generally, the objective of this study was to analyzed the effect of food source of fibre and sport exercise on nutritional education intervention to nutritional status (BMI/Age) of obese student in Integrated Islamic Elementary School, Bogor. The specific objectives of this study were (1) To analyzed the characteristics of students that include gender, birth weight, age, pocket money, and history of breast feeding; (2) To analyzed the characteristics of student‟s families that include parents education, family size, parents nutritional status; (3) To analyzed nutrition education, fibre intake, physical activity, and nutritional status (weight and BMI/Age) of obese student in different multicomponent intervention; (4) To analyzed the effect of sport exercise and food sources of fiber to nutritional status (BMI/Age) of obese students. This study used Quasi Experimental design. This study was conducted on August 2014 to February 2015 in Integrated Islamic Elementary School (SDIT), Bogor City. The number of samples required were 28 students each groups. The groups were randomly determined, furthermore student of Aliya Integrated Islamic Elementary School determined as group A which received nutritional education and physical activity interventions, Insan Kamil Integrated Islamic Elementary School students as group B with nutritional education and food source of fibre interventions, and Ummul Quro Integrated Islamic Elementary School students as group C with nutritional education, physical activity, and food sources of fibre interventions. Types of collected data were primary and secondary data. Interventions were conducted for eight weeks (two months). Nutritional education was carried out for 30 minutes per week. The distribution of food sources of fibre such as fruits (1st month) and snack bar (2nd month), were provided every school day that is five times/week. Sport exercise activities were provided 30 minutes each three times/week. The data were processed and analysed descriptively (mean and standard deviation) and inferentially (Kruskal Wallis Test, Paired Sample t-Test, and One-Way ANOVA) used Microsoft Excel 2013 and SPSS version 20. Most of students in group A, group B, and group C were male, that is 57.1%, 67.9%, and 71.4%. The ages of students in group A were 11 years old (46.5%), while group B were 12 years old (42.9%) and group C were 12 years old (53.6%). Most of students in group A (92.9%), group B (60.7%), and group C (79.8%) had pocket money about five until ten thousands Rupiah. Most of students father were graduates from college for group A (71.4%), group C (82.1%), and nearly a half of group B (46.4%) were graduated from diploma. Most of nutritional status of students father belonged to obese 1 category, there were group A 50%, group B 57.1%, and group C 67.9%. Likewise the average of mother nutritional status belonged to obese 1, there were group A (50%), group B (60.7%), and group C (53.6%).
There was a significant difference (p<0.05) in nutritional knowledge among intervention groups and there were significant differences (p <0.05) in nutritional knowledge between the time and intervention groups there were groups of nutrition education and sport exercise; nutrition education and food sources of fiber; nutrition education, food source of fiber, and sport exercise. Based on the different test of Paired Sample t-Test, showed that there was a significant difference (p<0.05) between the level of physical activity before and after the intervention in nutrition education group and sport exercise group and nutrition education, food source of fiber, and sport exercise group. Based on the different test of ANOVA, there was a significant difference (p<0.05) in physical activity level after the intervention between intervention groups, namely nutrition education and sport exercise group; nutrition education and food sources of fiber group; nutrition education, food source of fiber, and sport exercise group. And there are significant differences (p<0.05) in the delta level of physical activity before and after intervention between intervention groups. Based on the different test of paired sample t-test, there was a significant difference (p<0.005) in fiber intake before and after intervention both of nutritional education and sports exercise group; nutrition education and food sources of fiber group; and nutrition education, sports, and food sources of fiber group. Based on ANOVA test, there was no significant difference (p>0.05) between fiber consumption before the intervention between groups: nutrition education and sport exercise group; nutrition education and food sources of fiber group; nutrition education, food source of fiber, and exercise group; but there are significant differences (p <0.05) after the intervention of fiber consumption between groups intervention there were nutrition education and sport group; nutrition education and food sources of fiber group; nutrition education, food source of fiber, and exercise group. Nutritional status of students based on weight showed that there was decreased in all three intervention groups, the highest in a row in the nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber groups were 1.5 kg, nutrition education and sport exercise groups were 1 kg; and nutrition education and food sources of fiber groups were 0.5 kg. At sustainablity just weight loss of students in nutrition education, food source of fiber, and sport exercise group. Nutritional status based on BMI/Age z-score showed a decrease after the intervention in all three treatment groups, namely nutrition education and sport exercise by z-score 0.21; nutrition education and food sources of fiber group by zscore 0.08; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber group by z-score of 0.36. There was a decreased only in the nutritional status (BMI/Age) of students in sustainability there were nutrition education, sports exercise, and food source of fiber group. There were significant differences between the nutritional knowledge of the measurement time for each intervention group, namely nutrition education and sports exercise group; nutrition education and food sources of fiber group; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber group. There were significant differences in nutritional knowledge among intervention groups and there were significant differences in nutritional knowledge of the measurement time among intervention groups namely nutrition education, and sports exercise
groups; nutrition education and food sources of fiber groups; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber groups. There were significant differences in the intake of fiber in each intervention groups namely nutrition education, and sportsexercise groups; nutrition education and food sources of fiber groups; and nutrition education, sports, and food sources of fiber groups. There were significant differences in the physical activity of nutrition education and sport exercise groups and nutrition education, food source of fiber, and sport exercise groups. There was a significant difference in weight loss between the measurement time in each intervention groups namely nutrition education and sport exercise groups; nutrition education and food sources of fiber groups; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber groups. There was a significant difference in weight loss between the intervention groups, namely nutrition education and sports exercise groups; nutrition education and food sources of fiber groups; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber groups. There were significant differences in nutritional status (BMI/Age) between the measurement time in each intervention groups namely nutrition education and sport exercise groups; nutrition education and food sources of fiber groups; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber groups. There was a significant difference in nutritional status (BMI/Age) between intervention groups namely in nutrition education, and sport exercise groups; nutrition education and food sources of fiber groups; and nutrition education, sports exercise, and food sources of fiber groups. The Highest decreased of weight loss and BMI/Age were in the groups of nutrition education, food source of fiber, and sport exercise that showed the intervention of multicomponent were better than in group of nutrition education and physical activity; as well as nutrition education and food sources of fiber groups. In addition, the two of the largest weight loss and BMI/Age in the group that received intervention of nutrition education and physical activity was more influential in reduced body weight and BMI/Age compared with the intervention without physical activity or in nutrition education and food sources of fibre groups. There was a significant difference (p<0.05) in nutritional status (BMI/Age) between the measurement time in each intervention groups, namely group A and group C. There was a significant difference (p<0.05) in nutritional status (BMI/Age) between intervention groups namely group A, group B, and group C. Keywords: physical activity, intake of fibre, nutrition education, obese student
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PANGAN SUMBER SERAT DAN OLAHRAGA PADA SISWA OBES SDIT BOGOR YANG MENDAPAT INTERVENSI PENDIDIKAN GIZI TERHADAP STATUS GIZI
BESTI VERAWATI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes
Judul Tesis : Pengaruh Pangan Sumber Serat dan Olahraga pada Siswa Obes SDIT Bogor yang Mendapat Intervensi Pendidikan Gizi terhadap Status Gizi Nama : Besti Verawati NIM : I151130221
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS Ketua
Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 2 Juli 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Pangan Sumber Serat dan Olahraga pada Siswa Obes SDIT yang Mendapat Intervensi Pendidikan Gizi terhadap Status Gizi”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS dan Bapak Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran, serta senantiasa memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih kepada Ibu Dr Ir Ikeu Ekayanti, Mkes selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan beragam masukan dan saran konstruktif dalam penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Ayahanda Revni Alisman dan Ibunda Jasniwati yang telah mengantarkan penulis hingga ke jenjang Magister dengan segala kasih sayang, doa, dan motivasi yang diberikan, serta kepada kakakku tersayang (Irvan Anshori) dan adik-adikku tersayang (Sukri dan Syarifah), dan tak lupa pada sahabat terbaikku (Nopri Yanto) atas keceriaan dan motivasi yang diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada SEAFAST Center LPPM IPB. Ucapan terima kasih kepada tim peneliti yang bergabung dalam penelitian ini (Ai Kustiahni, S.Gz dan Lutfi Purwandani, S.Si), tim enumerator, kepala sekolah, guru, staf, dan siswa-siswa SDIT Aliya, SDIT Insan Kamil, SDIT Ummul Quro yang membantu penulisan dalam menyelesaikan penelitian. Ucapan terima kasih kepada teman-teman seangkatan (Mba Risti, Mba Sanya, Udin, Kak Dzul, Andi, Delita, Nova, Abon, Kak Hepti, Kak Anwar, Kak Mia, Angga, Nazjif, Debby, Lusi, Fani, Nining, Kak Oci, Mba Didi, Aim, Kak Susi, Mba Yeti, Mba Yuni, Mba Sari, Mba Temi, Hardi, Ika, Bebo, Kak Tiwi, Kak Rahma) atas bantuan dan motivasi yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015 Besti Verawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Obesitas pada Anak Faktor Keturunan atau Genetik Pendidikan Gizi Pangan Sumber Serat Aktivitas Fisik Status Gizi (Obesitas) pada Anak
4 4 5 6 6 8 10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
12
4 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Teknik Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pelaksanaan Intervensi Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
14 14 14 16 16 19 23
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaan Umum Sekolah Karakteristik Siswa Karakteristik Keluarga Pengetahuan Gizi Siswa Aktivitas Fisik Asupan Serat Asupan Energi dan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Status Gizi Siswa
24 24 25 29 32 38 41 44 46 51
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
54 54 55
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
68
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Hasil penelitian yang terkait dengan penelitian intervensi pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga Jenis dan cara pengumpulan data primer Jenis buah, ukuran, dan kandungan seratnya Formulasi snackbar berdasarkan bahan baku dan jumlah serat pangan Cara pengkategorian variabel penelitian Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan kelompok perlakuan Rata-rata pengetahuan gizi siswa antar kelompok perlakuan Sebaran siswa berdasarkan jawaban yang benar tentang pengetahuan gizi dan perlakuan (%) Rata-rata nilai pengetahuan gizi baseline dan endline diberikan penyuluhan gizi dan kelompok perlakuan Sebaran siswa berdasarkan tingkat aktivitas fisik dan kelompok perlakuan Rata-rata aktivitas fisik siswa berdasarkan kelompok perlakuan Sebaran siswa berdasarkan rata-rata konsumsi serat dan kelompok perlakuan Rata-rata asupan serat siswa berdasarkan kelompok perlakuan Rata-rata asupan, angka kecukupan energi dan kelompok perlakuan Sebaran siswa berdasarkan persentase rata-rata tingkat kecukupan energi, zat gizi dan kelompok perlakuan Sebaran persentase tingkat kecukupan energi dan protein siswa berdasarkan kelompok perlakuan Sebaran persentase tingkat kecukupan mineral dan vitamin siswa berdasarkan kelompok perlakuan Rata-rata berat badan siswa berdasarkan kelompok perlakuan Rata-rata IMT/U siswa berdasarkan kelompok perlakuan
11 16 17 18 21 27 31 34 34 35 37 38 39 41 42 44 47 48 50 51 52
DAFTAR GAMBAR 1 Skema kerangka pemikiran pengaruh pangan sumber serat dan olahraga pada siswa obes SDIT Bogor yang mendapat intervensi pendidikan gizi terhadap status gizi siswa obes 2 Skema Teknik penarikan sampel
13 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 3 4
Kontribusi golongan pangan terhadap asupan serat Hasil uji ANOVA varibel penelitian Hasil uji Paired Sample T-Tests variabel penelitian Dokumentasi Penelitian Ethical Clereance
64 64 65 66 66
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan melebihi 20% dari berat badan normal, yang ditandai dengan penimbunan lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang, pinggul, dan lengan atas (Kyriazis et al. 2012). Obesitas telah menjadi penyebab masalah kesehatan masyarakat secara global di dunia baik negara maju maupun negara berkembang, dengan pertumbuhan yang mengkhawatirkan dan berimplikasi pada kesehatan dalam jangka panjang (Ventura & Garst 2013). Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan WHO (2000) bahwa kejadian obesitas sudah merupakan suatu permasalahan kesehatan masyarakat secara global, sehingga kejadian obesitas sudah merupakan suatu masalah kesehatan yang harus segera ditangani. Berdasarkan Kemenkes (2010) obesitas menjadi masalah masyarakat, jika prevalensinya >5 %. Prevalensi kejadian obesitas di Indonesia pada anak-anak semakin meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Dimana kejadian obesitas lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Prevalensi obesitas pada tahun 2007 pada anak usia 6-14 tahun pada tingkat nasional yaitu pada anak lakilaki sebesar 9.5% dan anak perempuan sebesar 6.4% (Kemenkes 2007). Pada tahun 2010 prevalensi kejadian obesitas pada anak usia 6-12 tahun pada tingkat nasional yaitu pada anak laki-laki sebesar 10.7% dan anak perempuan sebesar 7.7% (Kemenkes 2010). Pada tahun 2013 prevalensi kejadian obesitas pada anak usia 5-12 tahun sebesar 18.8%, terdiri dari 10.8% gemuk dan 8% sangat gemuk (Kemenkes 2013). Jika ditinjau berdasarkan provinsi, prevalensi kegemukan pada anak di Jawa Barat masih tinggi atau merupakan masalah masyarakat yaitu tahun 2007 sebesar 12%, tahun 2010 sebesar 8.5%, dan tahun 2013 sebesar 18.6%. Berdasarkan tempat tinggal prevalensi obesitas pada anak yang tinggal di perkotaan jauh lebih tinggi daripada anak yang tinggal di daerah perdesaan. Pada tahun 2007 dan 2010 di perkotaan sebesar 17.7% dan 14.8% dan daerah perdesaan sebesar 10.4% dan 8.1%. Kota Bogor merupakan salah satu kota dengan prevalensi kejadian obesitas tertinggi pada anak usia 6-14 tahun yaitu pada anak laki-laki sebesar 15.3% dan anak perempuan sebesar 8.6% (Kemenkes 2007). Hasil penelitian terbaru menunjukkan prevalensi siswa sekolah dasar di Kota Bogor termasuk ke dalam gizi lebih sebesar 18.8% (Madanijah et al. 2013). Anak-anak yang mengalami obesitas pada masa kanak-kanak akan berisiko lebih tinggi yaitu 61-70% mengalami kejadian obesitas pada usia dewasa (Tarro et al. 2014). Secara khusus obesitas pada anak akan menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung koroner, dan penyakit degeneratif lainnya (Brown et al. 2011). Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Empat faktor tersebut adalah faktor perilaku atau gaya hidup, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetik. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang saling mempengaruhi kesehatan
2 perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Diantara faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan, karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. WHO (2010) dan Blum menyatakan bahwa penyebab utama overweight dan obese yaitu perilaku manusia atau gaya hidup dan genetik. Perilaku manusia atau gaya hidup terdiri dari pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik. Pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang dikonsumsi sehari oleh individu atau masyarakat yang meliputi jenis dan jumlah. Pola konsumsi masyarakat Indonesia sudah berubah kearah pangan cepat saji yang ditandai dengan tingginya permintaan fast food. Fast food merupakan makanan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol, serta rendahnya kandungan serat (Bowman et al. 2004). Pola konsumsi pangan yang sudah banyak berubah ke arah pangan yang lebih praktis dan tinggi lemak serta rendah serat merupakan salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak (Heird 2002). Berdasarkan Levy et al.(2012) sebesar 86% anak yang obes mengonsumsi fast food dan >80% tidak mengonsumsi buah dan sayur setiap hari. Hasil penelitian Jhonson (2008) menunjukkan bahwa rendahnya konsumsi serat berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Menurut Jahari dan Sumarno (2002), konsumsi serat penduduk Indonesia masih kurang dari yang dianjurkan (28-29 g/hari) yaitu hanya 10.5 g per hari. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2012), konsumsi serat anak di Pulau Jawa yang berusia 7 – 9 tahun memiliki rata-rata 5.7 g dan usia 10 – 12 tahun sebesar 6.02 g. Penelitian Madanijah et al. (2013) pada siswa sekolah dasar di kota Bogor menunjukkan bahwa sebesar 89.2% asupan serat siswa sekolah dasar masih kurang yaitu sebesar 14.31 + 13.98 g/kapita/hari. Gaya hidup (aktivitas fisik) yang rendah merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak. Tingkat aktivitas fisik yang rendah merupakan faktor yang penting dalam kenaikan berat badan. Kejadian obesitas muncul ketika asupan energi lebih tinggi dari pengeluaran energi (ketidakseimbangan energi positif) (Kyriazis et al. 2012). Asupan energi tinggi bila konsumsi makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi menjadi lebih rendah bila metabolisme dan aktivitas fisik rendah (IOTF 2004). Tingkat aktivitas fisik yang rendah pada anak dapat berhubungan langsung dengan lama waktu menonton televisi. Menurut Levy et al. (2012) anak usia 8-18 tahun yang obes >50% memiliki aktivitas fisik tingkat rendah yang ditandai dengan lamanya waktu untuk menonton TV yaitu rata-rata 4.5 jam perhari. Penyebab lain kejadian obesitas adalah faktor genetik. Faktor genetik merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Mann dan Truswell (2014) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki kelebihan berat badan atau memiliki status gizi lebih dapat diturunkan kepada anak sebesar 6084%. Pendidikan gizi merupakan salah satu faktor penentuan dari kualitas diet dan status gizi (Dunneram dan Jeewon 2013); pengetahuan gizi yang baik akan memperbaiki pola konsumsi seseorang yang selanjutnya akan memperbaiki status gizi seseorang.
3 Berdasarkan hasil penelitian Silveira et al. (2013) intervensi pendidikan gizi berbasis sekolah dapat memperbaiki pola konsumsi dan dapat menurunkan kejadian obesitas pada anak. Hal yang sama ditunjukkan oleh Struempler et al. (2014) bahwa intervensi pendidikan gizi dengan penekanan pada buah dan sayur serta penyicipan buah dan sayur setiap seminggu sekali dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur pada anak-anak. Sigmund et al. (2012) juga melakukan intervensi aktivitas fisik berbasis sekolah efektif dalam mengurangi obesitas dan kelebihan berat badan pada anak. Ventura dan Garst (2013) juga melakukan intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik lebih berdampak positif dalam memperbaiki konsumsi makan pada anak dan penurunan kejadian obesitas pada anak. Hasil meta analisis Evans et al. (2012) menunjukkan bahwa program intervensi berbasis sekolah multikomponen terbukti lebih baik daripada program intervensi hanya satu komponen saja. Hal yang sama ditunjukkan pada hasil penelitian Singhal et al. (2010) bahwa intervensi gizi multikomponen berhasil memperbaiki aspek pengetahuan, perilaku gizi, serta antropometri siswa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari pengaruh intervensi multikomponen yaitu pemberian pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga pada siswa obes Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Kota Bogor. Rumusan Masalah Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan melebihi 20% dari berat badan normal, yang ditandai dengan penimbunan lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang, pinggul, dan lengan atas (Kyriazis et al. 2012). WHO (2010) dan Blum menyatakan bahwa penyebab utama obese yaitu perilaku manusia atau gaya hidup dan genetik. Perilaku manusia atau gaya hidup terdiri dari pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik. Pola konsumsi pangan yang sudah banyak berubah ke arah pangan yang lebih praktis dan tinggi lemak serta rendah serat merupakan salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak (Heird 2002). Berdasarkan Levy et al.(2012) sebesar 86% anak yang obes mengonsumsi fast food dan >80% tidak mengonsumsi buah dan sayur setiap hari. Gaya hidup (aktivitas fisik) yang rendah merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak. Tingkat aktivitas fisik yang rendah merupakan faktor yang penting dalam kenaikan berat badan. Menurut Levy et al. (2012) anak usia 8-18 tahun yang obes >50% memiliki aktivitas fisik tingkat rendah yang ditandai dengan lamanya waktu untuk menonton TV yaitu rata-rata 4.5 jam perhari. Penyebab lain kejadian obesitas adalah faktor genetik. Faktor genetik merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Mann dan Truswell (2014) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki kelebihan berat badan atau memiliki status gizi lebih dapat diturunkan kepada anak sebesar 60-84%. Pendidikan gizi merupakan salah satu faktor penentuan dari kualitas diet dan status gizi (Dunneram dan Jeewon 2013), pengetahuan gizi yang baik akan memperbaiki pola konsumsi seseorang yang selanjutnya akan memperbaiki status gizi seseorang. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
4 1. Bagaimana pengetahuan gizi, aktivitas fisik, asupan serat, dan status gizi (IMT/U) siswa obes yang mendapatkan perlakuan multikomponen yang berbeda. 2. Bagaimana pengaruh intervensi multikomponen terhadap status gizi (IMT/U) siswa obes. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pangan sumber serat dan olahraga pada intervensi pendidikan gizi terhadap status gizi (IMT/U) siswa obes SDIT Kota Bogor. Tujuan Khusus 1. Menganalisis karakteristik siswa yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, usia, uang jajan, dan riwayat pemberian ASI. 2. Menganalisis karakteristik keluarga siswa yang meliputi pendidikan orang tua, besar keluarga, status gizi orang tua. 3. Menganalisis pengetahuan gizi, asupan serat, aktivitas fisik dan status gizi (BB dan IMT/U) siswa obes yang mendapatkan perlakuan intervensi multikomponen yang berbeda. 4. Menganalisis pengaruh olahraga dan pangan sumber serat terhadap status gizi (BB dan IMT/U) siswa obes Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan gambaran dan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya konsumsi pangan sumber serat dan olahraga untuk mencegah kejadian obesitas pada anak, usia remaja dan dewasa; memberikan informasi kepada orangtua yang memiliki siswa obes untuk mengubah perilaku gizinya dengan meningkatkan aktivitas fisik dan mengatur pola konsumsi anak sehingga dapat mengubah status obesitas pada anak; bagi Dinas Kesehatan diharapkan dapat menjadi masukan dalam menyusun program gizi yang berkaitan dengan penanggulangan masalah anak khususnya obesitas. Dengan mengetahui dan memahami pentingnya konsumsi pangan sumber serat dan olahraga diharapkan dapat menanggulangi masalah obesitas pada anak menjadi lebih baik.
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Obesitas pada Anak Berat badan pada saat lahir sangat berpengaruh pada berat badan anak kemudian. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas pada masa remaja atau dewasa (World Bank 2006). Bayi yang mengalami kekurangan zat gizi pada masa janin di dalam kandungan, akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi setelah lahir. Sebagian besar
5 anak akan banyak menyimpan lemak dan lebih efisien dalam penggunaan yang menyebabkan kelebihan berat badan pada anak (Parson et al. 2001). Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 25003800 g. Bayi dikatakan lahir dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) jika berat badannya kurang dari 2500 g. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti lain menyatakan bahwa, anak BBLR memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah BBLR dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan dan anak laki-laki (Oldroyd et al. 2010). Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol, padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi (Darmono 2006). Penelitian Bogen et al. (2004) menyebutkan bahwa pemberian ASI pada anak bisa menurunkan risiko obesitas pada anak. Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obese daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih bayak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang. Bedasarkan penelitian Tarro et al. (2014) kejadian obesitas pada anak berdasarkan IMT/U dan lingkar pinggang lebih tinggi pada kelompok laki-laki dibandingkan dengan kelompok perempuan dengan (p<0.01) Faktor Keturunan atau Genetik Parenteral fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar, bila kedua orang tua obes, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orangtua obes, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Faktor genetik merupakan salah satu yang menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar. Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami kegemukan sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%. Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Tak Force (IOTF) dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak bahwa orang tua yang gemuk akan menurun kepada anak sampai 80%.
6
Pendidikan Gizi Pendidikan gizi merupakan kombinasi dari berbagai bentuk strategi pendidikan, yang didukung lingkungan, didesain untuk memfasilitasi pemilihan makanan dan perilaku gizi untuk kesehatan dan kesejahteraan. Pendidikan gizi digunakan untuk menjembatani jika ada ketidakseimbangan antara keduanya (Contento 2011). Pendidikan gizi berperan penting saat ini dikarenakan faktor lingkungan yang menyediakan makanan tersedia luas, mudah dan lebih banyak yang densitas energinya tinggi serta aktivitas fisik rendah sehingga perlu upaya kognitif karena orang-orang sudah terbawa oleh gaya hidup modern. Perilaku anak-anak dalam belajar mengenai makanan tidak hanya dari pengalamannya langsung tetapi juga hasil mengamati dari perilaku teman sebaya dan orang dewasa termasuk orangtuanya (Contento 2011). Parenting practices atau praktik orangtua dalam mengenalkan makanan terhadap anak-anak akan mendorong anak untuk memilih makanan sehat ataupun sebaliknya. Contento (2011) menyatakan bahwa pendidikan gizi dipengaruhi oleh pendidikan, dimana individu yang memiliki pendidikan yang baik memiliki kemampuan lebih baik dalam menerima, memproses, menginterprestasikan dan menggunakan informasi, khususnya pengetahuan gizi, pada akhirnya berdampak pada pemilihan makanan yang sehat. Pendidikan gizi merupakan salah satu faktor penentuan dari kualitas diet dan status gizi (Dunneram dan Jeewon 2013); pengetahuan gizi yang buruk akan menyebabkan pola makan yang buruk pada kelompok masyarakat yang ditunjukkan dengan pola makan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol, terutama terhadap penawaran fastfood yang berdampak pada peningkatkan risiko obesitas (Heird 2002). Menurut Tarro et al. (2014) lingkungan sekolah merupakan tempat yang tepat untuk dilakukan intervensi gizi berfokus pada promosi gaya hidup sehat pada anak. Selain itu anak-anak sebagian besar menghabiskan waktu mereka di sekolah (Silveira et al. 2013). Berdasarkan hasil penelitian Silveira et al. (2013) intervensi pendidikan gizi berbasis sekolah dapat memperbaiki pola konsumsi dan dapat menurunkan kejadian obesitas pada anak. Hal yang sama ditunjukkan oleh Struempler et al. (2014) Intervensi pendidikan gizi dengan penekanan pada buah dan sayur serta penyicipan buah dan sayur setiap seminggu sekali dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur pada anak-anak. Pendidikan gizi anak mengenai makanan dan aktivitas fisik merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap kejadian kelebihan berat badan pada anak. Pendidikan gizi pada anak dapat diperoleh dari lingkungan tempat berada misalkan lingkungan rumah, pengaruh dari orang tua, dan lingkungan sekolah. Kecenderungan orang tua yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mempengaruhi pengetahuan gizi pada anak.
Pangan Sumber Serat Menurut Jahari dan Sumarno (2002), serat bukanlah zat yang dapat diserap oleh usus, namun perannya sangat penting dalam proses pencernaan. Serat membantu melancarkan pencernaan dan bahkan pada mereka yang menderita kelebihan asupan gizi, serat dapat mencegah atau mengurangi risiko kegemukan.
7 Bagi anak usia sekolah, serat juga penting karena akan memberikan dampak kesehatan pada masa dewasanya, guna mencegah penyakit degeneratif seperti, jantung koroner, diabetes mellitus, dan kanker usus besar. Diet tinggi serat dapat menjaga dari kanker usus dan penyakit usus lainnya. Kelompok vegetarian dan populasi diet rendah daging dan lemak serta tinggi sayur memiliki angka kanker usus yang rendah (Webb 2008). Menurut Whitney et al. (2011) makanan kaya serat memiliki manfaat untuk kesehatan. Makanan tersebut yaitu whole grains, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang menyumbang asupan vitamin dan mineral. Diet tinggi kacangkacangan, buah-buhan dan sayur dapat mencegah dari penyakit jantung dan stroke melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lemak darah dan mengurangi inflamasi. Konsumsi tinggi sayuran, buah, dan biji-bijian berhubungan dengan penambahan kecil pada IMT dan lingkar perut (Newby et al. 2003). Demikian halnya yang dinyatakan oleh Drapeau et al. (2004) bahwa konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan lingkar perut dan berat badan. Penelitian kohort menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan sayuran atau buah dengan risiko obesitas. Perempuan yang mengonsumsi buah lebih tinggi dapat menurunkan 25% risiko obesitas dibandingkan yang lebih rendah (OR=0.75). Perempuan dengan asupan sayuran lebih tinggi menurunkan 16% risiko obesitas dibandingkan dengan yang lebih rendah (OR=0.84). Penurunan asupan sayuran atau buah berhubungan dengan tingginya risiko peningkatan berat badan selama 12 tahun. Peningkatan asupan sayuran dan buah berhubungan nyata dengan rendahnya risiko obesitas pada perempuan. Konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al.2004). Epstein et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran dan buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran dan buah. Peningkatan konsumsi karbohidrat dan serat dapat meningkatkan rasa kenyang, menurunkan asupan energi, dan asupan lemak. Kontribusi utama dalam mengontrol berat badan adalah menurunkan asupan energi dan pembatasan diet. Peningkatan asupan serat 12 g/hari berhubungan dengan penurunan 0.63 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al.2003). Serat dapat membatasi asupan energi dengan cara rendahnya densitas energi, dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menggantikan kelebihan densitas energi dari diet dan mengurangi asupan lemak. Peningkatan konsumsi buah lebih baik untuk mengontrol berat badan daripada sayuran. Buah lebih mudah dimakan sebagai snack atau dessert, sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju. Buah lebih berperan dalam pengaturan berat badan dibandingkan dengan jus buah. Buah mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau et al. 2004). Makanan tinggi serat dan rendah lemak banyak dianjurkan untuk mengatur berat badan. Serat menyerap air dari saluran pencernaan, dan membuat rasa kenyang sehingga menurunkan asupan makanan dan menunda lapar. Sebuah penelitian pada remaja overweight menunjukkan bahwa pengurangan konsumsi serat 3 g/kkal/hari selama setahun berhubungan dengan peningkatan sebesar 21%
8 abdominal obesity dibandingkan dengan yang asupan seratnya tidak dikurangi. Sandvik et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa secara keseluruhan anak memiliki sikap positif terhadap asupan buah dan sayur. Aktivitas Fisik Menurut Almatsier (2009) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0.48 kali mengalami obesitas. Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana energy intake jauh lebih besar dibandingkan energy expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000). Berdasarkan Levy et al. (2012) bahwa perilaku makan dan aktivitas fisik dari anak-anak perlu diperbaiki. Sebesar 86% anak obes mengonsumsi makanan dan minuman yang manis sebagai makanan penutup setiap hari dan >80% anakanak obes tidak mengonsumsi buah dan sayur. Dampak ini akan menyebabkan peningkatan prevalensi obesitas pada anak-anak. Sebuah penelitian yang diadakan di Inggris oleh tim peneliti dari ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) yang meneliti anak sejak dalam kandungan hingga usia 7 tahun, menemukan kaitan antara menonton televisi dengan kejadian obesitas. Odds ratio kemungkinan menjadi obesitas meningkat linier dengan bertambahnya waktu menonton televisi. Anak yang menonton televisi 4 sampai 8 jam perminggu di usia 3 tahun, maka kemungkinan untuk menjadi obes (odds ratio) pada usia 7 tahun adalah 1.37 kali lebih besar. Secara keseluruhan anak yang menonton televisi lebih dari 8 jam seminggu memiliki kemungkinan menjadi obes 1.55 kali lebih besar dibandingkan anak yang menonton televisi kurang dari 8 jam perminggu (Reilly et al. 2005). Menonton televisi merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005). Aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam (Boyles 2005). Menurut Yayasan
9 Tidur Nasional, usia bayi dari satu hingga tiga tahun seharusnya tidur selama 1214 jam, anak TK berusia 3-5 tahun seharusnya tidur 11-13 jam, dan usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8.5-9.25 jam permalam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak (Boyles 2005). Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas.Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentari dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0.31 (sekitar 1.8%) indeks massa tubuh pada anak perempuan overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di sekolah sampai setidaknya 5 jam per minggu dapat mengurangi 9.8-5.6% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011). Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan „cukup‟ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Anak kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktivitas sebanyak 66.9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan Levy et al. (2012) bahwa perilaku makan dan aktivitas fisik dari anak-anak perlu diperbaiki. Pada anak usia 8-18 tahun menonnton TV rata-rata 4.5 jam perhari dan >50% tidak melakukan aktivitas fisik. Dampak ini akan menyebabkan peningkatan prevalensi obesitas apada anak-anak. Sigmund et al. (2012) juga melakukan intervensi aktivitas fisik berbasis sekolah efektif dalam mengurangi obesitas dan kelebihan berat badan pada anak.Ventura dan Grast (2013) juga melakukan intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik lebih berdampak positif dalam memperbaiki konsumsi makan pada anak dan penurunan kejadian obesitas pada anak.
10 Status Gizi (Obesitas) pada Anak Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui salah satunya dengan metode antropometri yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengukuran tumbuh (ukuran tubuh) dan pengukuran komposisi tubuh. Status gizi pada anak meliputi status gizi kurang, status gizi normal, dan status gizi lebih (obes). Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan melebihi 20% dari berat badan normal, yang ditandai dengan penimbunan lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang, pinggul, dan lengan atas (Kyriazis et al. 2012). Obesitas telah menjadi penyebab masalah kesehatan masyarakat secara global di dunia baik negara maju maupun negara berkembang, dengan pertumbuhan yang mengkhawatirkan dan berimplikasi pada kesehatan dalam jangka panjang (Ventura & Garst 2013). Menurut Thorpe et al. (2004), anak obes dalam jangka pendek akan terganggu secara psikologi seperti menurunnya rasa percaya diri, masalah makan, dan rendahnya kualitas kesehatan. Adapun dalam jangka panjang, anak obes berisiko mengalami hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung koroner, diabetes tipe 2, dan penyakit degeneratif lainnya (Brown et al. 2011). Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, yaitu gaya hidup (pola konsumsi dan aktivitas fisik) (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Kelebihan berat badan dan obesitas pada masa kanak-kanak merupakan penyebab utama kejadian obesitas pada masa remaja dan dewasa. Anak-anak yang mengalami obesitas pada masa kanak-kanak akan berisiko lebih tinggi yaitu 61-70% mengalami kejadian obesitas pada usia dewasa (Tarro et al. 2014). Salah satu pencegahan tejadinya obesitas adalah dengan merubah perilaku gaya hidup menjadi lebih sehat terutama pada pola konsumsi dan aktivitas fisik, karena pola konsumsi makan yang kurang baik dan rendahnya tingkat aktivitas fisik misalnya lebih banyak main game, menonton TV, kurang atau tidak berolahraga akan menyebabkan terjadinya peningkatan berat badan (Levy et al.2012). Menurut Webb (2008), prevalensi obesitas dapat dikurangi melalui peningkatan aktivitas fisik dan mengurangi asupan lemak. Promosi gizi harus dilakukan untuk mengubah perilaku ini dan untuk memberikan pengetahuan gizi (mengedukasi). Gizi, penyiapan makanan dan semua bentuk pendidikan fisik harus diberikan pada kurikulum sekolah. Aktivitas fisik anak-anak harus diubah (menonton TV dan komputer) dan harus difasilitasi serta didukung. Anak yang tidak aktif lebih banyak memiliki lemak daripada yang aktif. American Academy of Pediatrics menyarankan bahwa waktu menonton TV dan video untuk anakanak maksimum 2 jam/hari. Penanganan atau manajemen obesitas pada anak dapat dilakukan melalui pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, olahraga, dan modifikasi perilaku. Intervensi yang harus dilakukan harus melibatkan keluarga. Berikut merupakan ringkasan hasil penelitian yang terkait dengan variabel penelitian yang akan dilakukan (Tabel 1).
11 Tabel 1 Hasil penelitian yang terkait dengan penelitian intervensi pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga Peneliti Silveira et al. (2012)
Hasil Studi Intervensi pendidikan gizi yang diberikan di sekolah menghasilkan perubahan positif pada perbaikan pola konsumsi dan menurunkan IMT/U pada siswa obes.
Struempler et al. (2013)
Intervensi pendidikan gizi dengan penekanan pada buah dan sayur, serta penyicipan buah dan sayur setiap seminggu sekali dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur siwa
Sigmund et al. (2012)
Intervensi olahraga berbasis sekolah efektif dalam penurunan berat badan pada siswa obes
Ventuvan (2013)
Intervensi pendidikan gizi dan olahraga berdampak positif dalam memperbaiki konsumsi makan dan penurunan BB pada siswa obes
Evans et al. (2012)
Hasil meta analisis intervensi multikomponen terbukti lebih baik dalam penurunan BB pada siswa obes dari pada intervensi satu komponen saja
Singhal et al. (2010)
Intervensi multikomponen berhasil memperbaiki pengetahuan, perilaku gizi, dan antropometri
Schaefer et al. (2011)
Intervensi gaya hidup efektif melalui pendidikan gizi, aktivitas fisik, dan konseling yang berhasil menurunkan berat badan pada anak-anak gemuk
Friedrich et al.(2012)
Intervensi aktivitas fisik yang digabungkan dengan pendidikan gizi lebih berdampak positif terhadap penurunan IMT pada anak usia sekolah.
Du et al. (2010)
Konsumsi 10 g total serat/hari dapat mengurangi berat badan sebesar 39 g/tahun
Howart et al. (2001)
Peningkatan asupan serat sebanyak 14 g/hari dapat menurunkan berat badan sebanyak 1.9 kg selama 3.8 bulan
Anam et al. (2010)
Penelitian pada anak SD obes di Semarang melalui intervensi konseling dan olahraga selama 45 menit setiap 3x/minggu. Penurunan IMT yang dihasilkan sebesar 0.6 kg/m2.
Nişancı-Kılınç (2013)
Intervensi diet dan aktivitas fisik pada anak-anak obes di Turki juga menunjukkan adanya penurunan IMT.
aspek
12
3 KERANGKA PEMIKIRAN Banyak faktor yang mempengaruhi obesitas pada anak usia 9-13 tahun, baik langsung ataupun tidak langsung. WHO (2010) dan Blum menyatakan bahwa penyebab utama overweight dan obese yaitu perilaku manusia atau gaya hidup dan genetik. Perilaku manusia atau gaya hidup terdiri dari pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik. Pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang dikonsumsi sehari oleh individu atau masyarakat yang meliputi jenis dan jumlah. Pola konsumsi masyarakat Indonesia sudah berubah ke arah pangan cepat saji yang ditandai dengan tingginya permintaan fast food. Fast food merupakan makanan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol, serta rendahnya kandungan serat (Bowman et al. 2004). Pola konsumsi pangan yang sudah banyak berubah ke arah pangan yang lebih praktis dan tinggi lemak serta rendah serat merupakan salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak (Heird 2002). Berdasarkan Levy et al.(2012) sebesar 86% anak yang obes mengonsumsi fast food dan >80% tidak mengonsumsi buah dan sayur setiap hari. Gaya hidup (aktivitas fisik) yang rendah merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak. Tingkat aktivitas fisik yang rendah merupakan faktor yang penting dalam kenaikan berat badan. Kejadian obesitas muncul ketika asupan energi lebih tinggi dari pengeluaran energi (ketidakseimbangan energi positif) (Kyriazis et al. 2012). Asupan energi tinggi bila konsumsi makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi menjadi lebih rendah bila metabolisme dan aktivitas fisik rendah (IOTF 2004). Tingkat aktivitas fisik yang rendah pada anak dapat berhubungan langsung dengan lama waktu menonton televisi. Menurut Levy et al. (2012) anak usia 8-18 tahun yang obes >50% memiliki aktivitas fisik tingkat rendah yang ditandai dengan lamanya waktu untuk menonton TV yaitu rata-rata 4.5 jam perhari. Penyebab lain kejadian obesitas adalah faktor genetik. Faktor genetik merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Mann dan Truswell (2014) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki kelebihan berat badan atau memiliki status gizi lebih dapat diturunkan kepada anak sebesar 6084%. Pendidikan gizi merupakan salah satu faktor penentuan dari kualitas diet dan status gizi (Dunneram dan Jeewon 2013); pengetahuan gizi yang baik akan memperbaiki pola konsumsi seseorang yang selanjutnya akan memperbaiki status gizi seseorang. Faktor lain yang tidak langsung mempengaruhi kejadian obesitas pada anak yaitu karakteristik anak (berat badan lahir), riwayat ASI dimana berdasarkan world Bank (2000) menunjukkan bahwa, anak dengan berat badan lahir rendah, akan memiliki peluang yang lebih besar mengalami obesitas pada masa kanakkanak dan dewasa. Dan karakteristik keluarga (pendidikan orang tua dan pendapatan keluarga). Berdasarkan Kemenkes (2010) bahwa semakin tinggi pendapatan kepala rumah tangga, maka semakin tinggi kejadian prevalensi obesitas dan berdasarkan prevalensi obesitas, lebih tinggi di daerah perkotaan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
13
Karakteristik Orang Tua: Pendidikan Orang Tua Pendapatan Keluarga
Pengetahuan orang tua, Etnis, Agama dan Kebudayaan
Asupan Zat Gizi
Karakteristik Siswa: Berat Badan Lahir Jenis Kelamin
Riwayat Pemberian ASI
Status Gizi Obesitas
Pengetahuan Gizi
Intervensi Pangan Sumber Serat
Faktor Genetik: IMT Orang Tua
Intervensi Pendidikan Gizi
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Faktor lain: Kebiasaan merokok, konsumsi obat, hormon
Aktivitas fisik
Intervensi Olahraga
Hubungan yang dianalisis Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran pengaruh pangan sumber serat dan olahraga pada siswa obes SDIT Bogor yang mendapat intervensi pendidikan gizi terhadap status gizi
14
4 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah Quasi Experimental. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT) Lintas Fakultas IPB (Madanijah et al 2014), dengan judul “Intervensi Pangan Sumber Serat dan Pendidikan Gizi pada Anak Gizi Lebih di Kota Bogor”. Desain kuasi eksperimental adalah suatu desain eksperimental dimana unit perlakuannya tidak diacak (Shadish et al. 2002). Pengacakan perlakuan pada sampel tidak dapat dilakukan karena pelaksanaan intervensi memerlukan persetujuan dan pernyataan keikutsertaan sampel. Selain itu, sampel merupakan siswa SD yang sama, sehingga akan sulit untuk menghindari kontaminasi antar kelompok. Tetapi kelompok perlakuan dapat diacak. Maka terpilih kelompok A diberi pendidikan gizi dan olahraga (PG + O), kelompok B diberi pendidikan gizi dan pangan sumber serat (PG + PS), dan kelompok C diberi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat (PG + O + PS). Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kota Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai Februari 2015. Teknik Penarikan Sampel Jumlah sampel adalah 84 siswa obes yang terdiri dari 28 siswa obes pada kelompok A, 28 siswa obes pada kelompok B, dan 28 siswa obes pada kelompok C. Adapun kriteria inklusi dari sampel yaitu siswa kelas V dan VI, memiliki status gizi obes, memiliki status ekonomi keluarga menengah ke atas, tidak menderita penyakit kronis, sehat secara fisik, tidak mengonsumsi obat diet, tidak menjadi sampel pada penelitian lain dan bersedia untuk dijadikan sampel penelitian. Jumlah sampel minimal dihitung menggunakan rumus Sastroasmoro dan Ismael (2008) dengan asumsi bahwa nilai α = 5% (Zα =1,96), kekuatan uji = 80% (Zβ = 0,84), standar deviasi status gizi IMT/U (standar deviasi= 0.34) dan selisih penurunan rata-rata IMT/U yang diinginkan akibat intervensi yang diberikan (∆= 0.27) berdasarkan penelitian Schaefer A (2011). Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: [2𝑥 sd (𝑍𝛼 + 𝑍𝛽) ] ∆ [ 𝑥 342 ( 96: 84)2 ] 𝑛> = 25 72
𝑛>
Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak n= 25 orang, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya drop out, maka responden ditambahkan agar besar responden minimal tetap terpenuhi. Pehitungan pertambahan antisipasi drop out menggunakan rumus Sastroasmoro dan Ismael (2008) dengan besar responden (n) 25, perkiraan proporsi drop out (f) sebesar 10%, maka perhitungan responden adalah sebagai berikut. 5 n‟ = ; →n‟ = ; =28
15 Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah responden yang direkrut dalam penelitian ini adalah 28 siswa setiap kelompok perlakuan, sehingga total sampel pada tiga kelompok perlakuan berjumlah 84 orang. Berikut tahapan pemilihan sampel penelitian: 1. Pemilihan Kota Bogor dilakukan secara purposive dengan pertimbangan tingginya prevalensi kejadian obesitas pada anak sekolah dasar di kota bogor yaitu sebesar 18,8% (Madanijah et al 2013) dan prevalensi kejadian obesitas pada anak usia 6-14 tahun di Kota Bogor sebesar 23.9%, yaitu pada anak laki-laki sebesar 15.3% dan anak perempuan sebesar 8.6% (Kemenkes 2007). 2. Pemilihan 3 SDIT di Kota Bogor dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa sekolah swasta yang rata-rata muridnya dari keluarga ekonomi menengah ke atas, peluang memperoleh siswa obesitas cukup tinggi, kemudahan akses ke lokasi dan belum bayak penelitian dengan pemberian perlakuaan penyuluhan gizi, pangan sumber serat dan olahraga pada siswa sekolah dasar yang mengalami obesitas di Kota Bogor. Pemilihan perlakuan pada tiga sekolah yang dijadikan sampel dilakukan secara simple random sampling. 3. Sampel penelitian adalah siswa kelas V dan VI dari SD IT yang terpilih. Pemilihan sampel secara purposive dengan asumsi siswa sudah dapat diajak berkomunikasi dengan baik, mengerti dengan pertanyaanpertanyaan yang diajukan di dalam kuesioner, dan mampu mengisi kuesioner dengan baik. 4. Memilih 28 siswa sebagai sampel penelitian pada masing-masing SD IT. Secara sederhana tahapan pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 2 . Siswa kelas 5 dan 6 dari 3 SDIT Kota Bogor
SDIT Aliya (A)
SDIT Insan kamil (B) (B)
SDIT Ummul Quro (C) (C)
84 siswa memenuhi kriteria dan bersedia mengikuti penelitian (masing-masing terdiri dari 28 siswa persekolah)
PG+O (A): 28 siswa
PG+PSS (B): 28 siswa Gambar 2 Skema teknik penarikan sampel
PG+PSS+O (C): 28 siswa
16 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dalam tiga kali periode yaitu sebelum intervensi (baseline), setelah intervensi (endline), dan data keberlanjutan (sustainability) dari program intervensi yang diberikan yang diukur 2 bulan setelah intervensi. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik keluarga, karakteristik siswa, berat badan lahir, riwayat ASI, antropometri, faktor genetik, tingkat pengetahuan siswa, aktivitas fisik siswa dan konsumsi pangan siswa. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah. Secara keseluruhan jenis variabel dan data primer yang dikumpulkan dapat dilihat dari Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data primer No 1 2 3 4 5 6 7
8 9
Variabel
Sub Variabel
Karakteristik keluarga Karakterisktik siswa Riwayat pemberian ASI Berat Badan lahir Faktor Genetik
Pendidikan orang tua, pendapatan keluarga Jenis kelamin, usia
Pengetahuan siswa Aktivitas fisik
Pengetahuan gizi siswa
Konsumsi Pangan Antropometri siswa
Riwayat pemberian ASI Berat badan lahir BB dan TB orang tua
Aktivitas fisik 2x24 jam (hari libur dan hari sekolah) Konsumsi makanan 2x24 jam Berat badan (BB), Tinggi badan (BB)
Cara Pengumpulan Wawancara, kuesioner Wawancara, kuesioner Wawancara, kuesioner Wawancara, kuesioner Timbangan injak dan Microtois Wawancara, kuesioner Recall aktivitas fisik 2x24 jam Recall konsumsi pangan 2x24 jam Timbangan injak, Microtois
Pre
Post
√
√
√
√
Sus
√ √ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Pelaksanaan Intervensi Intervensi dilakukan selama 8 minggu (2 bulan). Berdasarkan Bogart et al.(2013) bahwa intervensi pendidikan gizi dan pemberian sayur dan buah selama 5 minggu dapat merubah kebiasan pola konsumsi yang baik dan dapat mencegah penurunan kejadian obesitas pada anak. Proses intervensi yaitu sebagai berikut: 1. Intervensi Pendidikan Gizi Tujuan Tujuan dilakukan intrvensi pendidikan gizi adalah meningkatkan pengetahuan siswa tentang 1) pentingnya gizi dan aktivitas fisik serta peranannya untuk kesehatan dan prestasi, 2) pedoman gizi seimbang, 3) pentingnya konsumsi sayur dan buah, 4) pentingnya sarapan, 5) pentingnya konsumsi kacang-kacangan, 6) fast food dan soft drink, 7) cemilan, dan 8) pentingnya jajanan sehat dan bekal sehat.
17 Sasaran Sasaran pendidikan gizi adalah siswa kelas 5 dan 6 dari SDIT Aliya, SDIT Insan Kamil, SDIT Ummul Quro. Materi Materi yang diberikan meliputi 8 aspek yaitu 1) pentingnya gizi dan aktivitas fisik serta peranannya untuk kesehatan dan prestasi, 2) pedoman gizi seimbang, 3) pentingnya konsumsi sayur dan buah, 4) pentingnya sarapan, 5) pentingnya konsumsi kacang-kacangan, 6) fast food dan soft drink, 7) cemilan, dan 8) pentingnya jajanan sehat dan bekal sehat, serta setiap minggunya menekankan pada aktivitas fisik, konsumsi buah dan sayur. Pemberi Materi Materi pendidikan gizi diberikan 30 menit sebanyak delapan kali selama delapan minggu, yaitu satu kali perminggu oleh peneliti. Metode dan Teknik Metode yang digunakan dalam pendidikan gizi adalah metode kelompok dengan tatap muka secara langsung di kelas. Teknik yang digunakan adalah ceramah dan diskusi. Ceramah berupa penyampaian materi yang disampaikan selama 15-20 menit. Di akhir sesi, dilakukan diskusi tanya jawab. Media Media pendidikan gizi yang digunakan adalah poster, video dan power point. 2. Intervensi Pangan Sumber Serat Tujuan Tujuan dilakukan intrvensi pangan sumber serat adalah meningkatkan asupan serat siswa Sasaran Sasaran pemberian pangan sumber serat adalah siswa kelas 5 dan 6 dari SDIT Aliya, SDIT Insan Kamil, SDIT Ummul Quro. Jenis Pangan Sumber Serat Pangan sumber serat yang diberikan berupa buah-buahan dan kudapan atau snack berbentuk bar. Kandungan serat dari pangan sumber serat yang diberikan berkisar 2.5-5 g/hari. Dasar penentuan pemberian kandungan serat adalah pemenuhan atau kontribusi dari selingan yaitu 15-20% dari kebutuhan sehari perindividu. Nama-nama buah yang diberikan beserta ukuran dan kandungan seratnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis buah, ukuran, dan kandungan seratnya No
Nama Buah
Berat yang diberikan (g) 156
Kandungan serat 2.50
1
Pisang ambon
2
Pepaya
150
4.86
3
Jambu biji
100
6.00
4
Melon
150
2.76
5
Apel
187
2.46
6
Jeruk + Semangka
150
2.38
7
Mangga
150
4.45
8
Pir
150
5.49
18 Formulasi produk snackbar menggunakan bahan tepung kacang kedelai, tepung maizena, oatmeal instan dan selai stroberi sebagai komposisi utama. Komposisi lainnya dari produk ini meliputi susu bubuk full cream, telur, minyak, kacang cacah dan kismis (Madanijah et al.2014). Produk ini dapat diklaim sebagai snackbar sumber serat. Berdasarkan perhitungan serat pangan secara teoritis, produk ini memiliki kadar serat pangan sebesar 3,41-4,53 g per sajiannya. Nilai serat pangan ini dapat dihitung secara teoritis karena serat pangan tidak rusak karena proses fisik (Kusnandar 2010), sehingga dapat diasumsikan serat pangan dari bahan-bahan yang digunakan tidak berkurang selama proses pengolahan. Formulasi snackbar dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Formulasi snackbar berdasarkan bahan baku dan jumlah serat pangan Bahan baku
Jumlah bahan (g) Tepung Kedelai 1000 Tepung Maizena 1000 Oat 1000 Susu bubuk 400 Selai stroberi 1400 Telur 600 Minyak nabati 300 Kacang cacah 100 Kismis 100 Total serat pangan per 133 g Total serat pangan per produk
Jumlah serat pangan per 100 g 5,50 0,00 28,57 17.50 2.0 0.00 0.00 5.00 9.50
Jumlah serat pangan bahan (g) 55.00 0.00 285.70 70.00 28.00 0.00 0.00 5.00 9.50 453.20 3,41
Pemberian Pangan Sumber Serat Pemberian pangan sumber serat berupa buah-buahan (bulan pertama) dan snackbar (bulan kedua), diberikan setiap hari sekolah yaitu 5 kali/minggu Teknik Teknik pemberian pangan sumber serat yaitu diberikan secara langsung pada siswa pada saat istirahat siang. 3. Intervensi Olahraga Tujuan Tujuan dilakukan intervensi olahraga adalah meningkatkan aktivitas fisik siswa Sasaran Sasaran intervensi olahraga adalah siswa kelas 5 dan 6 dari SDIT Aliya, SDIT Insan Kamil, SDIT Ummul Quro. Jenis Olahraga (permainan) Kegiatan intervensi olahraga di sekolah berupa permainan meliputi permainan sepak bola, handball, aerobik, skipping, permainan tradisional “galah”, dan lain-lain dengan bantuan guru olahraga dan tim peneliti yang terlatih. Pelatih Pemberi materi adalah instruktur olahraga, tim peneliti yang terlatih, dan guru olahraga Metode dan Teknik
19 Metode yang digunakan dalam olahraga adalah melakukan pergerakan secara langsung di lapangan. Teknik yang digunakan adalah instruksi oleh pelatih dan melakukan gerakan oleh pelatih yang diikuti oleh sampel selama 30 menit. Media Media yang digunakan adalah alat-alat olahraga dan video. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning dan selanjutnya dianalisis. Coding dilakukan dengan cara menyusun code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data. Selanjutnya dilakukan entri data sesuai dengan kode yang telah dibuat kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Data diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell versi 2013 dan Statistical Programe for Social Sciencis (SPSS) versi 21.0. Data karakteristik keluarga, karakteristik siswa, berat badan lahir, riwayat ASI, faktor genetik, tingkat pengetahuan siswa, aktivitas fisik siswa, asupan serat, asupan energi dan zat gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta densitas asupan zat gizi siswa ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Data status gizi siswa diperoleh dengan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Data status gizi orang tua diperoleh dengan menggunakan indeks massa tubuh. Kuesioner pengetahuan gizi terdiri dari 20 pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Setiap jawaban yang benar diberi nilai 1, jawaban nilai yang salah diberi nilai 0 sehingga nilai maksimum dan minimum yang dapat diperoleh adalah 20 dan 0 dan kemudian dikonversi menjadi 100 dan 0. Selanjutnya pengetahuan masing-masing dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (persentase jawaban benar <60%), sedang (persentase jawaban benar 60-80%), dan baik (persentase jawaban >80%) (Khomsan 2000). Pengukuran tingkat aktivitas fisik dilakukan berdasarkan FAO/WHO/UNU (2004) dengan rumus sebagai berikut: PAL =
∑(
) 4
Keterangan: PAL = Physical Activity Level (Tingkat aktivitas fisik) PAR = Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) Data konsumsi secara kuantitatif dihitung menggunakan metode recall, yaitu dengan menghitung jumlah dan jenis pangan aktual yang dikonsumsi pada hari libur dan hari sekolah selama 2 x 24 jam. Data konsumsi pangan yang diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam bentuk energi, protein, kalsium (Ca), zat besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (2013). Konversi zat gizi dihitung menggunakan rumus berikut:
20 KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan: KGij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan pangan-j yang dikonsumsi (g) Bj = Berat bahan makanan j yang dikonsumsi (g) Gij = Kandungan zat gizi-i dalam 100 g bahan makanan-j BDDj = Persen bahan makanan j yang dapat dimakan Perhitungan kecukupan energi dan protein rumah tangga pada penelitian ini didasarkan pada Institute of Medicine (IOM) tahun 2005. Kecukupan energi masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin yang berbeda dihitung menggunakan rumus Total Energy Expenditure (TEE) berdasarkan Kecukupan energi. 1. Laki-laki 9-18 tahun dengan status dengan status gizi Obese dan Overweight Kecukupan Enerrgi = TEE + 0.1 TEE TEE = [114-(50.9xU) + PA x (19.5xBB+1161.4xTB)] + 25 kkal 2. Perempuan 9-18 tahun dengan status dengan status gizi Obese dan Overweight Kecukupan Enerrgi = TEE + 0.1 TEE TEE = [389-(41.2xU) + PA x (15xBB+701.6xTB)] + 25 kkal Keterangan: PA= 1.0 (sangat ringan), PA = 1.12 (ringan) PA= 1.24 (aktif) PA= 1.45 (sangat aktif) U= Umur (tahun), BB= Berat badan (kg), TB= Tinggi badan (m) TEE= Total Energy Expenditure –total pengeluaran energi, (Kal) PA= Koefisien aktivitas fisik Kecukupan protein dihitung berdasarkan angka kecukupan protein menurut WNPG 2012 (LIPI 2013) dan IOM (2005). Perhitungan kecukupan protein disesuaikan dengan berat badan masing-masing individu serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein, perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut: Kecukupan protein = (AKP x BB) x faktor koreksi mutu protein Keterangan : AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari) BB = Berat badan aktual (kg) Faktor koreksi mutu protein untuk anak = 1.5
21 Angka kecukupan vitamin dan mineral meliputi vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi dihitung berdasarkan AKG 2012 (LIPI 2013) menggunakan rumus berikut ini: AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan : AKGI = Angka kecukupan zat gizi yang dicari Ba = Berat badan aktual sehat (kg) Bs = Berat badan standar berdasarkan AKG AKG = Angka kecukupan zat gizi berdasarkan AKG 2012 Selanjutnya tingkat kecukupan gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya sesuai dengan kelompok umur dan jenis kelamin (WNPG 2012). Berikut rumus kecukupan zat gizi yang digunakan: TKG =
x 100%
Keterangan : TKG = Tingkat kecukupan gizi Pengkategorian variabel penelitian secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Cara pengkategorian variabel penelitian No Variabel 1. Karakteristik Keluarga Pendidikan orang tua (Kemenkes 2010)
2
Pendapatan keluarga
3
Karakteristik Anak Usia (Kemenkes 2013)
3
Indikator (kategori pengukuran) 0). Tidak sekolah, 1).Tamat SD atau sederajat, 2). Tamat SMP atau sederajat, 3). Tamat SMA atau sederajat, 4). Tamat PT
Berdasarkan sebaran data 1).5-12 th, 2).13-15 th, 3). 16-18 tahun
Jenis Kelamin
1). Laki-laki 2). Perempuan
Berat badan lahir (Kemenkes 2013)
1). <2500 g 2). 2500-3999 g 3). ≥4000 g
22 Tabel 5 Cara pengkategorian variabel penelitian (lanjutan) No Variabel 4 Riwayat Pemberian ASI Eksklusif (Kemenkes 3013) 5 Pengetahuan Gizi Anak (Khomsan 2000) 6
Faktor Genetik IMT Orang Tua (Kemenkes 2013)
Indikator (kategori pengukuran) 1. < 6 bulan 2. ≥ 6 bulan 1).Rendah (<60%) 2). Sedang (60-80%) 3) Baik (>80%) 1). kurus IMT < 18,5, 2). Kategori normal IMT ≥18,5-<24,9 3). Kategori BB lebih IMT ≥25-<27,0 4). Kategori obesitas IMT ≥27,0
7
Tingkat Aktivitas Fisik FAO/WHO/UNU (2001)
1. aktivitas ringan (1.40 ≤ PAL≤ 1.69), 2. aktivitas sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99), 3. aktivitas berat (2.00 ≤ PAL ≤ 2.39)
8
Status Gizi Anak (Kemenkes 2013)
1. 2. 3. 4. 5.
11
Konsumsi Energi dan protein (Hardinsyah et al. 2002)
sangat kurus: Zscore< -3,0, kurus : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0, normal : Zscore≥-2,0 s/d ≤1,0, gemuk : Zscore> 1,0 s/d ≤ 2,0 dan obesitas : Zscore> 2,0
1). Defisit berat : < 70 % AKG 2). Defisit sedang : 70-79 % AKG 3). Difisit ringan : 80-89 % AKG 4). Normal : 90-119 % AKG 5). Lebih : ≥ 120% AKG
Vitamin dan mineral (Gibson 2005)
1). Kurang : <77% AKG 2). Cukup : =77% AKG
Asupan Serat (NNRs, Ruottinen et al. 2010 )
1) Cukup ≥ 10 g 2) Kurang <10 g
Analisis Data Uji statistika yang digunakan yaitu 1. Uji paired sample t-test untuk menganalisis perbedaan variabel (aktivitas fisik, asupan serat, asupan energi dan zat gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi) sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan. 2. Uji beda ANOVA untuk menganalisis perbedaan variabel (pengetahuan, aktivitas fisik, asupan serat, asupan energi dan zat gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta densitas asupan zat gizi) sebelum dan sesudah intervensi antara ke tiga kelompok perlakuan
23
Definisi Operasional Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yang berdasarkan standar WHO 2007, memiliki nilai z-skor untuk IMT menurut umur +1 SD < Z < +2 SD. Sampel adalah anak sekolah dasar kelas 5 dan 6 yang diperoleh secara purposive dari SD IT yang ada di Kota Bogor Usia sampel adalah umur anak yang dinyatakan dengan umur penuh dalam satuan tahun, berdasarkan catatan kelahiran Berat Badan Lahir adalah hasil pengukuran berat badan dengan menggunakan timbangan digital pada saat lahir yang diperoleh dari ibu sampel. Berat Badan kini adalah pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak pada saat sebelum, sesudah, dan sustainability Tinggi Badan adalah pengukuran tinggi badan dengan menggunakn microtoise pada saat sebelum, sesudah, dan sustainability Riwayat pemberian ASI adalah lamanya pemberian ASI saja kepada anak tanpa tambahan makanan atau minuman lain Pendidikan orang tua adalah tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh orang tua dan dikategorikan menjadi tidak pernah sekolah, tamat SD atau sederajat, tamat SMP atau sederajat, tamat SMA atau sederajat, dan tamat akademi atau perguruan tinggi. Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan perbulan yang dihasilkan dari pendapatan kepala keluarga dan anggota keluarga lain. Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh yang dikategorikan menjadi tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat Perguruan Tinggi. IMT orang tua adalah diperoleh dari pengukuran BB dan TB Konsumsi buah dan sayur adalah kebiasaan makan buah dan sayur pada anak yang dinilai berdasarkan frekuensi selama satu minggu. Anak dikatakan kurang konsumsi sayur dan buah adalah anak yang mengonsumsi buah dan sayur kurang dari 4 porsi selama 7 kali dalam seminggu Aktivitas fisik merupakan jenis kegiatan fisik anak (tidur; menonton televisi, bermain game, dan internet; dan bermain di luar rumah) yang dilakukan bersamaan dengan hari pencatatan konsumsi makan selama 2x24 jam hari sekolah dan hari libur. Tingkat aktivitas fisik adalah tingkatan aktivitas fisik yang diukur dari Physical Activity Ratio (PAR)yang dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan berat Asupan zat gizi adalah rata-rata konsumsi setiap jenis pangan perhari yang dinyatakan dalam satuan berat (g) dan ukuran rumah tangga, yang diperoleh dari hasil recall 2x24 jam pada hari libur dan hari sekolah.
24
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Aliya SDIT Aliya merupakan salah satu sekolah yang menjadi tempat penelitian untuk kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga. SDIT Aliya terletak di Jalan Gardu Raya, Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat. SDIT Aliya didirikan pada tahun 2001. SDIT Aliya memiliki visi yaitu Menjadi sekolah Islam unggulan berlandaskan Al Qur‟an dan Hadist yang menghasilkan generasi cerdas, kompeten dan bertaqwa dan memilki misi yaitu melaksanakan dan mengembangkan pendidikan Islami berlandaskan Al Quran dan Hadist; Menyelenggarakan kegiatan belajar terpadu yang menyenangkan, mampu menstimulasi kecerdasan intelektual, emosional, fisik, sosial, dan spiritual dengan pendekatan belajar aktif kolaboratif sesuai perkembangan anak; Menghasilkan lulusan berkualitas baik, berakhlaq islami dan berdaya saing kuat; Melaksanakan pengelolaan sekolah yang amanah, berkualitas baik, efektif dan efisien; Mengembangkan keunggulan dalam mencapai standar-standar pendidikan nasional; Membina kemitraan positif dan produktif dengan orangtua dan masyarakat dalam rangka mencapai visi dan misi sekolah. SDIT Aliya dikepalai oleh seorang kepala sekolah. Jumlah guru di SDIT Aliya sebanyak 53 orang terdiri dari 27 laki-laki dan 26 perempuan. Jumlah siswa di SDIT Aliya sebanyak 579 siswa. Kelas 1 sampai kelas 6 masing-masing terdiri dari 4 kelas. Sarana yang dimiliki SDIT Aliya ini cukup lengkap yaitu 24 ruang kelas, 1 ruang perpustakaan, 1 laboratorium IPA, 1 ruang pimpinan, 1 ruang guru, 1 mesjid, 9 ruang koridor, 1 lapangan olahraga, dan 2 ruang audio. Selain itu, terdapat ruangan penunjang seperti dapur, kamar mandi, mushola, tempat wudhu, dan kantin. SDIT Aliya memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler yaitu futsal, karate, renang, bulu tangkis, drama, jurnalistik, klub sains, kepanduan, angklung, biola, melukis, tilawah qur‟an, klub Bahasa Inggris, dan klub Matematika. SDIT Aliya mempunyai 3 gedung utama yang di setiap gedung terdiri dari 3 lantai. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Insan Kamil SDIT Insan Kamil merupakan salah satu sekolah yang menjadi tempat penelitian untuk kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat. Sekolah Dasar (SD) Insan Kamil beralamat di Jalan Raya Dramaga Km. 6 Bogor. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1986. SD Insan Kamil memiliki 2 gedung sekolah, yaitu Gedung A dan Gedung B. Gedung B ditempati oleh siswa kelas 1 SD sampai kelas 4 SD, sedangkan Gedung A ditempati oleh siswa kelas 5 dan 6 SD. SDIT Insan Kamil memiliki visi “dengan berlandaskan ibadah, syari‟at dan akhlaqul karimah SDIT Insan Kamil unggul dalam berprestasi, dengan misi “mendidik muri-murid agar menghayati dan mengamalkan bahwa hidup adalah ibadah, belajar dalam ibadah, dan berprestasi adalah ibadah”. SDIT Insan Kamil dikepalai oleh seorang kepala sekolah. Jumlah guru sekolah sebanyak 77 orang. Tingkat pendidikan guru diantaranya 52 orang sarjana dan 25 orang lainnya diploma. Jumlah staf tata usaha sekolah 5 orang. Jumlah murid sebanyak 1181 orang yang terdiri 662 laki-laki dan 519 perempuan. Kelas
25 1 sampai kelas 5 masing-masing terdiri dari 7 kelas, dan kelas 6 terdiri dari 8 kelas. Sarana yang dimiliki sekolah yaitu sarana pendidikan (2 gedung masingmasing 3 lantai), sarana ibadah (mesjid dan musholla), sarana penunjang (Lab. Komputer, ruang serbaguna, aula, perpustakaan, dan Lab.IPA), sarana olah raga (lapangan futsal, tenis meja, senam dan tae kwon do, lapangan bulutangkis dan volly, lapangan basket, dan UKS), dan sarana kebersihan (saniter dengan 20 kamar mandi, WC keramik putih), air PDAM, dan lapangan parkir luas. Kantin yang dimiliki sebanyak 3 kantin, 1 kantin di Gedung A dan 2 kantin di Gedung B. Ekstrakurikuler yang ada di sekolah adalah baca Al-Qur,an, english course, jarimatika, klub sains, klub olimpiade matematika, biola, seni lukis, komputer, robotics, futsal, tae kwon do, dan karate. Tiap ekstrakurikuler memiliki jadwal kegiatan masing-masing, jam kegiatan biasa dilakukan endline jam sekolah berakhir. Setiap murid diwajibkan mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Umul Quro SDIT Ummul Quro merupakan salah satu sekolah yang menjadi tempat penelitian untuk kelompok intervensi pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. SDIT Ummul Quro beralamat di Jl. Baru Salabenda, Parakan Jaya, Bogor, Jawa Barat. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1996. SDIT Ummul Quro memiliki visi “terbentuknya lembaga pendidikan, da‟wah, sosial Islam bagi terwujudnya generasi qurani”, dengan misi “membentuk lembaga pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Umum dan Perguruan Tinggi yang menerapkan Konsep Pendidikan Islam Terpadu; Membentuk Lembaga Da‟wah dengan mengoptimalkan Masjid sebagai pusat kegiatan ke Islaman di berbagai sektor kehidupan; Membentuk Lembaga Sosial yang secara aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat”. SDIT Ummul Quro dikepalai oleh seorang kepala sekolah. Jumlah guru sekolah sebanyak 57 orang. Jumlah murid sebanyak 554 orang; kelas 1 sampai kelas 6 masing-masing terdiri dari 4 kelas. Sarana yang dimiliki sekolah yaitu Gedung 3 lantai, ruang kelas nyaman dan ber AC, laboratorium komputer multimedia, laboratorium MIPA, alat peraga pembelajaran, pelayanan antar jemput siswa, pelayanan catering, perpustakaan, mading sekolah, kantin sekolah, ruang makan, klinik kesehatan, masjid, sarana out bound dan kebun percontohan, area parker, lapangan olahraga. Ekstrakurikuler yang ada di sekolah adalah klub Bahasa Inggris, karya ilmiah anak, keterampilan (jurnalistik, dokter kecil), olahraga (basket, futsal), seni (teater, bina vokalia islami, musik, menggambar, melukis, bengkel kreatif/kerajinan tangan). Karakteristik Siswa Karakteristik sampel anak usia sekolah yang menjadi sampel pada penelitian ini (selanjutnya disebut siswa) dianalisis berdasarkan kelompok perlakuan. Jumlah siswa pada penelitian ini adalah 84 siswa kelas lima dan enam dari tiga Sekolah Dasar, yaitu 28 siswa SD IT Aliya sebagai kelompok perlakuan
26 pendidikan gizi dan olahraga, 28 siswa SD IT Insan Kamil sebagai kelompok perlakuan pendidikan gizi dan pangan sumber serat, 28 siswa SD IT Ummul Quro sebagai kelompok perlakuan pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Sebagian besar siswa baik pada kelompok A, kelompok B, dan kelompok C berjenis kelamin laki-laki yaitu (57.1%), (67.9%), dan (71.4%). Berdasarkan uji beda Kruskal Wallis tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) jenis kelamin siswa antar kelompok perlakuan (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan data Riset Kesehatan Dasar (2010) bahwa kejadian gizi lebih pada anak usia sekolah dasar lebih banyak pada anak laki-laki (10.7%) daripada anak perempuan (7.7%). Data Kemenkes (2007) juga menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak usia sekolah dasar di Bogor lebih besar pada anak laki-laki (15.3%) daripada anak perempuan (8.6%). Menurut Karimah (2014), tingginya prevalensi kegemukan pada anak laki-laki disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki lebih lambat daripada anak perempuan. Anak perempuan sudah mulai pubertas pada akhir masa anak-anak. Hal ini menyebabkan perempuan mulai memperhatikan penampilan dan cenderung mengatur pola makannya dibandingkan laki-laki. Rata-rata berat badan lahir siswa pada masing-masing kelompok perlakuan, kelompok A, kelompok B, dan Kelompok C yaitu 3291.4±454.4 g, 2732.1±600.7 g, 3155.4±557.6 g. Berdasarkan uji ANOVA terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) berat badan lahir siswa pada kelompok perlakuan (Tabel 6). Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) berat badan lahir pada kelompok B terhadap kelompok A dan kelompok C. Berat badan pada saat lahir sangat berpengaruh pada berat badan anak selanjutnya. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas pada masa anak-anak, remaja atau dewasa (World Bank 2006). Bayi yang mengalami kekurangan zat gizi pada masa janin di dalam kandungan, akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi setelah kelahiran. Sebagian besar anak akan banyak menyimpan lemak dan lebih efisien dalam penggunaan yang menyebabkan kelebihan berat badan pada anak (Parson et al. 2001). Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 25003800 g. Bayi dikatakan lahir dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) jika berat badannya kurang dari 2500 g. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti BBLR memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan dan anak laki-laki (Oldroyd et al. 2010). Usia siswa berkisar 10-13 tahun, sebagian besar (41.7%-46.4%) berusia 11 dan 12 tahun. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) usia siswa pada kelompok perlakuan (Tabel 6). Anak pada rentang usia 7-13 tahun atau usia sekolah dasar berada pada tahap concrete operational yaitu anak mampu berpikir secara logika, mengklasifikasikan objek sesuai jenisnya,
27 menyusun sesuatu, memahami maksud orang lain, dan mampu menyimpulkan. Daya ingat anak mencapai intensitas terbaik dan memiliki daya menghafal untuk sejumlah materi pada usia sekolah (Ahmadi & Sholeh 2005). Menurut Tarro et al. (2014) lingkungan sekolah merupakan tempat yang tepat untuk dilakukan intervensi pendidikan gizi yang berfokus pada promosi gaya hidup sehat pada anak. Selain itu anak-anak sebagian besar menghabiskan waktu mereka di sekolah (Silveira et al. 2013). Oleh karena itu, pemberian pendidikan gizi mengenai gaya hidup sehat sangat tepat dilakukan pada usia sekolah. Tabel 6 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu A B C Karakteristik n % n % n % Siswa Jenis Kelamin Laki-Laki 16 57.1 19 67.9 20 71.4 Perempuan 12 42.9 9 32.1 8 28.6 Total 28 100 28 100 28 100 a) P 1.000 BB Lahir (g) <2500 1 3.6 13 46.4 4 60.7 2500-3999 25 89.3 15 53.6 21 35.7 ≥4000 2 7.1 0 0 3 3.6 Total 28 100 28 100 28 100 a) b) Mean±St.Dev 3291.4±454 2732.1±600.7 3155.4±557.6a) Pb) 0.001 Usia (th) 10 2 7.1 0 0 0 0 11 13 46.4 10 35.7 12 42.9 12 12 42.9 12 42.9 15 53.6 13 1 3.6 6 21.4 1 3.6 Total 28 100 28 100 28 100 Mean±St.Dev 11.4± 0.7 11.9±0.8 11.6±0.6 Pb) 0.064 Uang Jajan (Rp/hari) <5000 2 7.1 0 0 2 7.1 5000-10000 26 92.9 17 60.7 24 85.7 11000-15000 0 0 7 25.0 2 7.1 >15000 0 0 4 14.3 0 0 Total 28 100 28 100 28 100 a) a) Mean±St.Dev 6625± 2327.9 11678.6±4784.6 8285.7±3016.7b) Pb) 0.000
28 Uang jajan adalah uang saku siswa yang digunakan untuk membeli makanan dan minuman di sekolah. Sebagian besar siswa baik pada kelompok A (92.9%), kelompok B (60.7%), dan kelompok C (79.8%) memiliki uang jajan berkisar Rp 5 000-10 000. Berdasarkan uji ANOVA terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) uang jajan siswa pada kelompok perlakuan. Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) uang jajan pada kelompok C terhadap kelompok A dan kelompok B (Tabel 6). Bila dilihat pada masing-masing kelompok perlakuan, dimana rata-rata uang jajan yang paling kecil pada kelompok A yaitu Rp 6 625 dan >90% siswa memiliki uang jajan sebesar Rp 5 000- Rp10 000, hal ini dikarenakan pada kelompok A, hampir semua membawah bekal untuk snack pagi dan siang, serta ketering untuk makan siang. Sedangkan pada kelompok B memiliki rata-rata uang jajan yang besar dibandingkan kelompok lainnya yaitu sebesar Rp 11 678.6, hal ini dikarenakan hampir semua siswa hanya membawa bekal untruk makan siang dan sebagian kecil membawa bekal tambahan untuk snack siang. Begitu juga halnya dengan kelompok C, dimana rata-rata uang jajan sebesar Rp Rp 8 285.7, biasanya digunakan untuk snack siang dan sebagian besar siswa membawah bekal untuk snack pagi dan ketring untuk makan siang. Hasil penelitian pada 295 anak sekolah dasar di Denmark yaitu uang saku yang diterima anak tidak semuanya digunakan untuk membeli minuman dan makanan saja, tetapi juga digunakan untuk keperluan kegiatan sekolah dan keperluan pribadi lainnya (Bonke 2013). Para ahli menemukan bahwa manfaat ASI akan sangat meningkat bila bayi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupan. Peningkatan ini sesuai dengan lamanya pemberian ASI eksklusif serta lamanya pemberian ASI bersamasama dengan makanan padat setelah bayi berusia 6 bulan (Roesli 2000). Pemberian ASI sebagian besar pada kelompok A (82.1%), kelompok B (96.4%), kelompok C (85.7%) subjek diberi ASI dan sisanya tidak diberi ASI sama sekali. Hal ini dikarenakan pada saat lahir berat badan anak termasuk berat badan lahir rendah (<2500 g) dan ASI tidak keluar. Lama pemberian ASI sebesar, 35.7% kelompok A, 17.9% kelompok B, dan 30.7% kelompok C diberi ASI selama 6 bulan (Tabel 6). Berdasarkan uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) lama pemberian ASI pada kelompok perlakuan. Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol, padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi (Darmono 2006). Penelitian Bogen et al. (2004) menyebutkan bahwa pemberian ASI pada anak bisa menurunkan risiko obesitas pada anak.
29
Tabel 6 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu dan perlakuan, lanjutan A Pemberian ASI ASI Tidak
n
B %
n
C %
n
%
5
17.9
1
3.6
4
14.3
Ya
23
82.1
27
96.4
24
85.7
Total
28
100
28
100
28
100
0
5
17.9
1
3.6
4
14.3
<1
11
39.3
3
10.7
0
0.0
1-3
1
3.6
9
32.1
3
30.7
4-5
1
3.6
10
35.7
4
24.3
10
35.7
5
17.9
17
30.7
28
100
28
100
28
100
Lama ASI (bulan)
6
Total P
a)
0.041
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat pa) : Hasil uji Kurskal Wallis (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001) pb) : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Karakteristik Keluarga Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumah dan ada ikatan darah. Berdasarkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak (BPS 2012). Pendidikan merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi keluarga yang mendukung pengetahuan seseorang dalam menerima informasi dan merubah atau membentuk perilaku. Pendidikan orang tua merupakan jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh orang tua. Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pekerjaan dan akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Karakteristik keluarga siswa (Tabel 7) menunjukkan tingkat pendidikan orang tua siswa berkisar lulusan SMA sampai Peguruan Tinggi. Mayoritas ayah lulusan S1/S2/S3 untuk kelompok A (71.4%) dan kelompok C (82.1%) dan hampir separuh (46.4%) pada kelompok B lulusan S1/S2/S3. Rata-rata pendidikan ayah siswa berkisar 15 tahun atau setara lulusan sarjana. Berdasarkan uji ANOVA
30 tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) rata-rata lama pendidikan ayah antar kelompok perlakuan. Bagian terbesar ibu siswa pada kelompok A (42.9%), kelompok C (40.7%) lulusan S1/S2/S3 dan sebagian besar pada kelompok B (53.6%) lulusan D1/D2/D3. Rata-rata lama pendidikan ibu, berkisar 14 tahun atau setara dengan lulusan D1/D2/D3. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pendidikan ibu antar kelompok perlakuan (Tabel 7). Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan makanan yang baik untuk kesehatan (Ferna‟ndez-alvira et al. 2012; Attorp et al. 2014). Hal ini dibenarkan oleh Cribb et al. (2011) dan Yabanci et al. (2014) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua, khususnya ibu akan mempengaruhi pemilihan dan kebiasaan makan yang baik untuk anggota keluarga, serta memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang manfaat makanan yang sehat. Besar keluarga menggambarkan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan terdaftar dalam satu keluarga. Sebagian besar baik kelompok A (57.1%), kelompok B (53.6%), dan kelompok C (60.7%), termasuk keluarga kecil. Mayoritas rata-rata jumlah anggota keluarga setiap kelompok yaitu 3-4 orang atau termasuk kategori keluarga kecil. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) besar anggota keluarga antar kelompok perlakuan (Tabel 7). Menurut Harjian-Tilaki et al. (2011) dari hasil penelitiannya pada 1000 anak SD usia 7-13 tahun di Iran menunjukkan bahwa besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan, dimana semakin sedikit jumlah anggota keluarganya maka semakin mudah untuk pemenuhan kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga dan sebaliknya. Faktor keturunan atau genetik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelebihan berat badan pada anak yang diturunkan oleh orang tua. Faktor genetik dilihat dari status gizi orang tua berdasarkan IMT. Status gizi orang tua siswa dapat dilihat pada Tabel 7. Rata-rata IMT ayah siswa berkisar 30-34.9 termasuk kategori obes 1. Mayoritas status gizi ayah siswa pada kelompok perlakuan termasuk status gizi obes 1 baik kelompok A (50%), kelompok B (57.1%), dan kelompok C (67.9%). Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) status gizi ayah berdasarkan IMT antar kelompok perlakuan. Begitu juga rata-rata status gizi ibu siswa berkisar 30-34.9 termasuk kategori obes 1. Sebagian besar baik pada kelompok A (50%), kelompok B (60.7%), dan kelompok C (53.6%) termasuk kategori obes 1. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) status gizi ibu berdasarkan IMT antar kelompok perlakuan (Tabel 7). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Brown (2011) bahwa status gizi obes pada anak dipengaruhi oleh obesitas pada orangtua. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Effendi (2003) yaitu bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%. Penelitian yang dilakukan Internasional Obesity Tak Force (IOTF) dari badan WHO yang
31 mengurusi masalah kegemukan pada anak bahwa orang tua yang gemuk akan menurun kepada anak sampai 80%. Faktor genetik yang berperan besar yaitu bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orangtua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati 2009). Faktor genetik merupakan salah satu yang menentukan jumlah sel lemak dalam tubuh. Lemak berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel lemak yang relatif sama dengan orang tua. Status gizi orangtua merupakan faktor risiko signifikan pada kejadian obesitas pada anak (Mann & Truswell 2014). Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga A KarakteristikKeluarga Pendidikan Ayah SMA D1/D2/D3 S1/S2/S3 Total Mean±St.Dev (Th) P Pendidikan Ibu SMA D1/D2/D3 S1/S2/S3 Total Mean±St.Dev(Th) P Besar Keluarga (orang) Kecil (3-4) Sedang (5-6) Besar (>6) Total Mean±St.Dev P
n
B
C
%
n
%
n
%
4 4 20 28 15.6±1.8
14.3 14.3 71.4 100
3 12 13 28 15.1±±1.7 0.348
10.7 42.9 46.4 100
0 5 23 28 15.7±1.0
0 17.9 82.1 100
5 11 12 28 14.9±1.9
17.9 39.3 42.9 100
7 15 6 28 14.2±1.7
25.0 53.6 21.4 100
6 10 11 27 14.8±2.8
22.2 37.0 40.7 100
0.443 16 57.1 11 39.3 1 3.6 28 100 4.5±1.0
15 53.6 13 46.4 0 0 28 100 4.5±0.8 0.618
17 60.7 10 35.7 1 3.6 28 100 4.3±1.1
32 Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga, lanjutan A
IMT
n
Ayah Normal (18.5-24.9) Overweight (25-29.9) Obese 1 (30-34.9) Total Mean±St.Dev P Ibu Normal (18.5-24.9) Overweight (25-29.9) Obese 1 (30-34.9) Obese 2 (35-39.9) Total Mean±St.Dev P
B %
n
C %
n
%
10 35.7 6 21.4 5 17.9 4 14.3 6 21.4 4 14.3 14 50.0 16 57.1 19 67.9 28 100 28 100 28 100 30.9±3.5 30.7±3.1 30.8±2.8 0.526 4 14.3 3 10.7 5 17.9 10 35.7 8 28.6 7 25.0 14 50.0 17 60.7 15 53.6 0 0.0 0 0.0 1 3.6 28 100 28 100 28 100 29.8±3.5 30.4±2.6 30.9±3.6 0.484
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
p : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Pengetahuan Gizi Siswa Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagianya) (Notoatmodjo 2007; Maulana 2009; Fitriani 2011). Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, dan kesehatan (Rustad & Smithh 2013). Pengetahuan gizi siswa diukur tiga tahap yaitu sebelum intervensi (baseline/0 bulan), setelah intervensi (endline/2 bulan), dan keberlanjutan (sustainability/4 bulan). Rata-rata pengetahuan gizi sebelum intervensi pada ke tiga kelompok perlakuan tidak berbeda jauh yaitu kelompok A 67±15.6, kelompok B 66.6±10.0, dan kelompok C 66.6±11.3 atau sebagian besar siswa pada kelompok A (46.4%), kelompok B (57.1%), dan kelompok C (50%) termasuk kategori tingkat pengetahuan sedang. Secara umum rata-rata pengetahuan gizi siswa setelah intervensi mengalami peningkatan dibandingkan sebelum intervensi baik pada kelompok A 79.6±8.8, kelompok B 76.1±9.5, maupun kelompok C 79.6±9.9 (Tabel 8). Mayoritas siswa setelah intervensi pada kelompok A 57.1%, kelompok B 46.4%, dan kelompok C 67.9% termasuk kategori tingkat pengetahuan baik. Tetapi terjadi penurunan pengetahuan gizi pada saat pegukuran sustainability pada kelompok A 68.8±16.6 dan kelompok B 62±15.5 serta terjadi peningkatan pada kelompok C 80.7±13.5. Hal ini terlihat
33 bahwa sebagian besar siswa kelompok C (60.7%) termasuk kategori tingkat pengetahuan baik dan hanya sebesar 39.3% pada kelompok A, sebesar 28.6% pada kelompok B termasuk kategori tingkat pengetahuan baik (Tabel 8). Hal ini dikarenakan tingkat kepatuhan siswa pada kelompok C lebih tinggi dari pada kelompok A dan kelompok B. Tingginya tingkat kepatuhan pada kelompok C dipengaruhi oleh keterlibatan dan dukungan dari pihak sekolah selama penelitian berlangsung. Uji ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) pengetahuan gizi antar waktu pada masing-masing kelompok, baik kelompok A, B, maupun C. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) pengetahuan gizi antar kelompok pada waktu pengukuran 0 bulan dan 2 bulan, namun terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) rata-rata pengetahuan siswa antar kelompok perlakuan pada waktu 4 bulan. Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pengetahuan gizi pada kelompok A waktu 2 bulan terhadap waktu 0 bulan dan 4 bulan, pada kelompok B waktu 2 bulan terhadap 0 bulan dan 4 bulan, dan kelompok C waktu 0 bulan terhadap 2 bulan dan 4 bulan (Tabel 9). Hal ini dikarenakan tingkat kepatuhan siswa pada kelompok C lebih tinggi dari pada kelompok A dan kelompok B. Tingginya tingkat kepatuhan pada kelompok C dipengaruhi oleh keterlibatan dan dukungan dari pihak sekolah selama penelitian berlangsung. Pengetahuan awal adalah prediktor pengetahuan yang baik. Pengetahuan awal seseorang sebelum menerima intervensi menentukan seberapa tinggi kenaikan skor pengetahuan setelah intervensi diberikan. Penigkatan pengetahuan sering dianggap menjadi langkah pertama dalam mempengaruhi perilaku kesehatan (Oshagh et al. 2011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ikada (2010) dalam pemberian intervensi pendidikan gizi dengan materi PUGS pada anak sekolah dasar yang menunjukkan bahwa persentase pengetahuan anak kategori baik meningkat dari 5% sebelum intervensi menjadi 57% setelah intervensi (pos test-1), kemudian mengalami penurunan saat postes-2, tetapi secara umum pengetahuan anak mengalami peningkatan endline intervensi. Menurut Natoatmodjo (2007), peningkatan pengetahuan tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki baik formal maupun non formal, tetapi juga dipengaruhi oleh sumber informasi, pengalaman, dan kegiatan penyuluhan. Dengan demikian diduga kegiatan intervensi pendidikan gizi merupakan salah satu sarana bagi anak-anak untuk memperoleh pengetahuan baru, sehingga ada kecenderungan peningkatan pengetahuan pada saat endline intervensi pendidikan gizi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Vijiyapushpam et al. (2009 menunjukkan bahwa pengetahuan siswa meningkat setelah diberikan intervensi. Hasil penelitian Shi-Chang et al. (2004) mengenai efek promosi kesehatan terhadap asupan makanan menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pedoman asupan makanan meningkat dari 49.2% sebelum intervensi menjadi 68.2% setelah intervensi. Penelitian lainnya mengenai intervensi pendidikan gizi dengan materi makanan sehat, menunjukkan bahwa rata-rata skor pengetahuan anak meningkat dari 28.3 menjadi 29.2 setelah intervensi. Tabel 10 menunjukkan sebaran pertanyaan pengetahuan yang dijawab benar oleh siswa.
34
Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan kelompok perlakuan A Tingkat Pengetahuan
0 bln
B
C
2 bln 4 bln 0 bln 2 bln 4 bln 0 bln 2 bln 4 bln
Rendah (<60)
% 28.6
% 0.0
% 32,1
% 28.6
% 3.6
% 39,3
% 21.4
% 3.6
% 3,6
Sedang (60-80)
46.4
42.9
28,6
57.1
50.0
32,1
50.0
28.6
35,7
Baik (>80) Total
25.0 100
57.1 100
39,3 100
14.3 100
46.4 100
28,6 100
28.6 100
67.9 100
60,7 100
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
Tabel 9 Rata-rata pengetahuan gizi siswa antar kelompok perlakuan Pengetahuan gizi 0 bulan 2 bulan 4 bulan P waktu P kelompok
A
B
C
67±15.6a) 79.6±8.8b) 68.8±16.6a) 0.002*
66.6±10.0a) 76.1±9.5b) 62±15.5a) 0.000** 0.001**
66.6±11.3b) 79.6±9.9a) 80.7±13.5a) 0.00**
P waktu+kelompok
0.001**
A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat p : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Tabel 10 menunjukkan sebaran siswa yang menjawab benar pertanyaan tentang pengetahuan. Jenis pertanyaan yang tidak cukup baik dipahami dan tidak dapat dijawab benar (<60%) oleh siswa setelah intervensi meliputi materi tentang makanan, gizi, dan aktivitas fisik, baik pada kelompok A, kelompok B, maupun kelompok C. Beberapa butir pertanyaan tersebut adalah tentang sumber energi utama, sumber karbohidrat, dan sumber serat. Pertanyaan tentang fungsi zat gizi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh hanya sekitar 25- 35.7% siswa yang menjawab benar. Selanjutnya pertanyaan tentang pencegahan kegemukan dan aktivitas fisik yang belum diketahui dengan cukup baik. Beberapa aspek yang sudah merupakan kegiatan siswa sehari-hari misalnya tentang olahraga, meliputi tujuan dan jenis olahraga dimengerti dengan baik oleh siswa sebagian besar (>85%) siswa setiap kelompok perlakuan, namun seberapa sering dan lama olahraga perlu dilakukan, belum banyak siswa mengetahui dan memahami dengan baik. Diharapkan adanya intervensi pendidikan gizi mengenai makanan dan gizi seimbang khususnya untuk pengontrolan berat badan, akan berdampak positif untuk perubahan perilaku siswa. Jenis pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh siswa sebelum intervensi mengalami peningkatan setelah intervensi dan mengalami penurunan kembali
35 pada sustainability yaitu pertanyaannya tentang makanan, gizi, dan aktivitas fisik, baik pada kelompok A, kelompok B, maupun kelompok C. Setelah intervensi (2 bulan) pertanyaan tentang fungsi zat gizi untuk pertumbuhan dan pemeliharan meningkat yaitu 50-55% yang menjawab benar dan pada saat sustainability sebesar 32.1-46.4% (Tabel 10). Pertanyaan tentang pencegahan kegemukan dan aktivitas fisik masih belum diketahui dengan cukup baik oleh siswa meskipun sudah mengalami peningkatan. Beberapa aspek yang sudah merupakan kegiatan siswa sehari-hari misalnya tentang olahraga, meliputi tujuan dan jenis olahraga diketahui dengan baik (>85%) oleh siswa setiap kelompok perlakuan, serta seberapa sering dan lama olahraga perlu dilakukan. Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan jawaban yang benar tentang pengetahuan gizi dan perlakuan (%) Persentase jumlah siswa menjawab benar, pada bulan ke No
A
Pertanyaan
B
C
0 bln
2 bln
4bln
0 bln
2 bln
4bln
0 bln
2 bln
4bln
1
Pengertian makanan sehat
96.4
96.4
100.0
96.4
82.1
96.4
100.0
89.3
100.0
2
Manfaat makanan bagi tubuh Sumber energi utama
67.9
75.0
75.0
60.7
42.9
60.7
57.1
78.6
82.1
46.4
64.3
60.7
46.4
53.6
46.4
53.6
71.4
89.3
Zat gizi utk pertumbuhan dan pemeliharaan Makanan sumber karbohidrat Makanan sumber vitamin dan mineral Makanan sumber serat
35.7
50
32.1
32.1
55
42.9
25.0
50
46.4
57.1
71.4
82.1
64.3
71.4
82.1
75.0
71.4
67.9
71.4
67.9
64.3
82.1
82.1
82.1
82.1
85.7
85.7
46.4
57.1
64.3
46.4
69.3
42.9
53.6
60.7
46.4
64.3
53.6
67.9
67.9
71.4
53.6
71.4
75.0
75.0
89.3
85.7
92.9
85.7
75.0
78.6
82.1
92.9
96.4
75.0
82.1
82.1
75.0
64.3
53.6
67.9
78.6
75.0
85.7
64.3
60.7
89.3
60.7
67.9
85.7
67.9
85.7
50.0
60.7
85.7
67.9
64.3
82.1
78.6
71.4
64.3
53.6
62.9
71.4
46.4
61.3
42.9
39.3
64.3
78.6
14
Manfaat lemak bagi tubuh Penyebab kegemukan pada anak Kandungan zat gizi pada fast food Penyebab terjadinya kegemukan Akibat kegemukan terhadap kesehatan Cara menanggulangi kegemukan Tujuan olahraga
89.3
89.3
89.3
85.7
89.3
85.7
92.9
78.6
96.4
15
Fungsi aktivitas fisik
64.3
67.9
46.4
57.1
35.7
32.1
53.6
67.9
75.0
16
Jenis aktivitas fisik yang baik Jenis olahraga yang baik
100.0
100
89.3
85.7
96.4
78.6
96.4
89.3
100.0
100.0
100.0
92.9
92.6
96.4
82.1
96.4
89.3
100.0
Frekuensi olahraga yang baik dlm 1minggu Waktu olahraga yang baik dalam 1minggu Olahraga yang baik untuk kesehatan
57.1
67.9
46.4
57.1
62.4
35.7
46.4
71.4
82.1
35.7
46.4
25.0
32.1
46.4
39.3
32.1
39.3
96.4
60.7
65.0
46.4
53.6
53.6
53.6
67.9
35.7
71.4
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
17 18 19 20
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
36 Pendidikan gizi merupakan kombinasi dari berbagai bentuk strategi pendidikan, yang didukung lingkungan, didesain untuk memfasilitasi pemilihan makanan dan perilaku gizi untuk kesehatan dan kesejahteraan. Pendidikan gizi digunakan untuk menjembatani jika ada ketidakseimbangan antara keduanya (Contento 2011). Pendidikan gizi berperan penting saat ini dikarenakan faktor lingkungan yang menyediakan makanan tersedia luas, mudah dan lebih banyak yang densitas energinya tinggi serta aktivitas fisik rendah sehingga perlu upaya kognitif karena orang-orang sudah terbawa oleh gaya hidup modern. Perilaku anak-anak dalam belajar mengenai makanan tidak hanya dari pengalamannya langsung tetapi juga hasil mengamati dari perilaku teman sebaya dan orang dewasa termasuk orangtuanya (Contento 2011). Parenting practices atau praktik orangtua dalam mengenalkan makanan terhadap anak-anak akan mendorong anak untuk memilih makanan sehat ataupun sebaliknya. Intervensi pendidikan gizi yang dilakukan setiap minggunya terdiri dari 8 aspek yaitu 1) pentingnya gizi dan aktivitas fisik serta peranannya untuk kesehatan dan prestasi, 2) pedoman gizi seimbang, 3) pentingnya konsumsi sayur dan buah, 4) pentingnya sarapan, 5) whole grain, 6) fast food dan soft drink, 7) cemilan, dan 8) jajanan sehat dan bekal sehat. Di samping itu setiap minggu ditekankan pentingnya konsumsi buah dan sayur serta kegiatan aktivitas fisik. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat rata-rata nilai siswa sebelum intervensi pendidikan gizi pada ke delapan materi berkisar 60 sampai 70 dikategorikan tingkat pengetahuan sedang. Apabila dilihat dari bagian materi dimana sebelum diberikan penyuluhan gizi, materi tentang sayur dan buah, whole grain, Pedoman Gizi Seimbang (PGS) paling kurang dimengerti oleh siswa dimana rata-rata nilai berturut-turut berkisar 68, 58, dan 57 dikategorikan tingkat pengetahuan rendah. Nilai rata-rata siswa pada ketiga kelompok tidak berbeda jauh untuk ke delapan materi sebelum dilakukan penyuluhan yaitu kelompok A 70.9, kelompok B 69.9, dan kelompok C 72.0, dikategorikan tingkat sedang. Jika dilihat pada masingmasing materi yang diberikan kelompok A dan kelompok B yang memiliki nilai <70 pada materi sayur dan buah, whole grain, PGS, sedangkan pada kelompok C yang memiliki nilai <70 adalah materi sarapan dan PGS. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat rata-rata nilai secara keseluruhan siswa setelah intervensi pendidikan gizi pada ke delapan materi mengalami peningkatan rata-rata peningkatan berkisar 12-14. Nilai rata-rata pengetahuan gizi setelah intervensi yaitu berkisar 83 dikategorikan tingkat pengetahuan baik. Mayoritas nilai rata-rata >80 dari setiap materi pada siswa mengalami peningkatan dari sebelum intervensi, kecuali materi PGS <80. Peningkatan yang paling tinggi pada materi whole grain pada kelompok B dan kelompok C. Hal ini dikarenakan mareti whole grain merupakan kata yang baru di dengar oleh siswa, sehingga siswa sangat antusias untuk mengetahui materi ini. Total nilai rata-rata siswa pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan >10 setelah diberikan penyuluhan gizi, yaitu kelompok A 83, kelompok B 84 dan kelompok C 84.8 dikategorikan tingkat baik. Jika dilihat dari ke delapan materi rata-rata nilai siswa mengalami peningkatan setelah intervensi pendidikan gizi, dimana nilai rata-rata pengetahuan pada ke tiga kelompok perlakuan >70 pada semua materi yang diberikan.
37
Tabel 11 Rata-rata nilai pengetahuan gizi baseline dan endline diberikan penyuluhan gizi dan kelompok perlakuan Materi Zat Gizi Fast Food Sayur dan Buah Bekal Sehat Sarapan Whole grain Cemilan PGS Total
A
B
C
baseline endline delta baseline endline delta baseline endline delta 74.0 87.9 13.9 76.4 86.8 10.4 74.3 79.6 5.4 71.1
85.7
14.6
72.9
88.2
15.4
77.5
86.0
8.5
70.4
83.9
13.6
66.8
82.5
15.7
67.9
79.6
11.8
72.5
84.3
11.8
79.3
90.0
10.7
78.2
86.8
8.6
65.0
75.4
10.4
80.4
88.6
8.2
85.0
93.6
8.6
73.9
83.6
9.6
49.3
76.4
27.1
53.2
82.1
28.9
80.4 60.4
90.0 73.2
9.6 12.9
79.6 54.3
88.6 70.7
8.9 16.4
81.4 58.6
90.0 80.7
8.6 22.1
70.9
83.0
12.0
69.9
84.0
14.1
72.0
84.8
12.8
Menurut Contento (2011) pengetahuan gizi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana individu yang memiliki pendidikan yang baik memiliki kemampuan lebih baik dalam menerima, memproses, menginterprestasikan dan menggunakan informasi, khususnya pengetahuan gizi, yang pada akhirnya berdampak pada pemilihan makanan yang sehat. Pendidikan gizi merupakan salah satu faktor penentu dari kualitas diet dan status gizi (Dunneram dan Jeewon 2013), pengetahuan gizi yang buruk akan menyebabkan pola makan yang buruk pada masyarakat yang ditunjukkan dengan pola makan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol, terutama terhadap penawaran fast food yang berdampak pada peningkatan risiko obesitas (Heird 2002). Menurut Tarro et al. (2014) lingkungan sekolah merupakan tempat yang tepat untuk dilakukan intervensi gizi berfokus pada promosi gaya hidup sehat pada anak. Hal ini disebabkan anak-anak sebagian besar menghabiskan waktu mereka di sekolah (Silveira et al. 2013). Berdasarkan hasil penelitian Silveira et al. (2013) intervensi pendidikan gizi berbasis sekolah dapat memperbaiki pola konsumsi dan dapat menurunkan kejadian obesitas pada anak. Hal yang sama ditunjukkan oleh Struempler et al. (2014) Intervensi pendidikan gizi dengan penekanan pada buah dan sayur serta penyicipan buah dan sayur setiap seminggu sekali dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur pada anak-anak. Pendidikan gizi anak mengenai makanan dan aktivitas fisik merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap kejadian kelebihan berat badan pada anak. Pendidikan gizi pada anak dapat diperoleh dari lingkungan tempat berada, misalkan lingkungan rumah, pengaruh dari orang tua dan lingkungan sekolah. Kecenderungan orang tua yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mempengaruhi pengetahuan gizi pada anak.
38 Aktivitas Fisik Menurut Almatsier (2009) aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure yaitu sekitar 20-50% dari total energi expenditure. Semakin aktif seseorang melakukan aktivitas fisik, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan. Pola aktivitas fisik siswa dapat dilihat dari bagaimana cara siswa mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang-ulang (FAO/WHO/UNU 2001). Aktivitas yang dilakukan siswa pada hari sekolah dan hari libur tidak berbeda nyata. Tabel 12 menunjukkan sebaran siswa berdasarkan aktivitas fisik. Mayoritas siswa sebelum intervensi olahraga memiliki rata-rata tingkat aktivitas fisik baik pada kelompok A 96.4%, kelompok B 82.1%, dan kelompok C 96.4% yaitu berturut-turut 1.48±0.9; 1.54±0.2; dan 1.53±0.1 termasuk kategori tingkat rendah. Siswa belajar di sekolah dari jam 07.00 sampai jam 16.00. Selain belajar di sekolah siswa juga melakukan aktivitas sehari-hari di rumah. Kegiatan yang biasa dilakukan siswa antara lain kegiatan rumah tangga, menonton TV, main games, olahraga, bermain. Kegiatan siswa lainnya yaitu tidur, mandi, dan makan. Waktu yang lama digunakan siswa dalam melakukan aktivitas fisik yaitu tidur ± 7-8 jam perhari, menonton TV ±3 jam perhari dan bermain games ± 3 jam perhari.
Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan tingkat aktivitas fisik dan kelompok perlakuan A Tingkat Aktivitas Fisik
B
C
baseline
endline
baseline
endline
baseline
endline
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Ringan
27
96.4
5
17.9
27
82.1
26
92.9
27
96.4
5
17.9
Sedang
1
3.6
20
71.4
1
17.9
2
7.1
1
3.6
21
75
Berat
0
0
3
10.7
0
0
0
0
0
0
2
7.1
Total 28 100 28 100 28 100 28 100 28 100 Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
28
100
Berdasarkan uji beda ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) rata-rata tingkat aktivitas fisik siswa sebelum intervensi antar kelompok perlakuan (Tabel 13). Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olahraga yang baik hanya berisiko 0.48 kali mengalami obesitas. Sebuah penelitian yang diadakan di Inggris oleh tim peneliti dari ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) yang meneliti anak sejak dalam kandungan hingga usia 7 tahun, menemukan kaitan antara menonton televisi dengan kejadian obesitas. Odds ratio kemungkinan menjadi obesitas
39 meningkat linier dengan bertambahnya waktu menonton televisi. Anak yang menonton televisi 4 sampai 8 jam perminggu di usia 3 tahun, maka kemungkinan untuk menjadi obes sebesar 1.37 kali lebih besar dibandingkan anak yang menonton televisi kurang dari delapan jam perminggu pada usia 7 tahun. Secara keseluruhan anak yang menonton televisi lebih dari delapan jam seminggu memiliki kemungkinan menjadi obes 1.55 kali lebih besar dibandingkan anak yang menonton televisi kurang dari delapan jam perminggu (Reilly et al. 2005). Tabel 13 Rata-rata aktivitas fisik siswa berdasarkan kelompok perlakuan
Aktivitas Fisik Baseline Endline Delta Pa)
A 1.48±0.9 1.8±0.1a) 0.32 0.000**
B 1.54±0.2 1.52±0.1b) -0.02 0.605
C 1.53±0.1 1.81±0.1a) 0.28 0.000**
Pb) 0.169 0.000** 0.000** 0.000**
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat Pa) : Hasil uji paired sample t-test (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001) pb) : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Dijelaskan lebih lanjut, menonton televisi merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa, aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam (Boyles 2005). Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia bayi dari satu hingga tiga tahun seharusnya tidur selama 12-14 jam, anak TK berusia 3-5 tahun seharusnyatidur 11-13 jam, dan usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8.5-9.25 jam permalam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pada penelitian ini rata-rata lama tidur anak berkisar 9-10
40 jam perhari sebelum intervensi, hal ini diduga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan obesitas pada anak. Setelah intervensi olahraga pada kelompok A dan kelompok C, terjadi peningkatan aktivitas fisik dari sebelum intervensi yaitu sekitar 1.8 dan sebagian besar pada kelompok A dan kelompok C berturut-turut 71.4%, 75% dikategorikan tingkat sedang dan sebesar 10.7%, 7.1% termasuk kategori berat. Sedangkan pada kelompok B yang hanya diberikan intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat, tidak terjadi peningktan aktivitas fisik, sebagian besar (92.9%) termasuk kategori tingkat rendah (Tabel 12). Berdasarkan uji beda paired simple t test terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat aktivitas fisik sebelum dan setelah intervensi pada kelompok A dan kelompok C dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat aktivitas fisik sebelum dan setelah intervensi pada kelompok B (Tabel 13). Berdasarkan uji beda ANOVA terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat aktivitas fisik setelah intervensi olahraga antara kelompok perlakuan dan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) selisih tingkat aktivitas fisik setelah dan sebelum intervensi antara kelompok perlakuan (Tabel 13). Berdasarkan uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) rata-rata aktivitas fisik pada kelompok B dengan kelompok A dan kelompok C (Tabel 13). Hasil ini sejalan dengan penelitian Sigmund et al. (2012) yang melakukan intervensi aktivitas fisik berbasis sekolah efektif dalam mengurangi obesitas dan kelebihan berat badan pada anak. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik lebih berdampak positif dalam memperbaiki konsumsi makan pada anak dan penurunan kejadian obesitas pada anak (Ventura 2013). Penelitian terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0.31 (sekitar 1.8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan overweight, sedangkan penurunannya lebih kecil pada anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olahraga) di sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 5.6-9.8% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olahraga) harian dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olahraga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011). Hal yang sama di Indonesia terjadi, dimana anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik harian yag rendah yaitu kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler di setiap sekolah, hal ini dikarenakan setiap SD yang ada di Indonesia mempunyai program kurikulum yang sama dari dinas pendidikan. Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan „cukup‟ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Pengambilan data aktivitas fisik secara kualitatif pada saat sustainability menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas fisik pada kelompok A dan C, sedangkan pada kelompok B tidak terjadi. Hal ini dikarenakan
41 hampir secara keseluruhan anak tidak memiliki waktu luang, meskipun terdapat waktu luang; anak lebih banyak menonton TV dan bermain games. Kegiatan olahraga dilakukan lebih kurang 3 kali perminggu, dengan jenis olahraga seperti bersepeda, bermain bola, jogging, dan renang pada kelompok A dan kelompok C. Kebiasaan melakukan jenis kegiatan olahraga seperti bersepeda, bermain bola, jogging, dan renang, dikarenakan oleh jenis olahraga tersebut merupakan jenis olahraga yang paling disenangi. Sedangkan kegiatan aktivitas fisik seperti menonton TV dan games terjadi penurunan lama waktu yang digunakan, meskipun tingkat keseringan masih sama, baik pada kelompok A, kelompok B, maupun kelompok C, hal ini dikarenakan siswa membutuhkan hiburan dan untuk menghilangkan rasa bosan terhadap pelajaran di sekolah. Asupan Serat Menurut Jahari dan Sumarno (2002), serat bukanlah zat yang dapat diserap oleh usus, namun perannya sangat penting dalam proses pencernaan. Serat membantu melancarkan pencernaan dan bahkan pada mereka yang menderita kelebihan asupan gizi, serat dapat mencegah atau mengurangi risiko kegemukan. Bagi anak usia sekolah, serat juga penting karena akan memberikan dampak kesehatan pada masa dewasa, guna mencegah penyakit degeneratif seperti, jantung koroner, diabetes mellitus, dan kanker usus besar. Selanjutnya menurut Webb (2008) diet tinggi serat dapat menjaga dari kanker usus dan penyakit usus lainnya. Kelompok vegetarian dan populasi diet rendah daging dan lemak serta tinggi sayur memiliki angka kanker usus yang rendah. Rata-rata konsumsi serat sebelum intervensi siswa masih kurang yaitu berkisar 7 g/hari. Sebagian besar siswa pada kelompok A (85.7%), kelompok B (85.7%), dan kelompok C (75%) memiliki asupan serat <10 g/hari termasuk kategori kurang (Tabel 14). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2012), konsumsi serat anak di Pulau Jawa yang berusia 7 – 9 tahun memiliki rata-rata 5.7 g/hari dan usia 10 – 12 tahun sebesar 6.02 g/hari. Rata-rata konsumsi serat mengalami peningkatan setelah intervensi pada semua kelompok perlakuan. Kelompok yang diberikan pangan sumber serat (kelompok B dan Kelompok C) ataupun kelompok yang tidak diberikan pangan sumber serat (kelompok A) tetap mengalami peningkatan rata-rata konsumsi serat, meskipun peningkatan rata-rata konsumsi serat pada kelompok A masih kategori kurang yaitu <10 gr/hari. Hal ini dikarenakan kelompok A tidak diberikan pangan Tabel 14 Sebaran siswa berdasarkan rata-rata konsumsi serat dan kelompok perlakuan A Konsumsi Serat
baseline
n % Kurang (<10 g) 24 85.7 Cukup (≥10 g) 4 14.3 Total 28 100
B endline
baseline
n % n % 17 60.7 24 85.7 11 39.3 4 14.3 28 100 28 100
C endline
baseline
endline
n % n % n % 12 40 21 75 8 28.6 18 60 7 25 20 71.4 30 100 28 100 28 100
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
42 sumber serat dan konsumsi pangan sumber serat masih rendah, jika dilihat dari data jenis pangan yang dikonsumsi. Sebagian besar kelompok B (60%) dan kelompok C (71.4%) konsumsi serat ≥10 gr/hari, sedangkan pada kelompok A sebagian besar (60.7%) konsumsi serat <10 gr/ hari, hal ini disebabkan pada kelompok A tidak diberi pangan sumber serat hanya diberi penyuluhan gizi tentang pangan sumber serat (Tabel 14). Pangan sumber serat terbanyak yang dikonsumsi siswa baik kelompok A, kelompok B, maupun kelompok C berasal dari serealia dan olahannya (Lampiran 1). Hal ini sesuai dengan penelitian Jahari dan Sumarno (2002) bahwa serealia merupakan penyumbang terbesar asupan serat penduduk di Indonesia. Tingginya asupan pangan serealia dikarenakan serealia merupakan makanan pokok pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Reicks et al. (2014) yang menemukan bahwa kontribusi serat terbesar berasal dari grain yaitu sebesar 51.9%. Tabel 15 Rata-rata asupan serat siswa berdasarkan kelompok perlakuan Rata-rata (g) Baseline Endline Delta Pa)
A 7.4±2.1 9.7±2.4 2.4±1.5 0.001*
B 6.7±2.6 12.5±2.6 5.9±1.9 0.000**
C 7.8±3.3 13.3±2.5 5.4±1.1 0.000**
pb) 0.274 0.001* 0.000**
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
Pa) : Hasil uji paired sample t-test (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001) Pb) : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Berdasarkan uji paired sample t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.005) sebelum dan setelah intervensi baik kelompok A, kelompok B, maupun kelompok C (Tabel 15). Hal ini berarati intervensi pangan sumber serat dapat meningkatkan asupan serat siswa. Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) konsumsi serat sebelum intervensi antar kelompok, tetapi terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) konsumsi serat setelah intervensi dan selisih setelah dan sebelum intervensi antar kelompok perlakuan. Berdasarkan uji lanjut post hoc Tukey terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) baik konsumsi serat setelah intervensi maupun selisih setelah dan sebelum intervensi pada kelompok A terhadap kelompok B dan kelompok C (Tabel 15). Menurut Whitney et al. (2011) makanan kaya serat memiliki manfaat untuk kesehatan. Makanan tersebut yaitu whole grains, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang menyumbang asupan vitamin dan mineral. Diet tinggi whole grains, kacang-kacangan, dan sayur dapat mencegah dari penyakit jantung dan stroke melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lemak darah dan mengurangi inflamasi. Konsumsi tinggi sayuran, buah, dan biji-bijian berhubungan dengan penambahan kecil pada IMT dan lingkar perut (Newby et al. 2003). Demikian halnya yang dinyatakan oleh Drapeau et al. (2004) bahwa konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan lingkar perut dan berat badan.
43 Penelitian kohort menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan sayuran atau buah dengan risiko obesitas. Perempuan yang mengonsumsi buah lebih banyak dapat menurunkan 25% risiko obesitas dibandingkan yang lebih rendah (OR=0.75). Perempuan dengan asupan sayuran lebih banyak dapat menurunkan 16% risiko obesitas dibandingkan dengan yang lebih sedikit (OR=0.84). Penurunan konsumsi sayuran atau buah berhubungan dengan tingginya risiko peningkatan berat badan selama 12 bulan. Peningkatan konsumsi sayuran dan buah berhubungan nyata dengan rendahnya risiko obesitas pada perempuan. Konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (Heird 2002). Epstein et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran dan buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran dan buah. Peningkatan konsumsi karbohidrat dan serat dapat meningkatkan rasa kenyang, menurunkan asupan energi, dan asupan lemak. Kontribusi utama dalam mengontrol berat badan adalah menurunkan asupan energi dan pembatasan diet. Peningkatan asupan serat 12 g/hari berhubungan dengan penurunan 0.63 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al.2003). Serat dapat membatasi asupan energi dengan cara rendahnya densitas energi, dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menggantikan kelebihan densitas energi dari diet dan mengurangi asupan lemak. Peningkatan konsumsi buah lebih baik untuk mengontrol berat badan daripada sayuran. Buah lebih mudah dimakan sebagai snack atau dessert, sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju. Buah lebih berperan dalam pengaturan berat badan dibandingkan dengan jus buah. Buah mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau et al. 2004). Makanan tinggi serat dan rendah lemak banyak dianjurkan untuk mengatur berat badan. Serat menyerap air dari saluran pencernaan, dan membuat rasa kenyang sehingga menurunkan asupan makanan dan menunda lapar. Sebuah penelitian pada remaja overweight menunjukkan bahwa pengurangan konsumsi serat 3 g/kkal/hari selama setahun berhubungan dengan peningkatan sebesar 21% abdominal obesity dibandingkan dengan yang asupan seratnya tidak dikurangi. Sandvik et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa secara keseluruhan anak memiliki sikap positif terhadap asupan buah dan sayur. Pengambilan data jenis konsumsi pangan sumber serat (buah dan sayur) secara kualitatif pada saat sustainability menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan konsumsi pangan sumber serat sebelum intervensi seperti konsumsi buah dan sayur lebih kurang 3-4 porsi perminggu, dimana sebelum intervensi siswa hanya mengonsumsi 1-2 kali buah dan sayur bahkan beberapa siswa sangat jarang untuk mengonsumsi buah dan sayur. Jenis buah yang sering dikonsumsi pada saat sustainability seperti pisang, jeruk, jambu biji, pepaya, semangka, dan lain sebaginya. Sedangkan jenis sayur yang sering dikonsumsi adalah bayam, kangkung, wortel, kembang kol, dan lain sebaginya.
44 Asupan Energi dan Zat Gizi Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Kusharto & Sa‟adiyah 2006). Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga. Konsumsi pangan keluarga dapat dilihat dari aspek kualitas dan kuantitasnya. Aspek kuantitas berkaitan dengan jumlah zat gizi yang dianjurkan, sedangkan aspek kualitas berkaitan dengan keragaman dan jenis konsumsi pangan dan nilai mutu gizinya. Faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan selain dari pengetahuan dan sikap terhadap makanan adalah pengalaman dari pendidikan gizi (Khomsan et al. 2009). Tabel 16 Rata-rata asupan, angka kecukupan energi dan kelompok perlakuan Zat Gizi
A
B
C
Asupan
AKG
Asupan
AKG
Asupan
AKG
Energi (kkal)
2039±252
2079±276
2006±358.5
2218±392
2091±234
2104±285
Protein (g)
68.2±13.3
90.6±3.4
72.2±19.5
93.5±6.9
64.6±12.3
90.5±2.6
Ca (mg)
571±432.2
1200±0
853±746.3
1200±0
407±5.8
1200±0
12±4.6a)
16.2±3.5
18.5±10.1b)
16.5±4.2
12.2±5.8a)
15.2±3.7
Vit. A (RE)*
2150.9±623a)
600±0
2017±88a)
600±0
3080.2±1498b)
600±0
Vit. C (mg)
27.4±17.8
50.9±4.7
43.5±37
50.46±9.3
30.5±27.7
50.5±2.8
Endline Energi (kkal)
1932±296
2071±273
1952±282
21888±377
1911±171
2077±238
Protein (g)
71.4±14.7
92.6±3.4
74.4±23.6
94.9±11.1
70.9±12.3
90.5±2.6
679.8±516.2
1200±0
978.3±889.3
1200±0
898.1±416.3
1200±0
15±8
16.2±3.5
19.3±14.8
16.5±4.2
14.4±6.3
15.2±3.7
956.5±562.4
600±0
882.6±580.5
600±0
986.9±622.2
600±0
Baseline
Besi (mg)*
Ca (mg) Besi (mg) Vit. A (RE)
Vit. C (mg) 91.7±24.2 50.9±4.7 101.5±27.1 50.46±9.3 78±24.5 50.5±2.8 Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat P : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Tabel 16 menunjukkan rata-rata asupan dan angka kecukupan energi dan zat gizi siswa sebelum dan setelah intervensi. Rata-rata asupan energi siswa sebelum intervensi yaitu berkisar 2000 kkal atau dikatakan asupan energi cukup. Asupan energi siswa setelah intervensi mengalami penurunan, tetapi masih dalam kategori normal yaitu berkisar 1900 kkal (Tabel 16). Hal ini diduga karena asupan siswa setelah intervensi lebih baik daripada sebelum intervensi, hal ini dipengaruhi oleh pendidikan gizi yang diberikan setiap minggunya, sehingga siswa mengurangi asupan pangan sumber energi seperti serealia dan meningkatkan konsumsi sumber zat gizi lainnya secara tidak berlebihan. Energi diartikan sebagai kapasitas untuk melakukan pekerjaan. Energi berasal dari zat
45 gizi, yaitu karbohidrat, lemak, protein dan alkohol yang terdapat dalam makanan. Kebutuhan akan energi harus dipenuhi secara teratur bagi kelangsungan hidup. Kebutuhan energi didefinisikan sebagai asupan energi makanan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan energi pada orang sehat yang telah ditetapkan berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan tingkat aktivitas fisik (Mahan & Escott-Stump 2008). Rata-rata asupan protein siswa sebelum intervensi berkisar 64 g-72 g, bila dibandingkan dengan angka kecukupan energi siswa berkisar 90 g termasuk kategori kurang. Asupan protein siswa setelah intervensi mengalami sedikit peningkatan yaitu berkisar 70 g- 74.4 g (Tabel 16). Hal ini diduga karena pola konsumsi siswa lebih baik setelah diberikan intervensi pendidikan gizi, ini terlihat dari jenis konsumsi pangan yang dikonsumsi sebagai sumber protein hewani maupun nabati seperti daging, ayam, tahu, dan tempe cenderung lebih tinggi dikonsumsi sebelum diberikan intervensi pendidikan gizi, tetapi tidak dikonsumsi secara berlebihan, serta tingginya konsumsi protein mengakibatkan rendahnya konsumsi pangan sumber energi seperti serealia. Protein di dalam tubuh berperan dalam pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh dan pembentukan jaringan baru. Selama masa pertumbuhan, kadar protein tubuh meningkat dari 14.6% pada umur satu tahun menjadi 18-19% pada umur empat tahun, sama dengan kadar protein orang dewasa. Penilaian terhadap asupan protein anak harus mempertimbangkan kecukupan untuk pertumbuhan, mutu protein makanan yang dikonsumsi, komposisi asam amino esensial serta kecukupan vitamin, mineral dan energi (Almatsier et al. 2011). Rata-rata asupan Ca dan Fe siswa yaitu berturut-turut berkisar 610.5 mg, 14.2 g, dan mengalami peningkatan endline intervensi yaitu sebesar 852.1 mg, 16.2mg (Tabel 16). Mineral berperan penting dalam proses tumbuh-kembang secara normal. Kekurangan konsumsi terlihat pada laju pertumbuhan yang lambat, mineralisasi tulang yang tidak cukup, cadangan besi yang kurang dan anemia (Almatsier et al. 2011). Rata-rata asupan vitamin A dan vitamin C siswa yaitu berturut-turut berkisar 2416 (RE), 33.8 (mg) tanpa kurung dan mengalami penurunan asupan Vitamin A setelah intervensi yaitu berkisar 941.9 g dan terjadinya peningkatan konsumsi Vitamin C yaitu berkisar 90.4mg (Tabel 16). Vitamin A merupakan salah satu vitamin larut lemak. Bentuk aktif vitamin A yang dikenal sebagai retinoid terdapat pada sumber pangan hewani. Tanaman mengandung kelompok senyawa yang dikenal secara kolektif sebagai karotenoid, yang dapat menghasilkan retinoid ketika dimetabolisme dalam tubuh. Vitamin A berperan penting dalam fungsi penglihatan dan berbagai fungsi sistemik, termasuk diferensiasi sel normal, pertumbuhan dan perkembangan, fungsi kekebalan tubuh serta reproduksi (Mahan & Escott-Stump 2008).Vitamin C atau asam askorbat berfungsi dalam reaksi oksidasi reduksi dan disintesis dari glukosa dan galaktosa oleh tanaman dan kebanyakan hewan. Akan tetapi, manusia dan primata lain tidak dapat melakukan sintesis vitamin C sendiri. Vitamin C berperan dalam sintesis kolagen dan karnitin serta bertindak sebagai antioksidan (Mahan & Escott-Stump 2008). Berdasarkan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) rata-rata asupan energi, protein, kalsium dan vitamin C sebelum intervensi antar kelompok dan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) rata-rata asupan Fe
46 dan Vitamin A sebelum intervensi antar kelompok perlakuan (Lampiran 2). Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.005) asupan Fe pada kelompok B terhadap kelompok A dan kelompok C; dan Vitamin A sebelum intervensi pada kelompok C terhadap kelompok A dan Kelompok B. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Anderson et al. (2004) bahwa asupan energi anak meningkat setelah intervensi pendidikan gizi, namun secara statistika tidak berbeda signifikan (p>0.05). Namun sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hu et al. (2009) bahwa adanya intervensi pendidikan gizi mampu mengarahkan perilaku makan anak dari makanan yang tidak sehat menjadi perilaku makan sehat. Penelitian lain yang dilakukan Mihas et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian intervensi pendidikan gizi meningkatkan perilaku makan yang sehat serta meningkatkan asupan protein pasa saat setelah intervensi (p<0.001). Penelitian yang dilakukan oleh O‟Brien et al. (2002) pada anak usia 89 tahun di Irlandia menunjukkan bahwa pemberian intervensi pendidikan gizi meningkatkan asupan energi, protein, lemak, dan kalsium secara signifikan (p<0.001), namun asupan zat besi tidak berbeda nyata (p>0.001) empat minggu endline intervensi. Berbeda dengan hasil penelitian Siega-Riz et al. (2011) pemberian intervensi pendidikan gizi selama 6 bulan pada anak usia 10-14 tahun menunjukkan bahwa asupan pangan (energi, protein, lemak, dan serat) anak tidak berbeda signfikan setelah intervensi (p>0.05). Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas, dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan. Kecukupan gizi merupakan gambaran banyaknya zat gizi yang diperlukan oleh individu. AKG (Angka Kecukupan Gizi) adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada umumnya. Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupan (LIPI 2013). Tabel 17 menunjukkan rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa sebelum dan setelah interevensi. Secara umum rata-rata tingkat kecukupan energi dan Vitamin A siswa baik kelompok A, kelompok B, maupun kelompok C mengalami penurunan setelah intervensi, sedangkan rata-rata tingkat kecukupan protein, kalsium, Besi (Fe), dan Vitamin C mengalami peningkatan. Hasil ANOVA sebelum intervensi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) rata-rata kecukupan energi dan zat gizi antar kelompok (Lampiran 2), sedangkan uji ANOVA setelah intervensi terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) rata-rata tingkat kecukupan Fe, Vitamin A, dan Vitamin C antar kelompok perlakuan. Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecukupan Fe setelah intervensi pada kelompok B terhadap kelompok A dan C, dan terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecukupan Vitamin A pada kelompok C
47 terhadap kelompok A dan kelompok B, serta perbedaan rata-rata tingkat kecukupan Vitamin C pada kelompok A terhadap kelompok B dan kelompok C. Uji paired sample t-test menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi, vitamin A dan vitamin C setelah intervensi meningkat signifikan (p<0.05) pada setiap kelompok perlakuan (Lampiran 3). Hal ini diduga karena tingkat kepatuhan siswa pada kelompok A dan C lebih tinggi dibandingkan kelompok B. Tabel 17 Sebaran siswa berdasarkan persentase rata-rata tingkat kecukupan energi, zat gizi dan kelompok perlakuan A
B
C
TKG (%)
TKG (%)
TKG (%)
109.5±9.7
104.8±10.2
105.6±14.1
Protein (g)
68±14.9
77.8±21.9
71.6±14
Kalsium (mg)
47.6±36
71.1±62.2
34±22.6
Besi (mg)
78.4±30.2
126.3±83.5
85.7±44
Vit. A (RE)
358.5±103
336.3±137.9
513.5±249.8
Vit. C (mg
54.7±35.5
80.7±69.1
61.4±55.8
Energi (kkal)
98.1±6.7
99.3±7.8
102.3±8.8
Protein (g)
75.4±16.8
80±26.8
78.5±14
56.6±43
81.5±74.1
Zat Gizi
Baseline Energi (kkal)
Endline
Kalsium (mg)
a)
Besi (mg)*
98.3±55.4
Vita. A (RE)*
159.4±93.7a)
129.3±113.5
74.8±34.6 b)
147.1±96.7a)
105±55.7a) 164.5±103b)
Vita. C (mg)* 98.5±25b) 120±20a) 112±27a) Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat P : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Hasil penelitian sebelum intervensi menunjukkan sebagian besar siswa pada kelompok A (85.7%), kelompok B (89.3%), dan kelompok C (85.7%) memiliki tingkat energi normal sedangkan sebagian kecil (14.3%) kelompok A, (10.7%) kelompok B, dan (17.9%) pada kelompok C memiliki tingkat kecukupan energi lebih. Tingkat kecukupan protein sebagian besar (53.6%) kelompok A, (39.3%) kelompok B, dan (53.6%) kelompok C termasuk kategori defisit tingkat berat dan hanya sebesar (17.9%) kelompok A, (14.3%) kelompok B dan kelompok C termasuk kategori normal (Tabel 18). Hasil penelitian menunjukkan setelah intervensi, mayoritas tingkat kecukupan energi siswa pada kelompok perlakuan masih termasuk kategori normal baik pada kelompok A 89.3%, kelompok B 89.3%, dan kelompok C 92.9% dan sebagian kecil (10.7%) kelompok A, (7.1%) kelompok B, dan (3.6%) kelompok C termasuk kategori defisit ringan. Sebagian besar tingkat kecukupan
48 protein pada kelompok A (53.6%) dan kelompok B (42.9%) setelah intervensi masih termasuk kategori defisit tingkat berat, sedangkan sebagian besar (32.1%) pada kelompok C termasuk kategori defisit tingkat sedang (Tabel 18). Pada keadaan kekurangan protein kemampuan tubuh untuk menghalangi pengaruh toksik bahan-bahan racun berkurang, sehingga seseorang yang mengalami kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Selain itu menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. kekurangan protein dibutuhkan peningktan konsumsi bahan makanan hewani dan nabati sumber protein yang baik, seperti telur, daging, ayam, ikan, kerang, dan
Tabel 18 Sebaran persentase tingkat kecukupan energi dan protein siswa berdasarkan kelompok perlakuan A Zat Gizi Energi (%) <70 70-79 80-89 90-119 ≥120 Total Protein(%) <70 70-79 80-89 90-119 ≥120 Total
B
C
baseline n %
endline n %
baseline n %
endline n %
baseline n %
endline n %
0 0 0 24 4 28
0 0 0 85.7 14.3 100
0 0 3 25 0 28
0 0 10.7 89.3 0 100
0 0 1 24 3 28
0 0 3.6 85.7 10.7 100
0 0 2 25 1 28
0 0 7.1 89.3 3.6 100
0 1 2 20 5 28
0 3.6 7.1 71.4 17.9 100
0 0 1 26 1 28
0 0 3.6 92.9 3.6 100
15 6 2 5 0 28
53.6 21.4 7.1 17.9 0 100
15 5 6 2 0 28
53.6 17.9 21.4 7.1 0 100
11 7 4 4 2 28
39.3 25.0 14.3 14.3 7.1 100
12 6 1 7 2 28
42.9 21.4 3.6 25 7.1 100
15 7 2 4 0 28
53.6 25.0 7.1 14.3 0 100
8 9 4 7 0 28
28.6 32.1 14.3 25 0 100
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat
kacang-kacangan (Almatsier 2009). Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa lebih dari separuh siswa sebelum intervensi memiliki tingkat kecukupan kalsium kategori defisit yaitu kelompok A (78.6%), kelompok B (57.1%), dan kelompok C (89.3%). Hasil penelitian menunjukkan setelah intervensi, tingkat kecukupan kalsium siswa pada kelompok A dan kelompok C mengalami peningkatan, sedangkan kelompok B mengalami penurunan, meskipun sebagian besar masih termasuk kategori defisit, baik pada kelompok A (64.3%), kelompok B (64.3%), dan kelompok C (64.3%). Berdasarkan uji paired simple t-test tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan kalsium sebelum dan setelah intervensi pada masingmasing kelompok perlakuan (Lampiran 3). Meskipun tidak terjadi perubahan secara signifikan tingkat kecukupan kalsium siswa, tetapi terjadi kecenderungan peningkatan pada konsumsi pangan sumber kalsium yaitu seperti pangan hewani. Dampak dari asupan kalsium yang kurang dapat menyebabkan pertumbuhan dan
49 pembentukan tulang tidak maksimal, tubuh akan cepat lelah dan kaku, dan proses pembentukan darah juga menjadi lambat (Rahmawati 2012). Hasil uji ANOVA menunjukan tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan kalsium sebelum dan setelah intervensi antar kelompok perlakuan (Lampiran 2). Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa lebih separuh siswa pada kelompok A (57.1%), kelompok B (64.3%) dan kelompok C (53.6%) sebelum intervensi memiliki tingkat kecukupan besi (Fe) kategori cukup. Hasil penelitian menunjukkan setelah intervensi, sebagian besar tingkat kecukupan besi siswa meningkat dan tetap pada ketegori cukup yaitu kelompok A 64.3%, kelompok B 82.1% dan kelompok C 64.3%. Berdasarkan uji paired simple t-test tidak terdapat setelah perbedaan signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan besi sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan (Lampiran 3). Hasil uji ANOVA menunjukan terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) tingkat kecukupan besi sebelum intervensi dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan besi setelah intervensi antar kelompok perlakuan (Lampiran 2). Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecukupan besi sebelum intervensi pada kelompok B terhadap kelompok A dan kelompok C. Konsumsi pangan sumber energi dan protein hewani yang tinggi juga berkontribusi terhadap tingkat kecukupan mineral zat besi. Sebagimana menurut Radhika et al. (2011), bahwa kandungan micronized ferric pyrophosphate di dalam nasi dapat memperbaiki ketersediaan zat besi dalam tubuh, khususnya anak-anak. Sedangkan kekurangan zat besi berpengaruh pada perkembangan fisik dan kognitif, perkembangan perilaku, dan menurunnya intelegensi pada anak. Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa seluruh siswa (100%) pada kelompok A, kelompok B dan kelompok C sebelum intervensi memiliki tingkat kecukupan vitamin A kategori cukup, tetapi lebih cenderung tinggi konsumsi makanan sumber vitamin A, karena tingginya konsumsi makanan sumber lemak. Hasil penelitian menunjukkan setelah intervensi, sebagian besar tingkat kecukupan vitamin A siswa menurun dan tetap pada ketegori cukup yaitu kelompok A (85.7%) , kelompok B (75%) dan kelompok C (78.6%). Berdasarkan uji paired simple t-test terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) tingkat kecukupan vitamin A sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan (Lampiran 3). Hal ini diduga oleh rendahnya atau berkurangnya konsumsi makanan sumber minyak atau lemak dari siswa, seperti gorengan, gule daging, rendang, dan lain sebagainya. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan vitamin A sebelum intervensi dan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) tingkat kecukupan vitamin A setelah antar kelompok perlakuan (Lampiran 2). Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.005) tingkat kecukupan vitamin A setelah intervensi pada kelompok A terhadap kelompok B dan kelompok C. Apabila asupan vitamin A dalam tubuh cukup, maka pertumbuhan akan baik, daya tahan tubuh semakin baik, serta terhindar dari penyakit infeksi. Asupan vitamin A yang cukup akan mempercepat mobilisasi zat besi dan meningkatkan respon imun, sehingga dapat menurunkan kejadian anemia dan infeksi, serta menurunkan morbiditas (Gibson 2005).
50 Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa sebagian besar siswa pada kelompok A (71.4%), kelompok B (53.6%) dan kelompok C (85.7%) sebelum intervensi memiliki tingkat kecukupan vitamin C kategori defisit. Hasil penelitian menunjukkan setelah intervensi, sebagian besar tingkat kecukupan Vitamin C siswa meningkat, termasuk ketegori cukup yaitu kelompok A (50%) , kelompok B (64.3%) dan kelompok C (67.9%). Peningkatan yang terjadi pada kelompok B dan kelompok C diduga oleh tingginya konsumsi buah yang mengandung vitamin C seperti jambu yang merupakan salah satu jenis buah yang diberikan pada saat intervensi, selain itu secara keseluruhan siswa suka mengonsumsi jambu biji.. Berdasarkan uji paired simple t-test terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) tingkat kecukupan vitamin C sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan (Lampiran 3). Hal ini diduga oleh tingginya konsumsi sumber pangan sumber vitamin C, seperti buah jambu. Hasil uji ANOVA menunjukan tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan vitamin A baik sebelum maupun setelah 2 bulan intervensi tingkat kecukupan vitamin C antar kelompok perlakuan (Lampiran 2). Vitamin C berfungsi untuk pertumbuhan dan perbaikan sel jaringan tubuh, tulang, gusi, dan gigi. Kekurangan vitamin C menyebabkan timbulnya penyakit skorbut yang ditandai dengan gusi bengkak, rasa sakit dan kaku pada sendi-sendi, tulang rapuh, perdarahan lapisan di bawah kulit, dan kelemahan otot (Ross 2010).
Tabel 19 Sebaran persentase tingkat kecukupan mineral dan vitamin berdasarkan kelompok perlakuan A Zat Gizi Ca (%) <77 ≥77 Total Fe (%) <77 ≥77 Total Vit A (%) <77 ≥77 Total Vit C (%) <77 ≥77 Total
B
siswa
C
baseline n %
endline n %
baseline n %
endline n %
baseline n %
endline n %
22 78.6 6 21.4 28 100
18 64.3 10 35.7 28 100
16 57.1 12 42.9 28 100
19 67.9 9 32.1 28 100
25 89.3 3 10.7 28 100
18 64.3 10 35.7 28 100
12 42.9b) 10 35.7 16 57.1 18 64.3 28 100 28 100
10 35.7a) 5 17.9 18 64.3 23 82.1 28 100 28 100
13 46.4a) 10 35.7 15 53.6 18 64.3 28 100 28 100
0 0 28 100 28 100
4 14.3b) 0 0 24 85.7 28 100 28 100 28 100
7 25a) 21 75 28 100
0 0 28 100 28 100
6 21.4a) 22 78.6 28 100
20 71.4 8 28.6 28 100
14 50 14 50 28 100
10 35.7 18 64.3 28 100
24 85.7 4 14.3 28 100
9 32.1 19 67.9 28 100
15 53.6 13 46.4 28 100
Keterangan: A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat pb) : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001),
a,b
peubah yang
diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
51 Status Gizi Siswa Berat Badan Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran yang digunakan dalam menentukan status gizi seseorang. BB siswa diukur tiga tahap yaitu sebelum intervensi (0 bulan), setelah intervensi (2 bulan), dan pada saat sustainablity (4 bulan). Secara keseluruhan rata-rata BB siswa pada ketiga kelompok perlakuan sebelum intervensi yaitu kelompok A 55.8 kg, kelompok B 56.5 kg, dan kelompok C 55.3 kg. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan BB sebelum intervensi antar kelompok perlakuan (Tabel 20). Tabel 20 Rata-rata berat badan siswa berdasarkan kelompok perlakuan Saat Pengukuran 0 bulan 2 bulan 4 bulan P kelompok
A 55.8 ± 6.4) 54.8±6.3a) 55.0±5.9a)
B
C
P
56.5±6.3
55.3±6.9
0.086
56.0±6.1 56.4±7.2
53.8±6.2 52.5±5.7
0.013* 0.002*
0.000**
Keterangan A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat p : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Setelah intervensi terjadi penurunan rata-rata BB siswa pada ketiga kelompok yaitu BB berturut-turut kelompok A 54.8 kg, kelompok B 56.0 kg, dan kelompok C 53.8 kg. Penurunan BB tertinggi berturut-turut terjadi pada kelompok C 1.5 kg, kelompok A 1 kg, dan Kelompok B 0.5 kg. Hasil Uji ANOVA menunjukkan terjadi perbedaan signifikan (p<0.05) rata-rata penurunan BB antar kelompok perlakuan setelah intervensi. Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.005) rata-rata penurunan BB siswa setelah intervensi pada kelompok C terhadap kelompok A dan B. Pada sustainablity terjadinya peningkatan BB siswa pada kelompok A dan kelompok B yaitu rata-rata BB sebesar A 55.0 kg, kelompok B 56.4 kg, dan terjadi penurunan rata-rata BB pada kelompok C yaitu rata-rata BB 52.5 kg. Rata-rata peningkatan pada kelompok A 0.2 kg dan kelompok B 0.4 kg, serta penurunan BB pada kelompok C sebesar 1.3 kg (Tabel 20). Penurunan BB kelompok C pada pengukuran sustainability, diduga karena tingkat kepatuhan siswa dan dukungan dari pihak sekolah yang sangat antusias dengan penelitian ini, sehingga meningkatkan motivasi siswa selama penelitian berlangsung. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Schaefer et al. (2011) yang melakukan intervensi gaya hidup efektif melalui pendidikan gizi, aktivitas fisik, dan konseling yang berhasil menurunkan berat badan pada anak-anak gemuk. Menurut Friedrich et al.(2012), intervensi aktivitas fisik yang digabungkan dengan pendidikan gizi lebih berdampak positif terhadap penurunan IMT pada anak usia sekolah. Hasil penelitian Du et al. (2010) yang menyatakan bahwa
52 konsumsi 10 g total serat/hari dapat mengurangi berat badan sebesar 39 g/tahun meskipun tidak signifikan. Brauchla et al. (2012) juga menyatakan bahwa risiko obes pada anak menurun 17% seiring dengan asupan serat yang cukup. Hal ini diduga karena asupan serat sampel belum mencukupi untuk dapat menurunkan berat badan jika tanpa disertai aktivitas fisik. Pemberian serat melalui intervensi pangan sumber serat selama 2 bulan belum mencukupi untuk dapat menurunkan berat badan. Howart et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan asupan serat sebanyak 14 g/hari dapat menurunkan berat badan sebanyak 1.9 kg selama 3.8 bulan. Adapun peningkatan asupan serat pada penelitian ini hanya 0.39-0.86 g/hari dengan waktu selama 5 minggu sehingga belum mencukupi untuk dapat menurunkan berat badan. Penurunan berat badan merupakan mekanisme yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai hal termasuk pola konsumsi pangan. Selain asupan serat yang harus ditingkatkan, pembatasan terhadap asupan pangan lain yang mengandung tinggi lemak dan tinggi gula juga harus dilakukan agar menghasilkan tujuan yang diharapkan. Pada penelitian ini, pengontrolan asupan dilakukan melalui recall dan ajakan serta himbauan, tidak sampai memperhatikan setiap saat bahan makanan yang dikonsumsi sampel. Indeks Massa Tubuh (IMT/U) Selain berat badan, pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap IMT/U. IMT/U siswa diukur tiga tahap yaitu sebelum intervensi (0 bulan), setelah intervensi (2 bulan), sustainablity (4 bulan). Secara keseluruhan rata-rata z-score IMT/U siswa pada ketiga kelompok perlakuan setelah intervensi yaitu kelompok A dan kelompok C 2.7, serta kelompok B 2.8 yaitu termasuk kategori obes. Uji ANOVA menunjukkan tidak terjadi perbedaan signifikan (p>0.05) rata-rata IMT/U sebelum intervensi antar kelompok perlakuan (Tabel 21). Tabel 21 Rata-rata IMT/U siswa berdasarkan kelompok perlakuan Saat Pengukuran 0 bulan 2 bulan 4 bulan P kelompok
A 2.7 ± 0.2
b)
a)
2.5±0.2 2.5±0.2a)
B
C
P
2.7±0.3
2.7±0.4
0.405
2.7±0.4 2.8±0.5
2.4±0.3 2.2±0.2
0.005* 0.000**
0.000**
Keterangan A : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan olahraga; B : Kelompok intervensi pendidikan gizi dan pangan sumber serat C : Kelompok intervensi pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat p : Hasil uji ANOVA (* signifikan <0.05 dan ** sangat signifikan <0.001), a,b peubah yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda antar perlakuan (p<0.05)
Setelah intervensi terjadi penurunan rata-rata status gizi (IMT/U) siswa pada kedua kelompok yaitu IMT/U berturut-turut kelompok A (2.5) dan kelompok C (2.4), tetapi rata-rata IMT/U pada kelompok B sama pada saat sebelum intervensi (2.7) (Tabel 21). Hal ini dikarenakan tinggi badan (TB) siswa pada kelompok B mengalami peningkatan sedikit lebih tinggi dari kelompok A dan kelompok C, sehingga penurunan IMT/U pada kelompok B tidak terlihat seperti pada kelompok
53 A dan C, meskipun terjadi penurunan BB pada kelompok A. Penurunan rata-rata IMT/U berturut-turut terjadi pada kelompok C (0.3) dan kelompok A (0.2). Hasil Uji ANOVA menunjukkan terjadi perbedaan signifikan (p<0.05) rata-rata penurunan IMT/U antar kelompok perlakuan. Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.005) rata-rata penurunan IMT/U siswa pada setelah intervensi pada kelompok C terhadap kelompok A dan B. Pada saat pengukuran sustainability terjadinya peningkatan IMT/U siswa pada kelompok B yaitu sebesar 0.1 dan terjadi penurunan rata-rata IMT/U pada kelompok C yaitu sebesar 0.2, dan rata-rata IMT/U kelompok A tetap. Rata-rata IMT/U pada kelompok B 2.7, dan rata-rata IMT/U pada kelompok C 2.2 termasuk kategori siswa obes. Hasil Uji ANOVA menunjukkan terjadi perbedaan signifikan (p<0.05) rata-rata penurunan IMT/U antar kelompok perlakuan. Uji lanjut post hoc Tukey menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.005) rata-rata penurunan IMT/U siswa setelah intervensi pada kelompok C terhadap kelompok A dan B. Penurunan IMT yang terbesar terdapat pada kelompok yang mendapat perlakuan semua intervensi (PG+O+PSS), dan selanjutnya terdapat pada kelompok yang mendapatkan intervensi PG+O. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan intervensi yang multikomponen lebih baik dalam menurunkan IMT/U. Selain itu, penurunan IMT/U dua terbesar terdapat pada kelompok yang mendapatkan intervensi aktivitas fisik. Sejalan dengan analisis pada penurunan berat badan, hal yang sama juga terjadi pada penurunan IMT/U yaitu kelompok yang mendapatkan intervensi aktivitas fisik lebih berpengaruh dalam menurunkan IMT/U dibandingkan dengan intervensi tanpa aktivitas fisik. Hasil penelitian ini sejalan dengan Anam et al. (2010) yang melakukan penelitian pada anak SD obes di Semarang melalui intervensi konseling dan olahraga selama 45 menit 3x/minggu. Penurunan IMT/U yang dihasilkan sebesar 0.6 kg/m2. Penurunan IMT yang dilakuan Anam et al. (2010) lebih tinggi daripada penelitian ini (0.20 kg/m2) yang diduga karena lamanya waktu olahraga berbeda dan lamanya waktu intervensi pun berbeda. Penelitian lain yaitu penelitian Silveira et al. (2013), dimana intervensi pendidikan gizi berbasis sekolah dapat memperbaiki pola konsumsi dan dapat menurunkan kejadian obesitas pada anak. Sigmund et al. (2012) juga melakukan intervensi olahraga berbasis sekolah efektif dalam mengurangi obesitas dan kelebihan berat badan pada anak. Ventura dan Garst (2013) juga melakukan intervensi pendidikan gizi dan olahraga lebih berdampak positif dalam memperbaiki konsumsi makan pada anak dan penurunan kejadian obesitas pada anak. Berdasarkan hasil pnelitian Struempler et al. (2014), dimana Intervensi pendidikan gizi dengan penekanan pada buah dan sayur serta penyicipan buah dan sayur setiap seminggu sekali hanya dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur pada anak. Serat dapat membatasi asupan energi dengan cara rendahnya densitas energi, dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Peningkatan asupan serat 12 g/hari berhubungan dengan penurunan 0.63 cm lingkar perut dalam jangka waktu lama yaitu 9 bulan dan pengurangan konsumsi serat 3 g/kkal/hari selama setahun pada remaja overweight berhubungan dengan peningkatan sebesar
54 21% abdominal obesity dibandingkan dengan yang asupan seratnya tidak dikurangi (Koh-Banerjee et al. 2003). Penurunan z-score IMT/U dari ketiga kelompok yang paling tertinggi pada kelompok C. Hasil ini sejalan dengan hasil meta analisis Evans et al. (2012) menunjukkan bahwa program intervensi berbasis sekolah multikomponen terbukti lebih baik daripada program intervensi hanya satu komponen saja. Hal yang sama ditunjukkan pada hasil penelitian Singhal et al. (2010) bahwa intervensi gizi multikomponen berhasil memperbaiki aspek pengetahuan, perilaku gizi, serta antropometri siswa.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengetahuan gizi siswa menunjukkan adanya peningkatan setelah intervensi pada ketiga kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Hanya terdapat peningkatan pengetahuan gizi siswa pada sustainability yaitu kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Aktivitas fisik siswa menunjukkan adanya peningkatan setelah intervensi pada dua kelompok yaitu kelompokpendidikan gizi dan olahraga; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga dan pangan sumber serat. Asupan serat siswa menunjukkan adanya peningkatan setelah intervensi pada ketiga kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Status gizi siswa berdasarkan BB menunjukkan adanya penurunan BB pada ketiga kelompok perlakuan, tertinggi berturut-turut pada kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat yaitu 1.5 kg, kelompok pendidikan gizi dan olahraga 1 kg; dan Kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat 0.5 kg. Pada sustainablity hanya terjadinya penurunan BB siswa pada kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Status gizi berdasarkan z-score IMT/U menunjukkan adanya penurunan setelah intervensi pada ketiga kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga sebesar z-score 0.21; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat sebesar z-score 0.08; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat sebesar z-score 0.36. Hanya terdapat penurunan status gizi (IMT/U) siswa pada sustainability yaitu kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat Terdapat perbedaan signifikan pengetahuan gizi antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan pengetahuan gizi antar kelompok perlakuan dan terdapat perbedaan signifikan pengetahuan gizi antar waktu + kelompok perlakuan yitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat.
55 Terdapat perbedaan signifikan asupan serat pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan aktivitas fisik pada kelompok pendidikan gizi dan olahraga dan kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga. Terdapat perbedaan signifikan penurunan BB antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan penurunan BB antar kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan status gizi (IMT/U) antar waktu pengukuran pada masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pendidikan gizi dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Terdapat perbedaan signifikan (status gizi (IMT/U) antar kelompok perlakuan yitu kelompok pendidikan gizi, dan olahraga; kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat; dan kelompok pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat. Penurunan BB dan IMT/U terbesar pada kelompok pendidikan gizi, pangan sumber serat, dan olahraga menunjukkan bahwa perlakuan intervensi yang multikomponen lebih baik dibandingkan pada kelompok pendidikan gizi dan aktivitas fisik; serta kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat. Selain itu, penurunan BB dan IMT/U dua terbesar terdapat pada kelompok yang mendapatkan intervensi pendidikan gizi dan aktivitas fisik lebih berpengaruh dalam menurunkan BB dan IMT/U dibandingkan dengan intervensi tanpa aktivitas fisik atau pada kelompok pendidikan gizi dan pangan sumber serat. Saran Pentingnya rutinitas aktivitas fisik dalam bentuk olahraga 3 kali per minggu, minimal 30 menit untuk penurunan berat badan, selain perbaikan pola makan pada anak obes. Pentingnya pemberian konsumsi pangan sumber serat pada anak. Untuk penyempurnaan penelitian sejenis, disarankan intervensi dilengkapi dengan sosialisasi orang tua siswa, pihak sekolah, dan dinas terkait secara terstuktur.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi A, Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gedia Pustaka Utama. , Soetarjo S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): Gedia Pustaka Utama. Anam MS, Mexitalia M, Widjanarko B, Pramono A, Susanto H, Subagio HW. 2010. Pengaruh Intervensi Diet dan Olah RagaTerhadap Indeks Massa
56 Tubuh, Lemak Tubuh, dan Kesegaran Jasmani pada Anak Obes. Sari Pediatri. 12(1):36-41. Anderson AS, Porteous LEG, Foster E, Higgins C, Stead M, Hettherington M, Adamson AJ. 2004. The impact of a school-based nutrition education intervention on dietary intake and cognitive and attitudinal variables relating to fruit and vegetables. Pub Health Nutr. 8(6):650656.doi:10.1079/PHN2004721 Attorpd A, Scott JE, Yew AC, Rhodes RE, Barr SI, Jean NP. 2014. Associations. Between socioeconomic, parental and home environment factors and fruit and vegetable consumption of children of grades five and six in British Columbia, Canada. BMC Pub Health. 14:150-158.doi:10.10.1186/14712458-14-150. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional. 1998. Gerakan Rumah Tangga Berencana dan Rumah Tangga Sehat. Jakarta (ID): BKKBN Bogart, Cowgill, Elliott MN, Klein DJ, Dawson JH, Uyeda K, Elijah J, Binkle DG, Schuster MA. 2013. A randomized controlled trial of students for nutrition and exercise: a community-based participatory research study. Journal of Adolescent health. 55(3):415-22. doi: 10.1016/j.jadohealth. 2014.03.003 Bogen DL, Hanusa BH, Whitaker RC. 2004. The effect of breastfeeding with and without concurrent formula feeding on risk of obesity at 4 years of age. Obesity Research (2004) 12: 1527–1535. Bonke J. 2013. Do Danish Children and Young People Receive Pocket Money?. Copenhagen (DK). Rockwool. Boyles S. 2005. Less sleep could mean more weight. http://www.webmd.com/diet/news/20050110/less-sleep-could-mean-more weight [2 Juli 2014] Bowman SA et al. 2004. Effects of fast food consumption on energy intake and diet quality among children in a national household survey. Pediatrics. 113 :112-118 Boyles S. 2005. Less sleep could mean more weight. http://www.webmd.com/diet/news/20050110/less-sleep-could-mean-more weight [12 April 2015] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Profil kemiskinanm di Provinsi Jawah Tengah Septermber 2012 [Internet]. [diunduh 2013 Okt 24]. Tersedia pada: http://jateng .bps. go.id/offrel/brs_kemiskinan_1209_33.pdf. Brown JE, Isaacs JS, Krinke UB, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C, Splett PL, Stang J, Wooldridge NH. 2011. Nutrition through the Life Cycle fourth edition. USA: Wadsworth. Contento IR. 2011. Nutrition education : linking research. theory. and practice. 2nd ed. Usa: Jones and Bartlett Publishers. LLC. Cribb VL, Jones LR, Rogers IS, Ness AR, Emmett PM. 2011. Is maternal education lavel associated with diet in 10-year-old children?. Pub Health Nutr. 14(11):2037-2048.doi:10.1017/S136898001100036X. Darmono. 2006. Obesitas pada anak bisa turunkan tingkat kecerdasan. www.litbang.depkes.co.id [30 Juni 2014] Drapeau V, JeanPD, Claude B, Lucie A, Guy F, Claude L, Angelo T. 2004. Modifications in food-group consumption are related to long-term bodyweight changes. Am J Clin Nutr. 80:29-37.
57 Du H, van der ADL, Boshuizen HC, Forouhi NG, Wareham NJ, Halkjær J, Tjønneland A, Overvad K, Jakobsen MU, Boeing Het al. 2010. Dietary fiber and subsequent changes in body weight and waist circumference in European men and women. Am J Clin Nutr. 91:329–36.doi: 10.3945/ajcn.2009.28191. Dunneram Y, Jeewon R. 2013. Anscientific assessment of sociodemographic factor. physical level. and nutritional knowledges as determinants level. and nutritional knowledge as determinants of dietary quality among Indomauritian Woman. Journal of Nutrition and Metabolem. 2013. 9. Effendi YH. 2003. Pengelolaan Obesitas. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertania. IPB. Epstein LH, Gordy CC, Raynor HA, Beddome M, Kilanowski CK, Paluch R. 2001. Increasing fruit and vegetable intake and decreasing fat and sugar intake in families at risk for childhood obesity. Obes Res. 9:171-178. Evans CEL, Christian MS, Cleghorn CL, Greenwood DC, Cade JE. 2012. Systematic review and meta-analysis of school-based interventions to improve daily fruit and vegetable intake in children aged 5 to12 year. Am J ClinNutr. 96:889-901. [FAO] Food Association Organization. 2001. Human Energy Requirements. WHO Technical Report Series. no. 724. Geneva(CH): World Helath Organization. Ferna‟ndez-alvira JM, Mouratidou T, Bammann K, Hebestreit A, Barba G, Sieri S, Reisch L, Eiben G, Hadjigeorgiou C, Kovacs E, et al. 2012. Parenatal education and frecuency of food consumption in European children: the IDEFICS study. Pub Health Nutr. 16(3):487-498. Doi:10.1017/S136898001200290X Fitriani S. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Friedrich RR, Schuch I, Wagner MB. 2012. Effect of interventions on the body mass index of school-age students. Rev. Saúde Pública. 46(3).doi:10.1590/S0034-89102012005000036. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Second Edition. New York: Oxford University Press. Hardinsyah. Retnaningsih. Herawati T. Wijaya R. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Pusat Stusi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG). Bogor: IPB. , Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi. Protein. Lemak. dan Serat Makanan.Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID). 17-19 Mei 2004. Harjian-Tilaki KO, Sajjadi P, Razavi A. 2011. Prevalence of overweight and obesity and associated risk factors in urband primary-schoolmchildren in Badol, Islamic Republic of Iron. East Med Health J. 17(2): 109-114 Haryanto I. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Obesitas (Z-score > 2 IMT menurut Umur) pada anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) di Jawa Timur [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Hayati AW. 2013. Faktor-faktor risiko stunting.pola konsumsi pangan. asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan. [disertasi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu Gizi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
58 Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas Pada Anak. Surabaya: Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair. Health & Human Services. 2011. Childhood obesity. http://aspe.hhs.gov/health/ reports/child_obesity/ [6 Juli 2014] Heird WC. 2002. Parental Feeding Behavior and Children‟s Fat Mass. Am J Clin Nutr (75): 451 – 452. Howarth NC, Saltzman E, Roberts SB. Dietary fiber and weight regulation. Energy density of foods affects energy intake across multiple levels of fat content in lean and obese women. Am J Clin Nutr. 73:1010-1018. Hu C, Ye D, Li Y, Huang Y, Li L, Gao Y, Wang S. 2009. Evaluation of a kindergarten-based nutrition education intervention for pre-school children in China. Pub Health Nutr. 13(2):253-260. doi:10.1017/S1368980009990814 [IOM] Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intake for Energy. Carbohydrate. Fiber. Fat. Fatty Acids. Cholesterol. Protein. and Amino Acids. A Report of the Panel on Macronutrients. Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary Reference Intakes. and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes. Washington DC (US): National Academies Press. [IOTF]. International Obesity TaskForce. 2004. IASO Childhood Report IASOInternational Obesity TaskForce. London Jahari A, Sumarno I. 2002. Epidemiologi konsumsi serat di Indonesia. Gizi Indonesia. 25:37-56. Jhonson L, Mander AP, Jones LR, Emmett PM, Jebb SA. 2008. Energy-dense. low-fiber. high-fat dietary pattern is associated with increased fatness in childhood. Am J Clin Nutr. 87: 846–54. Karimah I. 2014. Aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar normal dan kegemukan di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. .2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. .2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. , Faisal A, Riyadi H, Sukandar D, Mudjajanto S. 2009. Studi PeningkatanPengetahuan Gizi dan Kader Posyandu serta Perbaikan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Koh-Banerjee P, Chu NF, Spiegelman D, Rosner B, Colditz G, Willett W, Rimm E. 2003. Prospective study of the association of changes in dietary intake, physical activity, alcohol consumption, and smoking with 9-y gain in waist circu mference among 16 587 US men. Am J Clin Nutr. 78:719-727.
59 Kusharto CM, Sa‟adiyah YM. 2006. Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Kyriazis, Ekleiti M, Saridi M, Beliotis E, Toska A, Souliotis K, Wozniak G. 2012. Prevalence of obesity in children aged 6-12 years in Greece: nutritional behaviour and physical activity. Mezourlo: Arch Med Sci. 9;8(5):859-64. doi: 10.5114/aoms.2012.31296. Levy Shamah, Carmen MR, Claudia AC, Araceli SC, Alejandra JA, Ignacio MH. 2012. Effectiveness of a diet and physical activity promotion strategy on the prevention of obesity in Mexican school children. BMC Public Health. 12:152. doi:10.1186/1471-2458-12-152 [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2013. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. 2012. Angka Kecukupan Gizi. Auditorium LIPI. Jalan Gatot Subroto No. 10. Jakarta. 20 – 21 November 2012. Madanijah S. Giriwono PE. Nurdin NM. 2013. Pola konsumsi pangan sumber serat dan formulasi produk intervensi pada anak usia sekolah. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Baik. Bogor: Institut Pertanian Bogor . 2014. Intervensi Pangan Sumber Serat dan Pendidikan Gizi pada Anak Gizi Lebih di Kota Bogor. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Baik. Bogor: Institut Pertanian Bogor Mahan LK, Escott-Stump S. 2008. Krause’s Food & Nutrition Therapy, International Edition, 12th edition. Canada (US): Saunders Elsevier. Mann J. Truswell S. 2014. Imu Gizi Edisi 4. Jakarta : EGC Maulana HDJ. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta (ID): EGC Pr. Mihas C, Mariolis A, Manios Y, Naska A, Panagiotakos D, Arapaki A, Alevizos A, Mariolis-Sapsakos T, Tountas Y. 2009. Overweight/obesity and factors associated with body mass index during adolescence: the VYRONAS study. Acta Paediatrica. 98(3):495-500. Newby PK, Muller D, Hallfrisch J, Qiao N, Andres R, Tucker KL. 2003. Dietary patterns and changes in body mass index and waist circumference in adults. Am J Clin Nutr. 77:1417-1425. Nişancı-Kılınç F, Çağdaş DN. 2013. Diet and physical activity interventions do have effects onbody composition and metabolic syndrome parameters inoverweight and obese adolescents and their mothers. The Turkish Journal of Pediatrics. 55: 292-299. Notoatmodjo. 2007. Promosi kesehatan dan ilmu Perilaku. Jakarta (ID): Rineka Cipta. O‟Brien N, Reo C, Reeves S. 2002. A quantitative nutritional evaluation of a healthy eating intervention in primary school children in a socioeconomically disadvantaged area-A pilot study. Health Educ J. 61(4):320-328.doi.10.1177/001789690206100405. Oldroyd J. Renzaho A. Skouteris H. 2010. Low and high birth weight as risk factors for obesity among 4 to 5-year-old Australian children: does gender matter? Eur J Pediatr 170 (7): 899-906. Oshagh M, Danaei SM, Ghahremani Y, Pajuhi N, Bousahehri SG. 2011. Impact of an educati orthodontic problems in Shiraz. East Med Health J. 7(2):121125.
60 on leaflet on parents‟knowledge and awareness of children‟sParson, Tessa J, Power C, Manor O. 2001. Fetal and Early Life Growht and Body Mass Index From Birth To Early Adulthood In 1958 British Cohort: Longitudinal Study. BMJ (323):1331-1335. Proper KI, Cerin E, Brown WJ, Owen N. 2006. Sitting Time and Sosio-economic Differences in Overweight and Obesity. International Journal of Obesity 2007 (31): 169-176. Radhika MS, Nair KM, Kumar RH. 2011. Micronized ferric pyrophosphate supplied through extruded rice kernels improves body iron stores in children: a double-blind, randomized, placebo-controlled midday meal feeding trial in Indian schoolchildren. American Journal of Clinical Nutrition. 2011;94(5):1202–1210. Rahmawati FR. 2012. Pengetahuan gizi, sikap, perilaku makan dan asupan kalsium pada siswi SMA[tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Reicks M, Jonnalagadda S, Albertson AM, Joshi N. 2014. Total dietary fiber intakes in the US population are related to whole grain consumption: results from the National Health and Nutrition Examination Survey 2009 to 2010. Nutr Res. 34:226–234.doi:10.1016/j.nutres.2014.01.002. Reilly JJ, Armstrong J, Dorosty AR, Emmett PM, Ness A, Rogers I, Steer C, Sherriff. 2005. The Avon Longitudinal Study of Parents and Children Study Team: Early life risk factor for obesity in childhood: cohort study. British Medical Journal (330):1357. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Ekslusif. Jakarta: Trubus Agriwidya, Anggota IKAPI. Ruottinen S, Lagstrom HK, Niinikoski H, Ronnemaa T, Saarinen M, Pahkala KA. (2010). Dietary fiber does not displace energy but is associated with decreased serum cholesterol concentrations in healthy children. AJCN, 91(61), 651-661. Rustand C, Smith C. 2013. Nutrition knowledge and associated behavior changes in a holistic, short-term nutrition education with Low-income Women. J Nutr Educ Behav. 45(6):490-498.doi.org/10.1016/j.jneb.2013.06.009 Sandvik C, Bourdeaudhuij ID, Due P, Brug J, Wind M, Bere E, Rodrigo CP, Wolf A, Elmadfa I, Thórsdóttir I, Almeida MDV, Yngve A, Klepp KI. 2005. Personal. Social and Environmental Factors regarding Fruit and Vegetable Intake among Schoolchildren in Nine European Countries. Ann Nutr Metab.49:255–266. doi: 10.1159/000087332. Sastroasmoro S. Ismael S. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta (ID): CV. Sagung Seto. Schaefer A, Winkel K, Finne E, Polip P, Reinehr. 2011. The effect of An Effective lifestyle intervention in overweight children: one –year follow-up after the randomized controlled trial on “Obeldiks light”. Clinical Nutrition. 30(2011) 629-633. doi: 10.3945/ajcn.2009.28705 Shadish WR. Cook TD. Campbell DT. 2002. Experimental and quasi experimental design for generalized causal inference. New York (US): Houghton Mifflin Company.
61 Shi-Chang X, Xin-Wei Z, Shui-Yang X, Shu-Ming T, Sen-Hai Y, Aldinger C. 2004. Creating health-promoting schools in China with a focus on nutrition. Health Promotion International. 19(4), 409-418. ShiSigmund E, Ansari WE, Sigmundova D. 2012. Does school-based physical activity decrease overweight and obesity in children aged 6–9 years? A twoyear non-randomized longitudinal intervention study in the Czech Republic. BMC Public Health. 12:570 doi:10.1186/1471-2458-12-570 Siega-Riz AM, Ghormli LE, Mobley C, Gillis B, Stadler D, Hartstein J, Volpe SL, Virus A, Bridgman J. 2011. The effects of the HEALTHY study intervention on middle school student dietary intakes. In J Behav Nutr Phys Act. 8(!).7-14.doi.10.1186/1479-5868-8-7. Sigmund E, Ansari WE, Sigmundova D. 2012. Does school-based physical activity decrease overweight and obesity in children aged 6–9 years? A twoyear non-randomized longitudinal intervention study in the Czech Republic. BMC Public Health. 12:570 doi:10.1186/1471-2458-12-570 Silveira JA, Taddei, Guerra, Nobre. 2013. The effect of participation in schoolbased nutrition education interventions on body mass index: A metaanalysis of randomized controlled community trials. Journal Preventive Medicine. 56:237-243. doi: 10.1016/j.ypmed.2013.01.011 Singhal N, Misra A, Shah P, Gulati S. 2010. Effects of controlled school-based multi-component model of nutrition and lifestyle interventions on behavior modification.anthropometry and metabolic risk profile of urban Asian Indian adolescents in North India. European Journal of Clinical Nutrition 64. 364-373. doi:10.1038/ejcn.2009.150. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Baik. Departemen Pendidikan Nasional. Struempler BJ. Parmer SM. Mastropietro LM. Arsiwalla D. Bubb RR. 2014. Change in fruit and vegetable consumption of thir-grade students in body quest: food of the warrior. a 17 class childhood obesity prevention programe. J Nutr Educ Behay. 46(4):286-92. doi.org/10.1016/j.jneb.2014.03.001. Tarro L, Llarado E, Albaladejo R, Mrina D, Rija V, Sola R, Giralt M. 2014. A primary school based study to reduce the prevelence of childhood obesity the EdAI study: a randomized controlle trial. Journal BioMed Central. 15:58 Thorpe LE. List DG. Marx T. May L. Helgerson SD. Frieden TR. 2004. Childhood obesity in New York City elementary school students. Am J Public Health: 94(9). 1496-1500. Ventura AK, Garst BA. 2013. Residential summer camp: a new venue for nutrition education and physical activity promotion. International Journal of Behavior Nutrition and Phisical Activity. 10:64. doi:10.1186/1479-5868-10 Vijayapushpam T, Antony GM, Rao GMS, Rao. 2009. Nutrition and health education intervention for student volunteers: topic-wise assessment of impact using a non-parametric test. Public Health Nutrition. 13(1):131136.doi:10.1017/S1368980009990255 Wang J. Zhang W. Sun L. Yu H. Xing Q. Risch H. and Gao Y. 2013. Dietary Energy Density Is Positively Associated with Risk of Pancreatic Cancer in Urban Shanghai Chinese. J. Nutr. 143: 1626–1629. 2013. doi:10.3945/jn.113.178129.
62 Webb GP. 2008. Nutrition a health promotion approach 3rd edtion. London: Hachette UK Compy. [WHO] World Health Organization. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epedemic. Geneva: WHO Technical Report Series. . 2001. Human energy requirements : principles and definitions. Report of Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2001. http://www.fao.org/docrep [17 Agustus 2014]. . 2010. Global Strategy on Diet. Physical Activity and Health. Geneva. . . 2005. Body Mass Indeks (BMI) = Indeks Massa Tubuh. http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html 3 [5 Februari 2015] . 2007. Growth reference 5-19 years. www.who.int [5 Februari 2015] . 2010. Global Strategy on Diet. Physical Activity and Health. Geneva. Whitney E, DeBrruyne LK, Pinna K, Rolfes SR. 2011.Nutrition for health and health care 4th edition. USA: Wadsworth. Cengage Learning. [World Bank]. 2006. Repositioning Nutrition As Central Development : A Strategi For Large-Scale Action. The International Bank for Recconstruction and Development/The World Bank. Washington. Yabanci N, Kisac I, Karakus SS. 2014. The effects of mother‟s nutritional knowledge on attitudes and behaviors of children about nutrition. Pro-Soc Behav Sci. 116:4477-4481.doi:10.1016/j.sbspro.2014.01.970
63
LAMPIRAN
64 Lampiran 1 kontribusi golongan pangan terhadap asupan serat Lampiran 1 Kontribusi setiap golongan bahan makanan (%) terhadap asupan serat siswa Golongan bahan makanan Serealia dan olahannya Umbi dan olahannya Kacang dan olahannya Sayur dan olahannya Buah dan olahannya Daging dan olahannya Lemak, minyak, dan olahannya Gula, sirup, bumbu Buah/biji berminyak Total
Kelompok A 48.15 7.83 9.52 15.45 11.76 0.25 0.00 0.56 6.48 100.00
Kelompok B 50.83 9.54 7.23 15.05 10.93 0.07 0.00 0.77 5.58 100.00
Kelompok C 54.91 8.63 6.56 13.79 11.77 0.27 0.00 0.47 3.60 100.00
Lampiran 2 Hasil uji Anova Variabel penelitian Hasil uji ANOVA antar kelompok perlakuan sebelum dan sesudahn intervensi Variabel P sebelum Asupan zat gizi Energi (kkal) 0.329 Protein (g) 0.185 Kalsium (mg) 0.107 Besi (mg) 0.001* Vitamin A (RE) 0.000* Vitamin C (mg) 0.087 Tingkat kecukupan zat gizi TKE 0.274 TKP 0.412 TKCa 0.107 TKFe 0.005* TKVit A 0.793 TKVit C 0.193 * Keterangan: hasil uji signifikan (p<0.05)
P sesudah 0.213 0.020* 0.203 0.166 0.793 0.010* 0.122 0.057 0.202 0.315 0.006* 0.063
65 Lampiran 3 Hasil uji Paired Sample T-Tests variabel penelitian Hasil uji Paired Sample T-Test perbedaan nilai Asupan zat gizi, Tingkat kecupunan zat gizi, dan densitas zat gizi Variabel A B C Asupan zat gizi E 0.000* 0.005* 0.133 P 0.059 0.691 0.065 Ca 0.373 0.555 0.000* Fe 0.044 0.775 0.192 Vit A 0.000* 0.000* 0.000* Vit C 0.000* 0.000* 0.000* Tingkat kecukupan zat gizi TKE 0.000* 0.008* 0.216 TKP 0.064 0.704 0.067 TKCa 0.376 0.557 0.000* TKFe 0.053 0.882 0.132 TKVit A 0.000* 0.000* 0.000* TKVit C 0.000* 0.000* 0.000* Keterangan: A: Pendidikan gizi dan olahraga; B: Pendidikan dan pangan sumber serta; C: Pendidikan gizi, olahraga, dan pangan sumber serat * hasil uji signifikan (p<0.05)
66 Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian
67 Lampiran 5 Ethical Clereance
68
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, putri pasangan Revni Alisman dan Jasniwati. Penulis lahir di Aur Duri, Riau, 16 Februari 1991. Pendidikan TK ditempuh pada tahun 1995-1996 di TK Darma Wanita. Penulis melanjutkan SD ditempuh pada tahun 1996-2002 di SD Negeri 028 Bukit Kauman. Penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 2 Bukit Kauman pada tahun 2002-2005. Pendidikan menegah atas ditempuh penulis pada tahun 2005-2008 di SMA Negeri 1 Kuantan Mudik, Kabupaten Kuansing, Riau. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) provinsi Riau pada tahun 2008 sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai staf Divisi KOPMA IPB periode 2008/2009, staf Devisi Peduli Pangan dan Gizi HIMAGIZI periode 2009/2010, staf Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia periode 2010/2011, dan staf Devisi Creative Learning Club HIMAGIZI periode 20102012. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMAGIZI dan BEM Fakultas Ekologi Manusia. Penulis melakukan Kulia Kerja Profesi (KKP) di Desa Juntikedokan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu pada tahun 2011. Penulis juga melaksanakan Internship Dietetic (ID) di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada tahun 2012 dengan topik kasus yang dikaji yaitu kanker kolon riwayat appendicitis, kanker serviks riwayat DM tipe 2, dan rabdomiosarkoma. Penulis pernah menjadi asisten pratikum Analisis Zat Gizi Makro dan Evaluasi Nilai Gizi pada tahun ajaran 2011/2012. Penulis pernah mengikuti Pekan Karya Ilmiah Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 yaitu PKM-GT dengan judul Sebatang Asap dengan Sejuta Penyakit di Kampus Agricultural Harus segera Dihadang. Penulis juga memiliki pengalaman mengajar di bimbingan belajar pada tahun 2010-2011. Selain itu, penulis juga mempunyai pengalaman bekerja sebagai Enumurator pada penelitian dengan topik “Fluid Intake Seven Day” di Departemen Gizi-UI yang bekerjasama dengan perusahaan Aqua Danone pada tahun 2012, pengalaman jadi Asisten Dosen di Universitas Riau pada tahun 20122013. Tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) pada sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Magister Ilmu Gizi Masyarakat, Departemen Gizi Masyarakat, dengan memperoleh beasiswa calon dosen pascasarjana dalam negeri (BPPDN). Selama mengikuti perkuliahan S2, penulis menjadi Asisten Dosen pada tahun 2014 sampei sekarang.